1
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Perilaku homoseksual bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah kehidupan manusia karena perilaku ini sendiri sebenarnya telah muncul pada abad-abad sebelumnya,1 dan belakangan ini menjadi bagian dari kajian para kaum intelektual. Homoseksualitas telah dikaji dari berbagai sudut pandang, namun dapat dikatakan bahwa penelitian tentang homoseksualitas berangkat dari satu pijakan yang sama, yaitu melihat homoseksual sebagai liyan. Identitas homoseksual bersifat tersembunyi dan tertekan karena homoseksualitas tidak dibenarkan dan sangat bertentangan dengan aturan-aturan heteroseksual yang selama ini berlaku di masyarakat. I.1.1. Wacana Pemerintah Selain karena kelompok homoseksual dilihat sebagai liyan, berbagai macam wacana tentang homoseksualitas juga melatarbelakangi lahirnya penelitian homoseksual. Dalam wacana pemerintah, homoseksualitas dipolitisasi oleh kuasa untuk memarginalkan kelompok ini karena homoseksual dianggap sebagai penyebab utama mewabahnya penyakit HIV/AIDS. Misalnya saja, di Amerika pada era pemerintahan Presiden Ronald Reagan dan di Inggris pada pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher, HIV dan AIDS digunakan sebagai kuasa untuk merepresi kelompok homoseksual tidak hanya karena mereka dianggap sebagai komunitas yang berpotensi menyebarkan penyakit ini, melainkan juga secara tidak langsung merupakan dalih bagi kepentingan untuk menghilangkan komunitas ini.2 Padahal, jika kaitannya dengan penyakit HIV dan AIDS, 1
Dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?”, disebutkan bahwa banyak pemimpin pada zaman Yunani dan Romawi Kuno adalah homoseksual, begitu pula pemikir-pemikir besar seperti Socrates dan Plato. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php 2 Disebutkan dalam Weeks bahwa baik pemerintahan Presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat, maupun Pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher di Inggris, sama-sama memusuhi komunitas homoseksual karena komunitas ini berhubungan dengan penyakit AIDS dan HIV. (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. hal 8). Disebutkan pula dalam sumber yang berbeda, bahwa pada 1980-an, ketika penyakit AIDS memakan banyak korban, pemerintahan Reagan mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk menanggulangi situasi ini. Korban terbanyak adalah kaum homoseksual sehingga semakin diyakini bahwa penyakit AIDS berhubungan erat dengan homoseksualitas. (Kinanti, Ruth Sih. 2001. Representasi Homoseksualitas dalam Angels in Amerika. hal 25).
9
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tidak tertutup kemungkinan penyakit ini bisa saja diidap dan disebarkan oleh heteroseksual.3 I.1.2. Wacana Agama Wacana pemerintah tentang HIV/AIDS bukan satu-satunya cara untuk merepresi kelompok ini karena identitas homoseksual menjadi semakin terpojok dan tertekan lagi karena dihakimi berdasarkan sudut pandang agama. Wacana agama menyebutkan bahwa homoseksual adalah hal yang ditentang dan dilarang atau, dengan kata lain, homoseksual adalah sebuah dosa, sehingga orang akan berusaha untuk menghindarinya agar tidak terjerumus ke dalam “dosa” tersebut dan “menghakimi” kaum homoseksual atas nama agama. Ketakutan, kebencian, dan kekhawatiran yang tidak rasional4 terhadap kelompok homoseksual ini akhirnya muncul, sehingga kelompok ini dianggap patut untuk ditakuti dan dilenyapkan bila perlu.5 Kathryn Woodward (1997) dalam “Concepts of Identity and Difference” menyebutkan bahwa hal ini terjadi akibat dari pemahaman akan identitas yang mengacu pada paham essensialis dan non- essensialis yang ia jabarkan ke dalam sepuluh konsep pengertian menurut Michael Ignatieff. Salah satunya menyebutkan bahwa identitas terkait dengan kondisi sosial dan material, dalam arti bahwa kelompok masyarakat yang ditabukan atau dianggap musuh akan menjadi pihak yang secara sosial terasingkan dan secara material dirugikan (hal.12). I.1.3. Wacana Akademik Persoalan homoseksual ini cukup kompleks karena mencakup aspek-aspek lain yang lebih dari sekadar aspek keagamaan, dalam arti bahwa persoalan ini melibatkan manusianya itu sendiri sebagai mahluk yang memiliki keterkaitan dengan aspek kultural, biologis, dan sosiologis sehingga tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang keagamaan saja. Padahal, 3
Menurut data penelitian yang diperoleh dari “Fact Sheet:The HIV/AIDS Epidemic in the United States”, February 2012, disebutkan bahwa dari 24 kota yang terkena penyakit AIDS, ditemukan sebanyak 2% heteroseksual yang terinfeksi HIV. Data ini menunjukkan bahwa tidak hanya homoseksual, tetapi juga heteroseksual berpotensi terkena penyakit ini, khususnya mereka yang tidak berpendidikan, berpendapatan rendah, dan yang tidak bekerja. http://www.kff.org/hivaids/upload/3029-22.pdf 4 “Fact Sheets: Sexual Orientation and Identitiy” menyebutkan bahwa kebencian seperti ini disebut sebagai homophobia, yakni suatu ketakutan atau kebencian yang irasional terhadap kaum homoseksual akibat dari prasangka yang terkonstruksi secara sosial dan kultural (www.siecus,2000). 5 Homoseksual tercatat tujuh kali lipat lebih sering menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisiologis maupun kekerasan psikologis, daripada heteroseksual (ibid.,hal 2).
10
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
berdasarkan pada sejumlah penelitian ilmiah, seseorang dengan orientasi seksual seperti ini disinyalir lahir dari beberapa faktor, antara lain faktor dari dalam dirinya (genetik) dan faktor di luar dirinya (lingkungan, pilihan), meskipun ini juga tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai hal yang akurat (“Fact Sheet: Sexual Orientation and Identity”, 2000). Seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik6
mengatakan bahwa penelitian terhadap
penyebab keadaan homoseksual sering kali dikaitkan dengan tiga hal, yaitu apakah itu merupakan keinginan sendiri, pengaruh lingkungan, atau genetik, dan dalam makalahnya ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi pranatal dan anatomi otak.7 Oleh karena kompleksitas persoalan homoseksual ini demikian unik, maka ketertarikan para peneliti atau para akademisi untuk mengetahui lebih dalam tentang masalah ini sudah tak terhitung jumlahnya dan salah satunya dilakukan melalui penelitian ini. Bingkai kajian budaya terpusat pada masyarakat dengan segala seluk beluknya yang dikaitkan dengan apa yang menjadi isu dari suatu persoalan budaya, di antaranya identitas, ras, seksualitas, dan kelas sosial.8 Pada dasarnya, inti kajian budaya ini, antara lain, adalah untuk lebih menaruh perhatian pada komunitas atau kelompok masyarakat yang termarginalkan atau kelompok minoritas, dan kelompok homoseksual termasuk salah satunya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian mengenai kelompok homoseksual memang telah banyak dilakukan oleh para akademisi, sosiolog, antropolog, dokter, atau para peneliti dari berbagai bidang kajian ilmu lainnya. Penelitian yang dilakukan tentang persoalan ini menghasilkan sejumlah pemikiran, teori, dan perspektif yang beragam sifatnya, bergantung pada tujuan dari masing-masing penelitian, dan dari 6
Dr. Andri, seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik yang juga seorang dosen di Divisi Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran UKRIDA, anggota The Academy of Psychosomatic Medicine. 7 Kutipan yang terkait dengan keterangan ini diperoleh dari sebuah makalah yang ditulis oleh Dr. Andri dan telah dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, Is it OK?”, Minggu, 15 Maret 2009, di Auditorium Museum Bank Mandiri, Jakarta, sebagai berikut: “Hipotesis neurohormonal mengatakan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hormon yang bekerja di otak pada masa perkembangan pranatal. Kondisi neuroanatomi yang berbeda juga dapat diperlihatkan pada homoseksual dibandingkan dengan heteroseksual. Pada otak terdapat suatu daerah yang disebut interstitial nucleus of anterior hypothalamus ketiga (INAH-3) yang jika daerah tersebut lebih besar, maka ketertarikan individu itu kepada perempuan lebih besar, jika lebih kecil maka ketertarikan kepada laki-laki lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa heteroseksual mempunyai daerah ini sampai 2-3 kali lebih besar dibandingkan homoseksual.” (Andri, 2009. http://www.kabarindonesia.com) 8 Hall, dalam Chris Barker yang berjudul Cultural studies Theory and Practice, mengatakan bahwa kajian budaya merupakan sebuah formasi diskursif, yakni formasi dalam bentuk ide, citra dan praktek yang dikaji secara terbuka sehingga menghasilkan sebuah pengetahuan dan sikap terkait dengan isu-isu dalam masyarakat (2000, hal.6).
11
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
sisi mana persoalan homoseksualitas ini dilihat. Sejauh ini, penelitian yang dimaksud banyak berkaitan dengan penyebab terjadinya kondisi homoseksual9 dan bagaimana moralitas mereka terkait dengan identitas seksualitas seperti ini.10 Selain itu, Jeffrey Weeks, dalam artikelnya “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”, menyebutkan bahwa penelitian terkait juga dengan penyakit HIV dan AIDS karena penyakit ini muncul sebagai isu sosial yang disinyalir disebabkan oleh kelompok homoseksual. “Gay studies, especially concerning identity and sexual behavior, has been an indispensable basis for intellectual work around AIDS, and for understanding the social aspects of the epidemic. At the same time, the impact of AIDS has shifted much of the work in lesbian and gay studies, redirecting it in large towards enquiries which could illuminate the epidemiology, representations and social, political, cultural and personal consequences of the syndrome. In many ways lesbian and gay studies came of age in its work around the epidemic.” (2000, p.10) Studi tentang gay, khususnya yang menyangkut identitas dan perilaku seksual, telah menjadi fondasi penting yang melandasi kajian intelektual seputar penyakit AIDS untuk memahami aspekaspek sosial terkait dengan penyakit tersebut. Dampak AIDS, pada saat yang sama, telah banyak menggeser fokus kajian studi gay dan lesbian ke penelitian-penelitian yang akan dapat menyumbang kepada epidemiologi, representasi dan konsekuensi-konsekuensi sosial, politis, kultural dan pribadi dari sindrom ini. Dalam berbagai cara, studi tentang gay dan lesbian berkembang di seputar penyakit tersebut (2000, hal.10). Sejumlah penelitian memang sudah banyak dilakukan, namun belum ada penjelasan atau definisi yang benar-benar akurat tentang homoseksualitas karena untuk memahami kelompok ini selalu diperlukan sebuah diskusi yang bersifat terbuka. Suatu penjelasan tentang homoseksual bergantung pada sudut pandang tertentu, dalam arti bahwa pijakan-pijakan yang melandasi persoalan ini menentukan bagaimana dan dari sudut mana persoalan ini dipandang. “At its most basic, lesbian and gay studies is a standpoint perspective. It is a perspective developed from a particular 9
Salah satu penelitian terkait hal ini saya paparkan pada halaman 6 , yaitu penelitian dari seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik. 10 Homoseksualitas dalam hubungannya dengan moralitas seringkali dilihat dari perspektif agama, misalnya dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang mempersoalkan homoseksual sebagai sesuatu yang moral atau imoral dan bagaimana agama (dalam hal ini Kristiani) menjawab persoalan tersebut. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php
12
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
position, a particular history of a different culture, which is committed to the understanding of societal hostility towards homosexuality. It is concerned with the power of heterosexual privilige; it is concerned with understanding the ways in which a hierarchy of sexual values and sexual power is constructed...”(2000, p.9). Pada dasarnya, studi tentang lesbian dan gay adalah studi yang berlandaskan pada suatu perspektif, yakni perspektif yang berkembang dari satu posisi tertentu, sejarah tertentu dari suatu kebudayaan yang berbeda, yang bertujuan untuk memahami sikap negatif masyarakat terhadap homoseksualitas. Studi ini juga menaruh perhatian pada kuasa heteroseksual serta pemahaman akan bagaimana hirarki nilai-nilai seksual dan kuasa seksual dikonstruksi (2000, hal.9). Singkatnya, kutipan di atas menyatakan bahwa studi homoseksual merupakan sebuah studi perspektif, yaitu bahwa studi tentang gay dan lesbian ini berkembang dari perspektif budaya yang menyoroti latar belakang sejarah ketidakadilan kehidupan kelompok ini di tengah konstruksi kuasa heteroseksual atas
nilai-nilai seksualitas di
masyarakat. Oleh karena itu, studi ini berkomitmen untuk bisa menyeimbangkan cara pandang masyarakat tentang homoseksualitas agar tidak mendiskreditkan identitas seksual mereka, meskipun masih ditemui ketimpangan perspektif mengenai hal ini. Bagaimanapun banyaknya penelitian terhadap homoseksual ini telah dilakukan, tetap saja hasilnya tidak dapat dianggap sebagai sebuah temuan yang pasti. Setiap hasil penelitian memberikan kontribusi besar bagi studi tentang homoseksual, sehingga pengetahuan mengenai kelompok ini selalu mengalami perkembangan. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa penelitian dan studi tentang homoseksual sama-sama menyadari akan perlunya pluralitas dalam masyarakat yang tidak hanya berupa keberagaman latar belakang sosial dan budaya manusia tetapi juga perbedaan orientasi seksualnya.11
I.2. Permasalahan Penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini dirasakan perlu untuk dilakukan karena kaum homoseksual, bila dipetakan berdasarkan keberadaannya di lingkungan masyarakat, ternyata terbagi ke dalam beberapa lingkungan 11
Para peneliti homoseksual dalam kurun waktu tiga puluh tahun, baik itu dari bidang sejarah, antropologi, sosiologi maupun bidang lainnya, mencoba untuk membuka cara pandang kita dalam memahami homoseksualitas sebagai bagian dari realitas kehidupan supaya tidak terjadi pengucilan terhadap kelompok ini hanya karena identitas seksualitas mereka yang berbeda (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies” 2000. Sandfort, Theo et al. (ed.) Lesbian and Gay Studies An Introductory, hal. 7)
13
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tertentu. Salah satunya adalah keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Hal ini menjadi penting karena, sejauh ini, pemetaan identitas homoseksual berdasarkan keberadaannya di lingkungan tertentu belum terlihat pada penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, penelitian representasi homoseksual (teen gay) di lingkungan sekolah dalam serial TV remaja Glee dilakukan untuk lebih mendalami persoalan ini, yang dilihat dari teks serial TV dalam menyajikan wacana homoseksual remaja. Berdasarkan pada penjelasan di atas, diperoleh rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana representasi remaja homoseksual di lingkungan sekolah dibangun dalam serial TV Glee dan wacana tentang homoseksualitas apa yang dihasilkan oleh representasi tersebut. I.3. Tujuan Penelitian Homoseksual dilihat sebagai kelompok yang termarginalkan akibat adanya hubungan kekuasaan antara penindas dan yang tertindas. Hubungan kekuasaan ini telah menyebabkan kelompok homoseksual
tertindas dimanapun keberadaannya, termasuk
salah satunya keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Peneliti berasumsi bahwa kaum homoseksual, khususnya gay di lingkungan sekolah (SMA) yang sebagian besar merupakan homoseksual usia remaja, kerap mengalami berbagai bentuk penindasan baik secara fisiologis, psikologis, maupun sosiologis, tidak hanya karena seksualitasnya, melainkan juga karena karakternya yang dianggap di luar batas kewajaran, namun di dalam ketertindasannya mereka tetap dapat bercitra positif. Oleh karena itu, guna meninjau lebih jauh tentang hubungan kekuasaan dalam konteks remaja homoseksual di lingkungan sekolah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan hipotesis tersebut melalui tinjauan kritis atas representasi homoseksual dalam serial TV Glee. I.4. Tinjauan Literatur Telah disinggung sebelumnya bahwa studi tentang homoseksualitas yang didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu, memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan studi ini. Bahkan hingga kini, informasi mengenai homoseksualitas selalu mengalami perkembangan karena penelitian-penelitian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu, sehingga dengan sendirinya, berbagai teori, pemikiran, dan perspektif tentang isu ini pun lahir. Satu hal barangkali yang menjadi perhatian adalah, bahwa penelitian tentang homoseksualitas tidak bisa dilihat dari satu aspek tertentu saja tanpa melihat aspek-aspek lain yang turut berperan serta didalamnya, oleh karena itu, penelitian terhadap
14
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
homoseksualitas hendaknya selalu disikapi secara terbuka. Terkait dengan keterangan tersebut, penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini pun sifatnya tidak lebih dari sekadar menambahkan atau mengembangkan informasi mengenai homoseksualiatas dari penelitian-penelitian sejenis yang sudah ada. Berdasarkan pada tinjauan literatur yang telah dilakukan, diperoleh tiga penelitian tentang homoseksualitas yang ditinjau dari tiga aspek penelitian yang berbeda. Penelitian tentang homoseksualitas yang pertama, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Magdalena Surjaningsih Halim dari Universitas Katolik Atma Jaya, yang menyoroti proses identitas “gay” dalam diri seorang pria homoseksual, didukung oleh penambahan variabel konsep diri. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif karena sifat penelitiannya lebih bertujuan untuk mengungkapkan dan menggambarkan berbagai keunikan dari suatu kasus dan bukan untuk membuat suatu peramalan atau pembuktian. Sampel penelitian berjumlah empat orang dan penelitiannya sendiri dilaksanakan di Jakarta dari bulan Desember 2004 sampai dengan Februari 2005, dengan menggunakan metode pengukuran wawancara terstruktur. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa setiap pria homoseksual yang memiliki latar belakang yang beragam dan keunikan tersendiri menjalani proses yang berbeda-beda untuk menemukan jati diri dan identitas homoseksualnya. Apa yang terjadi pada masing-masing individu, pada akhirnya, akan memberikan pengaruh dan kemampuan yang berbeda dalam mencapai suatu tahap pengungkapan identitas seksualnya. Adanya konsep diri yang positif dapat membantu perkembangan seorang pria homoseksual untuk mencapai tahapan tersebut, dan juga sebaliknya, dapat mengembangkan konsep diri individu tersebut, sementara pria homoseksual yang belum mencapai tahap pengungkapan identitas homoseksual tersebut (coming out process), memiliki kecenderungan untuk tetap dapat merasa puas dengan diri mereka sendiri secara umum, tetapi tidak merasa puas dengan aspek diri mereka dalam suatu lingkungan sosial atau masyarakat. Penelitian ini berangkat dari keunikan cara pandang seorang pria homoseksual terhadap dirinya sendiri dalam suatu lingkungan atau masyarakat. Ada yang mampu mengakui identitas seksualnya dan ada juga yang tidak. Dalam penelitian ini, dikatakan bahwa tidak sedikit pria homoseksual yang mampu mengakui keberadaannya secara terbuka di masyarakat dan menjadikannya seorang homoseksual sepenuhnya, sementara yang lainnya memilih untuk menyembunyikannya karena banyaknya kecaman dan tentangan dari suatu lingkungan yang luas akibat dari
15
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
homoseksualitas merupakan preferensi seksual yang memang berlawanan dengan heteroseksual (http://lib.atmajaya.ac.id). Penelitian tentang homoseksualitas yang berikutnya dilakukan oleh Ariyanto, alumni Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya. Penelitiannya mengangkat wacana heteroseksualitas di Indonesia sebagai suatu produksi pengetahuan yang dibangun secara terus menerus sehingga membentuk sebuah ideologi bahwa heteroseksualitas itu sudah final, sah dan tidak bisa digugat atau dipersoalkan lagi. Menurutnya, wacana heteronormativitas ada karena adanya “konspirasi” kuasa-pengetahuan dan pendisiplinan dengan menjaga dan menghukum, yang pada akhirnya episteme seperti ini menjadi kebenaran yang diakui meski telah melahirkan banyak tindakan kekerasan terhadap homoseksual. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa episteme seksualitas di Indonesia yang tidak menawarkan adanya multiepisteme seksualitas telah melahirkan kekerasan, penindasan, dan tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Usul yang diajukan terkait hasil penelitiannya adalah perlunya membangun epistemologi marginal sebagai epistemologi alternatif sebagai syarat terbentuknya negara yang demokratis. Homoseksualitas juga diteliti oleh Ruth Sih Kinanti, yang juga merupakan alumni Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya, mengenai representasi homoseksualitas dalam Angels in America. Alasan yang melatarbelakangi penelitiannya dapat dikatakan serupa dengan penelitian-penelitian tentang homoseksualitas pada umumnya dalam tinjauan literatur ini, yakni adanya berbagai bentuk wacana yang menempatkan kelompok homoseksual pada tempat tersisih dan berada di luar kehidupan masyarakat. Metodologi yang digunakan dalam penelitiannya dilakukan secara bertahap, yaitu pengumpulan informasi, seleksi informasi, dan menentukan korpus penelitian, sedangkan metode analisisnya adalah dengan menyusun informasi yang diperoleh dan menggambarkannya. Secara garis besar, dengan mengacu pada queer theory, penelitiannya menguraikan tentang heteroseksual sebagai pihak yang menguasai, membuat konstruksi homoseksualitas sebagai pihak yang dikuasai berdasarkan perilaku seksual yang tidak umum, tidak normal, berdosa, dan tidak masuk akal, sehingga homoseksual ditempatkan pada tempat tersisih dan tidak dapat digolongkan pada kategori seksual yang dibuat oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi ini, resistensi dilakukan oleh kelompok homoseksual dengan membuat representasi homoseksualitas tandingan, yakni melalui bidang sastra sebagai bentuk perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan tersebut memunculkan wacana-
16
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
wacana dalam artikel surat kabar, dan jurnal, baik yang dikeluarkan oleh organisasi gay maupun yang anti-gay. Wacana-wacana tersebut, menurut penelitiannya, diinternalisasi oleh tiga drama pendek, yaitu As Is, Safe Sex, dan The Way We Live Now, yang kemudian dibongkar oleh Angels in America. Ketiga drama pendek yang bertemakan gay tersebut menampilkan representasi homoseksual sebagai yang liyan, yang berdosa dan yang mencemari, sementara drama Angels in America, yang dibuat pada dekade yang sama dengan ketiga drama sebelumnya, menampilkan representasi homoseksual yang berbeda, yakni lebih berani menampilkan kehidupan, sikap dan kemauan kelompok homoseksual menuju era queer culture. Era ini dimulai pada 1990 ketika kelompok homoseksual menampilkan homoseksualitas mereka sebagai identitas seksual. AIDS dan agama dipolitisasi oleh heteroseksual dalam merepresentasikan homoseksual. Sebaliknya, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa drama Angels in America merepresentasikan homoseksualitas baru, yakni sebagai identitas seksual yang diakui dan menjadi penyelamat, serta dipandang mulia. Apabila merujuk pada ketiga penelitian sebelumnya yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa aspek penelitian yang digali tentang homoseksual ditinjau dari sudut yang berbeda-beda, namun tetap mengacu pada satu landasan berpikir yang sama, yakni homoseksual sebagai kelompok yang liyan dan termarginalkan akibat wacana-wacana dominan yang dikonstruksi oleh heteroseksual mengenai homoseksual. Apa yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya dalam meneliti homoseksualitas bisa menjadi rujukan yang dapat digunakan dalam penelitian ini karena masing-masing saling bersinggungan, namun dalam penelitian ini, variabel konsep diri seorang homoseksual dalam memandang dirinya sendiri dinilai lebih dapat diterapkan dalam menginterpretasi teks tokoh homoseksual dan homoseksualitas dalam serial TV Glee secara visual guna melihat keterkaitannya dengan produksi wacana kuasa-pengetahuan yang dibangun oleh serial TV ini. I.5. Landasan Teori Untuk menjawab permasalahan, teori yang dijadikan landasan adalah teori wacana Foucault yang berkaitan dengan konsep wacana sebagai bentuk dari relasi kuasa. Merujuk pada teori wacana Foucault dan relevansinya dengan penelitian ini adalah, serial TV remaja Glee menghasilkan wacana homoseksualitas di lingkungan sekolah yang dibangun melalui representasi hubungan kekuasaan antara heteronormativitas dan homoseksual 17
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dalam serial TV tersebut.12 Ketertindasan yang dialami kelompok homoseksual remaja di lingkungan sekolah adalah akibat dari kebenaran heteronormativitas dalam mewacanakan homoseksual sebagai orientasi seksual yang menyimpang dan menyalahi aturan, sehingga menimbulkan
praktik
pemilah
dalam
sistem
pendidikan
yang
menempatkan
homoseksualitas di bawah sistem biner, yaitu antara benar dan salah. Representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee muncul sebagai sebuah wacana yang pembentukannya tidak lepas dari peran bahasa yang memproduksi makna homoseksualitas. Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, mengatakan bahwa representasi sangat erat hubungannya dengan bahasa dan makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja dalam memproduksi makna melalui tiga pendekatan
yang
terdiri
dari
reflective
approach,
intentional
approach,
dan
constructsionist approach. Dalam reflective approach, makna diasumsikan berada pada suatu objek, individu, gagasan, atau bahkan pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata, dan bahasa dalam kaitannya dengan pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang merefleksikan makna sebenarnya dari elemen-elemen tesebut. Misalnya, gambar bunga dua dimensi, melalui bahasa, akan tetap dimaknai sebagai bunga yang sebenarnya (tanaman bunga) dan bukan bunga yang bermakna lain. Dalam pendekatan berikutnya, yaitu intentional approach, makna diproduksi oleh si pembicara atau si pengarang yang memang dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa di sini berfungsi sebagai saluran untuk menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan oleh kedua penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni constructionist approach, makna dibangun atas sifat makna yang
tidak pernah tetap
(fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep dan tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna menjadi representasi kultural. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produksi makna melalui bahasa bergantung pada banyak aspek (1997, hal.24-25). Keberadaan homoseksual dimanapun lingkungannya terkait juga dengan aspek karakter, karena homoseksual, khususnya gay, memiliki sifat-sifat yang beragam (maskulin dan feminin) meskipun jenis kelaminnya adalah laki-laki. Keterkaitan ini dapat dijelaskan melalui teori gender yang dikemukakan oleh Raewyn Connell, yang secara garis besar 12
“Foucault used the word representation in a narrower sense...what concerned him was the production of knowledge (rather than just meaning) through what he called discourse...relations of power not relations of meaning...” ( Hall, Stuart. (ed.) Representation Cultural Representations and Signifying Practices, hal. 43.).
18
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas harus dilihat dalam konteks gender dan bukan generalisasi karakter berdasarkan dikotomi dua jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang selama ini telah dikonstruksikan sebagai karakter yang fixed. Kondisi ini terlihat dalam representasi homoseksual dalam serial TV Glee, sehingga teori ini peneliti gunakan sebagai salah satu unsur penunjang penelitian. Merujuk pada penjelasan di atas, kajian atas representasi homoseksual dan wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee akan dilakukan dengan berlandaskan pada teori representasi berupa tiga pendekatan yang telah disebutkan di atas, terkait dengan bahasa sebagai elemen yang memproduksi makna. Relevansi antara wacana, dan representasi yang didukung oleh teori gender akhirnya menjadi penting untuk ditinjau lebih jauh dalam penelitian ini. I.7. Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metodologi visual dengan melihat film atau serial TV Glee sebagi sebuah teks berdasarkan cognitive style (how people process and understand messages) menurut McLuhan.13 Sehubungan dengan penelitian ini, Cognitive style McLuhan dilakukan dengan menggunakan rasio dalam memahami teks pada serial TV Glee, yang meliputi auditory sense ratio dan visual sense ratio, atau dengan kata lain, melihat gambar (adegan) dan mendengarkan percakapan (dialog) dalam serial TV tersebut. Metode analisis dalam penelitian ini adalah kajian atas strategi representasi oleh film dan wacana yang dihasilkan oleh teks serial TV Glee. Analisis wacana dalam serial TV tersebut, mengacu pada teori representasi, teori maskulinitas dan feminitas Conell, serta teori wacana Foucault. Jawaban bagi permasalahan ini akan disimpulkan dalam tesis ini. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa langkah penelitian yang harus ditempuh, yakni penting bagi peneliti untuk terlebih dahulu merumuskan masalah, lalu mengadakan studi pustaka guna memperoleh gambaran umum tentang persoalan yang akan dianalisis. Selanjutnya peneliti mencari atau mengumpulkan data dan informasi yang bisa diperoleh 13
McLuhan menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk dapat mencerna sebuah pesan atau informasi melalui setiap indra yang dimilikinya. McLuhan menyebutnya “sense ratio”, yang melibatkan semua indera untuk bekerja sama agar dapat mencerna suatu pesan di balik tanda-tanda yang muncul. Ketika seluruh indera ini dihadapkan pada sebuah tanda, maka dengan sendirinya indera-indera ini akan saling merespon untuk mencerna pesan tersebut. Bagaimana sebuah pesan itu dimaknai bergantung pada tanda yang dimunculkan dalam representasi melalui media, serta bagaiman rasio indera kita menerimanya. “This sequence thus shapes how a message is processed cognitively. As McLuhan so aptly put it, “the medium is the message” (Danesi, Marcel & Perron, 1999, hal. 276 – 277).
19
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dari berbagai macam sumber juga menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan, terlebih lagi jika penelitian menyangkut analisis wacana. Gillian Rose, dalam Visual Methodologies,(2001, hal. 142) mengatakan bahwa wacana
diartikulasikan melalui
serangkaian bentuk teks, baik teks verbal maupun teks visual (non-verbal), dan praktik yang amat luas, sehingga pada tahap ini, ketelitian diperlukan untuk menentukan data dan informasi apa saja yang relevan dengan topik penelitian, namun dengan catatan bahwa pengumpulan data dan informasi tersebut tetap harus dibatasi. Batasan pengumpulan data dan informasi ini masuk ke dalam tahap seleksi, ketika data dan informasi yang terkumpul tersebut tidak semuanya digunakan. Sehubungan dengan penelitian ini, serial TV Glee, yang terdiri dari sejumlah episode, dikatakan sebagai data yang paling utama, namun adegan-adegan yang dipertunjukkan pada tiap episode tetap ditentukan melalui seleksi agar mendapatkan adegan yang nantinya dapat menjawab permasalahan. Adegan-adegan yang telah diseleksi tersebut terdiri dari gambar (visual) dan percakapan (verbal) yang harus diinterpretasi melalui suatu proses yang bertahap. Panofsky, dalam Gillian Rose (2008, hal.144), memaparkan tiga jenis interpretasi visual yang termasuk dalam Iconography,14 yaitu primary (pre-iconographic), secondary (iconographic) dan intrinsic (iconological). Pada tahap primary, adegan dalam setiap episode Glee hanya dilihat sebagai teks yang harus dibaca secara seksama guna menangkap tanda-tanda yang dipertunjukkan. Lalu pada tahap secondary, tanda-tanda dibalik tiap adegan serial TV tersebut memiliki makna simbolik yang harus dilihat terkait dengan representasi homoseksual. Selanjutnya tahap intrinsic, yakni menginterpretasi keseluruhan adegan, berikut tanda dan makna simboliknya berdasarkan konteks homoseksual di Amerika. Merujuk pada keterangan ini, peneliti akan menggunakan metode tersebut dalam menyusun, menganalisis, dan menginterpretasi sehingga pada akhirnya dapat tercapai suatu rumusan terbaik dari keseluruhan proses penelitian berupa kesimpulan. I.8. Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama menyajikan Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, 14
Menurut Panofsky, metode Iconography bukan termasuk ke dalam metode ala Foucault, namun karena sama-sama berhubungan dengan intertekstualitas, antara Iconography dan analisis wacana terdapat suatu persamaan sehingga istilah Iconography kini dapat mengacu pada pendekatan terhadap suatu imaji secara visual.
20
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
metodologi dan sistematika penyajian. Bab kedua berisikan penjelasan mendalam tentang wacana homoseksualitas dan seksualitas di Amerika. Bab ketiga adalah bab yang berisikan tinjauan teori, bab keempat merupakan analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee, dan yang terakhir Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh proses penelitian.
