156
Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2
Artikel Penelitian
Studi Retrospektif Lupus Eritematosus di Subdivisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 2005-2010 Friska Jifanti1, Alwi Mappiasse2 Abstrak 1.2)
Bagian/SMFIlmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Jl.Perintis Kemerdekaan Km.11, Tamalanrea, Makassar 90245
Correspondence Dr.Friska Jifanti, Bagian/SMFIlmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Jl.Perintis Kemerdekaan Km.11, Tamalanrea, Makassar 90245
Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit jaringan konektif yang ditandai dengan adanya auto antibodi melawan beberapa sel (autoimun). Kelainan kulit merupakan manifestasi klinis yang paling umum setelah artritis dan belum pernah ada laporan atau publikasi mengenai studi retrospektif LE di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran umum penyakit LE yang meliputi distribusi kasus baru, kelompok usia, jenis kelamin, tipe LE , kelainan yang ditemukan berdasarkan kriteria ARA, dan data pemeriksaan penunjang. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengambil datadata dari rekam medik penderita baru lupus eritematosus di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama 5 tahun, mulai Juni 2005- Mei 2010. Dalam kurun waktu mulai 2005-2010 diperoleh data jumlah kunjungan baru LE sebanyak 12 kasus. Pada studi ini tahun 2009 ditemukan 5 pasien (41,6%) yang merupakan kasus LE terbanyak. Terdapat kunjungan terbanyak pada pasien wanita yaitu 10 kasus (83%) dibandingkan pasien laki-laki sebanyak 2 kasus (17%). Berdasarkan kelompok umur, penderita baru LE paling banyak berada dikelompok usia 41-50 tahun (50%). Berdasarkan tipe LE, yang terbanyak adalah tipe lupus eritemasosus diskoid (LED) yaitu sebanyak 7 pasien (58,3%). Berdasarkan kelainan yang ditemukan dengan menggunakan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang paling banyak adalah eritema fasial sebanyak 8 pasien (25,8%). Berdasarkan data pemeriksaan laboratorium, didapatkan pemeriksaan laju endap darah merupakan pemeriksaan terbanyak yang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 6 pasien (31,6%) dan hanya 2 pasien (10,5%) yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Disimpulkan bahwa kasus LE terbanyak ditemukan tahun 2009 dengan jenis LED dan berdasarkan kriteria ARA paling banyak dijumpai adalah eritema fasial.
Keywords : Lupus eritematosus diskoid, sistemik lupus eritematosus
Pengantar Lupus eritematosus (LE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang jaringan penyangga (connective tissue disease) dimana penyakit ini dapat mengenai berbagai sistem organ dengan manifestasi klinis dan prognosis yang bervariasi. Kelainan kulit merupakan manifestasi klinis LE yang paling umum setelah arthritis (Nurjanti et al.,1990; . Insawang dan Kulthanan, 2010; Kole dan Ghosh,2009). Penyakit lupus dapat ditemukan pada semua kelompok usia dimana banyak mengenai usia produktif yaitu antara usia 21 sampai 50 tahun dengan prevalensi 17 sampai 48 dalam 100.000 penduduk pada suku Afro-Karibia. Di Eropa Utara, prevalensi penyakit lupus berkisar 40 kasus per 100.000 penduduk dan 200 kasus per 100.000 penduduk ditemukan pada orang dengan kulit hitam. (6) Meskipun penyakit ini merupakan penyakit autoimun, akan tetapi terdapat peran eksogen misalnya lingkungan (ultraviolet, hormon) maupun faktor endogen seperti faktor genetic (Insawang dan Kulthanan,2010; Panjwani, 2009).
