PERATURAN MENTERI PERTANIAN No. 18/ Permentan/OT.140/2/2010 Tentang
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR :18/ Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG BLUE PRINT PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN DENGAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI TUMBUHNYA INDUSTRI PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian sesuai karakteristik keinginan konsumen di pasar domestik dan/atau ekspor, perlu upaya secara sistematis dan terintegrasi;
b.
bahwa nilai tambah dan daya saing produk pertanian saat ini masih rendah karena keterbatasan skala teknis dan ekonomis;
c.
bahwa untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dilakukan melalui penumbuhan agroindustri perdesaan yang disusun berdasarkan komoditas strategis;
d.
bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas, perlu menetapkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Perdesaan;
1.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478); 2.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
3.
Undang-Undan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4043);
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
6.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4660);
7.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015);
8.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5068);
9.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan Pembinaan dan Pengembangan Industri;
10.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia;
11.
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
13.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/2/200;
14.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2007
MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG BLUE PRINT PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN DENGAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI TUMBUHNYA INDUSTRI PEDESAAN. Pasal 1 (1)
Menetapkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan, seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri Pertanian ini.
(2)
Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai acuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi, pengendalian dan Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan.
Pasal 2 (1)
Pelaksanaan dalam perumusan peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya industri pedesaan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal, Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
(2)
Perumusan Peningkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3)
Evaluasi dan pengendalian Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan instansi terkait. Pasal 3
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2010 MENTERI PERTANIAN,
SUSWONO
LAMPIRAN:
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 18/ Permentan/OT.140/2/2010 TANGGAL : 5 Februari 2010
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian masih merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian telah berperan besar dalam pembentukan PDB Nasional hingga mencapai 13-14 %. Sektor agribisnis (pertanian serta industri dan jasa pertanian) menyumbangkan sekitar 45% dari total nilai tambah, menyerap 75% tenaga kerja, penyedia pangan, dan tempat bergantung sebagian besar penduduk perdesaan. Peran ini akan bertambah di masa yang akan datang dengan berkembangnya teknologi dan berkurangnya sumberdaya tak terbarukan, yakni pertanian menjadi tumpuan untuk penyediaan pangan yang makin beragam (food), pakan yang semakin bertambah (feed), dan energi alternatif (fuel). Keadaan pertanian saat ini masih belum mampu menopang semua peran tersebut dengan baik. Pendapatan petani sebagai pelaku terdepan masih sangat rendah karena sebagian besar usaha tani berskala kecil. Petani mempunyai banyak keterbatasan modal, teknologi sederhana, akses pembiayaan, dan gangguan iklim yang semakin tidak menentu. Akibatnya produktivitas masih relatif rendah, kualitas komoditi belum baik, dan harga pokok masih tinggi. Situasi ini menjadikan komoditas pertanian Indonesia kalah bersaing dengan komoditas dari negara lain.
1
Dalam situasi seperti itu, pembangunan pertanian tetap penting dari keseluruhan pembangunan ekonomi. Beberapa pertimbangan adalah: (i) potensi sumberdaya yang besar dan beragam, (ii) berpotensi besar sebagai penyumbang terhadap pendapatan nasional, (iii) banyaknya penduduk yang bergantung pada sektor ini, dan (iv) peluang pasar yang masih terbuka dan berkembang. Arah pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (petani) melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya pertanian dan nilai komoditas. Dengan demikian, keterpaduan hulu-hilir menjadi pilihan arah yang dapat memberdayakan pertanian secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain situasi dan kondisi tersebut, pembangunan pertanian dihadapkan pada perdagangan dunia yang semakin bebas. Komoditas dan produk pertanian harus mampu bersaing di pasar domestik (dengan impor) dan di pasar internasional (dengan produk yang berasal dari negara lain). Kemampuan bersaing produk harus dipahami sebagai output dari sinergi komponen sistem pertanian secara menyeluruh dari sektor hulu hingga hilir. Pada tingkat yang lebih maju, dayasaing negara bergantung dari kapasitas berinovasi dan berkembang dari industri negara tersebut. Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan, dan investasi. Indonesia mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh
2
pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang. Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama-sama negara di lingkungan ASEAN lainnya telah sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang sudah mulai diberlakukan pada tahun 2002, terakhir berkembang China-AFTA mulai tahun 2010. Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, pasar bagi produk Indonesia sudah dan akan menghadapi persaingan yang semakin ketat, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional serta dalam upaya menarik investasi multinasional. Keterbukaan pasar Internasional harus dimanfaatkan melalui persaingan global. Sebaliknya, upaya yang kurang sungguh-sungguh akan menjadikan Indonesia sebagai pasar produk dunia. Saat ini, sebagian besar ekspor berupa produk primer (bahan baku). Potensi nilai tambah yang terdapat di dalamnya justru dimanfaatkan oleh negara lain yang kemudian sebagian dibayar kembali melalui impor. Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan. Dalam situasi tersebut, Indonesia berada pada posisi yang lemah karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya kecenderungan atas homogenitas produk dengan negara lain. Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2009 menunjukkan dayasaing Indonesia dalam persaingan global berada di urutan ke–54 dari 134 negara.
3
Banyak upaya pemenangan persaingan internasional yang dapat dilakukan, diantaranya adalah peningkatan nilai tambah, dayasaing, dan ekspor. Hal ini sesuai dengan Visi pertanian tahun 2010 – 2014 adalah “Pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan petani”. Salah satu misi dari pertanian adalah “Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri, serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdayasaing tinggi”. Sektor pertanian berada dalam dinamika perubahan lingkungan strategis internasional menuju persaingan pasar yang semakin kompetitif. Dengan diratifikasinya beberapa kesepakatan internasional, telah memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi serta membuka eksporimpor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan pasar yang semakin ketat karena terjadinya integrasi pasar regional/internasional terhadap pasar domestik. Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakuan non tariff barier telah berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik ditingkat mikro (usahatani) dan makro (nasional – kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktifitas dan skala usaha. Pada tingkat makro, kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk “melindungi” petani produsen dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah berproduksi, sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil memproteksi petani produsen dan masayarakat konsumen.
4
Tantangan ke depan yang harus dihadapi adalah meningkatkan dayasaing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan konsumen dan memenangi persaingan, baik pasar domestik, maupun pasar ekspor. Pengembangan dayasaing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan. Di samping itu, pengembangan komoditas dan produk baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi juga harus dirintis Pendekatan pull dan push dapat dijadikan pijakan sebagai penghela berkembangnya agroindustri perdesaan yang berorientasi produk (Gambar 1). Pengembangan agroindustri perdesaan yang berbasis produk dihela dengan tarikan pasar (pull system) yang berupa peluang pasar yang tinggi mencakup ekspor dan domestik, ketersediaan infrastruktur dan kelembagaan pemasaran yang didukung dengan market intelligent. Sementara sebagai sitem pendorongnya (push system) adalah kesiapan hulu (kebijakan dan input). Penentuan produk harus dilakukan secara matang dengan mengacu pada skala prioritas utama komoditas yang mencakup komoditas pangan strategis sebagai penopang kemandirian pangan. 1.2. Tujuan dan Outcomes Tujuan disusunnya konsep peningkatan dayasaing dan nilai tambah produk dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya industri perdesaan adalah sebagai rancangan acuan pembangunan pertanian setidaknya dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Capaian yang akan menjadi ukuran adalah terjadinya peningkatan ekspor, tumbuhnya industri dan penggunaan produk untuk substitusi impor, serta meningkatnya konsumsi produk di dalam negeri.
5
• • •
P roduk s eg ar a r & olaha n U ntuk K ebutuha n D omes tik, tik, S ubs titus i Impor, Impor, E ks por. por. P unya multiplier multiplie r effe e ffe c t ting g i
P US H ( kes ia pan iapa n hulu & on fa rm) • • • •
S NI S ertifikas i D ukung an perbeniha n D ukung an onon-fa rm ( kua ntitas , kua lita s , kontinyuita s )
P R O D UK (ag ro in du s tri ind us pedes aan )
P UL L ( ta rika n pas pa s ar) a r) • • •
P eluang elua ng pas a r ting g i. i. K eters edia an ediaa n infras infra s truktur & kelemba ga an kelembag aa n pemas ara a ra n. n. D ukung an market intellig ent & pemas a ra n ya ng kuat ara kua t
Gambar 1. Konsep push and pull systems Untuk Industri Perdesaan
1.3. Ruang Lingkup Cakupan dari Blue Print ini adalah arah dan tujuan pembangunan pertanian secara umum dalam perspektif lintas sektor dengan konsentrasi pada pembentukan nilai tambah dan dayasaing produk. Keberhasilan pertanian sangat ditentukan oleh dukungan sektor lain dan dinamika lingkungan perdagangan internasional. Oleh karena itu, program pembangunan yang terkait dengan pembentukan nilai tambah dan dayasaing dirinci menjadi program aksi. Selebihnya, akan dikelompokkan dalam program penguat/penunjang yang menjadi kewenangan instansi lain. 1.4. Metodologi Sistematika Blue print diawali dari pemahaman kondisi sekarang, menetapkan arah masa depan yang akan dituju, memahami situasi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Pemahaman ini melahirkan strategi umum yang menjadi panduan dan melahirkan kebijakan yang diperlukan. Mengacu pada kebijakan, disusun program aksi dan rencana implementasi dengan target yang ingin dicapai.
6
Verifikasi pemikiran dilakukan melalui pembahasan di tingkat Direktorat Jendral dengan masukan dari pejabat esilon I Kementerian Pertanian. Pendalaman dilakukan melalui ”sosialisasi” ke beberapa Perguruan Tinggi. Dengan demikian, dokumen ini diharapkan telah mendapatkan justifikasi akademis. Bentuk insentif yang dicakup adalah pengadaan dan bantuan alat dan mesin pengolahan hilir, dukungan pembiayaan, perluasan pasar dan kebijakan pendukung lainnya (pajak impor dan ekspor, skema pembiayaan khusus pertanian). Blue print ini berbasis komoditas. Pemilihan jenis komoditas ini diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi yang ada, mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing dan nilai tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect yang luas terhadap peningkatan industri perdesaan. Kementerian Pertanian, melalui rangkaian kajian dan diskusi menetapkan komoditas berikut sebagai prioritas: a. Pangan utama yang meliputi beras, jagung, kedelai, daging sapi. b. Andalan ekspor yang meliputi sawit, karet, kakao dan daging ayam. c. Emerging products yang mempunyai peluang pasar yang luas baik internasional maupun domestik seperti buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang),biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri. d. Substitusi impor seperti susu, tepung lokal (cassava dan sagu) serta jeruk.
7
2. KONSEP DAYASAING DAN KOMODITAS PERTANIAN
NILAI
TAMBAH
2.1. Dayasaing Produk dan Nilai Tambah Dayasaing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini, dan dapat diproyeksikan ke masa depan. Dayasaing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu bergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku permintaan, dan kemampuan dasar industri. Dayasaing produk dicapai melalui konversi keunggulan komparatif menjadi kenggulan kompetitif dengan penerapan teknologi, pengelolaan dan pengembangan pasar dari produk tersebut terhadap jenis produk yang sama. Keunggulan kompetitif ini berkaitan dengan upaya peningkatan nilai tambah yang membentuk dayasaing. Banyak faktor mempengaruhi dayasaing produk (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing
8
Konsep keunggulan kompetitif adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan perbedaanperbedaan dengan lainnya. Dalam konteks komoditas pertanian, semua faktor (Gambar 2.1) berpengaruh secara langsung. Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang unggul dibandingkan banyak negara lain di dunia. Keunggulan ini sangat nyata bila difokuskan pada pertanian tropis (tropical agriculture) dengan karakteristik dan faktor non-harga yang kuat. Dalam faktor yang lain, Indonesia masih perlu melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk membentuk dayasaing. Fokus upaya adalah mengembangkan dan menerapkan teknologi yang dapat menekan biaya (cost reducing technology) dan memperbaiki mutu (quality enhancement technology). Dalam jangka pendek, orientasi pada skala kecil dan infrastruktur terbatas. Pengelolaan dan pengembangan SDM berbasis usaha kecil dengan arah peningkatan skala menjadi keharusan dam jangka pendek dan menengah. Dayasaing harus dibangun dari perbaikan efisiensi pengelolaan sehingga kualitas SDM menjadi fakror penentu. Faktor yang sepenuhnya dapat dikelola dengan baik adalah kebijakan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, kebijakan yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sektor pertanian harus segera dikeluarkan. Sebaliknya, kebijakan yang menghambat, secara bertahap dikurangi sehingga perbaikan dayasaing menjadi arus utama pembangunan pertanian. Infrastruktur menentukan dayasaing karena terkait dengan produktivitas serta efisiensi pengadaan faktor produksi dan distribusi produk. Pada giliranya menjadi faktor penentu harga pokok produksi, ketetapatan waktu dan mutu produk.
9
Oleh karena itu, upaya perbaikan dayasaing tidak terlepas dari pengadaan dan pengembangan infrastruktur pendukung dan terkait dengan semua aspek produksi pertanian. Strategi perusahaan dan struktur industri pendukung meskipun terkait langsung dengan dayasaing komoditas pertanian, tidak menjadi faktor penentu inti dalam pembangunan pertanian Indonesia. Nilai tambah akan menjadi bagian tersendiri yang tidak ditempatkan sebagai faktor tetapi lebih dari itu sebagai program penguat pembangunan pertanian. Nilai tambah dapat diartikan dari berbagai perspektif. Dari perspektif komoditas atau produk adalah nilai yang diberikan (attributed) kepada produk sebagai hasil dari proses tertentu (proses produksi, penyimpanan, pengangkutan). Oleh karena itu, nilai yang terbentuk tergantung pada banyaknya tahapan pengolahan yang dilakukan. Secara teoritis, semakin ke hilir penerapan proses akan semakin besar nilai tambah yang dibentuk. Nilai bagi konsumen (customer value) adalah perpaduan dari faktor dayasaing yang berpadu dengan nilai tambah sehingga dapat ditingkatkan melalui tiga cara, yaitu kegiatan-kegiatan yang mampu menciptakan: keunggulan bersaing (competitive advantage), menekan biaya proses, atau mempercepat proses penyediaan produk ke tangan konsumen. Peningkatan dayasaing ini dapat diperoleh dengan menerapkan cara-cara baru dalam melakukan kegiatan, menerapkan prosedur dan teknologi baru, atau menggunakan masukan (input) yang berbeda. Disisi lain, peningkatan dayasaing produk melalui peningkatan nilai tambah harus memberikan multiplier effect yang tinggi seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1.
10
Sasaran program penguatan dayasaing ini diarahkan untuk memperkuat dan menumbuhkembangkan industri perdesaan dengan multiplier effect yang tinggi karena sebagian besar penduduk ada di area perdesaan dan relatif dari sisi ekonomi masih lemah. Diharapkan melalui industri perdesaan akan tercipta lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan perekonomian perdesaaan. 2.2. Konsep Peningkatan Dayasaing dan Nilai Tambah Produk Peningkatan dayasaing dan nilai tambah melalui industri perdesaan harus melalui perumusan yang komprehensif yang melibatkan lintas sektoral yang mencakup hulu hilir sehingga program yang dikembangkan dapat saling menunjang satu sama lain. Dengan memperhatikan push and pull factors (faktor pendorong dan penarik) dirumuskan insentif yang dapat diberikan dalam aspek kebijakan dan operasional untuk menciptakan iklim tumbuhnya industri yang kondusif, modal, dukungan infrastruktur, penerapan teknologi, peningkatan SDM serta fasilitasi pemasaran produk. Peningkatan nilai tambah dapat difokuskan pada produk strategis dalam rantai nilai dengan mempertimbangkan skala prioritas. Penentuan skala prioritas ini mengacu pada kondisi terkini, permasalahan yang ada, dan peluang ke depan yang dapat ditentukan melalui analisis SWOT. Proses penyusunan program aksi mengikuti tahap tertentu (Gambar 2.2). Besarnya nilai-tambah yang ditimbulkan dari proses pengolahan dihitung dari nilai produk yang dihasilkan dikurangi biaya bahan baku dan input lainnya. Proses ini ditempuh melalui proses produksi, distribusi, transportasi dan pemasaran. Tingkat keuntungan diperoleh dari kelebihan yang didapat setelah harga dikurangi dengan keseluruhan biaya yang keluar selama proses pengadaan produk, sehingga keunggulan bersaing diperoleh jika keseluruhan proses dapat menghasilkan nilai konsumen yang sama dengan atau lebih rendah dari biaya atau penerapan cara yang
11
menghasilkan nilai konsumen yang lebih besar. Analisis rantai-nilai dapat menghitung kontribusi nilai-tambah dari setiap aktivitas dalam proses pengolahan suatu produk, sehingga dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai yang layak diterima oleh masing-masing pelaku dalam suatu sistem komoditi. Analisis nilai tambah bermanfaat untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang menaikkan nilai tambah atau sebaliknya. Strategi pengembangan industri perdesaan didasarkan pada hasil analisis SWOT. Berdasarkan strategi tersebut selanjutnya disusun strategi umum pengembangan produk yang dipilih. Peran dari masing-masing sektoral untuk masing-masing produk yang dikembangkan diidentifikasi melalui mapping program lintas sektoral yang ada di Departemen terkait. Selanjutnya strategi operasional pengembangan produk dirumuskan berdasarkan pada strategi masing-masing produk dan dijabarkan dalam rencana aksi yang disusun berdasarkan jangka panjang, menengah dan pendek selama lima tahun (2010-2014).
Inp ut Ling ku ngan SWO T
Vis i, Mis i Pemba ngun an Sasa ran -Daya s aing
Pen yusu nan strategi Ko ndi si terkin i
-Nila i tamb ah
Id entifikasi masalah
-Rantai n ilai
Harap an Ma sa Depan
P rogram/ Indikator cap aian
pro gram a ks i
•Ins entif •Keb ijakan •Pembiayaan •Inp ut p ertanian •SD M •infrastrukr
Gambar 2.2. Konsep Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah
12
3. KEADAAN DAN PERMASALAHAN PERTANIAN INDONESIA 3.1. Keadaan Pertanian Indonesia Pertanian Indonesia masih berperan sebagai salah satu sektor ekonomi yang sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja, pembentuk pendapatan, produksi pangan, perolehan devisa, penghasil bahan baku dan penggerak kehidupan sosial. Perjalanan panjang pembangunan pertanian belum menggeser dan atau memperbaiki peran tersebut secara signifikan, sehingga capaiannya masih belum optimal. Situasi masa lalu masih mewarnai wajah pertanian yakni lahan sempit tidak memenuhi skala ekonomis atau teknis, lahan kering, irigasi terbatas, jalan pertanian belum memadai, penerapan teknologi belum memadai, sumberdaya modal terbatas, dan jangkauan pasar yang terbatas. Situasi tersebut menyebabkan pertanian terpusat pada kegiatan hulu dengan dayasaing komoditas relatif rendah. Keterbatasan skala teknis menghambat penerapan teknologi (khususnya cost reducing technology) menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal. Keterbatasan skala ekonomis menyebabkan pengelolaan bersifat subsisten yang berorientasi pada pemenuhuan kebutuhan lokal dan sesaat sehingga tidak bersaing. Hal inilah menjadi potret umum pertanian Indonesia yakni menghasilkan bahan baku dengan dayasaing rendah (mutu rendah dan biaya tinggi). Kondisi subsisten tersebut dibebani dengan “keharusan” menampung tambahan angkatan kerja secara berlebih sehingga terjadi fraksinasi usaha tani menjadi lebih tidak efisien dan membelenggu (buruh) petani dalam lingkaran kemiskinan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan sektor hilir pertanian relatif lamban sehingga surplus tenaga kerja pertanian menjadi beban yang menyebabkan disefisiensi teknis dan ekonomis dalam produksi hulu pertanian.
13
Lahan pertanian semakin tertekan oleh kegiatan ekonomi lainnya menyebabkan terjadi konversi pada laju yang menghawatirkan. Selain itu, praktek pertanian yang “memaksa” produktivitas tinggi dengan asupan pupuk kimia dan pestisida telah menurunkan kesuburan tanah secara nyata. Kecenderungan ini memaksa upaya (input) yang lebih besar untuk menghindari laju penurunan produktivitas yang semakin cepat. Sebaliknya, pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif masih belum optimal. Upaya peningkatan produktivitas dan perluasan lahan beririgasi semakin sulit karena perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Kekeringan dan banjir menjadi fenomena yang sangat sering mengganggu produksi pertanian. Kelangkaan air akan menjadi faktor pembatas program intensifikasi dan ekstensifikasi di masa mendatang. Pemanfaatan air semakin kompetitif dan tidak mustahil menjadi faktor produksi yang mahal. Penerapan teknologi budidaya masih belum optimal dan belum merata. Penggunaan benih unggul yang belum merata menjadi faktor pembeda penerapan teknologi. Keberlanjutan program penyeragaman benih, di satu sisi diharapkan mampu memperbaiki kinerja pertanian, tetapi di sisi yang lain menimbulkan kekhawatiran kerentanan terhadap gangguan hama dan persoalan lingkungan. Persoalan hilir yang belum menyatu dengan hulu membentuk situasi yang tidak menguntungkan dalam pasar dan tataniaga. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya nilai tukar dan dayasaing produk pertanian. Sistem informasi pasar dalam arti luas belum berkembang dan terpadu dengan rencana produksi pertanian. Aktivitas pertanian di hulu tidak secara langsung dan terencana terkait dengan kegiatan di hilir (permintaan, pengolahan dan pemasaran).
14
Kesenjangan hulu-hilir manjadikan pertanian sebagai kegiatan ekonomi yang tidak berbasis pada distribusi marjin yang adil dan perolehan nilai tambah yang optimal. Pelaku pertanian (petani, buruh tani, dan pelaku lainnya) belum bekerja sesuai dengan tuntutan persaingan yang ketat. Kualitas SDM yang relatif rendah menghambat pertumbuhan sektor pertanian yang berdayasaing dan berkontribusi dalam perolehan nilai tambah (ekonomi). Revolusi pertanian hampir tidak terjadi selama kurun waktu pembangunan yang telah dijalani karena SDM-nya belum mampu menjadi penggerak yang tidak memenuhi kebutuhan. Pertanian sebagai obyek pembangunan melibatkan banyak pemangku kepentingan baik pelaku langsung maupun pengambil kebijakan dan layanan pendukung. Pada tataran kebijakan belum terpadu dan serasi antar pembuatan kebijakan baik di hulu (Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan), dalam produksi (Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah), dan di hlir (Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan). Pemaduserasian kebijakan menjadi bagian penting dari pembangunan pertanian masa datang.
15
3.2. Permasalahan Pertanian Indonesia 3.2.1. Skala Teknis dan Ekonomis Skala teknis adalah ukuran dan keadaan lahan pertanian sehingga memungkinkan penerapan teknologi dan penggunaan alat-mesin pengolahan lahan, budidaya dan penanganan pasca panen. Ukuran petakan sawah dan kebun yang kecil serta kemiringan yang curam tidak memungkinkan penerapan teknonologi secara optimal. Skala ekonomis adalah luasan pengusahaan lahan sehingga diperoleh penerimaan (ekonomis) yang melebihi biaya dan kebutuhan petani secara wajar. Lahan yang kecil tidak memungkinkan petani memperoleh hasil yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga usahataninya tidak dapat mensejahterakan. Rataan pemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha dan 0.96 ha masingmasing di Jawa dan Luar Jawa. Dalam perspektif dayasaing, skala kecil menyebabkan: a) Tidak efisien: pengadaan dan penggunaan input, pengelolaan usaha serta penanganan dan pemasaran hasil dilakukan dengan korbanan yang besar. Akibatnya “biaya” yang digunakan melebihi kewajaran membentuk harga pokok produksi menjadi sangat tinggi sehingga tidak dapat bersaing. b) Pemaksaan produktivitas: Dalam skala yang kecil, pendapatan hanya dapat ditingkatkan dengan memaksimumkan penggunaan lahan yang dimiliki. Penggunaan yang berlebih (over exploitation) menguras kesuburan tanah, menggunakan air secara “berlebih” dan menghilangkan keragaman hayati. Dalam jangka panjang akan terjadi kerusakan lahan yang berakibat pada penurunan produktivitas normal.
16
c) Penerapan teknologi dan mekanisasi terbatas: alat dan mesin pertanian mempunyai kelayakan skala minimum, jika lebih kecil menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Lahan yang kecil menyebabkan penerapan mekanisasi menjadi sangat terbatas. d) Penyebab kemiskinan: penghasilan adalah faktor utama pembentuk kesejahteraan. Bagi petani, penghasilan berbanding lurus dengan produksi yang merupakan pengalian produktivitas dengan luas. Dengan demikian, luas adalah faktor penentu yang dalam banyak aspek tidak dapat dikendalikan oleh petani. e) Tidak terorganisir: skala kecil tidak dapat berdiri sendiri untuk memperbaiki efisiensi. Dalam perspektif ekonomi, kecuali ada kekhasan, skala kecil lemah dalam pengelolaan usaha (pengadaan sarana produksi sampai dengan pemasaran). Hal ini menyebabkan lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani yang berakibat pada panjangnya tataniaga dan belum adilnya sistem pemasaran. f)
Tidak kompetitif: skala kecil merupakan kumpulan karakteristik penyebab inefisiensi. Di hulu berhadapan dengan biaya produksi, di tengah bertemu dengan skala ekonomis dan di hilir dihadang persoalan volume, mutu dan kesinambungan. Semua ini berakhir pada dayasaing yang lemah.
3.2.2. Alih Fungsi Lahan Lahan yang baik untuk pertanian adalah tanah subur, topografi relatif rata, iklim menunjang, dan infrastruktur memadai. Pembangunan perkotaan, pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan permintaan terhadap lahan meningkat cepat.
17
Sektor non-pertanian yang membutuhkan banyak lahan adalah permukiman (settlement), industri, perdagangan, jalan, perhotelan dan perkantoran. Semua sektor ini dapat memberikan penerimaan yang lebih baik terhadap nilai lahan dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, laju konversi lahan pertanian menjadi penggunaan tersebut semakin meningkat. Akibatnya, lahan (subur) pertanian berkurang dengan berjalannya waktu. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Demikian juga dengan alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun. 3.2.3. Perdagangan Perdagangan produk pertanian sebagian besar dalam bentuk primer dengan rantai tataniaga panjang. Situasi seperti ini menyebabkan petani tidak memperoleh nilai produk yang terkandung dalam komoditas sehingga distribusi marjin tidak wajar dan nilai tambah tidak optimal. Dalam jangka panjang, selain petani tidak memperoleh pendapatan yang wajar juga mengurangi minat mereka untuk mengambangkan usahataninya. 3.2.4. Produk Pertanian Produk pertanian Indonesia sangat beragam sehingga, dalam banyak kasus, tidak memenuhi skala minimum perdagangan. Lebih dari itu, mutu rendah dan kesinambungan tidak terjamin menyebabkan produk tersebut bukan menjadi pilihan utama konsumen dan sulit diharapkan menjadi bahan baku industri pengolahan.