21
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BAB 2 WACANA HOMOSEKSUALITAS DI AMERIKA
Pada bab sebelumnya telah diuraikan secara garis besar tentang rancangan penelitian terkait isu homoseksualitas dalam serial TV remaja Amerika Glee. Pada bab ini akan diulas mengenai wacana homoseksualitas di Amerika lebih mendalam karena merupakan unsur penunjang penting dalam melakukan analisis selain teori representasi, konsep wacana dan seksualitas Foucault, serta teori gender Conell yang akan disinggung pada bab berikutnya. 2.1. Homoseksual dalam Konteks Amerika Sebagian besar masyarakat di Amerika menanggapi fenomena homoseksual ini sebagai persoalan moralitas karena penjelasan sering kali dikaitkan dengan perspektif agama, yang sudah barang tentu tidak bisa diperdebatkan secara ilmiah. Pendapat yang beredar selama ini adalah gay dan lesbian memiliki nilai religiusitas yang dangkal atau jiwa yang sesat, sehingga yang dibutuhkan adalah bimbingan rohani. Dengan kata lain, persoalan homoseksual sama dengan penyimpangan moral yang bertentangan dengan ajaran agama. Selama ini, kelompok homoseksual, yang ingin membebaskan dirinya dari segala bentuk diskriminasi di Amerika, hanya menginginkan agar suara mereka mengenai persamaan hak sebagai manusia diakui, didengar, dan direalisasikan oleh siapapun yang menjadi oposisi. Keberadaan mereka di masyarakat tidak lebih berbeda dari mereka yang heteroseksual karena kehidupan yang mereka jalani pada dasarnya sama. Hal ini yang selalu ingin mereka tekankan, sehingga tidak seharusnya mereka diasingkan dari kehidupan bermasyarakat hanya karena identitas seksualitas mereka. Kelompok homoseksual di Amerika menganggap bahwa kehidupan homoseksual yang mereka jalani merupakan sebuah gaya hidup (alternate lifestyle) dan bukan merupakan suatu perbuatan yang berkaitan dengan moralitas, sehingga tidaklah mendasar apabila perbedaan orientasi seksual menjadikan mereka sebagai manusia yang tidak bermoral. Sebelumnya, perilaku homoseksual diasumsikan sebagai penyakit kejiwaan yang bisa disembuhkan dengan terapi medis atau dengan pemahaman mendalam mengenai kerohanian. Setelah menyadari bahwa persoalan homoseksual lebih kompleks daripada 22
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
yang diperkirakan selama ini, perubahan terhadap paradigma inipun diberlakukan. Di Amerika sendiri, homoseksualitas tercatat sebagai salah satu penyakit kejiwaan sebelum akhirnya dihapus dari daftar tersebut pada 1973 oleh The American Psychiatric Association.15 Menurut informasi yang peneliti peroleh dari “Good and Gay?: A Moral Context for Homosexuality”, secara tersirat disampaikan bahwa moralitas lebih terkait dengan akhlak manusia, yang bergantung pada pembentukan karakter yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Biasanya, ini bermula dari lingkungan keluarga, sekolah, dan kemudian masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman hiduplah yang menentukan moralitas seseorang itu baik atau buruk, yang tercermin dari baik atau tidaknya hubungannya dengan sesama manusia. Tentu saja, jika pertanyaan “apakah mungkin seorang Gay memiliki moral yang baik?” ditanyakan pada seorang pemuka agama, maka jawabannya bisa “mungkin” atau “tidak”.16 Tingginya pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai agama belum tentu bisa dikatakan bahwa ia memiliki moral yang baik.17 Homoseksual selalu berada dalam konteks moralitas karena paradigma tentang moralitas adalah sama dengan agama. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama, khususnya kitab suci, disepakati sebagai divine law,yakni hukum yang berisikan kebenaran hakiki mengenai bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan. Apa yang terdapat dalam kitab suci diyakini sebagai suara Tuhan, sehingga jika ada salah satu nilai yang dilanggar, maka dipastikan hukumannya adalah dosa dan dinilai tidak bermoral. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Amerika, yang mayoritas menganut agama Kristen, memahami konteks homoseksual dari sudut pandang agama. Ajaran agama yang dianut menjadikan mereka yang heteroseksual membenarkan homoseksualitas sebagai 15
http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html, 2000. “Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity” http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-for-homosexuality/ 17 Saya menemukan hal yang cukup menarik berkaitan dengan keterangan ini, yaitu pada penelitian Setia Yuwana, mahasiswa pascasarjana program studi Antropologi U.I., yang ditulis dalam tesis S2nya berjudul Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang berprofesi sebagai warok, warokan, sinoman dan gemblak (para penari yang mengiringi reog Ponorogo) di desa Somoroto. Salah satunya adalah dengan Kontaro, salah satu pengiring tersebut. Berikut kutipannya berdasarkan keterangan Kontaro: “Ketertarikan Kontaro pada sesama jenis kelamin diawali ketika ia rajin belajar membaca Al Quran di masjid besar di kampungnya. Teman-temannya banyak yang mengajak tidur bersama di lantai mesjid maupun di rumah. Bermula dari sekedar berciuman, berpeluk mesra, akhirnya timbul niat untuk melampiaskan nafsu syahwatnya” (1994, hal. 171). 16
23
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tindakan amoral yang harus diluruskan dengan bimbingan rohani, meskipun pada kenyataannya tidaklah semudah itu untuk bisa mengembalikan homoseksual ke “jalan yang benar”.18 Tidak banyak yang menyadari bahwa homoseksual adalah persoalan kompleks yang membutuhkan negosiasi dan pengertian yang mendalam tentang identitas mereka. Pemahaman masyarakat Amerika mengenai homoseksualitas yang dihubungkan dengan perspektif agama menyebabkan munculnya homofobia yang “membenarkan” diri mereka memperlakukan kaum homoseksual dengan tidak baik dan tanpa adanya rasa saling menghormati serta penghargaan terhadap perbedaan sama sekali.19 Bagaimanapun juga, telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya bahwa banyaknya
kasus
homoseksual
yang
diangkat
ke
permukaan
melalui
media
mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran pada pandangan masyarakat, meskipun masih saja terjadi perdebatan di arena ini. Masyarakat Amerika dalam konteks kekinian terlihat lebih terbuka terhadap adanya kelompok homoseksual tersebut, yang ditandai dengan diberlakukannya kebijakan yang melindungi kelompok homoseksual dari diskriminasi berbasis orientasi seksual. Dari lima puluh negara bagian di Amerika Serikat, sembilan di antaranya telah memberlakukan kebijakan ini.20 Dalam Vivanews disebutkan bahwa Presiden Barack Obama menyatakan dukungannya untuk persamaan hak-hak kaum
18
Dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang diperoleh dari situs http://gospelway.com/morality/homosexuality.php dipertanyakan apakah perilaku homoseksual merupakan tindakan yang bermoral atau tidak. Merujuk pada artikel ini, pertanyaan tersebut dijawab dengan berlandaskan pada ajaran agama (kitab suci), yang secara jelas menyalahkan tindakan homoseksual karena setiap pernyataan yang berasal dari perspektif agama diyakini sebagai kebenaran tunggal. Dikatakan bahwa homoseksualitas bertentangan dengan perintah Tuhan karena dianggap sebagai tindakan yang menyerupai perilaku binatang, sehingga sudah barang tentu homoseksualitas dalam perspektif agama adalah tindakan amoral. The New Testament morally opposes homosexuality...homosexuality is contrary to nature, a violation of the natural order ordained by God...for man to join to a man violates God’s order in marriage and sexual mating just as surely as joining to an animal... 19 Dari sumber yang saya peroleh, yaitu “37 responses to discussions : Should Gay be a moral issue or a legal one?” terdapat beberapa tanggapan responden tentang diskriminasi terhadap homoseksual (gay), yang sebagian besar bernada membela kelompok ini karena, menurut mereka, homoseksualitas bukanlah isu yang berkaitan dengan moralitas.http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussion-shouldgay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/ 20
“Only nine states in the U.S. have legislation protecting lesbian and gay people against discrimination based on sexual orientation” (www.siecus,2000). Menurut kutipan ini, disebutkan bahwa hanya sembilan negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan untuk melindungi kaum homoseksual dari segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual.
24
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
homoseksual atau gay di Amerika Serikat. Kendati mendukung hak gay, Obama memilih netral dalam isu pernikahan sesama jenis (Armandhanu, 2011).21 Pemerintah Amerika diharapkan untuk tidak sekadar memberikan perlindungan dan ruang bagi mereka untuk bergerak, melainkan juga mengakui keberadaan mereka sepenuhnya sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat. Jeffrey Levi, mantan direktur
The National Gay & Lesbian Task Force, menyatakan pendapatnya terkait
keterangan ini: “We are no longer seeking just a right to privacy or a right to protection from wrong. We also have a right...to see government and society affirm our lives” (Citizen, 5/1997. dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?”) Selain itu, legitimasi undang-undang pernikahan sesama jenis seperti yang telah diberlakukan di beberapa negara di Eropa22 merupakan salah satu tujuan Gay Rights Movement. Bercermin pada keadaan ini, rupanya negara Amerika Serikat yang selama ini dipahami sebagai negara maju dalam segala hal dan bebas dalam berpikir serta bertindak tidak demikian adanya jika menyangkut homoseksualitas. 2.2. Dampak Konteks Sejarah Gerakan Sosial Homoseksual di Amerika terhadap Film Secara umum, dapat dikatakan bahwa cukup banyak film yang mengangkat masalah homoseksual, khususnya mengenai gay, ke permukaan, sehingga dapat pula disimpulkan bahwa isu homoseksualitas yang mungkin saja sebelumnya tabu telah mengalami suatu pergeseran karena cukup sering diperbincangkan oleh khalayak luas. Hal ini ditandai dengan maraknya film dan serial TV dengan tema gay, bahkan karya sastra seperti halnya novel, juga banyak mengangkat tema ini. Selain itu, masyarakat Amerika pun lebih
21
Sebelum berlangsungnya kampanye pemilihan presiden A.S. tahun ini, disebutkan bahwa Presiden Obama memilih netral dalam persoalan pernikahan sejenis, namun hal menarik yang saya temukan terkait keterangan ini adalah di koran Seputar Indonesia, tertanggal 12 Mei 2012, terdapat kolom berita yang menyatakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendukung perkawinan homoseksual melalui Wapres Joseph Biden, yang mengatakan bahwa Obama tidak ada masalah soal perkawinan antara sesama jenis. Lalu di kolom koran yang sama, tertanggal 14 Mei 2012, rivalnya dari Partai Republik, yakni Mitt Romney, menganggap pernyataan Obama sebagai “angin segar” untuk memenangkan dukungan masyarakat Amerika yang menentang homoseksual. Di sini terlihat jelas bahwa homoseksualitas tidak hanya menjadi isu politik untuk kepentingan pemilihan presiden, tetapi juga dipolitisasi untuk kepentingan tersebut. 22 “Dutch government legalized the same sex marriage policy in 2001, Belgium ini 2003 , and Spain in 2005.” (Reksodirdjo. 2006. hal. 33). Ketiga negara di Eropa yang disebutkan dalam kutipan telah lebih dahulu melegalkan pernikahan sesama jenis, sehingga hal ini pula yang ingin diwujudkan oleh aktivis homoseksual di Amerika melalui gerakannya. “The ultimate goal is legalized homosexual marriage” (http://gospelway.com/morality/homosexuality.php)
25
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
permisif23 dalam menanggapi persoalan homoseksualitas, yang berarti bahwa, baik secara langsung maupun tidak, mereka mulai menerima fakta adanya sekelompok orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan orang kebanyakan yang heteroseksual. Pergeseran ini juga disebabkan oleh gerakan-gerakan sosial, di antaranya Gay Liberation, New Social Movement, dan American Gay Rights Movement di Amerika. Selain menyebabkan terjadinya pergeseran pandangan, kelompok homoseksual yang tergabung dalam gerakan-gerakan sosial tersebut juga menyuarakan persamaan hak dan penghormatan atas perbedaan identitas seksualitas mereka di tengah masyarakat heteroseksual yang mengusung heteronormativitas, seperti yang tertera dalam kutipan berikut:“Gay men and lesbians joined women and ethnic minorities claiming the equal citizenship and respect they were denied in what they now defined as „heterosexist‟, „homophobic‟ culture”(Segal, 1997, hal.206-207). Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa akan selalu terdapat pro dan kontra berkaitan dengan isu ini. Keberadaan tokoh remaja gay dalam serial TV Glee, yang diproduksi kurang lebih pada pertengahan 2010 hingga 2012, juga menandakan bahwa homoseksual sedang menjadi sorotan di tengah masyarakat Amerika. 2.3. Serial TV Glee dan Konteks Homoseksual di Lingkungan Sekolah di Amerika Serial TV remaja Amerika Glee mengankgkat isu seputar homoseksualitas tetapi tidak tergolong film gay yang benar-benar terfokus pada kehidupan gay seperti halnya film layar lebar Brokeback Mountain. Serial TV ini merupakan drama kehidupan manusia sehari-hari yang, di antara para tokoh sentral yang disorot, terdapat tokoh remaja gay, sehingga di permukaan, tampak tidak monoton menonjolkan kehidupan remaja gay tersebut. Glee adalah serial TV produksi Ryan Murphy Productions, 20th Century Fox Television yang ber-genre drama komedi. Serial TV ini terdiri dari tiga seasons dan kali pertama ditayangkan di Star World, salah satu stasiun TV internasional yang hanya dapat
23
Soal permisif ini, menurut Newburn dalam Permissiveness: accounts, discourses and explanations dimaknai oleh dua kelompok, yaitu “conservative – historians” dan “liberal – historians”. Secara sederhana dikatakan bahwa dua istilah ini tidak merujuk pada pengertian permisif sebagai “baik” dan “tidak baik”, atau “setuju” dan “tidak setuju,” melainkan lebih kepada cara dua kelompok ini menyikapi keberadaan kelompok homoseksual. Dengan kata lain, “conservative-historians” jelas menyikapinya dengan menyatakan tidak setuju, sedangkan “liberal-historians” mencoba untuk berpikir dan bersikap terbuka pada keberadaan kelompok homoseksual ( 1997, hal. 105).
26
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
diakses melalui sistem televisi berbayar (cable TV).24 Ryan Murphy, produser serial TV ini, dan Kurt Hummel, remaja homoseksual dalam serial TV tersebut, yang diperankan oleh Chris Colfer, adalah sama-sama homoseksual (gay) dalam kehidupan nyata. Ada semacam
wacana yang hendak dibangun melalui film ini yang mengangkat remaja
homoseksual di lingkungan sekolah melalui media TV. Film ini dikemas dalam bentuk serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas dengan Chris Colfer sebagai salah satu pemeran tokoh sentral tetapi tampak seperti tidak menonjolkan gay sebagai tema cerita, melainkan kehidupan para siswa Glee club. Glee mengisahkan tentang sekelompok siswa SMA Mckinley High School yang merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti halnya siswa-siswa lain di sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok pemandu sorak (cheerleader) dan American foot-ball. Akhirnya, mereka yang tidak populer ini (the loosers) memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok paduan suara dengan cara masuk menjadi anggota Glee Club, yaitu klub yang diasuh oleh guru bahasa Spanyol mereka yang bernama William Schuester. Para siswa loosers ini sebenarnya terdiri dari lima orang, yakni Rachel, Mercedes, Tina, Artie dan Kurt, namun seiring dengan bertambahnya episode, tokoh lainnya bermunculan, di antaranya Finn, Santana, Britney, Puck, Quinn, Laura, dan Sam, kemudian di season ke dua dan ke tiga muncul tokoh Blain, serta tokoh-tokoh lain yang memainkan peran kecil. Masing-masing tokoh memiliki sifat khasnya sendiri tetapi tetap mencirikan siswa SMA yang serba labil dalam berpikir, bertindak, dan berkata-kata. Konsep serial TV ini adalah drama komedi yang dikemas dengan unsur musikal karena memang pada dasarnya yang hendak ditonjolkan oleh film ini adalah musik dan lagu, namun bernada sindiran terhadap isu sosial yang terjadi di Amerika, khususnya dalam konteks lingkungan sekolah di Amerika. Alur ceritanya sederhana namun merefleksikan kehidupan siswa SMA sehari-hari di lingkungan sekolah. Dalam hubungannya dengan topik penelitian, homoseksualitas, Kurt dan tokoh homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena representasi homoseksual terlihat dari penyajian tokoh-tokoh homoseksual tersebut. Selama bersekolah di SMA Mckinley, Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-orang di sekitar 24
Di Indonesia, Glee di Star World bisa ditonton jika berlangganan TV kabel seperti Indovision, Yes TV, Aora TV dan beberapa TV kabel lainnya.
27
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam football club, karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota Glee Club.25 Keterangan di atas merupakan sedikit gambaran jalan cerita serial TV tersebut yang merefleksikan keadaan remaja homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika. Sejak terjadinya berbagai pergolakan tentang isu homoseksualitas dan gerakan sosial kelompok homoseksual dalam menyuarakan aspirasinya, terjadi pergeseran pandangan dan penerapan regulasi baru di dalam sistem pendidikan sekolah terkait isu ini. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh dari Culture Facts, April 4, 2003, disebutkan bahwa terdapat 2,8% laki-laki dan 1,4% perempuan yang mengakui diri mereka sebagai homoseksual (gay, lesbian) dan biseksual, sehingga kebijakan baru dianggap perlu untuk diterapkan supaya dapat meminimalisasi diskriminasi berbasis orientasi seksual, khususnya dalam sistem pendidikan di Amerika, “Since the early 1990‟s, homosexual activist organizations have been working for greater access to public schools with the stated purpose of making them a safer place for young people who have become involved in homosexual behavior.” (www.16.org/profamily/school_liability_report ) Hal senada dengan penjelasan sebelumnya juga disebutkan oleh Stuart Biegel, dalam bukunya The Right To be Out: Sexual Orientation and Gender Identity in America‟s Public Schools, yakni bahwa penerapan peraturan yang menjamin kenyamanan dan keamanan para siswa sekolah, terutama yang memiliki identitas seksual berbeda, merupakan hal penting untuk diberlakukan, mengingat bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual sangat mungkin terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan antarsiswa.26 2.4. Homoseksualitas dan seksualitas dalam Konteks Serial TV dan Media non-TV Televisi saat ini merupakan salah satu perangkat media yang memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir seluruh masyarakat di dunia pada umumnya memiliki TV. Dapat dikatakan TV adalah salah satu bentuk akses untuk membuka 25
Dalam film ini, Glee Club identik dengan loosers, sehingga mereka yang tergabung dalam klub ini biasanya mendapatkan perlakuan yang tidak baik (bullied), bukan hanya karena Kurt seorang homoseksual. 26 Isu seksualitas, di antaranya homoseksualitas, biseksualitas dan transeksualitas, merupakan arena pertentangan di wilayah publik yang selalu menuai kontroversi, sehingga diperlukan suatu jaminan berupa perubahan terhadap iklim hukum dan iklim budaya dalam menyikapi isu tersebut agar dapat meminimalisasi segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual yang berujung pada kekerasan antar siswa di lingkungan sekolah. (Biegel, 2010 /http://www.h.net.org/reviews/showrev.php?id=32448)
28
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
cakrawala pengetahuan dan juga sekaligus akses untuk memproduksi pengetahuan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya terkait wacana dan pengetahuan. Dalam konteks kehidupan manusia sekarang ini, TV menjadi salah satu perangkat yang masuk ke dalam skala prioritas karena, disadari atau tidak, TV telah memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, yang menyebabkan terjadinya perubahan pada dimensi sosiologis masyarakat, dan cara pandang masyarakat terhadap suatu fenomena sosial pun menjadi berubah. Perubahan ini terjadi karena TV telah menjadi penggerak yang berpotensi membentuk kembali persepsi masyarakat melalui tayangan (program TV) yang disajikannya (Danesi, Marcel & Perron, 1999. hal. 274). Perilaku, gaya hidup, pola pikir, dan kepribadian, merupakan beberapa aspek dalam ruang lingkup kehidupan manusia yang dinilai bisa berubah akibat dari dampak yang diberikan oleh TV begitu kuat. Kuatnya dampak TV terhadap kehidupan manusia menyebabkan masyarakat pada akhirnya tidak bisa lepas dari kebiasaannya menonton TV sehingga, menurut Danesi dan Perron dalam Analyzing Cultures An Introduction & Handbook, hal ini disebut sebagai “TV Culture”, yaitu terjadinya “cultural change” dalam kaitannya dengan perubahan kehidupan manusia, termasuk pembangunan kesadaran seseorang melalui tayangan film, iklan, berita, dan tayangan lainnya (1999, hal.274). Terkait dengan banyaknya tayangan dalam dunia pertelevisian, dapat dipastikan isuisu yang diangkat ke permukaan melaui media TV ini menjadi beragam sifatnya, namun dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka ada baiknya meninjau beberapa isu yang biasa diangkat dalam serial TV. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang diperoleh dari buku Danesi dan Perron, isuisu yang biasa diangkat dalam tayangan TV dari 1960-an sampai dengan awal 1990-an berkisar pada isu ras, moralitas dan seksualitas, termasuk homoseksualitas. Isu-isu ini bisa dilihat, misalnya, dalam serial TV Star Trek (1968) yang mengangkat isu ras; lalu The Odd Couple (1970), yang mengangkat isu moralitas; All in the Family (1971), yang mengangkat isu homoseksualitas (gay) untuk pertama kali; Roots (1977), yang juga mengangkat isu ras seperti halnya Star Trek, kemudian L.A. Law (1991), yang mengangkat isu homoseksualitas (lesbian) untuk pertama kali; dan Seinfeld (1992), yang mengangkat isu seksualitas (1999, hal.274-275). Berbeda dengan itu, menurut Robert Bocock dalam Choice and Regulation: Sexual Moralities, di Inggris persoalan homoseksual menjadi isu pada media TV muncul pada 1957, seiring dengan banyaknya masyarakat yang mulai membuka cara pandang mereka
29
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
terhadap kelompok homoseksual. Sejumlah serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas dengan pesat memasuki arus pertelevisian Inggris sehingga menimbulkan pertentangan antara dua kubu, yaitu “Conservatism” dan “Liberalism”. Kubu “Conservatism” menghendaki agar diterapkan sebuah peraturan yang membatasi isu homoseksualitas dalam media, termasuk di dalamnya TV, teater, cinema, majalah, video, dan internet, sementara kubu “liberalism” lebih mentolerir diangkatnya isu homoseksualitas ke dalam media massa baik TV maupun non-TV (1997, hal.90-92). Isu homoseksualitas dalam media non-TV, misalnya surat kabar, cenderung mengkritisi kelompok homoseksual dibandingkan dengan media massa lainnya. Hal ini, menurut Newburn (1997, hal.92), disebabkan oleh adanya dewan pers dan kebebasan pers dalam menyampaikan berita, sehingga surat kabar dengan mudah dapat mengkritisi baik atau buruknya suatu isu, begitu pun halnya dengan isu homoseksualitas dalam cerita-cerita fiksi seperti novel. Isu homoseksualitas yang diangkat ke dalam novel cenderung lebih terbuka atau vulgar dalam penyajiannya, sehingga barangkali sifat “terbuka” inilah yang menyebabkan cerita mengenai homoseksualitas didramatisasi agar pesan yang ingin disampaikan tentang isu sangat kompleks ini dapat tersampaikan kepada pembaca.27 Dalam media TV, isu seksualitas, apapun orientasinya, sedikit mengalami kesulitan dalam hal tayang karena regulasi dalam media TV terkait hal penyiaran telah diatur sedemikian rupa agar tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan, misalnya di Indonesia oleh Komisi Penyiaran, sehinggga dengan kondisi yang demikian, media TV memiliki batasan-batasan tertentu dalam menayangkan atau memberitakan sebuah isu. Dengan kata lain, media TV secara tidak langsung mengutamakan adanya keseimbangan dalam menayangkan acara-acaranya, termasuk acara yang berkaitan dengan isu homoseksualitas, supaya tetap memperoleh slot tayang, yang berarti bahwa isu seksualitas boleh tayang tetapi
27
Dalam novel yang mengangkat isu homoseksual seperti Gaya Gay karya Dann Julian dan Lelaki Terindah karya Andrei Aksana, terlihat detil hubungan antar sesama jenis yang seharusnya “ditabukan”, namun kenyataannya tidak demikian, sehingga sikap seperti ini disimpulkan sebagai tujuan yang memang hendak disampaikan oleh penulis tentang homoseksualitas. Diharapkan agar pembaca, paling tidak, dapat menangkap essensi tentang perilaku ini. Homoseksualitas disikapi sebagai fenomena kompleks yang berproses. Oleh karena itu, setiap bab dalam kedua novel ini tampak ditulis bertahap sesuai dengan proses terjadinya hubungan homoseksual tersebut. Misalnya, dalam Gaya Gay, bab pertama dimulai dengan “Jelous Guy”, lalu bab berikutnya “Malam Pertama”, “G.I. Jane”, “First Lunch”, “Primavera”, “Malam Jahanam” dan seterusnya (Julian, 2011). Kemudian, dalam Lelaki Terindah, bab pertama diawali dengan “When We Met..”, lalu “And Love has just begun...”, “The night we fell in love...”, “A story inside a story...”, “Struggling for what we believed...” dan seterusnya (Aksana, 2004).
30
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah diatur oleh Komisi Penyiaran. 28 Bagaimanapun juga, seluruh pergolakan yang terjadi, termasuk pro dan kontra tentang homoseksualitas dalam media baik TV maupun non-TV, pada intinya merupakan persoalan yang dihubungkan dengan moralitas seksual di wilayah publik.
28
Kutipan Pasal 49 dari Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia tentang isu homoseksual/lesbian menyebutkan bahwa: “Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian, dengan (salah satu) ketentuannya sebagai berikut : Program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman yang dapat diterima oleh masyarakat.” (Kep. Komisi Penyiaran Indonesia No. 009/SK/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. Diperoleh dari http://diskominfo.kaltimprov.go.id)
31
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BAB 3 TINJAUAN TEORI REPRESENTASI, WACANA, SEKSUALITAS, DAN GENDER
Bab ini akan mengulas tentang teori-teori yang digunakan peneliti dalam melakukan analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee. 3.1. Representasi Representasi merupakan salah satu konsep dari aliran posmodernisme selain, di antaranya, kritik ideologi, anti-positivisme (ketidakpercayaan pada pola pikir ilmiah), pendekatan semiotik, dan analisis wacana. Teori ini, seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, berkaitan erat dengan bahasa sebagai medium yang menjembatani kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi, dan mengubah makna. Seluruh proses dan produk yang memberikan tanda khusus pada makna disebut dengan representasi karena representasi memperlihatkan baik proses maupun produk dari tanda tersebut. Representasi juga bisa diartikan sebagai sebuah proses pembentukan makna yang berasal dari suatu ideologi yang bersifat abstrak menjadi bentuk konkret, misalnya ke dalam bentuk dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Adapun representasi tidak pernah lepas dari cara pandang karena cara pandang inilah yang memberikan makna terhadap sebuah tanda, contohnya pandangan masyarakat yang menganut sistem matrilineal dalam memandang laki-laki dan perempuan akan berbeda dengan pandangan masyarakat yang menganut sistem patrilineal dalam memandang laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, representasi terletak pada bagaimana sistem kekerabatan merepresentasikan perempuan tersebut (Astuti, Fuji dan R.M. Soedarsono, 2006, hal. 2.). Contoh lainnya adalah pandangan seseorang tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki, akan dengan mudah terlihat dari caranya memberi hadiah ulang tahun kepada teman-temannya yang laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Produksi makna dibalik cara pandang inilah yang menjadi representasi, yakni hal-hal praktis yang digunakan untuk mewakili cara pandang tersebut (Hasan, 2011, hal.67).
32
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Hall menyatakan melalui teori representasinya, bahwa representasi mengambil dimensi praktik pemaknaan yang diproduksi dalam pikiran melalui bahasa, yakni nilainilai, norma, budaya, ideologi, dan kepentingan, dalam pembentukan sebuah diskursus. Pembentukan diskursus tersebut akan memerankan dua sistem representasi, yaitu mental representation dan representasi yang bergantung pada perangkat tanda dan bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Pengertian mental representation bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia, yang dapat merujuk pada pemikiran di luar atau di dalam kepala (Hall, Stuart dalam Hasan, 2011, hal. 66-68). Dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, Hall mengatakan bahwa representasi dalam hubungannya dengan bahasa adalah suatu produksi makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja, yaitu melalui tiga pendekatan yang terdiri dari reflective approach, intentional approach, dan constructsionist approach. Dalam reflective approach, makna diasumsikan berada pada suatu objek, individu, gagasan atau bahkan pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata, dan bahasa dalam kaitannya dengan pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang merefleksikan makna primer dari elemen-elemen tesebut. Dalam pendekatan berikutnya, yaitu intentional approach, makna diproduksi oleh penghasil makna (pembicara atau pengarang) yang memang dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah saluran untuk menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan oleh si penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni constructionist approach, makna dibangun atas dasar kesadaran terhadap sifat makna yang tidak pernah tetap (fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep dan tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna menjadi sebuah representasi. Representasi yang dimaksud terkait pendekatan ini tidak lepas dari tanda yang memiliki dimensi materi, antara lain berupa suara/verbal (sound), citra (image), dan tanda (mark), sehingga representasi merupakan sebuah praktik yang menggunakan objek material untuk menghasilkan makna (1997, hal.24-25). Selain hubungan antara representasi dan bahasa, Hall juga menaruh perhatian pada hubungan representasi dan media. Representasi melalui media, dalam kaitannya dengan representasi atas yang liyan, ditangkap oleh Hall sebagai sebuah kejanggalan, karena representasi melalui media, menurutnya, memberikan citra buruk kepada kaum minoritas,
33
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
khususnya dalam hal ini, kaum kulit hitam. Ras kulit hitam selalu dilihat melalui imajiimaji yang ditampilkan negatif secara visual oleh media. Adanya citra ras kulit hitam dalam media juga memperlihatkan sebuah representasi yang didasarkan pada perbedaan melalui tanda-tanda yang dipahami secara inter-tekstual (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal. 232.). Makna pada suatu citra tidak akan berarti tanpa ada konteks yang memberi makna tersebut, dan makna mengenai suatu citra tidak hanya berdasarkan pada satu konteks, melainkan terakumulasi dari satu teks ke teks yang lain. Penting untuk diketahui bahwa hubungan antara representasi dan media juga terkait dengan regulasi, yang bisa berupa kebijakan pemerintah tentang media, atau bahkan berupa reproduksi makna, sehingga produksi regulasi tampak sebagai sesuatu yang biasa. Oleh karena itu, regulasi adalah suatu proses yang dinamis karena merupakan sebuah arena pertarungan makna, yang juga melibatkan norma-norma, bentuk-bentuk subjektivitas dan identitas (Thompson, Kenneth. (ed.), 1997, hal. 3).
Penjelasan ini sedikit banyak
memberikan gambaran bahwa cara kerja representasi adalah seolah-olah menunjukkan bagaimana dunia ini berjalan dengan sesungguhnya, khususnya yang bersinggungan dengan regulasi dan representasi liyan melalui media. Terkait dengan hal ini, Ibnu Hamad dalam penelitiannya mengenai wacana dan media menyebutkan bahwa produksi isi media sebagai kegiatan pembentukan wacana, yakni produksi isi media, tidak semata-mata merupakan
suatu
kegiatan
merepresentasikan
realitas,
tetapi
justru
bersifat
mengonstruksikan realitas. Hal ini dikarenakan media dianggap tidak lagi secara murni melaporkan atau menampilkan apa adanya mengenai suatu realitas, melainkan konstruksi atas suatu realitas yang bisa berupa ide, orang, benda, atau peristiwa ke dalam struktur cerita yang bermakna (Hamad, Ibnu. 2008, hal. 338). 3.2. Konsep wacana Foucault Michel Foucault juga termasuk salah satu pelopor postmodernisme yang menentang aturan-aturan yang menurutnya bersifat menindas. Ia melihat cara kerja representasi dari sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. Disadari atau tidak, hubungan kekuasaan terjadi di mana saja karena Foucault melihat hubungan ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup besar seperti negara, melainkan terjadi juga dalam ruang lingkup kecil seperti di dalam keluarga, sehingga ini adalah hubungan kekuasaan yang telah mendominasi
34
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
kehidupan manusia sehari-hari.29 Dalam proyeknya, Foucault mencoba untuk memahami cara manusia berpikir dan memahami dirinya sendiri dalam budayanya sehingga menimbulkan sebuah “makna bersama”
ruang lingkup sosial (shared meaning)
berdasarkan periode yang berbeda-beda. Setiap periode menghasilkan produk pengetahuan dalam bentuk “makna bersama” yang berbeda pula. Adanya “makna bersama” yang berbeda ini disimpulkan sebagai suatu produksi pengetahuan daripada sebatas produksi makna yang berkaitan erat dengan hubungan kekuasaan pada setiap periode dan pada setiap tataran, atau dengan kata lain, pengetahuan terbentuk dalam suatu ruang waktu tertentu (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal. 43). Oleh karena itu, Foucault cenderung menggunakan istilah wacana daripada bahasa, mengingat wacana sendiri adalah bentuk hubungan kekuasaan yang beroperasi melalui bahasa terkait periodisasi tersebut, dan bahwa wacana merupakan suatu hal yang penting secara sosiologis karena cara kita berbicara dan berpikir tentang dunia pada prinsipnya telah membentuk cara kita berperilaku, sehingga hasilnya berimbas pada dunia yang kita ciptakan dari pemikiran dan perilaku tersebut. Foucault sangat tertarik pada bagaimana suatu pemikiran dan perilaku yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan sosial yang dikatakan sebagai formasi diskursus/wacana (discourse formation) (Johnson, Allan G. hal. 90. dalam Risna W. Rizal. 2006, hal. 15). Pengetahuan yang memproduksi makna dalam bentuk wacana sebagai hasil dari formasi diskursus/wacana tersebut diartikan oleh Foucault sebagai sebuah sistem representasi (discourse as a system of representation) (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal. 44). Foucault, dalam Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (2003, hal.109), menyebutkan bahwa diskursus atau wacana merupakan suatu upaya untuk melepaskan diri dari ketertindasan karena wacana dianggap tidak menggambarkan realitas di dunia, sehingga manusia berupaya melepaskan ketertindasannya dari hubungan kekuasaan tersebut. Foucault juga melihat bahwa wacana merupakan hal yang tidak bisa hilang dari lingkup masyarakat bagaimanapun kerasnya upaya manusia itu untuk dapat membebaskan diri dari suatu hubungan kekuasaan. Manusia 29
Terkait dengan keterangan Foucault tersebut, para kritikus kontemporer menyatakan bahwa representasi, baik secara eksplisit maupun implisit, memiliki muatan politik. Politik tidak harus berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan, tetapi merujuk pada semua jenis hubungan kekuasaan. (Childers&Hentzi.1995. The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural Criticism. New York : Columbia University Press. hal. 260. Dalam Ruth Sih Kinanti. 2001. Representasi Homoseksual dalam Angels in America. hal. 58).
