Vol. I/Edisi 9/2010
D E S A N TA R A R E P O R T
DEPORT
09 on minority issues
EDITORIAL Akar Kekerasan
Ketika Islam terus digambarkan dengan wajah amarah, Geert Wilders (aktivis Belanda) sama naifnya ketika memprovokasi kebencian terhadap Islam dengan menunjukkan ayat-ayat suci dalam Al Quran yang dituduh memicu kekerasan. Kebencian dibalas dengan kebencian. Dan kebencian, kerap mengundang kekerasan.
megapolitan.kompas.com
Wajah kehidupan keagamaan di Indonesia tercoreng oleh aksi kekerasan. September 2010, terjadi penusukan terhadap salah satu pengurus gereja HKBP di Bekasi Jawa Barat. Kenapa persoalan lahan ibadah harus disengketakan seperti perebutan lahan parkir para preman? Kenapa keteduhan orang-orang beragama, khusyuk saat beribadah berubah menjadi amarah ketika dihadapkan dengan sengketa rumah ibadah, klaim tafsir kebenaran dengan meniadakan kelompok lain yang beda? Kenapa tidak memilih dialog?
Menurut Erich From, kekerasan dan brutalisme di abad modern ini bukan karena aspek bawaan, tetapi diciptakan oleh kondisi sosial. Misalnya, proses industrialisasi menciptakan keterasingan. Keterasingan lalu menciptakan pemujaan yang berlebihan terhadap idola (idol worship). Pada saat seseorang mengidolakan sesuatu, ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.
Masjid Ahmadiyah Cisalada
Di sini, nilai-nilai dan pengetahuan seseorang tertanam melalui brainwashing. Menurut Erich Fromm, dunia di abad ini, dicirikan oleh brainwashing di berbagai bidang, dari cara kita berkonsumsi terhadap barang-barang, makanan, cara kita menanamkan nilai terhadap anak didik kita, dan cara kita beragama. Karena cara seperti ini, abad modern justru melipatgandakan kekerasan, pembantaian dan tindakan sadis lainnya – dibandingkan dengan peradaban sebelumnya.
S
Kukira, hanya melalui dialog, dan terbuka dengan kritik peradaban kita akan jauh lebih ramah.
Dibakar
Oleh: Ingwuri Handayani
panduk warna putih dengan tulisan pilox hitam itu tertulis, Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Spanduk yang dipasang di depan sebuah rumah itu tak sekadar memprovokasi, tetapi juga menjadi petunjuk, bahwa 500 meter sebelah kanan terdapat jemaat Ahmadiyah Cisalada, sebagaimana arah panah yang dibuat di sebelah bawah. Tulisan provokatif juga bisa dilihat di tempat lain, 10 meter dari rumah Lurah Ciampea Udik, bertengger banner warna hijau persis di pintu masuk Cisalada. Bunyinya: Ahmadiyah Menodai Islam.”team 40” menghimbau masyarakat untuk tidak bertindak anarkis. Di beberapa tempat di sekitar desa itu juga muncul spanduk yang
sepertinya melarang kekerasan. Tetapi, larangan kekerasan itu malah menjadi seperti himbaun. Maka, apa yang dikhawatirkan oleh Firdaus Mubarik, salah seorang Ahmadi yang datang dua bulan sebelum peristiwa pembakaran masjid jemaat Ahmadiyah Cisalada itu pun tinggal menunggu waktu. Firdaus sendiri, di jejaring sosial miliknya mengatakan bahwa seharusnya pemerintah melihat fenomena bakal terjadinya kekerasan mulai dari hal-hal kecil. Tetapi, pemerintah abai saja, sehingga terjadilah peristiwa pembakaran masjid 1 Oktober 2010. Bahkan, banner yang ia potret sejak 15 Juli 2010 itu baru dicopot setelah pembakaran terjadi, demikian tulis Firdaus.
Desantara Report
DEPORT
Desantara Report
1
Testimony
5
Local Community
6
Profile
7
Vox Vocis
8
Multicultural Women
9
Citizenship
10
Representation
11
Desantara’s Activities
12
S U S U N A N
R E D A K S I
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: M. Nurkhoiron Sekretaris: Noviyana Keuangan: Darningsih Redaktur Pelaksana: Ingwuri H. Tata Letak/Desain: M. Isnaini “Amax” Editor Bhs. Inggris: Becca Taufiq Staf Redaksi: Moh. Nurul Huda Distributor: Noviyana Dokumentasi: Rustam Kontributor: Jawa Barat: Abu Bakar, Isa Nur Zaman, Diphie. Jawa Tengah: Moh. Sobirin. Jawa Timur: Mashuri, Oryza Ardyansyah W., Ishomuddin, A’ak Abdullah Al-Kudus, Ahmad Rifa’i. Bali: Ni Komang Erviani. NTB: Muhammad Irham. Sulsel: Mubarak Idrus, Hasmi Baharuddin. Sulteng: Ewin Laudjeng. Sulbar: Tamsil Kanang. Kaltim: Asman Azis, Abdullah Naim. Kalbar: Chatarina P. Istiyani. Sumbar: Ka’bati. Sumut: Farid Aulia. Aceh: Raihana. Alamat Redaksi: DESANTARA Foundation Komplek Depok Lama Alam Permai Blok K3, Depok 16431 Website: www.desantara.org Email Redaksi:
[email protected],
[email protected] (DEPORT) Tlp: +62 21 77201121 Fax: +62 21 77210247
TAUFIK MUBAROK
INSIDE THIS ISSUE:
Rentetan Peristiwa Apa yang terjadi di Cisalada memang tak tiba-tiba. Ada rentetan yang berujung pada penghangusan bangunan dan masjid milik mereka. Jauh sebelum peristiwa 1 Oktober itu, seperti yang dicatat oleh VIVAnews, pada 2007, ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tingkat Kec. Ciampea yang ditandatangani Camat, MUI, KUA, dan lainnya yang isinya menyatakan tidak boleh ada aktifitas jemaah Ahmadiyah. Selain itu, pondasi bangunan milik Ahmadi juga dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja setempat. Sejak penandatanganan SKB itu, suasana di Cisalada menjadi acap tak tenang. Setiap ada peristiwa, seperti saat pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi, di April 2008, banyak yang was-was. Ratusan polisi pun ditempatkan di kampung ini. Senin, 12 Juli 2010, ribuan warga mendatangi jemaat Ahmadiyah Cisalada dan menolak pembangunan sejumlah bangunan milik mereka. Warga meminta dilakukan pembongkaran terhadap rumah ibadah, sekolah, dan pondasi bangunan Masjid jemaat Ahmadiyah. Di bulan berikutnya, 9 Agustus 2010, malah terjadi insiden pelemparan batu kepada salah seorang anak penganut Ahmadiyah.
