106
KETIDAKBERPIHAKAN REGULASI TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH YAYASAN PENDIDIKAN TINGGI SWASTA (Studi di Kota Malang)
RIANA SUSMAYANTI, SH, MH*
Indonesian Constitution, Article 31, has obliged Indonesian Government to fulfill the citizen’s rights for education. In fact, the amount of students is not equal to the government’s capability to hold a cheap price-high quality education. This condition provides private, organization to give education as non profit oriented base. In other words, the government supports the existence of private education foundation.
Keywords : good faith, higher-education foundation, director, foundation legislation
* Tulisan ini dimuat di Jurnal Konstitusi, PPK-FH Universitas Brawijaya, Vol. 1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta, 2008. ISSN 1829-7706
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 telah memberikan amanat pada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur pendidikan 1, namun dalam prakteknya pemerintah dihadapkan pada kenyataan bahwa 1 Pasal 31 (ayat 1,2,3 dan 4) UUD 1945 Perubahan Keempat, yang mulai berlaku pada 10 Agustus 2002 dan ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR 2002, menyatakan : (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
107
kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan kebutuhan akan pendidikan. Jumlah peserta didik maupun penduduk usia sekolah jauh melampaui kemampuan keuangan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan dengan harga semurah mungkin, namun dengan kualitas setinggi mungkin. 2 Keterbatasan kemampuan pemerintah itu kemudian diisi oleh pihak swasta yang merasa terpanggil memberikan jasa pendidikan tersebut secara non profit oriented. Hal ini merupakan bentuk pengejawantahan Pasal 31 UUD 1945 yang memberikan peluang bagi yayasan atau badan sosial lainnya untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam memberikan kesempatan bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan yang sebaik-baiknya. Secara tidak langsung, pemerintahlah yang menunjang tumbuhnya yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Guna mendirikan Yayasan Pendidikan, pendiri memisahkan hartanya untuk dijadikan modal awal yayasan. Pendiri yayasan harus sepenuhnya menyadari akibat dari melepaskan aset pribadinya untuk modal awal yayasan. Modal tersebut menjadi kekayaan yayasan yang digunakan untuk mencapai tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan melalui jalur pendidikan. Sampai kapan pun juga, baik sejak pendirian hingga berakhirnya yayasan, harta kekayaan yang telah dipisahkan tersebut tidak dapat dimiliki lagi oleh pendiri. Tindakan memisahkan aset pribadi sebagai modal awal yayasan itu tidak menjadikan Pendiri sebagai pemilik yayasan. Hal inilah yang membedakan pemisahan harta pada yayasan dengan penanaman modal pada perusahaan. Utrecht seperti dikutip oleh Moh. Soleh Djindang menjelaskan yayasan sebagai tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang melainkan kekayaan badan hukum yang diberi tujuan tertentu. Yayasan menjadi badan hukum tanpa anggota, tetapi memiliki pengurus (bestuur) yang mengurus kekayaan dan penyelenggaraan tujuannya. 3 Selanjutnya suatu yayasan di dalam pergaulan hukum bertindak sebagai pendukung hak kewajiban tersendiri, seperti yayasan yang menjadi badan hukum banyak kelompok swasta. Tidak dikenalnya anggota dalam yayasan erat hubungannya dengan tujuan dan fungsi sosial yayasan. Artinya eksistensi yayasan adalah demi kepentingan umum atau bagi suatu kelompok masyarakat di luar yayasan yang 2 Kwik Kian Gie, Platform : Wahai Presiden Terpilih, Tolonglah Rakyat Dengan Tidak Menunda Agenda Kerja Ini !, http://www.korwilpdip.org/17KWIK090604.htm, diakses 19 September 2005, hal. 7 3
Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 64
108
memerlukan tunjangan sosial. Menurut Rudhi Prasetya 4, di dalam suatu yayasan tidak perlu ada anggota, hanya harus ada pengurus yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan yayasan. Khusus bagi yayasan yang memiliki struktur dengan anggota, maka harus dicegah agar anggota tersebut tidak menerima kenikmatan. Idealnya yayasan didirikan untuk menyelenggarakan kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan sehingga laba bukanlah tujuannya. Kewenangan bertindak Yayasan dilakukan oleh Pengurus yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk itu, meskipun maksud dan tujuan dari organisasi badan itu ditetapkan oleh orang-orang yang selanjutnya berdiri di luar yayasan tersebut.
