2 PERKEMBANGAN KONSEP PEMBANGUNAN WILAYAH BERBASIS PERTANIAN
2.1 Pengertian Wilayah
Richardson (1979) mengartikan pewilayahan (regionalisation) dan ruang lingkup wilayah (region) tidak dapat didefinisikan secara baku karena kriteria yang digunakan sangat tergantung dari lingkup rancangan studi yang akan disusun. Sedangkan Raymond (1996), mengartikan wilayah cakupannya dapat beragam mulai dari pusat pemukiman kecil hingga wilayah yang sangat luas meliputi beberapa pulau bahkan negara. Richardson (1979); Glasson (1992); Glasson dan Marshal (2007), mendefinisikan wilayah secara formal adalah suatu kesatuan alam yang mempunyai keterkaitan yang menjadi pengikat. Suatu wilayah dalam pengertian geografi, merupakan kesatuan alam yang memiliki kesamaan dan ciri geografis yang khas, antara lain wilayah ekonomi yang berkaitan dengan proyek pembangunan dan pengembangan. Menurut Raymond (1996), wilayah perencanaan adalah wilayah geografis yang memungkinkan perencanaan dan penerapan program pengembangan wilayah sesuai dengan permasalahan dan kondisi spesifik di wilayah itu.
Wilayah
fungsional menurut Glasson (1992) dan Porter (1998) adalah suatu wilayah dengan keadaan alam yang tidak sama, tetapi memungkinkan berlangsungnya bermacam-macam kegiatan/fungsi yang saling mengisi dalam kehidupan masyarakat). Stohr (1981) memberikan pengertian wilayah berorientasi ekonomi sebagai semua unit teritorial yang lebih besar dari desa, dimana suatu kegiatan ekonomi layak untuk berkembang. Pengertian wilayah menurut Sasmojo (1999) didasarkan pada sisi administratif yang bermakna “daerah”, yang di Indonesia terdiri dari propinsi, kabupaten, dan kotamadya. Dilihat dari fungsinya, wilayah dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Berdasarkan karakteristik kegiatan ekonomi
wilayah dapat berbentuk perdesaan dan perkotaan.
8 2.2 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Zen (1999), mendifinisikan pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi dengan memperhatikan daya tampung lingkungan untuk pemebrdayaan masyarakat. Menurut Nachrowi dan Suhandojo (1999), terdapat tiga komponen wilayah yang harus diperhatikan dan disebut sebagai tiga pilar pengembangan wilayah yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Pembangunan atau pengembangan adalah suatu kata yang mulai populer pada masa sesudah Perang Dunia II merupakan keinginan untuk melakukan perubahan sosial (sosial change) yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan tujuan demi eksistensi dan perbaikan kualitas hidup berdasarkan dengan kemampuan yang dimiliki untuk merealisasikannya (Streeten 1981; Syafa’at et al. 2003; Zen 1999).
Pada saat itu, tingkat Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator yang sangat praktis yang dipakai untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan. Pembangunan diharapkan secara otomatis akan menetes (ke wilayah atau golongan yang ekonominya kurang) setelah tercapai tingkat PDB tertentu (Singer 1981). Pembangunan akan tercapai dengan sendirinya setelah suatu negara terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi dan berkembang melalui industrialisasi (Misra 1981). Tetapi ternyata peningkatan PDB saja tidak dapat menunjukkan telah terjadi pembangunan. Peningkatan PDB tidak dapat menghilangkan kesenjangan antara kaya dan miskin maupun mengurangi kemiskinan. Pada saat ini pembangunan tidak hanya diukur dari kenaikan PDB atau pendapatan per kapita seperti pada era 1950/1960. Pemerataan juga merupakan faktor yang harus diperhatikan karena trickle down effect tidak otomatis berjalan begitu saja (Singer 1981).
Pembangunan berarti penciptaan kehidupan kaya
dalam arti luas, di mana tercakup di dalamnya kemampuan semua orang untuk mendapatkan barang yang lebih baik, lebih banyak dan lebih berharga bagi kehidupannya,
hormat terhadap orang lain dan dirinya sendiri dan bebas dari
segala bentuk tirani (Misra1981; Todaro 2001). Berdasarkan sisi lain dari hasil pembangunan, kemudian tumbuh alternatif konsep lain seperti pembangunan dari bawah (development from below).
