MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PEMOHON (IV)
JAKARTA SENIN, 6 OKTOBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Cotrans Asia ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon (IV) Senin, 6 Oktober 2014, Pukul 11.12 – 12.07 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Hamdan Zoelva Anwar Usman Maria Farida Indrati Muhammad Alim Patrialis Akbar Wahiduddin Adams
Sunardi
(Ketua) (anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Aldo 2. Lee Sang Jung B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Marulam J. Hutauruk Sabaruddin Yasin Heribertus Filipus Arya Sembadastyo Judiati Setyoningsih Rendy Kailimang
C. Ahli dari Pemohon: 1. Chandra Motik Yusuf 2. Haula Rosdiana D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mualimin Abdi Awan Nurmawan John Hutagaol Irawan Yuli Kristiyono Goro Ekanto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.12 WIB
1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 47/PUUXII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon hadir, ya? Kenalkan dulu siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Terima kasih, Yang Mulia. Kami hadir di sini, Pemohon Kuasa Hukum berikut dengan Prinsipal. Jadi, saya perkenalkan dulu dari Kuasa Hukum, sebelah kiri saya Bapak Sabaruddin Yasin. Kami ... saya sendiri adalah Marulam Hutauruk. Kemudian berikutnya, rekan kami Ibu Judiati. Sebelah ... selanjutnya, sebelah kanan adalah Bapak Rendy Kailimang, Bapak Arya ... Filipus Arya, dan juga Hubertinus[sic!]. Yang di sebelah ... dua sebelah kanan ujung itu adalah Prinsipal, yaitu Bapak Aldo dari PT Cotrans Asia, sebagai Manager Accounting dan juga dari Prinsipal Mr. Lee Sang Jung, sebagai Direktur ... Wakil Direktur di PT Cotrans Asia. Demikian, Majelis, perkenalan kami. Terima kasih.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Pemerintah silakan.
4.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah yang menghadiri pada persidangan hari ini adalah rekan-rekan dari Kementerian Keuangan, khususnya dari Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan saya sebutkan, Yang Mulia. Saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian di sebelah kiri saya persis, ada Pak John Hutagaol, beliau adalah Direktur Peraturan Perpajakan. Kemudian di sebelahnya lagi, ada Pak Awan Nurmawan, Sesditjen Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian ada Direktur Peraturan Perpajakan I, Pak Irawan. 1
Kemudian sebelahnya, Direktur Intelijen dan Penyidikan Pak Yuli Kristiyono. Kemudian, paling ujung adalah Pak Goro. Kemudian di belakang dan di belakang sekali juga ada rekan-rekan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Terima kasih, Yang Mulia. 5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Sebelum sidang dilanjutkan, saya perlu sampaikan bahwa sidang hari ini hanya dihadiri oleh enam Hakim. Satu Hakim sedang ibadah haji, satu Hakim izin, dan satu Hakim berhalangan karena sakit. Karena itu, seharusnya Pleno minimum dihadiri oleh tujuh Hakim Konstitusi. Karena itu, hari ini Majelis memutuskan untuk mengubah jenis sidangnya menjadi Sidang Panel yang diperluas karena tidak memenuhi syarat untuk sidang Pleno yang harus dihadiri oleh minimum tujuh orang Hakim Konstitusi. Dan ini dimungkinkan karena bukan dalam rangka pengambilan keputusan, jadi hanya untuk mendengarkan keterangan ahli atau saksi. Baik, hari ini agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. Dua orang Ahli yang sudah hadir Ibu Chandra Motik, sekaligus maju ke depan untuk diambil sumpah lebih dahulu. Dan Ibu Haula Rosdiana, ya.
6.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, mohon ikuti kata-kata saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
7.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih, kembali ke tempat. Pemohon, dari dua Ahli ini siapa yang bicara lebih dulu? 2
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Mungkin dari Prof. Haula, Ahli Kebijakan Pajak, Pak.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Silakan Prof. Haula, di podium.
12.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Bismillahirrahmaanirrahiim. Majelis Hakim yang saya hormati. Sebetulnya, isu mengenai diskresi yang eksesif terhadap PPh Pasal 23 ini sudah menjadi concern saya, ya, concern kami di claster politik perpajakan UI itu sudah sejak lama. Bahkan di dalam disertasi saya, ya, kami menggagas atau saya menggagas pro corporate cash flow tax, ya, untuk mendorong industri dengan katakanlah PPh ini kembali ke khitahnya seperti dulu di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Jadi kita harus membatasi kekuasaan negara untuk memungut pajak. Saya akan mulai dari evaluasi dari diskresi regulasi objek PPh Pasal 23, ya, yang atas jasa lain, dari beberapa perspektif. Yang pertama dari perspektif supply side tax policy dan perspektif politik perpajakan. Majelis Hakim Yang Mulia, kalau kita bicara bahwa pemerintah mendorong daya saing nasional, sehingga yang didorong adalah produktivitas, maka seharusnya pemerintah konsisten dengan memberikan regulasi perpajakan yang jelas. Sudah menjadi hak konstitusi bahwa kepastian adalah hak yang penting. Kalau kita bicara mengenai kepastian, maka sebetulnya ketika objek PPh Pasal 23, khususnya jasa lain ini diserahkan kepada pemerintah, kalau dulu kepada Direktur Jenderal Pajak, sekarang kepada Menteri Keuangan, maka sebetulnya apa yang waktu itu … apa yang dikhawatirkan selama ini, itu memang sebetulnya sudah lama terjadi. Berapa banyak kasuskasus ketidakjelasan yang akhirnya berujung kepada pengajuan keberatan dan banding dan karena di Indonesia tidak menganut yurisprudensi, maka ini … apa … kejadian ini berulang-ulang kali terjadi. Nah, sebetulnya, ketika … kebetulkan waktu itu saya juga jadi saksi … sori … jadi staf ahli di DPR untuk perumusan Undang-Undang PPh, ada beberapa alternatif yang waktu itu diusulkan. Yang pertama adalah membatasi dengan cara closed list dari Pasal 23, sehingga lebih pasti dan kalau kita bicara di … itu diatur di dalam undang-undang, tentu saja mempunyai tingkat atau derajat kepastian yang jauh lebih tinggi. Dan yang kedua adalah membatasi tarif, ya. Karena dulu itu sempat pada awalnya, bahkan tax base atau perkiraan penghasilan netonya sempat 80%, jadi di-assume bahwa WP itu akan mendapatkan laba 80%. Terus kemudian, berubah ya, ada yang berubah menjadi 50%, ada yang 40%, sehingga terakhir itu tarif efektifnya 4,5%. 3
