MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI, SAKSI PEMOHON (IV)
JAKARTA SENIN, 13 OKTOBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 165, Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 249 huruf b, Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 281, Pasal 305, dan Pasal 307 ayat (2) huruf d] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014: 1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden, DPR, MPR, dan Pihak Terkait (III) Senin, 13 Oktober 2014, Pukul 14.05 – 15.39 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto Muhammad Alim Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Gede Pasek Suardika John Peris Baiq Ratu Parlindungan Purba Anang Priantoro Instsiawati Ayus Mawardi Bambang Susilo
B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
I Wayan Sudirta Alirman Sori Aan Eko Widiarto Muspani B. Hestu Cipto Handoyo
C. Ahli: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Saldi Isra Maruarar Siahaan Yuliandri Refly Harun Zainal Arifin Mochtar Ronald Rofiandi
D. Pemerintah: 1. Budijono 2. Rulita 3. Jaya
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.05 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ya. Pemohon, silakan perkenalkan dulu siapa-siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pada siang hari ini, yang hadir dari kami, pertama, Kuasa Hukum, I Wayan Sudirta, S.H. Kemudian yang kedua, Alirman Sori. Saya sendiri, Aan Eko Widiarto. Yang berikutnya, Bapak Muspani, sebelah kiri saya, dan Pak Hestu Cipto, sebelah kiri saya. Sebagai Prinsipal yang hadir pada siang hari ini adalah Bapak Gede Pasek Suardika, sebelah kiri, Bapak Prof. John Peris, kemudian Ibu Baiq Ratu, Bapak Parlindungan Purba, kemudian ada Pak Anang Priantoro di belakang, Bu Instsiawati Ayus, Pak Mawardi, dan Bapak Bambang Susilo. Yang Mulia, pada siang hari ini juga kami menghadirkan Ahli. Yang pertama adalah Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.B.A. Kemudian, yang kedua Bapak Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Yang ketiga, Bapak Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H. Kemudian yang keempat, Bapak Refly Harun, S.H., L.L.M. Kemudian yang kelima, Bapak Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M. Dan yang terakhir, Bapak Ronald Rofiandi dari PSHK sebagai Ahli juga, yang keenam. Baik, terima kasih. Itu kami dari Prinsipal, Kuasa Hukum, maupun Ahli yang akan memberikan keterangan. Terima kasih.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Dari presiden … Pemerintah yang mewakili presiden?
4.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah yang hadir saya sendiri, Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM, sebelah kiri saya Saudari Rulita dari Kementerian Hukum dan HAM, dan di belakang ada Saudara Jaya dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
1
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Dari DPR tidak hadir, ya? Baik. Pemohon dan Pemerintah, hari ini kita melanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli, ya. Di sini hadir enam orang Ahli, kalau didengar semuanya tidak mungkin. Jadi, kami mengambil kebijakan hanya mendengar tiga orang Ahli dulu hari ini, ya. Ya, terserah, tapi mungkin yang dari luar kota dulu, biar tidak dua kali ke sini dengan biaya dari Anggota DPD. Jadi, yang dari luar kota dulu, nanti yang di Jakarta masih bisa kita untuk sidang yang akan datang. Tapi semuanya diambil sumpah lebih dulu. Ya, ini Ahli yang sudah sangat terkenal semua di Mahkamah Konstitusi. Saya undang panggil ke depan, Dr. Maruarar Siahaan, Zainal Arifin Mochtar, Prof. Yuliandri, Saldi Isra, Refly Harun, dan Ronald Rofiandri, ya. Yang Kristen dulu.
6.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
7.
SELURUH AHLI BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
9.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
2
10.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
11.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
12.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan kembali ke tempat. Baik, terima kasih. Silakan dulu yang dari Sumatera Barat, Prof. Saldi, ya. Ada dua, habis itu ke Yogya, baru ke Sumbar lagi.
13.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Ketua dan Anggota Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Pemerintah, Para Ahli yang saya hormati, dan hadirin sekalian yang berbahagia. Izinkan saya sedikit berandai-andai, sekiranya dewan perwakilan rakyat dan presiden atau pemerintah memiliki komitmen dengan Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 92/PUU-X/2012, saya dan para Ahli yang lain serta DPD tidak akan perlu hadir kembali dalam persidangan Yang Mulia ini. Namun karena DPR dan pemerintah tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, kami kembali bersua dengan Mejelis Yang Mulia ini. Karena itu, saya hadir di mimbar ini tidak hanya sebatas memperjuangkan eksistensi DPD dalam proses legislasi, tidak juga sebatas memperjuangkan penguatan lembaga yang secara langsung mewakili kepentingan daerah, tetapi harus juga dipahami dan dipandang sebagai bagian dari upaya memperjuangkan dan menghidupkan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah diabaikan dan dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat oleh DPR dan presiden. Bagi saya, sebagian substansi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak saja mengabaikan Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, tetapi juga melecehkan salah satu substansi pokok Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Bagi saya ketika DPR dan presiden mengabaikan putusan MK, mereka secara sengaja melecehkan substansi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
3
menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya yang bersifat final. Sebagai salah seorang yang mendalami hukum tata negara, saya benar-benar khawatir dengan munculnya sejumlah kecenderungan yang secara langsung mengabaikan Putusan Mahkamah ini, sekiranya masalah ini tidak disikapi dengan tepat. Pengalaman yang terjadi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 akan kembali terulang atau jangan-jangan kejadian ini hanya merupakan puncak gunung es dari serangkaian pengabaian lain yang telah pula dilakukan sebelumnya. Mejelis Yang Saya Muliakan, bila dibaca secara tepat semangat yang ada dalam substansi … dalam substansi Putusan Nomor 92/PUUX/2012, hampir dapat dipastikan anggota DPD memiliki kesempatan yang luas mengoptimalkan peran mereka sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses pembentukan undang-undang. Paling tidak, optimalisasi fungsi legislasi DPD terkait dengan wewenang yang ada dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Tidak hanya sebatas meneguhkan peran DPD dalam proses legislasi, Putusan MK tersebut juga mendudukkan kembali bagaimana fungsi legislasi sesungguhnya berlangsung sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah perubahan. Secara sederhana, sekiranya keputusan Mahkamah Konstitusi dimaknai secara benar, fungsi legislasi yang akan hadir dan berlangsung dalam paradigma baru yaitu adanya relasi baru DPR, DPD, dan presiden akan berlangsung secara efektif sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam putusan dimaksud. Sebagai penafsir Konstitusi, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan maknai hakiki fungsi legislasi dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945. Ini paling tidak ada makna atau pesan eksplisit yang disebutkan dalam putusan ini bahwa dalam soal hubungan pembahasan rancangan undang-undang, DPR itu harus hadir dengan suara DPR dan tidak lagi melibatkan fraksi dalam pembahasan bersama. Karena itulah, makna yang sesungguhnya ada dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam pasal tersebut eksplisit disebutkan bahwa pembahasan bersama itu berlangsung antara presiden dengan DPR. Nah, kalau terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2), maka itu akan berlangsung dengan DPD. Tapi pengalaman selama ini, sejauh ini pembahasan itu dilakukan antara presiden atau pemerintah dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Oleh karena itu, dalam pemahaman saya dan itu juga yang dimaksud oleh putusan 92/PUU-X/2012 bahwa pembahasan itu harus antara DPR dengan presiden, artinya soal fraksi itu diselesaikan secara internal. DPR harus datang dengan DIM yang dimiliki oleh DPR, berhadapan dengan DIM yang dimiliki oleh presiden. Bagi sebagian kalangan yang tidak menerima putusan ini akan dengan mudah menilai bahwa MK kebablasan dalam mengabulkan permohonan DPD, namun 4
