LARANGAN MONOPOLI MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERHATIAN YANG SEBAIKNYA DIBERIKAN: PENDEKATAN HUKUM DAN EKONOMI1 Arvie Johan2 Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pabelan Kartasura Tromol Pos 1 Surakarta 57162 Abstract Islamic law prohibits monopoly. The issue is since the advent of islam the strategy of undertakings to maximize their profit has expanded rapidly. This paper assesses the extent of islamic law on prohibiting monopoly with law and economics approach. The result is skepticism on prohibiting monopoly. The paper explains three steps to anticipate: (1)it describes monopoly as a situation that no competition among firms and no price selection; (2)it provides a monopoly criterion in the forms of agreement among competitor that against allocation efficiency with effectively; and (3)it faces prohibiting monopoly to explicit price fixing agreement, and to very large mergers. Keywords: monopoly, islamic law, law and economics Intisari Hukum islam melarang monopoli. Isunya adalah sejak kedatangan islam strategi pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan telah berkembang pesat. Tulisan ini menentukan jangkauan hukum islam untuk melarang monopoli dengan pendekatan hukum dan ekonomi. Hasilnya kehati-hatian dalam melarang monopoli. Tulisan menguraikan tiga langkah yang dibutuhkan: (1)memaknai monopoli sebagai ketidakhadiran persaingan dan ketiadaan pilihan harga; (2)memberikan kriteria monopoli berupa kesepakatan antar pelaku usaha pesaing yang mampu melawan efisiensi alokasi secara efektif; dan (3)mengarahkan larangan monopoli pada perjanjian horisontal eksplisit, dan penggabungan berukuran besar. Kata Kunci: monopoli, hukum islam, hukum dan ekonomi
1
Tulisan dalam proses publikasi di Mimbar Hukum. mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FH UGM dengan konsentrasi bidang hukum persaingan di bawah bimbingan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., dan Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D. 2
1
A. Pendahuluan Pada abad kelima masehi komunitas pedagang di kota Mekkah sudah mengenal monopoli. Masa itu perkembangan ekonomi yang pesat di Mekkah tidak menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal tersebut akibat kekuasaan klan tertentu yang menimbun bahan pangan sehingga harga menjadi tinggi. Perilaku demikian disebut sebagai ihtikar (monopoli).3 Bila ditelusuri lebih jauh, isu monopoli sebenarnya menjadi permasalahan setiap peradaban yang tingkat kemajuan perekonomiannya di dukung oleh sektor perdagangan. Misalnya pada masa Kekaisaran Zeno di Romawi yang melarang penimbunan pangan dan sandang, sekalipun itu dilakukan pelaku usaha dalam rangka melayani pembelian dari wilayah lain.4 Bahkan pada masa Yunani kuno, Aritotle sudah menggambarkan bahwa kondisi monopoli terjadi bilamana ada penimbunan barang untuk menaikkan harga.5 Kembali ke Mekkah abad kelima masehi. Jelas, bahwa sebelum kedatangan Islam, Mekkah merupakan wilayah yang kegiatan ekonominya banyak di dukung sektor perdagangan. Dengan kedatangan Islam pada abad ketujuh masehi, perilaku monopoli secara khusus dilarang, sebagaimana diperlihatkan Hadits berikut: “Tidaklah orang melakukan ihtikar kecuali ia berdosa” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi )6 “Barang siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya” (HR. Ahmad)7
3
Mahmood Ibrahim, “Social Economic Conditions in Pre-Islamic Mecca”, International Journal of Middle East Studies, Vol. 14, No. 3, Agustus 1982, hlm. 347. 4 Adam D. Moore, 2009, Intellectual Property and Information Control: Philosophic Foundations and Contemporary Issues, Transaction Publisher, New Jersey, hlm. 10-11. 5 Henry William Spiegel, 1991, The Growth Of the Economic Thought (Third Edition), Duke University Press, North Carolina, hlm. 33-34. 6 Sri Nurhayati, 2013, Akuntansi Syariah di Indonesia (Edisi 3), Penerbit Salemba, Jakarta, hlm. 81. 7 Muhammad Saifullah, “Etika Bisnis Islami dalam Praktik Bisnis Rasulullah”, Walisongo, Vol. 19, No. 1, Mei 2011, hal. 154.
2
“Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah” (HR. Ibnu Majah dan Abu Hurairah)8 “Siapa yang merusak harga, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di neraka pada hari kiamat” (HR. at-Tabrani)9 Dalam melihat sejarah pembangunan bentuk dasar larangan monopoli ini, tidak dapat diabaikan klaim bahwa tujuan hukum islam melarang monopoli adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Tetapi sejak kedatangan islam hingga saat ini, strategi pelaku usaha dalam mencari keuntungan semakin berkembang, misalnya:
perjanjian penetapan
harga,
pengikatan
produk,
pembagian pasar, jual rugi, integrasi vertikal, penggabungan (merger), dan lain sebagainya. Perkembangan demikian meminta justifikasi larangan hukum islam terhadap monopoli menjadi lebih kompleks. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan memeriksa jangkauan larangan hukum islam terhadap monopoli dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi. Secara singkat hukum dan ekonomi merupakan aliran ilmu hukum yang memanfaatkan teori ekonomi untuk memeriksa pembentukan, susunan, proses dan pengaruh ekonomi dari suatu keberlakuan hukum dan institusi hukum.10 Hukum dan ekonomi mendorong hukum mencapai efisiensi11, sehingga cocok dengan tujuan hukum islam melarang monopoli. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalahnya adalah: (1)bagaimanakah hukum islam melarang monopoli?; (2)bagaimana rasionalitas ekonomi terhadap keberadaan monopoli?; dan (3)hal-hal apakah yang sebaiknya diperhatikan dalam menjalankan larangan hukum islam terhadap monopoli?
