PENETAPAN KEABSAHAN PERKAWINAN MELALUI TELEPON (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: MIRZA VAHLEPI PUTRA NIM: 1110044200016
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M
ABSTRAK Mirza Vahlepi Putra : 1110044200016 Penetapan Keabsahan Perkawinan Melalui Telepon(Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989). Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, ix + 69 + lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keabsahan perkawinan melalui telepon ini sesuai dengan Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode penulisan yang disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik sebuah kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan melalui telepon dinyatakan sah oleh hakim pengadilan agama Jakarta Selatan. Dengan alasan, bahwa ijab dan kabul harus dalam satu majelis, dengan arti bahwa antara ijab dan kabul tidak disela-selai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah, atau sesuatu yang menurut ada dianggap telah tidak mau dan telah membela kepada hal-hal yang selain nikah.
Kata Kunci
: Perkawinan Melalui Telepon
Pembimbing
: Hj. Rosdiana, M.A.
DaftarPustaka
:Tahun 1973s.d.Tahun 2014
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
ii
ABSTRAK ........................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv DAFTAR ISI .....................................................................................................
BAB I
BAB II
v
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
11
D. Metode Penelitian......................................................................
12
E. Kerangka Teori..........................................................................
13
F. Sistematika Penulisan ...............................................................
14
PERKAWINAN MELALUI TELEPON A. Pengertian Perkawinan ..............................................................
15
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ..................................................
17
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ...............................................
23
D. Dasar Hukum Perkawinan.........................................................
28
E. Urgensi Akad Nikah dalam Perkawinan ...................................
30
F. Persyaratan Satu Majelis dalam Perkawinan ............................
31
v
G. Pendapat Ulama Mengenai Perkawinan Melalui Telepon ........ BAB III
BAB IV
BAB V
40
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama.......................................
43
B. Dasar Hukum Pengadilan Agama .............................................
47
C. Visi dan Misi Pengadilan Agama ............................................
47
ANALISIS PUTUSAN No. 1751/P/1989/PAJS A. Duduknya Perkara .....................................................................
53
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan ......
61
C. Analisis Penulis .........................................................................
64
PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................
68
B. Saran-saran ...............................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
70
LAMPIRAN -LAMPIRAN 1. Surat Wawancara ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan ……........... 72 2. Surat Keterangan Wawancara ……........................................................ 72 3. Hasil Wawancara …….............................................................................. 72 4. Salinan Putusan Nomor 1751/P/1989/PAJS ……................................... 72
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaumaunya, atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah memberikan batas dengan peraturan-peraturanNya, yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam KitabNya dan Hadits Rasulnya dengan hukum-hukum perkawinan, misalnya mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan, tentang mahar atau mas kawin, yaitu pemberian seorang suami kepada isterinya sewaktu akad nikah atau sesudahnya. 1 Perkawinan adalah sunnahtullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Semua makhluk tersebut terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan. Bagi alam nabati dan hewani, ada jenis jantan dan betina dan pada alam insani, ada jenis pria dan wanitanya. Adapun hikmah agar diciptakan oleh Tuhan segala jenis alam atau makhluk itu berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, adalah agar
1
Mohammad Asmawi, Nikah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 13.
1
2
masing-masing jenis saling butuh membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat hidup berkembang selanjutnya. 2 Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar menghalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan. 3 Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sangat sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuanketentuan yang ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi kasih sayang yang mendalam. Di samping itu, untuk menjalin tali persaudaraan di antara keluarga dari pihak suami dan pihak istri dengan berlandaskan pada etika dan estetika yang bernuansa ukhuwah, basyariyah dan Islamiyah. 4 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segela
melaksanakannya.
Karena
perkawinan
dapat
mengurangi
kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk penzinaan.
2
Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 1. 3
Mohammad Asmawi, Nikah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 17.
4
Mohammad Asmawi, Nikah, h. 19.
3
Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa. orang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. 5 Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Quran dan Alhadits, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui UndangUndang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Asas yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. 3. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian. Asas-asas perkawinan di atas, akan diungkapkan beberapa garis hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. 6
5
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 37. 6
h. 39.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
4
Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perkawinan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 7 Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan mmerupakan syarat administratif, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut : 1) Pasal 2 KHI Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah. 2) Pasal 3 KHI Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakina, mawadah dan rahmah. Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat umum, maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di dalam Al-Quran. 3) Pasal 4 KHI Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 8 7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 2.
5
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam mempertegas dan merinci mengenai peraturan Undang-Undang Perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah telah membekali syariat dan hukumhukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik. 9 Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekadar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuantujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan agama. 10 Diantara manfaat perkawinan ialah bahwa perkawinan itu menentramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang suami istri yang dihalalkan Allah. Hikmah lainnya yaitu untuk menjalin ikatan kekeluargaan, keluarga suami dan keluarga istrinya, untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama mereka. Karena keluarga yang diikat dengan ikatan cinta kasih adalah keluarga kokoh yang bahagia. 11 Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawadah dan rahmah, yang dipergunakan Al-Quran sebagaimana tertera dalam surat Ar Ruum ayat 17
8
Budi Durachman, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 10.
9
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7-9.
10
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 39. 11
Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1985), h. 19.
6
berbeda dengan kata hubbun yang juga berarti cinta. Pengertian kata hubbun mempunyai makna cinta secara umum karena ada rasa senang dan tertarik pada objek tertentu seperti cinta pada harta benda, senang pada binatang peliharaan dan sebagainya. Sedangkan kata mawadah mempunyai makna rasa cinta yang dituntut melahirkan ketenangan dan ketentraman pada jiwa seseorang serta bisa saling mengayomi antara suami dan istri. Apalagi kata mawadah ini dibarengi dengan kata rahmah yang mempunyai makna kasih sayang. 12 Kompilasi Hukum Islam juga sudah mengatur rukun dan syarat perkawinan, seperti pada pasal 14 KHI : Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi dan 5) Ijab dan qabul Dari kelima rukun nikah itu yang terpenting ialah ijab dan qabul antara yang mengakadkan dengan yang menerima akad. 13 Dan syarat yang telah diatur pada pasal 6 sampai 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak 12
Mohammad Asmawi, Nikah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 19-20.
13
Budi Durachman, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 10.
7
diperhitungkan. Rukun nikah menurut Islam meliputi lima hal, yaitu : (1) Calon Suami, (2) Calon Istri, (3) Wali, (4) Saksi, dan (5) Ijab Kabul. Rukun nikah poin (1) dan (2), yaitu calon suami dan calon istri, biasanya hadir dalam upacara pernikahan. Calon istri selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon suami, mungkin karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul. 14 Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan menyatu dengan substansinya. Akad nikah juga mempunyai beberapa syarat yang terbagi kepada beberapa syarat, yaitu syarat jadi, syarat sah, syarat terlaksana, dan syarat wajib. Semua ini akan dijelaskan keterangannya. Di antara rukun akad nikah adalah ijab dan qabul yang mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai arti membantu maksud kedua dan menunjukan tercapainya ridha secara batin. 15 Menurut jumhur ulama, rukun nikah ada empat, yaitu (1) ijab dan qabul, (2) calon istri, (3) calon suami dan (4) wali. Namun al-Jazari mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima, yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) istri (suami dan istri yang di syaratkan bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram) dan (5) sighah. 16
14
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), h. 299. 15
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 59. 16
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 14.
8
Menurut ulama Hanafi, ijab dari pihak calon suami (wakilnya) dan qabul dari pihak perempuan (walinya atau wakilnya), jika perempuan itu telah baliq dan berakal, dan boleh kebalikannya. Ulama Hanafi juga mengatakan boleh lama perantaraan antara ijab dan qabul, asal dilakukan dalam satu majelis, tetapi tiada dihalangi oleh suatu hal yang menunjukan bahwa salah satu pihak telah berpaling dari maksud perkawinan. Menurut Syafi’i ijab harus dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan qabul harus dari pihak laki-laki, calon suami atau wakilnya. 17 Asalnya akad nikah harus diucapkan dengan lafal yang menunjukan timbulnya akad dengan ungkapan yang jelas, tidak ada kemungkinan makna lain, baik kemungkinan yang makna lain yang sama kuat atau yang lebih unggul. Berdasarkan kenyataan tersebut, kedua belah pihak harus hadir di majelis akad dan keduanya harus ada kemampuan untuk mengucapkannya. Dengan demikian, tidak sah akad nikah dengan tulisan dan tidak sah pula dengan isyarat walaupun ditemukan bukti yang ada dan jelas maksudnya, karena masing-masing tulisan dan isyarat terdapat kemungkinan diasumsikan bukan untuk penyelenggaraan akad. 18 Suatu hal yang kontroversial muncul di kalangan masyarakat adalah seseorang yang melakukan perkawinan melalui telepon dan mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Jakarta Selatan dengan perkara nomor : 1751/P/1989. Pada putusannya hakim Pengadilan Jakarta Selatan mengesahkan perkawinan melalui telepon. Dengan pertimbangan bahwa ketidakhadiran secara fisik calon mempelai 17
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h. 15. 18
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 69.
9
laki-laki di tempat calon mempelai perempuan atau walinya yang mengijabkan tidak mengurangi sahnya perkawinan. Kasus ini bertentangan dengan rukun perkawinan yang sudah disebut di atas dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 14 KHI. Di lihat dari latar belakang yang ada, ditakutkan akan ada kasus-kasus semacam ini di ranah masyarakat dikarenakan kelalaian hakim dalam mengutus suatu perkara. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba menganalisis putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Selatan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul “PENETAPAN KEABSAHAN PERKAWINAN MELALUI TELEPON” (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan No. 1751/P/1989). Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Penetapan
merupakan
jurisdiction
valuntaria
(bukan
peradilan
yang
sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan hukum. Dalam penetapan. Hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata”menetapkan”. Berbeda dengan putusan, putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya.
10
Disebut jurisdiction contentiosa, karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat). 19 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal yang berkenaan dengan masalah keabsahan perkawinan melalui telepon. Dengan objek penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1. Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, sangat diperlukan sekali adanya ruang lingkup pembatasan masalah, sehingga apa yang menjadi pokok pembahasan di dalam skripsi dapat memberikan gambaran yang jelas dan terarah serta diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dari uraian di atas, dapat kita cermati bahwa yang menjadi pokok pembahasan penulisan skripsi ini adalah suatu analisa terhadap Putusan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan terhadap permohonan itsbat nikah yang pernikahannya melalui telepon. Dalam hal ini Putusan Hakim mengesahkan perkawinan melalui telepon, sedangkan yang sudah disebutkan di Pasal 14 KHI rukun perkawinan kedua calon mempelai harus ada dalam satu majelis. Bisa dikatakan Hakim sudah melalaikan peraturan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sudah menjadi panutan para Hakim Pengadilan Agama. 2. Perumusan Masalah
19
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), Cet V, h. 175.
