V. AGRIBISNIS PERSUSUAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1.
Agribisnis Persusuan Nasional Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10
tahun 1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri, usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran. Erwidodo (1998) dan Swastika (2005) menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di perdesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor. Peternakan sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi Fries-Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di
76
Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono, 1999). Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor). Motif usahanya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah (Erwidodo, 1993).
5.1.1. Produksi Susu Menurut Ditjen Bina Produksi Ternak Peternakan (2008) susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi. Peningkatan populasi dan produksi yang terjadi pada tahun 1997 diikuti dengan penurunan pada tahun 1998. Hal ini tidak terlepas dari sifat komoditi ternak yang sangat liquid. Saat peternak membutuhkan uang, maka dengan mudahnya ternak dijual. Apalagi pada saat krisis ekonomi, harga daging sapi sangat menggairahkan. Namun sejak tahun 1999 usaha ternak sapi perah ini sudah kembali meningkat mendekati jumlah pada tahun 1997 dimana hampir semua produksi susu nasional berasal dari koperasi susu. Tahun 1998 jumlah peternak justru meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor peternakan berperan dalam penyerapan tenaga kerja saat krisis berlangsung. Namun dengan
77
jumlah populasi sapi perah yang menurun, berakibat bahwa pemilikan sapi oleh peternak pada tahun 1998 menjadi rendah. Setelah Indonesia masuk pada era reformasi dimana terdapat perubahan tatanan pemerintahan dan politik, sehingga sedikit banyak mempengaruhi keberadaan dan kinerja koperasi. Koperasi pada saat itu juga dianggap sebagai sisa-sisa produk orde baru yang harus ditinggalkan. Kondisi tersebut lebih diperburuk lagi dengan dibukanya pintu perdagangan bebas, sehingga IPS tidak merasa wajib lagi untuk membeli susu dari peternak dan koperasi susu yang ada di Indonesia. Segala kondisi dan faktor yang ada baik dari internal dan eksternal menurunkan minat koperasi dan peternak untuk mengembangkan usaha susu sapi, karena tidak memperoleh insentif yang tinggi.
Tabel 6. Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Sapi Segar, Tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Populasi Sapi Perah (Ekor) 374 000 364 000 361 000 369 000 378 000
Produksi Susu (Ton) 553 400 549 900 536 000 616 500 636 900
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2008.
Berdasarkan data statistik populasi dan produksi susu sapi perah yang dikeluarkan oleh Ditjen Peternakan-Departemen Pertanian (2008) menyebutkan bahwa terjadi fluktuasi terhadap populasi dan produksi susu sapi perah, namun secara umum dari tahun ke ke tahun terjadi peningkatan produksi susu sapi. Namun, peningkatan ini tidak diikuti oleh naiknya produktivitas. Hal ini dikarenakan meningkatkannya jumlah populasi sapi perah itu sendiri, tapi disisi lain produksi susu sapi perah relatif stagnan. Seperti yang terlihat di Tabel 6
78
bahwa pada tahun 2006 terdapat 369 000 ekor sapi perah yang menghasilkan 616 500 ton susu sapi segar, sedangkan pada tahun 2007 terjadi peningkatan produksi susu segar sebesar 20 400 ton, menjadi 636 900 ton susu segar yang dihasilkan dari 378 000 sekor sapi.
Tabel 7. Produktivitas Sapi Perah di Pulau Jawa, Tahun 2008 No
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Peternak Pandaan Pasuruan Kelompok Peternak Pondok Rangon-Jakarta KUD Batu-Malang KPS Bogor PT. Arga-Boyolali KUD Setia Kawan-Nangkojajar, Pasuruan Metasari Farm-Bogor Cibinong Farm PT. Baru Adjak-Lembang, Bandung PT. Surya Dairy Farm, Cikembar, Sukabumi KUD Dadi Jaya Pasuruan KUD Sarwa Mukti- Cisarua,Bandung KPSBU-Lembang, Bandung PT. Taurus Dairy Farm- Cicurug, Sukabumi Rataan
Rataan Produksi (liter/ekor/hari) 5.23 8.00 8.27 8.27 8.80 9.60 10.21 11.45 11.49 12.49 13.24 13.92 14.26 16.00 10.80
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2008.
Tabel 7 menjelaskan bahwa produktivitas sapi perah di Pulau Jawa untuk per ekor sapi sebesar 10.80 liter susu per hari. Kondisi ini masih jauh dari produksi idealnya yakni sebesar 20-25 liter susu per ekor sapi setiap hari. Walaupun untuk beberapa lokasi sentra pengusahaan sapi perah telah mampu meningkatkan produktivitasnya diatas rata-rata Pulau Jawa, yakni 11-16 liter susu per ekor sapi setiap harinya yakni sentra populasi sapi perah di Jawa Barat. Hal ini di sebabkan kondisi alam yang mendukung dalam hal pengadaan pakan hijauan, iklim, tersedianya teknologi dalam upaya peningkatan produksi susu yang dilakukan peternak.
79
Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik,
lingkungan,
dan
pemberian
pakan.
Faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang bersangkutan. Sapi pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 92 sampai 98 persen (Schmidt et al. 1998). Usaha peternakan sapi perah di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha peternakan sapi perah tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu: (1) wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan (2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Intinya, tipe wilayah (1) merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas, dan tipe wilayah (2) menggambarkan perdesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah (1) serta minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu di tipe wilayah (2). Melihat kondisi mengenai rendahnya produktivitas susu sapi perah dan disisi lain terkonsentrasinya usahaternak sapi perah di Pulau Jawa menjadi tantangan untuk melakukan program ekstensifikasi usahaternak tersebut ke luar
80
Pulau Jawa. Pemerintah seharusnya memfasilitasi dan mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan usahaternak sapi perah tersebut. Kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan pemetaan daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan usahaternak sapi perah di luar Pulau Jawa, sehingga dengan demikian produksi dan produktivitas akan meningkat. Kebijakan ini tentunya harus diikuti oleh kebijakan lain yang mendukung. Beberapa kebijakan yang mendukung tersebut adalah penyediaan bibit unggul, baik dengan cara pengadaan di dalam negeri dengan pemanfaatan UPT Pembibitan yang dimiliki oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, bantuan modal tahap awal untuk menginisiasi kegiatan usahaternak, serta memfasilitasi pembukaan pasar susu segar di daerah-daerah pengembangan baru. Melalui kebijakan pemerintah tersebut, diharapkan investor baru mau bergabung dan membangun usahaternak dalam skala yang besar, sehingga dapat mengintegrasikan usahanya dalam bentuk kluster dengan peternak rakyat. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahaternak hanya digeluti oleh peternak rakyat dengan skala sangat kecil yang tidak memiliki orientasi bisnis karena keterbatasan produksi yang dihasilkan oleh peternak tersebut. Pembukaaan lokasi baru peternakan, tentunya
akan memberikan
kesempatan dan peluang baru bagi masyarakat di luar Pulau Jawa. Peluang dan kesempatan tersebut adalah: (1) terciptanya lapangan kerja baru sehingga mampu menggerakkan ekonomi berbasiskan kerakyatan, dan (2) terpenuhinya kebutuhan protein hewani dengan harga yang terjangkau dan menyehatkan, sehingga dengan demikian akan tercipta perbaikan kualitas hidup untuk menciptakan sumberdaya manusia yang unggul.