18
3.2.5. Fluktuasi Harga Fluktuasi produksi dan harga terutama terjadi pada panen raya. Harga turun (drastis) pada saat produksi tinggi sehingga volume besar bukan jaminan bagi petani untuk memperoleh pendapatan yang memadai. Situasi seperti ini menjadi kekhawatiran sekaligus keengganan petani untuk berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Akibat langsung perubahan harga adalah petani tidak pernah menikmati penerimaan yang relatif besar dan keterandalan komoditas tersebut sangat rendah. 3.2.6. Infrastruktur Terbatas Salah satu persyaratan pertanian modern yang kompetitif adalah tersedianya infrastruktur (irigasi dan jalan tani) yang memadai. Kecukupan infrastruktur menjadi penjamin bagi produktivitas dan efisiensi total usaha tani. Pertanian Indonesia belum didukung dengan infrastruktur yang memadai sehingga beroperasi pada tingkat efisiensi yang rendah. Akibatnya, penerapan teknologi tidak optimal. Sistem alih teknologi dan diseminasi teknologi pengolahan pertanian masih rendah. 3.2.7. Pembiayaan Pertanian Terbatas Akses petani ke sumberdaya produktif termasuk permodalan dan layanan usaha masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan usaha tani tidak dijalankan dengan optimal. Akibatnya adalah pertanian tidak tumbuh dengan baik dan beroparasi secara terbatas sehingga tidak efisien. 3.2.8. Konsentrasi Pembangunan Pembangunan pertanian terpusat pada padi (beras) dan tebu (gula) sehingga dana pembangunan terserap (atau dialokasikan) secara berlebih.
19
Di sisi lain, banyak komoditas yang mempunyai nilai (fungsional dan ekonomis) kesetaraan dengan komoditas tersebut tidak mendapat perhatian yang setara. Dana pembangunan yang terbatas seyogiyanya dialokasikan secara wajar bagi komoditas prospektif secara ekonomi dan kontributif bagi ketahanan pangan. 3.2.9. Sumberdaya Manusia Kualitas SDM pertanian masih sangat rendah. Hal ini menyebabkan atau menjadi kendala bagi upaya perbaikan aspek teknis dan ekonomis usaha tani melalui penerapan teknologi dan pengelolaan berbasis agribisnis. Orientasi subsisten sudah melekat dan menjadi ciri pertanian sehingga sulit berubah ke arah yang lebih produktif, efisien dan berorientasi pasar. 3.2.10. Perubahan iklim Perubahan iklim telah menjadi fenomena alam yang sangat mengganggu pertanian. Musim hujan selain tidak berpola juga intensitasnya tidak menentu. Banyak gagal panen akibat banjir (musim penghujan) atau kekeringan (musim kemarau). Lebih dari itu, perubahan iklim menyebabkan penurunan produktivitas, erosi, kerusakan lahan dan serangan hama/penyakit. Akibatnya, pola tanam, produksi dan perencanaan pertanian dilakukan dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dengan situasi dan kondisi pertanian di atas, maka ekonomi perdesaan yang didominasi oleh pertanian dicirikan oleh: a. Bertumpu pada pertanian yang sangat rapuh b. Pertanian yang rapuh tidak mampu menopang perekonomian yang kuat c. Pertanian seperti itu tidak akan pernah mensejahterakan rakyat d. Struktur subsisten hanya untuk bertahan dalam banyak keterbatasan.
20
4. STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM 4.1. Strategi Keadaan dan permasalahan pertanian masih sangat banyak dan beragam, sehingga menuntut strategi yang komprehensif. Beradasarkan pada analisis SWOT komoditas dikembangkan strategi spesifik dalam memanfaatkan peluang dan kekutan serta mengatasi masalah dan ancaman. Dari strategi spesifik tersebut dikembangkan strategi pokok yang bersifat umum sebagai berikut: a. Perbaikan skala teknis dan eknomis usaha tani b. Pengendalian konversi lahan subur c. Perbaikan teknologi budidaya dan penanganan pasca panen (perbaikan dayasaing) d. Peningkatan produkstivitas dan produksi e. Peningkatan kualitas penanganan pasca panen untuk perbaikan mutu dan pengurangan susut f. Pengembangan agroindustri (perolehan nilai tambah) g. Penyediaan dana pengembangan pertanian h. Penguatan posisi tawar produk pertanian i. Penganekaragaman bahan pangan pokok dan gula j. Pertanian adaptif dan berkelanjutan k. Penguatan kelembagaan (Poktan, Gapoktan dan Koptan) l. Peningkatan kualitas SDM penyuluh, petani dan pelaku agroindustri perdesaan m. Pemberian insentif yang berorientasi penguatan dayasaing dan penumbuhan agroindustri perdesaan n. Percepatan pembangunan infrastruktur pendukung pertanian
21
4.2. Kebijakan Pembangunan pertanian tidak dapat berdiri sendiri dan secara kuat terkait dengan kementerian dan instansi lainnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian sebagian besar ditentukan oleh kontribusi sektor lain (Gambar 4.1). Keperluan dukungan sektor lain untuk pembangunan pertanian antara lain: a. Departemen Pekerjaan Umum – jaringan irigasi primer dan sekunder, waduk, embung besar, jalan, dan pengendalian banjir b. Departemen Perindustrian – jaminan pasokan pupuk dari produsen dan bahan-bahan kimia untuk pertanian c.
BUMN – program Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN
d. BULOG - stabilisasi harga pangan e.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi – transformasi tenaga kerja pertanian ke sektor industri
f.
Departemen Perhubungan – kapasitas pelabuhan, kapal, kereta api, dan pesawat udara untuk arus barang antar pulau, antar wilayah dan antar negara; tarif angkutan produk pertanian
g. Departemen Keuangan – pembiayaan yang murah dan terjangkau bagi petani, asuransi pertanian h.
Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi – koordinasi kebijakan terkait produksi, distribusi, dan harga sarana produksi dan produk pertanian
22
i.
Departemen Energi Sumberdaya dan Mineral – jaminan pasokan gas sesuai kebutuhan industri pupuk, percepatan penggunaan bio-energi sebagai energi alternatif
j.
Departemen Perdagangan – jaminan pendistribusian pupuk sampai lini 4, stabilisasi harga pangan pokok, pasar lelang komoditi pertanian,
k.
Departemen Dalam Negeri – koordinasi APBN lintas sektor untuk pelaksanaan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, pemberdayaan masyarakat desa, dan koordinasi pelaksanaan monitoring dan evaluasi pembangunan daerah.
l.
BKPM – peningkatan daya tarik investasi sektor pertanian
m. BPN – reformasi agraria, pengendalian konversi lahan dan sertifikasi lahan n.
Departemen Pendidikan Nasional – promosi diversifikasi konsumsi pangan
o.
Departemen Kesehatan – promosi diversifikasi konsumsi pangan dan koordinasi pengendalian kesehatan masyarakat veteriner.
23
Dalam konteks pengembangan pertanian dewasa ini, khususnya penguatan dayasaing dan nilai tambah, keperluan tersebut dapat diterjemahkan menjadi kebijakan kementerian dan instansi terkait lainnya. Beberapa kebijakan berupa insentif bagi tumbuh-kembangnya agroindustri sekaligus penguatan dayasaing. Secara umum kebijakan dan insentif yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2.
15%
15 % Kementrian Pertanian
59 %
2626%%
Kementrian Lain Lintas Kementrian
Gambar 4.1. Keterkaitan kementerian dan instansi lain dalam pembangunan pertanian
24
Tabel 4.1. Kebijakan Terkait Dengan Pembangunan Nilai Tambah dan Agroindustri Kebijakan 1) Pelaksanaan UU PLPPB No.41 tahun 2009, 2)
3)
4)
5) 6) 7) 8) 9)
10)
11) 12) 13)
Revisi PP No 17 tahun 1986 tentang Kewenangan, Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri Penegakan hukum pelaksanaan peraturan pemotongan sapi betina produktif Pendirian Bank pertanian atau lembaga keuangan non bank yang dapat menyediakan skema pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik pertanian dan industr perdesaan (sejenis KUP) Pengalihan impor sapi bakalan menjadi sapi induk (betina) Kebijakan pengembangan RPU di sentra produksi Pergeseran subsidi input ke subsidi output secara bertahap Pengembangan kawasan pembangunan pertanian terintegrasi Peningkatan koordinasi lintas departemen dalam penentuan komoditas unggulan Kebijakan pengaturan produk pertanian untuk keperluan pangan dan biofuel secara jelas dan tegas Revisi peraturan beras bersubsidi menjadi pangan bersubidi Penambahan gerbang ekspor di beberapa daerah Kebijakan pendorong tumbuhnya industri hilir
14) Kebijakan pengurangan pajak impor mesin dan peralatan industri hilir yang belum bisa disediakan oleh industri dalam negeri 15) Kebijakan pengurangan pajak impor untuk produk hilir yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri
Instansi/Lembaga DEPTAN/BPN/ KMBUMN)
DEPKUHAM
DEPKEU/BI
DEPTAN?DEPKEU/ DEPDAG DEPTAN DEPTAN Deptan, Pemda DEPTAN/DEPRIN/DEPD AG/DEPDIKNAS/ KMNRT DEPTAN/DEPRIN/DEPES DM/ DEPDIKNAS/ KMNRT Sekneg DEPPU/DEPKEU DEPKEU
DEPKEU
DEPKEU
25
Kebijakan Instansi/Lembaga 16) Kebijakan subsidi biofuel DEPESDM/DEPKEU 17) Pengembangan tranportasi pertanian 18) Kebijakan mewajibkan eksportir dan DEPDAG/DEPTAN gudang teregistrasi 19) Penetapan harga minimal regional PEMNDA 20) Stabilisasi harga komoditas pokok (HPP DEPTAN/BULOG beras, ubikayu, jagung) 21) Stabilisasi harga melaui SPS dan TBT, DEPDAG/DEPTAN 22) Kebijakan pengembangan dana riset DEPTAN/DEPDIKNAS untuk pengembangan produk unggulan /KMNRT dengan pendekatan hulu hilir secara komprehensif sampai pada tahap komersialisasi teknologinya. 23) Kebijakan pengambangan dana riset DEPTAN/DEPDIKNAS untuk memperkuat posisi tawar /KMNRT komoditas unggulan dan produk turunannya. 24) Kebijakan penyerap tepung 26mpor oleh DEPDAG/DEPRIN/ 26mporter/pengguna tepung terigu DEPTAN 25) Kebijakan tepung komposit minimal DEPRIN/DEPTAN sampai 20% 26) Kebijakan premix biofuel secara DepESDM bertahap ke BBM pertamina TBT=Technical barrier trade, SPS=sanitary and phytosanitary agreement
26
Tabel 4.2. Kebijakan Terkait Dengan Pembangunan Nilai Tambah dan Agroindustri Insentif
Instansi/ lembaga
1) Pengembangan skema pengusahaan lahan kepada petani produktif dari lahan HGU yang habis masa perijinannya
DEPTAN/BPN/KMN BUMN
2) Memperbesar/memperluasjangakuan KUPS 3) Pemberian KUPS pada peternak “breeder”
DEPKEU
4) Mengembangan skema pembiayaan seperti KUPS pada komoditas pertanian lainnya 5) Bantuan sarana produksi pertanian untuk peningkatan produksi dan produktivitas
DEPKEU
6)
7)
Bantuan mesin dan peralatan untuk menekan susut pasca panen dan perbaikan mutu Pemberian insentif pengurangan pajak impor untuk memasukkan sapi betina
DEPTAN
DEPTAN
DEPTAN
DEPKEU
8) Pembangunan/penguatan infrastrukut ( Ijalan, pelabuan, penggudangan) untuk mendukung peningkatan daya saing
DEP PU/DEP HUB
9) Pembangunan infrastruktur (jalan sawah, irigasi)
DEP PU/DEPTAN
pertanian
10) Penetapan HPP sedini mungkin
DEPTAN/BULOG
11) Insentif dana penelitian untuk pengembangan teknologi dan komersialisasi teknologi untuk mendorong tumbuhnya industri hilir 12) Insentif dana penelitian untuk pengembangan teknologi dan komersialisasi benih/bibit unggul yang tahan perubahan iklim 13) Insentif dana penelitian untuk peningkatan posisi tawar komoditas unggulan dan produk turunannya di dubia internasional. 14) Bantuan untuk rakyat miskin atau bencana
DEPTAN/DEPDIKNAS /KMNRT/SWASTA
DEPTAN/DEPDIKNAS /KMNRT/SWASTA
DEPTAN/DEPDIKNAS /KMNRT/SWASTA DEPDAGRI/BULOG
27
Insentif tidak hanya dalam bentuk beras bersubsidi akan tetapi dapat dalam bentuk pangan berbahan baku tepung lokal 15) Jaminan pasar biofuel dari PT. Pertamina 16) Pelatihan penerapan SJMKP untuk peningkatan kualitas produk 17) Pengurangan pajak impor mesin dan peralatan industri hilir yang belum bisa disediakan oleh industri dalam negeri 18) Pengurangan pajak impor untuk produk hilir yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri 19) Fasilitasi pameran dagang di dalam dan luar negeri
Instansi/ lembaga
DEP ESDM/KMN BUMN/PERTAMINA
DEPKEU
DEPKEU
DEPTAN
Keterpaduan dalam Kementerian Pertanian harus menjadi awal gerakan pembentukan dayasaing dan nilai tambah. Direktorat Jenderal dan Instansi lain yang berwenang di hulu (perkebunan, peternakan, tanaman pangan dan hortukultura) harus mengacu kepada pembentukan nilai tambah. Instansi di hilir senantiasa menselaraskan program untuk meneruskan produk dengan dayasaing hingga ke konsumen akhir. Direktorat Jenderal PPHP harus mampu menjadi penghubung hulu-hilir (petani dan konsumen) melalui program terpadu pembentukan nilai tambah dan dayasaing berbasis produk. Pembangunan pertanian menuntut keterpaduan hulu dan hilir yang terencana, tepat dan berkesinambungan. Keberhasilan dalam satu rantai nilai tidak akan berhasil bila tidak ditopang oleh rantai sebelumnya dan tidak diteruskan oleh rantai sesudahnya. Pemenggalan kewenangan lintas kementerian menyulitkan kordinasi strategi, kebijakan dan program penguatan dayasaing dan nilai tambah. Oleh karena itu, revisi PP 17/1986 tentang kewenangan, pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri seyogianya diarahkan
28
untuk menjadikan agroindustri menjadi satu dalam Kementerian Pertanian. Selain koordinasi dan keterpaduan antar Instansi Pemerintah (G), keberhasilan program juga ditentukan oleh peran aktif dunia bisnis/B (penggerak, penghela dan pelaksana utama) dan akademisi (A) sebagai penghasil teknologi termasuk pemikiran ilmiah pembentuk dayasaing. Peran aktif harus terencana, terpadu dan terprogram sehingga terjadi keserasian yang saling terkait dan menguatkan (Lihat Bab 6). 4.3. Program Aksi Secara umum program aksi yang diperlukan untuk melaksanakan strategi dan kebijakan adalah sebagai berikut: 4.3.1. Peningkatan Produksi dan Produktivitas a)
b)
c) d)
e)
f) g)
Pengembangan benih unggul untuk tujuan khusus seperti ketahanan pangan dan energi, bahan baku industri dan ekspor. Pengembangan benih unggul tanaman pangan yang tahan kekeringan dan kebanjiran untuk mengantisipasi perubahan iklim. Penyediaan benih unggul sesuai dengan kebutuhan yang telah ditentukan Pengembangan pertanian yang berkelanjutan dengan menerapkan cara budidaya yang baik (GAP) Pengembangan pertanian berbasis kawasan (kawasan ternak terpadu, kebuh buah tropika untuk ekspor, sentra biofarmaka) Peningkatan skala usaha tani/ternak Ekstensifikasi terbatas, misalnya untuk padi dengan program rice estate
29
4.3.2. Peningkatan Kualitas dan Penurunan Susut Panen dan Pasca Panen Melalui: a). a) b)
Perbaikan cara panen Penguatan teknologi pasca panen Perbaikan penanganan pasa panen (transportasi)
4.3.3. Penumbuhkembangan Industri Perdesaan Untuk Meningkatkan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk Pertanian: a) b)
c) d)
e)
Perbaikan dan penguatan teknologi dari industri perdesaan yang sudah ada Mendorong tumbuhnya industri perdesaan yang dapat memanfaatkan hasil samping secara optimal Peningkatan fasilitas/kapasitas dari RPH/RPU Menumbhukan industri pengolahan yang mampu dikerjakan oleh kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi pertanian. Menumbuhkan industri perdesaan penanganan produk segar hortikultura
4.3.4. Peningkatan Dayasaing Produk Pertanian Melalui Penguatan Posisi Tawar Produk Pertanian Dengan: a) b) c)
Penerapan HPP untuk komditas strataegis Peningkatan citra produk pertanian Indonesia Kampanye yang dapat mendorong peningkatan konsumsi produk lokal
4.3.5. Peningkatan Kapasitas POKTAN/GAPOKTAN Untuk Memperkuat Posisi Tawar Dalam Perdagangan Produk Pertanian Dengan: a) b)
Penguatan kelembagaannya (aspek legal dalam bentuk koperasi ) Pengembangan kemitraan POKTAN dengan pihak ketiga (industri pengolahan, eksportir, BULOG dll)
30
c)
Penguatan kemampuan poktan untuk melakukan penanganan bahan segar dan pengolahan produk pertanian.
4.3.6. Perbaikan/Peningkatan Mutu Untuk Dayasaing Produk Pertanian Dengan: a) b) c)
Meningkatkan
Penguatan/perbaikan teknologi (misalnya pada penggilingan beras) Pengembangan/penerapan standar perkebunan sawit berkelanjutan Pengembangan/penerapan SJMKP/SJM pada penanganan produk segar dan pengolahan produk pertanian.
4.3.7. Peningkatan Kualitas SDM Penyuluh, Petani dan Pelaku Industri Perdesaan Untuk Peningkatan Efisiensi Biaya Produksi dan Peningkatan Mutu Dengan: a) b)
Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian Pelatihan dan pendampingan
4.3.8. Insentif diperlukan Untuk Meningkatkan Dayasaing dan Penciptaan Nilai Tambah Untuk Pengembangan Industri Perdesaan Melalui: a)
b)
c)
Insentif penelitian dan pengembangan untuk peningkatan produktivitas dan pengembangan produk bernilai tambah. Pemberian insentif untuk produksi produk pertanian yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti kedelai atau yang mempunyai nilai potensial ekspor yang sangat baik. Insentif skema pembiayaan dengan bunga rendah yang dapat dijangkau petani dan industri pedesaan
31
4.3.9. Pengembangan Dayasaing dan Nilai Tambah Sangat Ditentukan Kebrhasilannya Oleh Adanya Dukunga Infrastruktur Yang Memadai yaitu: a) b) c)
Infrstruktur produksi seperti irigasi dan jalan usaha tani Sarana transportasi darat, laut dan udara Sarana pelabuhan dan penggudangan
4.4. Agenda dan Tahap Pembangunan 4.4.1. Empat Agenda (Catur Dharma) Pembangunan Pertanian Perspektif peningkatan nilai tambah dan dayasaing tidak terlepas dari situasi makro ekonomi dan pembangunan pertanian. Empat Agenda Pembangunan Pertanian penting (Catur Dharma Pembangunan Pertanian) adalah: Melepaskan Ketergantungan Kepada Beras; Indonesia mempunyai sumberdaya pertanian dan biologi yang sangat kaya. Di masa yang lalu, masyarakat dengan kearifan lokal, telah memanfaatkan sumberdaya tersebut sebagai penopang kehidupan. Salah satu diantaranya adalah keragaman dalam bahan pangan pokok. Orang Maluku sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, orang Madura makan jagung, orang Papua makan sagu dan ubi jalar dan sebagian penduduk Jawa makan ubi kayu. Melepaskan ketergantungan pada beras berarti mengurangi beban (biaya) pembangunan sekaligus menjadikan beras sebagai komoditi komersial. Penghematan dana pembangunan dapat menjadi modal percepatan penangan komoditas lainnya. Tingkat konsumsi beras relatif tinggi, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun. Melepaskan Ketergantungan Pada Gula Pasir; konsumsi gula pasir sudah cukup tinggi dan cenderung meningkat. Di sisi lain dayasaing gula pasir sangat rendah memaksa pemerintah untuk mensubsidi (dari hulu hingga hilir) dan mengimpor gula. Pengurasan devisa dan penyedotan biaya pembangunan yang besar sangat kontras dengan jumlah petani yang terlibat
32
langsung dengan sektor ini. Negara-negara pengekspor gula umumnya menggantungkan konsumsi dalam negeri mereka terhadap gula lain (non-tebu) dengan pertimbangan tingkat kemanisan dan kesehatan. Diversifikasi produksi dan konsumsi gula dapat mengurangi beban pembangunan sekaligus memperkokoh ketahanan pangan nasional. Pembangunan Prasarana Pertanian (irigasi dan jalan pertanian); pertanian modern yang dinilai sangat efisien dan kompetitif tidak lain ditdukung dengan infrastruktur yang memadai. Inefisiensi di hulu menjadi penentu keberhasilan di hilir dalam perbaikan dayasaing dan nilai tambah. Perbaikan Skala Teknis dan Ekonomis Usaha Tani; kesejahteraan petani tidak mungkin dibangun berbasis usaha kecil yang tidak mampu menghasilkan pendapatan yang melebihi kebutuhan dasar. Pertanian yang berdayasaing juga tidak mungkin dibangun berbasis usaha yang tidak memenuhi skala teknis (dan ekonomis). Perluasan pengelolaan (bukan kepemilikan yang akan terfragmentasi lagi) adalah basis pembangunan menuju kesejahteraan petani melalui perbaikan produktivitas, efisiensi dan pendapatan pokok.
33
4.4.2. Tiga Tahap (Tri Jangka) Pembangunan Pertanian Bertolak pada keadaan terkini pertanian nasional, cita-cita luhur tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat secara bersamaan. Oleh karena itu, perlu dan harus ada pentahapan pembangunan pertanian. Tiga tahap simultan (Tri Jangka) pembangunan pertanian yakni perbaikan skala teknis dan ekonomis, pengorganisasian petani dan pengembangan industri pedesaan adalah pilihan bijak yang menjadi pijakan program pembangunan pertanian sangat beralasan. Tri Jangka adalah satu kesatuan yang tidak terpisah sehingga berawal pada titik yang sama dengan orientasi dan target yang berbeda (Gambar 4.1). Jangka Panjang; Perbaikan skala teknis dan ekonomis melalui reformasi agraria adalah satu-satunya pilihan menuju masyarakat pertanian yang sejahtera. Reformasi agraria menuntut adanya landasan yang kuat, metode yang tepat serta kalkulasi yang akurat. Perhitungan sederhana dapat dijadikan acuan yakni rata-rata pengelolaan 2 ha/KK petani yang dapat dicapai melalui strategi: (i) ekstensifikasi dan redistribusi lahan, (ii) pengembangan pertanian mandiri berorientasi industri, (iii) pengembangan sektor hilir (pengolahan), dan penataan tataguna lahan. Program jangka panjang ini harus dimulai dari sekarang yang diawali dengan menentukan cara, metode dan target tahunan hingga 25 tahun ke depan. Jangka Menengah; Pengorganisasian petani dengan skala kecil yang ada dewasa ini adalah pilihan moderat untuk memperbaiki efisiensi sehingga dapat berkontribusi dalam membentuk dayasaing. Falsafah “sapu lidi” yaitu kuat dan teguh dalam kesatuan dapat dijadikan “slogan” pengorganisasian petani. Pengorganisasian atau dalam bahasa yang umum kelembagaan sudah dimulai sejak empat dikade yang lampau masih relevan untuk diteruskan.
34
Dalam perspektif kelembagaan, organisasi terkecil adalah Kelompok Tani (Poktan) yang dapat dipandang sebagai gugus pertama (primer) dalam satelit pertanian. Beberapa Poktan tani membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) mempunyai kekuatan yang lebih besar sebagai basis pengembangan industri perdesaan dan dapat dipandang sebagai gugus kedua (sekunder) dari satelit pertanian.
Gambar 4.1. Keterkaitan antara Jangka Pembangunan Pertanian
Gapoktan yang bergabung dapat membentuk kelompok yang lebih besar dan kuat dapat menjadi basis pengembangan industri besar hilir (Gambar 4.2).
35
Jangka Pendek; pertanian Indonesia, terlepas dari berbagai masalah dan keadaanya, telah menghasilkan produk dalam jumlah besar. Dengan demikian, pengembangan penanganan pasca panen dan pengolahan (agroindustri perdesaan) mempunyai modal dasar yang kuat. Dalam perspektif pembangunan pertanian, maka pembangunan agroindustri (perdesaan) adalah pilihan yang dapat segera dilakukan. Basis pengembangan dapat dipilih
Gambar 4.2 Gugus Pengorganisasian Petani
menurut situasi dan kondisi nyata di lapangan. Secara umum, basis tersebut adalah Poktan dan Gapoktan atau bahkan Koptan.
36
5. PROGRAM PENINGKATAN DAYASAING DAN NILAI TAMBAH KOMODITAS 5.1. Tinjauan Umum Secara khusus program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas pertanian difokuskan kepada kegiatan off farm melalui program aksi yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah komoditas seperti penanganan pasca panen dan pengolahan primer. Program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas tidak bisa berdiri sendiri, tertapi harus terintegrasi dan tidak terpisahkan dengan kegiatan hulu yang berkaitan dengan budidaya pertanian untuk peningkatan produksi dan produktivitas sampai dengan kegiatan hilir yang merupakan program penghela terciptanya peningkatan dayasaing dan nilai tambah. Program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas pertanian terdiri dari program aksi yang secara langsung bersentuhan dengan program penguat yang merupakan prasyarat maupun penghela peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas. Peningkatan dayasaing dan nilai tambah dapat dicapai dengan syarat bahwa program penguat tersebut ada dan dilaksanakan secara lintas sektoral dengan departemen terkait maupun pemangku kepentingan lainnya seperti asosiasi dan pelaku usaha. Demikian juga dengan strategi insentif untuk mendorong tumbuhnya industri perdesaan harus ada dan dilaksanakan secara terintegrasi dan lintas sektoral.
