PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
HAL: 1 - 154
ISSN: 2442-4480
13 TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN ASPEK BIOLOGI, PSIKOLOGI, SOSIAL DAN SPIRITUAL PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (WBP) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG (LAPAS WANITA SUKAMISKIN) Oleh: Chika Nur Pebriani, Sri Sulastri, & Meilanny Budiarti S. E-mail:
[email protected] ,
[email protected] ,
[email protected] ABSTRAK Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) merupakan seseorang yang mengalami penghilangan kemerdekaan dikarenakan putusan hukum yang resmi dari negara. Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggantikan penyebutan narapidana. Penghilangan kemerdekaan pada Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan dengan menempatkan mereka pada Rumah Tahanan (RUTAN) atau Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) menjadi tempat bagi para Warga Binaan Pemasyarakatan untuk menjalani hidup mereka selama menjalani masa hukuman. LAPAS bertanggung jawab untuk membina para Warga Binaan Pemasyarakatan agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan mereka kembali secara normal setelah mereka keluar dari lingkungan LAPAS. Warga Binaan Pemasyarakatan pada hakikatnya merupakan manusia yang sama – sama memiliki hak seperti manusia lain walaupun mereka hidup di dalam lingkungan LAPAS. Salah satu hak mereka adalah mendapatkan akses untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai manusia. Pemenuhan kebutuhan bagi manusia setidaknya dapat dilihat dari empat aspek yaitu kebutuhan pada aspek biologi, psikologi, sosial serta spiritual. Keterbatasan akses para Warga Binaan Pemasyarakatan untuk dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan tersebut menjadikan LAPAS untuk memfasilitasi mereka agar dapat mendapatkan pemenuhan kebutuhan tersebut. Walaupun tidak dapat dihindari bahwa kebutuhan di LAPAS bagi WBP dapat “dikebiri”. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena penelitian bertujuan untuk mengukur dan menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan aspek biologi, psikologi, sosial dan spiritual pada warga binaan pemasyarakatan sehingga tidak dibutuhkan pemaknaan mendalam pada data yang didapatkan selama di lapangan. Hasil penelitian ini mengungkapkan berapa tingkat pemenuhan kebutuhan pada setiap aspek serta penggambaran kualitas pemenuhan kebutuhan tersebut. Kata kunci: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), Biopsikososio spiritual
ABSTRACT Residents of Correctional Patronage (WBP) is someone who is experiencing deprivation of liberty due to a legal ruling from the state. Residents of Correctional Patronage is a term used to replace any mention of prisoners. Deprivation of liberty, the prisoners carried out by placing them in the House of Detention (Rutan) or Penitentiary (Prison). Correctional institutions (prisons) a place for 89
PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
HAL: 1 - 154
ISSN: 2442-4480
prisoners to live their lives for serving a sentence. Prison is responsible for fostering the prisoners so that they can re-live their lives normally again after they come out of the prisons environment. Prisoners in essence is the same man - the same rights as other human beings even though they live in environments prisons. One of them is the right to have access to be able to meet their basic needs as human beings. Meeting the needs for humans at least can be seen from the four aspects, namely the needs of biological, psychological, social and spiritual. Limited access to the prisoners to be able to meet the needs make prisons to facilitate them in order to obtain the fulfillment of these needs. This study uses a quantitative method for the study aims to measure and describe the level of fulfillment aspects of biological, psychological, social and spiritual at the prisoners that are not needed at the deep meaning of the data obtained during the field. Results of the study revealed how the level of fulfillment in every aspect as well as depictions of quality meeting those needs. Keywords: Residents of Correctional Patronage (PLT), Penitentiary (Prison), Biopsikososio spiritual
Pasal 2 Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 menyebutkan bahwa “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”.
