Karakteristik Koefisien Perpindahan Kalor Refrijeran R-290 dan R-290 pada Aliran Dua Fasa dalam Pipa Berdiameter 7,6 mm Peter Lewis Hamonangan Panjaitan (1106139651) Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas tentang karakteristik perpindahan kalor aliran dua fasa yang didapat berdasarkan pengujian dan dibandingkan dengan prediksi korelasi yang terdapat pada literatur. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan refrijeran R-22 dan R-290 yang dilakukan dalam pipa konvesional berdiameter 7,6 mm dengan bahan stainless steel (SS 316) dan panjang 1,07 m. Pengujian dilakukan dengan variasi fluks kalor (q), fluks massa (G), dan temperatur saturasi. Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah nilai fluks massa yang tinggi cenderung memiliki nilai koefisien perpindahan kalor yang tinggi pada awal evaporasi dan jika diberikan fluks kalor yang tinggi maka nilai koefisien perpindahan kalor juga akan naik, dan sistem dengan nilai temperatur saturasi yang tinggi maka akan dipengaruhi oleh koefisien perpindahan panas nucleat boiling. Perbandingan refrijeran mengindikasikan bahwa nilai koefisien perpindahan kalor R-290 lebih tinggi daripada R-22. This study discusses about the characteristics of two-phase flow which obtained by experiment and the data is compared with predictions data of correlations in the literature. This experiment was conducted using refrijeran R-22 and R-290 in a conventional 7,6 mm pipe with stainless steel (SS 316) material and length of 1,07 m. Tests carried out with variations of heat flux (q), mass flux (G), and the saturation temperature. The result of this study is high value of the mass flux values tend to have a high coefficient of heat transfer at the beginning of evaporation and high heat flux will increase the heat transfer coefficient value. Systems with a high value of the saturation temperature will be influenced by nucleat boiling heat transfer coefficient. Refrijeran comparison indicates that the value of heat transfer coefficient of R-290 is higher than R-22. Kata Kunci/Keywords: R-22, R-290, Aliran Dua Fasa, Two-phase flow, Koefisien Perpindahan Kalor, Heat Transfer Coefficient, kanal konvensional, conventional channel Daftar Notasi x Kualitas uap (kg/kg) L panjang/tebal (m) i Entalpi (kj/kg) Fluks kalor (kW/m2) q Kalor (W) koefisien perpindahan kalor (kW/ K.m2) Delta enthalpy (kj/kg) G Fluks massa (kg/m2.s) f Faktor gesek if,in Entalpi liquid pada temperatur inlet (J/kg) Di Diameter dalam pipa anulus (m) Do Diameter luar pipa anulus (m) Ts1 Termperatur permukaan dalam (oC) Ts2 Temperatur permukaan luar (oC) Pr Bilangan Prandtl x Kualitas uap xz Kualitas uap pada jarak z dari titik inlet k Konduktivitas termal material (W/m.K) S Suspression factor F Faktor pengali bilangan Reynold untuk aliran dua fasa 1
Subscripts i Inlet nb Nucleate boiling f fasa liquid tp Dua Fasa o Outlet
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
μ
Viskositas dinamik fluida
(N.s/m2)
1.Pendahuluan Pada proses pendinginan ada banyak aspek dan komponen penting yang perlu dipertimbangkan, namun seiring markanya isu pemanasan global dan pemberlakuan protokol Kyoto tentang pemanasan global maka penggunaan refrijerasi perlu diperhatikan dalam merancang sistem pendingin. Dampak refrijeran pada lingkungan khususnya atmosfer, dapat dilihat pada nilai ODP (Ozone Depletion Potential) dan GWP (Global Warming Potential). Refrijeran pembanding ODP adalah refrijeran yang paling banyak digunakan pertama kali adalah R-11 dengan nilai ODP 1, sedangkan untuk pembanding nilai GWP adalah karbon dioksida yaitu dengan nilai Di Indonesia refrijeran yang umum digunakan adalah R-22 dengan nilai ODP 0,05 dan GWP 1700 sehingga perlu adanya refrijeran alternatif dengan performa yang baik dan ramah lingkungan, salah satunya adalah R-290 dengan ODP 0 dan GWP 8(WMO 1991, IPPC 1994). Namun R-290 memiliki sifat flammability sehingga proses dan teknisnya sangat perlu diperhatikan. Salah faktor yang menjadi pertimbangan penggantian refirejeran adalah koefisien perpindahan panas, oleh karena itu perlu adanya penelitian dalam kondisi aliran dua fasa dalam pipa konvensional.