35
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
hanya bisa menyadari bahwa diskursus atau wacana akan selalu berada di tengah-tengah masyarakat dan akan selalu memberikan dampak pada kesadaran manusia sebagai sebuah sistem yang, suka atau tidak, harus diterima. Setiap wacana yang terbentuk, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terkait dengan periodisasi, sehingga bisa dipastikan bahwa diskursus atau wacana yang muncul mengusung kebenarannya masing-masing dan tidak dapat diartikan sebagai suatu kebenaran mutlak. Dengan sendirinya, diskursus atau wacana bukanlah representasi dari realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena beragamnya pola pikir manusia dalam memaknai suatu kebenaran sehingga menghasilkan berbagai diskursus atau wacana tersebut. Masih dalam Takwin, Foucault menyatakan hubungan antara kuasa dan ketertindasan manusia merupakan hubungan yang memunculkan berbagai persepsi sebagai suatu proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Peradaban dimaksud berhubungan juga dengan pentingnya menyadari keberadaan yang “liyan”, yakni kesadaran akan hal-hal yang “diasingkan” baik itu berupa benda, orang, suku, dan budaya. Kesadaran ini penting karena yang “liyan” pada hakikatnya bisa membantu manusia untuk bisa lebih memahami dan menghargai hidup dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah homogen, sehingga merupakan hal yang wajar apabila kita bersanding dengan pihak-pihak lain yang memiliki pola pikir dan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Dalam pemikiran Foucault, disebutkan pula bahwa pengetahuan dan hubungannya dengan kuasa menghasilkan praktik-praktik pemilah yang membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, tinggi dan rendah, boleh dan tidak boleh, haram dan halal, dan sebagainya (Takwin, 2003, hal.111). Praktik pemilahan yang disebutkan oleh Foucault akan diulas lagi dalam penjelasan berikutnya, dikaitkan dengan seksualitas. 3.3. Konsep Seksualitas Foucault Seksualitas dalam pandangan Foucault erat kaitannya dengan kekuasaan karena seks telah diatur dengan sedemikian rupa agar menjadi suatu hal yang ditabukan, sehingga ia menyebutkan bahwa manusia sejak dulu hingga sekarang adalah kaum Victorian. Pada zaman
itu,
seksualitas,
diartikan
sebagai
sesuatu
yang
“dipingit
rapi”
dan
“dirumahtanggakan”, dalam arti bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam bentuk tindakan dan wicara. Seksualitas begitu ditekan dalam bentuk larangan yang juga sekaligus berfungsi sebagai hukum untuk meniadakannya, sehingga seksualitas dapat dikatakan telah masuk ke dalam suatu hubungan kekuasaan. 36
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Larangan bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam tindakan dan wicara, menurut Foucault, bukanlah sesuatu yang dengan serta merta terjadi begitu saja, namun merupakan larangan yang memang dibentuk. Seksualitas akhirnya dilihat secara berbeda, dalam arti bahwa ia dilihat melalui sebuah aturan baru yang diwacanakan. “Bukankah pewacanaan seks itu disusun sesuai dengan tugas meniadakan, dari realitas, bentuk-bentuk seksualitas yang tidak tunduk pada ekonomi ketat reproduksi : menolak berbagai kegiatan tanpa hasil, mengutuk kenikmatan menyimpang, mengecilkan atau mengeluarkan berbagai kegiatan yang tidak bertujuan meneruskan generasi? Di sepanjang sekian banyak wacana, telah dilipatgandakan hukuman legal bagi penyimpangan kecil-kecilan; keganjilan seksual disisipkan pada kategori penyakit jiwa; sejak anak-anak hingga lanjut usia, telah ditetapkan suatu norma perkembangan seksual dan secara cermat telah diberi ciri segala penyimpangan yang mungkin ada;...” (Foucault, 2008, hal. 57).
Foucault mengatakan bahwa, hingga abad ke-18, terdapat tiga hal yang dianggap menguasai kegiatan seksual, yaitu hukum agama, ajaran pastoral Kristen (tokoh agama), dan hukum perdata. Ketiga elemen ini menetapkan aturan tentang seksualitas dengan caranya masing-masing, sehingga terjadi suatu pemisahan antara yang halal dan haram. Pemisahan ini muncul karena seksualitas dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur agar tidak menyebabkan penyimpangan-penyimpangan yang menyalahi norma-norma yang telah ditetapkan. Norma-norma yang telah ditetapkan ini merupakan normativitas heteroseksual yang dianggap sah, baik, dan memang sepatutnya diterapkan dalam kehidupan manusia, sehingga muncul pemilah antara yang boleh dan tidak.30 Hukum agama, ajaran pastoral dan hukum perdata telah bertindak sebagai kuasa yang mewacanakan norma-norma seksualitas agar terpusat pada kegiatan yang tidak melanggar hukum. Aturan-aturan yang mengatur seksualitas sejak dulu hingga memasuki konteks zaman modern tidak pernah berubah, bahkan menjadi semakin luas, dalam arti bahwa yang mengatur seksualitas tidak hanya terpusat pada tiga elemen tersebut di atas, tetapi sudah masuk pada tataran negara, misalnya seksualitas yang diatur di dalam sebuah konstitusi. 30
Heteroseksual menjadi satu bentuk seksualitas yang berorientasi pada kegiatan prokreasi dan dinaturalisasikan sebagai norma-norma yang sah. Tujuan prokreasi adalah untuk memaksimalkan kekuatan, efisiensi, ekonomi tubuh, hubungan pernikahan, dan heteroseksualitas. Foucault tidak setuju dengan pandangan bahwa heteroseksual dianggap paling baik ( Foucault dalam Reksodirjo, 2006, hal. 33).
37
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Hal ini menandakan bahwa seksualitas tidak lagi berada di wilayah pribadi karena telah bersinggungan dengan wacana-wacana kuasa yang dikonstitusikan di wilayah publik.31 Berkaca pada keterangan di atas, pada dasarnya hubungan antara kekuasaan dan seks menghasilkan suatu wacana tentang seksualitas yang tidak pernah berhenti. “Saya kira kita semua sepakat untuk mengatakan bahwa wacana tentang seks, sejak tiga abad yang lalu sampai sekarang, cenderung semakin banyak jumlahnya daripada semakin langka; walaupun wacana itu mengandung berbagai tabu maupun larangan, secara lebih mendasar telah membuat segala penyimpangan seksual jadi kokoh dan melembaga.” (Foucault, 2008, hal. 75). Foucault berpendapat bahwa seksualitas dikungkung oleh dunia barat dalam bentuk hubungan kekuasaan yang, di antaranya, memiliki ciri-ciri pokok berikut: yaitu hubungan negatif, instansi aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (agen). Hubungan negatif dalam hal ini merupakan hubungan negatif antara kekuasaan dan seks, yakni segala sesuatu yang terkait dengan seks dan seksualitas hanya dilihat sebagai hal yang negatif. Dalam instansi aturan, kekuasaan menentukan seks dengan menempatkannya di bawah sistem biner, yaitu halal-haram, boleh-terlarang, positif-negatif, yang kemudian diperjelas dalam bentuk aturan berdasarkan hubungannya dengan hukum. Kekuasaan atas seksualitas yang telah diatur secara hukum dianggap sebagai kebenaran. Adanya siklus larangan dalam hubungan antara kekuasaan dengan seks adalah kekuasaan bertindak untuk memfungsikan hukum larangan berupa ancaman, sementara logika sensor merupakan logika kekuasaan atas seks untuk menabukannya atau menghilangkannya. Kekuasaan atas seks tidak lepas dari kesatuan perangkat yang diterapkan di segala tataran, yang terlihat baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil. Agen yang bertindak sebagai kesatuan perangkat di sini, menurut Foucault, adalah mereka yang membuat aturan itu dan menerapkannya, mulai dari lingkup keluarga sampai dengan negara, yakni seorang ayah, guru, pemerintah, lembaga sensor, dan bentuk kuasa lainnya. Aturan dibuat untuk diterapkan dengan tujuan “menundukkan”, sehingga terjadi hubungan superior dan inferior, yakni kekuasaan pembuat aturan di satu pihak dan di pihak lain adalah yang harus mematuhi aturan itu. Foucault berpandangan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas terkait dengan wacana, dengan kekuasaan dan pengetahuan memainkan peran di dalamnya. 31
Contohnya, di Indonesia, seksualitas diatur dalam undang-undang pornografi.
38
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Akan tetapi, wacana dalam hubungannya dengan relasi kuasa, harus pula dilihat sebagai sesuatu yang tidak stabil karena sifatnya yang tidak berkesinambungan, sehingga wacana tentang kekuasaan bukanlah hal yang hakiki. Wacana harus dibayangkan sebagai unsurunsur nalar yang dapat bermain dalam aneka ragam strategi (Foucault, 2008, hal. 130-131). “Wacana menyampaikan dan menghasilkan kekuasaan; wacana memperkokohnya tetapi sekaligus mengikisnya, memaparkannya, membuatnya rentan dan memungkinkannya untuk dihambat” (Foucault, 2008, hal. 131). Dengan kata lain, dalam wacana relasi kuasa,
tidak selalu terjadi hubungan
mendominasi dan didominasi, namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu hubungan yang terkait dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang bersifat periodikal (melihat perubahan dari masa ke masa dalam satu ruang waktu tertentu) dalam berbagai tataran sosial.
Barangkali bisa dikatakan disinilah letak kompleksitas sebuah wacana
tentang seksualitas yang dibentuk namun dapat juga berubah. 3.4. Konsep Gender Connell Gender sering disalahartikan dengan seks (jenis kelamin), sehingga konsep gender perlu diperjelas supaya terlihat perbedaannya antara gender dan seks. Menurut Webster‟s New World Dictionary, gender tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin, “...gender is not necessarily correlated with sex” (1975, hal. 581), lalu gender juga diartikan sebagai kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral) yang menegaskan bahwa gender bukanlah sesuatu yang biologis dan juga bukan kodrat Tuhan (Hasan, 2011, hal.230). Gender merupakan perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Perbedaan ini tidak dapat dikatakan sebagai kodrat karena sifatnya dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perempuan telah dikenal sebagai sosok feminin, yakni lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara laki-laki dikenal sebagai sosok maskulin, yakni kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Raewyn Connell menyebutkan bahwa maskulinitas selama ini dipahami sebagai karakter yang sudah fixed oleh Tuhan sebagai kodrat laki-laki sehingga maskulinitas tidak mungkin mempengaruhi karakter perempuan dan begitu juga sebaliknya. Pemahaman yang demikian tentang maskulinitas telah mendominasi pemahaman masyarakat tentang lakilaki. Oleh karena itu, Connell menyebutnya dengan istilah hegemonic masculinity, ia juga 39
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
berargumentasi bahwa gender tidak bisa lagi dilihat hanya sebatas perbedaan generalisasi karakteristik antara laki-laki dan perempuan seperti yang telah disebutkan di atas, namun harus juga
melihat keterkaitan antara keduanya sebagai dua aspek yang dapat
dipertukarkan, dalam arti bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat feminin dan ada pula perempuan yang memiliki sifat-sifat maskulin, sehingga gender dapat berubah dari waktu ke waktu. Konsep gender seharusnya mampu mengedepankan fakta bahwa terdapat keberagaman dalam sifat-sifat laki-laki dan perempuan alih-alih membuat dikotomi hanya berdasarkan dua jenis kelamin tersebut. Connell juga dengan tegas menyebutkan bahwa, maskulinitas terkait dengan gender dan terdapat pluralitas dalam maskulinitas yang berarti bahwa karakter maksulin tidak bisa disebut tunggal, melainkan beragam. Keberagaman dalam sifat laki-laki (khususnya), menurut Connell dapat mengarah pada bentuk kekerasan karena maskulinitas tidak hanya berupa karakter yang terkait dengan hubungan personal dan sosial, namun berhubungan juga dengan kekuasaan yang berakibat pada penindasan terhadap laki-laki (http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html). Dalam sumber yang berbeda (Alami, 2010), disebutkan bahwa Connell dan peneliti lain yang sependapat dengannya, mengusulkan agar konsepsi tentang gender perlu diubah agar tidak lagi dilihat sebagai perbedaan isu antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, melainkan harus lebih dilihat sebagai relasi gender (gender relations) yang tidak hanya mencerminkan hubungan personal dan sosial, tetapi juga hubungan kekuasaan dan simbolik.
40
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BAB 4 ANALISIS WACANA HOMOSEKSUALITAS DALAM ADEGAN DAN DIALOG SERIAL TV GLEE
4.1. Pengantar Bab empat ini akan menunjukkan bagaimana serial TV remaja Amerika Glee membangun wacana homoseksualitas yang ditinjau secara kritis atas representasi homoseksual yang ditampilkan dalam setiap season nya. Serial TV remaja Glee terdiri dari tiga season yang masing-masingnya dibagi lagi ke dalam dua puluh dua episode, sehingga secara keseluruhan episode dalam serial TV ini berjumlah enam puluh enam episode. Episodeepisode tersebut dilihat sebagai teks, baik secara verbal maupun visual, karena pada prinsipnya teks inilah yang akan menunjukkan bagaimana homoseksual direpresentasikan. Kajian atas representasi homoseksual dan wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee dilakukan dengan berlandaskan pada teori representasi berupa tiga pendekatan terkait dengan bahasa sebagai elemen yang memproduksi makna, yaitu reflective approach, intentional approach dan constructionist approach, dan didukung juga dengan konsep wacana dan seksualitas Foucault serta konsep gender Connell. Pada dasarnya, sejak film seri ini tayang perdana, dapat dikatakan bahwa di antara isu yang diangkat, homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot. Representasi homoseksual dalam serial TV ini ditampilkan melalui tiga pendekatan yang disebutkan di atas, yaitu tanda yang merefleksikan realitas tentang homoseksual (reflective approach), tanda yang dihasilkan sesuai maksud penghasil makna (intentional approach) dan tanda yang dilihat berdasarkan konteks homoseksual di Amerika serta dalam konteks sekolah di Amerika (constructionist approach). Akan tetapi, elemen bahasa dalam serial TV ini boleh dikatakan sebagai elemen paling kuat dalam memproduksi makna homoseksualitas, sehingga representasi terbentuk dari bahasa tersebut. Melalui tanda-tanda itulah akan terlihat representasi homoseksual seperti apa yang ditampilkan dalam serial TV ini dan wacana apa yang dibangun. Dengan demikian, untuk menjawab permasalahan, pembahasan akan diuraikan berdasarkan serangkaian episode pada tiap musimnya.
41
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Glee adalah serial TV remaja Amerika yang mengisahkan tentang sekelompok siswa underdog dari Mckinley High School. Para tokoh sentralnya adalah Kurt, Rachel, Mercedes, Artie, Tina, Finn, Quinn, Santana, Brittany, Puck, dan penambahan tokoh baru di season ke dua dan ke tiga, yaitu Sam, Blaine, Rory serta Joe. Popularitas adalah segalanya bagi para siswa underdog tersebut agar bisa diakui dan diterima oleh lingkungan sekolahnya sehingga mereka memutuskan untuk membentuk kelompok paduan suara dengan mendaftarkan diri sebagai anggota klub Glee di bawah asuhan guru bahasa Spanyol mereka, Mr. William Schuester. Kelompok paduan suara klub tersebut diberi nama The New Direction namun perjuangan mereka untuk mencapai puncak popularitas di McKinley High tidaklah mudah meskipun telah mengikuti berbagai macam kejuaraan paduan suara. Pada awalnya, tokoh yang masuk klub Glee hanya Kurt, Rachel, Mercedes, Tina dan Artie, tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah episode, tokoh-tokoh lainnya bermunculan seperti yang telah disebutkan di atas. Keinginan mereka masuk klub Glee berangkat dari kesadaran mereka yang merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti halnya siswa-siswa lain di sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok pemandu sorak (cheerleader) dan kelompok American foot-ball. Tokoh-tokoh ini digambarkan unik dengan ciri khasnya masing-masing namun tetap mencerminkan siswasiswa SMA seperti gambaran remaja pada umumnya, yaitu serba labil dalam berpikir, bertindak, dan berkata-kata. Serial TV ini menyajikan cerita yang menekankan pada kehidupan siswa-siswa di lingkungan sekolah. Hal yang menonjol dari serial TV ini juga terletak pada muatan musik dan lagu serta sindiran-sindiran yang dilihat sebagai kritik sosial dalam konteks Amerika. Dalam hubungannya dengan topik penelitian, yakni homoseksualitas, tokoh Kurt, khususnya, dan tokoh siswa homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena mereka merupakan tokoh sentral yang merepresentasikan homoseksual dalam konteks Amerika, walaupun tokoh Kurt dapat dikatakan lebih sering disorot. Selama bersekolah di SMA Mckinley, Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orangorang di sekitar lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam football club, karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota Glee Club. Seiring dengan bertambahnya jumlah episode dari satu season ke season berikutnya, akan semakin tampak isu homoseksualitas diblow up, walaupun terdapat juga isu-isu lain yang disinggung, seperti isu perempuan, etnis minoritas dan ras (kulit hitam),
42
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
oleh kerena itu keterkaitan antara homoseksualitas dengan isu-isu sosial lainnya boleh dikatakan sebagai letak keunikan serial TV Glee tersebut. 4.2. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season Pertama Glee season pertama terdiri dari 22 episode, yaitu episode Pilot, Showmance, Acafellas, Preggers, The Rodes Not Taken, Vitamin D, Throwdown, Mashup, Wheels, Ballads, Hairography, Mattress, Sectionals, Hell-o, The Power of Madonna, Home, Bad Reputation, Laryngitis, Dream on, Theatricality, Funk, dan yang terakhir Journey to regionals. Sepintas, apabila dilihat dari judul-judul yang merupakan teks verbal
per
episodenya dalam season pertama ini, sama sekali tidak tampak menunjukkan adanya homoseksualitas yang diangkat ke permukaan. Serial TV ini tidak akan
dianggap
mengedepankan homoseksualitas sebagai tema sentral, namun akan berbeda maknanya apabila teks dalam serial TV ini dibaca secara menyeluruh, yaitu melalui rasio auditoris dan visual, karena produksi makna dibalik tanda akan terlihat lebih jelas. Dalam episode pilot, adegan diawali dengan tokoh Kurt yang dimasukkan ke bak sampah oleh sekelompok siswa yang tergabung ke dalam foot ball club. Provokator tindakan ini adalah tokoh Puck, ia dan teman-temannya bisa dikategorikan sebagai siswa yang populer di sekolah Mckinlley High. Belum disebutkan pada awal episode satu ini bahwa Kurt adalah siswa yang homoseksual karena identitasnya akan diketahui nanti pada episode-episode berikutnya. Namun, setelah melihat lebih lanjut, peneliti menangkap adegan awal ini sebagai sebuah tanda yang diniatkan oleh si penghasil makna (intentional approach) untuk menyatakan bahwa tokoh homoseksual (Kurt) adalah orang yang masuk ke dalam kelompok yang termarginalkan dan merupakan inti dari persoalan yang hendak disampaikan melalui serial TV ini, karena pada akhirnya akan diketahui bahwa yang mendapatkan perlakuan tidak baik tersebut adalah seorang homoseksual. Dalam episode ini, selain Kurt, muncul tokoh-tokoh underdog yang lain, yakni Mercedes, Rachel, Tina dan Arti yang mendaftarkan diri masuk Glee club agar menjadi populer. Dengan kata lain, populer dalam hal ini dimaknai sebagai tidak termarginalkan. Kelima siswa-siswa tersebut di atas juga ditangkap sebagai tanda yang merepresentasikan kelompok-kelompok termarginalkan karena mereka tergabung dalam gerakan sosial kelompok minoritas yang menuntut keadilan hak,32 yakni tokoh Kurt yang homoseksual, Mercedes yang berkulit 32
Lihat bab 2
43
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
hitam, Tina yang asia, Artie yang cacat, dan Rachel yang dibesarkan oleh orang tua yang homoseksual (memiliki dua orang ayah yang gay). Representasi ini bisa terlihat pada keterangan berikut : First Kids to sign up Glee Club: 1.) Mercedes, 2). Kurt, 3). Tina, 4).Rachel, 5.)Arti (Glee 1, episode 1). Berhubung Glee club ini dimasuki oleh siswa-siswa yang underdog, maka dengan sendirinya sebutan Glee sendiri memiliki makna terpinggirkan, tidak populer dan atau kelompok untuk pecundang. Adegan awal tersebut di atas telah memperlihatkan adanya hubungan antara penindas dan yang tertindas, sehingga hubungan seperti ini disebut sebagai hubungan kekuasaan yang bisa terjadi di mana saja,33 dan dalam kaitannya dengan serial TV ini, hubungan kekuasaan yang demikian akan banyak ditemukan dalam konteks sekolah. Tidak lama setelah adegan “dibuangnya” tokoh Kurt ke bak sampah,34 pengenalan terhadap isu homoseksualitas terlihat juga saat tokoh Rachel yang berjalan di koridor sekolah pada hari pertamanya menjadi siswa sekolah menengah atas tiba-tiba berkata tentang dirinya yang bukan seorang homofobia karena ia dibesarkan oleh orang tua yang gay (Glee 1, episode 1). Adanya tokoh Rachel yang memiliki dua ayah yang gay, dicermati sebagai suatu pembenaran bahwa tidaklah menjadi masalah bagi sepasang orang tua yang homoseksual untuk berumahtangga, membesarkan anak dan terikat dalam pernikahan. Seperti yang telah disebutkan pada bab 2, bahwa legitimasi pernikahan sesama jenis masih menjadi isu yang kontroversial dalam konteks homoseksual di Amerika, meskipun beberapa negara bagian sudah melegalkannya. Pembenaran ini, menurut Foucault, merupakan sebuah produksi makna yang diperlihatkan dalam adegan tersebut sebagai suatu „kebenaran‟. Adegan-adegan yang disajikan pada awal episode merupakan representasi melalui intentional approach karena tujuannya adalah untuk mengenalkan isu apa yang akan menjadi sorotan dalam serial TV ini sesuai dengan maksud penghasil makna, yang dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film tersebut. Selain itu, terdapat adegan yang memperlihatkan homoseksualitas menjadi persoalan yang diangkat dalam serial TV ini ketika guru bahasa Spanyol yang juga sekaligus pelatih Glee club mereka, William Schuester, dengan berbagai cara yang bersifat persuasif, meminta kelompok siswa football untuk ikut serta mendaftar sebagai anggota 33
Foucault melihat cara kerja representasi dari sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. Saya menangkap bahwa adegan tokoh Kurt dibuang ke bak sampah terinspirasi oleh penyanyi fenomenal Lady Gaga yang pernah mendapatkan perlakuan serupa (bullied). (Lihat catatan kaki no 52) 34
44
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
klub Glee karena menyadari kurangnya peserta dalam klubnya, namun kenyataan yang diterima adalah klub tersebut sudah sangat dikenal dengan klub pecundang sehingga tidak ada satupun peserta yang mau mendaftar. Mereka bahkan mengolok-mengolok klub tersebut dengan mengarang sebuah nama, yaitu dengan mendaftarkan nama “Gaylord Weiner”. Adapun tokoh Finn yang merupakan salah satu orang dari klub football akhirnya mau mendaftar karena “hasutan” Mr. Schuester, yang terpaksa melakukannya guna mendapatkan Finn yang memiliki kualitas suara yang bagus untuk kelompok paduan suaranya.35 Puck yang provokator dan senang melakukan bullying merupakan sahabat terdekat Finn dan sama-sama merupakan angota klub football. Ketika ia mengetahui Finn mendaftar sebagai anggota klub Glee, ia menganggap klub tersebut bukan klub yang normal dan penuh dengan homoseksual (Glee 1, episode 1). Olok-olok dengan menyebutkan kata “gay” dalam nama “Gaylord Weiner” tersebut, lalu juga tokoh Finn yang populer memutuskan untuk ikut klub yang dianggap “homo”, mengindikasikan bahwa homoseksualitas bukan saja persoalan seksualitas, tetapi juga menjadi persoalan penting dalam lingkungan remaja sekolah di Amerika. Dalam episode Showmance, adegan kembali diawali dengan dimasukkannya Kurt ke bak sampah oleh para siswa football yang populer, tetapi yang menarik dari adegan ini adalah perkataan yang dilontarkannya sebelum ia “rela” dimasukkan, yaitu “One day, you‟ll all work for me” (Glee, episode 2). Jika perkataan Kurt dikaitkan dengan konsep diri seorang homoseksual, seperti yang dilakukan pada penelitian Magdalena Surjaningsih Halim,36 maka itu menandakan bahwa tokoh Kurt cukup memiliki kepercayaan diri dan optimistis dalam memandang dirinya sendiri sebagai seorang homoseksual, meskipun ia belum sepenuhnya come out,
37
yakni bahwa memiliki orientasi seksualitas yang berbeda
bukan tolak ukur untuk menilai kualitas manusia dan untuk bisa berada di tengah-tengah masyarakat. Homoseksualitas sebagai isu juga semakin terlihat pada dialog antara tokoh Quinn dan Finn, Quinn protes dengan masuknya Finn menjadi anggota Glee club, karena ia sudah dikira gay oleh banyak orang di sekolahnya, “People think you‟re gay now Finn, and you know what that means to me? You‟re a gay beard!” (Glee 2, episode 2). “Gay beard” yang diucapkan oleh tokoh Quinn, dalam konteks homoseksual di Amerika, 35
Mr. Schuester mengatakan bahwa sebungkus serbuk sejenis obat terlarang yang ditemukannya bersal dari Finn, dan apabila ia tidak ikut bergabung dengan Glee, maka ia akan dilaporkan ke kepala sekolah. Padahal serbuk tersebut milik Mr. Schuester yang diperoleh dari koleganya. 36 Lihat tinjauan literatur pada bab 1 37 Menyatakan secara terbuka bahwa dirinya adalah homoseksual.
45
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
khususnya di lingkungan sekolah, adalah istilah untuk seorang homoseksual yang menyembunyikan seksualitasnya dengan menjalin hubungan antar lawan jenis agar dianggap “normal” dan tidak menyimpang dari aturan heteroseksual. Menjadi “gay beard” merupakan salah satu cara kelompok homoseksual menekan identitas seksualnya supaya diakui oleh lingkungan sekitarnya. Selain ucapan yang dilontarkan tokoh Quinn tersebut, pada saat latihan paduan suara, Mr. Shuester memberikan sebuah lagu disko untuk dinyanyikan, namun tokoh Mercedes protes dan mengatakan lagu tersebut kuno, dan Kurt menyetujuinya dengan mengatakan lagunya terlalu “gay”. Melihat gambaran ini, ada ironi yang muncul dalam tokoh Kurt dengan melabel “gay” pada sebuah lagu, sementara dirinya adalah seorang gay. Jika kembali pada konsep diri, ketika berada di tengah-tengah kelompok heteroseksual, Kurt akan menyangkal identitasnya, jadi ia cukup merasa yakin dengan seksualitasnya yang berbeda sebagai individu tetapi tidak yakin saat berada di lingkungan heteroseksual. Kondisi ini merupakan tanda adanya pergulatan dalam diri homoseksual yang selalu dihadapkan pada situasi untuk “memilih” sebuah orientasi seksual kecuali ia sudah melakukan proses coming out . Hal ini pada kenyataannya merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh kelompok homoseksual jika seksualitas harus dijadikan suatu opsi akibat dari heteronormativitas yang sudah dikonstruksikan dan diterapkan sedemikian rupa dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga nilai-nilai heteroseksual ini diinternalisasi sebagai sebuah kebenaran, dan oleh karena itu yang banyak terjadi adalah penyangkalan yang terpaksa atas orientasi seksualitas pada diri homoseksual. Kebenaran heteronormativitas yang demikian mengakar di masyarakat, disebutkan dalam teori Foucault sebagai sebuah “makna bersama” yang dianggap sebagai suatu produksi pengetahuan yang erat kaitannya dengan kekuasaan, dan dalam hal ini, kekuasaan untuk memarginalkan kelompok homoseksual. Isu yang tidak bisa disikapi secara terbuka bisa dikatakan menjadikan kelompok homoseksual menuntut keadilan dan pengakuan akan keberadaan mereka melalui gerakan-gerakan sosial mereka yang diperjuangkan hingga saat ini. Dalam episode ini, terdapat pula adegan antara Mr. Schuester dan istrinya, Terry, yang melontarkan kata „gay‟ ketika mencoba membeli dan melihat-lihat isi rumah idaman mereka yang baru, “This is where our daughter or our gay son will sleep.” (Glee 1, episode 2). Dialog-dialog lain juga menyebut kata „gay‟ yang semakin menguatkan adanya isu homoseksualitas dalam serial TV ini. Adegan lain adalah ketika tokoh Rachel dan Finn
46
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dipanggil oleh kepala sekolah karena diadukan oleh Sue Sylvester, pelatih kelompok pemandu sorak Cheerios, yang telah menuduh kedua siswa tersebut menggunakan mesin fotokopi miliknya. Sue mengatakan, “Gay parents are rebellious, there is a study on this.” (Glee 1, episode 2). Kelakuan Rachel yang demikian dianggap sebagai hasil didikan orang tua homoseksual
secara implisit menunjukkan bahwa pernikahan sesama jenis masih
menjadi polemik di Amerika karena adanya aturan heteroseksual dan agama yang melarang pernikahan sesama jenis. Berdasarkan sudut pandang keagamaan, selain dilarangnya pernikahan pasangan sesama jenis, pasangan homoseksual yang mengangkat seorang anak dianggap tidak akan memberikan perkembangan dan pertumbuhan yang baik karena norma yang selama ini berlaku adalah seorang anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lahir dari pasangan heteroseksual, yakni memiliki figur lengkap seorang ayah dan ibu. Terkait dengan teori Foucault, hal ini juga merupakan sebuah produksi „kebenaran‟ yang telah dimaknai “secara bersama” oleh heteroseksual dengan tujuan “mengharamkan” pernikahan sejenis. Paradigma inilah yang hendak ditentang oleh kelompok homoseksual yang gigih memperjuangkan legalitas pernikahan sesama jenis agar merata di Amerika, serta secara tidak langsung menyatakan bahwa membesarkan anak dan mendidiknya dengan baik merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan tanpa harus melahirkan dari pasangan heteroseksual. Apa yang dinyatakan dan diserukan oleh kelompok homoseksual tentang legalitas pernikahan sesama jenis dan pola pengasuhan anak tersebut juga merupakan suatu produksi „kebenaran‟ tentang homoseksualitas. Pada episode Acafellas, film diawali dengan adegan tokoh Mercedes yang menginginkan seorang kekasih dalam hidupnya setelah melihat banyak teman-teman di sekolahnya yang berpacaran. Kepedulian dan perhatian Kurt pada Mercedes ditanggapi oleh Mercedes sebagai sesuatu yang istimewa. Tokoh Rachel dan Tina yang telah mengetahui seksualitas Kurt berniat memberitahukan Mercedes akan hal tersebut, tetapi Mercedes memilih untuk tidak memercayainya (Glee 1, episode 3). Tersembunyinya identitas seksualitas seorang homoseksual menunjukkan kendala yang selalu harus mereka hadapi untuk bisa berada di tengah-tengah masyarakat heteroseksual yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi diri mereka sendiri, khususnya bila dihadapkan pada situasi yang melibatkan persoalan cinta karena kemungkinannya sangat kecil untuk bisa menyukai lawan jenis. Mereka memiliki keinginan untuk bisa mengekspresikan perasaannya dengan nyaman kepada sesama jenis tanpa harus diatur oleh norma-norma heteroseksual yang
47
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
selama ini dianggap benar dan sah.