dari sudut teoretis, MK dapat memberikan tafsir atas wewenang legislasi DPD. Dalam hal ini, K. C. Wheare misalnya dalam bukunya Modern Constitutions menyatakan bahwa perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui tafsir kuasa yudisial atau judicial interpretation. Dengan cara ini, teks konstitusi tidak mengalami perubahan, namun hakim dapat memberikan tafsir baru. Dikaitkan dengan putusan, penafsiran MK hanya memperjelas fungsi legislasi DPD perihal frasa dapat mengajukan dan ikut membahas tersebut. Tidak hanya menjernihkan, Putusan MK mengembalikan fungsi legislasi sebagaimana dimaksud Pasal 22D. Karena akan mengubah pola yang telah berlangsung lama, banyak pihak berpendapat MK akan menghadirkan paradigma baru seperti yang disebutkan di atas. Dalam posisi demikian, saya berpandangan bahwa apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu akan menghasilkan paradigma baru yang disebut dengan pola pembahasan tripartit. Bahkan secara implisit, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun … Nomor 92/PUU-X/2012 itu juga menghendaki kalau menyangkut di luar Pasal 22D, maka pembahasan akan dilakukan dengan pola bipartit. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, mengapa Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dapat dihadirkan … dapat dikatakan menghadirkan paradigma baru legislasi? Salah satu alasannya, putusan bersejarah ini beranjak dari kerangka teori yang sangat kokoh dan demi kepentingan nasional yang lebih luas. Kita bisa melihat beberapa pandangan misalnya yang disebut oleh Lord Bryce, kemudian juga yang disebut dengan Giovanni Sartori, dan terakhir disebut oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, apa pentingnya sebuah negara yang menganut prinsip atau yang memakai pola lembaga perwakilan dua kamar? Agar ada perimbangan antara kamar satu dengan kamar yang lainnya, paling tidak ada proses check and balances yang bisa berlangsung. Nah, itu sebetulnya kalau mau mengulangi kembali apa makna hakiki yang tergantung … yang tertuang di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Saya memang sengaja melewati beberapa … beberapa bagian dan saya anggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Ada dua kritik sebetulnya, Majelis Hakim Yang Mulia, kalau orang menyebut menjaga keseimbangan fungsi legislasi antara satu kamar dengan kamar yang lain, antara … antara upper house dengan lower house, ada yang mengatakan konsep bikameral tidak dikenal dalam negara yang menganut unitary state atau negara kesatuan, tapi kajian kepustakaan yang dilakukan misalnya oleh Prof. Mahfud MD itu membuktikan bahwa anggapan bikameral hanya ada di negara-negara federal, itu tidak benar. Yang kedua, ada asumsi yang mengatakan kalau pembahasan sebuah rancangan undang-undang dilakukan oleh dua kamar, maka itu akan menghabiskan waktu dan itu bisa mempersulit penyelesaian 5
sebuah rancangan undang-undang. Kekhawatiran ini sebetulnya sudah diantisipasi. Misalnya di Amerika Serikat itu ada undang-undang tentang filibuster. Jadi, upaya menunda-nunda terhadap sebuah rancangan undang-undang yang dibahas itu, boleh dilakukan sepanjang tidak melebihi dari 1 bulan. Di Inggris misalnya, ada ketentuan bahwa penundaan hanya boleh dilakukan satu bulan untuk rancangan undangundang yang terkait dengan APBN atau RAPBN, sementara untuk undang-undang lain di luar itu paling lama dilakukan dalam waktu 1 tahun. Jadi, ada upaya mengantisipasi terhadap kemungkinan terjadinya dead lock itu. Jimly misalnya, menyebut untung … keuntungan yang bisa diraih dengan adanya dua kamar adalah ada double checks atau ada upaya kemungkinan melakukan pengecekan berlapis terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan. Kalau kita melacak misalnya perdebatan yang ada dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu sebetulnya yang paling penting adalah ada nuansa mau membawa atau memberi ruang kepada daerah untuk bisa terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dan alasan itu pulalah yang menghadirkan DPD. Nah, kalau alasan itu bisa diterima dan itu ada nyata disebut dalam risalah, mengapa kemudian fungsi legislasi DPD itu dibatasi sedemikian rupa? Dalam konteks itu, hadirin sekalian yang saya muliakan, saya menganggap bahwa apa yang dilakukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah upaya untuk menagih janji dalam pembahasan yang kemudian tereliminasi dalam Undang-Undang Susduk Tahun 2002 dan kemudian terkurangi juga dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun … 27 Tahun 2009, dan diulangi kembali dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014. Majelis Hakim yang saya muliakan, kalau dibaca sebetulnya permohonan yang diajukan oleh DPD, mereka hanya minta satu hal saja. Mereka meminta agar Majelis ini mengingat kembali putusan yang pernah dikeluarkan sekitar dua tahun atau lebih dari dua tahun yang silam, Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 sebab putusan itu membawa paradigma baru dalam fungsi legislasi yang itu menjadi hukum yang efektif, tiba-tiba dinegasikan kembali melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Saya kira ini permintaan yang sederhana dari DPD dan kalau itu dikabulkan, semua persoalan legislasi yang terkait dengan DPD mungkin tidak perlu ada keributan lain. Itu yang bisa saya sampaikan, terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. Selamat sore. 14.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih. Selanjutnya, saya persilakan, Dr. Zainal Arifin.
6
15.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat, Pihak DPR dan Pemerintah yang saya hormati, Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon yang saya hormati, hadirin sekalian yang juga saya hormati. Pada dasarnya, pengujian undang-undang ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah sebagai Pemohon, oleh karena sebagian besar aturan yang dirumuskan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau Undang-Undang MD3 khususnya yang menyangkut soal DPD, telah mengecilkan makna hakiki dari keberadaan DPD, baik oleh karena diatur oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai formal constitution, maupun telah dimaktubkan secara jelas dalam Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 sebagai bentuk constitutional adjudication, yang merupakan tafsiran peradilan MK atas konstitusionalitas norma. Apalagi menurut Pemohon, pembentukan Undang-Undang MD3 juga melakukan beberapa pelanggaran nyata secara formal, tata cara pembentukan perundang-undangan yang melengkapi proses tidak tepat pembentukan Undang-Undang MD3. Pendapat ini akan membedah tiga persoalan yang dikaitkan dengan apa yang akan disampaikan Pemohon dalam permohonannya. Pertama. Soal kaitan kualitas legislasi dan bikameralisme. Kedua. Constitusional importance. Penguatan DPD sebagai jawaban atas buruknya kualitas legislasi di Indonesia. Dan yang ketiga, pentingnya menjaga marwah lembaga parlemen dua kamar, baik DPR maupun DPD. Majelis Hakim yang Terhormat, dalam kapasitas saya sebagai Ahli, maka dengan ini saya memberikan keterangan sebagai berikut. Satu, konsep … dalam konsep negara hukum, kualitas pembuatan aturan menjadi salah satu sorotan yang paling penting. Dalam konsep principium individionis yang digagas oleh Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State, negara dapat dipostolis … dipostolasikan sebagai sebuah negara … sebuah realitas sosial yang fundamental jika dia memiliki esensi tatanan hukum nasional yang baik. Artinya eksistensi negara punya keterkaitan erat dengan aturan hukum yang terbangun di dalamnya, makanya semisal oleh Edward Doneland mengatakan bahwa kualitas legislasi punya keterkaitan dengan kemampuan membangun kepastian hukum dan menutup kemungkinan implementasi buruk yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tertib tatanan hukum nasional. Akan tetapi, kualitas legislasi tentu sangat ditentukan oleh begitu banyak faktor dan salah satu faktor yang sangat menentukan tentu saja adalah kualitas lembaga parlemen itu sendiri. Lembaga parlemen dua 7
kamar atau bikameral yang sehat ditentukan oleh pola relasi yang relatif seimbang antar kamar pertama dan kamar kedua. Hubungan yang kuat antar keduanya, tentu akan menguatkan proses legislasi. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di satu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan pengawasannya dapat diperiksa secara dua kali. Bahkan meminjam istilah James Rogers mengatakan bahwa kamar kedua seringkali dapat dianggap menjadi pelaku judicial review sesungguhnya bagi kualitas legislasi oleh kamar pertama. Faktor inilah yang hilang dalam konsep parlemen dua kamar kita saat ini dan inilah pula yang seringkali memberikan efek buruk yang sangat kuat pada kualitas legislasi di Indonesia. Oleh karenanya, hadirlah potensi maupun fakta keberadaan praktik-praktik koruptif dalam proses legislasi di Indonesia. Konsep yang diusung oleh model parlemen kita yang dua kamar (bikameralisme) adalah konsep representasi politik dan representasi ruang. DPR mewakili partai politik, sedangkan DPD merepresentasikan perorangan yang berbasis di daerah. Namun dalam proses legislasi, Undang-Undang MD3 telah memposisikan DPR menjadi kamar utama, sedangkan DPD menjadi kamar kecil. Keduanya sangat tidak berimbang. DPD kemudian menjadi lembaga perwakilan di sistem dua kamar, tetapi tidak memiliki kewenangan legislasi yang berarti. Struktur dan konstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah menggunakan istilah (suara tidak terdengar jelas), parlemen asimetrik dalam hal sistem pemilihan jumlah anggota wewenang masing-masing kamar, mekanisme pengambilan keputusan dan hubungan interkameral pada umumnya, termasuk menempatkan DPD menjadi pihak minoriotas dan terpinggirkan dalam proses legislasi. Akibatnya kelembagaan keterwakilan wilayah atau special representation yang seharusnya hadir dalam setiap undang-undang, baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya dapat meningkatkan watak keterwakilan daerah, malah yang terlihat adalah meningkatnya watak keterwakilan kepentingan politik. Padahal jamak kita ketahui, James Medison yang menjadi salah seorang creator penyusunan konstitusi Amerika, mempercayai keperluan adanya dua kamar ini untuk berisi orang-orang yang independent yang akan menjadi penyeimbang satu sama lain. Oleh karena secara teori menurut James Medison, representasi rakyat kebanyakan (common people) itu harus direpresentasikan atau digabung dengan secara check and balances dengan … dengan senat yang merupakan representasi orang-orang yang mapan. Di sinilah salah satu petaka legislasi bermuara. Model kamar yang tidak seimbang ini menjadikan DPR dapat bertindak sesuka hati, setengah hati, tidak berhati-hati, ataupun bahkan tanpa hati dalam 8