37
5.2. Program Komoditas Komoditas yang dipilih sebagai penghela tumbuhnya industri perdesaan disesuaikan dengan komoditias prioritas yang dikelompokkan sebagai komoditas pangan utama yang meliputi beras, jagung, kedelai, daging sapi. Komoditas andalan ekspor yang meliputi sawit, karet, kakao dan daging ayam. Kelompok emerging products yang mempunyai peluang pasar yang luas baik internasional maupun domestik seperti buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang), produk biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri Kelompok produk yang diarahkan untuk substitusi impor seperti susu, tepung lokal (cassava dan sagu) serta jeruk. Pemilihan jenis komoditas ini diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi yang ada, mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing dan nilai tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect yang luas terhadap peningkatan industri perdesaan. Program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas dijabarkan secara terpisah dengan mengacu pada konsep peningkatan daya siang dan nilai tambah dengan mempertimbangkan kondisi terkini dan permasalahan, kondisi yang diharapkan, strategi pengembangan berdasarkan analisis SWOT (Lampiran), program aksi, rencana implementasi program aksi serta sasaran program aksi untuk masing-masing komoditas.
38
5.2.1. Beras K o ndi s i Te r k in i S W A S E M B A DA P ro d u k s i: • P ro duks i: p ad i 6 3. 8 4 jut a to n pa di) ( Di tj en Ta na m a n P a nga n) P a sc a P a n en / P e n g o la h an : • S us ut p an en da n pa sca p an en 1 0.8 2 % (B P S ) • Re nd em e n(P P K : 55 .7% , P P M : 59 .6 9% da n P P B : 61 . 48 % ) • M ut u b era s be lum ba ik • B e ras be rla be l m as ih terb at a s • Indu st ri pe de sa a n tep ung b er as da n turun an nya , p at i be ras da n turun an nya , b eka t ul m as ih ter ba ta s unt uk pa kan P e rd a g an g a n (P e m as a ra n) : • K o nsu m si 12 7 kg/ka pit a / t h (w id ya kar ya P & G) • E ksp or be ras o rga ni k: kec il (18 to n) • B a ha n b aku t ep ung be ras m a sih im po r(m e ni r) P ag e 3 3
O R IE NT AS I P E NG E M B AN G AN B E R AS S w as em b ad a be rkel an juta n m e la lui e kste nsi f ika si t er ba ta s (ric e es ta te ) p en uru na n sus ut p as ca pa ne n d an p en go la ha n, pe nga ne ka rag am a n b ah an pa nga n po ko k da n pe num b uhke m b an ga n i ndu st ri pe de sa a n p en go la h t ep ung d an t urun an nya s erta h as il sa m pi ng
St rat e gi In dus t ri Pe d e s a a n 1.
St ra t e gi P e ng ua t
P enguat an tekno logi dan pe nerapan S JMK P pasca panen untuk m ene kan s usut pasca p anen dan peni ngkatan m utu g abah P enguat an tekno logi dan pe nerapan S JMK P pada P P K d an P P M untuk m ene kan susut pe ngo lahan dan p ening kat an m ut u b eras P enum buhan ind ustri ped esaan berbas is beras & hasil sam ping be ras P enge m bangan p asar b eras
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10.
P ro g r a m 1 . 1. 1 . 2.
Ba n tu an p er a la ta n u ntu k men e ka n s us u t p a ne n d a n p as c a p a n en Pe n in gk a ta n k e mamp u an p en y u luh d a n p e ta ni u n tu k me ne ka n s us ut p a sc a pa n e n
A ks i
5 . 1.
Pe n ye d ia a n sa p r od i d a n b e ni h u n gg u l te p at wa ktu ( De p ta n/ D ep d a g) Pe n ge mb a ng a n te kn o log i p en g e nd a lia n h a ma t er p a du ( De p ta n/ D ep d ikn a s/ KMN R T) Pe n ge mb a ng a n p ro d u ks i be r a s o rg a n ik d a n a r om a tik d i 1 3 k a bu p a te n/ ko t a (D e pt an ) Pe ma nt ap a n p ro d u ks i be r a s ko n su msi d ala m n eg e r i di 1 4 p r o p ins i ( De p ta n )
5 . 2. 5 . 3.
2 . 1. 2 . 2. 2 . 3. 2 . 4.
Pe n in gk at an k ap a si ta s t ek n olo g i P PK & PP M Ak se ler a si p e n er a p an GMP Pe n in gk at an k ua lit as b e ra s Pe n ge m b a ng a n ke mitr a a n PP K- PP M- P PB
3 . 1.
Ba n tu an me sin d a n p er a lat an in du st r i pe d e sa an te pu n g b e r a s, p r o du k t ur u n an ( pa s ta , mie , b ih un ) Pe n in gk at an k em a mp u an p en y ulu h d an p o kta n mela k uk an pe n g emb a ng a n i nd u st ri p e d es a an 3 . 1. Pe n ge mb an g a n sk ema p e mbi ay a a n ya n g d a p at di ak se s in d us tr i p ed e sa a n Pe n ge mb an g a n ke mitr a a n u nt uk fa si li at si pe ma sa r a n
3 . 2. 3 . 3. 3.4
4 .1 . 4 .2 . 4 .3 . 4 .4 .
S ta bi il sa si h a r ga me lalu i m e ka n is me HPP E ksp a n si p a sa r be r a s d a la m d a n lu a r n e ge r i P en g e mba n g an s is ite m in fo r ma si pa s ar P en g e mba n g an k e rja s ama k e m itr a an p o kta n /g a p ok ta n -B UL O G
5 . 4.
6 . 1. 6 . 2.
7 .1 .
P ening katan prod uksi pad i P eng endal ian konversi lahan P eng em bang an varie tas tah an ke keringan d an banj ir E ksten sifikasi te rb atas P eng uran gan ke terg antung an bahan po ko k hanya pa da b eras P eng em bang an inf rast ru ktur p ertani an
Me mp er ta h a nk an la ha n p ad i d ar i ko n ve r si la h a n p e rt an ia n ( se su a i U U P LP PB) (D e p hu k ha m) P en e ga k ka n hu k um b a g i pe la ku k on ve r si ta na h p er ta n ia n ( se s ua i UU P LP PB) ( D ep h u kh am)
7 .2 . 7 .3 .
I n se nt if u nt uk R &D p a d i un g g ul t ah a n k ek e ri ng a n d a n ba n jir ( D ep ta n /D e p dik n as /K MN RT) I n se nt if u nt uk u ji mu ltilo ka s i pa d i un g g ul ( - sd a - ) I n se nt if u nt uk ko me r sia lis as i p a di u n g gu l ( - sd a - )
8 .1 . 8 .2 .
P ema n fa a ta n p ot en s i la h an ( D ep ta n /K MNB UM N ) P en g e m ba n g an r i ce e s ta te ( D e pt an / Pe mda )
9 . 1.
Di ver s ifi ka si pa n g an p o ko k be r b as is s umb e r ka r bo - h id ra t no n b e r a s d a n ga n du m ( D ep ta n / De p d ik na s)
1 0. 1 . Pe n g emb a n ga n d a n p e r ba ik an i ri ga s i ( PU? D e pt an ) 1 0. 2 . P en g e mba n g a n f ar m ro a d ( PU )
K eb ija k a n 1 ) Pe laksanaan UU P LP P B No .41 t ahun 20 09, 2) R evisi P e raturan beras bersub sidi m e njadi pangan b ersubsi di (Se kneg), 3) T ersed ianya ske ma pem b iayaan b unga rend ah yang d apat di akses petani, d an 4 ) S tabili sasi m elalui pe nguatan p eran B UL OG
K on dis i Y a n g D ih a ra p k a n S W A S E M B A DA P ro d u k s i: • P r od uksi pa di 7 5. 7 0 jut a t o n (D it je n T an am a n P a ng an ) P a sc a P a n en / P e n g o la h an : • S u sut pa ne n da n pa sc a pa ne n 9% • R en de m en (P P K :5 9. 6 9% , P P M :61 . 48 % , P P B 6 2% ) • M u tu be ras se su ai S N I 2 5% • B e ra s b er lab el 2 5% • I nd ustri p ed es aa n t e pun g be ra s d an t uru na nny a, pa ti be ra s d an t uru na nny a, be ka tu l un t uk pa ng an da n pa ka n be rke mb an g P e rd a g an g a n (P e m as a ra n) : • K o ns um si 9 4 kg /ka pi ta/t h • E ks po r a rom a t ik da n o rga ni k m e ni ngka t (10 . 0 00 t o n) • B a ha n ba ku t e pun g be ra s ( me ni r) da pa t di pe nu hi
Gambar 5.1. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Beras
39
Tabel 5.1. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Beras Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Bantuan peralatan untuk menekan susut panen dan pasca panen • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 1.2. Peningkatan kemampuan penyuluh dan petani untuk menekan susut pasca panen • Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian spesialis (panen, pasca panen dan pengolahan) • Pelatihan untuk peningkatan kemampuan petani menangani panen, pasca panen 2.1. Peningkatan kapasitas teknologi PPK & PPM • Identifikasi kekeurangan peralatan • Penetapan bantuan untuk penguatan • Realisasi bantuan • Pendampingan 2.2 Akselerasi penerapan GMP • Penyusunan buku pedoman GHP dan GMP yang mudah dipahami • Sosialisasi GHP dan GMP ke penyuluh/tenaga pendamping • Sosialisasi ke Kelompok tani dan pelaku penggilingan beras
2010 10.4 2
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 10.0 9.62 9.32 2
10.4 2
10.0 2
9.62
9.32
9.00
Persen susut panen dan pasca
15
35
100
125
150
Unit usaha poktan
50
75
100
100
100
% poktan di 14 prop. sentra produksi dan 14 kab.kota poktan penghasil speciality rice
2014 9.00
Keterangan Persen susut panen dan pasca
40
• •
Peningkatan kualitas beras Sosialisasi standar mutu beras organik dan aromatik • Sertifikasi beras organik dan beras aromatik 2.3 Pengembangan kemitraan PPK-PPM-PPB • Penyusunan model kemitraan • Sosialisasi kepada pelaku usaha • Pengembangan model kemitraan di Jawa Timur dan Jawa Barat 3.1. Bantuan mesin dan peralatan industri perdesaan tepung beras, produk turunan (pasta, mie, bihun) • Identifikasi mesin yang diperlukan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 3.2. Peningkatan kemampuan penyuluh dan poktan melakukan pengembangan industri perdesaan tepung beras, produk turunan (pasta, mie, bihun) • Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian spesialis (panen, pasca panen dan pengolahan) • Pelatihan untuk peningkatan kemampuan petani menangani panen dan pasca panen 3.3. Pengembangan kemitraan untuk fasilitasi pemasaran • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama •
5
10
15
20
25
Kumulatif % beras sesuai SNI
10
40
100
130
150
Kumulatif poktan terlibat
10
20
50
20
10
Unit usaha (poktan/ gapoktan)
5%
25%
65%
90%
100 %
Kumulatif penyuluh tenaga pendamping
25
55
100
125
150
Kumulatif poktan terlibat
jumlah yang
% dan
jumlah yang
41
4.1. Stabilisasi harga melalui mekanisme HPP • Pemantatapan jaminan BULOG untuk pembelian gabah/beras melalui jalur HPP dan jalur komersial • Penetapan HPP tepat waktu • Kebijakan ekspor tepat waktu 4.2. Ekspansi pasar beras dalam dan luar negeri • Pameran dalam dan luar negeri 4.3. Pengembangan sisitem informasi pasar • Peningkatan kemampuan poktan untuk akses informasi pasar 4.4. Pengembangan kerjasama kemitraan poktan/gapoktan-BULOG • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama
10%
10%
10%
10%
10%
Pengadaan BULOG (% x jumlah produksi)
2
5
5
5
5
10
20
50
75
100
Jumlah pameran yang diikuti % Jumlah poktan di sentra produksi
10
40
75
100
150
Jumlah terlibat
poktan
42
5.2.2. Jagung ORIENTASI PENGEMBANGAN JAGUNG Kondisi Terkini
Swasembada Produksi: 17,66 juta ton Pasca Panen/Pengolahan: • Susut panen, pasca panen masih tinggi • Ketersediaan mesin dan peralatan pasca panen terbatas • Kandungan aflatoksin masih tinggi (>50 ppb) • Industri pedesaan pakan dan pangan (grits, tepung) belum berkembang Perdagangan (Pemasaran): • Sentra produksi dengan industri pakan belum selaras • Pangan: 3,0 juta ton • Pakan: 4,07 juta ton • Impor: 170 ribu ton jagung pipilan • Ekspor 150 ribu ton jagung pipilan • Bioenergi terbatas
Swasembada berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi dengan penurunan susut pasca panen dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan pangan dan energi
Strategi Industri Pedesaan 1. 2.
3.
Strategi Penguat
Penguatan teknologi dan SJMKP pasca panen untuk peningkatan kualitas jagung Penumbuhkembangan industri pedesaan pakan ternak dan pangan (tepung dan grits) di sentra produksi jagung Pengembangan pasar jagung
Program 1.1. Peningkatan sarana pengeringan jagung yang sesuai dengan kondisi daerah 1.2. Penurunan kehilangan hasil dan perbaikan kualitas jagung 1.3. Penerapan SNI wajib jagung 2.1. Pengembangan industri pedesaan pakan ternak 2.2. Pengembangan industri pedesaan tepung & grits 3.1. Pengembangan sistem informasi pasar 3.2. Pengembangan kerjasama kemitraan industri pedesaan pakan ternak dengan kelompok peternak 3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan industri pedesaan grits dengan industri pakan dan pengolahan snack 3.4. Pengembangan kerjasama kemitraan industri pedesaan tepung dengan industri tepung terigu
4. 5. 6. 7.
Peningkatan produksi dan produktivitas jagung Pengembangan kasawan ternak terpadu Penguatan kelembagaan poktan Pengembangan infrastruktur dan sarana transportasi
Aksi 4.1. Penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat waktu (Deptan/Depdag) 4.2. Penyediaan benih unggul yang mudah diakses petani (Deptan) 4.3. Pemanfaatan lahan kebun sawit sampai umur 2 tahun (KMNBUMN) 5.1. Pengembangan kawasan ternak tepadu di sentra produksi jagung (Deptan) 6.1. Penguatan kelembagaan poktan dan gapoktan (Deptan) 6.2. Penguatan SDM poktan dan gapoktan (Deptan) 7.1. Perbaikan infrastruktur jalan di sentra produksi jagung (Dep PU)
Kondisi Yang Diharapkan
Swasembada Produksi::29 juta ton Pasca panen/ pengolahan: • Susut dipanen diturunkan sebesar 10% • Ketersediaan alat dan mesin pasca pane • Kandungan aflatoksin dapat ditekan <20 ppb • Industri pedesaan pengolahan pakan dan pangan (grits dan tepung jagung) berkembang Perdagangan (Pemasaran): • Sentra produksi dengan industri pakan dan pangan terintegrasi (klaster) • Pangan: 3,0 juta ton • Pakan:4.6 juta ton • Impor:0 • Ekspor hasil olahan jagung meningkat • Bioenergi:meningkat
Kebijakan
Page 53
1) Stabilisasi harga melaui mekanisme SPS dan TBT (Depdag, 2) Penetapan harga minimal regional (Pemda), 3) Peningkatan Peran BULOG sebagai penyangga harga jagung (Bulog), 4) Kebijakan penyerapan tepung lokal oleh importir/pengguna tepung terigu (Deprin/Depdag/Deptan), Kebijakan skema pembiayaan bunga rendah yang dapat diakses oleh petani dan industri pedesaan
Gambar 5.2. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Jagung
43
Tabel 5.2. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Jagung Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Peningkatan sarana pengeringan jagung yang sesuai dengan kondisi daerah • Revitalisasi silo jagung (14 unit) di Musi Banyuasin, Lombok Tengah, Tanah laut, Bulukumba, Taklar, Maros, Soppeng, Sinjai, Bone, Pinrag, jeneponto, Tojo Una-una, Pahuwato, Bolmong • Pembangunan silo jagung yang terintegrasi dengan unit pengering dengan bahan bakar hibrid biomassa (30 unit/tahun) di sentra produksi jagung • Pelatihan dan pendampingan poktan untuk peningkatan kemampuan dalam bidang panen dan pascapanen 1.2. Penurunan kehilangan hasil dan perbaikan kualitas jagung • Fasilitasi peralatan penanganan pasca panen jagung kepada gapoktan • Pelatihan dan pendampingan penanganan pasca panen jagung • Penerapan manajemen mutu sehingga produk yang dihasilkan sesuai persyaratan mutu pasar, melalui pelatihan dan penyuluhan yang intensif tentang manajemen mutu
201 0 30
Sasaran tahunan 201 201 201 201 1 2 3 4 30 30 30 30
2.4
2.2
2.0
1.8
1.7
Keterangan Unit silo/tahun
% kehilangan hasil
44
1.3. Penerapan SNI wajib jagung • Sosialisasi penerapan SNI jagung 2.1. Pengembangan industri perdesaan pakan ternak • Penetapan gapoktan untuk mendukung industri perdesaan pakan ternak • Mendorong tumbuhnya kawasan peternakan terpadu secara lintas sekoral • Pemberian bantuan peralatan pengolahan pakan ternak • Pelatihan dan pendampingan 2.2. Pengembangan industri perdesaan tepung dan grits • Penetapan gapoktan untuk mendukung industri perdesaan tepung dan grits • Pemberian bantuan peralatan untuk pengolahan grits dan tepung • Pelatihan dan pendampingan 3.1. Pengembangan sistem informasi pasar • Penyusunan database jagung • Penguatan kemampuan poktan/gapoktan melakukan akses informasi pasar 3.2.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan pakan ternak dengan kelompok peternak
30
40
60
80
100
Persentase wajib SNI Kumulatif industri perdesaan pakan ternak
2
4
8
10
12
4
8
12
16
20
Kumulatif industri perdesaan grits dan tepung jagung
Ad a
Ad a
Ad a
Ad a
Ad a
Ketersediaa n informasi pasar
10
30
75
100
125
Kumulatif poktan yang terlibat
45
Fasilitasi Kerjasama antar gapoktan sentra produksi jagung utama (Jatim, Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, NTT, Sulsel, Sulut dan Gorontalo) • Fasilitasi kemitraan saling menguntungkan antara Gapoktan dan industri hilir berbahan baku jagung 3.3.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan grits dengan industri pakan dan pengolahan snack • Fasilitasi penyusunan badan hukum gapoktan untuk kemitraan bisnis jagung • Fasilitasi kemitraan saling menguntungkan antara Gapoktan dan industri hilir berbahan baku jagung 3.4.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan tepung dengan industri tepung terigu • Keringanan pajak bagi industri pengolahan hilir jagung yang beorientasi substitusi imporPemberian kredit dengan suku bunga rendah kepada industri jagung. •
10
30
75
100
125
Kumulatif poktan yang terlibat
10
30
75
100
125
Kumulatif poktan yang terlibat
46
5.2.3. Kedelai ORIENTASI PENGEMBANGAN KEDELAI Menuju swasembada untuk mencukupi kebutuhan kalori protein melalui peningkatan produktifitas dan penguatan industri pedesaan pengolahan pangan berbasis kedelai
Kondisi Terkini
Strategi Industri Pedesaan 1. Pengembangan penanganan pasca panen 2. Penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan kedelai dan hasil sampingnya. 3. Perbaikan pemasaran kedelai dalam negeri
Impor lebih dari 50% dari kebutuhan Produksi: • Produksi: 1 juta ton Pasca Panen/ Pengolahan: • Mutu kedelai belum baik • Industri pedesaan belum melakukan praktek yang baik Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi dalam negeri 2 juta ton
Strategi Penguat
Program 1.1. Bantuan peralatan perontok multi guna pada kelompok tani untuk menekan susut panen, pasca panen dan meningkatkan kualitas. 1.2. Membangun unit-unit penyimpanan kedelai di sentra-sentra produksi untuk mempertahankan mutu kedelai dan menjaga pasokan kedelai sepanjang tahun. 1.3. Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam penanganan pasca panen. 2.1. Peningkatan kapasitas teknologi industri pedesaan tahu, tempe, susu kedelai dan tepung kedelai 2.2. Penumbuhan industri pedesaan pengolahan ampas tahu menjadi tepung ampas tahu 3.1. Perbaikan harga kedelai di tingkat petani
4. Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai 5. Pemberian insentif untuk penanaman kedelai 6. Pengembangan benih unggul sesuai dengan kebutuhan industri
Aksi 4.1. Penyediaan benih kedelai (Deptan) 4.2. Pengembangan mutu benih unggul kedelai (Deptan) 4.3. Penyediaan input produksi mandiri dan berkelanjutan (Deptan/Depdag) 4.4. Penanggulangan hama penyakit kedelai (Deptan) 4.5. Optimalisasi pembinaan petani (Deptan/Pemnda)
5.1. Bantuan benih unggul (Deptan) 5.2. Subsidi saprotan (pupuk) untuk pengembangan budidaya kedelai (Depkeu) 5.3. Pembangunan sarana dan infrastruktur penunjang (Dep PU) 6.1. Insentif untuk penelitian dan pengembangan benih kedelai dengan polong besar untuk industri tempe pedesaan (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 6.2. Insentif untuk komersialisasi penghasil benih unggul yang sesuai dengan kebutuhan industri. (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
Kondisi Yang Diharapkan Swasembada Produksi: • Produksi: 2.7 juta ton Pasca Panen/ Pengolahan: • Mutu kedelai lokal 30% sesuai SNI • Tumbuhkemban gnya industri pedesaan pengolahan kedelai yang menerapkan GMP Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi dalam negeri 2.2 juta ton
Kebijakan 1) Stbilisasi harga melalui mekanisme SPS dan TBT (Depdag), 2) Insentif untuk produksi benih unggul (Depkeu) 3) Kebijakan stabilisasi harga ditingkat petani (HPP) (Deptan/Bulog)
Gambar 5.3. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Kedelai
47
Tabel 5.3. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Kedelai Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Bantuan peralatan perontok multi guna pada kelompok tani untuk menekan susut panen, pasca panen dan meningkatkan kualitas • Identifikasi peralatan yang dibutuhkan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan poktan penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 1.2. Membangun unit-unit penyimpanan kedelai di sentrasentra produksi untuk mempertahankan mutu kedelai. • Penetapan kapasitas unti penyimpanan yang dibutuhkan • Realisasi bantuan • Pendampingan 1.3. Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam penanganan pasca panen • Penyuluhan TOT untuk penyuluh dan pendamping • Penyuluhan pada poktan
2010 5
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 10 20 25
2014 30
1
2
3
2
1
Unit
5
15
30
40
50
Kumulatif % jml penyuluh &pendamping
Keterangan Kumulatif % poktan kedelai
48
2.1. Peningkatan kapasitas teknologi industri perdesaan tahu, tempe, susu kedelai dan tepung kedelai • Identifikasi kondisi terkini industri perdesaan pengolah kedelai • Penetapan bantuan untuk penguatan • Realisasi bantuan • Pendampingan 2.2.Penumbuhan industri perdesaan pengolahan ampas tahu menjadi tepung ampas tahu • Pelatihan pengolahan hasil samping pengolahan kedelai • Bantuan peralatan pengolahan hasil samping kedelai • Pengembangan kemitraan pemasaran 3.1. Perbaikan harga kedelai di tingkat petani • Penetapan HPP yang merangsang petani menanam kedelai • Pengembangan kemitraan antara kelompok tani dengan industri pengguna kedelai
5
15
25
35
40
Kumulatif usaha
5
15
25
35
40
Unit usaha
1
3
10
15
20
Kumulatif Jumlah kerjasama
unit
49
5.2.4. Gula ORIENTASI PENGEMBANGAN GULA Swasembada gula melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi, pengembangan bibit unggul, revitalisasi pabrik dan pengembangan gula non-tebu
Kondisi Terkini
Strategi Industri Pedesaan
MASIH IMPOR (Gula rafinasi:379 ribu ton) Produksi: • Produksi: 4,4 juta ton (2.75 juta jula kristal dan 1,5 juta ton gula rafinasi) • Kandungan sukrosa rendah (5.5-8%) Pasca Panen/ Pengolahan: • Produktivitas rendah • Rendemen rendah (PTPN): 6–9% • HPP tinggi • Kondisi pabrik sudah tua Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi gula pasir: 12 kg/kapita/tahun • Kebutuhan nasional:4,85 juta ton (2,7 juta ton konsumsi rumah tangga dan 2,15 industri) industri) • Kebutuhan pemanis sebagian besar dari gula pasir
1. 2. 3. 4. 5.
Strategi Penguat Perbaikan produktivitas tebu dengan pengembangan varitas unggul 7. Pengembangan insentif budidaya tebu 8. Pengaturan impor gula 9. Pengembangan varitas tebu resisten terhadap perubahan iklim Program Aksi
Pengembangan gula non-tebu Perbaikan efisiensi pengolahan Revitalisasi pabrik Pemanfaatan tetes sebagai bagian terpadu dari industri gula Perbaikan mutu gula
6.