81
5.1.2. Pemasaran Susu Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2002). Fungsi pemasaran adalah suatu aktivitas usaha yang ditujukan untuk menyampaikan produk barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. Fungsi pemasaran susu segar peternak di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat dijalankan oleh koperasi. Fungsi pemasaran yang dilakukan masingmasing koperasi adalah menyampaikan susu dari peternak sapi perah kepada konsumen rumah tangga dan industri pengolahan susu (IPS). Kegiatan tersebut dilakukan dengan melakukan pengambilan susu di tingkat peternak, pengangkutan ke cooling unit dan pengangkutan ke IPS. Sebagian susu segar dijual melalui eceran dan sebagian kecil diolah menjadi susu pasteurisasi, youghurt dan produk susu lainnya. Namun, pemasaran susu di Indonesia juga dipengaruhi oleh produk susu impor dalam bentuk skim powder. Pelaksanaan impor susu diatur oleh Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan No. 656/Kpb/IV/1985, serta Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 18/2/Kep/GBI tentang penyempurnaan ketentuanketentuan umum di bidang impor, yang terdiri dari 19 pasal. Impor bahan baku susu untuk memenuhi kebutuhan industri atau pabrik non-susu dapat dilakukan oleh importir yang terdaftar. Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat bahwa susu segar dari peternak akan ditampung di koperasi, dalam hal ini koperasi berperan sebagai lembaga
82
pengumpul dan penyalur susu dari peternak. Sebelum di jual ke IPS, susu yang ditampung oleh koperasi mendapatkan perlakuan tertentu sehingga memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh IPS. Susu segar yang ditampung oleh koperasi terutama di jual kepada IPS, baik IPS hulu maupun IPS hilir. IPS Hulu yaitu industri yang mengolah SSDN menjadi bahan baku susu (bubuk susu) yang akan diolah lebih lanjut oleh IPS hilir. Satu-satunya IPS Hulu yang ada di Indonesia adalah PT. Tirta Amerta Agung, namun saat ini sudah tidak beroperasi lagi karena bangkrut. Impor
Non IPS SMP dan AMF
ss IPS Hilir
ss Peternak
Konsumen Akhir
SMP
Koperasi
AMF
ss
IPS Hulu
. ss Loper Industri Rumah Tangga
ss
Sumber: Kuraisin (2006). Keterangan : SMP : Skim Milk Powder AMF : Anhydrous Milk Fat
Gambar 5. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia
IPS hilir merupakan industri yang mengolah bahan baku berupa susu menjadi susu olahan dengan berbagai jenis. Industri pengolahan susu yang terdapat di Indonesia adalah PT. Nestle, PT. Indolakto, PT. Indomilk, PT. Frisian
83
Flag, PT. Ultra Jaya, dan perusahaan pengolah lainnya. Selain di jual ke koperasi, ada juga susu dari peternak yang dijual kepada loper (pedagang pengumpul) susu dan ada juga yang langsung dijual ke industri rumah tangga. Industri rumah tangga tersebut mengolah susu segar dari peternak menjadi susu pasteurisasi, kemudian hasil susu pasteurisasi tersebut langsung dijual kepada konsumen lokal dengan kemasan yang sangat sederhana.
Tabel 8. Perkembangan Harga Susu di Tingkat Peternak di Daerah Sentra Produksi, Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten/Kota Kota Padang Panjang Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Bandung Kab. Garut Kab, Boyolali Kab. Semarang Kab. Blitar Kab. Malang Tertinggi Rata-rata Nasional Terendah
Jan 3 875 2 075 2 850 2 967 2 300 1 900 3 875 2 661 1 900
Mar 4 000 2 000 2 900 3 000 2 400 2 250 2 100 3 000 4 000 2 706 2 000
Bulan-2008 (Rp/liter) Mei Jul Sep 4 000 4 000 4 000 2 500 2 500 2 800 2 838 2 900 3 000 3 000 3 000 2 600 2 600 2 533 2 683 3 000 2 200 2 300 2 500 3 100 3 100 3 100 2 867 3 000 3 000 4 000 4 000 4 000 2 849 2 948 3 071 2 267 2 300 2 500
Nov 4 000 2 800 3 000 3 050 2 700 3 100 3 200 4 000 3 121 2 700
Sumber: Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2009 Keterangan: ’-’ data tidak tersedia
Jalur pemasaran susu akan memberikan konsekuensi harga yang diperoleh peternak. Harga yang diterima peternak akan tergantung pada jalur pemasaran susu tersebut atau kepada pihak mana susu tersebut akan dijual. Tabel 8 menunjukkan bahwa harga yang diterima oleh peternak di daerah sentra produksi susu sapi perah berbeda. Peternak Kota Padang Panjang, menerima harga susu segar tertinggi bila dibandingkan daerah lain dengan harga rataan Rp. 4 000 per liter susu. Sedangkan peternak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur memperoleh harga yang rendah bila dibandingkan Provinsi Jawa Barat dan Kota
84
Padang Panjang, yakni Rp. 1 900 per liter susu pada Januari dan Rp. 2 700 per liter pada November 2008. Terdapat kenaikan harga susu, disebabkan harga susu dunia juga naik pada tahun tersebut. Tabel 8 mendeskripsikan bahwa harga rata-rata susu secara nasional pada Januari sebesar Rp. 2 661 per liter susu setiap bulannya mengalami kenaikan dan menjadi Rp 3 121 per liter susu pada November 2008. Harga susu segar per liter di daerah sentra susu Provinsi Jawa Barat memiliki nilai di atas harga rataan nasional. Kondisi ini diduga, karena jumlah perusahaan yang menampung susu segar untuk diolah oleh IPS, relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah yang hanya memiliki satu perusahaan IPS yakni PT. Sari Husada, dan Jawa Timur hanya PT. Nestle Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, koperasi susu di Provinsi Jawa Barat memiliki kemampuan untuk ‘menawar harga jual’ lebih baik, walaupun tetap sebagai penentu harga adalah IPS. Harga yang tinggi di Kota Padang Panjang memberikan keuntungan tersendiri bagi peternak yang berada di daerah tersebut. Kondisi ini disebabkan, karena susu yang dijual oleh peternak di daerah ini tidak dijual kepada IPS (tidak terdapat IPS di Provinsi Sumatera Barat), sehingga susu segar langsung dijual kepada konsumen.