proses legislasi karena praktis dalam proses legislasi prapengesahan oleh presiden, DPR tidak mendapatkan penjagaan yang berarti. DPR tanpa check and balances secara intraparlemen. Majelis Hakim yang saya hormati, sesungguhnya mutu legislasi dapat diperbaiki melalui check and balances dengan kamar kedua, konspenya adalah two eyes better than one eye. Melalui mekanisme check and balances intraparlemen, diharapkan ada pengawalan subtantif atas pelaksanaan kewenangan DPR oleh DPD. Model representasi ruang ala DPD juga meniscayakan adanya keterlibatan representasi lain selain representasi politik yang diusung oleh DPR. Artinya, selain mengecil karena keterlibatan lebih banyak hanya representasi politik, undangundang yang diusung juga seringkali kehilangan penjagaan oleh kamar kedua, padahal kedua hal tersebut merupakan aspek yang penting dalam konsep legislasi yang melibatkan dua kamar. Konsep perwakilan dalam model legislasi yang mengecil karena hanya melibatkan lebih banyak partai politik dibanding representator daerah itu membuat legislasi menjadi makin menurun, padahal mafhum kita ketahui bahwa model rekruitmen partai politik lebih banyak menegakkan oligarki partai dibanding demokrasi partai. Karenanya, orang-orang yang terpilih belum tentu orang-orang yang benar-benar diinginkan oleh rakyat, tetapi lebih banyak merupakan orang-orang yang menduduki jabatan penting dalam organisasi partai ataupun orang-orang yang disenangi oleh elit partai ataupun orang-orang yang punya akses ke media dan sumber-sumber uang. Model parlemen yang memberikan model keterwakilan sangat kecil ini, diimbuhi dengan adanya sosok-sosok koruptif dan manipulatif semakin menepikan keterwakilan rakyat dalam proses legislasi. Ada dua hal biasanya jenis legislasi koruptif itu, pertama legislasi yang menjadi bagian dari penyuapan politik (political bribery), memberikan makna tersendiri terhadap undang-undang yang dibuat. Pesanan, titipan, dan permintaan mengiringi uang yang disetorkan kepada sosok nakal anggota DPR, telah membuat undang-undang seringkali menjadi cacat. Sekadar mengingatkan, Undang-Undang Bank Indonesia yang diiringi ... yang dibuat mengiringi sejumlah dana melalui aliran dana Bank Indonesia yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tipikor, memperlihatkan potret buruk legislasi koruptif. Uang memberikan pengaruh besar terhadap proses legislasi, inilah yang menyeret beberapa nama anggota DPR periode lama maupun periode yang dekat-dekat ini yang ditengarai terlibat dan menerima aliran dana demi pembuatan undang-undang yang lebih ramah pada pemesannya. Kedua yang lebih berbahaya lagi adalah dampak dari ramainya pengungkapan para anggota DPR yang terseret dari praktik koruptif dan penegakan hukum lainnya, maka model kedua dari legislasi koruptif seringkali berjalan yaitu memperlambat dan menghambat proses
9
undang-undang untuk penegakan hukum dan agenda hukum antikorupsi serta penguatan demokrasi. Bagi sosok nakal DPR yang telah terlibat tindakan koruptif, tentunya menjadi gampang untuk membuat ... untuk … menjadi gampang untuk membuat undang-undang yang menguatkan agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Penguatan hukum antikorupsi hanya akan membahayakan dirinya sebagai anggota DPR nakal yang bermain-main dengan uang panas tersebut. Karenanya, mereka kemudian melakukan berbagai upaya untuk menghambat proses Undang-Undang Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi, bahkan bisa jadi membuat undang-undang yang memiliki daya gedor yang rendah terhadap penegakan hukum dan khususnya penegakan hukum antikorupsi. Hal yang menarik dapat dilihat dari aturan Undang-Undang MD3 soal Mahkamah Kehormatan Dewan. Meskipun dapat dianggap sebagai sebuah terobosan menarik melihat proses persidangan atas pelanggaran etik, tetapi kewenangannya juga berkembang menjadi birokratisasi penegakan hukum, dimana pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana, harus mendapatkan persetujuan anggota ... harus mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Misalnya di Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang MD3, artinya hal ini akan menciptakan birokratisasi yang lebih rumit bagi proses penegakan hukum terhadap anggota dewan yang melakukan pelanggaran pidana. Jikalaupun ini dianggap terobosan untuk menjaga marwah dan martabat anggota parlemen, maka tentu menjadi sangat mengherankan oleh karena mengapa hanya disematkan kepada DPR soal adanya Mahkamah Kehormatan Dewan ini, tetapi tidak dibentuk pada pola yang sama terhadap DPD, sehingga mudah menduga bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan ini tidak ada kaitannya dengan penjagaan marwah dan martabat DPR kecuali untuk memperpanjang birokratisasi penegakan hukum bagi anggota ... anggota DPR. Begitu pula dengan undang-undang yang dapat menyokong demokrasi dengan peran serta publik yang lebih kuat, sangat mungkin mengancam peran partai politik, sehingga diupayakan untuk membangun dengan bangunan demokrasi yang lebih dekat dengan elit dibanding dekat dengan daulat rakyat. Buruk Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang Pilkada yang diributkan beberapa waktu lalu adalah contoh yang paling utama untuk melihat hal ini. Relasi antar-DPR dan DPD yang lebih baik juga seharusnya dibuat dalam kerangka melihat dan memperbandingkan derajat keterwakilan DPR dan DPD, mencermati pengaturan dan yang ada dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945, serta pelaksanaan kewenangan DPD oleh undang-undang pelaksananya, Stephen Sherlock memberikan penilaian yang cukup menarik bahwa DPD is quite unusual example of a chamber 10
... second chamber because it represents an odd combination of limited powers and high legitimacy. Apa yang dikatakan Stephen Sherlock sesungguhnya adalah DPD Indonesia adalah perbandingan yang sangat aneh yang tidak pernah dia temukan di dunia ... belahan dunia manapun, dimana DPD adalah percampuran antara tingginya legitimasi publik karena dipilih secara langsung dengan rendahnya kualitas kewenangan. Ini yang disebut oleh Stephen Sherlock bahwa dia tidak menemukan di belahan dunia manapun jenis DPD yang mencampurkan antara derajat keterwakilan yang sangat tinggi atau legitimasi keterpilihan yang sangat tinggi dengan kewenangan yang sangat rendah. Luar biasanya, MK sesungguhnya telah memberikan garis besar pemberdayaan dan penguatan fungsi-fungsi DPD dalam Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Pada garis besar tersebut, dilihat relasi DPR dan DPD bukanlah sub ordinat DPR, sehingga pelibatan pembahasan bersama adalah pembahasan yang komprehensif secara bermodel pembahasan tiga pihak secara keseluruhan walaupun tidak hingga tahapan persetujuan yang menurut MK menempatkan keterlibatan presiden dan DPR. Begitu juga keterlibatan DPD dalam proses legislasi nasional yang harusnya melibatkan secara program yang terencana maupun yang di luar prolegnas. Majelis Hakim yang saya hormati, akan tetapi Undang-Undang MD3 telah mereduksi putusan MK tersebut dan kembali melanggengkan proses yang tidak berimbang antara DPRD dan DPD, sehingga proses tak berimbang ini akan terus melanggengkan proses legislatif koruptif seperti yang saya contohkan di atas karena tidak adanya proses pengawasan yang berarti, bersifat intraparlemen, dan karenanya menarik untuk melihat dalam kerangka tindakan DPR ini merupakan perbuatan melawan hukum. Produk hukum tentu saja dapat dimaknai tiga hal, regeling, beschikking, dan vonis. Putusan MK sebagai vonis, apalagi MK sebagai penafsir konstitusi, dianggap mengikat dan harus dijalankan sebagai bagian dari proses putusan MK, maka tentunya tindakan DPR dan pemerintah yang telah melakukan pembangkangan yang nyata terhadap proses negara … terhadap konsep negara hukum yaitu yang memberikan kepada MK kewenangan untuk membangun koridor yang seharusnya dipegang oleh lembaga negara lain sebagai bagian dari tertib hukum dalam konsep negara hukum. Atas keseluruhan hal yang dinyatakan di atas, maka penting untuk kembali saya tegaskan. Pertama, secara teoretis memang sangat diperlukan adanya penguatan DPD, khususnya untuk kemudian mereduksi pasal-pasal dalam Undang-Undang MD3 yang telah menepikan penguatan DPD tersebut. Kedua, adanya praktik buruk kualitas legislasi yang memang dapat dikaitkan dengan tidak berfungsinya kontrol dua kamar dalam model parlemen bikameral, termasuk adanya untuk … upaya untuk 11
menghambat penegakan hukum melalui Undang-Undang MD3. Ketiga, perlu untuk melihat adanya kemungkinan mengkaji soal perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh DPR dan pemerintah dengan menegasikan putusan MK yang sudah lewat untuk hal-hal yang kemudian dimohonkan kembali oleh DPD. Sekian pendapat hukum ini, semoga dapat menambah keterangan yang diperlukan dalam perkara ini. Terima kasih, assalamualaikum wr.wb. Salam sejahtera. 16.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Silakan selanjutnya, Prof. Yuliandri.
17.
