BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori penunjang yang digunakan dalam penelitian sistem pengenalan karakter plat kendaraan pada citra uji kendaraan, ringkasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian ini, dan perbedaan sistem yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. 2.1
Tinjauan Mutakhir Penelitian “Analisis Sistem Pengenalan Karakter Plat Kendaraan dari Citra
Kendaraan” disusun menggunakan acuan beberapa referensi yang membahas topik berkaitan dengan pengenalan karakter plat kendaraan. Beberapa referensi yang akan digunakan sebagai acuan pengembangan penelitian ditentukan berdasarkan topik terkait penelitian, metode yang digunakan, dan algoritma simulasi yang diterapkan dalam penelitian tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan batasan-batasan masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis memilih beberapa referensi sebagai acuan penelitian
serupa yang menggunakan
arsitektur sistem, metode, dan alur pengembangan yang berbeda satu sama lain. Uraian singkat referensi tersebut adalah sebagai berikut. 1. PENGENALAN PLAT NOMOR POLISI KENDARAAN BERMOTOR
(Tugas akhir Ottopianus Mellolo, Program Studi Teknik Elektro Politeknik Manado Jurnal Ilmiah Sains Vol. 12. No. 1, April 2012). Dalam penelitiannya, ottopianus menggunakan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Martinsky dengan judul Algoritmic and Mathematical Principle of Automatic Number Plate Recognition Systems dengan JavaANPR perangkat lunak yang digunakan untuk mengenali plat nomor polisi yang terdapat dalam citra kendaraan (plat dasar putih/terang tulisan hitam/gelap)
untuk
mendeksi
karakter
6
plat
kendaraan.
Ottorpianus
7
menggunakan Hough transform untuk mendeteksi plat dari kendaraan dan juga thresholding untuk membuat input citra tersebut menjadi hitam dan putih
2. Segmentasi Plat Nomor Kendaraan Dengan Menggunakan Metode RunLength Smearing Algorithm (RLSA) (Tugas Akhir Liliana, Universitas Kristen Petra) Dalam
penelitian
Liana,
membahas
tentang
pengembangan
aplikasi
menggunakan metode run-lengths mearing untuk mencari lokasi plat nomor kendaraaan. Pada penelitian ini menggunakan warna biru pada citra uji sebagai pengganti grayscale untuk memudahkan pengenalanan pada plat nomor kendaraan di Indonesia yang cenderung berwarna gelap yang menyebabkan proses pencarian posisi tidak bisa dilakukan dengan mengenali warna plat. Penerapan proses smearing dalam penelitian Liana dilakukan sebanyak tiga kali dengan melakukan scan line secara vertikal dan horizontal secara bergantian hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Dari penelitian yang dilakukan dengan citra uji plat kendaraan dengan jarak pengambilan gambar sejauh 2 sampai 2,5 meter , posisi plat kendaraan dapat dikenali dengan baik. Namun hasil pengenalan posisi plat nomor dalam penelitian ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan warna kendaraan saat pengambilan citra uji. 3. Analisis Sistem Pendeteksi Posisi Plat
Kendaraan Dari Citra Kendaraan
(IDewa Gede Aditya Pemayun , Jurnal Teknik Elektro Universitas Udayana) Dalam jurnal Aditya, memaparkan pendeteksian posisi plat kendaraan bermotor menggunakan teknik pengolahan citra digital dengan menggunakan metode Transformasi Hough dimana sistem akan mendeteksi garis vertikal maupun garis horizontal sebagai kandidat sisi plat, kemudian membandingkan masing masing garis dalam tahap threshoding untuk menemukan pasangan tinggi plat secara vertikal dan lebar plat secara horizontal. Sistem diharapkan mampu mendeteksi posisi plat kendaraan dan dapat membedakan objek area plat dengan objek lainnya dalam citra kendaraan. Untuk hasil simulasi deteksi
