MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 54/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, SERTA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN PIHAK TERKAIT (VI)
JAKARTA SENIN, 10 NOVEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 54/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1)], serta Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara [Pasal 13] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Faisal ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Pihak Terkait (VI) Senin, 10 November 2014, Pukul 11.15 – 12.02 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Hamdan Zoelva Aswanto Wahiduddin Adams Muhammad Alim Anwar Usman Ahmad Fadlil Sumadi
Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti ii
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Faisal B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Adria Indra Cahyadi 2. Gugum Ridho Putra 3. Elfano Eneoni 4. Eddy Mulyono 5. Bayu Nugroho 6. Arfa Gunawan C. Pemerintah: 1. Agus Hariadi D. Pihak Terkait: 1. Eddy Mulyadi Soepardi 2. Ahmad Anang Hernadi
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.15 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 54/PUUXII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon,
2.
hadir ya?
KUASA HUKUM PEMOHON: ARFA GUNAWAN Hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. DPR? Tidak hadir ya. Agenda sidang hari ini dilanjutkan untuk mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait (Badan Pemeriksa Keuangan). Hadir ya? Hadir. Baik, langsung saja dipersilakan kepada BPK untuk menyampaikan keterangan.
6.
PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Bismillahirrahmaanirrahiim. Izinkan saya sebagai kuasa dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk membacakan keterangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atas permohonan pengujian UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014. Assalamualaikum wr. wb. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Para Hadirin yang kami hormati. Setelah mengikuti rangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang 1
Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kami telah merangkum permasalahan-permasalahan yang dimohonkan oleh Pemohon Saudara Ir. Faisal melalui Kuasa Hukumnya maupun pendapat ahli-ahli yang telah ditujukan oleh Pemohon, untuk itu perkenankanlah pada hari ini yang berbahagia ini BPK sebagai pihak yang terkait menyampaikan ringkasan eksekutif keterangan BPK atas perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 sebagai berikut. Pertama. Frasa kata dapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tidak menimbulkan multitafsir karena merupakan kewenangan BPK berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, mengawal keterangan kami tentang permohonan terkait frasa kata dapat dalam Undang-Undang Nomor 15 … dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, kami ingin menjelaskan bahwa frasa kata dapat tersebut haruslah dibaca dalam konteks kewenangan BPK sebagai lembaga negara yang melakukan pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab keuangan negara hal tersebut sesuai dengan model perumusan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan, Peraturan Perundang-Undangan, dan Lampiran 2 Bab 3 paragraf 267 sebagai berikut. “Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga, gunakan kata dapat.” Selanjutnya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi bahwa sifat diskresioner tersebut dapat dipahami dalam konteks substansi mengenai apa dan bagaimana sebenarnya pemeriksaan tersebut dilakukan. Dalam kasus ini terkait dengan pemeriksaan atas laporan keuangan. Sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 6 ayat (3) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006, pemeriksaan BPK terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan yang berbeda yakni pemeriksaan keuangan dalam rangka memberikan opini, pemeriksaan kinerja dalam rangka memberikan penilaian tentang ekonomis, efisiensi, dan efektivitas suatu pengelolaan keuangan negara sedang pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka memberikan simpulan tertentu sesuai tujuan pemeriksaan. Pembedaan jenis tersebut akan membedakan tujuan dan penggunanya (user). Sesuai standar pemeriksaan BPK yang diatur dalam peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau SPKN disebutkan bahwa pemeriksa harus merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan 2
