10
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik di antara ekosistem laut lainnya. Banyaknya keanekaragaman spesies dan tingginya produktivitas dari ekosistem ini menjadi ciri yang paling menonjol. Terumbu karang merupakan tempat asosiasi dari biota-biota laut seperti ikan, krustasea, ekinodermata, moluska, alga, sponge dan lain sebagainya. Terumbu karang merupakan habitat yang seluruhnya dibentuk dari hasil kegiatan biologis (Randal dan Mayers 1983; Suharsono 1996) Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan- endapan masif kalsium karbonat (CaCO3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu. yang hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari alga kapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2002) Karang batu yang merupakan komponen utama dalam pembentukkan struktur terumbu karang masuk dalam filum Cnidaria dan ordo Scleractinia. Dalam kemampuan membentuk terumbu, maka biota karang dapat dibedakan sebagai karang hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat membangun terumbu sedangkan karang ahermatipik adalah karang yang tidak dapat membangun terumbu (Veron 1986). Ordo Sceractinia adalah pembentuk terumbu karang yang paling dominan dalam pembentukan struktur terumbu karang (Randal dan Mayer 1983). Faktor pertumbuhan sangat erat kaitannya dengan proses sekresi atau pengendapan dan pengerasan zat kapur dalam membentuk kerangka luar karang. Proses ini didefinisikan sebagai kalsifikasi yang dilakukan karang dalam pertumbuhannya (Barnes dan Chalker 1985). Laju kalsifikasi dan produksi kapur karang batu menjadi terumbu sangat bergantung pada keberadaan Zooxanthella. Kecepatan kalsifikasi tidak sama untuk tiap spesies. Karang batu bercabang umumnya kurang dari 2 cm/bulan sedangkan untuk karang batu massive umumnya 1 cm/tahun (Supriharyono 2000).
11
Karang batu berkembangbiak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina dan membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat keras dan tumbuh menjadi polip. Kemudian polip tersebut akan melakukan pembiakan aseksual. Pembiakan aseksual dilakukan dengan cara fragmentasi, sehingga terbentuk polip-polip baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya (Bengen 2000). Perbedaan dan bentuk pertumbuhan pada karang sangat jelas terlihat pada karang yang hidup di daerah dengan profil dasar miring (slope). Karang pada bagian atas kemiringan akan membentuk semacam kantong sebagai akibat adanya gelombang. Pada bagian bawah kemiringan dimana gerakan gelombang sangat kurang, koloni karang akan menjadi lebih besar dan lebih banyak jenis dan bentuknya. Pada bagian lain yang lebih dalam dimana tidak terdapat gerakan gelombang sama sekali tetapi masih ada penetrasi cahaya, bentuk koloni menjadi berbeda dan beragam bentuknya serta bentuk percabangan menjadi lebih banyak (Veron 1986). Dalam bentuk pertumbuhannya, penurunan intensitas cahaya yang disebabkan oleh pertumbuhan kedalaman akan membuat bentuk morfologi karang yang biasanya menggunduk di daerah dangkal berubah bentuk menjadi datar di daerah yang lebih dalam (Hubbard 1997). Keberadaan karang dalam suatu perairan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 0C di atas suhu normal. Selain perubahan suhu, perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. McCook (1999) menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan
12
aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi
terhadap
degradasi
terumbu
karang
melalui
peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Spesies karang yang membentuk terumbu hanya terdapat di daerah tropis meskipun ada beberapa diantaranya yang dapat dijumpai dari lautan subtropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 0C sampai 29 0C. Sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia yang memiliki kondisi perairan yang sesuai dengan faktor pembatas pertumbuhan karang. (Hutabarat dan Evans, 1984). Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu : a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ) b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef) c.Terumbu karang cincin (atoll) Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai diperairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : 1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan merupakan penghalang bagi
13
pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan : 1.Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai. 2.Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. 3.Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen. 4.Jasa informasi sebagai pencatatan iklim. 5.Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selain itu ekosistem terumbu adalah bagian dari ekosistem laut yang memiliki peranan penting dalam kesimbangan ekosistem. Terumbu karang juga merupakan komponen pelindung pantai dan arus, terpaan ombak dan gelombang, pencegah erosi, dan perangkap sedimen dan secara kimiawi dalam bentuk transfer aliran bahan organik terlarut serta partikel. Manfaat lainnya adalah sebagai sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budi daya, serta sebagai bahan bangunan. (Nagelkerken et al.. 2000; Moriniere et al.. 2002; Dorenbosch et al.. 2004; Dorenbrosch et al.. 2006; Nakamura et al.. 2007; Nakamura dan Tsuchiya 2008; Kordi 2010). Ekosistem terumbu karang tidak hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Semakin berkembangnya industri wisata bahari semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada
14
wisata selam dan snorkeling untuk menikmati keindahan dan panorama terumbu karang. Dahuri (1996) mencatat bahwa dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Indonesia yang diperkirakan memiliki terumbu karang dengan luas sektar 50.000 km2 mengandung kekayaan sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh produktivitas primer perairan terumbu karang yang tinggi. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang. Akan tetapi dengan potensi tersebut membuat aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan sumberdaya seringkali telah melebihi daya dukung dan mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu : 1) Perikanan terumbu karang Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikanyang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stok ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.
15
2) Aktivitas Pariwisata Bahari Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat. Badan kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali. Adapun tugas badan ini diantaranya adalah • Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembanganpariwisata . • Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah • Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur. • Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau organisasi tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal- hal yang tidak diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau daya dukung lingkungan laut. 3) Aktivitas Pembangunan Daratan Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan
baik buruknya
kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, bersama-sama dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
yang jelek umumnya akan meningkatkan
kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. 4) Aktivitas Pembangunan di Laut
16
Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan, pengeboran
minyak,
penambangan
karang,
pengambilan
pasir
dan
pengambilan karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan membahayakan kehidupan terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan yang bersifat destruktif, peristiwa alam seperti badai, tsunami, gempa bumi dan kenaikan suhu air laut dapat menjadi penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang (Pandolfi et al. 2003; Fabricius 2005; Hoegh-Guldberg 1999). Kordi (2010) mencatat tsunami dahsyat yang melanda Samudra Hindia pada tahun 2004 menimbulkan kerusakan terumbu karang hingga 5%. Faktor predasi juga dapat menjadi penyebab rusaknya terumbu karang. Beberapa jenis biota yang merupakan predator karang di Indo Pasifik adalah
Acanthaster planci, beberapa jenis bulu babi seperti Echinometra mathei dan Diadema setosum. Tingginya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang menyebabkan ekosistem ini terus mengalami penurunan; baik kuantitas, kualitas maupun estetikanya. Kerusakan ekosistem terumbu karang khususnya karena aktivitas manusia disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya yaitu: 1. Kemiskinan masyarakat pesisir Diperkirakan sekitar 3,5 juta masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya perikanan, terutama sebagai penangkap ikan atau nelayan. Nelayan kecil atau tradisional dan buruh nelayan merupakan kelompok terbesar dengan pendapatan rendah atau miskin. Nelayan kecil dan tradisional melakukan penangkapan ikan disekitar pantai karena perahu/kapal dan alat tangkap yang sederhana dan jangkauan terbatas. Nelayan-nelayan miskin ini sering digunakan oleh pemilik modal untuk melakukan penangkapan ikan dengan alat dan bahan tangkap yang merusak terumbu karang.
17
2. Ekspansi modal Nelayan pengumpul dan eksportir ikan karang adalah pengusaha yang memiliki modal. Kebutuhan ikan karang yang terus meningkat di negara-negara penerima serta persaingan yang ketat mendorong penggunaan berbagai cara untuk mendapatkan bahan baku untuk diekspor. Banyak pedagang pengumpul yang membayar di muka kepada nelayan penangkap. Cara ini memaksa nelayan menggunakan
segala
cara
untuk
mendapatkan
ikan,
termasuk
dengan
menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti bahan kimia dan bahan peledak. 3.Kepadatan penduduk di pesisir Dari 67.439 desa di Indonesia, sekitar 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pantai atau desa pesisir. Desa-desa pesisir dan pulau kecil adalah kantong kemiskinan yang potensial dengan permasalahan yang kompleks. Kepadatan penduduk pesisir ditambah dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya yang demikian banyak merupakan salah satu penyebab rusaknya terumbu karang. Penduduk pesisir melakukan aktivitas penangkapan ikan di terumbu karang, melakukan penambangan karang, dan menghasilkan berbagai limbah yang masuk ke ekosistem terumbu karang. Penduduk menjadikan wilayah pesisir sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah. Demikian pula perusahan seperti pertambangan yang membuang limbahnya ke wilayah pesisir. Permasalahan limbah selalu menjadi masalah serius manakala persoalan ekologi diperhadapkan dengan persoalan ekonomi. 4. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Sekalipun Indonesia adalah negara maritim dan negara kepulauan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai pesisr, laut dan ekosistem di dalamnya masih minim. Faktor inilah yang turut menjadi penyebab rusaknya ekosistem terumbu karang. 5.Lemahnya penegakan hukum Aktivitas yang menyebabkan kerusakan suatu ekosistem adalah tindakan melanggar hukum. Akan tetapi kurangnya jumlah aparat, kurangnya pengawasan dan ringannya hukuman seolah menyebabkan para pelaku pelanggaran lolos dari hukum.