8
Sri Nurhayati, Loc.cit. Ibid. 10 Nicholas Mercuro dan Steven G. Medena, 1999, Economics and the Law from Posner to Post Modernism, Princeton University Press, New Jersey, hlm. 3. 11 Richard A. Posner, 1992, Economic Analysis of Law (Fourth Edition), Little Brown & Company, Nevada, hlm. 3-4. 9
3
B. Pembahasan 1. Hukum Islam Melarang Monopoli a. Sumber Hukum Islam Istilah hukum islam (syariah, dalam tulisan ini disebut hukum islam) menunjuk pada berbagai pengaturan kepada setiap individu (baik perilaku, ibadah, maupun akhlak) mulai dari yang bersifat wajib (obligation) sampai yang bersifat haram (forbidden). Pengaturan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni pengaturan berkategori ibadah (hubungan individu dengan Allah SWT.) dan berkategori muamalah (hubungan antar individu dalam masyarakat).12 Ada dua sumber utama (primer) hukum islam, yakni Quran dan Hadist. Selain sumber hukum primer, sistem hukum islam dibangun melalui ijtihad, yang menafsirkan dua sumber hukum primer dengan instrumen dan metode seperti ijma (kesepakatan) dan qiyas (analogi) untuk memecahkan masalah hukum konkrit dalam masyarakat. Ini menjadi sumber hukum sekunder dari hukum islam (ushul fiqih).13 Pembangunan hukum islam yang bersumber dari sumber hukum sekunder berlangsung sejak wafatnya pembawa Islam, Nabi Muhammad SAW..14 Oleh karenanya perbedaan yang tidak fundamental diantara para ahli hukum islam (faqih) tidak terhindarkan. Hingga saat ini ada empat mahzab besar pemikiran hukum islam, yakni Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.15 Keempat mahzab terkonsentrasi di lingkup geografi yang berbeda. Mahzab Maliki dominan di wilayah benua Afrika bagian utara dan barat, mahzab Hanafi dominan di daerah Asia bagian barat sampai Mesir bagian utara, mahzab Syafi’i dominan di wilayah Asia bagian selatan, dan terakhir mahzab Hambali dominan di daerah Jayirah Arab.16 Sekalipun faktor kebutuhan masyarakat setiap 12
Ahmed Akgunduz, 2010, Islamic Law in Theory and Practice: Introduction to Islamic Law, IUR Press, Rotterdam, hlm. 19. 13 Ibid., hlm. 22. 14 Ibid., hlm. 25. 15 Knut S. Vikør, 2005, Between God and the Sultan: A History of Islamic Law, Oxford University Press, New York, hlm. 10. 16 Ibid., hlm. 11.
4
wilayah mempengaruhi perkembangan pemikiran serta dominasi masing-masing mahzab dan ini menjadi penjelasan adanya perbedaan yang tidak fundamental diantara mereka, tetapi yang terpenting adalah faktor tersebut menjadikan hukum islam dapat bekerja dalam pergaulan hidup masyarakat.17 Selain keempat mahzab besar, dikenal juga talfiq, yakni usaha menghimpun pendapat dari dua atau lebih mahzab berbeda dimana bagian-bagian hukumnya
saling
terkait
untuk
satu
perbuatan.
Ia
secara
sistematis
membandingkan dua atau lebih mahzab, dan mengintegrasikannya menjadi satu kesatuan pemikiran untuk memecahkan suatu masalah.18 Sekalipun tidak semua ahli hukum islam sepakat atas keberadaan talfiq19, tetapi talfiq mempunyai potensi untuk melengkapi hukum islam dalam memecahkan permasalahan hukum konkret di masyarakat. Ini juga membuktikan bahwa sistem hukum islam bersifat pragmatis, sehingga selalu sesuai (fleksibel) dengan kebutuhan masyarakat (perkembangan zaman).
b. Larangan Monopoli Muhammad Baqer as-Sadr menjelaskan tiga prinsip dasar kegiatan ekonomi dalam hukum islam, yakni: (1)kepemilikan yang multi aspek. Hukum islam membagi kepemilikan menjadi tiga bentuk, meliputi: kepemilikan privat, kepemilikan publik, dan kepemilikan negara; (2)pembatasan kebebasan ekonomi. Dua pembatasan dikenakan atas kepemilikan privat, yaitu subyektif dan obyektif. Pembatasan subyektif berasal dari orientasi internal individu, sehingga terhadapnya tidak diperlukan pemaksaan negara. Pembatasan pertama ini berupa kedermawanan individu muslim terhadap komunitasnya. Pembatasan kedua, bersifat muamalah, yang melarang aktifitas ekonomi seperti riba dan ihtikar (monopoli). Terhadap pembatasan kedua diperlukan intervensi negara; dan 17
John. R. Bowen, 2003, Islam, Law, and Equality in Indonesia: an Antropology of Public Reasoning, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 14-15. 18 Fauzi Saleh, “Problematika Talfiq Mahzab dalam Penemuan Hukum Islam”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, hlm. 66-67. 19 Ibid., hlm. 68-69.
5
(3)keadilan sosial. Solidaritas sesama ditekankan dalam hukum islam, yang diwujudkan melalui instrumen zakat, infaq, dan shodaqoh. Perlakuan terhadap keadilan sosial serupa dengan pembatasan subyektif, yakni tidak diperlukan pemaksaan negara.20 Berkenaan dengan definisi monopoli, ada perbedaan pendapat diantara empat mahzab pemikiran hukum islam. Mahzab Maliki mendefinisikan monopoli sebagai perilaku menimbun barang untuk meraih keuntungan ketika harga naik, tetapi menimbun pangan tidaklah termasuk didalamnya. Menurut mahzab Hanafi, monopoli adalah tindakan membeli pangan dari pasar atau tetangga dan menahannya selama 40 hari untuk menunggu harga naik. Mahzab Syafi’i berpendapat monopoli merupakan membeli makanan ketika masyarakat membutuhkan dan menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Terakhir, mahzab Hambali menyatakan monopoli sebagai pembelian barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga berakibat kerugian kepada pembeli lain atau masyarakat.21 Dari pendapat keempat mahzab pemikiran hukum islam diatas, Al-Robi mengarahkan perhatian terhadap tiga elemen utama: (1)sifat monopoli dapat diindikasikan dari tujuan dan akibat dari perilaku tersebut; (2)barang tersebut dibutuhkan masyarakat, sehingga ketiadaan pilihan, baik kualitas maupun harga, mengakibatkan kerugian kepada masyarakat itu; dan (3)tujuan monopoli adalah untuk membeli barang dari pasar dan menahannya sehingga menciptakan kelangkaan.22 Ada beberapa konsep dalam hukum islam untuk menjelaskan mengapa ajaran islam melarang perilaku monopoli, meliputi: maslahah, saddu zara’i,
20
Chibli Mallat, 2003, The Renewal of Islamic Law: Muhammad Baqer as-Sadr, Najaf and the Shi'i International, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 114-115. 21 Musaed N. Alotaibi, 2010, “Does the Saudi Competition Law Guarantee Protection to Fair Competition? A Critical Assessment”, A thesis submitted in fulfilment for the requirements of the degree of Doctor of Philosophy at the University of Central Lancashire, hlm. 37-38. 22 Ibid., hlm. 38.
