TAU UHID MENURUT F FAKHR AL-DĪN A AL-RĀZI A I DALAM M MAF FĀTIH AL-GHĀIB B
SKRIP PSI Disussun untuk M Memenuhi Persyaratan P Memerolehh Gelar Sarjana Strata Satu (S1 1)
Oleh: RAN IMAM M SANTOSO AL IMR NIIM: 111103 33100034
PROGRA AM STUDII AQIDAH DAN FILS SAFAT ISL LAM FAKU ULTAS USH HULUDDIIN UNIVERSIT U TAS ISLAM NEGER RI (UIN) SYAR RIF HIDAY YATULLAH H JAKAR RTA 22017 M./ 14 438 H.
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
a
ط
ب
b
ظ
ت
t
ع
‘
ث
ts
غ
gh
ج
j
ف
f
ق
q
ح خ
kh
ك
k
د
d
ل
l
ذ
dz
م
m
ر
r
ن
n
ز
z
و
w
س
s
ﻩ
h
ش
sy
ء
ص
ي
y
ض
ة
h
Vokal Panjang
ﺁ
ā
إى
ī
ْأو
ū
iv
Abstrak Mengesakan Allah (tauhid) dan menolak penyekutuan (syirik) terhadap-Nya merupakan doktrin terpenting yang menjadi prinsip dan vital dalam ajaran-ajaran agama samawi. Hal itu merupakan asas segala macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Selain itu, tauhid dan syirik termasuk di antara masalah-masalah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Seorang ulama sekaligus intelektual terdahulu, yakni Fakhr al-Dīn alRāzi, menjelaskan bahwa tauhid merupakan peneguhan diri seseorang atas pengetahuannya dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Artinya, bertauhid itu tidak sebatas ketetapan hati, pengakuan verbal, yang tanpa ilmu bahwa Allah itu Esa, melainkan meniscayakan dasar pengetahuan yang luas. Sebab, pengetahuan merupakan dasar untuk mengetahui hak Allah, sementara pengakuan verbal merupakan syarat yang menjadi hak makhluk. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan pendekatan kualitatif. Tujuannya adalah mengeksplorasi mengenai konsep tauhid yang terdapat dalam sumber-sumber tertulis/documenter. Adapun sumber utamanya adalah kitab Mafātih al-Ghaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Adapun manfaatnya bersifat dasar sebagai bentuk kontribusi terhadap keilmuan. Kemudian disimpulkan secara deskriptif. Tauhid yang terdapat di dalam Mafātih al-Ghaib mendasarkan pada persoalan wahdāniah. Wahdāniah merupakan gagasan mengenai keesaan Allah yang mencangkup persoalan ulūhiah (ketuhanan) serta menegaskan antara Zat, Sifat dan Wujud hadir sekaligus sebagai bentuk keesaan Tuhan. Kemudian disusul dengan konsep Rubūbiah sebagai penegasan bahwa Tuhanlah yang wajib di sembah serta Tuhan-lah yang mencukupi segala kebutuhan ciptaan-Nya.
Kata kunci: Tauhid, Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Wahdāniah, Rubūbiah.
v
KATA PENGANTAR Bismillāhirra mānirra īm Al amdulillāh segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia sebagai ‘duplikat’ alam yang besar. Atas kasih sayang dan pengetahuan yang Ia berikanlah, peneliti bisa menyelesaikan skripsi dengan judul
“TAUHID
MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH AL-GHAIB”. halawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta sahabat, dan keluarganya. Nabi sebagai manusia tersempurna yang menuntun kebodohan manusia menjadi bersinar penuh pengetahuan dan berahlak yang mulia. Semoga Nabi membawa ummatnya bisa berkumpul dalam Majlis-Nya yang penuh kebahagiaan dalam keabadian. Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai syarat dalam pengajuan gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari, penyusunan penelitian dari awal hingga ahir bukan sebatas hasil sendiri, melainkan juga atas ‘pancaran’ motivasi baik secara material dan non-material . Sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran dekanatnya, dan sekaligus menjadi Dosen Pembimbing peneliti dalam skripsi, vi
yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, masukan, saran, kritik dan waktu untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini tanpa lelah. Kebaikan Bapak akan menjadi nasihat yang mulia untuk peneliti. Semoga Allah memberikan kebaikan untuk Bapak. Amin ya Rabbal Alamin. 2. Bapak Dr. Syamsuri, MA, selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu. Kepada Dosen-dosen Fakultas Ushuluddin yang meluangkan waktunya untuk konsultasi penelitian ini saya ucapkan terimakasih dan tidak bisa disebut satu persatu. Terima-kasih pula kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, segenap Staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam mencari referensi terbaik semasa-masa perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini. 5. Teruntuk orang yang sudah mencintai penulis tanpa alasan, kedua orang tua. Ayahanda Mursalim Muhaiyang dan Bunda Sumarni, atas cinta, kasih sayang serta doanya penelitian ini terselesaikan. Terimakasih juga kepada Adinda Qoriah indah, Iqro Saritilawah dan wanita spesial yang terpilih tuk mencintai penulis Selfiana atas dorongan dan doa yang tidak ada hentinya untuk vii
menyelesaikan penulisan ini. 6. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2011 dan teman-teman Satu Korek yang ikut membantu berdiskusi dengan penulis. Atas do’a kalian penelitian ini terselesaikan. 7. Akhirnya, peneliti berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah keilmuan filsafat Islam. Peneliti menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran yang sifatnya membangun skripsi ini sangat diharapkan. Sebagai penutup, peneliti berharap semoga Allah SWT selalu membimbing langkah kita menuju jalan yang benar dan lurus. Amin ya Rabbal ‘Alamīn Jakarta, 13 Februari 2017
(Al Imran Imam Santoso)
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan mendasar dalam agama samawi adalah tauhid. Agama samawi merupakan agama yang diturunkan oleh Tuhan dalam bentuk wahyu dan berikan kepada para Rasul untuk disebarkan kepada manusia.1 Di antaranya adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Tauhid berarti mengesakan Allah (tauhid) dan menolak penyekutuan (syirik) terhadap-Nya. Hal itu merupakan asas segala macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Akan tetapi perkembangan tauhid dalam agama samawi mengalami perbedaan. Aminuddin mengatakan bahwa Islam-lah merupakan satu-satunya agama samawi yang sah. Agama Nasrani dan agama Yahudi hanya dapat disebut sebagai agama semi- Samawi atau agama semu- Samawi, karena kedua kitab suci kedua agama tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini sudah sangat banyak diinterpolasi dengan pikiran- pikiran manusia.2 Di dalam Islam, pembahasan mengenai tauhid berarti mengesakan (mentauhidkan) Allah SWT dari segi Zat-Nya, perbuatan-Nya serta ibadah 1
Siti Hadidjah, “Hubungan Antar Nabi dan Agama Samawi” dalam Jurnal Hunafa, IAIN Palu Vol 3, No. 4, Palu, Desember, h. 376. 2 Aminuddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama”, dalam Jurnal Jurnal Ilmi Agama, UIN Raden Fatah, Th. XIV, No. 1, Palembang, 2013, h. 106.
1
2
kepada-Nya. Dalam pandangan mereka semua, Allah adalah Esa, tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada padanan bagi-Nya, sebagaimana ia adalah satusatuNya yang berkuasa penuh dan merupakan pusat sumber segala pengaruh, pelaku hakiki serta pencipta sebenarnya dari segala yang biasa di sebut sebagai pelaku atau pencipta. Kalaupun ada pelaku atau pencipta selain-Nya, maka ia hanya dapat melakukan atau menciptakan dengan kemampuan dan kemauanNya semata-mata.3 Islam lahir membawa akidah ketauhidan, melepaskan manusia dari ikatan-ikatan kepada berhala-berhala, serta benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk Allah SWT. Agama Islam disepakati oleh para ulama, sarjana dan pemeluknya sendiri, bahwa agama Islam adalah agama tauhid. Yang membedakan Islam dengan agama-agama lain adalah monoteisme atau tauhid yang murni, yang tidak dapat dicampuri dengan segala macam bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan agama Islam dari agamaagama lain.4 Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang
3
Ja’far Subhani, Studi Kritis Faham Wahabi: Tauhid dan Syirik (Bandung: Mizan), h.
4
Amin Rais, Tauhid Sosial (Bandung: Mizan, 1998), h. 35.
13.
3
dari ajaran Islam.5 Tauhid Islam dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 163: ﻦ اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ ُ َوِإَٰﻟ ُﻬ ُﻜﻢْ ِإَٰﻟﻪٌ وَاﺣِﺪٌ ۖ ﻟَﺎ ِإَٰﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ُه َﻮ اﻟ ﱠﺮﺣْ َٰﻤ Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ayat di atas menegaskan bahwa Allah merupakan Dzat yang Esa dan Allah-lah satu-satunya Tuhan. Dengan demikian ayat tersebut menjelaskan mengenai tauhid kepada Allah. Selain itu, dalam sebuah hadist juga dijelaskan: Rasulullah saw bersabda “Jauhilah Tujuh hal yang membinasakan” Sahabat bertanya “Apa itu ya Rasul?” Rasul menjawab: Syirik (menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan harta anak yatim, memakan riba, mundur dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik berzina”.6 Sedemikian pentingnya tauhid maka Rasullullah melarangnya. Pertama yang disebut adalah menyekutukan Allah. Berarti tidak lagi mengesakan, atau dengan kata lain tidak bertauhid. Dengan demikian ayat maupun hadis yang di atas sama sama menjelaskan mengenai tauhid serta pentingnya tauhid. Secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak
5
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka data teologi Islam (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 4. 6 M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h. 18.
4
diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring berjalannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distorsi pemahaman yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam as.7 Oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan kepada-Nya yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qur’an.8 Ajaran dasar Islam adalah percaya terhadap kemahaesaan Tuhan (tauhid). Kepercayaan tersebut menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.9 Seorang yang bertauhid memutlakkan yang Maha Esa sebagai Khalik dan menisbahkan selain-Nya sebagai makhluk-Nya. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Allah tidak bisa disejajarkan dan dibandingkan.10 Formulasi tauhid yang demikian menunjukkan adanya komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Formulasi tauhid ini dapat dilukiskan dengan pesan pendek kalimat tayyibah: Lā ilāha ill Allāh, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam Islam, tauhid memiliki kedudukan sangat sentral dan esensial. 7
Taib Tahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), cet ke-3, h. 15. Taib Tahir, Ilmu Kalam, h. 16. 9 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Ajā’ib al-Qur’an (Beirut Libanon: Dr al-Qutub al-Ilmiyah, 1984), h. 7. 10 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, al-Arba’īn fī Usūluddīn (Kairo: Maktabah al-Kuliyat alAzhariyah, 1987), h. 138. 8
5
Tauhid bukan saja sebagai sumber bermuaranya pola pikir, sikap dan tingkah laku, tetapi juga merupakan syarat kunci diterima dan ditolaknya amal seseorang.11 Dengan bertauhid, maka seseorang akan semakin tinggi keilmuannya. Dengan ilmu tersebut Dengan ilmu seseorang akan mengetahui macam-macam amal kebajikan.12 Amal kabajikan inilah yang kemudian akan diterima oleh Allah. Selain itu, tauhid yang benar menumbuhkan keikhlasan dan semangat baru, memacu seseorang untuk lebih produktif dalam hal-hal yang positif. Sebaliknya, tauhid yang salah tidak saja melemahkan imajinasi dan membekukan inisiatif, tetapi juga membatalkan seluruh amal perbuatan.13 Oleh sebab itu, seorang ulama sekaligus intelektual terdahulu, yakni Fakhr al-Dīn14al-Rāzi, menjelaskan bahwa tauhid merupakan peneguhan diri seseorang atas pengetahuannya dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.15 Artinya, bertauhid itu tidak sebatas ketetapan hati, pengakuan verbal, yang tanpa ilmu bahwa Allah itu Esa,16 melainkan meniscayakan dasar pengetahuan yang luas. Sebab, pengetahuan merupakan dasar untuk mengetahui 11
Abdul Hafidz, Risālah Aqīdah (Ciputat: Aulia Press, 2007), Cetakan Pertama, h. 9. Jarman Armani, 13 Abdullah Ibn Wakil al-Syaikh dan Abdullah Ibn Muhammad al-Amru, al-Akhlāq wa al-Adab (Dr Isbiliya, al-Tab’ah al-Ula, 2001), h. 12. 14 Fakhr al-Dīn berasal dari dua kata: Fakhr yang berarti kebanggaan dan al-Dīn yang berarti agama. 15 Samih Daghim, Mausu’ah Musmalahāt al-Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzi (Libanon: Maktabah Libanon, 2001), h. 542. 16 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Pustaka Mizan, 2003), h. 300. 12
6
hak Allah, sementara pengakuan verbal merupakan syarat yang menjadi hak makhluk. Lebih dari itu, bertauhid juga harus dimanifestasikan dengan tindakan nyata. Menururtnya, iman memiliki dasar dan buahnya. Iman merupakan dasar, sedangkan amal merupakan wujud iman itu sendiri sebagaimana dimutlakannya dasar pohon dan buahnya.17 Fakhr al-Dīn al-Rāzi selalu mengingatkan perlunya memperbaharui iman dengan membaca kalimat tauhid Lā ilāha illa Allāh. Orang yang terbiasa melafalkan kalimat tauhid niscaya imannya meningkat dan karenanya mampu mencapai hubungan dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu hanya bisa dicapai dengan cara membersihkan hati. Jika hati bersih maka mengalir dari padanya perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya.18 Meskipun demikian, sebagian besar orang tidak mengetahui, bahwa peran tauhid sangat penting dalam kehidupan. Akibatnya, perilaku sopan santun hilang, maksiat merajalela, kenakalan remaja tidak terkendalikan, bahkan yang memprihatinkan lagi, banyaknya kasus berita pencabulan di bawah umur dan kasus kejahatan seksual yang masih hangat sekali beredar di negara Indonesia ini yang sangat mengecewakan masyarakat, padahal negara ini terkenal dengan umat Islam terbanyak di seantero jagad. mereka telah menjadikan nafsu sebagai dasar aktivitasnya. Itulah potret nyata degradasi moral dan rusaknya akhlak yang telah tampak dewasa ini. 17 18
Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari, jus 8 (tt.: t.p., tt.) h. 468. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 30, h. 81-82.
