2004 A
4459
MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN INPRES NO. 6 TAHUN1984 (1993/1994)
Zuraeni Hakim
Telah disahkan penggunaannya di sekolah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 017/C/Kep/R/1993 Tanggal : 20 Pebruari 1993
Proyek/Bagian Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak-anak Sekolah Dasar Inpres No. 6 Tahun 1984 Tahun Anggaran 1993/1994
BERWIS/ K E ACE
MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN INPRES NO. 6 TAHUN 1984 (1993/1994)
BERWISATA KEACEH
oleh Zuraeni Hakim
Penerbit Puri Margasari
Hak Cipta yang dilindungi Hak penerbitan pada : Dicetak oleh : Perancang kulit : Ilustrasi dalam : Cetakan pertama : Cetakan kedua : Nomor kode Penerbit : ISBN
oleh undang-undang pada pengarang PT. Puri Margasari PT. Puri Margasari M c . Slamet Haryanto 1992 1993 979-574-000-8
KATA PENGANTAR
Berwisata ke Daerah Istimewa Aceh yang ditulis oleh Zuraeni Hakim ini mengisahkan perjalanan kunjungan ke objek-objek wisata di Daerah Istimewa Aceh. Dikisahkan dalam bahasa anakanak yang segar, kami harapkan buku ini juga sekaligus dapat bermanfaat untuk memberikan pengenalan akan kekayaan budaya di salah satu bagian negeri tercinta ini. Dalam suasana upaya kita untuk meningkatkan rasa sadar wisata pada diri masyarakat Indonesia, kiranya buku ini dapat memberikan sedikit sumbangan, khususnya bagi siswa-siswa Sekolah Dasar.
nerbit
POKOK CERTTA
Kata Pengantar
vii
Rencana Pulang Antara Medan dan Takengon KebunAneka Loyang Sekam di Simpang Balik Unik dan Menarik Pesona Baiturrachman Berwisata Ria Tamu dari Ibukota Tapak Tuan yang Terlupakan Berlayar dengan Rinjani
1 7 17 22 35 40 47 52 60 69
ix
RENCANA PULANG
"Bagaimana, Pak? Jadi nggak liburan ke tempat nenek," demikian tanya Bayu pada bapaknya. "Ya jadi, dong. Bapak kan sudah janji. Hanya bapak belum mengajukan cuti. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan sedikit lagi," jawab Pak Herman. Bapak dan anak itu sedang menikmati teh hangat di teras. Ibu sedang sibuk dengan urusan dapur, yaitu menggoreng ubi, makanan kesukaan Bayu. "Sudah matang belum, Bu?" tanya Bayu. "Sudah," jawab ibu singkat sambil meletakkan sepiring ubi goreng di atas meja. Kemudian duduk di antara Bayu dan bapak. "Ubi lagi, ubi lagi. Apa nggak ada yang lainnya," kata bapak berkelakar sambil mengambil sepotong ubi goreng yang masih pa nas. "Alah... gitu-gitu juga bapak doyan sampai nggak sabar menunggu dingin," balas Bayu. "Ketimbang nganggur," ucap bapak sekenanya. Ibu dan Bayu hanya tersenyum, kemudian sepi. Masing-masing hanyut dalam lamunan sendiri-sendiri. Matahari tampak kekuningkuningan di sebelah barat. Lampu-lampu jalanan telah menyala. Rumah mungil milik Pak Herman tampak berseri. Pak Herman membalik-balik koran sore, ia hanyut dalam berita yang menarik. Hiruk-pikuk kendaraan tak pernah henti. Jakarta memang sibuk, seakan tak pernah tidur. Tak lama kemudian terdengar azan magrib dari mesjid di ujung 1
gang. Suaranya menggema tertiup angin, mengingatkan para kaum muslim untuk melaksanakan salat. "Ayo, Yu kita salat," ucap Pak Herman sambil menyelesaikan teguk terakhir dari cangkirnya. Kemudian bangun menuju kamar mandi untuk berwudu. Tanpa diperintah dua kali, Bayu telah mengekor di belakang bapak. Demikian juga ibu, setelah membenahi cangkir-cangkir. Kemudian tampak ketiganya salat dengan khusuk. Malam itu bulan tampak bersinar terang. Bintang-bintang kelap-kelip di langit tak mau kalah dengan bulan. Anak-anak bermain dengan gembira di halaman depan rumah Bayu. Terdengar suara tawa dan celoteh yang ramai, menambah semaraknya malam terang bulan itu. "Nggak ikut main, Yu, kan sudah libur?" tanya ibu. "Nantilah, Bu. Mau ada yang ditanyakan sama bapak," ucap Bayu sambil mengerling bapaknya. Sebenarnya ibu telah tahu apa yang akan diperbincangkan anak dan bapak itu. Tadi sore ia telah pula mendengar anaknya menagih janji. Kedua suami-istri itu memang telah berjanji jika Bayu liburan panjang akan di ajak ke kampung bapaknya di Aceh. Jangankan Bayu, ia sendiri pun ingin sekali melihat kampung suaminya. Akan tetapi karena jauh dan memerlukan biaya banvak, maka mereka harus menabung terlebih dahulu. Itulah sebabnya sejak mereka kawin sampai Bayu pun naik kelas empat, belum pernah mereka pulang. Selama ini ibu hanya mendengar cerita bapak tentang keindahan Aceh, keramah-tamahan penduduknya dan lain sebagainya. Ibu yang berasal dari Yogya ini hanya melihat kampung suaminya lewat foto-foto yang diktrim keluarga Pak Herman. "Bapak, kapan ktra-kira kita berangkat," ucap Bayu melanjutkan pertanyaan tadi sore. "Bayu sudah nggak sabar, nih," sambungnya. Bapak menarik napas panjang. Kemudian memperbaiki letak duduknya. "Bagaimana, Bu?" balas bapak batik bertanya.
2
"Lho ... kok Ibu. Ibu kan bukan orang kantoran. Jadi kapan saja selalu siap. Justru ibu pun minta kepastian supaya dapat menyiapkan apa-apa yang akan dibawa," kata ibu panjang lebar. "Iya... ya," kata bapak. "Begini saja, bapak rasa pekerjaan bapak di kantor dapat diselesaikan dua hari ini. Jadi minggu depan kita telah dapat berangkat," sambung bapak. "Horc.hore," teriak Bayu dengan gembira. Ternyata apa yang selama ini diidam-idamkannya akan terlaksana juga. Ia akan dapat bertemu dengan kakek, nenek serta bibi-bibinya yang selama ini rajin mengirimi kue-kue khas sana. Bayu akan dapat mendengar cerita kakeknya, juga dapat melihatlihat tempat-tempat bersejarah. Ia tak dapat membayangkan bagaimana sudah tuanya kedua orang tua itu. Mereka pernah datang ketika Bayu lahir. Dan foto mereka yang tergantung di kamarnya dibuat pada saat itu pula. Itu berarti sudah sembilan tahun yang lalu. Betapa rindunya Bayu pada kedua orang tua itu. "Ayo, kita pergi naik apa, Pak?" tanya Bayu. "Itu yang harus kita rundingkan dahulu sebelum bapak membeli tiket. "Kendaraan ke sana ada beberapa pilihan. Misalnya dengan pesawat. Perjalanan ini hanya memakan waktu selama dua jam. Setelah mendarat di lapangan terbang Polonia, maka penumpang yang bertujuan Medan akan turun. Setelah itu pesawat akan melanjutkan menuju lapangan terbang Belang Bintang. Dari lapangan terbang tersebut kita harus naik bis lagi selama kurang lebih delapan jam menuju lapangan Takengon," kata bapak. "Kenapa ketika bapak dan ibu pulang dulu tiketnya hanya sampai Medan?" tanya ibu. "Ya, sebab lebih praktis. Dari Medan, mereka naik bis sampai Takengon selama duabelas jam. Jika mereka naik pesawat sampai Banda Aceh pun, tetap saja harus sambung lagi dengan bis dengan waktu perjalanan hampir sama," jawab bapak. "Jadi kalau begitu, naik pesawat sampai Medan akan menghemat biaya, ya Pak?" tanya Bayu. "Tentu," jawab bapak singkat.
3
Ibu hanya manggut-manggut mendengar penjelasan bapak. "Nah, kalau kita naik kapal laut juga hanya sampai Medan. Kita akan turun di pelabuhan Belawan. Perjalanan ini akan memakan waktu selama dua hari dua malam. Kemudian kita melanjutkan dengan bis. Sedangkan perjalanan darat dengan bis akan memakan waktu selama empat hari empat malam sampai di tujuan," sambung bapak memberi penjelasan. "Wah... lama benar, Pak," kata ibu. "Apa nggak bosan, tuh," sambungnya. "Ya, begitulah. Namanya juga kampung jauh," jawab bapak. "Tapi kayaknya sekarang bisnya sudah canggih-canggih Iho, Bu. Berbagai kebutuhan penumpang disediakan, bahkan dilengkapi pula dengan Video, karauke dan full A C lagi," kata Bayu menjelaskan. "Alah... kamu sok tahu. Paling-paling korban iklan lagi," ujar ibu sambil tersenyum. "Wah... Ibu payah ni. Mesti deh nggak percaya sama Bayu," ka tanya berusaha meyakinkan ibunya. "Bukan nggak percaya, Y u . Tapi biasanya kamu paling cepat deh terpancing pada iklan," kata ibu. "Tapi apa yang dikatakan Bayu itu benar, Bu. Bis-bis sekarang sudah bagus-bagus dan nyaman," ujar bapak. "Tu. . . kan, B u . Oh. . . ibu nggak percaya sih, kata bapak merasa menang. "Iya deh, kamu menang," kata ibu sambil mendorong kepala Bayu dengan lembut dan sayang. Bayu hanya nyengir yang membuat ibunya senyum-senyum. Malam itu akhirnya diputuskan, bahwa mereka akan naik pesawat sampai Medan. Kemudian menyambung dengan bis. Dengan demikian semua sarana angkutan akan mereka nikmati. Sedangkan pulangnya akan melalui laut. Mereka tak tertarik dengan perjalanan darat, sebab jika mereka ke kampung ibu selalu naik bis. "Sudah bosan," kata Bayu. Apalagi ibu yang asli Yogya tentu sangat ingin mencoba naik kapal laut.
4
PETA DAERAH ISTIMEWA ACEH
5
i I
I
f I
s t
I 1
6
ANTARA MEDAN DAN TAKENGON
Pesawat yang membawa keluarga Pak Herman mendarat dengan mulus di lapangan terbang Polonia, Medan. Cuaca sangat cerah. Matahari bersinar dengan terang, angin bertiup dengan lembut menyibakkan rambut Bayu yang agak gondrong. Semua seakan mengucapkan selamat datang kepada keluarga Pak Herman. Ibu dan Bayu tak henti-hentinya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Suasana kota Medan adalah merupakan sesuatu yang baru. Meskipun sebetulnya tak jauh berbeda dengan kota besar lainnya. Dari Airport mereka naik taksi langsung ke stasiun bis. Setelah mendaftar dan menitipkan barang-barang, mereka berkeliling kota, karena bis baru berangkat pada pukul 17.00. Bayu dan ibu tak henti-hentinya bertanya jika ada sesuatu yang mereka anggap lucu. Misalnya tentang becak Medan yang sangat menarik perhatian Bayu. "Becak Medan ada dua macam, Y u . Ada becak mesin, yaitu becak yang dijalankan dengan kekuatan mesin. Dan becak ini bebas masuk ke dalam kota. Sedang becak yang didayung, disebut juga becak dayung. Becak ini hanya terbatas di daerah pinggiran kota," kata bapak menjelaskan. "Tempat pengemudinya juga lain ya, Pak," ibu juga ikut bertanya. "Ya, ada di sebelah kanan penumpang. Dan di bagian depan becak itu sangat luas, sehingga dapat menampung barang agak banyak," ujar bapak. Ibu dan Bayu manggut-manggut tanda mengerti. Namun mata7
nya tak henti-hentinya melihat ke kanan dan ke kiri. Tepat pukul 17.00 bis yang mereka tumpangi mulai berangkat meninggalkan kota Medan. Matahari mulai condong ke barat menampakkan warna kuning kemerah-merahan. Alangkah indahnya kota Medan di keremangan senja. Tampak pohon kelapa berjajar-jajar di kiri kanan jalan diselingi pohon belimbing dan pinang. Daunnya melambai-lambai seakan mengucapkan selamat jalan. Rumah-rumah penduduk di pinggiran kota Medan tampak berkelompok-kelompok di sela pepohonan. Lampunya kelap-kelip menandakan adanya kehidupan. Makin lama semakin jauh kota Medan tertinggal. Bis yang membawa keluarga Pak Herman mulai memasuki daerah perkebunan dengan semak-semak kecil. Sesekali tampak rumah penduduk dengan lampu teplok dicekam kesunyian. Terkadang bis melintasi jembatan dengan pagar besi yang tinggi dan kokoh. Bayu yang hampir mengantuk menjadi segar kembali. Ia sangat tertarik pada jembatan yang berpagar besi tersebut. "Kok jembatannya diberi berpagar, Pak?" tanya Bayu. "Wah, bapak sendiri secara pasti tidak tahu. Tapi paling kurang supaya kuat dan aman," jawab bapak. Bis terus merambat tanpa lelah. Malam pun terus merayap. Video memamerkan film-film silat. Sebagian penumpang masih menikmati acara yang terpampang di layar kaca itu. Sebagian lagi lelap dan mendengkur di sela deru mesin. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Udara malam terasa dingin menusuk tulang. Bayu telah terlelap di samping ibu. Perkampungan demi perkampungan terlewat sudah. Demikian juga beberapa stasiun. Di beberapa stasiun bis berhenti guna memberi kesempatan kepada penumpang untuk ke kamar kecil. Ada juga penumpang menggunakan kesempatan tersebut dengan minum kopi. Warung-warung kopi dan jajanan ramai diserbu orang. Beberapa bis dengan berbagai jurusan berjajar-jajar di tempat parkir. Para pedagang asongan ikut meramaikan suasana, kendatipun hari telah larut malam. Mereka seakan tak pernah tidur. Asyik dengan dagangannya.
8
Bapak membeli beberapa bungkus dodol khas sana. "Dibungkus dengan apa ini, Pak?" tanya ibu. "Dibungkus pelepah pinang," jawab bapak singkat. Ibu mengamati bungkusan dodol tersebut, "Kok bisa, ya Pak," tanya ibu penasaran. "Ya, itulah yang menjadi ciri khasnya. Pelepah daun pinang ini disebut orang upih," kata bapak menjelaskan. Selain itu bapak juga membeli beberapa oleh-oleh lainnya yang dijual di stasiun untuk keluarga di kampung. Bis berjalan kembali. Ibu membuka dodol yang dibungkus pelepah daun pinang. "Rasanya cukup enak," kata ibu setelah mencobanya. Tiba-tiba Bayu terbangun. "Apanya yang enak, Bu?" tanyanya tiba-tiba. "Kamu kalau dengar yang enak, biar lagi ngorok pun pasti bangun. Ini lho, dodolnya enak juga," kata ibu. "Dodol? Beli di mana, Bu?" tanya Bayu. "Tadi di stasiun. Kamu lagi mimpi, sih. Jadi nggak tahu," jawab ibu. Bayu hanya tersenyum, kemudian mengambil dodol dari tangan ibu dan mencobanya. " Y a , betul-betul enak," komentar Bayu. "Buat Bayu sih, nggak ada makanan yang nggak enak," kata bapak ikut pula mengomentari. Bayu diam saja, namun mulutnya tak henti-hentinya mengunyah dodol. "Ih.. nggak malu tuh, bangun tidur langsung makan," kata ibu menggoda. "Ah., yang penting enak," ujar Bayu tak mau kalah. Bis terus berjalan dengan laju. Sesekali berselipan dengan bis lain dengan arah yang berlawanan. Kadang-kadang masing-masing sopirnya saling memberikan tangan. Ada juga kalanya meneriakkan sesuatu sambil tertawa. Ternyata di antara sopir itu saling kenal, atau kedua bis itu dari perusahaan yang sama.
9
I C
I I I c
I I •* -e: 9
os
10
Deru mesin kian nyaring. Rumah penduduk kian sepi. Dinginnya malam menusuk tulang. Ibu mengeluarkan baju hangat dari tas yang sengaja di taruh di bawah jok. Kemudian menyerahkan kepada bapak dan Bayu. Kaca-kaca tampak berembun dan menimbulkan hutir-butir air. Tiba-tiba Bayu melihat kilatan api yang menjulang ke udara. "Api apa itu, Pak?" tanyanya. "Itu api yang berasal dari gas. Bayu pernah mendengar kota Lhok Seumawe?" tanya Bapak. "Pernah, pak," jawab Bayu. "Apa yang terkenal dengan kota itu?" bapak kembali bertanya. "Kalau nggak salah, sih. Proyek L N G Arun," jawab Bayu. "Nah ... inilah kota Lhok Seumawe itu. Sebetulnya Arun ini tidak berada di tengah-tengah kota. Akan tetapi di pinggiran kota, tetapi tidak begitu jauh. Lihat... di semua penjuru ditandai dengan api-api yang berkobar. itu sebagai tanda bahwa di situlah lokasi proyek tersebut," kata bapak menjelaskan. "Kalau siang hari apakah api-api itu juga tampak, Pak?" ibu ikut pula bertanya. "Tentu saja. Namun api yang tampak pada malam hari jauh lebih bagus daripada siang hari, ujar bapak. "Luar biasa," komentar Bayu. "Apanya yang luar biasa, Yu," tanya ibu. "Itu lho, Bu. Kekayaan alam Indonesia ini," jawab Bayu sok tahu. "Itu hanya sebagian kecil dari kekayaan alam Indonesia, Yu. Masih banyak lagi kekayaan lainnya yang belum tergali di bumi Indonesia ini. Oleh sebab itu rajinlah belajar. Nanti generasi Bayulah yang akan meneruskan mencari, memelihara serta mengolahnya demi kepentingan rakyat Indonesia ini," kata bapak. "Beres, Bos," ujar Bayu. Bapak melihat jam tangannya. Ternyata waktu menunjukkan pukul satu tengah malam. Biasanya pukul dua sudah sampai di Bireuen. Tiga jam kemudian sudah sampai di kampung bapak.