PENDAHULUAN Makna sebuah lembaga pemasyarakatan bagi narapidana merupakan tempat bagi mereka untuk melatih mereka agar dapat aktif dan produktif kembali dalam lingkungan masyarakat. Lembaga pemasyarakatan bukan hanya memberikan hukuman bagi para narapidana dengan menghilangkan kemerdekaan mereka saja. Tetapi fungsi lembaga pemasyarakatan lebih dari itu, yaitu membantu para narapidana agar mereka dapat berfungsi seperti semula sebelum mereka melakukan tindak kejahatan. Berbagai model pembinaan serta perlakuan dari pihak lembaga kepada para narapidana diharapkan dapat memberikan manfaat baik ketika para narapidana masih berada di dalam lapas ataupun setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Pasal tersebut menunjukkan tugas dan fungsi lembaga pemasyarakatan yang diatur oleh negara. Narapidana merupakan manusia yang memiliki hak untuk dapat menjalani kehidupannya secara layak dan berkewajiban memberikan kontribusinya sebagai bagian dari masyarakat dan juga bagian dari warga negara Indonesia. Pasal dalam Undang – Undang tersebut menunjukkan pula bahwa perlakuan retfibutif tidak sesuai dengan aturan dari negara. Pasal tersebut juga menunjukkan bahwa program, kegiatan, serta perlakuan yang dilakukan dalam lembaga pemasyarakatan dimaksudkan untuk membangun manusia itu sendiri.
Tugas lembaga pemasyarakatan yang memberikan model pembinaan menemukan kendala dalam praktiknya. Sudut pandang bahwa lembaga pemasyarakatan memberikan perlakuan yang bersifat retributif atau balas dendam dan ganti rugi dari narapidana atas kesalahan yang mereka lakukan di masa lalu masih mewarnai masyarakat kita. Beberapa perlakuan oknum dari lembaga pemasyarakatan itu sendiri terhadap narapidana menuai kritik bahwa tugas dan fungsi lembaga pemasyarakatan seharusnya sudah menerapkan model pembinaan, bukan lagi perlakuan retributif.
Para narapidana yang tinggal di dalam lapas memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan aspek – aspek dasar mereka seperti aspek biologi, aspek psikologi, aspek sosial serta spiritual. Lapas menjadi Lembaga yang berkewajiban untuk memberikan pemenuhan aspek – aspek tersebut kepada para narapidana. 90
PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
Dengan terpenuhinya aspek – aspek tersebut, tentunya manusia tersebut akan dapat memenuhi fungsinya bahkan dapat mengaktualisasikan diri mereka secara maksimal. Begitu pula halnya dengan narapidana.
HAL: 1 - 154
ISSN: 2442-4480
Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum. Berdasarkan definisi tersebut, warga binaan yang dimaksud adalah narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya dengan menghilangkan sebagian kemerdakaannya untuk kemudian tinggal di dalam lapas atau Lembaga Pemasyarakatan.
Seorang pekerja sosial terutama pekerja sosial koreksional memiliki kacamata yang berbeda dalam melihat narapidana serta lapas. Seorang narapidana yang diputus secara hukum untuk tinggal di dalam lapas dipersiapkan kembali atau dibina agar dapat menyadari kesalahannya di masa lalu dan memperbaiki diri sehingga dapat kembali hidup secara wajar bersama dengan masyarakat. Putusan hukum yang mereka terima tidak dilihat sebagai suatu pembalasan dendam (retributif) melainkan pembinaan oleh lembaga dengan tujuan untuk memperbaiki dan mempersiapkan mereka untuk dapat kembali hidup secara normal di dalam masyarakat.
Warga binaan yang tinggal di dalam lapas memiliki hak asasi, sama seperti orang lain. Penghilangan kemerdekaan pada warga binaan tetap menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia sehingga pembuatan lapas di RI tidak lepas dari hal tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa g. lainnya yang tidak dilarang; h. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; i. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; j. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); k. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; l. mendapatkan pembebasan bersyarat; m. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan n. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan PerundangUndangan yang berlaku.