AHLI DARI PEMOHON: YULIANDRI Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, kuasa Pemohon, pemerintah, DPR, dan hadirin sekalian yang saya hormati. Assalamualaikum wr.wb. Pertama, saya ucapkan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan keterangan sebagai Ahli di hadapan sidang Pleno Mahkamah ini, terutama dalam kaitannya dengan pemeriksaan perkara permohonan, pengujian UndangUndang Nomor 17 Tahun 2004 tentang MD3, dimana salah satu pokok permohonan yang diajukan adalah pengujian secara formal. Sekalipun permohonan ini tidak semata-mata terkait pengujian formal melainkan juga pengujian materiil, namun Ahli hanya akan fokus untuk menerangkan tentang pengujian formal undang-undang, terutama yang menyangkut hakikat pengujian formal, urgensi dari naskah akademik, kemudian keberadaan dari daftar isian masalah dalam penyusunan, serta tindak lanjut dari delegasi pengaturan lebih lanjut dengan undangundang atau kepada undang-undang. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang legislasi, masalah tata cara atau prosedur terkadang dinilai sebagai suatu yang tidak penting-penting amat atau cenderung diabaikan. Sebagian penyelenggara negara dipengaruhi oleh pola pikir seperti, “Kan, cuma tata cara, yang penting hasilnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Sepanjang substansi dinilai tidak bermasalah, soal tata cara dianggap selesai, tidak perlu dipersoalkan sebab akan menjadi formal dalam pembentukan undang-undang dan dianggap sesuatu yang sepele. Apabila cara berpikir seperti itu yang digunakan, tentunya segala sesuatu yang menyangkut tata cara pembentukan undang-undang tidak perlu diatur lagi. Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak perlu lagi memberikan delegasi kepada undang-undang untuk mengatur tata cara pembentukan undang-undang. Cukuplah undang-undang ini dinilai 12
secara substansi tanpa harus dilihat dan diperiksa lagi apakah prosedur pembentukannya telah atau belum sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang tentang pembentukan undang-undang. Nyatanya, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi negara melalui Pasal 22A menganggap penting untuk mengatur tata cara pembentukan undang-undang dimana pengaturan tata cara tersebut didelegasikan kepada undang-undang untuk mengaturnya. Dengan demikian, tata cara pembentukan undang-undang bukanlah suatu yang keberadaannya sama saja di antara ada dan tiada, melainkan kehadirannya memiliki urgensi konstitusional. Oleh karena itu, mengikuti tata cara pembentukan undangundang sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menjadi suatu kewajiban yang mesti dipatuhi oleh pembentuk undang-undang. Berangkat dari urgensi konstitusional tersebut, mentaati atau menaati tata cara pembentukan undang-undang tentunya sebuah undang-undang yang pembentukannya yang tidak mengikuti tata cara pembentukan undang-undang, tidak dapat dikatakan konstitusional. Setidak-tidaknya penilaian atas konstitusionalitas substansi sebuah undang-undang, baru dapat dilakukan apabila pertanyaan terkait konstitusional tata cara pembentukannya terjawab terlebih dahulu. Artinya, penilaian terhadap konstitusional sebuah undang-undang haruslah didahului dengan penilaian konstitusionalitas dari pembentukannya sebab bagaimana mungkin substansi sebuah undangundang dapat dikatakan konstitusional sementara tata cara pembentuknya tidak mengikuti tata cara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diturunkan melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun … Tahun 2011. Kepatuhan terhadap tata cara pembentukan undang-undang juga dapat didekati dengan … dari penerapan prinsip atau konsep negara hukum Indonesia, dimana salah satu tujuan negara hukum adalah meniadakan absolutisme kekuasaan negara. Dalam wujud konkret atau dalam wujud yang lebih konkret, wajah negara hukum dilukiskan dalam bentuk bahwa setiap tindakan penyelenggaraan negara didasarkan pada hukum. Sekalipun penyelenggara negara diberikan sejumlah kekuasaan atau kewenangan, namun kewenangan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Dalam konteks itulah kepatuhan dalam penyelenggaraan … dalam menyelenggarakan kekuasaan tidak saja dinilai dari segi pencapaian tujuan dari pemberian kekuasaan, melainkan juga apakah kekuasaan tersebut telah dijalankan menurut tata cara yang ditentukan atau tidak. Hal yang sama berlaku dalam konteks pembentukan undang-undang, dimana kepatuhan pembentuk undang-undang tidak saja dinilai dari sisi materi muatan yang dimuat dalam undang-undang sesuai atau tidak 13
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, melainkan juga dinilai apakah tata cara pelaksanaan kekuasaan pembentukan undang-undang itu telah dijalankan atau tidak. Hal ini menjadi pertanyaan, kenapa? Pertama adalah keberadaan tata cara atau prosedur merupakan salah satu jalan untuk mengontrol agar kekuasaan pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan juga oleh Presiden tidak disalahgunakan, tidak mematuhi prosedur yang ditentukan menyebabkan kontrol publik atas pembentukan undangundang akan menjadi nihil. Pada saat bersamaan, juga membuka ruang untuk hadirnya undang-undang yang elitis dan merugikan kepentingan publik. Harus dipahami bahwa tidak semua materi muatan undangundang memiliki alat ukur yang jelas dan tegas berdasarkan norma yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebab sebagian materi muatan undang-undang sepenuhnya menjadi open legal policy dari pembentuk undang-undang. Pada ranah ini, penyalahgunaan kekuasaan pembentuk undang-undang terbuka lebar. Kalaupun dilakukan pengujian secara materiil, tentunya pengadilan atau Mahkamah misalnya, akan memberikan penilaian bahwa norma tersebut adalah konstitusional. Untuk mengontrol potensi penyalahgunaan tersebut, maka alat yang dapat dipergunakan adalah kepatuhan pembentuk undang-undang terhadap tata cara pembentukan undangundang yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kedua, prosedur atau tata cara dapat dijadikan indikator untuk menilai semangat atau motif apa yang ada di balik perumusan sebuah norma. Secara kasat mata, substansi yang dimuat dalam undang-undang bisa saja dinilai tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena yang diatur di dalamnya adalah merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang. Namun, sebuah norma sangat mungkin lahir dari sebuah moral hazard. Dalam konteks itu, pengujian secara formal sebetulnya harus menyentuh ranah semangat pembentuk undang-undang ketika melahirkan norma undang-undang. Pada saat sebuah undang-undang dibentuk secara bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang mesti diwaspadai dan dinilai lebih jauh oleh pengadilan adalah menjaga agar undangundang tidak lahir dari sebuah maksud yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Ketiga, proses dan hasil pembentukan undang-undang bukanlah dua hal yang terpisah. Sekalipun keduanya dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat diletakkan secara dikotomi. Proses sangat menentukan hasil. Oleh karena itu, proseslah lebih dahulu yang harus dinilai, baru kemudian hasilnya. Jika proses formal bermasalah secara konstitusional, maka penilaian terhadap substansi materiil belum dapat dilakukan.
14
Dalam konteks itu pembentukan undang-undang dapat saja menghasilkan beberapa kemungkinan, misalnya: 1. Pembentukan undang-undang mengikuti tata cara yang benar. Substansinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 2. Pembentukan undang-undang mengikuti tata cara yang benar, substansinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 3. Pembentukan undang-undang tidak memiliki tata cara, sementara substansinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 4. Pembentukan undang-undang tidak mengikuti tata cara, sementara substansinya juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Kemungkinan pertama dan kedua, itu berada pada ranah substansi atau materi, dimana proses pengujian undang-undang hanya dinilai apakah normanya sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada ranah ini, penilaian terhadap formalitas sudah dianggap selesai, sedangkan kemungkinan ketiga dan keempat substansi undang-undang tidak dapat dinilai secara … sebelum suatu formalitas diselesaikan terlebih dahulu, penilaian substansi baru dapat dilakukan jika penilaian terhadap prosedur pembentukan menyimpulkan bahwa pembentukan suatu undang-undang telah selesai … telah sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika tidak, bagaimana mungkin substansi sebuah undang-undang dapat dinilai kostitusionalitasnya, sementara tata cara pembentukannya justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim yang saya muliakan, selanjutnya yang kedua, berkaitan dengan naskah akademik. Keberadaan naskah akademik dalam pembentukan undang-undang adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah atau sebuah tawaran solusi masalah berupa norma yang dimasukkan ke dalam undang-undang. Naskah akademik ditempatkan sebagai alas ilmiah dari sebuah keputusan politik yang akan diambil, menyangkut solusi tertentu terhadap persoalan atau kebutuhan hukum dari masyarakat. Dengan adanya naskah akademik, solusi berupa norma tidak semata-mata didasarkan pada pilihan kebijakan politik secara buta oleh para politisi di lembaga perwakilan, melainkan juga didasarkan pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga sebuah norma akan dibentuk betul-betul mampu menjawab permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam penyusunan undang-undang Pasal 43 ayat (3) dari Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan, “Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, presiden, atau DPD harus disertai dengan naskah akademik.” 15
Keharusan sebuah rancangan undang-undang disertai naskah merupakan kewajiban prosedur yang mesti dipatuhi presiden, DPR, dan DPD dalam mengajukan rancang undang-undang dimana keharusan menyertakan naskah akademik dimaksud merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang merupakan tun … turunan dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, ketiadaan naskah akademik menyebabkan proses penyusunan undang-undang akan mengalam … akan mengalami cacat formil. Soal apakah sebagian materi yang termuat dalam naskah akademik tidak dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang atau tidak, atau misalnya tidak bersumber dari naskah akademik, tidak menjadi persoalan utama. Hal yang terpenting adalah sebuah undangundang harus dibentuk atas susunan … atau disusun berdasarkan kajian ilmiah yang tertuang dalam naskah akademik dari suatu rancangan undang-undang itu sendiri. Mengapa demikian? Sebagai telah disinggung sebelumnya, undang-undang sebagai suatu kebijakan publik dalam sebuah negara hukum harus dapat dipertanggungjawabkan sebagai kebijakan atau secara keilmuan, terutama prinsip-prinsip dasar dari masalah yang akan diatur dalam undang-undang. Naskah akademik tentunya memuat prinsip-prinsip dasar dari norma yang akan dituang dalam undangundang. Prinsip itulah yang sebetulnya yang harus dipedomani ketika kita membuat … menyusun atau membuat undang-undang. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, sebagai turunan dari Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mengatur tentang proses pembahasan rancangan undang-undang yang mesti dilakukan dalam dua tingkat pembahasan, dimana pada masing-masing tingkatan terdapat rangkaian kegiatan pembahasan yang mesti dilakukan. Khusus untuk pembahasan atau pembicaraan tingkat 1, salah satu kegiatan yang dilakukan di dalamnya adalah membahas Daftar Isian Masalah, dimana DIM dilakukan setelah penyampaian pengantar musyawarah dan sebelum penyampaian pendapat mini. Pembahasan DIM merupakan substansi dari keseluruhan kegiatan pembicaraan tingkat 1. Dalam pembahasan DIM itulah terjadi kegiatan pembahasan rancangan undang-undang. Di dalam pembahasan DIM akan muncul perbedaan pendapat dan kesepakatan-kesepakatan terkait norma yang akan ditetapkan. Oleh karena itu, tanpa membahas DIM, kegiatan penyusunan undang-undang pada level pembicaraan tingkat 1 tidak dapat dikatakan telah dilakukan. Dalam arti, tidak ada penyusunan undang-undang tanpa adanya kegiatan pembahasan DIM. Apabila penyusunan sebuah rancang undang-undang dilakukan tanpa melakukan kegiatan membahas DIM, maka secara formal