7
Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, untuk pembersihan diri diperlukan keberanian membebaskan diri dari kebodohan, kemaksiatan (sebab jiwa yang kotor selalu senang terhadap hal-hal yang berbau maksiat), syirik, sihir, dan halhal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam.19 Dalam pandangannya, membersihkan jiwa merupakan salah satu cara untuk menguatkan tauhid. Jika jiwa bersih maka tauhid seseorang akan semakin kuat, dan jika tauhidnya kuat maka akan kuat pula imannya. Iman yang kuat hanya bisa didapatkan oleh mereka yang taat, sebaliknya iman akan turun dan berkurang jika melakukan maksiat. Jika hal-hal yang bisa membawa kepada kesucian jiwa itu bisa dilakukan baik, maka hati akan selalu bersih dan Allah pun akan selalu menyukai orang-orang yang yang menyenangi kebersihan. Sedangkan untuk membiasakan diri agar berpikir positif, diperlukan kesadaran penuh untuk menghilangkan sekat-sekat yang menggangu pola pikir. Untuk itu, ditekankan supaya selalu berpikir positif terhadap berbagai hal dan kewajiban yang diperintahkan syariat, bahkan ditekankan pula untuk berupaya membiasakan diri berbuat kebaikan. Dalam hal ini, menurut Fakhr al-Dīn alRāzi, taat terhadap segala perintah-Nya, syukur, adil, jujur, dan tawakal adalah kunci utamanya. Jika jiwa bersih maka tauhid dan iman akan kuat, dan jika
19
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz 28, h. 61.
8
tauhid dan iman telah kuat maka pola pikir dan perilakunya akan bersih.20 Maka dari itu, untuk memperjelas kajian mengenai tauhid, maka penulis menuangkan pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi, dengan tema TAUHID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM KITAB MAFĀTIH ALGHĀIB. B. Batasan dan Rumusan Masalah Tauhid yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat ditemui di berbagai karya-karyanya. Salah satunya dalam kitab Mafātih al-Ghāib. Pembahasannya antara lain terdapat pada surat al-ikhlās, surat al-Anbiā ayat 22, Tafsir Bismillah, Surat al-Baqarah ayat 163, serta dalam surat al-Fatihah. Secara umum gagasan tauhidnya mencangkup pembahasan wahdāniah, rubūbiah, wajib al-wujūd, Dzat dan Sifat, Ilāh (Tuhan), dan ‘Alam (sesuatu selain Allah). Penulis membatasi pembahasan dalam skripsi pada tema tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam kitab Mafātih al-Ghāib. Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan Bagaimana konsep Wahdāniah dan Rubūbiah menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi?
20
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition The Fundamental Elemens of The World View of IslamI (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 14.
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah menjawab atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian mengenai ketauhidan menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Ketauhidan tersebut telah dibahas dalam karyanya yang berjudul Mafātih alGhāib
atau
yang
dikenal
dengan
Tafsīr
al-Kabīr.
Selanjutnya
mengkontekstualkan pemikiran tauhid Fakhr al-Dīn al-Rāzi yang relevan dengan kondisi saat ini dan menjadikan konsep Wahdāniah dan Rubūbiah sebagai gagasan mengenai keesaan Allah sebagai Dzat sekaligus sifat yang mengikutinya. Sedangkan manfaat penelitian ini terdapat dua hal. Pertama, bagi peneliti adalah untuk memperoleh persyaratan mencapai gelar sarjana strata satu dalam Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, selain itu, diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan dapat dijadikan pedoman pada pengembangan keilmuan Islam. Kedua, untuk pembaca dapat memperdalam pengetahuan mengenai pentingnya tauhid serta implemetasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus sebagai wahana untuk menambah khasanah keilmuan agar dapat memberikan penerangan atau informasi kepada pembaca tentang pentingnya pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi.
10
D. Kajian Pustaka Ada penelitian berkaitan dengan judul yang diangkat peneliti. Penelitian yang dibuat oleh Djayadi Cahyadi berjudul Takdir Dalam Pandangan Fakhr alDīn al-Rāzi. Di dalamnya menjelaskan bahwa takdir sebagai ketetapan yang telah ditetapkan dan mustahil mengalami perubahan. penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan judul yang akan dibuat. Persamaannya adalah tokoh yang dikaji sama-sama Fakhr al-Dīn alRāzi. Sedangkan perbedaannya adalah tema yang diteliti berbeda satu sama lain. Antara tema takdir dan tauhid merupakan tema atau variable yang berbeda. Dengan demikian, kajian yang menjelaskan tentang pemikiran tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi bersifat baru dan original. E. Metode Pengolahan dan Analisa 1. Sumber Data Penelitian. Sumber data penulisan skripsi ini terdiri dari dua sumber, berupa sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber data primer diambil dari Buku pokok Fakhr al-Dīn al-Rāzi antara lain, Mafātih al-Ghāib, kitab tersebut merupakan karya monumental Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Kitab tersebut juga biasa disebut dengan nama Tafsīr al-Kabīr. Kitab ini dicetak dengan jumlah 32 Juz dengan 16 jilid. Adapun mengenai sumber sekunder diambilkan dari penelitian terbuka
11
terhadap berbagai macam kepustakaan, seperti buku-buku, majalah, Koran dan jurnal yang tentu menyangkut mengenai pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan terutama pemikiran tauhidnya. Beberapa di antaranya buku sekunder yang penulis pakai adalah, Risalah Tauhid, Sepintas Sejarah Islam, Ihya Ulumuddin, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Humanisme dalam Islam, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Harun Nasution), Ilmu Kalam (Abdul Aziz Dahlan), Risalah Aqidah (Abdul Hafidz). 2. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka pengumpulan data-data yang diperlukan, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan cara menelaah kitab-kitab, literatur dan buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti (dibahas). 3. Metode Pengolahan dan Analisa Data Setelah menentukan dan mengumpulkan data, peneliti kemudian mengolah data dengan teknik deskriptis analitis. Deskriptif digunakan agar mampu
memahami
dan
memberikan gambaran yang jelas mengenai
permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Dalam metode deskripsi, penulis menjelaskan judul yang diangkat dengan permasalahan yang berkaitan. Penjelasan mengenai deskripsi dimulai dari konsep Tauhid secara umum, pembahasan tauhid dalam golongan teolog dalam Islam.
12
Sementara analisa digunakan untuk memahami lebih mendalam antara konsep tauhid secara umum dan menyesuaikannya dengan konsep tauhidnya Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengambil data primer.
Kemudian
dianalisa
dengan
konsep
umum
tauhid
serta
mensignifikasikan dengan kondisi yang relevan. 4. Pedoman Penulisan Pedoman penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun 2011/2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin / Hipius (Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin). F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua membahas tentang biografi Fakhr al-Dīn alRāzi. Bab ini memfokuskan diri pada biografi, karir intelektual, dan karya-karya yang dihasilkannya, juga tokoh-tokoh yang memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi Bab ketiga membahas tentang tauhid dalam Islam. Bab ini diisi dengan pengertian tauhid, unsur-unsur tauhid, serta pembahasan mengenai tauhid dalam
13
Islam. Bab keempat membahas tentang pengertian makna, macam-macam, fungsi menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan analisa tauhid. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan kritik.
BAB II BIOGRAFI FAKHR AL-DIN FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI A. Kehidupan Fakhr al-Dīn al-Rāzi Fakhr al-Dīn al-Rāzi memiliki nama panjang Abu Abdillah Muhammad Ibn Umar Ibn al-Husain Ibn ‘Ali al-Taimī al-Bakri al-Thibristāni. Fakhr al-Dīn al-Rāzi lahir pada 25 Ramadhan 544 H atau pada tahun 1150 M.1 Fakhr al-Dīn al-Rāzi lahir di kota Ray, dimana kota tersebut ditinggali oleh penduduk ‘ajm.2 Kota Ray terletak di wilayah Irak, namun kini telah hancur dan kini kota tersebut dikenal dengan nama Teheran, Irak. Dahulu Ray merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan ulama. Setiap orang yang menjadi ulama mendapatkan gelar al-Rāzi. Seperti Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Zakaria al-Rāzi.3 Oleh karena itu, gelar al-Rāzi bisa dikatakan bukan hanya untuk Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Semenjak kecil Fakhr al-Dīn al-Rāzi ikut bersama ayahnya. Ayahnya merupakan ulama tersohor karena menjadi khatib di Ray. Ini membuat Fakhr al-Dīn al-Rāzi mendapat julukan Ibn Khatib al-Ray. Selain itu nasab Fakhr alDīn al-Rāzi memiliki garis keturunan dengan Abu Bakar al-Shidiq.4 Sampai pada akhirnya ayahnya meninggal pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi berusia 15 tahun. Selanjutnya Fakhr al-Dīn al-Rāzi melakukan pengembaraan mencari 1
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Roh Itu Misterius, Terj. M. Abdul Qadir al-Kaf, (Jakarta: Cendekia, 2001), h.17. 2 Ajm adalah istilah untuk daerah yang ditempati oleh selain bangsa arab. 3 Madjid Fakhry, A Hystory of Islamic Philosophy, (Newyork: Colombia University Press, 1970), h. 355. 4 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Roh Itu Misterius, h. 18
13
14
ilmu. Fakhr al-Dīn al-Rāzi hidup di tengah kondisi masyarakat yang komplek. Kompletifitas masyarakat tersebut terlihat dari keragaman agama dan aliran agama yang dianut masyarakat. Sebagai seorang ilmuan, kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan dialektika dengan kondisi yang mengitarinya. Misalnya, terjadi dialog pertama dengan kaum mu’tazilah di Khawarizmi. Di samping itu, pernah pula terjadi dialog dengan para ahli agama lain, terutama dengan seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen pada waktu itu. Rekaman dialog itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Munāzarat Bayn al-Nasāra.5 Benturan pemikiran tidak hanya terjadi dengan kaum mu’tazilah dan penganut agama non-Islam. Kelompok pengagum pemikiran filsafat Ibnu Sina dikritik habis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Sementara itu, ketika di Transaksonia, ia harus berhadapan dengan kelompok yang menamakan dirinya sebagai aliran Karamiyah, yang menyebabkan ia melakukan eksodus ke Ghazna, Afganistan.6 Salah satu failasuf Islam yang juga lahir dari kota Ray adalah Ibn Miskawaih.7 Pengaruh pemikiran filsafat terus berkembang. Namun alGhazali yang membuat kitab Tahafut al-Falāsifah membuat sufistik jauh lebih berkembang dibandingkan dengan ilmu filsafat. Bahkan al-Umari dalam 5
Syarifah Suminto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 171-172. Madjid Fakhry, A Hystory, h. 355. 7 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UIN Press, 2002), h. 47. 6
15
kitab Mafātih al-Ghāib karya Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan kaum muslimin menjadi benci terhadap filsafat, khususnya kalangan fuqaha dan golongan Asy’ariyah.8 Fakhr al-Dīn al-Rāzi sendiri hidup berada dalam besarnya peran Bani Saljuk yang cenderung kepada Sunni dan Sufisme.9 Dengan tiga dari empat madhzab fiqh yang mendominasi. Di antaranya adalah Syafi’iah sebagai madzhab minoritas, Hanafiah sebagai madzhab mayoritas, dan Syi’ah sebagai aliran yang juga sedikit diikuti oleh orang-orang Ray. Hanafiah sebagai madzhab mayoritas tidak terlalu resisten terhadap serangan atau dakwah dari madzhab lainnya. Akan tetapi untuk Syafi’iah dan Syi’ah masih berebut pengikut. Namun kota Ray yang didominasi Ahlussunnah membuat golongan Syafi’iah menjadi kelompok kedua di antara madhzab yang ada.10 Keadaan semacam inilah yang mendorong Fakhr al-Dīn al-Rāzi untuk mencoba menghubungkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam. Karena perjuangan itu, Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid alGhazāli pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologi melalui pendekatan filsafat.11 Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi menikah di Ray dengan salah satu anak seseorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah. Sejak 8
Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, Skripsi Mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 21. 9 Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, (Surabaya: Toralitera, 2004), h. 101. 10 Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, h. 21-22. 11 Madjid Fakhry, A Hystory, h. 356.
16
pernikahannya
terjadi,
Fakhr
al-Dīn
al-Rāzi
menjadi
orang
yang
berkecukupan dalam hal ekonomi. Dari pernikahannya ini Fakhr al-Dīn alRāzi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak lakilakinya bernama Dhiya’ al-Dīn, Sams al-Dīn dan Muhammad meninggal pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi masih hidup dan membuatnya sangat bersedih. Bahkan Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengungkapkan kesedihannya dengan menyebut nama Muhammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, alRa’d, dan Ibrahim. Fakhr al-Dīn al-Rāzi meninggal di Herat pada hari senin tanggal 1 Syawwal 606 H./1209 M. bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok alKaramiyah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhr al-Dīn al-Rāzi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni alRāzi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabb-Nya.12 Fakhr al-Dīn al-Rāzi dimakamkan di gunung Musaqib desa Muzdakhan tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal Fakhr al-Dīn al-Rāzi meninggalkan wasiat yang dicatat oleh muridnya Ibrahim al-Asfahāni. Wasiatnya berisi tentang pengakuannya bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana yang tidak. Dalam wasiatnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga menyatakan ketidak puasannya terhadap filsafat dan ilmu kalam (teologi), ia lebih menyukai metode al-Qur’an dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihati untuk tidak 12
Djayadi, “Konsep Takdir”, h. 20.