Nah, terakhir, sebetulnya di dalam undang-undang yang terbaru, di Undang-Undang PPh yang terbaru, itu sudah dikurangi tarifnya sekarang menjadi 2%, tetapi itu pun masih belum menyelesaikan persoalan karena tadi yang berkaitan dengan objeknya tetaplah diberikan diskresi yang sangat besar. Nah, kalau kita bicara mengenai PPh Pasal 23, ini kan sebetulnya merupakan prepare tax. Dan kalau kemudian negara yang seharusnya negara itulah yang memungut pajak, tetapi negara minta bantuan kepada pihak ketiga untuk memotong pajak, maka seharusnya negara memberikan regulasi yang jelas apa yang harus dipungut, ya? Bagaimana dipungutnya? Nah, mengenai apanya ini, tidak boleh multitafsir, sehingga kalau misalnya wajib pajak tadi atau wajib potong dianggap, sekali lagi ini ada perbedaan interpretasi, dianggap tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, justru mereka yang katanya membantu negara malah dikenakan sanksi, ya. Sanksinya itu berupa apa? Sanksinya tadi, yang dianggap kurang potong ditagih, plus dengan sanksi berupa bunga. Itu yang tadi dengan SKPKB. Nah, di sini tidak ada keadilan, ya. Jangankan kita … apa … pemotong itu diberikan reward, rewardnya kalau dibilang reward itu katanya karena memotong bulan ini, bulan depan baru disetor. Tapi kalau kita bicara mengenai … apa … apa namanya … nilai uang, kalaupun itu misalnya didepositokan, paling berapa, gitu, dengan suku bunga sekarang. Tetapi kalau kita bicara sanksinya, sanksinya itu 2% per bulan, bayangkan, enggak ada deposito yang sebesar itu ya, untuk saat ini. Nah, kalau kita bicara dari perspektif tadi, supply side tax policy, ini jelas mempersempit ruang dari segi si ininya, si penerima penghasilan, itu mempersempit ruang gerak mereka untuk melakukan produktivitas. Kenapa? Karena sebetulnya kita ini kan menganut stelsel campuran, artinya sebenarnya sudah ada PPh Pasal 25. Tetapi atas penghasilan yang mereka terima pun, itu kemudian … tadi kalau kategorinya katakanlah yang jasa lain, yang tadi dia tentukan oleh dulu Dirjen Pajak, sekarang Menteri Keuangan, itu harus dipotong. Jadi tidak pernah penerima utuh, sehingga sebetulnya ada yang namanya opportunity cost, seharusnya dipakai untuk produksi, tapi kemudian … apa namanya … itu tidak bisa dilakukan. Yang sebetulnya, ketika waktu menggagas bagaimana tarif dari 4% itu diturunkan, begitu ya, itu saya sudah membuat simulasinya, mungkin nanti untuk slide yang berikutnya. Kemudian ini, Pak, ini bukan benang kusut, tapi inilah sebetulnya simulasinya, begitu. Dan kalau Bapak/Ibu lihat faktanya, kebetulan waktu itu saya ambil kasusnya adalah telekomunikasi dan betul setelah tadi … apa namanya … PPh Pasal 23-nya turunkan tarifnya, bahkan untuk jasa telekomunikasi beberapa di antaranya di-remove, tidak lagi jadi objek, itu Bapak, Ibu bisa lihat bagaimana kemudian pertumbuhan 4
industri telekomunikasi saat ini meskipun begitu banyak persaingan, tetapi dia tetap menjadi industri yang enabler untuk perekonomian di Indonesia ini. Mohon kembali lagi ke slide semula, Mas. Nah, kemudian kalau kita bicara … apa namanya … withholding tax ini, sekali lagi, ketidakpastian itu pada akhirnya menyebabkan cost of taxation bagi kedua belah pihak, ya baik bagi pemotong ya, maupun kepada pemerintah. Kenapa? Kalau kita bicara dari perspektif pemotong ya, dia kan yang harus potong ya, dia harus setor, dia harus melaporkan. Ada complaint cost ya, complaint cost itu bukan hanya direct money cost yang dikeluarkan, tetapi juga time cost dan psychological cost. Nah, kondisi yang tidak pasti, itu justru meningkatkan psychological cost ya. Ketika kemudian yang ditempuh akhirnya harus dengan banding ya, itu tadi ada kondisi psikologis yang … apa namanya … yang terjadi gitu. Dan itu sebetulnya secara konseptual teoretis, di situ bisa diukur, cuma di Indonesia itu tidak pernah dilakukan. Nah kemudian, bagi pemerintah sendiri, sebetulnya ada administrative cost juga yang … apa namanya … yang terjadi gitu. Karena kan, ketika … apa namanya … ketika kita bicara mengenai enforcement cost, itu kan ada cost yang keluar. Selain itu, yang sebetulnya yang buat saya ini concern utama saya kalau dilihat dari perspektif politik perpajakan, ketidakpastian itu sebetulnya menimbulkan disharmoni antara rakyat dengan negara, ini yang paling penting. Karena trust rakyat, trust wajib pajak kepada pemerintah, itu kemudian menurun, seolah-olah peraturan pajak itu dibuat ya, sedemikian grey area, sehingga menimbulkan celah untuk mencari-cari kesalahan. Dan ini menurunkan tax legitimasi dari pemerintah. Padahal, kalau kita bicara dukungan yang sesungguhnya dari rakyat kepada pemerintah, dari rakyat kepada negara adalah dari pembayaran pajak, itu adalah relasi yang paling intim. Jadi, dalam perspektif inilah kita harus melihat kasus ini secara lebih komprehensif, bukan persoalan teknis semata. Kemudian, kalau kita bicara lagi … sekali lagi tadi daya saing nasional, bagaimana mungkin kita bicara daya saing nasional kalau kemudian regulasi yang tidak pasti ini, itu terus dibiarkan, ya. Inilah yang … apa namanya … menjadi concern saya terkait dengan case ini, apalagi tadi dari perspektif politik pajak … sekali lagi, ada hak konstitusi yang dilanggar, yaitu masalah kepastian dan keadilan ya. Nanti di … berikutnya nanti akan saya jelaskan bahwa bicara mengenai jasa lain, itu ternyata ada beberapa jasa lain, itu yang … katakanlah berbenturan dengan ketentuan yang lain. Jadi, penghasilan yang sama, satu … satu jenis penghasilan yang sebenarnya sama dan sejenis, tetapi kemudian perlakuannya berbeda, ada yang … apa … masuk ke dalam Pasal 15, ada yang masuk Pasal 23, ini … apa namanya … jelas menimbulkan ketidakpastian, bahkan di lapangan pun faktanya adalah antara 1 KPP 5