16
penyusunan rancang undang-undang tersebut telah mengalami suatu kecatatan … kecacatan, maksudnya. Oleh karena itu, undang-undang tersebut dapat dipersoalkan formalitas pembentukannya. Termasuk dalam perkara pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini, apabila proses penyusunan tidak disertai dengan adanya kegiatan membahas DIM, maka keberadaan undang-undang tersebut mengalami cacat secara formal dan pembentukannya harus dinyatakan tidak memenuhi ketentuan dari pembentukan undangundang berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim yang saya muliakan, salah satu persoalan fomalitas pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 adalah juga yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah terkait keikutsertaan DPD di dalam membahas rancang undang-undang sebab salah satu materi yang dimuat dalam rancang undang-undang adalah tentang DPRD, dimana DPRD merupakan bagian dari institusi pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai bagian dari rezim pemerintahan daerah, DPRD adalah bagian dari institusi negara yang menyelenggarakan pemerintahan daerah otonom. Dengan demikian, pengaturan terkait DPRD adalah merupakan pengaturan terkait materi yang berhubungan dengan otonomi daerah. Tidak satu pun alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pengaturan terkait DPD … DPRD tidak berhubungan atau berkaitan dengan otonomi daerah. Sesuai dengan Pasal 22D ayat (2) Undang-Udang Dasar Tahun 1945, DPD atau maksudnya Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancang undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya. Oleh karena itu, seharusnya DPD juga terlibat dalam pembahasan tingkat 1 dengan ikut menyusun dan membahas DIM rancang undangundang. Itu yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Ketidakikutsertaan DPD dalam pembahasan rancang undangundang yang di dalamnya terdapat materi yang berkaitan dengan otonomi daerah dapat dinilai sebagai cacat prosedur pembentuk undangundang sebab peran DPD dalam membahas rancang undang-undang berkaitan dengan otonomi daerah yang dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan menggunakan ketentuan Pasal 22D ayat (2), sulit mencari argumentasi untuk menyatakan bahwa ketidakikutsertaan DPD dalam membahas rancang undang-undang yang materi muatannya berkaitan (suara tidak terdengar jelas) adalah konstitusional. Apabila ketidakikutsertaan DPD dalam membahas rancang undang-undang yang materinya berhubungan dengan otonomi daerah tetap dianggap konstitusional, lalu di mana letak norma dari Pasal 22D tersebut? 17
Oleh karena itu, tidak ada alasan sebetulnya untuk membenarkan atau menganggap proses pembentukan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah namun tidak melibatkan DPD dalam pembahasannya, dapat dikatakan sebagai konstitusional. Apabila benar dalam pembahasan rancangan undang-undang yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini DPD tidak diikutsertakan, maka secara tegas Mahkamah harus menyatakan bahwa pembentukan undang-undang tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim yang saya muliakan, sebagai bagian dari rezim pemilihan daerah, seharusnya pengaturan tentang DPRD tidak disatukan dengan pengaturan tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Ketika digabungkan, maka akan ada konsekuensi keikutsertaan DPD dalam pembahasannya. Selain itu, jika hendak mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan DPD dalam proses pembahasan RUU terkait MPR, DPR, DPRD, dan DPD, maka pengaturan DPD harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan demikian, keikutsertaan DPD akan terlokalisir atau pada Undang-Undang DPRD semata. Hanya saja ketika materi muatan DPRD digabungkan dengan materi muatan UndangUndang MD3, maka konsekuensi logisnya DPD wajib diikutsertakan dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut, sekalipun DPD hanya terlibat dalam membahas materi terkait DPRD saja. Lalu apakah pengaturan DPRD dapat atau mesti dipisahkan dari pengaturan MD3 … maksud saya MPR, DPR, DPRD, dan DPD? Menjawab pertanyaan ini, tentu delegasi pengaturan tentang MD3 dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 mesti dilacak lebih jauh. Delegasi pengaturan lebih lanjut tentang MPR ditemukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, sedangkan delegasi pengaturan DPR diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut. Susunan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) diatur dengan undangundang. Adapun delegasi pengaturan DPD dinyatakan dalam Pasal 22C ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Seluruh norma pendelegasian pengaturan MPR, DPR, DPRD, dan DPD tersebut dirumuskan dengan menggunakan frasa diatur dengan undang-undang. Mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada, penggunaan frasa diatur dengan memiliki implikasi hukum terhadap keharusan untuk mengatur masalah tersebut dengan undang-undang tersendiri. Artinya pengaturan MPR mesti dimuat dalam undang-undang tersendiri yang terpisah dari undang-undang, terkait DPR maupun DPD, begitu pula
18
sebaliknya. Selain itu, masing-masing norma delegasi pengaturan tersebut merupakan norma yang terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, masing-masingnya juga mesti dipahami secara terpisah dan tidak dapat dibaca dalam satu tarikan napas sebab rumusan norma yang dibaca atau ditafsirkan dalam satu tarikan napas adalah norma yang terdapat dalam satu pasal atau dalam satu rumusan kalimat, dalam satu ayat atau dalam pasal, dalam peraturan perundangundangan, artinya dibaca dalam satu tarikan napas adalah memahami norma dengan menggunakan penafsiran menurut arti kata atau istilah yang merujuk kepada makna teks yang ada dalam kaidah hukum yang dinyatakan, sementara jika norma tersebut telah diatur dalam bab yang berbeda satu sama lain dengan materi muatan yang berbeda, maka membacanya tidak dapat dikatakan dalam satu tarikan napas. Hal yang sama tentunya juga berlaku terhadap norma yang bersifat delegasi terkait pengaturan MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang diatur dalam bab yang terpisah dari materi muatan yang juga berbeda satu sama lain. Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan, sebelum mengakhiri keterangan ini, Ahli ingin menekankan bahwa sekalipun alat ukur melakukan pengujian secara formal adalah Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang dalam pengujian secara formal. Menguji undangundang dengan menggunakan undang-undang memang tidak dapat dibenarkan sepanjang itu menyangkut substansi dari undang-undang. Adapun terkait tata cara pembentukan, maka alat ukur untuk mengujinya adalah undang-undang, sebab Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sama sekali tidak mengatur secara detail bagaimana tata cara pembentukan undang-undang, melainkan hanya mendelegasikannya kepada undang-undang. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa yang dimaksud dengan tata cara pembentukan undang-undang menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian, menjadi keharusan bagi Mahkamah untuk menjadikan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai dasar untuk menilai keabsahan dari tata cara pembentukan undang-undang. Lagi pula, hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 51A ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan, dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana ketentuan tersebut merupakan
19
hukum acara pengujian undang-undang yang tidak dapat dikesampingkan oleh Mahkamah. Demikian keterangan ini, semoga membantu atau dapat membantu Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat untuk memeriksa dan memutus pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini. Sekian, terima kasih, banyak maaf, wa billahi taufik wal hidayah, assalamualaikum wr. wb. 18.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, kita masih ada waktu sedikit walaupun tadi sudah hanya tiga, tapi saya tambah satu lagi yang paling senior, Pak Maruarar. Silakan.
19.
AHLI DARI PEMOHON: MARUARAR SIAHAAN Pak Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang kami hormati, Para Pemohon dari DPD dan Pemerintah, dan peserta sidang yang kami muliakan. Pertama-tama sebelum saya bacakan keterangan saya yang rada bertele-tele, saya akan membaca bagian-bagian yang saya anggap relevan saja. Tapi saya ingin fokus kepada Putusan MK, karakteristiknya, kemudian akibat hukum yang timbul daripadanya, serta kewajiban apa yang muncul dari putusan final dari Mahkamah Konstitusi. Sebelum sampai kepada hal tersebut, saya ingin juga mengantar pemikiran saya bahwa sebenarnya pembahasan dua undang-undang yang dilakukan dengan cara yang tergesa-gesa dan dipaksakan pada detik-detik akhir masa jabatan DPR, sebenarnya menunjukkan satu hal yang tidak tepat, inkonsisten, dan tidak taat asas baik formil maupun materiil. Proses pembentukan yang berlangsung tidak menunjukkan rujukan kepada kerangka acuan negara hukum dan konstitusionalisme dimana Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari tafsir konstitusi, sehingga oleh karenanya terjadi kegagalan dalam mewujudkan prinsip-prinsip konstitusi. Materi muatan konstitusi yang antara lain mengatur tentang organ atau lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu dengan yang lain yang dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikatakan diatur lebih lanjut dalam undang-undang, telah diatur pula dalam Undang-Undang MD3 yang saat ini diuji. Tampaknya tidak mengacu kepada prinsip konstitusi tentang kesetaraan, sehingga keluarannya menjadi terpusat pada politik kekuasaan. Sesungguhnya etika pemerintahan dalam negara demokrasi menghendaki bahwa ketika siklus pemerintahan lima tahunan telah sampai dan anggota DPR serta pemerintahan baru sudah terpilih, tidaklah tepat untuk memaksakan penyelesaian suatu kebijakan mendasar meskipun prosesnya sudah dimulai dan sedang berlangsung. Perubahan yang terjadi sebagaimana tergambar dari hasil pemilihan 20
