2011/08/19 14:54 WIB - Kategori : Attend
Profil PPS Belawan
Suatu waktu di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, terik matahari seakan menikam batok kepala. Para pekerja pria berkulit legam tampak menguras isi palka Kapal Motor (KM) Rejeki. Berton-ton ikan pelbagai jenis dimasukan ke dalam keranjang untuk ditimbang. Seusai dihitung berat (dalam kilogram) keranjang berisi ikan itu dinaikan ke atas mobil bak terbuka. Mobil melaju ke tempat pernyortiran dalam hanggar dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, Medan, Sumatera Utara. Di salah satu sudut PPS Belawan, puluhan perempuan pekerja lepas terlihat sibuk memilah-milah ikan sesuai jenis dan ukurannya. Mereka menempatkan ikan-ikan itu pada kotak plastik besar yang sudah terisi es. Kesibukan paruh waktu (sekitar empat jam) kaum ibu ini dapat memberi tambahan ekonomi bagi keluarganya. "Ikan-ikan ini akan dijual ke pasar. Kami bekerja berkelompok, enam sampai delapan orang. Kegiatan menyortir ikan ini mendapat upah sedikitnya Rp 20.000. Dalam sebulan kami bekerja dua puluh hari, itu pun kalau ada bongkar ikan," tutur Midah boru Lubis, ibu tiga anak. Awal November sampai penghujung Desember 2008, cuaca kurang bersahabat bagi nelayan. Musim angin barat dan gelombang tinggi menyulitkan nelayan mencari ikan, sehingga tidak banyak yang mendaratkan ikannya. Mereka melaut hingga dua puluh hari. Akibatnya, Midah dan sejumlah ibu lainnya bekerja tidak menentu.
Posisi Strategis PPS Belawan terletak pada posisi yang cukup strategis, berada di antara perairan pantai timur Sumatera dan Selat Malaka. Juga berada di perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dan Laut Cina Selatan, yang merupakan pintu masuk bagi kegiatan ekonomi beberapa negara di Asia .
Namun, potensi yang besar ini belum dimanfaatkan secara optimal. Kesemerawutan nampak sekali dalam areal dermaga ini. Tangkahan-tangkahan (pendaratan) ikan yang dikuasai oleh pemiliknya (kalangan pengusaha ikan) terkesan eksklusif atau tertutup, bahkan juga terhadap instansi terkait. Kegiatan tangkahan ikan ini sulit dimonitor, misalnya berapa banyak hasil tangkapan ikan yang didaratkan, begitu pula jenis ikannya. Laporan maupun data tidak gampang diperoleh. Mereka enggan memberitahu kepada aparat berwenang tentang data hasil tangkapan yang didaratkan di dalam tangkahan. “Kalau bapak mau tanya berapa banyak ikan yang didaratkan ini, sebaiknya tanya sama tauke (pemilik) saja di Medan ,” ujar Surya,
staf usaha pengumpul ikan. Padahal, semua tahu, para tauke pun tak akan mau terbuka.