11
Tak lama kemudian bis memasuki kota. Kota tersebut sangat sepi seperti tak berpenghuni. Laksana kota mati yang ditinggal penghuninya mengungsi pada zaman perang. Hanya saja bedanya kota itu terang benderang. Lampu-lampu berwarna-warni terpasang di jalan serta di depan-depan rumah atau toko. Penduduknya sedang lelap dalam mimpi-mimpi yang mengasyikkan. "Inilah kota Lhok Seumawe itu, Y u . Kalau siang hari kota ini cukup ramai. Apa lagi sejak ada proyek L N G itu tadi, kota ini menjadi sangat terkenal. Bukan saja di dalam negeri, tetapi menjadi pembicaraan di rapat tingkat tinggi dunia. Nah sejak itu pula kota ini seakan bangkit dari tidurnya. Gedung-gedung bagus telah berdiri, jalan-jalan menjadi mulus," kata bapak. Pukul dua lewat sepuluh menit, bis telah memasuki kota Bireuen. Para penumpang kembali turun. Ada yang menyerbu warung kopi, ada yang mencari kamar kecil, ada pula yang berkelompok sambil mengobrol. Bapak mengajak Bayu dan ibu ke warung kopi. Bayu memesan mi goreng. Bentuknya lain dengan mi di Jakarta, gepeng dan agak lebar. Rasanya juga unik, karena ada daging cincang sebagai campurannya. "Enak, Yu?" tanya ibu. "Wow... enak sekali," jawab Bayu bersemangat. "Ibu pesan juga, deh," kata ibu. Kemudian memanggil pelayan dan memesan seporsi. Bapak hanya menikmati segelas kopi dan makanan kecil. Selesai makan bapak menyodorkan uang lima ribuan kepada pelayan. Pelayan itu mengembalikan tigaribu tujuhratus rupiah. Bayu memperhatikan dengan perasaan heran. "Kok murah sekali, Pak. Apa nggak salah," tanya Bayu. "Tentu tidak," jawab bapak. " D i sini makanan memang murahmurah. Lebih murah lagi nanti di kampung bapak," sambung bapak menjelaskan. "Menyenangkan, dong," komentar Bayu. Ibu hanya tersenyum. "Dasar....dasar, kau memang senang
12
raakan," komentar ibu, sambil terus melangkah menuju bis yang diparkir. "Bis kita yang mana, Pak," tanya Bayu. "Awas salah naik, Y u , " tegur ibu. Ternyata Bayu dapat mengenali bis yang mereka tumpangi. Dengan tenang Bayu melangkah naik lebih dahulu. Tak lama kemudian penumpang lain pun menyusul. Pukul 02.30 bis mulai bergerak meninggalkan stasiun Bireuen. Mula-mula bis itu melewati kota yang juga sepi bagai tak berpengaruh. Kemudian semakin lama kota Bireuen semakin jauh tertinggal. Tampak rurnah penduduk dengan kebun sayur di bawah kerindangan pohon kelapa dan pinang diselingi pohon-pohon belimbing sayur. Keadaan seperti itu akhirnya tertinggal juga. K i n i yang tampak adalah pohon-pohon rindang dengan semak-semak yang padat. Dan kemudian bis pun memasuki kawasan hutan lebat. Sopir bis tak berani melarikan bisnya dengan kecepatan tinggi, karena jalannya yang sempit dan berliku. Pohon-pohon besar tampak hitam dan menyeramkan dalam kegelapan. Pada kiri jalan tampak jurang yang dalam menganga, bagai raksasa yang siap menerkam mangsanya. Sedangkan pada kanan jalan tebing yang terjal dengan kokoh mengapit kendaraan yang lewat. Samar-samar di kedalaman jurang tampak pucuk-pucuk pohon yang diam membisu. Pada jalan mendaki terdengar deru mesin bagai seringai serigala di waktu malam. Suasana dalam bis sepi mencekam. Tak ada yang bicara, seakan hanyut dalam kengerian yang mendalam. Video pun tak lagi memamerkan film-film yang menyenangkan. Bayu memandang ke kiri. Tampak sepintas jurang yang dalam itu. Namun dengan segera ia menutup tirai jendela itu kembali. Pada wajahnya tergambar kengerian yang amat sangat. Ia menoleh pada ibu yang mencerminkan ketakutan juga. Lain halnya dengan bapak. Bapak tampak tenang-tenang saja. Hal ini sedikitnya memberi kekuatan pada Bayu. Setelah beberapa lama bis menderu di tengah kelebatan hutan.
13
maka akhirnya semua penumpang terlepas dari kecemasan itu. Hutan lebat, jurang yang dalam tertinggal sudah. K i n i yang tampak adalah padang rumput yang lurus. Rumah-rumah penduduk dengan jarak yang lumayan dikelilingi kebun sayur yang subur. Cahaya kekuning-kuningan mulai tampak di ufuk timur. Sesekali bis mereka berpapasan dengan segerombol orang mengendarai sepeda dengan membonceng karung berisi hasil panen yang siap dijual ke kota. Bapak melihat jam tangannya. Waktu saat itu menunjukkan pukul 04.30 pagi. "Sebentar lagi kita akan sampai," kata bapak. Bayu tak mengomentari ucapan bapak. Ia sedang berusaha menghalau rasa dingin yang menusuk tulangnya. Celana panjang dan jaket yang membalut tubuhnya seakan tak mampu melindunginya. Butir-butir embun semakin banyak menutupi kaca bis itu. Dan jalan-jalan tampak berkabut. Pukul 05.00 subuh, bis yang membawa keluarga Pak Herman memasuki stasiun Takengon. Para pedagang sayur tampak berbondong-bondong menuju pasar. Bermacam cara mereka membawa hasil panennya. Ada yang menggendongnya, yang berarti sangat terbatas yang mereka bawa. Ada pula yang memboncengnya dengan sepeda. Berbagai kesibukan mulai tampak, menandakan bahwa hari telah pagi. Beberapa penumpang langsung turun dan mengurusi barangbarangnya yang ditaruh di atas bubungan bis. Kondekturnya dengan cekatan membuka terpal penutupnya. Kemudian dengan gesit menurunkan barang penumpang sesuai labelnya. "Kita tidak usah turun dulu," kata bapak. "Tunggu saja di dalam bis sampai hari terang, supaya perjalanan ke rumah kakek lebih enak dan gampang," sambung bapak. Bayu memperlihatkan mulut bapak. "Mulut bapak ada asapnya," komentarnya. "Mulut Bayu juga," kata ibu. "Ya, itu disebabkan karena cuaca yang terlalu dingin," kata bapak. Namun Bayu tak bersemangat menyambung ucapan bapak.
14
•V
J
Q s « 5
| f I s
3 C 3
15
Mulut GualPintu Masuk Gua Loyang Koro
Giginya gemeletuk saling beradu. Dan ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, ketiganya tampak berjalan menuju rumah kakek. Sedangkan barang-barang mereka di angkut oleh sebuah becak khusus barang. Bentuknya lebih baik sedikit dari gerobak. Dan memang tidak pantas untuk mengangkut orang. 16
KEBUNANEKA
D i subuh yang berembun dan dingin yang menggigit itu Bayu sampai di rumah kakek. Rumah tersebut berada di sebuah tempat agak tinggi. Boleh dikatakan sebuah bukit kecil. Hanya beberapa rumah saja yang ada di lokasi itu. Selebihnya berada di tempat yang agak rendah. Rumah tersebut hampir terletak di lereng gunung. Dari rumah kakek tampak kota Takengon dengan segala kegiatannya. Toko-toko berjejer letaknya. Sekolah dengan halaman yang cukup luas, sehingga sarana bermainnya cukup. Hanya saja belum ada bangunan yang menjulang tinggi seperti di kota-kota besar. Kebanyakan rumah-rumah sederhana saja yang ada. Bangunannya hampir sama, dan atapnya kebanyakan dari seng. D i sebelah timur rumah kakek tampak Danau Laut Tawar yang membentang, dikelilingi gunung yang memagarinya. Danau tersebut seakan dijaga gunung yang lebat dengan pohon pinus itu. Airnya tampak bersih membiru. Dan di waktu pagi danau tersebut bagai kawah sebuah gunung berapi. Dari danau itu keluar asap, sedangkan gunung yang memagarinya seakan bongkahan kabut yang bergulung-gulung. Sedangkan di sebelah utara, tampak gunung dengan hutan pinus yang angker, dan tumbuh subur. D i sela-sela pohon pinus tampak semak-semak yang seakan terpelihara. D i sekitar rumah ada kebun sayur milik kakek. Se lain itu ada beberapa pohon je ruk dengan buah-nya yang sangat lebat. Ada tanaman pisang dengan buahnya yang besar dan tandannya yang panjang. D i pojok sebelah utaranya ada sebatang durian yang tak kunjung berbuah.
17
"Kenapa tak dapat berbuah, Kek?" tanya Bayu ketika ia dan kakek berkeliling kebun itu. "Kan tanahnya sangat subur," sambungnya. "Bukan faktor tanah yang menentukan, Yu. Tetapi iklim. Takengon ini sangat dingin, bahkan terlalu dingin untuk tanaman durian. Ia hanya cocok di tempat yang berhawa panas," kata kakek menjelaskan. "Untuk apa ditanam kalau tidak menghasilkan," tanya Bayu penasaran. "Ya, memang seharusnya demikian. Tapi itu, lho Yu, nenekmu itu. Kalau ada bibit apapun selalu ditanamnya, dan memang, semua tumbuh meskipun tidak berbuah seperti durian itu. Akan tetapi kalau sudah besar seperti itu, rasanya sayang untuk menebangnya. Sebetulnya bukan tidak pernah berbuah, Yu. Akan tetapi buah-buah yang masih kecil itu selalu rontok sebelum besar," ujar kakek menjelaskan. Bayu manggut-manggut sok tahu. Ia cukup puas mendengar penjelasan kakek. Mereka terus berkeliling sambil memperbincangkan sesuatu tentang tanaman yang ada di dalam kebun kakek. Dan akhirnya mereka sampai pada pinggiran paling ujung. Di sana Bayu mengamati tanaman tomat yang tumbuh subur. Buahnya sangat besar dan banyak yang sudah matang. Di sebelah petak itu ada kentang dan bawang. "Wah... kebun kecil ini sangat lengkap, Kek," komentar Bayu. Kakek hanya tersenyum bangga mendengar komentar cucunya. Sebetulnya buat kakek hal seperti itu bukan sesuatu yang istimewa lagi. Namun buat Bayu mungkin sesuatu yang menakjubkan. Di Jakarta tak pernah ia melihat kebun di sekitar rumah orang. Hasil tanaman seperti itu hanya ia lihat di pasar, bukan yang masih utuh di pohonnya. "Tomat ini enak di jus, Kek. Boleh Bayu memetiknya barang beberapa buah?" tanya Bayu. "Kenapa tidak. Apa pun yang Bayu suka ambil saja sesuka hatimu. Ini kan kebun Bayu juga, hanya saja yang menanamnya
18
kakek dan nenek. A m b i l . . . ambil seberapa kau mau," kata kakek. Bayu memetik tiga buah tomat yang besar dan matang lalu menimang-nimangnya dengan perasaan gembira. "Kenapa cuma tiga?" tanya kakek. "Cukuplah, Kek. Nanti kalau Bayu mau lagi kan tinggal petik," ujar Bayu. Kakek tersenyum mendengar jawaban Bayu. "Kau memang pintar seperti ayahmu," komentar kakek. Mereka lalu melangkah menyusuri kebun-kebun aneka macam itu. Kemudian keduanya berdiri di sebuah pematang yang ditanami tebu. "Kek, apakah hasil kebun ini habis dimakan kakek berdua nenek?" tanya Bayu. Kakek memandang cucunya dengan rasa bangga. "Bayu ... Bayu. Tentu tidak. Hasil kebun ini sebagian kakek jual, tetapi sesekali kakek bagikan kepada tetangga. Sebetulnya menjual hasilnya bukan tujuan utama kami. Akan tetapi karena terlalu banyak daripada mubazir, kan lebih baik dijual. Kalau untuk biaya hidup kakek dan nenek sebetulnya sudah cukup dari hasil sawah yang digarap orang itu. Selain itu, bapak-mu juga setiap bulan selalu mengirimi belanja kakek," jawab kakeknya bangga. Diam-diam Bayu tambah menaruh hormat kepada bapaknya. Ternyata meskipun mereka jauh, namun tidak pernah melupakan kewajiban kepada orang tua. Dan diam-diam pula ia berjanji, kelak jika ia sudah besar dan bekerja, ia tak akan melupakan ibu dan bapaknya. D i lembah sebelah utara itu terdampar sawah yang cukupan luasnya. Itulah sawah milik kakek yang digarap oleh orang. D i sebelah hulunya mengalir air yang jernih. Apa pancuran yang terbuat dari bambu. Terasa betapa asrinya tanah Takengon. D i pucukpucuk pohon terdengar kicauan burung yang tak pernah terusik hidupnya oleh pemburu. Mereka hidup bebas dan berkembang biak secara alami. "Kek, kita ke pancuran itu, yok," ajak Bayu.
19
Tanpa komentar kakek menggandeng tangan cucunya dan melangkah di sela-sela tanaman padi yang menguning. Bayu men coba memetik setangkai padi yang telah kuning. Kemudian mengupasnya dengan hati-hati. D i balik kulit padi itu terdapat beras yang putih bersih. Bayu sangat kagum pada kebesaran Tuhan yang menciptakan segalanya itu. Bayu mencoba bermain-main dengan air pancuran itu. Akan tetapi dengan segera mengelap tangannya yang basah. "Kenapa, Yu?" tanya kakek. "Nggak kuat, Kek. Terlalu dingin bagai air es," jawab Bayu. Kakeknya hanya tersenyum. Namun buat mereka yang sudah terbiasa dengan alam itu, maka mandi pada pagi hari pun tidak menjadi soal. Lain halnya dengan Bayu, dia mandi hanya sekali sehari. Itu pun pada tengah hari. "Berapa derajat dinginya kota Takengon ini, Kek?" tanya Bayu. "Kira-kira 20 derajat, Y u . Tapi bisa saja lebih dingin lagi pada musim hujan," jawab kakek. Menjelang tengah hari mereka pulang ke rumah. Ibu dan nenek tampak asyik mengobrol. Bapak sedang memetik jeruk. Melihat kedatangan Bayu nenek lalu bangkit menyambutnya. "E ... sudah pulang. Bagaimana, apa menyenangkan?" tanya nenek. "Oh... tentu. Banyak hal yang belum pernah Bayu lihat di Jakarta. Misalnya tentang ini...," katanya sambil mengeluarkan buah tomat yang ia simpan di dalam jaketnya. Nenek dan ibu hanya tersenyum melihat tingkah laku Bayu. "Nek, tomat ini paling enak dijus," ujar Bayu. "Dijus dengan apa, Y u . Nenek nggak punya blender. Nenek paling takut dengan alat-alat semacam itu," kata nenek. "Kalau nggak ada, cukup dipotong-potong saja, kemudian dikasih gula," jawab Bayu. Tak lama kemudian bapak pulang dengan beberapa buah jeruk. Asyik," komentar Bayu. "Alah .. kamu. Apa yang nggak asyik kalau lihat makanan,"
20
ujar ibu. Bayu tak peduli komentar siapapun, yang penting ia ingin menikmati hasil kebun kakeknya. Selain itu ada beberapa rencana yang akan ia kerjakan dengan bantuan kakek tentunya. Selesai makan siang, ibu membenahi piring-piring kotor. Maklumlah, nenek tidak mempunyai pembantu. Akan tetapi ibu pun tak keberatan melakukan hal semacam itu. Selesai itu mereka berlima kumpul di ruang depan sambil menikmati buah jeruk yang dipetik bapak. "Besok apa, rencanamu, Yu?" tanya bapak. "Ingin mendaki gunung itu bersama kakek," jawab Bayu bangga. "Mendaki gunung?" ujar ibu. "Ya, kenapa, ibu khawatir," Bayu balik bertanya. "Ya ... begitulah. Apa kuat," sambung ibu. "Pokoknya kita lihat bagaimana besok saja," balas Bayu menyombongkan diri. "Hm ... paling-paling K . O , " komentar bapak. "Pokoknya bagaimana besok saja, deh. Yang jelas Bayu sama kakek akan mendaki gunung, besok," kata Bayu berapi-api. Semua yang mendengarnya senyum-senyum tanpa berkomentar lebih banyak. Ibu dan bapak asyik menikmati jeruk manis hasil kebun sendiri.