6
ta'assuf fi al-Isti'mal al-haq, maqasid al-syariah, qawa’id fiqhiyyah, dan tauhid.23 Konsep pertama adalah maslahah, yang pada intinya menggunakan pendekatan untung-rugi.24 Tiga persyaratan maslahah untuk dijadikan dasar penetapan hukum, yaitu: (1)kesejahteraan sejalan dengan kehendak hukum islam dan didukung nash/kejelasan secara umum; (2)kesejahteraan yang bersifat rasional dan pasti sehingga benar-benar menghasilkan kesejahteraan dan menghindarkan kesengsaraan; dan (3)kesejahteraan itu menyangkut kepentingan orang banyak bukan individu atau sekelompok kecil tertentu.25 Melalui pendekatan ini ajaran islam melarang individu mengambil keuntungan yang merugikan kepentingan ekonomi publik. Konsep kedua yakni saddu zara’i, adalah menyumbat jalan yang membawa sesuatu yang dilarang dan membawa kerusakan.26 Tiga klasifikasi bentuk saddu zara’i yang diperhatikan, meliputi: (1)sesuatu yang bilamana dilakukan biasanya akan terbawa yang terlarang; (2)sesuatu yang jika dilakukan tidak terbawa pada yang dilarang; dan (3)sesuatu perbuatan yang jika dilakukan menurut pertimbangan adalah sama kemungkinannya untuk terbawa pada yang terlarang dan yang tidak terlarang.27 Dengan konsep saddu zara’i ajaran islam mencegah monopoli, karena monopoli merugikan kepentingan ekonomi publik. Konsep ketiga adalah ta'assuf fi al-Isti'mal al-haq, yaitu penyalahgunaan hak. Ada dua alasan mengapa individu dilarang menyalahgunakan hak, meliputi: (1)setiap orang tidak boleh menggunakan haknya dengan sewenang-wenang sehingga merugikan orang lain baik perorangan maupun masyarakat; dan (2)menggunakan hak-hak pribadi tidak semata untuk kepentingan pribadi saja
23
Zulkifli Hasan, “Islamic Perspective on Competition Law and Policy”, International Conference on Law and Commerce, International Islamic University Malaysia and Victoria University, Australia, 29 September 2005, hlm. 4-13. 24 H. Said Agil Husin Al-Munawar, “Konsep al-Maslahah sebagai Salah Satu Sumber Perundangan Islam”, Islamiyyat, Vol. 18 & 19, 1998, hlm. 60-61. 25 Abu Ishak Al Syathibi, 1973, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar al-Ma’rifah, Beirut, hlm. 8-12. 26 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1990, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 320. 27 A. Basiq Djalil, 2010, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Kencana, Jakarta, hlm. 166.
7
tetapi juga untuk mendukung hak-hak masyarakat.28 Melalui konsep ta'assuf fi alIsti'mal al-haq, ajaran islam melarang individu menyalahgunakan haknya untuk melakukan monopoli, karena itu mengakibatkan kerugian ekonomi individu anggota masyarakat lainnya. Konsep keempat yakni maqasid al-syariah, adalah bahwa tujuan akhir rumusan hukum islam mencapai kesejahteraan umat manusia.29 Kemashlahatan yang menjadi tujuan hukum islam ini dibatasi dalam lima hal: agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah (kepedihan).30 Dalam konteks ini, ajaran islam melarang perilaku monopoli karena akibatnya yang merugikan individu lainnya (hilangnya harta benda karena pertukaran tidak sukarela). Konsep kelima adalah qawa’id fiqhiyyah, merupakan penyatuan beberapa hukum yang setiap bagiannya mempunyai hubungan erat.31 Qawaid fiqhiyyah melakukan pemecahan masalah hukum praktis yang muncul dengan penerapan hasil istimbath (pengambilan hukum) dari Quran. Misalnya setiap manusia harus dijauhkan dari kesulitan (ad-Dhararu yuzalu)32, yang diaplikasikan sebagai larangan untuk melakukan monopoli33. Konsep terakhir, tauhid, adalah menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen dan mentaati segala kewajiban serta menjauhi semua larangan yang ditetapkan-Nya.34 Konsep tauhid memberikan dorongan spiritual kepada setiap individu muslim untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia
28
Nasroen Haroen, 1996, Ushul Fiqh, Logos Publishing House, Jakarta, hlm. 10-11. Muhammad Khalid Mas'ud, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, judul asli “Islamic Legal Philosopy” diterjemahan Yudian W. Asmin, Al Ikhlas, Surabaya, hlm. 225. 30 Zaenudin, “Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Menyelaraskan Realitas dengan Maqashid AlSyariah)”, Media Bina Ilmiah, Vol. 6, No. 6, Desember 2012, hlm. 20. 31 Ahmad Sudirman Abbas, 2004, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, hlm. 61. 32 Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, 2006, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Khalista, Surabaya, hlm. 177. 33 Djazuli, 2007, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kencana, Jakarta, hlm. 68. 34 Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab Tauhid, diterjemahkan Yusuf Harun, Islamic Propagation Office in Rabwah, Riyyadh, hlm. 4-5. (tanpa tahun) 29
8
sebagaimana tujuan ajaran islam, yang salah satunya adalah dengan tidak melakukan monopoli.