Puncak dari situasi itu meledak pada Jumat 1 Oktober 2010. Sejak pukul 18.00, Jemaah Ahmadiyah mendapat informasi bahwa pemukiman mereka akan diserang massa. Mereka pun berkumpul di dalam masjid membahas isu ini. Sekitar Pukul 19.15, selepas Isya, datang sekitar 25 orang, yang melempari rumah dan masjid jemaah Ahmadiyah, sambil berteriak “Allahu Akbar”. Mereka berusaha memprovokasi jemaah Ahmadiyah, namun warga Ahmadiyah memilih mengalah dan berkumpul di rumah Ketua RW. 45 menit kemudian, datang massa gelombang kedua dengan jumlah yang lebih banyak. Mereka langsung membakar rumah, masjid, mobil dan sepeda motor milik warga Ahmadiyah. Aksi perusakan yang berlangsung sekitar 40 menit itu selain menghanguskan masjid, juga menghanguskan dua rumah, dua rumah lainnya rusak berat, serta sekitar 15 rumah lain ikut rusak. kerusakan lain, adalah satu unit mobil dan beberapa sepeda motor yang diambil paksa dari teras rumah warga dan dibakar di jalan. Saat kekerasan terjadi, aparat tak bisa masuk karena terhadang massa, setelah aparat menerobos masuk, massa baru bisa digiring keluar.[]
Desantara Report
DEPORT
M
inggu pagi, 12 September 2010, rombongan Jemaat HKBP berjalan dari Perumahan Puyuh Raya menuju lahan kosong Ciketing Bekasi untuk melakukan kebaktian. Tak lama kemudian, sekitar pukul 08.40, ada empat orang naik sepeda motor menghampiri jemaat. Salah satu dari mereka, tiba-tiba menusuk penatua Hasian Lumban Toruan Sihombing, pengurus inti gereja HKBP Pondok Timur Indah.
Penusukan dan pemukulan itu pun mendapat kecaman dari banyak pihak termasuk dari pimpinan dan praeses HKBP. Tanggal 15 September 2010, para pimpinan ini mengeluarkan pernyataan sikap mengenai hambatan beribadah dan tindakan kekerasan terhadap warga jemaat HKBP. Dalam pernyataanya, para pimpinan HKBP dan praeses yang memimpin 26 Distrik HKBP di seluruh dunia menyatakan keprihatinan yang mendalam atas insiden penyerangan dan aksi kekerasan terhadap warga jemaat HKBP Pondok Timur Indah. “Kami sangat terkejut peristiwa itu terjadi justru pada saat warga jemaat hendak beribadah.” Selain itu, mereka juga menyatakan keterkejutannya karena Pendeta Luspida dianiaya justru saat hendak membawa Sintua Hasian ke rumah sakit. “Apapun motif di balik penyerangan itu, kami sepakat bahwa, kekerasan semacam itu adalah tindak kejahatan yang disengaja,” demikian bunyi pernyataan itu. Di point lainnya, para pimpinan HKBP dan praeses juga menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kelompok yang menggunakan motor itu adalah lanjutan dari aksi kekerasan kelompok tertentu yang tidak menghendaki warga jemaat HKBP mendirikan tempat ibadah di Ciketing, Bekasi. Mulanya, bertepatan dengan tanggal 1 Maret 2010, Pemerintah Kota Bekasi menyegel rumah ibadah di Perumahan Puyuh Raya karena peruntukannya sebagai rumah tinggal, bukan tempat ibadah. Pada 2 Juli 2010, Segel yang kedua dilakukan
Penusukan dan Pemukulan
FIRDAUS MUBARIK
Tak berhenti di situ, tak berselang lama, dengan balok kayu, mereka memukuli Pendeta Luspida. Akibatnya, pendeta pun mengalami luka pada bagian belakang kepala, punggung, dan kening.
Jemaat HKBP Bekasi Pemerintah Kota Bekasi karena jemaat HKBP masih berkegiatan di rumah tersebut meski sudah disegel. Lalu, 11 Juli 2010, Jemaat HKBP Ciketing Bekasi melakukan kebaktian di lahan kosong di Ciketing Asem, Mustika Jaya, Bekasi. Lahan kosong ini milik salah seorang jemaat. Jarak dari rumah di Perumahan Puyuh Raya ke lahan kosong sekitar 3 kilometer. Mereka berturut-turut melakukan ibadah di tempat tersebut setiap minggunya. Pada tanggal 8 Agustus 2010, sekitar seribu orang dari Forum Umat Islam (FUI) memprotes jemaat HKBP. Akibatnya, terjadi saling dorong antarkeduanya. Pendeta Luspida kemudian melaporkan kasus penyerangan ini ke Mabes Polri. Kasus itu kemudian ditangani Polda Metro Jaya. Hal ini yang juga disoroti oleh para pemimpin HKBP sehingga mereka juga memberikan pernyataan, “Sejak awal tahun ini ketegangan terjadi hampir tiap Minggu. Bukan sekali ini saja, warga jemaat di sana menjadi korban tindakan main hakim sendiri oleh kelompok penyerang. Satu hal yang sangat mengherankan bagi kami adalah bahwa aksi-aksi kekerasan itu terjadi di depan mata pihak kepolisian,” Pimpinan HKBP juga tak dapat menerima sikap dari kepolisian yang acap tak berdaya setiap kali mereka beribadah diganggu.
“Seluruh kejadian tragis yang menimpa warga jemaat HKBP Pondok Timur Indah terjadi akibat pihak kepolisian tidak bertindak tegas menghalau kelompok penyerang. Kami sama sekali tidak mengerti dan bertanya-tanya, apakah pihak kepolisian tengah menunggu hingga warga jemaat HKBP meninggal akibat ulah kelompok penyerang?” demikian pernyataan dari pimpinan HKBP Meski begitu, enam hari setelah penusukan, dicapai kesepakatan antara Pengurus jemaat HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Mustika Jaya dengan pemerintah kota Bekasi. “Sabtu malam (18/9) ada pertemuan dengan Ephorus pimpinan tertinggi HKBP, dan setuju dengan opsi ini, “jelas Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhamad setelah rapat dengar pendapat di kantor Dewan Perwakilah Rakyat Daerah (DPRD) kota Bekasi, Senin (20/9). Bahkan di hari Minggu, tanggal 26 September 2010, Sekitar 200 jemaat HKBP Pondok Timur Indah, memulai kebaktian di gedung bekas Organisasi Pemenangan Pemilu (OPP) di Jalan Chairil Anwar, Bekasi Timur. Para jemaat datang ke lokasi kebaktian diangkut menggunakan dua bus milik pemerintah daerah. “Kami sukuri dulu yang bisa kami pakai, mungkin ini yang terbaik,” kata pendeta Luspida, kepada wartawan sebelum memulai kebaktian.[]
Vol. I/Edisi 9/2010
3
Desantara Report
DEPORT
SUSAHNYA BERIBADAH SECARA NYAMAN Oleh: Marzuki Rais
H
ampir setengah tahun lamanya, kerukunan umat beragama dan kenyamanan menjalankan ibadah dirasakan oleh umat beragama di Cirebon. Tetapi, kenyamanan itu terganggu akibat ulah beberapa oknum yang mengatasnamakan umat Islam. Minggu pagi (13/06/2010), mereka mendatangi dua tempat ibadah umat Kristiani yang ada di Kota Cirebon dan meminta agar kebaktian yang sedang berlangsung dihentikan dan dibubarkan. Seperti biasanya, setiap Minggu pagi, Jema’at Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pamitran, mengadakan kebaktian. Setelah kebaktian berlangsung sekitar 20 menit, tiba-tiba datang sekitar delapan orang dengan mengendarai sepeda motor, dan kemudian menerobos masuk ke ruang kebaktian. Mereka kelompok yang menggunakan atribut GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat), FPI dan FUI ini itu kemudian mengambil gambar jema’at dan pendeta yang sedang melakukan kebaktian di ruangan tersebut. Mereka juga membuat tuntutan, agar aktivitas kebaktian dihentikan karena tidak memiliki izin dari Departemen Agama. Mereka juga mengancam jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka akan datang dengan massa yang lebih besar. Di samping itu, mereka juga mengancam akan melakukan hal serupa terhadap 17 gereja lainnya, yang ada di Kota Cirebon, yang menurut mereka tak memiliki izin. Setelah itu, mereka mendatangi GKPB Fajar Keagungan yang berada di daerah Parujakan Kota Cirebon. Seperti di GKI Pamitran, di tempat ini, mereka juga berlaku sewenang-wenang, menanyakan surat-surat kepada Pdt. Wiem Brataatmaja dan meminta agar kegiatan kebaktian dihentikan. Namun setelah surat-surat perizinan dan lain sebagainya disodorkan,
4
Vol. I/Edisi 9/2010
mereka malah menanyakan hal-hal lainnya di antaranya adalah izin beribadah dari Departemen Agama. Sebelum pergi, mereka memberi batas waktu dua minggu, agar gereja tersebut mengurus surat izin beribadah atau gereja tersebut ditutup.