21
LOYANG SEKAM DAN SIMPANG BALIK
Malamnya kaki Bayu terasa pegal. Meskipun demikian ia sangat senang. Ternyata mendaki gunung yang kelihatan rendah itu meieiahkan juga. Ia salut pada kakeknya jauh lebih tua, tetapi mempunyai tenaga yang luar biasa. "Buat kakek hal semacam ini sudah biasa. Akan tetapi buat kamu anak Jakarta, mungkin rasanya merupakan pengalaman baru," kata kakek. Dan baru kali itulah Bayu berkeringat banyak selama di kampung kakek. Dan kemudian siang itu pula ia makan dengan lahap. Nenek memijiti kaki Bayu dengan kasih sayang. "Besok-besok jangan pergi lagi terlalu jauh," ujar nenek. "Biar saja, B u . Tambah pengalaman, biar tidak manja," sambung bapak. "Sebetulnya Bayu dan Kakek sudah punya rencana baru, Nek. Kami akan mengunjungi tempat bersejarah Loyang Sekam. D i mana terdapat patung Inem Mayak Pukes. Setelah itu akan ke tempat pemandian air panas yang bertempat, di mana, Kek, " ujar Bayu beralih pertanyaan kepada kakek. " D i simpang Balik," sahut kakek. " Y a , di Simpang Balik. Nenek, bapak dan ibu apa nggak tertarik?" kata Bayu pula. "Wah... kalau yang begitu sih senang," sahut ibu. "Bapak juga setuju," komentar bapak. "Nenek, bagaimana. Apa nggak kepingin ikut?" tanya Bayu. "Kalau dengan Bayu sih, tentu mau," jawab nenek.
22
"Siiip Iah," ujar Bayu gembira. "Dulu, ketika bapakmu masih remaja, pernah juga ke sana. Misalnya acara perpisahan sekolah diadakan di sana sambil piknik .. Iah," kata kakek menjelaskan. "Ya... Pak?" tanya Bayu seakan tak percaya. "Ya, betul. Hanya saja jalannya belum sebagus sekarang. Zaman dulu tempat-tempat seperti itu belum mendapat perhatian dari pemerintah. Namun sekarang sejak digalakkan masalah pariwisata, maka tempat-tempat semacam itu menjadi bagus, karena mendapat perhatian dari pemerintah daerah," ujar bapak. "Kata orang juga begitu, jalannya sudah bagus, lokasinya sendiri diperbaiki. Namun terus terang, nenek sendiri belum pernah ke sana," kata nenek. "Kalau begitu pas, ya Nek," ujar Bayu. "Apanya yang pas?" tanya ibu. "Kebetulan kita punya rencana ke sana, jadi nenek sekalian ikut," kata Bayu. "Bisa saja," komentar bapak. "Tapi betul juga itu," kata nenek mengikuti. "Loyang Sekam itu apa sih, Kek. Ada apa di sana sehingga banyak orang berkunjung ke sana?" tanya Bayu. "Begini," kata kakek hendak menjelaskan. "Tapi ... apa Bayu tidak lelah. Kalau memang lelah, lebih baik tidur saja, besok sambil jalan akan kakek ceritakan," kata kakek. " A h .. sekarang saja, deh Kek. Rasanya Bayu tidak sabar lagi mendengar ceritanya. Lagi pula setelah makan tadi mata jadi segar lagi," kata Bayu "Uh ... kamu, persis seperti bapakmu. Tidak sabaran," sahut nenek. Ibu hanya tersenyum. sebetulnya ia juga ingin sekali mendengar cerita Loyang Sekam itu. Selama ini Pak Herman tak pernah bercerita tentang hal semacam itu. Akhirnya tanpa sadar kelimanya merenung sambil menikmati kacang rebus hasil kebun sendiri. Dan kakek telah siap memulai
23
ceritanya. "Cepat, dong Kek?" ujar Bayu. "Ya ... ya," kata kakek sambil menggulung rokok daun nipahnya. "Begini," kata kakek memulai. "Loyang Sekam itu, disebut orang juga Loyang Pukes atau Inem Mayak Pukes. Loyang berarti lubang dan bentuknya menjorok ke dalam gunung. Sedangkan Inem Mayak Pukes adalah, Inem Mayak berarti penganten baru, sedangkan Pukes itu nama tempat. Jadi sebetulnya secara keseluruhan berarti Lobang penganten yang berada di Pukes. Begitu kira-kira. Sedangkan keistimewaannya adalah adanya patung dari batu. Konon ceritanya patung itu adalah seorang perempuan yang baru saja melangsungkan perkawinannya. Ada pun sebabnya ia menjadi batu hanya masalah kecil, yaitu karena tidak menjalankan pesan ibunya," kata kakek. Kakek menukar posisi duduknya. K a k i tuanya tak kuat lagi lama-lama bersila seperti itu. D i daerah ini pada umumnya orang lebih suka duduk bersila, dan sebagai tempat kumpul keluarga adalah dapur yang dibuat berlantai papan. Itulah sebabnya bagian dapur selalu dibuat orang besar. Setelah makan, tempat itu pula digunakan untuk tempat berbincang keluarga. Dan di sana jarang sekali orang menggunakan meja makan. Mereka makan dengan duduk bersila di atas tikar. Kakek kembali menyalakan rokoknya yang sudah mati. Kemudian mengisapnya. Asapnya mengepul ke udara membuat bulatan-bulatan kecil tak beraturan. Bersamaan dengan itu terdengar batuk kakek yang agak panjang. "Kakekmu itu handel, Y u . Nggak mau berhenti merokok. Padahal sudah dilarang dokter, lho," ujar nenek mengomentari batuk kakek. "Ya, Pak," kata bapak. "Kalau sudah dilarang, ya seharusnya berhenti," sambung bapak. "Hanya sekali-sekali saja," kata kakek membela diri. Setelah minum air putih, batuk kakek pun mereda. Dan siap
24
Adat PengantinAceh
kembali melanjutkan ceritanya. "Setelah melangsungkan perkawinan, maka sesuai adat yang berlaku, maka pihak laki-laki memboyong istrinya ke kampungnya. Kampung tersebut jauh sekali letaknya. Perjalanan pun ada kalanya melalui hutan, menembus gunung dan menyeberang sungai. Pada zaman dahulu belum ada kendaraan seperti sekarang. Jadi perjalanan itu di tempuh dengan jalan kaki. Tentu memakan waktu berhari-hari. Nah ... demikian pula pengantin baru ini. Setelah melangsungkan perkawinan di tempat pihak peremnuan, maka setelah beberapa hari ia dibawa ke tempat suaminya. Kepergian si istri dari 25
kampungnya merupakan kesedihan yang teramat sangat bagi keluargannya, karena jarang sekali akan bertemu kembali. Maka sesuai adat, si istri akan dibekali dengan berbagai macam keperluan, misalnya alat-alat dapur, perhiasan dan lain sebagainya. Keberangkatannya diantar pula oleh sanak saudaranya sekaligus membantu membawa barang-barang yang banyak itu. D i samping itu, setelah sampai ke tempat suami, maka pihak istri menyerahkan penganten perempuan ini beserta barang bawaanya secara adat kepada pihak suami. Saking jauhnya kampung si suami, maka mereka pun menempuh perjalanan berhari-hari. Sebelum berangkat, ibu penganten perempuan yang kebetulan tidak dapat mengantar anaknya berpesan. 'Anakku, berjalanlah terus menuju kampung suamimu, jangan sekali-sekali kamu menoleh ke belakang' demikian kata ibunya. Dengan penuh kesedihan dan rasa pilu, sang anak menyanggupi pesan ibunya. Namun apa daya, ketika perjalanan akan memasuki goa di Pukes, yang akan menembus gunung menuju kampung suaminya, hari pun menjelang senja. Kicauan burung di pepohonan membuat hatinya tambah pilu. Orang-orang yang mengantarnya berjalan beriringan. Tanpa diketahui apa sebabnya, maka penganten perempuan ini pun menoleh ke belakang. Ia seakan lupa pesan ibunya. Maka pada saat itu pula ia menjelma menjadi batu. Para pengiringnya panik. Ada yang menjerit histeris, ada yang menangis, ada pula yang lari ketakutan. Maka sejak itu pula, patung batu itu menjadi penunggu lobang di kaki gunung yang terletak di Pukes itu," kata kakek mengakhiri ceritanya. "Wah ... menarik sekali, Kek. Bapak tak pernah menceritakannya," ujar Bayu. "Kalau di Simpang Balik itu ada apa. Pak?" tanya ibu pada kakek. "Oh ... kalau itu hanya air panas yang mengalir dari gunung berapi. Namun sekarang telah direnovasi orang. Dibuat kolamkolam pemandian. Meskipun demikian banyak sekali pengunjungnya. Apalagi di sini iklimnya terlalu dingin, maka mandi air panas
26
seperti itu sangat menyenangkan," kata kakek. "Oh... seperti Ciater, dong," komentar Bayu. "Ya ... seperti Ciater," jawab bapak. "Kapan kita ke sana, Kek?" tanya Bayu. "Kapan saja. Sekarang mana dulu yang akan kita kunjungi di antara keduanya," kakek balik bertanya. "Loyang Pukes dulu, dong," ujar Bayu. "Setuju, kan Bu?" sambungnya. "Ibu sih, nurut saja," kata ibu. "Lalu ke sana naik apa, Kek?" kembali Bayu bertanya. "Jalan darat, berarti harus mencari mobil sewaan. Begitu pula kalau lewat laut, harus menyewa perahu," ujar kakek. "Sebaiknya cari saja mobil sewaan, Pak. Kalau naik perahu memakan waktu agak lama," saran bapak. "Kalau begitu besok kita ke rumah Pak Munaf. Dia punya mobil yang sering disewakan. Ibu dan nenek masak untuk bekal kita di sana," kata kakek kepada Bayu. "Beres," sambung nenek. Ibu hanya tersenyum tanpa komentar. "Bapak dimohon memetik jeruk dan beberapa batang tebu," kata Bayu seakan memerintah bapak. "Siap, Kapten!" jawab bapak. Semua tertawa dan merasa puas. Semua mendapat tugas sesuai dengan keahliannya. "Sekarang Bayu tidur, agar besok bangun pagi-pagi," kata nenek. "Tunggu, Nek, Masih ada yang ingin Bayu tanyakan," katanya. "Apa mobil pak Munaf tidak dapat dipakai untuk ke Simpang Balik?" tanya Bayu kembali. "Itu soal gampang, besok kita tanyakan sekaligus," jawab kakek. "Sekarang tidurlah, supaya besok tidak kesiangan. Jika kesiangan takutnya mobil itu sudah di pakai orang lain," sahut kakek. Tanpa diperintah dua kali, Bayu sudah bangkit menuju kamar mandi, untuk menyikat gigi! Untuk itu ia telah meminta segelas air
27
hangat pada ibu. Menggosok gigi dengan air dingin pada malam hari tentu tidak kuat. Karena air itu sendiri hampir sedingin es. Pukul 10.00 siang, mereka telah sampai di Loyang Pukes. Loyang Pukes itu terletak di pinggir Danau Laut Tawar dan di lereng gunung. D i sekitar tempat itu ada beberapa gubuk dengan kebun-kebun tembakau atau tanaman palawija lainnya. Beberapa pohon pinus tegak berdiri bagai tentara yang sigap menjaga tempat itu. D i bawah pohon besar itulah nenek membentangkan tikar yang mereka bawa. Setelah istirahat sejenak mereka akan melihat patung batu itu dari dekat. Pak Munaf tidak ikut masuk, karena sudah berkali-kali ke sana ketika mengantar beberapa orang pengunjung. Ia tidur-tiduran di tikar di bawah pohon sambil menjaga makanan. Selain mereka ada juga beberapa pengunjung lainnya. Ada yang da tang dengan mobil, ada juga yang naik perahu. Beberapa pengunjung ada yang membawa pancing. Selesai melihat patung Inen Mayak Pukes, maka ia memancing di pinggir danau. Airnya sangat jernih. Selain itu airnya tidak asin. Itulah sebabnya dinamakan Danau Laut Tawar. D i danau itu hidup berbagai jenis ikan, dengan segala ukuran. Bayu sangat terkesan melihat patung batu itu. D i sekitar patung terdapat beberapa buah patung kecil lainnya. Hanya saja bentuknya bermacam-macam. "Patung-patung kecil ini apa, Kek?" tanya Bayu. "Konon kata orang, patung-patung ini ada yang menyerupai anjing, ada pula menyerupai perkakas dapur lainnya. Nah benda ini adalah barang milik penganten perempuan itu yang saat kejadian ada di dekatnya. Dan ikut pula menjelma menjadi batu. Dan binatang, seperti anjing ini adalah juga yang saat itu ikut mengiringi perjalanan rombongan," kata kakek. "Dulu, patung ini tidak terawat, bahkan berlumut. Jalan masuknya pun bersemak, sehingga mengerikan," kata bapak. "Kalau dibiarkan terus, tentu akan rusak. Maka tempat bersejarah ini akan musnah," kata ibu. "Itu sudah pasti. Untung Pemerintah cepat turun tangan," kata
28
£ 3
a c
29
bapak. Setelah puas mereka melihat-lihat, maka rombongan pun meninggalkan goa itu. Ketika sampai di tempat Pak Munaf, Bayu tertawa terpingkal-pingkal. "Kenapa, Yu?" tanya ibu. Bayu menunjuk kepada Pak Munaf yang tertidur lelap, dengan roti di tangannya. Semua jadi tertawa, sehingga membuat Pak Munaf terjaga. Ia terbata-bata karena terkejut. "Kalau tidur jangan sambil makan, Pak Munaf," kata Bayu. "Ya, tadinya Pak Munaf makan roti sambil tidur-tiduran. Angin yang semilir membuat Pak Munaf tertidur," ujar Pak Munaf sambil tertawa pula. Pak Munaf memang ramah dan lucu. Itulah sebabnya iacepat akrab dengan orang lain. Hampir semua penumpang yang menyewa mobilnya merasa senang dengan Pak Munaf. Ia tidak pernah marah, malah cenderung lucu. Oleh sebab itu ia sangat dikenal di kota kecil itu. Ditambah lagi badannya yang gemuk pendek dengan potongan rambut seperti A B R I . Selesai makan siang, Bayu ingin melihat-lihat pemandangan di pinggir danau. Ia juga memperhatikan orang-orang yang memancing. Ikannya besar-besar dan segar. Ingin ia meminjam pancingan itu. Akan tetapi ia malu karena tidak kenal. "Kek, bangunan gubuk yang menjorok ke laut itu apa?" tanya Bayu. Bangunan itu berjejer dalam jarak tertentu. Bentuk dan besarnya pun hampir sama. Berdinding dan beratap lengkap. Untuk mencapai gubuk tersebut ada jembatan dari bambu. Melalui jembatan itulah orang keluar-masuk gubuk. "Itu tempat menangkap ikan, namanya penyangkulen," jawab kakek. "Kenapa tak ada orangnya?" tanya Bayu kembali. "Tidak setiap hari gubuk itu dipergunakan. Ada musim-musim tertentu. Ikan yang ditangkap di gubuk itu pun bukan ikan sembarang ikan, tetapi jenis tertentu, namanya ikan depik. Ikan
30
tersebut muncul pada saat cuaca hujan rinti-rintik sepanjang hari disertai angin. Biasanya musim seperti itu berlangsung beberapa hari lamanya. Dan udara sangat dingin," ujar kakek. "oh ... ikan yang sering nenek kirim itu, ya Kek?" tanya Bayu. "Betul. Itu namanya ikan depik. Hanya saja sudah dikeringkan. Keistimewaan ikan itu ialah, begitu ditangkap langsung bisa dimasak, tidak usah membersihkan isi perut atau kotorannya. Dan hanya di danau ini adanya. Kalau sudah tiba musimnya, .sekali tangkap bisa satu kaleng minyak," ujar kakek. "Wah...banyak sekali," komentar Bayu kagum. "Lalu alat apa yang dipergunakan untuk menangkapnya," sambungnya. "Alat tersebut namanya cangkul. Bentuknya seperti jaring yang dibuat halus dengan ukuran kira-kira satu setengah meter persegi. Seperti sapu tangan. Nah...di setiap sudutnya dihubungkan dengan bambu yang telah diserut rapi dengan panjang kira-kira dua meter setengah. Keempat ujung bambu itu diikat jadi satu dan dihubungkan pula dengan bambu besar untuk pegangan. Dari gubuk itu, benda atau cangkul itu dicelupkan ke dalam air dengan kedalaman kira-kira dua meter. Dengan sabar orangnya menunggu ikan itu datang ke sana. Apabila tampak ikan telah banyak di dalam cangkul itu, maka dengan segera cangkul diangkat," kata kakek menjelaskan. "Jadi kalau begitu tidak pakai umpan, ya Kek?" tanya Bayu. "Tidak. Oleh sebab itu dasar laut di sekitar gubuk harus bersih. D i sana diatur batu-batu. Dan batu itu harus dibersihkan menjelang musim depik tiba, agar ikan mau datang ke sana. Menurut keterangan nelayan itu, jika penyangkulan itu tidak bersih ikannya tidak mau datang. Bahkan bila ketetesan minyak barang sedikit pun menjadi pantangan besar buat ikan depik. Jika hal itu sampai terjadi, maka orang itu harus membuat penyangkulan di tempat lain," ujar kakek menambahkan penjelasan. Bayu merasa puas dengan keterangan kakek. Apa yang ia dapatkan merupakan pengalaman yang baru baginya. Dan setelah
31
merasa puas, mereka pulang dengan perasaan senang. Dan atas permintaan Bayu, Pak Munaf akan mengantar keluarga Pak Herman ke Simpang Balik keesokan harinya. Pukul 11.45, mereka telah sampai di Simpang Balik. Tempat itu sangat ramai dikunjungi orang, lebih-lebih karena hari itu minggu. Keluarga Pak Herman mencari warung nasi yang baik dan bersih. Mereka makan di warung itu karena tidak membawa bekal dari rumah. Hal itu sudah direncanakan dari semula, agar Bayu mencoba masakan khas daerah itu. Ternyata Bayu memang makan dengan lahap. D i kampung kakek kebanyakan lauknya adalah ikan yang ditangkap dari danau. Yang membuat Bayu dan ibu heran adalah ketika mendengar penjelasan bahwa ikan Iele pun hidup di danau itu. "Kok tidak di empang, Kek?" tanya Bayu. "Buat apa di empang. Danau itu airnya kan tawar," ujar kakek. "Jadi semua jenis ikan air tawar dapat hidup di sana?" Bayu tambah penasaran. "Tentu," ujar bapak yang ikut memberi penjelasan. "Hebat," kata Bayu memuji. "Apanya yang hebat?" tanya ibu. "Ya, danaunya. Umumnya danau di mana-mana airnya asin. Tapi ini kok tawar," komentar Bayu. "Itulah keistimewaan kampung kakek," ujar kakek. "Kampung kakek, ya kampung Bayu juga," ujar Bayu tak mau kalah. Setelah istirahat sejenak, Bayu dan bapak siap-siap hendak mandi di air panas itu. D i cuaca yang dingin berendam di sana sungguh menyenangkan. Pemandian itu dibuat seperti kolam renang. Hanya bentuknya masih sederhana. Ada kolam untuk lakilaki dan ada pula untuk wanita. Lama Bayu dan bapak bermain-main di dalam kolam. Beberapa anak sebaya Bayu berenang di tempat yang dangkal. Akan tetapi ada juga yang berani ke tempat yang dalam. Beberapa petugas menjaga keamanan para pengunjung siap membantu apa yang
32
dibutuhkan. Tukang parkir bekerja dari pagi sampai malam. S( gian pengunjung lebih senang berenang pada sore hari. Setelah renang mereka menikmati jagung bakar yang dijual dengan h< murah. Setelah puas berenang, Bayu dan bapak kembali ke tempal mana ibu, nenek dan kakek menunggu. Mereka duduk-dudul atas tikar sambil menikmati jagung rebus. Tanpa komentar B menyerbu makanan tersebut. "Asyik...," katanya tanpa peduli orang-orang yang ada di kitarnya. Setelah kenyang ia baru sadar bahwa Pak Munaf tak a d tengah-tèngah mereka. "Lho...Pak Munaf ke mana?" tanyanya. "Hm...setelah kenyang baru ingat Pak Munaf, ya," ujar Munaf yang tiba-tiba berada di dekat Bayu. Kemudian ia mele kan setandan pisang ambon yang sudah matang di depan Bayu. "Pak Munaf dari mana sih. K o k aneh, kayak siluman saja, t tiba ada di tengah-tengah kita," ujar Bayu. "Memang siluman. Nih...pisang yang masih utuh ini da sekejap bisa hilang," ujar Pak Munaf sambil memetik seb pisang, mengupasnya dan dalam sekejap telah hilang di b kerongkongannya. "Tu...lihat, kan hilang," sambungnya den wajah yang lucu. "Hm...kalau yang begitu sih Bayu juga bisa," ujar Bayu mau kalah. Ia lalu mengambil sebuah pisang yang paling besar, mengupas dan memakannya. Namun baru setengah ia tak menei kan lagi. Perutnya tak mampu menyimpan sebuah pisang yang amat besar itu. "Bagaimana, nyerah," kata Pak Munaf mcnggoda. , "Ya...kali ini Bayu kalah deh," ujar Bayu. "Bayu...Bayu, lain kali nggak boleh begitu," tegur ibu. "Ya, Bayu minta maaf," kata Bayu malu. Menjelang sore, mobil tua Pak Munaf pelan-pelan meningj kan Simpang Balik. Pisang yang setandan itu terangguk-anggul
jok belakang. Ia menjadi anggota rombongan tersebut, meskipun tak lama lagi ia akan habis menjadi santapan yang lezat. Akan tetapi ia bangga, meski sesaat ia telah pula menikmati nyamannya perjalanan dengan mobil.