9 Berlawanan dengan pembangunan dari atas (development from above) yang hanya dapat bekerjasama dengan modal asing dan pemerintah yang memihak kepentingan asing untuk industrialisasi (Hansen 1981), pembangunan dari bawah mengandalkan sepenuhnya pada sumberdaya alam dan keahlian setempat. Konsep pembangunan dari bawah jauh lebih tepat diterapkan pada wilayah yang kecil. Meskipun keberhasilan menaikkan PDRB mungkin agak lambat, tetapi pemerataan akan jauh lebih baik, serta aspirasi masyarakat akan lebih dihargai. Beberapa negara telah menerapkan konsep tersebut seperti Cina dan Thailand (Douglass 1981). Konsep tersebut memberikan hasil yang lebih baik bila terdapat pemerintahan yang lebih demokratis dan tidak terlalu sentralistis. Peru yang memiliki pemerintahan militer yang teknokratis, mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep ini (Hilhorst 1981). Pada saat pengembangan lebih banyak dinyatakan hanya dengan ukuran Pendapatan Domestik Bruto (PDB), konsep pengembangan yang populer adalah konsep pusat pertumbuhan. Perkembangan konsep-konsep alternatif selanjutnya terkait
dengan
perkembangan
falsafah
atau
pola
pemikiran
mengenai
pengembangan. Kedudukan dan pandangan setiap konsep dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Konsep Perencanaan wilayah vs perubahan pemikiran mengenai pembangunan Pergeseran sistem nilai dunia
Lingkungan & pembangunan berkelanjutan
Top down / Growth Pole
Kurang demokratis: lebih menekankan kepentingan industri
Lingkungan bisa dikalahkan oleh tujuan pertumbuhan
Bottom up / “Agropolitan”
Lebih demokratis: lebih menekankan kepentingan rakyat
Aspek lingkungan & sustainable lebih mendapat perhatian
Sumber: Nurzaman (2005)
Globalisasi (kaitan dengan wilayah dan negara lain) - perkembangan mega urban - kesenjangan antar wilayah - tumbuhnya wilayah terpinggirkan - wilayah perdesaan menjadi basis perkembangan - hubungan dengan wilayah luar dibatasi
Pembangunan ekonomi yang sentralistis (top-down) mengakibakan terjadinya disparitas ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Kebijakan pembangunan yang top-down, dimana pemerintah pusat cenderung terlalu banyak turut campur tangan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah akan
10 mengakibatkan perekonomian daerah tidak berakar kuat (Syahrani 2001; Nurzaman 2005). Selain penekanan yang bergeser dari hanya PDB atau PDRB ke hal yang lebih bersifat pemerataan dan kesejahteraan manusia, persepsi pembangunan juga memberikan perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan (Sunkel, 1981). Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya paham pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development, yaitu maksimasi keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi, dengan tetap memperhatikan tercapainya jasa serta kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu. Jasa dan kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu tersebut dapat dicapai dengan: (1) pemakaian sumberdaya terbarukan dalam tingkat yang lebih rendah atau sama dengan tingkat pembaruan sumberdaya alam tersebut, dan 2) mengoptimalkan efisiensi dalam pemakaian sumberdaya alam tidak terbarukan dengan memperhatikan substitusi antara sumberdaya alam dengan kemajuan teknik (Pearce & Turner 1990). Pendekatan perencanaan wilayah lainnya menurut Glasson dan Marshal (2007); Puradimaja et al. (2007); Rustiadi dan Pranoto (2007), adalah (a) Supply side: berdasarkan analisis kapasitas; b) Demand side: berdasarkan analisis kebutuhan; c) Sustainable approach: keseimbangan antara supply side dan demand side. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development sebagai “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992. Tujuan pembangunan harus memuat tiga hal, yaitu: 1) pertumbuhan (growth), 2) keberlanjutan (sustainability) dan 3) pemerataan (equity) (Syafa’at et al. 2003). Tidak mungkin dilakukan pemerataan tanpa adanya pertumbuhan, dan tidak mungkin pula dipertahankan keberlanjutan pembangunan tanpa adanya pemerataan.
Salah satu pembangunan sektoral yang sangat mendukung
pengembangan ekonomi rakyat adalah pembangunan pertanian.
11 2.3 Pembangunan Desa dan Kota
Menurut Douglass (1998a), hubungan saling ketergantungan antara desa dan kota dalam perencanaan wilayah dapat dilihat pada Tabel 2. Kota pada wilayah perkotaan bertindak sebagai pusat pasar dari pertanian dan komoditi pedesaan untuk kedua wilayah dan wilayah lainnya dalam penjualan dan distribusi. Pusat kota tidak akan berfungsi sebagai pusat pemasaran tanpa produk perdesaan yang laku di pasaran, hal ini menunjukkan desa dan kota memiliki hubungan yang saling tergantung.
Untuk memperluas produksi perdesaan
diperlukan jaringan pemasaran yang disediakan oleh kota dan sistem perkotaan, tetapi tanpa pertanian dan proses berbasis pertanian yang terus menerus, kota perdesaan tidak akan berkembang. Tabel 2 Hubungan perkotaan dan perdesaan serta saling ketergantungannya Perkotaan
Perdesaan
Perdagangan pertanian / pusat transportasi Jasa pendukung pertanian - Input produksi - Jasa perbaikan - Inovasi: metode informasi dan produksi Non pertanian: pasar konsumen - Proses produk pertanian - Jasa perorangan - Jasa umum (kesehatan, pendidikan, administrasi) Industri berbasis pertanian
Produksi pertanian
Lapangan pekerjaan non pertanian Sumber: Douglass, 1998a
Intensifikasi pertanian - Infrastruktur perdesaan - Insentif produksi - Pendidikan dan pelatihan untuk adopsi inovasi Pendapatan dan kebutuhan perdesaan barang-barang non pertanian dan jasa
Produksi panen tunai dan diversifikasi pertanian Sama dengan di atas
Selanjutnya Douglass (1998a) menambahkan konsep regional network / cluster merupakan pendekatan baru dalam pembagunan perdesaan, yang dapat dibangun berdasarkan sumberdaya lokal dan hubungan kota-desa. Tabel 3 menunjukkan bagaimana growth pole terfokus pada industri perkotaan sebagai sektor unggulan dalam pengembangan wilayah, sedangkan pendekatan regional network mengakui banyak sektor lokal dalam pembangunan wilayah perdesaan dan mengakui peran sumberdaya wilayah perdesaan dan aktivitas yang sudah ada cukup bagi pembanguanan lokal untuk mendorong desentralisasi industri footloose dari pusat wilayah.