11
Menurut Fiqh, akad nikah dapat diadakan apabila dalam satu tempat pelaksanaan ijab qabul. Pada kenyataannya Hakim Pengadilan Agama memutus perkara pernikahan melalui telepon. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah sah perkawinan yang pihak laki-lakinya tidak berada dalam satu majelis ? 2. Apakah dasar Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberi putusan terhadap perkawinan yang rukun nikahnya tidak sesuai dengan Pasal 14 KHI ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai sebagai berikut: a. Untuk mengetahui sah atau tidaknya perkawinan yang calon suaminya tidak berada dalam satu majelis. b. Untuk mengetahui dasar apa saja yang dipakai hakim dalam memberikan putusan terhadap perkawinan yang rukun nikahnya tidak sesuai dengan Pasal 14 KHI. c. Untuk membuat sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa dan mahasiswi yang akan
12
menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam. d. Untuk menambah ilmu dalam bidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas, karena dengan membahas masalah ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu untuk menambah ilmu pada diri sendiri, mahasiswa dan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang hukum dari perkawinan melalui telepon.
D. Metode Penelitian Untuk memudahkan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis menggunakan berbagai metode pengumpulan data diantaranya sebagai berikut: a. Riset perpustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan b. Riset lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan sesuai dengan kehidupan sebenarnya, dengan menentukan objek penelitian yaitu Pengadilan Jakarta Selatan. Untuk mendapatkan data serta informasi di lapangan penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu metode penulisan. Dari data-data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya
13
ilmiah
ini
adalah
penelitian.
Adapun
teknik
penulisan,
penulisan
menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”.
E. Kerangka Teori Dalam Pasal 2 KHI perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak diperhitungkan. Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang terdiri dari dan menyatu dengan substansinya. Akad nikah juga mempunyai beberapa syarat yang terbagi kepada beberapa syarat, yaitu syarat jadi, syarat sah, syarat terlaksana, dan syarat wajib. Diantara rukun nikah adalah ijab dan qabul yang mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai arti membantu maksud berdua dan menunjukkan tercapainya ridha secara batin. 20 Rukun perkawinan ada lima: 1. Mempelai laki-laki. 2. Mempelai perempuan.
20
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 59.
14
3. Wali. 4. Dua orang saksi. 5. Sighat ijab qabul. Dari lima rukun itu yang paling penting ialah ijab qabul antara yang mengakadkan dengan yang menerima akad. 21
F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini: BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Penulisan. BAB KEDUA berisi, Pengertian Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Urgensi Akad dalam Perkawinan dan Persyaratan Satu Majelis dalam Perkawinan. BAB KETIGA berisi, Gambaran Umum Pengadilan Agama, Dasar Hukum Pengadilan Agama, Visi dan Misi Pengadilan Agama. BAB
KEEMPAT
berisi,
Duduknya
Perkara
Putusan
No.
1751/P/1989/PAJS, Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Menetapkan Putusan No.
1751/P/1989/PAJS,
Analisis
Penulis
terhadap
putusan
1751/P/1989/PAJS. 21
H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1985), h. 30.
No.
15
BAB KELIMA berisi, Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II PERKAWINAN MELALUI TELEPON
A. Pengertian Perkawinan Dalam Naskah Mir’at al-Thulab terdapat istilah “nikah” dan “kawin”. Dalam al-Qur’an dan hadist terdapat istilah “nikah” dan “tazwij”, demikian pula dalam kitab-kitab fiqh. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tersebut dan penjelasannya tidak terdapat istilah “nikah”, yang ada ialah istilah “kawin”. Kedua istilah nikah dan kawin itu dalam bahasa Indonesia sudah umum dipakai oleh masyarakat dengan pengertiannya yang sama. 1 Nikah menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri. Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. 2 Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis “melakukan 1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam “Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam” , (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 104. 2
Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 4.
15
16
hubungan kelamin atau bersetubuh”. Istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah juga bisa juga diartikan sebagai bersetubuh. Adapun menurut syarak, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij.3 Definisi lain tentang nikah adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama.” Ada juga yang mengartikan: “Suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dengan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukunrukun yang ditentukan oleh syariat Islam.” Nikah adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya
3
Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 6-8.
17
untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari. 4 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral. 5
B. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. 6 Syarat, yaitu suatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat” atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam. 7
4
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 3-4. 5 6 7
Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 8. Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 45. Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 45.
18
“Sah, yaitu suatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat”. 8 Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah: 1) Mempelai laki-laki 2) Mempelai perempuan 3) Wali 4) Dua orang saksi 5) Shigat ijab kabul 9 Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Ucapan ijab dan qabul sebagai berikut: 1) Ijab dari wali/orang tua pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan engkau dengan Fatimah anakku dengan maskawin seribu rupiah tunai”. Qabul dari pengantin laki-laki : “Aku terima nikahnya Fatimah binti Ahmad dengan maskawin seribu rupiah tunai”. 2) Bila ijab diucapkan oleh wakil wali kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan engka dengan Fatimah binti Ahmad yang telah mewakilkan kepadaku dengan maskawin seribu rupiah tunai”. Qabul dari pengantin laki-laki seperti tersebut dalam qabul no. 1 8
9
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor: PT Prenada Media, 2003), h. 45.
Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 12.
19
3) Bila ijab diucapkan oleh wali sendiri kepada wakil calon suami (pengantin laki-laki) : “Aku kawinkan Fulan yang mewakilkan kepadamu dengan Fatimah anakku dengan maskawin seribu rupiah tunai”. Qabul dari wakil laki-laki : “Aku terima nikahnya Fatimah binti Ahmad untuk Fulan yang mewakilkan kepadaku dengan maskawin seribu rupiah tunai”. 4) Bila ijab diucapkan oleh wakil wali kepada wakil calon suami (pengantin laki-laki) : “Aku nikahkan Fulan yang mewakilkan kepadamu dengan Fatimah binti Ahmad yang mewakilkan kepadaku dengan maskawin seribu rupiah tunai”. Qabul dari pengantin laki-laki seperti tersebut diatas no. 3. 10 Keharusan mengenai ijab kabul atau ucapan janji setia secara kesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan dengan penafsiran terbalik, maka proses perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau disela oleh suatu perantara tetaplah memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu majelis. 11 Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad sedangkan yang dimaksud dengan
10
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.
11
Dede Yusipa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference, Skripsi,
461-462.
2010., h. 8.
20
syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. 12 Syarat - syarat calon mempelai pria adalah 1) Beragama Islam 2) Laki-laki 3) Jelas orangnya 4) Dapat memberikan persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah 1) Beragama Islam 2) Perempuan 3) Jelas orangnya 4) Dapat dimintai persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu persetujuan calon mempelai. 13 Syarat-syarat Wali 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Waras akalnya 12
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009),
h. 12-13. 13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 12-13.
21
4) Tidak dipaksa 5) Adil 6) Tidak sedang ihram Perlunya Wali dalam Perkawinan 1) Untuk menjaga hubungan rumah tangga anak dengan orang tua. 2) Orang tua biasanya lebih tahu tentang bakal jodoh anaknya, sebab perawan Islam tidak patut bergaul bebas. 14 Wali mujbir adalah wali yang dibolehkan memaksa anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang dipilihnya tanpa minta izin dahulu pada anaknya. Wali mujbir menurut Syafi’i, adalah ayah, kakek, dan seterusnya sampai keatas. Selain itu bukan wali mujbir. Wali mujbir menurut Hambali, adalah ayah dan washi. Bila kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan. Wali mujbir menurut Maliki, adalah ayah dan washi dengan syarat ayah dan anak perempuan yang bersangkutan telah meninggal dunia. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan adanya orang yang menjadi saksi. Sedangkan wali mujbir menurut Hanafi, adalah setiap orang yang tercantum dalam strukturisasi wali. Mereka semua bisa disebut sebagai wali mujbir. 15 Syarat-syarat Saksi 1) Laki-laki 2) Baligh 14
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, h. 460.
15
Mohammad Asmawi, Nikah “Dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 77-80.
22
3) Waras akalnya 4) Adil 5) Dapat mendengar dan melihat 6) Bebas, tidak dipaksa 7) Tidak sedang mengerjakan ihram 8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul Syarat-syarat Shigat: Shigat (bentuk akad) hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi, shigat hendaknya dipergunakan ucapan yang menunjukan waktu akad dan saksi. Shigat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukan waktu lampau, atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukan waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukan waktu yang akan datang. Perlunya Saksi dalam Perkawinan 1) Untuk menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan Polisi atau orang lain terhadap pergaulan mereka. 2) Untuk
menguatkan
janji
mereka
berdua,
begitu
pula
terhadap
keturunannya. 16 Mempelai laki-laki dapat meminta kepada wali pengantin perempuan: “Kawinkanlah saya dengan anak perempuan Bapak” Kemudian dijawab: “Saya kawinkan dia (anak perempuannya) denganmu. Permintaan dan jawaban itu sudah berarti perkawinan. Shigat itu hendaknya terikat dengan batasan tertentu supaya 16
461.
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.
23
akad itu dapat berlaku. Misalnya, dengan ucapan “Saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya”. Kemudian pihak laki-laki menjawab : “Ya saya terima”. Akad ini sah dan berlaku. Akad yang tergantung kepada syarat atau waktu tertentu, tidak sah. 17 Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum. C. Tujuan Perkawinan dan Hikmah Perkawinan Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah Saw., yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan pengawasan sepintas lalu, pada batang tubuh ajaran fikih, dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni: a). Rub’al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya b). Rub’al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari c). Rub’al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia lingkungan keluarga dan d). Rub’al-jinayat, yang menata
pengamanannya
dalam
suatu
tertib
pergaulan
yang
menjamin
ketentramannya. Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
17
461.
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.
24
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. 18 Zakiyah darajat dkk. mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu: 1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan 2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syawatnya menumpahkan kasih sayangnya 3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersunggung-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal 5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Perkawinan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dan wanita, yang mempunyai segi-segi perdata diantaranya adalah: a) kesukarelaan, b) persetujuan kedua belah pihak, c) kebebasan memilih, d) darurat. Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan bahwa ada 15 tujuan perkawinan, yaitu: 1) Sebagai ibadah dan mendekatkan pada diri Allah Swt. Nikah juga dalam rangka taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya 2) Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang ihsan (membentengi diri) dan mubadho’ah (bisa melakukan hubungan intim) 3) Memperbanyak umat Muhammad Saw 18
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor: PT Prenada Media, 2003), h. 45.