5
Ini dikarenakan Yayasan bukanlah milik pendiri maupun pengurus, melainkan keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan.6 Adanya manfaat dalam kegiatan yayasan merupakan suatu keharusan, karena yayasan bersifat sosial dan idiil dan kegiatannya ditujukan untuk tujuan sosial dan idiil itu sendiri. Di sisi lain, kelangsungan hidup yayasan bergantung pada dana. Harta yang dipisahkan oleh pendiri sebagai modal awal, seringkali jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan tujuan sosial yang akan dicapai, sehingga modal itu tidak selamanya cukup untuk membiayai operasional yayasan. Secara finansial, kehidupan yayasan akan bergantung pada sumbangan donatur, bantuan dana dari lembaga lain, maupun fasilitas dari pemerintah. Besarnya dana bantuan yang diperoleh itu dapat membuka peluang untuk disalahgunakan. Uraian di atas menunjukkan, bahwa pengelolaan kekayaan awal dan ketersediaan dana untuk menjamin kelangsungan hidup yayasan adalah menjadi kewenangan sekaligus tanggung jawab bagi Pengurus. Peran pengurus sangatlah vital, karena yayasan sebagai badan hukum 7 tetap memerlukan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama yayasan serta melaksanakan kepengurusan yayasan, termasuk mengelola harta kekayaan yayasan dalam mencapai tujuan pendirian yayasan tersebut. Jabatan pengurus tersebut menjadi sangat menggiurkan sehingga rentan penyelewenangan.
4 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 35 5 Chidir Ali, op. cit., hal. 65 6 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung, 1993, hal. 162 7 Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2001, hal. 2.
109
Pada masa Orde Baru, ketergantungan yayasan terhadap dana dan itikad baik pengurusnya tersebut cenderung dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyelewengan maksud dan tujuan yayasan. Awalnya kalangan militer dan polisi memang menggunakan yayasan untuk mensejahteraan prajurit, birokrat untuk kesejahteraan pegawai negeri, pelaku bisnis untuk kesejahteraan buruhnya, sedangkan para aktivis reformis memakainya sebagai upaya untuk tidak dilabel sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB) oleh rezim militeristik Soeharto.8 Belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang yayasan dan tidak banyak yurisprudensi9 yang memutus mengenai yayasan pada masa itu, menyebabkan pertumbuhan yayasan di Indonesia bak jamur di musin penghujan. Pada tahun 1996 sudah terdapat sekitar 3.413 yayasan di Indonesia, bahkan laporan Bank Indonesia pada bulan Juni-Agustus 1990 menunjukkan bahwa yayasan dan badan sosial menyimpan lebih dari 2 (dua) trilyun rupiah, sementara perusahaan swasta hanya 947 milyar rupiah dan perusahaan negara 2,8 trilyun rupiah. 10 Pada perkembangannya, yayasan menjadi sebuah badan hukum yang melibatkan banyak kepentingan dan nyatanya di dalam yayasan dibangun usaha bisnis.11 Yayasan juga membuat dokumen perusahaan, memiliki ijin usaha, dikenai pajak, menggaji pengurus dan mencatat untung rugi dalam pembukuan. Bahkan penyimpangan ini secara nyata dituangkan dalam Anggaran Dasar yayasan dengan penetapan klausul mengenai kedudukan pendiri yang abadi, dapat diwariskan, mempunyai hak veto, dan lainnya.12 Saat itu tidaklah aneh jika suatu yayasan memiliki perusahaan seperti asuransi, konstruksi, bank,
8 Yappika-1: Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, Selamat datang di Situs Data Base Yayasan, http://www.dbyayasan.org/yappika.htm, diakses 8 september 2005 9 Yurisprudensi yang mendukung kenyataan bahwa yayasan sebagai suatu badan hukum antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 152 K/Sip/1969, tanggal 26 November 1969 tentang Yayasan Sukapura dan Wakaf Sukapura adalah wakaf atau badan hukum, yurisprudensi Mahkamah Agung (Kep. No. 124/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973) yang menetapkan Yayasan Dana Pensiun HBM Indonesia sebagai Badan Hukum dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Juli 1975 No. 476/K/Sip/1975 yang menyatakan bahwa perubahan wakaf menjadi yayasan dapat dilakukan karena tujuan dan maksudnya tetap. (Lihat Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 5 dan Chatamarrasjid Ais-2, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai suatu Badan Hukum Sosial), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 40) 10 Chatamarrasjid-1, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 3-5 11 Yappika-1: Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, loc.cit. 12 Budi Untung, op.cit,. hal. 7-8