dengan KPP lain, itu bisa menerapkan secara berbeda ya, dan undangundang itu harusnya preventif bukan kuratif. Jangan kemudian terjadi kebingungan, baru kemudian daitur regulasi yang untuk memperjelasnya, bukan seperti itu. Harusnya ketika pertama kali mendesain, harus jelas seperti apa ya. Kemudian, kalau kita bicara dari kepastian, dari perpajakan, itu juga merupakan prinsip yang harus dipegang teguh ketika mendesain suatu sistem perpajakan. Yang Mulia, tentu kita semua sudah sangat kenal dengan jargon ini “nothing certain but death and taxes”. Jadi itu syarat mutlak kepastian itu, enggak bisa ditawar-tawar ya. Nah, ini sekali lagi, apa implikasinya? Saya terus terang mengkhawatirkan … apa namanya … kondisi perpajakan ke depan karena pajak adalah darahnya negara. Ini bukan … bukan pajak bukanlah sekadar urat nadinya, tapi justru pajak ini menjadi darahnya negara. 70% lebih, itu adalah ditopang oleh pajak, APBN kita, dan selama 12 tahun terakhir, hanya baru 3 kali penerimaan pajak itu tercapai. Mari kita pikirkan bersama-sama, apakah ini juga tidak disebabkan oleh ketidakpastian dari regulasi? Hati-hati ketika tingkat kepatuhan wajib pajak itu sangat rendah atau rendah, itu sebetulnya sinyal yang diberikan kepada rak … dari rakyat kepada pemerintah bahwa ada yang salah. Beberapa Ahli bahkan mengatakan, itulah bentuk hukuman dari rakyat kepada pemerintah ketika membuat peraturan yang tidak jelas, tidak transparan, dan tidak akuntabel. Berikutnya, tadi ini seperti saya katakan, sudah ada simulasinya. Nah, sekarang bagaimana kemudian … apa … kebijakan pro corporate cash flaw tax, itu bisa mendorong daya saing nasional. Dengan kata lain, bagaimana kemudian ya, ketentuan Undang-Undang Perpajakan, khususnya Pasal 23 ini kita perbaiki ya. Kalau mengacu pada ketentuan yang lama, di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, itu sebetulnya apa ya … saya mengilustrasikan itu kalau bicara mengenai objek, itu sangat baik karena sifatnya itu close list. Jadi, sudah jelas apa yang menjadi objek PPh Pasal 23 dan ini sebetulnya sudah sesuai dengan international based practice. Bahkan para ahli perpajakan (suara tidak terdengar jelas) itu mewanti-wanti, hati-hati kalau mendesain withholding tax, ya. Kenapa? Jangan sampai terlalu eksesif, sehingga active income, ya jadi penghasilan aktif itu, itu dikenakan terlalu banyak. Withholding tax secara best practice, itu dikenakan terbatas kepada passive income, ya kalau kita lihat di sini dividen, bunga, begitu, sewa, royalti, penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, itu adalah passive income. Itu memang sangat … apa namanya … sangat disarankan dia untuk menjadi objek withholding tax. Tetapi, untuk active income, itu hanya terbatas kepada beberapa jenis penghasilan tertentu saja. Seperti misalkan, employment 6
income, jadi kalau misalkan di sini di ketentuan yang … apa namanya … yang lama itu, ada jenis teknik dan jasa manajemen, itu memang karena sebagian besar kategorisasinya adalah tax on employment income. Nah, pasca … apa … intinya adalah sejak rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, ini objeknya, jadi sejak kemudian kewenangannya untuk menentukan objek dan besaran tax base, itu bukan lagi ada dalam undang-undang, tetapi kemudian dialihkan kepada pemerintah. Ternyata ya, hasil penelitian saya itu ya sangat luar biasa. Jadi, bertambah banyak sekali dan bahkan kebijakan itu berubah hanya dalam waktu yang kurang dari 1 tahun. Even sekelas Pak Darmin Nasution saja pernah melakukan kesalahan ya dengan … apa … membuat regulasi jenis jasa lain yang tahun 2006 waktu itu, 2006. Dan itu menimbulkan ketidakpastian, sehingga akhirnya enggak berapa lama di 2007 dibuat lagi regulasi yang baru yang kemudian … apa … membuat listnya apa yang dimaksud dengan tadi … apa namanya … jasa lain. Nah, ini menunjukkan bahwa kalau tidak ada kontrolnya, ya beda dengan kalau di undang-undang, saya kira beberapa teman saya di sini ini juga yang sama-sama waktu itu di pembahasan Undang-Undang PPh tahu persis kita itu sampai jam 02.00 pagi hanya untuk membahas berapa tarif yang layak. Ya, itu perdebatannya sangat seru gitu. Dan kalau itu dilakukan, tentu saja di masalah akuntabilitas, masalah transparasinya, itu lebih jelas, sehingga rakyat juga bisa ketika ditanya, kenapa dia menjadi objek, ya? Kenapa kemudian objek itu dikenakan tax basenya sekian? Atau di net incomenya sekian, begitu. Itu sudah sangat jelas, tetapi kemudian ketika itu dialihkan atau diberikan diskresi kepada pemerintah, apa itu ke Dirjen Pajak atau kepada Menteri Keuangan, tadi masalah diseminasinya, masalah diskusinya, masalah public hearingnya, dan sebagainya, itu tidak terjadi. Dan inilah yang … apa … yang di lapangan seringkali kemudian menimbulkan masalah. Selanjutnya, Mas. Bapak dan Ibu Majelis Hakim Yang Mulia. Bapak, Ibu bisa lihat sendiri, Yang Mulia bisa lihat sendiri. Misalnya saja di rezim tahun 1994 itu, itu … apa namanya … ada 3 keputusan yang kalau kita lihat di tahun 1995 saja itu sudah ada perubahan, artinya belum sampai 1 tahun lho sudah ada perubahan gitu. Kemudian di tahun berikutnya sudah berubah lagi. Di rezim tahun 2000 itu juga … apa namanya … ada 6 kali perubahan, begitu kan. Ini seperti kemudian yang tadi saya juga tunjukkan bahwa … apa namanya … ada bahkan jenis jasa itu yang dia seringkali, saya masih ingat waktu itu beberapa perdebatan misalkan, jasa akuntansi dengan … apa namanya … jasa akuntan, misalnya seperti itu. Terus kemudian, ada 1 jenis jasa itu yang masuk apa namanya … bracket, bukan bracket, di net incomenya 50% ada yang 40%, terus kemudian diubah begitu ya, diubah dari 40 dia naik ke 50 tanpa ada penjelasan. Kemudian kenapa dia berubah gitu? Itu kan berarti tarif efektifnya sekitar 4%, sekali lagi ini dari gross.