Gambar 1. Diagram Alur Percobaan
Berikut adalah gambar 2 yang merupakan skema alat pengujian dalam proses pengambilan data yang akhirnya memperoleh koefisien perpindahan kalor. Skema tersebut adalah sistem refirjerasi tertutup atau close loop, yang menggunakan jenis refrijeran R-22 dan R-290
Pada percobaan koefisien perpindahan panas pada aliran dua fasa menggunakan variasi fluks massa (G) dengan range 185,7 kg/m2.s sampai 628,8 kg/m2.s pada R-290 dan 282 kg/m2.s sampai 651,5 kg/m2.s untuk R-22, fluks kalor (q) dengan range 9,98 kW/m2 sampai 25,06 kW/m2 untuk R290 dan 5,48 kW/m2 sampai 25,06 kW/m2 untuk R22, Tsat dengan range 3,9 oC sampai 14,6 oC untuk R-290 dan 1,9 oC sampai 11,9 oC. Pada percobaan ada beberapa asumsi antara lain fluks kalo dari pemanas dianggap uniform, penurunan tekanan dianggap linear dan roughness pada tube dianggap seragam.
Gambar 2. Skema alat eksperimen Secara garis besar proses yang terjadi pada saat pengambilan data antara lain refrijeran yang akan dimasukkan ke dalam sistem biasanya sudah bercampur antara liquid dan vapor sehingga pada saat mengalirkan refrijeran ke dalam sistem, dapat dimodifikasi dengan membalikkan tabung. Fasa refrijeran yang telah masuk ke dalam sistem masih berupa vapor, sehingga sistem tidak dapat berjalan karena gear pump yang mengalirkan refrijeran tersebut tidak dapat bekerja pada fasa vapor
2. Metodologi Penelitian Proses pengujian yang dilakukan, mengikuti diagram alir atau flow chart yang ada pada gambar 1.
2
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
sehingga perlu mengubah fasa vapor menjadi liquid pada kondenser. Model kondenser yang menyerap kalor pada refrijeran adalah tube and tube, dengan tabung yang diisolasi agar dingin (temperatur lebih rendah temperatur lingkungan) dari fluida pendingin berupa larutan ethylene glycol tidak terbuang ke lingkungan. Sistem yang digunakan untuk mendinginkan ethylene glycol tersebut adalah pendingin dengan kapasitas 3 PK, liquid receiver berguna untuk menyaring vapor yang tidak terkondensasi pada kondenser sebelum memasuki gear pump. Refrijeran yang berupa liquid yang keluar dari gear pump, didinginkan kembali menggunakan 2 cooler agar tidak terjadi evaporasi sebelum memasuki test section. Refrijeran yang memasuki test section dirubah fasanya dengan menggunakan kabel heater yang dililitkan sepanjang test section. Pada bagian masuk dan keluar dari test section, diberi sight glass agar dapat melihat fase refrijeran yang keluar dari test section. Pada test section terdapat 27 termokopel yang berada pada 9 titik yang berfungsi untuk mengetahui temperatur luar dari test section tube dan juga pada awal dan akhir test section diberi pressure gauge dan pressure transmiter untuk mengetahui tekanan jatuh disepanjang test section. Variabel yang diatur adalah fluks massa yang diatur dengan voltage regulator yang terhubung dengan motor listrik yang di-couple dengan gear pump. Gear pump yang digunakan dapat menghasilkan tekanan sebesar 10 bar dengan kapasitas motor 0,5 PK. Variabel selanjutnya yang diatur adalah fluks kalor dengan kabel heater yang dihubungkan dengan panel listrik yang besar arus listriknya diatur oleh voltage regulator. Variabel yang diatur terakhir adalah temperatur saturasi yang didapat dari tekanan refrijeran. Tabel 1. Dimensi Test Section Dimensi Parameter (mm) Panjang Test Section Diameter Dalam Diameter Luar
1070
7.6
9.5
Tabel 2. Ketidakpastian Sensor Pengujian Sensor
Akurasi
Range
Thermocouple
±1 oC
-200 oC sampai 1350 oC
Pressure Transmiter
± 0.15 %
0-40 Bar
Flow Meter
± 0.05 %
100 Bar, -100 o C – 204 oC
Gambar 3. Visualisasi Alat Eksperimen Pada perhitungan koefisien perpindahan kalor dapat menggunakan rumus sebagai berikut
Dikarenakan termokopel mengukur temperatur diluar pipa maka untuk mengetahui nilai Ts atau temperatur fluida dapat menggunakan rumus sebagai berikut
(
)
Setelah mendapatkan nilai koefisien perpindahan kalor maka menggunakan rumus berikut untuk mendapat nilai rata – ratanya
Ketidakpastian