Aturan-aturan inilah yang cenderung menahan
sebagian besar kelompok homoseksual untuk come out, meskipun pada prinsipnya mereka menyadari bahwa mereka memiliki hak asasi yang sama dengan heteroseksual. Merujuk pada keterangan ini, diceritakan bahwa tokoh Mercedes mendekati Kurt agar bisa menjalin hubungan yang lebih dekat dengannya, tetapi Kurt menolak, yang ditandai dengan pergulatan dalam dirinya antara mengakui seksualitasnya dan menyangkalnya di depan Mercedes. KURT: Haven‟t I made it clear? I‟m in love with someone else.38 MERCEDES: Rachel? KURT: Yes, for several years now.(Glee 1, episode 3) Perkataan Kurt pada dialog terakhir, yang disertai dengan adegan memalingkan muka saat mengatakannya, menunjukkan ia masih takut dan malu untuk mengakui seksualitasnya kepada Mercedes, dalam arti bahwa yang ditakutkan selama ini oleh homoseksual adalah normativitas heteroseksual tersebut. Proses coming out memang bukan perkara mudah bagi kelompok homoseksual yang hidup di antara masyarakat heteroseksual, dan semua bergantung pada individu itu sendiri untuk melakukannya atau tidak. Konsep diri akhirnya menjadi sangat penting bagi kelompok homoseksual untuk bisa merasakan kenyamanan sebagai individu seutuhnya, setidaknya mereka tidak merasa sebagai liyan bagi dirinya sendiri. Apa yang dialami tokoh Kurt merefleksikan keadaan yang demikian, dan dibutuhkan pemicu untuk dapat mengakui seksualitas dirinya yang bisa saja datang dari faktor dirinya sendiri atau di luar dirinya. Tokoh Mercedes dapat dikatakan sebagai pemicu tersebut. Ketika mengetahui Kurt “menyukai” Rachel, ia sempat kecewa namun akhirnya ia bisa menerima dan mendukung pilihan Kurt. Saat mengetahui hal yang sebenarnya tentang seksualitas Kurt, Mercedes meminta Kurt untuk mau terbuka, namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keterbukaan bagi homoseksual bukanlah hal yang sangat mudah untuk dilakukan. KURT: Mercedes, I lied to you, I don‟t like Rachel. I‟m gay.39 MERCEDES: Why didn‟t you tell me? KURT: Because I hadn‟t told anyone before.
38
Saat mengatakan itu, Kurt selalu melihat ke arah Finn, tapi tiba-tiba muncul Rachel di hadapannya sehingga Mercedes menangkap dengan setengah percaya bahwa yang dimaksudkan Kurt adalah Rachel. 39 Kurt menangis ketika mengakui hal ini pada Mercedes yang menandakan betapa sulitnya bagi homoseksual untuk menyatakan secara terbuka tentang seksualitasnya.
48
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
MERCEDES: You shouldn‟t be ashamed of who you are Kurt, you should tell people, especially the kids in Glee. The whole point of the club is to express what‟s really inside you, remember? KURT: I can‟t, I‟m just not that confident I guess.(Glee 1, episode 3) Adegan dan dialog di atas, jika meninjau konsep seksualitas Foucault, terkait dengan aturan yang telah menentukan hukum seks dengan menempatkannya dalam sistem biner, yaitu halal-haram, benar-salah, boleh-terlarang, serta adanya hukum larangan berupa ancaman.
Sehingga,
homoseksual
mengalami
kesulitan
untuk
memposisikan
seksualitasnya karena orientasi seksualnya secara hukum termasuk yang dilarang, dan apabila dilanggar, ancaman berupa sanksi hukum ataupun sosial menjadi konsekuensinya. Tokoh Kurt pada episode 4, yaitu Preggers, masih belum mau membuka dirinya kepada siapapun termasuk ayahnya sendiri. Episode ini diawali dengan Kurt berlatih menari dengan temannya, Tina dan Brittany,40di kamarnya yang kemudian dipergoki oleh ayah Kurt, yang mulai curiga akan kelakuan anaknya tersebut. Kurt tampak mengenakan pakaian yang sangat ketat dan menari seperti perempuan. Penyangkalan masih tetap dilakukan oleh Kurt, meskipun tanda-tandanya sudah jelas terlihat, seperti pakaian yang dikenakannya, dan tarian yang dilakukannya. Gambaran ini menyiratkan kembali bahwa membuka diri bagi seorang homoseksual adalah hal yang sangat sulit karena, disadari atau tidak, akan timbul konsekuensi yang harus dihadapi oleh mereka di tengah dominasi wacana dominan heteroseksual mengenai homoseksual (Glee 1, episode 4). Kurt terlanjur mengatakan kepada ayahnya bahwa ia masuk tim football, dan oleh karena itu, ia mendatangi Finn untuk meminta saran. Finn tampak telah mengetahui seksualitas Kurt, tetapi Kurt terus berusaha menyangkalnya dengan membuktikan bahwa ia mampu bermain football. Football dilihat sebagai cabang olahraga yang merepresentasikan laki-laki maskulin, sehingga Kurt ingin membentuk citranya agar terlihat sebagai laki-laki maskulin melalui olahraga tersebut (Glee 1, episode 4). Puck melihat Finn dan Kurt sedang berbicara berdua di lapangan beberapa menit menjelang pertandingan. Puck berasumsi bahwa Kurt dan Finn adalah pasangan homoseksual, dan melakukan protes keras terhadap masuknya Kurt menjadi anggota tim. “So, are you an item41 now or...? He doesn‟t belong here.” (Glee 1, episode 4). Dari adegan ini, ada asumsi bahwa apabila dua orang sesama jenis terlihat sedang berdua meskipun mereka sama sekali bukan merupakan pasangan 40 41
Lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu Beyonce, Put a Ring on it. Istilah item dalam bahasa gaul di kalangan remaja Amerika berarti sepasang kekasih.
49
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
homoseksual, akan dianggap sebagai pasangan homoseksual. Dengan kata lain, bukan merupakan hal yang wajar bagi sesama jenis untuk tampil berdua di publik, akan tetapi asumsi seperti ini bersifat sangat kultural karena tidak semua menganggapnya demikian, kecuali kalau tanda-tandanya terlihat dengan jelas.42 Adegan berikut terjadi di ruang locker, saat Puck melakukan protes keras terhadap Kurt (Glee 1, episode 4). Puck menyebut nama Lance Bass pada dialognya yang merupakan representasi seorang homoseksual. Sebelum bubar, Lance Bass adalah salah satu anggota boysband N‟SYNC yang populer pada era 1990an setelah NKOTB (New Kids on the Block) yang secara realitas memang seorang homoseksual. Tokoh Puck pada Glee season pertama ini disajikan sebagai tokoh yang pada awalnya sangat kontra terhadap keberadaan homoseksual sebagaimana bisa dilihat pada dialog-dialognya yang lain, yang kerap melontarkan kata-kata yang sifatnya bullying terhadap homoseksual (Glee 1, episode 4). Pada catatan kaki, telah disebutkan bahwa walaupun terjadi pro dan kontra dalam kelompok football tentang keberadaan Kurt dan tariannya, keunikan Kurtlah yang ternyata membawa kemenangan bagi tim football McKinlley High. Peneliti menangkap tanda ini sebagai sebuah citra positif homoseksual sebagai kaum termarginalkan tetapi mampu mengekspresikan keunggulan kualitasnya atas kelompok heteroseksual. Olahraga football yang sangat dilihat sebagai olahraga maskulin disisipi unsur feminin43 yang menyiratkan secara tidak langsung bahwa apapun bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh manusia tanpa memandang orientasi seksualnya walaupun gambaran football seperti itu merupakan hal yang kemungkinan besar tidak bisa terjadi di kehidupan nyata.44 Citra positif dapat membawa perubahan pada konsep diri seorang homoseksual di lingkungan heteroseksual agar menjadi lebih optimistis dalam memandang dirinya karena mereka merasa bisa melakukan apa saja, meskipun secara seksual mereka berbeda. KURT: Dad, I told you, I told you. BURT: I‟m really proud of you Kurt.
42
Misalnya di Indonesia, secara kultural, tidak ada asumsi umum yang langsung menganggap pasangan sejenis yang tampil di publik adalah pasangan homoseksual. 43 Dua karakter inilah yang pada prinsipnya ingin ditekankan oleh Connell, bahwa terdapat keragaman karakter pada diri laki-laki. Seluruh pemain dalam tim football tersebut adalah laki-laki, namun karakteristik masing-masing laki-laki yang memainkan permainan tersebut belum tentu sama. Contohnya adalah tokoh Finn dan Kurt yang sama-sama laki-laki, tetapi karakternya berbeda, yakni Finn maskulin dan Kurt feminin. 44 Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hamad bahwa gambaran seperti ini merupakan produksi isi media sebagai kegiatan pembentukan wacana melalui film serial TV yang bersifat mengkonstruksikan realitas ke dalam struktur cerita yang bermakna (lihat bab 3).
50
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
KURT: Dad, I have something to say, I‟m glad you‟re proud of me, but I don‟t want to lie anymore. Being a part of football and Glee club have really showed me that I can be anything and what I am trying to say is... I‟m gay. BURT: I know. KURT: Really? BURT: I know since you were three. What you wanted for your birthday was a pair of sensible heels. I guess I‟m not totally in love with the idea but...if that‟s who you are, there‟s nothing I can do about it, and I love you just as much, ok? Thanks for telling me Kurt. You‟re sure right? KURT: Yes, I‟m sure. (Glee 1, episode 4) Representasi sikap yang terbuka dan menerima, tercermin pada tokoh Burt, yang mencoba menyikapi homoseksualitas Kurt dengan bijaksana. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 2, bahwa permisif bukan persoalan setuju dan tidak setuju, namun lebih pada menyikapi persoalan homoseksualitas secara terbuka, selain karena isu ini memang sangat kompleks sifatnya. Homoseksualitas juga tidak dapat dengan mudah dikatakan sebagai persoalan nature or culture, karena untuk dapat menjawabnya, dibutuhkan keterlibatan banyak aspek. Ada yang menjadi homoseksual karena pengaruh lingkungan dan ada pula karena faktor biologis, seperti tercermin pada tokoh Kurt, yang telah menyadari orientasi seksualnya sejak berusia tiga tahun. Kesadaran akan orientasi seksualnya bisa dilihat dari hadiah ulang tahun yang dimintanya, yaitu berupa sepasang sepatu berhak tinggi. Hadiah tersebut secara tidak langsung merepresentasikan orientasi seksualnya yang telah terdeteksi sejak dini. Bagaimanapun juga, yang dapat dipastikan adalah bahwa tidak ada jawaban yang akurat mengenai penyebab terjadinya homoseksual, namun yang perlu disadari adalah adanya perbedaan orientasi seksual sebagai satu aspek penting untuk disikapi secara bijaksana selain perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.45Citra positif homoseksual di lingkungan heteroseksual juga tercermin dalam adegan dan diaolog tokoh Kurt pada episode 8 berikut. Finn mencoba menyiram wajah Kurt dengan slushie hanya untuk menunjukkan solidaritasnya dengan teman-temannya di tim football, meskipun dengan perasaan terpaksa. Kurt, yang mengetahui keterpaksaan Finn, dengan sukarela menyiram dirinya sendiri agar Finn tetap diterima oleh teman-teman timnya. KURT: It‟s called taking one for the team. Now get out of here and think about wether or not your friends in the football club would have ever done that for you.(Glee 1, episode 8) 45
Dalam bab 3, diuraikan bahwa Foucault sangat menekankan kesadaran akan adanya perbedaan pada setiap tatanan kehidupan, termasuk orientasi seksual yang berbeda.
51
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Pada season pertama ini, dapat dikatakan bahwa kata “gay” dan hal-hal yang mengarah pada sifat gay terdapat di sebagian besar dialog yang diucapkan para tokoh, meskipun adegan secara visual yang mengarah pada hubungan antar gay masih minim terlihat. Misalnya, pada episode 5, The Rodhes not Taken, yaitu dialog yang diucapkan oleh April Rodhes, tokoh perempuan yang berperan sebagai teman lama Mr. Schuester, yang sama-sama merupakan alumni SMA McKinlley. Ketika bertemu kembali dengan Mr. Schuester, ia mengatakan pada Mr. Schuester kalau teman kencannya yang bernama Vinny telah berselingkuh dengan Ralph, seorang laki-laki pemilik restoran cepat saji “Ralph had an affair with Vinny” (Glee season 1, episode 5). Berdasarkan cerita April, Vinny adalah laki-laki yang ia sukai ketika masih remaja, tetapi tanpa disangka Vinny akhirnya berselingkuh dengan Ralph. Kemudian, ada lagi ketika tokoh Rachel membacakan satu baris dari sebuah drama kepada Finn, “I‟m sleeping with him”(Glee 1, episode 5) yang merupakan baris kesukaan Mr. Ryerson, salah satu guru di sekolah tersebut. Ini secara implisit mengindikasikan bahwa ia adalah seorang homoseksual. Lalu, tokoh Puck yang tiba-tiba menyeletuk pada teman-temannya tentang hubungan tokoh boneka Bert dan Ernie46 yang lebih dari sekadar teman satu kamar, “I bet you guys thought Bert and Ernie are just roomates”(Glee 1, episode 5) karena mereka selalu tampil berdua sehingga menurut Puck, dua tokoh boneka tersebut adalah pasangan homoseksual. Pada episode 6 dan 7, yaitu Vitamin D dan Throwdown, tanda verbal berupa kata “gay” dalam dialog antar tokoh tidak ditemukan, tetapi pada episode 6 terdapat adegan tokoh Kurt yang memilih masuk kelompok perempuan ketika Mr. Schuester membagi murid-muridnya ke dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan, untuk mengerjakan proyek sebuah lagu, meskipun akhirnya Kurt diminta oleh gurunya untuk kembali ke kelompok laki-laki. Adegan ini ditangkap sebagai penekanan bahwa perbedaan manusia terletak pada faktor biologis, yakni jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dan bukan pada orientasi seksual. Seorang homoseksual tetap dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, walaupun ia sepenuhnya menyadari sifat-sifat yang dimilikinya. Ada homoseksual laki-laki yang tetap dengan maskulinitasnya, dan ada pula yang cenderung mengarah pada sifat feminin, seperti tokoh Kurt. Menurut konsep gender Connell, apa yang dilakukan oleh tokoh Mr. Schuester merupakan pembedaan berdasarkan jenis 46
Tokoh boneka yang sangat populer di acara anak-anak Sesame Street yang selalu dipasangkan berdua pada saat tayang.
52
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, padahal perlu disadari bahwa sifat seseorang itu beragam yang justru bisa bertolak belakang dengan jenis kelaminnya, seperti halnya tokoh Kurt menggambarkan seorang homoseksual laki-laki (gay), tetapi memiliki karakter feminin, sehingga perbedaan dikotomis jenis kelamin lakilaki dan perempuan perlu dibedakan dengan maskulinitas dan feminitas. Telah disinggung sebelumnya bahwa diangkat pula sedikit isu kelompok minoritas dalam serial TV ini, yang bisa ditemui pada episode Throwdown. Dalam perjuangannya, kelompok homoseksual bergabung dengan gerakan kelompok sosial yang terdiri dari kelompok perempuan, etnis minoritas dan ras kulit hitam karena merasa menjadi bagian dari kelompok yang terpinggirkan atau yang liyan. Seperti halnya perempuan, kelompok ini dianggap sebagai warga kelas dua, yang bisa dilihat pada dialog berikut ketika pelatih pemandu sorak Cherioos, Sue Sylvester, memanggil nama siswa-siswa anggota Glee yang tergolong minoritas dengan sebutan yang merepresentasikan hal tersebut yaitu wheels, gay kid, asian, other asian, Aretha dan Shaff (Glee 1, episode 7). Isu minoritas ini juga terlihat pada episode 9, Wheels, yaitu pada ucapan tokoh Mercedes saat lagu yang dipilih oleh Mr. Schuester selalu lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kulit putih. Mercedes menyebut Vanilla dan chocolate yang merepresentasikan kulit putih dan kulit hitam (Glee 1, episode 9). Masuknya isu minoritas dalam serial TV ini membentuk satu keterkaitan yang saling berhubungan karena homoseksualitas sendiri merupakan bagian dari kelompok minoritas tersebut, sehingga makna itu yang tampaknya ingin disampaikan oleh serial TV ini, yaitu bahwa homoseksualitas dan minoritas merupakan satu isu. Di episode 8, Mash Up, terlihat homoseksualitas kembali diangkat melalui dialogdialog berikut. Kepemimpinan Finn sebagai kapten tim dipertanyakan sejak ia memutuskan untuk masuk klub Glee. “Questioning your leadership Finn, like for instance, you choose to join that homo explosion.” Lalu Azimio, teman satu tim football, merasa sangat keberatan dengan keputusan Finn yang bergabung dengan Glee club yang kegiatannya hanya bernyanyi. “Is he working on a coming out of the closet speech or something?” (Glee 1, episode 8). Sebutan homo explosion, working on a coming out of the closet speech, dan olok-olok homoseksual lainnya yang terdapat dalam season pertama ini dari satu episode ke episode lainnya mengarah pada tindakan bullying yang sering diterima oleh kelompok homoseksual dan tidak menutup kemungkinan diterima juga oleh yang mentolerir atau menerima keberadaan mereka. Kondisi ini menandakan tingkat kekerasan
53
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
yang mereka terima sudah demikian parah hanya karena orientasi seksual mereka yang berbeda dari heteroseksual, dan di Amerika sendiri kekerasan ini bisa terjadi di lingkungan manapun baik kekerasan yang bersifat fisiologis maupun psikologis, termasuk di sekolah. Merujuk pada keterangan ini, terdapat adegan dalam episode ini yang mencerminkan hal tersebut, yaitu Kurt dan teman-temannya di klub Glee sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak baik seperti dibuang ke bak sampah dan di slushie47 setiap kali berpapasan dengan kelompok siswa yang populer, sementara Kurt mendapat perlakuan lebih dari itu karena ia seorang homoseksual. Perlakuan berlebihan yang diterima Kurt menandakan bahwa bullying sepertinya adalah sesuatu yang wajar dan boleh dilakukan di sekolah oleh heteroseksual ke homoseksual, tetapi dalam konteks serial TV ini ada hal lain yang ingin dikonstruksikan dan disampaikan lewat perlakuan tersebut.
Peneliti melihat bahwa
perlakuan bullying yang diterima Kurt bukan karena semata-mata ia seorang homoseksual tetapi karena ia juga anggota Glee club. Disini terlihat ambiguitas pada makna Glee, Glee club dalam konteks serial TV ini merepresentasikan homoseksual karena sudah dari awal episode telah di sebutkan bahwa Glee dicap sebagai klub homo explosion sehingga secara tidak langsung bullying terhadap Kurt dan para anggota klub Glee tetap menunjukkan kekerasan terhadap homoseksual di lingkungan sekolah yang memang merupakan isu yang ingin ditekankan dalam film ini. Kelompok homoseksual menyadari akan seksualitasnya di lingkungan masyarakat heteroseksual dan konsekuensi yang mereka terima akibat dari orientasi seksualitas mereka yang berbeda. Tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisiologis dan psikologis tetapi juga diskriminasi, dan terkadang bentuk diskriminasi yang diterima bisa secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, ayah Kurt merasa bahwa anaknya didiskriminasi karena seksualitasnya sehingga lagu Defying Gravity untuk penyanyi solo tidak diberikan kepada anaknya, melainkan kepada Rachel (Glee 1, episode 9). Setelah melalui serangkaian perdebatan antara ayah Kurt dengan kepala sekolah, akhirnya disepakati lagu tersebut dilombakan antara Kurt dan Rachel untuk menentukan siapa yang lebih layak menyanyikannya. Kualitas vokal Kurt dan Rachel saat menyanyikan lagu tersebut samasama baik, namun Kurt memilih untuk terdengar sumbang pada bagian akhir lagu tersebut dengan harapan agar ia kalah setelah ia mengetahui ayahnya menerima telepon gelap yang mengatakan anaknya adalah seorang gay. 47
Istilah Slushie adalah minuman sejenis blended drink yang digunakan oleh kelompok siswa populer untuk menyiram wajah para siswa-siswa Glee club.
54
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BURT: I got a call telling my son is a fag. KURT: It‟s ok dad, I got that a lot of time. BURT: I don‟t want you to get hurt. KURT: They gave the part to Rachel. I blew the „F‟, I wanted to lose. BURT: What? After I stood up my neck for you? KURT: Dad, I‟ve known who I was since I was five, I adapted, being different made me stronger. By the end of the day it‟s gonna get me out of this cow town. You will never have to deal with that. BURT: I can handle myself, I can handle just fine. KURT: No, you can‟t. Not with this, that phone call yesterday was just the beginning, especially when I get up in front of thousands of people just to sing a girl‟s song. When I saw you, the night after you got the call, and were so hurt and so upset, it just kills me. I‟m not saying I‟m gonna hide inside the closet, I‟m proud of who I am. (Glee 1, episode 9) Dari petikan baris dialog di atas, Amerika, yang bisa dikatakan negara maju dalam segala hal, pada kenyataannya belum modern dalam hal berpikir, mengingat pro dan kotra terhadap keberadaan homoseksual masih kental terlihat dan terasa. Perasaan tertekan, kekerasan, dan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh kelompok homoseksual, sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya dirasakan sebagai sebuah konsekuensi yang harus mereka terima dalam masyarakat, dimanapun lingkungannya. Ini adalah serangkaian bentuk
konsekuensi
yang
harus
diterima
kaum
homoseksual
akibat
wacana
homoseksualitas yang diciptakan oleh mereka yang memiliki kuasa atau kepentingan agar homoseksualitas tidak hadir dalam tindakan dan wicara. Seperti yang dikemukakan oleh Foucault dalam konsep seksualitasnya, yakni larangan tentang seksualitas tidak dengan serta merta terjadi begitu saja, namun karena memang telah dibentuk sebagai sebuah aturan yang diwacanakan. Pada episode 10, Ballad, adegan yang ditampilkan adalah adegan Mr. Schuester menugasi siswa-siswa klubnya untuk menyanyikan sebuah lagu bertemakan balada, yaitu cerita yang disampaikan lewat lagu. Sebelumnya, Mr. Schuester meminta mereka untuk menyanyikannya berpasangan, dan nama-nama setiap pasangan ditentukan melalui undian. Tokoh Finn, yang mendapatkan nama Kurt pada undian tersebut, terpaksa berpasangan dengan Kurt, yang justru senang dengan hasil undian tersebut. Sebaliknya, Finn merasa ragu berpasangan dengan laki-laki dan meminta pertimbangan lain kepada Mr. Schuester tetapi ditolak (Glee 1, episode 10). Adegan ketika Finn berpasangan dengan Kurt saat
55
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
berlatih menyanyikan lagu balada memperlihatkan kecanggungan yang terjadi kala seorang heteroseksual dihadapkan pada seorang homoseksual dalam situasi yang melibatkan perasaan emosional. Finn mencoba untuk melakukannya tetapi tetap terasa sangat berat untuk dilakukan. Kekawatiran terhadap asumsi-asumsi negatif akibat heteronormativitas yang begitu kuat melekat dalam sistem nilai-nilai moral di masyarakat heteroseksual tidak memberikan ruang bagi homoseksual untuk bergerak bebas menjadi dirinya sendiri. Akibat dari asumsi ini, dalam hubungannya secara emosional, perasaan mereka dianggap sebagai hal yang tidak wajar karena berpasang-pasangan yang dinilai baik, sah, dan benar adalah pasangan antara laki-laki dan perempuan, walaupun dalam kasus Kurt dan Finn, bernyanyi berpasangan hanyalah sebuah tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa klub. KURT: Finn, sing to me everything you feel. FINN: ok, I...I... can‟t sing to a dude. KURT: You have to try. KURT: I can‟t, ok! I can‟t! (Glee 1, episode 10) Meninjau adegan ini, peneliti melihat ada unsur kesengajaan penghasil makna (intentional approach) dalam memasangkan Kurt dan Finn berdua di episode ini guna menunjukkan bahwa kesulitan bagi seorang homoseksual untuk berada di tengah lingkungan heteroseksual tidak hanya terletak pada pengungkapan jati dirinya, tetapi juga terletak pada pengungkapan perasaannya, seperti yang pernah disinggung sebelumnya pada adegan Kurt dan Mercedes pada episode awal. Oleh karena itu, untuk lebih menunjukkan kesulitan tersebut, pada episode ini, pengungkapan perasaan suka Kurt terhadap Finn ditandai hanya melalui pikirannya yang berbicara, seolah-olah yang bisa dilakukan seorang homoseksual hanya mengungkapkan perasaannya kepada dirinya sendiri. KURT: Ok, I‟ll admit it, I‟m madly in love with Finn, I‟ve been since the first time we met. I don‟t know why I find stupidity charming. (Glee 1, episode 10) Petikan baris di atas menggambarkan ungkapan perasaan Kurt pada dirinya sendiri, namun di saat yang sama penggalan kalimat I find stupidity charming yang ditujukan kepada tokoh Finn48 kembali menandakan citra positif sekaligus merepresentasikan seorang homoseksual yang pandai secara intelektual. Sifat positif dan kecerdasan intelektual juga terlihat pada adegan ketika Finn meminta saran dari Kurt tentang cara berpakaian yang fashionable karena ia mengetahui bahwa Kurt memiliki pengetahuan dan selera yang 48
Finn digambarkan sebagai tokoh yang secara intelektual tidak terlalu cerdas.
56
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tinggi tentang busana. Saran tentang cara berbusana tidak hanya diminta oleh Finn, tetapi juga oleh pacarnya, Quinn, yang pernah melakukan hal serupa (Glee 1, episode 11). Pada episode 11, yaitu Hairography, terkait dengan petikan baris di atas, terdapat adegan saat tokoh Quinn dan Kurt, bekerja sama untuk mencegah agar Finn dan Rachel tidak saling berhubungan dengan cara membuat Rachel terlihat konyol dalam berbusana. Mereka melakukan itu karena memiliki tujuan yang sama, yaitu memisahkan Rachel dari Finn, karena baik Quinn maupun Kurt sama-sama menyukai Finn, dan mereka tahu Rachel pun menyukai Finn. Perbedaannya adalah Quinn dan Rachel yang perempuan tidak memiliki batasan untuk bisa menyatakan perasaannya terhadap Finn, sementara bagi Kurt batasan-batasan
itu
ada,
sehingga
bagaimanapun
juga,
ia
tetap
hanya
bisa
menyembunyikan dan menyangkalnya, namun dengan catatan tindakannya itu harus memberikan kepuasan bagi dirinya sendiri. Tindakan yang dilakukan Kurt yang bekerja sama dengan Quinn untuk menjatuhkan Rachel ditangkap oleh peneliti sebagai suatu bentuk resistensi homoseksual terhadap batasan-batasan yang diterimanya akibat dari heteronormativitas yang menyatakan bahwa hubungan yang legal dan yang akan selalu dikukuhkan adalah hubungan antar lawan jenis dan bukan sesama jenis. Ini terlihat pada baris dialog berikut ketika Rachel menyadari perlakuan yang diterimanya dari Kurt adalah jebakan karena Kurt menyukai Finn. RACHEL: You set me up! KURT: Well, you should be thanking me, your fantacy of running off with Finn was nothing but a fairy tale. RACHEL:You like him.. yeah, that‟s, that‟s what this is, and you were just trying to eliminate the competition. KURT: I was just helping him understand that you are not a viable second choice. RACHEL: You think I‟m a second choice? KURT: A distant second. RACHEL: You think I‟m living in a fairytale? If I were second or if I were the fiftieth, I will still be ahead of you because I‟m a girl! (Glee 1, episode 11) Pada satu sisi, nilai-nilai heteroseksual yang menyatakan bahwa pasangan yang sah adalah antara laki-laki dan perempuan juga terlihat pada baris terakhir yang diucapkan Rachel di atas, sehingga homoseksual tampak seperti orang yang tidak memiliki harapan untuk bisa memperoleh pasangan. Meskipun demikian, di sisi lain, yang terjadi anatara tokoh Kurt dan Rachel pada adegan dan dialog di atas, tidak seluruhnya memperlihatkan hubungan
57
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
antara heteroseksual sebagai penindas dan homoseksual sebagai yang tertindas, karena justru Rachel yang „dijebak‟ oleh Kurt. Kurt disajikan sebagai tokoh yang mengunggulkan homoseksualitas dan tidak menerima begitu saja segala bentuk penindasan, sehingga menurut Foucault, dalam relasi kuasa, tidak selalu terjadi hubungan mendominasi dan didominasi, dalam hal ini antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Berada di tengah lingkungan heteroseksual merupakan sebuah tantangan besar bagi kelompok homoseksual untuk bisa mengekspresikan dirinya, khususnya bagi remaja homoseksual yang berada di lingkungan sekolah. Meskipun memiliki orientasi seksual yang berbeda, mereka tetap seperti remaja pada umumnya yang memiliki jiwa yang labil, dan masih dalam tahap pencarian jati diri. Salah satu proses pencarian jati diri yang dilakukan oleh remaja biasanya terletak pada keinginan mereka untuk diakui oleh khalayak luas di lingkungan mereka sendiri. Supaya dapat memperoleh status atau pengakuan tersebut, cara yang ditempuh adalah melalui organisasi atau bergabung dengan klub-klub sekolah, seperti tokoh Kurt yang bergabung dengan klub Glee. Keterkaitan antara homoseksualitas dan minoritas kembali diperlihatkan pada episode 12, Matress, yakni ketika sekolah McKinlley High tampak ingin memberikan kesan bahwa sekolah mewadahi eksistensi kelompok siswa minoritas sebagai bentuk toleransi terhadap keberagaman dengan menunjukkan tanda-tanda seperti tokoh Rachel yang mengikuti setiap klub yang ada di sekolah tersebut, mulai dari Moslem Student Union sampai dengan Black Student Union. Bahkan, Rachel mempunyai keinginan untuk mendirikan klub untuk homoseksual yang disebut dengan Gay-Lesb-All, yang merupakan singkatan dari The Gay Lesbian Alliance, meskipun pada adegan ini gagasan Rachel dianggap konyol oleh Kurt, yang ditandai dengan tidak tertariknya Kurt untuk mendengarkan penjelasan Rachel lebih jauh. Peneliti melihat ketidaktertarikan Kurt terhadap ide tersebut memiliki makna bahwa homoseksualitas tidak perlu dibesar-besarkan di lingkungan sekolah dengan membentuk klub karena hanya akan semakin menampakkan homoseksual sebagai the other. Ketidaktertarikan Kurt juga menunjukkan sebuah sikap yang tidak mau didominasi, apapun kepentingannya. Klub Glee yang ada di sekolah McKinlley High merepresentasikan wadah perbedaan tersebut yang ditunjukkan pula oleh kegigihan tokoh Mr. Schuester dalam memperjuangkan klub asuhannya agar keberadaan klub dan siswa-siswanya diakui, baik di lingkungan sekolahnya sendiri maupun di luar lingkungan sekolah. Secara implisit, kegigihan tokoh Mr. Schuester menunjukkan suatu
58
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tindakan yang mampu menyikapi keberadaan kelompok siswa yang tergolong minoritas secara terbuka tanpa membeda-bedakan. Gambaran sekolah McKinlley High dan klub Glee adalah representasi sekolah yang menerapkan kebijakan toleransi terhadap perbedaan, termasuk perbedaan orientasi seksual. Dalam konteks sekolah di Amerika sendiri, kebijakan agar menghargai perbedaan, terutama terhadap homoseksual di lingkungan sekolah, masih menjadi persoalan yang diperdebatkan. Terjadi pro dan kontra antara pihak sekolah dan orangtua mengenai perlunya penerapan kebijakan tersebut karena persoalan yang justru disorot dan dianggap memprihatinkan adalah persoalan seksualitas seorang homoseksual, dan bukan kekerasan yang kerap dialami oleh homoseksual tersebut. Kebijakan ini sedang diperjuangkan oleh para aktivis homoseksual agar regulasi tentang kekerasan terhadap homoseksual di sekolah dapat direalisasikan, sehingga hal ini dinilai penting untuk diimplementasikan di lingkungan sekolah mengingat kekerasan berbasis orientasi seksual sangat mungkin terjadi di kalangan siswa.49Melalui representasi klub Glee yang mewadahi perbedaan, tampaknya film ini sangat ingin menekankan toleransi terhadap perbedaan tersebut yang bisa dilihat dari ucapan tokoh Quinn, “Sometimes people just need to learn more about diversity. I learn that in Glee club”.(Glee 1, episode 12). Dari ucapan tokoh Quinn tersebut, tersirat makna bahwa tampaknya dalam konteks Amerika sendiri, mengakui dan menghargai perbedaan dapat dikatakan masih belum bisa diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari karena perlakuan diskriminatif masih begitu kental terasa, terutama bagi kelompok homoseksual. Sebagai contoh dapat dilihat dari bentuk diskriminasi yang mereka terima pada hal-hal tertentu, antara lain, homoseksual tidak diperbolehkan bekerja pada bidang pendidikan, terutama yang berhubungan dengan anakanak, homoseksual tidak diperbolehkan bergabung dengan satuan militer, pasangan homoseksual tidak diperbolehkan mengadopsi anak, dan homoseksual tidak diperkenankan membentuk organisasi masyarakat. Amerika, sebagai negara multikultural, menyerukan toleransi terhadap keberagaman, namun tidak memiliki sikap yang jelas tentang kaum homoseksual, sehingga peneliti melihat bahwa perbedaan orientasi seksual yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan belum sepenuhnya ditolerir dengan baik. Kata „diversity‟ sepatutnya dimaknai lebih dari sekadar toleransi terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan orientasi seksual telah 49
Lihat Bab 2 pada bagian Serial TV Glee dan konteks homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika.