James N. Gilliam membedakan LE berdasarkan onset, klinis, morfologis dan pemeriksaan imunofluoresens menjadi 2 tipe utama yaitu LE nonspesifik dan LE spesifik kutan , dimana pada LE nonspesifik kutan sering kali berhubungan dengan sistemik lupus eritematosus (SLE) yang melibatkan multipel oragan dan vaskular. Sedangkan LE spesifik kutan dibagi menjadi tiga subtipe yaitu akut kutaneus lupus eritematosus (ACLE), subakut kutaneus lupus eritematosus (SCLE), dan kronik kutaneus lupus eritematosus (CCLE) (Kole dan Ghosh,2009; Costner dan Sontheimer, 2008; Walling dan Sontheimer, 2009; Simon, 2007; Wolf dan Johnson, 2005). Akut kutaneus LE lebih banyak ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki (8:1). Sekitar 50-60% penderita ACLE juga menderita SLE. Subakut kutaneus LE memiliki gejala ekstra kutan terbanyak adalah artritis dan mialgia dengan angka rekurensi sekitar 10-15% dan dapat berkembang menjadi SLE ringan. Diskoid LE (DLE) merupakan salah satu varian dari CCLE dan dalam perjalanan penyakitnya dapat berkembang menjadi SLE pada kurang dari 5% pasien (Insawang dan Kulthanan, 2010; Simon, 2007).
Artikel Penelitian
Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2
American Rheumatology Association (ARA) mengeluarkan kriteria untuk menegakkan diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan bila terdapat 4 atau lebih dari 11 kriteria. Kelainan kulit yang termasuk dalam kriteria ARA ialah malar rash/butterfly rash, lesi diskoid, ulkus di mulut dan rinofaring, sikatrik hipotrofik, peningkatan fotosensitivitas, artritis, serositis, kelainan ginjal, kelainan darah, serta adanya gangguan imunologik ( Wolf dan Johnson, 2005; Franciscus, 2009). Tujuan penelitian retrospektif ini adalah untuk mengetahui gambaran umum penyakit LE di Subdivisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo periode 2005-2010 yang meliputi distribusi kasus baru, kelompok usia , jenis kelamin, tipe LE, kelainan yang ditemukan dengan kriteria ARA, serta data laboratorium.
157
Terdapat dominasi kunjungan pada pasien wanita yaitu sebanyak 10 kasus (83%) dibandingkan pasien laki-laki hanya 2 kasus (17%) (Gambar 2)
17%
83%
Grafik 2. Prevalensi penderita LE berdasarkan jenis kelamin
Cara Kerja Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengambil data-data dari rekam medik penderita baru LE di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama 5 tahun, mulai Juni 2005- Mei 2010.
Berdasarkan kelompok usia, penderita baru LE paling banyak berada dikelompok usia 41-50 tahun (50%) dengan usia termuda 16 tahun dan usia tertua 48 tahun. (tabel 1).
Hasil Jumlah kunjungan baru LE ditemukan 12 kasus. Dengan kunjungan pada tahun 2005 sebanyak 1 pasien (8,3%), 2006 sebanyak 3 pasien (25%), tahun 2007 dan 2008 sebanyak 1 pasien (masingmasing 8,3%), tahun 2009 sebanyak 5 pasien (41,6%) yang merupakan kasus LE terbanyak, dan pada tahun 2010 sebanyak 1 pasien (8,3%). (gambar 1). 14 12
Tabel 1. Distribusi penderita LE berdasarkan kelompok usia
Kelompok Umur (tahun) 11-20
Jumlah Pasien 3
Persentase (%) 25%
21-30
3
25%
31-40
0
0
41-50
6
50%
Jumlah pasien
10
Berdasarkan tipe LE, ditemukan DLE sebanyak 7 pasien (58,3%) dan SLE sebanyak 5 pasien (41,6%). (tabel 2).