2. Rasionalitas Ekonomi terhadap Keberadaan Monopoli a. Harga sebagai Petunjuk Hadir Tidaknya Efisiensi Pelaku monopoli adalah seorang penjual (atau kelompok yang bertindak seperti penjual tunggal) yang dapat mempengaruhi harga produk dengan cara mengubah kuantitas produk yang ia jual.35 Studi mengenai monopoli ini telah dikaji secara intensif selama bertahun-tahun oleh para ekonom dengan basis ilmu ekonomi yang mereka dikuasai dan bebas dari keterlibatan ilmu hukum. Kajian ekonomi
menunjukkan
bahwa
proses
persaingan
pada
pasar
dapat
mengalokasikan kelangkaan sumber daya terbatas secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.36 Ini menjadi kunci untuk menjelaskan keberadaan monopoli dan bagian penting dari justifikasi larangan monopoli.37 Ilmu ekonomi menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk ekonomi akan senantiasa bertindak berdasarkan kepentingan pribadi (self-interested) dalam memaksimalkan keuntungan (profit) dan manfaat (utility), atau sering disebut sebagai methodological individualism and rational action (MIRA).38 MIRA digunakan sebagai kerangka untuk mengoptimalkan kesejahteraan sosial dalam pasar persaingan dengan didasarkan premis-premis berikut: (1)kesejahteraan individu hanya dapat diukur menurut pribadi individu sendiri, tidak untuk diperbandingkan secara silang; (2)keuntungan optimal didefinisikan sebagai Pareto-efficiency, dimana keuntungan maksimal individu hadir tanpa menjadikan 35
Richard A. Posner, 1976, Antitrust Law: An Economic Perspective, The University of Chicago Press, Chicago, hlm. 8. 36 Thomas J. Miceli, 2004, The Economic Approach to Law, Standford University Press, California, hlm. 6. 37 Louis Kaplow dan Carl Shapiro, “Antitrust”, dalam A. Mitchell Polinsky dan Steven Shavell (eds), 2007, Handbooks in Economics 27: Handbooks of Law and Economics, Horth Holland – Elseiver, Amsterdam, hlm. 1213. 38 Lance Taylor, 2004, Reconstructing Macroeconomics: Structuralist Proposals and Critiques of the Mainstream, Harvard University Press, Cambridge, hlm. 44.
9
individu lainnya menderita, bilamana tidak tercapai, maka menggunakan KaldorHicks efficiency, yang menekankan kompensasi bagi pihak yang tercederai akibat tercapainya kesejahteraan pihak lain; dan (3)tidak ada externalities dalam persaingan
ekonomi,
dan
apabila
para
pelaku
usaha
bersaing
untuk
memaksimalkan keuntungan, maka semua pertukaran pada pasar produk dan faktor-faktor produksi akan cenderung menghadirkan harga sebanding dengan biaya marginal, yang berarti rasio pertukaran menunjuk kehadiran kesejahteraan masyarakat.39 Hasil kajian ekonomi memperlihatkan bahwa harga menjadi titik tolak untuk menjelaskan efisien tidaknya mekanisme pasar dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Harga terbentuk dari proses persaingan dan bukan dari jumlah pelaku dalam pasar40, karena tingkat harga berkolerasi dengan posisi permintaan-penawaran sebagai sifat alamiah dari produk dalam pasar.41 Harga menjadi pedoman untuk mengetahui dimana sumber daya yang paling dibutuhkan, dan juga menghadirkan insentif bagi manusia untuk mengikuti pedoman tersebut. Selain itu, faktor harga bekerja atas fungsi distribusi produk bahwa harga lain, yang disebut biaya produksi, dapat bekerja atas fungsi penetapan standar dan mengorganisasi produksi.42
b. Analisis Formal Monopoli Dari uraian sub-bab sebelumnya, pertanyaan awal yang perlu dijawab adalah bilamana harga memberikan informasi mengenai efisien tidaknya suatu pasar, maka bagaimana harga yang dibentuk dari pelaku monopoli? Apakah ia mengakibatkan konsumen menderita? 39
Jeffrey M. Perloff, 2012, Microeconomics (Sixth Edition), Addison-Wesley¸ Boston, hlm. 316 – 317. 40 Robert H. Bork, “The Rule of Reason and the Per Se Concept: Price Fixing and Market Division, Part II”, The Yale Law Journal, Vol. 75, No. 3, 1965, hlm. 377. 41 George J. Strigler, “The Kinky Oligopoly Demand Curve and Rigid Price”, dalam J. Strigler dan Kenneth E. Boulding (eds), 1952, The Series of Republished Articles on Econom: Vol. IV, George, Richard D. Irwing Inc., Chicago, hlm. 419. 42 Milton Friedman, 2008, Price Theory, Transaction Publishers – New Brunswick, New Jersey, hlm. 9.
10
Pelaku monopoli diasumsikan menjual produknya pada satu harga. Tetapi, demi mempertahankan posisi, bisa jadi pelaku monopoli membuat variasi harga agar konsumen tetap menginginkan produknya. Pelaku monopoli berusaha mengesankan selisih harga tinggi untuk produk pengganti berkualitas rendah, dan mengesankan selisih harga rendah untuk produk pengganti berkualitas tinggi. Misalkan pelaku monopoli dapat melakukan diskriminasi harga secara sempurna dan utuh: setiap penjualan dibuat pada harga yang seimbang dengan nilai yang diinginkan konsumen. Hasilnya adalah perbandingan antara diskriminasi harga (a) dan monopoli harga (b) sebagaimana gambar berikut43:
Gambar Perbandingan Diskriminasi Harga dan Monopoli Harga Kurva permintaan (dd) masing-masing digabungkan sehingga menjadi a – bQ , dimana a merupakan poros vertikal dan dikurangi b, karena diasumsikan permintaan terhadap luaran, Q, selalu menurun. Kurva permintaan membentuk harga, maka P = a – bQ. Biaya marjinal, C, diasumsikan tetap. Sejak total penerimaan sebanding dengan harga, dan sejak biaya total sebanding dengan biaya marjinal, serta sejak keuntungan merupakan perbedaan antara total penerimaan dengan biaya total, maka dapat ditulis π sebagai keuntungan pelaku
43
Richard A. Posner, 1976, Op.cit., hlm. 242.
