1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labiateae.
Dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama patchouli. Daerah asal nilam tidak diketahui secara pasti, kemungkinan berasal dari daerah subtropik Himalaya, Asia Selatan, Filipina atau Malaysia. Nilam telah dibudidayakan secara ekstensif di Indonesia, Malaysia, Cina dan Brasilia untuk menghasilkan minyak atsiri yang disebut patchouli oil (Bunrathep et al. 2006). Nilam masuk ke Indonesia, mula-mula dibudidayakan di Aceh, kemudian berkembang di beberapa provinsi lainnya seperti Sumatera Utara (Nias, Tapanuli dan Dairi), Sumatera Barat dan Bengkulu (Mangun, 2002) dan sejak tahun 1998 pengembangan nilam meluas ke Jawa (Nuryani, 2006a). Hasil utama tanaman nilam adalah minyak atsiri yang dikenal sebagai patchouli oil. Minyak nilam banyak digunakan dalam industri parfum sebagai bahan fixatif. Disamping itu, minyak nilam memiliki daya pestisida sehingga dapat digunakan sebagai pengusir serangga. Produktivitas nilam di Indonesia baru mencapai 20 - 25 ton terna basah per ha per panen yang setara dengan 5 – 6,25 ton terna kering dengan rendemen 2 – 4 % (Untung, 2009; Armando, 2009). Rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh belum jelasnya varietas nilam yang ditanam petani dan belum digunakannya varietas unggul, teknologi budidaya yang masih sederhana, serangan penyakit, teknik panen dan pasca panen yang belum tepat (Mauludi dan Asman, 2005). Peningkatan produktivitas dan mutu minyak dapat didekati dari 3 aspek yaitu
2
aspek genetik, budidaya dan pasca panen. Peningkatkan produktivitas dan mutu melalui perbaikan genetik memerlukan keragaman yang tinggi dalam sifat-sifat yang dibutuhkan. Tanaman nilam pada umumnya tidak berbunga dan diperbanyak secara vegetatif. Dengan sifat yang demikian keragaman genetik secara alami hanya diharapkan dari mutasi alami yang frekuensinya biasanya rendah (Nuryani dkk. 2003). Keragaman genetik tanaman nilam dapat ditingkatkan dengan cara hibridisasi somatik.
Untuk itu, pada tingkat awal perlu dikumpulkan plasma
nutfah dari berbagai daerah (Nuryani dkk. 2003). Informasi keragaman genetik juga diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka waktu pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Indrawan dkk. 2007). Mengingat begitu bervariasinya kualitas maupun kuantitas minyak nilam yang dihasilkan dari hasil kebun petani maka perlu dilakukan pengujian keragaman genetik dari nilam pada tingkat molekuler. Menurut Nuryani (2002) pengujian secara molekuler akan mampu mengungkap tidak saja keragaman genetik juga mengungkap tingkat kekerabatan dari masing-masing jenis tanaman nilam tersebut. Penanda molekuler banyak digunakan dalam analisis keragaman genetik tanaman. Penanda DNA adalah bagian kecil dari DNA yang memperlihatkan polimorfisme sekuen pada individu – individu berbeda dalam suatu spesies. Dengan berkembangannya teknologi penanda DNA pengkarakterisasian keanekaragaman genetik tanaman dapat dilakukan (Pandin, 2009).
3
Salah satu teknik penanda DNA yang telah digunakan adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD). RAPD digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tanaman karena memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisis (Suryanto, 2003). Kelebihan RAPD dalam menganalisis keragaman genetik dan hubungan kekerabatan adalah prosedurnya lebih mudah, murah, cepat, contoh DNA yang diperlukan sedikit (0,5 – 50 ng) dan tidak memerlukan radioisotop (Sharma et al., 2008). Marka RAPD juga mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas sehingga sangat membantu dalam analisis keragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2003). RAPD memerlukan ekstraksi DNA, kondisi amplifikasi optimum, dan analisis data yang kesemuanya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat. Penanda RAPD diperoleh dengan amplifikasi segmen DNA random (acak) dari primer tunggal acak. Primer yang digunakan biasanya berukuran 10 bp dan memiliki kandungan GC 50 - 80%. Kondisi reaksi PCR membatasi ukuran pita hingga 100 - 3000 bp. Oleh karena itu hanya fragmen komplemen DNA dalam kisaran ukuran inilah yang akan diamplifikasi oleh sekuen DNA primer (Bardakci, 2001; Sharma et al., 2008).
1.2. Rumusan Masalah Nilam yang dibudidayakan para petani di Bali semuanya dinyatakan sebagai nilam Aceh yang berasal dari perbanyakan vegetatif.
Produktivitas
tanaman nilam sangat beragam tergantung varietasnya. Nilam Aceh memiliki beberapa varietas dengan karakteristik yang relatif berbeda. Permasalahannya adalah:
4
1. Adakah primer RAPD yang dapat dipakai untuk analisis keragaman genetik nilam? 2. Bagaimanakah keragaman genetik nilam yang dibudidayakan di Bali? 3. Bagaimanakah kekerabatan tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menentukan primer RAPD yang dapat dipergunakan untuk analisis keragaman genetik nilam. 2. Mengetahui keragaman genetik dari nilam yang dibudidayakan di Bali. 3. Mengetahui kekerabatan tanaman nilam yang di budidayakan di Bali.
3.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam mendukung proses pemuliaan. Informasi keragaman genetik tanaman nilam diperlukan untuk pemilihan indukan nilam. Makin tinggi tingkat keragaman genetik nilam maka akan dapat menyediakan sumber gen yang diperlukan dalam merakit tanaman nilam unggul.
5
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Sistematika Dan Karakteristik Nilam Menurut Guenther (1952) dalam Nuryani (2006a) sistematika nilam adalah sebagai berikut: Devisi
: Spermatophyta
Klas
: Angiospermae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Labiateae
Genus
: Pogostemon
Spesies
: - Pogostemon cablin Benth - Pogostermon heyneatus Benth - Pogostemon hortensis Backer
Tanaman nilam adalah tanaman perdu wangi yang berakar serabut, Daunnya halus seperti beludru apabila diraba dengan tangan, bentuk daunnya agak membulat lonjong seperti jantung dengan warnannya agak pucat. Bagian bawah daun dan rantingnya berbulu halus. Batangnya berkayu dengan diameter 10 – 20 mm relatif hampir berbentuk segi empat. Sebagian besar daun yang melekat pada ranting hampir selalu berpasangan satu sama lain. Jumlah cabang yang banyak dan bertingkat mengelilingi batang sekitar 3 – 5 cabang per tingkat. Tanaman ini memiliki umur tumbuh yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga tahun, panen perdana dapat dilakukan pada bulan ke 6 – 7 dan seterusnya setiap 2-3 bulan tergantung pemeliharaan dan pola tanam, kemudian dapat diremajakan
6
kembali dari hasil tanaman melalui pesemaian atau pembibitan berupa setek (Mangun, 2002). Hasil produksi tanaman nilam berupa daun. Selain daun, bagian tanaman lain yang dapat dipetik untuk disuling yaitu ranting, batang dan akar, tetapi kandungan minyak yang dimilikinya relatif lebih sedikit (Mauludi dan Asman, 2005). Dalam prakteknya semua bagian tanaman disuling dalam keadaan bercampur. Ciri khas lainnya yaitu bila daun nilam digosok akan basah dan mengeluarkan aroma khas nilam. Minyak nilam memiliki sifat khas yaitu semakin bertambah umurnya semakin harum wanginya. Oleh sebab itu minyak nilam yang berumur lebih lama lebih baik (Mangun, 2002). Nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti herba lainnya. Tanaman ini memerlukan suhu yang panas dan lembab. Tanaman nilam tumbuh dan berproduksi dengan baik pada ketinggian sampai 700 m dpl (Nuryani, 2006a). Sedangkan Mauludi dan Asman (2005) menyebutkan tanaman nilam dapat tumbuh pada ketinggian 10 – 1200 m dpl. Lebih lanjut disebutkan nilam dapat tumbuh pada segala jenis tanah, akan tetapi tumbuh lebih baik pada tanah yang gembur dan banyak mengandung humus, bertekstur lempung sampai liat berpasir, pH 5-5,7. Selain itu nilam juga memerlukan curah hujan yang merata dalam jumlah cukup. Saat berumur lebih dari 6 bulan, ketinggian tanaman nilam dapat mencapai 60-90 cm dengan radius cabang sekitar 60 cm. Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan antara lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah: 1) P. cablin
7
Benth. sinonim P. patchouli Pellet van Suavis Hook disebut nilam Aceh, 2) P. heyneatus Benth. disebut nilam Jawa dan 3) P. hortensis Becker disebut nilam sabun (Nuryani, 2006a). Nilam Aceh (P. cablin Benth atau P. patchouli) merupakan tanaman yang memiliki aroma khas dan rendemen minyak daun keringnya tinggi yaitu 2,5-5% dibandingkan dengan jenis lain. Nilam Aceh dikenal pertama kali dan ditanam secara meluas hampir diseluruh wilayah Aceh. Sedangkan nilam Jawa (P. heyneatus Benth) disebut juga nilam hutan. Nilam ini berasal dari India dan masuk ke Indonesia serta tumbuh liar di beberapa hutan di wilayah pulau Jawa. Jenis tanaman ini hanya memiliki kandungan minyak sekitar 0,5-1,5%. Jenis daun dan rantingnya tidak memiliki bulu – bulu halus dan ujung daunnya agak meruncing. Nilam Sabun (P.