18
2.2 Terumbu Buatan Terumbu buatan adalah satu atau lebih obyek yang alami atau buatan manusia yang dengan sengaja ditempatkan di dasar laut untuk mempengaruhi fisik, proses biologis, atau sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya hayati laut (Seaman & Jensen 2000). Terumbu buatan didefinisikan oleh EARRN sebagai suatu struktur yang dengan sengaja ditempatkan di dasar perairan, dan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami (Pickering et al. 1998). Akan tetapi pada perkembangannya, saat ini terumbu buatan tidak saja diartikan pada objek yang ditempatkan secara sengaja di dasar perairan tapi juga yang secara tidak sengaja seperti kapal yang tenggelam. Berbagai bahan telah digunakan untuk membangun terumbu karang buatan, termasuk karang transplantasi dan substrat lainnya seperti; ban, beton, batu, lambung kapal, kendaraan, rig minyak, bahan limbah lainnya dan modul cetakan yang dirancang untuk suatu tujuan tertentu seperti reef ball (Lukens 1997, Jensen 1998). Saat ini sekurang-kurangnya 40 negara di dunia telah mengembangkan teknologi terumbu buatan. Sebagai contohnya Jepang sebagai ‘global leader’ dalam pengembangan terumbu buatan untuk tujuan perikanan komersial (Simmard 1997) serta Amerika Serikat dan Canada yang mengkreasikan terumbu buatan yang diperuntukan untuk kegiatan pariwisata khususnya untuk menyelam dan memancing (Jones & Welsford 1997). Tujuan dari terumbu buatan di seluruh dunia dapat dikategorikan menjadi (1) pembentuk habitat, (2) peningkatan fungsi ekosistem, (3) perbaikan kembali atau perlindungan. Selain itu, struktur yang dirancang untuk fungsi lain (seperti dermaga dan ponton) dapat berfungsi juga sebagai terumbu buatan. Adapun fungsi ekologis terumbu buatan, antara lain:
a. Menciptakan habitat baru Dalam beberapa kasus menunjukan bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan kelimpahan ikan karena ketersediaan shelter (tempat berlindung), dimana sumber bahan makanan yang ada di terumbu kurang penting bagi ikan yang menempatinya (Miller dan Falace 2000). Ikan-ikan tersebut mencari makan di daerah yang luas, termasuk di habitat dasar pasir dan berumput yang berdekatan. Oleh karena itu, pendugaan produktivitas primer dan produktivitas sekunder yang
19
lebih rendah di daerah terumbu dan sekitarnya akan membantu dalam mengestimasi jumlah makanan yang tersedia untuk mendukung produktivitas sekunder ikan-ikan yang menetap di terumbu. Alasan utama penempatan terumbu buatan adalah untuk memperbaiki, meningkatkan atau mempertahankan sumber daya perikanan pada suatu daerah tertentu. Bortone et al.. (2000) mengilustrasikan bagaimana terumbu buatan mempengaruhi sumber daya perikanan melalui penambahan area permukaan bagi pelekatan organisme grazer dan filter feeder sebagai dasar transfer energi yang diperoleh dari kolom air ke tubuh ikan yang berasosiasi dengan terumbu dan predator mikroinvertebrata. Jadi, evaluasi pengaruh terumbu terhadap sumber daya perikanan dapat didasarkan pada sifat biologi sumber daya perikanan tersebut, diantaranya adalah kelimpahan ,ukuran dan biomassa, serta keragaman relatif spesies.
b. Meningkatkan biomassa ikan Pertanyaan apakah terumbu buatan dapat memberikan kontribusi terhadap produksi baru stok ikan target, sampai saat ini masih merupakan kontroversi (Bohnsack et al.. 1997; Miller dan Falace 2000). Dua mekanisme yang sering disebutkan bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan populasi ikan yaitu: (1) jika shelter membatasi populasi ikan maka tambahan shelter yang diberikan oleh terumbu buatan akan dapat mengumpulkan sumber daya ikan lebih banyak dari daerah pantai untuk masuk ke dalam biomassa ikan, dan tingkat dimana mekanisme ini dapat menaikkan populasi ikan akan sangat bergantung pada jumlah makanan yang tersedia pada substrat, habitat dan perairan sekitarnya; (2) jika makanan membatasi populasi ikan, maka produksi primer baru dan produksi sekunder organisme benthik yang didukung oleh terumbu buatan akan menyokong rantai makanan baru yang pada akhirnya akan meningkatkan biomassa ikan. Oleh karena itu penciptaan terumbu buatan baru yang terencana baik dapat memberikan shelter alternatif dimana diharapkan akan merekrut juvenil dan ikanikan muda kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan (Rilov dan Benayahu 1998). Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi asosiasi ikan di terumbu karang dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor
20
abiotik dan faktor biotik ( Bortone et al.. 2000), dimana faktor-faktor tersebut dapat saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Faktor abiotik merupakan variabel yang lebih mudah dipahami jika disusun dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu faktor lingkungan dan faktor terumbu karang buatan itu sendiri. Pembedaan ini penting untuk mendeterminasi faktor-faktor yang dapat dikontrol di terumbu karang buatan, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan faktorfaktor yang tidak dapat dikontrol sehingga hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan desain terumbu buatan. Faktor-faktor lingkungan umumnya tidak dapat dimanipulasi dengan mudah dalam proses desain, konstruksi dan penebaran terumbu jika dibandingkan dengan faktor atribut terumbu karang buatan. Oleh karena
itu
diperlukan
pilihan-pilihan
kondisi
lingkungan
yang
dapat
memaksimalkan potensi terumbu karang buatan. Faktor biotik sebagai variabel dependen dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe utama yaitu individual, populasi, dan komunitas (Bortone et al.. 2000). Faktor biotik dalam beberapa kasus dapat diperlakukan sebagai variabel independen sebagai contoh: jumlah tutupan alga dibarengi jumlah ekinodermata dapat digunakan sebagai variabel prediktif untuk menjelaskan kehadiran, kelimpahan dan kondisi ikan dan makro invertebrata herbivora yang dikenal dengan
associated biotic variables. Kehadiran spesies di terumbu buatan dapat diklasifikasikan sebagai
resident, visitor dan transient (Bohnsack 1989). Resident cenderung tinggal pada struktur untuk waktu yang lama sejak penempatannya.
Visitor menggunakan
habitat buatan untuk waktu yang singkat atau musiman. Sedangkan transient adalah spesies yang mendekati habitat buatan tetapi tidak berespon terhadap perbedaan sekitar struktur habitat. Walaupun kehadiran spesies visitor dan
transient hanya singkat, namun berpotensi besar berperan sebagai predator dan kompetitor (Bohnsack et al.. 1991). Sebagai contoh ikan transient yaitu ikan layang/mackarel (Decapterus macarellus) dapat hadir dalam jumlah besar dan berperan penting sebagai predator terhadap telur dan larva ikan sehingga mempengaruhi rekruitmen, dan sebagai kompetitor pada sumber makanan planktonik. Tingkah laku ikan dapat berbeda di antara terumbu, misalnya suatu spesies mungkin resident pada terumbu yang besar, tetapi hanya visitor pada
21
struktur terumbu yang kecil karena tidak ada sumber makanan dan shelter yang memadai untuk mendukung suatu populasi permanen; atau dapat juga ikan berpindah-pindah antara habitat terumbu yang berdekatan. Organisme laut berdasarkan posisi relatif atau ketergantungan relatifnya terhadap struktur karang buatan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori (Hagino 1991) yaitu: 1) Tipe A terdiri dari ikan-ikan dasar yang cenderung mempunyai kontak fisik dengan karang dan sering menempati celah, lubang dan ruang internal di karang; 2) Tipe B adalah ikan atau organisme yang tidak mempunyai kontak fisik dengan karang, tetapi berenang di sekitar karang, atau tetap mempertahankan posisinya di dasar perairan sekitar karang; dan diduga mereka berhubungan dengan karang lewat penglihatan dan suara atau pendengaran; 3) Tipe C adalah ikan-ikan yang ditemukan berenang di atas karang pada pertengahan perairan atau daerah pelagis pada jarak tertentu dari karang. Karakteristik komunitas ikan di daerah karang ditunjukan oleh keragaman species yang tinggi; dimana keragaman spesies, struktur tropik, densitas total dan biomasa ikan karang, adalah merupakan parameter-parameter yang menjelaskan suatu struktur komunitas ikan. Selain pengaruh aktivitas perikanan, komunitas ikan karang dibentuk oleh tiga proses ekologi yaitu persaingan, makanan, ruang yang menentukan keragaman ikan, dan densitas ikan (Pet-Soede et al.. 2000).