Hal sama dikatakan Ahong, pemuda yang menjadi staf sebuah usaha perikanan di Medan. Perusahaan ini menyediakan kapal penangkap ikan lengkap dengan peralatannya, serta kebutuhan awaknya, termasuk pasokan BBM, es balok, dan konsumsi untuk melaut menangkap ikan. Ahong bertugas mencatat dan menyediakan semua keperluan itu sebelum kapal berangkat ke laut, juga mencatat ketika ikan hasil tangkapan dibawa kapal yang baru datang dan bersandar di pelabuhan. Dia tak bersedia memberi penjelasan tentang catatan maupun hitung-hitungan yang dikerjakannya. Tauke maupun orang kepercayaannya tampak sibuk di tempat pelelangan ikan (TPI) di areal PPS yang fungsinya hanya sebagai tempat menjual ikan, bukan pelelangan seperti pada umumnya dilakukan di TPI. Pembeli untuk industri olahan dan pedagang memang datang menawar berbagai jenis ikan segar. Kadang ramai kalau banyak ikan, sering juga sepi karena pasokan ikan hanya sedikit. Ada belasan tangkahan yang beroperasi di dalam kawasan PPS ini. Namun, pelataran dermaga terkesan kumuh. Genangan air berwarna hijau dan berlumut, plastik yang bertebaran, dan sisa ikan menebar aroma tidak sedap. Jika air laut surut terlihat jelas endapan gumpalan lumpur bercampur sampah berwarna pekat kecokelatan. Ketika laut pasang, seluruh pelataran dermaga tergenangi air laut. Melihat kenyataan ini, tentunya menjadi tugas utama bagi Kepala PPS Belawan Asifus Zahid beserta jajarannya untuk segera berbenah. Sebagai pelabuhan perikanan bertaraf samudera, pelbagai fasilitas untuk menunjang kegiatan yang berorientasi komoditas ekspor, seharusnya mendapat prioritas dalam pengembangan pembangunan fisik secara menyeluruh. Asifus yang baru beberapa bulan menjabat, bertekad memprioritaskan perbaikan dan pengembangan, serta pelayanan yang prima. Sedikitnya, dia mengaku, membutuhkan waktu 12 bulan untuk melakukan pembenahan serta perbaikan pelbagai persoalan yang dihadapi PPS Belawan, terutama mengenai data-data yang berkaitan dengan usaha atau produksi perikanan.
Para pengusaha di sini terkesan kurang transparan memberikan data sehingga pendataan menjadi kacau. “Kami akan mencoba membenahi persoalan data yang ngawur ini. Semua harus tertib dan terbuka. Ini untuk kepentingan dan kemajuan bersama,” ujar mantan Kepala PPS Kendari itu. PPS Belawan memang akan diwujudkan berstandar pelabuhan di Eropa. Standar ini penting, agar ikan hasil tangkapan nelayan bisa langsung diekspor ke Eropa dan negara lainnya tampa masalah. Untuk itu, lanjut Asifus, program yang akan dilaksanakan di antaranya adalah pengembangan fasilitas (sarana dan prasarana) pelabuhan dengan jumlah dan kapasitas yang memadai. Pembangunan pelabuhan diperlukan untuk menunjang usaha serta pengembangan perekonomian industri perikanan, baik hulu maupun hilir. Kemudian, diharapkan dapat meningkatkan produksi, pengolahan dan pemasaran produk perikanan yang berstandar internasional. Kegiatan operasional di PPS Belawan dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan. Namun, secara fluktuatif cenderung merosot di sektor pengolahan. Pada 2006 produksi ikan (lokal) mencapai 16.830 ton, pada 2007 meningkat menjadi 23.727 ton, namun tahun 2008 (sampai November) turun menjadi 19.685 ton.
Ekspor Meningkat
Asifus mengemukakan, volume ekspor tahun 2007 untuk ikan segar dan beku mencapai 11.382 ton. Ekspor tahun sebelumnya sebanyak 7.829 ton, sehingga ada peningkatan 3.553 ton (45,38 persen). Ikan mencukupi untuk dipasok antarpulau dan pasar lokal. Sedangkan yang ditolak pasar diolah menjadi tepung untuk pakan ternak.
Ikan yang memenuhi syarat diekspor ke Malaysia , Singapura, Jepang , Vietnam , Korsel, dan Tiongkok. Pada Juni-Agustus 2007, sempat masuk ikan dari Malaysia sebanyak 1.612 ton, antara lain kembung dan selayang, dengan harga lebih murah. Akibatnya, terjadi persaingan harga yang kurang sehat. Pengelola PPS akhirnya melarang ikan impor itu.