25
4) Menyempurnakan agama 5) Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah 6) Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat masuk surga 7) Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan dan lain sebagainya 8) Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu isteri di rumah 9) Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkarang keluarga 10) Saling mengenal dan menyayangi 11) Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan isteri 12) Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah Swt. maka tujuan nikahnya akan menyimpang 13) Suatu tanda kebesaran Allah Swt. kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi 14) Memperbanyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi melalui pernikahan
26
15) Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan. Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah perkawinan itu banyak antara lain: 1) Dengan pernikahan banyaknya perkawinan. 2) Keadaan hidup manusia tidak akan terteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. 3) Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam perkerjaan. 4) Sesuain dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. 5) Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. 6) Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. 7) Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit. 8) Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. 19 Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan keluarga yang tenang, damai, tenteram, dan penuh kasih sayang. Disamping itu, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik
19
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor: PT Prenada Media, 2003), h. 65-68.
27
(dzurriyyah tayyibah). Bahkan, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa pernikahan merupakan sunnah yang dianjurkan. 20 Islam juga mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah perkawinan adalah: 1) Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. 3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang, yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sifat rajin dan sunggung-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseoran. Ia akan cekatan bekerja, karenan dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbanyak jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Ia juga dapat mendorong usaha
20
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 41.
28
eksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. 5) Pembagian tugas, dimana yang satu mengurus rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami dan isteri dalam menangani tugas-tugasnya. 6) Perkawinan, dapat membuahkan, di antaranya: tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat, yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena, masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. 21
D. Dasar Hukum Perkawinan Hukum nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan Hidrogen), listrik, ada positif dan negativenya dan sebagainya. Apa yang telah dinyatakan oleh Sarjana Ilmu Alam tersebut. 22
21
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 41. 22
H. M. A Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 8.
29
Dan sesuai dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur’an. 23 Firman Allah:
Artinya:”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum:21). Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, hukumnya wajib. Kalau ia (mukalaf) tidak mampu maka hukumnya makruh. Kalau ia berniat menyakiti isteri maka hukumnya haram. Sedang hukum asal dari nikah adalah mubah. Nikah, hukumnya sunat bagi orang yang memerlukannya. Syarat nikah berasal dari Al-Qur’an, hadits serta ijma’umat. 24 Firman Allah :
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
23
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 37. 24
Moh. Rifa’i dkk, Terjamah Khulashah Khifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1978), h. 268.
30
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui. (QS. An-Nur: 32). Sabda Nabi :
ِ َﻓَﺎِ ﱢﱐ اُﻧ،ﺗَﻨﺎ َﻛﺤﻮا ﺗَ ْﻜﺜـﺮوا .ﺎﻫ ْﻰ ﺑِ ُﻜ ُﻢ اﻻَُﻣ َﻢ ْ ْ ُُ ْ ُ
Artinya : “Saling menikahlah kamu semua dan banyakkan keturunan sesungguhnya denganmu aku berlomba umat (besok hari kiamat)”. 25 Orang dalam menghadapi masalah nikah ada 2 macam, yaitu : 1. Orang yang memerlukan nikah 2. Orang yang tidak memerlukan nikah Orang yang memerlukan nikah dibagi dua, yaitu : 1. Orang yang sudah siap (bekal) nikah 2. Orang yang belum siap (bekal) untuk nikah 26 E. Urgensi Akad Nikah dalam Perkawinan Ada dua istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-‘aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung menjadi seperti seutas tali yang satu. 27 Akad nikah adalah didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela.
Oleh karena perasaan rela sama rela itu adalah hal yang tersembunyi, maka sebagai manifestasinya adalah ijab dan kabul. Oleh karena itu, ijab dan qabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab diucapkan oleh wali, 25
Al- Hafidz ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad, Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, (Jakarta: Pustaka as- sunnah, 2007), Cet. 1, h. 4786. 26
Moh. Rifa’i dkk, Terjamah Khulashah Khifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1978), h. 269. 27
Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: PT Prenada Media, 2007), h. 45.
31
sebagai pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya kepada calon suami, dan kabul diucapkan oleh calon suami, sebagai pernyataan rela mempersunting calon istrinya. Lebih jauh lagi, ijab berarti menyerahkan amanat Allah kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dengan ijab dan kabul menjadi halal sesuatu yang tadinya haram. Oleh karena demikian penting arti ijab dan kabul bagi keabsahan akad nikah, maka banyak persyaratan secara ketat yang harus dipenuhi untuk keabsahannya. Diantaranya adalah ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam melakukan akad. 28 F. Persyaratan Satu Majelis dalam Perkawinan Sambung-menyambung ijab-qabul ini terjadi dengan disatukannya majelis atau tempat penyelenggaraan akad, sehingga serah terima sama-sama dilakukan dalam satu majelis (tempat dan kesempatan). Namun hal ini tidak berarti bahwa pernyataan menerima (qabul) harus dilakukan secara langsung setelah keluarnya pernyataan ijab, sebab menurut jumhur ulama: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, dan madzhab Hambali ketentuan “fauriyah” (secara langsung) memang tidak disyaratkan dalam akad nikah, sehingga tidak menjadi masalah jika ada jeda waktu antara ijab dan qabul selama masih sama-sama dalam satu majelis. 29 Dulu, kalangan ahli fikih mensyaratkan penyatuan majelis karena pada masa itu belum terbayangkan jika ijab-qabul dapat dilangsungkan dari tempat yang berbeda dan berjauhan. Sedangkan pada masa sekarang ini, seiring dengan
28
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 2-3. 29
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 4.
32
kemajuan media komunikasi seperti videophone, internet, dan lainnya, tidak menjadi masalah kiranya jika akad dilangsungkan. 30 Pertama, yang dimaksud dengan ittihad al-majelis ialah bahwa ijab dan kabul harus dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara ijab bubar, kabul diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal yang disebut terakhir ini, meskipun dua acara berturut-turut secara terpisah bisa jadi dilakukan dalam satu tempat yang sama, namun karena kesinambungan antara ijab dan kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah. Kedua, ialah pendapat yang mengatakan bahwa bersatu majelis disyaratkan, bukan saja untuk menjamin kesinambungan antara ijab dan kabul, tetapi sangat erat hubungannya dengan tugas dua orang saksi yang menurut pendapat ini, harus dapat melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu benar-benar diucapkan oleh kedua orang yang melakukan akad. Seperti diketahui bahwa di antara syarat sah suatu akad nikah, dihadiri oleh dua orang saksi. Tugas dua orang saksi itu, seperti disepakati para ulama, terutama untuk memastikan secara yakin akan keabsahan ijab dan kabul, baik dari segi redaksinya, maupun dari segi kepastian bahwa ijab dan kabul itu adalah diucapkan oleh kedua belah pihak. 31 Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah menjelaskan, apabila akad nikah yang tidak bersatu antara majelis mengucapkan 30
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 4. 31
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 5-6.
33
ijab dan Kabul, maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan banyak pendapat ulama yang menerangkan terhadap apa yang dimaksud dengan ittihad (bersatu) majelis, salah satunya terdapat dua penafsiran tentang masalah itu, ialah sebagai berikut: 1. Ittihad al-majelis ialah bahwa ijab dan Kabul harus dilakukan dalam waktu yang tedapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dua jarak waktu secara terpisah, artinya bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah itu ijab bubar, lalu Kabul diucapkan pada acara berikutnya. 2. Menurut Said Sabiq dalam kitabnya fiqh as-sunnah menjelaskan bersatu mejelis bagi ijab dan kabul, menekankan kapada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab dan kabul. Dan apabila salah seorang dari dua belah pihak yang melakukan akad nikah gaib (tidak bisa hadir), maka jalan keluarnya ialah mengutus wakil atau dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya. Dan jika menyetujui isi surat, hendaklah mengadirkan para saksi di depan redaksi surat itu dibacakan. Menurutnya praktik seperti ini adalah sah, selama pengucapnnya dilakukan langsung dalam satu majelis. 32 Dari penjelasan diatas, bahwa esensi dari persyaratan bersatu majelis adalah menyangkut masalah keharusan kaitannya antara ijab dan kabul. Jadi ijab dan Kabul itu benar-benar atas kerelaan dari kedua belah pihak untuk mengadakan akad nikah. Kemudian beliau menjelaskan tentang syarat dalam ijab dan kabul yaitu :
32
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 4.
