04:15 EKSPRES Amelia B. Edwards
2014
04:15 Ekspres Diterjemahkan dari The Four-Fifteen Express karangan Amelia B. Edwards terbit tahun 1867 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
P
ERISTIWA
yang akan kuceritakan ini terjadi antara sembilan
atau sepuluh tahun silam. Sebastopol jatuh di awal musim
semi, perdamaian Paris ditandatangani sejak Maret, hubungan dagang kami dengan kekaisaran Rusia diperbarui, dan aku, sepulang dari perjalanan pertama ke utara sejak peperangan, amat senang dengan prospek menghabiskan bulan Desember di bawah atap rumah teman baikku yang ramah dan sangat Inggris, Jonathan Jelf, Esq., dari Dumbleton Manor, Clayborough, East Anglia. Bepergian untuk kepentingan sebuah firma terkenal di mana aku bernasib menjadi mitra junior, aku tak hanya dipersilakan mengunjungi ibukota Rusia dan Polandia, tapi juga merasa perlu melewatkan beberapa pekan di antara pelabuhan-pelabuhan dagang Baltik. Dari sana, tahun tersebut berlalu panjang sebelum aku menginjakkan kaki lagi di tanah Inggris, dan, alih-alih menembaki burung-burung pegar bersamanya, sebagaimana yang kudambakan di bulan Oktober, aku justru menjadi tamu temanku selama gelombang Natal yang lebih semarak. Perjalananku berakhir. Beberapa hari dicurahkan untuk bisnis di Liverpool dan London, aku bergegas ke Clayborough dengan segala kegirangan ala anak sekolah yang menyambut musim libur. Jalanku meninggalkan jalur Great East Anglian sampai stasiun Clayborough, di mana aku akan menjumpai salah satu gerbong Dumbleton dan dibawa melintasi sisa sembilan mil pedesaan. Sore itu berkabut, luar biasa hangat untuk 4 Desember, dan aku sudah berniat meninggalkan London dengan kereta ekspres jam 04:15. Gelapnya musim dingin turun lebih awal, lampu-lampu dinyalakan 5
dalam gerbong, uap lembab dan lengket meredupkan jendelajendela,
menempel pada
gagang-gagang
pintu,
merembesi
atmosfer, sementara pancaran gas di sandaran buku menyebarkan kabut berkilauan yang justru membuat kesuraman terminal terakhir semakin tampak. Setelah sampai di stasiun sekitar tujuh menit sebelum berangkatnya kereta, dan, berkat kerjasama diam-diam dengan penjaga untuk mengambil satu-satunya kompartemen yang kosong, aku menyalakan lampu perjalanan, duduk nyaman, menikmati buku dan cerutu. Tapi betapa kesalnya aku ketika, di akhir-akhir, seorang pria berjalan terburu-buru di peron, mengintip ke dalam gerbongku, membuka pintu dengan kunci tersendiri, lalu melangkah masuk. Sekilas aku merasa pernah bertemu dengannya—pria tinggi kurus, berbibir tipis, bermata terang, berbahu bungkuk kaku, dan rambut sedikit beruban sampai kerah. Dia membawa jas anti-air ringan, payung, dan kotak dokumen besar berwarna cokelat dan dipernis, yang akhirnya ditaruh di bawah kursi. Setelah itu, dia meraba-raba saku dada, seolah ingin memastikan keamanan dompet atau buku saku, meletakkan payung di jala di atas kepala, menghamparkan jas anti-air ke lutut, dan menukar topi dengan kap perjalanan berbahan Skotlandia. Sekarang kereta sedang berjalan keluar stasiun dan memasuki redupnya senja musim dingin. Kini aku bisa mengenalinya. Aku mengenalinya sejak dia melepas topi dan menyingkap alis tinggi, beralur, dan agak sempit. Aku pernah berjumpa dengannya, aku ingat betul, sekitar tiga tahun sebelumnya, di rumah yang mungkin sekarang sedang 6
ditujunya, sama sepertiku. Namanya Dwerrihouse. Dia berprofesi sebagai pengacara, dan kalau tidak salah merupakan saudara sepupu dari nyonya rumah yang kutuju. Aku juga tahu, dia orang “berada”,
secara
profesi
maupun
pribadi.
Keluarga
Jelf
menjamunya dengan begitu hormat yang mengawali hubungan subur. Anak-anak memuji-mujinya, dan kepala pelayan renta, meski bermuka masam kepada “orang biasa”, memperlakukannya dengan rasa hormat. Kurasa, sambil mengamatinya di bawah paduan samar cahaya lampu dan senja, sepupu Ny. Jelf ini kelihatan lebih lesu sejak pertemuan terakhir kami tiga tahun lalu. Dia amat pucat, dan seingatku dulu tak ada sorot kegelisahan di matanya. Gurat-gurat cemas di sekitar mulutnya juga menebal, dan ada cekungan dalam di pipi dan pelipisnya yang menandakan penyakit atau penderitaan. Sewaktu masuk, dia sudah melirik padaku, tapi sedikitpun tak ada pancaran kenal di wajahnya. Kini dia melirik lagi, kukira, agak ragu. Ketika dia melirik untuk ketiga atau keempat kalinya, aku memberanikan diri untuk menyapa. “Tn. John Dwerrihouse, ya?” “Itu namaku,” jawabnya. “Aku sangat senang bertemu dengan Anda di Dumbleton sekitar tiga tahun silam.” “Sepertinya aku kenal wajahmu,” katanya, “tapi namamu, dengan menyesal aku…” “Langford—William Langford. Aku kenal Jonathan Jelf sejak kami remaja di Merchant Taylors’, dan aku biasa menghabiskan beberapa pekan di Dumbleton di musim menembak. Sepertinya 7
tujuan kita sama.” “Tidak jika kau sedang menuju tanah bangsawan itu,” sahutnya. “Aku sedang bepergian untuk sebuah urusan—urusan yang menyusahkan, sementara kau, tak diragukan, akan bersenangsenang.” “Begitulah. Aku selalu menantikan kunjungan ini, tiga pekan paling gembira dalam setahun.” “Rumah yang menyenangkan,” kata Tn. Dwerrihouse. “Paling menyenangkan yang kutahu.” “Dan Jelf sangat ramah.” “Kawan terbaik di dunia.” “Mereka mengundangku untuk mengisi pekan Natal bersama mereka,” sambung Tn. Dwerrihouse, setelah jeda sesaat. “Anda akan datang?” “Entahlah. Tergantung urusan yang sedang kuhadapi. Mungkin kau sudah dengar, kami akan membangun jurusan cabang dari Blackwater ke Stockbridge.” Aku pun menjelaskan bahwa selama beberapa bulan ini aku keluar Inggris, karenanya belum dengar apa-apa tentang kemajuan yang dimaksud. Tn. Dwerrihouse tersenyum puas. “Ini akan menjadi sebuah kemajuan,” katanya, “kemajuan besar. Stockbridge kota yang sedang tumbuh, dan butuh komunikasi rel kereta langsung dengan metropolis untuk menjadi pusat dagang penting. Jurusan cabang ini ideku. Aku membawakan proyek ke hadapan dewan, dan aku sendiri yang mengawasi pelaksanaannya sampai sekarang.” 8