11
monopoli dan € merupakan elstisitas permintaan terhadap pelaku monopoli.44 Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: π = (a – bQ)Q – CQ , karena C = (a – bQ) – (a – bQ)/ €, maka dapat ditampilkan π = (a – bQ)Q – ((a – bQ) – (a – bQ)/ €) π = keuntungan; Q = kuantitas produk dimana pelaku monopoli menjualnya untuk mendapat keuntungan (π) maksimal; C = biaya marjinal; a = diskriminasi harga b = monopoli harga € = elastisitas permintaan terhadap produk pelaku monopoli.45
Dari rumus diatas diketahui bahwa keuntungan pelaku monopoli tidak berdiri sendiri tetapi tergantung dari elastisitas permintaan produk yang ia tawarkan. Selain itu bilamana biaya marjinal rendah, maka keuntungan maksimum pelaku monopoli yang dicapai dengan terpenuhinya persyaratan biaya marjinal sebanding dengan kenaikan penerimaan total (MC = MR), akan mengakibatkan banyaknya kuantitas dan rendahnya harga produk. Ini berarti konsumen sejahtera sebagaimana pelaku monopoli.46 Yang artinya efisiensi alokasi tercapai. Uraian memperlihatkan bahwa pelaku monopoli tidak perlu khawatir untuk menaikkan harga dengan cara mengurangi kuantitas produksi, karena itu akan memberikan insentif kepada pelaku usaha lain untuk memasuki pasar. Sekalipun mungkin pelaku usaha lain tidak mengantisipasinya (yakni tidak memasuki pasar), pelaku monopoli hanya akan menikmati kenaikkan harga untuk sementara. Sebab konsumen adalah mahluk rasional, yang berarti bilamana
44
Ibid., hlm. 243. Ibid., hlm. 243, 244 dan 246. 46 Robert H. Bork, 1978, The Antitrust Paradox: A Policy at War with Itself, Basic Books Inc. Publisher, New York, hlm. 101. 45
12
tingkat harga yang ada tidak sesuai dengan preferensinya47, konsumen akan beralih dari produk tersebut. Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya pelaku monopoli mendapat keuntungan 20 milyar rupiah untuk penjualan produk X sejumlah 20 juta unit. Ia berharap mendapatkan tambahan keuntungan 5 milyar rupiah, bilamana kuantitas X hanya 15 juta unit. Dalam hal X terdapat produk pengganti dari pelaku usaha lain, maka pelaku monopoli akan berusaha mengesankan konsumen: bahwa harga X lebih murah sedikit dari produk pengganti berkualitas tinggi, serta lebih murah banyak dari produk pengganti berkualitas rendah. Apabila ia benar-benar mengurangi produksi X sebesar 5 juta unit di pasar, maka itu justru menjadi insentif bagi para pelaku usaha lain untuk menambah produksinya, baik yang berkualitas tinggi maupun rendah. Tujuan para pelaku usaha lain tersebut adalah untuk mencukupi kekurangan X sejumlah 5 juta unit di pasar. Beralihnya konsumen ke produk pengganti mengembalikan keseimbangan pasar. Katakan X sama sekali tidak mempunyai produk pengganti, sehingga disana tidak diperlukan variasi harga, atau dengan kalimat lain pelaku monopoli menjual X pada satu harga saja. Ketika ia mengurangi produksi X sebesar 5 juta unit di pasar, maka harga X yang naik mungkin dianggap konsumen tidak sebanding dengan keuntungan yang diberikan. Dikatakan mungkin, sebab preferensi konsumen yang dituntun harga adalah sederhana, selama tingkat harga yang ada memberikan keuntungan lebih banyak daripada kerugian, maka konsumen akan tetap mengkonsumsinya. Sebaliknya, konsumen mudah meninggalkan konsumsi suatu produk, bilamana harga yang tersedia memberikan kerugian lebih banyak daripada keuntungan. Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa harga menuntun preferensi konsumen untuk tindakan konsumsinya. Analisis formal monopoli yang berbasis teori harga 47
Pendekatan ekonomi terhadap perilaku menggambarkan bahwa setiap motivasi individu untuk melakukan sesuatu selalu dituntun logika untung (insentif) dan rugi (disinsentif). Inilah yang disebut preferensi. Lihat lebih lanjut Uri Gneezy dan John A. List, 2013, TheWhy Axis: Hidden Motives and the Undiscovered Economics of Everyday Life, PublicAffairs, New York, hlm. 3.
13
dapat memperlihatkan, bahwa kekhawatiran ada kerugian bagi konsumen bilamana pelaku monopoli mengurangi kuantitas produksinya untuk menaikkan harga, merupakan hal yang sangat berlebihan.48
3. Hal-hal yang Sebaiknya Diperhatikan dalam Menjalankan Larangan Hukum Islam terhadap Monopoli Ajaran islam secara tegas melarang monopoli. Pendapat para pemikir hukum islam dari keempat mahzab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) membuktikan larangan monopoli berkategori muamalah. Keempatnya secara terang menyebutkan larangan monopoli berbasis konsekuensialis, yakni larangan karena ada akibat kerugian kepada masyarakat. Posisi serupa juga ditunjukkan beberapa konsep yang menjawab mengapa islam melarang monopoli, yakni: maslahah, saddu zara’i, ta'assuf fi al-Isti'mal al-haq, maqasid al-syariah, qawa’id fiqhiyyah, dan tauhid. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa larangan monopoli merupakan perangkat hukum islam guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Terdapat parameter seperti penimbunan, kenaikkan harga, dan kelangkaan, untuk mengarahkan bahwa yang dimaksud kesejahteraan umat manusia dalam konteks ini adalah kesejahteraan konsumen. Sementara analisis formal monopoli mampu menjelaskan secara gamblang bahwa diskriminasi harga dan monopoli harga tidak serta merta merugikan konsumen. Disinilah diperlukan kehati-hatian dalam menjalankan larangan hukum islam terhadap monopoli. Sebagaimana hukum islam tidak menginginkan pelaku usaha mengambil keuntungan dari konsumen tanpa alasan yang dapat diterima, hukum islam pasti juga tidak menginginkan konsumen menyalahkan pelaku usaha atas kenaikkan harga produk di pasar tanpa alasan yang jelas. 48
Kekhawatiran ini misalnya ditunjukkan Edward Chamberlin. Lihat Don Bellante, “Edward Chamberlin: Monopolistic Competition and Pareto Optimality”, Journal of Business & Economic Research, Vol. 2, No. 4, 2004. Lihat juga Alum Simbolon, “Kedudukan Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha Melaksanakan Wewenang Penegakan Hukum Persaingan Usaha”, Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3, Oktober 2012, hlm. 530.