110
perkebunan,13 pengelola jalan tol, perusahaan ekspor-impor,14 maupun holding company yang mendominasi kegiatan ekonomi lainnya, 15 sehingga Yayasan menjadi payung untuk menyiasati aktivitas yang bukan merupakan tujuannya semula. Hal ini menyebabkan yayasan pada saat itu banyak disinyalir menjadi media untuk aksi korupsi, atau pencuci uang hasil korupsi maupun penutup tindak korupsi, karena pihak-pihak yang dikatakan akan disejahterakan ternyata tetap saja tidak sejahtera. Ironisnya, penyelewengan tersebut justru dilakukan oleh pendiri, Pengurus Yayasan, bahkan dengan dukungan pemerintah. Penyelewengan maksud dan tujuan yayasan tampak pada bidang usaha yayasan yang menyentuh hal-hal yang sensitif.
16
Sejumlah yayasan yang
didirikan oleh kewenangan (kekuasaan, instansi, angkatan atau jabatan) tertentu banyak memanfaatkan fasilitas pemerintah, dalam bentuk monopoli, keringanan atau pembebasan pajak, preferensi berlebihan dalam pemberian order atau pekerjaan. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas pada yayasan yang dibentuk oleh orang-orang yang juga berada di lingkar kekuasaan. Fasilitas tersebut antara lain diberikan dalam bentuk : 17 1. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 agar keuntungan bersih Bank Milik Negara sebesar 5 % (lima persen) dapat diserahkan kepada Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar. 2. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 yang menghimbau wajib pajak (perusahaan maupun pribadi) yang berpenghasilan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) ke atas agar dapat menyumbangkan 2 % (dua persen) dari labanya kepada Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. “Himbauan” tersebut akhirnya diubah menjadi kewajiban dengan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1996. 3. Surat Menteri Keuangan RI Nomor : S-184/MK.04/1995 tanggal 23 Juni 1995 berisi pembebasan pemotongan PPh 15% (lima belas persen) atas bunga deposito, tabungan, serta Sertifikat Bank Indonesia milik Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Pemberian berbagai fasilitas itu dilakukan melalui kebijakan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan sehingga tampak sah dan legal. 13 Yappika-2 : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, Sejarah Lahirnya UU Yayasan, http://www.dbyayasan.org/tentang/lahirnya/asp.htm, diakses 19 April 2005 14 Todung Mulya Lubis, RUU Yayasan: Kembalinya Paradigma Kekuasaan, Majalah TEMPO, 18-24 September 2000, www.dbyayasan.org/berita/uploaded/ news2000/yys_html/files/file.htm
16
Budi Untung. et. al., hal. v Chatamarrasjid-1, op.cit., hal. 3
17
Budi Untung, et. al, loc.cit
15
111
Yayasan menjadi sarana untuk menembus birokrasi dan ketatnya pengawasan teknis yang menghambat kegiatan usaha. Lemahnya birokrasi dan pengawasan saat itu memungkinkan yayasan untuk menghimpun dana melebihi perusahaan swasta maupun perusahaan besar sekalipun. 18 Michael R. J. Vatikiotis 19 melihat bahwa pada akhirnya fasilitas yang diterima yayasan tersebut ditujukan untuk mensejahterakan Pengurus Yayasan yang juga adalah orang dekat pemerintah. Sebaliknya, dampak pemberian fasilitas ini sangat merugikan pihak lain dari aspek pajak, pendapatan negara, keadilan (fairness), sehingga merusak sistem dunia usaha atau perdagangan yang dibangun melalui regulasi serta kepatutan 20
yang bersifat umum.