12 Tabel 3 Perbandingan model growth pole dan Network Regional No.
Komponen
Growth Pole/ Model Terpusat
Regional Cluster/ Model Network
1
Sektor dasar
2
Sistem perkotaan
3
Hubungan Perdesaanperkotaan
4
Tipe perencanaan
Perkotaan berbasis industri, umumnya terfokus pada industri skala besar dan unit produksi footloose bermarkas di luar wilayah Berhirarki, terpusat dan satu pusat dominan, kebanyakan diidentifikasi dari ukuran populasi dan hubungannya dengan teori pusat lokasi Menggambarkan proses perpindahan ke bawah hirarki perkotaan dan dari kota ke sekeliling perdesaan. Wilayah perdesaan pasif dalam pendapatan karena hanya mengharapkan tumpahan pertumbuhan perkotaan Kebanyakan top-down melalui agen perencanaan sektor dan kantor pertanahan. Wilayah memiliki batasan kurang jelas karena interaksi ekonomi
5
Wilayah kebijakan utama
Seluruh sektor, tergantung pada kondisi wilayah lokal, ditekankan pada perusahaan berbasis wilayah berukuran kecil sampai menengah Horisontal, terdiri dari beberapa pusat dan pendukungnya, dengan spesialisasi dan comparative advantages masingmasing Menggambarkan aktivitas lahan yang kompleks perkotaan-perdesaan, dengan stimulan pertumbuhan yang memancar baik dari wilayah perdesaan maupun perkotaan dan dengan peningkatan intensif sarana trnasportasi dalam wilayah Membutuhkan perencanaan sistem desentralisasi, dengan integrasi dan koordinasi dari beberapa sektor dan aktivitas perkotaan dan perdesaan pada tingkat lokal Diversifikasi pertanian, agroindustri, industri berbasis sumberdaya, pelayanan perkotaan, pelatihan tenaga kerja, jaringan transportasi lokal
Insentif desentralisasi industri, tax holiday, wilayah industri, transportasi/jalan nasional
Sumber: Douglass, 1998a
Menurut Douglass (1998b), Pembangunan perdesaan yang tidak seimbang tidak akan menjadi masalah dalam jangka pendek. Tetapi di beberapa negara telah menunjukkan konsekuensi dari pembangunan jangka panjang yang tidak diharapkan. Di Jepang dan Korea, pedesaan telah mulai punah oleh fungsi dasar perkotaan seperti transportasi bis dan kereta api, sehingga banyak sekolah menghilang dan menyisakan penduduk tua yang mengelola ekonomi pertanian. Meskipun pendapatan rumah tangga dapat membaik, namun kondisi wilayah terutama pada infrastruktur dasar, jasa dan potensi ekonomi tetap rendah. 2.4 Peran dan Pembangunan Pertanian
Pembangunan kecenderungan
pertanian
teknologi,
menurut
organisasi,
Mosher
aktivitas
(1976) dan
nilai
adalah budaya
sebuah yang
peningkatannya dapat membawa hasil lahan petanian menjadi lebih efektif dengan peningkatan produksi pertanian per petani. Selanjutnya Mosher (1968, 1974) mencirikan pertanian modern sebagai berikut: 1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus menerus diperbaiki, 2) hasil bumi yang diproduksi terus menerus
13 berubah dengan adanya perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi dan 3) perbandingan antara penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah sesuai dengan perubahan penduduk, alternatif kesempatan kerja dan perubahan teknologi usaha tani. Pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan fleksibel serta terus meningkat produktivitasnya. Faktor-faktor yang mendukung terciptanya pertanian modern menurut Mosher (1968) adalah: 1) Pendidikan pembangunan, 2) kredit produksi, 3) kerjasama berkelompok oleh para petani, 4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, 5) perencanaan nasional untuk pembangunan pertanian. Selanjutnya Mosher (1974) menambahkan syarat dasar untuk mencapai pertanian modern adalah: 1) penelitian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang baru, 2) mengatur pebuatan atau impor sarana produksi dan alat pertanian, 3) mengusahakan adanya insentif produksi bagi petani, 4) mengadakan perbaikan tanah pertanian, dan 5) mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga teknis. Komponen-komponen fungsional pertanian modern meliputi (Mosher, 1974): 1) farming, 2) agri-support yang terbagi menjadi komersial dan non komersial, dan 3) agri-milieu yang terdiri dari politik, ekonomi, dan budaya. Untuk mendukung pertanian modern, kegiatan agri-support, harus mudah diakses oleh petani yang memiliki pertanian potensial. Untuk itu perencanaan pertanian dilakukan dalam satuan farming district yang melayani farming locality. Timmer
(1998)
menggambarkan
bagaimana
perkembangan
peran
