Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam: Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999 Dian Mustika Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Giving the compulsory bequest to non-Muslims who have been decided by the Supreme Court is a reform of Islamic law in Indonesia, which in its implementation using benefit (maslahat) considerations. Although controversial, but this is based on the consideration that there is no indication of nash which prohibits to do good and do justice to the unbeliever (kafir) who are not hostile to Muslims, even it advised. In addition, the scholars held that religious equality will not be legal conditions so that in this context, will be identified with the grant. Keywords: wasiat wajibah, non muslim, hukum Islam
I. Pendahuluan Salah satu aspek yang mendapat sorotan utama dalam Islam adalah masalah kewarisan (farâidh). Hukum kewarisan bersifat wajib bagi setiap muslim, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun dan berlaku dengan sendirinya, tanpa ada usaha dari orang yang akan meninggal (pewaris) atau kehendak dari orang yang akan menerima (ahli waris) yang dikenal dengan asas ijbari.1 Berlakunya hukum kewarisan disebabkan adanya hubungan antara kedua belah pihak, yaitu qarabah (hubungan kekerabatan), hubungan perkawinan dengan aqad nikah 1
h. 17
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004),
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
375
Dian Mustika
yang sah, hubungan yang disebabkan karena wala‘ (memerdekakan budak), dan hubungan sesama muslim.2 Namun, di samping itu, masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu sesama Muslim. Aspek lain yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan hukum kewarisan Islam adalah masalah wasiat. Wasiat merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan terlebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan ketentuannya masing-masing.3 Berdasarkan ayat al-Qur‘an dan hadits, yang berhak memperoleh wasiat jika berada dalam kondisi tertentu yang menyebabkan mereka terhalang untuk menerima warisan adalah orang tua dan karib kerabat. Hal ini membawa implikasi yang cukup besar dalam penentuan hukum pelaksanaan wasiat. Berkenaan dengan ahli waris yang secara syar‘î terhalang untuk mendapatkan harta warisan, maka salah satu upaya yang dapat ditempuh agar ahli waris yang terhalang secara syar‘î tersebut bisa mendapatkan harta warisan adalah melalui wasiat wajibah. Pada dasarnya, wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat karena adanya suatu halangan syara’.4 Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa beda agama merupakan salah satu penghalang kewarisan. Namun, persoalan yang muncul kemudian adalah adanya kondisi sosiologis masyarakat yang memberikan hak waris kepada ahli waris non muslim melalui wasiat wajibah. Hal ini tentu menimbulkan sengketa di antara para ahli waris. Di antara contoh sengketa yang terjadi di kalangan ahli waris adalah seperti yang terjadi di wilayah Pengadilan AgamaYogyakarta. Perkara ini kemudian diputus dengan tidak memberikan hak waris kepada ahli waris non-muslim berdasarkan putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 83/Pdt.G/1997/ Jalâl al-Din al-Mahallî, Syarh Minhâj al-Thâlibîn III, (Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiy, t.t), h. 136 3 Amir Syarifuddin, op.cit., h. 280-283 4 Ibid., h. 1930 2
376
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
PA.Yk tanggal 4 Desember 1997. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta pada tingkat banding dengan Nomor Putusan 07/Pdt.G/1998/PTA.Yk tanggal 24 Juni 1997. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menetapkan dengan memperbaiki putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Untuk itu, dalam bahasan ini akan dicoba untuk menganalisa pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara ini berdasarkan perspektif hukum Islam.
II. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara tentang Pemberian Wasiat Wajibah kepada Non Muslim Salah satu perkara wasiat wajibah kepada non-muslim yang diputuskan oleh Mahkamah Agung RI adalah kasus sengketa mengenai pembagian harta warisan yang diajukan oleh Ny. Jazilah (isteri alm. Martadi Hendrolesono) sebagai pihak Penggugat dengan saudarasaudara kandung alm. Martadi Hendrolesono sebagai pihak Tergugat. Dalam hal ini, kedua belah pihak sama-sama mengklaim bahwa harta peninggalan almarhum berupa sebidang tanah seluas 1.319 M2 sebagai hak mereka selaku ahli waris. Polemik ini muncul karena beberapa orang saudara kandung almarhum Martadi Hendrolesono beragama non muslim. Oleh karena itu, terjadi perdebatan di kalangan para ahli waris tentang proses pembagian harta warisan. Di satu pihak, isteri almarhum menghendaki agar harta warisan dibagi berdasarkan ketentuan farâidh karena almarhum semasa hidupnya adalah seorang muslim, namun di pihak lain, saudara-saudara almarhum tidak menyetujui hal tersebut. Permasalahan ini kemudian diajukan ke lembaga peradilan. Permasalahan kembali muncul karena kedua belah pihak mengajukan kasus ini ke pengadilan yang berbeda. Keluarga alm. Martadi Hendrolesono mengajukan gugatan perdata terhadap Ny. Jazilah (isteri alm.) ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Gugatan ini terdaftar tanggal 15 April 1997 No. 35/Pdt.G/1997/PN.JK. Sebaliknya, Ny. Jazilah (isteri alm.) mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Yogya Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