8
horizontal menunjukkan keberhasilan 90% dengan 10% tingkat kegagalan. Simulasi skenario kedua deteksi vertikal mendapatkan tingkat keberhasilan 35% dengan persentase kegagalan yang lebih tinggi sebesar 65%. Skenario gabungan mendapatkan keberhasilan sistem dalam mendeteksi 20 citra sampel adalah 95% dengan persentase kegagalan 5%. 2.2
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) merupakan salah satu bentuk
identitas kendaraan yang resmi dikeluarkan oleh Kantor Bersama Samsat. Secara fisik bentuk identitas kendaraaan ini berupa potongan plat aluminium yang memiliki nomor seri yakni susunan huruf dan angka berbeda pada setiap kendaraan. Identitas ini dapat pula disebut plat nomor atau nomor polisi (nopol) yang terpasang pada bagian depan dan belakang kendaraan bermotor. Nomor ini di Indonesia dipadukan dengan informasi lain mengenai kendaraan bersangkutan, seperti warna, merk, model, tahun pembuatan, nomor identifikasi kendaraan atau VIN dan tentu saja nama dan alamat pemilikinya. Semua data ini juga tertera dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) yang merupakan surat bukti bahwa nomor polisi itu memang ditetapkan bagi kendaraan tersebut. Selain itu, plat nomor juga diakui secara sah sebagai bukti bahwa kendaraan tersebut sudah memiliki izin untuk beroperasi di jalan raya umum, atau juga sebagai bukti pembayaran pajak kendaraan bermotor. 2.2.1 Spesifikasi Teknis Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Tanda nomor kendaraan bermotor di Indonesia berbentuk plat aluminium dengan cetakan tulisan dua baris. Baris pertama menunjukkan: kode wilayah (huruf), nomor polisi (angka), dan kode akhir wilayah (huruf) baris kedua menunjukkan bulan dan tahun masa berlaku. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) terbuat dari aluminium denganketebalan satu milimeter dan ukuran untuk kendaraan bermotor roda 2 dan roda 3 adalah 275 x110 mm,sedangkan untuk kendaraan bermotor roda 4 atau lebih
9
adalah 430 x135 mm. Terdapat lis putih di sekeliling plat yang guna memperjelas area plat kendaraan. Pada sudut kanan atas dan sudut kiri bawah terdapat tanda khusus (security mark) cetakan lambang Polisi Lalu Lintas; sedangkan pada sisi sebelah kanan dan sisi sebelah kiri ada tanda khusus cetakan "DITLANTAS POLRI"(Direktorat Lalu Lintas Kepolisian RI) yang merupakan hak paten pembuatanTNKB oleh Polri dan TNI.
Gambar 2.1Penomoran Plat kendaraan Bermotor (Sumber :Anonim. 2013)
2.2.2 Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Warna tanda nomor kendaraan bermotor yang berlaku di Indonesia ditetapkan sebagai berikut: 1.
Kendaraan bermotor bukan umum dan kendaraan bermotor sewa: warna dasar hitam dengan tulisan berwarna putih.
2.
Kendaraan bermotor umum: warna dasar kuning dengan tulisan berwarna hitam.
3.
Kendaraan bermotor milik pemerintah: warna dasar merah dengan tulisan berwarna putih.
4.
Kendaraan bermotor korps diplomatik negara asing: warna dasar putih dengan tulisan berwarna hitam.
10
5.
Kendaraan bermotor staf operasional korps diplomatik negara asing: warna dasar hitam dengan tulisan berwarna putih dan terdiri dari lima angka dankode angka negara dicetak lebih kecil dengan format sub-bagian.
6.
Kendaraan bermotor untuk transportasi dealer (pengiriman dari perakitan ke dealer, atau dealer ke dealer): warna dasar putih dengan tulisan berwarna merah.