59
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
menjadi bagian dari aspek-aspek tersebut yang juga membutuhkan sikap toleransi. Oleh karena itu, sikap multikultural hendaknya diterapkan sejak anak mengenyam pendidikan di bangku sekolah agar segala macam bentuk perbedaan dapat disikapi dengan baik. Dalam konsep wacana Foucault, keterangan ini menunjukkan bahwa wacana homoseksualitas di Amerika
telah
diciptakan
oleh
negara
sebagai
kuasa
dan
juga
sekaligus
mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Pada episode 13, Sectionals, cerita ditekankan pada keseriusan para siswa klub Glee dalam berlatih untuk memenangkan kejuaraan paduan suara antar sekolah yang juga menggambarkan bahwa status yang jelas dibutuhkan untuk bisa diakui sebagai „somebody‟ karena selama ini mereka merasa sebagai „nobody‟. Lalu pada episode 14, yaitu Hell-o, diceritakan bahwa siswa Glee memenangkan kejuaraan sectionals, tetapi walaupun telah memenangkannya, mereka merasa sebagai pecundang karena harus menghadapi kenyataan bahwa kemenangan tersebut tidak cukup untuk menaikkan status mereka mejadi populer dan diakui. Gambaran ini boleh jadi merepresentasikan bahwa kelompok yang termarginalkan akan tetap dilihat sebagai liyan jika berada di lingkungan yang mayoritas, baik itu mayoritas dari segi ras, etnisitas, maupun seksualitas. Apapun bentuk pencapaian yang dicapai, kelompok minoritas atau yang liyan tetap dipandang karena perbedaannya dan bukan karena kualitasnya sebagai individu. Tanda-tanda homoseksualitas kembali ditampakkan pada episode 14 ini melalui adegan tokoh Santana dan Britney yang bergandengan tangan dan mengatakan akan mempertontonkan hubungan intim mereka pada saat Finn mentraktir mereka makan malam. Hal ini ditangkap sebagai ungkapan bahwa jumlah siswa homoseksual di lingkungan sekolah perlu mendapat perhatian (Glee 1, episode 14). Selain itu, kata gay dilontarkan pula oleh pelatih rival McKinlley High, Ms. Cocron yang mengira Mr. Schuester adalah gay karena dianggap tidak begitu tertarik ketika diajak berhubungan intim. Padahal ketidaktertarikannya adalah karena ia baru saja bercerai dari istrinya, Terry (Glee 1, episode 14). Episode 15, yaitu The Power of Madonna, menekankan soal pentingnya melihat persamaan yang dimiliki oleh manusia alih-alih mempermasalahkan perbedaan. Madonna sendiri dimaknai sebagai ikon yang menggambarkan kekuatan lewat lagu-lagunya yang menjunjung tinggi persamaan hak untuk hidup yang seharusnya bisa dirasakan oleh setiap individu apapun statusnya, termasuk seksualitasnya, Mr. Schuester mengungkapkan hal ini kepada siswa-siswa Glee asuhannya (Glee 1, episode 15). Madonna yang dijadikan tokoh
60
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
panutan juga dimaknai sebagai representasi dari isu perempuan yang tidak kalah penting untuk diperhatikan selain homoseksualitas dan minoritas. Merujuk pada keterangan ini, peneliti melihat adanya hubungan antara isu perempuan, ras dan homoseksualitas yang diperlihatkan pada episode ini, yaitu saat tokoh Kurt dan Mercedes menawarkan bantuan untuk menata rambut tokoh Ms. Sue Sylvester agar terlihat seperti Madonna setelah dihina oleh Mr. Schuester.50 Masing-masing tokoh mewakili satu isu yang bisa dikatakan bahwa perbedaan dapat membawa suatu perubahan yang baik selama toleransi dan sikap saling menghargai dijunjung tinggi. KURT: I think I can help, Mercedes is black, I‟m gay, we can make a culture. We have to start respecting each other as individuals, really see each other. (Glee 1, episode 15) Adegan bantuan tokoh Kurt dan Mercedes sebagai bagian dari kelompok minoritas yang berbeda generasi dengan tokoh Sue Sylvester menunjukkan suatu bentuk peradaban yang berhubungan dengan pentingnya menyadari keberadaan yang liyan, sehingga melalui intentional approach, homoseksualitas dan isu-isu lainnya dibuat bersinggungan dalam film seri ini. Foucault menyatakan bahwa hubungan antara kekuasaan dan ketertindasan manusia merupakan hubungan yang memproduksi berbagai pengetahuan sebagai suatu proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Peradaban yang dimaksud adalah kesadaran manusia akan hal-hal yang „diasingkan‟, baik itu berupa benda, suku, budaya, agama, dan orang. Selanjutnya pada episode 16, Home, kembali diperlihatkan adegan tokoh Santana dan Brittany yang bergandengan tangan. Tanda ini nantinya akan mengarah pada terungkapnya seksualitas Santana, yang ternyata menyukai sesama jenis (lesbian) dalam Glee season tiga. Homoseksualitas juga diangkat lagi pada episode ini melalui adegan Kurt yang kecewa karena ayahnya lebih suka berbincang-bincang dengan Finn daripada dengan dirinya sejak ayahnya bertemu dan jatuh cinta kepada ibu Finn. Kurt merasa bahwa ia tidak dilihat sebagai seorang remaja laki-laki pada umumnya yang juga menginginkan jalinan komunikasi yang baik dengan ayahnya, meskipun ia seorang gay (Glee 1, episode 16). Peneliti melihat bahwa seorang laki-laki homoseksual yang memiliki sifat-sifat feminin 50
Sue Sylvester digambarkan sebagai tokoh yang keras dan suka melontarkan sindiran-sindiran yang sifatnya cenderung menghina kepada siapapun, khususnya kepada Mr. Schuester. Ia paling senang menghina rambut Mr. Shuester, tetapi ketika rambutnya dihina balik oleh Mr. Schuester, ia terdiam. Situasi inilah yang dilihat oleh Kurt dan Mercedes sehingga mereka memutuskan untuk membantu menata rambutnya.
61
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
seperti tokoh Kurt, ternyata tidak dapat mewakili „laki-laki‟ sehingga obrolan seputar „dunia laki‟laki‟ dianggap mustahil untuk diperbincangkan dengannya. Dengan demikian, terlihat sangat sulit sekali bagi seorang remaja homoseksual seperti Kurt, yang dibesarkan oleh orangtua heteroseksual yang bertolak belakang dengan karakter anaknya, dalam menjalin komunikasi yang bersifat „laki-laki‟. Selain itu, ditunjang pula oleh norma-norma heteroseksual yang sudah demikian mengakar dalam masyarakat, sehingga terasa sulit untuk diubah meskipun komunikasi yang terjalin adalah hubungan antara orang tua dan anak. Namun jika berhadapan dengan seorang anak yang homoseksual, tetap saja ia dilihat berdasarkan orientasi seksualnya yang mencirikan bahwa mereka tetap liyan, sekalipun di mata seorang heteroseksual yang mentolerir keberadaannya. Penjelasan lainnya mengenai hal ini berhubungan dengan konsep gender Connell, adegan ayah Kurt yang kesulitan mengobrol dengan Kurt karena karakternya yang feminin menunjukkan bahwa maskulinitas selama ini telah disematkan sebagai karakter laki-laki yang dikodratkan oleh Tuhan. Dalam arti bahwa laki-laki dengan karakter feminin bertentangan dengan kodrat Tuhan, sehingga tidak mungkin mengajak laki-laki dengan karakter seperti ini untuk terlibat dalam perbincangan laki-laki. Persepsi inilah yang ingin diubah oleh Connell melalui teorinya yang menyatakan bahwa maskulinitas bukanlah karakter tunggal, namun selama ini karakter yang demikian telah menghegemoni di tengah masyarakat sebagai karakter yang hanya dimiliki oleh laki-laki, padahal memungkinkan bagi laki-laki untuk memiliki karakter baik maskulin maupun feminin, begitu pula perempuan. Maskulinitas dan feminitas bukanlah jenis kelamin sehingga karakter-karakter ini dapat dipertukarkan. Oleh sebab itu, maskulinitas bukan termasuk atribut personal, melainkan lebih pada aspek sosial. Dalam episode 17, yaitu Bad Reputation, cerita ditekankan pada siswa Glee yang sangat menginginkan popularitas di lingkungan sekolahnya melalui pencitraan. Pencitraan ini dilakukan oleh mereka dengan menciptakan reputasi buruk, dengan harapan agar mereka terkenal dan memperoleh pengakuan di lingkungan sekolah karena memenangkan kejuaraan menyanyi sectionals tampaknya tidak sedikitpun mendongkrak popularitas mereka dan sebutan pecundang masih melekat pada diri mereka. Disini, peneliti menangkap bahwa pemaknaan terhadap seseorang atau kelompok memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap sebuah reputasi sehingga sangat sulit untuk mengubah label tersebut. Keadaan seperti ini, menurut Benny H. Hoed, merupakan realitas sosial yang
62
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
terjadi dalam kehidupan sosial kita sehari-hari dari zaman ke zaman yang dilakukan tanpa sadar dalam memberikan makna tertentu pada hal, lembaga, gagasan atau orang. Istilah lainnya disebut dengan label sosial, yakni semacam “cap sosial” yang diberikan suatu lembaga atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya yang sifatnya tidak terbatas, sehingga kata bisa juga bertindak sebagai medianya (Hoed, Benny H. 2011, hal. 175-176). Lalu, pada episode 18, Laryngitis, adegan diawali dengan tokoh Puck, yang mendapat perlakuan yang sama ketika ia melakukan bullying terhadap Kurt, yakni dibuang ke tempat sampah karena ia mulai kehilangan reputasinya sebagai siswa populer sejak bergabung dengan klub Glee. Di satu sisi ia kehilangan reputasi, tetapi di sisi lain, ia mulai melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya ia mencoba untuk lebih menghargai perbedaan, mengingat ia sendiri adalah orang Yahudi yang dikatagorikan sebagai bagian dari kelompok minoritas di sekolah tersebut. Lain halnya dengan tokoh Puck, yang ingin mengubah cara pandangnya, Kurt dalam episode ini malah melakukan hal sebaliknya, yakni mencoba menyangkal seksualitasnya kembali dengan berusaha menjadi seorang heteroseksual dengan tujuan menyenangkan ayahnya.
“My dad is the most
important thing to me, and I feel I might be loosing him because of my sexuality.”(Glee 1, episode 18). Penyangkalan ini dilakukan karena ia belum dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya senang dengan keberadaan Finn. Kurt mengubah total penampilannya, dari flamboyan menjadi sangat „laki-laki‟, dalam arti bahwa ia ingin mengubah dirinya dan citranya menjadi laki-laki heteroseksual seperti yang dikonstruksikan atau dihegemonikan selama ini di masyarakat, yaitu jantan, baik dari segi penampilan maupun perilaku. Ia berpakaian persis seperti ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan dirinya yang fashionable, yakni mengenakan kemeja, celana jeans, topi, dan bersepatu bot. Tidak hanya itu saja, Kurt pun mencoba menjalin hubungan dengan Brittany,51 dengan harapan agar ia dipandang sama dengan Finn dan diterima oleh ayanhnya. Lagu yang dibawakannya di klub Glee pun merepresentasikan penyangkalannya, yakni dengan menyanyikan lagu Mellencamp dengan suara yang dipaksakan terdengar laki-laki. Tanda-tanda ini terlihat
51
Ketika memaksakan menjalin hubungan dengan Britney, Kurt membawanya ke rumah dan memasang tanda di pintu kamarnya yang berbunyi, “Do not disturb under any circumstances, I’m making out with a girl.” Ia juga menggandeng tangan Brittany dan memperlihatkan perilakunya yang demikian secara terbuka di sekolahnya sambil berteriak, “Hey guys, just holding Britney’s hands!” (Glee 1, episode 18)
63
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
jelas mencirikan laki-laki yang „sah‟ dan „benar‟, disini pula terlihat konsep diri tokoh Kurt dalam memandang dirinya mulai goyah. BURT: Kurt, I‟ve been dealing in sort of a month with you being gay and everything, and now you‟re telling me that‟s not the case? You know this thing with you is going to be hard. KURT: This thing with me? You mean being gay? BURT: Yeah, being gay. Look, I will fight to death for your right to love whoever you want, but when you were a little baby in my arms, did I dream about taking you to baseball games and talking about girls? Yeah, I did. A lot of fathers do. KURT: I had no idea how disappointing I was. Just seeing you with Finn, how easy it is, it breaks my heart. BURT: Is that why you were pretending to date that daffy cheerleader and dressing differently, and singing Mellencamp? (Glee 1, episode 18)
Kondisi yang demikian menjelaskan bahwa konsep diri seorang homoseksual dalam memandang dirinya pada kenyataannya tidak cukup menjadi jaminan untuk bisa menentang nilai-nilai heteroseksual yang begitu dominan di masyarakat. Persoalan seksualitas homoseksual bagaikan sebuah kondisi „tarik-ulur‟ di tengah normativitas heteroseksual
yang
memungkinkan
kembali
terjadinya
penyangkalan
terhadap
seksualitasnya sendiri. Selain itu, menurut Connell, kondisi ini juga disebabkan lagi oleh pandangan dikotomis bahwa laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminin, padahal Connell mengatakan maskulinitas bukan berarti laki-laki, begitu juga sebaliknya. Maskulinitas harus dilihat berdasarkan relasinya dengan gender dan bukan relasinya dengan jenis kelamin.
Apa yang terjadi pada tokoh Kurt yang tiba-tiba mengubah
penampilannya berhubungan dengan maskulinitas yang dihubungkan dengan jenis kelamin sebagai bentuk dari masculinity hegemony, sehingga ia menganggap laki-laki yang „benar‟ adalah dengan menjadi „laki-laki maskulin‟. Pada episode 19, Dream on, siswa klub Glee digambarkan tertekan dan pesimis akan masa depan mereka karena keberadaan mereka di klub tersebut dianggap telah menjelaskan sepenuhnya tentang masa depan seperti apa yang akan mereka hadapi. Begitu menjadi anggota klub Glee, mereka sudah dijuluki dengan berbagai macam pelabelan sehingga hal ini dinilai sebagai citra yang sulit untuk diubah. Mr. SCHUESTER: Remember high school? You got labels once you enter your freshmen year, geek, punk, queer. I‟ve seen what
64
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
these kids want in Glee club, no labels, no preconsumption, and their true spirits.(Glee, episode 19) Merujuk pada keterangan dan kutipan di atas, situasi ini ditangkap sebagai cermin dari lingkungan sekolah yang ada dalam konteks Amerika. Begitu memasuki tahun ajaran pertama sebagai siswa SMA, pelabelan sudah harus diterima oleh mereka yang tergolong „berbeda‟ atau dipandang sebagai „the other‟. Akibatnya, bullying atau tindak kekerasan terhadap siswa-siswa baru tersebut, baik fisiologis maupun psikologis, kerap harus mereka hadapi dan terima. Terkait dengan pelabelan tersebut, Benny H. Hoed, mengutarakan pula bahwa pemberian label sosial berpotensi menghasilkan pemahaman yang belum tentu benar, sehingga sifatnya dianggap tidak mendidik (Hoed, Benny H. 2011, hal. 176-177). Menyambung penjelasan sebelumnya, label sosial berdampak pada timbulnya kekerasan yang tampak direpresentasikan pada episode berikutnya, yaitu episode 20, Theatricality. Kurt dan teman satu klubnya,Tina, menerima perlakuan kasar dari dua orang siswa klub foot ball, yaitu Azimio dan Karofsky, yang mendorong mereka hanya karena mereka berdua sedang berjalan di koridor sekolah sambil mengenakan kostum yang aneh sebagai tanda ekspresi diri mereka terhadap ikon fenomenal Lady Gaga (Glee 1, episode 20).52 Kekerasan ini timbul sebagai keterkaitan seksualitas Kurt dengan konsep pemikiran Lady Gaga yang pro LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Questioning). Kekerasan yang diterima Kurt pada adegan ini dimaknai sebagai suatu protes keras kelompok heteroseksual tertentu terhadap pemikiran kontroversial Lady Gaga yang gencar 52
Mereka berpakaian ‘aneh’ sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap ikon Lady Gaga dan sekaligus merupakan tugas klub yang diberikan oleh Mr. Shuester untuk mengadaptasi gaya theatrical ala Gaga. Saya pun memperoleh informasi yang menjelaskan hubungan antara ikon Lady Gaga dan bullying dalam tulisan Dr. Nova Riyanti Yusuf, SPKJ, yang menerangkan bahwa harus dibedakan terlebih dahulu antara nyentrik dan bejat jika berbicara soal Lady Gaga, karena ‘keanehan’ Lady Gaga berawal dari latar belakang hidupnya yang boleh dikatakan tidak mudah. Lady Gaga semasa kecil dianugerahi bakat yang luar biasa dalam hal memainkan musik dan mencipta lagu sejak usia 4 tahun dan berhasil masuk Tisch School of Arts pada usia 17 tahun, sehingga ia dicap sebagai evangelist karena upayanya mengubah dunia sedikit demi sedikit dengan mendirikan yayasan Born This Way. Namun dibalik kesuksesannya, ia pernah melalui proses hidup sebagai remaja korban bullying yang terus menerus dihina oleh teman-teman sekolahnya sampai pernah merasakan diceburkan ke tong sampah oleh teman-teman sekolah Katoliknya. Latar belakangnya yang demikian, membuat Lady Gaga memahami perasaan menjadi ‘orang aneh’ atau tidak diterima oleh kelompok tertentu, dan menurut pengakuannya, Bullying membekas seumur hidup, sehingga ia merangkul siapa saja yang merasakan kesulitan mengakui jati dirinya, termasuk LGBTQ. Dampak yang mengerikan dari bullying adalah dapat menjurus pada tindakan bunuh diri yang bukan hanya sebuah episode dalam serial TV Glee tetapi juga merupakan sebuah realitas nanar di Indonesia berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2010, yakni 2.399 kasus kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Dalam tulisannya, Dr. Nova Riyanti Yusuf juga menghimbau agar terminologi lesbian, gay, bisexual, transgender dan questioning lebih diperhatikan agar mereka tetap menjadi bagian dari hak universal yang tidak lagi membedakan. (2012, hal. 8)
65
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
menyerukan persamaan hak asasi bagi kaum homoseksual yang selama ini selalu berada pada posisi tertindas. Tidak semua heteroseksual mampu bersikap permisif dalam menyikapi perbedaan orientasi seksual karena dianggap telah menyalahi aturan dan kodrat yang telah digariskan oleh Tuhan, maka dari itu terdapat dua kubu yang mewakili sikap mereka terhadap perbedaan tersebut, yakni Conservative dan Liberal. Tokoh Azimio yang gemar melakukan kekerasan terhadap Kurt dapat dikatagorikan sebagai bagian dari kaum heteroseksual yang berasal dari kubu Conservative, karena sepanjang cerita dari season yang pertama sampai dengan season yang ke tiga, boleh dikatakan bahwa karakter yang dimilikinya digambarkan secara konsisten sebagai seorang homophobic, yaitu pembenci homoseksual. Setelah kekerasan pertama, Kurt menerima kekerasan berikutnya dari siswa yang sama dan karena alasan yang sama pula sehingga menyebabkan kostumnya rusak. Kurt meminta Finn untuk memberitahukan rekan-rekan tim foot ball nya agar menghentikan kekerasan tersebut, tetapi sebelumnya di toilet sekolah, ketika Finn sedang berias diri untuk tampil theatrical, ia menerima semacam peringatan dari Azimio dan Karofsky tentang pilihannya berada di klub Glee dan tinggal bersama Kurt dan ayahnya (Glee 1, episode 20). Sejak awal, klub Glee telah diidentikkan sebagai klub yang terdiri atas sekelompok homoseksual, sehingga bagi seorang heteroseksual yang memutuskan untuk bergabung dengan klub tersebut, secara otomatis diberi label sosial sebagai biseksual oleh lingkungan McKinley High. Apapun bentuk kegiatan yang dilakukan oleh klub Glee, dinilai menjurus ke hal-hal yang bersifat feminin, sehingga feminin disini disamakan dengan gay, padahal kenyataannya, gay tidak selalu berarti feminin. Tokoh Finn adalah seorang heteroseksual, namun ia berias diri karena tuntutan tugas klubnya, sehingga karakternya tidak bisa disebut feminin hanya karena ia memakai make up. Namun, yang perlu dilihat disini adalah, kegiatan „berdandan‟ yang dilakukannya telah dianggap sebagai kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itulah, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari tokoh Azimio dan Karofsky karena para bullyers ini hanya melihatnya secara dikotomis, bahwa berdandan bukanlah kegiatan laki-laki. Jadi, menurut Connell, maskulinitas dan feminitas yang dilihat secara dikotomis dapat memicu terjadinya kekerasan pada laki-laki, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Bagaimanapun, walaupun seorang gay, ia tetap harus dilihat sebagai seseorang yang berjenis kelamin lakilaki yang belum tentu berkarakter feminin.
66
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Setelah kejadian yang dialami oleh Finn di toilet sekolah, di rumah, Kurt memintanya untuk menasehati Azimio dan Karofsky supaya menghentikan kekerasan terhadap dirinya. Sebaliknya, Finn malah menilai tindakan Kurt berlebihan dan berharap agar Kurt berbaur dengan mengatakan, “Why can‟t you just work harder at blending in?” (Glee 1,episode 20). Ucapan Finn mencerminkan bagaimana heteroseksual menyikapi homoseksualitas. Meskipun sudah jelas bahwa pokok persoalannya adalah kekerasan yang diterima oleh homoseksual akibat dari kebencian yang irasional terhadap keberadaan mereka, tetap yang dinilai salah adalah seksualitasnya sehingga diasumsikan bahwa sudah seharusnya kelompok homoseksual patuh dan tunduk pada aturan heteroseksual. Pola pikir Finn juga mencerminkan sikap yang kurang terbuka pada keberadaan homoseksual, yang barangkali bisa dikatakan karena pengaruh dari lingkungan tempat mereka tinggal, yaitu Ohio. Jika meninjau petikan dialog yang diucapkan oleh tokoh Finn, dapat disimpulkan bahwa Ohio merupakan salah satu negara bagian di Amerika yang belum sepenuhnya mentolerir keberadaan kelompok homoseksual, seperti halnya New York yang belum lama ini telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Dalam episode ini diperlihatkan pula adegan tokoh Burt, ayah Kurt, yang berargumentasi tentang pola pikir Finn yang dinilainya tidak memahami bagaimana menyikapi homoseksualitas. Argumentasi ini terjadi ketika Kurt mendekorasi kamar yang akan ditempati mereka berdua menurut seleranya sebagai hadiah kejutan untuk Finn, tetapi Finn malah sangat keberatan dengan itikad baik Kurt karena, menurutnya, dekorasi kamar tersebut sama sekali tidak nyaman untuk dirinya yang heteroseksual (Glee 1, episode 20). BURT: I know what you meant! What? You think I didn‟t use that word when I was yout age? You know some kid gets locked in practice, we‟d tell him to stop being such a fag, shake it off, we meant it exactly the way you meant it! That being gay is wrong, that it is some punishable offense. (Glee 1, episode 20)
Perkataan Burt yang menyiratkan bahwa pemberian label sosial terhadap kelompok tertentu, selalu dilakukan dengan penuh kesadaran karena label diberikan dengan tujuan untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga hal seperti inilah yang dianggap memicu munculnya istilah liyan terhadap satu kelompok tertentu. Penilaian Burt mengenai cara pandang Finn terhadap homoseksual juga mencerminkan bahwa homoseksualitas akan selalu menjadi sebuah pertarungan makna karena homoseksual dimaknai berdasarkan suatu perspektif yang terbentuk berdasarkan pengalaman, dan 67
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
akibatnya ada yang pro dan kontra terhadap isu tersebut. Benny H. Hoed mengatakan bahwa sifat penafsiran pada sebuah teks atau tanda adalah mengikuti waktu dan pengalaman atau pengetahuan penafsirnya (Hoed, Benny H. 2011, hal 153). Perdebatan antara Finn dan Burt juga terjadi karena wacana atau „kebenaran‟ tentang homoseksualitas dipahami secara berbeda. Foucault mengatakan bahwa wacana dihasilkan dari berbagai periode historis, sehingga „kebenaran‟ nya tidak pernah tunggal. Seperti halnya yang terjadi pada tokoh Finn ketika pengalaman yang dialaminya dengan Burt telah mengubah cara ia memaknai homoseksual. Ia pun berbalik membela Kurt ketika ia hendak dibully lagi oleh Azimio dan Karofsky dengan mengatakan, “You‟re not hitting anyone.” kepada Azimio dan Karofsky (Glee 1, episode 20). Adegan ini juga memperlihatkan kembali citra positif homoseksual yang ditandai dengan ungkapan terima kasih Finn kepada Kurt yang secara tidak langsung mengajarinya untuk lebih bijaksana dalam menilai seseorang tanpa harus melihat seksualitasnya. Begitu pula tokoh-tokoh klub Glee yang lain, yang mulai melihat segala sesuatu terkait homoseksualitas dari sudut pandang yang lebih terbuka, atau barangkali bisa dibilang bersifat „membela‟ kelompok homoseksual. Adegan ini juga memperlihatkan bahwa sikap heteroseksual yang tidak melihat perbedaan dapat mengembalikan konsep diri yang positif terhadap homoseksual agar dapat menerima keberadaan dirinya kembali. Selanjutnya, pada episode 21, Funk, cerita lebih ditekankan pada persaingan antara Carmel High dan McKinlley High dalam hal mempertunjukkan kepiawaian mereka menyanyi sambil menari untuk memperebutkan kejuaraan di tingkat regional yang akan disajikan pada episode terakhir. Carmel High dan McKinlley High merepresentasikan dua kelompok, yaitu the winners dan the loosers, karena memang yang selalu digambarkan memenangkan perlombaan adalah kelompok paduan suara Vocal Adrenalin dari Carmel High, sementara untuk mencapai pencapaian itu bagi kelompok paduan suara New Directions53 dari McKinlley High membutuhkan proses yang tidak mudah. Di episode terakhir dari season pertama ini, yaitu episode 22 , Journey to regionals menekankan pada kegiatan lomba paduan suara yang diikuti oleh tiga sekolah, dan dua di antaranya adalah Carmel High dan McKinlley High. Singkatnya, McKinlley High menempati posisi terakhir. Mereka belum berhasil memenangkan kejuaraan tersebut, yang semakin menampakkan bahwa serial TV ini ingin memperlihatkan segala sesuatunya tidak 53
Nama kelompok paduan suara para anggota klub Glee.
68
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
pernah mudah bagi siswa-siswa klub Glee, dan perjuangan mereka untuk diakui tidak berhenti pada tahap ini, sehingga serial TV Glee tetap berlanjut pada season dua dan tiga. Hal ini pula ditangkap sebagai isi produksi media yang produktif dalam membangun wacana homoseksualitas melaui representasi homoseksual dalam serial TV remaja tersebut. 4.3. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season ke-dua Pada Glee season ke - dua, jumlah episode yang ditayangkan sama dengan season pertama, yaitu berjumlah dua puluh dua episode. Adapun judul-judul tersebuat antara lain Audition, Britney Brittany, Grilled Cheesus, Duets, The Rocky Horor Glee show, Never been kissed,The Substitute, Furt, Special Education, A Very Glee Christmas,The Sue Sylvester Shuffle, Silly Love Songs, Come Back, Blame it on the Alcohol, Sexy, Original Song, Night of Neglect, Born This Way, Rumours, Prom Queen, Funeral, dan New York. Seperti season sebelumnya,
judul-judul
tersebut
di
atas
secara
keseluruhan
tampak
tidak
merepresentasikan homoseksualitas, namun dapat dikatakan beberapa di antara judul – judul itu mulai menampakkan seksualitas sebagai isu dari serial TV ini, yakni Never been Kissed, Sexy, dan Born This Way. Dua judul yang pertama terlihat dari kata kissed dan sexy, yang mengarah pada kegiatan dan sifat yang melibatkan seksualitas, sedangkan yang terakhir terkait dengan pemahaman terhadap ikon fenomenal Lady Gaga, yang menjunjung tinggi perbedaan dan pro-homoseksual. Tanda-tanda dari judul-judul ini menandakan bahwa homoseksualitas dalam serial TV ini semakin diangkat dan diperlihatkan disamping tanda-tanda visual yang juga semakin banyak terlihat, dan oleh karena itu, guna menangkap isu tersebut secara menyeluruh, tidak bisa dilihat hanya dari judul episodenya saja, namun dilihat juga melalui setiap episode yang disajikan dalam season yang ke dua ini. Pada episode 1, yaitu Audition, adegan diawali dengan seorang reporter sekolah yang bernama Jacob Ben Israel, yang membawa poster besar dengan tulisan “Glee‟s Big Gay Summer” ketika mewawancara Mr. Schuester dan para siswa klub Glee. Season ke dua ini secara tidak langsung merepresentasikan tahun ke dua para siswa klub Glee di McKinley High setelah season yang pertama. Dilihat dari tulisan poster tersebut, klub Glee masih diidentikkan dengan klub gay dan masih dilihat sebagai klub untuk para pecundang. Tidak hanya itu saja, reporter tersebut juga menyebutkan lagu-lagu yang dibawakan klub Glee sebagai lagu-lagu “100% gay”, dan hanya seorang drag queen (banci) yang mau 69
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
mendengarkan lagu-lagu mereka. Ketika mewawancarai Kurt pun, temanya masih seputar seksualitas. Klub Glee yang sering dihubungkan dengan seksualitas merupakan suatu kekecewaan yang besar bagi para anggota klub, khususnya bagi Kurt, karena seksualitas, bagaimanapun juga, secara tidak langsung mengarah pada citra dirinya, dan ini bukanlah citra yang positif. Kurtpun melampiaskan kekecewaannya pada Jacob agar berhenti menyudutkan dirinya dan klubnya serta menyerukan kepada para pengguna media internet agar menghentikan segala bentuk bullying di dunia maya yang ditujukan kepada dirinya (Glee 2, episode 1). Begitu Kurt selesai mengatakan kekecewaannya, tiba-tiba Azimio datang dan melempar slushie ke wajahnya. Situasi yang dialami Kurt menggambarkan kondisi homoseksual yang hampir setiap saat mendapatkan kekerasan, tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya berupa kekerasan psikologis. Bullying, khususnya terhadap remaja homoseksual dalam konteks sekolah di Amerika, memang termasuk sangat memprihatinkan karena seiring dengan perkembangan teknologi, kekerasan tersebut telah menembus batas ruang dan waktu, dalam arti bahwa kekerasan terhadap homoseksual semakin banyak yang bersifat psikologis. Homoseksual tidak dilihat sebagai individu yang memiliki hak yang sama dengan heteroseksual sehingga segala tindakan yang bersifat kekerasan seakan-akan dibenarkan. Dalam serial TV ini, slushie yang dilemparkan ke wajah Kurt dan kekerasan lainnya sebagai bentuk bullying ternyata tidak mendapatkan tindakan khusus dari pihak sekolah, yang menunjukkan sebuah ironi jika ditafsir dari kebijakan sekolah yang mewadahi dan mentolerir perbedaan tetapi tidak bertindak ketika bullying atau kekerasan terjadi. Dalam episode ini tampak isu perempuan dan ras disinggung kembali agar terhubung dengan homoseksualitas sebagai bagian dari kelompok minoritas seperti pada season pertama, dengan menyajikan tokoh Beiste, seorang football coach perempuan yang menggantikan posisi pelatih football di season sebelumnya. Beiste adalah gambaran sosok perempuan yang tidak ideal menurut pandangan tentang perempuan pada umumnya. Dimensi fisiologis tokoh Beiste digambarkan bertubuh besar, seperti laki-laki, dan tidak cantik, terlebih lagi ia seorang pelatih football yang memang secara realitas dianggap melawan kodrat, sehingga tokoh inipun digolongkan ke dalam kelompok outsider, sesuai dengan apa yang direpresentasikan oleh klub Glee (Glee 2, episode 1). Gambaran tokoh Beiste juga merupakan kondisi yang dijelaskan oleh Connell dalam teorinya bahwa maskulinitas dan feminitas adalah dua karakter yang dapat dipertukarkan, sehingga perempuan bisa saja memiliki karakter maskulin, dan label outsider adalah bentuk kekerasan sosiologis yang diterimanya karena karakternya.