377
Dian Mustika
karta yang terdaftar dengan Nomor 83/Pdt.G/1997/PA.JK tanggal 6 Mei 1997. Dalam kedua gugatan, baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, titel gugatan, posita, petitum, Penggugat dan Tergugat serta objek gugatannya adalah sama. Terkait dengan hal ini terlihat adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli waris tentang kewenangan mengadili antar dua badan peradilan, yaitu antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Yogyakarta. Di satu pihak, isteri almarhum menganggap bahwa penyelesaian kasus ini merupakan wewenang Pengadilan Agama karena almarhum semasa hidupnya adalah seorang muslim, sedangkan di pihak lain, keluarga almarhum menganggap bahwa kewenangan mengadili sengketa ini terletak pada Pengadilan Negeri karena dalam kasus ini terjadi sengketa hak milik. Di samping itu, beberapa anggota keluarga almarhum beragama non-muslim. Atas dasar ini, mereka beranggapan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili karena berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 19895, Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang khusus menyelesaikan perkara yang terjadi di kalangan orang Islam. Melalui proses persidangan di Pengadilan Agama, Ny. Jazilah (isteri alm.) selaku pihak penggugat memohon agar harta warisan tersebut dibagi menurut ketentuan hukum kewarisan Islam. Dalam hal Dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Namun, dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini kemudian direvisi oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagian dari isi pasal 49 ini juga direvisi, bahkan terdapat penambahan jangkauan kewenangan Pengadilan Agama, yaitu dalam menyelesaikan masalah perekonomian syari‘ah. Secara lebih lengkap, pasal ini berbunyi sebagai berikut : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b) waris, c) wasiat, d) hibah, e) wakaf, f) zakat, g) infaq, h) shadaqah dan i) ekonomi syari‘ah. 6 Dzaw al-furûdh (ashhâb al-furûdh) termasuk salah satu kelompok ahli 5
378
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
ini Penggugat mengajukan dalil-dalil, antara lain menurut ketentuan Q.S. al-Nisâ‘ ayat 12, maka janda termasuk dalam ahli waris golongan dzaw al-furûdh 6 kelompok keutamaan dan sesuai dengan Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam7 ditentukan bahwa janda memperoleh 1/4 bagian, apabila pewaris tidak meningggalkan anak. Bagi saudara kandung/anak-anak saudara kandung almarhum suaminya, sejalan dengan ketentuan Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam8, maka mereka secara kolektif akan memperoleh 1/3 bagian. Selanjutnya bagi para tergugat (ahli waris yang berlainan agama), tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang Islam. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Orang-orang Islam tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada orang-orang non muslim dan orang-orang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang muslim.
Sebaliknya, pihak Penggugat mengajukan eksepsi tentang kewe nangan mengadili (kompetensi absolut). Alasan yang dikemukakan pihak Tergugat adalah adanya sengketa hak milik9 dalam kasus ini. Di samping itu, beberapa orang Tergugat (saudara alm. Martadi Hendrolesono) adalah non muslim. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal waris yang bagian-bagiannya telah ditentukan oleh Allah SWT dan/atau Rasul-Nya. Kelompok ahli waris ini terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek (dan seterusnya ke atas), anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan laki-laki (dan seterusnya ke bawah), saudara perempuan kandung, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, suami, dan isteri. Lihat A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 52 7 Dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak menginggalkan anak, dan bila pewaris meningggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian. 8 Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa bila seorang meninggal tanpa meningggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. 9 Apabila terjadi sengketa hak milik dalam suatu perkara tentang gugatan pembagian harta warisan, maka penyelesaiannya menjadi kewenangan Pengadilan Umum. Ketentuan ini didasarkan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Desember 1979 No. 11 K/AG/1979. Dalam putusan tersebut Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
379
Dian Mustika
49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,10 maka Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara gugatan ini. Menyikapi eksepsi dari pihak Tergugat tentang kompetensi absolut, Pengadilan Agama memberikan putusan sela yang amarnya berisi: Pengadilan Agama menolak eksepsi yang diajukan oleh Tergu gat dan mengemukakan alasan hukum sebagai berikut : a. Rakernas Mahkamah Agung RI tanggal 21-23 Maret 1985 menyim pulkan tentang titik singgung Yurisdiksi Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Dalam hal pemecahan masalah sengketa waris ditentukan suatu kaidah hukum acara yang menegaskan: “Apabila dalam suatu gugatan yang menyangkut pembagian harta warisan masih terkandung sengketa hak milik, maka perkara yang bersangkutan tidak termasuk kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksanya tapi termasuk kewenangan Peradilan Umum.” Kaidah ini kemudian dikukuhkan sebagai salah satu patokan beracara dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan semua lingkungan Peradilan di Yogyakarta tanggal 23-25 Mei 1985. Selanjutnya, nilai kaidah hukum tersebut dalam UU No. 7 Tahun 1989 pada Pasal 50: “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.” Lihat Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 152-153 10 Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi sebagai berikut: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan sebagaimana yangdimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. 11 Judex facti adalah hakim yang memeriksa duduknya perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-faktanya, yaitu hakim pada pengadilan tingkat pertama dan hakim pada pengadilan tingkat banding (tidak termasuk 380