Di bidang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), pada 2006 senilai Rp 227.061.723, kemudian meningkat pada 2007 sebesar Rp 253.216.446. Tahun 2008 (data November) baru meraup Rp 236.901.654. PNBP diharapkan terus meningkat, apalagi jika pembenahan berjalan lancar. Produksi ikan, selain bersumber dari hasil tangkapan kapal-kapal ikan milik pengusaha yang ada dalam kawasan ini, juga berasal dari hasil pembelian dari nelayan mitra pengusaha. Jumlah ikan yang didaratkan selama 2007 tercatat 39.134 ton. Jika dibandingkan 2006 sebanyak 42.592 ton, berarti terjadi penurunan 3.458 ton atau 8,12 persen. Di PPS ini, lanjut Asifus, jumlah perputaran uang mencapai Rp 3,87 miliar per hari atau Rp 116 miliar per bulan atau sekitar Rp 1,4 triliun pada tahun 2007 saja. Perputaran uang ini bersumber dari kegiatan operasional kapal ikan, penyaluran perbekalan melaut (BBM, es balok, air bersih, dan ransum ABK), serta upah tenaga kerja, buruh, dan nelayan yang berjumlah 10.613 orang.
Terjadinya penurunan produksi ikan disebabkan faktor oceanografis, seperti musim angin, arus dan gelombang yang relatif besar pada bulan-bulan tertentu. Sehingga nelayan takut untuk melaut dan hal ini berdampak pada penurunan jumlah hasil tangkapan. “Kami akan bekerja keras untuk mewujudkan pelabuhan ini menjadi andalan ekspor produk perikanan di wilayah Sumatera Utara,” ujar Asifus.
Perbedaan Bobot Kapal
Hal itu juga menjadi keinginan Anton, pengusaha yang memiliki empat kapal berbobot di atas 60 gross tonage (GT), namun di badan kapalnya (KM Rejeki) tertulis ukurannya hanya 29 GT. Masalah perbedaan bobot kapal inilah antara lain yang akan ditertibkan oleh kepala PPS. Anton berharap, pemerintah segera membenahi panjang dan luas dermaga, juga pelbagai fasilitas pendukungnya, serta kemudahan dalam berusaha. “Kami optimistis PPS Belawan bisa menjadi andalan ekspor perikanan hasil pengolahan ke pasar global. Kami sangat mendukung,” katanya. Masalah ukuran bobot kapal penangkap ikan agaknya sudah menjadi rahasia umum. Hampir semua pemilik kapal memanipulasikannya. Kapal-kapal sengaja menurunkan ukuran di bawah 30 GT, agar dokumen perizinan dapat dikeluarkan di daerah, yakni dinas provinsi, kota atau kabupaten. Sedangkan, penerbitkan izin kapal di atas 30 GT merupakan wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Administrasi perizinan harus ditertibkan. Memanipulasi bobot kapal adalah pelanggaran hukum. Tim penertiban perizinan dari pusat (DKP dan Departemen Perhubungan) harus melakukan inspeksi pengukuran ulang terhadap kapal perikanan yang tidak sesuai ukuran, antara dokumen dan fisiknya, serta aplikasi sistem perizinan secara mobile di daerah.
Selain itu, alat tangkap yang digunakan kapal penangkap ikan yang biasa berlabuh di PPS Belawan, kebanyakan memakai jaring pukat ikan (seperti trawl). Padahal, alat tangkap ini kurang ramah lingkungan, diantaranya merusak terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan berkembangbiaknya ikan. Jenis alat tangkap yang digunakan, antara lain pukat ikan (fish net) 117 unit, pukat cincin (purse seine) 237 unit, lampara dasar (damersial danis seine) 97 unit, jaring insang (gill net) 48 unit, dan pancing 7 unit. Jumlah armada kapal penangkap ikan di PPS Belawan selama 2007 sebanyak 506 unit, atau bertambah 34 unit (7,2 persen) bila dibandingkab tahun 2006 sebanyak 472 unit. Ukuran kapal lebih kecil atau berbobot 10 GT sebanyak 117 unit, 10-20 GT 18 unit, 2030 GT 195 unit, 30-50 GT 48 unit, 50-100 GT 49 unit, dan 100-200 GT sebanyak 79 unit. Pada 2007, tercatat frekuensi kapal yang berkunjung sebanyak 61.959 trip/kali, sedangkan kapal yang berangkat ke laut untuk menangkap ikan sebanyak 14.927 trip/kali. Pada 2006, frekuensi kapal yang berkunjung mencapai 65.232 trip, atau terjadi penurunan 3.265 trip (5 persen). Kapal yang berkunjung ke PPS adalah kapal ikan yang melakukan aktivitas bongkar ikan, mengisi perbekalan untuk melaut, memperbaiki kapal, dan beristirahat menunggu musim penangkapan.