pertanian selama tahapan-tahapan pengembangan (Gambar 1). Setiap tahapan sesuai dengan perbedaan kebijakan politik dan hubungannnya dengan perekonomian, yang menunjukkan aliran tenaga kerja sebaik sumberdaya keuangan melalui berbagai mekanisme. Misalnya penyelamatan perdesaan dari investasi perkotaan dan transfer pendapatan melalui kebijakan harga, kebijakan komoditas, kebijakan suku bunga dan kebijakan tarif industri. Timmer memberikan nama setiap tahapan sesuai pengarang yang paling banyak mendokumentasikan lingkungan spesifik tersebut. Tahap pertama (Lingkungan Mosher) adalah usaha awal mengeluarkan sektor pertanian dari kemacetan. Pada tahap ini pertanian merupakan bagian
14 terbesar dari PDB dan populasi keseluruhan. Sumberdaya digunakan untuk menggerakkan pertanian dalam infrastruktur dasar. Perbedaan sosial yang ada di perdesaan
seperti kepemilikan lahan sempit, pertanian subsistem dan yang
lainnya lebih mampu mengakumulasi hak mereka untuk mengendalikan kelebihan aset. Peningkatan laju tenaga kerja desa-kota, seperti berpindahnya tenaga kerja berproduktivitas rendah di pertanian menuju tenaga kerja berproduktivitas tinggi di industri kota.
Laju sumberdaya: - Laju tenaga kerja - Simpanan perdesaan untuk investasi perkotaan - Transfer pendapatan, melalui: Kebijakan komoditi, kebijakan bunga, kebijakan tarif industri
Lingkungan Mosher
Lingkungan Johnston-Mellor
Lingkungan SchlutzRuttan
Lingkungan D.G.Johnson
Laju pendapatan & simpanan tanpa pertanian proteksi tinggi
Strategi jump
Laju pendapatan & simpanan dengan pertanian proteksi tinggi
Setting Kebijakan:
Perubahan pertanian: perubahan institusi, teknologi baru, investasi pada infrastruktur perdesaan
Laju tenaga kerja Pertanian sebagai motor Menyatukanpertanian ke Pertanian di ekonomi Pendapatan pertumbuhan: hubungan ekonomi makro: industri: pangan menjadi perkapita atau pasar dengan industri pembelanjaan pangan bagian kecil pada waktu yang mapan, peningkatan menurun pada anggaran anggaran rumah tangga, pasar memobilisasi rumah tangga, pemerataan pendapatan sumberdaya, peninkatan permasalahan distribisi menjadi isu kebijakan, hasil karena teknologi pendapatan sehubungan pengangguran di sektor produktifitas pertanian industri menjaga tenaga yang rendah, pertanian kerja pertanian , isu menjadi lebih efisien lingkungan menjadi perhatian
Gambar 1. Hubungan antara transformasi pertanian dan peran pertanian (Timmer, 1998)
Pada tahapan selanjutnya (Lingkungan Johnston-Mellor), pertanian dicirikan oleh peningkatan hubungan antara pertanian dan industri yang berlokasi di kota, ternasuk produksi dan konsumsinya. Faktor pemasaran menjadi sangat dinamis, yang kemudian memengaruhi mobilisasi sumberdaya
antar sektor
seperti keuangan dan tenaga kerja. Pertanian dalam tahap ketiga (Lingkungan Schultz-Ruttan) banyak terjadi perubahan. Pertama, terjadi penurunan bagian pertanian baik dalam PDB maupun populasi, sebagai akibat dari migrasi dari desa ke kota dan penurunan anggaran
15 rumah tangga terhadap pangan. Kedua, kebijakan nasional berpengaruh besar terhadap perpindahan sumberdaya keuangan dari pertanian ke deposito karena kebijakan suku bunga dan perdagangan. Ketiga, ketidakseimbangan pendapatan mencapai puncaknya,
karena produktivitas pertanian tertinggal jauh dari
produktivitas tenaga kerja di perekonomian. Akibatnya konsentrasi kemiskinan di perdesaan berlanjut. Pada tahap terakhir (Lingkungan Johnson), kebutuhan terhadap pangan menjadi bagian yang kecil dari anggaran rumah tangga. Sumberdaya keuangan pemerintah dari pajak pendapatan selain pertanian meningkat tajam, isu pemerataan pendapatan merupakan dimensi kebijakan yang berarti. Menurut Bresciani et al. (2005), pada perkembangan ekonomi terakhir banyak didiskusikan fungsi dan kemampuan
beragam dari pertanian dalam
memproduksi produk kerjasama. Contohnya adalah landscape, agro-tourisme, ketahanan pangan, keramahan perdesaan dan pengelola karbon. Potter (2005) menyatakan bahwa di luar fungsi utama pertanian dalam memproduksi pangan dan serat, aktifitas pertanian dapat membentuk landscape, menyediakan keuntungan lingkungan seperti konservasi tanah, pengelolaan sumberdaya terbarukan dan pemeliharaan biodeversitas dan memberikan kontribusi sosial ekonomi daerah perdesaan. Sektor pertanian pada negara berkembang dapat memiliki peran penting pada perkembangan ekonomi serta penurunan kemiskinan dan kelaparan. Knutson et al. (2006) mengemukakan perubahan kebijakan utama pertanian untuk dua dekade ke depan diantaranya adalah: 1) Globalisasi mendorong keberlanjutan pasar bebas.