perundang-undangan. Pemeriksa juga harus waspada terhadap situasi dan/atau peristiwa yang mungkin merupakan indikasi kecurangan dan/atau ketidakpatutan, dan apabila ditemukan indikasi tersebut serta berpengaruh signifikan terhadap pemeriksaan, pemeriksa harus menerapkan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa kecurangan dan/atau ketidakpatutan tersebut telah terjadi. Dan menentukan dampaknya terhadap hasil pemeriksaan. Prosedur tambahan dimaksud berupa penambahan langkahlangkah pemeriksaan dan pemeriksaan yang sedang dilakukan. Standar tersebut berlaku untuk semua jenis pemeriksaan, yakni dalam pernyataan standar pemeriksaan atau (PSP 02), standar pelaksanaan pemeriksaan (PSP 04), standar pelaksanaan pemeriksaan kinerja (PSP 06), dan standar pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Berdasarkan standar tersebut, maka jika ditemukan penyimpangan dari ketentuan perundang-undangan atau kecurangan, pemeriksa harus mengungkap hal tersebut dalam laporan hasil pemeriksaan, termasuk penyimpangan atau kecurangan yang berakibat pada kerugian negara. Selanjutnya, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK, dilaksanakan sebagai berikut. Pertama. Menerapkan kriteria dan menetapkan opini atas laporan keuangan yang didasarkan pada: 1. Kesesuaian standar akuntansi pemerintahan. 2. Kecukupan pengungkapan atau adequacy of disclosure. 3. Kepatuhan terhadap perundang-undangan. 4. Efektivitas sistem pengendalian intern. Kedua. Memastikan asersi atas laporan keuangan terpenuhi. Asersi adalah pernyataan menejemen yang terkandung di dalam komponen laporan keuangan, baik yang menyangkut keberadaan, keterjadian, existence or accurrance, kelengkapan atau completeness, hak dan kewajiban (right and obligation), penilaian (evaluation), atau alokasi, maupun pengkajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Tiga. Merancang prosedur pemeriksaan tambahan berupa penambahan langkah-langkah pemeriksaan, dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Empat. Menggunakan pendekatan pemeriksaan berbasis resiko atau risk based audit approach, agar dapat fokus menerapkan prosedur pemeriksaan yang lebih lengkap suatu area atau akun yang bersiko tinggi. Pemeriksaan BPK atau laporan keuangan yang disampaikan kepada semua stake holder BPK memuat opini atas laporan keuangan atau Buku I, Kelemahan Sistem Pengendalian Intern atau SPI dalam Buku II dan Kepatuhan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Buku III yang
3
menjadi dalam satu bagian, tidak terpisahkan dalam apa yang kita bersama ketahui bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan. Temuan tentang kerugian negara sendiri dimuat dalam bagian kepatuhan atas peraturan perundangan-undangan atau Buku III bahwa dengan demikian dalam pemeriksaan keuangan BPK dapat mengungkapkan temuan kerugian negara, hal ini sesuai dengan SPKN dan sejalan dengan Standar Pemeriksaan Akuntan Publik atau SPAP. Dalam Pernyataan Standar Audit (PSA 62), yakni seorang akuntan publik yang melaksanakan pemeriksaan atas laporan keuangan pada suatu entitas yang memperoleh bantuan keuangan dari APBN dan APBD pun apabila menemukan keuangan negara, wajib mengungkapkan kerugian negara tersebut dalam laporan auditor independent, standar pemeriksaan keuangan negara tersebut juga sejalan dengan standar internasional, yakni International Standard On Auditing 200 atau ISA 200 bahwa auditor yang harus punya keyakinan yang memadai fashionable insurance, yang bebas dari salah saji baik disebabkan oleh proud maupun error. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sifat diskresioner dari kata dapat dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 yakni pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigative guna mengungkap adanya indikasi kurang ... kerugian negara atau daerah, dan/atau unsur pidana adalah juga merupakan bagian dari kearifan profesional atau professional judgment dan bukan merupakan sebuah kewajiban yang absolute. Kearifan profesional tersebut tidaklah lantas diartikan sebagai semau-maunya secara sewenang-wenang karena BPK memiliki pertimbangan sebagaimana diatur dalam Putusan BPK Nomor 17/K/113/12/2008 tentang Petunjuk Teknis tentang Pemeriksaan Investigative atas Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah. Di mana sebelum memutuskan untuk melakukan pemeriksaan investigatif, BPK terlebih dahulu mengevaluasi informasi awal dengan mempertimbangkan ada tidaknya indikasi awal penyimpangan, yaitu penyimpangan yang mengandung indikasi unsur pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa. Dengan demikian, Yang Mulia. Frasa kata dapat dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pertama, BPK dapat mengungkap tentang kerugian negara dalam semua jenis pemeriksaan, sesuai standar pemeriksaan keuangan negara yang berlaku di BPK dan sejalan dengan standar pemeriksaan akuntan publik yang berlaku bagi akuntan publik serta ASE 200. Kedua. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tidak menimbulkan multitafsir, sebaliknya memberikan kepastian hukum bagi BPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusional guna
4
melakukan pemeriksaan investigatif bilamana diperlukan berdasarkan professional judgement yang dilindungi oleh undang-undang. Tiga. Tidak ada hubungan kausalitas antara Pasal 13 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 dengan hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehubungan dengan dakwaan tindak pidana korupsi kepada Pemohon di mana awal proses hukum tersebut merupakan hasil penyelidikan kejaksaan dan bukan berawal dari laporan BPK. Empat. Hak konstitusional Pemohon guna memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak hilang dengan adanya LHPBPK karena proses peradilan terhadap Pemohon. Kedua. Pemberian keterangan Ahli BPK tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, selanjutnya izinkan kami menjelaskan mengenai pemberian keterangan ahli oleh BPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pemberian keterangan ahli oleh BPK merupakan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada BPK sebagai suatu lembaga negara dan bukan perorangan. Untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau daerah, untuk itulah BPK menyusun aturan teknis yang mengatur antara lain tentang persetujuan, penunjukan, dan penugasan ahli melalui Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Cara ... Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli. Dalam peraturan tersebut, ahli yang dapat ditugaskan untuk memberikan keterangan adalah anggota BPK, pejabat pelaksana BPK, pemeriksa atau tenaga ahli yang bekerja untuk dan atas nama BPK, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum mengenai siapa saja yang dapat ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli, sehingga sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dengan alasan sebagai berikut. 1. Kata tentang yang diperlukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP menegaskan bahwa keterangan ahli diberikan apabila diminta oleh aparat penegak hukum yang memerlukan keahlian BPK untuk menjelaskan tentang nilai kerugian negara yang terjadi. Dalam hal ini, Yang Mulia, pemberian keterangan ahli oleh BPK adalah berdasarkan adanya permintaan dari aparat penegak hukum yang disetujui BPK. 5
(Suara tidak terdengar jelas) hukum (suara tidak terdengar jelas) BPK, setelah diberikan pertimbangan mengenai posisi kasus dan terbunuhnya unsur-unsur kerugian negara atau daerah. 2. Keahlian khusus BPK adalah dalam bidang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sehingga keterangan ahli yang diberikan oleh BPK adalah mengenai pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan mengenai hal-hal yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK terkait kerugian negara atau daerah yang akan dimintakan keterangan ahlinya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010. 3. Keterangan ahli yang diberikan oleh pemeriksa BPK diberikan setelah pemeriksa melakukan pemeriksaan, tidak semata-mata didasarkan pada pendapat berdasarkan pengetahuannya, seperti juga diatur dalam. A. Ketentuan Pasal 132 KUHAP yang mengatur tentang ahli yang memberikan keterangan tentang surat palsu, maka keterangan dapat dibuat ... ahli setelah membandingkan dokumen yang disampaikan dalam peradilan. B. Ketentuan Pasal 33 KUHAP yang mengatur tentang keterangan ahli terhadap seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka ahli yang diminta keterangan dapat memberikan keterangan setelah melakukan bedah mayat dan menerbitkan visum et repertum. 4. Sesuai dengan doktrin yang mengenal tiga macam ahli di dalam proses peradilan, yaitu: a. Ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang suatu persoalan yang dinyatakan kepadanya tanpa melakukan pemeriksaan seperti ahli ekonomi, perbankan, dan lain-lain. b. Ahli yang menyaksikan barang bukti atau saksi diam melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil pemeriksaan seperti ahli balistik, dokter forensik, dan lain-lain. c. Ahli yang menerangkan suatu persoalan atau masalah yang sebenarnya hakim dapat mempelajarinya sendiri, tetapi bukan merupakan keahlian hakim seperti orang bank yang ditanya tentang proses pemberian kredit, orang bea cukai yang ditanya mengenai proses pengumpulan barang dari pelabuhan dan lainlain. Maka cukup jelas, Yang Mulia bahwa ahli BPK dapat dikategorikan pada ahli yang keterangannya didasarkan pada hasil pemeriksaan yang dilakukannya. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, LHPBK ... BPK bukanlah merupakan penyebab seorang didakwa telah melakukan perbuatan pidana dan merugikan negara oleh aparat penegak hukum. Dalam proses peradilan di mana Pemohon menjadi terdakwa, proses 6
hukum didasarkan kepada bukti-bukti hasil pengembangan aparat penegak hukum dan tidak semata-mata didasarkan kepada LHP BPK. Penggunaan LHP BPK oleh Kejaksaan dan pengadilan, serta ahli yang diberikan oleh BPK dalam perkara tindak pidana korupsi yang didakwa kepada Pemohon tidak digunakan untuk memastikan nilai kerugian negara karena nilai kerugian negara dalam tuntutan jaksa serta dalam putusan pengadilan berbeda dengan potensi kerugian yang dimuat dalam laporan hasil Badan Pemeriksa Keuangan. Kemenangan Kejaksaan melakukan penghitungan kerugian negara dimungkinkan karena Kejaksaan sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan penegak hukum berwenang melakukan penghitungan kerugian negara, wewenang tersebut dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 31/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, ”Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya dalam mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain, termasuk dari perusahaan yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.” Dalam perkara ini digunakan atau tidaknya LHP BPK dalam pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim yang mengadili perkara. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon merupakan ranah implementasi norma, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma, sehingga pernyataan Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya Pasal 11 huruf c Nomor 15 Tahun 2006 telah menjadikan dengan mudah mendakwa dan menuntut seseorang ke pengadilan, yaitu cukup dengan menghadirkan alat bukti surat berupa laporan hasil pemeriksaan BPK dan menghadirkan pemeriksa BPK yang menghadirkan keterangan ahli sudah dapat meyakinkan hakim-hakim untuk memutuskan terdakwa bersalah adalah tidak benar. Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dengan hak konstitusional Pemohon atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan dakwaan dan tuntutan di muka pengadilan atas tindak pidana korupsi kepada Pemohon. Sebaliknya, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kewenangan BPK memberikan keterangan ahli ditentukan dalam 7
ketentuan Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 justru memberikan rasa kepastian hukum terkait independensi ahli dan kompetensi ahli dengan alasan; Pertama, ketentuan Pasal 11 huruf c sebagaimana diatur lebih lanjut dalam peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010, memberikan kepastian hukum terkait independensi Ahli yang memberikan keterangan berdasarkan hasil pemeriksaannya karena pemeriksaan BPK melaksanakan tugas secara independent, objektif, dan profesional. Terbebas dari konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam paragraf 24 SPKN yang berbunyi sebagai berikut, pemeriksa harus objektif dan bebas dari benturan kepentingan atau conflict of interest dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya, pemeriksa juga bertanggung jawab untuk mempertahankan independensi dalam sikap mental atau independent in fact dan independensi dalam penampilan, perilaku, atau independent in appearance pada saat melaksanakan pemeriksaan. Bersifat objektif merupakan cara berpikir yang tidak memihak, jujur secara intelektual, dan bebas dari benturan kepentingan. Bersikap independent, berarti menghindarkan hubungan yang dapat mengganggu sikap mental dan penampilan objektif pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan. Untuk mempertahankan objektifitas dan independensi, maka diperlukan penilaian secara terus menerus terhadap hubungan pemeriksa dengan entitas yang diperiksa. Dengan demikian, seorang ahli yang ditugaskan BPK akan memberikan keterangan secara independent karena