“Anda direktur East Anglian, rupanya?” “Kepentinganku di perusahaan itu,” jawab Tn. Dwerrihouse, “ada tiga. Aku direktur, aku pemegang saham yang besar, dan sebagai kepala firma hukum Dwerrihouse, Dwerrihouse and Craik, aku pengacara utama perusahaan.” Banyak omong, sok penting, asyik dengan proyek kesayangannya, dan tak mau membahas hal lain, Tn. Dwerrihouse kemudian menceritakan tentangan yang dihadapinya dan rintangan yang diatasinya terkait jurusan Stockbridge ini. Aku terhibur dengan banyaknya seluk-beluk lokal dan keberatan setempat. Nafsu seorang tuan tanah, ketidakpraktisan tuan tanah lain, kekesalan kepala gereja yang bidang tanahnya terancam, ketidakacuhan penduduk Stockbridge, yang tidak bisa dibuat mengerti bahwa kepentingan vital mereka bergantung pada persimpangan rel dengan jalur Great East Anglian; terlepas dari pemberitaan suratkabar lokal dan tak terdengarnya kesulitan menjawab pertanyaan DPR, segalanya terhampar di depanku dengan detil-detil yang mengandung kepentingan besar bagi rekan seperjalananku ini, tapi tidak bagiku. Dari situ, dan aku pasrah, dia melanjutkan ke masalah yang lebih rumit: taksiran biaya konstruksi per mil, taksiran yang disampaikan oleh berbagai kontraktor, kemungkinan lalu-lintas balik jalur baru, klausa-klausa sementara dalam keputusan baru sebagaimana disebutkan dalam Jadwal D laporan setengah tahunan terakhir perusahaan, dan sebagainya, sampai kepalaku pusing, perhatianku mengendur, dan mataku terus tertutup meski segala upaya kulakukan untuk membuatnya tetap 9
terbuka. Akhirnya aku dibangunkan oleh kata-kata ini: “Tujuh puluh lima ribu pound, tunai.” “Tujuh puluh lima ribu pound, tunai,” ulangku, dengan nada bergairah. “Besar sekali.” “Besar sekali untuk dimuat di sini,” sahut Tn. Dwerrihouse, menunjuk saku dadanya, “tapi ini baru sebagian kecil dari jumlah yang nantinya harus kami bayar.” “Anda tak bermaksud bilang bahwa saat ini ada tujuh puluh lima ribu pound di saku Anda, kan?” seruku. “Astaga, bukankah sudah kukatakan begitu selama setengah jam terakhir?” kata Tn. Dwerrihouse tak sabar. “Uangnya harus dibayarkan jam setengah sembilan malam ini, di kantor para pengacara Sir Thomas, untuk penyelesaian akta penjualan.” “Tapi bagaimana Anda akan menyeberang sebelum malam dari Blackwater ke Stockbridge sambil mengantongi uang tujuh puluh lima ribu pound?” “Ke Stockbridge!” gema sang pengacara. “Rupanya kau belum mengerti. Kupikir sudah kujelaskan bagaimana jumlah ini hanya membawa kita sampai Mallingford—tahap pertama perjalanan kita —dan bagaimana rute kita dari Blackwater ke Mallingford melintasi tanah Sir Thomas Liddell.” “Aku minda maaf,” gagapku. “Sepertinya pikiranku melantur. Jadi Anda hanya sampai ke Mallingford malam ini?” “Persis. Aku akan dapat kendaraan dari Blackwater Arms. Bagaimana denganmu?” “Oh, Jelf mengirim kereta kuda untuk menjemputku di 10
Clayborough! Mau titip pesan?” “Kau boleh bilang, jika kau bersedia, Tn. Langford, bahwa aku ingin menemanimu sepanjang perjalanan, dan sampaikan bahwa aku akan datang sebelum Natal jika memungkinkan.” “Tak ada lagi?” Tn. Dwerrihouse tersenyum muram. “Well,” katanya, “katakan saja pada sepupuku, kali ini jangan membakar aula hanya untuk menghormatiku, dan bahwa aku akan merasa berutang jika dia memerintahkan
cerobong
kamar
biru
disapu
sebelum
kedatanganku.” “Kedengarannya tragis. Apa terjadi kebakaran besar pada saat kunjungan terakhir Anda ke Dumbleton?” “Begitulah. Tak ada api yang dinyalakan di kamarku sejak musim semi, corong asapnya kotor, dan burung gagak membuat sarang di dalamnya, jadi ketika aku naik berdandan untuk makan malam, kudapati kamar penuh asap dan cerobongnya menyala. Apa kita sudah sampai Blackwater?” Kereta perlahan-lahan berhenti selagi Tn. Dwerrihouse bicara. Saat aku menyembulkan kepala keluar jendela, aku bisa lihat stasiun beberapa ratus yard di depan. Ada kereta lain di hadapan kami
yang
menghalangi
jalan,
penjaga
memanfaatkan
keterlambatan tersebut untuk mengumpulkan karcis Blackwater. Aku hampir belum memastikan posisi kami ketika petugas berwajah sehat muncul di pintu gerbong. “Karcis, tuan!” katanya. “Aku ke Clayborough,” jawabku, mengulurkan kartu pink 11
mungil. Dia mengambilnya, memandangnya sekilas dengan cahaya lentera kecil, mengembalikannya, dan kurasa menatap tajam rekan perjalananku, lalu pergi. “Dia tak meminta punyamu,” kataku, agak heran. “Mereka tidak pernah meminta,” jawab Tn. Dwerrihouse, “mereka semua mengenalku, dan tentu saja aku bepergian gratis.” “Blackwater! Blackwater!” teriak portir, berlari sepanjang peron di samping kami yang meluncur ke dalam stasiun. Tn. Dwerrihouse menarik kotak dokumennya, memasukkan kap perjalanan ke dalam saku, memakai topi lagi, mengambil payung, dan bersiap pergi. “Tn. Langford, terima kasih banyak sudah menemaniku,” katanya, dengan kesopansantunan kolot. “Selamat malam.” “Selamat malam,” balasku, mengulurkan tangan. Tapi dia tidak melihatnya atau memilih tidak melihatnya, lalu dia mengangkat topi sedikit, dan melangkah ke peron. Setelah itu, perlahan-lahan dia beranjak dan berbaur dengan kerumunan yang pergi. Mencondong ke depan untuk mengamatinya pergi, aku menginjak sesuatu. Ternyata wadah cerutu. Tak diragukan lagi, itu jatuh dari saku jas anti-airnya, dan terbuat dari kulit moroko gelap, dengan monogram perak di sisiannya. Aku pun melompat keluar gerbong persis saat penjaga muncul untuk mengunci pintu. “Boleh minta waktu satu menit?” tanyaku tak sabar. “Pria yang bersamaku dari kota menjatuhkan wadah cerutunya, dia belum 12
keluar stasiun.” “Satu setengah menit saja, pak,” jawab penjaga. “Anda harus cepat.” Aku pun berlari di peron secepat mungkin. Stasiunnya besar. Tn. Dwerrihouse sudah lebih dari separuh jalan ke ujung jauh. Namun aku melihatnya dengan jelas, bergerak perlahan-lahan bersama arus manusia. Seraya mendekat, kulihat dia bertemu seorang teman. Mereka berjalan sambil mengobrol, kemudian agak menjauh dari kerumunan dan berdiri meminggir dalam percakapan serius. Aku langsung menuju titik di mana mereka menunggu. Terdapat pancaran gas terang di atas kepala mereka, dan cahayanya menerpa wajah mereka. Kulihat keduanya dengan gamblang— wajah Tn. Dwerrihouse dan wajah rekannya. Berlari, terengahengah, sekuat tenaga, menghalangi jalan para portir dan penumpang, dan khawatir kereta meninggalkanku, kuamati pendatang baru itu lumayan lebih muda dan lebih pendek dari sang direktur. Dia berambut pirang, berkumis, berparas mungil, dan mengenakan setelan tweed Skotlandia berpotongan pendek. Aku tinggal beberapa yard lagi dari mereka. Aku menabrak seorang lelaki tegap, aku nyaris tertubruk truk bagasi, aku tersandung tas karpet, aku sampai di sana persis ketika peluit masinis mengingatkanku untuk kembali. Yang membuatku heran, mereka tak lagi di sana. Aku melihat mereka dua detik sebelumnya—dan sekarang mereka lenyap! Aku terdiam, kutengok kanan-kiri, tak ada tanda-tanda mereka di segala arah. Seakan-akan peron telah menganga dan menelan mereka. 13