Perdagangan, termasuk impor dan ekspor, menjadi penting. 2)
Ekonomi dan politik global akan menjadi tekanan yang semakin tinggi.
Pangan
dan pertanian memainkan peranan penting di dalam kebijakan ini. 3) Kelangkaan sumberdaya merupakan ancaman dan peluang bagi pertanian. Ancaman terhadap keterbatasan pasokan air bersih dan lahan pertanian bagi peternakan, susu dan unggas.
Peluangnya adalah ekspansi dan menjadikan pertanian sebagai
sumberdaya energi.
4) Lingkungan dan ketahanan pangan terus menjadi
tantangan bagi peningkatan aturan pertanian dan agribisnis.
16 Hayami dan Godo (2005), menjelaskan tentang ketidakseimbangan pertumbuhan
pertanian pada saat ini, yang ditujukkan oleh peningkatan
kekurangan pangan pada ekonomi pendapatan rendah sangat kontras jika dibandingkan dengan peningkatan kelebihan pangan pada pendapatan ekonomi tinggi, adalah tidak sesederhana sebagai sebuah bagian dari perbedaan struktur permintaan dan pasokan yang diakibatan perbedaan tingkat pendapatan. Hal tersebut diperparah oleh kebijakan yang diambil untuk mengatasi tiga masalah pertanian pada tiga tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda. Permasalahan pangan pada tahapan pendapatan rendah, permasalahan perbedaan tingkat pendapatan menengah dan permasalahan perlindungan pada tingkat pendapatan tinggi. Pengambil kebijakan pada negara berpendapatan rendah telah cenderung mengambil kebijakan harga rendah pangan yang aman untuk memenuhi konsumen kota dalam membiayai produksi pertanian. Sebaliknya, di bawah permasalahan perlindungan, pengambil kebijakan di negara berpendapatan tinggi
tidak mampu untuk melawan tekanan dan lobi dari pertanian untuk
meningkatkan pendapatan petani menjadi setingkat dengan pekerja non pertanian. Menurut Stringer (2001), jauh sebelum Johnston dan Mellor pada tahun 1961 mengidentifikasi kontribusi ekonomi dasar pertanian untuk pengembangan, ekonom memfokuskan kepada bagaimana pertanian dapat lebih berkontribusi untuk seluruh pertumbuhan dan modernisasi. Pertanian dengan sumberdaya yang melimpah dan mampu mentransfer kelebihan pasokan untuk sektor industri yang penting. Dengan melayani sektor industri, pertanian memiliki peran penting dalam transformasi pembangunan ekonomi dan sebagai subordinat pusat strategi percepatan industrialisasi. Beberapa peran pertanian dalam pendekatan tradisional adalah: 1) menyediakan lapangan kerja dengan industri perdesaan, 2) memproduksi pangan untuk penduduk berpendapatan tinggi, 3) menyimpan pasokan untuk investasi industri, 4) meningkatkan pasar produk industri, 5) mendapat pendapatan dari ekspor untuk membayar barang-barang impor, dan 6) memproduksi bahan baku utama untuk agroindustri (Stringer 2001) Peran ekonomi pertanian secara non tradisional adalah 1) meningkatkan aktivitas agribisnis, yaitu mendukung produksi, pemasaran, dan kemudian
17 meningkatkan proses, penyimpanan, perdagangan, transportasi dan praktek finansial yang lebih kompleks, spesialis dan proses integrasi. Aktifitas jasa selanjutnya bertambah seperti penelitian, pengemasan, pasar modern, periklanan dan promosi, 2) peningkatan kesejahteraan sosial, yaitu transfer pendapatan dan penyangga kejutan pendapatan, selama krisis pertanian dapat berfungsi sebagai penyangga, pengaman dan penstabil ekonomi, 3) pertumbuhan laju produktivitas, pertanian lebih produktif dari industri sehingga harga pangan rendah yang berakibat peningkatan simpanan, peningkatan pendapatan, stabilitas ekonomi dan total faktor produktivitas, 4) menurunkan kemiskinan, pertumbuhan yang kuat dari pertanian akan menurunkan harga pangan, meningkatkan pendapatan bagi produsen pangan dan tenaga kerja perdesaan, termasuk menurunkan migrasi dari desa ke kota dan berpengaruh positif migras,
perdagangan
dan
bagi perputaran antar sektor termasuk
peningkatan
produktivitas,
5)
Meningkatkan
produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan, 6) Menyediakan makanan yang aman dan menyehatkan (Stringer 2001). Walaupun di Indonesia pada tahun 1974-1979 (Repelita II) telah dikembangkan program village working unit (BUUD) yang terdiri atas kelompokkelompok desa yang meliputi 600 hingga 1000 hektar (atau 1/50 hingga 1/10 kawasan agropolitan). Dalam unit ini dikembangkan pertanian dan tata pinjaman desa, serta pengolahan dan pemasarannya. Menurut Friedmann dan Douglass (1976), program pembangunan Indonesia masih menganggap pembangunan pertanian di perdesaan bukanlah merupakan usaha yang berarti dan hanya dianggap sebagai pelengkap dari usaha industrialisasi. Todaro (2000) mengemukakan adanya stagnasi pertumbuhan pertanian sejak tahun 1950 di negara-negara berkembang.