dan memang sudah di duga sebelumnya, elemen masyarakat ini kecewa dan pesimis dengan sikap dan tindakan kepolisian dalam memberikan pengamanan dan perlindungan kepada kelompok minoritas saat melakukan ibadah.
Mendengar kejadian ini, elemen masyarakat Cirebon yang peduli dan mengusung nilai-nilai keadilan, non diskriminasi, pengahargaan terhadap HAM, toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
Seperti yang dialami oleh pengurus GKI Pamitran, sampai saat ini mereka memang tidak memiliki izin gereja. Yang mereka miliki adalah izin Kapel, sebuah tempat ibadah yang dalam tradisi muslim serupa dengan musholla, tajug atau surau. Hal ini terjadi karena mereka kesulitan untuk mendapatkan izin dan persetujuan dari masyarakat sekitar tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
Mereka memberi batas waktu dua minggu, agar gereja tersebut mengurus surat izin beribadah atau gereja tersebut ditutup.
dalam pengamalan ajaran agamanya, mendatangi Mapolresta Cirebon. Di samping menyampaikan kejadian tersebut, mereka juga meminta agar Kepolisian Kota Cirebon, memberikan perlindungan dan pengamanan kepada setiap warga negaranya termasuk komunitas Kristiani yang mendapat ancaman atas kebebasan menjalankan ibadah oleh kelompok tertentu. Atas permintaan ini, Kapolresta Cirebon menyampaikan bahwa, pihak kepolisian hanya akan melindungi Gereja yang memiliki izin. Mendengar pernyataan ini,
Pengurus GKI Pamitran, pada awalnya mendapat tanda tangan persetujuan dari masyarakat sekitar, bahkan jumlahnya lebih dari 60 orang. Namun setelah beberapa hari kemudian, muncul tandatangan yang serupa dengan tujuan sebaliknya, yaitu menolak pendirian gereja di tempat tersebut. Setelah ditelusuri dan dari pengakuan beberapa warga, ternyata mereka mendapat intimidasi dan ancaman dari kelompok tertentu, jika menyetujui pendirian gereja di lingkungan mereka. Di sinilah tingkat kesulitan itu muncul. Karena masyarakat, ternyata juga mendapat tekanan dari pihak lain, sehingga sampai kapanpun pendirian tempat ibadah tersebut tidak akan bisa terlaksana. Bahkan yang lebih parah, menurut pengakuan pengurus GKI, mereka juga pernah ditipu oleh kelompok tertentu dan perorangan yang katanya sanggup mengurus surat perizinan pendirian gereja dengan persyaratan sekian rupiah. Namun setelah uang itu diberikan, surat izin yang dijanjikan tidak pernah ada. Sehingga sampai saat ini, dalam melaksanakan kebaktian mereka hanya berpegang pada izin kapel.[]
Testimony
DEPORT
P
Dalam suratnya, pemerintah Kabupaten Bogor menulis, ”Karena bangunan Gereja Kristen Indonesia tersebut telah memenuhi kewajibannya dengan mengantongi IMB Nomor 645.8-372 Tahun 2006 dan telah Berkekuatan Hukum Tetap, sesuai putusan pengadilan tata usaha negara Bandung nomor 41/G/2008/PTUN-BDG perihal Pembatalan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP tanggal 14 Februari 2008 tentang Pembekuan Izin.” Tetapi, pembukaan segel itu tak sampai sehari semalam karena tanggal 28 Agustus gereja kembali disegel. Pada tanggal 29 Agustus 2010, Majelis Gereja Kristen Indonesia Bogor yang diketuai Pdt. Ujang Tanusaputra dan Pdt. Esakatri Parahita sebagai sekretaris umum mengeluarkan pernyataan sikap atas kebijakan tak berdasar itu. Apalagi sejak awal gereja sudah mengikuti prosedur pendirian rumah ibadah dan sudah memiliki izin mendirikan rumah ibadah secara resmi.
reformata.com
Sebagaimana termuat dalam pernyataan yang kami keluarkan kemarin, Sabtu 27 Agustus 2010, setelah peristiwa pembukaan segel gereja yang dilakukan secara resmi oleh Pemerintah Kota Bogor melalui SatPol PP Kota Bogor, ada sekelompok kecil
news.yahoo.com
emerintah Kotamadya Bogor, pada Jumat, 27 Agustus 2010, secara resmi membuka gembok dan segel di gedung gereja GKI Bakal Pos Taman Yasmin Bogor yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor. Tak hanya itu, pemerintah Bogor juga memberikan surat sebagai bukti formalitas eksekusi dengan penyerahan berita acara pembukaan segel bangunan Nomor 645.8/27-Sat.Pol.PP./VIII/2010 yang memuat alasan pembukaan segel.