7
Yang Mulia, yang ideal itu adalah kalau kita bicara first base, first base policy, yaitu global taxation, dimana penghasilan itu merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis. Kalaupun ada second base teori yang diterapkan, itu memang betul-betul dengan pertimbangan tertentu. Jadi, presumptive taxation kalau kita bicara presumptive yang (suara tidak terdengar jelas), itu memang justru sepertinya insentif terselubung dari pemerintah. Untuk apa? Untuk menggerakkan industri tertentu. Kita ambil contoh, nanti di Pasal 15, mohon Mas dilanjutkan. Di Pasal 15, jadi sebetulnya dari sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sudah ada Pasal 15, tapi lebih diperjelas lagi di dalam penjelasan Undang-Undang PPh Tahun 1994 yang sampai sekarang pasal ini tidak berubah. Penjelasannya juga sampai sekarang ini tidak berubah, sama sekali tidak berubah, ya. Itu memang kalau kita lihat ada dibilang, “Khusus untuk golongan wajib pajak tertentu.” Jadi, meskipun ini namanya pajak penghasilan, tapi ada sebetulnya semacam insentif terselubung yang diberikan kepada industri ya tertentu atau wajib pajak golongan tertentu, gitu. Tujuannya apa? Tujuannya tadi seperti saya sampaikan bahwa kalau kita ambil contoh ya, dalam kasus ini misalnya, perusahaan pelayaran. Kenapa penuh perusahaan pelayaran? Selain ini memang merupakan international based practice, tetapi juga pemerintah menyadari, ya termasuk DPR-nya tentu saja yang … yang waktu … waktu itu juga membuat undang-undang bahwa 90% ya, angkutan barang itu adalah melalui laut, bukan melalui udara. Dan kalau kita bicara mengenai … apa namanya … industri pelayaran di Indonesia, itu kan memang harus didorong, makanya pemerintahan yang baru juga kan juga mau bikin yang namanya poros maritim dan sebagainya, itu di … atau dulu waktu zamannya Pak SBY, kenapa ada MP3EI? Kenapa mau bikin konektivitas nasional ya, tapi yang terkoneksi secara internasional ya, atau istilahnya Pak Lino itu adalah pendulum nusantara. Nah, kenapa? Karena memang ini satu industri yang betul-betul bisa membantu untuk menggerakkan ya perekonomian Indonesia. Karena tadi kita bicara ekspor-impor, ya 90% melalui jalur laut. Jadi, ini yang harusnya dipahami. Jadi, kalau kemudian dia itu di … apa namanya … dibuat secara khusus kebijakannya, ya tadi presumptive scheduler, itu memang tujuannya adalah untuk mempermudah, gitu. Nah, tetapi sayangnya kemudian, ketika … ketika di Pasal 23 itu ya, setelah tadi Pasal 94 itu kan mulai didiskresikan ya kepada Dirjen Pajak, kemudian beralih sekarang ke Menteri Keuangan. Akhirnya mereka yang menentukan apa yang mau jadi objek 23 tanpa mengindahkan atau tanpa memerhatikan apa yang kemudian menjadi objek Pasal 15. Kita ambil contoh misalkan ya, di dalam ketentuannya, baik itu saya ini quote yang di peraturan Menteri Keuangan yang dulu juga hampir sama ada, ya. Jadi untuk jasa penambangan, ada jasa 8
penunjang. Nah, yang dimaksud dengan jasa penunjang itu salah satunya adalah jasa pengangkutan atau sistem transportasi. Dan ini kemudian di lapangan, akhirnya apa dia bilang, “Oh, ya ini adalah termasuk tadi PPh … objek PPh 23, yang satu lagi ini PPh Pasal 15.” Bagaimana mungkin ini terjadi? Ini berarti mengingkari dari pembuatan undang-undang yang sebetulnaya waktu itu diinginkan adanya kemudahan dan kepastian. Kalau kita bicara presumptive, apalagi dia scheduler, maka sebetulnya ya administrative cost bagi pemerintah pun itu akan … apa namanya … akan rendah karena pemerintah hanya tinggal mengecek berapa omsetnya, kemudian itu nanti kalau sudah tadi ada pemotongan, berarti dianggap final, selesai ya, tidak perlu kemudian … apa namanya … menguji ya kepatuhan itu dengan melihat apakah betul misalkan biayanya itu boleh di … apa … boleh dikurangkan atau deductible expenses atau dia termasuk kategori nondeductible expenses. Dan bagi wajib pajak pun ini sangat menguntungkan. Karena apa? mereka juga sebetulnya ada tadi pengurangan complaint cost, baik itu dari money cost maupun tadi time cost, ya dan psychological cost. Tapi karena tadi ada dualisme ya perlakuan pajak, akhirnya apa yang dicita-citakan itu tidak terjadi. Yang Mulia. File selanjutnya, ya. Nah, barangkali dapat saya pertanyakan, apa betul ketika pemerintah itu diberikan diskresi demikian besar, apakah mereka juga melakukan, katakanlah semacam riset untuk melihat kelayakan dari objek pemotongan PPh 23. Artinya, ketika menen … mereka menetapkan objek yang begitu banyak ya, ada saya kira lebih dari 30 yang itu saja … jasa lain saja sekitar 27 ya, itu sampai huruf AA lagi, dari A sampai ke AA lagi, gitu kan. Belum lagi yang lain-lainnya tadi. Apa sudah dicek? Apa sudah memang di … dilakukan riset bahwa ini layak untuk di- withholding-kan, gitu. Terus yang kedua, ya. Kalau yang dulu, tadi masih ada harus di net income ya, perkiraan penghasilannya. Oke, sekarang flat 2%. Tapi dari gross 2% itu, apakah sudah … sudah dilihat dampaknya juga? Saya ambil kasih … saya ambil contoh itu seperti di telekomunikasi, misalnya. Itu kan ada beberapa jenis jasa telekomunikasi yang di … punya ra … mata rantai yang lebih dari satu kali. Sehingga ini bisa dikenakan berkali-kali, ya. Dan sekali lagi, apalagi kalau ada ketentuan lain yang sebetulnya mengatur. Bukankah di dalam asas perpajakan itu harus dikedepankan masalah keadilan? Equal treatment for the equals, yang sama harus diperlakukan sama. Nah, ini satu hal yang terjadi. Bagaimana mungkin satu jenis penghasilan yang sebetulnya sama, sama-sama industri pelayaran, sama-sama penghasilan dari industri pelayaran yang tadi sebetulnya dia itu dinilai sangat layak untuk diperlukan perlakuan khusus, itu ternyata kemudian … apa namanya ... menjadi berbeda, gitu ya. Kemudian yang lainnya adalah kalau kita bicara mengenai dualisme perlakuan pajak ini selain tadi melanggar hak konstitusi 9