5.2.
Kondisi Peternakan Sapi Perah di Jawa Barat Berdasarkan catatan statistik Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2009
tidak semua provinsi di Indonesia memiliki sapi perah, konsentrasi tebesar dari populasi sapi perah terdapat di Pulau Jawa (Firman, 2007). Perkembangan populasi ternak yang cukup besar tersebut didukung oleh keberadaan sarana dan
85
prasarana yang menunjang usahaternak sapi perah seperti IPS, Balai Inseminasi Buatan, lingkungan geografis dan para peternak yang telah lama bergelut dengan sapi perah. Disamping itu, faktor positif yang menunjang perkembangan populasi sapi perah di Pulau Jawa adalah karena di pulau ini merupakan sumber pasar yang potensial untuk produk susu dengan jumlah populasi penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya (Firman, 2007). Menurut Ditjennak (2009) pada tahun 2008, Jawa Barat merupakan salah satu sentra penghasil susu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Sekitar 40 persen (30 714 kepala keluarga) populasi ternak sapi perah Indonesia ada di Jawa Barat dan 32 persen (242 142 ton) produksi susu segar nasional dihasilkan oleh Propinsi Jawa Barat (Ditjennak dan GKSI, 2008). Tahun 2009 Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan melalui dinas peternakan untuk meningkatkan produksi susu sebagai bentuk pemberdayaan
perternak
sapi
perah
lokal
untuk
dapat
meningkatkan
pendapatannya. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah meningkatkan jumlah bibit sapi perah melalui UPT. Peternakan Sapi perah di Cikole Bandung. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur. Sampai dengan tahun 2008, jumlah sapi perah di Jawa Barat mencapai 111 250 ekor yang menghasilkan 242 102 ton susu segar. Tabel 9 dan 10 menyajikan perkembangan populasi ternak sapi dan produksi susu berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
86
Tabel 9. Perkembangan Populasi Ternak Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004-2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kabupaten/Kota Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Barat
2004 5 356 3 614 1 822 44 680 23 803 1 520 167 6 798 84 570 5 429 602 425 15 24 25 1 612 121 611 9 883 494 294 98 958
Sapi Perah (Ekor) 2005 2006 2007 5 435 5 123 5 268 3 796 4 199 4 547 1 867 1 905 2 249 50 354 53 203 53 965 12 802 14 157 15 959 1 543 1 569 1 644 91 112 151 6 164 5 841 5 138 69 71 72 623 630 671 5 845 6 572 8 722 598 568 969 326 306 783 19 24 17 24 24 27 20 30 30 1 040 658 819 111 219 252 583 585 612 6 6 4 906 997 893 212 219 279 321 349 418 92 755 97 367 103.489
2008 5 907 4 698 2 864 27 017 16 197 1 759 194 5 191 127 1 006 9 744 1 981 1 366 7 34 99 29 316 903 273 1 063 4 714 356 419 11 111 258
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2009 Keterangan: ’-’ data tidak tersedia
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Bogor adalah lima kabupaten dengan populasi ternak teratas (sentra usahaternak sapi perah). Jumlah ternak dari kelima kabupaten tersebut mencapai 88 181 ekor atau mencapai 77.86 persen dari populasi sapi di Jawa Barat secara keseluruhan.
87
Tabel 10. Perkembangan Produksi Susu di Propinsi Jawa Barat, Tahun 2004-2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kabupaten/Kota Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Barat
2004 11 656 7 865 3 965 97 232 51 800 3 308 363 14 794 183 1 240 11 815 1 310 925 33 52 54 3 508 263 1 330 20 1 922 1 075 640 215 352
Produksi Susu (ton) 2005 2006 2007 11 828 11 149 11 464 8 261 9 138 9 895 4 063 4 146 4 894 109 580 115 780 117 438 27 860 30 808 34 730 3 358 3 414 3 578 198 244 329 13 414 12 711 11 181 150 155 157 1 356 1 371 1 460 12 720 14 302 18 981 1 301 1 236 2 109 709 666 1 704 41 52 37 52 52 59 44 65 65 2 263 1 432 1 782 242 477 548 1 269 1 273 1 332 13 13 9 1 972 2 170 1 943 461 477 607 699 759 910 201 853 211 889 225 212
2008 12 855 10 224 6 233 58 794 35 248 3 828 422 11 297 276 2 189 21 205 4 311 2 972 15 74 215 63 797 1 965 594 2 313 9 1 554 775 912 24 242 102
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2009 Keterangan : ’-’ data tidak tersedia
Produksi susu di Propinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10. Besarnya populasi ternak kelima kabupaten tersebut menjadi penghasil susu terbesar. Kelima kabupaten tersebut menghasilkan 191 899 ton per tahun atau hampir 79.26 persen dari jumlah produksi susu sapi di Jawa Barat. Kabupaten Bandung sebelum dan sesudah pemekaran (Kabupaten Bandung Barat), merupakan sentra populasi dan konsentrasi peternak sapi perah, terbukti dengan adanya dua koperasi susu terbaik dan terbesar yakni KPSBU (Koperasi Peternak
88
Sapi Bandung Utara) di Lembang dan KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan) di Pangalengan. Susu yang diproduksi sebagian besar disalurkan ke koperasi/KUD persusuan yang kemudian dipasarkan kepada IPS. Selain memasarkan hasil produksi susu para peternak, koperasi juga melayani kebutuhan pakan (konsentrat), obat-obatan, inseminasi buatan, memfasilitasi penyaluran kredit maupun simpan pinjam untuk anggota. Peternakan sapi perah merupakan bagian dari usaha agribisnis pertanian. Pola agribisnis peternakan sapi perah rakyat dilihat pada pada Gambar 6. Institusi
Peternak
off farm I
on farm
hijauan
Dairy
off farm II
Farming
KOP/KUD SUSU
Obat Hewan Konsentrat penyuluhan
IPS
Milk center Milk Process
Milk Treatment
pasar
Industri
pasar
Kelembagaan pendukung: perbankan, lembaga Penelitian/SDM (PT, Asosiasi dsb)
Sumber: GKSI, 2007.
