BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Menurut data BKKBN ( 2011 ), peserta KB baru secara nasional pada bulan
September 2011 sebanyak 840.422 peserta. Apabila dilihat premix kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut: 60.979 peserta Intra-Uterine Device (IUD) (7,26%), 9.185 peserta Metode Operasi Wanita (MOW) (1,09%), 1.959 peserta Metode Operasi Pria (MOP) (0,23%), 69.960 peserta Kondom (8,32%), 54.306 peserta Implant (6,46%), 406.602 peserta S untikan (48,38%), dan 237.431 peserta P il (28,25%). Berdasarkan data tersebut penggunaan Kontrasepsi suntikan menduduki posisi pertama, dengan kata lain metode kontrasepsi suntikan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Salah satu metode kontrasepsi yang dianggap cukup ideal adalah kontrasepsi suntik Depo Medroksiprogesteron Asetat (DMPA). Kontrasepsi suntik DMPA ini adalah salah satu jenis kontrasespi suntikan yang hanya mengandung progestin saja dan disuntikkan setiap tiga bulan. Kontrasepsi suntik DMPA ini cukup aman dan sangat efektif dalam mencegah kehamilan apabila penyuntikannya dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan. Tingkat efektifitasnya cukup tinggi yaitu 0,3 kehamilan per 100 perempuan. Cara kerjanya diantaranya adalah mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atrofi serta menghambat transportasi gamet oleh tuba (Saifuddin, 2003).
Suntikan DMPA 150 mg dianggap tidak efektif lagi bagi sebagai kontrasepsi setelah 90 hari, tetapi pada kebanyakan akseptor, DMPA mencegah kehamilan untuk jangka waktu yang lama. Lamanya masa tidak subur/infertil mungkin tergantung pada kecepatan metabolisme DMPA dan juga pada berat badan akseptor. Lebih dari 60 % mantan akseptor sudah hamil dalam waktu 1 tahun dan lebih dari 90 % dalam waktu 2 tahun. Akseptor yang memakai kontrasepsi suntikan untuk waktu yang lama, dapat menjadi hamil sama cepatnya dengan akseptor yang hanya ikut beberapa kali suntikan, yang menunjukkan bahwa tidak terjadi efek kuulatif dari obatnya (Hanafi, 2003). Pemberian progesteron-eksogenous dapat menggangu kadar puncak folliclestimulating hormone (FS H) dan Luteinizing hormone (LH), sehingga meskipun terjadi
ovulasi,
produksi progesteron
yang
berkurang dari
korpus
luteum
menyebabkan penghambatan dari implantasi. Pemberian progesteron secara sistemik
dan untuk jangka waktu yang lama menyebabkan endometrium mengalami keadaan “istirahat” (Hartanto, 2004:99). Tujuan mengunakan kontrasepsi yaitu diantaranya untuk menunda kehamilan, menjarangkan kehamilan dan menghentikan kehamilan. Jika pemilihan kontrasepsi itu digunakan untuk menunda dan menjarangkan kehamilan tentu harus bisa diperkirakan juga kapan klien diperkirakan bisa hami kembali. Sedangkan jika kontrasepsi tersebut digunakan untuk menghentikan kehamilan sampai berapa lama waktu yang dianggap optimal menggunakan kontrasepsi suntikan DMPA terkait efek progesteron yang dalam dosis yang besar dapat menghambat sekresi LH, jadi bertanggung jawab pada penghambatan ovulasi serta pada sekresi estrogen (estradiol) dan berarti bertanggung jawab juga terhadap terjadinya birahi karena mempengaruhi kekeringan pada vagina dan kepadatan tulang.
1.2
Rumusan Masalah Apakah ada pengaruh DMPA terhadap ketebalan Endometrium dan kadar hormon Estradiol pada tikus dengan lama waktu paparan?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum Menganalisis pengaruh histologi endometrium dan kadar estradiol pada tikus terhadap lama waktu paparan DMPA.