34
: ُﺷ ُﺮ طُ ِاﻻ ﯾ َْﺠﺎبُ َو اﻟﻘَﺒُﻮ ُل ْ إﻻﱠ إِ َذا ﺗُﻮ اَﻓَ َﺮ، ﻖ اﻟ َﻌ ْﻘ َﺪ َو ﺗَﺘَ َﺮﺗَﺐُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﺔ اﻻَ َﺷﺎ ُر اﻟﺰَ وْ ِﺟﯿﱠﺔ ُ َوﻻَ ﯾَﺘَ َﺤﻘﱠ : ت ﻓِ ْﯿ ِﮫ اﻟ ُﺸ ُﺮ وْ ِط اﻻَ ﺗِﯿﱠ ِﺔ َاج ﻻ َ ﺻ ِﻐ ْﯿ ًﺮ اً ﻻَ ﯾُ ِﻤ ْﯿ ُﺰ ﻓَﺎ ِ ﱠن اﻟ ﱠﺰ َو َ ْ ﻓَﺈ ِ ْن َﻛﺎ نَ أَ َﺣ َﺪ ھَ َﻤﺎ َﻣﺠْ ﻨُﻮْ ﻧًﺎ ً أَ و: َ ﺗَ ْﻤﯿِ ْﯿ ُﺰ اﻟ ُﻤﺘَ َﻌﺎ ﻗَ ِﺪ ْﯾﻦ.۱ .ﯾَ ْﻨ ِﻌﻘَ َﺪ ب َو ْاﻟﻘَﺒُﻮْ ِل ﺑِ َﻜﻼَ ِم َ ﺑِ َﻤ َﻐﻰ أَﻻ ْﯾﻔَﺼْ ُﻞ ﺑَ ْﯿﻦَ اِﻻ ْﯾ َﺠﺎ, اِ ﺗﱠ َﺤﺎ ُد َﻣﺠْ ﻠِﺲً اِ َ ِﻻ ْﯾ َﺠﺎ بً َو الْ ﻗَﺒُﻮْ ِل.۲ ً ف إِ ْﻋ َﺮ ا َ َو َﻻ ﯾَ ْﺜﺘَ َﺮ ِط أّ ْن ﯾَ ُﻜﻮ ن. ﺿﺎ ً َو ﺗَ َﺸﺎ َﻏﻼَ َﻋ ْﻨﮫُ ﺑِ َﻐ ْﯿ ِﺮ ِه ِ ْ أَ وْ ﺑِ َﻤﺎ ﯾَ ْﻌ ِﺪ ﻓِﻲ ْاﻟ َﻌﺮ,أَﺟْ ﻨِﻲ َو, ب َ اﻻ ْﯾ َﺠﺎ َ اﻻ ْﯾ َﺠﺎ ِ ْ ﻓَﻠَﻮْ طَﺎ لُ ْاﻟ َﻤﺠْ ﻠِﺲً َو ﺗَ َﺮ اﺧَ ﻰ اﻟﻘَﺒُﻮ ِل َﻋ ِﻦ. ًب ُﻣﺒَﺎ َﺷ َﺮ ة ِ ْ اﻟﻘَﺒُﻮْ ِل ﺑَ ْﻌ َﺪ ﺎف َوا َ َ َوإِﻟَﻰ ھَ َﺬا َذھ. ﻓَﺎ ْﻟ َﻤﺠْ ﻠِﺲُ ُﻣﺘَ َﺤ ﱢﺪ, اض ِ َﺐ اﻷَ ﺣْ ﻨ ِ ﻟَ ْﻢ ﯾُﺼْ َﺪ رْ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﺤ َﻤﺎ َﻣﺎ ﯾُ ِﺪلﱡ َﻋﻠَﻰ ِ اﻹ ْﻋ َﺮ ۳۳
.ﻟِ َﺤﻨَﺎ ﺑِﻠَ ِﺔ
Artinya : Syarat ijab dan qabul: Tidak sah suatu akad perkawinan yang tidak teratur kecuali jika tidak memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Perbedaan dua orang yang berakad Jika salah satu dari kedua orang yang berakad gila atau masih kanak-kanak tidak dapat dibedakan, maka akad perkawinan tidak dapat dilaksanakan. 2. Berkumpulnya suatu majelis ijab dan kabul Artinya bahwa tidak terpisah antara ijab dan qabul dengan kata-kata atau bahasa yang jelas. Dan tidak disyaratkan bahwa qabul diucapkan setelah ijab dengan secara langsung. Jika suatu dalam majelis akad terlambat mengucapkan qabul dari ijab dan tidak memulai diantara keduanya yang menunjukkan berpalingnya dari suatu akad maka qabul diucapkan pada majelis berikutnya.
: َو ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ َﻐﻲ
ﻼ َﻋ ْﻨ ْﮫ ﺑِ َﻐ ْﯿ ِﺮ ِه َ ب َ اﻻ ْﯾ َﺠﺎ ِ َو ﻟَ ْﻢ ﯾَﺘَ َﺸﺎ َﻏ, ﺲ ِ ْ إِ َذا ﺗَ َﺮا ﺧَ ﻰ ْاﻟﻘَﺒُﻮ ِل َﻋ ِﻦ ِ ِ َﻣﺎ َدا َﻣﺎ ﻓِﻲ ْاﻟ َﻤﺠْ ﻠ, ﺻ ﱠﺢ ُ َو ﺛَﺒُﻮ, ﺾ ﻓِ ْﯿ ِﮫ ﺎر َ َ ﺑِ َﺪ ﻟِ ْﯿ ِﻞ ْاﻟﻘَﺒ, ﺲ ِﺣ ْﻜ َﻢ َﺣﺎﻟَﺔَ ْاﻟ َﻌ ْﻘ ِﺪ َ ِِ ِﻷ ﱠن ِﺣ ْﻜ َﻢ ْاﻟ َﻤﺠْ ﻠ ِ َت ْاﻟ َﺤﯿ ِ ﺾ ﻓِ ْﯿ َﻤﺎ ﯾُ ْﺸ َﺮ طُ ْاﻟﻘَ ْﺒ ً ﺿ .ﺎت َ ﻓِﻲ ُﻋﻘُﻮ َد ْاﻟ َﻤ ًﻌﺎ َو 33
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Beirut, Lebanon: Dar Al-kitab Al-Arobi, 1973), h. 34.
35
ْ َﻓَﺈ ِ ْن ﺗَ ْﻔ َﺮ ﻗَﺎ ﻗَ ْﺒ َﻞ اﻟﻘَﺒُﻮ ِل ﺑ ض ﻗَ ْﺪ َو َﺟ َﺪ ِﻣ ْﻦ َ اﻹ ِ ﯾﺠﺎ ِ ْ ﻄ ِﻞ ِ ﻓَﺎ ِ نَ ْاﻻ َﻋ َﺮا, َ ﻓَﺎ ِ ﻧَﮫُ َﻻ ﯾُﻮ َﺟ ُﺪ َﻣ ْﻌﻨَﺎ ه, ب .ً ﻓَﻼَ ﯾَ ُﻜﻮ ُن َﻣ ْﻘﺒُﻮ ﻻ, ق ِ ِﺟ ْﮭﺘَﮫُ ﺑِﺎ ْﻟﺘَ ْﻔ َﺮ ﻀﺎ ﺑِﺎ ْ ِﻻ ْﺛﺘَ َﻐﺎ َل َﻋﻦْ ﻗًﺒُﻮ َ ََو َﻛ َﺬ ﻟِﻚَ اِنْ ﺗ ً ض َﻋ ِﻦ ا ْﻟ َﻌ ْﻘ ُﺪ أَ ْﯾ َ ِﻷَ ﻧَﮫُ َﻣ ْﻌ َﺮ: ًﺸﺎ َﻏﻼً َﻋ ْﻨﮫً ﺑِ َﻤﺎ ﯾَ ْﻘﻄَ َﻌﮫ .ُﻟَﮫ
34
Artinya: Dan menurut mughni, jika qabul terlambat diucapkan setelah diucapkannya ijab hukumnya tetap sah, karena hukum majelis itu adalah hukum keadaan dalam suatu akad, dengan dalil karena telah memilki dari apa yanag telah disyaratkan dalam akad. Jika berpisah atau bubar majelis itu sebelum qabul maka batal ijabnya, karena tidak ditemukan makna atau maksud dari ijab tersebut, jika bubar majelisnya dan sudah ditemukan maksud dari ijab tersebut maka tidak diterima. Sebaliknya, adanya jarak dan waktu yang memutuskan ijab dan Kabul itu, menunjukkan bahwa calon suami tidak lagi sepenuhnya rela untuk mengucapkan kabul, dan wali nikah dalam jarak waktu itu sudah tidak lagi pada pendiriannya semula, atau setelah mundur dari kepastiannya, maka ijab dan Kabul dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 34 Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan/ kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut : 1. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sakral dan syiar islam serta tanggung jawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-nissa: 21 : 34
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 4-5.
36
Artinya : “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nissa : 21).
2. Nikah lewat telepon mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan, apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih:
ﺿُﺮَر َوَﻻ ِﺿَﺮ ًارا َ َﻻ
Artinya: “Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain.” 35 Dan Hadis Nabi:
ِ دع ﻣﺎ ﻳ ِﺮ ﻳـﺒ ﻚ َ ُﻚ ا َﱃ َﻣﺎ َﻻ ﻳَِﺮ ﻳْـﺒ َ ُْ َ َ ْ َ
Artinya: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.” 36
ِِ ِ ﱠم َﻋﻠَﻰ َﺟ ْﻠ ﺼﺎ ﻟِ ِﺢ ٌ َد ْرعُ ا ﻟْ َﻤ َﻔﺎ ﺳﺪ ُﻣ َﻘﺪ َ ﺐ ا ﻟْ َﻤ
Artinya: “Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’’. 37 Kompilasi Hukum Islam juga sudah mengatur rukun dan syarat perkawinan, seperti pada pasal 14 KHI : 35
Al- Hafidz ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad, Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, (Jakarta: Pustaka as- sunnah, 2007), Cet. 1, h. 378. 36
Al- Hafidz ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad, Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, h. 498. 37
Al- Hafidz ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad, Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, h. 465.
37
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi dan 5) Ijab dan qabul Dapat diketahui pokok-pokok pedoman Syafi’iyah dalam hal ini, yaitu: a) Kesaksian harus didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Oleh sebab itu kesaksian orang buta tidak dapat diterima. Untuk memenuhi persyaratan itu disyaratkan bersatu majelis, dalam arti bersatu tempat secara fisik, karena dengan itu persyaratan al-mu’ayanah dengan arti dapat dilihat secara fisik, dapat dipenuhi. Pandangan tersebut erat hubungannya dengan sikap hati-hati dalam masalah akad nikah. b) Akad nikah mengandung arti ta’abbud. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus terikat dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena akad nikah mengandung arti ta’abbud, pengembangan lewat analogi atau qiyas tidak dapat diterima dalam pelaksanaannya. 38 Dalam melaksanakan ijab dan kabul harus digunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau tidak dimengerti maksudnya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijab kabul dalam akad nikah boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata, atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat 38
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 8.
38
umum dianggap sudah menyatakan terjadinya pernikahan, sama halnya dalam semua transaksi. Para ulama fikih sependapat bahwa dalam kabul boleh menggunakan katakata dengan bahasa apapun. Tidak terikat satu bahasa atau dengan kata-kata khusus asalkan menunjukan rasa rida dan setuju, misalnya “Saya terima, saya setuju, saya laksanakan, dan sebagainya”. 39 Jumhur ulama berpendapat bahwa ijab kabul boleh dengan menggunakan bahasa apa saja selain bahasa Arab, asalkan mereka yang berakad atau salah satunya tidak mengerti bahasa Arab. Akan tetapi, kalau keduanya mengerti bahasa Arab, maka terjadi perbedaan pendapat. 40 Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan bahwa orang yang mengerti bahasa Arab ijab kabulnya harus dengan bahasa Arab. Jadi, tidak sah menggunakan bahasa lainnya. Menurut Imam Hanifah, boleh menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang digunakan dalam kabul sebagaimana dalam bahasa Arab. Dua pandangan berbeda mengenai keputusan Pengadilan Jakarta Selatan No. 1751/P/1989, mengenai pengesahan akad nikah melalui telepon, sebagai berikut : a) Apabila berpedoman kepada penafsiran dari pendapat pertama, maka keputusan
Pengadilan
Jakarta
Selatan
tersebut
dapat
dipahami
keabsahannya. Seperti dikemukakan terdahulu, persyaratan bersatu majelis oleh pendapat ini dipahami sebagai jaminan bagi kesinambungan waktu 39
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 8. 40
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, h. 9.