keterangannya didasarkan pada hasil pemeriksaan dilaksanakan secara independent yang bebas dari benturan kepentingan atau conflict of interest. Independent dalam sikap mental, independent in fact, dan independent dalam perilaku atau independent in appearance. Kedua, keterangan yang diberikan ahli yang ditugaskan oleh BPK didasarkan pada kompetensi dan atau pengetahuan tentang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, serta substansi yang dimuat dalam LHP BPK. Sehingga, ahli yang ditugaskan oleh BPK haruslah pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan dan menyusun LHP terkait. Yang ketiga, frasa kata dibantu dan perwakilan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23G ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pada substansi poin tiga ini, kami ingin menjelaskan bahwa BPK mengatur pelaksanaan tugas dan tanggung jawab untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh pelaksana BPK termasuk BPK perwakilan untuk menyelenggarakan tugas BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. 8
Melalui Putusan BPK Nomor 39/K/1-8.3/7/2007 tentang organisasi dan tata kerja pelaksanaan BPK. Berdasarkan hukum administrasi negara, Keputusan BPK Nomor 39/K/1-8.3/7/2007 merupakan housekeeping regulation BPK sebagai implementasi dari frasa kata dibantu. Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang 15 Tahun 2006 yang antara lain mengatur penugasan kepada pelaksana BPK sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing. Dalam hal ini, BPK perwakilan Sumatera Utara memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada pemerintah Provinsi Sumatera Utara Kota/Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, serta BUMG dan lembaga terkait di lingkungan entitas tersebut. Dalam Keputusan BPK Nomor 39/K/1-8.3/7/2007 diatur pula mengenai hubungan antara board atau badan dengan BPK perwakilan, yaitu berupa kewajiban untuk menyampaikan laporan dari pelaksana BPK termasuk BPK perwakilan sebagai pihak yang menerima penugasan dari board atau badan. Khusus untuk pemeriksaan investigatif, BPK mengatur lebih lanjut mekanisme pelaksanaan pemeriksaan investigatif dalam keputusan BPK Nomor 17/K/1-13.2/12/2008 tentang petunjuk teknis pelaksanaan … pemeriksaan investigatif atas tindak pidana ... atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara atau daerah. Keputusan ini mengatur bahwa setiap pelaksana investigatif, BPK perwakilan harus melalui board atau badan. Selama ini BPK perwakilan dalam melakukan pemeriksaan investigatif sudah sesuai dengan mekanisme dalam ketentuan tersebut dan tidak ada pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK perwakilan tanpa melalui persetujuan board atau badan. Dengan demikian, tidak benar pernyataan Pemohon bahwa BPK perwakilan dapat mengambil tindakan di luar kewenangannya, yakni melakukan pemeriksaan investigatif secara mandiri tanpa didahului perintah langsung dari board atau badan. Dalam kasus ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK Perwakilan Sumatera Utara atas pengelolaan keuangan pada Dinas PU Kabupaten Deli Serdang bukan merupakan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, frasa kata dibantu dan perwakilan dalam Pasal 34 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Karena pertama, BPK perwakilan merupakan salah satu pelaksana BPK yang mendapatkan pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan tugas dan wewenang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dari BPK berdasarkan keputusan BPK tentang struktur organisasi dan tata kerja pelaksanaan BPK juncto Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. BPK perwakilan wajib melaporkan hasil kegiatan kepada board atau badan selaku pemberi penugasan. Dua. Pelaksanaan tugas pemeriksaan oleh BPK perwakilan sama sekali tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan proses hukum dakwaan tindak pidana korupsi terhadap Pemohon, sehingga tidak ada 9