2.3
Konsep Dasar Citra Citra (image) adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari
suatu objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpanpada suatu media penyimpan (Sutuyo dkk, 2009). 2.3.1 Citra Analog Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada layar televisi, foto sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemandangan alam, hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya. Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog, seperti : video kamera analog, kamera foto analog, WebCam, CT scan, sensor rontgen untuk foto thorax, sensor gelombang pendek pada sistem radar, sensor ultrasound pada sistem USG, dan lain-lain. 2.3.2 Citra Digital Citra digital adalah gambar dua dimensi yang dapat ditampilkan pada layar monitor komputer sebagai himpunan berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut pixel (picture elements). Pixel adalah elemen citra yang memiliki nilai yang menunjukkan intensitas warna. Citra digital (diskrit) dihasilkan dari citra analog
11
(kontinu) melalui digitalisasi. Digitalisasi citra analog terdiri atas penerokan (sampling) dan kuantisasi (quantization). Penerokan adalah pembagian citra ke dalam elemen-elemen diskrit (pixel), sedangkan kuantisasi adalah pemberian nilai intensitas warna pada setiap pixel dengan nilai yang berupabilangan bulat (Awcock, 1996). Banyaknya nilai yang dapat digunakandalam kuantisasi citra bergantung pada kedalaman pixel, yaitu banyaknya bit yang digunakan untuk merepresentasikan intensitas warna pixel. Kedalaman pixel sering disebut juga kedalaman warna. Citra digital yang memiliki kedalaman pixeln-bit disebut juga citra n-bit. Berdasarkan jenisnya, citra digital dapat dibagi menjadi 3 sebagai berikut (T. Sutuyo dkk, 2009). 1.
Citra Biner (Monokrom) Jenis citra yang paling sederhana yang biasa digunakan dalam digital image
processing adalah binaryimage atau citra biner. Binaryimage merupakan citra yang hanya dapat menampung 2 buah nilai (1 bit) untuk mewakili warna hitam dan putih dalam setiap pixel-nya.
Gambar 2.2Citra Biner (Sumber :http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)
Tiap-tiap pixel dalam citra biner hanya bernilai 0 atau 1 sehingga citra jenis biner hanya mempunyai 2 warna yaitu hitam dan putih. Jenis citra ini biasanya digunakan untuk gambar grafik, proses encoding, transmisi fax dan biasa digunakan dalam beberapa jenis printer.
12
2.
Citra Grayscale (skala keabuan) Citra grayscale merupakan citra 1 channel yang nilai setiap pikselnya
merepresentasikan derajat keabuan , intensitas warna putih atau tingkat intensitas cahaya pada citra tersebut. Nilai intensitas paling rendah merepresentasikan warna hitam dan nilai intensitas paling tinggi merepresentasikan warna putih. Oleh karena itu, citra grayscale juga dikenal dengan istilah intensity image. Nilai pixel pada citra grayscale umumnya memiliki kedalaman pixel 1byte atau 8 bit yang berada pada rentang nilai 0-255 (256 derajat keabuan) untuk mewakili intensitas cahaya. Citra grayscale mempunyai beberapa rentang bit yang dijelaskan pada tabel berikut. Tabel 2.1Rentang bit citra grayscale
Jumlah Channel
Jumlah Bit atau Pixel
Range
1
1
0…1
1
8
0…255
1
12
0…4095
1
14
0…16383
1
16
0…65535
(Sumber : http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)
3.
Citra Berwarna (color image) Citra berwarna merupakan jenis citra yang digunakan untuk gambar berwarna.