70
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Sementara itu, isu ras dilihat dari penekanan kata “Asian”, yang sering dilontarkan untuk tokoh Tina dan Mike Chang yang orang asia, di antaranya Asian summer camp, Asian couple, Asian kiss. Peneliti menangkap bahwa serial TV ini ingin menunjukkan adanya persamaan antara homoseksual, perempuan dan kelompok minoritas lainnya jika menyangkut konstruksi sosial masyarakat terhadap kelompok minoritas tersebut, yakni segala bentuk penilaian yang dianggap sah dan benar telah melalui kesepakatan sosial tingkat tinggi sehingga aturan-aturan itulah yang dianggap ideal dan digunakan sebagai landasan untuk membuat penilaian terhadap liyan. Pada episode 2, Britney Brittany, terlihat adegan Finn yang di bully lagi oleh Azimio dan Karaofsky karena keberadaannya di klub Glee. Seragam berupa jaket tim football McKinlley yang sedang dikenakan Finn tiba-tiba diambil dan dirobek menjadi dua untuk menandakan bahwa, dengan masuk klub Glee, Finn telah menjadi biseksual. Kemudian dalam adegan yang berbeda, tokoh Karofsky secara implisit mengatakan Finn seorang gay karena berpacaran dengan Rachel, sehingga siapapun yang bergabung dengan klub tersebut dipastikan menjadi homoseksual dan layak mendapatkan perlakuan kasar oleh mereka yang menganggap dirinya „normal‟(Glee 2, episode 2). Glee telah mendapat label sosial sebagai tempat berkumpulnya homoseksual sehingga hal positif dalam bentuk apapun seakan-akan tidak berarti sama sekali. Orientasi seksual yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku memberikan dorongan yang sangat besar bagi heteroseksual dan homofobik untuk bisa berbuat sewenang-wenang. Walaupun hanya sepintas, sosok selebriti, yaitu penyanyi Britney Spears, dihadirkan pula dalam episode ini. Bila dicermati, sosoknya terkait dengan isu perempuan dan seksualitas, dan menurut apa yang disajikan dalam episode ini, ia merepresentasikan perempuan yang kuat, sensual, tapi tidak terlalu berhasil dalam hidupnya, sehingga bagi klub Glee, ia bukan termasuk tokoh panutan yang baik. Ironisnya, para siswa Glee berikut pelatihnya, Mr. Schuester, membawakan satu lagu Britney Spears pada sebuah acara di sekolah, yang kemudian menimbulkan kerusuhan akibat lagu yang dibawakannya bejudul Toxic.54 Tokoh Sue menyebut kerusuhan yang ditimbulkan oleh lagu Toxic tersebut sebagai a Britney Spears sex riot. Pada intinya, jika ditinjau lebih jauh, apa yang ingin
54
Toxic adalah salah satu lagu Britney Spears yang bernada sensual dan dianggap mampu menimbulkan hasrat seksual.
71
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
ditekankan dalam serial TV ini adalah seksualitas yang selalu menjadi isu di lingkungan pendidikan dan atau di lingkungan sekolah. Berikutnya, pada episode 3, Grilled Cheesus, cerita ditekankan pada nilai-nilai spiritual yang sebetulnya bisa dilihat dari judul episode tersebut. Apabila dilihat secara visual, maka akan bisa ditangkap makna dibalik kata Grilled Cheesus, yaitu berawal dari adegan tokoh Finn yang merasa lapar, lalu mencoba untuk membuat roti keju bakar, tetapi hasilnya sedikit hangus di bagian pinggir roti, dan bagian hangus tersebut membentuk siluet Yesus. Siluet Yesus pada roti keju tersebut akhirnya disebut oleh Finn sebagai Grilled Cheesus, cheese untuk keju dan akhiran sus untuk Yesus. Terlihat bahwa religiusitas merupakan isu penting bagi homoseksual dalam episode ini karena homoseksualitas selama ini memang selalu dihubungkan dengan masalah moral dan agama. Seseorang yang menjadi homoseksual dianggap menyimpang dari hukum Tuhan yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa, yang mengakibatkan kebingungan bagi homoseksual untuk menentukan pijakan mereka jika berhubungan dengan religiusitas karena agama dinilai tidak memberikan ruang bagi mereka. Sederhananya, homoseksual menjadi sulit untuk memiliki keyakinan kepada Tuhan sebagaimana heteroseksual karena aturan-aturan keagamaan dinilai telah memberi stigma dan menolak keberadaan mereka. Merujuk pada keterangan ini, ketika Finn mengusulkan kepada teman-teman klub Glee nya untuk mengusung lagu bertemakan spiritual sebagai tugas klub mereka, Kurt langsung merasa keberatan. Penyampaian usul dari Finn tersebut terdengar seperti orang yang hendak membuka identitas seksualnya, yang merupakan salah satu contoh unsur humor yang disajikan dalam serial TV ini. FINN: Mr. Schue, I have something to say, something happen to me, and I can‟t really get into it, but it‟s shaken me to my core. PUCK: Oh my God! He‟s coming out. FINN: Why, yes. There‟s a man who‟s sort of recently come into my life, and that man is Jesus Christ. PUCK: That‟s way worse. FINN: And I know they‟re others who dig him, so why don‟t we pay a tribute to him in music, you know, pay tribute to Jesus. KURT: Sorry, uh, but if I wanted to sing about Jesus, I‟d go to church, and the reason I don‟t go to church is because most churches don‟t think very much of gay people, or women, or science.(Glee 2, episode 3)
72
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Apabila ucapan Kurt pada bagian “Most churches don‟t think very much of gay people, or women, or science”, dikupas lebih jauh, dapat dikatakan bahwa, gereja dalam pandangannya, telah mendiskreditkan homoseksual, karena dalam agama, tertera jelas bahwa homoseksual adalah pelanggaran. Lalu, gereja mendiskreditkan perempuan, karena perempuan dijadikan warga kelas dua yang tidak sebanding dengan laki-laki, kemudian gerejapun mendiskreditkan ilmu pengetahuan karena dianggap melanggar kebesaran Tuhan dan ketentuan alam, contohnya ilmuwan Galileo Galilei yang dijadikan tahanan rumah oleh gereja hingga akhir hayatnya, hanya karena mengatakan bahwa matahari mengitari bumi serta bumi itu bulat dan tidak datar (Bellis, 2012).
Oleh karena itu,
Kurt
mengatakan bahwa Tuhan itu seperti Santa Clause bagi orang dewasa karena mereka mempercayai sesuatu yang tidak ada. KURT: ... but I don‟t believe in God. I think God is a kind of, like Santa Clause for adults. Otherwise, God‟s kind of a jerk, isn‟t he? I mean, he makes me gay and then has his followers going around telling me it‟s something that I chose, as if someone would choose to be mocked every single day of their lives and right now I don‟t want a heavenly father, I want my real one back.55 (Glee 2, episode 3)
Teman-teman Kurt yang lain mempertanyakan spiritualitas Kurt yang tidak mempercayai Tuhan hanya karena seksualitasnya, dan terlihat mudah bagi heteroseksual untuk mempertanyakan hal. Anggapan seperti ini juga dipertanyakan dalam episode ini melalui dialog antara tokoh Sue dan Ms. Pillsbury, guru Bimbingan Penyuluhan McKinlley High. Ms. Pillsbury: Don‟t you think that‟s just a little bit arrogant? SUE: It‟s as arrogant as telling someone how to believe in God, and if they don‟t accept it, no matter how openhearted or honest their dissent, they‟re going to hell? Well, that doesn‟t sound very Christian, does it? (Glee 2, episode 3)
Jelas bahwa, berdasarkan kutipan dialog di atas, persoalan religiusitas merupakan hal yang kompleks dalam konteks kaum homoseksual karena mereka dinilai tidak lebih dari sekualitasnya saja, yang disamakan dengan tindakan imoral, padahal seksualitas dan moral hendaknya dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan wajar bagi tokoh Kurt untuk berpikir demikian dan mempertanyakan Tuhan karena dalam konsep seksualitas 55
Disini deceritakan ayah Kurt terkena serangan jantung dan sedang dirawat di rumah sakit.
73
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Foucault disebutkan bahwa hukum agama dan ajaran pastoral Kristen adalah dua dari tiga hal yang dianggap telah menguasai dan mengatur seksualitas. Selain itu, meminta seseorang untuk berkeyakinan menurut representasi dalam dialog tersebut dianggap sebagai sebuah pemaksaan. Dengan kata lain, seseorang yang tidak menganut satu ajaran tertentu, bagaimanapun baiknya moralitasnya, tetap dinilai tidak bermoral. Pada episode 4, yaitu Duets, diceritakan ada tokoh baru bernama Sam yang bergabung dengan klub Glee. Begitu melihatnya, Kurt langsung berasumsi bahwa ia juga seorang gay hanya dengan melihat gaya rambutnya, sehingga ia mulai tertarik untuk mengajaknya bernyanyi duet sebagai bagian dari tugas klub Glee, namun keinginanya tidak terpenuhi karena secara tidak langsung Finn dan ayahnya „melarang‟ Kurt untuk berduet bersama Sam. Melalui pendekatan yang persuasif, Kurtpun mengurungkan niatnya berduet dengan Sam (Glee 2, episode 4). Gambaran ini memperlihatkan kuasa heteronormativitas terhadap homoseksual, yakni seorang laki-laki homoseksual jika berduet dengan laki-laki heteroseksual, akan meninggalkan dampak buruk yang dapat merusak reputasi dan citra para heteroseksual, sehingga terlihat jelas bahwa kepentingan heteroseksual berada di atas kepentingan homoseksual, atau dengan kata lain, heteroseksual benar dan homoseksual salah. Secara tersirat, homoseksual diharapkan untuk bisa lebih memahami bahwa seksualitas yang berbeda masih sulit disikapi dengan baik oleh sebagian besar heteroseksual, terlebih lagi bila berhubungan dengan lingkungan sekolah, yang barangkali boleh dikatakan belum semua sekolah menetapkan kebijakan khusus terkait isu ini. Pemahaman remaja yang masih dangkal tentang homoseksualitas juga menjadi pertimbangan penting mengapa persoalan ini masih sulit dipahami di kalangan remaja sekolah. Pada episode 5, The Rocky Horror Glee Show, yang dimunculkan kali pertama adalah sepasang bibir perempuan dengan latar gelap yang sedang menyanyikan sebuah lagu. Berdasarkan pada judul episode dan gambar sepasang bibir tersebut, cerita pada episode ini tampaknya sedikit mengadaptasi cerita musikal The Rocky Horror Show yang pernah dimunculkan pada tahun 1975, yakni teater musikal khusus dewasa yang para pemainnya mengenakan kostum „menyeramkan‟ dan dikemas secara komedi tetapi mengedepankan unsur seksualitas dalam penyajiannya, sehingga materi pada acara tersebut
74
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dianggap tidak layak untuk kalangan yang masih di bawah umur.56 Peneliti melihat bahwa dimasukkannya adaptasi cerita musikal tersebut pada episode ini adalah untuk mempertegas bahwa serial TV Glee ini lekat dengan isu seksualitas dan kelompok yang dilihat sebagai liyan. Refleksi dari keterangan ini terlihat dari petikan dialog Mr. Schuester berikut. Mr. SCHUESTER: When I was younger, and they started midnight shows of Rocky Horror, it wasn‟t for envelope pushers, it was for outcasts, people on the fringes who had no place left to go, but were searching for some place, any place where they felt like they belonged. Sound familiar? The truth is, with that perspective, Rocky Horror is the perfect show to put on for this club. (Glee 2, episode 5) Oleh karena itu, Rocky Horror sendiri merepresentasikan klub Glee yang terdiri dari siswasiswa underdog yang masih berusaha mencari sense of belonging nya. Menariknya adalah ketika tokoh Mr. Schuester menyebut kata outcasts, kamera menyorot wajah tokoh Kurt yang menandakan bahwa outcasts yang dimaksud lebih tertuju kepada kelompok homoseksual yang juga sekaligus merupakan isu dari serial TV ini. Tiga episode selanjutnya, yaitu episode 6, 7, dan 8, yang berjudul Never been kissed, The Substitute, dan Furt, menekankan pada masalah bullying yang terus menerus dialami oleh tokoh Kurt. Kurt yang sedang berjalan-jalan di koridor sekolah selalu didorong dengan sangat keras oleh Karofsky yang tampaknya paling memiliki masalah dengan seksualitas Kurt sejak season pertama. Mr. Schuester yang kebetulan melihat kejadian bullying tersebut mencoba melakukan pendekatan kepada Kurt, tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Mr. Schuester dirasakan tidak cukup untuk dapat menghentikan bullying yang dialaminya, begitu pula ketika tokoh Sue Sylvester menjabat sebagai kepala sekolah sementara di McKinley High, iapun tidak bisa berbuat banyak dalam menangani 56
A story of creation, love, hate, adventure, and, most of all, sex; the story begins in Denton, Ohio as Brad Majors and Janet Weiss, after getting engaged (Dammit Janet), travel to see "the man who began it," but wind up at the castle of Dr. Frank-N-Furter, a transvestite alien from the planet of Transsexual in the galaxy of Transylvania (Sweet Transvestite). And they meet Riff Raff, Magenta, and Columbia which leads to "doing the Time Warp again!" They discover they have been there on a "special night." Frank's creation is to be born! As Rocky has been revealed (Sword of Damocles / I Can Make You A Man), rebel Eddie, Frank's lastrecent creation, ponders in on his motorcycle (Hot Patootie-Bless My Soul) whom Frank kills. In comes Dr. Everett Von Scott, he's come for Eddie (Eddie's Teddy) which results in the discovery of Eddie's deceased body. Frank chases Janet and Brad and Dr. Scott chase Frank (Planet Schmanet Janet), which results in everybody (but Frank) getting frozen. Enter the floor show (Rose Tint My World / Don't Dream It / Wild & Untamed Thing) which then turns into the horrifying death of both Frank and Columbia die and the castle's blasting off! Brad, Janet, and Dr. Scott survive and leave with torn clothes and battered bodies. Written by Max. (http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary)
75
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
kekerasan tersebut, karena untuk merumuskan aturan atau kebijakan baru mengenai kekerasan terhadap homoseksual di sekolah, bukan hal yang mudah dan harus melibatkan school board dalam pelaksanaannya (Glee 2, episode 8). Dengan kata lain, gambaran ini menjelaskan bahwa masalah bullying terhadap remaja homoseksual di sekolah belum direspon dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan tentang kekerasan terhadap siswa homoseksual masih menjadi persoalan yang mengundang pro dan kontra dalam konteks sekolah di Amerika. Pada episode ini, kebijakan mengenai kekerasan terhadap siswa homoseksual yang seharusnya diterapkan di sekolah-sekolah tidak diperlihatkan secara langsung namun direpresentasikan melalui penyajian sekolah All Boys School Dalton Academy, yang menerapkan kebijakan „zero- tolerance harassment policy‟. Kebijakan yang diterapkan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi siswa homoseksual, melainkan bagi seluruh siswa, baik heteroseksual maupun homoseksual. Kekerasan dalam bentuk apapun dan kekerasan karena alasan apapun sepatutnya tidak dibenarkan terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya aman dari segala bentuk kekerasan. Siswa homoseksual membutuhkan jaminan dari pihak sekolah akan keselamatan dan keamanan diri mereka melalui kebijakan yang jelas secara hukum, namun justru yang terjadi adalah pro dan kontra mengenai kebijakan tersebut yang menyebabkan siswa homoseksual merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan sekolahnya sendiri. Kondisi seperti ini disajikan melalui tokoh Kurt, yang berkunjung ke sekolah Dalton Academy dan bertemu dengan tokoh Blaine yang juga gay. Blaine menerangkan soal kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa yang telah diterapkan di sekolahnya. Kurt merasa aman di sekolah tersebut dan berharap seandainya semua sekolah menerapkan hal yang sama. Ini juga yang disampaikan oleh Kurt kepada ayahnya ketika Karofsky tidak hentihentinya melakukan bullying terhadap dirnya (Glee 2, episode 8). Berkaitan dengan keterangan ini, diperlihatkan juga bahwa ternyata tokoh Karofsky adalah seorang homoseksual yang termasuk ke dalam kelompok homoseksual yang closeted atau tertutup mengenai seksualitasnya. Hal ini diketahui dari tanda visual yang ditunjukkan melalui reflective approach, yaitu adegan Karofsky mencium Kurt dengan paksa setelah melalui pertengkaran yang hebat antara keduanya, Gambaran ini juga menunjukkan bahwa terdapat dua jenis homoseksual, yaitu homoseksual yang terbuka dan yang tertutup mengenai seksualitasnya. Adegan dua homoseksual (gay) yang berbeda karakter ini juga menegaskan
76
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
teori Connell tentang keragaman karakter dalam diri laki-laki meskipun sama-sama homoseksual. Tokoh Kurt adalah gay yang feminin, sementara tokoh Karofsky adalah gay yang maskulin, sehingga hal ini menjelaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan sebagai laki-laki feminin. Pada episode 9 dan 10, Special Education dan A Very Glee Christmas, cerita ditekankan pada tokoh Kurt, yang sudah pindah dari McKinley High ke Dalton Academy akibat dari bullying yang diterimanya. Dalam dua episode ini juga ditampilkan tokoh Kurt yang mulai menyukai tokoh Blaine, semenjak menjalin persahabatan dengannya. Beberapa tanda visual memperlihatkan hubungan ini, seperti berlari berpegangan tangan dan berduet bersama. Di sekolah ini juga Kurt menemukan segala sesuatunya berbeda dari sekolah lamanya, tidak hanya dari kebijakan anti kekerasan yang diterapkan di sekolah tersebut, tetapi juga kelompok paduan suara yang dimasukinya, sangat jauh berbeda dari klub Glee. Keberadaan Kurt di kelompok paduan suara Dalton Academy, The Warblers, tidak dipandang sama seperti keberadaannya ketika berada di klub Glee, karena segala sesuatunya diputuskan secara sepihak oleh para senior, misalnya dalam memilih lagu apa yang akan dinyanyikan di sebuah kompetisi. Pada prinsipnya, yang ingin ditekankan pada dua episode ini adalah rasa aman dan nyaman yang selama ini dicari oleh kelompok homoseksual yang sekaligus mencerminkan tidak meratanya pemahaman mengenai pentingnya menerapkan kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa homoseksual di sekolahsekolah dalam konteks Amerika, karena dalam realitasnya, yang lebih dipersoalkan adalah seksualitas seseorang alih-alih kekerasan itu sendiri. Dalam teori Foucault, sekolah bertindak sebagai kesatuan perangkat (agen) yang bertindak sebagai pembuat aturan dan menerapkannya, namun karena persoalannya adalah homoseksualitas, maka yang terjadi adalah sekolah melihatnya sebagai penyimpangan seksualitas yang menyalahi peraturan sehingga dilihat sebagai representasi negatif (hubungan negatif) yang tidak boleh diberlakukan di sekolah, maka dari itulah, kekerasan berbasis orientasi seksual tidak ditanggapi dengan baik. Dengan kata lain, telah terjadi pengabaian terhadap regulasi tersebut. Kemudian pada episode 11, yakni The Sue Sylvester Shuffle, seperti pada episodeepisode sebelumnya pada season pertama, dikedepankan pentingnya menghargai satu sama lain, yang ditandai dengan „dipaksanya‟ klub Glee dan klub Football berbaur dalam memenangkan pertandingan football. Tujuannya adalah untuk membuat mereka,
77
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
khususnya anggota klub football, memahami bagaimana rasanya berada di klub Glee yang selalu dibully, direndahkan, dan dipandang sebagai klub pecundang yang penuh dengan homoseksual, atau dengan kata lain memahami bagaimana rasanya dipandang sebagai liyan. “You guys are so afraid of being called geeks, or losers or gay that you settle for being nothing”(Glee 2, episode 11). Homoseksual dan segala label sosial sangat ditakuti oleh siswa-siswa sekolah menengah atas di Amerika karena identik dengan pecundang, yang sebenarnya merupakan ketakutan yang tidak rasional. Episode 12, The Silly Love Songs memperlihatkan bagaimana seorang homoseksual mengungkapan rasa sukanya terhadap sesama jenis, namun seperti yang terlihat pada episode ini, tidak semua homoseksual merasa nyaman dengan membuka seksualitasnya di wilayah publik karena mereka menyadari konsekuensinya berada di tengah-tengah masyarakat heteroseksual. Kuasa heteronormativitas memaksa mereka memilih untuk tetap closeted dan „berpura-pura‟ menjadi heteroseksual agar bisa survive. Kondisi ini terlihat pada adegan Blaine, yang menyatakan rasa sukanya kepada seorang laki-laki gay bernama Jeremiah, yang bekerja di sebuah toko baju, tetapi ditolak karena ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan seksualitasnya yang terbongkar. JEREMIAH: What the hell were you doing? BLAINE: What? JEREMIAH: I just got fired, you can‟t just bust a groove in somebody elses working place. BLAINE: But they loved it. JEREMIAH: Well, my boss didn‟t. Neither did I, no one here knows I‟m gay. Blaine let‟s just be clear here, you and I got coffee twice, we‟re not dating. If we were, I get arrested cause you‟re under age. (Glee 2, episode 12) Gambaran di atas semakin menandakan bahwa segala sesuatunya tidak pernah mudah bagi homoseksual untuk
mengekspresikan dirinya dan atau bahkan untuk menjadi dirinya
sendiri sebagai individu dengan semua hak universal yang dimilikinya di tengah lingkungan heteroseksual. Pada episode 13, yaitu Come back, ditekankan pentingnya membangun citra bagi seorang siswa sekolah menengah atas supaya bisa dikenali dan mendapatkan penghormatan dari lingkungan sekolahnya. Homoseksualitas tidak terlalu diperlihatkan secara visual dalam episode ini, namun secara verbal terlihat dari kata „lesbian‟ dalam istilah lesbian Bieber hair, yang ditujukan untuk model rambut selebriti Justin Bieber.
78
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Selanjutnya, episode 14, yakni Blame it on the Alcohol, mengedepankan banyaknya lagu remaja dewasa ini yang mengagungkan kebiasaan minum minuman beralkohol sehingga menjadi suatu persoalan tersendiri dalam konteks sekolah menengah atas di Amerika. Akan tetapi dibalik persoalan minuman beralkohol tersebut, homoseksualitas sebagai isu tetap diperlihatkan pada episode ini melalui adegan Rachel yang mencium Blaine ketika para anggota klub Glee sedang berpesta minuman keras di kediaman Rachel sambil memainkan permainan spin the bottle.57 Kemudian terdapat adegan Blaine, yang tidur di kamar Kurt karena mabuk. Blaine tiba-tiba meragukan seksualitasnya karena ciuman Rachel ketika ia mabuk dan perdebatan yang ia alami dengan Kurt saat ia mengakui keraguannya tersebut (Glee 2, episode 14). Perdebatan antara Kurt dan Blaine menandakan bahwa seksualitas bagi seorang homoseksual merupakan hal yang sangat kompleks jika menyangkut keyakinan akan identitas seksualnya, terlebih lagi bagi homoseksual yang belum sepenuhnya menyadari orientasi seksualnya. Namun, pada akhirnya tokoh Blaine sepenuhnya yakin bahwa ia memang seorang homoseksual ketika ia dicium oleh Rachel untuk kedua kalinya. Tentu saja tampak begitu mudah bagi seorang homoseksual untuk menyadari seksualitasnya melalui adegan seperti itu dalam serial TV walaupun secara realitas belum tentu benar adanya, namun yang bisa ditangkap dalam adegan ini adalah seorang homoseksual akan merasa yakin dengan seksualitasnya jika dihadapkan pada perempuan yang berfungsi sebagai indikator dalam menentukan orientasi seksualitasnya. Dalam arti bahwa apabila seorang laki-laki „merasakan‟ sesuatu pada saat dicium, maka ia seorang heteroseksual, apabila sebaliknya, maka ia seorang homoseksual. Berikutnya, episode 15, yang berjudul Sexy, menekankan sex education in high school yang dinilai perlu untuk diterapkan, mengingat sebagian besar remaja sekolah menengah atas telah mengenal dan melakukan kegiatan tersebut, yang tercermin pada tokoh Quinn yang hamil pada usia sekolah (Glee season 1). Selain itu, konsep seksualitas Foucault dalam hubungannya dengan pendidikan seks di sekolah, masuk ke dalam kekuasaan yang menentukan hukum seks dengan menempatkannya di bawah sistem biner, yakni benar dan salah. Pemisahan antara benar dan salah ini muncul karena seksualitas dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur supaya tidak menyimpang dan menyalahi norma-norma yang telah ditetapkan. Hukum seks yang ditempatkan di bawah sistem biner tersebut kemudian diperjelas dalam bentuk aturan pendidikan seks yang dianggap benar, 57
Permainan tersebut mengharuskan korban yang kena tunjuk untuk mencium orang yang memutar botol.
79
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
yaitu hubungan seks antar heteroseksual, sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian pada homoseksual yang sebenarnya membutuhkan juga pendidikan seks di sekolah, mengingat jumlah siswa homoseksual yang tergolong tidak sedikit. Situasi ini tercermin pada ucapan tokoh Blaine berikut ini. BLAINE: You know, Dalton doesn‟t even have sex education classes, and the ones that do, almost never discuss what sex is like for gay kids. (Glee 2, episode 15) Pada episode ini juga diperlihatkan tokoh homoseksual perempuan, yaitu Santana yang mulai menyadari dan yakin tentang seksualitasnya karena ketertarikannya secara seksual pada sesama jenis (Brittany) lebih besar daripada ketertarikannya kepada lawan jenis (Glee 2, episode 15). Tanda-tanda lesbian ini telah disajikan melalui reflective approach beberapa kali pada episode-episode sebelumnya antara Santana dengan Brittany, seperti berpegangan
tangan
dan
melakukan
kontak
fisik,
meskipun
Santana
masih
menyangkalnya. Disajikannya tokoh lesbian dalam serial TV ini juga memperlihatkan bahwa homoseksualitas dan jumlah siswa homoseksual yang cukup banyak perlu menjadi perhatian penting dalam konteks sekolah di Amerika. Pada episode 16, yakni Originals, digambarkan para siswa klub Glee
yang
menghadapi regionals. Rival mereka di kejuaraan menyanyi tersebut adalah kelompok paduan suara The Warblers (Dalton Academy) dan Aural Intensity. Singkatnya, pada season ke dua ini, predikat juara akhirnya diraih oleh para anggota klub Glee setelah kalah pada season sebelumnya, berkat lagu yang dibawakannya sebagai lagu hasil ciptaan mereka sendiri yang berjudul Looser like me. Lagu tersebut memiliki makna ganda yaitu yang pertama bermakna „pecundang seperti saya‟ dan makna yang ke dua bisa bermakna „pecundang menyukai saya‟ sehingga secara umum disimpulkan bahwa makna lagu tersebut adalah kelompok yang selalu dibully dan dilihat sebagai
pecundang
justru
memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa bangkit dan bertahan hidup, dan bahkan disukai. Hal menarik lainnya yang ditangkap dalam episode ini adalah homoseksualitas yang menjadi bahan perbincangan pada saat penjurian. SISTER MARY CONSTANCE: That Dalton Academy, is it a gay school or a school that just appear gay? ROD REMINGTON: Could I add a dash of Rod to this lady soup? My hairdresser is a gay and for fifteen years he‟s been with his
80
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
partner, also a hairdresser. I see no reason why they shouldn‟t be allowed to marry and have a family of beautiful wigs. SISTER MARY CONSTANCE: I liked the duets that the Dalton boys sang. TAMMY JEAN ALBERTSON: Oh boys shouldn‟t do a duet, the last thing we need is to send a message to children that “gay is okay”! It is not legitimate lifestyle, and last time I checked, it‟s not in the constitution. (Glee 2, episode 16) Perdebatan tersebut di atas merefleksikan pro dan kontra terhadap keberadaan homoseksual yang memang masih berlangsung hingga saat ini, sehingga homoseksual masih sulit untuk diakui dan diterima sebagai individu yang sama dengan heteroseksual. Bahkan dalam penjurianpun terlihat diskriminasi terhadap homoseksual. Simbol keagamaan yang bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh penganut ajaran nasrani juga ditampilkan pada tokoh Sister Mary Constance yang mengenakan jubah biarawati tetapi bersifat liberal dalam menyikapi homoseksualitas (Glee 2, episode 16). Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa secara realitas, agama telah memberikan stigma kepada kaum homoseksual, sehingga kemungkinannya sangat kecil bagi seorang biarawati untuk dapat menyikapi homoseksualitas secara terbuka. Dalam episode 17, A Night of Neglect, disamping menyajikan persoalan homoseksual yang berkaitan dengan episode-episode sebelumnya pada season pertama dan ke dua, cerita pada episode ini juga memperlihatkan pentingnya sikap saling menghargai di lingkungan sekolah. Para siswa klub Glee yang bisa dibilang telah memenangkan kejuaraan paduan suara baik di tingkat sectional dan regional tetap tidak dihargai oleh lingkungan sekolahnya. Pertunjukkan yang digelar untuk menggalang dana pun tidak mendapat sambutan yang baik dari para penonton. Mereka direndahkan dan dihina pada saat pertunjukkan. Dengan kata lain, mereka dibully dengan berbagai macam cara, baik individual maupun kolektif. Teknologi pun memainkan peran dalam kaitannya dengan bullying seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada episode pertama, yaitu Audition, dan juga tercermin pada dialog berikut. JACOB: Technology has allowed us to be brutally cruel without suffering any consequences. In the past, if I wanted to tell someone they sucked, I‟d have to say it to their face which would usually result in them kicking me in the groin (Glee 2, episode 17).