Pada penelitian ini, peneliti akan melihat apakah pemenuhan aspek biologi, psikologi dan sosial narapidana di dalam lapas terpenuhi atau tidak. Hasil penelitian akan berguna untuk lapas sebagai bahan evaluasi terhadap kinerja mereka untuk menjalankan fungsi – fungsinya sesuai dengan Undang – Undang serta sebagai salah satu acuan bagi lapas untuk dapat menjalankan lembaga terkait dengan fungsi pemenuhan aspek biologi, psikologi dan sosial narapidana agar tujuan lapas untuk memberikan pembinaan kepada narapida dan membantu mereka untuk dapat berkehidupan normal dapat tercapai sesuai dengan amanat Undang – Undang sebagai dasar hukum negara kita. UU No. 12 Tahun 1995 menyebutkan definisi Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Sementara dalam UU yang sama, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. KAJIAN PUSTAKA 91
PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang salah satunya adalah hak untuk mendapat Asimilasi dengan 6 (enam) bentuk pola pembinaan, antara lain: Pembinaan mental spiritual yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan melalui kesadaran beragama. Usaha ini diperlukan untuk memberikan pengertian agar Narapidana dapat menyadari akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya selama ini; pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Usaha ini dilaksanakan melalui pemahaman wawasan kebangsaan, termasuk menyadarkan Narapidana agar menjadi warga negara yang dapat memberikan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara; Pembinaan kemampuan intelektual, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal seperti program kejar paket A atau melanjutkan pendidikannya di sekolah umum; Pembinaan kesadaran hukum yang diberikan melalui penyuluhan hukum. Pembinaan ini menanamkan pemahaman bagi Narapidana terhadap norma dan kaedah hukum, agar tidak melanggar hukum.
HAL: 1 - 154
ISSN: 2442-4480
mengakui HAM, komitmen terhadap perlindungan atau pemenuhan HAM pada setiap tahap pelaksanaan putusan yang berkaitan dengan warga binaan. Wujud komitmen yang ditunjukkan oleh Pemerintah adalah institusi hakim pengawas dan pengamat (WASMAT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 KUHAP, serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Didalam rancangan KUHP tahun 1968 dapat dijumpai gagasan tentang maksud dan tujuan pemidanaan sebagai berikut yaitu untuk mencegah dilakukan tindak pidana demi pengayoman negara,
UU No 12 Tahun 1995 Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Menurut Erna Tjahjati (2012 : 55), istilah penjara yang sebelumnya digunakan kemudian mengalami perubahan menjadi Pemasyarakatan. Perubahan istilah ini pertama kali dikemukanan oleh Sahardjo, SH., yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI pada tahun 1962.
masyarakat dan penduduk; untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota yang berbudi baik dan berguna; untuk menghilangkan noda – noda yang diakibatkan oleh tindak pidana; pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia (Erna Tjahjati, 2012: 55). Erna Tjahjati (2012) mengatakan bahwa pada hakekatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam sistem pembinaan yang terpadu dan perlakuan
Dalam melaksanakan praktik kelembagaan, Lembaga Pemasyarakatan melihat HAM sebagai salah satu unsur yang tidak bisa lepas begitu saja. Kesadaran manusia terhadap HAM bermula dari kesadaran terhadap adanya nilai harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Pemerintah Indonesia dalam menjalankan Lembaga Pemasyarakatan menghormati dan
terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar Negara
92
PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
Republik Indonesia 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.
HAL: 1 - 154
ISSN: 2442-4480
Hal tersebut berlaku bagi seluruh pemenuhan kebutuhan biopsikososial pada LAPAS. Seringkali standar pemenuhan kebutuhan yang dikemukakan oleh para ahli sulit diterima oleh orang – orang yang mungkin menjadi pihak korban dari para WBP di masa lalu. Sehingga untuk mencegah adanya pemikiran bahwa LAPAS hanya pengalihan tempat tinggal saja membuat negara harus membuat peraturan – peraturan terkait dengan pemenuhan kebutuhan para WBP di dalam LAPAS dan menetapkan standar yang diharapkan tanpa mengurangi esensi para WBP berada di dalam LAPAS sebagai suatu bentuk pertanggung jawaban atas tindakan di masa lalunya. Hal inilah yang menyebabkan adanya beberapa kebutuhan yang “dikebiri” atau dibatasi.