1.1. Pembangunan pabrik pengolahan gula palma berbasis gapoktan 1.2. Insentif bagi investasi pabrik pembuatan gula cair berbasis karbohidrat (umbi-umbian dan biji-bijian) 1.3. Kampanye gula sehat non-tebu untuk konsumsi rumah tangga dan industri
6.1. Dukungan riset dan pengembangan bibit unggul wilayah khatulistiwa (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 6.2. Perbaikan kandungan sukrosa tebu hingga di atas 10% (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
2.1. Perbaikan sistem tebang muat angkut pabrik gula 2.2. Penerapan SOP manis, bersih dan segar secara optimal 2.3. Pengawasan pabrik oleh pihak ke III
7.1. Pemberian subsidi input pertanian (Depkeu) 7.2. Penyediaan bibit varitas unggul (Deptan)
3.1. Realisasi revitalisai pabrik yang layak secara teknis dan ekonomis 4.1. Pendirian atau penambahan pabrik pengolahan tetes sesuai skala teknis dan ekonomis pabrik gula 4.2. Penyediaan insentif investasi pengolahan tetes 5.1. Pengaturan kerjasama pabrik dan petani tebu dengan pengawasan pemerintah 5.2. Penambahan fasilitas pengolahan gula bermutu di pabrik BUMN
8.1. Pengenaan tarif impor gula (Depkeu) 8.2. Penetapan volume impor sesuai kebutuhan (Deptan) 9.1. Insentif bagi Lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 9.2. Penyebarluasan varitas tahan kering dan panas (Deptan)
Kondisi Yang Diharapkan SWASEMBADA Produksi: • Produksi: 5 juta ton (2.75 juta gula kristal dan 2,25 juta ton gula rafinasi) • Kandungan sukrosa 10% Pasca Panen/ Pengolahan: • Produktivitas meningkat • Rendemen (PTPN): 9% • HPP turun • Kondisi pabrik membaik Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi gula pasir: 11kg/kapita/tahun • Kebutuhan nasional:5,29 juta ton (2,9 juta ton konsumsi rumah tangga dan 2,3 industri). • Kebutuhan pemanis industri sebagian dipenuhi gula cair
Kebijakan 1) Insentif penelitian pengembangan dan komersialisasi bibit unggul (Deptan/Depdiknas/KMNRT), 2) Dukungan investasi gula non-tebu (Pemda), 3) peningkatan konsumsi gula non-tebu untuk rumah tangga dan industri (Deptan/KADIN)
Gambar 6. 4. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Gula
50
Tabel 5.4. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Gula Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Pembangunan pabrik pengolahan gula palma berbasis gapoktan • Bantuan sarana produksi dan modal awal industri kecil gula palma berbasis gabungan kelompok tani • Pendampingan teknologi dan pengembangan pasar 1.2. Insentif bagi investasi pabrik pembuatan gula cair berbasis karbohidrat (umbi-umbian dan biji-bijian) • Penguatan petani penghasil bahan baku • Insentif harga beli bahan baku produksi petani • Pembebasan pajak dalam masa produksi awal 1.3. Kampanye gula sehat non-tebu untuk konsumsi rumah tangga dan industri • Penyiapan brosur dan leaflet yang memuat konsumsi gula sehat • Talk show di media TV dan Radio • Penayangan iklan gula sehat non-tebu 2.1. Perbaikan sistem tebang muat angkut pabrik gula • Perbaikan jadwal terpadu rencana tanam dan giling • Pelatihan tebang, muat dan angkut bersama pabrik gula • Monitoring dan pengawasan tebang muat angkut
2010 3
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 5 5 5
2014 5
Pabrik/ tahun
2
2
2
2
2
Pabrik/ tahun
50
75
100
100
100
Jam tayang kampanye/ iklan dalam Televisi
4
4
4
4
4
Pabrik gula/tahun
Keterangan
51
2.2. Penerapan SOP manis, bersih dan segar secara optimal • Penguatan insentif dan punishment pelaksanaan MBS (manis, bersih, segar) • Penyuluhan dan pengawasan pelaksanaan MBS 2.3. Pengawasan pabrik oleh pihak ke III • Pembentukan Tim Pengawas • Perbaikan proses dan efisiensi produksi 3.1. Realisasi revitalisai pabrik yang layak secara teknis dan ekonomis • Penetapan pabrik layak revitalisasi • Pelaksanaan dan pengawasan revitalisasi 4.1.Pendirian atau penambahan pabrik pengolahan tetes sesuai skala teknis dan ekonomis pabrik gula • Penetapan bentuk, skala dan lokasi indutri pengolahan tetes • Dukungan kebijakan industri pengolahan tetes 4.2. Penyediaan insentif investasi pengolahan tetes • Bantuan penyediaan dana persiapan pendirian industri • Dukungan kebijakan
5
5
5
5
5
Pabrik gula/tahun
5
5
5
5
5
Pabrik gula/tahun
3
3
3
3
3
Pabrik gula/tahun
1
1
1
1
1
Pabrik pengolah tetes/tahun
1
1
1
1
1
Pabrik pengolah tetes/tahun
52
5.1.Pengaturan kerjasama pabrik dan petani tebu dengan pengawasan pemerintah • Dukungan pembiayaan kelompok tani tebu • Pengawasan kesepakan dan bantuan sarana produksi tebu 5.2.Penambahan fasilitas pengolahan gula bermutu di pabrik BUMN • Penetapan fasilitas perbaikan mutu pabrik gula • Insentif dalam pengadaan fasilitas baru
5
5
5
5
5
Pabrik gula/tahun
3
3
3
3
3
Pabrik gula/tahun
53
5.2.5. Daging Sapi ORIENTASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI Kondisi Terkini
Swasembada daging sapi 2014 untuk peningkatan kualitas asupan gizi melalui pengembangan beternak intensif berkelanjutan, pengembangan mutu pakan, pengembangan peternakan terintegrasi dengan perkebunan, penguatan RPH dan pengembangan sistem pasokan rantai dingin.
Impor (daging, jeroan beku, sapi bakalan)
• • •
• •
•
•
•
Produksi: Populasi ternak: 11 – 12 juta ekor Populasi betina: 900 rb ekor Produksi daging: 249.925 ton Pasca Panen/ Pengolahan: RPH belum menerapkan SJMKP Industri pedesaan pengolahan kompos belum berkembang dengan baik Industri pedesaan pengolahan kulit belum berkembang dengan baik Industri pedesaan pengolaha daging masih belum menerapkan SJMKP Perdagangan (Pemasaran): Impor ternak dan daging: 28% dari kebutuhan (70.000 ton daging dan jeroan, dan 639.000 sapi bakalan
Strategi Industri Pedesaan 1. 2. 3. 4.
Kondisi Yang Diharapkan
Strategi Penguat
Pengembangan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan di sentra produksi Pengembangan industri pakan pedesaan Pengembangan industri pedesan yang mengolah hasil samping (kulit, kompos) Peningkatan kualitas produksi produk olahan industri pedesaan
5. 6. 7. 8. 9.
Pengembangan bibit sapi dan intensifikasi usaha peternakan Pengembangan usaha peternakan terintegrasi dengan perkebunan sawit dan karet (Integrated farming system) Penyediaan dan Pengembangan mutu pakan Peningkatan kualitas kesehatan hewan Pengembangan insentif untuk mencegah pemotongan sapi betina poduktif
Program Aksi 1.1. Peningkatan fasilitas RPH (cold storage, alat transportasi berpendingin) di sentra produksi 1.2. Penerapan SJMKP pada RPH 1.3 Peningkatan kualitas SDM 2.1. Bantuan peralatan untuk pengolahan pakan ternak 2.2. Pelatihan dan pendampingan 2.3. Pengembangan kerjasama kemitraan antara peternak (industri pedesaan pakan ternak) dengan peternak 3.1. Bantuan mesin dan peralatan industri pedesaan pengolahan kulit, dan kompos 3.2. Pelatihan dan pendampingan 3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan produsen kulit dengan pengrajin tas, sepatu . 4.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging 4.2. Penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging dan pendampingan
5.1. Pengembangan pembibitan rakyat (Deptan) 5.2. Pengembangan pembibitan swasta (Deptan) 5.3. Optimalisasi inseminasi buatan dan intensifikasi kawin alam (Deptan/Pemnda) 5.4. Insentif untuk peternak berupa pembebasan biaya inseminasi buatan (Pemnda) 5.5. Peningkatan kepemilikan jumlah sapi per keluarga tani (Deptan/Pemnda) 6.1. Pengembangan usaha peternakan terintegrasi dengan perkebunan sawit. (Deptan/KMNBUMN) 6.2. Pengembangan usaha peternakan terintegrasi dengan perkebunan karet (Deptan/KMNBUMN) 6.3. Pengembangan peternakan terintegrasi dengan sentra produksi jagung (Deptan/Pemnda) 7.1. Penyediaan lahan untuk pakan hijauan (BPN). 7.2. Peningkatan pengetahuan pakan peternak (Deptan/Pemnda) 7.3. Peningkatan kemampuan poktan melakukan pengolahan pakan (DEPTAN) 8.1. Peningkatan kualitas layanan kesehatan (Deptan/Pemnda) 8.2. Penurunan gangguan reproduksi (Deptan/Pemnda) 9.1. Pengembangan skema pembiayaan dengan bunga rendah untuk pembibitan rakyat dan swasta (Depkeu)
Kebijakan 1) Pengalihan impor sapi bakalan menjadi sapi induk (betina) (Deptan), 2) insentif bantuan permodalan untuk pembibitan sapi oleh peternak rakyat dan swasta KUPS (Depkeu),3)memperketat pelaksanaan peraturan pemotongan sapi betina produktif , (DEPKUHAM) 4)kebijakan pengembangan infrastruktur RPH yang dilengkapi dengan coldstorage dan coldchain distribution facility di sentral produksi (Deptan/Pemda)
SWASEMBADA DAGING SAPI Produksi: • Populasi ternak: 14,6 juta ekor • Populasi sapi betina: 1 juta ekor • Produksi daging : 550 rb ton Pasca Panen/ Pengolahan: • 75% RPH menerapkan SJMKP • Industri pedesaan pengolahan kompos berkembang dengan baik • Industri pedesaan pengolahan kulit berkembang dengan baik • 50% Industri pedesaan pengolahan daging menerapkan SJMKP Perdagangan (Pemasaran): • Impor sapi bakalan dan daging 0%
Gambar 5.5. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Daging Sapi
54
Tabel 5.5. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Daging Sapi 2010 -
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 1 3 5
2014 5
5
20
40
60
80
1.3.Peningkatan kualitas SDM • Pelatihan manajemen pengelolaan RPH • Pelatuhan SJMKP
20
40
100
160
200
2.1.Bantuan peralatan untuk pengolahan pakan ternak • Identifikasi kebutuhan peralatan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan
3
8
15
20
25
Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1.Peningkatan fasilitas RPH (cold storage, alat transportasi berpendingin) di sentra produksi • Identifikasi kekurangan fasilitas RPH • Penguatan fasilitas 1.2.Penerapan SJMKP pada RPH • Sosialisasi SJMKP • Pendampingan penerapan SJMKP
Keterangan Kumulatif sentra produksi Kumulatif RPH yang menerapka n SJMKP Jumlah SDM terlatih/ tahun Poktan (unit usaha)/th
55
2.2. Pelatihan dan pendampingan • Pelatihan produksi dan manajemen pengelolaan industri perdesaan pakan ternak • Pendampingan operasionalisasi industri perdesaan pakan ternak. 2.3.Pengembangan kerjasama kemitraan antara peternak (industri perdesaan pakan ternak dengan peternak • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama 3.1.Bantuan mesin dan peralatan industri perdesaan pengolahan kulit, dan kompos • Identifikasi kebutuhan peralatan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 3.2. Pelatihan dan pendampingan • Pelatihan produksi dan manajemen pengelolaan industri perdesaan pakan ternak • Pendampingan
20
40
100
160
200
SDM terlatih/ tahun
10
30
50
100
125
Kumulatif poktan terlibat
5
10
20
40
50
Unit (poktan)
20
40
100
160
200
SDM terlatih/ tahun
56
3.3.Pengembangan kerjasama kemitraan produsen kulit dengan pengrajin tas, sepatu • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama 4.1.Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging • Pelatihan SJMKP (GMP, SSOP dan HACCP) pada pelaku usaha industri perdesaan pengolaha daging 4.2 Penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging dan pendampingan
10
30
50
100
125
Kumulatif poktan terlibat
20
40
100
160
200
SDM terlatih/tah un
5
15
25
50
75
Unit usaha menerapka n SJMKP
57
5.2.6. Sawit ORIENTASI PENGEMBANGAN SAWIT Kondisi Terkini Produksi: • Produktivitas perkebunan rakyat 8 ton TBS/ha/th, KBS dan KBN 15-20 TBS/ha/th • Produksi: 19.440 ribu ton • Belum memiliki standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Pasca Panen/ Pengolahan: • Sawit rakyat belum terserap semua oleh PKS Perdagangan (Pemasaran): • Kampanye negatif (isu lingkungan dan kesehatan) Dalam Negeri:14.060 ribu ton • Pangan:11.155 ribu ton • Oleokimia:815 ribu ton • Biodisel:2.090 ribu ton Ekspor • CPO:40% • Produk turunan CPO:60%
Mempertahankan pertumbuhan nilai ekspor sawit melalui peningkatan peran perkebunan sawit rakyat dan penguatan industri hilir untuk mendukung peningkatan nisbah ekspor produk olahan
Strategi Industri Pedesaan 1. 2. 3.
4. 5.
Peningkatan penyerapan TBS kebun rakyat oleh PKS Pengembangan industri hilir sawit Peningkatan pemasaran produk sawit dan turunannya di DN dan LN
6. 7.
Program 1.1. Peningkatan kemitraan antara petani dan PKS 1.2. Pendirian PKS bagi kebun rakyat yang tidak bisa dimitrakan skala 30 ton TBS/jam (coorporate farming) 2.1. Mendorong investasi pengembangan industri produk hilir sawit (oleokimia, nutracitical) 2.2. Mendorong investasi pengembangan industri biodiesel 2.3. Mendorong investasi pengembangan industri berbasis TBK dan pohon sawit 3.1. Kebijakan advokasi untuk menangkal kampanye negatife pengembangan kelapa sawit nasional 3.2. Pengaturan harga TBS
Kondisi Yang Diharapkan
Strategi Penguat Peningkatan produksi dan produktivitas sawit R & D untuk penguatan industri sawit nasional. Perbaikan infrastruktur Pengembangan standar perkebunan sawit berkelanjutan
Aksi 4.1. Peningkatan produksi kelapa sawit (Deptan) 4.2. Peningkatan produktivitas kebun sawit (Deptan) 5.1. Penguatan riset dan pengembangan yang berkaitan dengan perkebunan sawit dalam kaitannya dengan isu lingkungan (Deptan/KMNRT/Depdiknas) 5.2. Penguatan riset dan pengembangan produk hilir sawit (Deptan/KMNRT/Depdiknas) 5.3. Dukungan riset dan pengembangan produk samping hasil kelapa sawit (Deptan/KMNRT/Depdiknas) 6.1. Pembangunan/perbaikan akses jalan di kebunkelapa sawit (Dep PU) 6.2 Inisiasi pembangunan jalur kereta di sentra produksi sawit (Dep PU) 6.3. Advokasi pembangunan pelabuhan CPO (Dep PU/Dephub) 6.4. Penyediaan pasokan gas dan listrik untuk pengembangan industri sawit (Dep ESDM) 7.1. Penyusunan standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutann (BSN/Deptan) 7.2. Penetapan dan pemberlakuan standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Deptan)
Kebijakan
Produksi: • Produktivitas 20 ton TBS/ha/th • Produksi:28,439 ribu ton • Memiliki standar perkebunan kelapa sawit berkenjutan Pasca Panen/ Pengolahan: • Sawit rakyat terserap semua oleh PKS • Berkembangnya industri produk hilir sawit Perdagangan (Pemasaran): • Berkurangnya kampanye negatif perdagangan sawit Dalam Negeri: 17.090 ribu ton • Pangan:12.412 ribu ton • Oleokimia:1.313 ribu ton • Biodisel:3.366 ribu ton Ekspor • CPO:25% • Produk turunan CPO:75%
1)Insentif riset untuk menjawab kampanye negatif tentang isu lingkungan pengembangan perkebunan sawit dan isu kesehatan minyak sawit (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 2)Insentif pembebasan pajak impor mesin dan peralatan industri hilir dan hasil samping sawit (Depkeu), 3)Kebijakan alokasi untuk pangan dan biofuel (Deptan/Dep ESDM) 4)Subsidi harga untuk biodiesel(Depkeu)
Gambar 5.6. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Sawit
58
Tabel 5.6. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Rasaran Pengembangan Industri Perdesaan Sawit Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Peningkatan kemitraan antara petani dan PKS • Penyusunan model kemitraan • Sosialisasi kepada pelaku usaha • Pengembangan contoh model kemitraan di Sumut, Riau, Sumsel, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Papua 1.2.Pendirian PKS bagi kebun rakyat yang tidak bisa dimitrakan skala 30 ton TBS/jam (coorporate farming) • Pendirian PKS dengan kapasitas minimal 30 ton TBS/jam
2.1.Mendorong investasi pengembangan industri produk hilir sawit (oleokimia, nutracitical) • Insentif pajak bagi industri hilir sawit • Kebijakan tarif bea keluar 2.2.Mendorong investasi pengembangan industri biodiesel • Insentif jaminan pasar produk biodiesel • Insentif harga untuk subsidi di tingkat konsumen • Insentif pajak untuk peralatan produksi
2010 60
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 70 80 90
2014 100
60
70
80
90
100
-
-
1
-
1
-
1
-
1
-
Keterangan Persentase penyerapan TBS dari kebun rakyat oleh PKS Persentase penyerapan TBS dari kebun rakyat oleh PKS Pertambahan industri hilir produk sawit Pertambahan industri biodiesel
59
2.3.Mendorong investasi pengembangan industri berbasis TBK dan pohon sawit • Insentif pembiayaan untuk pengembangan industri berbasis TBK dan pohon sawit 3.1.Kebijakan advokasi untuk menangkal kampanye negatife pengembangan kelapa sawit nasional • Penguatan dukungan riset hulu dan hilir kelapa sawit • Peningkatan intensitas counter negative campaign melalui media cetak dan website • Temu bisnis dengan importir CPO 3.2.Pengaturan harga TBS
-
1
-
1
-
Pertambahan industri hasil samping sawit
2
2
2
2
2
Kegiatan kampanye sawit melalui seminar atau temu bisnis
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Penetapan harga TBS
60
5.2.7. Karet ORIENTASI PENGEMBANGAN KARET Peningkatan mutu melalui penerapan GAP dan GMP yang didukung oleh perbaikan produktivitas kebun dan pengembangan industri hilir
Kondisi Terkini
Strategi Penguat
Strategi Industri Pedesaan
Produksi: • Produksi 2.652 ribu ton/th • Produktivitas 0.8 ton/ha/th • Peremajaan kebun karet rakyat 700 ribu ha
1. 2.
3.
Peningkatan mutu komoditas dan produk karet alam Peningkatan efsiensi biaya produksi melalui peningkatan keterampilan kinerja sumberdaya manusia, serta penguatan kelembagaan Perluasan pemasaran
Program Pasca Panen/ Pengolahan: • Pengolahn lateks di tingkat kelompok tani belum ada • Mutu lateks rendah Perdagangan (Pemasaran): • Penyerapan bahan baku karet DN 15% (55% untuk industri ban) • Ekspor 85% dari produksi (2.4 juta ton) dalam bentuk setengah jadi (crumrubber dan lateks) Page 65
1.1. Penerapan Good Agricultural Practices (GAP) 1.2. Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)pada industri karet 1.3. Standarisasi mutu produk 1.4. Peningkatan kemampuan kelompok tani mengolah sheet 2.1. Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan manajemen usaha 2.2. Penguatan kelembagaan asosiasi usaha komoditas karet 3.1. Peningkatan ekspor komoditas dan produk karet ala
4.
5. 6. 7.
Peningkatan produksi karet dan perbaikan teknologi produksi serta peralatan budidaya dan industri Perbaikan kebijakan dan penurunan biaya ekspor penyediaan dana subsidi untuk ekspor Peningkatan kualitas bokar
Aksi 4.1. Peningkatan produktifitas kebun (Deptan) 4.2. Pengembangan industri karet olahan (Deptan/Deprin) 5.1. Mendorong pertumbuhan investasi industri pendukung (BKPM/Depkeu) 5.2. Insentif perpajakan kepada industri yang membantu peremajaan perkebunan karet (Depkeu) 5.3. Perbaikan ekonomi biaya tinggi (Depdagri) 6.1. Pengenaan PPN ekspor sheet (Depkeu) 6.2. Insentif pajak untuk ekspor produk hilir (Depkeu) 7.1. Peningkatan kemampuan mengolah petani karet (deptan) 7.2. Pelatihan dan pendampingan (Deptan/Pemnda) 7.3. Insentif harga untuk kualitas bokar yang baik (Deptan)
Kebijakan 1) Revitalisasi kebun karet rakyat melalui peremajaan (Deptan/Depkeu) 2) Kebijakan pendorong tumbuhnya industri hilir (ban) di dalam negeri (Deprin/Depkeu)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi 2.801 ribu ton/th • Produktivitas 1 ton/ha/th • Peremajaan kebun rakyat 1.350 ribu ha Pasca Panen/ Pengolahan: • Pengolahan lateks di tingkat kelompok tani berkembang • Penerapan SNI lateks 70% Perdagangan (Pemasaran): • Penyerapan bahan baku karet oleh industri DN 50%. • Ekspor setengah jadi 75% • Ekspor produk olahan 10%
Gambar 5.7. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Karet
61
Tabel 5.7. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Karet Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Penerapan Good Agricultural Practices (GAP) • Sosialisasi pedoman GAP 1.3. Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)pada industri karet • Sosialisasi pedoman GMP 1.3. Standarisasi mutu produk • Sertifikasi dan apresiasi mutu produk karet dan produk olahannya • Penerapan dan pengawasan SNI bokar dan SNI ban • Penerapan standar mutu produk karet olahan selain ban sesuai SNI 1.4. Peningkatan kemampuan poktan mengolah sheet • Pelatihan/magang poktan dalam pengolahan sheet karet • Pendampingan teknologi pengolahan karet
Keterangan
201 0 30
2011
2012
2013
2014
40
50
60
70
30
40
50
60
70
30
40
50
60
70
Persentase wajib standar SNI
30
40
50
60
70
Persentase wajib standar SNI
Persentase wajib standar SNI Persentase wajib standar SNI
62
2.1. Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan manajemen usaha • Pelatihan/magang pelaku usaha di bidang budidaya, produksi karet, serta pengolahan karet menjadi produk turunannya • Peningkatan kemampuan SDM petani/pengolah karet dalam melaksanakan GAP dan akuisisi teknologi serta berorientasi pada mutu • Peningkatan peran balai penelitian dalam transfer teknologi pasca panen maupun pengembangan industri olahan karet • Pengembangan kelembagaan koperasi petani 2.2. Penguatan kelembagaan asosiasi usaha komoditas karet • Pelatihan kemampuan manajerial pengurus asosiasi usaha komoditas karet
10
10
10
10
10
Program penguatan kelembagaan petani dan kemitraan (kegiatan/th)
10
10
10
10
10
3.1. Peningkatan ekspor komoditas dan produk karet alam • Membangun dan mempromosikan merk lokal di pasar internasional • Bilateral agreement dengan pasar utama produk untuk meningkatkan pasar ekspor • Pengembangan pasar ekspor
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
Program penguatan kelembagaan petani dan kemitraan (kegiatan/th) Peningkatan pertumbuhan ekspor (juta ton/th)
63
5.2.8. Kakao ORIENTASI PENGEMBANGAN KAKAO
Kondisi Terkini
Meningkatkan nilai ekspor kakao melalui pengembangan proses fermetasi biji kakao skala kecil dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan mendukung peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk produk olahan
Strategi Industri Pedesaan 1.
Produksi: • Produksi: 850 ribu ton Pasca Panen/ Pengolahan: • Sebagian besar unfermented bean • Mutu belum baik • Industri pedesaan pengolahan biji kakao menjadi lemak kakao dan bubuk kakao belum berkembang Perdagangan (Pemasaran): • Fermented bean masih impor • Ekspor dalam bentuk biji kakao : olahan = 20:80%
2. 3. 4.
Strategi Penguat
Peningkatan kemampuan proses fermentasi skala kecil Perluasan pemasaran Penumbuhkembangan industri pedesaan hilir pengolahan kakao Penerapan SJMKP Program
1.1. Pembangunan fasilitas unit fermentasi dan pengeringan di sentra kakao 1.2. Penerapan SJMKP untuk peningkatan mutu 2.1. Pengembangan kemitraan poktan dengan industri pedesaan pengolahan kakao 2.2. Peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk fermented bean dan olahan 2.3. Peningkatan kerjasama perdagangan internasional 2.4. Penguatan kelembagaan petani 3.1. Pengembangan industri pedesaan pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao 4.1. Penerapan Good Handling Practices (GHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) 4.2. Penerapan SNI pada unit fermentasi dan pengolahan
5. 6. 7.