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
ketika terjadi perbedaan agama di antara pewaris dengan ahli waris atau di antara para ahli waris, maka hukum waris yang diberlakukan adalah hukum waris yang berlaku bagi si pewaris (orang yang meninggal dunia). b. Dengan pertimbangan ini, karena Pewaris beragama Islam, maka Pengadilan Agama Yogyakarta berwenang mengadili perkara warisan ini, sehingga eksepsi kompetensi absolut yang diajukan Tergugat tersebut patut ditolak. Pengadilan Agama kemudian memutuskan bahwa Penggugat (isteri alm.) berhak memperoleh 1/4 bagian dari harta warisan tersebut, sedangkan yang menjadi ahli warisnya hanyalah anggota keluarga yang beragama Islam dan memperoleh 3/4 bagian dari harta warisan. Para Tergugat menolak putusan Pengadilan Agama tersebut dan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada, Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta kemudian memutuskan untuk menguatkan putusan Pengadilan Agama Yogyakarta. Atas putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta tersebut, para Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan mengemukakan beberapa keberatan dalam memori kasasi. Majelis Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara ini, dalam putus annya mempertimbangkan, yang intinya sebagai berikut: Keberatan kasasi ad. 5 Memori Kasasi yang menyatakan bahwa judex facti 11 telah salah menerapkan hukum karena hanya mengambil alih dari pertimbangan hakim pertama, tidak dapat dibenarkan karena judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum. Namun, Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta hakim pada tingkat kasasi). Dengan demikian, judex facti merupakan kebalikan dari Mahkamah Agung yang dalam kasasi hanya mempertimbangkan persoalan hukum. Lihat N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1993), h. 227; Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Cet. IV, h. 199 12 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 319 13 Abû Zahrah, Ahkâm al-Tirkât wa al-Mawârits, (Kairo: Dâr al-Fikr alInnovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
381
Dian Mustika
harus diperbaiki karena seharusnya Pengadilan Tinggi Agama tersebut memperbaiki amar putusan Pengadilan Agama mengenai ahli waris non muslim. Dalam hal ini, mereka berhak mendapat warisan berdasarkan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris muslim. Oleh karena itu, dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Penggugat berhak memperoleh 1/4 bagian dari harta warisan alm. Martadi Hendrolesono, sedangkan terhadap ahli waris lainnya, semuanya berhak memperoleh 3/4 bagian dari harta warisan. Berdasarkan uraian serta pertimbangan-pertimbangan hukum yang dijadikan landasan berpijak oleh Pengadilan Agama Yogya karta, Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dan Mahkamah Agung, agaknya ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dianalisis, salah satu di antaranya adalah pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan untuk memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim. Hal ini merupakan sesuatu yang substansial untuk diketahui karena berdasarkan pertimbangan hukum inilah dapat dinilai kebenaran suatu putusan yang dikeluarkan. Apabila ditelaah, lembaran putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung tentang pemberian wasiat wajibah kepada non muslim, tampaknya Mahkamah Agung tidak begitu menjelaskan dasar pertimbangan hukum apa yang digunakan dalam mengam bil putusan tersebut. Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara tersebut hanya menyatakan bahwa ahli waris non Islam berhak mendapat warisan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris muslim. Agaknya ketidakjelasan inilah yang menyebabkan munculnya kontroversi dan respons negatif dari sebagian kalangan umat Islam. Terkait dengan hal ini, Abdul Manan dalam bukunya Reformasi Hukum Islam di Indonesia pernah melakukan wawancara dengan Taufiq, Ketua Majelis Hakim Agung yang memutuskan perkara ini. Menurut Taufiq, pemberian harta peninggalan pewaris muslim kepada ahli waris non muslim hanya didasarkan kepada wasiat wajibah dan tidak menetapkan statusnya sebagai ahli waris. Dalam kasus ini, putusan ha382
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