14
Secara eksplisit, islam mendorong keadilan. Ini disebutkan Quran Surah Al Maidah : 8 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua senantiasa menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah, lagi menerangkan kebenaran dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak berlaku adil. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada siapapun juga) karena sikap adil itu lebih hampir kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan”. Mengulang pendapat Muhammad Baqer as-Sadr49 yang menyatakan larangan hukum islam terhadap monopoli memerlukan intervensi negara, maka pengadilan (sebagai bentuk intervensi negara) juga wajib menjunjung keadilan. Kewajiban pengadilan ini diterangkan Quran Surah An-Nisaa’ : 135 sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu senantiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi yang menerangkan kebenaran karena Allah, sekalipun terhadap diri kamu sendiri, ibu-bapak dan kerabat kamu. Kalaulah orang yang didakwa itu kaya atau miskin, maka janganlah kamu terhalang menjadi saksi yang menyampaikan kebenaran (disebabkan pertimbangan rasa), karena Allah lebih berimbang rasa kepada keduanya. Oleh karena itu, janganlah kamu turutkan hawa nafsu supaya kamu tidak menyelewengkan keadilan. Dan jika kamu memutarbalikkan keterangan atau enggan bersaksi, maka sesungguhnya Allah senantiasa Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan.” Jelas, bahwa sumber primer hukum islam diatas menekankan kewajiban (obligation) untuk berlaku adil. Oleh karenanya argumen kehatian-hatian dalam menjalankan larangan hukum islam terhadap monopoli menjadi relevan. Argumen ini menyisakan pertanyaan: bilamana diskriminasi harga dan monopoli harga tidak serta merta merugikan konsumen, maka dalam situasi apa monopoli dibenarkan untuk dilarang?
49
Chibli Mallat, Loc.cit.
15
Kerugian merupakan penderitaan yang menimpa satu pihak akibat inefisiensi dalam proses pertukaran dengan pihak lainnya. Pareto-efficiency tidak tercapai dan disana tidak ada Kaldor-Hicks efficiency. Dalam konteks ini, kerugian konsumen terjadi bilamana pertukaran dengan pelaku usaha tidak dilakukan sukarela.50 Konsumen mau tidak mau harus menerima harga atas ketersediaan produk yang dibutuhkannya. Situasi demikian muncul bilamana tidak ada persaingan antar pelaku usaha pada saat menuju proses pertukaran. Sehingga ketidakhadiran persaingan bukan dipahami sebagai keadaan dimana hanya terdapat satu pelaku usaha sebagai satu-satunya penjual (atau kelompok yang bertindak seperti penjual tunggal) yang melawan efisiensi alokasi. Seperti telah diuraikan analisis formal monopoli, bahwa keseimbangan pasar akan pulih secara alamiah bilamana hanya ada satu pelaku usaha (atau kelompok yang bertindak seperti penjual tunggal) yang melawan efisiensi alokasi. Tetapi pemulihan keseimbangan pasar secara alamiah dapat tidak terjadi apabila ada kesepakatan antar pelaku usaha pesaing untuk melawan efisiensi alokasi. Sampai disini mungkin timbul pertanyaan: mengapa fokus larangan monopoli hanya ditujukan terhadap efisiensi alokasi? Padahal disamping efisiensi alokasi terdapat efisiensi produksi? Disampaikan kembali uraian sebelumnya, bahwa harga memberikan informasi mengenai efisiensi alokasi dan efisiensi produksi. Efisiensi alokasi dikaitkan dengan penggunaan sumber daya terbatas secara tepat. Sedangkan efisiensi produksi berkenaan dengan penetapan standar dan pengorganisasian produksi. Sebagai penjelasan mengapa larangan monopoli hanya ditujukan terhadap perilaku yang menentang efisiensi alokasi, akan diberikan ilustrasi sederhana. Misalnya pelaku usaha menjual produk X. Pengambilan X dari distributor dilakukan pelaku usaha dengan menggunakan armada darat yang sudah berusia 25 50
Pertukaran sukarela dipastikan menghadirkan efisien, terlepas dari apapun menurut hukum. Dengan demikian, maka inefisiensi hadir dalam pertukaran tidak sukarela. Lihat Ronald H. Coase, “The problem of Social Cost”, The Journal of Law and Economics, Vol. III, Oktober 1960, hal. 18.