“Beberapa detik yang lalu dua lelaki berdiri di sini,” kataku kepada portir di dekatku, “ke arah mana mereka pergi?” “Aku tak lihat siapa-siapa, pak,” jawabnya. Peluit melengking lagi. Penjaga, jauh di peron sana, mengangkat lengan dan berteriak padaku untuk “cepat!” “Jika mau naik kereta ini,” kata portir, “Anda harus cepat, pak.” Aku pun berlari, tepat menaiki gerbong begitu kereta mulai bergerak, didorong masuk oleh penjaga, lalu berangkat, terengahengah dan kebingungan, sementara wadah cerutu milik Tn. Dwerrihouse masih di tanganku. Itu peristiwa raib teraneh di dunia, bagaikan trik transformasi dalam pantomim. Baru beberapa saat lalu mereka ada di sana— jelas-jelas di sana, bercengkerama, cahaya gas menerpa wajah mereka—lalu detik berikutnya mereka menghilang. Tak ada pintu, jendela, atau tangga di dekat situ; itu cuma peron gersang, dihiasi iklan-iklan besar. Mungkinkah ada yang lebih misterius? Hal itu tak layak dipikirkan, tapi seumur hidup aku terus merenungkannya—merenungkan, mengherankan, menerka, membolak-baliknya dalam pikiranku, dan mengocok otakku untuk mencari solusi atas enigma ini. Aku memikirkannya sepanjang perjalanan dari Blackwater ke Clayborough. Aku memikirkannya dari Clayborough ke Dumbleton, sambil berderak-derak sepanjang jalan mulus di dalam pedati sempit, ditarik oleh kuda betina hitam yang anggun dan dikemudikan pengendara paling bisu dan necis di East Anglia. 14
Kami menempuh sembilan mil dalam waktu kurang dari satu jam, dan menepi di depan gerbang pondok persis saat lonceng gereja menghantam pukul setengah delapan. Beberapa menit kemudian, pancaran hangat lorong bercahaya membanjiri kerikil di luar, cengkeraman tulus menyentuh tanganku, dan sebuah suara riang nan jernih menyambutku: “Selamat datang di Dumbleton”. “Nah, kawan,” kata tuan rumah, ketika sambutan pertama berakhir, “tak ada waktu lagi. Kita makan malam jam delapan, dan orang-orang akan menemuimu, jadi kau harus berdandan secepat mungkin. Ngomong-ngomong, kau akan bertemu beberapa kenalan; keluarga Biddulph akan datang, dan Prendergast (dari keluarga Skirmisher) menginap di rumah. Sampai jumpa! Ny. Jelf akan menunggumu di ruang duduk.” Aku diantar ke kamarku—bukan kamar biru, yang memberi pengalaman tak enak kepada Tn. Dwerrihouse, tapi sebuah kamar bujangan mungil dan cantik, digelantungi kain cita lembut dan diriangkan oleh api menyala-nyala. Aku membuka kunci kopor pakaian. Aku berusaha singkat dan efisien, tapi ingatan akan perjalanan kereta masih menghantui. Aku tak bisa lepas darinya; aku tak bisa mengusirnya. Itu terus mengusik, mengganggu, memerangkapku, membuatku salah memasang kancing, salah mengikat dasi, merenggut kancing sarung tangan. Yang paling parah,
itu
membuatku
telat,
akibatnya
rombongan
sudah
berkumpul sebelum aku sampai di ruang duduk. Aku nyaris tidak memberi tanda hormat kepada Ny. Jelf ketika makan malam diumumkan, dan kami berpasangan menuju ruang makan, sekitar 15
delapan atau sepuluh pasangan. Tak perlu kulukiskan para tamu atau makan malamnya. Semua pesta kedaerahan sama-sama memuat ketatnya keluarga, dan setahuku perjamuan East Anglian tak menyodorkan pengecualian. Ada baronet desa bersama isterinya, ada pendeta-pendeta desa bersama isteri mereka, ada kalkun panjang dan pangkal paha rusa. Vanitas vanitatum. Tak ada yang baru di kolong langit. Aku bertempat di sekitar pertengahan meja. Waktu itu aku mengajak isteri seorang kepala gereja menuju makan malam, dan isteri seorang lain di sebelah kiriku. Mereka mengobrol sementara aku di tengah-tengah mereka, dan obrolan mereka tentang bayi. Amat membosankan. Akhirnya mereka berhenti. Hidangan utama baru saja ditarik, dan kalkun pun masuk. Selama ini percakapan berjalan lesu, tapi sekarang terhenti sama sekali. Jelf sedang memotong-motong kalkun; Ny. Jelf tampak berusaha memikirkan sesuatu untuk diucapkan; yang lain membisu. Tergerak oleh dorongan sial, aku berpikir untuk menceritakan pengalamanku. “Ngomong-ngomong,
Jelf,”
aku
angkat
bicara,
“aku
menempuh setengah perjalananku hari ini bersama temanmu.” “Sungguh!” kata sang pemilik pesta, mengiris dada kalkun dengan teliti. “Siapa?” “Seseorang yang memintaku untuk memberitahukan bahwa dia akan mengunjungimu sebelum Natal, jika memungkinkan.” “Aku tak bisa menebak siapa dia,” kata temanku itu, tersenyum. “Pasti Mayor Thorp,” usul Ny. Jelf. 16
Aku menggeleng. “Bukan Mayor Thorp,” sahutku, “tapi kerabat dekatmu sendiri, Ny. Jelf.” “Kalau begitu aku semakin bingung,” jawab nyonya rumah. “Tolong katakan siapa dia.” “Sepupumu, Tn. John Dwerrihouse.” Jonathan Jelf menaruh pisau dan garpunya. Ny. Jelf menatapku aneh, kaget, dan tak berkata apa-apa. “Dan dia ingin aku memberitahumu, Nyonya, bahwa kau tak usah repot-repot membakar aula untuk menghormatinya kali ini, tapi cukup menyapu cerobong kamar biru sebelum dia datang.” Sebelum aku sampai di akhir kalimat, aku sadar ada sesuatu yang tak mengenakkan di wajah para tamu. Aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang sebaiknya tak kuucapkan, dan untuk suatu alasan yang tak jelas kata-kataku telah menimbulkan ketakutan. Aku duduk malu, tak berani mengucapkan satu sukukata tambahan, dan selama sekurangnya dua menit seisi meja membisu bungkam. Lalu Kapten Prendergast menyelamatkan. “Kau keluar negeri selama beberapa bulan, bukan, Tn. Langford?” katanya putus asa. “Kudengar kau ke Rusia. Pasti kau punya cerita untuk kami tentang negara itu dan wataknya setelah perang?” Dalam hati aku berterima kasih kepada sang Skirmisher gagahberani tersebut atas pengalihan ini. Aku menjawabnya, agak tertegun-tegun, tapi dia terus mempertahankan obrolan, dan kemudian satu atau dua orang lain bergabung. Maka kesulitan itu, 17