Peningkatan dan produktivitas perkebunan kakao Perbaikan cara budidaya untuk peningkatan mutu kakao Penguatan permodalan petani kakao
Aksi 5.1. Peningkatan produktivitas tanaman secara bertahap hingga mencapai sekitar 1,1 ton/hektar/tahun (Deptan) 5.2. Peningkatan penggunaan tanaman kakao unggul pada perkebunan kakao nasional (Deptan) 5.3. Penguatan kelembagaa poktan/gapoktan sebagai penyedia sarana produsi (Deptan/Pemnda) 6.1. Penerapan GAP (Deptan) 6.2. Penguatan SDM pengolahan (Deptan) 7.1. Pengembangan skema pembiayaan yang dapat diakses oleh petani kakao (Depkeu) 7.2. Penguatan SDM pengolahan Deptan)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi:1.648 ribu ton Pasca Panen/ Pengolahan: • 100% fermented bean • Mutu 100% sesuai SNI • Tumbuhnya industri pedesaan pengolahan biji kakao menjadi lemak kakao dan bubuk kakao Perdagangan (Pemasaran): • Fermented bean dicukupi produksi dalam negeri • Ekspor dalam bentuk fermented bean : olahan = 50:50
Kebijakan 1) Menghilangkan peraturan yang menghambat pengembangan industri olahan kakao (Deptan/Deprin/Depdag) , 2)Adanya skema pembiayaan yang bisa diakses oleh industri kecil, (Depkeu) 3)Poktan dan gapoktan menjadi lembaga berbadan hukum (koperasi poktan/gapoktan) (Deptan/KMN Kop dan UKM), 4)Kebijakan mewajibkan eksportir dan gudang teregistrasi (Deptan/Depdag)
Gambar 5.8. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Kakao
64
Tabel 5.8. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Kakao Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1.Pembangunan fasilitas unit fermentasi dan pengeringan di sentra kakao • Penentuan sentra produksi sasmentasi • Pembangunan fasilitas unit fermentasi • Palatihan dan pendampingan 1.2. Penerapan SJMKP untuk peningkatan mutu • Pelatihan SJMKP • Pendampingan penerapan SJMKP 2.1.Pengembangan kemitraan poktan dengan industri perdesaan pengolahan kakao • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama 2.2.Peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk fermented bean dan olahan internasional • Peningkatkan jaringan pemasaran • Peningkatkan mutu dan pengembangan merk Indonesia di pasar internasional • Peningkatkan promosi ekspor dan fasilitasi perdagangan
2010 15
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 35 70 90
2014 100
10
25
60
80
100
25
60
100
130
150
10
10
10
10
10
Keterangan Kumulatif persentase kakao terfermentasi (%)
Kumulatif persentase poktan yang menerapkan SJMKP Kumulatif jumlah poktan yang terlibat
Persentase peningkatan volume ekspor fermented bean dan olahan
65
• •
•
Peningkatkan akses pasar ekspor dan dalam negeri Peningkatan mutu biji kakao yang dijual petani dari unfermented bean menjadi fermented bean Pengembangan riset dan teknologi untuk produk kakao olahan pangan dan non pangan
2.3. Peningkatan kerjasama perdagangan • Penyelenggaraan seminar/lokakarya/konferensi dan pameran produk kakao dan olahannya di tingkat internasional 2.4. Penguatan kelembagaan petani
5
15
30
45
50
Kumulatif kerjasama perdagangan antar negara
25
60
100
130
150
Kumulatif jumlah poktan/gapoktan yang berhasil melakukan kerjasama perdagangan
66
3.1.Pengembangan industri perdesaan pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao • Penyediaan enegji alternatif untuk efisiensi produksi pada industri kecil kakao olahan • Modifikasi teknologi pengolahan dan produksi kakao olahan • Penumbuhkembangan industri pengolahan biji kakao skala kecil di perdesaan • Pelatihan pelaku usaha di bidang pengolahan kakao dan produk turunannya 4.1.Penerapan Good Handling Practices (GHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) • Sosialisasi pedoman GHP dan GMP • Pelatihan dan pendampingan 4.2. Penerapan SNI pada unit fermentasi dan pengolahan
5
15
40
55
65
Jumlah industri perdesaan pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao
20
40
80
120
140
10
30
60
80
100
Jumlah unit pengolahan yang menerapkan GHP dan GMP Persentase kumulatif jumlah unit fermentasi dan pengolahan yang menerapkan SNI
67
5.2.9. Ayam Pedaging ORIENTASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN AYAM PEDAGING Pengembangan industri pedesaan pengolahan daging ayam untuk peningkatan kualitas asupan gizi melalui pengembangan usaha ternak yang intensif berkelanjutan, pengembangan pakan, dan penerapan SJMKP pada industri pengolahan daging ayam pedesaan
Kondisi Terkini
Strategi Industri Pedesaan
Produksi Surplus
1.
Pengembangan dan peningkatan kualitas rumah potong unggas di sentra produksi Peningkatan industri pedesaan pengolahan daging ayam dengan mengenalkan produk baru Peningkatan kualitas produk olahan dengan penerapan SJMKP Peningkatan konsumsi daging ayam
2.
Produksi: • Produksi: 1.360 ribu ton
3. 4.
•
•
•
•
Pengolahan: Industri pengolahan daging ayam sebagian besar adalah industri besar di perkotaan Industri pedesaan pengolahan daging ayam belum berkembang dengan baik Industri pedesaan pengolahan daging masih belum menerapkan SJMKP Pengembangan Pakan ternak berbasis bahan baku lokal
Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi: 1.013 ribu ton
Strategi Penguat 5. Penyediaan pakan ternak 6. Peningkatan skala usaha peternakan dengan pengembangan kemitraan yang berkeadilan 7. melindungi produk perunggasan dalam negeri dari ancaman produk luar baik legal maupun ilegal 8. Penciptaan iklim investasi yang kondusif 9. Penanganan dan pencegahan flu burung
Program Aksi 1.1. Peningkatan fasilitas RPU (cold storage, alat transportasi berpendingin) di sentra produksi 1.2. Penerapan SJMKP pada RPU 1.3 Peningkatan kualitas SDM
5.1. 5.2. 5.3.
2.1.
6.1. Pengembangan kemitraan antara peternak dengan perusahaan peternakan dengan prinsip yang lebih berkeadilan (Deptan/Deprind/Depdag)
Pengenalan produk baru olahan daging ayam (baso) 2.2. Bantuan peralatan untuk pengolahan daging ayam. 2.3. Pelatihan dan pendampingan 2.4. Fasilitasi pemasaran 3.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging 3.2. Pendampingan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging 4.1. Kampanye makan daging ayam untuk meningkatkan asupan gizi 4.2. Pengembangan diversifikasi produk olahan daging ayam
Penyediaan bahan bakan (jagung, tepung ikan) Pengembangan usaha pakan ternak pedesaan Pengembangan pakan ternak yang lebih murah dengan memanfaatkan sumber pakan lokal
7.1. Peraturan ekspor dan impor yang lebih melindungi kepentingan peternak (Depkeu) 7.2. Penegakkan hukum yang tegas bagi pelaku pemasukan produk unggas ilegal (Depkuhham) 8.1. 8.2. 9.1. 9.2.
Penghapusan PPN untuk sarana produksi unggas (Depkeu) Penghapusan ekonomi biaya tinggi (Depdagri) Sistem penanganan, pencegahan flu burung yang lebih komprehensif (Deptan) Penyediaan sarana pencegahan flu burung dalam jumlah yang memadai (Deptan)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi Surplus Produksi: • Produksi:1.488 ribu ton Pasca Panen/ Pengolahan: • Industri pedesaan pengolahan daging ayam berkembang dengan baik • 50% Industri pedesaan pengolahan daging ayam menerapkan SJMKP • Pengembangan Pakan ternak berbasis bahan baku lokal berkembang Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi: 1.293 ribu ton • Ekspor produk olahan
Kebijakan 1) Skema pembiayaan untuk mendukung pengembangan peternakan unggas, (Depkeu), 2)Peraturan impor yang dapat melindungi kepentingan peternak unggas, (Deptan/Depkeu) 3) pengembangan dan penguatan RPU di sentra produksi (Deptan/Dep PU)
Gambar 5.9. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Ayam Pedaging
68
Tabel 5.9. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Ayam Pedaging Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1.Peningkatan fasilitas RPU (cold storage, alat transportasi berpendingin) di sentra produksi • Identifikasi kekurangan fasilitas RPH • Penguatan fasilitas 1.2. Penerapan SJMKP pada RPU • Sosialisasi SJMKP • Pendampingan penerapan SJMKP 1.3 Peningkatan kualitas SDM • Pelatihan manajemen pengelolaan RPH • Pelatihan SJMKP 2.1. Pengenalan produk baru olahan daging ayam (baso) pemasaran • Penerbitan media deseminasi pengolahan berbagai produk olahan berbasis daging ayam 2.2. Bantuan peralatan untuk pengolahan daging ayam • Identifikasi kebutuhan peralatan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan 2.3. Pelatihan dan pendampingan • Pelatihan teknologi produksi pengolahan daging ayam
2010 2
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 7 10 15
2014 20
5
10
20
30
40
RPU yang menerapkan SJMKP
20
60
100
160
200
ada
ada
ada
ada
ada
Kumulatif jumlah staf RPU yang ikut pendam-pingan Tersedianya media diseminasi
5
10
20
35
50
Unit usaha (poktan)
20
60
120
160
200
Kumulatif terlatih
Keterangan RPU
orang
69
2.4. Fasilitasi peralatan pengolahan daging ayam • Bantuan peralatan penmgolahan daging ayam 3.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen Pengolahan daging • Pelatihan penerapan SJMKP 3.2. Pendampingan penerapan SJMKP pada produsen Pengolahan daging • Pendampingan penerapan SJMKP 4.1. Kampanye makan daging ayam untuk meningkatkan asupan gizi
10
30
50
75
100
20
40
80
100
120
5
25
35
40
50
MM
MM & ME
MM & ME
MM & ME
MM & ME
4.2. Pengembangan diversifikasi produk olahan daging ayam
1
1
1
1
1
Kumulatif poktan yang terlibat Kumulatif jumlah poktan ikut pelatihan Kumulatif jumlah poktan (unit usaha) yang menerapkan Media kampanye (MM= media massa, ME= Media elektronik) Produk olahan
70
5.2.10. Buah Tropika ORIENTASI PENGEMBANGAN BUAH TROPIKA Kondisi Terkini Produksi: • Produksi 18.400 ribu ton • Produksi tersebar berbasis masyarakat • Belum menerapkan GAP Pasca Panen/ Pengolahan: • Kehilangan pasca panen masih tinggi (30-50%) • Mutu buah segar belum baik • Industri pedesaan manisan, selai, bubur buah dan lainnya belum berkembang dengan baik Perdagangan (Pemasaran): • Ekspor Buah segar 15.651 ton • Ekspor buah olahan • 107.574 ton
Meningkatkan pasar (DN dan LN) buah tropika melalui penerapan SJMKP pada kegiatan on farm dan off farm serta penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan buah
Strategi Industri Pedesaan 1. 2. 3.
4.
Strategi Penguat
Penguatan teknologi pasca panen untuk menekan kerusakan dan susut Penerapan SJMKP Pengembangan industri pedesaan pengolahan manisan, selai dan bubur buah (pulp buah). Peningkatan pemasaran domestik dan ekspor
5. Peningkatan produksi melalui penguatan teknologi budi daya 6. Pengembangan kawasan kebun buah tropika 7. Penerapan SJMKP pada budidaya buah tropika 8. Dukungan infrastruktur (sarana dan prasarana)
Program Aksi 1.1. Bantuan peralatan VHT untuk mengatasi penyakit pasca panen 1.2. Peningkatan kualitas SDM penyuluh dan petani untuk penanganan pasca panen buah 2.1. Akselarasi penerapan SOP, GHP, GMP 3.1. Bantuan peralatan industri pedesaan pengolahan manisan, selai, dan bubur buah (pulp buah) 3.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah 3.3. Pelatihan dan pendampingan 4.1. Peningkatan pemasaran dalam negeri 4.2. Peningkatan pemasaran produk buah untuk pasar ekspor 4.3. Pengembangan promosi 4.4. Pengembangan sisitem informasi pasar
5.1. Peningkatan produksi buah tropika (Deptan) 5.2. Perluasan areal tanam buah varietas yang sesuai dengan permintaan pasar buah segar (Deptan/Pemnda) 5.3. Perluasan areal tanam buah sesuai kebutuhan industri pengolahan (Deptan/Pemnda) 6.1. Peningkatan kawasan kebun buah tropika sesuai dengan kebutuhan pasar ekspor (Deptan/Pemnda) 7.1. Pengembangan Indo GAP yang diharmonisasi global-GAP (BSN/Deptan) 7.2. Akselerasi penerapan Indo-GAP (Deptan)
8.1. Pengembangan sarana packaging house (Deptan) 8.2. Pengembangan sarana cold storage (Deptan)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi 22.543 ribu ton • Produksi terintegrasi pola klaster di sentra produksi • Menerapkan GAP Pasca Panen/ Pengolahan: • Kehilangan pasca panen 20-25% • Mutu buah segar sesesuai standar ekspor • Industri pedesaan manisan, selai, bubur buah dan produk olahan lainnya berkembang dengan baik Perdagangan (Pemasaran): • Ekspor Buah segar meningkat 10%/tahun • Ekspor buah olahan meningkat 10%/tahun
Kebijakan 1)Penerbitan bea masuk impor buah tropika (Depkeu), 2)Dukungan sarana transportasi darat, laut dan udara yang mendukung transportasi buah segar (Dephub), 3)pengembangan kawasan produksi buah tropika (Deptan, Pemda)
Gambar 5.10. Strategi pengembangan industri buah tropika
71
Tabel 5.10. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Buah Tropika Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Bantuan peralatan VHT untuk mengatasi penyakit pasca panen • Identifikasi poktan • Realisasi bantuan • Pendampingan teknologi 1.2.Peningkatan kualitas SDM penyuluh dan petani untuk penanganan pasca panen buah • Pelatihan farm manajemen • Training penerapan Global GAP, GHP, GMP • Pendampingan penerapan GlobalGAP, GHP, GMP • Sosialisasi penerapan QMS (quality management system) 2.1. Akselarasi penerapan SOP, GHP, GMP • Penyusunan SOP, GHP dan GMP • Sosialisasi keamanan produk SOP, GHP, GMP • Fasilitasi penerapan keamanan produk (HCCP, MLR (minimum level residue) SOP, GHP dan GMP 3.1.Bantuan peralatan industri perdesaan pengolahan manisan, selai, dan bubur buah (pulp buah) • Identifikasi poktan • Fasilitasi pengembangan industri kecil olahan buah berbasis perdesaan • Bantuan peralatan pengolahan
2010
2011
2012
2013
5
20
40
65
201 4 75
Keterangan
10
20
40
50
1.7
Kumulatif persentase penyuluh dan poktan
30
40
50
60
60
Persentase gapoktan yang menerapkan GHP dan GMP
10
25
50
70
80
Jumlah industri perdesaan pengolahan buah
Kumulatif jumlah poktan penerima bantuan
72
3.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah • Identifikasi poktan • Bantuan permodalan • Monitoring dan evaluasi
ada
ada
ada
ada
ada
3.3. Pelatihan dan pendampingan • Pendampingan teknologi • Pendampingan pemasaran
10
25
50
70
80
4.1. Peningkatan pemasaran dalam negeri • Gerakan cinta produksi buah local • Insentif peralatan dan teknologi dalam bentuk sarana seperti packing house untuk meningkatan kualitas buah lokal 4.2. Peningkatan pemasaran produk buah untuk pasar Ekspor
5%
5%
5%
5%
5%
10%
10%
10%
10%
10%
Skema bantuan modal dengan bunga rendah atau syariah Jumlah kelompok yang mendapat pelatihan dan pendampingan Persentase peningkatan pasar dalam negeri Persentase peningkatan pasar dalam negeri
73
Pameran produksi buah tropika untuk menarik konsumen luar negeri • Peningkatan lobi dengan pembeli di luar negeri • Branding produk untuk menjaga loyalitaas konsumen ekspor • Temu bisnis (petani, eksportir, importir) • Preferensi produk oleh calon konsumen di negara tujuan 4.3. Pengembangan promosi • Pencitraan buah tropika Indonesia melalui tayangan iklan 4.4. Pengembangan sistem informasi pasar • Penyusunan data base produksi buah •
MM
ada
MM & ME ada
MM & ME ada
MM & ME ada
MM & ME ada
Media kampanye Informasi pasar
74
5.2.11. Biofarmaka ORIENTASI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA Meningkatkan pasar (DN dan LN) biofarmaka melalui penerapan SJMKP pada kegiatan on farm dan off farm, penguatan industri pedesaan (poktan ) untuk melakukan pengolahan sampai simplisia
Kondisi Terkini Produksi: Produksi:0.5 juta ton
1.
2. Pasca Panen/ Pengolahan: • Pengolahan simplisia di tingkat petani belum dilakukan • Mutu simplisia masih rendah
3. 4.
Pemberian insentif untuk pengembangan penanganan pasca panen dan pengolahan primer Penguatan dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan biofarmaka Peningkatan kualitas produk biofarmaka Pengembangan kemitraan poktan dengan IK/IM/IB pengolahan biofarmaka. Program
Perdagangan (Pemasaran): • Perdagangn dari petani dalam rimpang segar • Rantai pasok belum terintegrasi
Kondisi Yang Diharapkan
Strategi Penguat
Strategi Industri Pedesaan
1.1. Bantuan peralatan pengolahan simplisia kepada poktan/industri pedesaan 1.2. Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam pengolahan simplisia 2.1. Penguatan teknologi dengan bantuan peralatan industri pedesaan pengolahan minuman instan dan minuman siap minum (RTD) 2.2. Penguatan penguasaan teknologi SDM penyuluh dan pelaku usaha 2.3. Fasilitasi akses pasar 2.4. Pengembangan skema pembiayaan yang dapat diakses industri pedesaan 3.1. Penerapan GHP pada penanganan pasca panen dan GMP pada pengolahan 4.1. Pengembangan kemitraan poktan/gapoktan dengan IK/IM/IB pengolahan biofarmaka
5.
6. 7.
Peningkatan produksi melalui pengembangan sentra produksi biofarmaka Penelitian dan Pengembangan dan penyediaan benih unggul Kebijakan pendukung dan penguatan industri biofarmaka (Departemen Kesehatan)
Aksi 5.1. Penyediaan benih unggul (Deptan) 5.2. Pengembangan teknologi pengendalian OPT (Deptan) 5.3. Penerapan GAP pada budidaya biofarmaka (Deptan) 5.4. Pengembangan kemitraan poktan/gapoktan dengan industri pengolahan (Deptan) 5.5. Pengembangan budidaya biofarmaka organik (Deptan) 6.1. Insentif untuk penelitian dan pengembangan benih unggul (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 6.2. Insentif untuk produksi benih unggul (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
Produksi: Produksi: 0.6 juta ton Pasca Panen/ Pengolahan: • Poktan/gapoktan melakukan pengolahan simplisia • Mutu simplisia sesuai SNI 50% Perdagangan (Pemasaran): • Perdangan dari poktan/gapoktan dalam bentuk simplisia • Peningkatan ekspor 100% (20%/th) • Rantai pasok terstruktur secara klaster/kemitraan
7.1. Pengujian produk biofarmaka (Depkes) 7.2. Standarisasi produk biofarmaka (Depkes/BSN) 7.3. Legalisasi penggunaan produk biofarmaka oleh dokter (Depkes)
Kebijakan 1. Kebijakan menjadikan biofarmaka menjadi komoditas prioritas (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 2. Skema pembiayaan yang dapat diakses oleh industri pedesaan (Depkeu, Deptan)
Gambar 5.11. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Biofarmaka
75
Tabel 5.11. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Biofarmaka Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Bantuan peralatan pengolahan simplisia kepada poktan/industri perdesaan • Identifikasi peralatan yang dibutuhkan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 1.2.Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam pengolahan simplisia • Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam pengolahan primer. • Pelatihan TOT untuk penyuluh dan pendamping • Penyuluhan pada petani (kelompok tani) 2.1.Penguatan teknologi dengan bantuan peralatan industri perdesaan pengolahan minuman instan dan minuman siap minum (RTD) • Identifikasi peralatan yang dibutuhkan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan
2010 10
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 35 85 100
2014 110
5
15
40
5
15
25
25
35
35
40
Keterangan Kumulatif poktan
Kumulatif jumlah penyuluh sentra produksi % Poktan sentra produksi
% di
di
76
2.2. Penguatan penguasaan teknologi SDM penyuluh dan pelaku usaha • Pelatihan TOT untuk penyuluh dan pendamping • Penyuluhan pada petani (kelompok tani) 2.3. Fasilitasi akses pasar • Pengembangan informasi pasar
2.4 Pengembangan skema pembiayaan yang dapat diakses industri perdesaan • Penyediaan skema pembiayaan yang dapat diakses oleh industri kecil 3.1.Penerapan GHP pada penanganan pasca panen dan GMP pada pengolahan • Sosialisasi penerapan GHP dan GMP 4.1.Pengembangan kemitraan poktan/gapoktan dengan IK/IM/IB pengolahan biofarmaka • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama
10
35
85
100
110
Kumulatif unit usaha (poktan)
5
15
25
35
40
5
15
25
35
40
Kumulatif % jumlah penyuluh di sentra produksi % Poktan disentra produksi
25
50
75
100
100
-
ya
ya
ya
ya
Kumulatif sentra produksi Tersedia
%
77
5.2.12. Tanaman Hias
ORIENTASI PENGEMBANGAN TANAMAN HIAS Meningkatkan pasar ekspor tanaman hias melalui pengembangan sentra produksi dengan pola kluster dan penerapan teknologi pasca panen untuk mempertahankan tingkat kesegaran tanaman hias
Kondisi Terkini Produksi: • Sentra produksi tersebar
Strategi Industri Pedesaan 1. 2. 3.
Penangan Pasca Panen: • Terbatasnya packing house
• • •
•
Penguatan penanganan pasca panen dan distribusi Capacity building Peningkatan daya saing dan volume pemasaran domestik dan ekspor
4. 5.
6. Program 1.1.
Perdagangan (Pemasaran): Gerbang ekspor terbatas Ekspor leather leaf 3 juta Impor tanaman hias 591 ton (2008) Ekspor tanaman hias 5.655 ton (2008)
Strategi Penguat
1.2. 2.1. 2.2.
Penerapan teknologi pasca panen untuk dapat mempertahankan kesegaran tanaman hias Penerapan cold chain management Pengembangan kelembagaan usaha Fasilitasi terpadu pengembangan florikultura
3.1. Peningkatan permintaan dan akselerasi ekspor 3.2. Pengembangan gerbang ekspor tanaman hias 3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan poktan dengan eksportir
Peningkatan produksi dan mutu tanaman hias Peningkatan kemampuan kelompok tani untuk melakukan pembenihan tanaman hias Dukungan infrastruktur
Aksi 4.1. Penggunaan bibit unggul 4.2. Pembuatan GAP tanaman hias 4.3. Penerapan GAP tanaman hias 5.1. Pelatihan pembibitan/pembenihan tanaman hias (Deptan) 5.2. Magang pembibitan/pembenihan tanaman hias (Deptan) 6.1. Subsidi sarana produksi (Deptan/Depkeu) 6.2. Ketersediaan bibit bunga yang mudah diakses (Deptan) 6.3. Peningkatan fasilitas dan sarana transportasi ekspor tanaman hias (Dep PU/DEP HUB)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Clustering sentra produksi Penanganan Pasca Panen: • Tersedianya sarana packing house di sentra produksi Perdagangan (Pemasaran) • Terbangunnya gerbang ekspor di beberapa daerah untuk penguatan ekspor • Ekspor leather leaf 10.1 juta • Peningkatan ekspor 100%
Kebijakan 1) Insentif dukungan infrastruktur untuk peningkatan ekspor, penambahan gerbang ekspor di beberapa daerah (DepPU/Depkeu)
Gambar 5.12. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Tanaman Hias
78
Tabel 5.12. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Tanaman Hias Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Penerapan teknologi pasca panen untuk dapat mempertahankan kesegaran tanaman hias • Pelatihan dan pendampingan teknologi kepada poktan tanamanhias 1.2. Penerapan cold chain management • Sosialisasi GHP • Penerapan GHP dalam penanganan tanaman hias • Fasilitasi packing house 2.1. Pengembangan kelembagaan usaha • Penguatan gapoktan • Pembentukan asosiasi petani produsen tanaman hias 2.2.Fasilitasi terpadu pengembangan florikultura • Identifikasi poktan sasaran • Fasilitasi green house • Pendampingan, monitoring dan evaluasi
20
Sasaran tahunan 201 201 2013 1 2 20 40 40
20
Jumlah poktan yang diintroduksi
79
82
85
88
90
Jumlah bantuan packing house komulatif (total untuk hortikultura)
5
5
5
5
5
30
40
50
60
70
Kegiatan pendampingan poktan tanaman hias per tahun Persentase poktan yangmenerima sosialisasi SOP, Gap dan GMP
2010
2014
Keterangan
79
3.1.Peningkatan permintaan dan akselerasi ekspor • Promosi dan Pameran • Peningkatan motovasi petani tanaman hias • Pengembangan pasar bunga 3.2.Pengembangan gerbang ekspor tanaman hias • Sosialisasi dan workshop dengan melibatkan pelaku usaha, eksportir, kelompok tani hortikultura, serta berbagai institusi terkait pada berbagai event. • Kerjasama dan kemitraan usaha antar produsen dan pelaku usaha telah dapat dilaksakan, sehingga akhirnya mendorong pada peningkatan ekspor • Pengembangan sistem infomasi pasar 3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan poktan dengan eksportir • Promosi dan Pameran • Peningkatan motivasi petani tanaman hias • Pengembangan pasar bunga
10
10
10
10
10
Persentase peningkatan permintaan ekspor
2
3
5
5
5
Kumulatif jumlah gerbang ekspor tanaman hias
10
25
50
75
90
Kumulatif poktan yang terlibat dalam kerjasama
80
5.2.13. Minyak Atsiri ORIENTASI PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI Kondisi Terkini Produksi: • Minyak atsiri 5000 ton/th • Peningkatan produksi 20%/th • Nilam 90 rb ton/th Pasca Panen/ Pengolahan: • Penyulingan di tingkat petani dengan teknologi yang sederhana • Mutu minyak atsiri rendah Perdagangan (Pemasaran): • Ekspor produk setengah jadi • Rantai pasok belum terstruktur dan masih tersebar
Meningkatkan pasar Luar Negeri dan domestik melalui penerapan GAP di on farm dan GHP, GMP di off farm, penguatan industri pedesaan (poktan ) untuk melakukan proses penyulingan dengan peralatan standard
Strategi Industri Pedesaan
Strategi Penguat
1. Peningkatan efisiensi penyulingan dan kualitas minyak atsiri 2. Pengembangan kemitraan poktan dengan industri hilir minyak atsiri 3. Penguatan riset dan pengembangan produk Program
4. Budidaya secara sustainable melalui pendekatan kluster 5. Dukungan pembiayaan
Aksi
1.1. Bantuan peralatan alat penyulingan standard kepada poktan 1.2 Penerapan GHP pada penanganan pasca panen dan GMP pada pengolahan 1.3. Sosialisasi kondisi dan peraturan yang berlaku pada bisnis atsiri, baik di tingkat nasional maupun internasional 1.4. Penerapan standar harga berdasarkan tabel mutu minyak atsiri 2.1. Pembinaan melalui pendampingan teknologi oleh PT, Litbang, eksportir 2.2. Insentif untuk penelitian dan pengembangan produk minyak atsiri
4.1. Esktensifikasi dengan memperitmbangkan daya serap pasar (Deptan) 4.2. Klasterisasi sentra produksi (Deptan/Deprind) 4.3. Penguatan pilot project Cultiva di 5 lokasi (Deptan/Deprin) 4.4. Perluasan sentra produksi melalui pilot project Cultiva (Deptan/Deprin) 4.5. Penerapan GAP (Deptan) 5.1. Pengembangan skema pembiayaan yang bisa diakses oleh industri pedesaan (Depkeu)
3.1. Penguatan poktan/gapoktan dan asosiasi penyuling 3.2. Pembentukan forum komunikasi antara poktan, dinas pertanian, pelaku usaha 3.3. Penguatan kemitraan antara petani/poktan dan pelaku industri pengolahan minyak atsiri
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • MInyak atsiri 7500 ton/th • Nilam 124 rb ton/th Pasca Panen/ Pengolahan: • Poktan/gapoktan melakukan penyulingan dengan alat penyuling standard • Mutu minyak atsiri sesuai SNI • Penerapan REACH untuk 12 jenis minyak atsiri utama Perdagangan (Pemasaran): • Rasio ekspor minyak atsiri setengah jadi dan produk jadi 75:25% • Rantai pasok terstruktur secara klaster/kemitraan
Kebijakan 1. Kebijakan yang menjadikan minyak atsiri sebagai komoditas unggulan (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 2. Skema pembiayaan yang dapat diakses oleh industri pedesaan (Depkeu, Deptan, Perbankan)
Gambar 5.13. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Minyak Atsiri
81
Tabel 5.13. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Minyak Atsiri Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1.Bantuan peralatan alat penyulingan standard kepada poktan • Identifikasi peralatan yang dibutuhkan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan • Pendampingan 1.2.Penerapan GHP pada penanganan pasca panen dan GMP pada pengolahan • Penyusunan GHP dan GMP • Sosialisasi GHP dan GMP ke petani/poktan dan pelaku usaha 1.3.Sosialisasi kondisi dan peraturan yang berlaku pada bisnis atsiri, baik di tingkat nasional maupun internasional • Sosialisasi peraturan yangberkaitan dengan minyak atsiri ke petani/poktan atau pelaku usaha 1.4.Penerapan standar harga berdasarkan tabel mutu minyak atsiri • Penyusunan tabel harga berdasarkanmutu minyak atsiri • Sosialisasi standar harga • Penerapan tabel harga
2010 10
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 10 10 10
2014 10
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
1
Keterangan Bantuan alat penyulingan standard ke poktan
Kegiatan sosialisasi dan pelatihan GHP, GMP dan peraturan standard perrdagangan minyak atsiri ke poktan Kegiatan sosialisasi dan pelatihan GHP, GMP dan peraturan standard perrdagangan minyak atsiri ke poktan Penyusunan standard harga dan penerapannya
82
2.2.Insentif untuk penelitian dan pengembangan produk minyak atsiri • Penentuan kelompok sasaran • Pendampingan teknologi kepada poktan 3.1. Penguatan poktan/gapoktan dan asosiasi penyuling • Pendampingan poktan 3.2.Pembentukan forum komunikasi antara poktan dinas pertanian, pelaku usaha • Inisiasi pembentukan forum komunikasi antara poktan, dinas dan pelaku usaha 3.3.Penguatan kemitraan antara petani/poktan dan pelaku industri pengolahan minyak atsiri • Temu bisnis antara poktan, dinas dan pelaku usaha
1
1
1
1
1
Kegiatan pendampingan ke poktan skema ABGC ke sentra produksi
3
3
3
3
3
Jumlah poktan sasaran
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Jumlah forum komunikasi antara poktan, dinas pertanian dan pelaku usaha Peningkatan kemitraan antara poktan dan pelaku usaha
83
5.2.14. Susu Sapi ORIENTASI PENGEMBANGAN SUSU Kondisi Terkini
Produksi: • Produksi: 600.000 ton • Produktivitas: <10.5 l/hari • Kepemilikan 2-3 ekor/keluarga tani Pasca Panen/ Pengolahan: • Koperasi pengolah susu terbatas • Industri turunan masih terbatas • Mutu susu rendah Perdagangan (Pemasaran): • Impor susu 1.9 juta ton • Kebiasaan minum susu segar belum berkembang • Perdagangan dalam bentuk susu segar
Peningkatan produksi dan kualitas susu untuk pengurangan impor melalui peningkatan produktifitas, peningkatan kemampuan koperasi/penumbuhkembangan industri pedesaan pengolah susu pasteurisasi dengan menerapkan SJMKP
Strategi Industri Pedesaan 1. 2. 3. 4.