81
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Gambaran ini menunjukkan bahwa peran teknologi berdampak negatif apabila berhubungan dengan bullying, karena teknologi malah memperluas tindakan kekerasan tersebut di wilayah publik, meskipun identitas pelaku kekerasan tersembunyi. Namun, hal inilah yang justru membuat masyarakat semakin tidak peka dengan konsekuensi yang sangat mungkin bisa terjadi jika menyakiti seseorang secara psikologis. Pengaruhnya bisa berimbas pada tindakan-tindakan ekstrem yang dapat membahayakan bagi orang yang dibully ataupun bagi orang yang melakukan bullying tersebut. Pada Episode 18, yaitu Born This Way, Lady Gaga kembali dijadikan tokoh panutan yang menginspirasi para siswa Glee karena ikon ini mewakili status outsider yang disandang oleh para siswa tersebut. Oleh karena itu, inti dari episode ini adalah pentingnya menjadi diri sendiri meskipun berbeda dari segi fisiologis, psikologis, ataupun orientasi seksual. Pada episode ini, tokoh homoseksual lainnya, yakni Santana dan Karofsky, digambarkan semakin menyadari orientasi seksualitasnya sehingga memutuskan untuk bekerja sama membentuk tim anti-bullying movement yang disebut dengan bullywhip dengan tujuan untuk menciptakan situasi sekolah yang kondusif, khususnya bagi siswa homoseksual. Karofsky dengan tulus meminta maaf kepada Kurt yang telah ia bully selama ini dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi karena mereka memiliki identitas seksualitas yang sama. Permintaan maaf ini membuat Kurt pindah lagi ke McKinley High dan bergabung kembali dengan klub Glee. Apa yang direpresentasikan dalam episode ini melalui tokoh Santana dan Karofsky adalah homoseksual yang mencoba untuk berdamai dengan seksualitasnya, meskipun mereka belum siap untuk membuka identitas mereka di wilayah publik (coming out). Selanjutnya, pada episode 19, Rumours, cerita ditekankan pada berita yang bersifat gosip. Saat wartawan sekolah, Jacob Ben Israel, mencari berita untuk dimasukkan ke dalam surat kabar sekolah Muckcracker dengan mewawancarai para anggota Glee, apa yang disampaikan melalui wawancara tersebut ternyata berbeda dengan yang diberitakan di surat kabar sekolah sehingga menimbulkan salah pengertian. Misalnya, tokoh Sam yang tertangkap berkomunikasi dengan Kurt, langsung diasumsikan sebagai gay. Lalu penggunaan kata playing for another team, yang dilontarkan Santana langsung dipersepsikan sebagai orang yang masuk ke dalam kelompok homoseksual. Hal ini menunjukkan bahwa suatu isu atau fakta sangat mungkin untuk diputarbalikkan jika disampaikan melalui media, khususnya terkait homoseksual. Dapat dikatakan bahwa surat
82
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
kabar Muckcracker tersebut merupakan media non-TV yang merepresentasikan homoseksualitas di kalangan siswa McKinley High yang secara tajam mengkritisi dan menyatakan secara terbuka tentang isu tersebut, sehingga apa yang ditangkap oleh pembaca berita diharapkan sesuai dengan yang diberitakan. Media non-TV menurut Newburn (1997, hal. 92) memang lebih mampu membentuk opini publik dibandingkan media TV, karena adanya kebebasan pers dalam mencari serta menyampaikan berita yang terkesan tidak disensor sehingga mudah dipercaya sebagai sebuah fakta. Surat kabar bahkan mampu mengonstruksikan realitas yang semakin menguatkan opini publik tentang kebenaran suatu isu. Hal inilah yang menyebabkan salah pengertian antara yang memberitakan dan yang diberitakan seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Sam dan Santana tersebut. Pada episode 20, yakni Prom Queen, bullying terhadap tokoh Kurt masih disajikan meskipun kekerasan tersebut sudah berkurang pada episode ini. Bullying tersebut ditunjukkan melalui penobatannya sebagai prom queen berdasarkan hasil pemerolehan suara yang dilakukan secara diam-diam oleh seluruh siswa McKinley High sebagai lelucon dengan tujuan agar Kurt bersanding dengan Karofsky yang telah lebih dulu dinobatkan sebagai prom king, padahal Kurt sama sekali tidak mencalonkan dirinya. Gelar Prom Queen yang diperoleh Kurt merupakan olok-olok yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Prom King and Queen McKinley High adalah sepasang gay, dan ini sangat menyakitkan bagi Kurt secara psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa homoseksual akan selalu menjadi yang tertindas bila berhadapan dengan kebencian yang irasional dari para homofobik. Heteronormativitas yang telah melabel negatif kelompok homoseksual secara implisit „membenarkan‟ penindasan tersebut. Kurt disandingkan dengan Karofsky dan diberi gelar prom queen karena ia dilihat sebagai laki-laki yang feminin, sehingga feminitas itulah yang membuatnya diolok-olok seperti tercermin dalam adegan tersebut. Hal ini pula yang disebut oleh Connell tentang kekerasan yang ditimbulkan oleh keragaman karakter laki-laki, khususnya laki-laki dengan karakter feminin, karena dianggap kontras dengan anggapan bahwa karakter laki-laki seharusnya „maskulin‟. Pada episode 21, Funeral, cerita ditekankan pada pemakaman adik pelatih Cheerios, Sue Sylvester, yang meninggal karena penyakit pnemonia sehingga tidak banyak ditemukan isu seksualitas pada episode ini, namun adiknya yang digambarkan mengidap downsyndrome jelas mewakili kelompok outsider, seperti halnya para siswa klub Glee.
83
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Episode terakhir dari season ke dua ini, yaitu episode 22, dengan judul
New York,
menceritakan para anggota Glee yang baru menginjakkan kakinya di New York dalam rangka mengikuti kejuaraan paduan suara tingkat nasional, tetapi di akhir cerita mereka masih belum berhasil memenangkannya. Dapat dikatakan bahwa episode ini khususnya, dan episode-episode sebelumnya, sangat lekat dengan seksualitas. Ditinjau dari judulnya sendiri, yakni New York, memiliki makna sebagai kota yang disukai kelompok homoseksual, karena di kota inilah belum lama ini pernikahan sesama jenis diperbolehkan dan dilegalkan. Meskipun demikian, masyarakat kota New York belum semua dapat dikatakan menyikapi homoseksualitas secara terbuka, contohnya
ketika petugas hotel
mengatakan setiap tim paduan suara yang akan berkompetisi akan dipisah berdasarkan orientasi seksualnya, dan bukan berdasarkan jenis kelaminnya (Glee 2, episode 22), yang makin memperlihatkan pemilah antara yang „benar‟ dan yang „salah‟. 4.4. Wacana Homoseksualitas dalm Serial TV Glee Season ke-tiga Glee season ke tiga terdiri dari dua pulu dua episode yang judul-judulnya adalah The Purple Piano Project, I am Unicorn, Asian F, Pot o‟ Gold, The First Time, Mash off, I Kissed a Girl, Hold on to Sixteen, Extraordinary Merry Christmas, Yes or No, Michael, The Spanish Teacher, Heart, On My Way, The Big Brother, Saturday Night Glee-ver, Dance with somebody, Choke, Prom-asaurus, Props, Nationals dan terakhir Good Bye, yang merupakan season finale dari seluruh episode dalam serial TV Glee. Seperti pada season pertama dan ke dua, selain I Kissed a Girl, judul-judul episode di atas masih tidak menampakkan adanya isu seksualitas yang diangkat apabila tidak dikaji secara visual, oleh karena itu, aspek visual tidak pernah lepas dalam kaitannya dengan analisis serial TV ini. Episode pertama, yaitu The Purple PianoProject, mengawali tahun ke tiga para siswa Glee di sekolah McKinley High. Adegan diawali lagi dengan wawancara dengan siswa klub Glee oleh tokoh Jacob Ben Israel, tetapi menariknya, dalam wawancaranya kali ini, Jacob tidak menanyakan masalah seputar seksualitas, sehingga terlihat semacam twist yang hendak disajikan dalam episode pertama ini yang tidak sama dengan dua episode pertama pada dua season sebelumnya. Tokoh Blaine diceritakan pindah ke McKinley High dari Dalton Academy agar bisa lebih dekat dengan Kurt, dan berawal dari kepindahan Blaine tersebut ke McKinley High pada season ke tiga ini, akan banyak ditemukan adegan yang memperlihatkan kedekatan Blaine dan Kurt sebagai sepasang homoseksual. Cerita
84
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dalam episode ini juga menekankan pada kurangnya perhatian pihak sekolah terhadap bidang kesenian, karena kesenian dianggap tidak memberikan masa depan yang baik bagi siswa sekolah. Kesenian sendiri dalam serial TV ini direpresentasikan oleh klub Glee, yang secara implisit berarti siswa yang mengikuti pelajaran kesenian seperti menyanyi dan menari akan berakhir dengan memperoleh label sosial sebagai pecundang atau gay. Seperti pada beberapa episode pada season sebelumnya, Tokoh Kurt pada season ke tiga ini kembali direprsentasikan sebagai tokoh homoseksual yang memiliki citra positif skaligus memberikan inspirasi bagi siswa McKinley High. Pada episode 2, I am Unicorn, diceritakan Kurt mencalonkan diri sebagai ketua OSIS di McKinley High dengan tujuan untuk membawa perubahan pada iklim sekolah tersebut, khususnya yang terkait dengan kekerasan terhadap siswa di lingkungan sekolah atau bullying. Kurt menilai bahwa segala macam bentuk kekerasan di sekolah sudah tidak dapat ditolerir lagi mengingat bullying dapat berdampak buruk pada fisiologis dan psikologis korban. Telah disinggung pula sebelumnya bahwa keadaan ini juga yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis homoseksual yang ingin mewujudkan lingkungan sekolah yang aman bagi siswa LGBTQ di Amerika. KURT: ... But if I win, I think I can make a huge difference at this school, not just me, but also kids like me. Things can actually change for them. So whatever it takes, I‟m winning. (Glee 3, episode 3) Dalam kampanyenya, Kurt menggunakan simbol unicorn yang menyimbolkan kebanggaan bahwa dirinya berbeda, meskipun sebelumnya ia sempat tidak menyetujui penggunaan simbol tersebut dan memilih untuk lay low, dalam arti bahwa ia tidak mau terlalu menonjolkan orientasi seksualnya agar bisa memperoleh dukungan yang banyak dari siswa yang mayoritas heteroseksual. Pada awalnya, Kurt menganggap simbol unicorn justru malah semakin mempertegas perbedaan seksualitasnya sebagai homoseksual sehingga dikahawatirkan mengurangi citranya sebagai pemimpin jika terpilih, namun kepercayaan dirinya bangkit ketika ayahnya mengungkapkan bahwa tanduk unicorn lah yang membuat hewan tersebut istimewa dan sekaligus membedakannya dari kuda biasa (Glee 3, episode 2). Bisa dilihat disini bahwa, pada prinsipnya, seorang homoseksual menyadari kontroversi yang melekat pada dirinya sebagai individu yang „menyimpang‟ dari normativitas heteroseksual, namun ia bersedia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat ia berada dengan memaknai simbol tersebut dari sudut pandang yang lebih positif. Pada 85
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
pidato kampanye Kurt pada episode 6, ia dengan tegas mengecam bullying di sekolahsekolah, dan salah satu program anti-kekerasan yang dikemukakannya adalah menghapus permainan dodgeball yang dinilai brutal.58 Program anti-kekerasan yang dikemukakan oleh Kurt juga merupakan sebuah citra positif homoseksual yang dilakukan demi kepentingan orang banyak agar tercipta kondisi sekolah yang aman dari segala bentuk kekerasan atau ketertindasan antar siswa. Lima episode pertama pada season 3 ini juga mengangkat homoseksualitas yang dialami tokoh homoseksual lainnya selain Kurt, yaitu Santana. Digambarkan disini bahwa tokoh Santana telah menyadari dengan pasti akan seksualitasnya, namun memilih untuk menyembunyikan identitasnya. Pada awalnya, ia sangat mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan identitasnya tersebut, sehingga ia cenderung bertingkah laku kasar secara verbal, yakni senang mengolok-olok orang lain, yang sebenarnya hanya memperlihatkan kalau ia sedang menutupi ketidaknyamanannya. Tokoh Finn, yang merasa kesal karena selalu diolok-olok oleh Santana, membuka seksualitas Santana di sekolah sampai akhirnya diketahui luas oleh publik. Hal ini tentu saja membuat Santana sangat terpukul, namun pada episode 7, ia akhirnya bisa menerima keterbukaan tersebut berkat dukungan teman-temannya di klub Glee. Melihat representasi dari adegan-adegan ini, peneliti dapat mengatakan bahwa dukungan atau pengaruh lingkungan yang baik dapat mendongkrak keyakinan seorang homoseksual untuk bisa lebih terbuka terhadap dirinya sendiri. Pada awalnya seorang homoseksual mengalami kesulitan untuk berdamai dengan dirinya sendiri karena merasa telah melakukan „kesalahan‟ dengan „memilih‟ menjadi homoseksual. Selama ini, homoseksualitas memang sering kali dihubungkan dengan penyimpangan seksualitas karena seseorang dianggap dengan penuh kesadaran „memilih‟ menjadi homoseksual, yang pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penilaian sepihak yang bersifat menyudutkan, serta aturan-aturan yang mengatur seksualitas secara hukum, disinyalir menjadi penyebab sulitnya homoseksual berdamai dengan dirinya sendiri sehingga memicu konflik internal dalam diri homoseksual tersebut. Klub Glee yang direpresentasikan sebagai tempat yang mewadahi dan mentolerir keberagaman, secara tersirat pula direpresentasikan sebagai tempat dalam skop kecil yang mampu menerapkan
58
Berdasarkan pengamatan peneliti secara visual pada episode 6, Dodgeball adalah sejenis permainan yang dimainkan oleh dua tim dengan saling melempar bola ke tubuh lawan hingga dapat menyebabkan rasa sakit. Pemicu permainan ini bisa saja dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap kubu lawan, sehingga permainan tersebut tidak bisa dinilai sebagai cabang olahraga yang bersaing dengan sehat.
86
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
kebijakan multikulturalisme dengan baik. Klub ini tidak hanya menerima kelompok minoritas, tetapi juga merangkul kaum homoseksual, sehingga hal ini pula yang dilihat oleh peneliti sebagai sebuah sindiran terhadap negara Amerika yang multikultural, namun masih belum secara maksimal menerapkan kebijakan tersebut, terutama yang menyangkut homoseksualitas. Sangatlah penting bagi kelompok homoseksual untuk memperoleh jaminan bahwa mereka diterima, diakui, dan dilindungi sepenuhnya sebagai warga negara dan bukan sebagai warga kelas dua. Dialog antara Finn dan Santana di bawah ini mewakili kondisi yang telah diuraikan di atas, yaitu bahwa klub Glee tidak memandang siapapun yang masuk menjadi anggotanya sebagai warga kelas dua. FINN: Glee‟s about learning how to accept yourself for who you are, no matter what other people think, and that‟s the what this music is all about.59 SANTANA: So wait, I don‟t even get a say in this? Not cool. FINN: Everybody in this room knows about you, and we don‟t judge you for it, we celebrate it because it‟s who you are. Look, I know not everybody outside of this room is as accepting and cool, but we‟re doing this assignment this week so that you know in this rotten, stinkin‟ mean world that we live in, you at least have a group of people who will support your choice to be whoever you wanna be, that‟s it. (Glee 3, episode 7)
Pernah disinggung sebelumnya bahwa menjadi diri sendiri bagi seorang homoseksual merupakan perkara yang tidak mudah karena harus berhadapan dengan berbagai macam konsekuensi yang sebagian besar berseberangan dengan nilai-nilai yang diyakininya. Tidak dipungkiri kecaman, hinaan, hujatan, dan kekerasan akan selalu diterima oleh mereka selama wacana mengenai kebenaran aturan heteroseksual diproduksi terus menerus tanpa dibarengi sikap yang jelas terhadap keragaman seksual, sebagaimana dikemukakan oleh Ariyanto dalam penelitiannya.60 Jika dikaitkan dengan konsep seksualitas Foucault „kebenaran‟ aturan heteroseksual diproduksi dengan tujuan pendisiplinan terhadap berbagai penyimpangan seksualitas agar tidak melanggar dengan cara menjaga dan menghukum, sehingga lahirlah berbagai macam bentuk kekerasan tersebut. Oleh karena itu, perlu suatu pengertian yang mendalam bahwa adanya hak-hak kelompok minoritas yang diakui dan pendewasaan pola pikir terhadap kelompok 59
Tema lagu yang ditugasi untuk klub Glee di episode tersebut adalah membawakan lagu yang bertemakan perempuan (Ladies for ladies) sebagai apresiasi untuk keberanian Santana menerima identitas seksualitasnya. 60 Lihat tinjauan literatur di bab 1.
87
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
homoseksual khususnya akan sangat membantu mengurangi segala bentuk penindasan dan kekerasan. Setelah proses coming out, Santana mendapat perlakuan kurang baik di lingkungan sekolahnya, dan juga dari neneknya. Apa yang telah diperbuat Santana diasumsikan sebagai suatu pilihan yang telah ia buat, sehingga dianggap mudah untuk dibuat „normal‟ kembali, begitu pula neneknya yang lebih mementingkan pendapat banyak orang sehingga tidak mau lagi mengakui keberadaan cucunya (Glee 3, episode 7). Adegan antara Santana dan lingkungan sekolahnya, serta Santana dan neneknya, mencerminkan bahwa seseorang menjadi homoseksual masih dilihat dari satu sisi, yaitu sebagai suatu pilihan yang dibuat dan bukan kondisi yang terjadi karena banyak faktor. Lingkungan sekolahnya serta neneknya, bila meninjau konsep seksualitas Foucault, telah bertindak sebagai instansi aturan dan kesatuan perangkat (agen) yang membuat aturan dan menerapkannya sebagai bentuk larangan terhadap „pilihan homoseksual‟. Perlu adanya pemahaman bahwa tidak ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab seseorang menjadi homoseksual, meskipun telah lahir berbagai macam persepsi dan teori yang berasal dari sejumlah penelitian, sehingga boleh dibilang bahwa yang sangat dibutuhkan pada tahap ini adalah sikap dan pola pikir yang terbuka. Tokoh baru anggota klub Glee muncul pada episode 4, Pot o‟ Gold, yang bernama Rory Flanigan asal Irlandia yang datang untuk bersekolah di Amerika. Ia dikira Leprechaun oleh Brittany, tetapi menurut olok-olok Santana, Leprachaun tidak lebih dari sekelompok gay yang pekerjaannya membetulkan hak sepatu dan memenuhi tiga permintaan. Ucapan tokoh Santana memperlihatkan bahwa gay masih dilihat dari satu sudut, yaitu sebagai „laki-laki yang tidak maskulin‟ karena bekerja membetulkan sepatu, yang jelas bertentangan dengan teori Connell. Rory juga sering di bully karena logat Irlandianya yang dianggap aneh oleh siswa McKinley High, sehingga tidak seorang pun yang mau berteman dengannya, dan ketika ia berkenalan dengan Finn dan memintanya menjadi temannya, Finn merasa aneh karena tidak umum bagi seorang laki-laki meminta laki-laki lain jadi temannya. Bisa dipahami bahwa homoseksualitas merupakan isu besar bagi kaum laki-laki heteroseksual di Amerika karena hubungan antara laki-laki dengan laki-laki dinilai sebagai hubungan yang tidak umum walaupun bukan dalam konteks homoseksual. Bahkan hal sederhana seperti meminta seorang laki-laki menjadi teman
88
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dianggap sudah mengarah pada hubungan homoseksual. Dengan kata lain, kekhawatiran laki-laki heteroseksual terhadap label gay merupakan sebuah kondisi kultural di Amerika. Pada episode 5, The First Time, digambarkan tokoh Kurt, yang merasa tidak cukup sensual untuk menarik perhatian kekasihnya, Blaine, sehingga ia merasa satu-satunya cara untuk menarik perhatiannya adalah dengan melakukan hubungan seksual. Mengamati judulnya dan isu seksualitas yang disorot secara visual, dapat disimpulkan bahwa yang ingin ditekankan disini adalah tentang kegiatan hubungan seksual. Dalam konteks remaja di Amerika, virginity bukan suatu hal yang harus dipertahankan sampai waktunya menikah, namun lebih pada waktu yang paling tepat untuk melakukannya, dan bila sudah memasuki usia remaja dewasa, hubungan seksual menjadi sah untuk dilakukan. Ini merupakan sebuah tanda yang bersifat kultural karena bergantung pada iklim norma-norma yang berlaku di satu tempat, walaupun di Amerika sendiri banyak juga seruan bahwa hubungan seksual lebih baik dilakukan setelah menikah terlebih dahulu, tetapi pada umumnya tidak selalu demikian. Sederhananya, menurut aturan heteronormativitas yang berlaku adalah bahwa hubungan seksual yang baik, sah, dan benar itu dilakukan antara laki-laki dan perempuan dewasa, baik dewasa secara fisik maupun psikis. Namun pada episode ini, disajikan lain, yakni hubungan seksual yang baik dan benar adalah dilakukan antara sepasang individu dewasa tanpa harus menyebut jenis kelamin tertentu secara spesifik, yang berarti baik homoseksual maupun heteroseksual boleh melakukannya kalau sudah cukup umur. Inilah yang ditampilkan secara visual pada episode The First Time melalui adegan intim antara tokoh Blaine dan Kurt.61 Di satu sisi, adegan yang dipertontonkan tersebut telah melanggar kebenaran heteronormativitas yang menyatakan hubungan seksual yang sah adalah antar lawan jenis, namun di sisi lain, dalam hal tayang, hubungan antar sesama jenis masih tersangkut regulasi penyiaran yang melarang ditayangkannya hubungan sesama jenis secara vulgar, sehingga pelanggaran terhadap regulasi penyiaran tidak mungkin dilanggar. Hal ini yang disebut oleh Foucault sebagai logika
sensor,
yaitu
logika
kekuasaan
atas
seks
untuk
menabukannya
atau
menghilangkannya. Logika kekuasaan atas seks ini terkait dengan isu seksualitas dalam media TV yang masih di bawah pengaturan komisi penyiaran, yang berarti bahwa isu seksualitas boleh ditayangkan, tetapi tidak boleh melampaui batasan-batasan yang telah ditentukan atau dengan kata lain, harus melalui sensor. Maka dari itu, adegan hubungan 61
Adegan yang ditampilkan tidak vulgar, namun cukup jelas untuk menerangkan hubungan yang terjadi antara kedua tokoh homoseksual tersebut adalah hubungan seksual.
89
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
seksual antar sesama jenis hanya bisa ditampilkan secara simbolis dan membiarkan penonton menginterpretasikannya sendiri. Episode 8, Hold on to sixteen, dan episode 9, Extraordinary Christmas, tidak banyak mengangkat seksualitas pada adegan-adegannya, kecuali sisipan kata „gay‟ yang disisipkan pada ucapan Santana, yaitu „Little gay elf dentist‟ dan sebutan tokoh Sue pada tokoh Blaine, yang ia sebut „other gay‟. Episode 8 juga mengisahkan kembalinya tokoh Sam ke McKinley High setelah sempat pindah mengikuti orang tuanya ke Kentucky. Sam diminta kembali ke Mckinley High setelah dibujuk oleh Finn dan Rachel sehubungan dengan perlunya penambahan anggota klub untuk mengikuti kejuaraan sectionals. Sebelum kembali ke McKinley High, Sam bekerja sebagai penari „striptease‟ laki-laki di sebuah bar khusus perempuan, dan ia ingin menggunakan kepiawaiannya yang mengarah ke gerakan sensual tersebut untuk memenangkan sectionals. Sensualitas dianggap lebih menjual oleh Sam namun ditentang keras oleh Blaine, yang merasa tidak nyaman dengan gerakan tersebut karena dinilai terlalu „murahan‟. Meninjau adegan ini, penolakan tokoh Blaine yang gay terhadap gerakan sensual menjadi persoalan tersendiri bagi homoseksual karena menjadi homoseksual bukan berarti harus sensual. Tokoh Sam yang diceritakan menari di sebuah bar perempuan pun secara implisit ditangkap oleh peneliti sebagai sebuah kontradiksi. Biasanya perempuan di media TV selalu direpresentasikan sebagai tokoh yang menampilkan sensualitas dan menjadi objek tontonan laki-laki, tetapi disini justru sebaliknya, yaitu laki-laki yang malah ditampilkan sensual dan menjadi objek tontonan perempuan. Episode 10, yaitu Yes or No, terlihat seperti sebuah peralihan sementara dari isu seksualitas yang memang menjadi sorotan utama serial TV ini karena yang disajikan adalah cerita tentang tokoh Mr. Schuester, yang ingin melamar Ms. Pilsbury, namun yang mendapat perhatian dalam episode ini tetap para siswa klub Glee, yang dengan segala kekurangannya mampu menyalurkan kekurangan tersebut menjadi sesuatu yang sangat positif. Dengan kata lain, klub ini tidak hanya dilihat sebagai representasi tempat yang mewadahi dan menghargai perbedaan, tetapi juga tempat yang mampu membawa perubahan terhadap pola pikir yang bersifat narrow minded melalui lagu-lagu yang dibawakannya sebagai sebuah saluran untuk menyampaikan suatu pesan. Istilah lainnya, klub Glee direpresentasikan sebagai penyelamat kelompok minoritas dari ketertindasan.
90
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Selanjutnya, pada episode 11 yang berjudul Michael, bisa dilihat dari judulnya bahwa yang menjadi ikon pada episode ini adalah penyanyi legendaris Michael Jackson (MJ). Apabila ditinjau lebih jauh, hubungannya dengan Glee club adalah „keunikan‟ yang dimiliki MJ, seperti gaya berpakaiannya, kehidupannya, termasuk operasi plastik yang sering dilakukannya, dapat dikatakan outside the box dan bisa dikategorikan outsider. MJ juga semasa hidupnya menyerukan soal anti-kekerasan melalui beberapa lagunya sebagaimana yang diperjuangkan Kurt, dan teman-teman klubnya. Ironi menarik yang justru terjadi pada episode ini adalah anti kekerasan yang menjadi simbol Glee hampir goyah karena peristiwa yang dialami tokoh Blaine ketika Blaine dan teman-teman klubnya mengadakan adu tari dengan pihak Dalton Academy di sebuah basement yang gayanya mengadaptasi gaya MJ di video klip lagu Bad. Tokoh baru dari Dalton Academy yang bernama Sabastian Smythe melempar slushie ke wajah Blaine, yang sebenarnya ditujukan untuk Kurt karena rasa cemburu. Kecemburuan Sabastian sudah dimulai sejak episode 5, yaitu The First Time, ketika kali pertama berkenalan dengan Blaine, yang telah memiliki pacar Kurt. Para siswa Glee hendak melakukan aksi balas dendam akibat kelakuan Sabastian terhadap Blaine, namun dicegah oleh Mr. Schuester yang mengingatkan tentang anti-kekerasan yang selalu mereka junjung tinggi. Pada prinsipnya, pertikaian antara tokoh Sabastian dengan klub Glee adalah konflik antar tiga individu homoseksual yang wajar dan bisa terjadi juga pada heteroseksual bila menyangkut masalah cinta. Jadi, peneliti menangkap bahwa makna yang ingin disampaikan melalui representasi ini adalah sebuah konflik yang biasa terjadi di kalangan remaja tanpa harus memandang seksualitas. Jadi, homoseksual atau tidak, mereka tetaplah remaja seperti remaja pada umumnya. Akhirnya, aksi balas dendam tidak jadi dilancarkan melalui kekerasan karena bertolak belakang dengan prinsip anti kekerasan yang dikampanyekan oleh Kurt. Lalu, pada episode ini pun, diceritakan juga tentang Kurt, yang bercita-cita melanjutkan kuliah di New York. Ia mengajukan permohonan sebagai finalis NYADA (New York Academy for Dramatic Arts), dan hasilnya ia diterima sebagai finalis tersebut melalui surat yang dikirimkan padanya. Ayahnya merasa sangat bangga pada pencapaian anaknya tersebut setelah apa yang dialaminya selama ini (Glee 3, episode 11). Gambaran ini menunjukkan bahwa menjadi individu dengan orientasi seksualitas yang berbeda bukan penghalang untuk tetap menjalankan hidup sebagaimana mestinya. Seorang homoseksual ataupun heteroseksual pada prinsipnya sama-sama mampu untuk meraih kesuksesan
91
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
karena kesuksesan tersebut bukan ditentukan oleh orientasi seksual melainkan kualitas individu itu sendiri. Bila dicermati lebih jauh, segala macam label negatif yang ditujukan kepada homoseksual pada dasarnya adalah pelabelan sepihak akibat dari wacana heteronormativitas yang diproduksi terus menerus tentang homoseksual yang selalu dinilai berdasarkan penyimpangan seksualitasnya. Homoseksualitas tidak terlalu diangkat pada episode 12, yakni The Spanish Teacher, tetapi menariknya disini adalah dihadirkan bintang tamu Ricky Martin yang berperan sebagai guru bahasa Spanyol bernama David Martinez. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Ricky Martin adalah seorang homoseksual di kehidupan nyata yang telah melakukan proses coming out pada 2010. Kehadirannya pada episode ini ditangkap sebagai sebuah ikon yang menginspirasi homoseksual lainnya yang masih menyembunyikan identitasnya agar memiliki kekuatan untuk come out.62 Selain itu, candaan tokoh Puck yang mengatakan bahwa laki-laki heteroseksual yang senang membersihkan alat reproduksinya berarti adalah seorang gay juga terdapat pada episode ini. Candaan tersebut, apabila ditinjau lebih jauh, mengandung makna bahwa seorang laki-laki „sejati‟ tidak akan terlalu memusingkan kebersihan karena biasanya yang menaruh perhatian lebih pada kebersihan adalah kaum perempuan, dan gay selama ini dilihat sebagai laki-laki „feminin‟ sehingga tidak dianggap sebagai laki-laki „sejati‟. Kembali lagi dikaitkan dengan teori Connell bahwa laki-laki harus dilihat sebagai individu yang memiliki karakter beragam dan tidak bisa dengan begitu saja menilai laki-laki dengan karakter feminin itu bukan lakilaki. Selanjutnya, pada episode 13 yang berjudul Heart, dua ayah tokoh Rachel yang gay dihadirkan dalam rangka memberikan ucapan selamat kepada anaknya yang berencana menikahi Finn. Melalui representasi tersebut, episode ini ingin membangun persepsi bahwa orang tua homoseksual tidak berbeda dari orang tua heteroseksual bila menyangkut soal perhatian kepada anak. Selain itu, persepsi yang juga ingin dibangun adalah bahwa dua orang ayah homoseksual
mampu membesarkan anak perempuan tanpa adanya figur
seorang ibu. Di samping itu, pada episode ini juga diperlihatkan hubungan antara tokoh Santana dan Brittany yang semakin intim, yang ditunjukkan dengan ciuman yang mereka lakukan di publik sekolah, namun kelakuan mereka dipergoki Mr. Figgins, kepala sekolah McKinley High. Mr. Figgins disajikan sebagai tokoh yang cukup liberal, tetapi karena
62
“Ricky Martin finally came out to the world as a “fortunate homosexual man”. Ia juga mengatakan kelegaannya menjadi diri sendiri, yaitu “I am blessed to be who I am.” Semigran, Aly. (2010).
92
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
keluhan siswanya, ia meminta agar Santana dan Brittany tidak melakukannya di depan umum, khususnya di lingkungan sekolah. Mr. FIGGINS: Teen lesbians! I must see you in my office right now! SANTANA: This is such bull crap! Why can‟t Brittany and I kiss in public? „Cause we‟re two girls? Mr. FIGGINS: Please don‟t make this about your sapphic orientation. This is about Public Displays of Affection. PDA simply has no place in the sacred halls of McKinlley High. We‟ve had complaints. SANTANA: About us? When? Mr. FIGGINS: Most recently, yesterday, 12:16 pm. SANTANA: Oh that? Our lips barely even grazed and by the way, did you get any complaints about that hideous display that started at 12:17 pm? And lasted for several uncomfortabale minutes?63 Mr. FIGGINS: Believe me, I‟d rather see you and Santana kiss than that so-called Finchel, but if a student files a complaint for a religious reasons... SANTANA: Oh, great! So it was some Bible thumper that complained. Mr. FIGGINS: Ms. Lopez, I‟m sorry, but I‟m trying to keep this school from turning into a voltile powder keg. SANTANA: I‟m sorry too, „cause all I want is to be able to kiss my girlfriend, but I guess no one can see that because there‟s such an insane double standard at this school. You should be able to love whoever you want. (Glee 3, episode 13) Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bab 1 bahwa, selama ini, agama diyakini sebagai tolak ukur untuk mengukur moralitas seseorang, sehingga jika terjadi penyimpangan moral berarti religiusitas seseorang dinilai rendah, dan menjadi homoseksual termasuk salah satu dari penyimpangan moral tersebut. Disiniliah letak kuatnya sebuah relasi kuasa dalam memproduski wacana homoseksual melalui kata „agama‟, karena agama dengan jelas melarang hubungan sejenis. Bahkan dalam penelitian Ruth Sih Kinanti, disebutkan bahwa agama (dan AIDS) selalu dijadikan alat politik untuk mereprsentasikan homoseksualitas.64 Akan tetapi, berbeda dengan itu, serial TV ini ingin menyajikan sesuatu yang justru kontradiktif terhadap persepsi yang telah dibangun selama ini tentang homoseksual melalui kacamata agama. Dalam episode Heart ini, diceritakan beberapa siswa dari klub Glee (Mercedes, Quinn, dan Sam) bergabung dengan kelompok yang disebut dengan The God Squad yang misinya adalah menyanyi berdasarkan 63 64
Yang dimaksud disini adalah ciuman yang dilakukan antara Finn dan Rachel. Lihat bab 1, pada bagian tinjauan literatur.