apapun itu, telah terjembatani—terjembatani, tapi bukan terbetulkan. Sesuatu yang janggal, ketidakleluasaan yang nyata, tetap tersisa. Selama ini para tamu terasa membosankan, tapi sekarang mereka jelas-jelas tak nyaman dan malu. Makanan pencuci mulut ditempatkan di atas meja ketika nonanona meninggalkan ruangan. Aku menangkap kesempatan untuk memilih kursi kosong di sebelah Kapten Prendergast. “Demi Tuhan,” bisikku, “ada apa barusan? Apa yang sudah kukatakan?” “Kau menyebut nama John Dwerrihouse.” “Memangnya kenapa? Aku bertemu dengannya tak kurang dari dua jam lalu.” “Bertemu dengannya pasti pengalaman paling mengejutkan,” kata Kapten Prendergast. “Kau yakin itu dia?” “Seyakin identitasku. Kami mengobrol sepanjang perjalanan antara London dan Blackwater. Tapi kenapa itu mengejutkanmu?” “Sebab,” jawab Kapten Prendergast, suaranya jatuh menjadi bisikan, “sebab John Dwerrihouse kabur membawa tujuh puluh lima ribu pound uang perusahaan tiga bulan silam, dan belum pernah terdengar sejak saat itu.” John Dwerrihouse kabur tiga bulan silam—sementara aku baru melihatnya beberapa jam lalu! John Dwerrihouse menggelapkan tujuh puluh lima ribu pound uang perusahaan, tapi dia sendiri bilang membawa jumlah tersebut di badannya! Apa fakta-fakta ini begitu ganjil, begitu sukar direkonsiliasikan? Bagaimana mungkin dia mengambil resiko dengan keluar lagi? Bagaimana dia berani 18
memperlihatkan diri? Di atas semua itu, apa yang dikerjakannya selama tiga bulan menghilang misterius? Pertanyaan-pertanyaan membingungkan ini—yang segera timbul dalam benak orang-orang terkait—tidak memberi solusi mudah. Aku tak mampu menemukan jawaban. Kapten Prendergast bahkan tak menawarkan usulan. Jonathan Jelf, yang menangkap kesempatan
pertama
untuk
mengambil
perhatianku
dan
mempelajari seluruh ceritaku, lebih heran dan bingung daripada kami. Dia datang ke kamarku malam itu, ketika semua tamu telah pergi, dan kami membahas lagi masalah tersebut dari segala sudut pandang, tanpa sampai pada kesimpulan apapun. “Aku tidak tanya,” katanya, “apa mungkin kau salah orang. Itu mustahil.” “Semustahil mengiramu orang asing.” “Ini bukan soal rupa atau suara, tapi fakta. Bahwa dia menyinggung kebakaran di kamar biru sudah cukup membuktikan identitas John Dwerrihouse. Bagaimana penampilannya?” “Lebih tua, kurasa, lumayan lebih tua, lebih pucat, dan lebih gelisah.” “Sudah pasti dia tampak gelisah,” kata temanku, murung, “bersalah ataupun tidak.” “Aku condong percaya bahwa dia tak bersalah,” timpalku. “Dia tak terlihat malu ketika aku menegurnya, dan tak ada kekhawatiran ketika petugas datang. Bisa saja dia salah ucap. Boleh dibilang dia terlalu terang-terangan tentang urusannya.” “Lagi-lagi itu aneh. Setahuku tak ada yang lebih segan dengan 19
persoalan semacam itu. Dia betul-betul bilang ada tujuh puluh lima ribu pound dalam sakunya?” “Ya.” “Huh! Isteriku punya pendapat tentang ini, dan mungkin saja dia benar—” “Pendapat apa?” “Well, dia mengira—kaum wanita memang pintar, kau tahu, dalam menyisipkan diri mereka ke dalam motif orang lain—dia mengira John tergiur, dan betul-betul mengambil uangnya, lalu bersembunyi selama tiga bulan ini di suatu wilayah terpencil, bergulat dengan suara hatinya, tak berani melarikan barang rampasannya, juga tak berani pulang dan mengembalikannya.” “Tapi sekarang dia sudah pulang?” “Itulah masalahnya. Isteriku menganggap barangkali dia mengharap kemurahan hati perusahaan, mengganti rugi uangnya, dan, setelah dimaafkan, diperbolehkan menjalankan bisnis seolah tak terjadi apa-apa.” “Bagian terakhir itu,” balasku, “mustahil. Ny. Jelf berpikir sebagai wanita yang murah hati dan lembut, tapi tidak sebagai dewan direktur kereta. Mereka takkan memaafkan sejauh itu.” “Kurasa begitu, tapi itu satu-satunya perkiraan yang mungkin. Namun, kita bisa pergi ke Clayborough besok dan mencaritahu. Ngomong-ngomong, Prendergast bilang kau memungut wadah cerutunya.” “Ya, ini.” Jelf mengambilnya dan memeriksa dengan cahaya lampu, dan 20
langsung mengakui itu memang milik Tn. Dwerrihouse; dia ingat pernah melihatnya menggunakan itu. “Juga, ini, ada monogram di sisinya,” tambahnya, “huruf J besar yang menancap pada D besar. Dia biasa membawa kertas tulis bergambar sama.” “Ini membuktikan bahwa aku tidak bermimpi.” “Ya, tapi sudah waktunya kau tidur dan bermimpi sekarang. Aku malu membuatmu terus terjaga lama-lama. Selamat tidur.” “Selamat tidur, dan ingat, aku sangat siap menemanimu ke Clayborough atau Blackwater atau London atau ke mana saja, jika aku bisa sedikit membantu.” “Terima kasih! Aku tahu kau serius, kawan lama, dan mungkin aku harus mengujimu. Sekali lagi, selamat tidur.” Kami pun berpisah untuk malam itu, dan berjumpa lagi di ruang sarapan jam setengah sembilan keesokan paginya. Sarapan yang tergesa-gesa, hening, tak nyaman; tak satu pun dari kami tidur pulas, semuanya memikirkan hal yang sama. Ny. Jelf jelas habis menangis, Jelf tak sabar untuk pergi, sementara Kapten Prendergast dan aku merasa berada dalam posisi orang luar yang menyakitkan, yang tanpa sukarela terseret ke dalam masalah rumah rangga. Dalam dua puluh menit setelah kami meninggalkan meja sarapan, pedati anjing didatangkan, aku dan temanku pun berada di jalan raya menuju Clayborough. “Sejujurnya, Langford,” katanya, selagi kami melaju di antara pagar tanaman musim dingin, “aku tidak mengira akan mengangkat nama Dwerrihouse di Clayborough. Semua pejabat 21
tahu dia kerabat isteriku, dan masalah ini tidak mengenakkan. Jika kau tak keberatan, kita akan naik kereta jam 11:10 ke Blackwater. Itu stasiun penting, di sana kita akan dapat peluang lebih besar untuk mengumpulkan informasi daripada di Clayborough.” Kami pun mengambil kereta 11:10, yang kebetulan ekspres, dan, setibanya di Blackwater sekitar jam 11:45, kami langsung melaksanakan penyelidikan. Kami memulai dengan menemui kepala stasiun. Orangnya bongsor, blak-blakan, dan cekatan, yang langsung mengaku sangat mengenal Tn. John Dwerrihouse, dan bahwa tak ada direktur lain yang begitu sering dijumpainya dan diajaknya bicara. “Dia biasa berada di sini dua atau tiga kali sepekan sekitar tiga bulan silam,” katanya, “ketika jurusan baru ini pertama kali beroperasi, tapi sejak saat itu, kalian tahu, tuan-tuan—” Dia berhenti sejenak. Jelf memerah malu. “Ya, ya,” katanya buru-buru, “kita semua tahu itu. Masalahnya sekarang, apakah dia terlihat atau terdengar belakangan ini.” “Setahuku tidak,” jawab kepala stasiun. “Dia tidak berada di jalur ini kemarin, misalnya?” Kepala stasiun menggeleng. “East Anglian ini, tuan,” katanya, “adalah tempat terakhir di mana dia berani memperlihatkan diri. Tak ada kepala stasiun, tak ada penjaga, tak ada portir yang tak kenal penampilan Dwerrihouse, atau tak akan mengirim telegram kepada polisi begitu melihatnya. Semoga Anda diberkati, tuan! Sejak 25 22