Gambar 6. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah di Jawa Barat
Melihat sistem agribisnis tersebut, tampak bahwa bisnis persusuan tidak dapat dipisahkan antara sub sistem off farm (pra produksi), on farm (budidaya) dan Off farm II (pasca produksi dan pemasaran hasil serta subsistem pendukungnya, yaitu lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penelitian atau
89
penyediaan sumberdaya manusia. Oleh karenanya, pengembangan agribisnis berbasis sapi perah harus dilakukan secara terintegrasi oleh suatu manajemen yang sama dari hulu ke hilir. Menurut Firman (2007) dalam rangka peningkatan mutu produksi susu lokal, harus ditindaklanjuti dengan sertifikasi produk. Koperasi pada kondisi ini dapat bekerja sama dengan lembaga sertifikasi yang terakreditasi sebagai lembaga Sertifikasi Peningkatan Sistem Manajemen Mutu (SPSMM). Koperasi yang menerapkan sistem manajemen yang mengacu pada kaidah-kaidah ISO 9000, sehingga diharapkan produk susu lokal akan mampu bersaing di pasar global dimasa mendatang. Selain itu yang diperlukan adalah mengantisipasi situasi perdagangan bebas, bahwa harga tidak ditentukan lagi oleh aturan sepihak, namun didasarkan kepada interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. Selain itu, hilangnya berbagai bentuk proteksi akan menyebabkan meningkatnya susu impor di Indonesia, yang akan menjadi pesaing baru bagi kalangan produsen susu nasional
5.3.
Kelembagaan Agribisnis Sapi Perah Susu merupakan komoditi yang tidak lebih mudah dikembangkan
dibandingkan komoditi agribisnis lainnya. Namun fakta menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis susu melalui gerakan koperasi jauh lebih baik dibandingkan dengan pengembangan agribisnis komoditi lainnya. Hal ini tidak lepas dari sifat produksi yang sangat inelastis, sehingga menjadikan tingkat ketergantungan
yang
tinggi
para
anggota
terhadap
lembaga
koperasi.
Ketergantungan yang tinggi terkait dengan berkembangnya aktivitas off-farm
90
sejalan dengan berkembangnya aktivitas on-farm menyebabkan tingginya tuntutan terhadap pengembangan, sistem agribisnis susu secara integratif. Kelemahan dalam salah satu sub-sistem mengakibatkan dampak yang sangat fatal pada pengusahaan komoditi ini. Terdapat pendapat yang meyakini bahwa berkembangnya koperasi susu dikarenakan sifat natural komoditas yang menyebabkan bangkitnya kemauan para peternak secara buttom up bergabung dalam lembaga koperasi. Sifat natural yang dimaksudkan adalah tingkat perishable yang tinggi, volume yang besar dan massa yang berat, disamping proses produksi yang bersifat harian. Artinya semakin kurang tekanan karakter komoditi, akan semakin berkurang desakan bagi para petani untuk menggabungkan diri ke dalam lembaga koperasi. Mempelajari sejarah agribisnis persusuan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kondisi yang menentukan berkembangnya agribisnis persusuan ini tidak terlepas dari berkembangnya semua sub sistem agribisnis secara simultan dan integratif. Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja (Siregar dan Ilham, 2003). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi. Masa keemasan koperasi susu dijumpai pada tahun 1980-an. Jumlah koperasi yang awalnya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang tujuh kali lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Demikian pula terjadi peningkatan yang signifikan pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis persusuan, baik
91
sebagai peternak pemilik maupun sebagai pekerja. Meningkatnya jumlah koperasi ini
tidak
terlepas
dengan
meningkatnya
program
pemerintah
dalam
pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di wilayah perdesaan. Tahun 2008 tercatat jumlah koperasi susu di Indonesia sebanyak 111 unit koperasi (GKSI, 2009). Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian (2009) menyebutkan bahwa 98 persen jumlah koperasi yang ada tersebar di Pulau Jawa. Jumlah peternak sebesar 120 000 jiwa menjadikan koperasi sebagai wadah untuk menjalankan usahaternak, termasuk kebutuhan dalam usahaternak. Koperasikoperasi tersebut bersatu dalam wadah koperasi sekunder yakni GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia). Berdirinya GKSI pada tahun 1979 sangat berperan dalam mengkondisikan KUD-KUD untuk mengembangkan unit usaha persusuan, atau disebut KUD Susu. Dukungan penuh GKSI terlihat dalam mengembangkan sub-sub sistem agribisnis off farm yang dibutuhkan oleh subsistem on farm sapi perah yang dikembangkan oleh koperasi-koperasi primer. GKSI melakukan pengembangan agribisnis persusuan nasional yang dikaitkan dengan memperhatikan pengembangan pada semua subsistem secara simultan memungkinkan banyaknya lahir koperasikoperasi susu baru. Hal yang membedakan antara KUD susu dengan koperasi peternakan sapi perah adalah pada keanggotaan dan jenis usaha yang dikembangkan. KUD susu merupakan koperasi perdesaan yang bersifat multi purpose dan memiliki unit usaha persusuan, artinya selain anggota yang merupakan peternak sapi perah, koperasi juga memiliki anggota yang mengolah dan mendistribusikan susu yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan koperasi peternak sapi perah yang
92
bersifat single purpose yang semua anggotanya adalah peternak sapi perah. Keluarnya Inpres No. 4 tahun 1984 yang hanya mengakui KUD (multipurpose) sebagai satu-satunya jenis koperasi di tingkat perdesaan tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan koperasi sapi karena karena koperasi peternak sapi perah (single purpose) boleh tetap berjalan tanpa harus berubah menjadi KUD. Hal ini karena adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Koperasi. Pada dasarnya semua koperasi susu Indonesia adalah anggota GKSI, sebagaimana yang diarahkan sejak semula bahwa pengembangan agribisnis persusuan di Indonesia ditekankan melalui jalur koperasi. Koperasi susu sangat berperan bagi pengembangan usahaternak sapi perah. Peternak yang bergabung ke dalam koperasi mengakui bahwa koperasi memiliki peran dalam pemasaran output, dan penyediaan input serta sarana ternak lainnya. Manfaat yang dimaksud adalah, dengan bergabungnya peternak dengan koperasi anggota akan mendapat pelayanan diantaranya peternak menjual susunya melalui koperassi. Susu yang berasal dari peternak dijual kepada IPS. IPS dan peternak tidak memiliki hubungan langsung, tetapi koperasi bertindak sebagai perantara. Sehingga dengan adanya koperasi, adanya kepastian pasar susu yang dihasilkan. Harga yang diberikan oleh koperasi berdasarkan harga yang diberikan oleh IPS, dengan standar dan syarat teknis (kadar lemak, bakteri dan total solid susu). Hubungan yang dibangun antara koperasi dan IPS dapat dikatakan belum terpola, apakah dalam bentuk kemitraan, contract farming, atau pola bapak asuh. Hubungan yang terbentuk lebih kepada hubungan antara penjual dan pembeli (IPS), dengan sistem pembayaran setiap dua minggu sekali dari IPS kepada