39
anatara ijab dan kabul. Kesinambungan antara waktu ijab dan kabul, dapat diwujudkan dari dua tempat yang memakai alat penyambung dan pengeras suara. b) Apabila dilihat dengan kaca mata pendapat Syafi’iyah, maka jelas praktik akad nikah melalui telepon itu tidak sah. Untuk lebih jelas lagi, lebih baik dibuat perbandingan antara praktik tersebut, dengan pokok-pokok pedoman kalangan Syafi’iyah seperti telah dikemukakan terdahulu dalam akad nikah, sebagai berikut: 1) Tugas para saksi harus dapat melihat kedua orang yang mengakadkan nikah, atau al-mu’ayanah dalam arti berhadap-hadapan secara fisik. Untuk itu disyaratkan bersatu majelis di samping mengandung pengertian untuk menjamin kesinambungan ijab dan kabul, juga mengandung pengertian bersatu tempat, karena dengan itu pesyaratan dapat melihat berhadap-hadapan secara fisik atau al-mu’ayanah dapat diwujudkan. 2) Dua orang saksi menyaksikan calon suami saja, dan dua orang saksi hanya menyaksikan pihak wali perempuan, meskipun dengan itu bisa menjamin bahwa ijab dan kabul diucapkan kedua belah pihak yang berakad, namun praktik tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Masalah akad nikah, seperti dikemukakan terdahulu,
40
mengandung
unsur
ta’abbud,
dalam
pelaksanaannya
harus
mencontohkan kepada pola yang diwariskan atau sunnah Rasulullah. 41 G. Pendapat Ulama Mengenai Perkawinan Melalui Telepon Pendapat yang mengatakan bahwa, “Nikah itu tidak sah kecuali dengan menggunakan lafazh “menikahkan” atau “mengawinkan” yaitu pendapat para pengikut madzhab Imam Syafi’i, Ibnu Hamid dan yang sependapat dengan mereka dari kalangan kami seperti Abu Al Khithab, Al Qadhi dan pengikutnya, terkecuali
pada
lafazh
“Aku
merdekakan
engkau,
dan
aku
jadikan
kemerdekaanmu sebagai maharmu”. 42 Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah dan adakalanya mubah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunnah, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukuman wajib, sunnah, haram, makruh, maupun mubah. 43 Oleh karena itu, Imam Izzudin Abdusalam, membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu:
41
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 10. 42 Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatwa Tentang Nikah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 21. 43
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor: PT Prenada Media, 2003), h. 17.
41
1) Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt. bagi hamba-Nya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pda dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahat jenis ini wajib dikerjakan. 2) Maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah 3) Maslahat mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata: “Maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung. Sebagaian diantaranya lebih bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya dari sebagia yang lain. Maslahat mubah ini tidak berpahala.” 44 Suatu hal menarik yang muncul akhir-akhir ini ialah persoalan akad nikah melalui telepon. Persoalan tersebut patut mendapat perhatian secara serius, dan perlu pengkajian lebih mendalam. Dalam teorinya suatu akad nikah itu harus berada dalam satu majelis. Dikiaskan pada satu contoh yang dikemukakan oleh alJaziri dalam memperjelas pengertian bersatu majelis dalam mazhab Hanafi adalah dalam masalah seorang lelaki berkirim surat mengakadkan nikah kepada pihak perempuan yang dihendakinya. Praktik akad nikah seperti tersebut oleh kalangan Hanafiah dianggap sah, dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat dalam 44
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 4.
42
surat calon suami dan pengucapan kabul dari pihak wali perempuan, sama-sama didengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, bukan dalam dua upacara berturut-turut secara terpisah dari segi waktunya. Yang penting digarisbawahi dalam contoh tersebut bahwa yang didengar oleh para saksi adalah redaksi tertulis dalam surat calon suami yang dibacakan di depannya, dan si pembaca surat dalam hal ini bukan sebagai wakil dari calon suami, karena yang disebut terakhir ini dalam suratnya tidak mewakilkan kepada seorang pun. Hal tersebut juga sejalan dengan penjelasan Said Sabiq bahwa apabila salah seorang dari dua pihak yang akan melakukan akad nikah ghaib (tidak bisa hadir), maka jalan keluarnya, di samping bisa dengan mengutus wakil, juga bisa dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya. 45 Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa esensi dari persyaratan bersatu majelis adalah menyangkut masalah keharusan kesinambungan antara ijab dan kabul. Konsekuensi dari pandangan ini, dua orang saksi tidak mesti dapat melihat pihak-pihak yang melakukan akad nikah. Ibnu Qudamah, salah seorang ahli fiqh dari kalangan Hambali dalam kitabnya al-mugni menegaskan keabsahan kesaksian dua orang buta untuk akad nikah, dengan alasan bahwa yang akan disaksikan adalah suara. 46 Di samping hal-hal tersebut di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi dalam pandangan mazhab Syafi’i ialah, bahwa masalah akad nikah mengandung arti ta’abbud yang harus diterima apa adanya. Oleh sebab itu, cara
45
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: PT Prenada Media, 2010), h. 4. 46
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, h. 5.
43
pelaksanaannya adalah masalah tauqifiyah, dalam arti harus terikat dengan pola yang telah diwariskan oleh Rasulullah untuk umatnya. Itulah sebabnya mengapa ijab dan kabul itu lafalnya harus seperti yang terdapat dalam nash, seperti lafal nikah atau tazwij, bukan lafal yang lain dengan jalan Qiyas. 47
47
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, h. 8.
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan, Secara yuridis baru diakui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 dengan dikeluarkannya surat keputusan No.24 Stb.1882 No.152.Lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollen Hoven dan Snouck Hurgroje dengan teori Receptie, keberadaan Peradilan Agama mulai digugat yang menganggap Stb.1882 No.152 adalah suatu kesalahan. Yang pada intinya diganti 262 yang berisikan “memperhatikan Undang-Undang Agama”. 1 Setelah Indonesia merdeka, Presiden mempertegas lewat Peraturan Preseiden No.2 Tanggal 10 Oktober 1945 dalam pasal I, dijelaskan: segala badanbadan Negara yang ada sampai berdirinya Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar, maka tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah Jakarta terdapat tiga kantor cabang, yaitu: a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah c. Kantor Agama istimewa Jakarta Raya sebagai Induk.
1
Dadang Muttaqien, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor -3-tahun-2006.html
43
44
Ketiga kantor cabang di atas termasuk ke dalam wilayah yurisdiksi hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Pada tanggal 16 Desember 1976, istilah Mahkamah Islam Tinggi berkembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama atas surat keputusan Menteri Agama No.71 Tahun 1976, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Agar Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa terbentuklah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai perkembanagan masyarakat Jakarta. Kantor Pengadilan Agama selalu mengalami perpindahan tempat. Tahun 1976 kantor cabang Pengadilan Agama pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi masjid Syarif Hidayatullah dimana sebutan cabang itu dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1 Hal ini atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs.H.Muhdi Yasin, 2 namun penetapan kantor di serambi masjid ini tidak bertahan lama hanya sampai tahun 1979. Pada bulan September Tahun 1979 kantor Pengadilan Agama dipindahkan kembali di gedung baru jalan Ciputat Raya Pondok Pinang dengan status milik PGAN Pondok Pinang yangdipimpin oleh Bapak H.Alim BA, kemudian pindah lagi ke Jalan Rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan
1
Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net. 2
Media Informasi dan Transafaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan,diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melalui http://www.pajakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html
45
yang diketuai oleh Drs.H.Djabir Manshur,SH. 3 Di mana gedung ini merupakan hibah dari PEMDA DKI Jakarta. Dan pada akhirnya berpindah terakhir di Jalan R.M Harsono RT 07/05 Ragunan Jakarta Selatan di mana gedung ini merupakan gedung termewah dan terbesar di bandingkan kantor Pengadilan Agama lainnya di Jakarta. Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representative tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan IT yang sudah semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang tugas pokok, seperti Program SIADPA yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari situs Web pa-jakartaselatan.go.id. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
menyebutkan di dalam pasal 24 ayat 2 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung bersama dengan badan Peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum. PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) dan Peradilan Militer merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang yang beragama Islam. 4
3
Media Informasi dan Transafaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan,diakses pada tanggal 13 Maret 20114melalui http://www.pajakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html 4
Admin, PA Jak-Sel,”Struktur Organisasi” artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasi-pa-jaksel.html
46
Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan Pengadilan tingkat pertama yang bertugas dan berwewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang yang beragama Islam dalam bidang yakni, perkawinan, waris, hibah, zakat, infak sedekah dan ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Pasal 49 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Disamping itu tugas pokok yang dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai Fungsi, yaitu: 1. Fungsi mengadili (judicial power), yaitu: menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama di tingkat pertama, (vide: Undang-Undang No.3 Tahun 2006). 2. Fungsi Pembinaan, yaitu: memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada pejabat Struktural dan Fungsional di bawah jajarannya baik yang meliputi masalah teknis judikal, administrasi Peradilan maupun administrasi umum atau perlengkapan, keuangan kepegawaian dan pembangunan. 3. Fungsi Pengawasan, yaitu: madilan dengan mengadakan, pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. (vide: Undang-Undang No.3 tahun 2006 pasal 53 ayat 1 dan 2 serta terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan.( vide:KMA No.KMA/080/VII2006).
47
4. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta. (vide: Undnag-undang No.3 Tahun 2006 pasal 52 ayat 1). 5. Fungsi Administrasi, yaitu menyelenggarakan adminitrasi Peradilan (teknis dan persidangan) dan administrasi Umum (kepegawaian, keuangan, dan umum atau perlengkapan,(vide.KMA NO.KMA/080/VII 2006). 6. Fungsi lainnya yaitu melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti :Depag, MUI, Ormas Islam dan Lain-lain.(vide: Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 pasal 52A). Pelayanan penyuluhan hukum dan pelayanan riset atau penelitian dan sebagainya serta memberikan akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi Peradilan seperti sekarang ini sepanjang diatur di dalam keputusan Ketua Mahkamah Agung keterbukaan informasi di Pengadilan. B. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut: 1) Undang-Undang dasar 1945 pasal 24 2) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 3) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 4) Undang-Undang nomor 7 tahun 1989
48
5) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 6) Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 7) Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI 8) Instruksi Dirjen Bimas Islam/Bimbingan Islam 9) Keputusan Menteri Agama RI nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan 10) Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata kerja dan wewenang PengadilanAgama C. Visi dan Misi Pengadilan Agama Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu ujung tombak dari Mahkamah Agung RI, maka sebagai Lembaga Negara pemegang kekuasaan yudikatif, tentu mempunyai visi yang tidak jauh beda dari visi Mahkamah Agung RI, yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang: a) Mandiri b) Efektif dan efisien c) Mendapatkan kepercayaan publik d) Profesional dan memberikan layanan hukum yang berkualitas e) Etis f)
Terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat
g) Mampu menjawab pelayanan panggilan publik Untuk mencapai visi tersebut di atas maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai misi sebagai berikut: 1.
Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam masyarakat.
49
2.
Mewujudkan institusi peradilan agama yang mandiri dan independen, bebas campur tangan dari pihak lain.
3.
Meningkatkan
akses
pelayanan
di
bidang
Peradilan
kepada
masyarakat sejalan dengan penggunaan teknologi informasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 4.
Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan dengan mendayagunakan secara maksimal saran dan prasarana dan anggaran yang tersedia bagi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
5.
Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat serta dihormati dengan meningkatakan dedikasi dan integritas seluruh Sumber Daya Manusia yang tersedia di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NO. 1751/P/1989/PAJS
A. Duduknya Perkara Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan sehingga terbentuk rumah tangga yaitu berkumpulnya dua insan yang berlainan jenis (suami-istri), mereka saling berhungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yan berlaku. 1 Perkawinan yang sah menurut Undang-undang perkawinan yaitu perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu. Perkawinan harus dihadiri oleh kedua calon mempelai, saksi, wali dan harus ada ijab dan kabul. Perkara yang diajukan oleh pihak yang terkait berbentuk surat permohonan, adapun pengertiannya surat permohonan itu ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan kepada Pengadilan tapi tidak ada lawan. 2 Mengenai posita atau duduk perkara dalam surat pengajuan permohonan tertanggal 15 Desember 1989 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006), h. 1. 2
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 64.
53
54
Agama Jakarta Selatan, nomor : 1751/P/1989/PAJS telah mengajukan pokokpokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon telah menikahkan anaknya yang bernama: Dra. Nurdiani binti Prof. Dr. H. Baharuddin Harahap, umur 29 tahun, agama Islam, alamat Jalan Sungai Sambas II/5 Rt. 001/05 Kel. Kramat Pela, Kec. Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, pada tanggal 13 Mei 1989 dengan seorang laki-laki bernama: Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Dosen Universitas Terbuka, alamat Cipinang Lontar Rt. 008/09. 2. Bahwa yang bertindak selaku wali adalah Pemohon sendiri, dengan mas kawin seperangkat alat solat gelang emas seberat 10 gram. 3. Bahwa sewaktu pernikahan, bertindak sebagai Saksi I ialah: Abdullah Sa’ad dari pihak perempuan dan Saksi II ialah Sunaryo dari pihak lakilaki. 4. Bahwa pernikahan dilakukan di Indonesia. 5. Bahwa selama perkawinannya antara mempelai perempuan dan mempelai laki-laki belum pernah bercerai. 6. Bahwa antara mempelai perempuan dan mempelai laki-laki sebelum menikah tidak ada hubungan sepersusuan dan kekerabatan. 7. Bahwa permohonan dimaksud untuk keperluan mendapatkan kutipan nikah di KUA Kecamatan Kebayoran Baru. 3
3
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 1.
55
8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar memberikan penetapan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan Pemohon b. Menetapkan sah nikah antara mempelai perempuan (Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin) dengan mempelai laki-laki (Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo) c. Membayar biaya perkara ini sesuai denga ketentuan yang berlaku d. Dan atau memberikan putusan yang seadil-adilnya Menimbang, bahwa Pemohon di muka persidangan telah melengkapi dengan keterangan serta mengajukan bukti-bukti berupa: 1. Surat keterangan Lurah tertanggal 14 Desember 1989 Nomor : 480/I.7552/1989. 2. Foto copy model A (Daftar Pemeriksaan Nikah) 3. Kaset rekaman jalannya upacara pernikahan. 4. Menghadapkan saksi pelaku kedua mempelai dan saksi-saksi serta buktibukti yang ada kaitannya dengan pernikahan tersebut. 4 Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadapkan saksi-saksi baik yang berada di Jakarta maupun di Amerika Serikat dan mereka itu ialah: 1. H. Sofwatul Anam dari Kasi Urais, selanjutnya disebut Saksi I 2. Dra. Nurdiani Harahap, mempelai perempuan selanjutnya disebut Saksi II
4
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 2.
56
3. H. Abdurrahman, mantan Kepala KUA Kebayoran Baru selanjutnya disebut Saksi III 4. H. Numilah BA, Ibu dari mempelai perempuan selanjutnya disebut Saksi IV 5. Drs. Soeroso D, Ayah mempelai laki-laki selanjutnya disebut Saksi V 6. Abdullah Sa’ad saksi formil pernikahan selanjutnya disebut Saksi VII 7. Sunaryo saksi formil pernikahan selanjutnya disebut Saksi VIII 8. Drs. Ario Sutarto mempelai laki-laki selanjutnya disebut Saksi IX 9. Arief Datoem saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi X 10. Sumardi saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi XI 11. Herdi Nurwanto saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi XII 5 Bahwa Pemohon menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki, melalui telepon asal mulanya sebagai berikut: 1. Bahwa calon mempelai perempuan anak Pemohon dengan Drs. Ario Sutarto calon mempelai laki-laki telah menjalin hubungan cinta, kemudian calon mempelai laki-laki pergi tugas belajar ke Amerika dan belum sempat menikah. 2. Bahwa setelah beberapa tahun di Amerika pihak laki-laki ingin segera dilaksanakan pernikahannya, dan demikian juga pihak perempuan akan tetapi masing-masing pihak tidak ada biaya untuk pulang dan pergi ke Amerika, lebih-lebih ditambah biaya wali untuk mengijabkan. Dan
5
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 5.
57
ditambah pihak laki-laki apabila pulang ke Indonesia akan habis masa tugas belajarnya. 6 Karena adanya hal demikian, orang tua/ Pemohon mendaftarkan pernikahan anaknya tersebut dengan calon suami yang berada di Amerika. Karena menurut Kantor Urusan Agama dengan taukil bisa dilaksanakan walaupun tanpa hadir calon mempelai laki-laki. 7 Bahwa pernikahan kurang dari 4 hari lagi, surat taukil belum ada, padahal pihak orang tua calon mempelai perempuan telah mengundang walimah. Bahwa surat menyurat telah berlangsung antara wali dengan calon mempelai laki-laki, mengenai surat taukil tersebut. Akan tetapi surat taukil tersebut setelah hampir dilaksanakannya pernikahan belum juga ada dan yang dikirim bukan surat taukil, akan tetapi surat kuasa menandatangi akta nikah. Bahwa untuk mengatasi kemelut tersebut orang tua mempelai perempuan berinisiatif bahwa ijab dan kabul melalui telepon saja tanpa surat taukil. Pihak orang tua mempelai perempuan menelepon calon mempelai laki-laki supaya nanti tanggal 13 Mei 1989, kurang lebih pukul 22.00 WIB, mempelai laki-laki memasang telepon, karena ijab akan dilaksanakan melalui telepon. Dan Pemohon memintak kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru untuk melakukan pernikahan tanpa surat taukil melalui telepon. 8
6 7
8
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 3. Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 3. Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 3.
58
1. Tentang Hukumnya Menimbang, bahwa isi dan maksud dari permohonan Pemohon pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas. Menimbang, bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan pada tanggal 3 Mei 1989 telah diperiksa dan dicatat dalam daftar pemeriksaan nikah model A dengan No: 12/5/V/1989 - No: D/V/8596/696/III/1989. Menimbang, bahwa pihak PPN/KUA Kecamatan Kebayoran Baru menghendaki adanya surat “TAUKIL” dari pihak mempelai laki-laki Drs. Ario Sutarto bin Soeroso Darmo Atmodjo yang ada di Amerika Serikat sampai menjelang pelaksanaan nikah tidak terpenuhi selanjutnya, akad nikah dilakukan secara langsung oleh pihak wali nikah dengan mempelai laki-laki. 9 Menimbang, bahwa Pemohon telah menikahkan anaknya yang bernama Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin Harahap dengan seorang laki-laki bernama Drs. Ario Sutarto bin Soeroso Darmo Atmodjo pada tanggal 13 Mei 1989 dengan wali, Pemohon sendiri, maskawin berupa seperangkat alat solat dan gelang emas 10 gram tunai serta disaksikan oleh H. Abdullah Sa’ad dengan Sunaryo. Menimbang bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan dengan ijab oleh wali Ayah Kandung (Pemohon) dari mempelai perempuan yang berada di Jakarta dan kabul dilakukan sendiri oleh mempelai laki-laki (Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo) yang berada di Bumington, Amerika Serikat melalui telepon.
9
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 7.
59
Menimbang, bahwa yang menjadi titik persoalan adalah bahwa baik dalam persidangan maupun di luar persidangan ditemukan bahwa adanya pelaksanaan akad nikah tidak di satu tempat melaikan di dua tempat yang berjauhan yaitu mempelai perempuan dan walinya selaku yang mengijabkan di Jakarta sedangkan mempelai laki-laki penerima mengucapkan qabul berada di Amerika Serikat. Oleh karena itu, Kepala KUA Kebayoran Baru tidak mau mengeluarkan dan memberikan buku nikahnya, kepada Pemohon sebagai bukti autentik atas pernikahan anaknya. 10 Menimbang, bahwa dalam persidangan telah didengan keterangan Saksi I di atas sumpahnya yang mengatakan bahwa ia telah melarang kepada Kepala KUA Kebayoran Baru untuk menikahkan serta melakukan pencatatan dan tidak benar ia telah mengizinkan sebagaimana yang dikatakan Pemohon dan Kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru tersebut. Menimbang, bahwa Majelis Hakim dapat menyimpulkan keterangan Saksi I, Saksi III dan Pemohon tentang boleh tidaknya menikahkan karena keterangan tersebut hanya menyangkut masalah tata kerja Pegawai Pencatat Nikah, bukan masalah sah dan tidaknya perkawinan. Menimbang, bahwa Allah telah menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang mulia, didasarkan atas kerelaan antara suami dengan isteri dan untuk mengetahui adanya kerelaan antara keduanya, maka diadakan apa yang dinamakan ijab dan kabul, jadi ijab dan kabul ini adalah penegasan dari adanya kerelaan. Juga harus disaksikan oleh saksi, yang
10
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 8.