8 6 4 2
Tabel 2. Distribusi penderita LE berdasarkan tipe LE
0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 total
Tipe LE
Jumlah Pasien
Presentase (%)
Garfik 1. Distribusi kasus baru LE di Subdivisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP.Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Selama perode 5 tahun, Juni 2005-Mei 2010
DLE
7
58,3%
SLE
5
41,6%
158
Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2
Berdasarkan kelainan yang ditemukan dengan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang paling banyak adalah eritema fasial sebanyak 8 pasien (25,8%), kelainan kedua terbanyak adalah artritis sebanyak 5 pasien (16,1%). (tabel 3). Tabel 3. Distribusi penderita LE berdasarkan kelainan yang ditemukan dengan kriteria ARA
Kelainan yang ditemukan
Jumlah
Persentase (%)
Eritema fasial
8
25,8%
Lesi diskoid
4
12,9%
Sikatrik
-
-
Fotosensitif
2
6,4%
Ulkus mulut &
1
3,2%
Artritis
5
16,1%
Serositis
-
-
3
9,6%
2
6,4%
2
6,4%
4
12,9%
hipotrofik
Artikel Penelitian
Tabel 4. Distribusi penderita LE berdasarkan data laboratorium Pemeriksaan Laboratorium
Jumlah
Persentase (%)
Laju endap darah
6
31,6%
Fungsi hati ( SGPT/SGOT) Fungsi ginjal (ureum/kreatinin) ANA test
3
15,8%
2
10,5%
2
10,5%
Sel LE
-
-
Reumatoid faktor (RF) Urin rutin (sel epitel, eritrosit, proteinuria) Darah rutin
1
5,2%
1
5,2%
2
10,5%
Histopatologi
2
10,5%
rinofaring
(pleuritis, perikarditis) Kelainan ginjal (proteinuria) Kelainan neurologic (psikosis) Kelainan darah Gangguan imunologik (Sel LE, ANA)
Berdasarkan data laboratorium, didapatkan pemeriksaan laju endap darah merupakan pemeriksaan terbanyak yang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 6 pasien (31,6%) dan fungsi hati merupakan pemeriksaan kedua terbanyak yang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 3 pasien (15,8%) dan hanya 2 pasien (10,5%) yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. (tabel 4).
Diskusi Lupus eritematosus (LE) adalah suatu penyakit autoimun inflamasi kronis yang memiliki spektrum yang luas berdasarkan manifestasi klinis dan perjalanan penyakitnya yang bervarias (Gill et al.,2003; Kuhn et al.,2005; Amero et al.,2006). Etiologi dan mekanisme patogenesis yang berperan pada LE belum dapat dipahami secara pasti. Patogenesis LE kutan tampaknya tumpang tindih dengan patogenesis SLE, dimana interaksi antara faktor-faktor host (genetik, hormonal) dan faktorfaktor lingkungan (radiasi ultraviolet, virus, obatobatan) mengarah pada hilangnya toleransi, dan menginduksi suatu autoimunitas. Diikuti dengan aktivasi dan ekspansi sistem imun dan akibatnya terjadi kerusakan jaringan akibat respon imun dan ekspresi klinis penyakit (Rahman dan Isenberg,2008; Simon, 2007; Yuriawantini dan Suryana,2007). Pada studi ini, kunjungan kasus baru adalah sebanyak 12 kasus dengan kunjungan terbanyak pada tahun 2009 yaitu sebanyak 5 pasien (41,6%) yang merupakan kasus LE terbanyak. Jumlah kasus yang tidak banyak ini dikarenakan kemungkinan pasien datang dengan keluhan artritis dimana gejala ini termasuk yang paling sering ditemukan sehingga pasien langsung datang ke bagian penyakit dalam. Kemungkinan lain adalah penderita enggan berobat ke Rumah Sakit besar dan cenderung memilih berobat ke fasilitas pengobatan lain. Distribusi menurut jenis kelamin pada studi ini didominasi oleh wanita yaitu 83% dibandingkan pasien laki-laki yang hanya 17%. Berdasarkan kelompok usia, penderita baru paling banyak berada dikelompok usia 41-50 tahun (50%) dengan usia termuda 16 tahun dan usia tertua 48 tahun.
