BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Standar kualitas pelayanan jasa telepon dasar pada jaringan bergerak
seluler telah diatur dalam Permen Kominfo No 16/2013. Peraturan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja jaringan terutama terhadap presentase jumlah panggilan yang tidak mengalami putus pembicaraan, dan blocked call, serta standar kinerja layanan pesan singkat. Peraturan tersebut juga merupakan jaminan bagi pelanggan untuk dapat dengan nyaman dan puas menggunakan layanan jaringan seluler. Industri telekomunikasi seluler di Indonesia saat ini telah mulai mengkomersialkan teknologi 4G LTE sebagai perkembangan dari teknologi pita lebar (broadband). Perkembangan teknologi ini telah menciptakan perubahan dalam persaingan industri telekomunikasi. Merger antar operator terjadi baik pada operator GSM untuk meningkatkan kapasitas frekuensi 4G, maupun pada operator CDMA yang telah menghentikan perkembangan teknologinya dan mulai ikut mengkomersialkan layanan 4G LTE. Tabel 1.1. Konsentrasi Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia 2011-2014
Tahun 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
CR4 (Persen) 87% 87% 88% 93% 89%
IHH
Total Perusahaan
0.24 0.25 0.24 0.27 0.25
7 7 7 6
Sumber: Diolah dari data laporan tahunan masing-masing operator
1
Berdasarkan analisa dari tahun 2008 hingga 2014, industri telekomunikasi seluler di Indonesia memiliki struktur mendekati persaingan sempurna. Hal ini ditunjukkan dari analisa index Herfindhal (IHH) pada Tabel 1.1, dimana nilai IHH untuk empat operator yang memiliki pangsa pasar terbesar di Indonesia adalah 0,25 atau mendekati nol. Struktur industri telekomunikasi seluler di Indonesia juga memiliki struktur oligopoli berdasarkan analisa rasio konsentrasi CR4 dengan nilai 89%. Berdasarkan rasio konsentrasi CR4, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila 4 perusahaan terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40%) (Kuncoro, Adji, dan Pradipto, 1997). Banyaknya operator dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia semakin meningkatkan persaingan Telkomsel dalam industri ini. Telkomsel dari sejak berdiri pada tanggal 26 Mei 1995 hingga saat ini telah menjadi perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia dengan jumlah pelanggan 150 juta dan memiliki jumla 100.000 lebih jaringan BTS di seluruh Indonesia. Telkomsel menyediakan berbagai layanan dengan 3G, HSPA di seluruh Indonesia. Telkomsel juga memberikan layanan 4G LTE yang pertama di Indonesia pada bulan Desember 2014, dan pada tahun 2015 telah dikembangkan di 7 kota besar di Indonesia. Layanan tersebut dapat dinikmati melalui produk Telkomsel yang terdiri atas kartu prabayar yaitu kartu Simpati, Loop, dan kartu AS, serta kartu pascabayar yaitu produk kartuHALO. Telkomsel selain menyediakan layanan dasar telepon dan SMS, juga menawarkan beragam layanan yang memberikan nilai tambah. Layanan tersebut 2
seperti nada sambung pribadi, mobile banking, mobile wallet (T-Cash), cash remittance (T-Remittance), internet pita lebar (TELKOMSELFlash), layanan BlackBerry dan lain sebagainya. Telkomsel saat ini semakin meningkatkan layanan yang dapat memberikan nilai tambah (value added service) dan jaringan pita lebarnya sebagai bagian dari kebijakan dan strategi perusahaan menuju digitalisasi. Kebijakan ini merupakan antisipasi terhadap tingginya tingkat persaingan pada industri telekomunikasi seluler baik yang datang dari dalam industri maupun dari luar industri. Layanan pita lebar (broadband) yang ditawarkan pada teknologi 4G LTE merupakan masa depan dalam industri telekomunikasi seluler. Perusahaan penyedia layanan broadband tidak hanya berasal dari perusahaan telekomunikasi seluler (mobile broadband), tetapi layanan ini juga ditawarkan oleh perusahaan dari penyedia layanan telekomunikasi kabel (fixed broadband). Munculnya banyak pemain baru yang dapat menyediakan layanan broadband secara wireless tentu akan memunculkan persaingan dalam hal fitur dan harga. Walaupun fixed wireless broadband tidak memiliki mobilitas yang cukup tinggi dibandingkan layanan broadband yang disediakan oleh perusahaan telekomunikasi seluler, tetap saja pemain baru tersebut akan dapat meningkatkan kompetisi dalam layanan broadband. Telkomsel menyadari terhadap peluang tumbuhnya beberapa perusahaan fixed broadband akan menjadi salah satu driving force terhadap faktor threat of new entrants dari Five Forces Porter. Walaupun dampak yang akan dimunculkan terhadap kompetisi Telkomsel adalah sedang, karena 4G LTE yang ditawarkan oleh Telkomsel akan memberikan tingkat mobilitas yang lebih tinggi 3