Kemerdekaan Beribadah Kami Hanya 24 Jam kelompok liar yang menyegel bangunan gereja secara liar pula. Atas peristiwa penyegelan ini, gereja mengambil langkah memotong sendiri gembok dan rantai liar yang sempat mengunci gerbang gereja dan menurunkan spanduk penyegelan liar tersebut. Namun, ternyata, alih-alih pemerintah Kota Bogor menegakkan hukum dan ketertiban serta menjamin hak beribadah bagi warga kotanya, kami justru menemukan kenyataan bahwa bangunan gereja kami kembali disegel oleh Pemerintah Kota Bogor. Beruntunnya peristiwa-peristiwa buka-tutup segel ini dalam kurun waktu sekitar 1x24 Jam membawa kami pada pertanyaan: ”Apakah Pemerintah Kota Bogor ada di bawah kendali kelompok-kelompok liar intoleran yang mengatasnamakan agama sehingga tunduk pada kehendak mereka?” Jika benar, sungguh hal ini adalah kondisi bernegara yang sangat mengkhawatirkan sebab ini berarti negara ini, dan pemerintahan di Kota Bogor yang menjadi bagian didalamnya, tidak lagi
dijalankan berdasarkan hukum, dan tidak lagi berdasarkan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beribadah, namun didasarkan pada hukum jalanan dan liar, berdasarkan tekanan kelompok-kelompok liar intoleran yang tidak menghormati hukum, dan konstitusi negara. Menyadari hak kami selaku warga negara yang sesuai dengan konstitusi negara berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang kami miliki di rumah ibadah kami sendiri, maka kami menjadwalkan akan tetap mengadakan ibadah Minggu dua mingguan seperti yang selama ini kami lakukan. Kami berharap Pemerintah Kota Bogor dan seluruh aparat yang terkait dapat terus memastikan tegaknya UUD 1945, Pancasila dan Semboyan Nasional Bhinneka Tunggal Ika di wilayah Kota Bogor bagi seluruh warga Kota Bogor. Semoga kerukunan, penghargaan antar umat beragama dan perlindungan terhadap semua pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadahnya terus ada dan tumbuh di Kota Bogor dan di seluruh bagian tanah air kita Indonesia.[] Vol. I/Edisi 9/2010
5
Local Community
DEPORT adat Tunjung Benuaq di Putak, sehingga ia meminta perusahaan tambang agar warga diterima bekerja di perusahaan di sekitar desa mereka. padahal, karena tambang ini pula, yang membuat pola pertanian berladang yang dikenal dengan ladang rotasi menemui banyak masalah. salah satunya, lingkaran rotasi ladang warga, kini terpotong oleh areal tambang dan jalan tambang.
Mereka yang Terjepit Tambang Oleh Abdullah Naim
“
Sebenarnya, meski berkesempatan kerja di tambang, tapi sakit hati juga melihat sungai keruh dan dangkal. Saya masih punya hati kalau ada tambang yang mendekat dan merusak pemukiman, saya yang pertama akan melawan,” kata Sapat, salah seorang warga lembah Putak, desa Loa Duri Ilir Kecamatan Loa Janan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Denyut warga Dayak Tunjung Benuaq di Putak kini memang tengah terbelah. Mereka, terutama yang muda, lebih banyak bekerja ditambang dibanding berladang. Menurut Epensius, salah seorang warga Tunjung, sekitar 60 persen warga laki-laki kini bekerja di tambang.
Di sebelah timur, ada perusahaan Surya Teknik Anugerah (STA). Beberapa bulan yang lalu, di bukit pemukiman, juga baru saja di eksplorasi atau seismik BP Migas. “Kampung kami ini sudah dikelilingi tambang. Di mana-mana ada lubang dan jalan tambang, akibatnya ya repot juga. Misalnya sungai kecil di belakang rumah kami ini, dulu sebelum tambang kami bisa berenang dan sumber air minum. Begitu juga kalau banjir terdapat air yang berlumpur memasuki pemukiman,”ujar mama Caroline, salah seorang warga.
Putak yang dihuni oleh 500-an orang itu memang dikepung aktivitas tambang. Pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara, mengobral izin usaha pertambangan batubara di daerah itu hingga mencapai 749 izin KP dengan mengkapling areal 1,2 juta hektar.
Kerisauan yang sama juga datang dari perempuan Tunjung, namanya Ibu Nuriati yang menyatakan ketaksukaannya akan perusahaan-perusahaan itu. “Saya malah nggak suka banyak begini tambang. Soalnya merusak tanah kita. Padahal lahan sangat kami butuhkan seperti berladang dan menanam karet untuk anak-anak saya. Karena kalau semuanya hilang kami tak bisa berbuat apa-apa lagi,”kata Nuriati.
Lihat saja, berbagai perusahaan yang ada di sekitar Putak. Di sisi barat, ada perusahaan tambang Anugerah Bara Kaltim (ABK). Perusahaan ini juga bersebelahan dengan PT. Multi Harapan Utama (PT MHU) yang sudah siap mengeksploitasi kawasan di situ.
Sayangnya, suara Nuriati seperti buih di laut. Meski ia tak suka, banyak warga memilih menjadi pekerja tambang, termasuk suaminya. Keterpurukan membuat mereka tak punya pilihan lain. Kondisi yang sangat disadari oleh kepala
6
Vol. I/Edisi 9/2010
Kepemilikan tanah individu juga semakin menguat setelah kehadiran tambang. Maka, kelompok tonau (kelompok bekerja secara bersama-sama secara bergiliran dari satu ladang ke ladang berikutnya) atau rombongan nebas (membuka ladang) yang biasa berlangsung pada Juli-Agustus semakin berkurang. Kondisi itulah yang disoroti oleh Wati. Ia menyayangkan berkurangnya perhatian anak-anak muda soal pertanian karena adanya tambang. Padahal, menurutnya, tanah adalah hal yang utama bagi orang Dayak Tunjung. Seharusnya, tambang tak membuat mereka lalai terhadap tradisi yang selama ini mereka miliki. “Saya sendiri walaupun nanti bekerja di mana saja, saya akan tetap memastikan ada kebun dan lahan pertanian, karena saya sadar betul kalau tradisi kami berasal dari bertani dan berkebun. Tak baiklah kalau melupakan itu,” kata alumnus Fakultas ekonomi di Universitas Kutai Kartangera ini. Tak hanya Wati, Elisabet, saat ditemui kontributor Deport juga melontarkan hal yang sama. Siswa kelas 3 SMU Loa Janan ini mengatakan bahwa akan bersetia pada tradisi lama dan memelihara tanah orang tua meski ia akan kuliah dan bekerja. Pardi, kepala adat setempat di kesempatakan berbeda juga mengatakan, “Pada saat perusahaan tambang masih beroperasi masyarakat masih bisalah bertahan, tetapi jika sudah tutup bisa kembali ke nol.” Karena tak bakal selamanya itulah ia menyarankan kepada masyarakat untuk menyiapkan kehidupan pasca penambangan agar. Ia juga mengingatkan pemerintah agar tak sekadar mengeluarkan izin tambang, tetapi juga membuat pola untuk memastikan supaya ekonomi warga bisa berlanjut.
Profile
DEPORT
Sepertinya Mereka
Melupakan Kami Profil Matius Nempuk
Bagaimana kegiatan perladangan di sini?