17
melakukan perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang tak terpecahkan.13 Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak ada yang menyamai keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Ia juga seorang ahli bahasa asing, maka tidak heran jika para ilmuan dari luar, banyak yang datang untuk berguru dengannya karena bahasanya yang fasih dalam menerangkan beberapa disiplin ilmu, baik bahasa Arab maupun bahasa non Arab. B. Pendidikan dan Karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan pertama kali belajar pada ayahnya, Dhiyā’ al-Dīn yang terkenal dengan nama al-Khātib al-Ray sampai menjelang meninggalnya sang ayah. Dhiya’ al-Dīn merupakan seorang ulama besar di Ray, khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 559 H. Saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi berusia 15 tahun, ia memulai pengembaraannya menimba ilmu. Madjid Fakhry menjelaskan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga seperti pelajar muslim lainnya. Dimana mereka melakukan pengembaraan dalam pencarian ilmu ke seluruh Persia. Dari khawarizm ke Ghaznah, lalu ke Herat 13
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), h. 322.
18
kemudian menetap di Herat di bawah kekuasaan Sultan ‘Ala al-Dīn Khawarazmsyah.14 Perjalanan pertamanya, menuju Simnan. Disana beliau belajar fiqih dengan ahli fiqih dan teolog bernama al-Kamal al-Simnani. Setelah beberapa saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi kembali ke Ray dan belajar kepada Majd al-Dīn alJalili yang merupakan murid Imam Al-Ghazāli, Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar teolog dan filsafat. Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, Fakhr al-Dīn alRāzi melanjutkan perjalanan ke khawarizm. Akan tetepi di khawarizm banyak berdebat dengan kaum mu’tazilah dan akhirnya ia kembali ke Ray.15 Selain itu, Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak belajar ilmu kepada ulamaulama besar pada masanya, diantaranya adalah Abi Muhammad al-Baghāwi, kepada al-Baghāwi Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar ilmu kalam dan tasawuf dalam kitab al-Majjad al-Jalili, kepada Yahya al-Suhrawardi ia belajar filsafat dan ushul fiqh. Ia juga belajar ilmu ushul fiqh dari karangannya al-Ghazāli dalam kitab al-Mustafa dan
kitab al-Mu’tamad karya
Abi
al-Husain
al-Bisrī,
sehingga tidaklah diragukan ia menjadi seorang yang ahli dalam masalah Ushul.16 Di antara gurunya yang mengajarkan ilmu fikih kepadanya adalah ayahnya sendiri, dimana ayahnya juga belajar kepada Abi Muhammad al 14
Madjid Fakhry, A hystory, h. 355. Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, Skripsi Mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, 2011, h. 25. 16 Muhammad Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Tafsir al-Kabir wa Mafātih al-Ghāib, (Bairut: Dar al-Fikr, 1990), h. 5. 15
19
Husain Ibn Mas’ud al-Faraq al-Baghāwi yang jika ditelusuri kepada guruguru yang lain sampai kepada Imam Syāfi’i. Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga belajar teologi (ilmu kalam) kepada ayahnya yang menganut paham Asy’ariyyah yang jika ditelusuri para guru-gurunya sampai kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ar. Hal ini memberikan kejelasan bahwa Fakhr al-Dīn alRāzi adalah salah satu mufasir yang bermadzhab Syāfi’ī. dalam masalah fikih dan penganut madzhab Asy’ariyyah dalam masalah kalam. Fakhr al-Dīn al-Rāzi berhasil dalam menguasai filsafat dan kedokteran yang ia peroleh dari para gurunya yang ia refleksikan dalam karyanya yang berjudul Syarah al-Isyārat karya Ibn Sina, Lubab al-Isyārah dan al-Mulkah fī al-Falsafah. Dalam bidang ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh alKulliyyāt li al-Qānūn karya Ibnu Sina. tidak heran jika dalam masanya dan masa sesudahnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak mendapatkan pujian yang istimewa seperti yang di katakan oleh al-Qufti bahwa ia adalah seorang yang memiliki pemikiran yang tajam serta memiliki daya analisa yang kuat.17 Sehingga ia dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan termasuk didalamnya ilmu kedokteran yang banyak di puji oleh para muridnya yang mempelajari ilmu kedokteran darinya. Dalam dunia islam Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan salah satu penulis produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai cabang keilmuan mulai dari tafsir, teologi filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, 17
Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h. 100.
20
sejarah, astrologi fisiognomi (firasat) dan masih banyak lagi. Konon karangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi lebih dari 200 buah karangan, baik beberupa risalah, syarah, maupun kitab yang berjilid-jilid. Dalam buku Metodologi Tafsir, AlBaghdadi mengklasifikasikan karangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjadi sepuluh. Namun di dalamnya tidak dijelaskan secara detail nama-nama karya yang ditulis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. 18 Akan tetapi, Anshori dalam buku Tafsir Bil Ra’yi; Menafsirkan AlQuran Dengan Ijtihad menuliskan dalam Sembilan kelompok karya-karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Berikut kelompok serta nama-nama karya Fakhr al-Din Fakhr al-Dīn al-Rāzi: 1. Karya Bidang Tafsir 1.1. Tafsīr Kabīr (Mafātih al-Ghāib) 1.2. Asrār al-Tanzīl wa Asrār al-Tafsīr (Tafsīr al-Qur’an al-Saghīr) 1.3. Tafsīr Surat al-Fatihah, 1.4. Tafsīr surat al-Baqarah 1.5. Tafsīr surat al-Ikhlās, dan 1.6. Risālah fi Tanbīh ‘ala Ba’d al-Asrār al-Mudi’ah fi Ba’d Ayat al-Qur’an al-Karīm. 2. Dalam bidang Ilmu Kalam (teolog) 2.1. Arba’īn fi Usūl al-Dīn 2.2. Asās al-Taqdīs 2.3. Asl al-Haqq 18
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, h. 321.
21
2.4. Al-Qada wa al-Qadar 2.5. Syarh al-Asmā Allah al-Husna 2.6. Ismah al-Anbiyā’ 2.7. Al-Mahsul (fi ‘Ilm Kalam) 2.8. Al-Ma’alim fi Usūl al-Dīn 2.9. Nihāyah al-’Uqūl fi Dirāyah al-Usūl 2.10.
Ajwibat al-Masā’il al-Najjāriyyah
3. Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat, dan Etika. 3.1. Ayat al-Bayyināt fi al-Mantiq, 3.2. Mantīq al-Kabīr 3.3. Ta’jiz al-Falāsifah 3.4. Syarh al-Isyārah wa al-Tanbīhāt (li Ibn Sina) 3.5. Syarh ‘Uyūn al-Hikmah (li Ibn Sina) 3.6. Al-Mabāhith fi al-Mashrīqiyyah 3.7. Muhassah Afkār al-Mutaqadimīn wa al-Muta’akhirīn min ‘Ulamā wa al-Hukamā’ wa al-Mutakalimīn. 3.8. Al-Matālib al-‘Aliyyah 3.9. Al-Akhlāq 4. Dalam permasalahan Hukum 4.1. Ibtal al-Qiyās 4.2. Ihkām al-Ahkām 4.3. Al-Ma’ālim fi Usūl Fiqh 4.4. Muntakhab al-Mahsūl fi Usūl Fiqh
22
4.5. Al-Barāhim wa al-Barāhiyah 4.6. Nihāyah al-Bahāiyyah fi al-Mabāhith al-Qiyāsiyyah. 5. Dalam Ilmu Bahasa 5.1. Syarh Nahj al-Balāghah 5.2. Al-Muharrir fi Haqā’iq al-Nahw 6. Dalam bidang Sejarah 6.1. Fadā’il al-Shahābah al-Rāsyidīn 6.2. Manāqib Imām al-Syāfi’ī 7. Dalam bidang matematika dan Astronomi 7.1. Al-Handasah 7.2. Al-Risālah fi ‘Ilm Hay’ar 8. Dalam bidang kedokteran 8.1. Al-Tib al-Kabā’ir 8.2. Al-Asyribah 8.3. Al-Tashyīr 8.4. Syarh al-Qānūn li Ibn Sina 8.5. Masā’il fi al-Tib 9. Dalam bidang sihir dan astrologi 9.1. Al-Ahkām al-‘Alā’iyyah fi A’lan al-Samawiyyah 9.2. Kitab fi Raml 9.3. Sir al-Maktum19 Dan karya umum adalah I’tiqād Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn. 19
Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h.75-81.
23
Dari sekian banyak karya-karyanya, yang menjadi unggulan adalah kitab Mafātih al-Ghāib atau Tafsīr al-Kabīr yang fenomenal. Kitab ini merupakan kajian yang komprehensif dari Tafsir Bil Al-Ra’y. kitab ini terdiri dari 32 juz yang ditulis pada akhir masa dari kehidupannya. Melihat dari kronologinya, kitab ini ditulis pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencapai kematangan dalam keilmuannya. Mafātih al-Ghāib merupakan kitab tafsir bi al-ra’yi yang paling komprehensif. Karena menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan logika. Di antara aspek pembahasan tafsir terpenting adalah ilmu kalam. Di dalamnya termasuk pembahasan mengenai hubungan antara Allah, alam semesta dan manusia. Adapun corak penafsirannya adalah tahlīli, yakni penafsiran dengan secara menyeluruh dan luas.20 Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak menyelesaikan tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan bagian kedua ditulis oleh pengikutnya, yakni al-Syaekh Najm al-Dīn Ahmad bin Muhammad al-Qāmūli (767 H) dan Syihāb al-Dīn bin Khalīl alKhuwayya. Secara berurutan Fakhr al-Dīn al-Rāzi menulis hingga surat alAnbiya’ (surat ke-21). Disamping itu, secara acak (tidak mengikuti mushaf) Fakhr al-Dīn al-Rāzi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu’arā, alQiyāmah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma’ārij dan al-Naba’.21 Walaupun diyakini bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak menyelesaikan 20
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 56. 21 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi, h. 100.
24
seluruh tafsirnya, namun kitab yang sekarang dinisbatkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya sebagai buah karya dari satu orang. Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian yang lainnya dengan ide serta pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut dijelaskan dalam pendahuluan Mafātih
al-Ghāib Juz I, bahwa “kitab tersebut (Mafātih
al-Ghāib)
dinisbahkan kepadanya (Fakhr al-Dīn al-Rāzi)”.22 C. Tokoh-Tokoh yang Memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi Di dalam pendahuluan Mafātih al-Ghāib sebenarnya telah dijelaskan mengenai guru yang memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Berikut penjelasan detailnya: 1. Guru yang berpengaruh terhadap Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah Abi Muhammad al-Baghāwi dalam bidang hadis. Adapun dalam bidang teologi dan filsafat belajar kepada Madjid al-Jailī yang merupakan murid imam al-Ghazāli.23 Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, Fakhr al-Dīn al-Rāzi melanjutkan perjalanan ke Khawarizm. Akan tetapi di khawarizm banyak berdebat dengan kaum mu’tazilah dan dan akhirnya ia kembali ke Ray.24 2. Dalam ilmu ushūl, Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar dari ayahnya sendiri, yakni Dhiā al-Dīn Umar. Garis belajarnya sangat jelas, dimana ayahnya belajar kepada Abī al-Qāsim Sulaimān Ibn Nāsir 22
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 3 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4 24 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, 322 23
25
al-Anshāri dan seterusnya hingga Abu Hasan al-Asy’āri.25 3. Dalam ilmu fiqh beliau belajar ayahnya juga, namun guru ayahnya dalam bidang fiqh adalah Abi Muhammad al-Husain Ibn Mas’ūd al-Farā al-Baghāwi, seterusnya hingga sampai Imam Syāfi’ī.26 Dari berbagai tokoh yang mempengaruhi, Fakhr al-Dīn al-Rāzi memiliki banyak gelar. Fakhr al-Dīn al-Rāzi dikatakan sebagai Ahli Fiqh. Salah satu karyanya dalam bidang fiqh adalah Tharīqah al-‘Alāiyah yang merupakan Syarah al-Wajīz milik al-Ghazāli. Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga merupakan tokoh dalam bidang teologi, filosof, mufassir, dan kedokteran.27 Penjelasan di atas merupakan kunci bagaimana memahami kedudukan Fakhr al-Dīn al-Rāzi sesungguhnya. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan tokoh di berbagai bidang. Fakhr al-Dīn alRāzi berhasil dalam menguasai filsafat dan kedokteran yang ia peroleh dari para gurunya yang ia refleksikan dalam karyanya berjudul Syarah alIsyārāt karya Ibn Sina, Lubāb al-Isyārah dan al-Mulkah fi al-Falsafah. Dalam bidang ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh al-Kulliyyāt li alQānūn karya Ibnu Sina.28 Dari pengertian di atas menimbulkan pertanyaan, siapakah Fakhr alDīn al-Rāzi sesungguhnya? Lalu kedudukan yang pantas untuk Fakhr al-Dīn 25
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4. 27 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 5-6. 28 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h. 100. Atau lihat Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 6. 26
26
al-Rāzi? Untuk menjawab tersebut Madjid Fakhry menjelaskan, bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan teolog yang memoderasikan pemikiran teologi tradisional. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencoba menjebatani antara teologi dan filsafat yang menurutnya bertentangan. Dengan kata lain, pemikiran teologis Fakhr al-Dīn al-Rāzi dikaji dengan pendekatan filosofis.29 Djayadi Cahyadi menegaskan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi melakukan perdebatan dengan ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis.30 Dengan demikian dapat disimpulkan dari tokoh dan karya yang ada Fakhr al-Dīn alRāzi merupakan teolog yang filosofis. Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak mendapatkan pujian yang istimewa seperti yang di katakan oleh al-Qufti bahwa ia adalah seorang yang memiliki pemikiran yang tajam serta memiliki daya analisa yang kuat. Sehingga ia dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan termasuk didalamnya ilmu kedokteran yang banyak di puji oleh para muridnya yang mempelajari ilmu kedokteran darinya.31
29
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 121. Djayadi Cahyadi, “Takdir”, h. 24. 31 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 7. 30
BAB III KONSEP TAUHID DALAM ISLAM A. Pengertian Tauhid Tauhid merupakan aspek mendasar dalam ajaran keagamaan. Secara etimologis tauhid berarti membahas mengenai keesan Tuhan. Berbicara mengenai keesaan Tuhan berarti bicara soal keimanan. Iman atau percaya kepada Tuhan adalah prinsip dasar orang beragama. Oleh karena itu bertauhid berarti membahas mengenai persoalan keimanan kepada Tuhan secara tuntas. Tauhid ditinjau dari etimologis merupakan bentuk masdar dari kata wahada, yuwahhidu, tauhīdan. Artinya adalah mengeesakan Allah.1 Keterkaitannya dengan iman atau percaya adalah membahas apa yang dipercaya dan bagaimana mempercayainya. Maka dalam kajian tauhid dibahas mengenai beberapa kriteria tauhid yang berisi percaya atau iman kepada Allah. Dari definisinya, Abduh menjelaskan bahwa tauhid adalah merupakan bagian terpenting menetapkan sifat “wahdah“ (satu) bagi Allah dalam zatnya dan dalam perbuatannya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa ia sendiri pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.2 Dari situ dapat dipahami ada pengeesaan zat, perbuatan Allah yang menciptakan dan kepada Allah-lah semuanya kembali. 1
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo, 1993), h. 1. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terj. Firdaus A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 8. 2
27
28
Definisi di atas mengarahkan bahwa tauhid merupakan upaya penjelas dari persoalan keimanan manusia kepada Allah. Sebab persolan keimanan tidak hanya sebatas percaya secara harfiah saja, akan tetapi yang dimaksud percaya dalam konteks iman adalah membenarkan dan meyakini hanya ada Allah yang menciptakan dan kepada-Nya lah kita beribadah dan kembali. Tauhid menjadi dasar seorang muslim beriman kepada Allah. Menurut Syaikh Muhammad al-Tamimi, hakikat tauhid merupakan bentuk konkrit dari konsep penyembahan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS AdzDzāriat ayat 56 yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku”. Ibadah yang dimaksud adalah bentuk penghambaan manusia kepada Allah dengan senantiasa mentaati segala perintah-Nya dan menjauh segala larangannya.3 Dengan tauhid yang kuat maka seorang muslim akan mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dengan keyakinan yang kuat pula. Nilai keesaan Allah merupakan awal dari kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan Nya tersebut. Manusia diciptakan di muka bumi ini hanya mempunyai satu tugas yaitu menyembah Allah dengan segala bentuk ibadahnya Adapun urgensi tauhid untuk manusia bersifat menjelaskan secara detail mengenai aspek dasar kepercayaan manusia kepada Allah. Sebab hal mendasar dari manusia adalah manusia merupakan makhluk yang bertauhid. Mu ahhari mengutip dari Max Mueller, manusia purba adalah manusia 3
Muhammad At-Tamami, Kitab Tauhid; Pemurnian Ibadah Kepada Allah, Terj. M. Yusuf Harun, (Jakarta: Darul Haq, 2011), h. 1-4.