60
menyaksikan bahwa antara laki-laki dan perempuan itu telah menjadi suami isteri. Dan laki-laki telah membayar mahar, dan juga dengan wali. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti rekaman kaset yang diperdengarkan di hadapan Majelis Hakim dan keterangan para saksi yang telah disumpah dari Saksi II sampai dengan Saksi XII dimana antara saksi satu dengang yang lainnya saling menguatkan dan antara para saksi yang berada di Jakarta dengan para saksi yang di Amerika Serikat saling membenarkan bunyi rekaman kaset dan kebenaran tentang adanya pernikahan antara Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo dengan Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin Harahap. Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti di atas telah terbukti pula bahwa pernikahan tersebut terdapat antara lain: a. Pendaftaran. b. Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. c. Wali mempelai perempuan. d. Dua orang saksi. e. Mahar. f. Adanya ijab dan kabul dari wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki. g. Adanya kerelaan/persetujuan kedua belah pihak. h. Telah tercapainya usia nikah bagi kedua mempelai. i. Tidak adanya larangan nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. 11
11
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 9.
61
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan Majelis hakim berpendapat bahwa pernikahan tersebut telah memenuhi syarat-syarat menurut hukum agama dan perundangan yang berlaku khususnya pasal 2 ayat 1 dan pasal 6 ayat 1, 7 dan 8 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 serta pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 PPRI No. 9 tahun 1975. Menimbang, bahwa ketidakhadiran secara fisik mempelai laki-laki di tempat mempelai perempuan atau walinya yang mengijabkan tidak mengurangi sahnya pernikahan berdasar dalil-dalil sebagai berikut: 1. Bahwa ijab dan kabul harus dalam satu majelis, dengan arti bahwa antara ijab dan kabul tidak disela-selai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah, atau sesuatu yang menurut ada dianggap telah tidak mau dan telah membela kepada hal-hal yang selain nikah, sesuai dengan ahli fiqh di dalam Fiqhus Sunan halaman 34 Jilid II. 2. Hadis Nabi yang berbunyi:
ِ َ َﻋﻦ ﻋ ْﻘﺒﺔَ ﺑ ِﻦ ﻋ ِﺎﻣ ٍﺮأَ ﱠن اﻟﻨِﱠﱯ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ ﻗ ﺿﻰ أَ ْن َ ﺎل ﻟَﺮ ُﺟ ٍﻞ أَﺗَـْﺮ َ ْ َ ُ َْ َ ﱠ َ ََ َْ ُ ِﺎل ﻟِﻠْﻤﺮأَة ِ ﲔ أَ ْن أ َُزﱢوﺟ َ ﺖ ﻧَـ َﻌ ْﻢ ﺿ ﺮ ـ ﺗ أ َ َﻚ ﻓَُﻼﻧَﺔَ ﻗ َ َ أ َُزﱢو َﺟ َ ْ َﻚ ﻓَُﻼﻧًﺎ ﻗَﺎﻟ َْ َ ْ ْ َ َ َﺎل ﻧَـ َﻌ ْﻢ َوﻗ ِ ِ ﻓَـﺰﱠوج أَﺣ َﺪ ُﳘﺎ ﺻ َﺪاﻗًﺎ َوَﱂْ ﻳـُ ْﻌ ِﻄ َﻬﺎ ْ ﺻﺎﺣﺒَﻪُ ﻓَ َﺪ َﺧ َﻞ ﻬﺑَﺎ اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ َوَﱂْ ﻳَـ ْﻔ ِﺮ َ َ َ َ َ َ ض َﳍَﺎ َﺷْﻴﺌًﺎ َوَﻛﺎ َن ِﳑ ْﱠﻦ َﺷ ِﻬ َﺪ ا ْﳊُ َﺪﻳْﺒِﻴَﺔَ َوَﻛﺎ َن َﻣ ْﻦ َﺷ ِﻬ َﺪ ا ْﳊُ َﺪﻳْﺒِﻴَﺔَ ﻟَﻪُ َﺳ ْﻬ ٌﻢ ِﲞَْﻴﺒَـَﺮ ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ِ ِ َ ﺎل إِ ﱠن رﺳ َ َﺣ َ ﻮل اﻟﻠﱠﻪ ْﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َزﱠو َﺟ ِﲏ ﻓَُﻼﻧَﺔَ َوَﱂ ُ َ َ َﻀَﺮﺗْﻪُ اﻟْ َﻮﻓَﺎةُ ﻗ ِ ﺻ َﺪاﻗِ َﻬﺎ ﺻ َﺪاﻗًﺎ َوَﱂْ أ ُْﻋ ِﻄ َﻬﺎ َﺷْﻴﺌًﺎ َوإِ ﱢﱐ أُ ْﺷ ِﻬ ُﺪ ُﻛ ْﻢ أ ﱢ ْ أَﻓْ ِﺮ َ ض َﳍَﺎ َ َﱐ أ َْﻋﻄَْﻴﺘُـ َﻬﺎ ﻣ ْﻦ ِ ِ ٍ ْﺎﻋْﺘﻪُ ﲟِِﺎﺋَِﺔ أَﻟ ﻒ ْ َﺧ َﺬ َ َت َﺳ ْﻬ ًﻤﺎ ﻓَـﺒ َ َﺳ ْﻬﻤﻲ ﲞَْﻴﺒَـَﺮ ﻓَﺄ Artinya: dari Uqbah bin Amir R.A sesungguhnya Nabi S.A.W berkata kepada seorang lelaki, “Apakah kamu rela saya kawinkan dengan perempuan anu ?”. Lelaki menjawab: “Ya”. Rasulullah S.A.W bertanya
62
kepada perempuan: “Apakah kamu rela saya kawinkan dengan lelaki anu?”. Dia menjawab: “Ya”. Akhirnya lelaki itu menjadi suaminya, lalu masuk kepada perempuan itu sebelum ditentukan maskawinnya dan belum memberi sesuatu. Dia termasuk orang yang ikut perdamaian Hudaibiya dan orang yang mengikutinya akan mendapatkan bagia tanah di Khoibar. Ketika menjelang kematian , dia bilang: “Sesungguhnya Rasulullah S.A.W mengawinkan aku dengan perempuan anu dan aku belum menentukan maskawinnya, aku tidak memberinya sesuatu, aku menyaksikan kepadamu bahwa aku memberinya bagianku di tanah Khoibar”. Dia mengambil bagian tersebut lalu dijual dengan harga seratus ribu. Hadist ini menunjukan bahwa dua orang tersebut diwakili oleh Nabi, akan tetapi keduanya tidak menyuruh Nabi untuk mewakili. Terbukti hal-hal yang berkenaan dengan mahar belum ditentukan dan perkawinan itu adalah kehendak Nabi. Karena dua orang suami isteri tersebut telah ditanya terlebih dahulu, maka berarti ijab dan kabulnya telah dilakukan sebelumnya, yang berarti merupakan kesepakatan saja. Nabi hanya menguatkan saja. 12 Itu semua berarti bahwa pelaksanaan nikah tidak ada hal-hal yang bersifat Ta’abbudy, tapi caranya bermacam-macam. Oleh karena itu apabila perkawinan itu sudah memenuhi syarat adanya: 1. Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. 2. Antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan bukan muhrim (bukan orang yang diharamkan). 3. Antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan sama-sama rela. 4. Kalau di Indonesia ditambah wali. 5. Dilengkapi dengan pembayaran mahar dari suami (laki-laki). 6. Dan juga didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur UndangUndang. 12
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 10.
63
7. Dengan ijab kabul, maka perkawinan tersebut telah sah. 13 Menimbang bahwa perkawinan antara Saudari Nurdiani Harahap dengan Saudara Ario Sutarto tersebut mulai dari No. 1 sampai dengan No. 7 adalah terpenuhi semuanya. Menimbang bahwa waktu ijab dan kabul antara pihak perempuan dengan laki-laki adalah secara langsung, bukan hanya sekedar diwakili dan secara jelas telah didengar oleh para yang hadir, Kepala Kantor Urusan Agama, dan para saksi ijab dan saksi kabul. Menimbang, bahwa patut dipertimbangkan pula bunyi rekaman kaset upacara pernikahan yang berisi kalimat-kalimat Allah yang wajib diucapkan oleh setiap orang yang mengaku dirinya muslim dalam mengiringi setiap perbuatan baik, yang dalam hal ini untuk mengantarkan jalannya upacara akad nikah. 14 Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Pemohon tersebut harus diterima dan dikabulkan dan biaya perkara dibebankan terhadap Pemohon. Mengingat dan memperhatikan dalil-dalil syar’i dan pasal-pasal dari Undang-Undang yang bersangkutan khususnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo Undang-Undang No. 7 tahun 1979 tentang perkara ini. 15
13
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 10.
14
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 11.
15
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 11.
64
1. Menetapkan Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menetapkan sah nikah antara Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin Harahap, dengan Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo yang dilakukan pada tanggal 13 Mei 1989. 3. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 111.500,- (seratus sebelas ribu lima ratus rupiah). 16
C. Analisis Penulis Adapun fakta yang terungkap di persidangan, berdasarkan keterangan Pemohon yang disertakan dengan saksi-saksi dan barang bukti yang ada bahwa Pemohon terbukti melakukan perkawinan melalui telepon. Adapun Saksi-saksi yang telah menyaksikan perkara tersebut adalah : 1) H. Sofwatul Anam dari Kasi Urais, selanjutnya disebut Saksi I 2) Dra. Nurdiani Harahap, mempelai perempuan selanjutnya disebut Saksi II 3) H. Abdurrahman, mantan Kepala KUA Kebayoran Baru selanjutnya disebut Saksi III 4) H. Numilah BA, Ibu dari mempelai perempuan selanjutnya disebut Saksi IV 5) Drs. Soeroso D, Ayah mempelai laki-laki selanjutnya disebut Saksi V 6) Abdullah Sa’ad saksi formil pernikahan selanjutnya disebut Saksi VII 7) Sunaryo saksi formil pernikahan selanjutnya disebut Saksi VIII 16
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 12.
65
8) Drs. Ario Sutarto mempelai laki-laki selanjutnya disebut Saksi IX 9) Arief Datoem saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi X 10) Sumardi saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi XI 11) Herdi Nurwanto saksi di Amerika selanjutnya disebut Saksi XII 17 Adapun barang bukti yang diajukan ke persidangan adalah : 1) Surat keterangan Lurah tertanggal 14 Desember 1989 No. 480/l.7552/1989. 2) Foto copy Model A (daftar pemeriksaan nikah). 3) Kaset rekaman jalannya upacara pernikahan. 4) Menghadapkan saksi pelaku kedua mempelai dan saksi-saksi serta buktibukti yang ada kaitannya dengan pernikahan tersebut. 18 Berdasarkan semua fakta di atas, terlah terungkap di persidangan, maka dapat dianalisis bahwa kejadian perkawinan melalui telepon yang dilakukan oleh Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin sebagai mempelai perempuan dan Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo dapat dikategorikan sebagai permohonan itsbat nikah. Ada 2 (dua) pilar utama dalam hukum yang dapat dijadikan tolak ukur terhadap putusan hakim, yaitu : 1) Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kegunaan hukum; 2) Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kepastian hukum; Dalam kerangka berfikir hukum, tentunya kedua aspek tersebut tidak bisa dipisahkan oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara, maka suatu proses 17
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 5.