kim untuk memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan. Pertimbangan ini terkait dengan kondisi ahli waris non muslim yang sangat membutuhkan. Di samping itu, ketika masih hidup, pewaris tidak pernah dirugikan oleh ahli waris non muslim tersebut.12 Pertimbangan kemaslahatan yang digunakan oleh majelis ha kim tersebut, kelihatannya merujuk kepada pendapat para ulama, di antaranya adalah Ibn Hazm yang menetapkan kewajiban berwasiat bagi orang tua dan kerabat yang tidak termasuk ke dalam golongan ahli waris karena berbagai sebab, di antaranya karena berbeda agama (kafir), hamba sahaya, atau karena terhijab oleh ahli waris lainnya. Atas dasar ini, kewajiban berwasiat bersifat qadhâ‘î, yaitu apabila seseorang tidak meningggalkan wasiat, maka kerabat wajib memberikan jumlah tertentu dari warisan yang mereka anggap layak untuk kaum kerabat yang tidak memiliki hak terhadap warisan. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan wasiat wajibah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pelaksanaan wasiat wajibah menjadi wewenang pemerintah atau hakim sebagai aparat negara. Dengan demikian, wasiat wajibah dilaksanakan melalui proses penetapan pengadilan, bukan terjadi dengan sendirinya. Sejalan dengan hal tersebut, agaknya pertimbangan kemaslahatan yang digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Agung untuk memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim juga merujuk kepada motivasi penerapan wasiat wajibah yang dipraktekkan oleh beberapa negara muslim lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abû Zahrah, motivasi memasukkan ketentuan wasiat wajibah ke dalam undang-undang negara Mesir dilatarbelakangi oleh realitas dan kebutuhan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.13 Dengan demikian, terlihat bahwa prinsip mashlahat merupakan salah satu pertimbangan pelaksanaan wasiat wajibah, di samping adanya indikasi nash yang ditangkap oleh para ulama tentang kewajiban berwasiat kepada orang tua dan kerabat yang terhalang menerima warisan. ‘Arabî, 1963), h. 230 14 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
383
Dian Mustika
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pendapat mazhab minoritas (al-Zhahiri) yang berkembang dalam khazanah pemikiran Islam. Hal ini patut dihar gai karena merupakan suatu hasil ijtihad dalam rangka pembaruan hukum Islam. Namun, pembaruan hukum Islam dalam bidang kewarisan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung yang memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim ini, agaknya merupakan pembaruan yang bersifat terbatas karena dalam kasus ini Mahkamah Agung tetap memposisikan ahli waris non muslim sebagai orang yang terhalang menerima warisan sebagaimana ijma‘ para ulama. Hal ini tentu saja akan berimbas pada besarnya jumlah harta peninggalan yang akan diterima. Dalam kedudukannya sebagai penerima wasiat wajibah, ahli waris non muslim hanya dibenarkan menerima maksimal 1/3 dari harta peninggalan, sedangkan apabila kedudukannya sebagai ahli waris, maka jumlah harta peninggalan yang akan diterima telah ditentukan secara limitatif, yaitu 1/2, 1/4, 1/6, dan seterusnya apabila kedudukannya sebagai dzaw al furûdh. Namun, dalam kedudukannya sebagai ashabah, maka ia berhak menerima sisa harta yang ada. Selanjutnya, dalam penerapan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim, agaknya perlu ditekankan bahwa konsep ini hanya dite rapkan secara kasuistis, tidak digeneralisasikan dengan perkara yang sama. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa wasiat wajibah dapat diberikan kepada kerabat non muslim, apabila kondisinya sangat membutuhkan, khususnya dalam bidang ekonomi dibanding dengan kerabat muslim lainnya. Di samping itu, kerabat non muslim tersebut tidak pernah merugikan pewaris semasa hidupnya. Dengan demikian, terlihat bahwa aspek kemashlahatan merupakan pertimbangan utama ketika memutuskan hukum dalam kasus seperti ini.
III. Pandangan Hukum Islam tentang Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim h. 17 15
384
Jalâl al-Dîn al-Mahallî, Syarh Minhâj al-Thâlibîn III, (Kairo: Dâr Ihyâ Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
Pada dasarnya, terkait dengan masalah kewarisan, ajaran al-Qur‘an telah memberikan petunjuk dan patokan yang jelas, rinci, sistematis, dan realistis. Di samping itu, hadits Rasulullah pun menjadi penguat ketentuan yang telah ditetapkan ini sekaligus penjelas tentang praktik penerapannya. Menurut hukum Islam, pemberlakukan hukum kewarisan yang telah ditetapkan merupakan sesuatu yang bersifat wajib bagi setiap muslim. Di samping itu, ketentuan yang telah ditetapkan tersebut berlaku dengan sendirinya, tanpa ada usaha dari orang yang akan meninggal (pewaris) atau kehendak dari orang yang akan menerima (ahli waris) serta tidak dapat dirubah oleh siapa pun. Cara peralihan seperti ini dikenal dengan asas ijbari.14 Lebih lanjut, berlakunya hukum kewarisan antara pewaris dan ahli waris disebabkan adanya hubungan antara kedua belah pihak. Di dalam fiqh dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang dapat menerima harta warisan, yaitu qarabah (hubungan kekerabatan), hubungan perkawinan dengan suatu aqad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, dan hubungan yang disebabkan karena wala‘ (memerdekakan budak), dan hubungan sesama muslim.15 Namun, di samping itu, masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk berlakunya hukum kewarisan, yaitu ahli waris harus terbebas dari segala penghalang kewarisan, salah satunya adalah berbeda agama. Dengan demikian, orang Islam tidak dapat menerima warisan dari non muslim dan begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW16: Artinya : Dari Usâmah bin Zaid bahwa Nabi SAW telah bersabda : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam. (H.R. Bukhârî).