29
tauhid. Adapun menyembah atau ibadah yang diajarkan oleh Nabi dan lainnya bukan ibadah, melainkan tatacara beribadah yang baik dan benar. Menyembah dan memuja inilah yang diartikan sebagai agama. Dengan demikian inti dari agama adalah persoalan tauhid. 4 Lebih jelasnya dalam tauhid, manusia yang meyakini dan mengakui bahwa Allah SWT semata, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya. Sesungguhnya hanya Dia yang Maha Pencipta, Maha Pengatur alam semesta. Hanya Dia lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan setiap yang disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia SWT mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi. inilah yang kemudian menjadi titik urgensi dalam memahami tauhid.5 Kedudukan Tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, Karena dari pemahaman tentang tauhid adalah itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keislaman seseorang. Apabila pemahaman tentang tauhid seorang tidak kuat, maka akan goyah pula pilar-pilar keislamannya secara menyeluruh. Atau dengan kata lain merupakan jiwa Islam dan dasar seluruh aqidah.6 Di sisi lain, ajaran mengenai tauhid merupakan basi utama dalam agama monoteis. Islam 4
Murta a Mu ahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan Manusia dan Alam, Terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), h. 303 – 304. 5 Muhammad Bin Abdullah al-Tuwajry, Tauhid, Keutamaan dan MacamMacamnya, Terj. Islam-House, (tt, Islam House, 2007), h. 1. 6 Yusuf al-Qardawi, Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan, Terj. Rahim Haris, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 13.
30
merupakan agama monoteis, artinya meyakini hanya satu Tuhan, yakni Allah. Islam mengajarkan jelas dan mudah tentang keesaan Allah yang berbeda dari pandangan antromorpisme maupun mitologisme.7 Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan pada persoalan keimanan saja, tetapi memfokuskan pada tauhid sebagai dasar aqidah serta jiwa keberadaan Islam. Dasar yang dimaksud adalah iman kepada Allah yang maha esa yang mengatur dan mencipta alam semesta, dan kepada-Nya lah semua akan kembali. Dengan demikian sebab menurut Yusuf Qardlawi tauhid adalah i’tikadi (keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah (kehendak).8 Persoalan utama dalam Tauhid adalah tentang Allah. Kenapa Allah? Dan bagaimana cara memahaminya? Faris Pari menjelaskan bahwa pengalaman agama adalah pengalaman berketuhanan, yaitu pengalaman relasional dengan Tuhan, dan di antaranya adalah tentang pengalaman pencarian existensi Tuhan. Idea tulisannya menjelaskan argumen-argumen tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan dan argumen bantahan tentang bukti ke-tidak ada-an Tuhan.9 Dalil-dalil
rasionalisme,
empirisme
serta
sains
tidak
bisa
mengungkapkan eksistensi Allah. Bagi empiris Allah tidak bisa dibuktikan, sebab Allah merupakan yang metafisik, sedangkan empiris berpihak pada 7
Antromorpisme merupakan aliran yang menggambarkan Tuhan sebagaimana manusia. sedangkan mitologisme merupakan aliran yang menjadikan Dewa sebagai Tuhan dalam ajarannya). Lebih lengkap lihat Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 15. 8 Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h.16. 9 Faris Pari, “Pengalaman Rasional Eksistentis Tuhan: Pengantar Ontotheologi”, diakses dari www.academia.edu pada tanggal 1 Desember 2016, h. 1.
31
material. Dalam rasional hanya sebatas menggunakan pendekatan kausalitas sebagai pembuktian adanya Allah. Namun tidak bisa mengupas tentang Allah yang transenden. Sedangkan sains hanya tidak bisa membuktikan adanya Allah dengan sesuatu yang ada dalam fisika saja. Kesimpulannya hanya iman yang bisa menjawabnya. Dalam konsep iman, pada dasarnya, inheren di dalamnya tidak diperlukan bukti. Jika kita masih mempertanyakan bukti, berarti kita tidak atau belum percaya.10 Selain itu, Yusuf Qardlawi juga menjelaskan bahwa persoalan tauhid dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, adalah argument fitrah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat fitrah untuk mengakui kekuatan tertinggi di atas kekuatan manusia dan alam. Kedua, argument akal yang menekankan bahwa ada pencipta dari segala sesuatu ini (alam). Ketiga, argument wahyu yang berupa transformasi generasi kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya kepada semua manusia dibelahan bangsa yang mengajak beriman.11 Persoalan selanjutnya adalah bagaimana bertauhid itu? hal tersebut dapat dipahami dengan satu pendekatan yang disebut ilmu tauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.12 Sedangkan menurut Teungku Muhammad
Hasbi
Ash-Shiddīeqy,
ilmu
tauhid
ialah
ilmu
yang
membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan 10
Faris Pari, “Pengalaman Rasional”, h. 7. Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h. 20 – 26. 12 Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta. 1996), h. 1. 11
32
mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik berupa dalil aqli, dalil naqli, ataupun dalil fitrah.13 Di sisi lain permasalahan aqidah yang menjadi faktor utama munculnya disiplin ilmu keislaman yang dikenal dengan nama Ilmu Tauhid atau juga disebut Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Aqā’id, dan juga disebut Teologi Islam.14 Aspek dasar dari ilmu tauhid adalah masalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah. Keyakinan tersebut akan membawa kepada kepercayaan terhadap malaikat, kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah serta mempercayai kehidupan setelah kematian. Adapun dinamakan ilmu tauhid karena pokok utama pembahasannya adalah mengenai keesaan Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan Allah.15 Hal ini berkaitan ilmu tauhid dan pengertian tauhid. Dari segi bahasa “mentauhidkan” sesuatu “berarti” menjadikan sesuatu itu esa. Dari segi Syar’I, tauhid ialah “mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui para nabi-Nya yaitu dari segi Rubūbiah dan Ulūhiah.16 B. Unsur-Unsur Tauhid Penulis mengambil titik fokus kajian tauhid dalam islam. Tauhid sebagaimana yang telah dijelaskan mengarahkan pada dua poin. Pertama, 13
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddīeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 1. 14 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta : Universitas Indonesia UI-Press, 1986). Atau lihat juga dalam Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), h. 1. 15 Muhammad Ahmad, Ilmu Kalam, h. 9. 16 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), h. 13.
33
tauhid yang berorientasi bahwa Allah sebagai pencipta atau yang dikenal dengan istilah Rubūbiah. Kedua, bertauhid dengan cara mengakui dan menyembah kepada Allah, dan kepada-Nya lah semua akan kembali atau yang dikenal dengan istilah Ulūhiyyah. 1. Tauhid Rubūbiah Tauhid Rubūbiah diambil dari salah satu nama Allah al-Rabb, yang memiliki beberapa makna yaitu: pemeliharaan, pengasuh, pendamai, pelindung, penolong dan penguasa. Secara umum tauhid Rubūbiah ialah yakin bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh alam.17 Meyakini tauhid ini berarti meyakini bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi sekaligus pengatur alam semesta ini. Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah di dalam segala perbuatan-Nya, dialah satu-satunya yang menciptakan sekaligus memiliki, dan mengatur. Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatanNya dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan seluruh makhluk.18 Secara umumnya dapat diartikan mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai, memberikan rizki, mengurusi makhluk. Yang semuanya hanya Allah semata yang mampu dalam semua alam semesta. Dan semua orang meyakini adanya Rabb yang menciptakan, menguasai, dll. Setelah mengetahui bahwa pencipta kita adalah Allah swt, dan bahwa keberadaan dan managemen kita hanya berada di tangan-Nya, kita 17 18
Qardlawi, Tauhidullah, h. 35. Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 13.
34
juga harus percaya bahwa tak seorangpun selain Dia yang mempunyai hak untuk memerintah dan membuat hukum bagi kita. Tauhid ini mengisyaratkan pada kita, bahwa Allah lah yang menciptakan Alam semesta beserta isinya. Hal ini tertuang misalnya dalam Q.S Az-Zumar ayat 62 yang artinya: Allah menciptakan segala sesuatu. Dilihat dalam Al-Qur’an, istilah atau kata Rabb sering kita jumpai di berbagai ayat. Secara etimologi, kata Rabb merupakan bentuk mashdar dari kata Rabba, Yarubbu.19 Tauhid inilah yang terpatri didalam jiwa-jiwa manusia, tidak seorangpun dari manusia yang menyelisihinya, baik yang mukmin maupun yang kafir.20 Seperti yang terdapat dalam QS. Luqman ayat 25 yang artinya, Dan sesungguhya jika kamu tanyakan kepada mereka: “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”. Tentu mereka akan menjawab “Allah”. Katakanlah: “segala puji bagi Allah”; tetapi mereka tidak mengetahui”. Yang dimaksud dengan hal ini ialah bahwa alam raya ini diatur oleh mudabbir (pengelola), pengendali tunggal, tak disekutui oleh siapa dan apapun dalam pengelolaan dan pen-tadbiran-Nya. Dialah Allah (Mahasuci Dia) Pengelola alam semesta ini. Adapun pentadbiran para malaikat serta semua sebab (lantaran) yang saling berkaitan, tidak lain adalah perintah-Nya. Hal ini berlawanan dengan pendapat sebagian kaum musyrikin yang percaya 19
Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 18 al-Faqih dan Abdus Salam, Aqidah Muslim; dalam tinjauan al-Qur’an dan asSunnah, Terj. Hammad bin ‘amir Abu Mu’awiyah, (Bekasi: Maktabah Daar El-Salam, 2009), h. 4. 20
35
bahwa yang berkaitan dengan Allah SWT hanyalah perbuatan penciptaan dan pengadaan mula pertama saja, sedangkan pentadbiran dan pengaturan segala jenis makhluk dan benda diatas bumi ini selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada benda-benda langit, malaikat, jin, serta maujudat spiritual yang diperankan oleh berhala-berhala yang disembah. Jadi menurut mereka tidak ada sangkut paut Allah dalam hal pentadbiran dan pengelolaan urusan segala nya. Akan tetapi, dengan jelas dan terang Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah adalah sang pengatur dan pengelola (al-Mudabbir) bagi alam semesta, maka yang demikian itu semata-mata atas izin dan perintah-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS.Al-A’rāf: إن رﺑﻜﻢ اﷲ اﻟﺬى ﺧﻠﻖ اﻟﺴﻤﻮات واﻷرض ﻓﻰ ﺳﺘﺔ اﻳﺎم ﺗﻢ اﺳﺘﻮى ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮش ﻳﻐﺸﻰ اﻟﻴﻞ اﻟﻨﻬﺎ ر ﺣﺜﻴﺜﺎ واﻟﺸﻤﺲ واﻟﻘﻤﺮ واﻟﻨﺠﻮم ﻣﻴﺨﺮت ﺑﺄﻣﺮﻩ أﻻ ﻟﻪ اﻟﺨﻠﻖ واﻷﻣﺮ ﺗﺒﺎرآﺎﷲ رب اﻟﻌﻠﻤﻴﻦ,ﻳﻄﻠﺒﻪ Artinya : “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia menguasai diatas arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan–Nya pula) matahari, bulan dan bintang, yang semuanya tunduk kepada perintah-Nya.ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hal Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.(QS.Al-A’raf : 54) Maka, siapa saja yang memiliki pengetahuan, walaupun sedikit, tentang ayat-ayat
Al-Qur’an, pasti mengetahui manakala Allah SWT
menisbahkan banyak dari perbuatan atau tindakan kepada diri-Nya sendiri, sementara disaat yang sama dan diberbagai ayat lain Ia menisbahkannya
36
kepada selain Dia, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengandung pertentangan (kontradiksi). Sebab, adanya pembatasan timbulnya segala perbuatan pada zat-Nya sendiri saja ialah yang semata-mata bersifat “mandiri sepenuhnya”. Hal ini tidak bertentangan dengan penyekutuan sesuatu selainNya dalam perbuatan itu, dalam arti bahwa ia hanya sebagai pelaksana perintah dan kehendak-Nya.21 Dalam QS. Al-Mu’minun ayat 84-89 yang artinya; “Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “milik Allah”. Maka apakah kamu tidak ingat (bertaqwa)? Katakanlah: Siapakah Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: “Allah”. Maka apakah kamu tidak bertaqwa? Katakanlah: “Siapakah yang ditangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu. Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab-Nya), jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: Kalau begitu, dari jalan manakah kamu ditiup? Selain itu Istilah Rabb al-‘Alamin terdiri atas rabb dan al-‘alamin. Rabb dalam bahasa digunakan dengan pengertian pemilik (al-Malik), tuan (al-Sayyid), pengatur (al-Mudabbir), pengasuh (al-Murabbi), penanggung jawab (al-Qayyim) dan pemberi anugerah (al-Mun’im). Pengertian-pengertian ini menurut at-Thabari merupakan pengembangan dari tiga makna pokok alRabb: Tuan, pembina (al-Mushlih) dan pemilik. Ketiga makna pokok ini termuat dalam istilah rabb untuk Allah,
sehingga Allah sebagai rabb
21
Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1987), h. 17 -19.