hortensis Backer) sering dipergunakan untuk
mencuci pakaian terutama kain jenis batik. Jenis nilam ini hanya memiliki kandungan minyak sekitar 0,5-1,5%. Selain itu komposisi kandungan minyak yang dimiliki tidak baik sehingga minyak dari jenis nilam ini tidak disukai (Mangun, 2002). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh dan nilam sabun tidak berbunga. Yang paling luas penyebarannya dan banyak dibudidayakan yaitu nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya lebih tinggi dari kedua jenis yang lainnya. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi (> 2,5%) sedangkan nilam Jawa rendah (< 2%) (Nuryani, 2006a). Ciri-ciri spesifik yang dapat membedakan nilam Jawa dan nilam Aceh secara visual yaitu pada daunnya. Permukaan daun nilam Aceh halus sedangkan nilam Jawa kasar. Tepi daun nilam Aceh bergerigi tumpul, sedangkan pada nilam
8
Jawa bergerigi runcing. Ujung daun nilam Aceh meruncing sedangkan nilam Jawa runcing. Nilam Jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan nilam Aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya lebih tinggi dari pada nilam Aceh (Nuryani, 2006a). Tanaman nilam adalah tanaman penghasil minyak atsiri, oleh sebab itu produksi, kadar dan mutu minyak serta sifat ketahanan terhadap penyakit merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain, genetik, budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen (Nuryani, 2006a).
2.2. Keragaman Genetik Keragaman genetik merupakan variasi gen dalam satu spesies baik diantara populasi – populasi yang terpisah secara geografis maupun di antara individu – individu dalam satu populasi (Indrawan dkk., 2007). Keragaman genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh tiga mekanisme; mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan migrasi gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003; Elrod dan Stansfield, 2007). Genotipe suatu individu menentukan fenotipe yang beragam, sebagian diantaranya akan memberi kontribusi pada kelestarian individu tersebut. Seleksi alam akan bekerja dengan cara memilih individu – individu dengan kelestarian tertinggi dalam populasi. Dengan demikian kombinasi – kombinasi gen yang sesuai cenderung diteruskan atau diturunkan, sedangkan yang kalah adaptif cenderung dihilangkan dari populasi (Elrod dan Stansfield, 2007). Gen adalah unit – unit kromosom yang membawa kode untuk pembuatan protein spesifik. Setelah dibentuk dan diberi kode oleh gen, protein – protein ini
9
selanjutnya menentukan perkembangan serta tampilan, bentuk, dan fungsi dari jaringan dan organ terkait. Alternatif atau bentuk yang berbeda – beda dari suatu gen dikenal sebagai alel (Indrawan dkk. 2007). Keanekaragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun deoxyribonucleic acid (DNA) (Suryanto, 2003). Mutasi merupakan perubahan yang terjadi dalam DNA yang menyusun kromosom. Variasi alel dari gen dapat mempengaruhi perkembangan dan fisiologi individu organisme. Keragaman genetik bertambah ketika keturunan menerima kombinasi unik gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang terjadi melalui reproduksi seksual. Gen – gen dipertukarkan antar kromosom. Kombinasi baru terbentuk ketika kromosom dari kedua induk itu menyatu untuk membentuk keturunan dengan genetik yang unik. Susunan keseluruhan dari gen dan alela dalam populasi disebut gene pool (lungkang gen atau kumpulan gen) (Indrawan dkk. 2007). Jumlah keragaman genetik dalam populasi ditentukan oleh banyaknya gen yang memiliki lebih dari satu alela (gen polimorfik), dan banyaknya alela pada setiap gen tersebut (Indrawan dkk. 2007). Polimorfik adalah keberadaan dua atau lebih alel pada sebuah lokus dalam populasi. Pada umumnya sebuah unsur atau lokus polimorfik memiliki frekuensi alel kurang dari 0,99. Polimorfisme bisa terdapat dalam tiga tingkat; kromosom, gen dan panjang fragmen restriksi. Polimorfisme sekuen DNA bisa sesederhana perbedaan satu nukleotida ataupun insersi atau delesi sejumlah nukleotida (Elrod dan Stansfield, 2007). Polimorfik dapat merupakan hasil mutasi titik, insersi, delesi, dan inverse (Demeke dan Adams, 1994).
10
Adanya gen polimorfik juga berarti bahwa beberapa individu dalam populasi mempunyai gen heterozigot; artinya individu tersebut menerima alela gen yang berbeda dari setiap induknya. Semua tingkat keragaman genetik ini berkontribusi pada kemampuan populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Spesies langka seringkali memiliki keragaman genetik yang lebih sedikit sehingga menjadi lebih mudah punah jika kondisi lingkungan berubah (Indrawan dkk. 2007). Lebih lanjut Elrod dan Stansfield (2007) menyatakan besarnya keragaman di dalam suatu spesies tergantung pada jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi dari populasi dan sistem genetiknya. Peran penting juga dilakukan oleh proses-proses seleksi alami serta faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada komposisi genetik dari spesies atau populasi. Menurut Indrawan dkk. (2007) keragaman genetik penting bagi kemampuan spesies dan populasi beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan dan karena itu merupakan persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan kumpulan populasi yang berbeda secara genetik satu sama lain.
Perbedaan genetik ini
diwujudkan sebagai perbedaan di antara populasi dalam sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, dan sejarah hidup (life history). Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, yang mempengaruhi sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) akan berubah
ketika organisme dengan fenotipe yang kompatibel dengan
lingkungan. Organisma ini akan lebih mampu bertahan hidup dalam jangka lama
11
dan akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan Stansfield, 2007). Besarnya keragaman genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi. Populasi kecil
yang berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering memiliki
keragaman genetik yang kecil di antara individu, sedangkan pada populasi besar dan berbiak secara seksual sering memiliki keragaman yang besar. Dua faktor utama yang bertanggungjawab kepada adanya keragaman ini, yaitu
cara
bereproduksi (seksual atau aseksual) dan ukuran populasi. Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya dari induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, susunan genetiknya dengan demikian berbeda dengan kedua induknya atau dengan individu yang lain di dalam populasi (Indrawan dkk., 2007). Adanya mutasi yang menguntungkan, yang pada awalnya muncul pada suatu individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu tertentu pada populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen dalam populasi aseksual adalah mutasi (perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau terjadi karena pengaruh faktor eksternal (misal radiasi dan bahan kimia tertentu). Mutasi terjadi di dalam gen yang terdapat pada molekul DNA. Populasi aseksual mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yang menguntungkan pada individu aseksual yang berbeda tidak mungkin mengalami rekombinasi gen dan muncul pada suatu individu seperti layaknya pada populasi
12
seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih besar pada populasi seksual daripada populasi aseksual (Indrawan dkk., 2007). Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik (genetic drift) atau perubahan dalam lukang gen dari suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena proses kebetulan, suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan cepat (Indrawan dkk., 2007). Informasi hubungan genetik antara individu di dalam dan di antara spesies mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam pemuliaan tanaman pendugaan hubungan genetik sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua persilangan serta mengurangi jumlah individu yang dibutuhkan untuk mengambil sampel dengan kisaran keragaman yang luas (Julisaniah dkk., 2008). Salah satu teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah melalui teknologi kultur invitro. Regenerasi tanaman kultur sel (somaklonal) dapat berasal dari kalus (calliclones) atau dari protoplas (protoclones). Keragaman somaklonal disebabkan karena adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan dengan pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi (Hutami dkk. 2006). Menurut Martono (2009) keragaman hibrida somatik dapat merupakan hasil dari sub kultur kalus yang dilakukan terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi somaklonal; ketidak stabilan dari kombinasi inti sel yang mengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik; dan adanya segregasi dari sitoplasma atau inti
13
setelah fusi sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik pada sitoplasma dan inti.