c. Melindungi habitat dan konservasi Terumbu buatan telah digunakan sebagai penghalang fisik untuk masuk ke daerah-daerah tertentu yang dilindungi, terutama untuk mempertahankan habitat alami dan mengontrol fishing mortality. Terumbu buatan telah dirancang khusus untuk mengatasi kerusakan padang lamun akibat ilegal trawling di Eropa seperti Itali, Prancis, dan Spanyol (Seaman dan Jensen 2000). Terumbu buatan juga telah digunakan untuk memperbaiki kerusakan habitat perairan akibat kegiatan manusia seperti kelp beds di lepas pantai California karena limbah dari stasiun pembangkit listrik. Terumbu buatan bentuk kotak beton berongga telah ditebarkan di perairan Pantai Monako sebagai subtrat kolonisasi karang merah, Corallium rubhrum (Allemand et al.. 1999 in Seaman dan Jensen 2000).
d. Memperbaiki kualitas perairan
22
Organisme laut yang filter-feeder atau suspention-feeding mempunyai potensi yang baik untuk memperbaiki kualitas perairan di daerah eutrofikasi tinggi dan konsentrasi partikel terlarut yang padat. Organisme laut tersebut terdiri dari berbagai jenis kerang seperti mussels, oyster dan clam. Namun, kelimpahan organisme filter feeder di suatu perairan sangat dibatasi oleh ketersediaan substrat keras sebagai habitatnya. Terumbu buatan merupakan salah satu alternatif yang memadai sebagai habitat, untuk meningkatkan hunian dan populasi organisme
filter feeder yang akan menyaring air, sehingga dapat memulihkan kembali kualitas perairan yang dianggap sudah tercemar. Terumbu buatan sudah digunakan di berbagai negara sebagai habitat budidaya bivalvia untuk tujuan
recycling nutrient dan bahkan secara simultan dapat memberikan manfaat sebagai proteksi habitat produksi ikan-ikan komersil dan budidaya kerang-kerangan (Seaman dan Jensen 2000) Selain beberapa fungsi tersebut diatas, terumbu buatan juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut;
a. Sebagai substrat untuk komoditi ekspor Meningkatnya permintaan pasar luar negeri terhadap ekspor karang hias membuat tekanan terhadap ekosistem ini semakin besar. Olehnya budidaya karang hias dengan menggunakan modul terumbu buatan sebagai media transplantasi dapat menjadi solusi terbaik. Diharapkan dengan cara ini, dapat mengurangi pencurian karang dari habitat alami yang akan sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
b. Sebagai objek wisata dan pendidikan Terumbu buatan juga dapat mendukung kegiatan wisata atau pendidikan dan penyadaran masyarakat yang membutuhkan akses yang mudah dan aman ke terumbu. Selain itu dapat mengurangi tekanan akibat penyelam pada terumbu alami di kawasan yang padat pengunjung. Beberapa tempat peristirahatan telah membuat terumbu buatan yang menarik untuk para penyelam perdana dengan kemampuan pengendalian daya apung yang rendah, sehingga mengurangi tekanan terhadap terumbu alami (kemungkinan mencapai 10% jika tiap penyelam mengunjungi lokasi tersebut paling tidak seminggu sekali) (Edward dan Gomez 2008). Bagi fungsi pendidikan, habitat terumbu buatan dapat digunakan untuk
23
kepentingan penelitian, khususnya bagi penelitian yang membutukan penanganan sampel di luar habitatnya. Tujuan lain dari pengembangan teknologi terumbu buatan adalah untuk (1) mitigasi atau kompensasi dari hilangnya habitat di suatu tempat (Muir 1995); (2) marikultur (Bombace 1989), (3) restorasi dari kerusakan habitat (Hudson 2004, Loh & Chou 2004); (4) perlindungan habitat (Lok 2002) dan (5) sebagai area ‘no take zone’ untuk tujuan restorasi perikanan pada beberapa area yang telah ‘overfishing’ seperti di Hongkong (Wilson et al. 2002). Keberadaan terumbu buatan tidak hanya berpengaruh pada kondisi ekologis alam, namun berpengaruh juga terhadap secara sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Olehnya evaluasi sosial ekonomi akan sangat bermanfaat untuk para pengambil kebijakan dalam menunjukan wujud manfaat dari terumbu buatan serta menyediakan informasi yang penting untuk pemanfaatan terumbu buatan (Seaman 2000). Pengumpulan data sosial ekonomi dan evaluasi juga merupakan bagian integral dari strategi adaptive management bagi sumber daya. Gambar 2 menunjukkan kerangka umum untuk adaptive management dari terumbu buatan.
KEBIJAKAN SOSIAL Artificial Reef
EKOLOGI Hipotesis Proses/Respon
SOSIAL Hipotesis Proses/Respon
Pilihan Implementasi
Pemantauan dan Evaluasi Fisika, Kimia, dan Respon Sistim Sosial
Respon Adaptif dan Feedback
Respon Adaptif dan Feedback
Tujuan Penelitian
24
Gambar 2 Kerangka adaptive management untuk penelitian terumbu buatan (dimodifikasi dari Seaman 2000) Tujuan atau sasaran kebijakan untuk pengembangan terumbu buatan akan tampak pada beragam instansi pemerintah. Sebagai contoh kebijakan alternatif yang ditujukan bagi kajian sosial adalah meningkatkan kegiatan perikanan di dekat pantai. Hal ini dapat dijelaskan dalam konteks penelitian atau studi mengenai produktivitas dan cost-benefit analysis dari potensi material serta lokasi peletakan terumbu buatan. Desain dan interpretasi dari tujuan penelitian dapat dipertajam oleh pemahaman peneliti akan adanya keterkaitan dampak ekologis dan sosial dari sistem terumbu buatan serta keberpihakan pengambil kebijakan terhadap capaian tujuan sosial yang spesifik. Proses adaptive management juga menyediakan forum yang bermanfaat bagi stakeholder untuk menyuarakan aspirasi mereka dalam pengembangan terumbu buatan. Misalnya dalam kegiatan perikanan dan kelompok olahraga selam dapat menyediakan suatu sarana publik dan mengikuti sasaran atau tujuan dalam partisipasi untuk monitoring dan evaluasi pada terumbu karang. Sebagai tambahan juga informasi sosial ekonomi mengenai terumbu buatan yang terdokumentasi dengan baik dapat menjadi pelajaran bagi pihak luar yang bukan pengguna mengenai jasa atau manfaat yang dihasilkan oleh sumber daya pesisir (Seaman 2000). 2.3
Reef ball
Reef ball merupakan salah satu bentuk terumbu buatan yang dibuat dengan tujuan memulihkan terumbu karang yang mengalam degradasi fungsi ekologi dan untuk menciptakan areal penangkapan ikan yang baru, serta sarana untuk diving.
Reef ball juga digunakan sebagai pemecah ombak dan pelindung pantai (Mead & Black 2002). Reef ball adalah satu-satunya terumbu buatan yang penempatannya di laut dapat ditarik oleh perahu. Intinya reef ball ini didesain sebagai tiruan dari sistem terumbu alami dan digunakan di seluruh dunia untuk menciptakan habitat baru bagi ikan dan organisme laut lainnya (www.reefball.com).
Reef ball didesain secara khusus dengan alat cetak dari fiberglass dan beberapa pelampung poliform; dengan ukuran yang bervariasi dan bahan material
25
lainnya yang cocok bagi pertumbuhan dan kehidupan organisme laut. Reef ball stabil karena bagian atas berlubang, berbentuk seperti kubah serta terdapat lubang pada bagian sisi. Reef ball dibuat supaya tahan terhadap pergerakan arus dan kekuatan gelombang yang dapat menimbukalan kerusakan. Bahan dasar pembuatan reef ball adalah pasir kerikil dan semen yang ditambahkan silika atau mikro silika. Bahan tersebut berfungsi untuk mempertahankan daya tahan reef ball dan menjaga agar pH tetap sama dengan pH perairan. Kadar pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari air laut normal dapat menghambat pertumbuhan biota laut termasuk planula karang. Selain itu ada juga bahan gula yang berfungsi supaya hasil cetakan tidak melekat pada alat cetak fiberglass dan untuk menciptakan pori-pori pada dinding reef ball sehingga mempermudah pelekatan mikro alga dan planula karang. Pada saat reef ball dilepaskan ke laut, gula akan mencair sehingga terbentuklah tekstur permukaan
reef ball (Warzecha 1997) Reef ball dirancang untuk berada pada satu posisi pada dasar perairan. Bentuk kubah dari reef ball yang menjadi kunci kestabilannya. Ukuran berat dari reef ball dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dimana ditempatkan (Gambar 3). Konstruksi ini telah telah terbukti cukup stabil pada cuaca yang buruk. Di Florida dilaporkan bahwa 180 unit reef ball yang ditempatkan pada kedalaman 2-3 m mampu bertahan dari hantaman badai sementara lingkungan sekitarnya rusak tapi reef ball tetap pada posisinya (Reef Ball Development in Warzecha 1997).
