PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/12/ PBI/ 2014 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia memiliki
tugas
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan moneter; b. bahwa
dalam
rangka
mendukung
tugas
dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia melakukan operasi moneter syariah baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah; d. bahwa dalam rangka pelaksanaan operasi moneter syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan pengayaan instrumen operasi moneter syariah dalam valuta asing; e. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan
ekonomi,
keuangan,
dan
moneter,
efektivitas operasi moneter syariah perlu ditingkatkan; f. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter Syariah;
Mengingat ...
-2Mengingat :
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
BANK
INDONESIA
TENTANG
OPERASI
MONETER SYARIAH.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1.
Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2.
Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
3.
Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
mengenai
perbankan syariah. 4.
Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengendalian ...
-3pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 5.
Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS.
6.
Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.
7.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
8.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang Rupiah.
9.
Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing).
10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
BAB II TUJUAN OPERASI MONETER Pasal 2 (1)
OMS bertujuan mencapai target operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia.
(2)
Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kecukupan likuiditas Rupiah perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal ...
-4Pasal 3 (1)
Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
2
dilakukan
dengan
cara
mempengaruhi
likuiditas
perbankan syariah melalui absorpsi likuiditas atau injeksi likuiditas. (2)
Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing.
BAB III KEGIATAN OPERASI MONETER SYARIAH Bagian Kesatu Prinsip dan Bentuk Operasi Moneter Syariah Pasal 4 (1)
Kegiatan OMS harus memenuhi prinsip syariah.
(2)
Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
Pasal 5 Kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan: a.
OPT Syariah; dan
b.
Standing Facilities Syariah.
Bagian Kedua Operasi Pasar Terbuka Syariah Pasal 6 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan dengan cara: a.
penerbitan SBIS;
b.
jual beli surat berharga dalam Rupiah yang memenuhi prinsip syariah yang meliputi SBSN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
c. penempatan ...
-5c.
penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; dan/atau
d.
transaksi lainnya baik di pasar uang Rupiah maupun di pasar valuta asing.
Pasal 7 Jual beli surat berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dapat dilakukan dengan cara antara lain: a.
pembelian secara lepas (outright buying);
b.
penjualan secara lepas (outright selling);
c.
penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo); dan/atau
d.
pembelian secara bersyarat (reverse repo).
Pasal 8 (1)
Penempatan
berjangka
(term deposit)
syariah
dalam
valuta
asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c menggunakan akad ju’alah. (2)
Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing.
Pasal 9 Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat dicairkan oleh Bank sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Pasal 10 (1)
Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang dipelihara BUS pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
(2) Nilai ...
-6(2)
Nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari: a.
nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang
bersangkutan
sebelum
dikurangi
dengan
penempatan
berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; b.
nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; atau
c. (3)
5% (lima persen) dari modal BUS.
BUS melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai pengurang.
(4)
Dalam hal BUS tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto.
(5)
Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing maka perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing dapat menjadi pengurang posisi devisa neto bank umum konvensional yang memiliki UUS.
(6)
Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (5), laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing dilaporkan oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS.
(7)
Perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto dan pelaporan posisi devisa neto oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter.
Pasal ...
-7Pasal 11 OPT Syariah dapat dilaksanakan setiap Hari Kerja. Pasal 12 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang.
Bagian Ketiga Standing Facilities Syariah Pasal 13 Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan dengan cara: a.
penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility); dan
b.
penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility).
Pasal 14 (1)
Fasilitas simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a antara lain dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
(2)
Fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b antara lain dilakukan dalam bentuk repo surat berharga dalam Rupiah.
Pasal 15 (1)
Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja.
(2)
Pelaksanaan Standing Facilities Syariah dilakukan melalui mekanisme nonlelang.
BAB IV SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH Bagian Kesatu Akad dan Karakteristik SBIS Pasal 16 (1)
SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. (2) Bank ...
-8(2)
Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan.
(3)
Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban Repo SBIS.