Sementara itu konsep mengenai pemenuhan kebutuhan biologi, psikologi, sosial serta spiritual merupakan bagian dari konsep PIE (Person In Environment). Sistem PIE (Person In Environment) mencoba memperluas perspektif dengan menempatkan masalah psikiatri dalam konteks yang lebih besar dari masalah sosial dan hambatanhambatan (Karls & Wandrei, 1994). Hal tersebut merupakan kemajuan, karena telah mempertimbangkan kekuatan-kekuatan dalam model ini. Menurut Hutchison (2003: 19) terdapat tiga aspek utama yang harus diperhatikan untuk melihat aspek dari perilaku manusia yaitu person (aspek yang ada di dalam diri manusia), environment (aspek lingkungan yang berhubungan dengan perilaku manusia), and time (aspek waktu yang berhubungan dengan perubahan yang terjadi pada seorang individu. Unsur-unsur yang termasuk di dalam personal dimensions adalah faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor spiritual. Menurut Hutchison (2003:115) biology is an important the work dimension of human behavior and of the work that social workers do, the profession is struggling to articulate exactly what social workers need to know about human biology.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik yaitu pemenuhan kebutuhan dasar pada aspek biologi, psikologi, sosial dan spiritual Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tetap harus sesuai dengan standar kemanusiaan walaupun ada beberapa kebutuhan yang mungkin dibatasi aksesnya, jumlahnya, atau frekuensinya. Tingkat pemenuhan kebutuhan para Warga Binaan Pemasyarakatan yang diberikan oleh pihak LAPAS diharapkan dapat memfasilitasi akses para Warga Binaan Pemasyarakatan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai manusia melalui ke empat aspek tersebut.
PEMBAHASAN Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, Tingkat pemenuhan kebutuhan pada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) harus diberikan sesuai dengan standar pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seperti yang tercantum dalam Hutchinson, pemenuhan kebutuhan biologi pada WBP setidak – tidaknya harus memenuhi aspek sandang, pangan dan papan. Mengenai asumsi adanya kebutuhan yang “dikebiri” atau tidak pemenuhannya tercapai namun tidak sebagus diluar LAPAS, hal tersebut dapat diatur dalam Peraturan Menteri atau undang – undang.
DAFTAR PUSTAKA Fox, Vernon. 1971. Corectional. USA: Florida State University. Hutchison, Elizabeth D. 2003. Dimensions of Human Behavior Second Edition. California: Thousand Oaks.
93
PROSIDING KS: RISET & PKM
VOLUME: 3
NOMOR: 1
Karls, James M. & Maura E. O’Keefe. 2015. “Person-In-Environment System”. Dalam Corcoran, Kevin & Roberts, Albert R.(penyunting). Social Workers Desk’ Reference. Selected Reading, hm. 371-375. Madison Avenue: New York: Oxford University Press.
HAL: 1 - 154
Aplikatif. Aditama.
ISSN: 2442-4480
Badung:
PT.
Refika
1995
tentang
Sumber Lain: UU
Tjahjati, Erna. 2012. “Perlindungan dan Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Blitar)”. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 Nomor 2: 55-62.
Nomor 12 Tahun Pemasyarakatan
PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan http://www.pearsonhighered.com/assets/hip/u s/hip_us_pearsonhighered/samplechap ter/020579274X.pdf
Zainuddin, M. & Masyhuri. 2008. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dan
http://www.ucalgary.ca/sw/ramsay/PIE/30pie-person-in-environment.html
94