37
berpengertian: Tuan yang tidak ada tandingan dalam kekuasaan-Nya, pembina keberadaan makhluk-Nya dengan memberi karunia tak terhingga dan pemilik yang mencipta dan mengurus mereka. Adapun al-‘Alamin adalah jamak dari ’alam (alam). Alam adalah semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam (dalam bahasa Arab ’alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi media untuk mengenal Allah, Penciptanya. Namun jika dihubungkan dengan istilah lain yang akar katanya sama (al-Ilm), ’ilm, (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar ilmu. Sekedar sebagai gambaran betapa Allah menjadi Rabb dengan cinta kasih dapat disebutkan awal surat al-A’la yang menjelaskan bahwa Dia mencipta dengan menyempurnakan ciptaan-Nya dan memberinya potensi disertai dengan pemberian bimbingan kepadanya. Penciptaan yang demikian hanya bisa terjadi jika ia dilakukan berdasarkan cinta kasih sehingga hasilnya indah, lestari, berguna dan tidak menimbulkan kerusakan, termasuk bagi diri sendiri. Berkaitan dengan hal itu di sini ditambahkan penghayatan Ibrahim. Setelah menegaskan kepada kaumnya bahwa Allah Rabb al-‘Alamin itu adalah Tuhannya, dia menjelaskan bahwa Dialah “Yang menciptakan aku, kemudian memberi bimbingan kepadaku; Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan jika aku sakit, Dia menyembuhkanku” (QS. as-Syu’arā, 26:
38
77-80).22 Bentuk tauhid semacam ini tidak ada yang mengingkarinya kecuali penganut paham-paham materialisatheis yang mengingkari wujud Allah SWT, seperti kaum dahriyyun pada masa lalu dan komunisme pada masa sekarang.23 Dari sini sangatlah jelas bahwa yang meyakini tauhid macam ini bukan hanya seorang mukmin saja melainkan orang-orang kafirpun (penyembah berhala) meyakini bahwa Allah merupakan Dzat yang menciptakan sekaligus penguasa bagi jagat raya ini. 2. Tauhid Ulūhiah Kata Ulūhiah berasal dari kata ilāh yang berarti Tuhan. Maka tauhid Ulūhiah berarti mentauhidkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya dzat yang layak dipertuhankan. Hanya Dia yang layak dijadikan Tuhan oleh manusia. Islam sendiri mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang pantas disembah. Hal ini kembali pada lafadz “Lā ilāha illa Allāh”.24 Akan tetapi makna Ulūhiah menurut Qardlawi adalah beribadah. Artinya mentuhankan kepada Allah dengan cara kita menyembah kepada-Nya.25 Adapun pengertian tauhid Ulūhiah, penulis mengutip pandangan menurut Yusuf Qardhawi. Menurut Qardlawi, tauhid Ulūhiah adalah meng 22
Hamim Ilyas, “Tauhid Rahamutiyah: Reinterpretasi Doktrin Tauhid Dalam Muhammadiyah Untuk Merespon Perubahan Sejarah” dalam makalah online diakses dari www.muhammadiyah.org pada tanggal 2 Desember 2016. h. 13. 23 Farid Wajdi Ibrahim, “Ilmu Ushuluddin Menjawab Problematika Umat Islam Dewasa Ini” dalam “Ar -Raniry: International Journal of Islamic Studies” Vol. 1, No.1, Juni 2014. h. 45. 24 Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 24. 25 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 39.
39
Esa-kan dalam beribadah, patuh dan taat secara mutlak kepada-Nya. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah dan tidak pula menyekutukan-Nya26. Artinya, kita diwajibkan untuk menyembah ataupun menyerahkan diri kita hanya kepada Allah semata bukan kepada yang lainnya. Atau yang diungkapkan oleh Dr. Shalih Bin Fauzan bahwa tauhid Ulūhiah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyaratkan seperti doa, nazar kurban, raja’ (pengaharapan), takut, tawakal, senang, dan taubat.27 Tauhid macam ini dalam Al-Qur’an pun dijelaskan, misalnya QS. Al ‘Arāf ayat 59, 65, 73, 85 yang artinya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilāh (yang hak) bagimu selain-Nya”. Yang dimaksud mengesakan kepada Allah adalah manusia diminta untuk menyembah (beribadah), tunduk dan taat secara mutlak, tidak disembahkan atau diibadati selain dari Allah SWT. Tidak ada satupun di bumi atau di langit yang di sekutukan dengan-Nya. Tauhid Ulūhiah adalah mengesakan Allah dalam hal peribadahan. Sehingga seorang insan tidaklah layak mengangkat sekutu bersama Allah untuk disembah atau dipujanya atau dijadikan sebagai tempat ketergantungan hati dan sasaran pendekatan diri.28 Rasyid Rida menjelaskan bahwa mentauhidkan Allah berarti beribadat hanya kepada Allah dan tidak mensyirikan-Nya dengan yang lain. Jika salah satu hak peribadatan diberikan kepada selain Allah, maka hal tersebut 26
Qardhawi, Tauhidullah, h. 37. Qardhawi, Tauhidullah, h. 39 28 Abu Mushlih al-Jukjakarta, Hakikat dan Keutamaan Tauhid, tt.tt.tt, h. 15. 27
40
dinamakan syirik. Pengertian tentang ibadat merupakan suatu nama bagi sesuatu yang disukai Allah baik berbentuk perkataan atau perbuatan. Tauhid inilah perintah paling agung yang dibebankan Allah kepada seluruh umat manusia. Syaikh Muhammad At-Tamimi mengatakan, ”Perkara teragung yang diperintahkan Allah adalah tauhid yaitu mengesakan ibadah hanya untuk Allah.” Tauhid inilah yang tidak dimiliki oleh kaum musyrikin yang diperangi oleh Nabi shallallāhu ’alaihi wa sallam. Karena itulah beliau membolehkan darah mereka ditumpahkan, harta, tanah, dan rumah mereka pantas untuk diambil. Dan karena itulah beliau memperkenankan istri dan anak-anak mereka (kaum musyrikin) untuk ditawan.29 Tauhid Ulūhiah adalah berlandaskan pengakuan terhadap keesaan Allah
yang terangkum dalam
lafadz Tiada
Tuhan melainkan
Allah.
Pengakuan itu selaras dengan firman Allah, Maksudnya: “Tidaklah Kami ciptakan manusia dan jin melainkan untuk beribadat”30 Tauhid Ulūhiah yaitu adalah kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimah thayyibah “ Lā Ilāha Illahllāh” selain itu ia hanya berbakti kepadanya saja, jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan berserah diri Cuma kepadanya saja. kalau mengerjakan suatu amalan, maka tujuan utamanya hanyalah dia semata. singkatnya adalah 29
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (Malang, UIN-MALIKI, 2010), h. 16. 30 Mustafa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim, “Tawhid Ulūhiah, Rububiyyah Dan Al-Asma’ Wa Alsifat Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida Dalam Tafsir Al-Manar” dalam Jurnal Ushuluddin, 20.07/2011, h. 52.
41
kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta ialah Allah dan hanya berbakti kepada-Nya saja.” Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena ia tidak terwujud, maka muncullah lawannya, yaitu syirik.31 Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahansesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadahnya hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta.32 Pada intinya dengan mentauhidkan Allah secara Rubūbiah sebagai Tuhan pencipta segalanya, maka seharusnya manusia harus mengakui bahwa yang berhak menerima ibadah hanyalah Allah semata. Dengan kata lain Allah yang menciptakan segalanya, dan kepada-Nya kembali. Bentuk peribadatan manusia kepada Allah pun berarti tidak ada yang diseru dalam doa selain Allah. Tidak ada yang diminta pertolongan kecuali Allah. Dan hanya Allah tempat bergantung serta meminta pertolongan.33
31
Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 90-91. Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 95. 33 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 35. 32
BAB IV KONSEP TAUHID FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI A. Tauhid dalam Mafātif al-Ghaib Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang paling penting. Al-Qur'an banyak sekali memuat bukti-bukti akal yang menunjukkan tauhid kepadaNya, hari kebangkitan, kenabian dan keterangan tentang sifat-sifat Allah yang tidak ada di dalam kitab-kitab lainnya. Allah juga telah menganugerahkan akal supaya mengenal-Nya. Dengan demikian dengan adanya al-Qur’an dan akal dapat digunakan dalam memahami persoalan ketahuidan yang terperinci. Salah satunya yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan rasionalisasi yang kuat dalam Mafātih
al-
Ghāib. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengawali penjelasan mengenai tauhid dengan persoalan kalimat Lā Ilāha illa Allāh. Terkadang mengucapkan kalimat tersebut sudah dianggap bermakna bertauhid. Akan tetapi Fakhr al-Dīn alRāzi menjelaskan bahwa bertauhid tidak hanya mengucapkan kalimat tersebut, melainkan wajib bertauhidnya sekaligus memahami asma Allah. Yang dimaksud adalah Allah sebagai Dzat yang Esa.1 Kalimat Lā Ilāha illa Allāh tidaklah sulit untuk diucapkan, namun butuh dijelaskan secara tuntas sehingga tercapai makna tauhidnya. Untuk memahaminya perlu membahas secara terperinci dan luas. Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahhada yang artinya 1
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 1 h. 163.
42
43
menjadi satu (ja‘alahu wāhidan). Dalam salah satu karyanya, Mukhtasar albahhah, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa kata wahada memiliki arti al-infirād (sendirian) atau tauhada yang berarti terpisah dari yang lain. Jika kata wahada dikaitkan dengan nama Allah maka menjadi wahdahu, artinya Allah menjadikan diri-Nya sendirian.2 Berdasarkan arti bahasa tersebut bisa disimpulkan bahwa tauhid merupakan iman akan keesaan Allah, yang tidak bisa disamakan dengan selain-Nya. 3 Sebagaimana penjelasannya melalui tafsir surat Thaha ayat 14 yang berbunyi: Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku.” Menurut penafsiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi, lafadh Laa ilaaha anaa, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat (ketetapan) Allah. Dan tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.4 Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok mengenai tauhid.5 Adapun mengenai definisi tauhid bagi Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah upaya peneguhan diri seseorang atas pengetahuannya dengan menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.6 Pemantapan terhadap pengetahuan 2
Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandangan Fakhr al-Dīn alRāzi”, dalam Jurnal TSAQAFAH, Vol. 9, No. 2, Institut Studi Islam Darussalam Gontor, November 2013, h. 311 3 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid, h. 315. 4 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 152. 5 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Kecerdasan Tauhid, Terj. (Jakarta: Penerbit Zaman, 2011), h. 11 6 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid , h. 311.
44
adalah kunci utama dalam memahami tauhid. Sehingga bertauhid tidak sebatas bentuk pengucapan secara lafdziah saja terhadap kalimah tauhid. Hal di atas dikarenakan persoalan tauhid merupakan persoalan mendasar dalam keimanan manusia. Allah berfirman kepada Nabi Musa yang menunjukkan perintah Allah setelah tauhid adalah beribadah. Tauhid adalah ushul, dan ubudiah adalah cabang (furu’). Tauhid itu seperti pohon, dan ubudiah adalah dahannya. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, karena keduanya saling berkaitan.7 Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan lebih lanjut melalui tafsir surat Muhammad ayat 19: ْت ۗ وَاﻟﻠﱠ ُﻪ َﻳﻌَْﻠ ُﻢ ُﻣ َﺘ َﻘﱠﻠ َﺒ ُﻜﻢْ َو َﻣﺜْﻮَا ُآﻢ ِ ﻦ وَاﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨَﺎ َ ﻚ َوِﻟﻠْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴ َ ﻓَﺎﻋَْﻠﻢْ َأﻧﱠ ُﻪ ﻟَﺎ ِإَٰﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ اﻟﻠﱠ ُﻪ وَاﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮْ ِﻟ َﺬﻧْ ِﺒ Artinya: “Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah, lalu mohonlah ampunan atas dosamu serta dosa kaum mukmin, baik laki-laki maupun perempuan”. Ayat di atas digunakan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi untuk menjelaskan perihal tauhid. Dari ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perintah untuk mengenal tauhid lebih diutamakan ketimbang perintah untuk memohon ampunan. Sebab, mengenal tauhid mengisyaratkan pengetahuan pokok (ushul), sedangkan memohon ampunan menandakan pengetahuan cabang
7
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 1, h. 254.