Jenis gambar berwarna yang biasa digunakan adalah jenis citra RGB yang terdiri dari 3 warna yaitu (red, green, blue) yang dikombinasikan
dengan masing-masing
intensitas berbeda untuk mengisi 1 warna pada setiap pixel-nya. Setiap warna pada citra RGB adalah warna dasar yang akan menghasilkan warna putih jika ketiga warna
13
tersebut dicampur dengan intensitas maksimum. Citra berwarna direpresentasikan dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen warna penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model warna yang digunakan pada citra tersebut. Umumnya sebuah pixel pada citra RGB terdiri dari 3 channel dimana masing-masing channel akan berisi sebuah warna dengan intensitasnya masing-masing. Untuk memetakan 1 buah channel atau warna pada suatu pixel, biasanya diperlukan minimal 8 bit. Oleh karena itu sebuah citra RGB akan memerlukan minimal 24 bit untuk setiap pixel yang digunakan.
Gambar 2.3 Citra RGB (Sumber : https://www.cs.cmu.edu)
2.4
Pra Pemrosesan Citra Digital
2.4.1 Grayscale Mengubah citra berwarna menjadi citra grayscale adalah proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing, hal ini dilakukan bertujuan untuk menyederhanakan model citra. Pada awalnya citra RGB umumnya terdiri dari 3 layer
14
matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama. Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.
Gambar 2.4 Citra Grayscale (Sumber : http://www.ece.rice.edu)
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:
Dimana :
=
+
s = Nilai derajat keabuan r = Nilai Red pada suatu nilai RGB g = Nilai Green pada suatu nilai RGB
3
+
15
b = Nilai Blue pada suatu nilai RGB Sesuai dengan paparan diatas, pengubahan citra berwarna menjadi grayscale dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai grayscale dari setiap layer R, G, dan B. Dalam penggunaan rata-rata nilai setiap layer dinilai masih belum optimal untuk menunujukkan citra grayscale sehingga dilakukan pengubahan komposisi sebagai berikut: + +
=
+ +
Dengan nilai =0.35, =0.25 dan =0.4 sehingga nilai
+
+
= 1 Fungsi
dari format warna gray ini adalah untuk memudahkan proses selanjutnya. Dengan format warna gray ini maka dihasilkan nilai R=G=B. ( Sutoyo, T. ) 2.4.2 Low Pass Filter Low pass filter merupakan metode dasar
yang banyak digunakan dalam
pengolahan citra digital. Low pass filter digunakan dalam pengolahan citra digital untuk menghaluskan citra. Suatu citra umumnya mengandung gangguan (derau /noise) yang mengganggu kualitas citra.
Derau dapat ditimbulkan dari proses
pengolahan yang tidak sesuai maupun dari gangguan fisis (optik) pada alat yang memberikan konribusi derau pada citra. Derau dapat dikurangi dengan menggunakan low pass filter sehingga citra menjadi lebih halus. ( Pitas, Loannis ) Low
pass
filter
juga
biasa
disebut
dengan
filter
blurring
atau
filtersmoothingdengan menghitung nilai rata-rata perubahan yang mencolok pada suatu piksel dengan 8
piksel tetangganya. Nilai rata-rata yang didapatkan akan
menggantikan nilai piksel sebelumnya. Citra yang telah melewati low pass filter akan terlihat lebih blur dibandingkan sebelum low pass filter.