26
Gambar 3. Reef ball dengan beragam ukuran Konstruksi reef ball terdiri dari beberapa spesifikasi yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Spesifikasi Reef Ball Nama Lebar
Tinggi
Berat
Goliath Ball
1,83 m
1,52 m
1800-2700 kg
Jumlah lubang 25 - 40
Super Ball
1,83 m
1,37 m
1800-2700 kg
22 – 34
Ultra Ball
1,83 m
1,31 m
1600-2000 kg
22 – 34
Reef Ball
1,83 m
1,22 m
1350-1900 kg
22 – 34
Pallet Ball
1,22 m
0,9 m
700-1000 kg
17 – 24
Bay Ball
0,9 m
0,61 m
170-340 kg
11 – 16
Mini-Bay Ball
0,76 m
0,53 m
70-90 kg
8 – 12
Lo-Pro Ball
0,61 m
0,46 m
35-60 kg
6 – 10
Oyster Ball
0,46 m
0,30 m
15-20 kg
6-8
2.4 Minawisata Bahari Sumberdaya ikan (SDI) merupakan salah satu potensi yang ada di kawasan ekosistem pesisir termasuk pada ekosistem terumbu karang. Kegiatan perikanan, konservasi dan wisata bahari saat ini sudah berjalan namun masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak sinergis. Pengelolaan SDI di kawasan pariwisata seringkali masih menimbulkan konflik, demikian pula dengan pemanfaatan perikanan di kawasan konservasi yang sering menimbulkan masalah. Untuk memperoleh manfaat optimal pendayagunaan sumberdaya perikanan dan pariwisata tersebut, maka pembangunan perikanan dan kepariwisataan bahari perlu diterjemahkan dalam konsep yang lebih terpadu. Konsep dimaksud adalah Minawisata Bahari yang dapat dikembangkan pada ekosistem pesisir
yang memiliki potensi dan peluang pengembangan wisata
bahari dan perikanan, termasuk di kawasan konservasi. Eksistensi sumberdaya
27
ikan yang saling menyatu dengan ekosistem pesisir dan potensi wisata bahari menjadi kekuatan dan nilai jual program minawisata. Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan produksi perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan pengembangan perikanan pada kawasan wisata tersebut. Dengan kata lain, Minawisata adalah pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis pada pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara terintegrasi pada suatu wilayah tertentu. Pada tahap awal, Minawisata dikemas dalam bentuk satu program pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan dan pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu; emisi karbon yang rendah, ramah lingkungan, sesuai daya dukung dan daya tampung,
konservasi
(penggunaan
sumberdaya
secara
efisien),
berbasis
sumberdaya lokal, dan pelibatan stakeholders lokal terkait (Dermawan dan Aziz, 2012). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, disebutkan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan. Dalam sistem bisnis perikanan, seringkali digunakan kata Mina untuk menggantikan kata Perikanan yang pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama dengan kata perikanan itu sendiri. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat nelayan dan juga masyarakat lainnya yang hidup di wilayah pesisir. Wisata
merupakan
satu
bentuk
pemanfaatan
sumberdaya
alam
yang
mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Berdasarkan konsep pemanfaatannya, wisata dapat diklasifikasikan alam 3 (tiga) bentuk (Fandeli, 2000; META, 2002) yaitu :
28
1. Wisata Alam (Nature Tourism); merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman tehadap kondisi alam atau daya tarik panoramannya. 2. Wisata Budaya (Cultural Tourism);merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (Ecotourism, Green Tourism, Altenatif Tourism); merupakan wisata
yang
berorientasi
pada
lingkungan
untuk
menjembatani
kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan. Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. maksudnya melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuat orang tergugah untuk mencintai alam. Sedangkan ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (META 2002 in Yulianda 2007). Wood (1999) in Yulianda (2007) mendefinisikan ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri pariwisata. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumber daya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga untuk mempertahankan nilai sumber daya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak hanya melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Meskipun pasar sangat menetukan pengembangan ekowisata namun konsep pengelolaan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar ekowisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai atau wisata bahari adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi
29
bentang laut (seascape) maupun bentang darat pantai (coastal landscape) (Sunarto 2000 in Yulianda 2007). Secara terpisah dapat dijelaskan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah laut dan dinamika air laut. Potensi dan jasa lingkungan yang prospektif untuk dikembangkan pada kawasan pesisir dan pulau kecil adalah pariwisata dan sumber daya perikanan yang paling banyak berhubungan dengan ekositem terumbu karang (Bengen dan Retraubun 2006).
Beragamnya jenis ikan yang hidup di ekosistem terumbu
karang menjadi daya tarik yang kuat bagi manusia; baik untuk penelitian, untuk wisata selam, maupun untuk konsumsi dan dijadikan ikan hias. Diperkirakan dari 12.000 jenis ikan laut sebanyak 7.000 spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya (Subani 1972 in Sulistiawati 2008). Kondisi ekosistem terumbu karang saat ini yang terus mengalami degradasi turut berdampak pada turunnya produksi ikan karang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ada hubungan erat antara kondisi terumbu karang terhadap keberadaan ikan karang disuatu perairan (Hodijah dan Bengen 1999). Dengan meningkatnya jumlah penduduk saat ini, maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga semakin meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini akan menyebabkan turunnya stok ikan di ekosistem tersebut dan memakan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Pengelolaan terumbu karang selama ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pelarangan pengambilan karang ataupun aktivitas manusia; seperti pemboman ikan, pembiusan ikan karang dan lainnya yang secara langsung dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Namun pelarangan untuk penangkapan ikan-ikan komersil jarang diberlakukan. Akibatnya beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis seperti Napoleon, Kerapu dan udang sudah mulai jarang ditemukan di daerah terumbu karang. Jika hal ini dibiarkan maka kemungkinan besar beberapa spesies ikan karang akan punah (Supriharyono 2000).
2.5
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
30
Salah satu alat pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif adalah dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP), yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,ekosistem terumbu karang yang sehat, dan menyediakan tempat perlindungan bagi sumberdaya ikan, maka pada akhirnya akan mendukung kegiatan perikanan dan pariwisata berkelanjutan, serta memulihkan kondisi habitat pesisir yang terdegradasi. Definisi Kawasan Konservasi Perairan menurut IUCN (1994) adalah perairan pasang surut, dan wilayah sekitarnya, termasuk flora dan fauna di dalamnya, dan penampakan sejarah serta budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. KKP terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Lebih rinci Indrajaya et al. (2011) menyebutkan bahwa terdapat beberapa manfaat keberadaan KKP dalam sistem alam dan sosial, yaitu: 1. Perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya, 2. Perlindungan habitat yang kritis dan tetap (misal terumbu karang, estuari), 3. Perlindungan budaya dan lokasi arkeologi, 4. Perlindungan terhadap budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut berkelanjutan, 5. Menjamin tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan distribusi spesies sebagai respon perubahan iklim atau lingkungan lainnya, 6. Menjamin suatu tempat perlindungan (refugia) bagi pengkayaan stok ikanikan ekonomis penting
31
7. Menyediakan suatu kerangka kerja untuk penyelesaian konflik multi stakeholders, 8. Menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, 9. Menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja, 10. Menjamin area untuk penelitian ilmiah, pendidikan dan rekreasi Pengelolaan KKP harus memuat zonasi KKP, yang terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya. Selain zona inti, KKP dapat dimanfaatkan untk berbagai keperluan dalam rangka menunjang perikanan dan pariwisata berkelanjutan. Pemanfaatan KKP dapat dilakukan dengan aturan sebagai berikut: 1
Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan di zona perikanan berkelanjutan
2
Kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di zona perikanan berkelanjutan
3
Kegiatan pariwisata bahari dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan atau zona perikanan berkelanjutan
4
Kegiatan penelitian dan pendidikan dapat dilakukan di zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya.
2.6
Analisis Multi Kriteria Multi criteria analisis (MCA) biasanya menghasilkan informasi tentang
masalah dan kondisi existing dari data yang tersedia . Hal ini cukup efektif untuk menghasilkan solusi (alternatif) untuk suatu masalah, dan memberikan pemahaman yang transparan dari struktur dan isi masalah tersebut. Menggunakan kerangka MCA dalam mendukung suatu proses dimana para pemangku kepentingan yang berbeda dapat memeriksa informasi pada kriteria yang berbeda dan dampak dari mengeksplorasi hasil serta keputusan yang dibuat dari prioritas yang berbeda. Oleh karena itu proses yang berorientasi pada MCA digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi kesepakatan stakeholder (Huylenbroeck et al. 1995; Malczewski et al.. 1997).