umum menunjukkan kehendak rakyat yang harus diwujudkan oleh wakilwakil yang terpilih tentang kebijakan-kebijakan publik dan politik hukum yang baru. Oleh karenanya pada masa transisi seperti itu, etika pemerintahan yang memberi jalan pada perubahan menjadi bagian dari prinsip konstitusi dan demokrasi Pancasila, serta menjadi bagian daripada moralitas konstitusi kita. Seharusnya menjadi pertimbangan mendasar dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Selanjutnya saya bacakan beberapa bagian dari Putusan MK itu. Bahwa Putusan MK yang mengabulkan permohonan sudah semua kita ketahui bersifat final, sehingga merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dengan menyatakan pasal, ayat, dan bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat terhitung sejak tanggal diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil Mahkamah Konstitusi dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun bersifat sementara yang kemudian akan diambilalih oleh pembuat undang-undang. Putusan MK yang demikian dalam kenyataan telah mengubah hukum yang berlaku dan menyatakan lahirnya hukum yang baru dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai materi muatan undang-undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai hukum. Dalam kenyataan, putusan tersebut sesungguhnya memberikan bentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan oleh konstitusi, secara khusus MK diberi wewenang untuk itu. Saya tidak usah lagi membacakan Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dalam amarnya yang sesungguhnya semua kita sudah mengetahui ini. Tetapi saya akan berlanjut bahwa kebijakan hukum yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang yang oleh MK ditemukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, harus dikesampingkan dan digantikan oleh kebijakan hukum yang baru yang dirumuskan oleh MK dalam putusannya. Dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan oleh Putusan MK sebagaimana diutarakan di atas, maka meskipun hanya bersifat deklarator, putusan MK dalam Perkara Pengujian UndangUndang juga memiliki sifat konstitutif. Artinya Putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Hal ini membawa keharusan bagi adressat Putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ataupun meniadakan norma hukum yang lama dalam ketentuan undang-undang yang saat ini diuji. Putusan Hakim Konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum, baik terhadap warga negara maupun lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Akibatnya, semua 21
organ atau lembaga negara terikat pada putusan tersebut. Putusan yang final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum menyebabkan materi muatan pasal, ayat, atau bagian undang-undang, ataupun bagian undangundang secara keseluruhan, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal itu membawa implikasi atau akibat hukum yang sama dengan di undang-undangnya … diundangkannya satu undang-undang yaitu bersifat erga omnes. Di dalam implementasi putusan MK, beberapa perbedaan paham antara MK dengan pemerintah maupun DPR, beberapa kali terjadi dan saya akan mengutip salah satu putusan MK yang menyatakan sikap terhadap DPR maupun pemerintah yang tidak melaksanakan putusan MK sebagai berikut. Telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menilai adanya kesengajaan pembentuk undang-undang melanggar Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Keadaan demikian jika dibiarkan, di satu pihak akan berdampak pada berkembangnya sikap menisbikan kewajiban untuk menghormati dan menaati Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi dalam negara hukum dan di lain pihak, sikap tersebut sekaligus merupakan stimulasi atau dorongan pula bagi daerahdaerah untuk tidak menaati dan menghormati Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kebijakan (policy) yang dirumuskan oleh hakim dalam putusan MK sebagai pengawasan terhadap produk legislasi yang dibentuk pembuat undang-undang merupakan hasil yang tersusun secara dialektis antara dalil pembentuk undang-undang dengan dalil Pemohon pengujian. Putusan MK dalam pengujian undang-undang yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat merupakan satu kebijakan hukum yang baru yang menjadi politik hukum yang dapat membawa dampak luas bagi lembaga negara, masyarakat, dan negara. Sebagai judicial policy yang menjadi politik hukum baru, putusan MK tersebut kadang-kadang tidak terlaksana dengan sendirinya (nonself implementing). Dapat dipahami bahwa implementasi satu putusan yang mengandung kebijakan baru dengan menganulir kebijakan yang dirumuskan pembuat undang-undang, kadang-kadang mengalami proses yang tidak selalu mudah. Tampaknya terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan hal ini. Di satu sisi, pemimpin pemerintahan tidak mampu mengendalikan seluruh jajaran pemerintahan untuk menerima perintah Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang menjadi sikap dan kesadaran seluruh organisasi negara. Dan di sisi lain, dapat terjadi karena tidak ada yang memiliki otoritas, memiliki … memaksakan kebijakan yang bersumber dari Konstitusi. Kesulitan dan kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah dan DPR untuk mematuhi putusan MK, tampaknya 22
membuat pemerintah di bawah pimpinan presiden yang dipilih rakyat seolah-olah secara langsung mengambil risiko hilangnya dukungan rakyat di dalam pemilihan umum. Saya lalui saja ini. Adressat putusan MK yang tidak senang atau tidak setuju putusan, mempunyai empat pilihan menghadapi putusan MK. Pertama, dapat mematuhi putusan tersebut dengan menerima secara sukarela dan melaksanakannya. Kedua, dapat mengabaikan putusan MK dan berharap lembaga lain saja yang melaksanakan, sehingga putusan MK tidak efektif. Ketiga, mencoba membatalkan putusan melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dan keempat yang paling ekstrim adalah dengan menyerang balik Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga dengan berupaya mengurangi wewenang atau kekuasaan efektifnya. Saya kira, Tom Ginsburg memberikan studi tentang itu … tentang Mahkamah Konstitusi di Asia. Konstitusi sebagai hukum tertinggi di dalam negara hukum, dalam kenyataan yang buruk, sering tidak dipatuhi para pejabat lembaga tinggi negara yang sesungguhnya harus menjadi panutan dalam … dan keteladanan yang diberikan kepada seluruh masyarakat dalam mengembangkan dan membangun kultur konstitusi yang memberi ruang bagi kehidupan bernegara yang sehat. Penelitian yang dilakukan dan pengalaman yang terlihat bagi kita, sesungguhnya memberi suatu bukti yang konkret atas kesan yang timbul di masyarakat, bagaimana pedang hukum tersebut tajam ke bawah, tumpul ke atas? Putusan-putusan MK yang merupakan bagian proses dan mekanisme check and balances dalam bidang legislasi yang menurut Konstitusi merupakan putusan yang final and binding. Dengan demikian, mengikat lembaga negara dan harus diimplementasikan dengan sengaja tidak dipatuhi, bahkan dengan gaya sebagaimana dikatakan Ginsburg merupakan perlawanan balik (strike back) dengan cara yang amat kasar yaitu mengundangkan kembali norma-norma yang telah ditegaskan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal demikian merupakan pelanggaran Konstitusi yang dilakukan secara terang-terangan dan merupakan pelanggaran sumpah jabatan, dan juga merupakan contempt of court. Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden, dan anggota serta pimpinan DPR mengangkat sumpah memegang teguh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, sehingga dengan sifat final and binding, Putusan MK dalam judicial review apabila pembentuk undang-undang tidak melaksanakannya, bahkan menggunakan norma yang dinyatakan inkonstitusional, hal itu juga merupakan pelanggaran sumpah jabatan. Apakah juga tidak termasuk perbuatan yang dapat diancam dengan hukum pidana ketika terjadi sikap pembuat undang-undang yang 23
inkonstitusional demikian, ketika seorang saksi memberi keterangan di hadapan pengadilan di bawah sumpah bahwa dia akan menerangkan yang benar dan tidak lain daripada yang benar, ternyata saksi tersebut tidak memberi keterangan yang benar, maka ketika ternyata keterangan yang diberikan bertentangan dengan kebenaran yang dijanjikannya, tersedia ancaman dengan pidana 7 tahun penjara dan apabila keterangan tersebut diberikan dalam perkara pidana, saksi tersebut diancam dengan pidana 9 tahun penjara. Apakah tidak ada suatu sanksi paralel atas sikap pembuat undang-undang yang inkontitusional demikian? Perbuatan pembuat undang-undang demikian, jauh lebih dari sumpah palsu seorang saksi di pengadilan karena akibat yang timbul dari kesaksian palsu yang diberikan di pengadilan mengandung dampak atau ruang lingkup secara individual yang jauh lebih terbatas dibanding dengan pengundangan kembali norma yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan mengulang kembali pertimbangan Putusan MK Nomor 13 Tahun 2008 yang merumuskan perbuatan pembuat undang-undang seperti yang disebutkan di atas, kami ulang kembali kutipannya, cukup alasan bagi Mahkamah untuk menilai kesengajaan pembentuk undangundang melanggar Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Keadaan demikian jika dibiarkan di satu pihak akan berdampak pada berkembangnya sikap menisbikan kewajiban untuk menghormati dan menaati Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi dalam negara hukum. Oleh karena itu, penisbian kewajiban untuk menghormati dan menaati Undang-Undang Dasar Tahun 1945 demikian, dengan sengaja merupakan pengurangan terhadap makna bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagai … sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan bahkan disadari atau tidak merupakan delegitimasi terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi. Delegitimasi konstitusi seperti yang terjadi dalam tindakan yang dengan sengaja dilakukan pembuat undang-undang merupakan hal yang tidak ditolerir karena dapat menimbulkan krisis dalam kehidupan konstitusi dan berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara. Dengan menutup keterangan saya dengan mengesampingkan bagian yang lain, saya menyudahi keterangan ini dengan ucapan terima kasih dengan Majelis Hakim. Terima kasih. 20.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih, luar biasa ini semangat Pak Maru. Ada pertanyaan dari Pemohon untuk Ahli?
24
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Baik, Yang Mulia. Sebelum kami melanjutkan ke beberapa pertanyaan yang memang kami perlukan dalam rangka pendalaman, kami ingin menyampaikan 1 bukti tambahan yaitu bukti P-19, bukti ini merupakan nota dinas dari Kepala Bagian Risalah Kesekretariat Jenderal DPR-RI tentang penyampaian dokumentasi proses pembahasan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 atau Undang-Undang MD3. Yang Mulia, 1 bukti ini yang kami cari yang ingin kami dapatkan langsung dari pemerintah atau dari DPR, tetapi hanya melalui surat sudah sampai ke kami dan sudah kami pelajari. Dan kemudian (…)
22.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Buktinya ada sekarang?
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Sudah ada di sini, nanti akan kami sampaikan.
24.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, Petugas, langsung ambil dulu. Ya, silakan lanjut.
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Kemudian yang kedua, sebelum lagi pertanyaan, dalam sidang pendahuluan kami meminta untuk Ketua DPD menyampaikan opening statement, sampai dengan hari ini belum terkabulkan dan persidangan terus berjalan. Seandainya, Yang Mulia, dimohonkan nanti sebelum sidang terakhir penyampaian kesimpulan, kami minta untuk adanya closing statement. Ini dalam rangka standing kelembagaan untuk ketatanegaraan kita yang lebih baik, itu, Yang Mulia. Baik (…)
26.
KETUA: HAMDAN ZOELVA saja.
27.