Nilai koefisien perpindahan kalor yang telah didapat dibandingkan dengan kualitas pada titik tersebut, dengan rumus
± 0.5 mm (Mistar) ±0.025 mm (Jangka Sorong) ± 0.025 mm (Jangka Sorong)
( ) 3
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
Selanjutnya untuk mengetahui apakah data yang diambil valid atau tidak, digunakan korelasi Chen dengan rumus akhir koefisien perpindahan panas pada aliran dua fasa sebagai berikut
Setelah mendapat nilai koefisien perpindahan kalor korelasi Chen maka perlu mencari nilai deviasi pada refrijeran R-22 dan R-290
3. Hasil dan Analisis
Gambar 5. Grafik Perbandingan G (R-22)
Pengujian dilakukan pada pipa konvesional untuk menghitung besarnya nilai koefisien perpindahan kalor refrijeran R-22 dan R-290 pada aliran dua fasa. Data hasil pengujian akan dipakai sebagai data input dalam melakukan perhitungan. Variabel yang diatur pada proses pengujian adalah fluks massa, fluks kalor dan temperatur saturasi.
Pengaruh Fluks Massa Perpindahan Panas
Pada
Pada kedua grafik (Gambar 4 dan 5) di atas dapat dilihat bahwa data yang memiliki nilai G (mass flux) lebih rendah, memiliki kualitas uap keluar (xo) yang lebih tinggi, hal ini disebabkan waktu evaporasi yang lebih lama pada G yang lebih rendah sehingga kontak dengan inner surface tube pada t-section lebih lama. Pada grafik, nilai G yang lebih tinggi memiliki nilai koefisien perpindahan panas (h) lebih tinggi di titik awal, ini dikarenakan pengaruh turbulensi pada tube t-section di titik awal karena laju alir yang besar. Ini sesuai dengan rumus
Koefisien
Berikut ini adalah grafik pembanding dua data yang nilainya cukup berdekatan (rata – rata), untuk mendapatkan variasi fluks massa pada penelitian, dilakukan dengan variasi besaran katup dan mengatur besar arus listrik yang masuk ke motor listrik yang memutar gear pump. Namun pada kenyataannya gear pump tidak berputar pada putaran rpm yang rendah sehingga mempengaruhi pengambilan data
Sehingga akan mempengaruhi nilai koefisien perpindahan panas konvektif
yang berlanjut pada koefisien perpindahan panas dua fasa yaitu Pada nilai xo yang rendah, lebih dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor pool boiling namun pada xo yang tinggi dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor konvektif. Sehingga pada xo yang tinggi nilai koefisien perpindahan kalor meningkat. Pengaruh Fluks Perpindahan Panas
Kalor
Pada
Koefisien
Berikut ini adalah grafik perbandingan data yang paling berdekatan dengan variasi fluks kalor. Variasi dilakukan dengan cara merubah besaran volt listrik menggunakan volatege regulator yang dihubungkan dengan heater. Namun hanya data R290 yang dapat dibuat grafik perbandingan, hal ini dikarenakan data R-22 yang error sehingga grafik tersebut tidak dapat dianalisa.
Gambar 4. Grafik Perbandingan G (R-290)
4
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
Pengaruh Temperatur Saturasi Pada Koefisien Perpindahan Panas Pada pengujian temperatur saturasi, variasi dilakukan dengan cara mengatur besar aliran pada katup ekspansi dan juga katup lainnya (akibat kurang jatuhnya tekanan pada katup ekspansi), namun jika belum mendapatkan temperatur saturasi yang dibutuhkan maka cara terakhir adalah membuang refrijeran. Namun cara ini membuat nilai G juga berkurang, sehingga data yang dapat dibandingkan hanya refrijeran R-290. Berikut adalah grafik perbandingan temperatur saturasi
Gambar 6. Grafik Perbandingan q (R-290) Pada grafik (Gambar 6) di atas dapat dilihat bahwa data yang memiliki nilai q yang lebih tinggi, memiliki kualitas uap yang besar. Hal ini disebabkan oleh tingginya panas pada inner surface tube sehingga terjadi proses evaporasi yang lebih besar pada nilai q (heat flux) yang tinggi. Fluks kalor yang lebih tinggi juga mempengaruhi nilai koefisien perpindahan kalor, hal ini dapat dibuktikan dalam rumus
Pada grafik terlihat penurunan nilai koefisien perpindahan kalor, ini disebabkan oleh nilai koefisien perpindahan kalor liquid lebih tinggi dibanding vapor.