1.3.2
Tujuan Khusus 1.3.2.1 Menganalisis histologi endometrium tikus setelah terpapar DMPA selama 96 hari. 1.3.2.2 Menganalisis kadar estradiol pada tikus setelah terpapar DMPA selama 96 hari. 1.3.2.3 Menganalisis histologi endometrium tikus setelah terpapar DMPA selama 144 hari. 1.3.2.4 Menganalisis kadar estradiol pada tikus setelah terpapar DMPA selama 144 hari.
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Akademik Sebagai bahan informasi tentang perbedaan endometrium uterus dan kadar estradiol dalam waktu 48 hari dan 96 hari setelah penyuntikan DMPA.
1.4.2
Manfaat Praktis Sebagai bahan informasi tentang pengaruh DMPA terhadap histologi uterus dan kadar estradiol terhadap fungsi kembalinya kesuburan dan terhadap efek samping hormon estradiol terhadap tubuh.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DMPA
Kontrasepsi suntikan jenis DMPA (Depo medroksiprogesteron asetat) merupakan jenis kontrasepsi yang hanya mengandung progestin. Selain DMPA ada satu jenis lagi kontrasepsi yang mengandung progestin yaitu Depo noretisteron enantat (Depo Noristerat). Jenis DMPA mengandung 150 mg DMPA, yang diberikan setiap 3 bulan dengan cara disuntik intramuskular (di daerah bokong), sedangkan jenis Depo Noristerat mengandung 200 mg noretindron enantat, diberikan setiap 2 bulan dengan cara disuntik intramuskular (Saifuddin, 2003). Cara kerja DMPA diantaranya adalah mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atrofi, menghambat transportasi gamet oleh tuba. Efektivitas kontrasepsi suntik DMPA tersebut memiliki efektifitas yang tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan-tahun, asal penyuntikannya dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan (Saifuddin, 2003). Kontrasepsi DMPA memberikan beberapa keuntungan yaitu Sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak berpengaruh pada hubungan suami-istri, tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung, dan gangguan pembekuan darah, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI, sedikit efek samping, klien tidak perlu menyimpan obat suntik, dapat digunakan oleh perempuan usia lebih dari 35 tahun sampai perimenopouse, membantu mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik, menurunkan kejadian penyakit jinak payudara, Mencegah beberapa penyebab penyakit radang panggul (Saifuddin, 2003). Keterbatasan dari kontrasepsi DMPA adalah sering ditemukan gangguan haid, klien sangat bergantung pada tempat sarana pelayanan kesehatan (harus kembali untuk suntikan), tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu sebelum suntikan berikut, permasalahan berat badan merupakan efek samping tersering, tidak menjamin perlindungan terhadap penularan infeksi menular seksual, hepatitis B virus, atau infeksi virus HIV, terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian, terlambatnya kembali kesuburan bukan karena terjadinya kerusakan/kelainan pada organ genitalia, melainkan karena belum habisnya pelepasan obat suntikan dari deponya (tempat suntikan), terjadi perubahan pada lipid serum pada
penggunaan jangka panjang, pada penggunaan jangka panjang dapat sedikit menurunkan kepadatan tulang (densitas), pada penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kekeringan pada vagina, menurunkan libido, gangguan emosi (jarang), sakit kepala, nervositas, jerawat (Saifuddin, 2003). Wanita yang dapat menggunakan kontrasepsi suntikan progestin DMPA adalah perempuan usia reproduksi, perempuan nulipra dan perempuan yang telah memiliki anak, perempuan yang menghendaki kontrasepsi jangka panjang dan yang memiliki efektifitas tinggi, Perempuan menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai, Perempuan setelah melahirkan dan tidak menyusui, perempuan setelah abortus atau keguguran, perempuan yang telah banyak anak, tetapi belum belum menghendaki tubektomi, perempuan perokok, perempuan dengan tekanan darah kurang dari 180/110 mmHg, dengan masalah gangguan pembekuan darah atau perempuan dengan anemia bulan sabit, perempuan yang menggunakan obat untuk epilepsi (fenitoin dan barbiturat) atau obat tuberkulosis (rifampisin), perempuan yang tidak dapat memakai kontrasepsi yang mengandung estrogen, perempuan yang sering lupa menggunakan pil kontrasepsi, perempuan dengan anemia defisiensi besi dan perempuan mendekati usia menopouse yang tidak mau atau tidak boleh menggunakan pil kontrasepsi kombinasi (Saifuddin, 2003). Wanita yang tidak boleh menggunakan kontrasepsi suntikan progestin DMPA adalah perempuan hamil atau dicurigai hamil (risiko cacat pada janin 7 per 100.000 kelahiran), perempuan dengan pendarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya, perempuan yang tidak dapat menerima terjadinya gangguan haid, terutama amenorrea, perempuan yang menderita kanker payudara atau riwayat kanker payudara, perempuan dengan diabetes mellitus disertai komplikasi (Saifuddin, 2003 ). Efek Samping dari DMPA adalah amenorea (tidak terjadi perdarahan/ spotting), perdarahan/perdarahan bercak (spotting), meningkatnya/menurunnya berat badan.