Untuk yang kedua nanti terakhir sajalah, ya? Di sidang terakhir
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Baik, terima kasih atas pengabulannya. Yang Mulia, ada beberapa hal yang kami mulai dulu ada 2 yang akan kami sampaikan konfirmasi, berdasarkan bukti yang sudah tadi kami sampaikan ini kepada Bapak 25
Maruarar dan kepada Prof. Saldi, kami menemukan bahwa naskah akademik yang disusun dalam proses pembahasan ini adalah naskah akademik tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD bukan naskah akademik tentang UndangUndang MPR, DPR, dan DPRD sebagaimana kemudian diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Kemudian yang kedua, daftar inventarisasi masalah. Itu juga DIM dari pemerintah tentang perubahan undang-undang … maaf … tentang rancangan undang-undang tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, bukan DIM atas rancangan undangundang tentang MD3. Nah, pertanyaan kami adalah dalam hal ini, apakah sudah terjadi yang namanya proses pembahasan? Apakah kemudian dengan judul yang berbeda dari dua dokumen itu, itu menandakan bahwa sudah terjadi proses pembahasan dalam proses pembentukan Undang-Undang MD3 ini? Itu satu. Kemudian yang kedua, merujuk pada keterangan dari Prof. Yuliandri tadi bahwasanya seharusnya DPD ikut serta dalam membahas undang-undang ini berdasarkan Pasal 18 ayat (3), “Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Nah, kami ingin menyampaikan hal yang sama kalau memang ini merupakan esensi dari Putusan Mahkamah Tahun … Nomor 92/PUUXII/2012 … maaf … 92/PUU-X/2012, di dalam putusan Mahkamah yang sama di Putusan 73/PUU-XII/2014, di sana dinyatakan dalam pendapat Mahkamah 2 … maaf … 3.24, menimbang bahwa mengenai tidak ikutnya DPD dalam pembahasan RU MD3 tidaklah serta-merta menjadikan a quo cacat prosedur karena kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah untuk ikut membahas rancangan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya. Terhadap dua … terhadap pendapat Mahkamah ini dan dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012 yang pada intinya adalah mengukuhkan DPD ikut serta dalam proses pembahasan karena menyangkut otonomi daerah, maka mohon pendapat dari Bapak Maru dan Bapak Prof. Saldi Isra, apakah yang seharusnya dilakukan … yang seharusnya diikuti yang 73/PUU-XII/2014 atau yang 92/PUU-X/2012 untuk selanjutnya? Itu dari saya. Dan berikutnya teman Kuasa yang lain, kami persilakan. 28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan dipercepat.
26
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: B. HESTU CIPTO HANDOYO Ya, terima kasih. Saya ingin menambahkan, Majelis Hakim Yang Mulia. Melanjutkan pertanyaan dari teman saya Kuasa Hukum Pak Aan Eko Widiarto, saya juga ingin menyampaikan pertanyaan pada Prof. Yuliandri. Jika secara teoretis, naskah akademik merupakan rujukan untuk pembentukan sebuah rancangan undang-undang, maka tentunya rujukan itu harus paling tidak mengalami kesamaan. Nah, apakah secara teoretis, NA yang menyebut pembukaan … perubahan undang-undang kemudian undang-undangnya ternyata bentuk dan sistematikanya adalah undang-undang penggantian dapat dibenarkan seperti yang disampaikan oleh teman saya tadi? Ini secara teoretis. Kemudian yang kedua, untuk Pak Zainal Arifin, hanya dua pertanyaan. Yang pertama, apakah forum privilegiatum seperti yang ada di dalam Mahkamah Kehormatan sekarang ini, memang masih diperlukan dalam konteks pemeriksaan anggota DPR? Dan bagaimana jika anggota DPR itu ternyata dalam satu ruang dengan anggota DPD adalah sama-sama menjadi anggota MPR? Apakah ini tidak merupakan sebuah bentuk diskriminasi dalam proses pemeriksaan? Kemudian yang terakhir, ini yang paling penting dan sering menjadi perdebatan. Di lingkungan masyarakat, sering memunculkan bahwa jika pembahasan tripartit dilaksanakan, ini untuk Prof. Saldi Isra, maka mekanismenya kelihatannya menurut masyarakat justru mempersulit proses legislasi, bahkan hampir sama dengan perubahan konstitusi karena DPR tambah DPD anggotanya itu merupakan MPR, ditambah lagi dengan presiden. Mohon penjelasan ini, apakah kesulitankesulitan semacam ini bisa kemudian dieleminasi, sehingga tidak kemudian memunculkan satu proses berpikir bahwa mengubah atau membentuk undang-undang hampir-hampir sama dengan mengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Saya rasa itu, mungkin dari yang lain.
30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Silakan, waktu kita tinggal 10 menit, ya. Ada … singkat. Masih ada? Cukup? Baik. Silakan, bisa dibagi waktunya. Pak Saldi dulu.
31.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Pertama, soal naskah akademik. Kalau bahasa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebut wajib, berarti naskah akademik itu harus ada, tidak boleh tidak. Memang ada perbedaan kalau dia menyangkut peraturan daerah itu dikatakan dapat. Jadi wajib menurut saya itu tidak boleh tidak, harus ada naskah akademik. Kalau tidak ada karena prosedur atau prosedural 27
pembentukan undang-undang itu ada pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, secara formal itu dapat dikatakan cacat formal. Itu yang pertama. Yang kedua soal ada perbedaan RUU dari revisi atau rencana perubahan menjadi pergantian. Sebetulnya begini. Kalau kita lihat, apa sih, fungsi sesungguhnya dari naskah akademik? Itu kan, tempat membangun argumentasi mengapa sebuah peraturan perundangundangan, dalam hal ini undang-undang, harus diganti atau direvisi. Itu satu hal. Saya dengan Pak Zainal kebetulan pernah melakukan studi banding bagaimana perubahan undang-undang dilakukan di Australia. Di Australia misalnya kalau ada norma yang akan diubah itu pada umumnya datang dari eksekutif karena eksekutif yang melaksanakannya, lalu eksekutif yang mencarikan argumentasinya apa benar, nanti kemudian anggota parlemen yang membuktikan apakah dalil-dalil yang dikemukakan oleh eksekutif itu benar terjadi dalam praktik atau tidak. Tapi di tempat kita itu pada umumnya sulit mencari basis argumentasi yang kuat mengapa misalnya sebuah undang-undang harus direvisi atau diganti. Oleh karena itu, menurut saya kalau anggapan pertama itu merevisi, biasanya dilakukan dalam konteks yang terbatas pasal-pasal tertentu atau bagian tertentu. Mengubah … itu keseluruhan … dan ini kan, bisa bertautan dengan naskah akademik yang saya sebutkan tadi. Nah, kita memang bisa berdebat ini dibolehkan atau tidak, tapi menurut saya, Mahkamah Konstitusi memiliki ruang untuk menjelaskan soal-soal seperti ini. Agar apa? Agar proses legislasi kita tidak tunduk kesekehendak pembentuk atau proses politik, apalagi yang datangnya mendadak di lembaga perwakilan. Itu … itu pentingnya menurut saya. Saya tidak bisa menjustifikasi apa benar atau tidak, tapi untuk yang revisi pun itu argumentasinya harus ada dalam naskah akademik. Nah, kalau naskah akademiknya tidak ada, menurut saya, bermasalah. Ini soal Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014 dengan Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Saya mohon maaf, sebetulnya di dalam putusan itu menyebut soal uji formil yang dilakukan oleh DPD, tapi DPD belum diminta pendapatnya dalam … dalam … apa … di dalam persidangan itu, lalu disebut … karena ini terkait dengan … apa … dengan permohonan yang ada di DPD, ini kan, sama dengan memutus tanpa meminta kepada pihak yang mengajukan soal-soal seperti itu. Jadi, kalau ditanyakan kepada saya, saya lebih tunduk sebetulnya … harusnya lebih tunduk kepada Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dibanding Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014. Karena apa? Di Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 itu prosesnya berlangsung ada pandangan dari … terutama dari pihak Pemohon. Soal tripartit. Memang tadi saya sebutkan di penjelasan saya dan ini juga muncul ketika pembahasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 28
Saya membaca dengan detail soal ini. Itu ketika ada keinginan memberikan kewenangan legislasi yang penuh walaupun itu terkait dengan urusan pusat dan daerah, ada muncul pendapat menyela, “Kita,” katanya, “Selama ini antara pemerintah dan DPR saja melakukan fungsi legislasi lama, apalagi kalau ada pihak ketiga, dalam hal ini ada lembaga lain. Itu bisa memperlambat.” Saya telah kemukakan tadi, di mana-mana pun sebetulnya di dunia memang ada upaya me-delay memperlama proses, me-postpone dan segala macamnya kalau itu kita sudah yakini akan ada, kita kan, bisa mengantisipasinya. Tadi di Amerika ada namanya Undang-Undang Filibuster yang mencegah kemungkinan itu. Di Inggris juga ada. Kita juga bisa membuat seperti itu. Yang paling penting … saya dan Pak Zainal ini pernah melakukan penelitian perbandingan sistem dua kamar di beberapa negara … yang paling penting adalah untuk mengurai … mengurangi kekusutan itu, itu ada namanya komite bersama yang dibentuk oleh kamar pertama dengan kamar kedua untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu. Kalau pertanyaan filsafatnya … filosofisnya, mana yang lebih kita pentingkan: sebuah undang-undang lahir dengan tanpa check and balances, atau undang-undang yang lahir dari proses check and balances, tapi memerlukan sedikit waktu untuk penyelesaian? Saya lebih memilih kepada yang kedua. Biar agak memerlukan sedikit waktu tetapi dia lahir melalui proses yang berimbang antara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Itu penting agar sebuah produk hukum tidak dilahirkan oleh proses monopoli oleh satu lembaga negara tertentu. Jadi, tidak sepenuhnya juga asumsi bahwa ini akan berlama-lama, tripartit akan berlama-lama. Kalau tripartit dilakukan, pertama, kita bisa memperkuat internal DPR. Karena apa? DPR menurut saya akan memulai proses-proses internalnya, sehingga lahir satu DIM yang menjadi DIM DPR. Problem yang terjadi selama ini, DIM fraksi muncul di pembahasan dengan pemerintah dan itu yang memperlama. Coba kita bayangkan kalau fraksinya ada 10, itu akan ada 11 atau 12 DIM yang dibahas. Kalau tripartit sebagaimana Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dilaksanakan, maka hanya akan ada satu mik pemerintah, satu mik DPR, satu mik DPD artinya ada satu DIM DPR, satu DIM pemerintah, dan satu DIM DPD kalau terkait dengan Pasal 22. Saya haqqul yakin kalau seperti itu akan jauh lebih efektif sebetulnya dibandingkan dengan proses apa yang ada sebelumnya. Terima kasih. 32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Pak Maru.