34
UNIK DAN MENARIK
Setelah lima hari berada di Takengon, keluarga Pak Herman merencanakan kembali ke Jakarta, tetapi mereka akan singgah dahulu di Banda Aceh. Kota yang merupakan ibu kota propinsi Aceh. Sebetulnya kakek dan nenek masih rindu pada cucunya. Setelah sembilan tahun tak bertemu, sekarang hanya dapat selama seminggu bersama-sama. Karena dua hari lagi mereka akan meninggalkan kota dingin dengan ikan depiknya. Kota yang dipagari gunung dengan hutan pinus yang tumbuh subur. Sebetulnya bukan hanya kakek dan nenek saja yang masih rindu pada cucu dan anaknya. Sebaliknya Bayu, bapak dan ibu pun masih enggan meninggalkan kedua orang tua yang baik itu. Akan tetapi kakek dan nenek pun telah berjanji, bahwa bulan depan akan mengunjungi Bayu di Jakarta. Hal itu merupakan hiburan yang dapat mengobati kerinduan mereka sekeluarga. Dua hari menjelang keberangkatan keluarga Pak Herman, Bayu merengek agar kakek mau bercerita. "Cerita tentang apa, Yu?" tanya kakek. "Cerita macam-macam tentang Takengon. Misalnya mengenai adat, kesenian dan lain-lain yang menarik," kata Bayu. "Bayu kan sudah mengunjungi tempat yang menarik," kata kakek. "Ya, tetapi Bayu belum tahu tentang lain-lainnya. Ayo dong cerita, Kek," rengek Bayu. Kakek diam sesaat. Ia mereka-reka cerita apa yang akan ia 35
sampaikan agar cucunya puas. Sebetulnya kalau untuk Bayu, jangankan hanya cerita, apa saja yang dapat ia lakukan akan ia lakukan. Kakek tambah bingung, apa oleh-oleh yang akan dibawa cucunya dari kampung kelahiran bapaknya. "Sebelum kakek bercerita, kakek ingin bertanya terlebih dahulu," ujar kakek. "Tanya apa, Kek?" Bayu balik bertanya. "Sepertinya Bayu ini seperti seorang penyelidik, semua itu Bayu lakukan untuk apa? kata kakek. "Apa nggak boleh Bayu tahu lebih banyak tentang kota yang indah ini. Kota kelahiran bapak dan kakek Bayu," jawab Bayu sok tahu. " D i samping itu kalau teman-teman Bayu bertanya nanti di Jakarta tentang kota yang Bayu kunjungi, lalu Bayu jawab apa," sambung Bayu. Kakek senyum-senyum. Ada rasa bangga terhadap keingintahuan cucunya tentang kampung halamannya. Paling kurang ada rasa cinta yang dimiliki Bayu kendatipun ia kelahiran Jakarta. "Ceritakan saja tentang pacuan kuda, balap perahu, serta kesenian didong, Pak," kata bapak kepada kakek. Kakek manggut-manggut. Sebetulnya banyak hal yang menarik yang dapat ia ceritakan kepada cucunya. Hanya saja ia lupa. "Begini, Y u . Kakek berjanji selama dua hari lagi menjelang keberangkatan kalian ke Banda Aceh, kakek akan bercerita tentang hal-hal yang menarik, seperti apa yang dikatakan bapakmu tadi," ujar kakek. Kakek menghirup kopi yang dihidangkan ibu. Setelah itu ia mengambil pisang goreng panas yang juga digoreng ibu. Pisang itu dua hari yang lalu ditebang bapak dari kebun belakang rumah kakek. Rasanya sangat enak dan manis. Bayu ikut mengambil pisang goreng panas itu. Dengan lahap ia menikmatinya. Ibu dan nenek saling berpandangan menyaksikan tingkah laku Bayu. Untuk sesaat ia lupa pada permintaannya sendiri. Ia asyik dengan pisang goreng buatan ibu. Akan tetapi, setelah pisang goreng lenyap di balik tenggorokannya, kembali ia menagih janji kakek.
36
"Ayo dong, Kek. Sekarang Bayu telah siap mendengar cerita tentang pacuan kuda dan semuanya, deh...," ujar Bayu. Kakek telah siap bercerita, Bayu pun tak kurang siapnya sebagai pendengar setia. Sebelum bercerita kakek meneguk habis kopinya. Kemudian menyorongkan gelas kosong kepada ibu untuk dibenahi. "Menurut kebiasaan di Takengon ini, pacuan kuda dilaksanakan sekali setahun, yakni dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Banyak orang membawa kudanya dari berbagai penjuru untuk diperlombakan. Demikian pula para penonton datang dari berbagai pelosok kota, bahkan dari kampungkampung di luar kota. Pacuan tersebut dilaksanakan di sebuah lapangan yang luas. Kalau Bayu mau, nanti sore kita melihat lokasinya," ujar kakek. "Wah...itu sangat menyenangkan," jawab Bayu. "Biasanya pacuan kuda itu dilaksanakan selama seminggu. Ada kalanya selama itu pula orang-orang dari luar kota menginap di rumah saudaranya di kota ini. Bukan itu saja, pacuan itu merupakan hiburan bagi masyarakat di sini. D i sepanjang jalan dan tempat yang dilalui pacuan itu dipasang bendera warna-warni. Hal itu menambah semarak suasana." "Jadi pacuan itu hanya dilakukan pada bulan Agustus saja, ya Kek?" tanya Bayu. "Tentu saja. Jika Bayu ingin melihat pacuan tersebut, maka datanglah pada bulan Agustus," ujar kakek. "Wah...repot, Kek. Soalnya Bayu tidak liburan sekolah," kata Bayu. Sebetulnya Bayu sangat tertarik pada acara pacuan tersebut. Walau ia pernah melihat pacuan kuda di Pulomas Jakarta, namun ia ingin pula melihat suasana saat itu di kampung bapaknya. "Ya, memang itu tidak mungkin. Nah...setelah pacuan kuda selesai, maka akan ditutup dengan balap perahu. Balap perahu ini dilaksanakan di kali bagian hilir Danau Laut Tawar. K a l i itu namanya Krueng Pesangan. Balap perahu itu dilaksanakan hanya sehari saja. Setiap perahu didayung oleh empat atau lima orang.
37
Pertandingan tersebut sangat seru. Para penonton pada umumnya berteriak menyebut nama perahu yang dijagokannya. Biasanya perahu-perahu itu masing-masing mempunyai nama yang kadangkadang sangat lucu. Sama halnya dengan nama kuda yang ikut dalam perlombaan pacuan. Meskipun hanya seminggu hal itu berlangsung, akan tetapi sangat meriah. Hal itu menandakan bahwa masyarakat di sini sangat mencintai negara kita. Untuk ulang tahunnya saja masyarakat mengadakan berbagai perlombaan. Ada juga perlombaan karnaval dari sekolah-sekolah dengan berbagai pakaian dan lawak-lawak yang lucu," kata kakek mengakhiri ceritanya. "Lalu kalau didong itu, apa Kek. Kapan itu dilaksanakan?" tanya Bayu. "Didong adalah sebuah kesenian khas daerah sini. Didong sejak lama sudah dikenal orang. Kesenian berupa lagu atau syair yang didendangkan. Akan tetapi uniknya ia juga terkadang diperlombakan," kata kakek. "Yang dinilai apanya, Kek?" tanya Bayu kembali. "Yang dinilai keindahan syairnya, lagunya dan isi syair yang juga kadang-kadang dikarang secara mendadak," kata kakek. "Hebat juga ya, Kek," komentar Bayu. "Ya, itulah kelebihannya. Orang seperti itu namanya Syeh. Syeh inilah yang berperan dalam grup itu. Dan perlombaan ini dilakukan semalam suntuk," ujar kakek. "Mari kita ke depan," ajak kakek kepada Bayu. Kemudian mereka melangkah ke depan. Namun kemudian Bayu mengajak kakek ke kebun di belakang rumah. Lalu mereka duduk di bawah pohon nangka. Buahnya masih kecil dan banyak. D i salah satu cabangnya ada sarang burung dengan anaknya mencicit-cicit. Sesekali induknya terbang mencari makan untuk anaknya. Ketika induknya datang, suara cicit anaknya terdengar ramai. Mereka memperebutkan makanan yang dibawa ibunya. Bayu merasa kagum melihat burung itu. Ternyata binatang pun mempunyai rasa sayang terhadap anaknya. Demikian juga sebaliknya. Anaknya pun sangat senang menyambut induknya pulang. Se-
38
lain itu ada satu hal yang membuat Bayu tercengang, yaitu kehadiran burung di sekitar rumah kakek. D i Jakarta ia tak pernah mendengar kicauan burung di tengah kota, apalagi bersarang di sekitar rumahnya. Namun di Takengon burung-burung selalu aman tinggal di sekitar tempat tinggal manusia. Tidak ada orang yang memburunya dengan senapan, dan tak ada polusi yang dapat mengganggu mereka. Bayu dan kakek pun duduk dengan santai. Angin lembut bertiup menggoyangkan daun-daun pisang. Bayu membawa beberapa buah jeruk hasil kebun sendiri. Rasanya buah itu tak bisa habis meskipun setiap hari bapak memetiknya. "Lanjutkan lagi dong Kek ceritanya," Bayu mengingatkan kakek. "Sampai di mana tadi ceritanya," tanya kakek. "Didong yang diperlombakan," ujar Bayu. "Ya, zaman dahulu jika ada perlombaan didong, maka sebelumnya dibuka dengan sebuah tarian. Penari tunggal itu menari di tengah-tengah grup yang duduk bersila membentuk lingkaran. Penari tersebut disebut guru didong. Namun sekarang guru didong jarang ada. Akan tetapi didongnya sendiri masih terus berlangsung. Sekarang didong itu dilaksanakan sebagai hiburan masyarakat, misalnya dalam acara hiburan perkawinan. Orang yang mampu sering mengundang dua grup didong. Meskipun kedua grup ini diperlombakan, namun pada dasarnya merupakan hiburan. Dan selain itu didong juga dilaksanakan pada bulan Agustus, yaitu dalam rangkaian memeriahkan ulang tahun RI tersebut," kata kakek mengakhiri ceritanya. "Jadi kalau begitu didong merupakan hiburan yang dipertontonkan semalam suntuk, ya Kek?" tanya Bayu. "Ya. Dan banyak sekali grup didong di sini. Akan tetapi, hanya beberapa yang terkenal. Dan didong merupakan kesenian yang bertahan sejak zaman dahulu," kata kakek. Bayu merasa puas mendapat penjelasan kakek. Ternyata kota yang kecil itu banyak menyimpan kekayaan yang tak ternilai.
39
Banyak tempat-tempat bersejarah yang menarik untuk dikunjungi. Dan ternyata tempat tersebut kini telah menjadi perhatian pemerintah.