daripada layanan pita lebar kabel tetap, tapi hal ini tetap akan meningkatkan persaingan dalam industri telekomunikasi. Pada tahun 2020 diperkirakan layanan data, digital service, dan digital advertising (termasuk IPTV) akan tumbuh secara signifikan. Perkembangan layanan digital maupun media sosial yang dikembangkan oleh operator over the top player (OTT) juga telah menjadi ancaman baru. Layanan dari operator OTT sebagian besar merupakan substitusi terhadap layanan dasar yang dimiliki oleh operator telekomunikasi seluler. Layanan yang ditawarkan oleh operator OTT juga menjadi driving force terhadap faktor threat of substitute dari Five Forces Porter. Berbagai media sosial yang telah dikembangkan oleh operator OTT juga telah merubah pola perilaku pelanggan. Pelanggan menjadi semakin bebas untuk mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini dan menginformasikannya kepada seluruh jaringan sosial yang dimiliki. Saat ini berbagai pengalaman pelanggan maupun momen pelanggan juga semakin sering diabadikan melalui video dan diunggah pada berbagai media sosial yang ada. Perubahan perilaku tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi pita lebar saat ini. Pelanggan menjadi semakin tidak sabar untuk menunggu setiap proses dengan berkembangnya teknologi pita lebar dan layanan dari media sosial. Tingkat persaingan yang semakin tinggi dalam layanan pita lebar telah menurunkan nilai tarif layanan, tapi jumlah trafik data yang ditimbulkan semakin tinggi. Pertumbuhan pendapatan perusahaan sudah tidak sebanding lagi dengan tingkat pertumbuhan trafik. Telkomsel menyadari ditengah persaingan yang 4
semakin ketat, perusahaan harus dapat memberikan kualitas layanan yang terbaik terhadap pelanggan.
Telkomsel sebagai perusahaan jasa (service) juga
menjalankan manajemen service operation dalam mengelola efisiensi dan efektifitas perusahaan. Kegiatan service operation meliputi pengembangan layanan baru, pengelolaan garda depan/belakang, analisa proses, pengelolaan aset, layanan yang dirasakan pelanggan, dan kualitas layanan (service quality). Pendefinisian service quality dalam perusahaan jasa memang lebih sulit dibandingkan dengan perusahaan pengolahan (manufacture). Pada perusahaan jasa hal yang cukup sulit adalah bagaimana mendefinisikan apa yang diharapkan pelanggan melalui persepsi maupun kinerja. Telkomsel saat ini mengelola service quality dengan menerima masukan maupun keluhan yang dirasakan pelanggan melalui garda depan, melakukan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan, dan juga dengan melakukan pengukuran kinerja layanan pada perangkat. Terdapat beberapa indikator utama atau key performance indicator (KPI) yang dipergunakan sebagai acuan terhadap pengukuran kinerja layanan, seperti aksesibilitas, keandalan (retainability), dan integritas layanan. Indikator tersebut memang cukup penting dalam menjaga kualitas layanan Telkomsel, namun ternyata masih terdapat gap antara apa yang diharapkan oleh pelanggan dengan layanan yang telah dimonitor melalui indikator kinerja utama (KPI). Berdasarkan model service quality, terdapat celah yang muncul antara kualitas yang diberikan dengan kualitas yang diharapkan (Metters, King-Metters, Pullman, & Walton, 2006). Model service quality dapat diperlihatkan pada 5
gambar 1.1. Pada model tersebut, terdapat beberapa gap seperti gap layanan yang diharapkan pelanggan dengan kualitas layanan yang dirasakan pelanggan. Layanan yang diharapkan pelanggan tersebut bersumber dari word-of-mouth, kebutuhan pribadi, dan pengalaman masa lalu pelanggan. Telkomsel sebagai penyedia layanan telekomunikasi seluler melakukan kegiatan operasi untuk merencanakan persepsi kualitas layanan yang diharapkan oleh pelanggan. Kualitas tersebut akan diterjemahkan berdasarkan spesifikasi kualitas layanan yang dituangkan dalam indikator kinerja utama (KPI). KPI jaringan merupakan salah satu KPI yang cukup penting dalam menjaga kualitas layanan.