45
(furu’). Yang pokok tentu harus didahulukan daripada yang cabang.8 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan mengesakan Allah sebagai Dzat tunggal dengan kita memahami-Nya. Pemahaman yang dimaksud adalah dengan bertauhid harus memahami persoalan Dzat, wujud, sifat serta hal-hal yang berkenaan dengan persoalan ketuhanan lainnya. Selanjutnya Fakhr al-Dīn al-Rāzi membeberkan mengenai tauhid dalam Mafātih al-Ghāib dalam bentuk tafsir al-Qur’an. Sebagaimana yang telah diketahui, Mafātih al-Ghāib merupakan kitab tafsir. Oleh karena itu penulis menelusuri pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi melalui penafsiran ayatayat yang berkenaan dengan tauhid. Di antaranya tafsir surat al-Baqarah ayat 163, surat al-Anbia ayat 22, surat Muhammad ayat 19, surat al-Fatihah, dan tafsir Bismillah. Beberapa unsur yang terdapat dalam pengertian tauhid secara umum pun dibahas juga oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Seperti Unsur tauhid asma, sifat dan dzat, unsur Uhūliah, dan unsur Rubūbiah. Akan tetapi dalam unsur Wujud, Dzat, asma wa sifat, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menamakannya dengan istilah Wahdāniah (keesaan). Secara terperinci akan dibahas satu persatu dibawah ini. B. Wahdāniah 8
Hendra Sugiantoro, “Bersama Fakhr al-Dīn al-Rāzi Mendalami Tauhid; Resensi Buku Kecerdasan Bertauhid, diambil dari http://www.kabarindonesia.com diakses pada tanggal 5 Januari 2015.
46
Dalam Mafātih al-Ghāib, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan mengenai tauhid dalam bentuk Wahdāniah (keesaan). Wahdāniah menurut Quraish Shihab merupakan gagasan mengenai penjelasan Allah sebagai dzat yang esa atau tunggal.9 Gagasan Wahdāniah inilah dapat dijadikan pondasi memahami tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Didik Purnomo bahwa gagasan tauhid Fakhr al-Dīn al-Rāzi berpusat pada konsep wahdāniah atau keesaan Tuhan.10 Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan wahdāniah pertama terdapat pada tafsir surat al-Baqarah ayat 163: ﻦ اﻟ ﱠﺮﺣِﻴﻢ ُ َوِإَٰﻟ ُﻬ ُﻜﻢْ ِإَٰﻟﻪٌ وَاﺣِﺪٌ ۖ ﻟَﺎ ِإَٰﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ُه َﻮ اﻟ ﱠﺮﺣْ َٰﻤ Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Kata wahdāniah pada dasarnya bersumber dari lafadz وَاﺣِﺪdalam ayat di atas yang berarti tunggal atau esa. Secara bahasa dasar makna tersebut adalah keesaan. Akan tetapi kata tersebut juga memiliki dua sisi makna. Pertama, makna yang berarti sifat dan Kedua, selain sifat.11 Pendekatan bahasa dan membedakannya tersebut menjadi penting untuk membedakan apakah antara Dzat dan Sifat itu tersusun atau tetap tunggal. Dalam konteks tauhid, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjabarkan panjang 9
M.Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif AlQuran, Jakarta: Lentera Hati, cet. 4, 2001, h. 302 10 Dedik Purnomo, Tafsir Kalimat Tauhid dalam al-Qur’an (StudiTafsir Mafātih alGhaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi), Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2016, h. 3. 11 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 181.
47
lebar
mengenai
kosakata
وَاﺣِﺪ.
Setidaknya
Fakhr
al-Dīn
al-Rāzi
menyimpulkan bahwa secara etimologis kata tersebut berujung pada tiga persoalan, yakni hakikat, sifat wāhidiah dan hakikat dengan wāhidiah. Hubungan dari ketiganya itulah yang disebut dengan konsep WahdāniahNya.12 Salah satu permasalahan yang ditulis dalam Mafātih al-Ghāib adalah persoalan Wahdāniah. Hal tersebut menjadi perselisihan mengenai apakah Wāhidiah merupakan sifat tambahan atau bukan.13 Jawaban dari Fakhr al-Dīn al-Rāzi sendiri adalah bahwa sesungguhnya Allah maha suci Dzat dan SifatNya dengan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada ragu terhadap semua yang kurang mencapai pada penyelidikan yang terperinci kecuali bahwasanya Dzat Allah itu berdiri di atas diri-Nya sendiri dan wajib terhadap Dzat-Nya. Setelah ada Wajib Dzat-Nya maka kemudian sifat akan mengikuti terhadap Dzat-Nya.14 Gagasan di atas menggambarkan bahwasanya bagi Fakhr al-Dīn alRāzi antara sifat dan Dzat merupakan sesuatu yang ada dalam diri Tuhan. Dengan jelinya Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan satu persatu dari segi bahasa hingga segi makna yang berhubungan untuk menjelaskan Dzat dan Sifat Allah yang esa. Hal tersebut tidak berlebihan, sebab secara teologis Fakhr al-Dīn al-Rāzi sendiri memang sangat kental dengas Asy’ariahnya.15 Lebih tepatnya terdapat dalam pernyataannya tentang Wahdāniah 12
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 187. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 188. 14 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 189. 15 Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 59. 13
48
Allah yang dapat diketahui dengan memahami segala petunjuk yang terdapat di alam yang atas dan alam bawah, dari sesuatu yang baru, dan makhluk. Setiap wujud yang satu dari yang esensi dan terperinci merupakan petunjuk kesempurnaan pada tauhid kepada Dzat yang telah jelas.16 Penjelasan mengenai Wahdāniah kedua dijelaskan dalam tafsir surat surat al-Anbiya ayat 22. ﺼﻔُﻮن ِ ﻋﻤﱠﺎ َﻳ َ ش ِ ْب اﻟْ َﻌﺮ ن اﻟﻠﱠﻪِ َر ﱢ َ ﺴﺒْﺤَﺎ ُ ن ﻓِﻴ ِﻬﻤَﺎ ﺁِﻟ َﻬ ٌﺔ إِﻟﱠﺎ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻟَﻔَﺴَﺪَﺗَﺎ ۚ َﻓ َ َﻟﻮْ آَﺎ Artinya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, surat al-anbiya hingga ayat ke 22 merupakan penjelas pada hal-hal yang berhubungan dengan konteks kenabian. Khusus pada ayat tersebut menjelaskan persoalan Tauhid.17 Hal tersebut dijelaskan untuk menangkis pertanyaan orang-orang kafir yang meragukan keesaan Allah. Selain itu para teolog, ayat tersebut diartikan jika ada sesuatu yang Esa pasti berkuasa terhadap segala sesuatu yang lainnya serta menafikan kekuasaan lainnya. Serta wajib berkuasa dalam kekuasaanya itu sendiri.18 Keesaan Allah inilah yang menjadi titik permasalahan yang akan dijelaskan. Ayat di atas menunjukkan arti yang lebih luas untuk menjelaskan 16
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 152. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 149. 18 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 151. 17
49
persoalan keesaan Allah. Hal tersebut dibuktikan melalui ayat tersebut Fakhr al-Dīn al-Rāzi memberikan empat belas ciri untuk memahami konsep Wahdāniah itu sendiri. Pertama Wahdāniah, wajib wujud itu tidak ada selain yang Esa. Segala sesuatu yang menunjukkan kepada selain Esa pasti bersifat mumkin dan bermacam-macam. Dan setiap yang mumkin dan bermacam pasti sesuatu yang baru dan pasti selain Allah. Dan kemungkinan tersebut diciptakan sebagai tanda yang terdapat dalam tafsir ini. Kedua, Allah Memiliki sifat sempurna. Apabila Tuhan tidak sempurna maka sifat yang tidak sempurna akan mengurangi kesempurnaannya. Dan ketidaksempurnaan merupakan bukan sifat ketuhanan. Penjelasan mengenai kesempurnaan Allah pada dasarnya berkaitan dengan konteks perbandingan dengan kekuarangan. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan: “Jika ada dua Tuhan, maka salah satu diantara keduanya akan mengikuti dalam ketuhanannya. Maka salah satunya wajib memiliki kelebihan untuk memerintah, jika tidak maka akan berselisih. Dengan itu salah satu diantara keduanya harus ada yang sempurna dan satunya tidak sempurna.”19 Akan tetapi poin penting dari kesempurnaan dapat dipahami melalui ciri kesempurnaan tersebut. Pertama, kesempurnaan tuhan yang lain adalah Tuhan selalu mengampuni dan selalu pemberi kasih sayang.20 Kedua, tuhan mampu melakukan apa yang ia inginkan.21 Selain itu kesempurnaan Allah ada tanpa perlu dicari. Kesempurnaan adalah sebuah kondisi atau keadaan, jika 19
Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 235. Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 11, h. 236. 21 Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 12, h. 145. 20
50
Allah
mencari
kesempurnaan,
maka
justru
menunjukkan
adanya
kekurangan.22 Ketiga, fikiran tidak akan bisa mencapai pada kesempurnaan Tuhan apabila ada dua Tuhan yang memiliki kelebihan diantara keduanya. Keempat, jika ada dua Tuhan, dimana Tuhan yang satunya mampu mengurus alam, maka dia tidak perlu Tuhan lain; Justru hal itu menunjukkan bentuk kekurangan dari sifat ketuhanan. Dan sifat kekurangan bukan merupakan sifat ketuhanan. Kelima, jika ada dua Tuhan, setiap Tuhan pasti memiliki tempat. Keenam apabila ada dua Tuhan, maka satunya akan menunjukkan bukti kekuasaan yang dikhususkan padanya dirinya. Dan Tuhan yang lain bersifat kondisional.
keberadaan
tersebut
justru
menjadi
kelemahan
Tuhan.
Sedangkan kelemahan bukan merupakan sifat ketuhanan. Ketujuh, Tuhan harus memiliki sifat berkuasa, jika tidak memiliki kemampuan untuk berkuasa maka menunjukkan kelemahan. Kedelapan, jika ada dua Tuhan yang sama sama berkuasa maka keduanya akan bersaing untuk saling menghabisi. Dan setiap persaingan akan ada akhirnya. Kesembilan, sifat kekurangan pasti akan membutuhkan kepada yang Esa. Dan kekurangan bukan bagian dari sifat ketuhanan. Kesepuluh, Tuhan tidak memiliki kelemahan, karena kelemahan bukan sifat ketuhanan. Kesebelas, Jika ada dua Tuhan apakah akan mampu menciptakan perubahan yang serasi? Jika tidak mampu maka berarti lemah. Sedangkan jika mampu 22
Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 226.
51
membuat perubahan maka keduanya ada yang saling mendahului. Maka hal tersebut (ketidakserasian) bukan bagian dari sifat ketuhanan. Keduabelas, apabila ada dua Tuhan memiliki ilmu/pengetahuan, maka keduanya akan saling memberikan contoh satu sama lain. Dengan demikian keduanya justru memiliki sifat kehambaan yang memiliki kekurangan dan kelememahan dan bukan bersifat ketuhanan. Ketigabelas, meniru merupakan aib dan menunjukkan kekurangan dalam realitas. Adapun kesendirian dan keesaan merupakan kesempurnaan tanpa meniru dari keberadaan Tuhan yang lain. Keempatbelas, jika ada dua Tuhan yang saling membutuhkan maka hal tersebut bukan sifat ketuhanan. Baik kepada Tuhan yang membutuhkan atau kepada Tuhan yang dibutuhkannnya sama-sama memiliki kelemahan.23 Dari keempatbelas tanda penjelasan Wahdāniah merupakan penafsiran yang sangat lengkap. Meskipun bentuk argumennya terkesan berulang-ulang, akan tetapi setiap satu tanda memiliki kekhususan penjelasannya. Seperti dalam persoalan sifat kekurangan bukan bagian dari sifat ketuhanan. Setiap kekurangan yang dimaksud dijelaskan dalam konteks ketidakserasian dalam membuat perubahan, adakalanya kekurangan dalam konteks karena saling membutuhkan. Oleh karena itu sifat kekurangan bersifat umum namun rinciannya pada beberapa permasalahan. Kesimpulan yang bisa ditarik dari konsep Wahdāniah adalah Wahdāniah merupakan penjelasan mengenai keesaan Allah sebagai Dzat sekaligus sifat yang mengikutinya. Keberadaan Allah berarti sekaligus 23
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 149 – 154.