Melayani Berbagai Kebutuhan
Kebutuhan solar pada 2007 mencapai 34.891 ton, dan minyak tanah 3.348 ton. Terjadi peningkatan permintaan, karena pada 2006 hanya dibutuhkan 28.515 ton solar (naik 22,36 persen). Sedangkan permintaan minyak tanah naik 52,53 persen. Peningkatan terjadi karena wilayah penangkapan (fishing ground) menjadi lebih jauh dan waktu penangkapan ikan menjadi lebih lama. Selain solar, kebutuhan utama logistik kapal untuk melaut adalah es balok, garam, minyak tanah, oli, dan bahan makanan. Kebutuhan disesuaikan dengan lamanya melaut. Untuk kapal pukat ikan yang memiliki hari operasi 10-15 hari membutuhkan lebih banyak. BBM solar dan minyak tanah untuk kebutuhan industri dan kapal ikan ditangani tujuh agen penyalur minyak solar (APMS) dan satu solar packed dealer nelayan (SPDN). Es dipasok empat perusahaan swasta dan pabrik es milik Perum Prasarana Perikanan Samudera Cabang Belawan dengan total kapasitas terpasang 396 ton per hari. Namun, mulai Juli 2007, satu pabrik es milik swasta tidak operasional lagi. Ini disebabkan peralatan tua dan tidak ada dana untuk memperbaiki. Harga jual es Rp 13.000 sampai Rp 15.000 per balok (60 kg). Total penyaluran es selama tahun 2007 sebanyak 62.818 ton, sedangkan pada 2006 sebesar 60.974 ton, atau meningkat 1.844 ton (3,02 persen). Peningkatan ini terjadi karena para pedagang ikan dan pengusaha perikanan mulai menyadari pentingnya es guna mempertahankan mutu ikan. Dari buku laporan tahunan PPS Belawan 2007 disebutkan, jumlah usaha yang memanfaatkan lahan kawasan industri tercatat 91 perusahaan. Mereka dari pelbagai jenis usaha, seperti penangkapan dan pengolahan ikan, cold storage, SPDN, pabrik es, bengkel kapal, dan suku cadang mesin kapal. Saat ini, masalah yang dihadapi para pengusaha dan pengelola PPS, antara lain areal pelabuhan yang rendah mengakibatkan banjir ketika hujan dibarengi air laut pasang, dan belum ada unit pengolah limbah berstandar. Selain itu, masih ada dualisme penerbitan
Surat Izin Berlayar (SIB) dari syahbandar perikanan dan syahbandar perhubungan laut.
Pusat Pertumbuhan Pelabuhan perikanan ini akan merealisasikan visinya sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan perikanan secara terpadu. Dalam areal 50 hektar dan panjang pelabuhan sekitar dua kilometer, PPS ini akan dibangun sesuai perencanaan, yakni membenahi maupun merelokasi semua tangkahan yang tidak sesuai lagi. Dermaga akan dipanjangkan, begitu juga luas hanggar maupun selasar akan disiapkan sesuai kebutuhan. Untuk pembangunan pelabuhan perikanan bertaraf internasional dibutuhkan dana yang cukup besar. “Memang pihak IDB (Islamic Development Bank) akan memberi bantuan pinjaman sebesar Rp 200 miliar untuk membangun PPS Belawan. Insya Allah, realisasinya mulai tahun 2009,” ucap Asifus. Untuk mewujudkan PPS bertaraf internasional, perlu komitmen dari semua pihak, terutama pemerintah daerah dan pusat, dalam hal ini DKP. Perlu ada kucuran dana atau anggaran yang lebih besar. Cita-cita menjadikan pelabuhan berstandar Eropa bukanlah hal yang sulit, tentunya jika ada kesungguhan pemerintah untuk mewujudkan sektor perikanan menjadi andalan perekonomian daerah dan nasional. (TPP, ADP, SMK, STP. Telah dimuat di Majalah Samudera Edisi Desember 2008).