40
PESONA BAITURRAHMAN
Bis yang akan membawa keluarga Pak Herman menuju Banda Aceh telah siap. Penumpang lainnya pun telah duduk di tempat masing-masing. Barang-barang telah dimuat di atas kap dan ditutup terpal. Bapak, ibu dan Bayu masih sibuk berpamitan kepada kakek dan nenek. Nenek memeluk bapak, ibu dan Bayu. Tampaknya ia kurang ikhlas dengan keberangkatan mereka. Nenek berkeinginan anak dan cucunya lebih lama lagi tinggal bersamanya. Hal ini tentu sangat wajar. Sembilan tahun berpisah, baru dapat bertemu. Dan baru seminggu dapat berkumpul, harus sudah berpisah pula. Tadinya kedua orang tua itu tidak setuju, kalau anak cucunya singgah di Banda Aceh. "Lebih baik kalian tinggal lebih lama di sini ketimbang jalan-jalan di kampung orang. Apa yang kalian cari di sana?" ujar nenek. "Bukan begitu, Nek. Bayu ingin sekali melihat seluruh propinsi Aceh. Hanya saja waktu dan biayanya yang tidak ada. Jadi karena Banda Aceh itu lebih dekat, maka kesempatan baik ini jangan disiasiakan," ujar Bayu. "Bukan kita tidak ingin lebih lama tinggal bersama ibu dan bapak di sini. Tapi Bayu ingin melihat tempat-tempat wisata, tempat bersejarah. Semua itu untuk pengetahuannya. Masa kita yang orang Aceh belum pernah melihat kekayaan alam di negennya, sedangkan orang dari luar negeri pun berduyun-duyun datang kemari," kata bapak menjelaskan. Akhirnya nenek mengerti juga. Kedua orang tua itu mau mengalah demi pengetahuan cucunya. Keduanya adalah orang-orang
41
berpendidikan lumayan. Itulah sebabnya bapak yang anak semata wayang pun mereka sekolahkan ke pulau Jawa. Pulau yang sangat jauh, yang harus menyeberangi lautan luas dan akhirnya menjadi sarjana. Kalau sudah begitu yang bangga adalah mereka juga. Bagaimana tidak, kota kecil dengan masyarakatnya yang masih tertinggal, mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Akhirnya bis yang membawa keluarga Pak Herman bergerak pelan-pelan meninggalkan kota dingin itu. Mereka berangkat dengan sebuah harapan, semoga kakek dan nenek memenuhi janjinya. Kakek dan nenek telah berjanji akan datang ke Jakarta dua bulan mendatang. Bis yang mereka tumpangi berjalan bagaikan ular di jalan yang berliku-liku di punggung gunung. Jalan itu adalah jalan yang dilalui ketika Bayu datang. Saat itu rasa takut begitu mencekam dirinya. Namun kini rasa takut itu telah sirna sama sekali. Demikian juga dengan ibu. Mereka malah memperhatikan liku-liku jalan yang tajam itu. Juga jurang-jurang yang begitu dalam. Hal ini akan menjadi bahan cerita jika mereka sampai kembali di Jakarta. • Lampu-lampu jalanan bersinar terang. Angin senja bertiup lembut. Toko-toko besar memamerkan barang dagangan yang mewah. Orang ramai lalu lalang dengan segala kesibukan. Itulah suasana kota Banda Aceh saat bis yang ditumpangi Bayu sampai di kota itu. Bayu merasa kagum melihat suasana saat itu. Ternyata Banda Aceh merupakan kota yang ramai juga. Selain itu banyak kemajuan yang telah dicapai masyarakat tersebut. Gedung-gedung bertingkat, tokotoko mewah, Gedung-gedung bioskop bahkan kendaraan befihotor pun tak kalah dengan kota besar lainnya. Bis menuju stasiun agak di pinggiran kota. D i sana banyak becak yang menawarkan jasa kepada para penumpang. Para kondektur sibuk menurunkan barang milik penumpang. Suasana sore itu tampak sibuk, namun tidak semrawut. Bapak menyewa dua buah becak. Ibu dan Bayu sebecak, sedangkan bapak bersama dengan koper dan barang lainnya, mereka menuju daerah Taman Sari. Tempat tersebut tak jauh dari Mesjid
42
Kubah dan ukiran yang terdapat pada MesjidRaya Baiturrachman yang memilü seni tinggi
Raya Baiturrahman. Saat mereka melintasi mesjid yang megah tersebut, tampak orang berbondong-bondong keiuar dari sana. Mereka baru saja selesai sembahyang magrib. Itu salah satu ciri khas masyarakat Aceh. Sesuai dengan nama yang dikenal hampir di seluruh tanah air, yakni Serambi Mekah. Masyarakat Aceh umumnya tekun menjalankan ajaran agama Islam. Jadi tidaklah mengherankan jika tiba saat salat, maka mereka akan menyerbu mesjid maupun langgar yang ada di dekat rumah. Sebetulnya Bayu ingin sekali menanyakan tentang mesjid yang 43
megah itu, tetapi sayang sekali bapak ada di becak lain. Namun, masih ada kesempatan pada saat lain. Becak terus melaju. Orang-orang banyak yang lalu lalang. Demikian pula kendaraan baik roda dua maupun mobil-mobil mewah. Udara yang panas membuat Bayu berkeringat. Banda Aceh memiliki suhu yang panas. Sama dengan Jakarta. Sejauh mata memandang, hanya bangunan yang tampak. Jauh sekali berbeda dengan Takengon. Takengon dikelilingi gunung yang tinggi, sehingga seakan kota itu tertutup dengan dunia luar. Bapak menyuruh becak berhenti di depan rumah yang bernomor 14. Bapak memencet bel rumah itu. Tak lama kemudian tampak seorang anak laki-laki membukakan pintu. Anak tersebut seusia dengan Bayu. Bapak menanyakan sesuatu kepadanya. Anak itu mengangguk dan berlari ke dalam tanpa mempersilahkan bapak masuk. Tidak lama kemudian anak itu muncul bersama seorang ibu yang masih muda dan cantik. Ibu muda itu memperhatikan bapak dengan seksama. Kemudian ia menjerit tertahan sambil menyebut nama bapak. "Bang Herman ... kapan datang," teriaknya. Bapak membicarakan sesuatu dan menunjuk kepada Bayu dan ibu yang masih berada di becak. Ibu muda itu berlari ke arah Bayu dan memeluk ibu. Ibu balik memeluk, seolah mereka telah lama kenal. Kemudian ia beralih memeluk Bayu. Ternyata ia adalah B i Imah, adik sepupu bapak. Mendengar suara ribut Paman Hamdan dan Sarah ikut keluar. "Ini Bang Herman, kakak serta Bayu," kata B i Imah memperkenalkan kepada Paman Hamdan. "O ... Mak, kapan pula Abang datang," sapanya sambil menyalami bapak, ibu dan Bayu. Bapak membayar kedua becak tersebut, Paman Hamdan sibuk mengangkat barang dan koper ke dalam rumah. Bi Imah masih merangkul Bayu sampai ke dalam. Kemudian memperkenalkan Bayu kepada Fahri, anak laki-laki yang seumur dengan Bayu. Ia adalah anak tertua dari Bi Imah. Kemudian Sarah adalah adiknya.
44
Bayu memperhatikan rumah B i Imah. Rumah tersebut tidak besar, namun cukup lumayan. Halamannya berpagar bambu yang di cat rapi. D i halaman tersebut ditanami bunga beraneka warna. D i halaman pojok agak ke belakang ada pohon belimbing sayur yang sarat dengan buahnya. Bayu agak heran melihat rumah-rumah di sana. Hampir setiap rumah menanam pohon belimbing. Dan ia baru ingat, B i Imah itulah yang paling rajin mengirimi ibu belimbing sayur yang telah dikeringkan. Bentuknya agak gepeng dengan warna kecoklatan. Mula-mula ibu bingung melihat benda yang aneh itu. Namun bapak menerangkan kegunaan belimbing kering itu. Sejak itu ibu telah mahir, bahkan ketagihan menggunakannya sebagai bumbu masak. Setelah mandi dan makan malam, mereka berkumpul di teras. Malam itu bulan sangat terang. Banyak anak-anak yang bermain di halaman. Bahkan para orang tua pun ikut menggelar tikar dan duduk-duduk sambil makan makanan ringan. Alangkah indahnya malam terang bulan di kota Banda Aceh. Pohon kelapa yang tinggi semampai melambai-Iambai ditiup angin. D i pinggir jalan kanankiri, berbanjar-banjar pohon asam. Tampaknya pohon tersebut telah tua-tua. Namun masih kuat dan berbuah lebat. Tidak lama kemudian sayup-sayup terdengar suara azan Isa dari mesjid Raya Baiturrahman. Mesjid tersebut sengaja dirangcang sedemikian rupa. Pada menaranya yang tinggi ditempatkan pengeras suara, agar masyarakat mendengar panggilan salat yang berkumandang dengan merdu itu. Tiba-tiba Bayu seperti diingatkan pada pertanyaan yang belum sempat ia lontarkan ketika duduk di atas becak tadi sore. Pertanyaan yang masih mengganjal pikirannya ketika melihat mesjid yang mega h itu. "Paman, Bayu ingin sekali mendengar cerita tentang mesjid Raya yang megah itu. Mesjid itu sangat terkenal, lho, Paman. Gambarnya sering terpampang di halaman-halaman kalender. Apa sih keistimewaannya?' tanya Bayu. "Wah ... hebat kali anak paman ini," jawab Paman Hamdan.
45
"Besok kebetulan hari Jumat, supaya kau puas, kita sembahyang di sana," sambung Paman Hamdan. "Setuju sekali, Paman," sambut Bayu dengan gembira. "Nah ... sebelum kau masuk ke dalamnya, boleh juga kalau paman menceritakan sedikit tentang mesjid itu," kata Paman. Sementara itu bapak, ibu dan B i Imah asyik bercerita sendiri. Mereka meiepas rindu yang berpuluh tahun terpendam. B i Imah masih gadis ketika terakhir bertemu dengan bapak. Demikian juga bapak. Saat itu ia masih menjadi mahasiswa. Hampir lima belas tahun mefeka tidak pernah bertemu. Selama ini mereka hanya berhubungan lewat surat saja. "Sebetulnya jika dipertanyakan tentang keistimewaan mesjid itu, rasanya paman tidak dapat menjawabnya. D i mana-mana mesjid itu sama saja, ya ... untuk tempat umat Islam beribadah. Hanya saja mempunyai sejarah tersendiri. Dahulu, pada saat permulaan perang Aceh, mesjid itu pernah terbakar dan hancur. Kemudian pada tahun 1875 dibangun kembali. Dan akhirnya berbentuk seperti saat ini. D i puncak mesjid itu ada beberapa kubah yang menjadi ciri khas mesjid itu," demikian penjelasan Paman Hamdan. "Fahri sering nggak sembahyang di mesjid itu?" tanya Bayu kepada Fahri yang ikut duduk di samping Bayu. "Seringlah," jawabnya singkat. "Senang, ya," komentar Bayu. Fahri hanya tersenyum. Bagi rakyat Aceh sembahyang di Baiturrahman merupakan hal yang biasa. Sama halnya masyarakat Jakarta sembahyang di Istiqlal. Akan tetapi bagi Bayu hal itu merupakan sesuatu yang istimewa. Sama saja dengan tamu-tamu yang dari Aceh ke Jakarta. Bapak selalu mengantar mereka sembahyang di Istiqlal. Mereka sangat senang dan bangga. Jika mereka kembali ke kampung, hal itu akan menjadi cerita yang sangat menarik. Malam itu Bayu tidur dengan lelap. Namun menunggu hari esok merupakan hal yang menjemukan. Ia sudah tak sabar untuk dapat duduk di lantai mesjid yang agung itu. Ia tak dapat membayang-
46
kan bagaimana suasana dalam mesjid itu. Pagi sekali Bayu telah bangun. Pertama ia membukakan matanya, yang terbayang hanyalah mesjid yang megah itu. Dan akhirnya apa yang ditunggunya, datang juga. Ia mengenakan celana panjang serta peci. Demikian juga Fahri. Sedangkan bapak dan paman memakai kain sarung, juga memakai peci. Mereka cukup berjalan kaki, karena tak berapa jauh dari rumah B i Imah. Pohon-pohon asam cukup baik untuk melindungi mereka dari panas matahari. Oleh sebab itu mereka berjalan dengan santai. D i halaman mesjid tampak kolam memanjang. D i dalam kolam itu ditanami tanaman air yang bagus. Jalan di samping kanan dan kiri disemen rapi. D i samping itu ada batu kerikil berwarna putih. Dan mengkilat kena pantulan sinar matahari, bagaikan permata tampaknya. Untuk masuk ke mesjid itu harus melewati anak tangga yang terbuat dari marmer. Kemudian mesjid yang megah itu bertambah mewah dengan lampu-lampu kristal yang panjang dan bagus. Lantainya dilapisi permadani. Dan pada dindingnya terdapat ukiran dengan selera tinggi. Bayu benar-benar kagum melihat semua itu. Rasanya ia sedang bermimpi menyaksikan kemegahan dan keindahan yang ada di depannya. Imam sembahyangnya sangat bagus. Alunan suaranya sangat merdu. Ayat-ayat aiquran begitu lancar keluar dari mulutnya. Demikian pula khotbah yang di sampaikan pada hari itu. Setelah selesai mereka pulang beriringan. Bayu tak dapat berkomentar banyak. Ketika paman Hamdan menanyakan kesannya ia hanya menjawab, "Luar biasa". Sampai di rumah ibu dan bibi menyambut mereka dengan makanan yang lezat. B i Imah membuat ikan tongkol disayur Aceh. Baru kali itu Bayu mencoba masakan seperti itu. Ternyata masakan B i Imah yang lezat itu membuat mereka makan dengan lahapnya. Bukan hanya Bayu, tetapi juga ibu yang asli Yogya, ternyata menyukai ikan buatan B i Imah.
47
BERWISATA RIA
Hari sabtu, Paman Hamdan agak telat pulang dari kantor. Biasanya pukul satu siang ia telah di rumah. Paman Hamdan bekerja di kantor gubernur. Jika ada tamu atau kegiatan lainnya, paman selalu telat pulang. B i Imah tidak heran lagi. Mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Bahkan kadang-kadang pukul delapan malam ia baru sampai di rumah. "Kenapa telat, Yah?" tanya Fahri ketika ayahnya sampai di rumah. "Biasa, seperti tidak tahu kebiasaan ayah saja. "Hari Senin mau ada tamu," jawab Paman Hamdan. "Tamu dari mana, Paman?" tanya Bayu. "Dari kampung Bayu," jawab paman. "Maksudnya?" Bayu belum mengerti maksud paman. "Jakarta," ucap paman singkat. "Siapa tamunya, Dik?" tanya ibu. "Kelihatannya begitu sibuk menyambutnya," sambung ibu. "Menteri parpostel. Beliau ingin melihat dari dekat sejauh mana persiapan daerah Aceh dalam menyambut datangnya tahun wisata," ujar paman. "Ya, beliau memang begitu. Untuk lebih meyakinkan maka beliau sering terjun sendiri ke lokasi," sambung bapak. " Y a , itu lebih baik, menteri-menteri itu jangan diam saja di Jakarta. Kasihan orang daerah," B i Imah ikut nyambung dari dapur. "Bayu juga dengar kalau di sini banyak sekali tempat wisata yang pantas dikunjungi. Apa saja itu, Paman?" tanya Bayu.