16
2.4.3 Edge Detection Tepian sebuah citra memuat informasi penting dari citra dan dapat merepresentasikan objek-objek yang terdapat dalam citra, baik informasi bentuk objek, ukuran objek, bahkan dapat merepresntasikan tekstur objek dalam citra. Tepian citra adalah posisi dimana intensitas piksel dari citra berubah dari nilai rendah ke nilai tinggi atau sebaliknya (Putra, 2010). Deteksi tepi (Edge detection) adalah operasi yang dijalankan untuk mendeteksi garistepi (edges) yang membatasi dua wilayah citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda (Pitas, 1993). Deteksi tepi digunakan untuk mendeteksi seluruh edge atau garis-garis dalam citra yang membentuk objek gambar. Deteksi tepi dapat mendeteksi bagian bagian garis tersebut sehingga garis akan terlihat lebih jelas. Pengenalanan tepi penting digunakan dalam pengolahan citra digital guna meningkatkan garis batas suatu daerah atau obyek atau menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra yang bertujuan untuk menandai bagian tertentu pada citra dan untuk memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang terjadi karena error atau adanya efek dariproses akuisisi citra. Pelacakan tepi merupakan operasi untuk menemukan perubahan intensitas lokal yang berbeda dalam sebuah citra (Prasetyo, 2011, Gonzales, 2002). Gradien adalah hasil pengukuran perubahan dalam sebuah fungsi intensitas, dan sebuah citra dapat dipandang sebagai kumpulan beberapa fungsi intensitas kontinyu sebuah citra. Perubahan mendadak pada nilai intensitas dalam suatu citra dapat dilacak menggunakan perkiraan diskrit pada gradien. Gradien disini adalah kesamaan dua dimensi dari turunan pertama dan didefinisikan sebagai vektor (Gonzales, 2002). Seperti yang di tunjukan pada gambar 2.5 berikut :
17
Citra Awal
Differensial Arah Vertikal /
Differensial Arah Horizontal
+
/
Gambar 2.5 Proses Deteksi Tepi
Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi (edge) dari suatu citra bila titik tersebut mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Tepi merupakan perubahan nilai intensitas derajat keabuan yang tinggi dalam jarak yang singkat. Ada beberapa operator deteksi tepi yang umum digunakan yaitu: 1.
Operator Robert Operator Roberts merupakan operator deteksi tepi awal yang sederhana dan
memiliki tingkat komputasi yang cepat. Operator Roberts menggunakan turunan order pertama yang umumnya digunakan untuk citra grayscale. Operator ini dapat digambarkan dengan dua bentuk matriks ukuran 2x2 yang memiliki nilai berkebalikan sepanjang arah sumbu seperti berikut ini. (Darma Putra, 2010)
18
= =
1 0 0 −1 0 −1
1 0
Gambar 2.6 Deteksi tepi Roberts (a) Citra asli, (b) Operator Roberts Gx T=0.05, (c) Operator Roberts GyT=0.05 (Sumber: Darma Putra, 2010)
2.
Operator Prewitt Operator Prewitt diperkenalkan oleh Prewitt pada tahun 1970. Operator ini
merupakan operator yang dikembangkan guna mendapatkan nilai yang lebih stabil, dilakukan dengan cara mengkondisikan nilai rata-rata dalam operator Roberts. Operator Prewitt dikembangkan dengan nilai matriks baru dalam tiga bentuk baris atau kolom seperti berikut. (Darma Putra, 2010) =
−1 −1 −1 0 0 0 1 1 1
=
−1 0 1 1 0 1 −1 0 1
19
3.
Operator Sobel Operator Sobel merupakan operator yang lebih sensitif dengan tepian diagonal.
Operator ini merupakan pengembangan dari metode Robert dengan menggunakan filter HPF yang diberi satu angka nol penyangga. Kelebihan dari metode ini dapat mengurangi noise sebelum melakukan perhitungan deteksi tepi. Operator ini terbentuk dari matriks 3x3 seperti matriks (Darma Putra, 2010) =
−1 −2 −1 0 0 0 1 2 1
=
−1 0 1 2 0 2 −1 0 1
Gambar 2.7Deteksi tepi Sobel (a) Citra asli, (b) Operator Sobel horizontal T=0.05, (c) Operator Sobel vertikal T=0.05 (Sumber: Darma Putra, 2010)
4.
Operator Canny Deteksi tepi canny merupakan salah satu deteksi tepi yang populer, kuat, dan
efektif dalam rangka menghasilkan citra tepian (Marquest, 2011). Menurut Putra (2010), dalam buku Pengolahan Citra Digital ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menggunakan deteksi tepi canny adalah sebagai berikut.
20
a.