hak konstitusional Pemohon atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum yang dilanggar. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Dari penjelasan kami tersebut, perlu kami jadikan sebagai renungan bahwa konsekuensi yang akan timbul apabila permohonan pengujian undang-undang ini dikabulkan, yaitu; 1. Apabila permohonan Pemohon atas Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 sepanjang frasa kata dapat dikabulkan oleh Mahkamah, hal ini berpotensi menimbulkan efisiensi dengan adanya pengulangan pemeriksaan oleh BPK sekaligus membebani keuangan negara yang seharusnya tidak perlu. Karena hasil pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu selain pemeriksaan investigatif telah secara nyata mengungkap kerugian negara yang didukung dengan bukti-bukti audit yang memadai, maka BPK tidak perlu memperdalam temuan tersebut melalui pemeriksaan investigatif. 2. Apabila permohonan Pemohon atas Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dikabulkan oleh Mahkamah, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses peradilan karena ahli yang akan diminta untuk memberikan keterangan ahli bukan pihak atau ahli yang memiliki keahlian khusus di bidang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mampu menjelaskan atau menerangkan mengenai substansi kerugian negara atau daerah yang dimuat dalam LHP BPK sebagai hasil analisis yang telah dilakukannya secara objektif, profesional, dan independent atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diperiksanya. 3. Apabila permohonan Pemohon atas Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dikabulkan oleh Mahkamah, sehingga (suara tidak terdengar jelas) konstitusional sepanjang dimaknai BPK Republik Indonesia Perwakilan berwenang melaksanakan pemeriksaan investigatif secara mandiri, hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip pelimpahan wewenang yang dikenal dalam hukum administrasi negara. Dimana secara organisasi board atau badan sebagai pimpinan di BPK berwenang memberikan penugasan kepada pelaksana BPK, termasuk BPK perwakilan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh badan atau board housekeeping regulation. 4. Saat ini banyak kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani aparat penegak hukum yang dikembangkan bukan dari LHP investigatif BPK semata, melainkan dari LHP keuangan atau LHP kinerja. Apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka putusan Mahkamah Konstitusi akan dijadikan sebagai rujukan utama bagi para Pihak Terkait yang sedang menghadiri proses hukum untuk memerintahkan proses hukum tersebut. Atau terhadap putusan Hakim
10
atas kasus-kasus tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht. Untuk itu, kami memohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan ini agar; 1. Menolak permohonan Pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. 2. Menerima keterangan BPK secara keseluruhan. 3. Menyatakan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara sepanjang kata dapat tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 4. Menyatakan Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 5. Menyatakan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sepanjang kata dibantu dan perwakilan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 23G ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 6. Menyatakan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Demikian keterangan BPK ini disampaikan atas perhatian Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi diucapkan terima kasih. Wabilahitaufik walhidayah assalamualaikum wr. wb. Jakarta, 10 November 2014 Badan Pemeriksa Keuangan. Eddy Mulyadi Soepardi. 7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih kepada BPK. Untuk melengkapi dan menjadi bahan bagi Majelis untuk mengkaji lebih jauh informasi yang sudah disampaikan tadi, Majelis minta agar Keputusan BPK Nomor 39/K18/2007 mengenai hubungan antara badan/board dengan BPK perwakilan minta diserahkan kepada Mahkamah. Dan Keputusan BPK Nomor 17, ya, kopinya saja tentang petunjuk teknis pemeriksaan investigatif, juga kopinya diserahkan kepada Mahkamah. Saya sedikit klarifikasi dari penjelasan tadi walaupun secara saya ... untuk memastikan saja apakah perwakilan BPK atau perseorangan dari perwakilan BPK yang memberikan keterangan ahli dalam suatu perkara pidana harus mendapatkan perintah tugas khusus dari board ataukah 11
otomatis dia sebagai anggota perwakilan yang ada di daerah dapat memberikan keterangan di pengadilan? Itu. 8.
PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Baik, Pak. Seorang otomatis bisa juga diperwakilan karena sudah dalam konteks pendelegasian.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dia yang memeriksa (suara tidak terdengar jelas), baik. Tadi sudah dijelaskan tapi saya hanya memastikan saja apakah dalam pengungkapan proses, pengungkapan tindak pidana cukup dengan LHP saja ataukah harus dengan pemeriksaan investigatif? Atau cukup dengan LHP saja?
10. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Seperti tadi kami sampaikan, Majelis Hakim. Jenis pemeriksaan itu ada tiga, laporan keuangan, kemudian kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. Manakala ada pendalaman secara signifikan atau telah diduga adanya penyimpangan yang banyak, dan ada pengaruhnya terhadap laporan keuangan secara keseluruhan atau lembaga di luar yang diperiksa, itu memang perlu pendalaman. Dalam konteks tadi apakah kalau ada masalah menerangkan indikasi pidana, tentu tidak dalam laporan itu, Pak, karena tujuan laporannya beda, tujuan auditnya itu pemeriksaan keuangan itu untuk opini, kinerja untuk efektifitas dan efisiensi, dan dengan tujuan tertentu tergantung dari mandatnya. Namun ketiganya bisa mengungkap kerugian negara. Jadi, kerugian negara memang harus melalui dengan proses pemeriksaan, harus. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA Apa pun pemeriksaannya apakah investigatif atau pun bukan? 12. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Apa pun, betuk Ketua. Jadi saya akan menjelaskan juga kenapa harus dengan proses pemeriksaan? Karena tidak mungkin kerugian negara didapat tanpa proses pemeriksaan. Kerugian negara secara akuntansi itu adalah berkurangnya harta dengan cara ilegal atau menyimpang. Bertambahnya hutang yang tidak seharusnya bertambah, berkurangnya modal dengan cara menyimpang, menambah biaya dengan tidak seharusnya, atau menurunkan pendapatan dengan tidak semestinya. Namun semua aktifitas entitas tentu diatur oleh pedoman, oleh SOP. Nah, 12
auditor membandingkan itu, Ketua. Itu mungkin tambahan saya. Terima kasih. 13. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih, cukup. Ada yang mau diklarifikasi? 14. KUASA HUKUM PEMOHON: ADRIA INDRA CAHYADI Ada, Majelis. 15. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. 16. KUASA HUKUM PEMOHON: ADRIA INDRA CAHYADI Untuk Saudara Ahli. 17. KETUA: HAMDAN ZOELVA Bukan Ahli ini. 18. KUASA HUKUM PEMOHON: ADRIA INDRA CAHYADI Oh, dari BPK, maaf. 19. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ini dari Pihak Terkait, makanya (…) 20. KUASA HUKUM PEMOHON: ADRIA INDRA CAHYADI Dari BPK. 21. KETUA: HAMDAN ZOELVA Saudara anu, memberikan apa … untuk klarifikasi saja karena ini keterangan Pihak Terkait. 22. KUASA HUKUM PEMOHON: ADRIA INDRA CAHYADI Terkait keterangan Saudara. Keputusan BPK RI Nomor 17, pada halaman 67 huruf a poin 1 disebutkan, “Perhitungan kerugian negara atau daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung 13
nilai kerugian negara atau daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara atau daerah.” Bahwa dalam Keputusan BPK Nomor 17 tersebut, sebetulnya jelas terkait dengan perhitungan kerugian negara dalam kaitannya dengan pemeriksaan investigatif. Pertanyaannya adalah dapatkah dalam menentukan kerugian negara digunakan mekanisme pemeriksaan di luar pemeriksaan investigatif apabila tadi di SK tersebut sudah dinyatakan jelas? Terima kasih. 23. KETUA: HAMDAN ZOELVA Tadi kan sudah terjawab. Jadi investigatif maupun bukan investigatif, bisa dipakai. Itulah tadi yang saya tanyakan ya. Nanti bisa dilihat kemudian di dalam record ya. Baik, ada lagi yang lain? Ya. 24. KUASA HUKUM PEMOHON: GUGUM RIDHO PUTRA Terima kasih, Yang Mulia. Saya mau menanggapi soal frasa kata dapat tadi soal diskresi. Kalau itu dikatakan sebagai sebuah diskresi, menurut kami tidak ada dasar (…) 25. KETUA: HAMDAN ZOELVA Enggak, gini. Hanya mengklarifikasi saja karena begini, ini kalau Saudara memiliki sikap pandangan berbeda nanti sampaikan dalam kesimpulan. 26. KUASA HUKUM PEMOHON: GUGUM RIDHO PUTRA Oke, berarti yang satu lagi, Yang Mulia. Soal tadi pemeriksaan yang jenis lain. Yang pemohon persoalkan di sini kan sebenarnya persoalan … bukan persoalan apa … ya, dikatakan sebagai persoalan penanggapan norma, gitu. Padahal kalau Pemohon menyatakan ini adalah persoalan konstitusionalitas prosedur, begitu. Pertanyaannya, jika semua apa … mekanisme jenis pemeriksaan itu bisa dijadikan sebagai alat bukti nanti LHP-nya untuk mendakwa seseorang di pengadilan, maka dia akan sangat mudah sekali untuk mendakwa seseorang di pengadilan itu. Ibaratnya begini, ketika Bapak ingin berangkat ke kantor, gitu. Ingin berangkat ke BPK menggunakan sepeda motor. Lalu ketika di jalan ada banyak jalur jalan, ada jalur motor, jalur cepat, ada jalur busway. Pertanyaannya, apakah bisa kita mengendarai motor melewati jalur busway? Bisa, Pak. Sangat bisa dan bahkan lebih cepat sampainya, begitu kan. Tapi pertanyaannya apakah itu sah? Jelas tidak sah, gitu. Dan 14