mengenai kepastian, ya, mengenai … apa namanya ... keadilan dan tidak adanya perlakuan yang diskriminatif, kenapa tadi saya bilang perlakuan yang diskriminatif? Kenyataannya tadi, di lapangan ada yang potong 23, ada yang 15, dan sebagainya. Nah, ini … apa namanya ... justru ya menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, bagi pihak pemotong. Pemotong itu yang bantuin lho, yang bantuin pemerintah, kan harusnya pemerintah, dalam ini otoritas perpajakan, katakanlah sekarang namanya masih Direktorat Jendral Pajak, mudah-mudahan nanti tahun depan sudah jadi Badan Penerimaan Negara, seperti itu ya. Itu kan mereka membantu gitu, lah tetapi karena tadi regulasinya enggak jelas, yang bantuin ini tiba-tiba dianggap melanggar, terus kemudian dikenakan sanksi. Nah, ini kan sangat ... sekali lagi kalau kita bicara legitimasi, orang akan semakin … tadi, antipati terhadap pajak, ini yang sebetulnya concern saya, jangan sampai itu terjadi. Saya cinta republik ini, dan saya mau pajak ini benarbenar diterima oleh rakyat, ya, dianggap rakyat itu sebagai … apa namanya … membayar pajak itu adalah suatu … apa namanya ... partisipasi mereka terhadap negara ini, tetapi kalau kemudian sistemnya seperti ini, wajar kemudian banyak yang skeptis. Kemudian yang lainnya, tadi dari sisi penerima penghasilan, ini juga mereka dirugikan. Kalau tadi misalnya Pasal 15 bagi yang apa tadi, menerima penghasilan, sudah mereka itu jauh lebih simpel karena tadi presumptive scheduler urusannya selesai, gitu kan, ya. Kalau kita lihat, tadi kenapa diberikan semacam seolah-olah (as if) itu adalah insentif pajak karena memang kalau kita bicara rate-nya adalah lebih rendah, tetapi jangan lupa pemerintah juga diuntungkan. Karena apa? Mau untung, mau rugi, perusahaan tersebut toh tetap ada pembayaran pajak. Nah, itulah trade off-nya gitu. Nah, kalau kemudian ada dualisme, ini kan berarti … apa namanya … dia harus tetap melakukan kewajiban perpajakan itu ada dua, tadi yang dikenakan presumptive scheduler, kemudian yang dikenakan global dengan withholding tax. Ini justru mengingkari dari apa yang dicita-citakan di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan itu sendiri. Nah, buat pemerintah, ini sekali lagi yang saya khawatirkan ini adalah pemerintah kalau kita bicara pemerintah, pemerintah selaku katanya pro dengan pasar, pemerintah ingin mendorong pelaku dunia usaha, gitu, bahkan sering kali mendengarkan inspirasi, kira-kira insentif pajak apa yang dibutuhkan. Percuma memberikan insentif pajak yang didesain sedemikian rupa tanpa membenahi regulasinya itu sendiri. Yang harus diperhatikan adalah sering kali kita terjebak, terutama di Kementerian Keuangan, seolah-olah yang namanya supply side tax policy, itu semata-mata hanya berupa tax intensif atau tax (suara tidak terdengar jelas) itu salah besar, ya, nanti bisa lihat disertasi saya. Jadi saya bisa menunjukkan bahwa ketika pemerintah melakukan reregulasi, 10
melakukan deregulasi, atau meregulasi sehingga menurunkan cost of taxation itu juga sama supply side tax policy. Jadi sebetulnya setiap bentuk, setiap kebijakan, bentuk kebijakan yang pada akhirnya mengurangi beban pajak, itulah supply side tax policy. Baik, selanjutnya. Ya, ini kita bicara mengenai implikasi, ya, kalau kemarin kita tahu ada kegaduhan politik gitu kan ya. Saya sebetulnya juga di satu sisi wajib pajak kita baik, ya, sebetulnya enggak terlalu banyak melakukan kegaduhan politik, gitu. Atau karena itu tadi … apa ... jasa lain itu enggak banyak dipertanyakan, diskresi yang berlebihan juga ini, tetapi itu bukan berarti menenangkan. Karena kita tidak tahu bagaimana sebetulnya, ya, kalau kita fenomena gunung es, bagaimana sebetulnya akar masalah yang sebenarnya, sehingga tadi saya katakan (suara tidak terdengar jelas) jangan-jangan, selama 12 tadi hanya tiga kali penerimaan pajak itu tercapai targetnya, itu juga salah satunya disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perpajakan dan diskresi yang diberikan terlalu besar, tapi tidak dimanfaatkan dengan baik, malah sebaliknya, gitu, malah menimbulkan ketidakpastian. Ini yang paling penting saya kira kalau semua ingin pilkada langsung tentunya juga, ya, kalau (suara tidak terdengar jelas) wajib pajak lebih suka kalau penentuan objek itu langsung ada di undangundang. Kenapa? Karena lebih jelas pertanggungjawabannya, lebih jelas derajat kepastiannya, dan kita jangan lupa sejarah sudah menunjukkan bagaimana kalau pajak itu dipungut tidak berdasarkan undang-undang. Kita ingat persis peristiwa Boston Tea Party seperti apa, nah mungkin kalau orang Indonesia tidak sampai sebegitu, tapi yang tadi yang seperti saya khawatirkan, mereka melakukan perlawanan pasif dan ini yang berbahaya, ya, karena ini tersembunyi gitu, ya, perlawanan pasif tadi dari mana? Lihat saja berapa besar tingkat kepatuhan pembayaran pajak. Jadi, perbaikan Undang-Undang Pajak Penghasilan itu pada akhirnya harus diletakkan kepada kepentingan bangsa dan negara. Bukan kepentingan tadi ini masalah … apa … egonya Kementerian Keuangan dan sebagainya, seharusnya tidak seperti itu. Jangan lupa ya, tadi kalau kita bicara Undang-Undang Dasar 1945 juga itu sudah jelas. Saya kira nanti Saksi Ahli yang lainnya yang mungkin lebih memang di bidang hukum akan lebih menjelaskan dengan rinci bagaimana seharusnya pajak itu memang dipungut berdasarkan undang-undang ya. Dalam konsep yang saya kembangkan, pengertian dipungut berdasarkan undang-undang. Bukan semata-mata … sekali lagi, bukan semata-mata dia harus ada dalam undang-undang, bukan itu. Tetapi bagaimana kemudian melibatkan rakyat di dalam proses penyusutan dari undang-undang tersebut atau penyusunan regulasi tersebut, itu. Kemudian yang … saya ingat ketika saya jadi saksi ahli juga ya. Aktif di waktu DPR mengadakan public hearing ya, ke beberapa daerah untuk menjaring aspirasi yang terkait dengan Undang-Undang PPh ini. 11