Langkah pertama diawali dengan menerapkan tapis Gaussian untuk menghilangkan derau yang terkandung pada citra. Proses Gaussian filter ini akan menghasilkan citra yang lebih halus dan tampak kabur dibandingkan dengan citra sebelum ditapis. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan citra yang sebenarnya. Bila tidak dilakukan maka garis-garis halus juga akan terdeteksi sebagai tepian.
b.
Melakukan pengenalanan tepi dengan salah satu operator deteksi tepi seperti Roberts, Prewitt, atau Sobel dengan melakukan pencarian secara horizontal (Gx) dan secara vertikal (Gy). (Darma Putra, 2010) Berikut ini salah satu contoh operator deteksi tepi (Operator Sobel): −1 −2 −1
0 1 1 2 1 0 2 0 0 0 0 1 −1 −2 −1
Hasil dari kedua operator digabungkan untuk mendapatkan hasil gabungan tepi vertikal dan horizontal dengan rumus:
c.
| |=|
|+
Menentukan Arah tepian yang ditemukan dengan menggunakan rumus: = selanjutnya membagi ke dalam 4 warna sehingga garis dengan arah yang berbeda memiliki warna yang berbeda. Pembagiannya adalah derajat 0 – 22,5 dan 157,5 – 180 berwarna kuning, derajat 22,5 – 67,5 berwarna hijau, dan derajat67,5 – 157,5 berwarna merah.Berikut ini adalah bagan pembagian warna berdasarkan arah tepian yang dilakukan oleh Canny:
21
Gambar 2.8 Derajat arah tepian warna Canny (Sumber: http://dasl.mem.drexel.edu)
d.
Setelah mendapatkan derajat warna arah tepian citra, dilanjutkan dengan menerapkan
nonmaximum suppression untuk memperkecil garis tepi yang
muncul sehingga dapat menghasilkan garis tepian yang lebih tipis pada citra keluaran. e.
Langkah terakhir yang wajib dilakukan dalam penerapan deteksi tepi canny adalah binerisasi dengan menerapkan dua buah thresholding Berikut ini salah satu contoh citra yang diproses menggunakan operator deteksi
tepi Canny.
Gambar 2.9 Deteksi tepi Canny (a) Citra asli, (b) Citra HasilT=0.05 (Sumber: Darma Putra, 2010)
22
2.5 Transformasi Hough Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transformasi merupakan perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain baik dari bentuk sifat maupun fungsinya dengan cara menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Dalam hal ini transformasi menyangkut proses pengolahan citra sehingga sebuah citra yang ditransformasikan merupakan suatu proses perubahan citra. Transformasi citra bertujuan untuk mendapatkan informasi (feature extration) yang lebih jelas yang terkandung dalam suatu citra. Ada berbagai metode transformasi yang telah ditemukan dalam ilmu pengolahan citra salah satunya adalah transformasi hough. Transformasi hough awalnya diperkenalkan oleh Paul Hough pada tahun 1962. Pada awal diperkenalkan, transformasi hough digunakan untuk mendeteksi garis lurus pada citra. Transformasi hough merupakan teknik transformasi citra yang dapat digunakan untuk mengisolasi suatu objek pada citra dengan menemukan batasbatasnya (boundarydetection)(Putra, 2010).Gagasan dari transformasi hough adalah membuat persamaan dari suatu piksel dan mempertimbangkan semua pasangan yang memenuhi persamaan ini. Semua pasangan ditempatkan pada suatu larik akumulator, yang disebut larik transformasi (McAndrew, 2004). Suatu proses transformasi dilakukan untuk mendapatkan suatu fitur yang lebih spesifik. Sehingga teknik yang paling umum digunakan untuk mendeteksi objek yang berbentuk kurva seperti garis, lingkaran, elips, dan parabola salah satunya adalah classical hough transform. Konsep dasar dari transformasi hough adalah menemukan garis dan kurva pada suatu citra yang tak terhitung jumlahnya melewati banyak titik dalam berbagai ukuran dan orientasi dalam citra tersebut. Keuntungan utama dari Transformasi Hough adalah dapat mendeteksi sebuah tepian dengan celah pada batas fitur dan secara relatif tidak dipengaruhi (Putra,2010).