52
mewajibkan adanya Dzat serta sifat yang ada. hal tersebut dapat dipahami secara terperinci dari mulai perspektif bahasa, hingga perspektif pemikiran teologis. Hal inilah bagi menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak bertentangan dengan akal.24 Pembahasan mengenai Wahdāniah berkaitan dengan wujud Allah dan uluhiah-Nya. Hal tersebut dikarenakan adanya Dzat maka mewajibkan keberadaan-Nya. Selanjutnya bentuk Wahdāniah menunjukkan ketuhananNya. Penulis akan membahas satu persatu di bawah ini. Pertama mengenai hubungan Wahdāniah dengan wujud Allah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan wujud terbagi menjadi dua, wajib al-wujud dan mumkinul wujud. Adapun yang wajib al-wujud adalah wujud Allah itu sendiri, sedangkan yang mumkinul wujud adalah sesuatu yang selain Allah. Para teolog menyebut mumkinul wujud dengan istilah alam.25 Wajib al-Wujud bagi Allah berupa Dzat juga harus bersifat wajib. Keberadaan Allah tentu dengan Dzatnya yang esensi. Bukan bersifat mumkin (mungkin). Adanya Wajib al-Wujud dan Wahdāniah inilah kemudian memunculkan satu gagasan mengarah pada tauhid. Berikut kutipan langsungnya: “Ketahuilah, bahwasanya Allah yang Maha Suci terhadap ketetapan kesendirian dan keesaan-Nya memiliki beberapa macam petunjuk. Pertama bisa dijadikan petunjuk Wujud keberadaan-Nya. Kedua sebagai pemurnian tauhid dari ancaman yang merusaknya”.26 24
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 189. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 233. 26 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 195. 25
53
Argument di atas sangat jelas bahwasanya apa yang dimaksud dengan Wahdāniah merupakan bentuk ketunggalan multak yang dimiliki Allah. Adapun selain dari Tuhan itu sendiri merupakan wujud yang berkedudukan sebagai tanda-tanda keesaan-Nya. Dengan demikian pembahasan mengenai Wahdāniah tidak bisa dilepaskan dari konteks Wujud Allah itu sendiri. Dengan demikian Wahdāniah bukan merupakan sifat tambahan yang membuktikan secara logis bahwa dengan adanya sifat bukan berarti Allah tersusun dengan sifatnya. Dengan memahami wajib al-wujud membawa pada pemahaman tentang Dzat dan Sifat Allah yang Esa. Adanya Mumkinul Wujud justru menjadi petunjuk terhadap adanya Allah yang Esa. Dengan begitu maka kesempurnaan tauhid semakin nyata. Kedua adalah Ulūhiah yang berarti mentauhidkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya dzat yang layak dipertuhankan. Hanya Dia yang layak dijadikan Tuhan oleh manusia.27 Beberapa literature menjelaskan Ulūhiah sebagai konsep tersendiri dalam ketauhidan. akan tetapi dalam Māfātih alGhāib sangat sedikit keterangan yang menjelaskan secara luas mengenai Ulūhiah. Penulis justru menemukan Ulūhiah daam Mafātih al-Ghāib sebagai penguat dari konsep Wahdāniah. Pada masalah ke tujuh,Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan: “Kalimat “ْ ” َوِإَٰﻟ ُﻬ ُﻜﻢmenunjukkan makna pada Tuhan yang sah karena lafadz tersebut masuk sebagai pengakuan terhadap Ketuhanan 27
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 24.
54
(ٌ…)ِإَٰﻟﻪdan bahwasanya tiada Tuhan selain Dia yang wajib disembah. Yang dimaksud adalah bahwa hanya Allah lah sebagai satu-satunya Tuhan.”28 karena pengucapan lafadz wahid jatuh setelah lafadz Ilāh. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya ada satu pengakuan di dalam persoalan ketuhanan. Dengan kata lain tidak ada Tuhan selain Allah itu sendiri. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan panjang lebar mengenai Ulūhiah yang dimaksud. Ilāh yang dimaksud kembali kepada wahid. Dengan demikian kata ilāh merupakan penjelas kepada wahid atau esa. Meskipun para ahli bahasa mengartikan kalimat tersebut bisa saja kembali kepada Lā ilāha illallāh namun tidak menjadikan tauhid yang mutlak. Namun di paragraph akhir Fakhr al-Dīn al-Rāzi menegaskan bahwa Lā Ilāha illallāh merupakan mutlak benar dan terpercaya tanpa membutuhkan pengakuan yang lebih jelas di dalam kalimat tersebut.29 Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa Ulūhiah yang bermakna ketuhanan secara otomatis kembali kepada Wahdāniah. Dengan kata lain mengakui keesaan Tuhan berarti mengakui ketuhanan Allah yang Esa. Dengan pengakuan terhadap keesaan Allah berarti kita menerimanya sebagai bentuk tauhid. C. Rubūbiah Rubūbiah pada dasarnya diambil dari salah satu nama Allah, yakni alRabb. Al-Rabb memiliki beberapa makna yaitu: pemeliharaan, pengasuh, 28 29
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 192. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 193.
55
pendamai, pelindung, penolong dan penguasa. Secara umum, tauhid Rubūbiah ialah yakin bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh alam.30 Meyakini tauhid ini berarti meyakini bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi sekaligus pengatur alam semesta ini. Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan seluruh makhluk.31 Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan konsep Rubūbiah terdapat dalam tafsir surat al-Fatihah ayat kedua. Khususnya dalam lafadz ﻦ َ ب اﻟْﻌَﺎَﻟﻤِﻴ َر ﱢFakhr al-Dīn al-Rāzi mengartikannya Allah ta’āla merupakan Tuhan bagi seluruh alam, sebab Dia yang menciptakan alam dari ketiadaan menjadi ada. Dia lah yang menjadikan ketetapan ketetapan hukum terhadap alam semesta.32 Kata ب َر ﱢmenunjukkan makna ketuhanan yang berkuasa serta mengatur seluruh alam. sebagaimana definisi ب َر ﱢmenunjukkan makna memelihara, mengatur dan mencukupi kepada apa yang telah diciptakan. Dengan demikian konteks ب َر ﱢmenjadi salah satu kriteria dalam tauhid. Sebagaimana pernyataan Fakhr al-Dīn al-Rāzi sebagai berikut: “Ucapan ‘Allah’ terkenal dengan sebutan “Rabb” dan telah dijelaskan dalam tafsir asma Allah. Kemudian “Rabb” kerap digunakan sebagai permintaan dalam do’a seperti ya rabb, ya rabb, sebab didalamnya termuat apa yang dimaksud kepada Allah.”33 Pendapat di atas menegaskan bahwa ucapan “Rabb” juga dapat 30
Qardlawi, Tauhidullah, h. 35. Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 13. 32 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 234. 33 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 236. 31
56
disamakan dengan mengucapkan Allah. Dengan kata lain “Rabb” sebutan lain dari Allah. Yang dimaksud Allah disini adalah memahami segala aspek tentang asma-asmanya. Kedudukan Allah sebagai pengatur atau pengelola alam jelaskan secara terperinci oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Terlebih dahulu dijelaskan bahwa Rubūbiah itu terdiri dari dua macam. Pertama, Rubūbiah berdasarkan pemberian kecukupan terhadap yang diciptakan dan adakalanya ketuhanan yang memiliki kelebihan untuk ketuhanannya itu sendiri.34 Adapun penjelasannya adalah bahwa setiap ketuhanan mampu menguasai untuk mengurus segala sesuatu yang diciptakan. Karena pada dasarnya apa yang diciptakan membutuhkan pahala atau ganjaran dari Tuhan. Adapun yang kedua, menjelaskan bahwa dia Tuhan yang maha suci. Sebagaimana penjelasan firman-Nya bahwa “Aku telah menciptakan semuanya bukan untuk keuntungan untuk-Ku atau kalian, akan tetapi untuk mengurus dan memperbaiki”. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan Rubūbiah dari berbagai sisi. Pertama, Allah mengurus hamba-Nya bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk hamba itu sendiri. Kedua, yang bisa mengatur dan mengurus alam ini hanya Allah, sebab selain Allah pasti memiliki kekurangan ketika mengurusinya. Ketiga, Allah tidak membenci kepada orang yang kekurangan, sekalipun orang tersebut memintanya dengan mendesak. Keempat, Allah tetap memberi tanpa diminta sekalipun. Sebab Allah itu sangat dekat, sedekat 34
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 234.
57
Rahim dalam ibu. Kelima, Allah tidak pernah memotong kebaikan sama sekali. Keenam, Allah akan memberikan kepada manusia secara adil dan secara menyeluruh. Urgensi memahami Rubūbiah dijelaskan melalui pernyataan Fakhr alDīn al-Rāzi dalam faidah ke tiga dalam tafsir ﻦ َ ب اﻟْﻌَﺎَﻟﻤِﻴ َر ﱢ. Berikut kutipan langsungnya: “Sesungguhnya, memuji dan mengagungkan Allah itu terdapat empat penjelasan lanjut. Pertama, bahwa Allah itu sempurna dari segala kekurangan dan kecacatan di dalam Dzat-Nya. Kedua, kesempurnaan-Nya menjadi kebaikan dan kenikmatan untuk makhluk. Ketiga, makhluk membutuhkan tercapainya kebaikan kepada-Nya dan kebaikan di waktu yang akan datang. Keempat, makhluk takut dari kemampuan, kekuasaan, dan kesempurnaan-Nya. Keempat, kondisi di atas akan mewajibkan makhluk untuk tunduk kepada-Nya.”35 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa adanya konsep Rubūbiah menjadikan kita tunduk kepada Tuhan. Pengakuan terhadap ketuhanan diperkuat dengan bukti tunduk dan patuh kepada Tuhan. Dengan demikian ketaatan menjadi standar tauhid seseorang.36 D. Analisa Konsep Tauhid dalam Mafātih al-Ghāib Konsep tauhid yang digagas oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi termuat dalam satu pembahasan yang menyeluruh, yakni konsep Wahdāniah. Hal terpenting dalam pandangan Wahdāniah beriringan dengan persoalan urgen dalam tauhid tentang bagaimana memahami Allah yang Esa itu? Penulis menganalisis konsep tauhid yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn 35 36
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz 1, h. 235. Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid”, h. 313.
58
al-Rāzi dalam Mafātih al-Ghāib dengan satu kunci, yakni wahdāniah. Dengan gagasan wahdāniah tersebut secara terperinci justru ditemukan pembahasan seperti Dzat wa Sifat, ulūhiah, rubūbiah, ubūdiah, wajib alwujūd, mumkin al-wujūd, ‘alam, ilāh, serta term-term terkait tauhid yang sering digunakan oleh pemikir lain dalam membahas tauhid. Yusuf Qardhawi dalam buku Tauhidullah membagi tauhid hanya dalam dua kelompok, yakni Tauhid Ulūhiah dan Tauhid Rubūbiah.37 Dua hal tersebut dijelaskan secara terperinci sehingga menjelaskan mengenai tauhid. Selain itu, Yunan Yusuf dalam Alam Pemikiran Islam justru membagi tauhid dalam lima dimensi, yakni Tauhid Dzat, Asma, Af’āl, Ulūhiah, dan Rubūbiah. 38
Jika pemikir lain membagi tauhid dalam beberapa dimensi, baik dua bahkan menjadi lima, maka Fakhr al-Dīn al-Rāzi secara umum menjelaskan dalam satu gagasan wahdāniah. Akan tetapi dari wahdāniah tersebut kemudian menjelaskan secara tuntas mengenai Dzat wa Sifat dan Ulūhiah.. Analisa pertama adalah terkait tauhid Dzat dan Sifat dalam pandangan wahdāniah yang dijelaskan Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Aliran Muktazilah berpendapat tegas bahwa keesaan Allah adalah Dzat Allah itu sendiri. Sifat yang diberikan kepada Allah justu menjadi tambahan. Artinya jika Allah bersifat, maka Allah tersusun. Dengan demikian bertentangan dengan keesaan
37 38
Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h. 2. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, h. 16.
59
Allah itu sendiri.39 Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa Dzat Allah tidaklah tersusun dari apapun.
40
Adanya Dzat Allah yang Esa mewajibkan keberadaan-Nya.
Dengan adanya keberadaan Allah yang wajib (wajib al-Wujūd) maka sifat akan mengikuti kepada Dzat tersebut.
41
Pendapat tersebut tentu sangat
berbeda dengan pandangan Muktazilah mengenai Allah yang tersusun jika disifati. Dzat Allah menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan wajib adanya. Setelah adanya Dzat maka sifat akan mengikuti secara otomatis. Dengan demikian sifat adalah keseluruhan yang kembali kepada Dzat. Dalam memahami keesaan Allah pada dasarnya justru akan menimbulkan tiga persoalan sekaligus. Pertama, mengenai Dzat itu sendiri, Kedua, mengenai wajib al-Wujūd, dan ketiga persoalan sifat. Jika dipahami secara jeli, Adanya Dzat maka mewajibkan keberadaan-Nya. Maka antara Dzat dan Wujudnya dua hal yang berbeda, bisa saja menjadi pemahaman yang berselisih mengenai keesaan. Memungkinkan muncul pertanyaan apakah Dzat dan Wujud adalah hal yang sama? Selanjutnya pada persoalan sifat, apakah sifat merupakan tambahan yang membuktikan Allah itu tidak esa? Untuk memahami persoalan Dzat dan Sifat juga dibahas secara terperinci. Salah satunya persoalan yang bagaimana memahami Dzat dan Sifat adalah dua hal yang berbeda namun tidak tersusun. Sehingga tetap 39
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), h. 26. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 188. 41 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 189. 40
60
menunjukkan bentuk keesaan Allah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa terkadang sifat sebagai jiwa yang dapat dipahami dan juga terkadang tidak bisa dipahami. Dzat adalah sesuatu yang khusus, dan sifat adalah sesuatu yang dapat diketahui. Dan pengetahuan akan sifat akan berubah apabila tidak memahami sepenuhnya. Dengan demikian sifat tersebut dapat diartikan menjadi tambahan atas Dzat.42 Dengan pendapat tersebut menegaskan kepada kita bahwa Dzat Allah itu wajib wujudnya dan disifati dengan segala sifat-Nya. Penekanan antara Dzat dan Sifat dalam penjelasan wahdāniah Tuhan di atas menunjukkan kausalitas terhadap tauhid Dzat, Asma wa Sifat sekaligus. Jika Yunan Yusuf memisahkan antara tauhid Dzat dan Sifat, maka Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan Dzat dan Sifat terdapat dalam wahdāniahNya. Dengan demikian dapat disimpulkan penjelasan wahdāniah Fakhr alDīn al-Rāzi mencangkup persoalan tauhid Dzat dan tauhid sifat sekaligus. Analisa kedua adalah mengenai tauhid ulūhiah. Dalam pandangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Ulūhiah atau ketuhanan merupakan tanda yang menunjukkan terhadap ketuhanannya.