September lalu ada peraturan tetap terhadapnya.” “Tapi,” desak temanku, “seseorang yang melakukan perjalanan kemarin dari London ke Clayborough dengan ekspres sore mengaku melihat Tn. Dwerrihouse dalam kereta, dan katanya Tn. Dwerrihouse turun di stasiun Blackwater.” “Tak mungkin, tuan,” jawab kepala stasiun segera. “Kenapa tak mungkin?” “Sebab tak ada stasiun sepanjang jalur ini yang tidak mengenalnya, dia akan menghadapi resiko besar. Itu sama saja masuk ke dalam mulut singa, dia pasti gila jika berani mendekati stasiun Blackwater. Dan jika dia memang datang, pasti sudah ditangkap sebelum meninggalkan peron.” “Bisa beritahu aku siapa yang mengambil karcis Blackwater kereta tersebut?” “Bisa, tuan. Dia penjaga, Benjamin Somers.” “Lantas di mana aku bisa menemuinya?” “Kau bisa menemuinya, tuan, dengan menunggu di sini sampai jam satu, jika mau. Dia akan datang dengan kereta ekspres dari Crampton, yang bertahan di Blackwater selama sepuluh menit.” Kami menunggu kereta ekspres tersebut, menghabiskan waktu sebisa mungkin dengan berjalan-jalan di jalanan Blackwater sampai kami tiba di pinggiran kota, dari sana stasiun berjarak hampir beberapa mil jauhnya. Menjelang jam satu, kami kembali lagi ke peron dan menanti keretanya. Kereta tiba tepat waktu, aku langsung mengenali penjaga berparas merah sehat yang bertugas dalam keretaku di malam sebelumnya. 23
“Somers, tuan-tuan ini mau menanyakan sesuatu tentang Tn. Dwerrihouse,” kata kepala stasiun, memperkenalkan. Si penjaga melirik sengit wajahku lalu beralih ke wajah Jelf, kemudian kembali padaku. “Tn. John Dwerrihouse, bekas direktur itu?” katanya, bertanya. “Ya,” jawab temanku. “Apa kau kenal jika melihatnya?” “Di manapun, tuan.” “Apa kau kenal jika dia berada dalam kereta ekspres 04:15 kemarin sore?” “Dia tidak di sana, tuan.” “Bagaimana kau bisa begitu yakin?” “Sebab aku memeriksa setiap gerbong dan melihat setiap wajah dalam kereta, dan aku bersumpah tak ada Tn. Dwerrihouse. Tuan ini,” tambahnya, menoleh tajam padaku. “Entahlah apa aku pernah melihat tuan ini sebelumnya, tapi aku ingat betul wajahnya. Kau hampir ketinggalan kereta di stasiun ini, tuan, dan kau turun di Clayborough.” “Betul, pak penjaga,” jawabku, “tapi apa kau juga tidak ingat wajah orang yang naik dalam gerbong yang sama denganku sampai ke sini?” “Sepengetahuanku, tuan, kau sendirian,” kata Somers, dengan raut terkejut. “Tak mungkin. Aku ditemani seseorang sampai Blackwater, dan gara-gara berusaha mengembalikan wadah cerutu yang dia jatuhkan di gerbong, aku nyaris ketinggalan keretamu.” “Aku memang ingat kau bicara tentang wadah cerutu,” timpal 24
penjaga, “tapi—” “Kau meminta karcisku persis sebelum kami masuk stasiun.” “Betul, tuan.” “Kalau begitu, kau pasti melihatnya. Dia duduk di pojok sebelah pintu yang kau datangi.” “Tidak, sungguh, aku tak lihat siapa-siapa.” Aku memandang Jelf, aku mulai menyangka si penjaga merahasiakan mantan direktur itu, dan dibayar untuk bungkam. “Kalau aku melihat penumpang lain, pasti sudah kuminta karcisnya,” tambah Somers. “Apa kau melihatku meminta karcisnya, tuan?” “Kulihat kau memang tidak memintanya, tapi dia menjelaskan bahwa—” aku ragu. Aku khawatir. Mungkin aku sudah bicara terlalu banyak, sehingga terputus tiba-tiba. Penjaga dan kepala stasiun bertukar pandang. Si penjaga menengok arlojinya tak sabaran. “Aku harus melanjutkan tugas empat menit lagi, tuan,” katanya. “Kalau begitu, satu pertanyaan terakhir,” sela Jelf, dengan nada putus asa. “Jika rekan perjalanan tuan ini adalah Tn. John Dwerrihouse, dan dia duduk di pojok sebelah pintu yang kau masuki untuk mengambil karcis, mungkinkah kau tidak melihat dan mengenalinya?” “Tidak, tuan, tidak mungkin.” “Dan kau yakin tidak melihatnya?” “Sudah kubilang, tuan, aku berani bersumpah, aku tidak 25
melihatnya. Dan kalau bukan karena tidak suka membantah seorang terpandang sepertimu, aku juga berani bersumpah tuan ini sendirian dalam gerbong sepanjang perjalanan dari London ke Clayborough. Ah, tuan,” tambahnya, menurunkan suaranya sampai tidak terdengar oleh kepala stasiun, yang diajak bercengkerama oleh seseorang tak jauh dari situ, “kau dengan jelas meminta kompartemen tersendiri, maka kuberikan. Aku menguncimu di dalam, dan kau memberiku sesuatu sebagai imbalan.” “Ya, tapi Tn. Dwerrihouse punya kunci sendiri.” “Aku tak pernah melihatnya, tuan, aku tak lihat siapapun dalam kompartemen itu selain dirimu. Maaf, tuan, waktuku habis.” Dengan ini, sang penjaga berwajah merah sehat menyentuh topinya sebagai tanda hormat lalu pergi. Semenit kemudian, engahan berat mesin mulai hidup lagi, dan kereta meluncur pelan keluar stasiun. Kami saling berpandangan dalam hening selama beberapa saat. Aku yang pertama bicara. “Tn. Benjamin Somers pasti tahu lebih banyak,” kataku. “Huh! Kau pikir begitu?” “Pasti. Dia tak mungkin mendatangi pintu itu tanpa melihatnya, mustahil.” “Ada satu hal yang tak mustahil, kawan.” “Apa itu?” “Kau mungkin jatuh tertidur dan bermimpi semua itu.” “Mungkinkah aku bermimpi tentang jalur cabang yang belum pernah kudengar? Mungkinkah aku bermimpi tentang seratus satu 26