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadits lain:17 Artinya: Dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah saling mewarisi antar penganut dua agama yang berbeda. (HR. Turmudzi) al-Kutub al-‘Arabî, t.t), h. 136 16 Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1981), Juz III, h. 5 17 Abû ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Turmudzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz IV, h. 26 18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika 385 Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dian Mustika
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak mencantumkan secara tegas bahwa perbedaan agama merupakan penghalang kewarisan. Dalam Pasal 173 menyebutkan bahwa penghalang kewarisan adalah pembunuhan atau percobaan membunuh, atau penganiayaan berat terhadap pewaris dan fitnah bahwa pewaris telah melakukan keja hatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau lebih. Namun, walaupun demikian, secara eksplisit hal ini terungkap dalam Ketentuan Umum, Pasal 171 yang menyatakan bahwa yang dimak sud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.18 Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris menjadi pokok permasalahan kasus sengketa harta warisan di kalangan ahli waris alm. Martadi Hendrolesono. Selanjutnya dalam proses persidangan, Pengadilan Agama Yogyakarta memutuskan untuk tidak memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris non-muslim. Keputusan ini didasarkan pada hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa antara muslim dan non-muslim tidak terjadi hubungan saling mewarisi serta ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam. Menurut Ibnu Qudâmah, hadits yang diriwayatkan oleh Usâmah bin Zaid dari Nabi SAW bahwa beliau pernah bersabda, “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”, merupakan hadits yang telah disepakati ke-shahih-annya. Di samping itu, juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanadnya dari ‘Amru bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah saling mewarisi antar penganut dua agama yang berbeda.” Pressindo, 1992), h. 155 19 Ibid, h. 123 20 Hilah Syar‘iyyah secara etimologis dipahami dengan melakukan penipuan terhadap ketentuan syara‘. Pada dasarnya, istilah ini digunakan oleh Ibnu Qayyim al Jauzi untuk menunjukkan sikap atau tindakan yang 386
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
Menurut Ibnu Qudamah, hadits ini dipahami bahwa orang yang berada dalam satu agama saling mewarisi satu sama lain, sedangkan antara orang berbeda agama tidak saling mewarisi karena adanya wilayah yang terpisah antara orang Islam dan kafir, maka muslim tidak mewarisi harta orang kafir, sebagaimana orang kafir juga tidak mewarisi harta orang Islam.19 Oleh karena itu, berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, maka pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama telah tepat. Dengan demikian, berdasarkan hadits dan ketentuan Kompilasi Hukum Islam, maka ahli waris non-muslim tidak berhak menerima harta peninggalan melalui jalan warisan. Selanjutnya, terkait dengan putusan Mahkamah Agung yang memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non-muslim dengan kadar bagian yang sama dengan bagian ahli waris muslim, agaknya hal ini masih menimbulkan kontroversi. Dari satu sisi, pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris non-muslim ini terkesan merupakan hilah syar‘iyyah20 yang tujuannya agar ahli waris non-muslim bisa mendapatkan bagian dari harta warisan. Di samping itu, keputusan ini juga terkesan melangkahi aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya Kompilasi Hukum Islam. Pemberian wasiat wajibah kepada non muslim tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Wasiat wajibah hanya ditujukan untuk anak angkat dan orang tua angkat. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan wasiat wajibah telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama. Agaknya hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah ayat 180 yang pada dasarnya merupakan ayat yang secara khusus berbicara tentang wasiat dianggap mempermainkan ketentuan-ketentuan syara‘. Terkait dengan hal ini, ia mengemukakan salah satu contoh nyata yang sering terjadi di tengah masyarakat dan dianggap sebagai hilah syar‘iyyah, yaitu dalam hal pembagian harta warisan. Berdasarkan ketentuan surat al Nisa‘ ayat 11, telah jelas bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Namun, dalam prakteknya, ketentuan ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan dengan membagikan Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
387
Dian Mustika
yang berbunyi sebagai berikut: Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meningggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma‘ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam memahami ayat tersebut. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat kepada orang tua dan kerabat yang pada dasarnya wajib, maka hukumnya masih tetap wajib hingga sekarang sehingga pemberian wasiat wajibah kepada wâlidain dan aqrabîn yang mendapatkan bagian harta peninggalan dapat dilaksanakan. Sebaliknya, sebagian ulama lain berpendapat bahwa wasiat wajibah tidak dapat diterapkan karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah dinasakh, baik oleh al-Qur‘an maupun hadits. Pemberlakuan wasiat wajibah, sebagaimana yang telah dipaparkan, didasarkan pada pendapat segolongan ulama bahwa wasiat kepada wâlidain dan aqrabîn masih tetap diberlakukan sampai sekarang. Lebih lanjut, argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagian besar harta kekayaannya kepada anak-anaknya sebagai hibah. Masing-masing anak mendapat bagian yang sama besar, tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan demikian, pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi sebagai harta warisan tinggal sedikit, atau bahkan hampir habis. Walaupun secara formal, tindakan ini tidak menyimpang dari ketentuan al Qur‘an, namun menjalankan ajaran agama dengan semangat seperti ini dianggap sebagai hilah atau mempermainkan ajaran agama. Lihat Ibnu Qayyim al Jauzi, I‘lam al Muwaqqi‘in, (Beirut : Dar al Fikr, 1955), h.172173; Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 7-8; Muhammad Wahyuni Nafis, dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 88-89 21 Al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), Juz 3, h. 245; lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Jilid I, h. 372 22 Ibn Katsîr, ibid., h. 373 23 Hasanain Muhammad Makhlûf, al-Mawârîts fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (t.t: Mathba‘ah al-Madânî, 1976), h. 17; lihat juga Ibid., h. 372 388
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
a. Kelompok yang menyatakan bahwa seluruh ayat al-Qur‘an adalah muhkamat, artinya tidak ada nasakh dalam al-Qur‘an. Dengan demikian, surat al-Baqarah ayat 180 tersebut tidak di-nasakh (dihapus atau dihilangkan hukumnya), baik oleh ayat-ayat mawarits maupun hadits “Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris”, karena tidak ada pertentangan antara keduanya, bahkan (saling) menguatkan. Pada dasarnya, secara zhâhir, ayat tersebut bersifat umum, namun maknanya khusus, yaitu bagi orang tua yang tidak menerima warisan, seperti keduanya kafir, hamba sahaya, atau bagi kerabat yang tidak termasuk ahli waris. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Dhahak, Thawus, dan al Hasan. 21 b. Kelompok yang menyatakan bahwa surat al-Baqarah ayat 180 tersebut bersifat umum, yakni meliputi wâlidain dan aqrabîn, baik yang termasuk ke dalam kelompok ahli waris maupun yang bukan. Kelompok ini dipelopori oleh Sa‘id bin Jabir, Rabi‘ bin Anas, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. Lebih lanjut, menurut mereka, keumuman surat al-Baqarah tersebut telah di-takhsis oleh ayatayat mawârits (Q.S. al-Nisa‘ ayat 11, 12) dan hadits yang menyatakan bahwa tidak ada wasiat bagi ahli waris. Dengan demikian, menurut kelompok ini, surat al-Baqarah ayat 180 tersebut hanya berlaku bagi wâlidain dan aqrabîn yang menurut ketentuan umum kewarisan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan.22 c. Kelompok yang menyatakan bahwa kewajiban berwasiat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 tersebut telah di-nasakh oleh ayat mawârits, tetapi hanya sebagian, yakni wâlidain dan aqrabîn yang mendapatkan harta peninggalan. Dengan demikian, kewajiban berwasiat yang terkandung dalam ayat tersebut masih berlaku bagi wâlidain dan aqrabîn yang tidak menjadi ahli waris/ tidak menerima bagian dari harta warisan, salah satu diantaranya karena kafir. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, al 24 Ibnu Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî, al-Syarh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz 6, h. 530 25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
389
Dian Mustika
Hasan, Masruq, al-Dhahak, Muslim bin Yassar, dan al A‘la bin Ziyad.23 Apabila dicermati, meskipun argumentasi yang diberikan oleh para ulama di atas dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 180 berbeda, namun hasil yang dicapai ternyata memiliki kesamaan, yaitu kewajiban berwasiat tetap berlaku bagi wâlidain dan aqrabîn yang tidak termasuk ke dalam golongan ahli waris yang berhak menerima warisan karena berbagai sebab, di antaranya karena berbeda agama (kafir), hamba sahaya atau karena terhijab oleh ahli waris lainnya. Oleh karena itu, kewajiban berwasiat dalam konteks ini bersifat qadha‘i, maksudnya apabila seseorang tidak meningggalkan wasiat, maka kerabat yang tinggal wajib mengeluarkan (memberikan) jumlah tertentu dari warisan yang mereka anggap layak untuk kaum kerabat yang tidak memiliki hak terhadap harta warisan. Namun, kemudian dalam perkembangannya, konteks qadhâ‘î ini menjadi kewenangan pengadilan karena pelaksanaan wasiat wajibah dilakukan melalui proses penetapan pengadilan, bukan terjadi dengan sendirinya, yang diberikan kepada orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Ibnu Qudâmah dalam Kitab al-Mughnî menyatakan bahwa muslim boleh berwasiat kepada zimmi dan begitu pula sebaliknya karena memberikan hibah kepadanya dianggap sah. Kebolehan ini didasarkan pada riwayat Syuraih, al Sya‘bî, al-Tsaurî, al Syafi‘î, Ishâq dan ahl al-ra‘yi. Agaknya, terkait dengan kebolehan berwasiat kepada zimmi, Ibnu Qudâmah menyamakan wasiat dengan hibah.24 Berkenaan dengan hal ini, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Âmir bin ‘Abdillah bin al-Zubair bahwa Asma‘ binti Abi Bakar pernah dikunjungi oleh ibunya yang bernama Qutailah, seorang musyrik yang bermaksud untuk memberikan hadiah (berupa bumbu yang dibuat dari khardal dan zabib, keju dan minyak samin) kepadanya. Namun, Asma‘ enggan untuk menerima hadiah dan mempersilahkan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Lalu ‘Aisyah bertanya kepada Nabi SAW. Qur‘an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, h. 169 26 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002) Jilid 10, h. 7474 390
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