93
koperasi melalui bendahara GKSI. Konsekuensi sistem tersebut berdampak pada sistem pembayaran susu segar yang diterima peternak, pembayaran susu yang disetor setiap hari dibayar dua minggu sekali. Koperasi juga berperan dalam hal penyediaan input, terutama pakan konsentrat dan modal bagi anggotanya. Koperasi pada dasarnya tidak mewajibkan anggotanya untuk membeli kebutuhan usahaternaknya kepada koperasi, sehingga anggota dapat membeli dengan pertimbangan harga yang paling rendah ditempat lain. Namun, koperasi tetap memberikan harga yang relatif rendah bila dibandingkan peternak membeli pakan dan sarana ternak di tempat lain. Hal ini dimungkinkan adanya sumber pendapatan lain yang diperoleh koperasi dan dialokasikan untuk mensubsidi beberapa input tertentu. Disamping di akhir tahun, terdapat SHU (Sisa Hasil Usaha) yang akan dibagikan berdasarkan tingkat partisipasi anggota apakah dari kegiatan ekonomi dan organisasinya. Adanya iuran, dan keuntungan yang diperoleh dari Waserda (Warung serba ada). Harga input yang relatif rendah bisa dilihat dari harga pakan konsentrat yang dijual oleh KPSBU Jawa Barat Lembang yang menjual per kilogram pakan sebesar Rp. 1 400-Rp.1 500, bila dibandingkan seharga Rp. 1 700-Rp. 1 900 per kilogram di tempat lain. Permodalan peternak juga terbantu dengan adanya bantuan tanpa bunga bagi peternak. Hal ini dicontohkan oleh KPSBU Jawa Barat Lembang kegiatan ini dimungkinkan karena adanya dana dari SHU yang dialokasikan untuk membantu permodalan tanpa bunga bagi peternak. Manfaat dan peran yang diperoleh peternak dari koperasi adalah untuk menjaga kualitas susu yang dihasilkan oleh
94
peternak, koperasi melakukan upaya pendampingan, pelatihan dan pengawasan secara berkala terhadap usahaternak sapi perah di wilayah binaan masing-masing.
5.4.
Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat memiliki luas sebesar 3 584 644.92 hektar, dengan
kondisi topografis beragam. Wilayah Provinsi Jawa Barat yang berada pada ketinggian 0-25 meter di atas permukaan laut (dpl) adalah seluas 330 946.92 hektar, 312 037.34 hektar berada pada ketinggian 25-100 meter dpl, 650 086.65 hektar berada pada 100-500 meter dpl, 585 348.37 hektar berada pada ketinggian 500-1 000 meter dpl, dan 284 022.53 hektar berada pada ketinggian lebih1 000 meter dpl. Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 050'–7050' Lintang Selatan dan 104048'–108 048' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: a. Sebelah utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta, b. Sebelah timur, berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, c. Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan d. Sebelah barat, berbatasan dengan Propinsi Banten. BPS Jabar (2008) menyebutkan secara administratif, pada tahun 2008 Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kabupaten dan kota, yang terbagi dalam 17 kabupaten dan sembilan kota, yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat, hingga akhir tahun 2007
95
mencapai 41 483 729 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk 1.83 persen dan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 1 157 jiwa/tahun. Pada periode 2003-2007, laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat dapat dikendalikan secara signifikan, yaitu dari sebesar 2.25 persen pada tahun 2003 menjadi 1.83 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penduduk laki-laki sebanyak 20 919 807 jiwa dan perempuan sebanyak 20 563 922 jiwa. Sedangkan menurut kelompok umur, pada tahun 2003 hingga 2007 masih membentuk piramida dengan kelompok usia anak dan usia produktif yang besar. Selanjutnya, berdasarkan struktur lapangan pekerjaan, penduduk Jawa Barat didominasi penduduk bekerja di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri. Perkembangan perkonomian daerah selama kurun waktu tahun 2003–2007 diwarnai dengan terjadinya guncangan ekonomi pada tahun 2005, seiring dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Kondisi tersebut cenderung stabil sampai dengan tahun 2007. Stabilitas ekonomi makro dan kondisi keuangan nasional yang tetap terjaga hingga akhir tahun 2007, menunjukkan fundamental ekonomi nasional yang semakin membaik dalam menghadapi perubahan eksternal dan internal. Stabilitas indikator ekonomi makro nasional tersebut berimplikasi positif bagi kelanjutan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Secara umum, perekonomian Jawa Barat tahun 2007 mengalami pertumbuhan 6.41 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.20 persen. Inflasi tahun 2007 tercatat sebesar 5.10 persen lebih rendah dari tahun 2006 sebesar 6.15 persen. Penurunan laju inflasi ini dikarenakan terkendalinya harga kebutuhan bahan makanan serta pasokan bahan makanan terutama beras
96
cukup tersedia. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI) dalam BPS Jawa Barat (2008) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 akan mencapai kisaran 6-6.50 persen di bawah prediksi pemerintah sebesar 6.80 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi global dan tingginya harga bahan bakar minyak di pasar internasional, menyebabkan pertumbuhan ekonomi 2008 tidak setinggi target pemerintah. Penurunan pertumbuhan ekonomi global itu akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia pada tahun 2008. Untuk Provinsi Jawa Barat, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diperkirakan antara 6–6.50 persen. Pertumbuhan ini masih didominasi oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel, restoran (PHR), dan pertanian (BPS Jawa Barat, 2008).
5.5.