2.2
SISTEM MENSTRUASI NORMAL
Hipothamalus mengeluarkan GnRH dengan proses sekresinya setiap 90-120 menit melalui aliran portal hipothalamohipofisial. Setelah sampai di hipofise anterior, GnRH akan mengikat sel gonadotrop dan merangsang pengeluaran FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone) . Waktu paruh LH kurang lebih 30 menit sedangkan FSH sekitar 3 jam. FSH dan LH berikatan dengan reseptor yang terdapat pada ovarium dan testis, serta
mempengaruhi fungsi gonad dengan berperan dalam produksi hormon seks steroid dan gametogenesis. Pada wanita selama masa ovulasi GnRH akan merangsang LH untuk menstimulus produksi estrogen dan progesteron. Peranan LH pada siklus pertengahan (midcycle) adalah ovulasi dan merangsang korpus luteum untuk menghasilkan progesteron. FSH berperan akan merangsang perbesaran folikel ovarium dan bersamasama LH akan merangsang sekresi estrogen dan ovarium. Selama siklus menstruasi yang normal, konsentrast FSH dan LH akan mulai meningkat pada hari-hari pertama. Kadar FSH akan lebih cepat meningkan dibandingkan LH dan akan mencapai puncak pada fase folikular, tetapi akan menurun sampai kadar yang yang terendah pada fase pre ovulasi karena pengaruh peningkatan kadar estrogen lalu akan meningkat kembali pada fase ovulasi. Regulasi LH selama siklus menstruasi, kadarnya akan meninggi di fase folikular dengan puncaknya pada midcycle, bertahan selama 1-3 hari, dan menurun pada fase luteal. Sekresi LH dan FSH dikontrol oleh GnRH yang merupakan pusat kontrol untuk basal gonadotropin, masa ovulasi dan onset pubertas pada masing-masing individu. Proses sekresi basal gonadotropin ini dipengaruhi oleh beberapa macam proses: a) Episode sekresi (Episodic secretadon) Pada pria dan wanita, proses sekresi LH dan FSH bersifat periodik, dimana terjadinya secara bertahap dan pengeluarannya dikontrol oleh GnRH. b) Umpan balik positif (Positive feedback) Pada wanita selama siklus menstruasi estrogen memberikan umpan balik positif pada kadar GnRH untuk mensekresi LH dan FSH dan peningkatan kadar estrogen selama fase folikular merupakan stimulus dari LH dan FSH setelah pertengahan siklus, sehingga ovum menjadi matang dan terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi hari ke 10-12 pada siklus ovulasi setelah puncak kadar LH dan 24-36 jam setelah puncak estradiol. Setelah hari ke-14 korpus luteurn akan mengalami involusi karena disebabkan oleh penurunan estradiol dan progesteron sehingga terjadi proses menstruasi. c) Umpan balik negatif (Negative Feedback) Proses umpanbalik ini memberi dampak pada sekresi gonadotropin. Pada wanita terjadinya kegagalan pernbentukan gonad primer dan proses menopause disebabkan karena peningkatan kadar LH dan FSH yang dapat ditekan oleh terapi estrogen dalam jangka waktu yang lama. Tujuan pemeriksaan FSH dan LH adalah untuk melihat fungsi sekresi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus dan mekanisme fisiologis umpan balik dari organ target yaitu testis dan ovarium. Kadar FSH akan meningkat pada hipogonadism, pubertas prekoks, menopause, kegagalan diferensiasi testis, orchitis,
seminoma, acromegall, sidroma Turner. Serta menurun pada keadaan insufisiensi hipotalamus, disfungsi gonad, anovulasi, insufisiensi hipofise, dan tumor ovanium. Faktor yang mempengaruhi kadarnya adalah obat-obatan seperti steroid, kontrasepsi oral, progesteron, estrogen, dan testoteron.