Gambar 7. Grafik Perbandingan Tsat (R-290) Pada grafik (Gambar 7) diatas dapat dilihat bahwa nilai koefisien perpindahan kalor pada temperatur saturasi yang lebih rendah lebih tinggi dari temperatur saturasi tinggi. Hal ini terkait dari properti thermodinamic refrijeran pada temperatur saturasi yang berbeda pada tabel berikut
Tabel 3. Perbandingan Temperatur Saturasi
T sat 6,4 oC 8,5 oC
ρf (kg/m3)
ρg (kg/m3)
ρf/ ρg
Kf (mW/mK)
1259,5
25,866
48,7
91,868
1252,1
27,551
45,44
90,926
μf (μPa.s)
μg (μPa.s)
μf/μg
σ (mN/m)
9,85
201,46
11,639
17,3
9,18
10,002
196,92
11,731
16,78
8,27
Kg (mW/mK)
memiliki nilai yang lebih rendah. Hal ini berpengaruh pada naiknya kecepatan vapor sehingga penahanan nucleat boiling menjadi lebih cepat. Pada tabel juga dapat dilihat nilai surface tension pada temperatur saturasi yang lebih rendah, memiliki nilai yang lebih tinggi. Ini mempengaruhi munculnya gelembung, dimana munculnya gelembung lebih mudah pada temperatur saturasi
Pada tabel (Tabel 3) diatas, dapat dilihat bahwa massa jenis liquid pada temperatur saturasi yang lebih rendah memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kondisi temperatur saturasi tinggi atau perbandingan massa jenis liquid dan vapor (ρf/ ρg), pada kondisi temperatur saturasi yang tinggi 5
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
yang lebih tinggi. Perbandingan viskositas liquid dan vapor yang rendah pada temperatur saturasi yang lebih tinggi menunjukkan bahwa liquid film lebih mudah hancur menjadi vapor dibanding
temperatur saturasi yang rendah. Merujuk pada A. S. Pamitran (2011) menjelaskan bahwa semakin tinggi temperatur saturasi maka nucleate boiling menjadi lebih aktif. Gambar 4.5 Grafik Perbandingan R-22 dan R-290
Perbandingan Koefisien Perpindahan Kalor R22 dan R-290
Pada grafik T-s diagram R-290 dan R-22 dapat dilihat bahwa Tekanan saturasi R-290 pada pada Temperatur saturasi yang sama, lebih tinggi dari R-22. Ini menandakan jika dibandingkan pada kondisi yang sama (seperti grafik di atas), maka R22 membutuhkan tekanan yang lebih rendah untuk berevaporasi sehingga memiliki kualitas uap yang lebih besar dibanding R-290. Perbandingan ini juga dapat dianalisa berdasarkan properti
Perbandingan menggunakan R-22 dan R-290 (MC 20), dengan nilai fluks massa, fluks kalor dan temperatur saturasi pada kondisi yang paling mendekati, berikut adalah grafik perbandingan tersebut :
Tabel 4. Perbandingan Refrigeran Fluida Kerja
Tekanan Inlet
R-22
6,5 bar
R-290
6,1 bar
ρf (kg/m3) 1252,1 516,85
ρg (kg/m3)
ρf/ ρg
μf (μPa.s)
μg (μPa.s)
μf/μg
σ (mN/m)
27,551
45,5
196,92
11,731
16,78
10,44
13,217
39,1
115,1
7,7
13,68
9,04
terhadap korelasi Chen (1984), berikut adalah grafik perbandingan
Pada grafik (gambar 4.5) dapat dilihat, secara rata – rata nilai koefisien perpindahan panas R-290 lebih tinggi dari R-22, hal ini dikarenakan pada tabel perbandingan properti dapat dilihat bahwa perbandingan massa jenis vapor dan liquid juga viskositas vapor dan liquid pada R-290, lebih rendah dari R-22. Sehingga pada R-290 nucleate boiling lebih lama terjadi, juga pada nilai tekanan permukaan pada R-290 lebih rendah yang mengakibatkan gelembung lebih mudah terbentuk pada R-290. Perbandingan Koefisien Perpindahan Kalor Terhadap Korelasi
Gambar 9. Grafik Perbandingan Koefisien Perpindahan Kalor R-22 Terhadap Korelasi Chen
Perbandingan dilakukan antara koefisien perpindahan kalor refrijeran R-22 dan R-290 6
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
Cengel, Y. A.(2003) Heat Transfer: A Practical Approach (2nd ed).United States of America : McGraw-Hill. Choi, Kwang Il., Pamitran,A.S., Oh, C.Y., Oh, J.T., Boiling heat transfer of R-22, R-134a, and CO2 in horizontal smooth minichannels. International Journal of Refrigeration 30 (2007) 1336-1346 Incropera,F.P.,Dawitt,D.P.,Bergman,T.L., Lavine,A.S.,2007. Fundamental of heat and mass transfer 6th Edition. John Wiley and Sons, Inc: Singapore.