16
tahun. Karena armada darat sudah berusia tua, maka boros bahan bakar dan mahal biaya perawatan. Ini menyebabkan biaya produksi tinggi, sehingga harga jual X juga menjadi tinggi. Pelaku usaha tidak bersedia mengganti armada, dan karena penurunan fungsi mesin berjalan seiring bertambahnya usia, maka semakin tahun biaya produksi semakin tinggi, dan tentu saja ini berbanding lurus terhadap harga jual X. Dari ilustrasi diatas, harga X yang tinggi bukan diakibatkan berkurangnya kuantitas, tetapi disebabkan pelaku usaha tidak mengorganisasi produksi secara efisien. Oleh karenanya larangan monopoli tidak perlu dikenakan kepada pelaku usaha ini, sekalipun ia bersepakat dengan pelaku usaha pesaingnya untuk tetap menggunakan armada darat yang sudah berusia 25 tahun. Dikatakan tidak perlu, sebab efisiensi produksi tidak dalam batas yang sama dengan kerugian konsumen akibat monopoli.51 Seperti disampaikan Al-Robi52 bahwa keempat mahzab pemikiran hukum islam sendiri secara lugas menyebutkan adanya rekayasa kenaikkan permintaan sebagai syarat mutlak larangan monopoli. Tidak lain tidak bukan, bahwa yang dimaksud oleh para ahli pemikiran hukum islam tersebut adalah perilaku yang melawan efisiensi alokasi. Kembali ke pemulihan keseimbangan pasar secara alamiah dapat tidak terjadi apabila ada kesepakatan antar pelaku usaha pesaing untuk melawan efisiensi alokasi. Disini dikatakan “dapat”, yang berarti tidak semua kesepakatan antar pelaku usaha pesaing mampu melawan efisiensi alokasi secara efektif. Hanya ada dua bentuk perilaku yang mampu melawan efisiensi alokasi secara efektif. Bentuk perilaku yang pertama berupa tindakan antar pelaku usaha pesaing yang menyepakati perjanjian menetapkan harga (horizontal price fixing). Dilihat dari tujuannya, perjanjian ini ada dua jenis: (1)perjanjian horisontal bersifat eksplisit (explicit), yang ditujukan semata-mata untuk mengurangi
51 52
Robert H. Bork, 1978, Op.cit., hlm. 106. Musaed N. Alotaibi, Loc.cit.
17
kuantitas produk53; dan (2)perjanjian horisontal bersifat tambahan (ancillary), yang tidak ditujukan semata-mata untuk mengurangi kuantitas produk dan masih terdapat alasan pro-persaingan.54 Larangan monopoli ditujukan terhadap perjanjian horisontal menetapkan harga yang bersifat eksplisit (explicit) bukan tambahan (ancillary). Argumennya adalah bahwa perjanjian jenis pertama membahayakan persaingan dan merugikan konsumen, sementara perjanjian jenis kedua masih menunjung persaingan serta masih memberikan keuntungan bagi konsumen.55 Bentuk perilaku yang kedua berupa tindakan antar pelaku usaha pesaing untuk menggabungkan diri dalam persentase sangat besar (very large horizontal merger). Yang penting diperhatikan adalah bahwa ketika penggabungan horisontal merupakan cara termurah mencapai ukuran yang dibutuhkan untuk mencapai efisiensi, sementara biaya pertumbuhan ukuran menjadi beban konsumen, maka biaya pertumbuhan ukuran yang sangat besar akan mencegah pencapaian efisiensi. Ukuran persentase yang sangat besar diarahkan terhadap penguasaan 95% atau lebih pangsa pasar.56 Sekalipun pelaku usaha yang melakukan diskriminasi harga dan monopoli harga tidak perlu dipermasalahkan, tetapi penyatuan dua atau lebih pelaku usaha pesaing menjadi satu pelaku usaha yang mempunyai minimal 95% pangsa pasar dapat menarik larangan monopoli. Alasannya adalah bahwa penggabungan horizontal berukuran besar melakukan: eliminasi pesaing dan penetapan harga (melalui penggabungan, harga menjadi ditetapkan).57 Tetapi sekali lagi, tindakan ini dapat menarik larangan monopoli, bukan serta merta menarik larangan monopoli. Ada kondisi “pra” dan “pasca” yang perlu diperhatikan. Kondisi prapenggabungan horisontal membutuhkan waktu, dimana kebutuhan waktu ini 53
Robert H. Bork, 1978, Op.cit., hlm. 263. Ernest Gellhorn dan William E. Kovavic, 1994, Antitrust Law and Economics in a Nutshell, West Group, Minnessota, hlm. 172. 55 Ibid., hlm. 169. 56 Robert H. Bork, 1978, Op.cit., hlm. 222. 57 Ibid., hlm. 264. 54
18
menimbulkan biaya yang menjadi beban konsumen. Sedangkan kondisi pascapenggabungan,
sekalipun
pelaku
usaha
hasil
penggabungan
melakukan
diskriminasi harga dan monopoli harga, hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan, karena keseimbangan pasar akan pulih secara alamiah. Fokus larangan monopoli terhadap penggabungan horisontal berukuran besar diarahkan untuk membatasi waktu yang dibutuhkan pelaku usaha, sehingga proses penggabungan menjadi cepat, dan konsumen tidak perlu menunggu keseimbangan pulih secara alamiah pada kondisi pasca-penggabungan.58
C. Penutup Berdasarkan pembahasan diatas, diketahui bahwa hukum islam melarang monopoli. Fleksibilitas hukum islam menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak fundamental diantara empat mahzab pemikiran hukum islam terkait definisi monopoli. Prinsip yang tidak terbantahkan dalam larangan hukum islam terhadap monopoli adalah bahwa larangan itu sejak awal ditujukan terhadap perilaku yang melawan efisiensi alokasi. Prinsip demikian cocok dengan pendekatan hukum dan ekonomi yang mengembalikan hukum kepada efisiensi. Pendekatan hukum dan ekonomi terhadap monopoli memperlihatkan bahwa harga merupakan pedoman hadir tidaknya efisiensi pasar, serta menunjukkan bahwa diskriminasi harga dan monopoli harga tidak serta merta merugikan
konsumen.
Kedua
penjelasan
layak
dipertimbangkan,
agar
proporsional mendudukkan pelaku usaha dan konsumen dalam menjalankan larangan hukum islam terhadap monopoli. Proporsionalitas (keadilan) sendiri menjadi kewajiban yang ditekankan dalam hukum islam. Hukum islam tidak menginginkan pelaku usaha mengambil keuntungan dari konsumen tanpa alasan yang dapat diterima, sebagaimana hukum islam tidak menginginkan konsumen menyalahkan pelaku usaha atas kenaikkan harga produk tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu kehatian-hatian menjadi penting dalam menjalankan larangan hukum islam terhadap monopoli. 58
Ibid., hlm. 222.