32
Pada dasarnya, pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh stakeholder yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Untuk mengetahui stakeholder yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka diperlukan pendekatan
Stakeholders Analysis (SA) Pendekatan ini menggabungkan analisis stakeholder dan penilaian dimensi ekonomi, sosial dan ekologi dalam kerangka analisis kriteria ganda. Menggunakan partisipasi sebagai pemangku kepentingan dalam suatu proses berulang-ulang akan mendapatkan bobot kriteria ekonomi, sosial dan ekologi yang bertujuan untuk mengembangkan suatu alat pengambilan keputusan yang memungkinkan untuk dimasukkan dalam analisis ini (Grimble dan Chan 1995). Menurut Grimble dan Chan (1995), SA didefinisikan sebagai sebuah prosedur untuk mendapatkan pemahaman terhadap suatu sistem melalui identifikasi pelaku-pelaku utama (key-actors) atau pemangku utama didalam sistem tersebut. Sementara stakeholder sendiri didefinisikan sebagai semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh oleh kebijakan, keputusan dan aksi dari sistem tersebut. Unit stakeholders bisa berupa individu, kelompok sosial, komunitas, berbagai level dalam masyarakat (Grimble dan Chan 1995). Tujuan dari MCA adalah untuk mencapai hasil yang secara luas diterima oleh seluruh
stakeholder yang ada, sementara MCA merupakan alat yang baik untuk mencapai resolusi konflik lingkungan dan kendala yang ada pada daerah penelitian. Elemen kritis harus secara jelas diidentifikasi untuk mempermudah
responden dalam
pengambilan keputusan, elemen ini meliputi: kelompok-kelompok kepentingan yang relevan, interaksi antara kelompok kepentingan, dan kegiatan sosialekonomi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Metode
pokok
yang
digunakan
dalam
penyusunan
rencana
pengelolaan pesisir dan laut khususnya untuk ekosistem terumbu karang adalah
metode
partisipatif/pembelajaran
(lesson-learned)
dari
seluruh
stakeholders yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam sebuah forum/media stakeholders meeting. Metode pembelajaran dalam hal ini bukan diterjemahkan sebagai penyusunan metode-metode dan teori-teori, tetapi lebih pada upaya untuk memfasilitasi stakeholder untuk mampu mengubah
33
perilaku yang sebelumnya definitif menjadi lebih partisipatif. Pembelajaran yang diberikan kepada stakeholders dirancang meliputi empat langkah utama, yaitu penjaringan
permasalahan ,
identifikasi
dan
klasifikasi
permasalahan,
analisis permasalahan, dan perumusan permasalahan. 2.7
Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) Untuk dapat mengelola sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan perlu pemahaman tentang pengertian dan karakteristik utama dari kawasan ini. Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut adalah daerahdaerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2004). Prinsip keterpaduan sangat penting dan memegang peran yang fundamental sebagai salah satu kunci sukses pengelolaan dalam
konteks
pengelolaan wilayah pesisir, dimana hal tersebut berkaitan dengan sifat alamiah dari wilayah pesisir yang sering disebut sebagai “the most complex systemand multi-use region”. Seperti yang di ungkapkan oleh Thia-Eng (2006), dapat dipastikan bahwa keterpaduan merupakan konsistensi internal antara kebijakan dan aksi pengelolaan, sehingga memunculkan
3 katagori keterpaduan
atau
integrasi yaitu sistem, fungsi dan kebijakan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa
penerapan integrasi sistem harus mempertimbangkan dimensi temporal dan spasial dari sistem sumberdaya pesisir di dalam perubahan fisik lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan sosioekonomi. Dengan demikian integrasi sistem dapat
relevan dengan isu pengelolaan yang berkaitan dengan lingkungan,
ekonomi dan
sosial.
Untuk integrasi fungsi
sangat
berhubungan dengan
program dan manajemen proyek dalam kaitannya dengan sasaran dan tujuan. Sebagai contoh integrasi fungsi yang efektif adalah skema zona pesisir yang mengalokasikan sumberdaya alam guna pemanfaatan spesifik, dan melalui skema ini ditemukan tipe dan level dari aktivitas yang diijinkan di tiap zona, sesuai
34
dengan sasaran dan tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu. Sedangkan integrasi kebijakan bertujuan
untuk mencapai konsistensi antara kebijakan pemerintah
lokal dan nasional dalam perencanaan pengembangan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Dengan melihat pada kenyataan yang ada bahwa fungsi wilayah pesisir yang dinamik, Cicin-Sain dan Knecht (1998) memberikan petunjuk bahwa ada 5 komponen keterpaduan dalam pengelolaan pesisir yaitu : (1) Keterpaduan sektoral, mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Integrasi antar sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir ini dapat bersifat horisontal dan vertikal, misalnya sektor perikanan dan pariwisatabahari untuk horisontal, dan sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan sektor yang memanfaatkan sumberdaya daratan yang memberikan pengaruh terhadap dinamika ekosistem pesisir dan laut (mis: sektor perikanan dengan pertanian pesisir) untuk vertikal. (2)
Keterpaduan pemerintahan, memiliki
makna integrasi antar level
penyelenggara pemerintahan dalam sebuah konteks pengelolaan wilayah pesisir tertentu. Seperti contoh pengelolaan sebuah teluk dapat melibatkan lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian koordinasi dan integrasi antar level pemerintah seperti antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi atau bahkan pemerintah pusat diperlukan dalam konteks keterpaduan pemerintah ini. (3) Keterpaduan spasial, memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan pesisir, yaitu mencakup kawasan daratan dan kawasan laut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara ekosistem daratan dan ekosistem laut. Dengan demikian pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem tersebut sehingga integrasi pengelolaan secara spasial menjadi kebutuhan mutlak. (4) Keterpaduan ilmu dan manajemen,menitikberatkan pada integrasi antar ilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan pesisir. Dalam konteks ini, integrasi pemahaman bersama antara ilmu (alam, ekonomi dan sosial) menjadi sangat penting sehingga tujuan pengelolaan pesisir berkelanjutan dapat diwujudkan.
35
(5)
Keterpaduan internasional, mensyaratkan adanya integrasi
pengelolaan
pesisir yang melibatkan dua atau lebih negara seperti dalam konteks transboundary species, high migratory biota maupun efek polusi antar ekosistem. Keterpaduan ini misalnya sangat diperlukan ketika pemerintah harus terlibat dalam pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management
Organization) seperti yang diisyaratkan oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), IOTC (Indian Ocean of Tuna Commision) dan lain sebagainya. Wilayah pesisir juga unik dari segi ekonomi karena wilayah ini menyediakan ruang bagi aktivitas manusia yang menghasilkan manfaat ekonomi yang besar (Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Karena itu, tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir semakin berat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan peningkatan permintaan sumberdaya dan jasa lingkungan. Disamping itu, praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang persyaratkan oleh pertimbangan lingkungan sering terjadi dan bahkan dilakukan dengan cara yang destruktif sehingga memicu kerusakan sumberdaya yang lebih buruk. Mengacu pada karakteristik biofisik dari wilayah pesisir, maka dalam pembangunan perikanan di wilayah pesisir harus didasarkan atas pertimbangan keterpaduan ekologis, karena semua komponen penyusun ekosistem wilayah pesisir
diasumsikan
saling
berhubungan
dan
saling
ketergantungan
(interdependensi) dan merupakan satu kesatuan unit fungsional yang terintegrasi. Daratan, udara dan air sebagai komponen sumberdaya wilayah pesisir memiliki hubungan ekologi yang sangat kompleks, sehingga dalam pemanfaatannya harus mempertimbangkan sifat holistik yang dimilikinya yang tercermin dalam kaidahkaidah ekologi yang menjadi acuan untuk pemanfaatannya. Pemahaman secara terpadu harus didasarkan pada prinsip ekologi yang berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Menurut Clark (1974), terdapat 11 kaidah ekologi yang menjadi dasar pengelolaan wilayah pesisir yang kesemuanya bertumpu pada fungsionalitas ekosistem pesisir yang menjadi kunci keberadaan sumberdaya pesisir.