Yayasan pada saat itu mengarah pada usaha berorientasi
profit dan melakukan kegiatan usaha dalam lalu lintas dagang seperti perusahaan. Kelemahan hukum yayasan sebenarnya telah berusaha diantisipasi dengan draft undang-undang mengenai yayasan yang telah tersimpan di Departemen Kehakiman sejak tahun 1976. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerbitkan undang-undang yayasan dan harus diakui bahwa hal ini terealisasi setelah adanya peran International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent (Memorandum of Economic and Financial Policies Medium Term Strategy and Policies for 1999/2000 - 2000, tertanggal 20 Januari 2000). Letter of Intent ini mensyaratkan pemberlakuan undang-undang mengenai yayasan sebagai salah satu klausul yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bantuan keuangan dari IMF. Penggalan Letter of Intent tersebut adalah :21 "…The Ministry of Law and Legislation will form a working group to make policy recommendations and to draft legislation on foundations to be submitted to Parliament by end-April 2000. The legislation will require foundations to file public statement of activities, including audited 22 accounts".
Menindaklanjuti Letter of Intent tersebut, maka pada tanggal 6 Agustus 2001, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor Chatamarrasjid-1, op. cit., hal. 5 Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto : Order, Development and Pressure for Change, Routledge, London and New York, 1993, hal. 51 20 Budi Untung, et. al, op. cit. hal. vi 21 Yappika-2 : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, loc. cit. 22 Menteri Hukum dan Perundang-undangan akan membentuk kelompok kerja untuk membuat kebijakan dan untuk merancang perundang-undangan mengenai yayasan yang akan disahkan oleh Perlemen pada akhir bulan April 2000. Undang18 19
112
16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang mulai berlaku tanggal 6 Agustus 2002. UU No. 16 Tahun 2001 ini secara tegas memberikan jaminan kepastian hukum di bidang yayasan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 Tahun 200123, maka status badan hukum yayasan yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het Open System van Rechtspersonen) yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan ditunjang yurisprudensi, beralih berdasarkan sistem tertutup (de Gesloten system van Rechtspersonen) yaitu yayasan menjadi badan hukum karena atau berdasarkan undang-undang. 24 Lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 ternyata tidak hanya berdampak positif pada kepastian hukum, karena singkatnya waktu penyesuaian, beragamnya bentuk yayasan serta belum ada peraturan pelaksana dari undang-undang ini, justru menjerat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Non-Politik (Ornop), yayasan-yayasan kecil di bawah bendera agama, dan juga Yayasan Pendidikan.25 Bila dicermati, beberapa substansi UU No. 16 Tahun 2001 ternyata menimbulkan
berbagai
penafsiran
yang
akhirnya
kembali
melahirkan
ketidakpastian. Pasal-pasal mengenai prosedur legalisasi maupun kewenangan organ yayasan merupakan beberapa klausul dalam undang-undang tersebut yang mengundang multi tafsir. Harus
diakui
bahwa
ketidaksempurnaan
undang-undang
tersebut
dikarenakan ketergesaan penetapannya yang berorientasi memberi payung hukum terhadap yayasan. Terkait dengan hal itu, banyak kalangan menyarankan revisi karena undang-undang ini dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Beberapa ketentuan, penjelasan umum, dan penjelasan Pasal dalam UU No. 16 Tahun 2001 diubah untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan.26 UU No. 28 Tahun 2004 juga memberikan jeda waktu yang undang tersebut mensyaratkan yayasan untuk membuat pernyataan publik mengenai kegiatan dan audit keuangan yayasan (terjemahan oleh penulis). 23 Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 berbunyi : Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri. 24 Chatamarrasjid Ais-2, op.cit., hal. 2 25 Yappika-2: Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, loc.cit
113
relatif panjang bagi pelaksanaannya sehingga yayasan yang sudah ada sebelum tahun 2001 dapat melakukan penyesuaian. Selanjutnya dalam tulisan ini UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 disebut dengan UU Yayasan. Fungsi sosial dan kemanusiaan tetap menjadi fokus utama pendirian yayasan, namun UU Yayasan juga berorientasi pada proses pencapaian tujuan yayasan itu sendiri. Guna lebih menjamin tercapainya tujuan Yayasan dan mengurangi ketergantungan Yayasan terhadap sumbangan, UU Yayasan membuka peluang bagi Yayasan untuk membentuk badan usaha yang melakukan kegiatan usaha.27 Tujuan yayasan dalam menjalankan
kegiatan
usaha atau mendirikan badan usaha itu bukan untuk mencari keuntungan, melainkan melaksanakan sesuatu yang ideal atau amal. Memang tidak mustahil bila dari kegiatan usaha itu yayasan mendapatkan keuntungan, 28 namun keuntungan
yang
diperoleh
itu
semata-mata
harus
dipergunakan
atau
diperuntukkan bagi tujuan sosial dan kemanusiaan. Tujuan yayasan diharapkan dapat lebih mudah tercapai karena adanya dukungan dana dari kegiatan usahanya, sehingga kelangsungan hidup yayasan tidak lagi bergantung pada ada tidaknya sumbangan. Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan. 29 Dari berbagai kegiatan usaha tersebut di atas, bidang pendidikan menjadi peluang usaha yang menjanjikan dengan alasan resiko kecil, merupakan kebutuhan pokok dan masa depan, serta tahan terhadap krisis ekonomi. Peluang usaha jasa pendidikan seperti tertera pada sebuah iklan penawaran investasi pada lembaga pendidikan tersebut menunjukkan berbagai prospek antara lain : 1.