Usianya sudah lebih dari separuh abad. Tetapi, ia masih sanggup untuk menyiapkan ladang tiap musim tanam tiba. Berkulit putih, berraut tenang dan murah senyum. Ia juga salah seorang pelopor di Tunjung Benuaq di Putak dalam pertanian. Hingga kini, ia juga masih memelihara tradisi tonao (bekerja bergilir). Ia juga menyoroti tentang nasib orang Dayak yang semakin terjepit oleh tambang dan Hutan Tanaman Indutri. Berikut hasil wawancara dengan pak Matius Nempuk di rumahnya beberapa waktu lalu
Kami orang Dayak ini, mengenal tradisi berladang berputar, bukan berpindah, semacam ada rotasi. Di sekitar ini, sebetulnya kami punya siklus rotasi itu, namun kehadiran tambang, memotong rotasi ini. Ya akhirnya sekarang berubah tidak berputar lagi, sudah melompatlompat.
Bisa cerita soal kondisi ladangnya sekarang pak? Ini kami sedang nebas (menyiapkan ladang) untuk kami tanami padi ladang. Ladang kami sekarang berada sekitar 4 Kilometer dari kampung ini. Saya dan teman-teman punya tradisi tonau, yaitu bekerja bergilir seperti menugal (menanam). Kami saling membantu karena tidak mampu ngupa atau membayar orang untuk membuka ladang. Di kampung ini, ada juga yang membayar jika dia ada duit lebih. Jalan ke sana kami melalui jalan kampung, sebagian masuk jalan tambang. Bagaimana bapak bertahan padahal sebagian masyarakat justru meninggalkan ladang? He he... Begini, ada beberapa kondisi yang membuat masyarakat mulai beralih bahkan meninggalkan pertanian. Mungkin karena sudah tidak cocok lagi buat menanam seperti semakin sempitnya lahan-lahan warga di sini. Atau bisa juga karena sudah tidak ada waktu karena bekerja di tambang, akhirnya mereka belum lagi menggarap ladang mereka. Syukurnya, karena beberapa kawasan masih bisa untuk pertanian berladang.
Karena kami sadar, tambang ini tidak bisa berlanjut jadi kami harus menyiapkan yang lain. Itu pandangan orang-orang di sini. Mengapa tanaman karet yang menjadi pilihan? bukan sawit misalnya? Karet ini sudah ada pengalaman beberapa kelompok tani, seperti di Kutai Barat, sudah ada yang berhasil, jadi kami ikut aja. Karet tambah besar tambah bagus. Kita yang sudah agak tua masih kita bisa panen. Selain itu karet tidak terlalu perlu pemeliharaan. Tetapi sawit ini banyak syaratnya, pertama semakin tua semakin tinggi pohonnya, terus kayaknya tidak terlalu bagus untuk lingkungan bisa kering di sekitarnya.
Saya akan tetap berladang sampai sudah tidak bisa lagi ditanami. Jadi sebenarnya kalau berita tentang peladang yang merusak itu sekarang mulai terbukti bahwa kami bukanlah yang merusak tetapi seperti Hutan Tanaman Industri dan juga lahan sawit yang banyak mengambil areal hutan. Kalau ladangladang di sini kami pastikan tumbuh subur dulu baru di garap lagi. Jadi pasti hutannya masih terjaga karena tidak bisa kami nanam kalu tidak subur. Bagaimana ke depan soal pertanian terutama perladangan? Ya.. bagaimana ya, saya ini juga masih risau juga. Sebab ladang-ladang kami masih dikelilingi oleh konsesi pertambangan batubara. Seperti ladang kami yang sekarang ini berada dalam konsesi milik PT. MHU (Multi Harapan Utama). Ya kami belum bisa mengerti seperti apa ke depan. Kami berharap tanah-tanah kami di sini tidak habis aja. Selain menanam padi ladang, bapak menanam apa saja? Oh iya, ini yang paling marak mulai dilakukan oleh orang Tunjung di sini dengan menanam karet. Kami sudah mulai menanam sejak sekitar tiga tahun yang lalu. Kalau saya menanam karet satu setengah hektar. Banyak yang bilang karet ini menjanjikan dan bisa berharap nanti. Ini untuk jaga-jaga ke depannya.
Bagaimana hubungan pemerintah dengan urusan pertanian kita di masyarakat Dayak Tunjung ini. Ini yang banyak disayangkan orang orang Tunjung Benuaq di sini. Di sini ada sekolah SD satu, tapi ya begitulah. Katanya gurunya tidak terlalu aktif entah apa sebabnya. Terus juga bisa lihat, jalan kampung kami ini saja yang paling sederhana rusak begini. Anakanak sekolah harus ke Kecamatan dan Kabupaten. Kalau urusan pertanian tidak ada ceritanya dari kabupaten. Padahal kami itu sangat membutuhkan dalam kondisi seperti ini. Sepertinya mereka melupakan kami atau bagaimana saya juga tidak terlalu tahu. Atau apakah mereka terlampau sibuk. Vol. I/Edisi 9/2010
7
Vox VOCIS
DEPORT
“Kami Bekerja Di Sana
Karena Tak Ada Tempat Lain”
S
emakin banyaknya perusahaan tambang di daerahnya, membuat areal ladang semakin susut. pilihan kadang diperlukan seperti yang dilakukan oleh Epensius, salah seorang warga Dayak Tunjung benuak di Putak. Meski ia memiliki ladang, ia juga bekerja ditambang. Terkadang, ia harus merelakan ladangnya tak tergarap saat shift bekerjanya tak memungkinkan ia menggarap ladangnya. berikut yang ia katakan kepada Naim, kontributor Deport. “Tanah-tanah yang di
“Ini tantangan tersendiri bagi kami dalam mengajarkan anakanak di sini, pada satu sisi kami mengajarkan bagaimana kearifan terhadap alam yang harus diutamakan, pada waktu yang bersamaan mereka menyaksikan penggusuran hutan di wilayah mereka,”
D
i pungung bukit perkampungan Tunjung Benuaq di Putak, terdapat kompleks biarawati umat katolik. Selain tempat menempa kedalaman spritualitas, mereka juga menggalang kegiatan sosial dengan masyarakat setempat. Suster Paula, sebagai salah seorang pengasuh biarawati punya banyak pengalaman dengan komunitas Tunjung Benuaq di Putak. 8
Vol. I/Edisi 9/2010
kuasai oleh tambang di sekitar kampung ini ada sekitar 1500 hektar sulit juga kami pertahankan karena areal seluas itu bukan orang Tunjung Benuaq aja yang punya, dari kampung lain juga ada yang punya,” kata Epensius. Lelaki itu juga mengatakan bahwa pilihan untuk menjual atau tak menjual tanah sama sulitnya. “Ada bertahan ada juga yang menjualnya ke Perusahaan,” demikian ia berkata. Ketika ditanya kenapa ia juga bekerja ditambang, ia menjawab, “Kami bekerja di sana karena tak ada tempat lain, sementara anak-anak mendesak biaya sekolah”.
meski begitu, ia masih tak melupakan tradisi nenek moyangnya. Selain menjadi buruh tambang ia juga masih ladang dan kebun. Tentu saja, ada yang berubah karena ia bekerja di tambang. Misalnya, ia jadi tak bisa intens mengurus ladangnya. Kalau ia dapat shift kerja malam hari, ia masih bisa menanam seperti tahun lalu. Tetapi, pada musim kali ini, karena ia harus bekerja di tambang siang hari ia jadi tak sempat menanami ladang miliknya yang luasnya hampir satu hektar itu, “Musim tanam tahun ini saya tidak sempat, bekas ladang tahun lalu saya tanami pisang,” tuturnya.