Pasal 17 SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut: a.
satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b.
berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan;
c.
diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d.
dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan
e.
tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Bagian Kedua Persyaratan Kepemilikan SBIS Pasal 18 (1)
Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah Bank.
(2)
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga Repo SBIS Pasal 19 (1)
Bank dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia.
(2)
Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip qard yang diikuti dengan rahn.
(3)
Bank yang mengajukan Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS Dalam Rangka Repo
SBIS ...
-9SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. (4)
Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya Repo SBIS. Bagian Keempat Penatausahaan SBIS Pasal 20
(1)
Bank
Indonesia
menatausahakan
SBIS
dalam
suatu
sistem
penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia. (2)
Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian transaksi SBIS dan pencatatan kepemilikan SBIS.
(3)
Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless).
Pasal 21 Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
BAB V PESERTA OPERASI MONETER SYARIAH DAN LEMBAGA PERANTARA Pasal 22 (1)
Peserta OMS terdiri dari: a.
peserta OPT Syariah, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. (2)
peserta Standing Facilities Syariah, yaitu Bank.
Peserta OPT Syariah dapat mengikuti kegiatan OPT Syariah secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perantara.
(3)
Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat mengikuti Standing Facilities Syariah secara langsung.
(4)
Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta OMS dan lembaga perantara.
Pasal ...
- 10 Pasal 23 (1)
Peserta OMS dan lembaga perantara bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan.
(2)
Peserta OMS dan lembaga perantara yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya.
(3)
Peserta OMS dan lembaga perantara harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi OMS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4)
Dalam hal peserta OMS dan lembaga perantara tidak memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak diproses oleh Bank Indonesia.
Pasal 24 Dalam mengikuti kegiatan OMS, lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri.
Pasal 25 (1)
Peserta OMS wajib memiliki: a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta OMS mengikuti transaksi OPT syariah dalam valuta asing.
(2)
Peserta OMS wajib memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3)
Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti kegiatan
OMS
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
wajib
menyediakan dana yang cukup pada rekening giro Rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga dalam Rupiah yang cukup pada rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.
(4) Dalam ...
- 11 (4)
Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, peserta OMS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi OMS yang bersangkutan dinyatakan batal.
(5)
Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti transaksi OPT syariah dalam valuta asing wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro di Bank Indonesia atau transfer dana yang cukup ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.
(6)
Dalam hal peserta OMS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka transaksi OMS yang bersangkutan dinyatakan batal.
Pasal 26 Dalam rangka penyelesaian transaksi OMS, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta OMS.
BAB VI SANKSI Pasal 27 (1)
Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), peserta OMS dikenakan sanksi berupa: a.
teguran tertulis; dan
b.
kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi OMS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi OMS yang batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah nilai transaksi dana pada saat first leg.
(3) Dalam ...
- 12 (3)
Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6), peserta OMS dikenakan sanksi berupa : a.
teguran tertulis; dan
b.
kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai transaksi yang batal, yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pengumuman rencana transaksi.
(4)
Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dalam hal peserta OMS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, peserta OMS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut.
(5)
Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-repo-kan.
(6)
Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang direverse repo-kan.
(7)
Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk transaksi repo financing facility peserta OMS yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari syariah yang tidak lunas.
BAB ...
- 13 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29 (1)
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 50 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4835);
b.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 197 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4944);
c.
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
12/17/PBI/2010
tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang
Operasi
Moneter
Syariah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 107); d.
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
12/18/PBI/2010
tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang
Sertifikat
Bank
Indonesia
Syariah
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 108); e.
Peraturan Perubahan
Bank Kedua
Indonesia Atas
Nomor
Peraturan
13/24/PBI/2011 Bank
Indonesia
tentang Nomor
10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 119), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2)
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal ... ...
- 14 Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 178 DPM
PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/12/PBI/2014 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH
I.
UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas
Rupiah
dan
valuta
asing
perbankan
syariah.
Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia dapat melakukan operasi moneter syariah yang bersifat absorpsi atau injeksi likuiditas Rupiah. Selain itu Bank Indonesia memandang perlunya peningkatan pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik dengan menyediakan instrumen syariah dalam valuta asing. Dalam melaksanakan operasi moneter syariah yang bersifat absorpsi atau injeksi likuiditas Rupiah perlu memperhatikan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran. Salah satu upaya Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah melalui penyediaan
fasilitas ...
-2fasilitas likuiditas intrahari berdasarkan prinsip syariah. Untuk itu diperlukan keselarasan pengaturan di bidang moneter dan sistem pembayaran. Instrumen syariah yang digunakan dalam pelaksanaan operasi moneter syariah telah memperoleh fatwa dan/atau opini syariah dari otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kecukupan likuiditas Rupiah dapat berupa target uang primer atau komponennya yang terdiri atas: a.
uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; dan
b.
saldo giro Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “variabel lain” adalah variabel selain kecukupan likuiditas Rupiah, yang ditetapkan sebagai target operasional moneter syariah yang antara lain berupa tingkat imbalan pasar uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah. Pasal 3 Ayat (1) Yang
dimaksud
dengan
“absorpsi
likuiditas”
adalah
pengurangan likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal ...
-3Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan” adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat
yang
diakui
Bank
Indonesia,
dan
sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembelian secara lepas (outright buying)” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali. Huruf b Yang dimaksud dengan “penjualan secara lepas (outright selling)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali. Huruf c Yang
dimaksud
(repurchase
dengan
agreement/repo)”
“penjualan adalah
secara
bersyarat
transaksi
penjualan
bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Huruf ...
-4-
Huruf d Yang dimaksud dengan “pembelian secara bersyarat (reverse repo)” adalah transaksi pembelian
bersyarat surat berharga
oleh Bank dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali
sesuai
dengan
harga
dan
jangka
waktu
yang
disepakati. Pasal 8 Ayat (1) Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUS yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing adalah sebagai berikut : dalam juta rupiah No
Modal*
a
PDN sebelum TD Valas Syariah
TD Valas Absolut PDN Rasio PDN Syariah
b
c
d
c = b/a
5% Modal
Maksimum TD Valas Syariah
PDN sesudah TD Valas Syariah
pengurang PDN Absolut PDN Rasio PDN
e
f **
5% x a
g
h
g = b-f
h = g/a
1 200.000
30.000
15%
35.000
10.000
10.000
20.000
10%
2 200.000
30.000
15%
5.000
10.000
5.000
25.000
12,5%
3 200.000
6.000
3%
8.000
10.000
6.000
0
*)
**)
0%
Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. Nilai maksimum TD Valas Syariah pengurang PDN (kolom f) adalah nilai terkecil antara kolom b, kolom d, dan kolom e
Huruf ...
-5-
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. Ayat (3) Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir
hari
kerja
dengan
memperhitungkan
penempatan
berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai pengurang posisi devisa neto yang dilaporkan melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender). Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT Syariah.
Pasal ...
-6Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing). Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mekanisme
nonlelang
dalam
Standing
Facilities
Syariah
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta Standing Facilities Syariah. Pasal 16 Ayat (1) Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas.
Huruf ...
-7Huruf b Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR)” adalah persentase tertentu FDR yang dimiliki Bank yang akan mengikuti lelang untuk memiliki SBIS. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok
pinjaman
secara
sekaligus
dalam
jangka
waktu
tertentu. Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari Bank (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat ...
-8Ayat (4) Yang dimaksud dengan “biaya Repo SBIS” adalah kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS karena Bank tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. Pasal 20 Ayat (1) Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan sesuai
dengan
ketentuan
yang
berlaku
mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum nonBank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal ...
-9Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membatalkan” penawaran adalah Bank menarik kembali penawaran yang telah diajukan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi repo dan reverse repo. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal ...
- 10 Pasal 28 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a.
pelaksanaan OPT Syariah;
b.
pelaksanaan Standing Facilities Syariah;
c.
jangka waktu kegiatan OMS;
d.
persyaratan bagi peserta OMS;
e.
sifat kepesertaan dalam OMS; dan
f.
tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5567