36
1. Integritas ekosistem (Ecosystem integraty). Pendekatan ini berdasar pada kaidah ekologis yang menyatakan bahwa: Tidak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat berjalan atau berfungsi secara independen terhadap ekosistem lainnya. Ekosistem adalah unit luas yang paling mendasar yang melingkup seluruh elemen fisik dan biologis dari unit terkecil yang saling berinteraksi di wilayah pesisir. Oleh karena wilayah pesisir merupakan bagian dari ekosistem DAS yang sangat luas, maka pengelolaan wilayah pesisir harus diimbangi atau diikuti oleh pengelolaan di wilayah hulu. 2. Keterkaitan (Lingkage). Air merupakan penghubung yang esensial antara elemen daratan dan lautan dari ekosistem pesisir. Pertimbangan ekologis yang utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan air, bukan saja pada perairan pesisir, tetapi juga pada aliran di wilayah hulu yang berpengaruh pada siklus hidrologi melalui air tanah dan air permukaan yang akan bermuara di wilayah pesisir sebagai terminal point. Karena itu, air memiliki fungsi sebagai media penghubung utama antara elemen-elemen daratan dan lautan dalam suatu ekosistem pesisir. Dengan mengacu pada kaidah ekologi tersebut, maka pembangunan wilayah pesisir tidak terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan yang ada di wilayah hulu. Aspek penutupan lahan DAS dan aktivitas manusia di kawasan tersebut sangat mempengaruhi dinamika lingkungan wilayah pesisir dan keberlanjutan manfaatnya. 3. Aliran masuk (Inflow). Volume alami, pola serta laju aliran air tawar menjamin berfungsinya ekosistem secara optimum. Perairan pesisir adalah campuran antara air tawar dari daratan dan air laut. Bekerjanya ekosistem pesisir dipengaruhi oleh karakteristik dari kedua sumber pasok perairan tersebut, melalui gaya serta interaksi yang ada pada keduanya. Laut merupakan reservoir air dan gaya yang sangat besar. Air laut mendorong gaya yang biasanya lebih bervariasi dari air daratan. Aliran air laut di wilayah pesisir dipengaruhi oleh tingkat pasang surut, gelombang, badai dan arus, serta perubahan ukuran inlet yang lebih konsisten dari pada aliran air tawar melalui sungai bervariasi menurut perubahan musiman dalam curah hujan serta jumlah limpasan (run-off). Dengan demikian, perubahan salinitas, pola sirkulasi di daerah estuari lebih banyak ditinju dari asupan air tawar serta daerah aliran
37
sungai yang mempengaruhinya. Volume air tawar yang masuk ke perairan pesisir mengatur salinitas perairan pesisir. Salinitas air akan mempengaruhi jenis spesies dan kelimpahannya, serta penyebaran organisme perairan di wilayah pesisir, seperti ikan, kekerangan, plankton, alga, tumbuhan, dan fauna dasar. Volume air tawar juga mengatur sirkulasi dari perairan pesisir melalui laju flushing (flushing rate) dari DAS dan kekuatan arusnya dalam suatu sistem water budget. Selain itu, pasokan air tawar dari hulu akan membawa sedimen, nutrient, mineral, serta bahan organik serta bahan-bahan lain yang larut maupun tersuspensi dalam air ke perairan wilayah pesisir. Pasokan material dari daratan akan mempengaruhi karakteristik ekosistem pesisir yang pada gilirannya akan mempengaruhi produksi tumbuhan, konsentrasi oksigen, dan sedimen di wilayah estuari. Berlangsungnya fungsi sirkulasi air secara alami, pola serta laju masukan air tawar musiman dapat menjamin fungsi ekosistem pesisir yang optimum. 4. Basin circulation. Pola sirkulasi air secara alami di dalam basin menjamin berfungsinya ekosistem secara optimal. Sirkulasi dalam basin merupakan gabungan antara pengaruh aliran air tawar, gaya pasang surut, angin dan gaya yang timbul dari laut (oceanic force) yang menghasilkan suatu pola pergerakan air yang spesifik di wilayah perairan pesisir. Sirkulasi air membawa nutrient, mendorong pergerakan plankton, menyebarkan telur dan larva biota perairan, menggelontorkan buangan hewan dan tumbuhan, membersihkan pencemaran dalam sistem, mengendalikan salinitas, memutar posisi sedimen, serta pencampuran massa air. Pola sirkulasi air mempengaruhi stratifikasi salinitas perairan pesisir. Hal ini berpengaruh pada tingkat produktivitas wilayah perairan pesisir. Pola sirkulasi yang baik mencermikan kondisi lingkungan yang baik. Laju pembasuhan yang tinggi dapat menurunkan beban polutan di perairan pesisir. Keseimbangan pola sirkulasi air dalam basin merupakan prinsip yang harus dianut dan dimulai dengan presumsi bahwa kondisi alami adalah yang terbaik dan harus dipertahankan. Karena itu, pola sirkulasi air alami yang baik dapat menjamin fungsionalitas ekosistem yang baik.
38
5. Energi - aliran dan jumlah energi yang tersedia mengatur proses kehidupan dalam ekosistem pesisir. Kebutuhan energi di dalam ekosistem psisir diperoleh dengan dua cara, yaitu (a) berasal dari pengaruh eksternal, dan (b) dari pasokan internal yang merupakan daur ulang dari dalam sistem. Gaya dari luar sistem yang mempengaruhi ekosistem pesisir adalah arus pasang surut, arus laut, aliran sungai, angin, matahari, serta mineral yang memasok makan bagi tumbuhan dan hewan. Rantai atau jaringan makanan dimulai dari energi yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesa. Tumbuhan sebagai produser primer, menggunakan energi matahari untuk fotosintesa yang mentransformasikan karbondioksida dan nutrient dasar menjadi jaringan tumbuhan, yang merupakan bentuk energi yang tersedia bagi hewan sebagai dasar bahan makanannya. Tumbuhan ini kemudian dimakan dan energinya dikonversi melalui jaringan makanan yang kompleks dan kembali ke nutrient dasar. Karena seluruh makanan hewan bermula dari tumbuhan, setiap organisme dapat dikatakan tergantung dari faktor utama yang membatasi produksi
jaringan
tumbuhan,
seperti
pasok
nutrient
dasar,
jumlah
karbondioksida yang tersedia, serta sinar matahari. 6. Penyimpanan (Storage). Kemampuan penyimpanan energi yang sangat tinggi akan menjamin fungsionalitas ekosistem secara optimum. Kapasitas penyimpanan energi merupakan aspek yang sangat penting dalam ekosistem pesisir. Penyimpanan adalah kemampuan suatu sistem dalam menyimpan satu atau lebih komponen-komponennya. Suatu unit penyimpanan dapat berarti sebidang tanaman rawa (marsh grass), sekelompok ikan, bibit dan anakan, sedimen organik atau fitoplankton yang ada di dasar perairan pesisir. Unit-unit tersebut mengumpulkan dan menyimpan energi yang akan digunakan pada saat terjadi kekurangan. Tempat penyimpanan di jaringan tumbuhan sangat penting karena nutrient yang disimpan menstabilkan dan
menyediakan
perlindungan terhadap tekanan lingkungan yang berat yang sifatnya ireguler atau periode kekurangan musiman (misal musim dingin). Penyimpanan energi ini merupakan cadangan alami yang melindungi ekosistem terhadap fluktuasi yang tinggi dalam kondisi kelebihan dan kelangkaan. Dengan demikian,
39
kemampuan penyimpanan energi yang tinggi
berfungsi sebagai dasar
fungsionalitas ekosistem yang optimum. 7. Nitrogen Nitrogen. Produktivitas perairan pesisir biasanya diatur oleh jumlah nitrogen yang tersedia. Nutrien dan trace element merupakan kemikalia utama bagi perairan pesisir. Nutrient sangat vital bagi keseluruhan rantai kehidupan di perairan pesisir, karena dibutuhkan oleh semua tanaman baik yang berakar maupun yang mikroskopis seperti fioplankton, karena kehidupan hewan didukung oleh tanaman. Nutrient bebas secara alami relatif jarang di dalam perairan pesisir, sebab digunakan oleh tanaman secara cepat. Nutrient di perairan pesisir dipasok oleh proses alamiah melalui runoff, rainfall, atau berasal dari laut. Di wilayah perairan pesisir jumlah nitrat yang tersedia secara umum dianggap sebagai faktor nutrient yang mengatur banyaknya jumlah tumbuhan. Di wilayah periran pesisir yang produktif kenaikan unsur nitrogen dalam jumlah yang siginifikan dari limbah maupun pupuk, terutama nitrat akan menimbulkan eutrofikasi. Dengan demikian, keseimbangan nitrogen budget dalam perairan pesisir berperan penting bagi berlangsungnya fungsi ekosistem di wilayah pesisir. 8. Cahaya Cahaya. Sinar matahari adalah faktor penggerak utama dalam seluruh ekosistem, karena sinar matahari adalah sumber energi bagi produktivitas primer. Tumbuhan merupakan dasar makanan bagi seluruh makhluk hidup di perairan pesisir. Cahaya matahari harus dapat menembus air sampai kedalaman tertentu sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman berakar dan fitoplankton yang mengapung di bawah permukaan. Kekeruhan akibat suspensi lumpur atau dari konsentrasi organisme akan mempengaruhi penetrasi sinar mathari ke dalam perairan dan memiliki efek yang negatif terhadap jumlah tumbuhan yang hidup di perairan pesisir. Sinar matahari memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap perilaku sejumlah hewan. Ada yang memerlukan kejernihan air namun ada pula yang memerlukan air yang relatif keruh yang dapat memberikan perlindungan atau naungan bagi hewan tersebut. Karena itu, upaya mencegah terjadinya kekeruhan yang umumnya disebabkan oleh pasokan sedimen dari daratan menjadi penting agar fungsi ekosistem dapat berjalan secara optimum.
40
9. Temperatur Temperatur. Temperatur memiliki pengaruh yang besar dalam ekosistem pesisir. Proses fisiologi hewan akuatik sangat tergantung pada temperatur. Perubahan temperatur, seperti yang dihasilkan oleh buangan pembangkit listrik atau perubahan pola aliran berdampak negatif bagi berlangsungnya fungsi ekosistem wilayah pesisir. Selain itu, karena beragam jenis hewan yang memerlukan estuari bagi perjalanan hidupnya. Temperatur optimal bagi berbagai habitat akuatik tidak hanya tergantung pada preferensi spesies, tetapi juga keberadaan ekosistem pesisir secara keseluruhan. Karena itu, fluktuasi temperatur yang mencolok dapat mengganggu berfungsinya ekosistem secara normal. 10. Jumlah oksigen oksigen. Tingginya konsentrasi oksigen terlarut menjamin fungsi ekosistem secara optimal. Oksigen dan karbondioksida merupakan gas yang penting bagi kehidupan di perairan pesisir. Hewan memerlukan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dan tumbuhan memerlukan karbondioksida serta mengeluarkan oksigen secara seimbang. Ada suatu keseimbangan yang kritis dalam siklus antara tumbuhan dan hewan yang juga melibatkan peralihan gas yang larut di permukaan air dan dari atmosfir. Ekosistem perairan pesisir membutuhkan minimal 6 ppm oksigen terlarut bagi berfungsinya ekosistem secara normal. Salinitas. Salinitas mempengaruhi proses osmoregulasi bagi organisme 11. Salinitas perairan, sehingga berdampak pada proses adaptasi osmotik yang pada gilirannya akan mempengaruhi keragaman spesies, kelimpahan dan distribusi biota di perairan pesisir. Dengan demikian, salinitas akan menentukan produktivitas perairan pesisir sebagai cerminan berfungsinya ekosistem pesisir secara optimal. Kesebelas kaidah ekologis ini mencerminkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir harus didasarkan atas pemahaman prespektif holistik. Karena itu, Clark (1974) mengelaborasi kaidah ekologis ini menjadi acuan bagi pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut: 1. Integritas ekosistem: Bahwa setiap ekosistem pesisir harus dikelola sejalan dengan keterkaitan bagian-bagian serta sebagai satu kesatuan yang utuh.