2.3. Keragaman Genetik Nilam Aceh Tanaman nilam merupakan tanaman introduksi, kemungkinan berasal dari daerah subtropik Himalaya, Asia Selatan, Filipina atau Malaysia (Bunrathep et al. 2006). Menurut Nuryani (2006b) diperkirakan daerah asal nilam Aceh dari Filipina atau Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu. Setelah sekian lama berkembang di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dari sifat-sifat asalnya. Dari hasil ekplorasi ditemukan bermacam-macam tipe yang berbeda baik karakter morfologinya, kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak dan sifat ketahanannya terhadap penyakit dan kekeringan. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah mengoleksi 28 nomor nilam, dari hasil seleksi terhadap beberapa nomor nilam, telah dilepas 3 varietas unggul yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang (Nuryani, 2006a). Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda. Disamping
karakter
kuantitatif,
karakter
kualitatif
yang
dapat
membedakan ketiga varietas tersebut adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu (Nuryani, 2006b). Deskripsi varietas dapat dilihat pada Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1. Karakteristik Aksesi Nilam Aceh (Nuryani, 2006b) Karakteristik
Aksesi 0007
Asal
0012
0013
Lhokseumawe
Tapak
Tuan
Sidikalang
(NAD)
(NAD)
(Sumut)
Tinggi tanaman (cm)
61,07-65,97
50,57-82,28
70,70-75,69
Warna batang muda
Ungu
Ungu
Ungu
Warna batang tua
Ungu kehijauan
Ungu kehijauan
Ungu kehijauan
Bentuk batang
Persegi
Persegi
Persegi
Percabangan
Lateral
Lateral
Lateral
Jumlah cabang primer
7,00-19,76
7,30-24,48
8,00-15,64
Jumlah cabang sekunder
11,42-25,72
18,80-25,70
17,37-20,70
Panjang cabang primer (cm)
34,40-63,12
46,24-65,98
43,01-61,69
Panjang cabang sekunder (cm)
18,96-35,06
19,80-45,31
25,80-34,15
Bentuk daun
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Petulangan daun
Menyirip
Menyirip
Menyirip
Warna daun
Hijau
Hijau
Hijau keunguan
Panjang daun (cm)
6,23-6,75
6,47-7,52
6,30-6,45
Lebar daun (cm)
5,16-6,36
5,22-6,39
4,88-6,26
Tebal daun (mm)
0,31-0,81
0,31-0,78
0,30-4,25
Panjang tangkai daun (cm)
2,66-4,28
2,67-4,13
2,71-3,34
Jumlah daun/cabang primer
48,05-118,62
35,37-157,84
58,07-130,43
Ujung daun
Runcing
Runcing
Runcing
Pangkal daun
Datar, membulat
Rata, membulat
Rata, membulat
Tepi daun
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bulu daun
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Produktivitas terna kering (t/ha)
19,58-59,20
19,70-110,00
13,66-108,10
Produktivitas minyak (kg/ha)
125,83-380,06
111,50-622,26
78,90-624,89
Kadar minyak pada terna kering (%)
2,00-4,14
2,07-3,87
2,23-4,23
Kadar patchouli alcohol (%)
29,11-34,46
28,69-39,90
30,21-35,20
Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula melalui persilangan
15
(Hutami dkk., 2006). Usaha perbaikan genetik tanaman nilam memerlukan adanya plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas (Martono, 2009).
2.4. Penanda Genetik Penanda genetik, biasa juga disebut dengan 'marka', merupakan ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Beberapa penanda genetik sangat terpercaya karena bersifat lembam, tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan. Penanda genetik sangat penting dalam penyelidikan phylogeni suatu organisme (Tao et al., 2009). Penanda genetik hanya berguna apabila polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik paling tidak harus bisa mengelompokkan individu dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda, gen atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Sharma et al., 2008). Penanda genetik juga mengikuti hukum pewarisan Mendel dalam suatu analisis genetik. Terdapat dua kelas penanda genetik dalam kaitan dengan hal ini: penanda bersifat kodominan, artinya dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot); dan penanda bersifat dominan, yang tidak bisa memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (Sharma et al., 2008).
16
Terdapat bermacam-macam penanda genetik seperti penanda morfologi, sitologi, biokimia dan molekuler, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan (Pandin, 2009; Tao et al., 2009). Penanda morfologi merupakan penanda yang mudah dilihat oleh mata. Contohnya adalah warna, ukuran, atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan masih dipakai, penanda morfologi dapat termodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Pandin, 2009). Selain itu, penanda morfologi jumlahnya sangat terbatas dan untuk mengamatinya harus menunggu hingga sifat penanda itu muncul. Penanda biokimiawi biasanya memerlukan alat atau metode khusus untuk mengamatinya. Kalangan genetika tumbuhan banyak menggunakan penanda biokimia dengan menggunakan isoenzim (isozim) (Karsinah dkk., 2002). Penanda isoenzim bersifat kodominan sehingga dapat dipakai pada populasi segregasi dengan individu heterozigot. Penanda isozim juga dapat digunakan dalam analisis keragaman genetik tanaman termasuk mengidentifikasi varietas (Julisaniah dkk., 2008). Meskipun cukup diskriminatif dan tidak mudah terpengaruh lingkungan, penanda ini seringkali diekspresikan pada waktu dan organ tertentu saja. Jumlahnya tidak banyak dan analisisnya memakan waktu dan biaya. Penanda molekuler adalah penanda yang mengandalkan sifat-sifat aplikatif DNA atau cDNA. Penanda biokimia tidak termasuk di dalamnya meskipun sebenarnya juga merupakan molekul. Penanda molekul bersifat stabil karena DNA bersifat baka, mampu menyediakan polimorfik pola pita DNA dalam jumlah lebih banyak, tidak terpengaruh lingkungan serta tahap perkembangan tanaman (Pandin, 2009). Penanda ini mulai dipakai semenjak ditemukannya enzim
17
endonuklease restriksi, teknik southern blot dan PCR. Teknik elektroforesis gel, yang juga menjadi prasyarat penggunaan penanda ini. Dukungan dari bidang automasi, robotika, dan bioinformatika terhadap teknik sekuensing menjadikan penanda molekul menjadi hal yang relatif ekonomis untuk dikerjakan (Sharma et al., 2008). Penanda molekul telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi suatu individu atau genotip, derajat kekerabatan antar genotip dan adanya variasi genetik suatu populasi tanaman (Sharma et al., 2008), menentukan adanya suatu gen atau komplek gen yang diinginkan dalam suatu genotipe tertentu, pemetaan gen, dan konservasi plasma nutfah (Pandin, 2009). Penanda melekul juga sangat efektif dalam analisis genetik dan telah diaplikasikan secara luas dalam program pemuliaan tanaman (Karsinah dkk., 2002). Menurut Sanjaya dkk., (2002) penanda molekuler seperti marka DNA merupakan alat yang sesuai untuk menentukan jarak genetik, karena marka yang polimorfik dapat diperoleh lebih cepat dan lebih banyak dari pada penanda morfologi.
2.5. Polymerase Chain Reaction (PCR) - Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Polymerase chain reaction (PCR) merupakan fasilitas dalam mempelajari genetik tanaman maupun hewan. Sidik DNA, analisis forensik, pemetaan genetik dan filogenetik dapat dipelajari dengan PCR. Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik, membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu organisme (Demeke dan Adams. 1994). Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu
18
kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto, 2003). Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR. Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik baik berupa molekul DNA maupun RNA (Yuwono, 2006). Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan; yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. (2) oligonukleotida primer; yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesa rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP dan (4) enzim DNA pilomerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006). Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat
19
menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu penemelan ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu leleh. Secara umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)°C (Suryanto, 2003). Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah suatu sistem deteksi
molekuler yang berbasis PCR, salah satu teknik molekuler untuk
mendeteksi keragaman DNA didasarkan pada penggandaan DNA . RAPD juga merupakan penanda DNA yang memanfaatkan primer acak oligonukleotida pendek (dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme (Bardakci, 2001; Sharma et al. 2008). Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel pada cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada DNA genom organisme. Dengan demikian akan terdapat banyak pola fragmen DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya pola pita pada gel agarosa setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti etidium bromide.
Disamping ditentukan oleh ada tidaknya situs penempelan
primer, keberhasilan teknik ini ditentukan juga oleh kemurnian dan keutuhan DNA cetakan. DNA cetakan yang tidak murni akan mengganggu penempelan
20
primer pada situsnya dan akan menghambat aktifitas enzim polymerase DNA. Enzim ini berfungsi untuk melakukan polimerisasi DNA. Sedangkan DNA cetakan yang banyak mengalami fragmentasi dapat menghilangkan situs penempelan primer (Bardakci, 2001). Data pita DNA hasil RAPD umumnya dianalisis dengan mengubah menjadi data biner satu dan nol berdasarkan ada atau tidak adanya pita. Primer acak yang digunakan jumlahnya dapat banyak dan tidak terbatas sehingga data biner yang terbentuk berupa matriks biner peubah ganda. Keunggulan teknik RAPD (Demeke dan Adams. 1994; Bardakci, 2001) terletak pada beberapa kemudahan: pengetahuan latar belakang genom organisme tidak diperlukan, hasil RAPD dapat diperoleh secara cepat terutama jika dibandingkan dengan analisis RFLP yang memerlukan banyak tahapan, beberapa jenis primer acak dapat dibeli dan digunakan untuk analisis genom semua organisme, tidak memerlukan radioisotop dan tidak memerlukan keterampilan yang tinggi, jumlah DNA sampel yang diperlukan relatif sedikit (0,5 – 50 ng). Kelemahan RAPD (Demeke dan Adams. 1994) adalah: pemunculan pita DNA kadang–kadang tidak konsisten. Hal ini lebih sering terjadi jika suhu annealing yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak.
Ruas DNA yang
berulang sering berlipat ganda, homologi urutan nukleotida pada pita-pita DNA dengan mobilitas yang sama pada gel tidak diketahui, penanda RAPD bersifat dominan dan tingkat keberulangannya (reproducibility) rendah. Karakter yang dihasilkan melalui penggunaan primer RAPD bisa sangat banyak, namun dalam menentukan primer (sekuen primer) dan kondisi PCR yang
21
sesuai untuk menghasilkan produk amplifikasi yang maksimum perlu dilakukan penelitian tersendiri. Untuk tujuan analisis keragaman, hal penting lainnya adalah pemilihan primer yang dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA diantara individu yang diuji. Kualitas pita DNA yang tajam juga penting untuk memudahkan interpretasi dan keakuratan data. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pita DNA produk amplifikasi PCR dalam analisis RAPD adalah konsentrasi MgCl2, konsentrasi DNA, konsentrasi enzim polimerase, primer dan suhu siklus PCR terutama anneling (Padmalatha dan Prasad, 2006). Konsentrasi primer berpengaruh terhadap intensitas produk PCR-RAPD. Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) konsentrasi primer yang terlalu rendah atau yang terlalu tinggi menyebabkan tidak terjadinya amplifikasi. Rasio yang rendah antara primer dan DNA cetakan dapat menyebabkan produk RAPD yang dihasilkan tidak konsisten. Magnesium merupakan komponen yang penting dalam reaksi PCR dan mempengaruhi kualitas profil RAPD yang dihasilkan (Pharmawati, 2009).