Strategi Penguat
Peningkatan mutu susu Peningkatan kemampuan koperasi peternak dalam pengolahan susu Penyerapan susu poktan oleh industri pengolah. Peningkatan serapan susu segar melalui program minum susu segar Program
1.1. Peningkatan kualitas SDM dalam cara penanganan panen dan hasil panen susu segar 1.2. Bantuan peralatan pemerahan susu 1.3. Penyediaan container susu segar 1.4. Penerapan SJMKP pada produk susu segar maupun pasteurisasi 2.1. Penguatan SDM 2.2. Bantuan peralatan dan penguatan modal industri pedesaan pengolahan susu pasteurisasi dan susu fermentasi 2.3. Pelatihan dan pendampingan
5.
6. 7. 8.
Peningkatan produksi susu nasional (melalui peningkatan produktivitas dan jumlah ternak) Pengembangan sentra ternak sapi perah. Pengembangan usaha breeder Penerapan cara produksi susu yang baik
Aksi 5.1. Insentif harga bibit dan pakan (Deptan/Depkeu) 5.2. Bantuan modal bunga rendah.(Depkeu) 5.3. Pendampingan ke sentra peternak (Deptan) 6.1. Insentif fasilitas yang dibutuhkan sentra (Deptan) 6.2. Fasilitasi pendirian kelompok peternak di wilayah terpilih (Deptan)
7.1. Fasilitasi kerjasama dengan lembaga penelitian (Deptan)
3.1. Fasilitasi kemitraan antara petani, poktan dan industri besar dengan pola kluster
8.1. Peningkatan kemampuan peternak untuk melakukan cara produksi susu yang baik (Deptan) 8.2. Penerapan cara produksi susu yang baik oleh peternak (Deptan)
4.1. Program minum susu untuk anak sekolah 4.2. Kampanye minum susu segar
Kebijakan 1)Pengembangan kemitraan dengan pola klaster (Deprin/Deptan/KMNKOPUKM), 2) Peningkatan jangkauan KUPS (Depkeu), 3) Program minum susu untuk anak sekolah (Depdiknas/PEMNDA)
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi: 1.30 juta ton • Produktivitas: 15 l/hari • Kepemilikan >10 ekor/ keluarga tani Pasca Panen/ Pengolahan: • Koperasi pengolah susu berkembang • Industri turunan berkembang • Mutu susu baik dan aman dikonsumsi Perdagangan (Pemasaran): • Impor susu turun menjadi 1.30 juta ton • Peningkatan konsumsi susu segar • Perdagangan dalam bentuk susu siap konsumsi meningkat
Gambar 5.14. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Susu Sapi
84
Tabel 5.14. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Susu Sapi Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.
Peningkatan kualitas SDM dalam cara penanganan panen dan hasil panen susu segar • Pelatihan TOT untuk penyuluh dan tenaga pendamping • Pelatihan untuk peternak 1.2. Bantuan peralatan pemerahan susu • Identifikasi kebutuhan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan 1.3. Penyediaan container susu segar 1.5. Penerapan SJMKP pada produk susu segar maupun pasteurisasi 2.1. Penguatan SDM • Pelatihan pengolahan susu segar dan produk olahan • Pendampingan untuk pengolahan dan pemasaran 2.2.Bantuan peralatan dan penguatan modal industri perdesaan pengolahan susu pasteurisasi dan susu fermentasi • Identifikasi kebutuhan • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
Sasaran tahunan Keterangan 2010 2011 2012 2013 2014 15 30 60 85 100 Kumulatif % penyuluh/ pendamping peternak 10
20
40
50
60
Poktan
100 10
200 30
1.000 60
1.500 85
1.700 100
1
2
5
6
7
Kumulatif unit Jumlah koperasi (%) Kumulatif unit
ad a
ad a
ada
ada
ada
Skema pembiayaan
85
• •
Penentuan kelompok tani penerima Realisasi bantuan
2.3.Pelatihan dan pendampingan
10
25
50
60
70
Poktan yang terlibat
3.1.Fasilitasi kemitraan antara petani, poktan dan industri besar dengan pola kluster • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama • Insentif pajak bagi industri penyerap 4.1. Program minum susu untuk anak sekolah • Pemberian susu untuk program makanan tambahan untuk anak sekolah 4.2. Kampanye minum susu segar • Integrasi dengan kurikulum sekolah tentang pentingnya minum susu • Kampanye melalui media massa
1
4
25
35
40
Daerah
MM
MM & ME 30
MM & ME
MM & ME
MM & ME
Media kampanye
60
85
100
Kumulatif % penyuluh/ pendamping peternak
15
86
5.2.15. Cassava ORIENTASI PENGEMBANGAN CASSAVA Peningkatan produksi dan kualitas untuk mendukung ketahanan pangan dan energi serta ekspor produk olahan dan substitusi impor melalui penumbuhkembangan industri pedesaan mocaf dan bioetanol serta produk turunan pati
Kondisi Terkini
• •
•
•
•
•
Strategi Penguat
Strategi Industri Pedesaan
Produksi: Produksi:21 juta ton Pertanian tidak intensif Pasca Panen/ Pengolahan: Industri pedesaan pengolahan tepung cassava belum berkembang (produksi 2 ribu ton/th) Industri hilir turunan pati belum berkembang Perdagangan (Pemasaran): Perdagangan terutama berupa umbi segar Harga fluktuasi
1. 2. 3. 4. 5.
Penguatan industri gaplek dan tapioka Pengembangan industri hilir cassava Pengembangan kemitraan hulu-hilir Pengembangan standar mutu produk hilir cassava Pendirian Pusat Penelitian Terpadu Cassava (P3TC) Program
6. 7.
Pengembangan pertanian modern Pengaturan pajak impor produk hilir cassava yang telah dihasilkan di dalam negeri
Aksi
1.1. Insentif harga untuk subsidi harga beli cassava dari petani 1.2. Bantuan peralatan pembuatan dan pengeringan chip pada tingkat kelompok tani untuk perbaikan mutu gaplek. 1.3. Membangun kemitraan petani dan pabrik tapioka
6.1. Penyediaan benih unggul (Deptan) 6.2. Bantuan sarana produksi pertanian (Deptan)
2.1. Pengembangan industri tepung cassava berbasis petani 2.2. Pengembangan industri pengolahan tepung 2.3. Penyediaan insentif bagi berkembangnya industri hilir pengolahan cassava untuk pangan dan bioetanol 2.5. Program penyerapan tepung cassava, tapioka dan mokaf oleh industri pengimpor dan pengguna tepung
7.1. Pengenaan pajak impor produk serupa (Depkeu) 7.2. Pengurangan pajak ekspor produk serupa (Depkeu)
3.1. Penguatan kelompok tani dan gapoktan cassava 3.2. Fasilitasi pendirian asosiasi petani cassava Indonesia 3.3. Mendorong kerjasama asosiasi dan koperasi petani dengan industri pengolahan cassava 4.1. Penyusunan dan penyuluhan standar mutu produk hilir cassava 4.2. Bantuan teknis dan teknologis pengembangan industri pangan berbasis cassava
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi:37 juta ton • Pertanian intensif dengan bibit unggul Pasca Panen/ Pengolahan: • Industri pedesaan tepung cassava berkembang (produksi 600 ribu ton) • Industri hilir turunan pati berkembang Perdagangan (Pemasaran): • Perdagangan sebagai bahan baku dan produk olahan • Harga minimal umbi segar Rp.500/kg
5.1. Penentuan Konsep P3TC, 5.2. Penyusunan Program 5.3. Pendirian P3TC
Kebijakan 1. Kebijakan tepung komposit minimal sampai 20% (Deprin/Depdag/Deptan), 2)Pajak impor untuk produk hilir cassava seperi tapioka, fruktosa, dekstrin yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri (Depkeu), 3)Kebijakan untuk penyerapan tepung lokal oleh pengimpor gandum dan tepung terigu, 4) kebijakan subsidi bioetanol (DepESDM/Depkeu), 5)Kebijakan premix bioetanol secara bertahap ke BBM pertamina (DepESDM/Deptan).
Gambar 5.15. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Cassava
87
Tabel 5.15. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Cassava Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Insentif harga untuk subsidi harga beli cassava dari petani • Penetapan harga dasar cassava segar yang layak bagi petani • Penyusunan mekanisme subsidi • Pemberian subsidi harga 1.2. Bantuan peralatan pembuatan dan pengeringan chip pada tingkat kelompok tani untuk perbaikan mutu gaplek. • Penyusunan mekanisme pemberian bantuan • Penentuan kelompok tani penerima • Realisasi bantuan 1.3.Membangun kemitraan petani dan pabrik tapioka • Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama • Menguatkan faktor kerjasama • Mengawasi faktor kerjasama 2.1.Pengembangan industri tepung cassava berbasis petani • Penetapan kelompok tani basis pengembangan • Bantuan peralatan dan teknologi • Bantuan dan jaminan pemasaran
100
Sasaran tahunan 201 2011 2012 3 200 250 300
201 4 300
10
20
25
30
35
Poktan
5
10
15
20
25
Kumulatif jumlah kerjasama
10
20
25
30
35
Kumulatif jumlah industri
2010
Keterangan X 1000 cassava
ton
88
2.2. Pengembangan industri pengolahan tepung • Mendorong pertumbuhan industri modified starch yang banyak digunakan oleh industri farmasi dan pangan, seperti pati alfa dan dekstrin 2.3. Penyediaan insentif bagi berkembangnnya industri hilir pengolahan cassava untuk pangan dan bioetanol • Kemudahan perijinan • Dukungan subsidi bahan baku kepada petani • Bantuan pengembangan pasar 2.4. Program penyerapan tepung cassava, tapioka dan mokaf oleh industri pengimpor dan pengguna tepung • Penerbitan peraturan ketentuan impor terigu dan tepung beras lainnya • Kewajiban menyerap 5 (lima) persen dari volume setara terigu atau 2,5 (dua setengah) persen setara tepung lainnya 3.1.Penguatan kelompok tani dan gapoktan cassava • Bantuan penyusunan badan hukum • Bantuan dana operasional yang dipertanggungjawabkan • Bantuan pengembangan jejaring
1
3
5
6
7
Kumulatif jumlah industri
5
15
25
35
40
Kumulatif jumlah poktan
1
3
4
5
10
Kumulatif industri hilir baru
100
200
300
400
500
X 1000 tonKumulatif tepung cassava yang diserap
89
3.2. Fasilitasi pendirian asosiasi petani cassava Indonesia • Pertemuan perwakilan gapoktan daerah produsen utama (Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) • Pendirian Asosiasi Petani Cassava Indonesia 3.3.Mendorong kerjasama asosiasi dan koperasi petani dengan industri pengolahan cassava • Mengadakan pertemuan asosiasi petani dengan industri pengolah cassava • Menyusun program atau kesepakatan kerjasama 4.1. Penyusunan dan penyuluhan standar mutu produk hilir cassava • Inventarisasi produk hilir yang belum memiliki Standar Nasional • Adopsi standar Internasional untuk tujuan ekspor • Penyusunan standar sebagai acuan pengembangan industri hiliR
20
40
60
70
80
1
Kumulatif poktan
Assosiasi petani cassava
4
10
15
Kumulatif jumlah kerjasama,
90
4.2.Bantuan teknis dan teknologis pengembangan industri pangan berbasis cassava • Menyediakan layanan pendirian Usaha Kecil dan Menengah Produk Hilir cassava berorientasi pangan • Bantuan promosi produk pangan berbasis cassava • Pembelian produk pangan cassava oleh instansi pemerintah 5.1.Penentuan Konsep P3TC
5.2. 5.3.
-
2
ada
ada
4
6
10
Kumulatif standar mutu baru
Konsep pengembang an
Penyusunan Program Pendirian P3TC
91
5.2.16. Sagu ORIENTASI PENGEMBANGAN SAGU Peningkatan produksi dan kualitas untuk mendukung ketahanan pangan dan energi serta ekspor melalui penumbuhkembangan industri pedesaan pati sagu dan bioetanol
Kondisi Terkini
Strategi Industri Pedesaan
Strategi Penguat
Produksi: • Produksi: 200 ribu ton • Luas tanaman budidaya sagu terbatas
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pasca Panen/ Pengolahan: • Industri pedesaan pati sagu dan turunnya belum berkembang
1.1. Pengembangan teknologi terapan untuk industri pengolahan sagu 1.2. insentif bagi investasi di pengolahan hulu sagu 1.3. Pengembangan pasar produk olahan sagu
7.1. Penyediaan benih unggul (Deptan) 7.2. Bantuan sarana produksi pertanian (Deptan)
Perdagangan (Pemasaran): • Harga berfluktuasi dan cenderung rendah
2.1. Inisiasi pengembangan industri bioetanol berbasis sagu 2.2. Fasilitasi dan pemberian insentif untuk investasi industri bioetanol berbasis sagu 3.1. Penyuluhan teknologi pengolahan sagu bagi petani 3.2. Bantuan peralatan pengolahan sagu kepada poktan
8.1. Pengenaan pajak impor produk serupa (Depkeu) 8.2. Pengurangan pajak ekspor produk serupa (Depkeu)
Pengembangan industri hilir pangan berbasis sagu Pengembangan industri bioetanol berbasis sagu Perbaikan teknologi pengolahan pati sagu Perbaikan cara pemanenan Pengadaan peralatan industri pati sagu skala kecil Pengembangan industri pangan (pokok) berbasis sagu
Program
7. 8. 9.
Pengembangan budidaya sagu secara luas Pengembangan bibit unggul berumur pendek Pengembangan budidaya sagu berkelanjutan
Aksi
4.1 Penyuluhan pemeliharaan dan pemanenan sagu 4.2. Penyuluhan pengelolaan hutan (tanaman) sagu yang berkelanjutan 5.1. Penyuluhan teknologi pengolahan pati sagu yang berorientasi mutu 5.2. Pengadaan peralatan pengolahan pati sagu 6.1. Kampanye nasional diversifikasi pangan pokok 6.2. Pengembangan produk pangan (beras sagu) untuk pangan pokok 6.3. Insentif dan kemudahan investasi industri pengolahan pangan berbasis sagu
Kondisi Yang Diharapkan Produksi: • Produksi: 300 ribu ton • Berkembangnya budidaya sagu berkenjutan Pasca Panen/ Pengolahan: • Industri pedesaan pati sagu dan turunnya berkembang • Pati sagu menjadi produk penguat ketahanan pangan dan energi Perdagangan (Pemasaran) • Harga menarik untuk melakukan usaha dari sagu
Kebijakan 1. Kebijakan tepung komposit sampai 20% (Deprin/Deptan), 2)Pajak impor untuk produk hilir berbais starch seperti fruktosa, dekstrin yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri (Depkeu), 3) Kebijakan untuk penyerapan tepung lokal bagi importir gandum dan tepung terigu, 4)Perubahan kebijakan beras bersubsidi menjadi pangan bersubsidi (Sekneg)
Gambar 5.16. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Sagu
92
Tabel 5.16. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Sagu Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1. Pengembangan teknologi terapan untuk industri pengolahan sagu • Pembiayaan penelitian dan penyusunan profil kelayakan teknologi terapan skala industri (kecil, menengah dan besar) • Diseminasi teknologi terapan pengolahan sagu • Pembangunan pilot proyek industri hilir pengolahan sagu 1.2. insentif bagi investasi di pengolahan hulu sagu
1.3. Pengembangan pasar produk olahan sagu • Pameran produk pengolahan sagu nasional • Sosialisai produk olahan sagu • Membangun jejaring pasar dalam dan luar negeri • Inisiasi pengembangan industri bioetanol berbasis sagu • Penyusunan kelayakan regional pembangunan industri bioetanol • Penyiapan roadmap pembangunan industri bioetanol 2.2. Fasilitasi dan pemberian insentif untuk investasi industri bioetanol berbasis sagu • Penyusunan mekanisme pemberian insentif
2010 5
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 10 20 35
2014 40
10
20
30
40
50
20
30
40
50
60
2
4
6
8
10
3
5
10
12
Keterangan Jumlah kumulatif teknologi tepat terap
Jumlah kumulatif industri hulu sagu Persen kenaikan volume perdagangan produk sagu Kumulatif penyiapan pendirian industri bioetanol Jumlah kumulatif industri
93
• •
Penentuan penerima insentif Realisasi insentif
3.1.Penyuluhan teknologi pengolahan sagu bagi petani • Pelatihan calon pengusaha lokal pengolahan sagu • Penyusunan kelayakan dan rencana pengembangan industri kecil pengolahan sagu • Fasilitasi tumbuhnya industri kecil pengolahan sagu • Pelatihan penyuluh pemanenan sagu yang baik • Bantuan peralatan pemanenan bagi petani sagu 3.2.Bantuan peralatan pengolahan sagu kepada poktan • Penetapan kelompok penerima • Penyediaan dan realisasi bantuan perlatan pengolahan sagu bagi kelompok tani 4.1Penyuluhan pemeliharaan dan pemanenan sagu • Pelatihan penyuluh pemanenan sagu yang baik • Bantuan peralatan pemanenan bagi petani sagu 4.2.Penyuluhan pengelolaan hutan (tanaman) sagu yang berkelanjutan • Pelatihan penyuluh pemeliharaan hutan sagu yang berkelanjutan • Penyuluhan pengelolaan hutan sagu yang berkelanjutan 5.1.Penyuluhan teknologi pengolahan pati sagu yang berorientasi mutu 5.2.Pengadaan peralatan pengolahan pati sagu • Penetapan rancangan proses pengolahan • Penetapan spesifikasi peralatan
bioetanol yang berdiri 300
600
1000
1300
1500
Jumlah kumulatif petani sagu yang dilatih
4
8
12
16
20
Jumlah unit pengolahan yang dibangun
300
600
1000
1300
1500
300
600
1000
1300
1500
Jumlah kumulatif petani sagu yang dilatih Jumlah kumulatif petani sagu yang dilatih
5
10
15
20
25
5
10
15
20
25
Jumlah kecil Jumlah kecil
industri industri
94
•
Pemberian bantuan peralatan bagi industri kecil hilir pengolah produk pangan berbasis sagu
6.1.Kampanye nasional diversifikasi pangan pokok • Penyiapan bahan dan media kampanye • Penyusunan Tim Kampanye • Pelaksanaan kampanye 6.2.Pengembangan produk pangan (beras sagu) untuk pangan pokok • Pemantapan teknologi proses • Pembuatan contoh beras sagu • Sosialisasi beras sagu 6.3. Insentif dan kemudahan investasi industri pengolahan pangan berbasis sagu • Penetapan mekanisme dukungan • Identifikasi dukungan yang diperlukan • Penyediaan insentif bagi industri baru
300
300
300
300
300
Jam tayang per tahun pada televisi nasional
2
4
6
8
10
5
10
15
20
25
Jumlah kumulatif industri pengolah beras sagu Industri baru tumbuh/tahun
95
5.2.17. Jeruk ORIENTASI PENGEMBANGAN JERUK Peningkatan produksi dan kualitas untuk pengurangan impor jeruk melalui penumbuhkembangan industri pedesaan penanganan buah segar dan pengolahan yang menerapkan SJMKP
Kondisi Terkini
Strategi Industri Pedesaan
Produksi: Produksi: 2.5 juta ton
1.
Pasca Panen/ Pengolahan: • Kualitas rendah • Penanganan Pasca panen belum baik • Pengolahan produk turunan belum berkembang
3. 4.
Perdagangan (Pemasaran): • Konsumsi 3.85/Kg/th • Ekspor:1443 ton • Impor143.661
1.4.
•
Pengembangan industri pedesaan penanganan jeruk segar Pengembangan industri pedesaan pengolahan jeruk Penerapan SJMKP Peningkatan pemasaran domestik
2.
Strategi Penguat 5. 6. 7. 8.
Peningkatan produksi dengan penguatan teknologi benih dan budidaya Pengembangan pemberantasan hama penyakit terpadu Pengembangan benih unggul yang sesuai permintaan pasar. Penerapan GAP pada budidaya jeruk
Program Aksi 1.1. 1.2.
1.3.
2.1. 2.2. 2.3. 3.1. 3.2.
4.1. 4.2.