Nah, tetapi ya itu tadi kalau misalnya itu diserahkan kepada pemerintah, ini tidak terjadi. Akhirnya tadi, banyak masalah. Itulah yang barangkali … apa namanya … bisa saya sampaikan. Pada akhirnya adalah kita harus ingat ya, regulasi dibuat itu untuk preventif. Jangan selalu hanya untuk kuratif. Artinya, kalau sudah ada masalah, ada masalah, baru diperbaiki. Ini yang harus dicegah, seolaholah kayak gini, “Ah sudah, enggak apa-apa yang …” yang apa namanya … diskresinya diberikan oleh ini … kepada Dirjen Pajak atau kepada … apa namanya … Menteri Keuangan. Toh nanti kalau misalnya ada yang protes, ada yang ini, baru nanti bisa diperbaiki. Saya kira bukan seperti itu. Demikian, sekali lagi pada akhirnya apa pun yang kita lakukan, kepentingan bangsa dan negara harus diletakkan di atas segalanya. Wassalamualaikum wr. wb. 13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, selanjutnya saya persilakan Ibu Chandra Motik. Boleh.
14.
AHLI DARI PEMOHON: CHANDRA MOTIK YUSUF Boleh, terima kasih.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sebenarnya lebih bagus di situ, tapi kalau memilih di situ enggak apa-apa.
16.
AHLI DARI PEMOHON: CHANDRA MOTIK YUSUF Ya, mohon maaf karena saya tidak membuat … apa namanya … slide. Jadi saya baca saja.
17.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik.
18.
AHLI DARI PEMOHON: CHANDRA MOTIK YUSUF Apa yang saya rasa penting untuk sidang hari ini, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Bapak Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Bapak-Bapak rekan-rekan konsultan, baik dari Pemohon maupun Termohon. Hari ini saya diminta oleh Pemohon untuk menjadi Saksi Ahli dalam bidang pelayaran karena memang bidang saya di bidang 12
pelayaran. Pertama kali waktu saya diminta, saya agak sedikit kejut. Untuk saya, ini adalah suatu hal yang sangat … apa namanya … menarik sekali karena selama ini belum pernah ada pelayaran sendiri ya, “Melakukan suatu … apa … permohonan untuk ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji mengenai undang-undang mengenai pajak.” Yang selama dan setahu saya, biasanya mestinya adalah dengan organisasi melakukan ini, yaitu karena … Cotrans Asia adalah di bawah INSA (Indonesian National Shipowners Association). Biasanya selalu INSA yang mengajukannya, tapi ini sendiri, single fighter melakukan hal ini yang saya rasa nanti hasilnya dirasakan oleh semuanya. Jadi bukan hanya oleh Pemohon, tapi semua perusahaan pelayaran nantinya akan … apa … mendapat keuntungan bilamana memang ini dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Apa yang dimaksud pertama kali mungkin saya kembali dulu sebelum menerangkan yang selanjutnya. Adalah mengenai pengertian daripada pelayaran itu sendiri. Karena di sini kalau saya lihat, pelayaran … di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yang merupakan perbaikan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Kembali sebenarnya kalau kita melihat undang-undang ini hanyalah bagian daripada satu keseluruhan yang dulunya Indonesia, dalam hal ini perhubungan laut dengan Universitas Indonesia pernah membuat suatu draft undang-undang mengenai hukum … hukum maritim Indonesia. Sayangnya undang-undang itu dibuat tahun 19821984 dengan bantuan daripada World Bank. Namun demikian, tidak menjadi suatu undang-undang. Akhirnya yang keluar adalah UndangUndang Pelayaran Nomor 21 ini tahun 1992, kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. Di dalam sini kita melihat undang-undang ini masuk dalam pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan, dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Di dalam Pasal 1 ayat (3) nya, kemudian dijelaskan lagi angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Sedangkan di halaman … di ayat (36) nya disebutkan, “Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga elektronik, energi lainnya, ditarik atau ditunda.” Ditarik dan ditunda ini adalah seperti yang sekarang di … kita apa … bahas. Termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan berada di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Ini pada waktu membuatkan daripada undang-undang ini, ini juga cukup alot ya karena waktu itu saya juga … apa … tidak ikut di dalam, tapi diminta juga untuk membantu. Ini kapal ini diharapkan enggak berubah-ubah, dalam arti kata jangan sampai waktu itu termasuk rig. Jadi, rig pun yang tidak … tidak berpindah, itu dia tetap di satu tempat disebut juga dengan kapal. 13