rincian bisnis yang tak menarik bagiku? Mungkinkah aku bermimpi tentang tujuh puluh lima ribu pound?” “Barangkali kau melihat atau mendengar cerita samar urusan tersebut selagi kau di dalam kereta. Mungkin waktu itu tak berpengaruh padamu, dan mungkin itu masuk ke dalam mimpimu, ditimbulkan oleh nama-nama stasiun di jalur ini.” “Bagaimana dengan kebakaran di cerobong kamar biru—apa aku pernah mendengarnya selama perjalananku?” “Well, tidak, kuakui ada kesulitan untuk poin itu.” “Lantas bagaimana dengan wadah cerutu?” “Ah, ya Tuhan! Wadah cerutu. Itu fakta keras. Well, ini memang misterius, dan perlu detektif yang lebih baik dariku untuk menjernihkannya. Kukira sebaiknya kita pulang.” ***** Satu minggu belum berlalu ketika aku menerima surat dari sekretaris East Anglian Railway Company, yang meminta kehadiranku di rapat dewan khusus beberapa hari kemudian. Tak ada alasan yang dikemukakan dan tak ada permintaan maaf untuk waktuku yang tersita, tapi mereka jelas mendengar soal penyelidikanku terhadap direktur yang hilang itu, dan mereka ingin melakukan sejenis pemeriksaan resmi terhadapku. Masih menjadi tamu di Dumbleton Hall, aku harus pergi ke London untuk tujuan tersebut, dan Jonathan Jelf menemaniku. Aku menemukan direksi Great East Anglian yang diwakili oleh dua belas atau empat belas 27
orang yang duduk khidmat mengitari meja tabir hijau besar, di ruang dewan suram yang berdampingan dengan terminal terakhir London. Diterima dengan sopan oleh ketua (yang langsung menyebut bahwa pernyataanku tentang Tn. John Dwerrihouse terdengar oleh kuping dewan direksi, dan bahwa mereka ingin berunding denganku soal itu), kami ditempatkan di meja tersebut, dan penyelidikan berlanjut dalam bentuk semestinya. Mula-mula aku ditanya apa aku kenal Tn. John Dwerrihouse, berapa lama kami kenal, dan apa aku bisa mengidentifikasinya jika bertemu. Lalu aku ditanya kapan terakhir kali melihatnya. Aku pun menjawab, “Tanggal 4 bulan ini, Desember 1856.” Kemudian diselidikilah di mana aku melihatnya tanggal 4 Desember itu, yang kujawab bahwa aku bertemu dengannya di dalam kompartemen kelas satu kereta ekspres 04:15, bahwa dia masuk sewaktu kereta meninggalkan terminal terakhir London, dan bahwa dia turun di stasiun Blackwater. Ketua lalu menyelidik apa aku berkomunikasi dengan rekan perjalananku itu. Aku pun bercerita bahwa, sejauh yang kuingat, informasi panjang-lebar dari Tn. John Dwerrihouse berkenaan dengan jurusan cabang baru. Dewan mendengarkan semua ini dengan tekun, sementara ketua memimpin dan sekretaris mencatat. Lalu kusodorkan wadah cerutu itu, yang kemudian dialihkan dari tangan ke tangan, dan dikenali oleh semuanya. Tak ada yang tidak ingat wadah cerutu polos dengan monogram peraknya. Semua merasa itu menguatkan keteranganku. Ketika akhirnya kuceritakan segalanya, ketua 28
membisikkan sesuatu kepada sekretaris. Sekretaris memegang bel tangan dari perak, lalu si penjaga, Benjamin Somers, diantar masuk ke dalam ruangan. Dia ikut diperiksa secara teliti. Dia bilang, dia tahu betul Tn. John Dwerrihouse, dia tak mungkin salah mengenalinya, dia ingat dirinya bertugas di kereta ekspres 04:15 pada sore yang dimaksud, dia mengingatku, dan, karena ada satu atau dua kompartemen kelas satu yang kosong di sore itu, dia menuruti permintaanku dan menempatkanku di dalam sendirian. Dia yakin aku terus sendirian dalam kompartemen sepanjang perjalanan dari London menuju Clayborough. Dia siap bersumpah bahwa Tn. Dwerrihouse tak ada di dalam bersamaku, atau di kompartemen manapun di kereta itu. Dia ingat jelas sudah memeriksa karcisku di Blackwater, dia yakin tak ada orang lain dalam gerbong waktu itu, dia tak mungkin tidak melihat orang kedua, jika memang ada. Seandainya orang kedua itu Tn. John Dwerrihouse, dia pasti akan mengunci ganda pintu gerbong dan langsung melapor kepada kepala stasiun Blackwater. Begitu gamblang, begitu tegas, begitu sigapnya Somers dengan kesaksian ini, sampai-sampai dewan terlihat kebingungan. “Kau dengar pernyataan orang ini, Tn. Langford,” kata ketua. “Itu bertentangan dengan setiap keteranganmu. Apa tanggapanmu?” “Aku hanya bisa mengulang apa yang sudah kukatakan. Aku cukup yakin akan kebenaran pernyataanku sebagaimana Tn. Somers dengan pernyataannya sendiri.” “Kau bilang Tn. Dwerrihouse turun di Blackwater, dan dia 29
punya kunci pribadi. Apa kau yakin dia belum turun dengan menggunakan kunci tersebut sebelum penjaga berkeliling menagih karcis?” “Aku cukup yakin dia tidak meninggalkan gerbong sampai kereta masuk stasiun, dan para penumpang Blackwater lainnya turun. Bahkan kulihat dia ditemui seorang teman di sana.” “Sungguh! Apa kau lihat orang itu dengan jelas?” “Cukup jelas.” “Bisa lukiskan penampilannya?” “Kurasa ya. Dia pendek dan sangat kurus, rambutnya pirang, kumis dan janggutnya lebat, dan dia mengenakan setelan tweed kelabu ketat. Umurnya kira-kira tiga puluh delapan atau empat puluh.” “Apa Tn. Dwerrihouse meninggalkan stasiun bersama orang ini?” “Entahlah. Aku lihat mereka berjalan bersama di peron, dan kemudian mereka berdiri berdampingan di bawah pancaran gas, mengobrol serius. Setelah itu tiba-tiba aku kehilangan mereka, dan persis kemudian keretaku kembali berjalan, dan aku naik.” Ketua dan sekretaris berunding dengan suara rendah. Para direktur saling berbisik. Satu atau dua orang menatap penjaga dengan curiga. Aku bisa lihat, keteranganku belum tergoyahkan, dan sepertiku, mereka mencurigai persekongkolan antara penjaga dan pengemplang itu. “Seberapa jauh kau bertugas di kereta ekspres 04:15 hari itu, Somers?” tanya ketua. 30
“Sepanjang perjalanan, pak,” jawab si penjaga, “dari London sampai Crampton.” “Mengapa kau tidak diganti di Clayborough? Kukira selalu ada pergantian penjaga di Clayborough.” “Dulunya begitu, pak, sampai aturan yang baru berlaku pertengahan musim panas lalu. Sejak saat itu para penjaga di kereta ekspres bertugas sepanjang perjalanan.” Ketua berpaling kepada sekretaris. “Kurasa tak ada salahnya,” katanya, “kalau kita periksa buku harian itu untuk merujuk masalah ini.” Sekali lagi sekretaris memegang bel tangan perak, dan menyuruh portir yang ada untuk memanggil Tn. Raikes. Dari satu dua kata yang diucapkan salah satu direktur, aku menyimpulkan bahwa Tn. Raikes termasuk wakil sekretaris. Dia pria mungil, kurus, berambut pirang, bermata sengit, janggut dan kumisnya tipis; datang dengan tingkah gugup dan tak sabaran. Dia baru menunjukkan diri di pintu ruang dewan, tapi langsung mengangguk dan menghilang setelah diminta membawakan buku harian dari sebuah rak di ruang tertentu. Dia cuma sekejap di situ. Keterkejutanku melihatnya begitu hebat, aku sampai kehilangan suara untuk bicara sebelum pintu ditutup. Namun, dia sudah pergi sebelum aku berdiri. “Orang itu,” kataku, “dialah yang menemui Tn. Dwerrihouse di peron Blackwater!” Semuanya kaget. Ketua tampak serius dan meradang. “Hati-hati,
Tn.