Transformasi
hough
menggunakan
oleh derau atau noise bentuk
parametrik
dan
mengestimasi nilai parameter dengan menggunakan mekanisme pemungutan suara terbanyak atau voting dalam menentukan nilai parameter yang tepat. Dalam
23
transformasi hough, beberapa garis yang berpotongan pada suatu titik dalam sebuah citra bila ditransformasikan ke ruang parameter garis lurus yang dapat dinyatakan sebagai berikut. =
− , akan mendapatkan sebuah
+
Sebaliknya jika garis lurus dalam cebuah citra ditransformasikan ke ruang parameter
− , akan diperoleh beberapa garis yang berpotongan dalam suatu titik
dalam ruang parameter
− . Namun, seiring dengan berkembangnya pengolahan
citra dengan menggunakan transformasi hough, apabila ditemui sebuah garis vertikal,
maka akan terjadi masalah dalam penghitungannya dikarenakan garis vertikal mempunyai nilai gradien kemiringan
yang besarnya tak berhingga ∞. Sehingga
digunakan beberapa rumus yang dapat diterapkan dalam Transformasi Hough sesuai dengan bentuk objek yang di analisis seperti objek garis, lingkaran, elips, dan lain sebagainya.
Gambar 2.10Transformasi domain citra ke domain hough (Sumber:http://northstar-www.dartmouth.edu)
Penerapan transformasi hough untuk mencari objek garis dapat didefinisikan untuk fungsi A(x,y) dengan A(x,y), setiap titik (x,y) dalam gambar asli, A, dapat di rumuskan menjadi: =
cos + sin
24
dimana
adalah jarak tegak lurus dari asal garis pada sudut
untuk 0< <π yang dapat menghasilkan nilai
yang akan dibatasi
negatif.
Dalam transformasi hough titik-titik yang terletak pada satu baris atau garis yang sama dalam citra akan menghasilkan garis sinusoid yang berpotongan di satu titik pada domain hough. Begitu juga sebaliknya untuk invers transformasi (back projection) setiap titik dalam domain hough akan berubah menjadi garis lurus pada domain citra. 2.6 Metode Histogram Histogram citra merupakan salah satu bentuk representasi grafis karakteristik spektral citra yang bersangkutan. Dengan histogram analisis citra dapat memahami citra yang dipelajari misalnya aspek kecerahan dan ketajamannya. Dari histogram juga kadang-kadang dapat diduga jenis saluran spektral citra yang digunakan. Perubahan atas distribusi nilai pada citra secara langsung berakibat pada perubahan tampilan histogram. Sebaliknya, dengan memainkan bentuk histogramnya banyak program pengolah citra secara interaktif mampu mengubah tampilan citranya. Dengan kata lain, perangkat lunak pengolah citra kadang-kadang menggunakan histogram sebagai jembatan komunikasi antara pengguna dengan data citra. (Projo, 2002). Histogram citra dipresentasikan dengan dua bentuk: pertama tabel yang memuat kolom-kolom nilai piksel jumlah absolut setiap nilai piksel, jumlah komulatif piksel, presentase absolut setiap nilai, dan presentase komulatifnya; kedua, gambaran grafis yang menunjukkan nilai piksel pada sumbu x dan frekuensi kemunculan pada sumbu y. Melalui gambaran grafis histogram ini, secara umum dapat diketahui sifatsifat citra yang diwakilinya. Misalnya citra yang direkam dengan spectrum gelombang relatif pendek akan menghasilkan “ bukit tunggal “ histogram yang sempit (unimodal) wilayah yang memuat tubuh air agak luas akan menghasilkan kenampakan histogram dengan dua puncak, apabila direkam pada spektrum
25
inframerah dekat (bi-modal). Histogram unimodal yang sempit biasanya kurang mampu menyajikan kenampakan obyek secara tajam, sedangkan histogram yang gemuk (lebar) relatif lebih tajam dibandingkan yang sempit.