Hilangnya Gantungan Hidup Suster Paula Suster Paula banyak memberikan pendidikan yang berwawasan lingkungan yang diawali dengan pendidikan kepada anak-anak. Ia meyakini, selain pengetahuan keagamaan, wawasan yang berperspektif lingkungan dan kebudayaan juga harus dimiliki oleh terutama yang masih muda. Namun ia menyayangkan di tengah semangat mengajak anak-anak belajar memahami lingkungannya di depan mata, mereka justru menyaksikan ramainya aktivitas tambang batubara. “Ini tantangan tersendiri bagi kami dalam mengajarkan anak-anak di sini, pada satu sisi kami mengajarkan bagaimana kearifan terhadap alam yang harus diutamakan, pada waktu
yang bersamaan mereka menyaksikan penggusuran hutan di wilayah mereka,” kata Suster Paula. Baginya, tantangan yang paling utama bagi komunitas ini adalah hilangnya apa yang disebut gantungan hidup warga karena massifnya kegiatan pertambangan. Jika masyarakat tidak berhati-hati maka bisa jadi berdampak serius ke depan. Menurutnya, jika warga punya sikap tegas dalam berhadapan perusahaan dan pemerintah maka akan di dengar walau itu harus berjuang panjang. Di beberapa kesempatan, gereja dan warga berbarengan dalam menolak jalan tambang yang ingin mendekati kesusteran di Putak ini. “Kami tegas menolak akhirnya mereka tidak jadi dan mengalihkan jalan itu.”
Multicultural Women
DEPORT
D
ewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, beberapa waktu lalu mendesak Bupati Bireuen untuk mencopot Anisah, seorang camat di Plimbang. Plimbang, termasuk kabupaten Bireuen. Anggota dewan beralasan, syariah melarang pemimpin dari kelompok perempuan.
Perempuan Bireun tak boleh jadi Pemimpin?
DPRK sendiri tak hanya sekadar mengusulkan. Mereka bahkan telah membuat langkah lanjutan sebagaimana yang dikatakan Anisah kepada Metrotv, ”Anggota Dewan mendesak saya diganti. Surat peninjauan kembali jabatan saya sudah dikirim ke Bupati,” katanya waktu itu. Tapi, desakan DPRK itu menuai banyak protes. Abdul Hamim Jauzie, misalnya. Penasihat hukum di Federasi LBH APIK Indonesia itu, dalam rilisnya kepada Tribunnews.com, memprotes rencana pencopotan camat perempuan. “Dalam wacana perpolitikan, isu perempuan yang dikaitkan dengan doktrin-doktrin agama menjadi salah satu isu yang sering diangkat ke permukaan,” katanya. Ia juga mencontohkan dulu penolakan pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden juga dengan alasan itu. Abdul juga beranggapan bahwa perempuan yang seharusanya diberikan perlakuan khusus(affirmative action). Ia bahkan menuding, anggota DPRK Kabupaten Bireuen tidak mengetahui sejarah Aceh, dimana sejumlah perempuan pernah memegang posisi penting. Ia mengecam atas kebijakan DPRK Bireuen yang melarang perempuan menjadi pejabat. Selain itu, ia juga meminta agar DPRK menghentikan larangan perempuan
DOC: 2.bp.blogspot.com
Ridwan Muhammad, Ketua DPRK Bireuen, mengatakan, pihaknya tidak bermaksud menyerang Anisah. Ridwan justru berharap kebijakan ini berlaku pada semua unsur pimpinan di Kabupaten Bireuen. “Bukan kami tujukan pada seseorang, tetapi kami berpijak kepada undangundang penegakan Syariah di Aceh yang disahkan oleh Jakarta (Pemerintah Pusat, red.) ” katanya. Ia juga mengatakan bahwa masalah pimpinan perempuan menyangkut hukum syariah, sehingga jika ada masalah, mempersilahkan untuk menghubungi Majelis.
metrotv
menjadi pejabat. tak hanya Abdul, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bahkan ikut buka suara. Ia menentang keras desakaan DPRK Bieruen untuk mencopot Anisah. “Dalam undangundang Indonesia tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin di struktur pemerintah. Jadi tidak perlu dicopot,” ungkap Irwandi kepada Serambi dan The Globe Journal di Jakarta. Irwandi sangat menyesali pernyataan yang dinilai tidak memperlihatkan kadar intelektual dan cara memahami Syariat Islam. Gubernur yang juga dari kader Gerakan Aceh Merdeka ini menambahkan, “Apakah Ridwan lupa bahwa Aceh puluhan tahun juga dikendalikan oleh para ratu dan ini didukung oleh ulama?” kata Irwandi. Irwandi pun sudah memerintahkan kepada bupati untuk mempertahankan Anisah, “Saya sudah perintahkan bupati untuk pertahankan camat tersebut dan saya sudah bicara dengan camat itu untuk terus bekerja,” tegas Irwandi. Beberapa hari setelah itu, mantan Ketua DPRD Aceh Muhammad Yus dalam diskusi lintas partai yang digelar oleh Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA) di Tower Caf mengatakan, “Ini persoalan yang perlu diluruskan dengan kepala dingin.