Langford,” 31
katanya,
“hati-hati
dengan
ucapanmu.” “Aku yakin akan identitasnya.” “Kau sudah pikirkan akibat perkataanmu? Kau sudah pikirkan bahwa kau melempar tuduhan buruk terhadap salah seorang pegawai perusahaan?” “Aku bersedia disumpah, jika perlu. Orang yang datang ke pintu barusan sama dengan yang mengobrol dengan Tn. Dwerrihouse di peron Blackwater. Apa dia pegawai perusahaan, aku tak bisa bilang apa-apa.” Ketua berpaling lagi kepada si penjaga. “Apa kau lihat Bpk. Raikes dalam kereta atau di peron?” tanyanya. Somers menggeleng. “Aku yakin Tn. Raikes tidak ada dalam kereta,” katanya, “dan aku yakin tidak melihatnya di peron.” Ketua berpaling kepada sekretaris. “Bpk. Raikes bekerja di kantormu, Bpk. Hunter,” katanya. “Bisakah kau ingat, apa dia absen pada tanggal 4?” “Kupikir tidak,” jawab sekretaris, “tapi aku tidak yakin. Belakangan ini aku sering keluar sore, dan Bpk. Raikes mungkin bisa absen jika mau.” Si wakil sekretaris kembali dengan membawa buku harian di bawah lengannya. “Tolong buka, Bpk. Raikes,” kata ketua, “buka catatan tanggal 4, dan lihat apa saja tugas Benjamin Somers hari itu.” Tn. Raikes membuka jilid tebal tersebut, dan menelusuri sekitar tiga atau empat kolom catatan dengan mata dan jarinya. 32
Mendadak berhenti di kaki halaman, dia membacakan bahwa Benjamin Somers hari itu memimpin kereta ekspres 04:15 dari London menuju Crampton. Di kursinya, ketua mencondong ke depan, mengamati wajah wakil sekretaris, dan berkata tajam dan tiba-tiba: “Di mana kau, Bpk. Raikes, sore itu?” “Aku, pak?” “Ya, kau, Bpk. Raikes. Di mana kau berada sore dan malam tanggal 4 bulan ini?” “Di sini, pak, di kantor Bpk. Hunter. Di mana lagi?” Ragu bercampur takut terdengar dalam suara wakil sekretaris, tapi roman kagetnya cukup alami. “Kami punya alasan untuk percaya, Bpk. Raikes, bahwa kau absen sore itu tanpa izin. Benar begitu?” “Sudah pasti tidak, pak. Aku belum liburan sejak September. Bpk. Hunter bisa membuktikannya.” Bpk. Hunter mengulangi apa yang tadi diucapkan, tapi menambahkan bahwa para juru tulis di kantor sebelah pasti tahu. Maka juru tulis senior, seseorang yang muram, berusia pertengahan, dan mengenakan kacamata, dipanggil dan diinterogasi. Kesaksiannya seketika membersihkan nama wakil sekretaris. Dia menyatakan, Bpk. Raikes, sepengetahuannya, belum pernah absen selama jam kantor sejak kembali dari libur tahunan September silam. Aku merasa malu. Ketua berpaling padaku sambil tersenyum, yang menunjukkan bayangan kejengkelan. 33
“Kau dengar, Tn. Langford?” katanya. “Aku dengar, pak, tapi keyakinanku belum tergoyahkan.” “Aku khawatir, Tn. Langford, keyakinanmu tak cukup berdasar,” sahut ketua, seraya batuk menyangsikan. “Aku khawatir, kau cuma ‘bermimpi’, dan menganggapnya kejadian nyata. Itu kebiasaan akal yang berbahaya, dan akibatnya bisa berbahaya. Bpk. Raikes ini bisa terjebak dalam posisi tak mengenakkan andai dia tak membuktikan alibi yang memuaskan.” Aku hendak menjawab, tapi dia tak memberiku waktu. “Kurasa, bapak-bapak,” sambungnya, kepada dewan, “buangbuang waktu saja jika kita lanjutkan penyelidikan ini. Keterangan Tn. Langford sama saja. Kesaksian Benjamin Somers membantah pernyataan pertamanya, dan kesaksian saksi terakhir membantah pernyataan keduanya. Kupikir bisa kita simpulkan Tn. Langford tertidur di kereta dalam perjalanannya ke Clayborough, dan mengalami mimpi yang jelas dan sepintas, namun sekarang kita sudah dengar.” Ada beberapa hal yang lebih mengusik daripada mendapati keyakinan kita ditanggapi dengan ragu. Apa boleh buat, aku merasa tak sabar dengan peralihan urusan ini. Aku tak tahan dengan sarkasme halus ketua. Namun yang paling sulit ditolerir adalah senyum bisu di sudut mulut Benjamin Somers, dan sorotan setengah menang setengah jahat di mata wakil sekretaris. Orang ini jelas bingung dan gusar. Raut mukanya diam-diam menginterogasiku. Siapa aku? Apa yang kumau? Kenapa aku kemari untuk
menjelekkannya
di
depan 34
para
majikannya?
Apa
pengaruhnya bagiku jika dia absen tanpa izin? Mempertimbangkan semua ini, dan mungkin lebih kesal dari semestinya, aku meminta perhatian dewan lebih lama lagi. Jelf merenggut lengan bajuku tak sabaran. “Lebih baik sudahi saja,” bisiknya. “Ketua benar, kau bermimpi, dan semakin sedikit yang diucapkan, semakin baik.” Namun aku tak mau dibungkam dengan cara ini. Masih ada yang harus kukatakan, dan aku akan mengatakannya. Begini: mimpi biasanya tidak membuahkan hasil yang nyata, dan aku ingin tahu bagaimana ketua mengira aku mengembangkan mimpi yang begitu substansial dan mengarang khayalan padahal wadah cerutu itu telah kuletakkan di hadapannya di awal tanya-jawab kami. “Wadah cerutu ini, kuakui, Tn. Langford,” sahut ketua, “adalah poin kuat dalam keteranganmu. Namun itu satu-satunya poin kuat, dan ada kemungkinan kita semua tersesatkan oleh kemiripan yang kebetulan. Boleh kulihat wadahnya lagi?” “Tak mungkin,” kataku, sambil menyerahkan wadah cerutu padanya, “tak mungkin ada yang sama persis dengan monogram ini, walau bagian lainnya bisa sama.” Ketua memeriksanya sejenak tanpa bicara, lalu diserahkan kepada Bpk. Hunter. Bpk. Hunter membolak-baliknya, dan menggelengkan kepala. “Ini bukan kemiripan belaka,” katanya. “Ini sudah pasti wadah cerutu milik Dwerrihouse. Aku ingat betul, aku melihatnya ratusan kali.” “Aku percaya hal yang sama,” tambah ketua, “tapi bagaimana 35
menerangkan pernyataan Tn. Langford bahwa ini jatuh ke tangannya?” “Aku hanya bisa mengulang,” timpalku, “aku menemukannya di lantai gerbong setelah Tn. Dwerrihouse turun. Pada saat menyembulkan kepala untuk mencarinya, aku menginjak ini, dan saat mengejarnya untuk mengembalikan ini, aku lihat, atau merasa melihat, Tn. Raikes berdiri di sampingnya sedang mengobrol.” Lagi-lagi aku merasakan Jonathan Jelf merenggut lengan bajuku. “Tengok Raikes,” bisiknya, “tengok Raikes!” Aku berpaling kepada wakil sekretaris yang tadi berdiri di situ, dan kulihat dia pucat dan bibirnya gemetar, diam-diam bergerak menuju pintu. Untuk merasakan kecurigaan aneh dan tak pasti, untuk mencondongkan tubuhku ke arahnya, untuk memegang pundaknya seakan-akan dia anak kecil, dan membalikkan wajah takutnya ke arah dewan, itu adalah aksiku seketika. “Tengok dia!” seruku. “Tengok wajahnya! Tak ada saksi yang lebih baik atas kebenaran ucapanku.” Kening ketua menjadi gelap. “Bpk. Raikes,” katanya, keras, “jika kau tahu sesuatu, sebaiknya ungkapkan.” Gagal membebaskan diri dari cengkeramanku, wakil sekretaris menyangkal sambil tergagap dan tak karuan. “Lepaskan aku,” katanya. “Aku tak tahu apa-apa—kau tak punya hak untuk menahanku—lepas!” 36