Karakteristik Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini merupakan peternak anggota KPSBU
Jabar (Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat), peternak anggota KPBS Pangalengan (Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung), dan peternak anggota KPGS (Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut). Gambaran umum responden yang dianggap penting meliputi status usahaternak, umur, pendidikan, pengalaman beternak, jenis dan jumlah kepemilikan sapi laktasi, perkandangan, pemeliharaan ternak, dan pemberian pakan. Hal tersebut dikarenakan karakteristik tersebut mempengaruhi pelaksanaan usahaternak sapi perah dan kuantitas serta kualitas hasil ternak. Karakteristik responden akan diuraikan dalam subab berikut ini.
97
5.5.1. Status Usahaternak Sapi Perah Status usahaternak dikategorikan menjadi dua yaitu usahaternak sapi perah sebagai pekerjaan utama dan sebagai pekerjaan sampingan. Klasifikasi ini berdasarkan curahan waktu yang dilakukan peternak dalam melakukan pekerjaannya. Jika curahan waktu lebih banyak pada usahaternak sapi perah maka peternak tersebut ditetapkan dalam status usaha utama meskipun tingkat pendapatan dari hasil usahaternak yang dilakukan mungkin lebih kecil dibanding dengan usaha lainnya. Status usahaternak sapi perah dapat dilihat di Tabel 11.
Tabel 11. Status Usahaternak Sapi Perah Responden di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Status Usahaternak Utama Sampingan Jumlah
Kec. Lembang Jumlah (%) 26 86.70 4 13.30 30 100
Kec. Pangalengan Jumlah (%) 28 93.30 2 6.70 30 100
Kec.Cikajang Jumlah (%) 30 100 0 0.00 30 100
Diantara 30 responden peternak anggota KPSBU Jabar di Kecamatan Lembang, 26 reponden diantaranya atau 86.70 persen menyatakan bahwa usahaternak sapi perah adalah pekerjaan utama. Sementara empat orang lainnya (13.30 persen) menyatakan bahwa usahaternak sapi perah yang dijalani adalah sebagai usaha sampingan. Akan tetapi, pekerjaan utama empat responden tersebut masih berhubungan dengan usahaternak sapi perah, yaitu bertani dan karyawan KPSBU Jabar. Hal yang sama terjadi pula pada responden anggota KPBS Pangalengan. Diantara 30 responden peternak anggota KPBS Pangalengan, 28 responden diantaranya atau 93.30 persen menyatakan bahwa usahaternak sapi perah adalah pekerjaan utama, sementara dua orang lainnya (6.70 persen) menyatakan bahwa
98
usahaternak sapi perah yang dijalani adalah sebagai usaha sampingan. Pekerjaan utama kedua responden tersebut juga masih berhubungan dengan usahaternak sapi perah, yaitu bertani dan karyawan KPBS Pangalengan. Sementara usahaternak sapi perah merupakan pekerjaan utama bagi 30 responden dari KPS Garut. Melihat kondisi dari status usataternak yang dijalankan, menggambarkan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari peternak mengandalkan usahaternak yang dijalankan dari susu yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan peternak sendiri tergantung pada usahaternak yang dijalankan, karena lebih dari 86 persen responden menyatakan bahwa usahaternak yang
dijalankan
adalah
usaha
utamanya.
Sehingga
kesempatan
untuk
mendapatkan pendapatan sampingan, dapat dikatakan tidak ada. Kondisi ini tentunya
juga,
akan
memberikan
konsekuensi
terhadap
pengembangan
usahaternaknya, karena terdapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga dari hasil yang diperoleh bila dibandingkan untuk mengembangkan usahaternak, karena keterbatasan modal yang dimiliki.
5.5.2. Umur Peternak Responden Umur merupakan salah satu komponen yang menggambarkan karakteristik responden. Data umur responden yang terdapat pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa sebaran umur responden secara keseluruhan adalah 23-64 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa responden peternak sapi perah dalam penelitian ini berada dalam kisaran umur produktif yaitu 15-64 tahun. Tabel 12 menjelaskan bahwa mayoritas responden berada pada kisaran umur dibawah 50 tahun dimana mayoritas responden dari KPSBU Lembang
99
berada pada kisaran umur 23-29 tahun, sedangkan mayoritas responden dari Pangalengan dan Cikajang berturut-turut berada pada selang 37-43 tahun dan 3036 tahun. Hal ini diprediksi sebagai indikasi dari pendapat sebagian besar responden yang menyatakan bahwa peternakan sapi perah yang mereka jalani membutuhkan curahan tenaga dan waktu kerja yang relatif tinggi serta membutuhkan ketekunan dan kesabaran yang relatif lebih tinggi dari pekerjaan tani lainnya. Hal ini diduga sebagai akibat dari tata laksana pengelolaan sapi perah yang umumnya masih tradisional.
Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Selang Umur (tahun) 23-29 30-36 37-43 44-50 51-57 58-64 65-71 72-78 Jumlah
Kec. Lembang Jumlah
(%) 9 3 8 5 3 2 0 0 30
30.00 10.00 26. 70 16.70 10.00 6.60 0.00 0.00 100
Kec. Pangalengan Jumlah 0 8 9 7 4 1 1 0 30
(%) 0.00 26.70 30.00 23.30 13.30 3.30 3.30 0.00 100
Kec. Cikajang Jumlah
(%) 4 11 6 4 3 1 0 1 30
13.30 36.70 20.00 13.30 10.00 3.30 0.00 3.30 100
5.5.3. Tingkat Pendidikan Peternak Responden Tingkat pendidikan peternak responden akan berpengaruh pada tingkat penyerapan teknologi baru dan ilmu pengetahuan. Seluruh responden pernah mengikuti pendidikan formal. Namun tingkat pendidikan yang diikuti oleh peternak tersebut masih rendah.
100
Sebaran tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 13. Sebagian besar petani responden di Kecamatan Lembang (60 persen) hanya mencapai tingkat pendidikan hingga sekolah dasar (SD) dan sederajat. Hanya sebagian kecil petani yang mencapai tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 20 persen, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17 persen, dan Diploma I hanya sebesar tiga persen. Sama halnya dengan peternak responden di Kecamatan Lembang, mayoritas peternak responden di Kecamatan Pangalengan dan Cikajang juga hanya sekolah hingga pendidikan SD. Sebagian kecil peternak berhasil meraih pendidikan SMP dan SMA.
Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Tingkat Pendidikan SD (sederajat) SMP (sederajat) SMA (sederajat) Diploma Jumlah
Kec. Lembang
Kec. Pangalengan
Jumlah (%) 18 60.00 6 20.00 5 17.00 1 3.00 30 100
Jumlah 24 4 2 0 30
(%) 80.00 13.30 6.70 0.00 100
Kec. Cikajang Jumlah 19 5 6 0 30
(%) 63.30 16.70 20.00 0.00 100
Tingkat pendidikan yang relatif rendah di tingkat peternak tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap penggunaan dan penerapan teknologi untuk pengembangan usahaternaknya. Sehingga peran pemerintah dan koperasi sangat dibutuhkan dalam pengembangan usahaternak sapi perah ini. Peran yang dimaksud adalah dalam bentuk pendampingan, pembinaan dan pelatihan secara terus menurus untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kuantitas dari susu sapi segar yang dihasilkan oleh peternak.
101
5.5.4. Pengalaman Beternak Sebagian besar peternak responden telah lama berprofesi sebagai peternak sapi perah karena beternak merupakan usaha turun-temurun di daerah tersebut. Oleh karena itu, umumnya peternak memahami teknik budidaya sapi perah secara tradisional. Pemahaman teknik budidaya secara tradisional ini, hampir merata dilakukan oleh peternak. Pemahaman sederhana tersebut, kadang tidak mengikuti aturan ataupun rekomendasi yang disarankan oleh pakar sapi perah. Diantara kebiasaan yang salah dalam budidaya yang selama ini dilakukan adalah penggunaan alat-alat usahaternak yang tidak memperhatikan kebersihan kandang dan ternak. Kesalahan cara pemerahan yang menarik ambing, yang dapat menyebabkan iritasi, sehingga peternak menggunakan vaseline dan margarin sebagai pelumas dan ini tentunya dilarang karena akan mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan. Adapun sebaran karakteristik peternak responden berdasarkan pengalamannya dalam usahaternak sapi perah dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Beternak di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Pengalaman Berternak (tahun) 1-6 7-12 13-18 19-24 25-30 31-36 37-42 43-48 Jumlah
Kec. Lembang Jumlah (%) 11 36.70 6 20.00 6 20.00 4 13.30 3 10.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 30 100
Kec. Pangalengan Jumlah (%) 4 13.30 3 10.00 5 16.70 6 20.00 10 33.30 1 3.30 0 0.00 1 3.30 30 100
Kec.Cikajang Jumlah (%) 4 13.30 12 40.00 4 13.30 4 13.30 6 20.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 30 100
102
Pengalaman beternak di ketiga lokasi penelitian secara umum sudah relatif lama, dimana rata-rata pengalaman beternak sebagian besar sudah lebih dari tujuh tahun. Hal ini seperti terlihat di Kecamatan Lembang bahwa jumlah peternak yang memiliki pengalaman tujuh tahun sebanyak 19 orang (63.30 persen), di Kecamatan Pangalengan dan Cikajang sebanyak 26 orang (83.70 persen). Sedangkan peternak yang baru memulai usahanya jumlahnya hanya sedikit dari total peternak yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Secara umum peternak baru tersebut berusaha mendapatkan masukan-masukan dari peternak senior yang lebih berpengalaman, termasuk orang tua mereka. Selain pengalaman yang dimiliki peternak, mereka juga mendapatkan informasi-informasi mengenai budidaya dan pengembangan usahaternak sapi perah melalui penyuluhan dan pelatihan yang didapat dari masing-masing koperasi yang mewadahi mereka.
5.5.5. Jenis dan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi Pada umumnya peternak di daerah Lembang mengusahakan sapi perah FH (Fries Hollands) murni maupun turunannya. Menurut Aak (1995) populasi sapi FH adalah yang terbesar di dunia dan juga terbesar di Indonesia. Jenis sapi ini berasal dari Belanda. Produksi susu rata-rata sapi jenis FH adalah 4 500-5 500 liter per satu masa laktasi. Tabel 15 menggambarkan sebaran responden menurut jumlah kepemilikan sapi laktasi. Menurut hasil penelitian, produksi susu rata-rata sapi milik responden di Kecamatan Lembang adalah 15.02 liter per hari atau setara dengan 4 581 liter per satu masa laktasi. Sedangkan untuk hasil penelitian pada daerah Kecamatan Pangalengan, produksi rata-rata sapi milik responden adalah 13.90 liter per hari
103
atau setara dengan 4 244 liter per satu masa laktasi. Hasil yang jauh berbeda diperoleh dari Cikajang yaitu dengan produksi rata-rata 7.90 liter per hari yang setara dengan 2 402.4 liter per satu masa laktasi. Jika dilihat dari jumlah produksi, maka produksi rata-rata per tahun sapi perah di daerah Garut berada di bawah rata-rata produksi dimana kisaran rata-rata produktivitas sapi FH adalah 4 500-5 500 liter per satu masa laktasi (Aak, 1995).
Tabel 15. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi (ekor) 1-2 3-4 5-6 7-8 9-10 Jumlah
Kec. Lembang Jumlah (%) 11 36.70 9 30.00 7 23.30 1 3.30 2 6.70 30 100
Kec. Pangalengan Jumlah (%) 15 50.00 13 43.30 1 3.30 1 3.30 0 0.00 30 100
Kec. Cikajang Jumlah (%) 19 63.30 8 26.70 3 10.00 0 0.00 0 0.00 30 100
Tabel 15 dapat mendeskripsikan bahwa kepemilikan sapi laktasi mayoritas responden di Lembang (37 persen) adalah satu sampai dua ekor yang diikuti terbanyak kedua (30 persen) yaitu kepemilikan tiga sampai empat ekor. Kepemilikan mayoritas pada satu hingga dua ekor sapi laktasi juga ditunjukkan oleh data yang diperoleh dari Pangalengan dan Lembang. Data tersebut menggambarkan keragaan usahaternak sapi perah di Jawa Barat yang mayoritas adalah peternak kecil dengan tingkat kepemilikan mayoritas satu sampai dua ekor sapi laktasi. Jumlah sapi laktasi yang dimiliki rata-rata hanya 1-3 ekor sapi tentunya akan mempengaruhi jumlah susu yang dihasilkan. Jumlah kepemilikan sapi yang terbatas juga akan memberikan implikasi terhadap daya saing, baik keunggulan kompetitif ataupun komperatifnya.