Secara histologi, dinding uterus terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah membran serosa yang merupakan dinding terluar dari uterus. Lapisan kedua adalah miometrium, berupa lapisan otot polos yang terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu serabut-serabut otot polos yang berjalan longitudinal, lapis tengah yang mengandung urat syaraf dan pembuluh darah, serta lapisan serabut otot polos yang berbentuk sirkular. Lapisan ketiga adalah endometrium, lapisan yang merupakan dinding lumen uterus dan terdiri atas epitel, lapisan kelenjar-kelenjar uterus dan tenunan pengikat (Partodihardjo, 1992). Aktivitas siklus uterus non pregnan (tak hamil) dapat dibagi dalam tiga stadium, yaitu stadium proliferasi (folikular), stadium sekretori atau luteal, dan stadium menstruasi. Setiap stadium memiliki tipe dinding uterus yang berlainan. Fase folikuler dimulai pada akhir perdarahan menstruasi dan ditandai oleh regenerasi cepat endometrium. Sel epitel dan sisa kelenjar yang telah terlepas selama fase menstruasi terbentuk kembali
pada permukaan mukosa endometrium (Leeson, 1986). Pada stadium sekretoris, endometrium menjadi bertambah tebal, karena meningkatnya aktivitas sekretoris kelenjar dan cairan edema dalam stroma. Sel-sel kelenjar mengalami hipertrofi karena berkumpulnya sejumlah besar hasil sekresi. Kelenjar menjadi berkelok-kelok, lumen melebar dan sering terisi dengan sekret. Dalam stroma, cairan jaringan bertambah banyak menyebabkan edema. Gambar 1. Perubahan endometrium wanita selama siklus menstruasi (Leeson, 1986). Pada stadium menstruasi, epitel dan jaringan pada permukaan endometrium banyak mengalami pelepasan dan keluar sebagai sekret menstruasi. Setelah fase ini dilanjutkan kembali dengan fase folikuler (diFiore,1986).
Siklus reproduksi pada manusia disebut siklus menstruasi tetapi untuk hewan adalah siklus estrus. Fungsi hipotalamus dan hipofisis dalam mensekresi hormon sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi yang menyebabkan perubahan pada histologi sistem reproduksi wanita sedangkan pada masa pubertas berpengaruh terhadap proses pembentukan sel kelamin. Marcondes, et al. (2002) menyebutkan bahwa pola kawin pada tikus dipengaruhi oleh estrogen, yang diawali oleh Gonadotropin Releasing Hormon untuk merangsang pertumbuhan folicle sampai terjadi ovulasi. Saat fase estrus, tikus biasanya terlihat lebih aktif terhadap tikus jantan dan tejadilah perkawinan, saat ini endometrium dalam keadaan menebal dan teraliri banyak darah untuk menyiapkan implantasi embrio. Jika tidak terjadi pembuahan, endometrium yang meluruh akan kembali diserap oleh uterus dan tidak terjadi perdarahan atau menstruasi seperti pada manusia. Selama siklus estrus, prolaktin, LH dan FSH pada kadar yang rendah dan mengalami peningkatan pada fase proestrus. Siklus Estrus berlangsung selama 4 hari. Berikut adalah siklus estrus pada tikus: 1.