Berkenaan dengan hal ini, turun surat al-Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Setelah turun ayat ini, maka Nabi memerintahkan Asma‘ untuk menerima hadiah dari ibunya dan mempersilahkannya masuk. Surat al-Mumtahanah ayat 8 di atas menunjukkan adanya kebolehan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil kepada orangorang kafir yang tidak memerangi umat Islam karena perbedaan agama serta tidak mengusir umat Islam dari negerinya (selama tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam). Menurut Ibnu ‘Arabi yang dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, ayat di atas dipahami dengan tidak melarang orang Islam untuk memberikan sebagian harta kepada orang kafir. Ayat di atas berlaku umum dan berlaku kapan saja.25 Terkait dengan berwasiat kepada non muslim, Wahbah al-Zuhailî menyatakan bahwa kesatuan agama antara pewasiat dengan penerima wasiat tidak menjadi syarat agar sahnya wasiat. Oleh karena itu, wasiat muslim kepada non muslim dibolehkan dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, Wahbah al-Zuhailî berpendapat bahwa orang-orang non muslim yang berada di Dâr al-Islâm berhak mendapatkan apa-apa yang menjadi hak bagi kaum muslimin dan mereka juga diwajibkan terhadap hal-hal yang juga diwajibkan bagi kaum muslimin.26 Senada dengan hal tersebut, Ibnu Hazm, salah seorang ulama yang memberikan penjelasan relatif lengkap tentang ketentuan wajibnya wasiat juga berpendapat bahwa orang-orang yang berhak meneri ma wasiat adalah kerabat yang tidak menerima warisan, baik karena perbudakan, perbedaan agama, terhijab atau pun karena memang bukan termasuk ke dalam golongan ahli waris. Berkenaan dengan Ibnu Hazm, al-Muhalla, ditahqiq oleh Lajnah Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîd, t.th.), Juz 9, h. 314 28 Berdasarkan konsideran Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, keberadaan Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman dalam menyelesaikan 27
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
391
Dian Mustika
jumlah harta yang harus diwasiatkan, Ibn Hazm tidak memberikan standar jumlah minimal. Hal ini diserahkan kepada ketulusan dan pertimbangan masing-masing, asal masih dalam batas sepertiga harta sesuai dengan batas maksimal wasiat. Dengan demikian, penentuan jumlah wasiat tersebut diserahkan kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk melaksanakan wasiat dalam batas yang wajar asal tidak lebih dari batas sepertiga harta.27 Lebih lanjut, dalam pelaksanaannya saat ini, wasiat wajibah dapat dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dengan demikian, terlihat bahwa pelaksanaan wasiat wajibah saat ini merupakan intervensi pemerintah. Untuk itu, dalam pelaksanaannya harus melalui proses penetapan pengadilan, bukan terjadi dengan sendirinya, yang diberikan kepada orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat dipahami bahwa putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak menyalahi ketentuan nash. Demikian juga dalam hal pemberian porsi yang sama dengan ahli waris muslim. Terkait dengan hal ini, walaupun al Qur‘an maupun hadits tidak menyebutkan dan mengatur secara jelas dan tegas tentang konsep pelaksanaan wasiat wajibah, namun berdasarkan surat al Mumtahanah ayat 8 yang berisi perintah untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil kepada orang kafir yang tidak memusuhi umat Islam dan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah tidak melarang, bahkan menganjurkan untuk menerima dan memberikan hadiah kepada orang (kerabat) kafir yang tidak memerangi umat Islam. Di samping itu, adanya pendapat para ulama yang menyatakan bahwa kesatuan/persamaan agama tidak menjadi syarat yang menyebabkan sahnya wasiat Berdasarkan indikasi masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), h. 54-55 392
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
ayat, hadits, dan pendapat para ulama di atas, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah kepada non muslim dibolehkan menurut ketentuan Islam karena dalam konteks ini, wasiat diidentikkan dengan hibah. Selanjutnya, terkait dengan besarnya bagian yang diterima melalui wasiat wajibah, para ulama berpendapat bahwa jumlahnya tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan. Agaknya indikasi ayat, hadits, dan hasil penafsiran para ulama inilah yang dijadikan landasan oleh Mahkamah Agung dalam mengeluarkan putusannya. Dalam hal ini, terlihat bahwa putusan yang dihasilkan ini didasarkan pada prinsip mashâlih al-mursalah. Namun, meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa ahli waris non muslim yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut tidak termasuk dalam golongan non muslim (kafir) yang memusuhi dan memerangi umat Islam. Namun, apabila dikaitkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, Mahkamah Agung terlihat tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang telah mengatur tentang pelaksanaan wasiat wajibah. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa pemberian wasiat wajibah ditujukan bagi anak angkat dan orang tua angkat, sedangkan dalam putusannya, Mahkamah Agung memberikan wasi at wajibah kepada ahli waris non muslim. Menyikapi hal ini, dapat dipahami bahwa putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung ini merupakan suatu bentuk ijtihad dalam kerangka pembaruan hukum Islam. Putusan ini tidak menyalahi ketentuan peraturan perundangundangan yang ada karena pada dasarnya, Kompilasi Hukum Islam tidak bersifat mengikat, tetapi merupakan pedoman ataupun petunjuk bagi para hakim dalam memutuskan perkara.28 Oleh karena itu, para hakim tetap mempunyai peluang untuk melakukan penemuan hukum melalui ijtihad.