Artikel Penelitian
Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Komalig FM, dkk yang melaporkan bahwa wanita SLE di Jakarta tahun 2004 sebesar 94,6%, dan kelompok umur terbanyak di usia subur 15-44 tahun (88,4%). Hal ini dimungkinkan kerena pada pasien lupus terjadi peningkatan hormon estrogen 20 kali lipat dibandingkan dengan pasien yang sehat. Faktor jenis kelamin dan usia merupakan faktor host yang berperan dalam patogenesis lupus eritematosus, selain itu keterpaparan lingkungan seperti obatobatan, virus, sinar UV yang turut berperan. Diketahui bahwa wanita memiliki predisposisi SLE jauh lebih banyak daripada pria dikarenakan memiliki 2 kromosom X. Onset penyakit yang jarang diderita oleh perempuan pre-pubertas dan menopouse, mendukung keterlibatan hormon seks terhadap patogenesisnya (Rahman dan Isenberg,2008). Pada studi ini, berdasarkan penelesuran dari rekam medik yang dilakukan hanya didapatkan dua diagnosis terhadap penyakit LE yaitu DLE dan SLE. Ditemukan DLE sebanyak 58,3% dan SLE sebanyak 41,6%, dari 12 kasus yang ditemukan hanya 2 kasus (10,5%) yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Dikepustakaan disebutkan bahwa didapatkan persamaan pada kelompok penyakit ini dengan penyakit lainnya dan perubahan pada kulit merupakan gambaran yang paling menonjol pada semua penyakit jaringan konektif, sehingga pemeriksaan histopatologi kulit sangat penting dalam membantu membedakan dan menegakkan diagnosis (Nurjanti et al.,1990; Komalig et al, 2007). Lupus eritematosus diskoid mengenai kulit tanpa atau dengan keterlibatan sistemik yang minimal. Karakteristik lesi ditandai dengan eritem, plak berskuama yang meluas secara sentifugal, permukaan plak menebal (Williams, 2005). Bila menyembuh dapat dengan pembentukan skar, atrofi, dan pigmentasi. Lesi terdapat pada area yang terpapar sinar matahari dan banyak ditemukan adanya gejala fotosensitivitas. DLE merupakan lesi yang kronis dan dapat terjadi remisi dan relaps, serta dapat berkembang menjadi SLE (Nurjanti et al.,1990; Panjwani, 2009; Simon, 2007). Lupus eritematosus sistemik ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas yang terjadi terutama pada usia reproduksi dan melibatkan mulipel organ dan dapat menyebabkan kematian. Kulit merupakan organ kedua terbanyak yang terkena setelah artritis. Pada 80% kasus dapat melibatkan kulit dan membran mukosa. Gambaran klinis SLE sangat beraneka ragam, sehingga lebih merupakan kumpulan sindrom daripada gambaran klinik penyakit yang khas. Diagnosis SLE ditegakkan bila memenuhi 4 dari 11 kriteria yang dikeluarkan American College of Rheumatology. Kriteria yang termasuk yaitu malar rash, diskoid rash, fotosensitif, ulkus di mulut, artritis, serositis, kelainan ginjal, kelainan neurologis, kelainan hematologi, kelainan imunologi dan antibodi antinuklear (Simon, 2007).