Jika Yusuf Qardhawi mengartikan
Ulūhiah sebagai bentuk mentuhankan Allah dengan cara menyembah atau beribadah, maka Fakhr al-Dīn al-Rāzi menekankan ketuhanan Allah berdasar pada segala sesuatu kembali kepada Allah. Dengan kata lain, ulūhiah mendasarkan manusia harus mempercayai secara mutlak tanpa bisa ditolak
42
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 188.
61
lagi. 43 Dalam ulūhiah dijelaskan secara menyeluruh dari konteks bahasa hingga pada Allah sebagai pencipta dan segala sesuatunya akan kembali kepada Allah. Berbeda dengan Yusuf Qardhawi yang secara tegas menuliskan dengan tauhid ulūhiah berarti menyembah dengan taat. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan, dengan keesaan (wahdāniah) Allah maka secara mutlak Dia-lah Tuhan satu-satunya. Allah sebagai satu-satunya Tuhan maka segala sesuatu yang selain Allah berasal dari Allah sekaligus segalanya bersumber dan akan kembali kepada Allah.44 Muara ulūhiah kembali pada persoalan wahdāniah. Pandangan mengenai Wahdāniah juga menjadi tanda-tanda yang menunjukkan Allah sebagai Tuhan. Dalam perspektif lain dikenal dengan istilah Ulūhiah (ketuhanan). Fakhr al-Dīn al-Rāzi berpendapat bahwa ketuhanan merupakan perumpamaan kumpulan dari berbagai macam dzat dan sifat-Nya.45 Dengan kata lain sifat-sifat Allah kembali kepada Dzat Allah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga memberikan analogi mengenai esa adalah sesuatu yang tidak bisa terbagi lagi. Fakhr al-Dīn al-Rāzi memberikan contoh manusia yang baik. Baik sebagai sifat, tidak akan ada apabila tidak ada dzat dan wujud manusia. Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi menegaskan Yang namanya Esa itu sesuatu yang tidak bisa terbagi dari sisi manapun. Manusia masih bisa dibagi dari berbagai bagian tubuhnya atau hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaannya itu sendiri. sedangkan Allah merupakan Dzat yang 43
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 193. Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 195. 45 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 189. 44
62
tidak bisa terbagi lagi sebab Allah itu esa.46 Pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi ini sangat berdekatan dengan Golongan Asy’ariah. Bagi Asy’ari Allah memiliki banyak sifat, seperti mengetahui, melihat, berkuasa dan sebagainya. Dzat Tuhan bukan lah pengetahuan, kehidupan sebagaimana sifat yang telah disebutkan, namun yang maha mengetahui. Dalam keterangan Asy’ari terkandung pengertian bahwa sifat-sifat Tuhan bukanlah Dzat Tuhan.47 Pendapat tersebut dikuatkan oleh Jarman Aroisi bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi hampir sama dengan pemikiran pendiri madzhab Asy‘ari. Begitu juga dengan pendapat asSyahrastani yang menyatakan bahwa tauhid adalah mengenali kemahaesaan Tuhan dalam segala zat, sifat, dan pekerjaan-Nya, serta taat menjalankan segala perintah-Nya.48 Berkaitan Golongan Asy’ariah yang dianut oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi menekankan Perbedaan yang mendasar antara golongan Mu’tazilah dan Asy’ariah adalah epistemologi49 dalam memahami persoalan ketuhanan. Mu’tazilah menggunakan epistemologi rasional untuk mencapai pemahaman mengenai ketuhanan. Sedangkan Asy’ariah menggunakan epistemologi wahyu dalam memahami persoalan ketuhanan.50 46
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 187. Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 86. 48 Jarman Aroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak”, h. 312 – 313. 49 Epistemologi atau disebut juga dengan teori pengetahuan adalah upaya pencarian pengetahuan secara kritis dan mendalam yang bermaksud memberikan pertanggungjawaban atas kebenaran pengetahuan yang didapatkan. Lihat J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 18. 50 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 156. 47
63
Selain persoalan Dzat, Sifat dan Ulūhiah, penulis tidak menemukan gagasan mengenai tauhid ‘ubūdiah maupun tauhid af’al. inti penjelasannya adalah wahdāniah yang mencakup semua pembahasan tauhid. Gagasan itu bermuara kepada penjelasan Tauhid dalam kitab Mafātih al-Ghāib. Akan tetapi yang perlu diketahui adalah Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat dipahami bahwa tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan pengesaan Allah sebagai Dzat tunggal dengan kita memahami-Nya. Pemahaman yang dimaksud adalah dengan bertauhid harus memahami persoalan Dzat, wujud, sifat serta hal-hal yang berkenaan dengan persoalan ketuhanan lainnya. Tauhid dalam Mafātih al-Ghāib lebih menekankan bagaimana kita memahami Allah secara tuntas. Dimulai Allah sebagai Dzat, sifat yang dimiliki-Nya, Allah sebagai pencipta, sebagai pengatur yang diciptakan, yang mencukupi segala kebutuhan atas yang diciptakan-Nya serta segala sesuatu kembali kepada-Nya. Dengan memahami tersebut maka kesadaran untuk mengakui keesaan Allah adalah mutlak tanpa bisa diperdebatkan. Selanjutnya Tauhid adalah persoalan Ushul atau pokok. Lebih utama daripada persoalan yang furu’ (cabang). Dengan menguatkan pada Ushul, maka hal yang furu’ akan mengikutinya. Dengan demikian menyembah kepada Allah menjadi mutlak, mematuhi peraturan-Nya adalah harus, dan menjauhi larangan-Nya juga wajib. Oleh karena itu Fakruddin ar-Razi selalu mengingatkan perlunya memperbaharui iman dengan membaca kalimat tauhid La ilaha illa Allah. Hal
64
tersebut menjadi salah satu bentuk aktifitas yang bernilai ketauhidan. Orang yang terbiasa melafalkan kalimat tauhid niscaya imannya meningkat dan karenanya mampu mencapai hubungan dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu hanya bisa dicapai dengan cara membersihkan hati. Jika hati bersih maka mengalir dari padanya perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya.51 Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, untuk pembersihan diri diperlukan keberanian membebaskan diri dari kebodohan, kemaksiatan (sebab jiwa yang kotor selalu senang terhadap hal-hal yang berbau maksiat), syirik, sihir, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam.52 Dalam pandangannya, membersihkan jiwa merupakan salah satu cara untuk menguatkan tauhid. Jika jiwa bersih maka tauhid seseorang akan semakin kuat, dan jika tauhidnya kuat maka akan kuat pula imannya. Iman yang kuat hanya bisa didapatkan oleh mereka yang taat, sebaliknya iman akan turun dan berkurang jika melakukan maksiat. Jika hal-hal yang bisa membawa kepada kesucian jiwa itu bisa dilakukan baik, maka hati akan selalu bersih dan Allah pun akan selalu menyukai orang-orang yang yang menyenangi kebersihan. Sedangkan untuk membiasakan diri agar berpikir positif, diperlukan kesadaran penuh untuk menghilangkan sekat-sekat yang menggangu pola pikir. Untuk itu, ditekankan supaya selalu berpikir positif terhadap berbagai hal dan kewajiban yang diperintahkan syariat, bahkan ditekankan pula untuk berupaya membiasakan diri berbuat kebaikan. Jika jiwa bersih, maka tauhid 51
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 30, h. 81-
52
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz 28, h. 61.
82.
65
dan iman akan kuat, dan jika tauhid dan iman telah kuat maka pola pikir dan perilakunya akan bersih.53
53
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition The Fundamental Elemens of The World View of IslamI (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 14.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah mengesakan Allah sebagai Dzat tunggal yang mutlak disertai dengan pengetahuan kita terhadap Dzat Allah. Upaya tersebut dilakukan untuk peneguhan diri seseorang dengan menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Artinya, bertauhid berarti tidak sebatas mengakui secara verbal, tanpa ilmu, bahwa Allah itu Esa. Akan tetapi mengakui keesaan-Nya dengan dasar pengetahuan yang luas. Penekanan ilmu yang diberikan Fakhr al-Dīn al-Rāzi bertujuan untuk
memperoleh kesempurnaan
iman. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi ada dua hal, yakni Wahdāniah dan Rubūbiah. Wahdaniah adalah gagasan mengenai keesaan Allah sebagai Dzat sekaligus sifat yang mengikutinya. Keberadaan Allah berarti sekaligus mewajibkan adanya Dzat serta sifat yang ada. hal tersebut dapat dipahami secara terperinci dari mulai perspektif bahasa, hingga perspektif pemikiran teologis. Adanya Dzat Mewajibkan adanya Wujud Allah. Keberadaan Wujud Allah mewajibkan adanya Dzat, dan setiap Dzat memiliki sifat. Dengan demikian sifat bukanlah tambahan yang ada dalam Dzat Allah. Adapun Rubūbiah adalah Ketuhanan yang mampu menguasai, mengatur dan
65
66
mengelola untuk mengurus segala sesuatu yang diciptakan. Karena pada dasarnya apa yang diciptakan membutuhkan kepada yang menciptakannya. B. Kritik Pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam Mafātih al-Ghaib kerap ditemui satu pembahasan yang diulang-ulang. Sebagaimana yang terdapat dalam tandatanda wahdāniah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencoba menjelaskan ketidak mungkinannya Tuhan memiliki kekurangan, namun dalam penjelasannya aspek mendasarnya hanya persoalan kekurangan bukanlah sifat ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, Terj. Firdaus A.N, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Abdullah Ibn Wakil al-Syaikh dan Abdullah Ibn Muhammad al-Amru, al-Akhlak wa alAdab, Dar Isbiliya: al-Tab’ah al-Ula, 2001. Amstrong, Karen. Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004. Anshori. Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Arroisi, Jarman. Integrasi Tauhid dan Akhlak Dalam Pandangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi, dalam Jurnal TSAQAFAH, Vol. 9, No. 2, Institut Studi Islam Darussalam Gontor, November 2013. Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo, 1993. Al-Asqolani, Ibn Hajar. Fath al-Bari,TT. TP. TT. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition The Fundamental Elemens of The World View of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. Cahyadi, Djayadi. Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi, skripsi mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Daghim, Samih. Mausu’ah Musmalahat al-Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Libanon: Maktabah Libanon, 2001. Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas, Bandung: Pustaka Mizan, 2003. Fakhry, Madjid. A History of Islamic Philosophy, Newyork: Colombia University Press, 1970. al-Faqih dan Abdus Salam. Aqidah Muslim: Dalam Tinjauan al-Qur’an dan as-Sunnah, Terj. Hammad bin ‘Amir Abu Mu’awiyah, Bekasi: Maktabah Daar El-Salam, 2009.
67
68
Fauzan, Shalih. Kitab Tauhid, Jakarta: Ummul Qura, 2014. Hafidz, Abdul. Risalah Aqidah, Ciputat: Aulia Press, 2007. Ibrahim, Farid Wajdi. Ilmu Ushuluddin Menjawab Problematika Umat Islam Dewasa Ini, dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, Juni, 2014. Ilyas,
Hamim. Tauhid Rahamutiyah: Reinterpretasi Doktrin Tauhid Dalam Muhammadiyah Untuk Merespon Perubahan Sejarah, dalam makalah online diakses dari www.muhammadiyah.org.
Al-Jukjakarta, Abu Mushlih. Hakikat dan Keutamaan Tauhid, TT. TT. TT. Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metedologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Mu’in, Taib Tahir Abd. Ilmu Kalam, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975. Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, Malang: UIN-MALIKI, 2010. Mustafa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim. Tauhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan al-Asma’ Wa Alsifat, menurut tafsiran Muhammad Rasyid Ridho Dalam Tafsir Al-Manar, dalam Jurnal Ushuluddin, 20.07/2011. Mutahhari, Murtada. Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan Manusia dan Alam, Terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Penerbit Citra, 2012. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIN Press, 2002. Nasution, Harun. Theologi Islam, Depok: UI Press, 1986. Pari, Faris. Pengalaman Rasional Eksistentis Tuhan: Pengantar Onthotheologi, diakses dari www.academia.edu. Purnomo, Dedik. Tafsir Kalimat Tauhid dalam al-Qur’an (Studi Tafsir Mafatih alGhoib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi), Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2016. Al-Qardawi, Yusuf. Tauhidullah dan Fenomena Kemusykrikan, Terj. Rahim Haris, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002. Rais, Amin. Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998.
69
Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Ajaib al-Quran, Cet I, Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1984. Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Al-Arba’in fi Usuluddin, Kairo: Maktabah al-Kuliyat alAzhariyah, 1987. Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Mafatih al-Ghaib, Juz 1-28, Cet I. Beirut: Dar al-Fikr, 1981. Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Roh Itu Misterius, Terj. M. Abdul Qadir al-Kaf, Jakarta: Cendekia, 2001. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009. Shihab, Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, cet. 4, 2001. Subhani, Ja’far. Studi Kritis Faham Wahabi : Tauhid dan Syirik, Bandung: Mizan, 1987. Sudarsono. Filsafat Islam, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Sugiantoro, Hendra. Bersama Fakhr al-Dīn al-Rāzi Mendalami Tauhid: Resensi Buku Kecerdasan Bertauhid, diambil dari www.kabarindonesia.com. Suminto, Syarifah. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Kencana, 2003. At-Tamimi, Syekh Muhammad. Kitab Tauhid: Pemurnian Ibadah Kepada Allah, Terj. M. Yusuf Harun, Jakarta: Darul Haq, 2011. Taymiyyah, Ibnu. Al-Aqidah al-Wasathiyyah, Beirut: Dar al-Arabiyyah wa an-Nashr, T. Th. Al-Tuwajry, Muhammad Bin Abdullah. Tauhid, Keutamaan dan Macam-Macamnya, Terj. Islam-House, TT: Islam House, 2007. Yusuf, Yunan. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Kencana, 2014. Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka data teologi Islam, Jakarta: Paramadina, 1990. Zainudin. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.