Fase Proestrus Terjadi pertumbuhan folikel yang sangat cepat, berlangsung selama 12 jam, estrogen meningkat dan banyak terdapat sel epitel yang berbentuk bulat dan berinti serta leukosit sedikit.
2.
Fase Estrus Adalah masa keinginan untuk kawin dengan ciri-ciri keluar lendir pada vagina, tidak tenang, atau disebut juga masa ovulasi, leukosit tampak berlimpah, pada fase ini estrogen dan Gonadotropin Releasing Hormone memegang peranan yang sangat penting, dan tampak sel cornified anucleate.
3.
Fase Metestrus Ditandai oleh berhentinya birahi, corpus luteum terbentuk dan pengeluaran lendir terhenti, hal ini disebabkan estrogen mulai menurun dan jumlah sel cornified, leukosit dan sel epitel berinti adalah sama.
4.
Fase Diestrus Periode terakhir dari estrus ditandai oleh corpus luteum menghasilkan progesteron, sel cornified berkurang dan leukosit meningkat.
Swab vagina pada tikus. Proestrus (a,b); Estrus (c,d); Metestrus (e,f) dan Diestrus (g,h). Leukosit (L); Epitel (E), Cornified (C). (Marcondes et al., 2002. Determination of The Estrous Cycle Phases of Rats. Braz J Biol. 62: (4): 609-614.)
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan Ekperimental sungguhan (true experiment) dengan mengungkapakan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Pada penelitian ini menggunakan jenis rancangan penelitian ekperimental di beri perlakuan sedangkan kelompok kontrolnya tidak. Pada kedua kelompok ini tidak diawali dengan pra-tes. Pengukuran hannya setelah pemberian perlakuan selesai. 3.2 Besar sampel dan kriteria sampel. Sampel menggunakan tikus putih karena mudah dipelihara dan merupakan hewan yang relatif sehat serta cocok untuk digunakan pada berbagai jenis penelitian ekperimental. Besar sampel yang diperlukan untuk setiap perlakuan di tentukan dengan rumus Hanfiah (2012). Rumus: (t-1)(r-1)≥15 t: jumlah perlakuan r: jumlah ulangan Penelitian ini menetapkan 3 kelompok perlakuan sehingga nilai r: (3-1)(r-1)≥15 2r≥17 r≥8.5 di bulatkan menjadi 9. Dengan demikian besar sampel 3 x 9 = 27 tikus
3.3 Kriteria Inklusi 3.3.1 Kriteria Inklusi 1. Usia 10-12 minggu dengan berat 150-200 gram 2. Jenis kelamin betina 3. Kondisi sehat dan bergerak aktif 3.3.2 Kriteria ekslusi 1. Tikus tampak sakit sebelum perlakuan 2. Hewan coba mati saat penelitian berlangsung.
3.4 Variabel Penelitian 3.4.1
Variabel Bebas Pemberian Suntikan DMPA (Depo medroksiprogesteron asetat).
3.4.2
Variabel Tergantung 1.
Tebal endometrium
2.
Kadar Estradiol
3.5 Definisi Operasional No
Varibel Penelitian
Definisi Operasional
Skala Data
DMPA(Depo
Mengandung 150 mg DMPA yang diberikan
medroksiprogesteron setiap 4 hari dengan dosis 0.6 mg asetat).
1
Independent a.
Suntikan
Pemberian DMPA dengan dosis 0.6 mg
DMPA selama 98 setiap 4 hari di paha kanan atau paha kiri hari b.
selama 98 hari. Suntikan
Pemberian DMPA dengan dosis 0.6 mg
DMPA selam 144 setiap 4 hari di paha kanan atau paha kiri hari
selama 98 hari.
Dependent 2 a.
Tebal
endometrium
Uterus
dibuat
sediaan
histologis
dengan
pewarnaan HE dengan ketebalan 6 µ . Penentuan
Ratio
tebal endometrium dilakukan dengan menghitung rerata dari endometrium
dengan ukuran tebal
tertinggi dan terendah pada setiap sayatan uterus sampel. Pangamatan dan pengukuran dilakukan pada setiap 5 sayatan uterus pada setiap fase penyusun
siklus
estrus.