Pada waktu Presiden SBY mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2005, kemudian itu apply daripada di dalam situ adalah ada (suara tidak terdengar jelas). Itu juga pada waktu itu DPR tetap berpendapat tidak boleh diubah, walaupun kemudian ada sebagian masyarakat yang minta perubahan daripada pengertian dari kapal ini. Karena itu, kita lihat bahwa kapal ini tetap dia berprinsip kepada apa yang disebut di dalam undang-undang dalam Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 ini. Nah, di sini kita melihat Pemohon sebagai PT Cotrans Asia ini, ada suatu perusahaan pelayaran yang diberikan izin dengan SIUPAL (Surat Izin Usaha Pengangkutan Angkutan Laut). Nah, izin ini merupakan suatu izin yang khusus. Jadi, di dalam pelayaran, itu tidak bisa lagi melakukan suatu hal di luar apa yang ada disebut di dalam peraturan mengenai izin tersebut, yaitu tadi kita sebutkan di sini adalah melakukan suatu (suara tidak terdengar jelas) sistem (suara tidak terdengar jelas) perairan kepelabuhan, keselamatan, keamanan (suara tidak terdengar jelas) lingkungan maritim. Jadi, kalau toh dia melakukan suatu … apa namanya … usaha, dalam hal ini adalah memindahkan barang “batubara” dari satu tempat ke (suara tidak terdengar jelas) dengan menggunakan tugboat atau boat, yaitu kapal tongkang dan penariknya, itu adalah masuk di dalam lingkup usaha pelayaran itu sendiri. Kalau dia tidak … perusahaan ini melakukan hal ini bukan melakukan usaha dalam lingkup usaha pelayaran, otomatis pemberi izin, yaitu Departemen Perhubungan qq Dirjen Perhubungan Laut akan memberikan sanksinya. Jadi, di sini kita bisa melihat bahwa apa yang disebutkan oleh perusahaan pelayaran, itu adalah usaha yang khusus, tidak bisa lagi dilakukan untuk hal-hal yang lain. Bilamana disebutkan tadi di dalam Pasal 23 yang tadi disampaikan oleh rekan saya bahwa itu adalah masuk jasa-jasa yang lain, itu tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan pelayaran ini. Karena itu tidak masuk di dalam lingkup izin yang diberikan oleh mereka, oleh dalam hal ini oleh pemerintah, yaitu Perhubungan Laut. Itu yang saya maksudkan. Kemudian, apakah ini juga disampaikan? Usaha pelayaran, itu diberikan kemudahan di dalam Pasal 15 tadi. Karena memang seperti disampaikan adalah usaha yang amat sangat melibatkan kepentingan orang banyak, masyarakat, dan rakyat kita. Hampir yang tadi disampaikan 90% itu betul sekali, angkutan barang diangkut oleh lewat laut. Karena itu, kami sendiri sebagai … apa namanya … orang yang terjun di bidang maritim ini, saya rasa senang sekali waktu disampaikan oleh presiden … Presiden SBY mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2005. Namun demikian, kemudian hari ini kita melihat dimasukkan bahwa apa yang dilakukan oleh usaha pelayaran, yaitu menyewa. Menyewa itu, “itu bagian daripada lingkup … apa … pekerjaan mereka” yang ada diatur di KUHD Buku 2 di Undang-Undang Pelayaran kita. Di situ disampaikan bahwa untuk menyewa itu, itu masuk di dalam buku 2 14
tersebut. Bisa (suara tidak terdengar jelas) menurut (suara tidak terdengar jelas) atau (suara tidak terdengar jelas) menurut waktu. Nah, dilakukan … apa yang dilakukan oleh Pemohon, itu adalah menyewa kapal, dalam hal ini tongkang, tugboat dari perusahaan lainnya yang juga perusahaan-perusahaan pelayaran, yang juga … yang memang menyewakan kapal tersebut. Jadi, itu adalah bagian daripada … apa … usaha yang mereka lakukan. Di sini kita melihat bahwa dengan kemudian dimasukkan ini menjadi Pasal 23 dengan jasa-jasa lainnya, ini sama saja juga dengan me … mematikan kembali apa yang sudah di … apa … disebutkan oleh Presiden SBY dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2005, di mana pada waktu itu Perusahaan-Perusahaan Pelayaran Indonesia sekarang bisa mengangkut barang-barang lewat laut itu dengan … (suara tidak terdengar jelas) dengan bendera-bendera Indonesia, dengan kapal Indonesia, dengan awak Indonesia. Kemudian, perlakuan lagi khusus diberikan dengan pajak tadi, Pasal 15 untuk pelayaran. Bilamana itu sekarang itu diganti dengan Pasal 23 itu masuk ke dalam itu, berarti itu me … apa … me … mengkhianati apa yang sudah di … ditentukan oleh undang-undang sendiri, yang kita tahu bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perundang-Undangan merupakan asas adil, kekecualian, atau derogat lex specialis lex generalis. Saya rasa mungkin itu saja, Pak Ketua, yang saya sampaikan. Lebih dan kurang bilamana bisa ditanyakan, saya akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari Pak Majelis Hakim maupun dari kawankawan (suara tidak terdengar jelas). Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Waalaikumsalam wr. wb. Baik, terima kasih. Pemohon, ada pertanyaan untuk Ahli atau cukup? Cukup. Dari Pemerintah?
20.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah ada satu (suara tidak terdengar jelas). Terima kasih.
21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya.
15
22.
PEMERINTAH: GORO EKANTO Terima kasih. Mohon izin, Majelis Hakim. Ingin bertanya mengenai masalah … kepada Ahli Bu Haula. Karena disebutkan tadi bahwa … Ahli berpendapat bahwa yang paling baik untuk mengenakan pajak adalah Pasal 4 objek pajak di situ, yang kalau boleh disebut di sini adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dan seterusnya, seterusnya, termasuk dalam huruf i di situ adalah sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Saya ingin klarifikasi, apakah Bu … Ibu Saksi Ahli setuju bahwa pengenaan pajak adalah atas jenis pajaknya dan bukan dari sektor usahanya, seperti pelayaran tadi. Karena seperti kita ketahui bahwa wajib pajak mengenakan pajak withholding itu tadi disebutkan tadi adalah atas jenis usaha, ya, bukan dari jenis penghasilannya dan di dalam pelaksanaan perpajakannya, wajib pajak telah melakukan kekeliruan sebetulnya. Bahwa pajak yang dikenakan bukan dari jenis penghasilannya, tetapi dari sektor usahanya, di dalam hal ini jasa pelayaran. Atas dispute ini, sudah diselesaikan kalau tidak salah sampai dengan pengadilan pajak dan sudah dimenangkan. Nah, saya kira ingin menjelaskan … ingin minta klarifikasi, apakah Ahli setuju bahwa pengenaan pajak atau dikenakan atas jenis pajak bukan dari sektor usahanya. Demikian, terima kasih.