Gambar1.1. Model Service Quality
Sumber: Diolah dari buku Successful Service Operations Management tahun 2006 6
Selanjutnya perusahaan akan melakukan kegiatan operasional untuk mengoptimalkan kualitas jaringan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Hasil optimalisasi kualitas layanan tersebut selanjutnya dapat dirasakan oleh pelanggan. Sesuai dengan model kualitas layanan, layanan yang dirasakan pelanggan diperkirakan memiliki gap dengan layanan yang diharapkan pelanggan. Pada awal perencanaan persepsi pelanggan juga terdapat gap terhadap layanan yang diharapkan oleh pelanggan. Saat ini masih terdapat keterbatasan dalam mendefinisikan layanan yang diharapkan pelanggan dengan metode service quality yang diberikan oleh perusahaan, sehingga menimbulkan gap tersebut. Telkomsel
sebagai
perusahaan
jasa
yang
menyediakan
layanan
telekomunikasi seluler diharapkan dapat memperhatikan beberapa hal untuk meningkatkan layanannya dan menjalankan bisnis dengan benar. Terdapat empat hal yang sebaiknya diperhatikan atau diperbaiki oleh perusahaan jasa seperti Telkomsel, yaitu jenis jasa yang yang ditawarkan, mekanisme pendanaan, sistem manajemen pegawai, dan sistem manajemen pelanggan (Frei, 2008). Keempat hal tersebut sangatlah berkaitan dengan kualitas layanan yang akan diberikan oleh Telkomsel. Seperti yang digambarkan pada model service quality, jenis jasa yang ditawarkan kepada pelanggan sangat berhubungan dengan kebutuhan pribadi maupun pengalaman masa lalu pelanggan. Jenis layanan atau jasa yang ditawarkan merupakan layanan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan. Hal ini juga sangat penting bagi perusahaan untuk fokus dalam kegiatan
7
operasionalnya sesuai dengan segmen pelanggan dan kualitas layanan yang diberikan. Sistem manajemen pelanggan juga penting bagi perusahaan untuk mendapatkan
informasi
terhadap
apa
yang
sebenarnya
dirasakan
dan
diharapankan pelanggan dari jasa yang diberikan oleh perusahaan. Peran pelanggan dalam kegiatan operasional perusahaan akan memberikan implikasi yang cukup besar bagi perusahaan. Informasi dari pelanggan akan dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk memperbaiki terhadap apa yang dirasakan oleh pelanggan tersebut maupun pelanggan lainnya. Hal ini juga akan sangat berguna bagi perusahaan untuk mendesain model layanan yang sesuai bagi beberapa segmen pelanggan. Interaksi antara pelanggan dengan layanan perusahaan akan menciptakan reaksi yang menjadi nilai bagi perusahaan. Reaksi yang terbentuk merupakan bagian dari pengalaman pelanggan (customer experience). Prahad dan Ramaswamy (2004) mengemukakan bahwa customer experience merupakan penciptaan sebuah pengalaman khusus dengan suatu perusahaan. Verhoef et al. (2009) menggambarkan bahwa pembentukan customer experience pada umumnya bersifat kognitif, rasa, afektif, fisik, dan respon sosial dari pelanggan. Nambisan dan Watt (2011) menyebutkan bahwa customer experience dari layanan dalam jaringan terdiri dari empat dimensi yaitu pragmatic, hedonic, usability, dan sociability. Customer experience juga akan berpengaruh terhadap terhadap orientasi pelanggan terhadap perusahaan, dan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan perusahaan. Customer experience merupakan hal yang 8
sangat penting untuk membetuk persepsi pelanggan terhadap perusahaan dan layanannya seperti halnya service quality. Berdasarkan beberapa penelitian juga diungkapkan bahwa service quality akan dipengaruhi oleh customer experience. Beberapa literatur dalam pemasaran, retail, dan manajemen layanan, sebelumnya belum menganggap customer experience sebagai konstruksi yang terpisah. Sebaliknya penelitian hanya fokus terhadap pengukuran kepuasan pelanggan dan service quality (misalnya, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988; Verhoef, Langerak, dan Donkers 2007). Namun bukan berarti customer experience tidak pernah diperhatikan. Holbrook dan Hirschmann (1982) berteori bahwa proses konsumsi juga memiliki aspek pengalaman. Schmitt (1999) juga telah menyelidiki bagaimana perusahaan menciptakan pemasaran experiential yang menumbuhkan perasaan pelanggan, pikiran, perbuatan, dan berkaitan dengan perusahaan serta mereknya. Berry, Carbone, dan Haeckel (2002) menyarankan juga bahwa dalam sebuah persaingan yang dapat memberikan pengalaman bagi pelanggan, perusahaan harus meramu semua petunjuk yang dapat dideteksi dari pelanggan dalam proses pembelian. Perusahaan tidak cukup hanya menyempurnakan hubungan dengan pelanggan. Walaupun perusahaan telah lama melakukan proses pengukuran terhadap kepuasan pelanggan, dan hasilnya selalu bagus, tetapi masih banyak pelanggan yang tidak senang dengan keseluruhan interaksi yang telah dilakukan oleh perusahaan. Meyer dan Schwanger (2007) mengemukakan bahwa banyak perusahaan telah melakukan pengukuran kepuasan pelanggan tersebut, dan memiliki