Pengukuran tebal
endometrium dilakukan setelah 12 hari dari suntikan DMPA terakhir dan diambil pada saat fase estrus.
b.
Kadar
estradiol
Sampel darah untuk pengukuran hormon estradiol Ratio 17-β diambil pada setiap fase penyusun siklus estrus. Masing-masing dengan
4
kali
ulangan.
Sampel
darah diambil langsung dari jantung,
sesuai metoda Oduma et al. (1995). Pengukuran kandungan RIA
hormon
(Radio
kandungan
dilakukan
Immuno
dengan metode
Assay). Pengukuran
hormon menggunakan Kit Coat A
Count untuk Estrogen produksi DPC. Pengukuran kadar estradiol dilakukan setelah 12 hari dari suntikan DMPA terakhir. diambil pada saat fase estrus.
3.5 Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus betina Usia 1215 minggu dengan berat 150 – 200 gram. 3.6
Pengamatan Siklus Estrus Siklus estrus ditentukan dengan melihat hasil apus vagina dan pewarnaan
GIEMSA,
sesuai
metoda
Brancroft
and Steven (1996). Sampel apus vagina
diambil setiap hari sekitar jam 10 pagi. Penentuan fase penyusun siklus estrus dilakukan dengan
melihat
perbandingan
sel
epitel berinti, sel epitel menanduk
(kornifikasi), leukosit dan lendir, pada hasil apus vagina. 3.7
Pengambilan dan Pengukuran Sampel Hormon Sampel darah untuk pengukuran hormon estradiol 17-β diambil pada setiap
fase penyusun siklus estrus. Masing-masing dengan darah diambil
langsung
dari
jantung,
4
kandungan
ulangan.
Sampel
sesuai metoda Oduma et al. (1995).
Pengukuran kandungan hormon dilakukan dengan metode Assay). Pengukuran
kali
RIA
(Radio
Immuno
hormon menggunakan Kit Coat A Count untuk
Estrogen produksi DPC. 3.8
Penentuan Tebal Endometrium Uterus Sampel uterus diambil pada setiap fase penyusun siklus estrus, menggunakan
hewan yang diambil sampel darahnya untuk pengukuran hormon.
Uterus dibuat
sediaan histologis dengan pewarnaan HE dengan ketebalan 6 µ . Penentuan tebal endometrium dilakukan dengan menghitung rerata dari endometrium dengan ukuran
tebal tertinggi dan terendah pada setiap sayatan uterus sampel. Pangamatan dan pengukuran dilakukan pada setiap 5 sayatan uterus pada setiap fase penyusun siklus estrus. 3.9 Analisa Data Uji statistik yang digunakan adalah menggunakan metode two way ANOVA, hal tersebut bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan antara kelompok yang diberikan DMPA selama 98 hari dan 144 hari terhadap tebal endometrium dan kadar estradioal dengan taraf kepercayaan 5 %. Uji Parametris digunakan jika data tersebut mempunyai distribusi normal. Uji normalitas yang bisa digunakan adlah Uji Shapiro Wilk.
DAFTAR PUSTAKA
Demers, L.M. Pituitary function. In Carl- A.13 dan Edward, R.A (eds), The textbook of Clinical Chemistry. 3rd ed. 1999.Philadelphia : WB. Saunders Company
Ganong, W.F. 1998. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-16. Widjajakusuma, M.D. Jakarata:EGC. Guyton, A.C. 1992. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Darma, A. dan P. Lukmanto. Jakarta: EGC.
Howaritz, B dan Henrv J.B. Evaluation of endocrine function. In John, B.H (eds), (7117iCUl Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 2 1 st ed. 2001 Philadelphia: WB Saunders Company. Junquiera, L.C., J. Carneiro, dan O. Kelley. 1997. Histologi Dasar. Edisi kedelapan. Penerjemah: Harsojo. Surabaya: Airlangga University Press.