itulah yang terjadi sekarang, gitu. Semua orang banyak didakwa dengan LHP rutin, LHP kinerja, dan segala macam dan itu sangat tidak sesuai dengan due process of law. Terima kasih, Yang Mulia. 27. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, baik. Silakan. 28. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Mohon izin, Majelis. Saya tadi sudah menjelaskan bahwa setiap audit type, jenis audit akan membedakan tujuan dan membedakan user dan itu mandatnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Saya paham pertanyaan tadi jalan busway dan jalan biasa. Kita harus bedakan juga barangkali bisa dan boleh. Yang Bapak tanya itu bisa, tapi yakin memang tidak boleh kita masuk busway. Tentu auditor di BPK, pelaksana maksud kami mulai dari tingkat eselon I sampai ke auditor pelaksana tahu betul karena kita d pedomani oleh standar pemeriksaan keuangan negara. Kita tidak bisa lepas dari aturan standar pemeriksaan keuangan negara. Jadi, saya mengulas pertanyaan Saudara tadi bahwa apa yang dilakukan telah sesuai dan semua jenis pemeriksaan bisa me-disclose mengungkap kerugian negara karena ya mungkin nanti ahli-ahli kami, Pak, bisa menjelaskan lebih dari sisi kacamata hukumnya. Tapi dari sisi di mana masalah kerugian negara yang bisa ditindaklanjuti dengan (suara tidak terdengar jelas), dengan Undang-Undang Perbendaharaan dengan pidana. Itu kan dua hal yang sangat beda dan aturannya sangat beda. Apa yang dalam konteks diskusi Bapak tadi dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentu … sudah barang tentu perbuatan melawan hukumnya juga sudah ditentukan oleh aparat penegak hukum. Karena auditor, sepengetahuan saya, tidak dalam konteks menetapkan perbuatan melawan hukum untuk pidana. Tapi untuk masalah tuntutan perbendaharaan ya, bisa. Karena di BPK juga ada Majelis tuntutan Perbendaharaan. Saya rasa itu, Pak Ketua. Terima kasih. 29. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Ya, terima kasih. Apakah masih ada ahli yang akan diajukan? Pemerintah ajukan ahli? 30. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia.
15
31. KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Pemohon, cukup, ya? Sudah, ya? BPK, cukup, ya? 32. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Mengajukan ahli juga, Pak. 33. KETUA: HAMDAN ZOELVA Oh, akan mengajukan ahli? 34. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Ya. Nanti, Pak, ya (…) 35. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. 36. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Dalam persidangan selanjutnya. 37. KETUA: HAMDAN ZOELVA Berapa orang ahli yang akan diajukan? 38. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Mungkin empat, Pak. 39. KETUA: HAMDAN ZOELVA Empat? 40. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Empat. 41. KETUA: HAMDAN ZOELVA Kebanyakan. Ini … atau tiga saja sekalian sekali sidang.
16
42. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Baik, Pak. Nanti kami didiskusikan. Ya, Pak. 43. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sekali sidang saja, bawa semua, ya? Ini sidangnya ... apa ... akan dilaksanakan pada hari Selasa, 25 November 2014, pukul 11.00 WIB, ya. 44. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Baik, Yang Mulia. 45. KETUA: HAMDAN ZOELVA Selasa, 25 November 2014, pukul 11.00 WIB. 46. PIHAK TERKAIT: EDDY MULYADI SOEPARDI (BPK) Baik, Pak, kami catat. 47. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Ini sekaligus ini sidang terakhir ya untuk Pemohon dan juga Pemerintah. Tinggal … tinggal mendengarkan keterangan ahli yang akan diajukan oleh BPK. Baik. Dengan demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.02 WIB Jakarta, 10 November 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
17