Hal ini disebabkan karena
terabaikannya sektor yang sangat penting ini dalam perumusan prioritas pembangunan oleh pemerintah, dimana peran pertanian dalam pembangunan perekonomian hanya dipandang pasif bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata.
Menurunnya peranan sektor pertanian juga terjadi di
Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan selama PJP I telah menghasilkan perubahan struktur ekonomi nasional, dimana peranan sektor pertanian mulai
18 mengecil dan sektor industri semakin besar.
Data dari World Bank (1994)
menunjukkan pada tahun 1971 pangsa sektor pertanian terhadap GDP sebesar 33 persen, sedangkan tahun 1990 menurun menjadi 19,5 persen. Sebaliknya sektor industri dan jasa mengalami peningkatan dari 35,9 persen menjadi 54,50 persen. Menurut Todaro (2000), kesadaran akan pentingnya pertanian di kalangan negara-negara dunia ketiga telah dimulai tahun 1970-an dan terus berlangsung hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat salah satunya di negara Thailand. Thailand telah memprioritaskan pembangunan pertanian dengan mendirikan Bank for Agricultural Cooperative (BAAC) sejak tahun 1966, dimana bank di atas melayani 80 persen petani Thailand dengan bunga rendah (9 – 12 persen per tahun). Sejak 1976 Thailand sudah memiliki Marketing Organization for Farmer (MOF) yang memiliki sejumlah pasar produk pertanian segar. Dalam skala besar, sejak 1996 Thailand telah membangun Pasar Produk Taalad Thai, yaitu sebuah pasar produk pertanian terbesar dan terlengkap di Asia. Terminal ini merupakan tempat ideal bagi berlangsungnya transaksi antara penjual dengan pembeli (domestik dan ekspor) produk pertanian. Dokumen dan sertifikat ekspor selesai di tempat ini dalam tempo satu dua jam. Hasil pertanian yang dijual di tempat ini sudah melalui seleksi yang ketat dan dengan harga yang relatif rendah. Jaraknya 42 km dari Bangkok, sekitar 15 menit dari Bandara Internasional Don Muang dan setengah jam ke pelabuhan. Petani yang memanfaatkan terminal yang beropersi 24 jam tersebut datang dari berbagai penjuru Thailand (Abinowo 2000). Australia Barat melakukan pengembangan pertanian kolektif yang menyebabkan pembangunan pertaniannya dapat berkembang secara pasti. Pengembangan pertanian kolektif ini melalui rekayasa sosial yang melibatkan petani dari bawah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam rekayasa teknologi serta didukung pusat data & informasi. Hal tersebut menyebabkan pola tanam masing-masing komoditi diatur berdasarkan kebutuhan pasar dan setiap kelompok kolektif mengembangkan produk unggulan masing-masing sehingga posisi tawar kelompok kolektif dalam menentukan harga menjadi sangat bagus (Abinowo 2000).
19 Daya saing dicirikan oleh tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta kemampuan menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan memberikan pelayanan kepada konsumen secara lebih memuaskan.
Sistem yang
berkerakyatan dicirikan oleh berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas baik dalam peluang berusaha, kesempatan kerja, maupun dalam menikmati nilai tambah (pendapatan). Berkelanjutan diartikan sebagai kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya agribisnis yang semakin besar dari waktu ke waktu, semakin
mensejahterakan masyarakat, baik secara
ekonomis, sosial dan lingkungan hidup. Desentralistis diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuai dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan komparatif dan aspirasi masyarakat setempat. Keterpaduan sistem agribisnis dapat dikaji dari dua aspek yaitu integrasi vertikal dan koordinasi vertikal. Integrasi vertikal adalah melaksanakan kegiatan dari setiap subsistem dan alokasi sumberdaya, pengambil keputusan pada satu tangan, yaitu suatu perusahaan agribisnis atau satu induk usaha (holding company). Koordinasi vertikal mengandung makna bahwa pengambilan keputusan tersebut berada pada satu kesatuan, tetapi tidak perlu dalam satu perusahaan. Secara swadaya masyarakat Indonesia juga telah menyadari pentingnya pertanian.