Magnesium mempengaruhi penempelan primer serta
aktifitas enzim (Padmanatha dan Prasad, 2006). Konsentrasi MgCl2 yang tinggi juga mempengaruhi jumlah band yang dihasilkan dan mengakibatkan penurunan intensitas band tertentu. Konsentrasi enzim polymerase yang rendah tidak menghasilkan produk amplifikasi sedangkan terlalu tinggi menyebabkan berkurangnya spesifisitas. Hal lain yang mempengaruhi produk RAPD adalah siklus termal, dan temperatur yang digunakan. Jumlah siklus dapat mengubah pola-pola DNA produk RAPD. Peningkatan jumlah siklus termal secara umum menyebabkan peningkatan intensitas band produk RAPD (Pharmawati, 2009), sedangkan temperatur
22
berpengaruh terhadap aktivitas enzim dan mengurangi spesifisitas. Perubahan intensitas band juga tergantung pada primer yang digunakan (Padmalatha dan Prasad 2006).
23
III. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian Tiga jenis tanaman nilam yang tumbuh di Indonesia dapat dibedakan antara lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut; nilam Aceh, nilam Jawa dan Nilam Sabun. Yang paling luas penyebarannya dan banyak dibudidayakan yaitu nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya lebih tinggi dari kedua jenis yang lainnya. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi (> 2,5%) sedangkan nilam Jawa rendah (< 2%) (Nuryani, 2006a). Nilam Aceh memiliki beberapa varietas. Balittro Bogor tahun 2005 telah melepas
tiga varietas unggul nilam Aceh yaitu; varietas Lhokseumawe,
Sidikalang dan Tapak Tuan (Nuryani, 2006a). Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu (Nuryani, 2006b). Namun bila tanaman ini dibudidayakan pada tempat yang berbeda fenotipe ketiga varietas tanaman nilam Aceh relatif susah dibedakan. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masingmasing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda. Tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali semuanya dinyatakan sebagai nilam Aceh, yang secara genetis belum jelas keragaman genetis dan varietasnya. Beberapa petani menyatakan tanaman yang dimiliki adalah varietas Sidikalang,
24
petani lain menyatakan hanya nilam Aceh tetapi tidak tahu varietasnya, sehingga produktivitas tanaman nilam yang ada sangat beragam. Nilam Aceh tidak berbunga sehingga perbanyakan dilakukan dengan stek. Tingkat produktivitas terna maupun minyak antar kebun sangat beragam. Hal ini kemungkinan karena varietas tanaman
dan sistem budidaya yang berbeda.
Walaupun demikian, tanaman yang sudah lama dibudidayakan di Bali tentunya merupakan sumber genetis yang telah memiliki daya adaptasi yang baik. Nilam seperti ini sangat berpeluang dimuliakan untuk dijadikan bibit unggul. Untuk memastikan varietas tanaman yang dibudidayakan di Bali dan untuk melihat keragaman genetiknya, maka perlu dilakukan pengujian secara molekuler. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menggunkan marka RAPD. RAPD digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tanaman karena memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisis (Suryanto, 2003), prosedurnya lebih mudah, murah, cepat, contoh DNA yang diperlukan sedikit (0,5 – 50 ng) dan tidak memerlukan radioisotop (Sharma at al., 2008). Marka RAPD juga mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas sehingga sangat membantu dalam analisis keragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2003).
25
Nilam yang dibudidayakan di Indonesia (nilam aceh, dan nilam jawa)
Varietas Nilam Aceh; - Sidikalang, - Tapak Tuan dan - Lhokseumawe
Fenotip masing – masing varietas nilam relatif susah dibedakan
Nilam yang dibudidayakan di Bali belum jelas varietasnya dan semua diklaim nilam Aceh
Produktivitas tanaman beragam
Perlu dilakukan pengujian secara molekuler dengan RAPD
- Dapat diketahui keragaman genetik nilam - Dapat ditentukan kekerabatannya
Perbanyakan tanaman nilam dengan stek
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Hipotesis Penelitian
1. Ada primer RAPD yang dapat dipergunakan untuk analisis keragaman genetik nilam. 2. Ada keragaman genetik pada nilam yang dibudidayakan di Bali. 3. Nilam Aceh yang dibudidayakan di Bali memiliki hubungan kekerabatan dengan varietas nilam Aceh tertentu.
26
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Laboratorium Marine Universitas Udayana Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa petani nilam yang ada di Bali. Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Juni sampai Oktober 2010.
4.2. Penentuan Sumber Data Pada penelitian ini, sebagai populasi adalah tanaman nilam yang dibudidayakan oleh petani di Bali. Sampel diambil dengan teknik stratified sampling. Dimana daerah penanaman nilam dikelompokan kedalam tiga zone yaitu wilayah dengan ketinggian ≥ 1000 m dpl, wilayah dengan ketinggian antara 500 – 1000 m dpl dan wilayah dengan ketinggian ≤ 500 m dpl. Masing – masing wilayah dikelompokan kembali berdasarkan ada tidaknya hubungan sumber bibit yang ditanam petani. Dari masing masing kelompok ini diasumsikan tanamannya memiliki jenis yang sama selanjutnya sampel tanaman (daun muda) diambil secara acak.
4.3. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah daun nilam yang diperoleh dari sejumlah kebun petani yang ada di Bali yaitu: empat sampel dari dataran tinggi (≥ 1000 m dpl); Lemukih, Wanagiri, Pupuan dan Belok. Empat sampel dari dataran menengah (antara 500 - 1000 m dpl); Mekarsari, Nungnung,
27
Plaga dan Sidan. Empat sampel dari dataran rendah (≤ 500 m dpl); Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu. Sebagai pembanding digunakan nilam Aceh (Sidikalang, Lhokseumawe, Tapak Tuan) dan Nilam Jawa yang diperoleh dari Balittro, Bogor. Bahan
kimia
yang
dipakai
adalah
sebagai
berikut;
Tris-HCl
(tris(hydroxmethyl)aminomethane-HCl) pH 8.0 (1.0 M); EDTA (ethylenediamine tetraacetic acid ) pH 8.0 (0.5 M); NaCl (5.0 M); CTAB (cetyltrimethyl ammonium bromide) (20%); Chloroform: Isoamyl alkohol (24:1 v/v); Polyvinylpyrrolidone (PVP); β-mercaptoethanol; RNase A; Etanol 80 %; Taq DNA Polymerase dan Taq DNApolymerase buffer (KAPA Taq); Nukleotida: dNTPs (KAPA Taq) dan primers; MgCl2 , Agarosa, Aquabidest (ddH2O), DNA ladder 1 kb (Fermentas) Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuse, alat pendingin, tabung eppendorf dan rak, gelas ukur, pipet mikro (micropipette), TaKaRa PCR Thermal Cycler, elektroforesis, UV translumninator dan kamera digital.
4.4. Isolasi DNA Nilam Isolasi DNA
nilam menggunakan protokol isolasi DNA yang
dikembangkan oleh Khanuja et al. (1999) dengan langkah – langkah sebagai berikut; Daun nilam (0,2 g) yang sudah dibekukan pada -20 ºC, digerus secara cepat hingga halus dengan mortal dan pestle dingin. Selanjutnya material dipindahkan pada tabung eppendorf 2 ml dan ditambahkan 500 µl buffer pengekstrak (Lampiran 1) yang baru dibuat dengan suhu 60 ºC, dicampur sampai homogen. Campuran diinkubasi pada 60 °C di dalam suatu waterbath selama 1
28
jam, dengan sesekali digoyang – goyang, selanjutnya ditambahkan 500 µl chloroform : isoamylalcohol (24:1) dan dicampur (divortek) sampai homogen. Campuran yang sudah homogen disentrifuse pada 12.000 rpm selama10 menit suhu 25–30 °C. Supernatant dipindahkan secara hati-hati ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 250 µl NaCl 5 M dan dicampur dengan baik (tidak divortex). Selanjutnya ditambahkan 0.6 volume isopropanol dingin dan diinkubasi pada suhu -20 ºC selama 1 jam. Setelah 1 jam, sampel disentrifuse pada 12.000 rpm selama 10 menit suhu 25–30 °C. Supernatant dibuang secara hati – hati, pellet dicuci dengan 500 µl etanol 70% dan disentrifuse 3 menit pada 12.000 rpm, kemudian etanol dibuang. Pelet yang diperoleh dicuci kembali dengan 500 µl etanol 70%, dan disentrifuse 3 menit. Etanol dibuang, kemudian pellet dikering anginkan selama 15 menit kemudian dilarutkan dengan 500 µl buffer TE. Pelet DNA ditambahkan 5 µl RNase A dan inkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit. Selanjutnya diekstrak dengan volume sepadan dengan chloroform : isoamyl alkohol (24:1). Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf 1.5 ml dan ditambahkan 2 volume etanol dingin. Selanjutnya disentrifuse pada 12.000 rpm selama 10 menit pada 25–30 °C. Pelet dicuci dengan etanol 70%. Pelet dikeringkan anginkan dan dilarutkan dalam 200 µl ddH2O.