19
Kehatian-hatian diwujudkan melalui: (1)memaknai monopoli sebagai ketidakhadiran persaingan dan ketiadaan pilihan harga; (2)memberikan kriteria penyebab monopoli berupa kesepakatan antar pelaku usaha pesaing yang mampu melawan efisiensi alokasi secara efektif; dan (3)mengarahkan larangan monopoli terhadap dua bentuk perilaku: menyepakati perjanjian horisontal menetapkan harga yang bersifat eksplisit, dan melakukan penggabungan horisontal berukuran besar yang mengabaikan proses penggabungan secara cepat.
20
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abbas, Ahmad Sudirman, 2004, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta. Akgunduz, Ahmed, 2010, Islamic Law in Theory and Practice: Introduction to Islamic Law, IUR Press, Rotterdam. Al-Syathibi, Abu Ishak, 1973, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar alMa’rifah, Beirut. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi 1990, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Bork, Robert H., 1978, The Antitrust Paradox: A Policy at War with Itself, Basic Books Inc. Publisher, New York. Bowen, John R., 2003, Islam, Law, and Equality in Indonesia: an Antropology of Public Reasoning, Cambridge University Press, Cambridge. Djalil, A. Basiq, 2010, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Kencana, Jakarta. Djazuli, 2007, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kencana, Jakarta. Friedman, Milton, 2008, Price Theory, Transaction Publishers – New Brunswick, New Jersey. Gellhorn, Ernest et al., 1994, Antitrust Law and Economics in a Nutshell, West Group, Minnessota. Gneezy, Uri et al., 2013, TheWhy Axis: Hidden Motives and the Undiscovered Economics of Everyday Life, PublicAffairs, New York. Haq, Abdul et al., 2006, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Khalista, Surabaya. Haroen, Nasroen, 1996, Ushul Fiqh, Logos Publishing House, Jakarta. Mallat, Chibli, 2003, The Renewal of Islamic Law: Muhammad Baqer as-Sadr, Najaf and the Shi'i International, Cambridge University Press, Cambridge. Mas'ud, Muhammad Khalid, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, judul asli “Islamic Legal Philosopy” diterjemahan Asmin, Yudian W., Al Ikhlas, Surabaya.
21
Mercuro, Nicholas et al., 1999, Economics and the Law from Posner to Post Modernism, Princeton University Press, New Jersey. Miceli, Thomas J., 2004, The Economic Approach to Law, Standford University Press, California. Moore, Adam D., 2009, Intellectual Property and Information Control: Philosophic Foundations and Contemporary Issues, Transaction Publisher, New Jersey. Muhammad, Kitab Tauhid, diterjemahkan Harun, Yusuf, Islamic Propagation Office in Rabwah, Riyyadh. (tanpa tahun). Nurhayati, Sri, 2013, Akuntansi Syariah di Indonesia (Edisi 3), Penerbit Salemba, Jakarta. Perloff, Jeffrey M., 2012, Microeconomics (Sixth Edition), Addison-Wesley¸ Boston. Posner, Richard A., 1976, Antitrust Law: An Economic Perspective, The University of Chicago Press, Chicago. ________________., 1992, Economic Analysis of Law (Fourth Edition), Little Brown & Company, Nevada. Spiegel, Henry William, 1991, The Growth Of the Economic Thought (Third Edition), Duke University Press, North Carolina. Taylor, Lance, 2004, Reconstructing Macroeconomics: Structuralist Proposals and Critiques of the Mainstream, Harvard University Press, Cambridge. Vikør, Knut S., 2005, Between God and the Sultan: A History of Islamic Law, Oxford University Press, New York.
B. Artikel Jurnal Al-Munawar, H. Said Agil Husin, “Konsep al-Maslahah sebagai Salah Satu Sumber Perundangan Islam”, Islamiyyat, Vol. 18 & 19, 1998. Bellante, Don, “Edward Chamberlin: Monopolistic Competition and Pareto Optimality”, Journal of Business & Economic Research, Vol. 2, No. 4, 2004.
22
Bork, Robert H. “The Rule of Reason and the Per Se Concept: Price Fixing and Market Division, Part II”, The Yale Law Journal, Vol. 75, No. 3, 1965. Coase, Ronald H., “The problem of Social Cost”, The Journal of Law and Economics, Vol. III, Oktober 1960. Ibrahim, Mahmood, “Social Economic Conditions in Pre-Islamic Mecca”, International Journal of Middle East Studies, Vol. 14, No.3 , Agustus 1982. Saifullah, Muhammad, “Etika Bisnis Islami dalam Praktik Bisnis Rasulullah”, Walisongo, Vol. 19, No. 1, Mei 2011. Saleh, Fauzi, “Problematika Talfiq Mahzab dalam Penemuan Hukum Islam”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011. Simbolon, Alum, “Kedudukan Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha Melaksanakan Wewenang Penegakan Hukum Persaingan Usaha”, Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3, Oktober 2012. Zaenudin, “Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Menyelaraskan Realitas dengan Maqashid Al-Syariah)”, Media Bina Ilmiah, Vol. 6, No. 6, Desember 2012.
C. Hasil Penelitian/Tugas Akhir Alotaibi, Musaed N., 2010, “Does the Saudi Competition Law Guarantee Protection to Fair Competition? A Critical Assessment”, A thesis submitted in fulfilment for the requirements of the degree of Doctor of Philosophy at the University of Central Lancashire.
D. Makalah/Pidato Hasan, Zulkifli, “Islamic Perspective on Competition Law and Policy”, International Conference on Law and Commerce, International Islamic University Malaysia and Victoria University, Australia, 29 September 2005.
23
E. Artikel dalam Antologi dengan Editor Kaplow, Louis et al., “Antitrust”, dalam Polinsky, A. Mitchell et al. (eds), 2007, Handbooks in Economics 27: Handbooks of Law and Economics, Horth Holland – Elseiver, Amsterdam. Strigler, George J., “The Kinky Oligopoly Demand Curve and Rigid Price”, Strigler,
J. et al. (eds), 1952, The Series of Republished Articles on
Econom: Vol. IV, George, Richard D. Irwing Inc., Chicago.
24