Jangan sampai mewariskan kekeliruan ini pada generasi yang akan datang,” ujarnya. Pernyataan pria yang kerap disapa Abu Yus ini turut ditegaskan oleh Tokoh Intelektual Perempuan Aceh seperti Dr Nurjannah Ismail. Anisah yang menjadi orang “pesakitan” dalam polemik ini mengaku tidak terlalu memikirkan tudingan Ketua DPRK Bireuen ini. Apalagi katanya, ke-22 keucik dan masyarakat di wilayah kecamatannya tak pernah mempersoalkan kepemimpinannya. Begitu juga dengan Bupati Bieruen yang menjadi atasannya. “Yang menjadi persoalan masyarakat Plimbang sekarang bukanlah jenis kelamin apa pimpinannya. Namun pemimpinnya harus mampu merealisasikan perkembangan kecamatan di semua sektor. Kami sedang menuju kesana,” katanya yakin. Anisah sendiri menegaskan bahwa langkahnya menjadi Camat Plimbang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Annisah juga mengatakan bahwa penunjukannya sebagai camat tidak melanggar ketentuan di Aceh. “Kalaulah saya sebagai perempuan tidak bisa jadi pemimpin, harus ada suatu keputusan itu untuk seluruh Aceh, bukan Bireuen saja,” katanya. 9
Citizenship
DEPORT
Saat Kolom Agama (Masih)
menjadi Masalah Oleh: Mokh Sobirin
S
ebelum piranti modern seperti peralatan listrik dan kendaraan bermotor menyapa komunitas Sedulur Sikep, kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi satu hal yang tidak terlalu dianggap penting karena kehidupan keseharian mereka tidak terlalu sering berhadapan dengan birokrasi pemerintahan yang mensyaratkan kepemilikan KTP sebagai bukti atas identitas kewarganegaraan. Tetapi, kini mayoritas Sedulur Sikep atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wong Samin itupun “terpaksa” harus mengurus KTP untuk memenuhi persyaratan mendapatkan fasilitas listrik dari PLN dan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Masalah pun muncul karena di salah satu kolom di KTP mereka harus mencantumkan apa agama mereka. Biasanya, pilihan agama ini hanya enam agama resmi plus penghayat kepercayaan. Yang lainnya tak tersedia sehingga mereka harus mengikuti salah satu dari itu atau memakai tanda (-). Dan untuk mendapatkan tanda (-) itu, tak mudah. Maka, supaya nanti tak keliru, sebagian Sedulur Sikep yang tinggal di Kalioso, Kudus melakukan audiensi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Kudus, warga Sedulur Sikep di desa ini mendapatkan persetujuan dari Bupati untuk bisa mengurus KTP dengan tidak mencantumkan agama resmi dalam kolom agam, alias kosong. Setelah mengurus persyaratan mulai dari tingkat RT hingga pemerintah desa, dan menunggu sekian lama, akhirnya KTP yang diharapkan selesai diproses. Alangkah kagetnya ia dan beberapa Sedulur Sikep desa ini ketika mengetahui bahwa KTP yang mereka dapatkan masih
10
Vol. I/Edisi 9/2010
mencantumkan salah satu agama resmi. Seperti yang didapati Gunarto, salah satu anggota Sedulur Sikep yang tinggal di Kalioso, Kudus, Jawa Tengah, menerima saja Kartu tanda penduduk (KTP) dari perangkat desa tanpa melihat detail isinya. Ia percaya saja dengan isi KTP, apalagi KTP yang ia dapat setelah ia bersama dengan Sedulur Sikep yang lain beberapa kali mereka melakukan audiensi dengan pihak
kabupaten. Atas peristiwa itu, Mereka pun kemudian mencari tahu, apa alasan KTP nya masih di isi agama resmi. Dari penelusuran yang dilakukan diketahui bahwa ketidakpahaman birokrasi desa atas keberadaan peraturan baru berupa UU Adminduk dan ketidakpahaman terhadap kepercayaan Sedulur Sikep menjadi penyebabnya. Utamanya. Seharusnya, setelah pemerintah mengeluarkan aturan perundangan bernomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), birokrat sampai tingkat terkecil tahu soal UU ini. karena dalam undangundang misalnya, telah diatur bahwa kelompok minoritas mendapatkan haknya
untuk diakui dalam tata administrasi kependudukan seperti yang diatur dalam pasal 61 ayat 2 dan pasal 64 ayat 2. Ketika regulasi kependudukan mulai ramah terhadap keberadaan mereka beberapa tindak diskriminasi masih saja dilakukan oleh birokrasi di level paling bawah, terutama birokrasi desa. Seperti yang terjadi pada komunitas ini di dua desa di wilayah Kabupaten Kudus. Lihat saja yang terjadi di desa bulung, masih di wilayah Kabupaten Kudus, keberadaan komunitas Sedulur Sikep di desa itu, dengan jumlah warga Sedulur Sikep yang lebih kecil, membuat mereka harus menghadapi tembok kokoh birokrasi desa. Hal ini terlihat ketika Kepala desa menolak untuk mengosongi kolom agama dalam surat pengantarnya sebagai syarat warga Sedulur Sikep untuk membuat KTP. Kepala Desa bersikeras bahwa warga harus mencantumkan salah satu agama resmi. Bahkan untuk mengatasi perilaku bawahannya ini Bupati Kudus sampai harus memberikan instruksi khusus agar Kepala Desa melayani permintaan warga Sedulur Sikep. Undang-undang Adminduk seakan tidak pernah terdengar di level birokrasi desa. Proses pendisiplinan oleh negara a la militeristik yang coba beralih menjadi pendataan secara rasional ilmiah dengan dikeluarkannya undang-undang Adminduk terhalangi oleh pola pikir birokrasi negara Orde Baru yang seakan tidak mengenal keberagaman kepercayaan di luar agama resmi. Sepertinya perjalanan komunitas Sedulur Sikep untuk mendapatkan haknya masih cukup panjang dan berliku.[]
Representation
DEPORT
Primitive Runaway dan Watak Kolonial kita
P
erempuan berkulit putih itu marah. Ia tak habis pikir, kenapa orang-orang itu mau membunuh dan memakan anjing. Kemarahannya bahkan ditunjukkan dengan frontal. Ia kemasi barang miliknya dan hendak pergi dari tempat shooting. Itulah salah satu adegan dari reality show yang diberinama primitive runaway, sebuah program yang ditayangkan di transtv setiap Jum’at malam dimulai pukul 19:30 hingga 20:30. Selama satu jam, pemirsa disuguhi persentuhan antara artis —yang biasa hidup berkecukupan—dengan masyarakat adat. Mereka harus tinggal di situ untuk mempelajari semua adat istiadat, budaya maupun kebiasaan suku tersebut. Tentu tak aneh dengan acara ini. Bahkan, saat saya meminta komentar kepada salah seorang pemuda dari komunitas Dayak Segandu yang berada di Losarang, Indramayu, ia tak keberatan sama sekali. Ia juga tak mempermasalahkan jika suatu ketika ada artis yang mau tinggal di tempatnya, “Asal seadanya,” katanya, dan tak meminta macam-macam. Tetapi, meski bagi Dedi tak masalah, saya merasa masih ada yang mengganjal. Pasalnya, tentu saja soal sudut pandang. Dalam beberapa episode, saya melihat, program ini masih meliyankan (othering) komunitas yang ditempati. Peliyanan ini, serupa dengan cara pandang kolonial terhadap penduduk pribumi