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Masih ada atau cukup?
24.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup, Yang Mulia.
25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup dulu, ya? Silakan, Ibu Haula.
26.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Terima kasih, Yang Mulia. Izinkan saya menjawab pertanyaan. Yang pertama, seperti saya sampaikan bahwa memang kalau kita bicara mengenai the based policy yang digunakan adalah SHS konsep, itulah yang diadopsi di dalam Pasal 4, ya. Bahwa penghasilan dan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh ya oleh wajib pajak, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, baik untuk menambah kekayaan atau … baik untuk konsumsi atau 16
menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Artinya, yang dianut adalah global taxation, ya, world wide income, terus kemudian accretion concept, tetapi jangan lupa dalam mendesain kebijakan, ya, kadang-kadang first based itu tidak selalu bisa dilakukan, ya, ini sudah menjadi … artinya bukan hanya problem di Indonesia, di negara manapun tidak mungkin … apa … bisa selalu menggunakan yang first based theory karena itu adalah second based theory, second based theory-nya itulah yang tadi … apa namanya … presumptive scheduler, kita punya Pasal 4 ayat (2) dan kalau di Pasal 15, itu memang dari awal dari Undang-Undang PPh ini … apa namanya … dirumuskan, itu memang diberikan semacam special tax treatment, ya. Jadi yang mejadi dasar kemudian bukan penghasilan yang kemudian industrinya. Karena itulah kemudian ya, ketika kita bicara mengenai bagaimana perlakuan pajaknya, kemudian harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku umum, apa yang dimaksud dengan tadi jasa pelayaran itu sendiri, itu yang … apa namanya … yang harus diperhatikan. Dan di dalam praktiknya, Majelis Hakim Yang Mulia, ini bukan hanya ada dualisme perlakuan, tetapi triple bahkan. Kenapa? Karena ada yang masuk ke Pasal 15, ada yang masuk ke 23, Pasal 23, tapi berkait dengan sewa atas penggunaan harta, tetapi kemudian ada juga yang masuk ke dalam PP Pasal 23 untuk tadi, jasa lain. Bayangkan begitu. Padahal industrinya sendiri sama industri pelayaran yang sebetulnya tadi sudah katakan, ini memang ada special tax treatment. Kalau saya kira rekan di pemerintah sendiri sudah tahu persis begitu, ya. Bahwa kalau kita bicara tax treaty saja begitu, ya, mau UN Model mau itu tadi OECD Model, yang namanya untuk shipping itu, itu perlakuan pajaknya itu sendiri, khusus begitu. Jadi, ya karena memang itu kalau … kalau kita bicara presumptive, apalagi kalau kita bicara mengenai jalur … apa namanya … internasional, yang namanya kewenangan perpajakannya atau taxing powernya itu kan mau dihitung berapa negara, seperti itu kan, apa … sulit, sehingga memang sudah menjadi satu kewajiban internasional dan Indonesia secara … apa … unilateral itu sudah mengatur sebenarnya, memberikan privilege, tadi semacam special tax treatment, khusus untuk sekali lagi, di sini kalau saya bacakan adalah khusus untuk perusahaan palayaran, perusahaan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi, dan perusahaan dagang asing, begitu, serta perusahaan tadi yang melakukan investasi dalam bentuk BOT. Itu saya kira … apa namanya … yang, yang jadi perhatian. Jadi, sekali lagi bahwa dalam kasus tertentu, itu memang kita harus mengedepankan kepada … apa namanya … first based policy, tetapi kalau itu tidak mungkin, terpaksa kita mundur selangkah dengan second based theory. Bahkan itu kemudian dilakukan juga oleh pemerintah saatsaat ini … mohon maaf, dengan PP 46 itu, ya, itu kepada … apa namanya … dengan tarif 1%, itu kan sebetulnya kalau kita bicara PPh, 17
loh kok bukan kemudian … jadi objeknya, penamaannya saja kemudian kepada wajib pajak tertentu. Nah, seperti itu, jadi itulah kenyataannya dalam … apa namanya … desain kebijakan itu, ya memang pada akhirnya tadi keseimbangan antara revenue, productivity, certainty is of administration itu sudah harus memang tiga-tiganya diperhatikan. First based, itu baik sekali, tetapi kalau tidak bisa, terpaksa mundur selangkah jadi second based. Itu yang bisa saya sampaikan. 27.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Sementara, cukup dulu, Yang Mulia.
28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, dari Hakim? Tidak ada, ya? Pemohon, masih ada Ahli yang akan diajukan? Atau cukup?
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Baik, Yang Mulia. Dari kami ada 1 ahli lagi, mohon kesempatan untuk diberikan waktu untuk menghadirkan ahli tersebut.
30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, 1 ahli lagi ya?
31.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Ya.
32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dari Pemerintah?
33.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Pemerintah ada, Yang Mulia. Nanti disusulkan melalui surat resmi dari Pemerintah.
34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Berapa orang kira-kira?
18
35.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI 3.
36.
KETUA: HAMDAN ZOELVA 3?
37.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Ya, ada 3 mungkin.
38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Kalau 3, ya bawa sekaligus ya di sidang yang akan datang, sama 1 dari Pemohon. Jadi ada 4 ahli, ya. Sidang selanjutnya dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 23 Oktober 2014, pukul 11.00 untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan Presiden. Terima kasih kepada para Ahli atas keterangannya pada hari ini. Sidang … masih ada?
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Ya. Ada 1 lagi, Yang Mulia. Kami mohon untuk diberikan waktu juga untuk menyampaikan bukti tambahan tertulis.
40.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan saja. Nanti dalam sidang yang akan datang.
41.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Baik, terima kasih.
19
42.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang hari ini selesai dan sekali lagi, saya ingatkan, sidang selanjutnya hari Kamis, 23 Oktober 2014, pukul 11.00 untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon 1 orang dan Pemerintah 3 orang. Sidang selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.07 WIB Jakarta, 6 Oktober 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
20