48
"Hus ...paman baru sampai, masih lelah, kok sudah ditanya macam-macam," ujar bapak. Bayu baru sadar, bahwa ia telah membuat kesalahan. Hal tersebut karena ia kepingin tahu tetang tempat yang pantas dikunjungi. Apaiagi kedatangannya ke Banda Aceh itu semata-mata hanya untuk melihat tempat bersejarah dan wisata. "Tunggu ya, Y u . Paman mandi dulu. Dan setelah makan nanti paman akan memberi penjelasan tentang tempat yang bagus untuk dikunjungi," ujar paman. Kemudian ia berlalu menuju ke kamar mandi. Selesai makan malam mereka berkumpul kembali di teras. Paman kelihatan sudah segar. Tidak tampak rasa lelah seperti ketika baru pulang tadi. Tiba-tiba Sarah mendekati ayahnya kemudian bertanya "Tamu ayah disambut tarian, apa tidak, Yah," ujarnya. Sarah yang baru duduk di kelas dua S D ini sangat senang jika ada tamu Gubernur datang. Karena biasanya tamu tersebut disambut dengan tarian-tarian khas daerah itu. Dan Sarah kecil itu tak pernah absen menontonnya diluar pendopo. "Bukan tamu ayah, Sarah. Tetapi tamu masyarakat Aceh. Hanya saja karena ayah bekerja di kantor pemerintahan, maka ayah ikut sibuk," Paman Hamdan menjelaskan kepada putri bungsunya. "Kalau ada tariannya, apa Sarah mau nonton, "sambung paman. "Tentu, Sarah sangat senang dengan tari-tarian itu," jawabnya. "Paman belum menjawab pertanyaan Bayu sore tadi," Bayu mengingatkan pamannya. "Tentang apa, Yu?" paman balik bertanya. "Wah ... ayah payah. Tadi kan Bang Bayu menanyakan tempattempat wisata yang bagus," kata Fahri yang sejak tadi diam saja. "Oya ... paman jadi lupa, maklum sudah tua," kata paman bergurau. "Bukan sudah tua, Paman. Tetapi terlalu sibuk," komentar Bayu menggoda pamannya. "Ha ... ha ... ha ... bisa juga kau bergurau," ujar paman. "Tempat wisata yang pantas dan bagus dikunjungi, banyak
49
sekali, Y u . misalnya Ulheulee. Mata I, Pantai Ujung Batee. Lhok Nga, Museum Cut Nyak Dien, Krueng Aceh, Gunongan dan lain sebagainya," kata paman menjelaskan. "Wah... banyak sekali, ya Paman. Jadi kapan dong kita ke sana," kata Bayu minta pendapat. "Besok kan hari Minggu, kita mengunjungi Ulheulee dan Mata I saja dulu," usul Fahri. Sarah juga mau, sudah lama kita tidak ke sana. Sekalian mengantar Bang Bayu," sambung Sarah tak mau kalah. "Boleh juga usul Fahri itu," komentar bapak. "Kalau mau ke sana, kalian saja yang pergi. Ayah tidak bisa ikut. Besok ayah masih harus menyelesaikan urusan penyambutan tamu itu. Misalnya memberi tugas kepada pemasang umbul-umbul, penanggung jawab penari, mengatur ini dan itu. Wah... pokoknya masih banyak, dan itu tidak boleh ayah tinggalkan begitu saja," kata paman. Sebetulnya Bayu agak kecewa, namun ia mengerti tentang tugas paman yang cukup berat. Memang seharusnyalah begitu. Tanggung jawab kantor tidak boleh diabaikan begitu saja. Kalaulah semua pegawai berbuat demikian, maka tak ada perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Diam-diam Bayu me rasa kagum pada paman. Bapak pun tak jauh berbeda. Bapak selalu mengutamakan tanggung jawab kantor. "Bagaimana tidak, kita ini kan diberi makan oleh kantor," demikian jawaban bapak ketika Bayu menanyakan hal itu. Demikian akhirnya pagi-pagi sekali seisi rumah telah bersiapsiap hendak berangkat ke Ulheulee. Sesudah dari sana mereka akan mengunjungi Mata I. Sedangkan paman bersiap-siap menuju kantor. Uhleulee saat itu masih bersih. Pantai yang luas dengan laut yang begitu tenang. D i samping pantainya hanya pasir yang tampak. D i sebelah barat ada tanaman bakau yang tumbuh subur. Beberapa pengunjung sudah mulai bermain air. Biasanya setiap hari Minggu pantai ini tampak pulau Sabang samar-samar. D i pulau inilah terletak pelabuhan yang menghubungkan propinsi ini dengan
50
dunia luar. Semakin lama para pengunjung semakin ramai. Banyak juga yang bersiap-siap hendak mandi. Mereka tidak peduli akan air yang asin itu. Apalagi angin laut mulai bertiup yang membuat gelombang laut makin menggunung. Mereka sangat senang berrnain dengan ombak tersebut. Ombak-ombak itu akan membawa mereka kembali ke tepi pantai dan akhirnya terhempas di atas pasir. Bayu, Fahri dan Sarah membuat bangunan dari pasir pantai. namun ketika ombak menggulung, baju mereka pun ikut basah pula. Bapak memotret mereka dengan latar belakang lautan luas. "Kalian nggak mandi. Kalau mau biar bapak menyewa ban, bapak menawarkan. "Nggaklah, Pak. nanti saja di Mata I. Kata Fahri di sana airnya jernih dan bersih," jawab Bayu. "Betul, Paman," sambung Fahri. "Di Mata I airnya sangat segar untuk mandi," tambahnya menerangkan. "Mata I itu apa, sih. Namanya kok aneh sekali," tanya Bayu. "Mata ya berarti mata. Dan I artinya air. Jadi Mata I, artinya mata air," Bi Imah yang menjawab. "Ya pantas kalau airnya segar dan bersih. Wong namanya saja mata air," kata ibu berkomentar. Setelah puas berrnain, Bi Imah mengajak rombongan makan siang. Mereka mencari warung nasi dengan masakan khas sana. Ada udang goreng yang besar-besar. Ada ikan tongkol di sayur Aceh. Ada kari ayam dengan bumbu berbau merangsang. Pokoknya semua makanan diserbu habis, karena memang perut pun sudah lapar. Setelah istirahat sejenak, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Mata I. Bayu dan Fahri asyiknya berrnain di dalam kolam itu. Airnya sangat sejuk dan segar. Benar-benar air yang bersumber dari dalam tanah. Sesuai namanya, kolam itu tak pernah kering, seakan-akan mata air itu tak akan habis di pakai untuk mandi para pengunjung. Ibu dan bapak hanya mencuci muka dan kaki. Bi Imah hanya duduk-duduk saja di bawah pohon. Tempat itu terasa sejuk. Angin meniupkan pohon-pohon yang rindang. Suasana serasa seperti di
51
pegunungan. Sarah melempar-lemparkan bolanya kepada Bayu dan Fahri. Sebetulnya ia ingin bisa berenang seperti kedua saudaranya itu. Akan tetapi Sarah terlalu pengecut jika kedua saudaranya mengajaknya ke tengah. Untuk itu ia hanya melemparkan bolanya saja mencari perhatian. Dan akhirnya ia asyik dengan batu-batu yang bermacam-macam bentuknya tersebar di pinggir kolam itu. Menjelang senja, mereka tiba di rumah. Paman sedang menikmati teh sendirian di teras. "Wah... sendirian, dong?" goda Bayu. "Sesekali, tak apalah. Kadang-kadang lebih nikmat begini, bikin sendiri dan minum sendiri juga," ujar paman. "Jangan nyindir, ah," kata B i Imah. "Kenapa nyindir. Jangan suka cepat tersinggung. Orang lakilaki juga pintar bikin teh, ya kan Bang," kata paman minta dukungan bapak. "Ya. itu harus, jadi kalau istri tidak dirumah, kita tidak terlantar," jawab bapak. "Uh ... Abang. Pakai di bela lagi," B i Imah pura-pura merajuk. "Biasa, Dik. Itu baru namanya laki-laki," Ibu membela B i Imah. "Bapak-bapak kenapa bertengkar dengan ibu-ibu?" Sarah yang sejak tadi mendengar gurauan tersebut ikut pula menggoda. "Kau bisa saja," ujar paman. "Sekarang pergi mandi dan pakai baju yang rapi, ayah akan traktir kalian semua makan mi kocok," ujar paman. "Hore.... hore... makan mi kocok," katanya sambil berlalu ke kamar mandi. Tak lama kemudian ia telah rapi dengan baju merahnya. Demikian pula Bayu dan Fahri yang siap menagih janji. Dan tak lama kemudian mereka pun beriringan menuju rumah makan yang sederhana, namun penuh dengan pengunjung. Mereka semua asyik menikmati mi kocok yang sangat terkenal bagi masyarakat Banda Aceh tersebut.
52
TAMU DARI IBUKOTA
Halaman pendopo telah sesak dengan orang. Anak-anak dikerahkan untuk melambai-lambaikan bendera merah putih ukuran kecil. Umbul-umbul berwarna-warni meramaikan suasana. Pendopo sendiri telah berhias diri dengan rapi. Bagaikan seorang putri yang menyambut seorang pangeran saja layaknya. Tak lama kemudian iring-iringan rombongan Bapak Menteri pun telah sampai. Beliau berjalan dengan melambaikan tangannya. Kemudian disambut dengan yel-yel, "Hidup Pak Menteri, Hidup Pak Menteri. Beliau terus tersenyum di balik bunga yang dikalungkan di lehernya. Bayu, Fahri dan Sarah tak ketinggalan melambaikan tangannya. Walaupun sebetulnya buat Bayu, melihat Bapak Menteri dari dekat bukan sesuatu hal yang asing lagi. Akan tetapi ia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia tidak ingin dikatakan sok, karena ia anak Jakarta. Bayu maklum, bagi teman-temannya yang berada di daerah hal semacam itu merupakan sesuatu yang istimewa. Namun ketika para penari mulai beraksi, Bayu begitu terpesona. Ia berusaha agar dapat melihat dengan jelas. Beberapa orang gadis memperlihatkan kemahirannya di depan Bapak Menteri. Tak lama kemudian salah seorang dari mereka menyodorkan sesuatu kepada tamu tersebut. Dan saat itu juga Bapak menteri mengambil sesuatu dari tempat yang disodorkan itu. Dan hal seperti itu merupakan pengalaman baru Bagi Bayu. "Tariannya bagus, ya," komentar Bayu. "Ya, mereka telah terlatih. Dan biasanya jika ada tamu-tamu
53
Seudati Inong
penting mereka selalu siap, walaupun dalam keadaan mendadak," jawab Fahri. "Fahri apa itu tadi, aku lupa. Habis susah amat sih menyebutnya," kata Bayu. "Namanya Tari Ranup lampuan. Dan yang diambil Bapak Menteri itu tadi adalah sirih," Fahri menjelaskan. Bayu mengangguk-angguk. Ia merasa kagum pada kekayaan Indonesia. Bukan saja kaya dengan hasil tambang, namun juga kaya akan kesenian. Dan tanahnya yang subur pun merupakan kekayaan yang tak lernilai harganya. Kakek telah menceritakan tentang didong, sebuah kesenian yang khas dari Aceh Tengah. K i n i ia baru saja menikmati kesenian yang begitu memikat. "Tapi rasanya ada sa Iah satu tarian yang sangat terkenal di sini. Apa itu, Fahri?" tanya Bayu. 54
"O... itu namanya tari Seudati. Ada Seudati Agam, ada pula Seudati Inong," ujar Fahri. "Apa itu maksudnya?" tanya Bayu. "Seudati Agam, adalah tari Seudati yang dimainkan oleh lakilaki. Sedangkan Seudati Inong, yang dimainkan oleh perempuan," kata Fahri. Bayu merasa kagum pada Fahri. Ternyata ia begitu hafal pada nama-nama kesenian di daerahnya. Namun yang paling ia banggakan adalah apa yang telah ia lihat merupakan pengetahuan yang cukup menyenangkan. Bagaimana tidak. Ketika ia berkunjung ke kampung ibu di Yogya, ia pun banyak mengenal beberapa kesenian daerah itu. K i n i pengetahuannya bertambah lagi. Ingin sekali ia dapat berkeliling Indonesia, guna mengetahui dan melihat dari dekat tentang kesenian, adat istiadat, dan daerah wisata yang sangat menarik. namun hal itu hanya sampai pada khayalnya saja. Tanah Indonesia yang sangat luas dengan beribu-ribu pulaunya tak mungkin ia jelajahi. Akan tetapi Bayu tidak menemui putus asa, kalau ia kelak dewasa dan menjadi orang pinter, hal itu bukan tidak mungkin. Itulah harapannya. "Ke mana saja tamu itu akan berkunjung, Paman?" tanya Bayu ketika mereka telah berkumpul di rumah. " Y a , ke tempat-tempat wisata. Seperti tempat-tempat yang telah paman jelaskan pada Bayu. Juga termasuk tempat yang telah Bayu kunjungi kemarin," ujar paman. "Bayu boleh ikut nggak dengan rombongan itu, Paman?" tanya Bayu. "Bayu ... Bayu. Bagaimana sih kamu ini. Masak kamu mau ikut dengan rombongan Bapak Menteri. Memangnya Bayu pengawal Bapak Menteri," bapak yang malah mengomentari. Bayu tersenyum tersipu-sipu malu. Memang ia tidak menyadari apa yang ia pertanyakan tadi. hal itu karena terdorong oleh rasa keingintahuannya tentang tempat yang sangat menarik itu. "Begini saja," ujar paman memberi saran. "Hari Rabu pagi rombongan Bapak Menteri akan melanjutkan perjalanan ke Riau.
55
Nah, paman akan minta izin cepat pulang dari kantor hari itu. Setelah lohor kita mengunjungi Pantai Lhok Nga. Sebuah pantai yang sangat indah. Pantai yang laksana hamparan permata, karena pasirnya yang putih berkilauan di timpa sinar matahari. Dan yang paling menarik adalah, saat matahari terbenam. Saat itu seolah-olah kita dapat menyaksikan matahari masuk perlahan-lahan ke dalam laut. Warnanya yang kuning bagaikan emas dengan bentuk bundar seperti tampah, membuat alam sekelilingnya laksana disepuh emas." Bayu sudah membayangkan bagaimana cantiknya alam saat itu. laut yang biru sebagian akan berubah menjadi kuning keemasan. Dan matahari yang kuning itu akan tampak dengan perlahanlahan seolah tenggelam ke dalam lautan. "Apalagi yang paman tahu tentang tempat wisata lainnya. Ceritakan dong, Paman," rengek Bayu. "Wah ... luar biasa kemenakan paman ini. Mau jadi apa kamu nanti. Apa mau menggantikan Bapak Menteri Parpostel itu?" ujar paman menggoda. "Paman bisa saja. Tapi yah ... mungkin saja," ucap Bayu sambil tersenyum. "Mudah-mudahan saja. Fahri ikut berdoa," sambung Fahri. "Terima kasih doamu, Dik," kata Bayu tulus. Paman menghabiskan minumnya. Kemudian mengambil sebuah pisang yang tadi siang dibeli ibu. Pisang di Banda Aceh pun mempunyai daya tarik tersendiri. Namun yang paling terkenal adalah pisang yang berasal dari Berandan. Sehingga ia lebih dikenal dengan pisang Berandan. D i daerah Sumatera banyak sekali tanaman pisang. Maka tidaklah heran jika akhirnya banyak orang membuat pisang sale. D i stasiun-stasiun banyak orang menjajakan pisang sale. Rasa enak dan manis. "Selain tempat yang telah kalian kunjungi, ada satu yang mungkin lebih menarik lagi, yaitu Museum Cut Nyak Din. Letaknya kira-kira 6 km dari kota Banda Aceh ini. Sebelum menjadi museum, tempat itu adalah rumah pahlawan Cut Nyak Din. Namun
56
rumah tersebut dibakar oleh tentara koloni. Dan pada akhirnya kini dijadikan sebagai museum yang menyimpan barang-barang bersejarah pula," kata paman menjelaskan. "Kalau Teungku Syiah Kuala itu bagaimana, Paman. Siapa dia dan makamnya ada di mana?" tanya paman. "Ya, pernah dengar, paman. Makanya sekarang Bayu tanya siapa dia," ujar Bayu. "Teungku Syiah Kuala adalah seorang ulama Islam besar Aceh, pada masa lalu. Dia tak asing lagi dalam masalah agama Islam tersebut. Dan setelah beliau wafat, maka dimakamkan di mulut K r u eng Aceh, kira-kira dua K m dari kota Banda Aceh. Dan makam itu sampai sekarang banyak dikunjungi oleh wisatawan. Itu diantaranya tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Nah... sekarang apa semua tempat akan kita kunjungi?" tanya paman. "Wah... sebetulnya sih senang sekali, Paman. Akan tetapi harus berapa lama waktu yang diperlukan. Sedang bapak hanya punya waktu yang terbatas. Cutinya sudah hampir habis, Paman," ujar Bayu. "Betul Dik Hamdan. Cuti saya sangat terbatas. Kalau terlalu lama meninggalkan kantor di luar cuti... wah, nggak enak rasanya," Bapak menimpali pembicaraan Bayu dengan paman. " Y a , Bang. Memang itulah repotnya bagi kita yang pegawai ini. Apalagi kampung kita terlalu jauh," tambah paman. Sementara itu ibu dan B i Imah sedang asyik berbincang di dapur. Mereka melihat-lihat beberapa resep makanan khas Aceh. Ibu ingin sesekali masak masakan Aceh, jika Bayu dan bapak rindu kampung halaman. Untuk itu ibu menanyakan beberapa hal yang menurut ibu terasa agak aneh. Apalagi menemukan istilah yang asing, nama bumbu dan masakan. "Paman, masih ada nggak tempat-tempat menarik lainnya, misalnya di luar Banda Aceh ini?" tanya Bayu. "Maksudnya?" paman balik bertanya. "Misalnya di kabupaten lainnya di Aceh ini. Kalau paman bisa ceritakan, Bayu sangat senang walaupun tidak sempat me-
57
ngunjunginya," kata Bayu. Paman diam sesaat. Ia mencari-cari daerah mana lagi yang cukup menarik untuk diceritakan. Apalagi yang masih jarang dikunjungi orang. Kadang-kadang masih banyak para pengunjung yang tidak mengetahui tempat yang sebetulnya sangat menarik. Namun karena belum dikenal, maka tempat itu akhirnya tidak mendapat perhatian. Paman menarik napas panjang. Rasanya sulit menentukan tempat tersebut. Padahal propinsi Aceh tersebut sangat luas dengan beberapa buah kabupatennya. Setiap kabupaten pasti menyimpan sejarah maupun tempat wisata yang menarik. "Begini, Y u . Rasanya sekarang paman belum menemukan tempat mana yang bagus untuk diceritakan. Namun paman ingat-ingat dahulu, ya. Mudah-mudahan besok atau lusa ada bahan yang menarik," ujar paman. "Tapi jangan lama-lama, lho. Masalahnya hari jumat Bayu sudah pulang," kata Bayu khawatir. "Ah ... yang betul. Kenapa cepat sekali," Sarah yang sejak tadi diam saja ikut berkomentar. "Paman Herman harus sudah masuk kerja. Kalau kelamaan paman bisa dipecat," bapak menjelaskan kepada keponakannya yang lucu dan cerdas itu. Bapak tahu, bukan hanya Sarah yang merasa keberatan tentang kepulangan mereka. Namun semuanya belum ingin berpisah. Rasanya waktu terlalu cepat berlalu. Rasa rindu belum tertebus. Dan entah kapan lagi mereka dapat bersamasama kembali seperti saat itu. "Jangan khawatir, D i k Sarah. Nanti kalau Bang Bayu sudah besar bisa datang sendiri. Tidak usah terikat waktu oleh cuti bapak. Kalau D i k Sarah dan Fahri sudah besar juga, kan bisa datang ke Jakarta pula," ujar Bayu sok tua. Walaupun semua merasa geli dengan ucapan Bayu, namun juga membenarkan. Dan mudah-mudahan bukan saja keluarga pak Herman yang datang ke Aceh, tetapi juga Paman Hamdan yang berkunjung ke Jakarta.
58
f r I
I
I f a
59
"Kenapa harus Jumat, Bang?" Paman Hamdan penasaran. Ia pun seakan tak percaya bahwa saudaranya akan segera meninggalkannya. "Begini, Dik. Kami bermaksud akan menumpang kapal laut. Waktu datang itu kan sudah naik pesawat. Biar semua sarana dicoba. Selain itu duitnya, Iho," kata bapak menjelaskan. "Kalau Jumat dari sini, sabtu baru sampai dan hari minggu bisa istirahat atau melihat-melihat kota Medan. Sedangkan hari senin kapal sudah berangkat," sambung bapak. Paman tak dapat menghalangi kehendak saudaranya itu. Alasan yang dikemukakan bapak cukup kuat dan masuk akal. Oleh sebab itu ia hanya pasrah pada keputusan bapak. Paman juga maklum pada terbatasnya waktu yang diperoleh bapak sebagai pegawai.