Hal ini dibuktikan salah satunya dengan dibangunnya Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) di Pasuruan, Jawa Timur. SPAT merupakan perwujudan konsep pertanian terpadu (Integrated Farming), mulai dikembangkan pada tahun 1997 di dusun Parelegi, Desa Purwodadi, Kab Pasuruan yang ditandatangani prasastinya oleh Menpora saat itu Agung Laksono. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Terpadu, Pusat Data dan Informasi, Pusat Kajian dan Strategi Gerakan Pembangunan Desa, Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG), dan pembentukan Pusat Kajian Pembiayaan & Investasi, dan pembentukan Terminal Agribisnis, merupakan program-program yang telah tersusun dalam SPAT (Abinowo 2000).
20 2.5 Pembangunan Wilayah Berbasis Pertanian
Wilayah dalam konteks pertanian menunjukkan kehomogenan wilayah. Konsep wilayah homogen didasarkan pada pendapat bahwa wilayah-wilayah geografik dapat dikaitkan bersama-sama menjadi suatu wilayah tunggal apabila wilayah tersebut dapat mempunyai ciri-ciri yang seragam (Wibowo 1993). Proyek-proyek tersebut menghabiskan dana milyaran rupiah, namun hasilnya tidak memuaskan, karena banyak petani kembali ke pola teknologi semula.
Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai penyebabnya adalah
teknologi yang digunakan tidak tepat guna, perencanaan tidak terkoordinasi, dan pengawasan yang kurang. Beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dalam penyusunan paket teknologi sehingga tidak diadopsi oleh petani adalah a) paket teknologi lebih berorientasi pada bantuan teknis yang bertujuan pada keberhasilan output bukan proses perubahan (pembangunan) itu sendiri, dan b) Paket teknologi tidak mencerminkan conflict resolution, misalnya antara petani hulu dan masyarakat hilir. Berdasarkan hal tersebut, maka diketahui bahwa pembangunan yang tidak menyentuh perubahan sosial dan hanya mengandalkan perubahan fisik (technological change) sering mengalami kegagalan. Hasil tinjauan mengenai proyek-proyek konservasi di DAS Hulu yang dilakukan oleh Prawiradiputra (1995), menunjukkan beberapa upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi DAS hulu sekaligus memperbaiki pendapatan petani melalui beberapa proyek, antara lain: a) Proyek DAS Solo sebagian hulu tahun 1970, b) Program reboisasi dan penghijauan tahun 1976, c) Program Kali Konto tahun 1979, d) Yogyakarta Rural Development Project tahun 1979, e) Proyek DAS Citanduy bagian hulu tahun 1982, f) Proyek DAS Jratunseluna dan Barantas tahun 1985, g) Proyek Wonogiri tahun 1988, h) Yogyakarta Upland Area Development Project tahun 1990, serta I) National Watershed Management and Conservation Project tahun 1995. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable Agricultural Development) yang memandang pembangunan masyarakat perdesaan sebagai perubahan sosial (sosial change) harus diperhatikan dalam mengembangkan proyek
kawasan
pertanian.
Pengembangan
semberdaya
manusia
dan
kelembagaan lokal sangat penting bagi pembangunan pertanian berkelanjutan
21 karena peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kapabilitas kelembagaan dapat meningkatkan akses masyarakat perdesaan terhadap sumber daya. Meskipun telah memberikan hasil, namun menurut pengakuan petani dan masyarakat di sejumlah daerah, hasilnya belum memuaskan.
Pembangunan
pertanian selama ini hanya bertumpu pada sisi produksi (sub-sistem budidaya) harus dirubah pada pembangunan sistem dan usaha agribisnis, dimana seluruh sub-sistem agribisnis (budidaya, sarana prasarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan jasa), semuanya dilakukan secara simultan dan harmonis. Model pengembangan agribisnis one village one product movement (OVOP) yang melibatkan masyarakat lokal dan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam pembangunan wilayah dikembangkan oleh Morihiro Hiramatsu seorang gubernur dari OITA, Jepang sejak tahun 1979. Konsep one village one product movement yang dapat dijelaskan dengan paradigma resource based strategy, merupakan konsep yang dapat meningkatkan daya saing berdasarkan kompetensi inti pada setiap kabupaten atau kota.