41
2. DAS: bahwa pengelolaan DAS sedapat mungkin mempertahankan pola alaminya, karena DAS adalah faktor kunci dalam pengelolaan air sebagai komponen utama keterkaitan elemen-elemen ekosistem. 3. Penyangga DAS: Perlu dibangun penyangga DAS berupa vegetasi sepanjang DAS tersebut sejalan dengan meningkatnya pembangunan. Tata guna lahan yang dicirikan oleh penutupan lahan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidroorologi DAS. 4. Lahan basah dan wilayah pasang surut: Perlu melestarikan lahan basah dan pasang surut yang bervegetasi sejalan dengan meningkatnya pembangunan. 5. Penyimpanan: Komponen penyimpanan (storage) dari ekosistem adalah komponen yang sangat penting dan harus selalu dilindungi. 6. Energi: Untuk mempertahankan ekosistem pada fungsi optimumnya perlu dilakukan perlindungan dan optimisasi sumber dan aliran energi yang memberikan tenaga ke dalam sistem. Laut dan pesisir dalam esensinya bersifat sangat unik dan dinamis, memiliki interaksi yang kuat dalam sistem dan prosesnya, khususnya antar muka sistem daratan dan lautan serta interaksi antara berbagai ekosistemnya yang sangat dinamis dan vital bagi kehidupan, yang dihuni oleh mayoritas flora dan fauna yang mesti dilestarikan keanekaragam hayatinya berikut habitatnya. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir memerlukan perhatian khusus dan berhati-hati dalam perencanaan dan pengelolaannya. Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi dalam pembangunan pesisir dan laut, maka keterpaduan ekologis, sistem, antar disiplin, antar sektor, (yang bersasaran serbaguna), menjadi prasyarat mutlak bagi berlangsungnya fungsi sumberdaya pesisir dan lautan untuk maksud dan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial budaya dan ekonomi komunitas laut dan pesisir serta masyarakat luas pada umumnya, dengan berupaya memantapkan kelembagaan dan jaminan hukum dalam merencanakan dan mengelolan sumberdaya serta lingkungan laut dan pesisir secara terpadu oleh generasi kini dan untuk warisan ke pada generasi mendatang, agar sumberdaya dan lingkungan tetap lestari dalam pembangunan yang berkelanjutan.
42
Wilayah pesisir sebagai daerah ecoton, merupakan bagian integral dari ekosistem DAS yang lebih luas, sehingga segala aktivitas yang ada di daerah hulu akan berdampak pada keberlanjutan manfaat sumberdaya pesisir. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologi dan menjadi pijakan pemahaman fungsional yang bersifat holistik dari ekosistem pesisir akan menimbulkan dampak terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya pesisir. Sebagai bagian integral dari DAS, maka upaya yang mengarah pada pelestarian peran dan fungsi DAS dalam mempertahankan fungsi hidroorologi menjadi penting untuk dilakukan. Perubahan penutupan lahan akibat kegiatan manusia yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah ekologi dapat menimbulkan perubahan limpasan air permukaan, erosi dan sedimentasi sehingga sistem hidrologi akan terganggu. Dampak lebih lanjut adalah pasokan limpasan air permukaan dan air tanah ke wilayah pesisir sebagai terminal point dari DAS akan berubah dan berfluktuatif. Indikator yang mudah diketahui sebagai cerminan rusaknya DAS adalah terjadinya banjir pada waktu penghujan dan kekeringan di waktu musim kemarau. Kedua fenomena ini menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar terhadap stabilitas fungsional ekosistem, dan kerugian materi serta hilangnya jasa lingkungan yang signifikan. Kondisi ini akan mempengaruhi fungsionalitas ekosistem pesisir,
karena perubahan gradient lingkungan yang
sangat menyolok berpengaruh pada proses kehidupan di wilayah pesisir. Sedimentasi, pencemaran, dan banjir di wilayah pesisir merupakan contoh permasalahan akibat pemanfaatan sumberdaya yang tidak mengindahkan kaidahkaidah ekologis. Kerusakan DAS akan berdampak pada kualitas lingkungan perairan pesisir yang menciri pada budget air dan material yang berfluktuatif. Akibat lanjut adalah terjadinya banjir, kekeruhan, sedimentasi, eutrofikasi, dan pencemaran logam berat dan pestisida, kesemuanya berpengaruh pada perubahan kelayakan fungsi ekologi perairan pesisir bagi kehidupan organisme akutik dan bagi kepentingan jasa transportasi, pariwisata, dan jasa lingkungan (kenyamanan dan estetika). Karena itu, pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan seluruh komponen penyusun ekosistem DAS. Integrasi dan koordinasi serta kolaborasi
organisasi
antar
berbagai
sektor
menjadi
penting
dalam
43
mempertahankan fungsi hidrologi DAS. Penataan lahan yang proporsional antara kepentingan ekonomi dan ekologi serta antara kepentingan produksi dan konservasi diharapkan dapat mempertahankan kestabilan fungsi ekosistem DAS secara menyeluruh yang tercermin pada keberlanjutan manfaat sumberdaya wilayah pesisir sebagai terminal point dari aliran air dalam kawasan DAS.
2.8
Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu
karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar (non market value). Menurut Fauzi ( 2005) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Fauzi (2005) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki oleh sumberdaya yaitu: 1.
Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka kecenderungannya akan musnah.
2.
Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami kepunahan.
44
3.
Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam. Menurut Constanza and Folke (1977) diacu dalam Adrianto (2006) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) dalam Adrianto (2006) menyatakan untuk tercapainya ke tiga tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan. Sementara itu, menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use
values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya. Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value).Sementara nilai non
use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values). Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh terumbu karang terus menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground.
45
Metode Valuasi Ekonomi Metode untuk menilai sumberdaya secara ekonomi umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu valuasi yang menggunakan fungsi permintaan dan yang tidak menggunakan fungsi permintaan. Pendekatan yang tidak mengunakan fungsi permintaan (non market demand approach) secara luas digunakan dalam menilai biaya dampak lingkungan dalam hal ini untuk menentukan respon kebijakan yang akan diterapkan. A. 1.
Pendekatan kurva permintaan (demand curve approach). Metode Dampak Produksi (Effect on Production/EoP) Teknik pendekatan ini mengacu juga sebagai perubahan dalam produksi yaitu
memandang perubahan pada output (produksi) sebagai basis dalam menilai ekosistem terumbu karang. Umumnya teknik ini diterapkan pada perikanan dan wisata untuk menduga perbedaan produksi output sebelum dan sesudah dampak dari suatu aktivitas maupun intervensi pengelolaa. Metode ini menghitung dari sisi kerugian (apa yang hilang) akibat suatu tindakan. Misalnya suatu kawasan dijadikan konservasi. Pendekatan ini menjadi dasar bagi pembayaran kompensasi bagi property yang semestinya dibeli oleh pemerintah untuk tujuan sepert membangun jalan tol, bandara, instalasi militer dan lain- lain. juga biaya kompensasi bagi petani yang merelakan tanahnya untuk tujuan pembangunan yang ramah lingkungan misalnya cagar alam,hutan lindung dan lain- lain. Kasus yang mudah adalah pemutihan karang yang terjadi sehingga dalam waktu singkat mengurangi jumlah wisatawan diving pada terumbu karang, dampaknya tentu saja menurunkan pendapatan sehingga perubahan pada manfaat bersih dapat diukur dan dapat digunakan sebagai proksi kerugian pada nilai wisata. Demikian juga halnya dengan perikanan karang misalnya dengan aktivitaas yang merusak seperti pemboman, pembiusan, muroami maka perubahan hasil output yaitu ikan karang dapat digunakan sebagai proksi dari nilai ekosistem terumbu karang yang hilang. 2.
Metode Respon Dosis (Dose Respon Method) Metode ini menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau polutan
tertentu terhadap kegiatan ekonomi atau utilitas konsumen.Misalnya tingkat pencemaran perairan karena limbah dibuang kelaut sehingga mempengaruhi
46
kesehatan ikan. Penurunan tingkat produksi dapat dihitung baik dengan menggunakan harga pasar yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price). Perhitungan menjadi lebih kompleks jika dampak dari pencemaran tersebut menpengaruhi kesehatan manusia. Perhitungan dampak ekonominya memerlukan estimasi yang menyangkut nilai kehidupan manusia seperti pengurangan resiko sakit, meninggal , kemauan membayar untuk menghindari resiko sakit atau mati akibat pencemaran tersebut.Ada kaitan yang erat antara metode EOP dan DR. 3.