60
TAPAK TUAN YANG TERLUPAKAN
Bayu tak henti-hentinya memuji keindahan pantai Lhok Nga. A l a m di sekitarnya masih asri. Pepohonan tumbuh subur dan terhindar dari tangan-tangan jahil. Kicauan burung terdengar merdu menambah betah para pengunjung. Bila kita berdiri di pinggir pantai, maka tampak laut lepas membentang. Airnya jernih sehingga bebatuannya tampak nyata. Pasirnya yang memutih bagaikan hamparan permata. Pada sore itu banyak juga pengunjung yang ingin menikmati keindahan dalam Pantai Lhok Nga itu. Mereka ingin juga menyaksikan terbenamnya matahari. Perlahan-lahan ia turun, dan akhirnya hilang ditelan laut. Dalam perjalanan pulang dari pantai Lhok Nga, Bayu masih tampak bersemangat. Ada-ada saja yang ia tanyakan jika melihat sesuatu di jalan. Dan paman pun tak pernah merasa bosan melayani pertanyaan Bayu. Kedua saudaranya, Fahri dan Sarah telah tertidur di samping ibu. Mobil yang mereka sewa terasa nyaman untuk membuat keduanya menjadi pulas. Apalagi angin malam yang bertiup lembut membuat mata terasa mengantuk. Akan tetapi Bayu dan paman masih saja terlibat dalam pembicaraan yang tak henti-hentinya. Bapak asyik sendiri menikmati keindahan kota Banda Aceh di waktu malam. Demikian juga ibu. Sesekali ibu menanyakan sesuatu kepada B i Imah. Dan B i Imah pun menjawab dengan senang hati. Diam-diam ibu pun merasa bangga akan kekayaan dan keindahan alam Indonesia. Sejak lama ibu tak pernah membayangkan akan dapat melihat kota-kota lainnya selain kota Yogya. Kota kelahiran dan kampung halaman turun-temurun.
61
"Paman sudah menemukan tempat yang bagus untuk diceritakan, Y u , " kata paman membuka keterangan sore itu. "Di mana itu, Paman?" tanya Bayu bersemangat. "Letaknya sangat jauh dari sini. Paman pernah ke sana sekali," ujar paman. "Di mana itu, Paman?" Bayu mengulangi pertanyaannya. Tidak sabar ia mendengar keterangan paman selanjutnya. "Namanya Kabupaten Aceh Selatan dengan ibu kotanya Tapak Tuan," jawab paman. "Oh ... Tapak Tuan," Bayu pernah mendengarnya saja lewat pelajaran di sekolah. Dan ia tahu itu berada di daerah Aceh. Akan tetapi ia tak dapat membayangkan bagaimana keadaannya. Tempat bersejarah macam apa yang ada di sana. "Ceritakan, dong Paman," ujar Bayu tak sabar. "Jangan sekaranglah. Besok malam saja. Kita cari waktu yang santai dan tenang. Sekarang Bayu boleh bertanya tentang apa saja yang bayu lihat saat ini. Misalnya tentang gedung-gedung yang kita lewati, toko-toko, jalan-jalan dan lain sebagainya," kata paman. Mobil yang membawa mereka memang dicarter sekaligus untuk berkeliling-keliling kota Banda Aceh. Bukan saja Bayu dan Ibu yang senang. Akan tetapi bapak pun sangat kagum melihat kemajuan kota tersebut. Dulu ketika bapak masih sekolah di S M A , pernah berkunjung ke kota ini. Itu sudah belasan tahun yang lalu. Dan kota Banda Aceh saat itu bagaikan kota mati saja layaknya. Gedung-gedung bagus, toko-toko yang gemerlap, jalan-jalan yang licin, serta bangunan yang mewah seperti sekarang belum ada. Mesjid Raya Biaturrahman pun waktu itu belum selesai pembangunannya. Memang kita tidak dapat memungkiri, bahwa pembangunan sekarang begitu pesat. Kalau dulu rumah-rumah penduduk hanya remang-remang dengan lampu teplok, sekarang sudah terang benderang. Pokoknya sangat menakjubkan. Lampu-lampu jalanan bukan saja berwarna-warni, akan tetapi berbentuk gambar-gambar macam-macam. Ada berbentuk kembang, ada seperti air mancur, bentuk binatang dan lain sebagainya.
62
Pukul 22.00 mereka baru sampai di rumah. Rasa puas jelas tergambar di wajah bapak, ibu dan Bayu. Rasanya mereka masih ingin lama tinggal di ibukota propinsi Aceh itu. Hampir setiap malam setelah selesai makan mereka berkumpul di teras rumah. Ada-ada saja bahan pembicaraan mereka. Kadangkadang bapak yang bercerita tentang kota Jakarta. Tentang keadaan kantornya, lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya. Namun yang lebih sering adalah tentang keadaan kota Banda Aceh dan kabupaten lainnya yang dipertanyakan Bayu. Tidak habis-habisnya ia bertanya tentang ini dan itu. Demikian juga Fahri yang kadangkadang ikut memberi penjelasan. Malam itu Bayu kembali menagih janji paman. Cerita mengenai kota Tapak Tuan selalu terbayang di matanya. Tidak sabar rasanya ia menunggu waktu yang dijanjikan paman. "Paman, ingat doong janjinya," demikian Bayu mengingatkan paman. "Janji yang mana, Y u , " kata paman pura-pura lupa dan menggoda. "Wah... Paman payah deh. Katanya mau cerita tentang Tapak Tuan," ujar Bayu. "Oho., paman lupa. Iya, paman pernah janji pada Bayu akan cerita," paman seolah-olah benar-benar lupa. "Baiklah kalau begitu," kata paman memulai. "Tapak Tuan adalah salah satu Kabupaten yang ada di Aceh, yaitu ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Letaknya lebih kurang 449 kilomenter dari Banda Aceh. Sebetulnya letaknya lebih dekat ke Medan Karena dari Medan hanya berjarak 350 kilometer. Lokasi ini dapat dicapai dengan, bis, kapal dan pesawat. Jika dari Medan akan memakan waktu kurang lebih 10 sampai 12 jam dengan bis umum. Namun jika dengan pesawat hanya memakan waktu selama 45 menit. Pesawat dapat mendarat di lapangan terbang Tengku Cut A l i . Kalau dari Banda Aceh dengan bis dapat dicapai selama 12 jam perjalanan. Dan tidak perlu khawatir, karena setiap hari bis yang ke sana," ujar paman.
63
"Jika melalui jalan laut, bagaimana, Paman?" tanya Bayu. "Kalau melalui laut, dapat menggunakan boat melalui Sibolga dan Padang. D i Tapak tuan sendiri menggunakan bis-bis kecil. D i di dalam kota terdapat becak dayung," kata paman. Bukan hanya Bayu yang serius mendengarkan cerita paman, tetapi semuanya yang ada di situ. Fahri dan Sarah pun belum pernah mendengar cerita tentang Tapak Tuan. Selama ini mereka kurang tertarik dengan hal-hal yang demikian. Namun kedatangan Bayu membuat mereka pun jadi kecanduan mendengar cerita tentang tempat-tempat bersejarah. Dan paman berjanji sewaktuwaktu akan mengajak Fahri dan Sarah ke daerah lain di sekitar Banda Aceh. " D i Tapak Tuan banyak tempat bersejarah yang menarik untuk dikunjungi. A i r dingin. Tempat ini terletak 77 kilometer dari kota Tapak Tuan. Keistimewaannya adalah airnya yang sejuk dengan pantai yang indah dan pasir yang memutih membuat badan segar jika mandi. Selain itu ada pantai Lhok Jamin. D i pantai ini tempat pelabuhan perahu yang membawa ikan dari lautan. Dari pantai ini kita dapat melihat pulau Dua. Nah pulau ini mempunyai kisah tersendiri, yakni pulau yang terbelah karena amukkan naga untuk mendapatkan putri bungsu." "Siapa itu putri Bungsu, Paman?" tanya Bayu. "Nanti paman ceritakan kisahnya. Sekarang paman masih ingin menjelaskan tempat-tempat wisata yang menarik," ujar paman. Kemudian paman minta segelas air putih, kemudian mengambil keripik singkong dan memakannya. "Haus juga, Yah?" goda Fahri. "Tentu. Berceloteh terus bagaimana tidak haus," jawab paman. B i Imah muncul dengan seteko air dan beberapa buah gelas. Ia meletakannya di tengah-tengah agar dapat terjangkau oleh semua. Paman menuangkan air putih itu ke dalam sebuah gelas dan meminumnya. Kemudian bapak pun berbuat sama. Setelah itu paman melanjutkan kembali ceritanya. "Di Tapak Tuan terdapat pula Lubuk Simerah. Tempat ini
64
hanya berjarak satu kilometer dari kota Tapak Tuan. Dahulu di sini terdapat sejenis ikan yang berwarna merah, namun sayang saat ini ikan tersebut telah punah. Dan yang paling mengasyikkan, sepanjang sungai yang mengalir ke laut itu terdapat lubuk-lubuk atau kolam di celah-celah batu yang dipergunakan untuk mandi. Kemudian di Desa Ratu Itam, tujuh kilometer dari Tapak Tuan terdapat A i r Terjun Tingkat Tujuh. Bisa kita bayangkan, bagaimana indahnya tempat itu. D i kanan kirinya terdapat batu-batuan yang seolah telah dirancang untuk tempat mandi. Sedangkan di Kecamatan Bangkongan terdapat sebuah danau di tengah hutan belantara. Oleh sebab itu jarang dikunjungi orang. Dan menurut cerita, di daerah ini dahulu terdapat buaya putih. Untuk mencapai dapat ditempuh dengan boat atau perahu selam delapan jam. Ada lagi yang tak kurang menariknya, yaitu pulau Banyak. Tempat ini terletak di sebuah pantai yang indah. Kenapa di sebut pulau Banyak, karena pulaunya memang banyak berjumlah 99 buah dan terletak di Lautan Hindia. Pada bagian yang dangkal kita dapat melihat ikan-ikan berenang dengan bebas bagaikan akuarium di tengah samudra. D i pulau ini banyak terdapat pohon kelapa, cengkeh dan hutan bakau." Paman kemudian diam sesaat, seolah mengingat-ingat apa lagi yang akan diceritakannya. "Kalau tidak salah pada tahun ... berapa... ya. Itu lho, Bung Hatta pernah meresmikannya," kata bapak menanyakan sesuatu kepada paman. "Oh... itu. Obyek Wisata Alam yang bernama Panorama Hatta. Tempatnya di puncak gunung. Pada tahun 1953, ketika Bung Hatta mengunjungi Tapak Tuan, beliau membangun tempat ini. Dari tempat ini tampak kota Tapak Tuan, dengan segala keindahannya. Letaknya sekitar 15 kilometer dari Tapak Tuan," kata paman menjelaskan. "Sebetulnya kalau semua dibenahi, dikembangkan dan dijaga kelestariannya, maka banyak sekali tempat-tempat yang menarik, ya Dik. Hal ini tentu akan menarik minat para wisatawan dari Man-
65
canegara," kata bapak mengomentari alam Indonesia yang kaya itu. "Itu betul sekali, Bang. Saya rasa masih banyak tempat yang belum dikenal oleh masyarakat banyak. Sebetulnya itu tugas pemerintah daerah. Bagaimana cara memperkenalkannya dan membuat daya tarik sehingga tamu-tamu kita tidak kapok," paman memberi penjelasan. "Paman, bagaimana ceritanya putri Bungsu itu tadi, dong?" Bayu kembali menagih janji. "Wah... payah, nih. Kok nggak sabaran sih," ibu yang sejak tadi diam saja, kini berkomentar. "Ya dong, Bu. Kalau paman lupa, kan rugi," jawab Bayu. "Setuju Bang Bayu, setuju. Fahri pun ingin segera mendengarnya," Fahri membela Bayu. "Ah... kalian ini semuanya sama saja," ujar B i Imah. "Padahal semuanya ingin juga mendengarkannya, ya Bang!" Fahri menggoda B i Imah. "Ya deh, kalian menang," kata ibu singkat. "Hore... hore ... hore... semua jadi rame," tiba-tiba Sarah berteriak sambil tertawa. Akhirnya semuanya jadi ikut tertawa, membuat suasana tambah ramai. "Uh... bisa saja kau," ujar Bayu sambil mencubit pipi adik sepupunya dengan lembut dan sayang. "Sudah... sudah. Sekarang mau dengar cerita, tidak," tiba-tiba paman bicara. "Tentu ... tentu," ujar Bayu dan Fahri serentak. Kemudian mereka telah duduk dengan rapi kembali. "Zaman dahulu kala ada sepasang naga yang hidup di Tapak Tuan. Mereka hidup damai dan tenteram, di kaki bukit dan di sebuah lekukan pantai. Naga jantan sangat mendambakan seorang anak. Untuk itu ia selalu memohon semoga naga betina mengandung seorang anak. Akan tetapi sejauh itu doannya belum juga terkabul. Namun mereka selalu menanti dengan sabar. Pada suatu hari bertiuplah angin dengan kencangnya. Gelombang bergulung-gulung menghempas pantai. Bersamaan dengan itu
66
terhempasnya pula seorang bocah kecil yang cantik. Naga yang mendiami pantai tersebut lalu memungutnya dengan senang hati. Apalagi mereka memang sedang mendambakan seorang anak. Bocah tersebut dipelihara dengan kasih sayang. Bulan berganti bulan dan tahun pun menjelang. Bocah kecil pun menjelma menjadi gadis remaja yang sangat cantik dan bernama Putri Bungsu. Waktu terus melaju. Ibu Putri Bungsu terus juga mencari anaknya yang hilang. Ia berjalan menyusuri pantai, tak kenal hujan dan panas. Tak kenal lelah dan penat. Ia berharap akan dapat menemukan anaknya. Itu sangat ia yakini. Dan ternyata ia dapat juga menemukan anaknya. Betapa gembira hatinya. Sudah belasan tahun ia mencari, dan akhirnya bertemu kembali. Dengan segera ia membawa Putri Bungsu dengan perahunya, ketika sepasang naga itu tertidur lelap. Namun apa yang terjadi ketika sang naga terbangun. Ia sangat marah dan mengamuk sejadi-jadinya. Amukannya menyebabkan air laut bergelora dan menimbulkan gelombang yang dahsyat. Angin bertiup sangat kencang, air laut menjadi pasang dan hujan pun semakin deras. Perahu yang membawa Putri Bungsu tak dapat bertahan. Ia oleng dan akhirnya karam. Putri Bungsu pun hanyut hingga akhirnya dapat pula diselamatkan oleh sang naga. Orang tua putri bungsu kembali sedih. Ia bingung dengan apa lagi akan merebut anaknya dari tangan sang naga. D i kaki Gunung Lampu ada seorang yang bernama Tuan Ditaluak sedang bertapa. Ia sangat sakti. Dia berusaha membantu untuk mengembalikan putri Bungsu. Usahanya tidaklah mudah. Dan itu harus melalui perkelahian yang seru. Namun tuan Ditaluak dapat memenangkan perkelahian Uu. Namun sayang Putri Bungsu, dibawa lari oleh anak kapal. Nah... perkelahian itu masih meninggalkan bekas sampai saat ini yakni Tapak Tuan Ditaluak terdapat di kaki Gunung Lampu. Sedangkan tongkatnya terpental ke laut lepas dan kopiahnya terdapat di gunung Batu Sirah dan batu Itam. Sedangkan pulau Dua yang paman katakan tadi, adalah bekas lintasan naga yang mengamuk.
67
Air terjun Panthelong
Pulau itu terbelah menjadi dua dan dinamakan pulau Dua. Bekasbekas itu sampai kini masih ada. Itulah sebagai bukti bahwa legenda itu benar terjadi. Dan setelah Tuan Ditaluak wafat, maka ia dimakamkan di Tapak Tuan. Dan Legenda inilah yang menyebabkan kota itu dijuluki Tapak Tuan," kata paman mengakhiri ceritanya. "Pantas namanya kok aneh, ya Paman," ujar Bayu. "Ya, itu kata Legenda. Akan tetapi tempat yang masih membekas itu banyak dikunjungi orang," kata paman. "Apakah makam Tuan Ditaluak itu masih dirawat degan baik, Dik?" tanya Ibu kepada Paman Hamdan. "Tentu saja, justru menjadi objek wisata yang sangat menarik," jawab paman. "Sebetulnya di setiap daerah banyak legenda semacam itu. Se-
68
harusnya hal semacam itu jangan sampai hilang, sebaiknya ditulis agar anak cucu kita dapat menikmatinya," kata ibu. "Ya, sebaiknya memang begitu. Dan ada juga sekarang beberapa buku yang terbit mengenai legenda di berbagai daerah," sambung bapak. "Oya, lalu Putri bungsu itu bagaimana nasibnya, apakah ia hidup dan mempunyai keturunan. Atau ia mati dan ada bekas sejarahnya. "Wah hebat sekali keponakan paman ini. Paman memang lupa menceritakannya. Putri Bungsu itu dibawa lari oleh awak kapal. Akan tetapi mereka pun akhirnya menjadi batu. Batu tersebut dinamakan orang Batu Menjulang, yang terletak di pinggir jalan menuju Blang Piddie," jawab paman. "Sekarang sudah malam, kalian tidur. Besok ibu dan B i Imah akan belanja ke pasar membeli oleh-oleh. kalian mau ikut nggak," kata ibu. Ketiga anak itu lalu menggosok gigi dan akhirnya masuk kamar tidur dengan lelap. Ibu, bapak, paman dan B i Imah pun menyusul anak-anak.