Penajaman kontras citra melalui histogram dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu perentangan kontras dan ekualisasi histogram. Perentangan kontras merupakan upaya mempertajam kenampakan citra dengan merentang nilai maksimmum dan nilai minimum citra. Kompresi citra justru sebaliknya dilakukan dengan memampatkan histogram yaitu menggeser nilai minimum ke nilai minimum baru yang lebih tinggi dan menggeser nilai maksimum ke nilai maksimum baru yang lebih rendah sehingga histogramnya menjadi lebih “langsing”. Berbeda halnya dengan perentangan kontras yang bersifat linier, ekualisasi histogram merupakan upaya penajaman secara non- linier yang menata kembali distribusi nilai piksel citra dalam bentuk histogram ke bentuk histogram yang baru, dimana dapat terjadi penggabungan beberapa nilai menjadi nilai baru dengan frekuensi kemunculan yang baru pula. Untuk penajaman citra sendiri meliputi semua operasi yang menghasilkan citra baru dengan kenampakan visual dan karakteristik visual yang berbeda (Projo, 1996). Citra baru disini maksudnya adalah citra dengan kenampakan yang lebih bagus dibanding dengan citra aslinya.
2.7 Metode Euclidean Distance Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2 buah titik dalam Euclidean space. Euclidean space diperkenalkan oleh Euclid, seorang matematikawan dari Yunani sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan antara sudut dan jarak. Euclidean ini berkaitan dengan Teorema Phytagoras dan biasanya diterapkan pada 1, 2 dan 3 dimensi. Tapi juga sederhana jika diterapkan pada dimensi yang lebih tinggi. ( anugraha, 2013 )
26
Semisal ingin menghitung jarak Euclidean 1 dimensi. Titik pertama adalah 4, titik kedua adalah -10. Caranya adalah kurangkan -10 dengan 4. sehingga menghasilkan -14. Cari nilai absolut dari nilai -14 dengan cara mempangkatkannya sehingga mendapat nilai 196. Kemudian diakarkan sehingga mendapatkan nilai 14. Sehingga jarak euclidean dari 2 titik tersebut adalah 14. ( Anugraha, 2013 )
Gambar 2.11 Koordinat jarak euclidean 2 dimensi
Pada 2 dimensi caranya hampir sama. Misalkan titik pertama mempunyai kordinat (1,2). Titik kedua ada di kordinat (5,5). Caranya adalah kurangkan setiap kordinat titik kedua dengan titik yang pertama. Yaitu, (5-1,5-2) sehingga menjadi (4,3). Kemudian pangkatkan masing-masing sehingga memperoleh (16,9). Kemudian tambahkan semuanya sehingga memperoleh nilai 16+9 = 25. Hasil ini kemudian diakarkan menjadi 5. Sehingga jarak euclideannya adalah 5. Berikut rumus dasar dari euclidean :
27
2.8 Principal Component Analysis ( PCA ) PCA adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi data. PCA juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur-fitur dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. PCA memproyeksikan data ke dalam subspace. PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang baru dari data. Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari data tanpa menghilangkan informasi penting dari data tersebut. Tujuan dari PCA adalah mencari basis yang baru untuk merepresentasikan ulang data tersebut ke dalam m variable hasil proyeksi data ke m-dimensi. Dimana m lebih kecil dari n. Dengan berkurangnya jumlah dimensi dari data input, maka proses pencocokan data akan berkurang dari n kali setiap pencocokan menjadi m kali. Banyaknya dimensi data ditentukan oleh besarnya resolusi image. Hal ini menyebabkan dimensi data menjadi sangat besar. Semakin besarnya dimensi data menyebabkan waktu pencocokan per data semakin besar juga.