Metode Pengeluaran Preventif (Preventive Expenditure Method) Pada metode ini nilai sumberdaya dihitung dari apa yang disiapkan oleh
orang atau sekelompok orang untuk pencegahan (preventif) yang menyebabkan kerusakan sumberdaya. 4.
Metode Avertive Behaviour (AB) Penghitungan nilai eksternalitas , dilakukan dengan menghitung berapa biaya
yang disiapkan seseorang untuk menghindari dampak negatif dari kerusakan sumberdaya. Misalnya pindah kedaerah yang kualitas lingkungannya lebih baik, sehingga akan ada biaya pindah .Jika kepindahan menyangkut tempat kerja , maka biaya transportasi ke tempat kerja yang baru juga merupakan biaya ekternalitas. 5.
Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Method) Metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi aset produktif yang rusak,
karena penurunan kualitas sumberdaya atau kesalahan pengelolaan. Biaya ini diperlukan sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan
menunjukkan
perubahan
tersebut
tidak
hanya
menyangkut
keseimbangan rantai makanan biota-biota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek lain,misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat : • Hilangnya tempat bertelur (spaning ground) • Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) • Penurunan produktivitas primer diperairan.
47
Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk nilai uang, maka hasil perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan. Pendekatan Non Kurva Permintaan (Non Demand Curve Approach) 1.
Contingent Valuation Method (CVM) Merupakan metoda valuasi sumberdaya alam dengan cara menanyakan
kepada konsumen tentang nilai manfaat sumberdaya alam yang mereka rasakan.Teknik CVM ini dilakukan dengan survey melalui wawancara langsung dengan responden yang memanfaatkan sumberdaya alam. Cara ini diharapkan dapat menentukan preferensi responden terhadap barang sumberdaya alam dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar (Wilingness to pay) yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang. Guna memperoleh hasil yang maksimal dan tepat sasaran , maka dalam penggunaan metode ini diperlukan desain kuesioner yang umumnya digunakan yakni metode pertanyaan langsung, (direct question method), metode penawaran bertingkat (bidding game method), metode kartu pembayaran (payment card
method) dan metode setuju atau tidak setuju (take it or leave it method). •
Metode pertanyaan langsung;
digunakan dengan cara memberikan
pertanyaan langsung berapa harga yang sanggup dibayar oleh responden untuk dapat memanfaatkan atau mengkonsumsi sumberdaya yang ditawarkan. •
Metode Penawaran Bertingkat; merupakan penyempurnaan dari pertanyaan langsung. Caranya adalah bahwa semua harga tertentu telah ditetapkan oleh pewawancara kemudian ditanyakan kepada responden apakah harga tersebut layak. Jika responden menjawab ya dengan harga yang ditawarkan , maka harga dinaikkan terus hingga responden menjawab tidak. Angka terakhir yang dicapai tersebut merupakan nilai WTP yang tertinggi. Hal yang sebaliknya bisa saja terjadi yaitu jika responden menjawab tidak untuk harga pertama yang ditawarkan. Jika demikian yang terjadi maka harga diturunkan terus hingga responden menjawab ya. Angka terakhir dianggap sebagai nilai WTP
48
terendah. Harga WTP ini dianggap sebagai harga/nilai sumberdaya yang ditawarkan. •
Metode Kartu Pembayaran; digunakan dengan bantuan sebuah kartu berisi daftar harga yang dimulai dari nol (0) sampai pada suatu harga tertentu yang relative tinggi, kemudian kepada responden ditanyakan harga maksimum sanggup untuk membayar suatu produk SDA .
•
Metode Setuju Atau Tidak Setuju; dari sisi responden metode ini sangat mudah karena responden ditawari sebuah harga , kemudian ditanya setuju atau tidak dengan harga tersebut.
2.
Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method). Pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) merupakan metode
valuasi dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang –barang rekreasi terutama rekreasi luar (outdoor recreation). Asumsinya semakin jauh tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi, maka para pemakai diharapkan lebih banyak meminta karena harga tersirat berupa biaya perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari tempat tersebut. Dengan demikian mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih rendah akan memiliki surplus konsumen yang lebih besar. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi dan membagi tempat rekreasi dan kawasan yang mengelilinginya. Dibagi zona konsentrik dengan ketentuan semakin jauh dengan tempat rekreasi semakin tinggi biaya perjalanannya. Kemudian dilakukan survey terhadap para pemakai ditempat rekreasi untuk menentukan zona asal, tingkat kunjungan, biaya perjalanan dan berbagai karakteristik biaya ekonomi. Data yang diperoleh digunakan untuk meregresi tingkat kunjungan dengan biaya perjalanan dan berbagai variabel ekonomi lainnya. Hasil regresi merupakan fungsi permintaan produk rekreasi terhadap biaya perjalanan. Bentuk persamaan regresinya adalah; Qi= f (TC, X1, X2,……Xn), Dimana Qi adalah tingkat kunjungan dari zona 1 per 1000 penduduk zona I , TC merupakan biaya perjalanan dan Xi hingga Xn adalah variabel sosial ekonomi , termasuk penghasilan dan variable lain yang sesuai. Dengan dasar pemikiran
49
diatas maka pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) dapat diterapkan untuk menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap rekreasi untuk suatu produk sumberdaya tertentu. Penerapan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method) didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut (Davis dan Johnson, 1987). •
Para konsumen memberikan respon yang sama terhadap perubahan harga tiket dan jumlah biaya perjalanan yang harus di keluarkan .
•
Utilitas perjalanan bukan faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi.
•
Tempat-tempat rekreasi sejenis mempunyai kualitas yang sama dalam memberikan kepuasan kepada pengunjung.
•
Pengunjung dengan tujuan rekreasi yang banyak diketahui sebelumnya.
•
Tempat rekreasi belum mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak ada pengunjung yang ditolak. Pengunjung dari zona yang berbeda dianggap mempunyai selera, preferensi, dan income yang relatif sama.
3.
Pendekatan Nilai Properti ( Property Value Method). Teknik penilaian lingkungan berdasarkan perbedaan harga sewa lahan atau
harga sewa rumah. Dengan asumsi perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas lingkungan maka selisih harga keduanya merupakan harga kualitas lingkungan itu sendiri. Disebut Pendekatan hedonic (hedonic approach) . Metode ini berdasarkan kesanggupan membayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan sebagai cara untuk menduga secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya sehingga nilai perubahan sumberdaya dapat ditentukan. Kesanggupan seseorang untuk membayar lahan, rumah atau property lainnya tergantung karakteristik barang tersebut. Artinya perubahan karakteristik akan mengubah WTP seseorang sehingga kurva permintaannya juga berubah. Salah satu karakteristik lahan dan perumahan adalah kondisi lingkungan lahan atau rumah berada, digambarkan oleh perbedaan harga atau sewanya. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar. Pertama konsumen mengakui dengan baik tentang karakteristik properti yang ditawarkan dan memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang lain tanpa ada kekuatan lain yang mempengaruhi. Kedua, konsumen harus merasakan kepuasan maksimum atas property yang dibelinya dengan kemampuan keuangan yang dimiliki
50
(transaksi terjadi pada kondisi equilibrium).Atas dasar kedua asumsi tersebut maka harga rumah atau tanah atau property lain yang merupakan fungsi dari bangunan itu sendiri Structural (S) lingkungan sekitar Neighborhood (N) dan kualitas lingkungan (Q). Variable structural adalah bentuk, ukuran dan luas lahan dan lain-lain.Variabel lingkungan sekitar adalah akses kekota, pusat pendidikan, keamanan, ketetanggaan dsb. Sedangkan variable kualitas lingkungan adalah kualitas udara, kebisingan suhu dsb. Dalam bentuk matematik fungsi tersebut sebagai berikut.; P = f( Si, Ni, Qi) Fungsi tersebut diturunkan terhadap Q maka diperoleh : dP / dQ.
dP/dQ adalah WTP marginal untuk tiap kenaikan satu unit kualitas sumberdaya. Persamaan atau fungsi diatas mengandung pengetian bahwa harga setiap penambahan satu unit karakteristik yang diperdangangkan seperti keindahan, kebisingan suhu, bau dan sebagainya.Bila persamaan diatas tidak berbentuk linear, maka harga setiap penambahan satu unit karakteristik sumberdaya yang diperdagangkan, misalnya keindahan, kebisingan , suhu, bau dan sebagainya. 4.
Metode Biaya Pengobatan (Cost Of Illness) Digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang
menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakukan penderita lain meliputi: • Perawatan pada rumah sakit • Perawatan selama penyembuhan • Pelayanan kesehatan yang lain. • Obat-obatan. Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seeorang menderita sakit. Biaya tidak langsung diukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Umumnya digunakan untuk menilai dampak polusi udara terhadap morbiditas.