Pengembangan kemampuan petani melakukan penanganan pasca panen Penerapan penanganan pasca panen (sortasi, grading, pelapisan kulit) untuk meningkatkan daya saing Pengembangan kerjasama kemitraan poktan dengan pelaku pasar jeruk segar Bantuan peralatan dan modal usaha bunga rendah untuk industri pedesaan penanganan jeruk segar
5.1. Peningkatan produktivitas jeruk (Deptan) 5.2. Perluasan areal tanam jeruk (Deptan) 5.3. Pengembangan kebun jeruk monokultur (Deptan)
Bantuan peralatan industri pedesaan pengolahan sari buah, marmalaid dan selai jeruk Skema bantuan modal dengan bunga rendah Pelatihan dan pendampingan
7.1. Pengembangan benih unggul untuk keperluan konsumsi buah segar (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 7.2. Pengembangan benih unggul untuk keperluan industri pengolahan (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 7.3. Melakukan bimbingan penggunaan benih unggul sesuai dengan kebutuhan (Deptan)
Akselarasi penerapan GHP pada penanganan pasca panen jeruk segar Penerapan GMP pada industri pedesaan pengolah jeruk
6.1. Peningkatan kemampuan petani melakukan pemberantasan hama dan penyakit (Deptan) 6.2. Pengembangan insektisida hayati (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
Kondisi Yang Diharapkan • Produksi: • Produksi: 3.5 juta ton • Pasca Panen/ • Pengolahan: • Terjadi peningkatan kualitas • Penanganan pasca panen lebih baik (ada grading) • Industri pengolahan produk turunan berkembang • Perdagangan (Pemasaran) • Konsumsi • Konsumsi 5.64/Kg/th • Ekspor:naik • Impor turun
8.1. Penerapan GAP pada budidaya jeruk (Deptan)
Gerakan cinta buah nasional Pengembangan packing house
Kebijakan 1. Perbaikan Infrastruktur transportasi dan jalan (DepPU), 2) Insentif penelitian untuk pengembangan produk hilir jeruk sampai dengan komersialisasinya (Deptan/Depdiknas/KMNRT), 3) Stabilisasi harga jeruk dengan penerapan SPS dan TBT pada impor jeruk segar dan produk turunannya (Depdag)
Gambar 5.17. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Jeruk
96
Tabel 5.17. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Jeruk Program Aksi dan Rencana Implementasi 1.1.Pengembangan kemampuan petani melakukan penanganan pasca panen • Penyusunan SOP, GHP dan GMP • Sosialisasi keamanan produk SOP, GHP, GMP • Fasilitasi (pendampingan) penerapan OP, GHP dan GMP 1.2.Penerapan penanganan pasca panen (sortasi, grading, pelapisan kulit) untuk meningkatkan dayasaing • Identifikasi poktan sasaran • Fasilitasi peralatan dan pendampingan teknologi • Monitoringdan evaluasi 1.3.Pengembangan kerjasama kemitraan poktan dengan pelaku pasar jeruk segar • Fasilitasi pertemuan • Penyusunan mekanisme kerjasama 1.4.Bantuan peralatan dan modal usaha bunga rendah untuk industri perdesaan penanganan jeruk segar • Penetapan target Gapoktan yang telah siap • Inventarisir teknologi pre cooling yang mudah dan murah diterapkan • Pemberian bantuan • Insentif pajak 2.1. Bantuan peralatan industri perdesaan pengolahan sari buah, marmalaid dan selai jeruk • Identifikasikelompok sasaran • Bantuan peralatan • Monitorng dan evaluasi 2.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah
2010 20
Sasaran tahunan 2011 2012 2013 40 60 40
2014 20
5
10
15
10
5
Jumlah poktan yang menerapkan penanganan pasca panen
20
40
60
40
20
Jumlah poktan yang terlibat
20
40
60
40
20
Jumlah sasaran
5
15
40
60
75
Jumlah industri perdesaan penerima bantuan
ada
ada
ada
ada
ada
Skema
Keterangan Jumlah terlatih
poktan
poktan
97
•
Pemberian bantuan permodalan
2.3. Pelatihan dan pendampingan • Penentuan poktan sasaran • Pelaksanaan kegiatan pendampingan dan pelatihan teknologi 3.1.Akselarasi penerapan GHP pada penanganan pasca panen jeruk segar • Penyusunan GHP • Sosialasi GHP ke poktan 3.2.Penerapan GMP pada industri perdesaan pengolah jeruk • Sosialisai GMP ke poktan/gapoktan dan industri jeruk 4.1.Gerakan cinta buah nasional • Fasilitasi kerjasama dengan usaha distribusi dan pasar supermarket • Penyusunan iklan • Penayangan iklan 4.2. Pengembangan packing house • Identifikasi target lokasi kebutuhan • Sosialisasi • Pendirian packing house • Pendampingan pengelolaan packing house
pembiayaan bunga rendah Jumlah poktan terlatih
20
40
60
40
20
5
10
20
25
30
Kumulatif poktan yang menerapkan GHP
5
10
20
25
30
Industri perdesaan yang menerapkan GMP
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tayangan iklan ke media
1
1
1
1
1
Fasilitasi packing house (unit/tahun)
98
6. ABG UNTUK PENUMBUHKEMBANGAN INDUSTRI PEDESAAN Kesuksesan pelaksanaan Blue Print ini sangat tergantung dari keberhasilan seluruh pemangku kepentingan memerankan tugasnya masing-masing. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah akademisi, dunia bisnis dan pemerintah serta masyarakat sebagai subyek yang harus disejahterakan atau sering disebut sebagai ABG-C. Berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI), ada sembilan pilar yang perlu diperhatikan untuk membangun National Competitiveness, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Berjalannya fungsi lembaga publik dan swasta (G) Infrastruktur yang tepat (G) Situasi makroekonomi stabil (G) Kesehatan yang baik dan pendidikan dasar yang memadai (G) Pendidikan tinggi dan pelatihan (A) Efisiensi pasar (B) Kesiapan teknologi (A) Kecanggihan proses produksi (B) Inovasi (A)
Peran masing-masing pemangku kepentingan terhadap kesembilan pilar tersebut dapat dibagi sebagai berikut: a) Akademisi harus bertanggung jawab atas: 5. Pendidikan tinggi dan pelatihan 7. Kesiapan teknologi 9. Inovasi b) Dunia Bisnis harus bertanggungjawab atas: 6. Efisiensi pasar 8. Kecanggihan proses produksi c) Sedangkan Pemerintah tentunya harus bertanggung jawab atas: 1. Berjalannya fungsi lembaga publik dan swasta 2. Infrastruktur yang tepat
P a g e | 99
3. Situasi makroekonomi stabil 4. Kesehatan yang baik dan pendidikan dasar memadai
yang
Tentu saja masing-masing pemangku kepentingan juga saling terkait dengan pilar-pilar lain yang bukan tanggungjawab utamanya. Dari kesembilan pilar tersebut empat pilar pertama diperuntukan bagi negara-negara yang tingkat kompetisinya masih berdasarkan atas tenaga kerja yang kurang terampil dan berbasis sumberdaya alam (factor-driven). Perusahaan menjual produknya berbasis pada harga dan bahan baku atau bahan setengah jadi dengan produktivitas yang rendah yang tercermin dari upah yang rendah. Pilar ke lima, enam dan tujuh diperuntukkan bagi negara-nagara yang sudah mengarah kepada faktor efisisiensi sebagai pendorongnya (efficiencydriven). Pilar ke delapan dan sembilan diperuntukkan bagi negara yang sudah mengandalkan produknya pada tingkatan tertinggi (innovation-driven), sehingga hanya dapat dicapai melalui kedua pilar tersebut. Berdasarkan pengelompokan tersebut di atas maka Indonesia masih berada pada tingkat pertama atau terrendah, dimana seluruh pilar yang harus dilaksanakan, penanggungjawab utamanya adalah pemerintah. Untuk itu semua peran tersebut (pilar 1-4) harus segera dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dalam waktu yang bersamaan akademisi dan dunia bisnis dapat membantu mempercepat menuju ke tahap yang kedua melalui perannya pada pilar lima, enam dan tujuh. Dalam jangka menengah perlu segera disiapkan pula pelaksanaan pilar yang kedelapan dan sembilan oleh dunia bisnis dan akademisi, agar dapat segera mengejar ketertinggalan dari negara lain. Indonesia harus melakukan terobosan dengan menjalankan seluruh pilar secara simultan namun dengan membuat prioritas sesuai dengan tingkat kepentingannya. Peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator yang sangat penting bagi pembangunan pertanian di Indonesia. Dari berbagai aspek tinjauan, kebijakan yang berpihak pada pembangunan ekonomi
P a g e | 100
yang berbasis perdesaan harus segera diperbaiki. Disamping itu pembangunan infrastruktur yang masih tertinggal, mengakibatkan terhambatnya pembangunan pada sektorsektor yang lain. Kondisi khas lain yang masih harus dilakukan pemerintah adalah fungsi fasilitasi yang tidak saja dalam bentuk bantuan non-fisik tapi juga sering kali dalam bentuk bantuan fisik. Dari sisi pengusaha (bisnis) pada umumnya masih berfikir jangka pendek dan sederhana. Pilihan menjual dalam bentuk bahan baku atau bahan setengah jadi adalah ciri khas dari kondisi factor-driven. Untuk itu pengusaha hendaknya berperan untuk meningkatkan nilai tambah setinggi-tingginya di dalam negeri. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendorong para pengusaha untuk sebesar-besarnya meningkatkan nilai tambahnya di dalam negeri. Pada saat yang sama pengusaha memperbaiki kinerjanya di berbagai bidang, agar tercapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi agar bisa bersaing di pasar global. Dunia pendidikan tinggi diharapkan melalui penelitianpenelitiannya dapat menghasilkan temuan-temuan atau teknologi-teknologi yang sesuai dengan keiinginan para pengusaha atau dunia bisnis. Untuk itu perlu diciptakan penelitian-penelitian yang mengikutsertakan dunia usaha dan atau sekaligus menjawab tantangan dunia usaha. Kerjasama yang baik antar keduanya akan menciptakan efisiensi penggunaan sumberdaya, baik di perguruan tinggi bahkan terutama di dunia usaha itu sendiri. Kedepan, para pengusaha didorong untuk sebesar-besarnya memanfaatkan perguruan tinggi sebagai pusat penelitian dan pengembangan usahanya. Untuk mempercepat terjadinya suasana tersebut, pemerintah harus memfasilitasi melalui kebijakan yang tepat seperti memberikan insentif pajak bagi pengusaha yang melibatkan perguruan tinggi sebagai pusat penelitian dan pengembangannya. Bagi masyarakat pertanian Indonesia sebagai pembangunan pertanian harus terlibat aktif
P a g e | 101
subjek dalam
mensukseskan program pemerintah. Sebagai contoh untuk memperbaiki infrastruktur pertanian diperlukan konsolidasi lahan. Apabila para petani dapat bekerjasama dengan baik, maka permasalahan sosial yang biasanya timbul akibat kegiatan ini dapat dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan sama-sekali. Untuk itu peran pemerintah sangat penting dalam memberikan pengertian kepada masyarakat akan pentingnya pelaksanaan program seperti itu. Tidak ada satupun pembangunan pertanian di dunia ini yang berhasil jika hanya ditangani oleh satu lembaga saja, melainkan harus oleh seluruh pemangku kepentingan secara bersamaan di bawah koordinasi pemerintah. Dalam Blue Print ini telah diusahakan untuk memasukkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dalam pembangunan nilai tambah dan dayasaing pertanian Indonesia. Namun demikian keberhasilannya sangat ditentukan oleh pelaksanaan dan peran serta masing-masing pemangku kepntingan sesuai dengan skenario atau rencana yang telah disepakati dan ditetapkan bersama.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2010 MENTERI PERTANIAN,
SUSWONO
P a g e | 102
LAMPIRAN
P a g e | 103
Lampiran A. Lampiran 4.1. Analisis SWOT Beras Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Pasar beras internasional terbuka • telah tersedia teknologi panen, pasca panen dan pengolahan yang dapat menekan susut • Pasar beras organik dan aromatik semakin meningkat • Hasil samping dapat diolah menjadi produk turunan yang bernilai ekonomi baik Ancaman (T) • Ketersediaan lahan sawah semakin terbatas • Harga beras ber fluktuasi • Tingginya laju konversi lahan sawah untuk tujuan lain di luar pertanian • Perubahan iklim • Pangan pokok sangat tergantung pada beras
P a g e | 104
Kekuatan (S) Kelamahan (W) • Permintaan pasar • Akses petani dalam negeri terhadap saprodi, sangat besar benih unggul dan • Tersedia beih padi modal terbatas. unggulan lokal. • Kualitas beras belum baik • Budaya kerja petani domestik yang baik • Susut masih tinggi dalam menanam padi. Strategi (S-O) Strategi (W-O) • Peningkatan produksi • Pengembangan sistem bantuan padi • Penumbuhan industri teknis, benih dan perdesaan berbasis permodalan beras dan hasil • Penerapan samping beras teknologi panen, pasca panen dan pengolahan yang baik • Penerapan teknologi modern pengolahan beras
Strategi (W-T) Strategi (S-T) • Pengurangan • Stabilisasi ketergantungan beras bahan pokok hanya • Ekstensifikasi terbatas pada beras • Pengendalian konversi lahan • Pengembangan varietas tahan kekeringan dan banjir (perubahan iklim)
harga
Lampiran 4.2. Analisis SWOT Jagung Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Pasar jagung dunia kekurangan 34.8 juta tiap tahunnya • Kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak dan pangan domestik meningkat • Peluang peningkatan nilai tambah melalui proses pasca panen di tingkat petani • Peningkatan produktivitas dari 4 ton/ha menjadi 6 – 8 ton/ha Ancaman (T) • Perluasan areal tanam bersaing dengan produk lain • Panen jagung bertepatan dengan musim hujan • Ketatnya kualitas
P a g e | 105
Kekuatan (S) • Swasembada • Potensi peningkatan produktivitas melalui penggunaan benih hibrida • Potensi perluasan areal tanam melalui lahan kering • Adanya insentif pemerintah untuk peningkatan produksi • Petani jagung Indonesia sudah menguasai teknologi budidaya jagung • Sudah ada Dewan Jagung Nasional • Tersebarnya sentra produksi jagung Strategi (S-O) • Pemanfaatan lahan kering untuk jagung di luar jawa • Pengembangan usaha tani jagung varietas unggul • Pengembangan usaha pengolahan jagung • Pengembangan industri pakan ternak yang berdekatan dengan sentra produksi jagung Strategi (S-T) • Pembangunan alat pengering mekanis
Kelemahan (W) • Kurangnya kemampuan SDM dalam proses pasca panen • Akses terhadap benih unggul belum merata • Kualitas jagung masih rendah • Kurangnya fasilitas peralatan pasca panen
Strategi (W-O) • Penyediaan bibit unggul yang mencukupi. • Perbaikan insfrastruktur jalan • Penguatan gapoktan • Kemitraan agrobisnis jagung • Peningkatan kualitas jagung • Pendampingan teknologi pasca panen Strategi (W-T) • Penerapan SNI • Sosialisasi SNI melalui bimbingan teknis • Kebijakan bea masuk impor
•
jagung yang diterapkan oleh negara pengimpor atau industri pakan dan pangan Industri pangan lebih memilih jagung impor karena relatifl ebih murah dan mudah pembiayaannya
P a g e | 106
Lampiran 4.3. Analisis SWOT Kedelai Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (O) • Kondisi Indonesia belum swasembada. • Industri pengolahan kedelai berkembang dengan baik • Permintaan kedelai sangat besar dan tumbuh 4.3%/th. • Hasil samping pengolahan belum dimanfaatkan secara optimal Ancaman (T) • Ketersediaan lahan berkompetisi dengan komoditas lainnya • Tidak ada HPP • Pasokan kedelai luar negeri lebih menarik dan lebih berkualitas
P a g e | 107
Kekuatan (S) Kelamahan (W) • Tersedia benih unggul • Petani tidak • Konsumsi kedelai dan tertarik menanam kedelai produk turunannya (tahu, tempe, kecap, • Produktivitas dll) sangat tinggi masih rendah • Pasca panen belum ditangani dengan baik • Usahatani kedelai tidak menarik Strategi (S-O) Strategi (W-O) • Penggunaan benih • Pemberian insentif unggul untuk untuk peningkatan produksi penanaman kedelai kedelai • Penumbuhkembangkan • Pengembangan industri pengolahan penanganan kedelai dan hasil pasca panen sampingnya.
Strategi (S-T) Strategi (W-T) • Pengembangan benih • Perbaikan unggul sesuai dengan pemasaran kebutuhan industri kedelai dalam negeri
Lampiran 4.4. Analisis SWOT Gula
Kekuatan (S) • Indonesia memiliki pabrik gula dan perkebunan tebu yang luas • Konsumsi gula dalam negeri sangat tinggi
Kelemahan (W) • Produktivitas tebu rendah • Rendemen pabrik rendah • Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri • HPP tinggi • Tetes tidak dimanfaatkan sendiri
Peluang (O) • Dukungan pemerintah sangat besar • Sumberdaya bahan baku gula non tebu melimpah • Pasar dalam negeri tumbuh dengan cepat
Strategi (S-O) • Pengembangan gula non-tebu
Ancaman (T) • Petani tebu semakin berkurang • Perubahan iklim • Mutu gula impor lebih baik dan lebih murah
Strategi (S-T) • Pengembangan insentif budidaya tebu • Pengembangan varitas tebu resisten terhadap perubahan iklim • Perbaikan mutu gula
Strategi (W-O) • Perbaikan produktivitas tebu dengan pengembangan varitas unggul • Perbaikan efisiensi pengolahan • Revitalisasi pabrik • Pembangunan industri gula nontebu • Pemanfaatan tetes sebagai bagian terpadu dari industri gula Strategi (W-T) • Pengaturan impor gula
Faktor Internal
Faktor Eksternal
P a g e | 108
Lampiran 4.5. Analisis SWOT Daging Sapi Faktor Internal
Kekuatan (S) • Agroklimat dan ketersediaan lahan • SDM tersedia • Dukungan riset dan teknologi • Dukungan pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Konsumsi daging sapi dalam negeri terus meningkat • Pasar produk hasil samping peternakan sapi berkembang
P a g e | 109
Strategi (S-O) • Peningkatan kualitas SDM • Peningkatan riset dan teknologi untuk produk hasil samping ternak sapi • Peningkatan akses pembiayaan untuk usaha peternakan sapi potong
Kelemahan (W) • Impor ternak dan daging: 28% dari kebutuhan • Tingkat penerapan SJMKP di RPH masih rendah. • Industri perdesaan pengolahan kompos belum berkembang dengan baik • Industri perdesaan pengolahan kulit belum berkembang dengan baik Strategi (W-O) • Pengembangan bibit sapi dan intensifikasi usaha peternakan • Pengembangan usaha peternakan terintegrasi • Penyediaan dan Pengembangan mutu pakan • Peningkatan fasilitas RPH (cold storage, alat transportasi berpendingin) di sentra produksi • Penerapan SJMKP pada RPH • Bantuan
Ancaman (T) • Negara penghasil ternak sapi mampu menghasilkan ternak sapi dengan kualitas baik • Harga daging sapi impor lebib murah
P a g e | 110
Strategi (S-T) • Pengembangan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan di sentra produksi • Pengembangan industri pakan perdesaan • Pengembangan industri pedesan yang mengolah hasil samping (kulit, kompos) • Peningkatan kualitas produksi produk olahan industri perdesaan
peralatan untuk pengolahan pakan ternak Strategi (W-T) • Pengembangan kerjasama kemitraan • Bantuan mesin dan peralatan industri perdesaan pengolahan kulit, dan kompos • Pengembangan kerjasama kemitraan produsen kulit dengan pengrajin tas, sepatu • Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging
Lampiran 4.6. Analisis SWOT Sawit Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Peningkatan permintaan CPO dunia • Pengembangan industri produk hilir sawit • Pengembangan industri produk hasil samping sawit • .Pengembangan industri biodiesel
P a g e | 111
Kekuatan (S) • Kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan. • Potensi peningkatan produksi dan produktivitas • Ketersediaan tenaga kerja • Jaminan pasar dalam negeri dan ekspor • Teknologi pengolahan.CPO yang mapan • Kelembagaan dan asosiasi yang mapan • Kemudahan akses perbankan.
Strategi (S-O) • Peningkatan bantuan bibit bersertifikat bagi perkebunan sawit rakyat • Peningkatan produksi dan produktivitas sawit melalui penerapan SOP budidaya sawit • Peningkatan SDM melalui SL PPHP • Insentif pengembangan industri produk hilir • Insentfi pengembangan industri hasil samping sawit • Insentif pengembangan
Kelemahan (W) • Isu lingkungan di perkebunan sawit • Kurangnya dukungan riset dari hulu sampai hilir • Belum terserapnya sawit dari kebun rakyat oleh PKS • Ketersediaan sarana produksi. • Minimnya kondisi infrastruktur jalan dan pelabuhan • Perbedaan harga jual ekspor dan domestik Strategi (W-O) • Kemitraan antara petani sawit dan PKS • Pendirian PKS di sentra produksi sawit rakyat. Dengan kapasitas minimal 30 ton TBS per jam • Kebijakan bea keluar • Dukungan sarana produksi • Perbaikan infrastruktur
industri biodiesel
Ancaman (T) Strategi (S-T) • Negative campaign • Pengembangan tentang sawit kebun sawit yang • Isu perusakan berwawasan lingkungan dan lingkungan (RSPO) biodersivitas hutan diluar hutan lindung tropis. dan tanah gambut. • Isu dampak kesehatan • Peningkatan mediasi minyak sawit didunia internasional • Penambahan oleh asosiasi dan persyaratan mutu CPO dewan kelapa sawit di pasar ekspor (DOBI). dalam rangka • Dipersyaratkannya mengcounter isu sertifikat RSPO bagi lingkungan, ikatan kebun sawit trans minyak sawit • Pelarangan organisasi dan penghapusan lingkungan biodiversivitas. internasional terhadap budidaya sawit di lahan gambut • Hambatan non tarif
P a g e | 112
Strategi (W-T) • Penguatan riset di hilir untuk mengcounter negative campaign
Lampiran 4.7. Analisis SWOT Karet Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (O) • Penurunan produksi karet pesaing utama (Malaysia). • Permintaan produk hilir di pasar ekspor. • Peluang pasar dan diversifikasi produk karet. • Perluasan areal lahan budidaya karet masih terbuka • pasokan karet alam rata-rata
P a g e | 113
Kekuatan (S) • Indonesia produsen nomor 2 terbesar dunia. • sebaran daerah produksi yang cukup luas • kemampuan memproduksi berbagai jenis barang karet. • dukungan industri bahan penolong • keberadaan Asosiasi Produsen (GAPKINDO) • dukungan lembaga riset • keterlibatan tenaga kerja yang tinggi, • tersedianya teknologi pengolahan, • PN dan swasta nasional mampu memproduksi RSS dan latek pekat. Strategi (S-O) • Peningkatan produksi dan produktivitas kebun karet dalam rangka meraih pasar ekspor dan pengembangan ekspor industri hilir karet. • Pengembangan industri hilir pengolahan karet. • Insentif pengembangan
Kelemahan (W) • Mutu karet yang relatif rendah. • Belum dipahaminya sertifikasi mutu. • Teknologi pengolahan lateks masih sederhana. • Terjadinya pencemaran lingkungan limbah karet • Rendahnya nilai tambah industri karet. • Fasilitas pembiayaan yg minim. • Keberadaan industri hilir yang terbatas. • Masih lemahnya Iklim usaha • Lemahnya dukungan sarana dan prasarana • Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap produk dalam negeri. Strategi (W-O) • Pengembangan pengolahan karet pada tingkat petani/kelompok tani. • Pengembangan industri pengolahan karet yang memperhatikan mutu, berdayasaing, bernilai tambah dan ramah lingkungan. • Penerapan GAP, GMP • Peningkatan SDM • Peremajaan kebun
2,9 juta ton per tahun yang baru dimanfaatkan didalam negeri sekitar 15 %.
Ancaman (T) • Bahan substitusi karet sintetik yang lebih baik • Peningkatan produksi karet pesaing lain (Thailand). • Hambatan nontarif. • Akses modal investasi karet yang terbatas. • Isu pencemaran lingkungan.
P a g e | 114
industri hilir
Strategi (S-T) • Peningkatan penyediaan sarana produksi pertanian dan manajemen kebun Insentif kebijakan untuk perdagangan mengatasi hambatan non tarif • Penguatan peran asosiasi karet
karet rakyat • Peningkatan kemitraan petani dan industri pengolahan karet
Strategi (W-T) • Peningkatan akses modal usaha dari perbankan • Pengembangan teknologi pengolahan karet yang tidak mencemari lingkungan • Standarisasi mutu produk
Lampiran 4.8. Analisis SWOT Kakao Kekuatan (S) Faktor Internal • Produk impor penghasil devisa • Menyerap tenaga kerja • Sebaran lahan produsen kakao yang luas. • Kebutuhan teknologi pengolahan sederhana, Faktor Eksternal • Tersedianya rantai pasar dan informasi harga. Strategi (S-O) Peluang (O) • Peningkatan • Meningkatnya konsumsi kakao produksi dan produktivitas dunia. • Menurunnya kebun kakao produksi pesaing • Pengembangan • Tersedianya industri hilir pengolahan lahan yang luas. kakao • Permintaan produk olahan kakao terus meningkat • Impor kakao fermentasi Ancaman (T) Strategi (S-T) • Produk kakao • Penguatan luar negeri yang industri pengolahan lebih baik kakao kualitasnya • Tuntutan standarisasi • Hambatan non tarrif
P a g e | 115
Kelemahan (W) • Sarana fermentasi kurang • Ketidakseragaman mutu • Harga kakao fermentasi rendah • Produktivitas kakao yang rendah. • Ekspor masih dalam bentuk tidak terfermentasi
Strategi (W-O) • Penguatan dan peningkatan produksi kakao fermentasi • Peningkatan produktivitas dengan bibit unggul • Kemitraan kelompok tani dengan industri pengolahan Strategi (W-T) • Peningkatan kakao
mutu
Lampiran 4.9. Analisis SWOT Daging Ayam Faktor Internal
Kekuatan (S) • Surplus lebih dari 300 ribu ton. • Ketersediaan SDM • Potensi agroklimat • Tumbuhnya industri pakan ternak di sentra produksi jagung • Industri daging ayam olahan terus berkembang • Dukungan pemerintah • Dukungan sosiasi dan kelembagaan
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Konsumsi daging ayam DN meningkat • Peluang ekspor daging ayam ke negara muslim • Preferensi konsumen Asia terhadap daging ayam cukup tinggi • Pasar produk daging ayam olahan terbuka
P a g e | 116
Strategi (S-O) • Peningkatan kualitas rumah potong unggas di sentra produksi • Peningkatan kualitas produk olahan dengan penerapan SJMKP • Peningkatan konsumsi daging ayam melalui kampanye sumber protein tinggi
Kelemahan (W) • Industri perdesaan pengolahan daging ayam belum berkembang • Industri perdesaan pengolahan daging be-lum menerapkan SJMKP • Pengembangan pakan ternak berbasis bahan baku lokal belum berkembang • Adanya kasus flu burung Strategi (W-O) • Pengembangan usaha peternakan terintegrasi • Penyediaan dan Pengembangan mutu pakan • Peningkatan fasilitas RPU (cold storage, alat trans-portasi berpendingin) • Peningkatan industri perdesaan pengolahan daging ayam
Ancaman (T) • Ancaman impor paha ayam dari Amerika • Penerapan ”Bioterrorism Act” • Permentan No. 20/2009 ini kurang bisa memihak petani dan peternak • Konsumen domestik tertarik untuk membeli karkas unggas yang lebih murah dari luar • Free Trade AseanAustralia-New Zealand (FTA A-ANZ) dimana akan mulai berlaku tanggal 27 Agustus 2009 • Pasar ekspor unggas masih sulit karena terhalang aturan Sanitary and Phytosanitary (SPS) karena penyakit Avian Influenza (AI/flu burung).