4.5. Optimalisasi dan Amplifikasi DNA dengan PCR Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode William et al. (1990) dalam Nuryani (2002). Amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer acak yang disusun oleh 10 oligonukleotida (10-oligomer). Sebelumnya dilakukan optimasi PCR. Beberapa variable seperti konsentrasi primer, konsentrasi DNA template, konsentrasi Taq DNA Polymerase, dan suhu
29
annealing yang digunakan untuk PCR dicoba untuk mendapatkan produk PCR yang optimal. Sebanyak 7 jenis primer acak 10-mer dari Operon Technology Ltd. USA dan University British Colombia yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu OPA 04 (5’-AATCGGGCTG-3’ ), OPD 11 (5’-AGCGCCATTG-3’), OPD 14 (5’-CTTCCCCAAG-3 ’), OPF 11 (5’-TTGGTACCCC-3’), UBC 106 (5’CGTCTGCCC-3’),
UBC 127 (5’-ATCTGGCAGC-3’) dan UBC 250 (5’-
CGACAGTCCC-3’). PCR dilakukan pada total volume 20 µl campuran yang mengandung 12 µl master mix (terdiri dari 2 µl dNTPmix yang mengandung dATP, dTTP, dGTP, dan dCTP; 2 µl Taq buffer polymerase; 1,5 µl MgCl2; 0,5 µl Taq polymerase; 0,5 µl gliserol; 5,8 µl ddH2O), 6 µl primer dan 2 µl DNA. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 94 0C selama 5 menit, diikuti oleh 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 1 menit pada suhu 940C, annealing 3 menit pada suhu 35 0C, dan 2 menit ekstensi pada suhu 720C. Setelah 35 siklus selesai, kemudian diikuti 7 menit pada suhu 720C dan pendinginan selama 30 menit. Hasil amplifikasi dievaluasi secara elektroforesis menggunakan Mupid Mini Cell pada gel agarosa 2,0% dalam buffer TAE (Tris-Asetat EDTA) selama 50 menit pada 100 V. Kemudian direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi akhir 15 µl/100 ml selama 10 menit. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan UV transluminator, kemudian difoto dengan kamera digital. Sebagai standar digunakan 1 kb DNA ladder (Fermentas) untuk menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Pita hasil amplifikasi kemudian dicatat dan diberi kode.
30
4.6. Analisis Data Setiap pita RAPD berhubungan dengan lokus yang mengandung alel tertentu. Pita hasil amplifikasi pada posisi yang sama pada laju elektroforesis yang sama untuk setiap tanaman nilam dianggap sebagai satu lokus homolog. Lokus tersebut diubah ke dalam data biner. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang diberi kode yaitu: ada (A) dan tidak ada (T). Matriks band RAPD ini digunakan untuk analisis pengelompokan dengan metode Unweighted Pair Group Methods Arithmatic Average (UPGMA) menggunakan software MEGA 501. Ukuran pita DNA tentukan berdasarkan standar ladder dengan menggunakan kertas grafik semi logaritma. Jarak pita diukur dari pertengahan sumur sampai pertengahan pita. Tingkat
keinformatifan
primer
ditentukan
dengan
penghitungan
Polymorphic Information Content (PIC) (Weir. 1990). PIC dihitung dengan rumus; n PIC = 1-Σ Pij2 j=1 Dimana Pij adalah frekuensi pola j yang dihasilkan oleh primer i yang kemudian dijumlahkan untuk keseluruhan pola – pola yang dihasilkan primer.
31
V. HASIL PENELITIAN
5.1. Karakteristik Morfologi Tanaman Nilam Hasil pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa karakteristik morfologi tanaman nilam yang dibudidayakan di beberapa daerah di Bali adalah sebagai berikut; bentuk daun agak bulat telur dengan warna hijau sampai hijau pucat keunguan. Tulang daun menyirip. Panjang daun bervariasi dari 5,75 - 8,25 cm pada tanaman tanpa naungan dan 9,15 - 13,70 cm pada tanaman yang ternaungi. Sedangkan lebar daun 4,70 - 6,75 cm pada tanaman tanpa naungan dan 8,10 - 11,20 cm pada tanaman ternaungi. Disamping itu ukuran daun juga tergantung pada tingkat kesuburan tanaman. Ujung daun nilam meruncing dengan pangkal daun rata membulat. Tepi daun bergerigi ganda dan pada permukaan daun terdapat bulu yang lembut. Hal ini serupa dengan karakteristik nilam Aceh. Nilam Jawa memiliki karakteristik morfologi; bentuk daun agak membulat, tepi daun nilam bergerigi runcing, dengan ujung daun meruncing, warna daun hijau, tulang daun menyirip. Permukaan daun nilam Jawa kasar (Gambar 5.1)
Gambar 5.1. Bentuk daun nilam Jawa (kiri), nilam Aceh (tengah) dan nilam yang dibudidayakan di Bali (kanan)
32
Tanaman nilam berupa perdu dengan batang tanaman berbentuk persegi dan percabangan yang lateral. Warna batang muda ungu sedangkan pada bagian pangkal batang ungu kehijauan. Sedangkan tinggi tanaman dapat mencapai 1 m pada umur lebih dari 6 bulan setelah tanam.
5.2. Analisis Marka RAPD Tujuh dekamer primer dari sekuen acak digunakan pada 16 nilam dalam suatu reaksi RAPD. Empat dari tujuh primer mengamplifikasi DNA pada semua sample. Hasil amplifikasi dari tiga primer (OPF11, UBC 106, dan UBC127) tidak konsisten dalam mengamplifikasi DNA. Primer OPF11 menghasilkan produk amplifikasi hanya pada salah satu sampel DNA sedangkan UBC 106 dan UBC 127 tidak menghasilkan produk amplifikasi. Ketiga primer ini tidak diikutkan dalam analisis selanjutnya untuk mencegah kesalahan penentuan polimorfisme yang disebabkan oleh kegagalan reaksi PCR. Pada penelitian ini, dari empat primer (OPA 04, OPD 11, OPD 14 dan UBC 250) dihasilkan 262 produk amplifikasi yang berbeda. Masing – masing primer menghasilkan 44 sampai 114 fragmen DNA. Dari empat primer tersebut menghasilkan 4 sampai 8 pola pita dengan ukuran 100 - 2375 bp (base pair). Jumlah fragmen DNA dari masing-masing nilam dan tingkat keinformatifan dari masing-masing primer disajikan pada Tabel 5.1. Amplifikasi primer OPA 04 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 6 pola pita dengan 57 fragmen DNA yang berukuran 100 – 750 bp. Empat puluh satu pita (71,9 %) adalah polimorfik (Gambar 5.2). Tingkat keinformatifan dari primer ini sebesar 0,69.
33
Tabel 5.1. Jumlah fragmen DNA dari masing-masing nilam dan tingkat keinformatifan dari masing-masing primer Primer
Kisaran ukuran pita (bp)
OPA 04
100 - 750
Jumlah pola pita 6
Jumlah pita Jumlah total polimorphik produk amplifikasi 41 57
Persentase polimorphik
PIC
71,9
0,69
OPD 11
100 - 958
5
35
51
68,6
0,76
OPD 14
225 - 2375
8
82
114
71,9
0,87
UBC 250
350 - 893
4
28
44
63,6
0,68
L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 bp
1500 1000 750 500 250
Gambar 5.2. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPA 04 (lajur paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu) Amplifikasi primer OPD 11 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 5 pola pita dengan 51 fragmen DNA yang berukuran 100 – 958 bp. Tiga puluh lima pita (68,6 %) adalah polimorfik (Gambar 5.3). Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0,76.
34
L 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
bp
2000 1500 1000 750 500 250
Gambar 5.3. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPD 11 (lajur paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)
Amplifikasi primer OPD 14 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 8 pola pita dengan 114 fragmen DNA yang berukuran 225 – 2375 bp . Delapan puluh dua pita (71,9 %) adalah polimorfik (Gambar 5.4). Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0,87. Amplifikasi primer UBC 250 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 4 pola pita dengan 44 fragmen DNA yang berukuran 350 – 893 bp. Dua puluh delapan pita (63,6 %) adalah polimorfik (Gambar 5.5). Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0,68.