Hal ini sejalan dengan kondisi negara
Indonesia yang memiliki sumberdaya unggulan (comparative advantage) dari hasil migas, produk kayu, hortikultura, flora dan fauna yang bersifat tangible sebagai cikal bakal mewujudkan strategi resource based approach. Lima konsep one village one product movement adalah sebagai berikut: 1) mengidentifikasi kemampuan sumberdaya lokal yang berpotensi tinggi dalam mengaktualisasi pengembagan wilayah, 2) nilai tambah berada pada keunikan produk daerah, 3) meningkatkan saya saing produk tersebut melalui perbaikan kualitas dan keunikannya, kreativitas dan inovasi oleh penduduk lokal, 4) membuat satu atau dua produk, dan 5) kepemimpinan yang baik (Huseini 1999; Syafa’at 2003; OVOP 2010). Pemerintah Thailand telah mempromosikan industri lokal yang produknya berbasiskan sumberdaya, budaya dan tradisi lokal. Program tersebut disebut One Tambon One Product (OTOP), karena target wilayah secara unit administratif dinamakan Tambon. Tujuan program Thai OTOP adalah: 1) membangun sistem database yang menyeluruh yang dapat mengakomodasi informasi penting pada setiap Tambon di Thailand, 2) mempromosikan produk lokal Thailand untuk setiap Tambun dan memfasilitasi proses jual-beli, 3) membawa teknologi internet
22 ke perdesaan, 4) membantu meningkatkan promosi turisme tingkat Tambon, dan 5) membantu penduduk perdesaan memperoleh informasi, gagasan dan peningkatan komunikasi antar Tambun (OTOP 2010). Malaysia juga telah mengembangkan Agropolitan yang telah menelan biaya RM 1 milyar dan diharapkan dapat mengentaskan 10,000 keluarga miskin. Pusat pertumbuhan ekonomi Agropolitan Malaysia berorientasikan pertanian dan peternakan yang dilengkapi oleh industri kecil dan sederhana (IKS). Konsep agropolitan tersebut akan meningkatkan pembangunan perdesaan yang tertinggal. Pembangunan di bawah program juga akan didukung oleh
pembangunan
infrastruktur (air, elektrik, jalan raya dan rumah untuk wilayah target), pembangunan ekonomi melalui ladang komersial dan sampingan, peternakan dan perikanan, pembangunan sumberdaya manusia melalui penyediaan taman asuhan kanak-kanak (taska), taman bimbingan kanak-kanak (tabika), pendidikan dan pelatihan. Empat kawasan perintis program agropolitan di Malaysia adalah Pulau Banggi, Sabah, Rancangan Kemajuan Tanah (RKT), Kemajuan Kelantan Selatan (Kesedar), Kelantan, Wilayah Ganda, Gerik, Perak dan Gahai, Lipis, dan Pahang (SABAH 2010). Jinju City Korea Selatan, merupakan wilayah yang unggul secara geografis, menjadi pusat pendidikan tetapi tetap menjaga lingkungan hidup dan budaya di Propinsi Gyeongnam. Pengembangan wilayah Gwangyangman yang berorientasi industri masa depan, membangun industri bio pada Jinju City yang memiliki potensi tidak terbatas bagi pengembangan kawasan agropolitan. Kota di atas memiliki luas 712,9 km2 dengan populasi 350.000 orang yang memiliki 618 industri manufaktur, 12 000 tenaga kerja, satu kompleks industri lokal dan empat kompleks industri pertanian. Jinju City adalah Kawasan agropolitan yang indah dan lingkungan yang alami serta didasari oleh pembangunan perkotaan (Jinju City 2010).
2.6 Perkembangan Konsep Pembangunan Berdasarkan uraian mengenai konsep pembangunan, pembangunan perdesaan dan pembangunan pertanian sebelumnya, maka perkembangan masingmasing konsep dan interaksinya dengan konsep lain dapat dilihat pada Tabel 4.
23 Masing-masing pembangunan memiliki karakteristik pendekatan bottom up, kombinasi maupun top down. Tabel 4. Perkembangan konsep pembangunan
Top down
Kombinasi
Bottom up
Development from above
Local Economic Development / LED (Blakely 1998)
Development from below
Supply side development
Sustainable development
Demand side development
Model Terpusat / Growth pole
Agropolitan (Friedmann dan Douglass 1976; Anwar 1999; Harun 2004; Suwandi 2005)
Model Network / Regional Cluster (Douglass 1998)
KUNAK, KUBA, SPAKU, KIMBUN, PIR-PLASMA, SAADP (Rivai 2003; Rustiadi & Pranoto 2007)
PARUL (Rustiadi & Pranoto 2007)
OVOP, OTOP
Pembangunan
Pembangunan perdesaan Pembangunan kawasan pertanian
Beberapa program pengembangan kawasan pertanian di Indonesia adalah program DAS Hulu, program pengembangan Kawasan Usaha Peternakan (Kunak), Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (Kuba) untuk komoditi tertentu di beberapa daerah, atau sentra Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan (SPAKU), Kimbun, PIR-Plasma, corporate farming, Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Andalan (KADAL), Poverty Alleviation trough Rural – Urban Linkages Program (PARUL), Program pengembangan kawasan tertinggal (KATING), Program Bimas, Program kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), Program Penyediaan Prasarana dan Sarana Perdesaan (PPSD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Pengembangan Wilayah Bebasis Pertanian (SAADP) (Rivai 2003; Rustiadi & Pranoto 2007). Program kawasan yang dikembangkan tersebut untuk mensinergikan berbagai program baik yang berasal dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota pada kawasan andalan yang ditetapkan daerah, namun secara umum masih didominasi oleh teori pusat pertumbuhan (growth pole) dan strategi pembangunan dari sisi pasokan (supply side).