29
33.
AHLI DARI PEMOHON: MARUARAR SIAHAAN Ya, terima kasih, Pak Ketua. Untuk menjawab pertanyaan ini, sesungguhnya naskah akademis tentang perubahan Undang-Undang MD3 itu merupakan indikator pada awalnya sebenarnya DPR telah akan mematuhi Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan bersiap untuk melakukan itu. Tetapi inilah dinamika politik yang terjadi, putusanputusan MK itu di dalam penelitian yang dilakukan termasuk dari Ginsburg, selalu dalam dinamika sosial politik itu berkonfrontasi juga dengan kekuatan-kekuatan lain. Oleh karena itu, tergantung sebenarnya bahwa jika tidak ada pun suatu instrumen bagi MK untuk melakukan atau melihat bahwa putusannya dilaksanakan, paling tidak MK itu berkepentingan untuk melihat bahwa putusan MK yang sudah final and binding itu dilaksanakan. Saya mengutip sikap MK di dalam putusan-putusan di masa lalu yang menyangkut anggaran pendidikan karena perlawanan itu sangat berat, tetapi pendirian terakhir dari pemerintah itu sebenarnya hanya karena pemilihan umum sudah dekat. Di dalam teori Van Berg, kalau pemerintah dan DPR yang tidak patuh pada putusan MK itu melakukannya secara terbuka, maka di kotak suara 5 tahunan sekali mereka akan dihukum. Itu, mereka akan dihukum dan mereka akan kehilangan suara kalau tidak mengikuti itu. Tetapi intinya sebenarnya, saya kalau soal DPD dengan DPR, menurut saya telah selesai masalahnya. Tetapi apakah ini akan dipertahankan atau (suara tidak terdengar jelas) berkepentingan kita untuk melihat ini dilaksanakan, itu menjadi suatu tahap lain dan saya melihat bahwa di dalam konstitusi, pemerintah terutama presiden dengan sumpahnya menjalankan konstitusi itu selurus-lurusnya, itu mengandung arti menurut saya, putusan MK tentang ini pasti diketahui juga oleh pemerintah karena pemerintah juga ikut di dalam beberapa seminar, terutama dirjenkah ikut dalam membahas putusan ini, berarti tidak ada alasan tidak mengetahui, termasuk presiden bahwa sudah ada putusan ini, tetapi juga menyetujui undang-undang ini, ini saya anggap pelanggaran sumpah jabatan. Saya kira itu tambahan saya.
34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan, Prof. Yuliandri.
35.
AHLI DARI PEMOHON: YULIANDRI Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan yang berkaitan dengan … masih naskah akademik ya, tapi dari perspektif lain sebetulnya. Hakikat naskah akademik adalah pertanggungjawaban ilmiah. Jadi, ada argumen 30
yang mesti dibangun ketika naskah itu dibuat. Nah, pertanyaannya adalah apakah pertanggungjawaban itu diperoleh dari hasil kajian yang punya waktu atau tidak? Itu pertanyaannya. Maka kemudian, ketika misalnya dari Pemohon mengatakan tadi bahwa misalnya, awalnya adalah naskah akademik tentang perubahan, tapi tiba-tiba muncul menjadi undangundang yang sesungguhnya atau pengganti. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Prof. Saldi tadi bahwa sifat serta-merta itulah yang mesti dilihat pertanggungjawabannya. Apakah ketiga bangunan naskah itu ada dan kemudian rentang waktu yang digunakan untuk membuat naskah akademik itu cukup waktu, saya pikir bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Kuncinya itu. Jadi, saya melihatnya adalah jangan hanya bahwa naskah akademik itu adalah performa saja, semata-mata hanya untuk memenuhi syarat, tapi kemudian dalam praktiknya terjadi penyimpanganpenyimpangan yang luar biasa. Apa yang dirancang atau apa yang menjadi pertanggungjawaban akademik di dalam naskah akademik awalnya. Maka menurut saya, mesti ada bangunan logis yang kemudian bisa dijadikan justifikasi apakah naskah akademik atau mungkin perubahan menjadi pengganti sama sekali itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Tentu dokumen-dokumen yang tadi juga menjadi bagian yang juga diserahkan oleh Pemohonlah yang menjadi intinya. Maka intinya adalah bahwa tidak mungkin secara logis serta-merta terjadi perubahan tanpa ada pertanggungjawaban secara akademik. Itu mungkin Yang Mulia sebagai tambahan. Terima kasih. 36.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Pak Zainal, ada tambahan?
37.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN Baik. Saya sebenarnya 1 pertanyaan dengan 1 komentar saja. Yang pertama soal Mahkamah Kehormatan Dewan. Memang menarik sebenarnya melihat Mahkamah Kehormatan Dewan. Saya orang yang termasuk berpikir bahwa menarik dari Badan Kehormatan yang dulunya sedikit tertutup menjadi Badan Kehormatan … Mahkamah Kehormatan Dewan yang lebih bersifat persidangan, menurut saya adalah satu hal yang sangat positif sesungguhnya. Itu juga sering dikatakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa sudah saatnya yang namanya etik itu bukan lagi sekadar diselesaikan secara penyelesaian tertutup, tapi kemudian dibuat menjadi sebuah proses persidangan seperti yang terjadi di DKPP, misalnya.
31
Hanya saja yang sedikit menjadi catatan besar dari sini adalah ketika Mahkamah Kehormatan Dewan itu kemudian membengkak kewenangannya, sehingga termasuk melakukan proses-proses birokratisasi penegakan hukum. Misalnya, siapa pun yang mau diperiksa, anggota DPR yang mau diperiksa dalam proses dalam kaitan dengan pidana, harus … kata-katanya Pasal 245 itu adalah harus mendapatkan persetujuan dari … apa … Mahkamah Kehormatan Dewan. Hal yang kemudian yang saya katakan sebagai bisa menambah proses birokratisasi penegakan hukum yang sebenarnya dijaminkan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam proses penegakan hukum. Pun kalau … menariknya kalau kita mengangap ini hal yang baik, agak mengherankan kenapa kemudian hanya disematkan kepada DPR? Dalam logika kita kalau memang ini hal yang baik, kalau ini memang hal yang digunakan untuk menjaga marwah atau menegakkan kode etik seorang anggota dewan, baik DPR atau DPD, kenapa kemudian hanya disematkan kepada DPR? Seakan-akan bahwa yang penting dijaga, Mahkamah … apa … dijaga marwahnya itu hanya DPD … DPR, padahal DPD juga memiliki potensi yang sama sesungguhnya. Kenapa kemudian di DPD hanya tetap menjadi konsep Badan Kehormatan biasa seperti dulu, sedangkan kemudian di DPR menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan. Distingsi ini kan, menurut saya adalah konsep yang saya lagi-lagi memberikan catatan, jangan-jangan bukan dimaksudkan untuk menjaga marwah kehormatan DPR, tapi lagi-lagi memang ditujukan persis yang saya katakan tadi, untuk melakukan birokratisasi penanganan hukum. Itu yang pertama. Yang kedua soal tripartit, apakah akan mempersulit? Dari perbandingan di berbagai negara, sebenarnya tripartit itu memang pada hakikatnya mempersulit kalau ada beberapa catatan lain, misalnya adalah kalau kewenangan masing-masing lembaga ini persis sama, jadi bikameral yang like list similar itu membuat mereka akan bentrok, tetapi kalau diaturnya tidak, sesungguhnya tidak akan terjadi proses yang berlama-lama. Yang pertama. Dan yang kedua, akan sangat tergantung kepada inter chamber rules, adanya aturan soal antar kamar yang kemudian akan mengatur kapan dibuatkan join session-nya, kapan join comitte-nya, kapan … kapan dilakukan persidangan-persidangan dengan model itu. Apakah pertemuan mereka dianggap menjadi sidang MPR? Saya mengatakan bahwa sidang MPR jelas-jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hanya dimaknai, hanya beberapa kondisi tertentu. Kalau anggota DPR=560, lalu kemudian 132 anggota DPD bertemu dalam sebuah acara pernikahan, tentu tidak mungkin di … dianalogikan sebagai sebuah proses pertemuan MPR karena memang tidak dimaksudkan atau tidak diagendakan sebagai pertemuan MPR yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 32
Saya pikir, itu tambahan dari saya. 38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih, Selanjutnya nanti Pak Refly Harun dan Pak Rofriandri di sidang yang akan datang. Apakah masih ada ahli atau saksi yang akan diajukan dari Pemohon?
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: AAN EKO WIDIARTO Cukup itu sementara, Yang Mulia.
40.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, tinggal dua, ya. Pemerintah, akan ajukan ahli?
41.
PEMERINTAH: BUDIJONO Pemerintah cukup, Yang Mulia.
33
42.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Jadi, tinggal dua ini. Sebelum sidang ditutup, saya sahkan dulu, Mahkamah Konstitusi telah menerima bukti P-19 dari Pemohon, saya sahkan. KETUK PALU 1X Ya, sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 21 Oktober 2014, pukul 14.00 WIB, untuk mendengarkan dua orang Ahli … keterangan dua orang Ahli dari Pemohon. Sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.39 WIB Jakarta, 14 Oktober 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
34