93
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
permohonan dari pemohon dengan cukup membayar sepuluh dollar. Salah satu tokoh yang tergabung dalam kelompok ini adalah tokoh baru yang baru dimunculkan pada episode ini yang bernama Joe. Tokoh Joe disini digambarkan sangat religius, bahkan dapat dikatakan seorang Kristen yang taat. Saking taatnya, tokoh Joe disebut oleh teman-temannya dengan sebutan teen Jesus. Saat Santana meminta The God Squad menyanyikan lagu untuk kekasihnya, Brittany, Joe tampak bingung karena yang biasa memesan lagu dari kelompok ini adalah pasangan heteroseksual. Permohonan Santana akhirnya didiskusikan oleh mereka dalam forum tertutup (Glee 3, episode 13). Twist seperti ini hanya bisa ditemukan dalam tayangan TV karena fakta-fakta sosial yang disajikan seluruhnya bersifat representasi dari sebuah wacana yang ingin dibangun melalui TV sebagai teks sosial. Belum tentu dalam realitas, seseorang setaat tokoh Joe akan mempertimbangkan dan memutuskan satu hal yang sedemikian kompleks, seperti homoseksualitas, dengan mudah karena bagaimanapun, agama, jika dikaitkan dengan homoseksual, merupakan hubungan yang sangat pelik. Meskipun demikian, yang harus dilihat disini adalah kontradiksi makna homoseksualitas dalam sudut pandang agama yang dipersepsikan berbeda, dan ini tercermin pada baris dialog tokoh Quinn, yang mengatakan “Jesus never said anything about gay people. That‟s a fact” (Glee 3, episode 13). Dengan menyebut kata „Jesus‟ dalam dialog tersebut, terlihat semacam pembenaran bahwa menjadi gay tidak dipermasalahkan oleh agama, sehingga melalui episode ini, diharapkan agar penganut ajaran nasrani lebih membuka pikiran terhadap kaum homoseksual. Ini pula yang disebut Foucault sebagai formasi diskursus/wacana, yaitu suatu pemikiran dan perilaku yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini, para tokoh dalam film tersebut, dapat mempengaruhi kehidupan sosial, dengan kata lain bahwa pemikiran dan perilaku tersebut adalah pengetahuan yang melahirkan wacana baru tentang wacana homoseksualitas dalam konteks agama. Pada season tiga ini, para tokoh homoseksual disajikan sudah tidak lagi takut untuk mengekspresikan keberadaan dirinya sebagai individu, bahkan tokoh Karofsky yang telah sadar akan perbuatannya pada Kurt mengekspresikan rasa sukanya kepada Kurt, yang kemudian ditolak karena Kurt telah bersama Blaine. Namun Kurt menjanjikan sebuah persahabatan yang baik pada Karofsky. Dikisahkan, sejak orientasi seksual Karofsky mulai diketahui, ia memutuskan untuk pindah dari McKinley High ke sekolah lain. Karofsky menyatakan rasa sukanya pada Kurt di sebuah restoran pada hari Valentine, yang tanpa disadari terlihat oleh salah satu temannya di tempat ia bersekolah. Walaupun Karofsky dan
94
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Kurt menyangkal, tampaknya hal itu dimaknai berbeda oleh teman Karofsky tersebut. Dalam kasus ini, khususnya bagi pasangan homoseksual, terlihat berdua di publik justru semakin menambah tekanan yang harus mereka hadapi untuk tetap lay low agar tidak mendapatkan „sanksi sosial‟. Terkait dengan episode sebelumnya, pada episode 14, On My Way, tokoh Karofsky, yang terpergok oleh temannya berdua dengan Kurt, mendapat perlakuan yang tidak baik oleh teman-teman sekolahnya. Ia mendapati lokernya penuh dengan tulisan Fag, dan homo, bahkan tertulis juga di dunia maya melalui akun Twitter dan Facebook nya. Perasaan tertekan dan tertindas yang amat sangat menyebabkan Karofsky berniat mengakhiri hidupnya dengan menggantung dirinya di kamar tidurnya, namun beruntung nyawanya masih bisa tertolong oleh ayahnya yang tiba tepat waktu, dan iapun dirawat di rumah sakit. Hal ini merupakan representasi dari apa yang mungkin bisa terjadi pada homoseksual, khususnya homoseksual remaja, akibat di bully karena seksualitasnya. Tingkat kematangan psikologis seorang remaja yang masih tergolong labil menyebabkan keputusan untuk bunuh diri dirasakan sebagai sebuah alternatif yang paling tepat. Tidak hanya menjadi korban bullying di sekolah, remaja homoseksual juga mendapatkan perlakuan yang sama dari anggota keluarganya yang tidak mau membuka pikiran untuk mau memahami seksualitas mereka. Keadaan ini tercermin dalam dialog antara Karofsky dan Kurt di rumah sakit ketika Kurt datang untuk menjenguknya. Adegan ini juga menampilkan kembali citra positif homoseksual yang menaruh kepedulian yang sangat tinggi terhadap sesamanya tanpa perasaan dendam walaupun Kurt pernah di bully oleh Karofsky. KAROFSKY: ... and the same thing happen to me, I couldn‟t even take it for a week. My best friend telling me he doesn‟t want to talk to me again, my mom telling me I have a desease and maybe I can be cured. I don‟t know what to do, I can‟t go back to that school. KURT: Then go to another school. I‟m not going to lie to you, it‟s not going to be easy, and there‟ll be some days when life just sucks. (Glee 3, episode 14)
Usaha bunuh diri Karofsky menggemparkan seluruh warga McKinley High karena Karofsky pernah mengenyam pendidikan di sana sebelum pindah, dan secara implisit kasus ini merupakan tamparan keras bagi pihak McKinley High yang selama ini sedikit „menutup mata‟ pada isu homoseksualitas di kalangan remaja. Kontribusi amal yang dilakukan oleh
95
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
siswa-siswa Dalton Academy untuk Lady Gaga‟s Born This Way Foundation juga ditampilkan pada episode ini yang ditangkap sebagai seruan keras terhadap kekerasan atau bullying terhadap homoseksual. Berkaca pada representasi tersebut di atas, homoseksual dan bullying di kalangan remaja sekolah bukan hanya merupakan pekerjaan rumah bagi pihak sekolah, melainkan juga bagi pihak keluarga dan pihak-pihak terkait lainnya, terutama para orang tua yang memiliki anak-anak remaja yang homoseksual. Berkaca pada kondisi ini pula, sesuai dengan usul yang diajukan dalam penelitian Ariyanto, yakni membangun aturan yang mengedepankan keragaman seksualitas sepatutnya dijadikan pertimbangan agar tidak terjadi penindasan sepihak oleh heteronormativitas. Sama halnya dengan episode 12, episode 15, The Big Brother, juga tidak terlalu mengangkat seksualitas karena pada episode ini yang diceritakan adalah kedatangan kakak Blaine, seorang bintang iklan, ke McKinley High untuk mengajarkan seni acting. Namun seperti hampir di setiap episode yang disajikan, selalu ada kata „gay‟ yang dilontarkan oleh para tokoh sentral serial TV ini, yakni seperti ucapan pembukaan “Ladies and Gays” yang dilontarkan oleh tokoh Sue Sylvester ketika memperkenalkan kakak Blaine kepada seluruh anggota klub Glee. Lalu pada episode 16, Saturday Night Glee-ver, tokoh Puck mengatakan, “two dudes in one bed, it‟s like confirmed gay”. Pada episode 16, juga disinggung mengenai harapan marriage equality bagi kelompok homoseksual. Selain itu, meskipun sepintas, dihadirkan pula tokoh laki-laki yang ingin bertransformasi menjadi perempuan atau trans seksual, yang bernama Wayde a.k.a Unique dari Carmel High, yang tergabung dalam klub paduan suara Vocal Adrenalin. Ia akan berpenampilan seperti perempuan kalau sudah bernyanyi di atas panggung dengan mengenakan rok dan sepatu berhak tinggi. Dapat dikatakan bahwa dihadirkannya tokoh trans seksual dalam serial TV ini adalah untuk menekankan perbedaan antara homoseksual dan trans seksual yang barangkali kerap diartikan sama. Tokoh Wayde atau Unique datang ke McKinley High untuk meminta saran dari Kurt dan Mercedes tentang busana yang harus ia kenakan pada saat kompetisi, apakah sebagai laki-laki atau perempuan, walaupun hatinya lebih memilih sebagai perempuan. Berhubung The New Direction ingin menjatuhkan Vocal Adrenalin, Kurt dan Mercedes menyarankan Wayde agar tampil sebagai perempuan, dan atas usul Sue Sylvester, Wayde diminta mengenakan sepatu berhak tinggi sebagai strategi mereka untuk menjatuhkan Vocal Adrenalin. Wayde adalah lead vocal kelompok Vocal Adrenalin, sehingga Vocal Adrenalin diharapkan kalah apabila Wayde mengenakan sepatu berhak
96
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
tersebut. Kurt dan Mercedes pada akhirnya menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah salah dan berniat membujuk Wayde untuk tetap berpenampilan laki-laki, namun Wayde justru menerima saran pertama mereka untuk tampil sebagai perempuan dan mengenakan sepatu tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti, perbedaan antara homoseksual dan trans seksual secara visual pada tokoh Kurt dan Wayde adalah terletak pada cara mereka memandang dirinya sendiri. Seorang homoseksual tidak mengubah penampilan luarnya menjadi laki-laki atau perempuan, meskipun secara psikologis dan dari segi karakter, homoseksual (gay) terbagi ke dalam gay yang maskulin dan feminin, sementara seorang transeksual mengubah penampilan luarnya, bahkan bila memungkinkan, mengubah jenis kelaminnya, karena merasa terlahir dengan jenis kelamin yang salah. Contohnya adalah tokoh Wayde tersebut, yang memiliki sifat-sifat dan jiwa seorang perempuan tetapi terperangkap dalam tubuh laki-laki, begitupun sebaliknya. Pada dua episode berikutnya, yaitu episode 17, Dance with somebody, merupakan episode a tribute to Whitney Houston dalam rangka mengenang almarhumah Whitney Houston setelah kematian tragis yang menimpanya, meskipun tetap disajikan persoalan homoseksual seputar tokoh Kurt dan Blaine. Lalu pada episode 18, Choke, diceritakan sebelumnya tentang tokoh Kurt, yang diterima sebagai finalis untuk masuk NYADA, dan episode ini, merupakan sambungan dari cerita sebelumnya, yaitu tentang audisinya yang dilakukan bersama dengan tokoh Rachel. Audisi Kurt berjalan dengan baik, sedangkan Rachel tidak. Di tengah-tengah audisi, ia lupa sebagian lirik lagunya, sehingga bisa dilihat melalui adegan ini bahwa homoseksual direpresentasikan unggul sementara heteroseksual tidak. Episode ini juga sedikit menyinggung lagi isu perempuan dalam kaitannya dengan kekerasan di rumah tangga yang direpresentasikan oleh tokoh Beiste, yang mengalami kekerasan fisik oleh suaminya. Secara implisit, episode ini menyerukan stop kekerasan dalam rumah tangga oleh pihak laki-laki dan sekaligus mengingatkan bahwa homoseksualitas dan perempuan mewakili isu kelompok minoritas yang kerap menjadi korban kekerasan. Pada episode 19, Prom-asaurus, dikisahkan pesta prom terakhir para siswa McKinley High, khususnya bagi siswa senior yang tergabung dalam klub Glee, seperti tokoh Rachel, Finn, Kurt, Santana, Quinn, dan Puck. Akan tetapi, yang menarik dari episode ini adalah kekasih Santana, yakni Brittany, menobatkan dirinya sebagai Prom King, tetapi tidak memperoleh satu vote pun karena ia dilihat sebagai perempuan, sehingga ia dianggap tidak layak mendapat gelar Prom King, meskipun dalam hal ini, sebagai
97
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
seorang lesbian, ia memposisikan dirinya sebagai „laki-laki‟. Berdasarkan gambaran ini, bisa dikatakan bahwa, bagaimanapun seorang homoseksual memposisikan dirinya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetap dilihat berdasarkan jenis kelaminnya dan bukan posisinya. Episode 20, yaitu Props, merupakan sambungan dari isu yang dikemukakan pada episode 16, yakni Kurt diminta oleh Sue Sylvester untuk mau berpenampilan seperti Wayde karena, dengan penampilan „perempuan‟ tersebut, Vocal Adrenalin berhasil memenangkan kompetisi. Menurut Sue, apa yang dilakukan Wayde dianggap sebagai the unique factor. Kurt dengan tegas menolak usul tersebut karena ia menyadari sepenuhnya tentang dirinya sendiri, yakni bahwa menjadi gay tidak perlu mengubah penampilan. Kurt mengatakan,“Being gay doesn‟t mean you cross dress”. (Glee 3, episode 20). Hal ini juga ikut menegaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan sebagai laki-laki feminin, dan menjadi bagian dari klub Glee yang terdiri dari beragam perbedaan itulah yang dinilai sebagai the unique factor. Pada episode 21, Nationals, untuk kedua kalinya kelompok paduan suara klub Glee, The New Direction, mengikuti lomba paduan suara tingkat nasional dan akhirnya berhasil memenangkan kejuaraan tersebut dengan menempati posisi pertama, mengalahkan juara bertahan Vocal Adrenalin. Terlihat memang ini yang dikehendaki sebelum season finale, yaitu kemenangan klub Glee pada season terakhir dari seluruh rangkaian episode yang disajikan sejak season pertama. Ditampilkan disini, setelah memenangkan lomba tingkat nasional tersebut, para anggota klub Glee akhirnya mendapatkan penghormatan dan penghargaan dari lingkungan sekolahnya yang selama ini memandang mereka tidak lain hanya siswa minoritas yang tergabung dalam klub dengan label „homo‟ dan identik dengan pecundang. Pencapaian ini merupakan kesuksesan besar bagi siswa klub Glee tersebut karena, selain piala kemenangan, penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan mereka pun mampu mereka peroleh melalui perjuangan panjang. Dengan kata lain, serial TV ini menyampaikan bahwa segala sesuatu sangat mungkin untuk dicapai oleh siapapun, apapun statusnya, baik homoseksual, perempuan, etnis minoritas, ras kulit hitam maupun penyandang cacat. Pada episode terakhir dari season tiga dan juga dari seluruh season, yaitu episode 22, dengan judul Good bye, merupakan cerita kelulusan para tokoh siswa senior Glee, yang
98
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
dimulai dengan tokoh Kurt yang bercerita tentang pengalamannya sejak pertama masuk McKinley High hingga lulus. KURT: When I first got to McKinley, I was afraid to make eye contact. I didn‟t talk about my politics, I didn‟t share what was in my heart. I was in the closet and those days I was tossed into the dumpster, but McKinley has made me stronger, the most socially conscious fashion forward peson, and perhaps I have played some small parts for making it possible for tadpole gays in Lima to be themselves in public, not a bad legacy for a person who pretends to be in lust with Rachel Berry so he wouldn‟t have to date Mercedes Jones. (Glee 3, episode 22)
Dialog Kurt di atas merepresentasikan proses seorang remaja homoseksual dalam mencari kekuatan untuk terbuka dengan seksualitasnya dan karakternya meskipun harus berhadapan dengan konsekuensi berada di lingkungan heteroseksual, yaitu berupa penindasan. Namun, perjalanan panjang yang dialaminya sebagai seorang remaja homoseksual di sekolah tersebut justru membentuk dirinya sebagai pribadi yang tangguh dan mampu memberikan inspirasi bagi siapapun yang berada di posisi yang sama dengan dirinya. Tokoh Kurt tidak hanya membawa citra positif bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi lingkungan sekolahnya. Ketika mengungkapkan hal ini, diperlihatkan kondisi McKinley High yang lebih kondusif, dan diperlihatkan pula sepasang remaja homoseksual junior yang sedang berjalan melintasi koridor sekolah tanpa harus merasa takut di bully seperti yang dialami Kurt sebelumnya. Situasi sekolah yang aman seperti ini juga peneliti tangkap sebagai sindiran dan seruan kepada sekolah- sekolah agar mampu menciptakan hal yang sama, terutama agar lebih memperhatikan siswa-siswa yang tergolong minoritas. Kurt juga menyatakan terima kasihnya kepada seluruh teman-temannya di klub Glee, terutama Mr. Schuester dan teman-temannya yang laki-laki karena telah menerima keberadaan dirinya dengan baik tanpa memandang seksualitasnya. KURT: I want to mostly thank the men in the room who have truly inspired me, who never saw me for the things that made us different, you only saw me for the ways it was the same. Because in this room, it doesn‟t matter if you‟re gay or straight, what matters is that we‟re friends. (Glee 3, episode 22)
99
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Bagi perempuan, barangkali tidak akan terlalu sulit jika menjalin persahabatan dengan laki-laki homoseksual karena perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak akan mengundang prasangka-prasangka buruk di masyarakat yang sebagian besar kontra dengan homoseksual. Oleh karena itu, Kurt, lebih mengkhususkan rasa terimakasihnya kepada teman-temannya yang laki-laki. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi laki-laki heteroseksual untuk mau berteman dengan laki-laki homoseksual karena kekhawatiran yang irasional terhadap label gay. Akan tetapi, berbeda dengan para laki-laki yang berada di klub Glee yang justru sangat terbuka dalam menerima dan memahami seksualitasnya, sehingga boleh dikatakan bahwa keberadaan Kurt di klub Glee membuka cara pandang mereka terhadap homoseksual. Bagaimanapun juga, yang ingin ditekankan di sini adalah lingkungan sekolah memang sepatutnya menjadi tempat terjalinnya hubungan pertemanan yang baik tanpa harus mempermasalahkan perbedaan. Singkat cerita, seluruh tokoh yang lulus berakhir dengan akhir yang baik dan memiliki tujuan untuk melanjutkan hidup ke level berikutnya. Secara garis besar, serial TV Glee menunjukkan adanya hubungan kekuasaan yang terjadi dalam konteks remaja dan lingkungan sekolah di Amerika dalam kaitannya dengan homoseksual dan kelompok minoritas. Dapat dikatakan demikian karena cara kerja dari representasi yang terlihat dalam setiap episodenya adalah menentang aturan-aturan yang bersifat menindas akibat hubungan kekuasaan yang telah mendominasi kehidupan manusia sehari-hari, terutama mengenai seksualitas dan karakter yang diatur agar tidak melanggar hukum. Seperti yang dinyatakan oleh Foucault, bahwa seksualitas ditempatkan dalam hukum di bawah sistem biner, yaitu benar-salah, halal-haram, boleh-terlarang, positifnegatif, yang diperjelas ke dalam bentuk aturan yang disebut dengan heteronormativitas tersebut, begitu pula dengan maskulinitas dan feminitas pada homoseksual. Sistem biner telah mengakibatkan lahirnya tindakan kekerasan atau penindasan di lingkungan sekolah dalam bentuk bullying terhadap kelompok minoritas, khususnya siswa homoseksual, yang sangat gencar diserukan dalam serial TV ini. Peran TV sebagai teks sosial juga merupakan aspek yang tidak bisa diabaikan dalam mengonstruksikan realitas, sehingga TV memiliki kekuatan yang mampu membangun kesadaran dan membentuk persepsi terhadap suatu isu melalui elemen verbal dan non-verbal dalam tayangan-tayangannya. Serial TV Glee sendiri termasuk ke dalam salah satu tayangan yang telah memproduksi makna tentang homoseksualitas melalui
100
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
representasi homoseksual pada setiap season nya sehingga terbangunlah wacana tentang isu tersebut, yang secara tidak langsung membentuk kembali kesadaran dan persepsi kita tentang homoseksual.
101
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
BAB 5 KESIMPULAN
Diangkatnya homoseksualitas ke permukaan melalui film bertujuan untuk membangun kesadaran serta memberikan gambaran pada khalayak luas tentang bagaimana kelompok homoseksual direpresentasikan dan diwacanakan. Kelompok ini kalau dipetakan, terbagi ke dalam beberapa kelompok homoseksual yang dilihat dari keberadaannya di lingkungan tertentu, misalnya keberadaan homoseksual di lingkungan pekerjaan, atau keberadaan homoseksual di lingkungan rumah tangga. Merujuk pada keterangan ini, sehubungan dengan latar sekolah yang disajikan dalam serial TV remaja ini, maka kelompok homoseksual yang disorot dalam serial TV Glee adalah keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Homoseksual remaja dalam konteks sekolah di Amerika sangat identik dengan kekerasan atau bullying yang menunjukkan terjadinya hubungan kekuasaan di lingkungan sekolah antara penindas dan yang tertindas. Remaja homoseksual direpresentasikan sebagai yang paling ditindas oleh sistem kekuasaan di lingkungan sekolah. Hal ini boleh jadi disebabkan homoseksualitas dinilai sebagai isu yang paling kontroversial dibandingkan isu lainnya, sehingga seksualitas dilihat lebih ditonjolkan. Isu remaja dan homoseksualitas di sekolah berangkat dari pengetahuan yang berkembang dalam konteks Amerika tentang remaja homoseksual yang sering kali menerima kekerasan akibat kebencian irrasional heteroseksual terhadap homoseksual. Berbeda dengan itu, serial TV ini menyajikan representasi kekerasan tersebut dari sudut lain, yaitu bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual tidak hanya dilakukan oleh para remaja heteroseksual yang homofobik, melainkan bisa juga dilakukan oleh sesama homoseksual yang berada dalam fase „penyangkalan‟, seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Karofsky yang ingin disebut „normal‟ dengan melakukan bullying terhadap tokoh Kurt. Tidak hanya itu saja, pandangan dikotomis yang menyatakan bahwa maskulinitas adalah karakter laki-laki dan feminitas adalah karakter perempuan, telah menjadi pemicu kekerasan di kalangan laki-laki. Feminitas dalam karakter laki-laki dianggap „melawan‟ kodrat Tuhan sehingga laki-laki dengan karakter feminin lebih cenderung mengalami kekerasan, bahkan secara umum, dapat dikatakan bahwa kekerasan terjadi karena keragaman karakter yang dimiliki oleh laki-laki tanpa memandang orientasi
102
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
seksualnya. Namun, dalam serial TV ini, representasi kekerasan karena keragaman karakter tersebut dialami oleh laki-laki homoseksual (gay) yang memiliki karakter feminin. Kebijakan anti-kekerasan terhadap kekerasan berbasis orientasi seksual di lingkungan sekolah masih merupakan pro dan kontra, sehingga belum ada kebijakan sekolah yang menjamin keselamatan dan keamanan remaja homoseksual dari kekerasan tersebut (bullying). Hal ini karena pokok permasalahan tidak difokuskan pada kekerasan yang dialami homoseksual, melainkan pada penyimpangan seksualitasnya. Perhatian pihak sekolah pada kekerasan terhadap remaja homoseksual, khususnya terhadap remaja homoseksual laki-laki (gay) dengan keragaman karakternya juga menjadi penting karena maskulinitas dan feminitas selama ini dilihat sebagai atribut personal dan bukan sebagai relasi gender, sehingga perlu dikembangkan kesadaran akan pemahaman tersebut. Oleh karena itu, kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa kuasa heteroseksual atas nilai-nilai seksualitas dan pandangan dikotomis tentang maskulinitas dan feminitas merupakan hubungan kekuasaan yang menimbulkan kekerasan antar siswa tersebut, siapapun pelakunya, heteroseksual ataupun homoseksual. Representasi remaja homoseksual yang kerap menjadi korban kekerasan disajikan dalam serial TV ini sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan-aturan yang bersifat menindas. Representasi homoseksual dalam film seri ini tetap disajikan sebagai yang tertindas, namun bercitra positif yang memperlihatkan bahwa di dalam ketertindasannya, homoseksual merupakan individu yang kuat, unggul dengan kualitas diri yang sangat baik, alih-alih pesakitan atau pendosa yang selama ini selalu diwacanakan. Selain itu, homoseksual di sini juga direpresentasikan membawa perubahan positif bagi dirinya, sesamanya dan lingkungannya menuju peradaban yang mengedepankan kesadaran terhadap perbedaan orientasi seksual sebagai bagian dari keberagaman, dan bukan sebagai sesuatu yang berada di luar normativitas. Dengan kata lain, masyarakat harus bisa menerima dan menghargai sebuah pilihan. Disamping itu, ditekankan pula kesadaran terhadap
pentingnya
menyadari
keberadaan
kelompok
minoritas
dimanapun
lingkungannya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak bersifat homogen, sehingga sangatlah wajar apabila terdapat sekelompok individu dengan pola pikir dan gaya hidupnya masing-masing. Begitu juga dengan maskulinitas dan feminitas sebagai bentuk keragaman karakter dalam masing-masing individu. Kesadaran ini penting dalam kaitannya dengan hubungan kekuasaan agar bisa lepas dari segala macam bentuk ketertindasan. Penelitian ini
103
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
akhirnya telah membuktikan bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual yang terjadi di lingkungan sekolah tidak hanya disebabkan oleh seksualitasnya tetapi juga karena karakter di luar normal yang dimilikinya, namun kekerasan tersebut justru menjadikan homoseksual
sebagai
pihak
yang
bercitra
positif.
Dengan
demikian,
wacana
homoseksualitas yang dihasilkan oleh representasi homoseksual dalam serial TV Glee adalah wacana homoseksualitas yang bertolak belakang dengan kondisi homoseksual yang selalu diposisikan tertindas dan bercitra negatif. Sejumlah penelitian tentang homoseksualitas telah berkontribusi besar terhadap perkembangan studi homoseksualitas yang diharapkan dapat membuka wawasan dan mendewasakan pola pikir masyarakat tentang kelompok homoseksual. Sebuah penelitian bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau mengembangkannya berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Begitu pula harapan peneliti ketika melakukan penelitian ini, meskipun belum bisa dikatakan telah menghasilkan sesuatu yang baru karena adanya keterbatasan dalam pelaksanaannya, namun diharapkan penelitian ini dapat membangun kontinuitas dari penelitian sejenis yang telah ada, terutama yang berkaitan dengan kesadaran terhadap keragaman seksual dan keragaman karakter. Secara garis besar sumbangan yang
diberikan melalui penelitian ini adalah menyikapi
homoseksualitas dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan menyikapinya sebagai salah satu bentuk pluralitas yang ada di masyarakat disamping bentuk pluralitas lainnya seperti etnisitas, ras dan agama. Selain itu, perlu disadari pula bahwa orientasi seksual dan karakter yang berbeda tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai kualitas seseorang, apakah itu homoseksual ataupun bukan. Dengan kata lain, homoseksual harus dilihat sebagai individu yang memainkan peran yang sama di masyarakat alih-alih dilihat sebatas seksualitasnya. Dengan mengubah cara pandang atau cara kita menyikapi homoseksualitas tersebut, maka diharapkan supaya anggapan homoseksual sebagai liyan dan segala macam bentuk penindasan dapat dihilangkan, atau paling tidak dapat diminimalisasi. Lingkungan pendidikan adalah tempat yang baik untuk memulai suatu perubahan dengan menekankan pada pentingnya kesadaran untuk menghargai keberagaman termasuk keragaman seksualitas dan karakter alih-alih menghakiminya, karena penindasan dalam bentuk apapun dan atas kepentingan apapun tentunya tidak dibenarkan. Peneliti menyadari bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini karena waktu penelitian yang amat sangat terbatas, mengingat objek yang diteliti adalah serial TV yang
104
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
secara keseluruhan terdiri dari enam puluh enam episode. Pada prinsipnya, serial TV Glee ini adalah drama musikal komedi yang mengangkat isu-isu sosial walaupun homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot, tetapi sehubungan dengan keterbatasan waktu penelitian serta banyaknya jumlah episode, maka peneliti membatasi penelitian hanya pada aspek isu sosial, yakni homoseksualitas. Peneliti melihat ada dua aspek penting dalam film seri ini yang tidak dapat peneliti garap sepenuhnya. Dua aspek penting tersebut adalah aspek musikalitas, dan aspek komedi, karena dua aspek ini dapat dikatakan merupakan aspek yang juga menonjol dalam film dan memiliki keterkaitan dengan isu sosial yang diangkat pada setiap episodenya. Oleh karena itu, dua aspek ini membuka peluang bagi peneliti-peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut atas serial TV ini. .
105
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Referensi
Andri. (2009). Psikobiologi Orientasi seksual, Fokus Pada Homoseksual. Makalah dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, is it OK?”, Auditorium Museum Bank Mandiri, Jakarta. Oktober 23, 2011. http://www.kabarindonesia.com
Aksana, Andrei. ( 2004). Lelaki Terindah. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama Alami, Athiqah Nur. (2010). Mengapa Gender Menjadi Isu Penting dalam Hubungan Internasional? Januari 9, 2013. http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/176-mengapa-gender-menjadiisu-penting-dalam-hubungan-internasional
Armandhanu, Denny. (2011, Juni 24). Obama Dukung Hak-hak Kaum Homoseksual tapi Obama Memilih Diam Ketika ditanya Soal Perkawinan Sesama Jenis. Vivanews, Juli 20, 2011. http://dunia.news.viva.co.id/news/read/228989-obama-dukung-hakhak-kaum-homoseksual
Ariyanto. (2005). Membongkar Kebenaran Rezim Kuasa Kasus Homoseksual di Indonesia (Tesis S2). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Astuti, Fuji & R.M. Soedarsono. (2006). Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. Akademika, Jurnal Kebudayaan, hal.2 Bocock, Robert. (1997). “Choice and Regulation: Sexual Moralities”. Kenneth Thompson (ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications
Barker, Chris. (2000). Cultural studies Theory and Practice. London: Sage publications Biegel, Stuart. (2010). The Right to Be Out : Sexual Orientation and Gender Identity in America‟s
Public
Schools.
Desember
11,
2011.
http://www.h-
net.org/reviews/showrev.php/id=32448
106
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Childers & Hentzi. (1995). The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural Criticism. New York: Columbia University Press dalam Ruth Sih Kinanti. (2001). Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America (Tesis S2). Program Pascasarjana, Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, UI.
Connell, Raewyn. (n.d.). Masculinities. Januari 9, 2013. http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html
Danesi, Marcel dan Paul Perron. (1999). Analyzing Cultures an Introduction and Handbook. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity. (n.d.). November 24, 2011. http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html
Foucault, Michel. (2008). La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite. (Rahayu S. Hidayat, penerjemah) Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Foucault, Michel. (1980). Herculine Barbin: Being the Recently Discovered Memoirs of a Nineteenth – Century French Hermaphrodite. Sussex: Harvester Press. dalam Wisnu Adihartono Reksodirjo. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa, Hubungan Internasional Eropa. UI.
Good and Gay?: A Moral Context for Homosexuality. (March 21, 2007). Oktober 23, 2011. http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-forhomosexuality/ Guralnik, David B. (ed.). 1973. Webster‟s New World Dictionary of the American Language. New York and Cleveland : The World Publishing Company
Halim, Magdalena Surjaningsih. (2005). Proses Pembentukan Identitas dan Konsep Diri pada Kaum Gay (Homoseksual). Oktober 2, 2012. http://lib.atmajaya.ac.id
107
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Hall, Stuart (ed.). (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications Hamad, Ibnu. (2008). “Wacana dan Media : Pergulatan antara Representasi dan Konstruksi”. Dwi Puspitorini et al (ed.). Kajian Wacana dalam Konteks Multikultural dan Multidisiplin. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI
Hasan, Sandi Suwardi. (2011). Pengantar Cultural Studies: Sejarah,Pendekatan Konseptual, & Isu menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Depok: Ar-ruzz Media Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?. (n.d.). November 24, 2011. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php Homosexual in public schools. (n.d.). Desember 11, 2011. www.16.org/profamily/school_liability_report.pdf
Julian, Dann. (2011). Gaya Gay. Jakarta: P.T. Pustaka Sinar Harapan Jhonson, Allan G. (1995). The Blackwell Dictionary of Sociology: a user‟s guide to sociological language 2nd ed. Blackwell Publishers Ltd. dalam Risna W. Rizal. (2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang: Suatu Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo ke Meiji hingga Dewasa ini (skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia, No. 009/sk/KPI/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. (n.d.). Februari, 2012. http://diskominfo.kaltimprov.go.id
Kinanti, Ruth Sih. (2001). Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America (Tesis S2). Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. UI.
108
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Mitchell, Jerry. (2010). Discussion: Should Gay Rights be a Moral Issue or a Legal One? Oktober 23, 2011. http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussionshould-gay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/ Newburn, Tim. (1997). “Permissiveness: accounts, discourses and explanations”. Kenneth Thompson (ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications
Nugroho, Irawan. (12 Mei, 2012). Perkawinan Sejenis Jadi Isu Poltik Obama. Seputar Indonesia, hal.11.
Nugroho, Irawan. (14 Mei, 2012). Romney Terbantu Isu Pernikahan Gay. Seputar Indonesia, hal. 10.
Reksodirdjo, Wisnu Adihartono. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa, Hubungan Internasional Eropa. UI.
Rizal, Risna W. (2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang: Suatu Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo hingga Dewasa ini (Skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Rocky Horor Picture, The. (n.d.). November 30, 2012. http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary
Rose, Gillian. (2001). Visual Methodologies. London: Sage Publications
Sandfort, Theo, et al. (ed.). (2000). Lesbian and Gay Studies An Introductory, Interdisciplinary Approach. London : Sage Publications. Segal, Lynne. (1999). “Sexualities”. Kathryn Woodward (ed.) Identity and Difference. London: Sage Publications
109
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
Semigran, Aly. (2010). Did Ricky Martin‟s Boyfriend Urge Him to Come Out? December 11, 2012. http://www.ivillage.com/ricky-martin-boyfriend/1-a-129941
Takwin, Bagus.(2003). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra Weeks, Jeffrey. (2000). “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. Theo Sandfort et al (ed.). Lesbian and Gay Studies An Introductory, Interdisciplinary Approach. London: Sage Publications
Woodward, Kathryn (ed.). (1997). Identity and Difference. London: Sage Publications Yusuf, Nova Riyanti. (7 Mei 2012). “Paranoia Gaga”. Seputar Indonesia, hal. 8.
Yuwana, Setia. (1994). Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo.(Tesis S2). Program Studi Antropologi, FIB, UI.
110
Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013