69
BERLAYAR DENGAN RINJANI
Sejak jumat pagi Bayu, bapak dan ibu telah bersiap-siap. Barang-barang telah dipak dalam kardus. Koper telah rapi. Rasanya masih berat meninggalkan paman dan seisi rumah di Banda Aceh. Kenangan bersama-sama sangat menyenangkan. Dan entah kapan lagi mereka dapat berjumpa. Siang itu mereka makan bersama-sama. B i Imah masak agak istimewa. Siang itu merupakan perpisahan dua saudara itu. Ada rasa sedih dalam hati. Namun meskipun demikian tak dapat berbuat banyak. Paman maklum, bahwa bapak harus segera kembali karena tugasnya di kantor telah memanggil. "Kapan lagi Bang Bayu datang?" tanya Sarah dengan rasa sedih. "Kapan ya. Pokoknya Bang Bayu tidak bisa janji deh," jawab Bayu. "Nah... sekarang balik Abang yang bertanya, kapan Fahri dan Sarah datang ke Jakarta?" kata Bayu. "Sama juga tidak bisa janji," Sarah yang menjawab. "Kalau ada libur sekolah, datang ke Jakarta," kata bapak kepada Fahri dan Sarah. "Tentu, Paman. Siapa yang tidak ingin melihat kota metropolitan itu. Kota yang paling megah di Indonesia," Fahri yang menjawab. Pukul 15.30 mereka beriringan dengan becak menuju stasiun. Para penumpang telah ramai dengan barang masing-masing. Kemudian kondektur memberikan lebel barang kepada bapak. 70
Dengan demikian barang para penumpang akan aman. Kemungkinan untuk tertukar sangat jauh. "Tiketnya sudah disimpan?" tanya paman kepada bapak. "Sudah," jawab bapak singkat. "Kalau hilang, bisa tidak jadi pulang," ujar Bi Imah. "Tiket apa, Pak?" tanya Bayu. "Tiket kapal," jawab bapak. "Lho, kapan bapak membelinya?" tanya Bayu penasaran. Memang ia tidak tahu ketika bapak menitipkan uang kepada seseorang untuk membeli tiket. Tiket itu harus sudah dibeli paling tidak dua minggu sebelum berangkat. "Ketika baru datang, bapak titip sama orang yang telah bapak kenal," ujar bapak. Kemudian bapak menjelaskan peraturan tentang pembelian tiket tersebut. Hampir pukul 18.00 bis baru meninggalkan stasiun Banda Aceh. Fahri, Sarah, Paman dan B i Imah melambaikan tangan. Kemudian Bayu, bapak dan ibu pun membalasnya dengan rasa haru. Semakin lama lambaian tangan itu semakin jauh dan akhirnya hilang di persimpangan jalan. Semakin jauh bis meninggalkan kota Banda Aceh, semakin terasa ada sesuatu yang hilang di Bayu. Saudaranya sangat ramah dan menyenangkan. Demikian pula B i Imah dan paman. Bis terus melaju tanpa mempedulikan kegelisahan Bayu. Kota demi kota, stasiun demi stasiun terlewatkan. Dan akhirnya menjelang subuh bis telah memasuki kota Medan. Bapak menyewa tempat penginapan yang agak murah. Di Medan bapak tidak mempunyai saudara dekat untuk ditumpangi. Dari stasiun mereka naik becak mesin untuk menuju ke tempat penginapan. Di sana mereka disambut ramah oleh petugas losmen. Sejak awal Bayu telah merasakan kenyamanan penginapan itu. Petugasnya ramah dan baik, sehingga Bayu tidak merasa canggung berada di tengah orang yang sebetulnya masih asing baginya. Dan pagi itu seorang petugas dengan sopan mengantarkan roti tawar yang diolesi selai. Juga tiga cangkir teh manis hangat dengan aroma
71
yang merangsang. Bayu mengambil sepotong roti yang dihidangkan petugas losmen itu. Rasanya sangat enak. "Selainya enak sekali, Selai apa ini, Bu?" tanya Bayu. "Kelihatannya seperti serikaya. Tapi rasanya lebih enak dari serikaya yang biasa kita beli," kata ibu. "Oya, bapak belum menceritakan tentang selai itu. di Medan ini yang enak ya selai serikaya itu. Ia dikemas dalam kemasan sederhana dari plastik. Ukurannya lebih kecil dari kemasan yang biasa kita beli di Jakarta. Dan harganya pun sangat murah. Nanti siang kita jalan-jalan ke pusat penjualan kue. Di sana banyak sekali yang menarik dan enak," bapak menerangkan tentang suasana kota Medan. Sore harinya mereka melihat-melihat keadaan kota. Mereka mengunjungi pusat pertokoan. Bayu sangat kagum melihat kemajuan kota. Gedung-gedung tinggi menyamai Jakarta. Ketika mereka sampai di Medan Plaza, Bayu dan ibu terbengong-bengong. "Bu lihat, ada soto Madura, soto Kudus, dan sate Bangil," kata Bayu menunjukkan kios-kios yang menjual makanan lengkap dari seluruh Indonesia. Akan tetapi mereka hanya meminta es Medan yang memberikan rasa yang khas. Setelah itu mereka memasuki toko yang serba lengkap. Ibu membeli sebuah dompet yang ditenun khas sana. Di sebuah pojok toko ada rak yang menjual makanan kering. Bayu dan ibu memperhatikan makanan yang belum pernah mereka lihat. Ada keripik ubi, warnanya keungu-unguan. Bayu mengamatinya. "Bu, keripik ubi," katanya memperlihatkan kepada ibunya. "Kalau ubi sih, di manapun pasti terlihat," ujar ibu menggoda. Bayu yang menyukai makanan dari ubi tersipu-sipu mendengar guyonan ibu. Sebetulnya ibu pun merasa aneh. Baru kali itu ia melihat keripik ubi. Mereka lalu membeli beberapa bungkus. Dari situ mereka menuju toko pusat perdagangan kue. Di sana juga dijual selai serikaya. Bapak benar, kemasannya sangat sederhana, sehingga harganya sangat murah. 72
"Mendingan begini. Kemasan cukup sederhana sehingga harga bisa murah. Daripada kemasan bagus lalu harga mahal. Memangnya kita mau beli kemasannya," kata ibu berkomentar. Memang betul banyak perusahaan yang menjual hasil produknya dalam kemasan bagus, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kecil. Mereka sering berprinsip, jika kemasan tidak mewah masyarakat pembeli menganggap perusahaan itu kurang bonafide. Ibu memesan lima belas buah selai serikaya. "Banyak betul," tanya bapak. "Untuk oleh-oleh. Masak sudah dari sini nggak ngasih oleholeh buat tetangga," kata ibu. Bapak manggut-manggut membenarkan keterangan ibu. Bapak juga tahu, hubungan mereka dengan tetangga cukup baik. Jika mereka pergi, keluarga Pak Herman selalu kebagian oleh-oleh. Dan kinilah saatnya untuk membalas kebaikan mereka. Bapak memesan dua lusin sirup Markisa. Sirup itu terkenal ke mana-mana. Setiap orang dari Medan, merasa rugi jika tidak membawa sirup yang enak itu. "Wah... berat dong, Pak" komentar Bayu. "Tidak, Yu. Sirup ini tidak kita bawa sendiri, setelah kita bayar, maka kita diberi surat untuk pengambilan di agen Jakarta," jawab bapak. Ini merupakan pengetahuan baru bagi Bayu. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil bepergiannya. Dan semua yang ia anggap penting, ia catat dalam buku yang sengaja dibawa. Itu sangat penting, sehingga pengetahüan, pengalaman tidak hilang begitu saja. Setelah memborong bermacam-macam kue dan barang yang khas Medan, mereka pulang dengan menumpang Becak mesin. Angin malam bertiup dengan lembut. Namun tak mampu mengalahkan suasana yang ramai pada malam hari. Kota Medan adalah kota yang cukup ramai. Kota yang nomor tiga terbesar di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu suasananya tak jauh berbeda dengan Jakarta. Hanya saja di sela-sela itu ada hal-hal yang menjadi ciri khas setiap kota. Dan itulah yang membuat pengunjung kagum.
73
Setelah dua malam menginap di losmen, Senin pagi keluarga pak Herman telah berada di pelabuhan Belawan. Para penumpang memadati pelabuhan tersebut. Barang-barang para penumpang ditimbang oleh petugas. Setelah itu para penumpang disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan yang sangat luas. Bayu bingung melihat banyaknya penumpang yang hendak berlayar bersamanya. Apakah kapal tersebut mampu menampung ribuan penumpang. Bayu berkeringat, karena berdesak-desakan. Setelah pintu penghubung di buka oleh petugas, maka para penumpang berdesak-desakan untuk masuk ke kapal. Mereka sibuk dengan barang bawaannya. "Kita masuk belakangan saja. Nomor tiket sudah sesuai dengan nomor kamar. Jadi tidak perlu berdesak-desakan. Tidak ada orang yang berani menyerobot kamar penumpang lainnya," kata bapak menjelaskan. Setelah agak sepi, bapak memanggil seorang yang pekerjaannya mengangkat barang para penumpang. Setelah cocok tarifnya, maka ia mengangkut barang bawaan keluarga Pak Herman. Ternyata mereka telah hafal tentang nomor-nomor kamar yang tertera di tiket. Bayu, ibu dan bapak tinggal mengekor di belakang. Bapak membeli tiket untuk kelas tig?. Satu kamar diisi enam penumpang. Oleh sebab itu penumpang laki-laki di kamar sendiri dan penumpang perempuan di kamar sendiri pula. Demikian juga yang dialami keluarga Pak Herman. Bapak sekamar dengan Bayu ditambah dengan penumpang lainnya. Sedang ibu sekamar pula dengan orang lain. Akan tetapi kebetulan pesanan Bapak untuk membeli tiket dengan kamar berdampingan dapat terpenuhi, sehingga segala urusan dengan mudah dilakukan. Misalnya jika hendak pergi makan. D i kapal ini tempat makan ada di ruangan khusus. Ruang makan kelas satu, dua, tiga, dan empat dibuat secara terpisah. Sedangkan untuk kelas ekonomi, para penumpang harus antri mengambil masing-masing. Kapal penumpang sekarang sudah teratur, kamar mandi pun mendapat perhatian yang serius. Tiap-tiap kelas ada kamar mandi tersendiri, sehingga tidak perlu antri dan berebut. Selain itu sudah
74
dirancang sedemikian rupa. Untuk mandi tersedia air panas dan air dingin. Bayu sangat kagum pada kebersihan, dan keteraturan kapal itu. Dari ruangan makan ada jendela kecil yang dapat melihat keadaan laut saat itu. Demikian juga di kamar-kamar tersedia jendela kaca yang tidak dapat dibuka dengan bebas. Para penumpang hanya dapat memandang dari balik kaca. Pada setiap waktu makan terdengar pengumuman melalui pengeras suara yang tersedia di setiap kamar. Dan setiap penumpang harus mèmperlihatkan tiketnya jika hendak makan. Kemudian petugas yang berdiri di pintu masuk mencoret tiket itu. Setiap makan selalu demikian. "Kenapa harus membawa dan mèmperlihatkan tiket, Pak?" tanya Bayu. "Agar lebih teratur," jawab bapak. "Misalnya penumpang kelas lainnya tidak masuk ke kamar kelas lain pula. D i samping itu agar petugas dapat mengetahui para penumpang yang telah makan. Sehingga penumpang yang sudah makan siang misalnya tidak dapat menggunakan tiket tersebut untuk makan siang saat itu lagi," jawab bapak. "Apa ada penumpang yang nakal begitu?" tanya bayu kembali. "Itu kan bisa saja terjadi, namanya juga orang. Bisa saja penumpang di kelas satu menggunakan tiketnya untuk temannya di kelas ekonomi, sedangkan ia sendiri sudah menggunakan untuk mengambil jatah saat itu," ibu yang memberi penjelasan. Selesai makan mereka jalan-jalan di buritan. Angin bertiup kencang, namun kapal besar itu tak pernah terusik karenanya. Rinjani terus berlayar membelah lautan sehingga menimbulkan buih yang memutih. Sesekali terlihat burung camar terbang berkawan-kawan melintasi perahu-perahu nelayan. Kapal besar itu bagaikan raksasa ditengah lautan. D i kanan kiri hanya laut yang luas membentang. Akan tetapi terkadang tampak gugusan pulau. Awak kapal melintasi kepulauan tertentu. Bayu sangat kagum melihat pemandangan di tengah laut. Tak
75
Mercusuar
pernah terbayangkan jika kapal itu karam walaupun ia tak dapat berenang. Tak ada rasa ngeri walau daratan tak tampak sama sekali. Apalagi pada malam hari. Kapal itu seakan berada di dalam goa yang besar. di sekelilingnya hanya hitam yang ada. Sesekali tampak mercusuar samar-samar. Cahayanya berkelip-kelip sebagai tanda bagi kapal yang lewat. "Untuk apa cahaya lampu itu, Pak?" tanya Bayu. "Itu namanya mercusuar. Mercusuar itu dipakai sebagai tanda 76
untuk kapal-kapal yang lewat," jawab bapak. "Nah... orang yang bertugas sebagai penunggu mercusuar itu adalah orang yang paling berjasa dalam dunia perkapalan. Coba bayangkan jika mercusuar itu tidak ada, pasti banyak kapal yang kandas karena tidak ada tanda. Dan yang paling menyedihkan, mereka hidup jauh dari keramaian kota. Tidak pernah merasakan gemerlapnya kota. Yang ada hanya laut dan alam sekitarnya. Mereka tidak pernah mengenal libur meski hujan dan panas silih berganti," kata bapak memberi penjelasan. "Kasihan mereka, ya Pak," sambung ibu. "Ya, tapi mereka tidak pernah mengeluh. Itu sudah menjadi kewajiban mereka," jawab bapak. Kapal terus melaju. Namun penumpang tak pernah merasakannya. Mereka begitu nyaman sehingga seperti di dalam hotel. Bagaimana tidak, kapal itu dilengkapi dengan A C , sehingga tidak ada penumpang yang mengeluh kepanasan. D i samping tempat tidur masing-masing ada lampu untuk baca. Lampu itu dapat dinyala dan dimatikan sesuai kebutuhan pemilik tempat tidur. Sehingga dengan demikian antara penumpang yang satu dengan yang lain tidak merasa terganggu. Selain itu setiap penumpang kamar diberi kunci pintu. Jika ada penumpang yang ingin keluar atau masuk, tidak usah menggedor pintu sehingga dapat mengganggu yang lain. D i dalam kamar tersendiri untuk menjaga keamanan. Dua hari dua malam tidak terasa lamanya. Bayu masih betah untuk tinggal di kapal. Namun sayang tepat pada waktunya kapal pun merapat di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Para penumpang kembali sibuk dengan barang-barangnya. Namun bapak tetap tenang seperti ketika akan naik. "Buat apa buru-buru. Tinggal turun ini," kata bapak. Para kuli pelabuhan kembali naik ke kapal untuk menawarkan jasanya. Mereka berpakaian seragam dengan nomor punggung sebagai jaminan. Bapak kembali menawar tarif untuk sekian banyak barang. Setelah tarif itu disetujui, maka mereka dengan lancar menuruni tangga
77
kapal dengan barang di panggul. Bapak sudah kembali bekerja. Ibu kembali dengan tugas mengurusi rumah. Sedangkan Bayu masih libur. Liburan panjangnya masih tersisa beberapa hari lagi. namun ia tidak diam begitu saja. masih ada tugas yang belum ia kerjakan, yaitu menulis sebuah karangan tentang pengalaman semasa liburan. Hal itu tidak masalah baginya. Bayu sudah mempunyai data dan bahan yang selalu ditulisnya dalam catatannya selama liburan. Bayu yakin, bahwa hasil tulisannya tentu sangat menarik, karena ia akan menulis tentang tempat bersejarah. Tempat wisata yang sangat menarik. Apalagi masih banyak orang yang belum begitu mengenalnya karena tempatnya yang cukup jauh. Namun banyak juga dikunjungi oleh wisatawan luar negeri. Tempat wisata di kampung sendiri. "Hanya puji dan syukur yang terucap ketika aku melihat sebuah kota nun jauh di sana," demikian Bayu mengawali tulisannya. Dan ketika gurunya membacanya kata-kata pujian juga yang ia dengar karena tulisannya yang sangat menarik. Bukan hanya ia yang sudah mengetahui tempat wisata yang menarik itu, tetapi semua yang telah membaca tulisannya itu, walau mereka belum melihatnya dari dekat. Dan ketika Bayu menceritakan kepada bapak dan ibunya, kembali ia mendapat pujian. Pujian dari orang yang sangat ia cintai. Dan tentu saja pujian itu begitu tulus. Sebetulnya Bayu ingin sekali melihat dan juga menulis tentang objek wisata di propinsi lainnya. Bukan hanya Aceh, kampung halamannya sendiri, agar semua orang tahu tentang kekayaan alam Indonesia. Bayu hanya bisa berharap dan berdoa semoga cita-citanya terkabul.
78
Ukuran dan jenis huruf : Jenis dan berat kertas isi : Jenis dan berat kertas kuht :
l i p t . Times HVO 60 gram/m B C 160 gram/m
2