data
yang
cukup
banyak
dari
hasil
pengukuran
tersebut. 9
Permasalahannya adalah pengukuran terhadap kepuasan pelanggan tersebut tidak dapat menginformasikan bagaimana mencapai kepuasan pelanggan tersebut. Kepuasan pelanggan merupakan puncak dari rangkaian customer experience, atau dapat dikatakan sebagai hasil bersih dari pengurangan yang bagus terhadap yang kurang bagus. Hal ini terjadi ketika tidak terdapat gap antara harapan pelanggan dan pengalaman pelanggan berikutnya. Untuk memahami bagaimana mencapai kepuasan tersebut, perusahaan harus mendekonstruksi kepuasan pelanggan menjadi sebuah komponen dalam pengalaman pelanggan. Hal ini karena sebagian besar pengalaman pelanggan bukanlah suatu konsekuensi langsung dari pesan merek perusahaan atau terhadap apa yang ditawarkan oleh perusahaan. Perusahaan membutuhkan cara baru dalam mengelola service operation untuk menciptakan suatu langkah yang penting bagi pelanggan. Rawson, Duncan, Jones (2013) menyarankan empat langkah yang dapat ditanamkan kedalam model operasi perusahaan untuk kepentingan pelanggan. Perusahaan harus melakukan identifikasi terhadap langkah yang diperlukan untuk menjadi semakin unggul, memahami bagaimana kinerja terhadap langkah tersebut, membangun proses lintas fungsional untuk mendesain ulang dan mendukung terhadap langkah tersebut, memulai sebuah perubahan budaya dan secara berlanjut melakukan perbaikan untuk mempertahankan skala inisiatif.
1.2
Perumusan Masalah Pengukuran service quality yang dilakukan saat ini masih banyak memiliki
gap antara harapan pelanggan terhadap layanan yang diberikan. Salah satunya 10
adalah pengukuran kinerja kualitas jaringan belum dapat mencerminkan tingkat dari customer experience. Survey kepuasan pelanggan yang telah dilakukan oleh Telkomsel juga belum dapat memberikan informasi sepenuhnya seberapa besar pengaruhnya terhadap kepuasan pelanggan, loyalitas, dan word-of-mouth. Perlu dilakukan pengujian metode baru dengan menggunakan pengukuran customer experience seperti yang telah disampaikan dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Klaus dan Maklan (2013), maupun Klaus (2015) melalui dimensi customer experience quality.
1.3
Pertanyaan Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mendapatkan
besarnya
pengaruh
pengukuran customer experience terhadap kepuasan pelanggan, loyalitas, dan word-of-mouth. Oleh karena itu pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pengukuran customer experience memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan untuk peningkatan standar proses kualitas layanan di Telkomsel? 2. Apakah pengukuran customer experience memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas pelanggan untuk peningkatan standar proses kualitas layanan di Telkomsel? 3. Apakah pengukuran customer experience memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku word-of-mouth untuk peningkatan standar proses kualitas layanan di Telkomsel? 11
1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisa pengaruh dari pengukuran customer experience terhadap kepuasan pelanggan di Telkomsel. 2. Untuk menganalisa pengaruh dari pengukuran customer experience terhadap loyalitas pelanggan di Telkomsel. 3. Untuk menganalisa pengaruh dari pengukuran customer experience terhadap faktor words-of-mouth di Telkomsel.
1.5
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut: 1. Bagi perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan sebagai metode pengukuran terhadap layanan yang diberikan kepada pelanggan. 2. Bagi perusahaan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan standar proses untuk meningkatkan layanan kepada pelanggan. 3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dan pengetahuan pada penelitian mendatang.
12
1.6
Ruang Lingkup Pembahasan Pada penelitian pengukuran customer experience ini akan dibatasai ruang
lingkupnya terhadap proses operasional dan peningkatan kualitas jaringan. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh AC Nielsen pada Q2 2015 pada pasar telekomunikasi di Indonesia didapatkan bahwa faktor kualitas jaringan voice, SMS, dan data memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi terhadap kepuasan pelanggan diantara faktor lainnya Pada penelitian yang dilakukan oleh Ericsson terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan pada tahun 2013 juga didapatkan bahwa kinerja jaringan memiliki tingkat paling tinggi.
Gambar1.2. Faktor Penentu Customer Satisfaction Pasar Telekomunikasi Indonesia
Sumber: Diolah dari Laporan AC Nielsen Q2 2015
13
Gambar1.3. Faktor Loyalitas terhadap Merek Operator
Sumber: Diolah dari Laporan Ericsson Consumer Lab tahun 2013
14