159
Berdasarkan data laboratorium pada studi ini, didapatkan pemeriksaan laju endap darah merupakan pemeriksaan terbanyak yang mengalami peningkatan yaitu 31,6% dan fungsi hati merupakan pemeriksaan kedua terbanyak yang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 15,8% dan hanya 2 pasien (10,5%) yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Dikepustakaan dikatakan pemeriksaan laboratorium untuk ACLE berhubungan dengan SLE, karena terdapat hubungan erat antara ACLE dan SLE. Pemeriksaan darah dan urine rutin, serologis, histopatologi dan imunohistologi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada kepustakaan disebutkan penderita SLE membentuk auto-antibodi, dimana auto-antibodi mempunyai spesifitas terhadap eritrosit, trombosit dan limfosit yang berturut-turut dapat menyebabkan gejala anemia, trombositopenia dan limfopenia (Nurjanti et al.,1990). Berdasarkan kelainan yang ditemukan dengan kriteria ARA yang paling banyak adalah kelainan pada kulit yaitu eritema fasial 25,8%, kelainan kedua terbanyak adalah artritis 16,1% hal ini sesuai dengan penelitian Kole dan Ghosh (2009). Berbeda dengan kepustakaan lain, kulit merupakan organ kedua terbanyak yang terkena setelah artritis. Pada 80% kasus dapat melibatkan kulit dan membran mukosa. Pada penelitian ini, tidak semua pasien dilakukan pemeriksaan ANA test, dimana hanya 4 kasus (10,5%) yang dilakukan pemeriksaan ini. Pada kepustakaan pemeriksaan ANA positif ditemukan pada 98% penderita SLE, ANA memiliki sensitifitas sangat tinggi namun spesifitas rendah karena dapat ditemukan positif pada penyakit jaringan konektif lainnya. Pemeriksaan ANA yang negatif kemungkinan untuk terjadinya SLE sangat kecil dan hanya terdapat pada 2-5% kasus SLE (Yuriawantini dan Suryana, 2007). Simpulan Dari studi ini disimpulkan bahwa kasus LE terbanyak ditemukan tahun 2009 dengan jenis LED dan berdasarkan kriteria ARA paling banyak dijumpai adalah eritema fasial.
Daftar Pustaka Amerio P, Innocente C, Feliciani C.2006. Druginduced cutaneous lupus erythematosus after 5 years of treatment with carbamazepine. Eur J Dermatol ,16(3):281-3 Costner M dan Sontheimer R. 2008.Lupus erythematosus. In: Wolf K, Goldsmith L, editors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill; p. 1515-35.
160
Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2
Eapen B, Salim T. 2002. Clinical presentation and treatment outcome in systemic lupus erythematosus. Indian J Dermatol. 47(3):149-51. Franciscus A.2009. HCV – Extrahepatic Manifestations:Systemic Lupus Erythematosus. 2009 [cited; Available from: www.hcvadvocate.org Gill JM, Quisel AD, Rocca P. 2003. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. Am J Fam Physician ;68:2179-86. Insawang M dan Kulthanan K..2010. Discoid lupus erythematosus: Description of 130 cases and review of their natural history and clinical course. J of Clinic Immunol and Immunopathol,;2 (1):1-8. Kole A dan Ghosh A. 2009. Cutaneous manifestation of systemic lupus erythematosus in a tertiary refferak centre. Indian J Dermatol.;54(2):132-6. Komalig FM, Hananto M, Sukana B, Pardosi J.2008. Faktor lingkungan yang dapat meningkatkan resiko penyakit lupus eritematosus sistemik. Jurnal Ekologi Kesehatan ;7(2):747-57. Kuhn A, Lehmann P, Ruzicka T.2005. Classificationof Cutaneous Lupus Erythematosus. In: Kuhn A, Lehmann P, Ruzicka T, editors. Cutaneus lupus erythematosus. Germany; p. 53-8. Nurjanti L, Setyaningsih T, Murtiastutik D1990. Chronic discoid lupus erythematosus. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. :75. Panjwani S.,2009. Early Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. J Am Board Fam Med,22:206-13. Rahman dan Isenberg DA. ,2008. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med ;358:929-39. . Simon JC.2007. Clinical manifestations of cutaneous lupus erythematosus. Germany J Dermatol ,5:1124-40. Walling H dan Sontheimer R. 2009. Cutaneous Lupus Erythematosus Issues in Diagnosis and Treatment. Am J Clin Dermatol , 2009;10(6):365-81. Williams D. 2005. Chronic Cutaneous (Discoid) Lupus Erythematosus. J Insur Med, 37:70-1. Wolf K dan Johnson R.2005. Lupus erythematosus. In: Wolf K, Johnson R, editors. Fitzpatrick's colour atlas & synopsis of clinical dermatology. 5th ed. New York: McGrawHill;. p. 384-95. Yuriawantini dan Suryana K.2007. Aspek imunologi SLE. J Peny Dalam. ;8:232-9.
Artikel Penelitian