35
L 1 2
3
4
5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bp
2000 1500 1000 750 500 250
Gambar 5.4. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPD 14 (lajur paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)
L 1 2
3
4
5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bp
2000 1500 1000 750 500 250
Gambar 5.5. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer UBC 250 (lajur paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)
36
5.2. Analisis Filogeni Nilam Berdasarkan profil pita DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 4 primer, ditentukan matrik kesamaan untuk menentukan kesamaan hubungan genetik antar individu dalam 16 sample nilam. Hasil analisis pengelompokan dengan UPGMA menggunakan program MEGA 5. 01, menunjukkan bahwa 16 nilam yang dianalisis terbagi menjadi 6 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari nilam Tapak Tuan, nilam Lemukih, nilam Plaga dan nilam Lhokseumawe. Kelompok kedua merupakan nilam Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari, nilam Mengwi. Kelompok ketiga adalah nilam Sidan dan nilam Abiansemal. Kelompok keempat adalah nilam Sidikalang, nilam Wanagiri dan nilam Jegu. Kelompok kelima terdiri dari nilam Belok dan Lukluk. Kelima kelompok ini merupakan nilam Aceh dengan jarak genetik lebih kecil dari 0,3. Sedangkan kelompok keenam adalah nilam Jawa. Secara molekuler semua nilam yang dibudidayakan di Bali merupakan nilam Aceh. Ditinjau dari jarak genetik; dua nilam (nilam Lemukih dan nilam Plaga) memiliki jarak genetik 0,087 dengan nilam Tapak Tuan dan nilam Lhokseumawe. Enam nilam (nilam Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari, nilam Mengwi, nilam Sidan dan nilam Abiansemal) lebih mirip dengan Nilam Lhokseumawe dengan jarak genetik 0,087- 0,130, dibandingkan dengan nilam Tapak Tuan (jarak genetik 0,174 – 0,304) dan Sidikalang (jarak genetik 0.174 0,261). Dua nilam (nilam Wanagiri dan nilam Jegu) memiliki kemiripan dengan nilam Sidikalang dengan jarak genetik 0,130 dan dua nilam (nilam Belok dan Lukluk) diluar nilam Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe dengan jarak genetik 0,174 (Lampiran 2)
37
Nilai
bootstrap pada 500 replikasi untuk mengetahui tingkat sibling
pengelompokan ditunjukkan pada Gambar 5.6. Nilam Lemukih sibling 58% dengan nilam Plaga tetapi keduanya sibling 21% dengan nilam Tapak Tuan. Nilam Wanagiri dan nilam Jegu sibling 30 % dengan nilam Sidikalang. Nilam Belok sibling 50 % dengan nilam Lukluk, nilam Pupuan sibling 23 % dengan nilam Nungnung. Nilam Mekarsari sibling 34 % dengan nilam Mengwi sedangkan nilam Sidan sibling 44 % dengan nilam Abiansemal.
58 nilam Lemukih 21
nilam Plaga
11
nilam Tapak Tuan nilam Lhokseumawe
5 23
nilam Pupuan nilam Nungnung
10
nilam Mekar Sari
6
nilam Mengwi
34
nilam Sidan
34 44
nilam Abiansemal nilam Sidikalang nilam Wanagiri
30 33
nilam Jegu nilam Belok nilam Lukluk
50
nilam Jawa
0.24
0.22 0.20
0.18 0.16
0.14 0.12
0.10 0.08
0.06 0.04
0.02 0.00
Gambar 5.6. Dendrogram filogeni nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa dan nilam yang dibudidayakan di Bali. Angka pada percabangan menunjukkan nilai bootstrap sedangkan angka dibawah menunjukkan panjang cabang
38
VI. PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Morfologi Nilam Morfologi tanaman merupakan salah satu alat penanda genetik yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi tanaman. Morfologi tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Beberapa karakter morfologi tanaman yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi tanaman adalah; ukuran, bentuk dan warna dari daun, batang maupun bunga. Tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali memiliki rentang ukuran daun yang cukup luas dibandingkan dengan ukuran daun nilam menurut Nuryani (2006b) (panjang daun 5,95 - 7,52 cm dan lebar 4,88 - 6,39). Hal ini sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah dan tingkat naungan pada tanaman nilam. Tanaman nilam yang tumbuh ditempat subur atau dibudidayakan dengan pemupukan yang cukup menunjukkan daun dengan ukuran yang lebih lebar dan lebih panjang. Tanaman yang tumbuh pada tanah subur menyebabkan ketersediaan unsur hara mencukupi untuk pertumbuhan tanaman yang optimal sehingga ukuran fisik tanaman menjadi lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga kurang baik dijadikan penanda genetik, dibandingkan dengan menggunakan bentuk daun. Keanekaragaman fenotip sangat berhubungan dengan perbedaan lokasi tempat tumbuhnya (populasi) khususnya ketinggian tempat tumbuh. Hal tersebut berhubungan dengan kebutuhan sinar matahari dan kelembaban yang sesuai oleh tanaman nilam sehingga sifat genetik nilam akan muncul secara lebih baik dibandingkan populasi lainnya. Menurut Welsh dan Mogea (1991)
39
intensitas radiasi matahari, kelembaban, zat hara yang diperoleh akan berinteraksi dengan sifat genotip sehingga keadaan lingkungan yang sesuai akan memperbaiki kualitas tanaman secara genetik dan berpengaruh terhadap fenotip suatu tanaman. Karakteristik morfologi (bentuk daun, permukaan daun, tulang daun warna daun dan bentuk batang) nilam yang dibudidayakan di Bali serupa dengan karakteristik morfologi nilam Aceh yang dideskripsikan oleh Nuryani (2006b), tetapi agak sulit membedakan varietasnya. Menurut Nuryani (2006b) bentuk daun nilam Aceh agak membulat, ujung daun meruncing dengan pangkal daun rata membulat, tepi daun bergerigi ganda dan pada permukaan daun terdapat bulu yang lembut. Sedangknan nilam Jawa memiliki bentuk daun agak membulat, tepi daun nilam bergerigi runcing, dengan ujung daun meruncing. Warna daun hijau dengan permukaan daun kasar. Secara morfologi daun, tidak ada nilam yang diuji memiliki karakteristik morfologi seperti nilam Jawa. Penanda morfologi mudah dilihat oleh mata, contohnya adalah warna, ukuran atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan masih dipakai, penanda morfologi dapat termodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Pandin, 2009). Selain itu, penanda morfologi jumlahnya sangat terbatas dan untuk mengamatinya harus menunggu hingga sifat penanda itu muncul.
6.2. Analisis RAPD Nilam Asam deoksiribonukleat (DNA) genom dari daun nilam telah berhasil diisolasi. Isolasi DNA dari sample merupakan langkah awal semua jenis pengujian dengan menggunakan penanda molekuler. Menurut Sanjaya dkk., (2002) penanda molekuler seperti marka DNA merupakan alat yang sesuai untuk
40
menentukan jarak genetik, karena marka yang polimorfik dapat diperoleh lebih cepat dan lebih banyak dari pada penanda morfologi. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah suatu sistem deteksi
molekuler yang berbasis PCR, salah satu teknik molekuler untuk
mendeteksi keragaman DNA didasarkan pada penggandaan DNA.
RAPD
merupakan penanda DNA yang memanfaatkan primer acak oligonukleotida pendek (dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme (Bardakci, 2001; Sharma et al. 2008). Amplifikasi DNA tergantung dari kecocokan primer dengan sekuen DNA nilam. Primer yang tidak sesuai dengan sekuen DNA nilam tidak menghasilkan produk amplifikasi. Hal ini disebabkan karena tidak terdapat situs yang komplementer pada DNA nilam dengan sekuen primer tersebut. Menurut Yuwono (2006) primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Disamping ditentukan oleh ada tidaknya situs penempelan primer, keberhasilan teknik ini ditentukan juga oleh kemurnian dan keutuhan DNA cetakan (Bardakci, 2001). Menurut Caetano-Anollés (2004) untuk beberapa genom, kemurnian dari sample DNA tidak mempengaruhi reaksi amplifikasi. Konsentrasi DNA genom merupakan faktor terpenting dalam reaksi amplifikasi. Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kontaminan yang mengganggu reaksi amplifikasi (Chen, 2000 ). Faktor lain yang menentukan keberhasilan reaksi PCR adalah kecocokan primer dalam membentuk ikatan komplementer dengan DNA sampel (CaetanoAnollés, 2004).
41
Primer yang sesuai dapat membedakan antara nilam Jawa dan nilam Aceh. Hal ini sejalan dengan hasil amplifikasi primer UBC 250 yang menghasilkan pita DNA unik dengan ukuran sekitar 400 bp yang hanya muncul pada nilam Jawa. Menurut Roberts (1993) primer RAPD biasanya mampu mengamplifikasi DNA dengan ukuran 100 bp sampai 3000 bp tergantung DNA genom dan primer. Tingkat keinformatifan dari primer (PIC) berkisar dari 0,68 – 0,87 yang artinya primer tersebut dapat mendeteksi polymorphisme dalam suatu populasi sebesar 68 – 87%. Semakin besar nilai PIC suatu primer maka primer tersebut semakin baik untuk dipakai sebagai penanda molekuler. PIC mengacu pada nilai suatu penanda untuk mendeteksi polymorphisme di dalam suatu populasi. PIC tergantung pada banyaknya dapat ditemukan allel dan distribusi dari frekwensinya (Anderson et al. (1993).