dulu. Mereka, para artis yang tinggal di situ, juga sebagian para penonton, memosisikan diri lebih beradab dibanding komunitas yang ditinggali. Meski memang berbeda, tak seharusnya posisi diri menunjukkan lebih unggul. Tak semua, memang, setidaknya saat group Bajaj menjadi bagian di acara ini, suasana yang terbangun kelihatan lebih intim dan tak kelihatan upaya lebih beradab ini. Khawatir saya, justru perasaan lebih beradab itu yang hendak dimajukan. karena menganggap sebuah komunitas itu dianggap tak beradab (uncivilized), menjadi menarik untuk ditonton. maka, semakin suku itu eksotis, semakin menarik pula untuk ditampilkan. Maka, shoot tentang membunuh anjing untuk kemudian dijadikan santapan, menjadi sesuatu yang patut untuk ditampilkan. Inilah sebenarnya yang mau saya ajukan. Bahwa, apa yang tampak biasa itu ternyata ada yang tak biasa. Watak merasa beradab, yang terus dibangun sehingga lihat saja dari komentar-komentar yang muncul ditweetter primitive runaway itu. Rata-rata komentator menunjukkan rasa ngeri, jijik, dan semacamnya atau menganggap sesuatu yang dianggap serius oleh sebuah komunitas adat, justru ditertawakan. Tentu saja, menunjukkan kekayaan budaya Indonesia dengan cara itu, patut disesali. Bahkan, ada
seseorang yang berasal dari Flores, Dwi Setijo Widodo, protes dari nama yang acaranya. “Tepatkah penggunaan kata “primitive” untuk merujuk pada suku-suku yang diliput oleh Trans TV ini? Apakah tidak ada kata lain, misalnya “Exotic Runaway”, “Unique Tribe Runaway”, yang mungkin lebih tepat namun sekaligus bisa “bernilai jual”? tulisnya di pelbagai milis. Dari namanya saja “primitive” sudah mengandung stereotip. Pesan yang hendak ditampilkan kira-kira, komunitas adat yang masuk di acara itu berarti komunitas yang tak beradab. Acara ini juga menunjukkan bahwa cara televisi untuk menggaet penonton masih dengan yang bombasme, lalai akan substansi. Meletakkan kita atau mereka dalam posisi yang tak equal. Padahal, kalau kita hendak meneguhkan multikulturalisme, tentu bisa dengan cara yang lebih elegan. Ini yang membedakan saya dengan cara pandang Dedi mungkin juga banyak komunitas ada lain yang menonton televisi ini. Jangan-jangan mereka tidak tahu bahwa dilihat dengan cara yang rendah. Nah, biasanya, dalam proses ‘menjadi bagian’ itulah muncul alur seperti saat menunjukkan kebiasaan salah satu suku di Bangka Belitung yang hendak memakan anjing. Ritual pembunuhan itu lah yang membuat sang artis ingin lari dari suku itu. Meski akhirnya seperti reality show di acara dan televisi lain, berakhir sentosa.[] Vol. I/Edisi 9/2010
11
Desantara’s Activities
DEPORT
Bedah buku Bencana Industri di Jakarta Design Centre
“
Apa dampak Lumpur Lapindo? Sekitar 14.000 kepala keluarga, atau sekitar 50.000 orang terpaksa harus pindah. Dampak lainnya, kerugian materiil 1,6 sampai 3,3 trilyun, 30 meter tanah diperkirakan amblas, Jalan raya Porong, dalam setiap tahunnya turun sekitar 90 cm pertahun. Diperkirakan dalam dalam kurun antara 25-30 tahun, akan 30 meter amblas tanahnya,” demikian paparan dari Bosman Batubara, salah satu penulis sekaligus editor buku Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil saat dilaunching di Jakarta Design Centre 5 Agustus 2010 lalu.
Alumnus geologi UGM itu juga memaparkan bahwa hingga sekarang, diperkirakan sekitar 1000 meter kubik lumpur keluar dari bawah tanah, memang angkanya tak pasti karena sejak Februari 2009, alat sensor yang dipasang di dekat semburan sudah tak berfungsi lagi. Selain Bosman, pembicara lainnya adalah Dr. Mas Armi Susandi dari ITB. Ia dikenal sebagai pakar perubahan iklim global. Ada juga kepala sekolah ekonomika demokrasi, Hendri Sangkoyo serta Gunretno, salah satu petani yang getol menolak pembangunan pabrik semen di Gunung Kendeng, Pati.
Muhammad Nur Khoiron, Direktur Desantara Foundation dalam sambutannya mengatakan, tema bencana mungkin hal yang baru, tapi karena pendampingan dengan komunitas selama ini membuat hal baru menjadi tak susah dilakukan. Sehingga, meski selama ini lebih banyak berpijak di isu sosial politik, sehingga ketika komunitas mengalami masalah berkaitan dengan bencana, desantara menggeser ke wilayah itu. “Saya kira, nggak bisa lagi memisahkan kalau dalam bahasa HAM hak sipol dan hak ekosob. Dimana akses dari komunitas terhadap ekonomi dsb,” katanya.[]
Pelatihan Pengobatan Alternatif
Simbar Wareh
K
emampuan pengobatan secara mandiri dalam keluarga menjadi begitu penting saat ini. Apalagi pemerintah yang diharapkan bisa menyediakan fasilitas ini kerap abai. Tak berfungisnya peran pemerintah inilah yang salah satuya menginspirasi KPPL Simbar Wareh yang bersama Desantara mengadakan pelatihan pengobatan alternatif. Pelatihan yang diikuti oleh ibu-ibu dari beberapa desa di Pegunungan Kendeng Utara ini diadakan pada 10 – 15 Oktober 2010 itu bertempat di Omah Kendeng. Dalam pelatihan, ibu-ibu diajak untuk mengenali anatomi dan fungsi organ tubuh manusia serta mempelajari metode analisis penyakit dan penyembuhan secara mandiri. Model pelatihan yang dialogis ini membuat ibu-ibu menjadi antusias. Ibu-
ibu peserta pelatihan sesekali bertanya atau menceritakan pengalaman metode penyembuhan tradisional yang mereka tahu. Dari pengalaman yang diceritakan ini terungkap bagaimana ibu-ibu sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap urusan domestik keluarga telah sangat tergantung dengan obat-obatan. Padahal jika mau mengenali dan belajar kembali mereka dapat mengobati sendiri penyakitpenyakit seperti demam, sakit kepala, atau pun sakit gigi. Pelatihan ini memperkenalkan dua metode penyembuhan. Pertama, peserta diajak untuk mengenali beberapa meridian, saluran aliran Qi dalam tubuh, yang ada dan mengenali titik-titik penting dalam meridian tersebut. Setelah itu peserta dikenalkan pada beberapa teknik pemijatan pada titik tersebut untuk memperkuat fungsi organ tubuh. Cara
penyembuhan kedua yang diperkenalkan adalah meramu beberapa jenis tumbuhan yang ada di sekitar untuk memperlancar fungsi organ tubuh. Tumbuhan seperti secang, kapulaga, jahe, dan sereh. Tumbuhan ini kemudian diseduh untuk disajikan sebagai minuman pengganti teh atau kopi. Pada pertemuan terakhir, peserta diminta untuk mencatat berbagai tanaman obat yang ada di Pegunungan Kendeng Utara yang dapat dijadikan obat. Catatan ini penting untuk dapat disebarkan kepada ibu-ibu di desa lain agar dapat mengembangkan cara-cara penyembuhan keluarga secara mandiri. Perempuan dan pengobatan menjadi dua hal yang tak terpisahkan dalam skema penyembuhan keluarga secara mandiri. Dengan memperkuat pengetahuan perempuan akan metode pengobatan alternatif maka diharapkan terbentuk kemandirian rumah tangga. Kemandirian ini penting sebagai bagian dari gerakan memperkuat posisi masyarakat marginal dalam model ekonomi industri saat ini.[]