18
Surat putusan No. 1751/P/1989 PAJS. h. 2.
66
hukum dalam perkara tersebut haruslah mengungkapkan sedalam-dalamnya tentang fakta yang telah terjadinya suatu perkawinan melalui telepon dan pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan hakim. Untuk itulah, dalam kajian putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 yang memfokuskan pada penilaian tentang fakta persidangan dan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut dengan mengacu pada tiga tolak ukur tersebut. 1. Aspek kegunaan hukum Aspek kegunaan hukum adalah terwujudnya ketertiban, maka berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat dapat terpenuhi. Untuk mewujudkan
ketertiban
manusia
memunculkan
keharusan-keharusan
berperilaku dengan cara tertentu yang harus dirumuskan. Ketertiban yang diperlukan manusia adalah ketertiban yang autentik menciptakan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa yang secara bebas dikehendakinya. Dengan adanya aspek tersebut sehingga Dra. Nurdiani Harahap binti Prof. Dr. H. Baharuddin sebagai mempelai perempuan dan Drs. Ario Sutarto bin Drs. Soeroso Darmo Atmodjo dengan sengaja melakukan perkawinan melalui telepon sehingga melanggar rukun perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14, dimana Kompilasi Hukum Islam tersebut ialah aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka menjaga tata tertib umat Islam dan mempermudah dalam melakukan kewajibannya.
67
Dengan adanya kegunaan hukum ini hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan banyak pertimbangan mengabulkan permohonan Pemohon yang bernama Prof. Dr. H. Baharuddin Harahap dengan berdasarkan dalil salah satunya, bahwa pernikahan harus berada dalam satu majelis, dengan arti ijab dan qabul tidak boleh disela-selai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah. 2. Aspek kepastian hukum Kepastian memiliki arti ketentuan dan ketetapan. Sedangkan kepastian hukum memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989, apa yang diajukan oleh Pemohon, yaitu mengajukan permohonan itsbat nikah. Pemohon menikahkan anaknya melalui telepon, perkara tersebut bertentangan dengan Pasal 14 KHI tentang rukun dan syarat perkawinan. Walaupun demikian tetap hakim Pengadilan Agama mentolerir akan perkara perkawinan melalui telepon dengan alasan kedua calon mempelai sudah jelas dan memenuhi syarat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang terdahulu, Penulis mengangkat beberapa kesimpulan : 1. Dalam hukum Islam, perkawinan yang calon suaminya tidak berada satu majelis itu tidak sah menurut Imam Syafi’i. Karena tugas para saksi harus dapat melihat kedua orang yang mengakadkan nikah, atau al-mu’ayanah dalam arti berhadap-hadapan secara fisik. Untuk itu disyaratkan bersatu majelis
di
samping
mengandung
pengertian
untuk
menjamin
kesinambungan ijab dan kabul, juga mengandung pengertian bersatu tempat, karena dengan itu pesyaratan dapat melihat berhadap-hadapan secara fisik atau al-mu’ayanah dapat diwujudkan. 2. Menurut pandangan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan perkawinan melalui telepon di dalamnya terkandung kaidah ushul fiqih mengenai konsep taghayyur al ahkam yang diterapkan sepanjang tidak merubah maqhasid syari’ terhadap aturan nikah tentang akad nikah. Yang terpenting harus jelas calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan dan sudah memenuhi syarat, karena semua rukun harus memenuhi syarat. Ijab qabul termasuk rukun nikah dan syarat ijab qabul itu harus jelas dan tidak ada pemahaman lain terkecuali itu, sepanjang semua itu terpenuhi tidak mengganggu aturan nikah. Bersatu majelis itu termasuk ke dalam akad nikah bukan untuk rukun nikah, memang pihak pengadilan bisa mentolerir
68
69
hal semacam itu tetapi jangan sampai disalahgunakan. Yang dimaksud oleh Pasal 14 KHI mengenai rukun nikah salah satunya ialah kedua mempelai sudah jelas dan memenuhi syarat.
B. Saran-Saran Dalam mencegah terjadinya peristiwa perkawinan melalui telepon karena perkembangan zaman. Oleh karena itu, penulis menanggapi hal tersebut akan memberikan saran-saran yang Insya Allah bermanfaat, adapun saran-saran yang ingin penulis ungkapkan sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah diharapkan agar mampu membuat aturan yang lebih jelas lagi supaya dapat membantu para hakim dalam menyelesaikan perkaraperkara yang masuk ke pengadilan dan diharapkan pula mampu membuat aturan sebelum kasus tersebut terjadi. 2. Bagi umat Islam harus bisa menyikapi dengan baik dengan adanya aturan rukun nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan menjadi kompetensi Peradilan Agama di Indonesia sebagaimana yang tertuang pada Pasal 14 yang salah satu rukunnya harus ada calon laki-laki dan calon perempuan. 3. Para hakim dalam memberikan putusan harus sesuai dengan hukum yang berlaku baik dari al-Qur’an dan Hadist maupun dari sumber hukum yang lain. Namun jangan sampai para Pemohon / Penggugat menyalahgunakan putusan yang telah hakim berikan dan mempengaruhi masyarakat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Tarjamah Admin. PA Jak-Sel. ”Struktur Organisasi” artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasipajaksel.html Alhamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani. 1985. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Putusan No. 1751/P/1989 PA.JS Asmawi, Mohammad. Nikah. Yogyakarta: Darussalam. 2004. Aziz Muhammad Azzam, Abdul. dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. 2009. Dadang Muttaqien. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014. Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam “Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam”. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan di Indonesia Jakarta: PT Prenada Media, 2007. Durachman, Budi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media, 2007. Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”. Jakarta: PT Prenada Media. 2010. Ghazaly, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Bogor: PT Prenada Media. 2003. http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3-tahun-2006.html Ibnu Hajar Al- Asqalani, Al- Hafidz. Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad Ibnu ALI. Muhammad Khuzainal Arif. Jakarta: Pustaka assunnah, 2007.
70
71
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006. Media Informasi dan Transafaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melalui Ni’am Sholeh, Asrorun. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS. 2008. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003. Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. 1978. Sahrani, Sobari. dan M.A. Tihami. Fikih Munakahat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009. Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Beirut. Lebanon: Dar Al-kitab Al-Arobi, 1973.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008. Sayed Usman.”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net. Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1994. Taimiyah, Syaikh Ibnu. Majmu’ Fatawa Tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1996. Yusipa, Dede. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference. Skripsi. 2010.
DAFTAR PUSTAKA
1) Buku Alhamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani. 1985. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Putusan No. 1751/P/1989 PA.JS Asmawi, Mohammad. Nikah. Yogyakarta: Darussalam. 2004. Aziz Muhammad Azzam, Abdul. dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. 2009. Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam “Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam”. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan di Indonesia Jakarta: PT Prenada Media, 2007. Durachman, Budi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media, 2007. Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”. Jakarta: PT Prenada Media. 2010. Ghazaly, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Bogor: PT Prenada Media. 2003. Ibnu Hajar Al- Asqalani, Al- Hafidz. Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad Ibnu ALI. Muhammad Khuzainal Arif. Jakarta: Pustaka as- sunnah, 2007. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006. Ni’am Sholeh, Asrorun. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS. 2008. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003. Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. 1978.
Sahrani, Sobari. dan M.A. Tihami. Fikih Munakahat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009. Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Beirut. Lebanon: Dar Al-kitab Al-Arobi, 1973.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008. Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1994. Taimiyah, Syaikh Ibnu. Majmu’ Fatawa Tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1996. Yusipa, Dede. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference. Skripsi. 2010. 2) Website Admin. PA Jak-Sel. ”Struktur Organisasi” artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasipajaksel.html. Media Informasi dan Transafaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 13 Maret 2014. Sayed Usman.”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net. Dadang Muttaqien. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014. http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html. http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3-tahun-2006.html.
Wawancara Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Bapak Azhar Mayang pada tanggal 11 April 2014 pada jam 11.10 - 11.34 WIB Pertanyaan: Menurut bapak hakim bagaimana hukum akad nikah melalui telepon ? Jawaban: Ya itu sah sah saja selagi masih dalam garis hukum yang ada, dalam artian hukum Islam dan hukum positif. Karena dalam hukum Islam ada istilah Ittihadul Majelis yang artinya satu majelis. Satu majelis disini adalah tidak boleh ada jeda antara Ijab dan kabul dan ada juga yang mengartikan akad nikah harus berada dalam satu tempat, itu semua tergantung pendapat dan keyakinan yang melaksanankan saja. pertama yang harus dipahami adalah dasar satu majelis ialah konsep taghayyur al ahkam selama tidak mengubah maqasidus syari' terhadap aturan nikah, yang penting jelas siapa mempelai pria dan mempelai wanitanya selagi keduanya memenuhi syarat. Dan pada saat ijab kabul harus jelas, tidak ada pemahaman lain selain itu. Jadi dengan cara apapun tetapi masih bisa memenuhi syarat, boleh saja sepanjang kriterianya memenuhi syarat. Pertanyaan: Apa dasar hukum yang dipakai hakim dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon ?
Jawaban: Dasar hukum yang dipakai hakim ya itu tadi, Ittihadul Majelis yang tidak ada jeda antara ijab dan kabul keduanya harus dalam satu nafas atau tidak ada kata – kata kecuali yang berbau pernikahan, itu saja. Pertanyaan: Dalam KHI Pasal 14 terdapat rukun nikah yang mengharuskan adanya kedua mempelai, apakah yang dimaksud disini harus berada dalam satu tempat atau tidak ? Jawaban: kan begini calon mempelai itu harus memenuhi syarat dimanapun dia berada, misalkan si A di sukabumi si B di Jakarta tidak satu tempat tidak masalah yang penting si A disana tidak dalam kondisi yang menyebabkan dia dilarang menikah dengan si B, kan tidak ada kaitannya yang ada kaitanya dengan satu majelis itu adalah akadnya. Pertanyaan: Menurut Bapak Hakim, yang dimaksud dengan satu majelis dalam akad nikah ? Jawaban: Bahwa ijab dan qabul harus dalam satu majelis itu sudah jelas, yang dimaksud satu majelis adalah antara ijab dan qabul tidak disela – selai dengan perkataan yang bukan
berkenaan dengan nikah seperti yang dimaksud oleh Imam Syafi’i, atau sesuatu yang menurut adat dianggap telah tidak mau dan telah membelah kepada hal – hal yang lain selain nikah sesuai dengan ahli fiqih di dalam Fiqhus Sunah.