Gambar 10. Grafik Perbandingan Koefisien Perindahan Kalor R-290 Terhadap Korealsi Chen Dapat dilihat dari dua grafik (Gambar 4.6 dan 4.7) di atas bahwa average deviation (AD) dan median deviation (MD) pada R-22 lebih rendah daripada R-290, hal ini mungkin disebabkan oleh pada saat proses pengambilan data R-22, posisi termokopel lebih stabil. Juga adanya deviasi disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi dengan kondisi percobaan percobaan Chen (1966), seperti ukuran pipa, variasi fluks massa, fluks kalor dan temperatur saturasi
REFPROP. NIST Refrigerant properties database 23, Gaithersburg, MD, 1998,Version 6.01 Thome,J.R., Collier,J.G.,1994. Convective Boiling and and Condensation 3th Edition. Clarenda Press Oxford Choi, Kwang Il., Pamitran,A.S., Oh, C.Y., Oh, J.T., Boiling heat transfer of R-22, R-134a, and CO2 in horizontal smooth minichannels. International Journal of Refrigeration 30 (2007) 1336-1346
4. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan yang didasarkan pada pengujian dan analisa koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa dengan menggunakan refrijeran R-22 dan R-290 sebagai pembanding di pipa konvensional dengan diameter 7,6 mm.
Yu, W., France, D.M., Wambsganss, M.W., Hull, J.R., Two-phase pressure drop, boiling heat transfer, and critical heat flux in a small-diameter horizontal tube. International Journal of Multiphase Flow 28 (2002) 927-941.
1. Sistem dengan fluks massa yang lebih tinggi memiliki nilai koefisien perpindahan kalor yang tinggi pada awal evaporasi, namun memiliki kualitas uap keluar yang lebih rendah. 2. Sistem dengan fluks kalor yang lebih tinggi memiliki nilai koefisien perpindahan kalor yang lebih besar. 3. Sistem dengan temperatur saturasi yang lebih tinggi dipengaruhi oleh koefisien perpindahan panas nucleat boiling yang lebih dominan. 4. Koefisien perpindahan panas R-290 lebih tinggi daripada R-22 akibat proses nucleat boiling yang lebih lama.
Maqbool, Muhammad Hamayun., Palm, Bjorn., Khodabandeh, Rahmatollah., Investigation of two phase heat transfer and pressure drop of propane in a vertical circular minichannel. Experimental Thermal and Fluid Science 46 (2013) 120-130. Barbieri, P. E. L.,Jabardo, J.M.S., BandarraFilho, E.P., Flow patterns in convective boiling of refrigerant R-134a in smooth tubes of several. 5th Europe an Thermal-Sciences Conference. The Netherlands,2008 Copetti,J.B.,Macagnan,M.H., Zinani,F.,Kusler,N.L.F., Flow boiling heat transfer and pressure drop of R-134a in a mini tube : an experimental investigation, Experimental Thermal and Fluid Science 35 (2011) 636–644
Daftar Pustaka
7
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014
Chen JC. (1963). A correlation for boiling heat transfer of saturated fluids in convective flow. In: 6th National Heat Transfer Conference, Boston, Aug. 11–14 1963 [ASME Paper 63-HT-34]. Kattan N, Thome JR, Favrat D. Flow boiling in horizontal tubes. Part 2: new heat transfer data for five refrigerants. J Heat Transfer 1998;120:148– 55.
8
Universitas Indonesia
Karakteristik koefisien..., Peter Lewis Hamonangan Panjaitan, FT UI, 2014