6.3. Analisis Filogeni Nilam Analisis filogeni menunjukkan bahwa dengan primer OPA 04, OPD 11, OPD 14 dan UBC 250, nilam yang dibudidayakan di beberapa daerah di Bali dapat dikelompokan. Nilam yang dibudidayakan di daerah Pupuan, Nungnung, Mekar Sari dan Mengwi berada dalam satu kelompok dengan jarak genetik 0,043 – 0,130. Sedangkan
nilam Sidan dan Abiansemal yang berada dalam satu
kelompok memiliki jarak genetik 0.087. Kedua kelompok tersebut lebih mirip dengan nilam Lhokseumawe (jarak genetik 0,087- 0,130), dibandingkan dengan nilam Tapak Tuan (jarak genetik 0,174 – 0,304) dan Sidikalang (jarak genetik 0.174 - 0,261). Namun secara filogeni tanaman nilam tersebut berada diluar kelompok Lhokseumawe. Nilam di daerah Lemukih dan daerah Plaga berada dalam satu kelompok serta memiliki jarak genetik 0,087 dengan nilam Tapak
42
Tuan dan Lhokseumawe. Nilam yang dibudidayakan di Wanagiri dan di Jegu memiliki kemiripan dengan nilam Sidikalang dengan jarak genetik 0,130. Nilam yang dibudidayakan di daerah Belok mirip dengan nilam yang dibudidayakan di daerah Lukluk dengan jarak genetik 0,174. Kedua nilam ini memiliki jarak genetik 0,217 – 0,304 dengan nilam Lhokseumawe, Sidikalang dan Tapak Tuan. Dari Gambar 5.6 terlihat bahwa nilai bootstrap dari pengelompokan nilam yang diuji relatif rendah. Hal ini disebabkan karena primer yang dipergunakan terbatas. Untuk mendapatkan hasil pengelompokan yang lebih baik dengan nilai bootstrap yang tinggi perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan primer yang lebih banyak. Menurut Holmes (2005) makin tinggi nilai bootstrap makin baik. Secara molekuler nilam yang dibudidayakan di Bali memiliki kemiripan dengan nilam Aceh dengan jarak genetik dari 0,087 - 0,304 dibandingkan jarak genetik dengan nilam Jawa sebesar 0,652. Rentang jarak genetik menunjukan keragaman genetik tanaman nilam yang diuji. Menurut Hasan et al. (2009) rentang jarak genetik yang tinggi dari sampel mengindikasikan tingginya keragaman antar individu dalam suatu wilayah. Cabang pada pohon filogeni mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur, sedangkan panjang cabang menggambarkan jumlah perubahan evolusioner yang terjadi antara dua nodus (Li dan Graur, 1991). Adanya keragaman genetik nilam yang dibudidayakan di beberapa wilayah di Bali mencerminkan sumber bibit yang ditanam tidak berasal dari induk yang sama. Keragaman genetik nilam antar wilayah dengan ketinggian berbeda
43
tidak konsisten. Hal ini menjelaskan bahwa keragaman tersebut tidak disebabkan oleh perbedaan tempat pembudidayaan di Bali, tetapi lebih disebabkan karena perbedaan sumber bibit atau varietas. Hal ini sesuai dengan informasi dari sejumlah petani dan pedagang bibit nilam yang ada di Bali, dimana nilam yang dibudidayakan di daerah Pupuan, Nungnung, Mekar Sari dan Mengwi sumber bibitnya berasal dari daerah Jogjakarta. Demikian juga dengan nilam Sidan dan Abiansemal. Nilam di daerah Lemukih, daerah Plaga, Wanagiri dan Jegu berasal dari Bogor. Nilam yang dibudidayakan di daerah Belok dan Lukluk berasal dari Jawa Timur. Keragaman genetik nilam ini bisa timbul karena adanya mutasi alami akibat cekaman lingkungan dari tempat asal bibit nilam tersebut. Keragaman genetik tanaman nilam berpengaruh terhadap beragamnya produktivitas tanaman nilam dalam menghasilkan minyak atsiri. Menurut Nuryani (2006a) Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda. Keragaman genetik dapat terjadi karena mutasi dan persilangan. Mutasi pada tanaman dapat terjadi secara spontan di alam (spontaneous mutation) dan dapat juga terjadi melalui induksi (induced mutation). Tanaman nilam Aceh umumnya diperbanyak secara vegetatif, sehingga keragaman genetiknya hanya mengandalkan adanya mutasi alam. Mutasi alami terjadi secara lambat. Faktor luar yang secara alami merangsang terjadinya mutasi adalah sinar-sinar kosmis dari luar angkasa, sinar radioaktif yang terdapat di alam, dan sinar ultraviolet. Mutasi juga bisa terjadi kerena suhu yang tinggi, adanya mutagen berupa senyawa-senyawa alkil yang
44
terdapat pada pestisida, defisiensi unsur hara ataupun karena bahan biologi seperti virus (Amato, 1977). Materi genetik (DNA) tidak semuanya berada di dalam inti sel (nucleus). Hal tersebut terbukti dengan dijumpai bahwa beberapa sifat tanaman diturunkan dengan tidak menuruti pola hukum Mendel. Penyimpangan ini terjadi karena penurunan sifat juga dikontrol oleh gen-gen yang berada di luar inti sel atau sitoplasma, dan penurunan sifat model ini dikenal dengan istilah extranuclear inheritance. Kloroplas dan mitokondria merupakan organel diluar inti sel yang mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi (Bayu, 2005). Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada daun. Dampak mutasi gen kloroplas sering diekspresikan dengan munculnya perubahan warna pada daun tanaman. Mutasi di luar inti sel sering pula menimbulkan gejala pertumbuhan kerdil, berubahan morfologi bunga dan penyimpangan morfologi lainnya, dan ketahanan terhadap herbisida, yang biasanya disandikan oleh gen mitokondria (Bayu, 2005). Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipe, yang akhirnya mempengaruhi sifat-sifat
yang diekspresikan.
Organisme akan berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Organisma ini akan lebih mampu bertahan hidup dalam jangka lama dan akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan Stansfield, 2007). Keragaman genetik tanaman sangat penting dalam hal pemuliaan tanaman dan keberlangsungan hidup tanaman. Tanaman dengan keragaman yang tinggi
45
akan memungkinkan untuk didapatkannya tanaman unggul melalui seleksi klon maupun melalui perbaikan genetik. Menurut Hutami, dkk. (2006) keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula melalui persilangan. Usaha perbaikan genetik tanaman nilam memerlukan adanya plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas (Martono, 2009). Informasi hubungan genetik antara individu di dalam dan di antara spesies mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam pemuliaan tanaman pendugaan hubungan genetik sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua persilangan serta mengurangi jumlah individu yang dibutuhkan untuk mengambil sampel dengan kisaran keragaman yang luas (Julisaniah dkk., 2008). Nilam Aceh pada umumnya tidak berbunga sehingga peningkatan keragaman genetik tanaman nilam melalui hibridisasi seksual sulit dilakukan, Salah satu teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah melalui teknologi kultur invitro. Regenerasi tanaman kultur sel (somaklonal) dapat berasal dari kalus (calliclones) atau dari protoplas (protoclones). Keragaman somaklonal disebabkan karena adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan dengan pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi (Hutami dkk. 2006). Menurut Martono (2009) keragaman hibrida somatik dapat merupakan hasil dari sub kultur kalus yang dilakukan terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi somaklonal; ketidak stabilan dari kombinasi inti sel yang mengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya
46
bagian dari informasi genetik; dan adanya segregasi dari sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik pada sitoplasma dan inti.
47
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Dari Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa; 1. DNA nilam dapat diamplifikasi dalam reaksi RAPD dengan primer OPA 04, OPD 11, OPD 14 dan UBC 250. 2. Nilam yang dibudidayakan di beberapa wilayah di Bali secara molekuler beragam dengan jarak genetik 0,08 - 0,34 dan memiliki hubungan kekerabatan dengan varietas nilam Aceh. 3. Nilam di daerah Lemukih dan Plaga berada dalam satu kelompok dengan nilam Aceh varietas Tapak Tuan dan varietas Lhokseumawe. Nilam Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari dan nilam Mengwi berada dalam satu kelompok. Nilam Sidan satu kelompok dengan nilam Abiansemal. Nilam di Wanagiri dan Jegu satu kelompok dengan nilam Aceh varietas Sidikalang. Nilam di daerah Belok satu kelompok dengan nilam di daerah Lukluk.
7.2. Saran 1. Perlu dilakukan pengujian molekuler dengan menggunakan primer yang lebih banyak agar diperoleh hasil pengelompokan yang lebih baik. 2. Untuk meningkatkan keragaman genetik nilam yang ada di Bali perlu dilakukan upaya hibridisasi somatik dengan menggunakan plasma nutfah nilam yang sudah adaptif dengan lingkungan Bali.
48
DAFTAR PUSTAKA
Amato, F. D. 1977. Other Causes of Mutations. in Manual on Mutation Breeding 2nd. International Atomic Energy Agency. Vienna. Anderson JA, Churchill GA, Autrique JE, Tanksley SD, Sorrells ME 1993. Optimizing parental selection for genetic linkage maps. Genome, 36: 181186 Armando, R. 2009. Memproduksi Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar Swadaya. Bayu, E. S. 2005. Pewarisan Bahan Genetik di Luar Nukleus. e-USU Repository Universitas Sumatra Utara Bardakci, F. 2001. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers. Turk. J. Biol. 25:185-196 Bunrathep, S., G. B. Lockwood, T. Songsak and N. Ruangrungsi. 2006. Chemical Constituents from Leaves and Cell Cultures of Pogostemon cablin and Use of Precursor feeding to Improve Patchouli Alkohol Level. Science Asia. 32: 293-296 Caetano-Anollés, G., 2004. DNA Amplification Fingerprinting. A forum for DNA marker methodologies: University of Illinois at Urbana- Champaign. Chen, H.A., 2000. PCR [online]. Chen's own protocols: Chen’s protocol list: PCR. http://users. breathe.com/hachen/protocols/PCR.html. Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj). Jakarta: Erlangga. Demeke, T. and R. P. adams. 1994. The Use of PCR-RAPD Analysis in Plant Taxonomy and Evolution. In : Griffin, H. G. and A. M. Griffin. Eds. PCR Technology: Current Innovations. Boca Raton. CRC Press : 179-191 Hasan, S. M., M. Shafie, B. Shafie and R. M. Shah. 2009. Analysis of Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) of Artemisia capillaries in East Coast of Peninsular Malaysia. World Applied Science Journal 6 (7): 976986 Hutami, S., I. Mariska, dan Y. Supriati. 2005. Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. Jurnal AgroBiogen. 2(2):81-88 Holems, S. 2005. Bootstrapping Phylogenetic Trees: Theory and Methods. Stanford-USA.