“Apa kau ya, atau tidak, menemui Tn. John Dwerrihouse di stasiun Blackwater? Tuduhan terhadapmu adalah benar atau salah. Jika benar, kau harus berusaha mendapat pengampunan dewan dan membuat pengakuan tentang semua yang kau ketahui.” Wakil sekretaris meremas-remas tangannya dalam ketakutan. “Aku jauh!” teriaknya. “Aku dua ratus mil jauhnya waktu itu! Aku tak tahu apa-apa—tak ada yang harus kuakui—aku tak bersalah—Tuhan bersaksi bahwa aku tak bersalah!” “Dua ratus mil jauhnya!” gaung ketua. “Apa maksudmu?” “Aku berada di Devonshire. Aku mendapat izin cuti tiga pekan —Bpk. Hunter tahu aku dapat izin cuti tiga pekan! Aku ada di Devonshire selama itu; aku bisa buktikan bahwa aku ada di Devonshire!” Melihatnya begitu hina, begitu kacau, begitu liar dengan penahanan tersebut, para direktur mulai berbisik-bisik suram, sementara salah satunya bangkit diam-diam dan memanggil portir untuk menjaga pintu. “Apa kaitan keberadaanmu di Devonshire dengan masalah ini?” kata ketua. “Kapan kau berada di Devonshire?” “Bpk. Raikes mengambil cuti di bulan September,” kata sekretaris, “sekitar waktu menghilangnya Bpk. Dwerrihouse.” “Aku bahkan tak pernah dengar dia menghilang sampai aku kembali!” “Itu masih harus dibuktikan,” kata ketua. “Aku akan segera serahkan masalah ini ke tangan polisi. Sementara itu, Bpk. Raikes, karena aku sendiri hakim dan biasa mengurus kasus seperti ini, 37
kusarankan tidak melawan, mengaku saja mumpung itu bisa menolongmu. Adapun kaki-tanganmu—” Orang malang tersebut ketakutan dan jatuh berlutut. “Aku tak punya kaki-tangan!” teriaknya. “Kasihani aku— ampuni aku, akan kuakui semuanya! Aku tak bermaksud mencelakainya. Aku tak bermaksud melukai sehelaipun rambutnya! Kasihani aku, lepaskan aku!” Ketua bangkit dari tempatnya, pucat dan gusar. “Ya Tuhan!” serunya, “misteri mengerikan apa ini? Apa artinya ini?” “Sepasti adanya Tuhan di surga,” kata Jonathan Jelf, “artinya pasti terjadi pembunuhan.” “Tidak! Tidak! Tidak!” pekik Raikes, masih berlutut, dan gemetar seperti anjing yang habis dipukuli. “Bukan pembunuhan! Juri tak bisa memutus ini sebagai pembunuhan. Aku hanya membuatnya pingsan—aku tak pernah bermaksud lebih dari itu! Pembunuhan tak terencana—tak terencana—bukan berencana!” Dikuasai oleh seramnya rahasia tak terduga ini, ketua menutupi wajahnya dengan tangan dan sesaat terkelu. “Orang yang menyedihkan,” akhirnya dia berucap, “kau sudah mengkhianati dirimu sendiri!” “Kau membuatku mengaku! Kau mendesakku meminta pengampunan dewan!” “Kau sudah mengakui kejahatan yang tak disangka siapapun,” balas ketua, “dan dewan ini tak punya wewenang untuk menghukum atau mengampuninya. Yang dapat kulakukan hanya menasehatimu untuk taat pada hukum, mengaku bersalah, dan tak 38
menyembunyikan apa-apa. Kapan kau berbuat itu?” Orang bersalah ini bangkit berdiri, dan bersandar pada meja. Jawabannya enggan, seperti seseorang yang bermimpi. “22 September!” 22 September! Aku menatap wajah Jonathan Jelf, dan begitupun sebaliknya. Aku merasa mukaku pucat karena heran dan takut. Kulihat dia juga memucat, bahkan sampai bibir. “Astaga!” bisiknya. “Lantas, apa yang kau lihat di dalam kereta?” ***** Apa yang kulihat di dalam kereta? Pertanyaan ini masih tak terjawab sampai hari ini. Aku belum mampu menjawabnya. Aku hanya tahu, sosok itu mirip dengan lelaki yang sudah dibunuh, yang mayatnya terbujur sekitar sepuluh minggu di bawah tumpukan dahan dan semak berduri dan dedaunan busuk, di dasar terowongan kapur yang terlantar, sekitar setengah perjalanan antara Blackwater dan Mallingford. Aku tahu ia berbicara, dan berjalan, dan berpenampilan seperti orang hidup; aku mendengar, atau merasa mendengar, hal-hal yang diceritakannya, yang sebelumnya tak kuketahui; seolah aku dipandu oleh penampakan di peron untuk mengidentifikasi si pembunuh; dan, sebagai instrumen pasif, melalui sarana misterius ini aku ditakdirkan untuk mewujudkan tujuan Keadilan. Untuk hal-hal ini, aku belum bisa menerangkannya. 39
Adapun mengenai wadah cerutu, terbukti dalam penyelidikan bahwa gerbong yang kutumpangi sore itu menuju Clayborough belum dipakai selama beberapa pekan, dan bahkan merupakan gerbong yang dinaiki John Dwerrihouse malang dalam perjalanan terakhirnya. Dia pasti menjatuhkan wadah tersebut, dan tidak ditemukan sampai aku menemukannya. Tentang detil pembunuhan, tak perlu kuceritakan panjanglebar. Mereka yang ingin tahu lebih rinci dapat menemukannya, beserta pengakuan tertulis Augustus Raikes, dalam arsip The Times tahun 1856. Cukuplah dikatakan bahwa wakil sekretaris itu, yang mengetahui sejarah jurusan baru, dan mengikuti tahap demi tahap negosiasi, memutuskan mencegat Tn. Dwerrihouse, merampok tujuh puluh lima ribu pound darinya, lalu kabur ke Amerika dengan hasil rampokan. Demi memenuhi tujuan ini, dia memperoleh izin cuti beberapa hari sebelum waktu pembayaran uang, mengamankan karcis perjalanan menyeberangi Atlantik dengan kapal uap yang diiklankan akan berangkat pada tanggal 23, membekali diri dengan “pentungan” berisi, dan pergi ke Blackwater untuk menanti kedatangan korbannya. Bagaimana dia menemuinya di peron dengan pesan palsu dari dewan, bagaimana dia menawarkan memandunya lewat jalan pintas menyeberangi ladang-ladang menuju Mallingford, bagaimana setelah membawanya ke tempat sunyi dia memukulnya dengan pentungan sampai menewaskannya, dan bagaimana setelah menyadari perbuatannya dia menyeret jasad tersebut ke ambang terowongan kapur yang terpencil, dan di sana 40
melemparkannya dan menumpuknya dengan dahan-dahan dan semak berduri, semua ini merupakan fakta segar dalam ingatan orang-orang yang, seperti para saksi ahli dalam esai terkenal karangan De Quincey, menganggap pembunuhan sebagai ilmu seni. Yang cukup aneh, sang pembunuh, setelah melakukan perbuatannya, takut meninggalkan negaranya. Dia mengaku tak berniat merenggut nyawa direktur, tapi hanya membuatnya pingsan dan merampoknya, dan bahwa, setelah tahu pukulan itu menewaskannya,
dia
tak
berani
kabur
karena
khawatir
menimbulkan kecurigaan. Sebagai perampok, dia akan aman di Amerika Serikat, tapi sebagai pembunuh tak pelak dia akan dikejar dan diserahkan ke pengadilan. Maka dia mengorbankan karcis perjalanan, kembali ke kantor seperti biasa di akhir cuti, dan mengunci uang ribuan yang didapat secara jahat sampai ada kesempatan bagus. Sementara itu dia puas mendapati Tn. Dwerrihouse dianggap melarikan uang tersebut, tak ada yang tahu bagaimana atau ke mana. Namun, entah bermaksud membunuh atau tidak, Bpk. Augustus Raikes membayar hukuman penuh atas kejahatannya, dan digantung di Old Bailey, pekan kedua Januari 1857. Mereka yang ingin mengenalnya lebih jauh bisa melihatnya kapan saja (dibuat dengan lilin secara mengagumkan) di Chamber of Horrors di pameran Madame Tussaud di Baker Street. Dia berada di antara kumpulan wanita dan pria beriwayat kejam, dengan setelan tweed ketat yang dikenakannya pada malam pembunuhan, dan tangannya memegang pentungan identik yang dipakai membunuh. 41