P a g e | 117
Strategi (S-T) • Peningkatan skala usaha peternakan dengan pengembangan kemitraan yang berkeadilan • Penciptaan iklim investasi yang kondusif • Skema pembiayaan untuk mendukung pengembangan peternakan unggas, • Peraturan impor yang dapat melindungi kepentingan peternak unggas,
Strategi (W-T) • Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging • Pencegahan lfu burung dengan menerapkan standar kesehatan ternak di peternakan unggas • Kampanye menggunakan daging ayam oriduk dalam negeri
Lampiran 4.10. Analisis SWOT Buah Tropika Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kesempatan (O) • Pasar internasional masih terbuka luas • Pasar domestik masih terbuka luas karena • Konsumsi buah penduduk Indonesia per kapita per tahun masih rendah • Berkembangkan industri berbahan baku buah
P a g e | 118
Kekuatan (S) • Potensi peningkatan produksi buah melalu perluasan area tanam di masyarakat • Teknologi rekayasa bibit unggul buah sudah dikuasai • Varietas buah tropika yang ada di Indonesia tidak dipunyai oleh negara lain • Buah tropika Indonesia sudah masuk ke pasar negara Eropa, Asia, Timur tengah • Buah pisang sudah bisa menembus pasar Jepang Strategi (S-O) • Peningkatan lobi ke negara pengimpor buah • Peningkatan promosi dan temu bisnis • Kemitraan petani/gapoktan buah dengan industri olahan buah
Kelemahan (W) • Kebun buah tidak monokultur dan tersebar • Kurangnya kemampuan SDM dalam GAP, GMP • Kualitas buah relatif rendah • Dayasaing lokal dan internasional rendah
Strategi (W-O) • Clustering kebun buah • Penyediaan bibit unggul • Peningkatan kualitas buah melalu penerapan GAP, GMP
Ancaman (T) • Negara pengimpor mensyaratkan adanya GAP Pest List, Packing House yang telah diregistrasi • Produk buah impor berkualitas tinggi
P a g e | 119
Strategi (S-T) • Pencitraan produk buah eksotik khas Indonesia • Branding produk buah eksotik Indonesia • Pembangunan packing house • Penyuluhan dan pendampingan penerapan GAP
Strategi (W-T) • Sosialisasi SOP, keamanan produk, GAP dan GMP ke petani produsen • Penerapan SOP, kemanan pangan (HCCP, MLR) GAP, GMP • Dukungan kebijakan untuk menggunakan bahan baku buah lokal pagi industri • Gerakan cinta buah lokal
Lampiran 4.11. Analisis SWOT Produk Biofarmaka Faktor Internal
Kekuatan (S) • • Kesesuaian agroklimat sesuai • Penyerapan tenaga kerja baik • Ketersediaan lahan cukup • Konsumsi biofarmaka • dalam bentuk jamu, obat herbal dan fotofarmaka dan minuman herbal • meningkat terus
Faktor Eksternal
Kelamahan (W) Petani tidak melakukan pengolahan primer/penangana n pasca panen yang memadai Ketersediaan dan penggunaan benih unggul/sangat terbatas Usahatani biofarmaka terpencar.
Strategi (W-O) • Pengembangan dan penyediaan benih unggul • Pemberian insentif untuk pengembangan penanganan pasca panen/pengolaha n primer
Kesempatan (O) • Produksi dalam negeri belum mencukup kebutuhan sendiri • Pasar ekspor tinggi • Industri pengolahan biofarmaka sudah berkembang dengan baik
Strategi (S-O) • Peningkatan produksi biofarmaka dengan melakukan ekstensifikasi • Penguatan dan penumbuhkembang an industri pengolahan biofarmaka terutama yang skala kecil dan menengah
Ancaman (T) • Tidak ada jaminan harga yang pasti • Industri obatobatan kimia berkembang • Perhatian pemerintah kurang
Strategi (S-T) Strategi (W-T) • Pengembangan • Perbaikan rantai benih unggul sesuai pasok dari petani dengan kebutuhan ke industri industri pengolahan • Peningkatan kualitas biofarmaka produk biofarmaka • Kebijakan pendukung dan penguat industri biofarmaka
P a g e | 120
Lampiran 4.12. Analisis SWOT Produk Tanaman Hias Faktor Internal
Faktor Eskternal Peluang (O) • Pasar domestik masih terbuka luas • Peluang pasar internasional masih terbuka
Ancaman (T) • Negara pesaing mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam teknologi penanganan pasca panen tanaman hias
P a g e | 121
Kekuatan (S) • Potensi peningkatan produksi tanaman hias • Teknologi rekayasa bibit tanaman hias sudah dikuasai • Beragamnya jenis tanaman hias Indonesia • Berkembangnya sentra produksi • Pasar tanaman hias Indonesia sudah masuk ke pasar global cukup besar Strategi (S-O) • Pengembangan sentra produksi tanaman hias • Peningkatan promosi dan temu bisnis • Pengembangan pasar bunga lokal • Pengembangan gerbang ekspor
Kelemahan (W) • Sentra produksi tanaman hias masih relatif minim • Kurangnya kemampuan SDM dalam GAP dan GHP • Teknologi pasca panen tanaman hias masih minim • Adanya persaingan antar petani dan pelak usaha tanaman hias • Belum diterapkannya cold chain management dengan baik
Strategi (S-T) • Pencitraan tanaman hias eksotik khas Indonesia • Branding tanaman hias khas Indonesia
Strategi (W-T) • Sosialisasi SOP, GAP dan GHP ke petani dan pelaku uasaha • Penerapan SOP, GAP, GHP di tingkat petani dan pelaku usaha
Strategi (W-O) • Penyediaan benih bunga dan tanaman hias • Penyediaan fasilitas dan prasarana ekspor tanaman hias • Pengembangan packing house • Peningkatan kualitas tanaman hias melalui penerapan GAP, GHP • Penguatan Kelembagaan Petani
Lampiran 4.13. Analisis SWOT Produk Minyak Atsiri Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Konsumsi dunia terhadap bahan flavour dan fragrance yang meningkat (5 persen/tahun). • Kecenderungan penggunaan bahan alami • Tumbuhnya industri pangan, kosmetik yang menggunakan produk minyak atsiri • Kemampuan SDM dan IPTEK untuk menghasilkan produk turunan minyak atsiri
P a g e | 122
Kekuatan • Agroklimat sesuai • Potensi dan keragaman tanaman atsiri • Pemasok utama minyak atsiri dunia (nilam). • Industri sudah mampu memproduksi produk turunan minyak atsiri • SDM dan kemampuan IPTEK • Kesadaran stake holder untuk memajukan dan meningkatkan dayasaing IKM/ Produk minyak atsiri. • Dukungan Pemerintah Strategi (S-O) • Esktensifikasi dengan mempertimbangk an daya serap pasar • Penguatan riset dan pengembangan produk • Peningkatan peran dan pemanfaatan perguruan tinggi dan lembaga penelitian/ pengembangan untuk pengembangan dan diseminasi inovasi proses dan
Kelemahan • Budidaya sebagai usaha sampingan, tersebar dan skala usaha kecil. • Produk minyak atsiri masih bernilai tambah rendah . • Produksi yang belum standar • Sistem tataniaga yang kurang memberikan insentif bagi petani dan penyuling • Persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha • Terbatasnya akses sumber pembiayaan • Kelembagaan lemah Strategi (W-O) • Klasterisasi sentra produksi • Penguatan pilot project Cultiva di 5 lokasi dan replikasi • Pengembangan kemitraan poktan dengan industri hilir • Pengembangan skema pembiayaan yang bisa diakses oleh industri • Penerapan standar harga berdasarkan tabel mutu • Pembinaan melalui pendampingan teknologi oleh PT, Litbang, eksportir • Penguatan
produk atsiri. • Insentif untuk penelitian dan pengembangan produk minyak atsiri
poktan/gapoktan dan asosiasi penyuling
Strategi (W-T) Ancaman (T) Strategi (S-T) • Peningkatan • implementasi GAP • Globalisasi efisiensi dan GHPdan GMP perdagangan dunia, penyulingan dan • Bantuan peralatan serta isue-isue non tariff mutu minyak atsiri alat penyulingan barrier. lobi standard kepada • Negara pesaing • Penguatan poktan untuk pemasaran mampu memproduksi • Sosialisasi kondisi minyak atsiri, dengan ekspor dan peraturan yang produktivitas, efisiensi • Sinkronisasi berlaku pada bisnis produksi dan mutu program atsiri, baik di tingkat yang lebih baik. pemerintah antar nasional maupun instansi yang • Munculnya produk internasional berkaitan dengan substitusi sintetik • Pembentukan forum pengembangan • Program yang minyak atsiri komunikasi antara pengembangan IKM poktan, dinas Minyak atsiri yang pertanian, pelaku masih belum usaha terintegrasi
P a g e | 123
Lampiran 4.14. Analisis SWOT Susu Faktor Internal
Kekuatan (S) • Iklim mendukung • Lahan dan sumber pakan cukup • Teknologi pengolahan susu pasteurisasi telah dikuasai
Faktor Eskternal Peluang (O) • Kebutuhan susu tinggi • Program minum susu segar dari pemerintah • Pasar substitusi impor sebesar 1.85 juta ton/th
Strategi (S-O) • Penciptaan sentra sapi perah • Peningkatan program konsumsi susu segar • Pengembangan koperasi pengolah susu
Ancaman (T) • Kualitas susu impor jauh lebih bagus • Kebijakan keleluasaan impor susu • Industri pengolah lebih memilih susu impor
Strategi (W-T) • Kampanye minum susu segar
P a g e | 124
Kelemahan (W) • Bibit sapi berkualitas belum tersedia cukup • Kualitas susu rendah • Kemampuan modal petani terbatas, sehingga usaha ternak hanya sampingan • Kemampuan manajerial koperasi/Gapoktan belum bagus • Peternak belum semua terkonsentrasi pada wilayah tertentu Strategi (W-O) • Penyediaan bibit unggul yang mencukupi. • Peningkatan skala usaha peternak • Peningkatan kemampuan produksi dan pemasaran di koperasi Strategi (W-T) • Peningkatan mutu susu dari peternak
Lampiran 4.15. Analisis SWOT Cassava Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (O) • Indonesia masih impor tapioca dan beberapa produk turunan cassava • Permintaan gaplek dan tapioka besar • Permintaan produk turunan besar Ancaman (T) • Harga pokok produk negara lain lebih rendah • Penggunaan lahan untuk tanaman lain lebih menarik • Produk negara lain lebih unggul
P a g e | 125
Kekuatan (S) • Dapat tumbuh di lahan marjinal dan kering • Tanaman tradisi yang telah dikuasai petani • Mempunyai peran pangan dan bahan baku industri • Kesenjangan produktivitas masih besar Strategi (S-O) • Pengembangan pertanian cassava varitas unggul • Penguatan industri gaplek dan tapioca • Pengembangan industri hilir cassava • Pendirian Pusat Penelitian Terpadu Cassava Strategi (S-T) • Bantuan saprotan • Insentif bagi industri dalam negeri • Pengenaan tarif impor produk turunan cassava yang telah dihasilkan dalam negeri • Pengembangan standar mutu produk
Kelemahan (W) • Bukan sebagai komoditi utama • Produktivitas masih rendah • Varitas lokal • Perdagangan dalam bentuk segar • Industri pengolahan belum berkembang Strategi (W-O) • Pemberian insntif sarana produksi • Penanaman varitas unggul • Pengembangan industri hilir
Strategi (W-T) • Pengembangan pertanian cassava monokultur modern
Lampiran 4.16. Analisis SWOT Sagu Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) • Teknologi budi daya sagu tergolong mudah dan sederhana • Potensi produksi sekitar 200 kg pati/batang atau setara dengan 2025 ton per hektare • Nilai ekonomi budi daya sagu cukup tinggi • Potensi konversi menjadi energi (bioetanol) tinggi
P a g e | 126
Kekuatan (S) • Luas tanaman sagu sekitar 1 juta hektar • Produktivitas tinggi (25 ton pati kering/hatahun) • Dapat tumbuh di lahan marginal (tergenang, gambut dan rawa) • Industri pengolahan sagu sudah ada dengan merek produk yang sudah dikenal Strategi (S-O) • Pengembangan budidaya sagu secara luas • Pengembangan industri hilir pengolahan sagu • Pengembangan industri bioetanol berbasis sagu
Kelemahan (W) • Teknologi pemanfaatan masih sangat sederhana dan tradisional • Cara penebangan yang dilakukan mengancam kelestarian tanaman • Masa panen pertama mencapai 8 tahun • Rendemen pengolahan dan mutu rendah karena keterbatasan alat • Industri pengolahan masih terbatas • Industri pengolahan untuk pangan belum berkembang Strategi (W-O) • Perbaikan teknologi pengolahan pati sagu • Perbaikan cara pemanenan • Pengembangan industri kecil pengolahan sagu • Pengembangan bibit unggul berumur pendek • Pengembangan industri pangan (pokok) berbasis sagu
• Permintaan dari tepung sagu sebagai bahan baku untuk industri makanan meningkat • Pati sagu dapat diolah menjadi bahan pangan pokok Ancaman (T) • Kerusakan sagu
P a g e | 127
hutan
Strategi (S-T) • Pengembangan budidaya sagu berkelanjutan
Strategi (W-T) • Pengembangan sagu berwawasan lingkungan
Lampiran 4.17. Analisis SWOT Jeruk Faktor Internal
Kekuatan (S) • Area tanam di masyarakat • Teknologi rekayasa bibit unggul sudah dikuasai • Varietas unik Indonesia
Faktor Eksternal Peluang (O) • Pasar domestik masih terbuka luas • Berkembangnya industri berbahan baku buah
Strategi (S-O) • Kemitraan gapoktan dgn industri olahan buah • Mendorong gapoktan untuk memiliki usaha industri buah
Tantangan (T) • Produk jeruk impor berkualitas tinggi • Persepsi negative konsumen terhadap jeruk lokal
Strategi (S-T) • Pencitraan produk buah eksotik khas Indonesia • Pembangunan sorting, gradin and packing house • Gerakan cinta buah lokal
P a g e | 128
Kelemahan (W) • Kebun buah tidak monokultur dan tersebar • Kurangnya kemampuan SDM dalam GAP, GMP • Kualitas dan dayasaing buah relatif rendah Strategi (W-O) • Clustering kebun jeruk • Penyediaan bibit unggul • Peningkatan kualitas buah melalui penerapan GAP, GMP Strategi (W-T) • Peningkatan kemampuan petani dan Gapoktan • Penerapan SOP, GAP, GMP • Dukungan kebijakan untuk menggunakan bahan baku buah lokal pagi industri
Lampiran B
BLUE PRINT PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYASAING PRODUK PERTANIAN DENGAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI TUMBUHNYA INDUSTRI PERDESAAN ________________________________________________________
RINGKASAN EKSEKUTIF Latar Belakang 1.
Pertanian masih merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian telah berperan besar dalam pembentukan PDB Nasional hingga mencapai 13-14 %. Sektor agribisnis (pertanian serta industri dan jasa pertanian) menyumbangkan sekitar 45% dari total nilai tambah, menyerap 75% tenaga kerja, penyedia pangan, dan tempat bergantung sebagian besar penduduk perdesaan. Peran ini akan bertambah di masa yang akan datang dengan berkembangnya teknologi dan berkurangnya sumberdaya tak terbarukan, yakni pertanian menjadi tumpuan untuk penyediaan pangan yang makin beragam (food), pakan yang semakin bertambah (feed), dan energi alternatif (fuel).
2.
Keadaan pertanian saat ini masih belum mampu menopang semua peran tersebut dengan baik. Pendapatan petani sebagai pelaku terdepan masih sangat rendah karena sebagian besar usaha tani berskala kecil. Petani mempunyai banyak keterbatasan modal, teknologi sederhana, akses pembiayaan, dan gangguan iklim yang semakin tidak menentu. Akibatnya produktivitas masih relatif rendah, kualitas komoditi belum baik, dan harga pokok masih tinggi. Situasi ini menjadikan komoditas pertanian Indonesia kalah bersaing dengan komoditas dari negara lain.
P a g e | 129
3.
Pertanian terpusat pada kegiatan hulu dengan dayasaing komoditas relatif rendah. Keterbatasan skala teknis menghambat penerapan teknologi (khususnya cost reducing technology) menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal. Keterbatasan skala ekonomis menyebabkan pengelolaan bersifat subsisten yang berorientasi pada pemenuhuan kebutuhan lokal dan sesaat sehingga tidak bersaing. Hal inilah menjadi potret umum pertanian Indonesia yakni menghasilkan bahan baku dengan dayasaing rendah (mutu rendah dan biaya tinggi)...
4.
Tantangan ke depan yang harus dihadapi adalah meningkatkan dayasaing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan konsumen dan memenangi persaingan, baik pasar domestik, maupun pasar ekspor. Pengembangan dayasaing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan. Di samping itu, pengembangan komoditas dan produk baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi juga harus dirintis.
5.
Blue print ini berbasis komoditas yang meliputi pangan utama (beras, jagung, kedelai, daging sapi), andalan ekspor (sawit, karet, kakao dan daging ayam), emerging products yang meliputi buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang), biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri, dan substitusi impor (susu, tepung lokal dan jeruk).
Daya Saing Produk dan Nilai Tambah 6.
Dayasaing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu bergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku permintaan, dan kemampuan dasar industri. Dayasaing produk dicapai melalui konversi keunggulan komparatif menjadi kenggulan kompetitif dengan penerapan teknologi,
P a g e | 130
pengelolaan dan pengembangan pasar dari produk tersebut terhadap jenis produk yang sama. Banyak faktor mempengaruhi dayasaing produk (keunggulan sumberdaya, SDM, teknologi, karakteristik produk, infrastrktur). 7.
Nilai tambah dapat diartikan dari berbagai perspektif. Dari perspektif komoditas atau produk adalah nilai yang diberikan (attributed) kepada produk sebagai hasil dari proses tertentu (proses produksi, penyimpanan, pengangkutan). Oleh karena itu, nilai yang terbentuk tergantung pada banyaknya tahapan pengolahan yang dilakukan. Secara teoritis, semakin ke hilir penerapan proses akan semakin besar nilai tambah yang dibentuk.
8.
Peningkatan dayasaing dan nilai tambah melalui industri perdesaan harus melalui perumusan yang komprehensif yang melibatkan lintas sektoral yang mencakup hulu hilir sehingga program yang dikembangkan dapat saling menunjang satu sama lain. Dengan memperhatikan push and pull factors (faktor pendorong dan penarik) dirumuskan insentif yang dapat diberikan dalam aspek kebijakan dan operasional untuk menciptakan iklim tumbuhnya industri yang kondusif, modal, dukungan infrastruktur, penerapan teknologi, peningkatan SDM serta fasilitasi pemasaran produk.
9.
Strategi pengembangan industri perdesaan didasarkan pada hasil analisis SWOT. Berdasarkan strategi tersebut selanjutnya disusun strategi umum pengembangan produk yang dipilih. Peran dari masing-masing sektoral untuk masing-masing produk yang dikembangkan diidentifikasi melalui mapping program lintas sektoral yang ada di Departemen terkait. Selanjutnya strategi operasional pengembangan produk dirumuskan berdasarkan pada strategi masing-masing produk dan dijabarkan dalam rencana aksi yang disusun berdasarkan jangka panjang, menengah dan pendek selama lima tahun (2010-2014).
P a g e | 131
Strategi, Kebijakan, dan Program 10. Beradasarkan pada analisis SWOT komoditas dikembangkan strategi spesifik dalam memanfaatkan peluang dan kekutan serta mengatasi masalah dan ancaman. Dari strategi spesifik tersebut dikembangkan strategi pokok yang bersifat umum sebagai berikut: (i) perbaikan skala teknis dan ekonomis usaha tani, (ii) pengendalian konversi lahan subur, (iii) perbaikan teknologi budidaya dan penanganan pasca panen (perbaikan dayasaing, (iv) peningkatan produkstivitas dan produksi, (v) peningkatan kualitas penanganan pasca panen untuk perbaikan mutu dan pengurangan susut, (vi) pengembangan agroindustri (perolehan nilai tambah), (vii) penyediaan dana pengembangan pertanian, (viii) penguatan posisi tawar produk pertanian, (ix) penganekaragaman bahan pangan pokok dan gula, (x) pertanian adaptif dan berkelanjutan, (xi) penguatan kelembagaan (Poktan, Gapoktan dan Koptan), (xii) peningkatan kualitas SDM penyuluh, petani dan pelaku industri perdesaan, (xiii) pemberian insentif yang berorientasi penguatan dayasaing dan penumbuhan industri perdesaan, dan (xiv) percepatan pembangunan infrastruktur pendukung pertanian. 11. Pembangunan pertanian tidak dapat berdiri sendiri dan secara kuat terkait dengan kementerian dan instansi lainnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian sebagian besar ditentukan oleh kontribusi sektor lain. Diantara kebijakan eksternal tersebut adalah penataan lahan (redistribusi lahan), revisi kewenangan di bidang pembinaan agroindustri, skim kredit khusus untuk mendorong industri hilir peranian (bunga rendah), bank pertanian, subsidi output, kebijakan perbaikan infrastruktur dan pemberian insentif transportasi produk pertanian, peningkatan pajak impor untuk produk hilir yang sudah mampu
P a g e | 132
diproduksi di dalam negeri, peningkatan pajak ekspor untuk produk primer perkebunan (khususnya biji kakao), penghilangan pungutan retribusi produk pertanian, stabilisasi harga, dan kebijakan pengutamaan penggunaan bahan baku lokal untuk pemenuhan kebutuhan agroindustri dalam negeri (khususnya susu, tepung, jagung, kakao). 12. Kebijakan teknis internal yang diperlukan dalam peningkatan daya saing dan nilai tambah adalah bantuan sarana produksi, bantuan mesin dan peralaran pasca panen dan pengolahan, pembangunan infrastruktur pertanian (khususnya jaringan irigasi tersier, jalan usahatani, embung), pelatihan dan pendampingan, penerapan system jaminan mutu melalui instrumen SPS dan TBT, dan penguatan promosi (pameran, iklan layanan masyarakat). 13. Selain kordinasi dan keterpaduan antar Instansi Pemerintah (Government), keberhasilan program juga ditentukan oleh peran aktif dunia usaha (Business) sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi, dan akademisi (Academic) sebagai penghasil teknologi termasuk pemikiran ilmiah pembentuk dayasaing. Peran aktif harus terencana, terpadu dan terprogram sehingga terjadi keserasian yang saling terkait dan menguatkan. Program Aksi 14. Program aksi peningkatan nilai tambah dan daya saing melalui penumbuhan agroindustri perdesaan disusun berdasarkan komoditas strategisn yang dianalisis berdasar kondisi terkini dan sasaran minimum lima tahun yang akan datang. Dari analisis tersebut disusun strategi (inti dan penguat) yang dijabarkan dalam rencana aksi yang akan dilaksanakan setiap tahun oleh semua pemangku kepentingan.
P a g e | 133
15. Komoditas yang dipilih sebagai penghela tumbuhnya industri perdesaan disesuaikan dengan komoditias prioritas yang dikelompokkan sebagai komoditas pangan utama yang meliputi beras, jagung, kedelai, daging sapi. Komoditas andalan ekspor yang meliputi sawit, karet, kakao dan daging ayam. Kelompok emerging products yang mempunyai peluang pasar yang luas baik internasional maupun domestik seperti buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang), produk biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri Kelompok produk yang diarahkan untuk substitusi impor seperti susu, tepung lokal (cassava dan sagu) serta jeruk. Pemilihan jenis komoditas ini diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi yang ada, mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing dan nilai tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect yang luas terhadap peningkatan industri perdesaan. 16. Outcome masing-masing rencana aksi pengembangan produk adalah sebagai berikut: a. Beras: Swasembada berkelanjutan melalui ekstensifikasi terbatas (rice estate) penurunan susut pasca panen dan pengolahan, penganekaragaman bahan pangan pokok dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolah tepung dan turunannya serta hasil samping. Juga penumbuhan beras-beras berkualitas tinggi dan specialty. b. Jagung: Swasembada berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pakan dan pangan dengan penurunan susut pasca panen dan penyediaan pergudangan, serta penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan pakan dan pangan. c. Kedelai: Menuju swasembada untuk mencukupi kebutuhan kalori protein melalui peningkatan produktifitas dan penguatan industri pedesaan pengolahan pangan berbasis kedelai.
P a g e | 134
d. Gula: Swasembada gula melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi, pengembangan bibit unggul, revitalisasi pabrik dan pengembangan gula non-tebu e. Sapi: Swasembada daging sapi untuk peningkatan kualitas asupan gizi melalui pengembangan budidaya intensif berkelanjutan, pengembangan mutu pakan, pengembangan peternakan terintegrasi dengan tanaman, penguatan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengembangan sistem pasokan rantai dingin. f.
Sawit: Meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor produk berbasis sawit melalui peningkatan peran perkebunan sawit rakyat, infrastruktur transportasi dan pelabuhan, dan pengembangan industri hilir turunan minyak sawit (termasuk bioenergy) untuk meningkatan nisbah ekspor produk olahan.
g. Karet: Peningkatan mutu melalui penerapan SNI wajib, GAP dan GMP yang didukung oleh perbaikan produktivitas kebun dan pengembangan industri hilir berbasis karet (khususnya sheet) h. Kakao: Memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri dan meningkatkan nilai ekspor kakao melalui pengembangan kakao fermetasi dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan kakao (lemak dan bubuk kakao). i.
Kopi: Meningkatkan ekspor melalui penerapan system jaminan mutu dan sertifikasi kopi specialty (khususnya organic, geographical indicative), penerapan registrasi bagi para eksportir.
j.
Ayam Pedaging: Memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk meningkatkan asupan gizi dan meningkatkan ekspor melalui pengembangan usaha ternak yang intensif berkelanjutan, pengembangan pakan berbasis sumberdaya lokal, dan penerapan system jaminan mutu pada industri pengolahan daging ayam pedesaan, pengembangan sistem pasokan rantai dingin.
P a g e | 135
k. Buah Tropika (khususnya jeruk, pisang, manggis, salak, mangga): Meningkatkan pangsa pasar (dalam negeri dan luar negeri) buah tropika melalui penerapan system jaminan mutu pada kegiatan on farm dan off farm, pengembangan fasilitas grading and packing, serta penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan buah, pengembangan sistem pasokan rantai dingin, serta promosi kecintaan buah nusantara. l.
Biofarmaka: Meningkatkan penyediaan industri farmasi dan kosmetik dalam negeri dan meningkatkan pangsa pasar ekspor melalui penerapan system jaminan mutu kegiatan on farm dan off farm, penguatan industri pedesaan (poktan) untuk melakukan pengolahan sampai simplisia.
m. Tanaman Hias: Meningkatkan ekspor tanaman hias melalui pengembangan sentra produksi dengan pola kluster dan penerapan teknologi pasca panen (rantai dingin) untuk mempertahankan tingkat kesegaran tanaman hias. n. Minyak Atsiri: Meningkatkan ekspor melalui penerapan system jaminan mutu di on farm dan off farm, penguatan industri pedesaan untuk melakukan proses penyulingan dengan peralatan standar. o. Cassava dan Sagu: Memenuhi kebutuhan tepung dalam negeri untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan melalui pengembangan industri pengolahan tepung (cassava termodifikasi), pemberian insentif investasi agroindustrui tepung di perdesaan, dan kebijakan penyerapan tepung lokal untuk industri makanan. p. Susu: Memenuhi kebutuhan susu dalam negeri untuk mendukung peningkatan gizi masyarakat melalui pengembangan industri pengolahan susu perdesaan berbasis kluster, pemberian insentif investasi agroindustrui susu di perdesaan, dan kebijakan penyerapan susu lokal untuk industri pengolahan susu.
P a g e | 136