49
Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jones, C.J., K.J. Edwards, S. Castagiole, M.O. Winfield, F. Sala, C. van del Wiel, G. Bredemeijer, B. Vosman, M. Matthes, A. Daly, R. Brettsshneider, P. Bettini, M, Buiatti, E. Maestri, A. Malcevschi, N. Marmiroli, R. Aert, G. Volckaert, J. Rueda, R. Linacero, A. Vasquez and A. Karp. 1997. A Reproducibility Testing of RAPD, AFLP and SSR Markers in Plants by a Network of European laboratories. Molecular Breeding. 3 (5): 382-390. Julisaniah, N. I., L. Sulistyowati, dan A. N. Sugiharto. 2008. Analisis kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Biodiversitas. 9 (2): 99-102 Karsinah, Sudarsono, L. Setyobudi dan H. Aswidinnoor. 2002. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (1): 8-16 Khanuja, S. P.S., A. K. Shasany, M.P. Darokar and S. Kumar. 1999. Rapid Isolation of DNA from Dry and Fresh Samples of Plants Producing Large Amounts of Secondary Metabolites and Essential Oils. Plant Molecular Biology Reporter 17: 1–7 Li, W. and D. Graur. 1991. Fudamental of Moluculer Evolution. Sinauer Associates Inc. Sunderland. Lynch, M. and B.G. Milligan. 1994. Analysis of Population Genetic Structure with RAPD Markers. Moleculer Ecology. 3:91-99. Mangun, H. M. S. 2002. Nilam. Jakarta: Penebar Swadaya. Martono, B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi antar Karakter Kuantitatif Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas. Jurnal Littri. 15 (1): 9-14 Mauludi, L. dan A. Asman. 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Nei, M. and W. Li. 1979. Mathematical Model for Studying Genetik Variation in Terms of Restriction Endonucleases. Procedeeng of National Academic of Science, USA. 76:5269-5273. Nuryani, Y., O. Rostiana dan C. Syukur. 2002. Penetapan Keragaman Genetik Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas dengan Teknik RAPD. Jurnal Littri. 8(2) ; 39-44
50
Nuryani, Y., Hobir dan C. Syukur. 2003. Status Pemuliaan Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Perkembangan Teknologi TRO. 15(2):57-66 Nuryani, Y. 2006a. Budidaya Tanaman Nilam (Pogostemon Cablin Benth). Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Nuryani. Y. 2006b. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah. 12 (2): 45-49 Padmalatha, K. and M. N. V. Prasad. 2006. Optimization of DNA Isolation and PCR Protocol for RAPD Analysis of Selected Medicinal and Aromatic Plant of Conservation Concern from Peninsular India. African Journal of Biotechnology. 5 (3): 230-234 Pandin, D. S. 2009. Keragaman Genetik Kultivar Kelapa Dalam Mapanget (DMT) dan Dalam Tenga (DTA) Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Buletin Palma. 36: 17-27 Pharmawati, M. 2009. Optimalisasi Ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada Grevillea spp. (Proteaceae). Jurnal Biologi. 13 (1): 12-16 Robert, K. 1993. Using Random Amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis to Examine Phylogenetic Distance Among Different Plant Species. Prince George Community College. Sanjaya, L., G. A. Wattimena, E. Guharja, M. Yusup, H. Aswindinoor dan P. Stam. 2002. Keragaman Ketahanan Aksesi Capsicum terhadap Antraknose (Colletotrichum capsici) berdasarkan Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (2): 37-42 Sharma, A., A. G. Namdeo and K.R.Mahadik. 2008. Molecular Markers: New Prospects in Plant Genome Analysis. Pharmacognosy Reviews 2 (3): 2331. Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. USU digital library Tao, J., Zhi-yong Luo, C. I. Msangi, Xiao-shun Shu, L. Wen, Shui-ping Liu, Chang-quan Zhou, Rui-xin Liu and Wei-xin Hu. 2009. Relatiomship Among Genetic Makeup, Active Ingredient Content and Place of Origin of the Medicinal Plant Gastrodia Tuber. Biochem Genet. 47:8-18 Untung, O. 2009. Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya. Weir, B. S. 1990. Genetic Data Analysis: Methods for Discrete Genetic Data. Sunderland Massachusetts. Sinauer Associates.
51
Welsh JR, Mogea 1JP. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Jakarta; Erlangga.
Williams, J.G., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalsky and S.V. Tingev. 1990. DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primers are Useful as Genetic Markers. Nucleic Acid Research. 18 (22): 6531-6535. Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: Andi Offset.
52
Lampiran 1. Larutan Stok dan Formula Ekstrak Buffer
Pembuatan larutan stok untuk ekstraksi DNA @ 100 ml: 1. CTAB 10 % Ditimbang 4,1 g NaCl dalam gelas piala 100 ml dilarutkan dengan aquades dan ditambahkan 10 g CTAB kedalamnya. stirrer (bila ada yang tidak larut panaskan maksimum 65 ºC), Ditambahkan aquades sehingga volume larutan menjadi 100 ml. 2. Tris HCl 1 M pH 8 Ditimbang 12,11 g Trizma base dalam glass piala, larutkan dengan 80 ml aquades, stirrer, ditambahkan 4,2 ml HCL pekat sedikit demi sedikit sampai pH mencapai 8. Masukan dalam labu ukur 100 ml, tambahkan aquades hingga garis tera. 3. EDTA 0,5 M pH 8 Ditimbang 18,61 g EDTA dalam gelas piala, dilarutkan dengan 75 ml aquades, stirrer. Ditambahkan 2 g NaOH pellet sampai pH 8 (EDTA tidak akan larut bila pH < 8), masukan dalam labu ukur 100 ml tambahkan aquades sampai garis tera. 4. NaCl 5 M Ditimbang 29,22 g NaCl p.a. dalam gelas piala 100 ml, larutkan dengan 80 ml aquades, stirrer. Masukkan dalam labu ukur 100 ml, tambahkan aquades sampai tanda tera. Semua bahan ini disterilkan dalam autoklaf, dan disimpan pada suhu dingin (kecuali CTAB 10 %)
53
Lampiran 1. (lanjutan)
Ekstrak buffer: 100 mMTris-Cl (pH 8.0); 25 mM EDTA; 1.5M NaCl; 2.5% CTAB; 0.2% β-mercaptoethanol (v/v) dan 1% PVP (w/v). Formula lihat Tabel Chloroform : isoamil alcohol (24 : 1); 24 ml chloroform ditambah 1 ml isoamil alkohol High salt TE buffer: 1 M NaCl, 10 mM Tris-Cl (pH 8.0) and 1 mM EDTA. Untuk membuat 50 ml larutan diperlukan; 10 ml NaCl 5 M ditambah 0,5 ml Tris-HCl 1M pH 8 dan 100 µl EDTA 0,5 M pH 8 lalu diencerkan dengan aquades sampai volume 50 ml. TE Buffer ; 1 ml Tris HCl 1M pH 8.0 ditambahkan 0,2 ml EDTA 0.5 M. Dibuat total volume 100 ml dengan aquades. Buffer TAE (Tris Acetic EDTA) 50 x 24,2 g Tris base ditambah 5,71 ml asam asetat glacial, ditambahkan 10 ml EDTA 0,5 M pH 8, tambahkan aquadest sampai volume 100 ml Ethidium bromide 1 % Ditimbang 1 g Et-Br, dilarutkan dalam 100 ml aquades. Simpan pada tempat gelap. Penggunaan 0,5 µl dalam setiap 10 ml larutan. Loading buffer untuk DNA Untuk 10 ml diperlukan sukrosa 4 g (40%) dan bromophenol blue 0,025 g (0,025 %) ditambah aquades sampai volume 10 ml.
54
Lampiran 1. (lanjutan) Tabel formula ekstrak buffer Larutan stok Tris-HCl 1M pH 8 EDTA 0,5 M pH 8 NaCl 5 M CTAB 10 % Aqudest β-mercaptoethanol PVP
5 ml 500 µl 250 µl 1500 µl 1259 µl 1500 µl 10 µl 0,05 g
Volume akhir yang dibuat 10 ml 100 ml 1000 µl 10 ml 500 µl 5 ml 3000 µl 30 ml 2500 µl 25 ml 3000 µl 30 ml 20 µl 0,2 ml 0,1 g 1g
Konsentrasi akhir 100 mM 25 mM 1,5 M 2,5 % 0,2 % 1 %