104
5.5.6. Pemeliharaan Ternak Pada umumnya, peternak sapi perah di Jawa Barat sangat jarang memelihara sapi jantan. Hal ini karena perkawinan dilakukan dengan teknik Inseminasi Buatan (IB). Sapi jantan umumnya dipelihara hanya sebagai sapi potong. Pemeliharaan sapi perah dilakukan secara intensif. Kegiatan pemerahan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi (pukul 05.30-06.30) dan sore hari (pukul 15.00-16.00). Kegiatan membersihkan kandang dan memandikan sapi dilakukan sebelum pemerahan agar susu yang diperah terhindar dari kotoran dan bibit penyakit yang menempel pada sapi. Setelah pemerahan pada pagi hari, peternak biasanya melakukan kegiatan pencarian pakan hijauan yang biasanya ditanam sendiri atau dicari di hutan.
5.5.7. Pakan Pakan yang diberikan peternak terdiri dari hijauan, pakan konsentrat, dan pakan tambahan berupa dedak, ampas singkong, dan atau ampas tahu serta mineral. Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput yang mengandung serat kasar yang tinggi seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purputhypoides), dan rumput lapang. Adapun pemberian pakan rata-rata peternak responden di Kecamatan Lembang untuk satu ekor sapi laktasi per hari adalah hijauan sebanyak 50.90 kg, konsentrat 6.70 kg, dedak 3.70 kg, dan ampas singkong 6.90 kg. Rumput untuk pakan ternak tersebut biasanya diperoleh dari hasil budidaya sendiri maupun dari hutan di sekitar Lembang dan Subang. Akan tetapi, peternak seringkali
105
mengalami kesulitan dalam memperoleh rumput di musim kemarau. Untuk menghindari kekurangan pakan hijauan, peternak harus membeli rumput dengan harga rata-rata Rp. 150 hingga Rp. 250 per kilogram Pakan konsentrat diperoleh dari koperasi dengan harga Rp. 1 500 per kilogram dan Rp. 1 900 per kilogram untuk kualitas yang lebih baik. Akan tetapi peternak pada umumnya menggunakan pakan yang berharga Rp. 1 500 per kilogram. Beberapa peternak menggunakan pakan yang berharga Rp 1 900 per kilogram dengan cara dicampur dengan pakan yang berharga Rp. 1 500 per kilogram. Peternak membeli dedak dan ampas singkong di bandar atau
pedagang setempat atau membelinya
langsung ke Subang. Selain itu, peternak juga sering menambahkan mineral sebagai bahan makanan tambahan. Untuk satu ekor sapi laktasi, rata-rata peternak responden di Kecamatan Pangalengan memberikan pakan per hari dengan komposisi konsentrat sebanyak 6.50 kg, hijauan 12 kg, dan ampas singkong 6.70 kg. Peternak membeli pakan konsentrat dari KPBS dengan harga Rp. 1 750 per kilogram. Peternak memperoleh rumput selain dari hasil budidaya sendiri juga membeli dari pihak perhutani. Sedangkan ampas singkong diperoleh melalui bandar setempat dengan harga Rp. 540 per kilogram. Pemberian pakan peternak responden di Kecamatan Cikajang untuk satu ekor sapi laktasi per hari terdiri dari konsentrat sejumlah 5.20 kg, hijauan 57.80 kg, dan ampas tahu 5.10 kg. Pakan konsentrat diperoleh peternak dari KPGS dengan harga Rp. 1 400 per kilogram, sedangkan hijauan diperoleh peternak melalui proses budidaya sendiri dan mencari serta kadang-kadang membeli
106
dengan harga Rp. 150 per kilogram, sedangkan ampas tahu diperoleh dari pabrik tahu setempat dengan harga Rp. 200 per kilogram.
5.5.8. Cara Penjualan Hasil Ternak Susu segar merupakan hasil ternak yang sangat rentan dan mudah rusak sehingga memiliki risiko yang sangat besar. Oleh karena itu, komoditi ini membutuhkan sistem pemasaran yang pasti baik dalam hal harga maupun kecepatan penanganan. Sistem penjualan hasil ternak dalam hal ini penjualan susu segar mempengaruhi tingkat harga dan risiko pemasaran. Peternak menjual seluruh produknya kepada koperasi dengan harga yang ditetapkan berdasarkan kualitas susu yang dihasilkan sehingga peternak memiliki insentif atas kualitas susu yang dihasilkan. Produk susu yang dihasilkan oleh peternak seluruhnya disalurkan ke koperasi sebagai perantara untuk dijual kembali kepada IPS. Peternak dapat dikatakan sangat jarang bahkan tidak mengkonsumsi susu yang dihasilkannya, dengan pertimbangan akan mengurangi susu yang akan dijual.
5.5.9. Tenaga Kerja Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam usahaternak sapi perah adalah membersihkan kandang, mengambil hijauan, memberi pakan, memandikan ternak, memerah susu, mengukur hasil susu dan membawa susu ke tempat pengumpulan susu (TPS). Adapun jenis tenaga kerja yang digunakan biasanya terdiri dari tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga.
107
Tabel 16 menunjukkan bahwa pada umumnya peternak responden menggunakan tenaga kerja keluarga dalam melaksanakan usahaternak sapi perah. Proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga di Lembang dan Pangalengan berturut-turut adalah 24.90 persen dan 9.40 persen dari keseluruhan jam kerja. Sedangkan peternak responden di Cikajang tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih besar dikarenakan usahaternak yang dijalankan meruapakan usaha utama. Seluruh curahan waktu tenaga kerja diberikan untuk pengusahaan sapi perah, disamping biaya yang terbatas untuk membayar tenaga kerja luar. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas usahaternak yang dilakukan responden adalah usahaternak skala kecil.
Tabel 16. Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usahaternak Sapi Perah Responden di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009
Penggunaan TK
Kec. Lembang (JKP/bulan) Total (%) 4 674 75.10 1 548 24.90 6 222 100
TKK TKL Jumlah Keterangan: TKK : Tenaga Kerja Keluarga TKL : Tenaga Kerja Luar Keluarga JKP : Jam Kerja Pria
Kec. Pangalengan (JKP/bulan) Total (%) 1 2375 90.60 1 290 9.40 13 665 100
Kec. Cikajang (JKP/bulan) Total (%) 9 300 100.00 0 0.00 9 300 100
Tabel 16 tersebut juga menggambarkan bahwa tenaga kerja yang dikeluarkan pada pengelolaan usahaternak di wilayah penelitian lebih besar dari tenaga kerja luar keluarga. Besarnya tenaga kerja dalam keluarga tidak terlepas dari peran istri. Istri yang tidak memiliki pekerjaan lain atau hanya sebagai ibu rumah tangga meluangkan waktunya untuk membantu suaminya dalam menjalankan kegiatan usahaternak.