IV. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasar nya, konsep wasiat wajibah merupakan salah satu bentuk pembaruan Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
393
Dian Mustika
hukum Islam yang dilakukan oleh berbagai negara muslim. Hal ini karena konsep wasiat wajibah tidak diatur secara tegas dalam nash. Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran di kalangan ulama tentang keberadaan wasiat wajibah serta teknis pelaksanaannya. Apabila mencermati pendapat para ulama serta pelaksanaan wasiat wajibah pada beberapa negara muslim, maka pada prinsipnya dapat dipahami bahwa wasiat wajibah ditujukan sebagai salah satu alternatif solusi untuk merespons keberadaaan kerabat yang tidak memperoleh harta warisan, baik karena terhijab oleh ahli waris lainnya, maupun terhalang secara syar‘i. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penerapan wasiat wajibah sangat terkait erat dengan prinsip-prinsip ke-mashlahat-an.
394
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
BIBLIOGRAFI Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 Abdurrahman, Wasiat Wajibah dan Anak Angkat dalam Jurnal Mimbar Hukum Nomor 29 Tahun VII 1996 Algra, N.E., dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta: Bina Cipta, 1993 Badrân, Badrân wa al-‘Ainainî, al-Mawârits wa al-Washiyyah wa al-Hibah fî al-Syar‘iyyah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn, t.tt: Muassasah Syabâb al Jâmi‘ah, t.th Bagir, Haidar dan Basri, Syafiq (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996 al Bukhârî, Muhammad Abî ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl ibn Ibrahim ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah, Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al Kutub al ’Ilmiyyah, t.th., Juz. II dan III Coulson, N.J., A History of Islamic Law, Edinburgh: University Press, 1978 Al-Dimasyqî, Ibn Katsîr al Qursî, Tafsîr Ibn Katsîr, Beirut: Dâr al Fikr, t.th., Juz I Djamil, Fathurrahman, Wasiat: Makna, Urgensi dan Kedudukannya dalam Islam dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 38 Tahun IX 1998 Doi, A. Rahman I., Hudud dan Kewarisan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 Harahap, M. Yahya, Pengembangan Yurisprudensi Tetap (Bagian Pertama) dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 15 Tahun V 1994 Ibnu Hazm, al-Muhalla, ditahqiq oleh Lajnah Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, Beirut: Dâr al Afaq al Jadîd, t.th., Juz 9 Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, Beirut: Dâr al Fikr, t.th., Jilid I Al-Kisykî, al-Mîrâts al-Muqâran, Baghdad: Jamî‘at Baghdâd, 1969, Cet 3 Ma‘luf, Louis, al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Âlam, Beirut : Dâr al Masyrîq, 1986 Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn, Syarh Minhâj al-Thâlibîn III, Kairo: Dâr Ihyâ‘ al-Kutub al-Arabî, t.th Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, History, Texs and Comparative Analysis, New Delhi: The Academy of Law and Religion, 1987, Cet.I Makhlûf, Hasanain Muhammad, al-Mawârîts fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, t.t.: Mathba‘ah al-Madânî, 1976 Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
395
Dian Mustika
Manan, Abdul, Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama, dalam Ditbinbapera Islam, Mimbar Hukum, No. 38 Thn. 1998, Juli-Agustus, Jakarta : al Hikmah, 1998 Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Al-Maqdisî, Muhammad Muwâfiq al-Dîn Abdullah ibn Qudamah, al-Kafî fî Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994, Juz. II Al-Maqdisî, Muhammad Muwâfiq al-Dîn Abdullah ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh al Kabîr, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th. Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A, Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995 Nurchozin, Bentuk-bentuk, Persyaratan, dan Kekuatan Hukum Wasiat Menurut Hukum Islam dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 38 Tahun IX 1998 Jakarta: Al Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1998 Al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘ân, Beirut: Dâr al Fikr, 1995), Juz I dan III Rasyid, Roihan A., Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 23 Tahun VI (Nopember-Desember 1995), Jakarta: Al Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1995 Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (terj.), Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur‘an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14 Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam, Jakarta: Widjaya, t.th Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, Cet. IV Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993 396
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Wasiat Wajibah kepada Non-Muslim dalam Perspektif Hukum Islam
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Jilid 2 Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004 Al-Syaukanî, Muhammad ‘Alî bin Muhammad, Nail al-Authâr, Syarh Muntaqa al Akhbâr, Beirut: Dâr al Fikr, t.th, Jilid 10 Al-Zuhailî, Wahbah, al-Fiqh al Islâmî wa Adillatuh, Damaskus: Dâr alFikr, 2002, Juz 8 dan 10
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
397