Sudah memiliki murid (Playgroup dan Kindergarten-TK)
2.
60 % (enam puluh persen) modal aman dalam properti (harga selalu naik)
26 UU No. 28 Tahun 2004 merubah Penjelasan Pasal 3, Substansi Pasal 5, 11, 12, 24, 32., 33, 34, 38, 44, 45, 46, 52, 58, 60, 68, 71, 72, menyisipkan Pasal 13 A, 72 A, 72 B, menghapus Pasal 25, 41, serta menghapus, mengganti, dan merubah frase tertentu pada Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2001. 27 Pasal 8 UU Yayasan : Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundangundangan yang berlaku. 28 Rochmat Soemitro, op. cit., hal. 163 29 Penjelasan Pasal 8 UU Yayasan
114
3.
saham perusahaan dapat dijual sesuai harga pasar (nilai properti tiap tahun naik)
4.
investor tidak menanggung bila terjadi kerugian (modal kembali utuh)
5.
target pasar / murid golongan menengah ke atas (pasar terbesar di Indonesia)
6.
bagian dari group perusahaan yang fokus di bidang pendidikan
7.
yayasan telah mengantongi ijin sampai universitas
30
Iklan tersebut adalah salah satu bukti bahwa pendidikan dapat dijadikan lahan bisnis atau komoditi yang berpotensi untuk menarik perhatian investor dan menjanjikan keuntungan. Tidaklah mengherankan bila dalam perkembangannya, yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan juga telah berubah arah dari tujuan sosial ke tujuan komersiil. Yayasan Pendidikan memungut biaya tinggi, menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai lembaga pendidikan selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh fasilitas dari negara atau penguasa, yang pada akhirnya Yayasan Pendidikan dipergunakan untuk memperkaya diri pengurus..31 Penyelenggaraan jasa pendidikan secara komersil sebenarnya sangat bertolak belakang dengan konsep ideal suatu Yayasan Pendidikan. Pada umumnya tujuan Yayasan Pendidikan adalah untuk ikut membantu tercapainya tujuan pembangunan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan masyarakat adil dan makmur. 32 Bidang usaha Yayasan Pendidikan adalah dalam bidang swasta, sehingga Yayasan Pendidikan berusaha memajukan pendidikan dan atau meningkatkan mutu pendidikan melalui institusiinstitusi pendidikan swasta yang didirikan dan dikelolanya. Tujuan Yayasan Pendidikan dalam mengelola institusi pendidikan swasta seharusnya bukan untuk mencari keuntungan, walaupun bukan tidak mungkin suatu Yayasan Pendidikan itu mendapatkan keuntungan. Bila pengelolaan insitusi pendidikan itu menghasilkan keuntungan, maka keuntungan yang diperoleh itu harus dipergunakan atau diperuntukkan bagi tercapainya tujuan Yayasan Pendidikan, yaitu demi terselenggaranya pendidikan itu sendiri. Dimungkinkannya Yayasan Pendidikan memperoleh keuntungan dari pengelolaan institusi pendidikan swasta dan adanya kecenderungan Yayasan
Iklan PT. PPH, Jakarta, yang dimuat di Jawa Pos, 21 Nopember 2005, hal. 36 Chatamarrasjid Ais-2, op. cit., hal. 1 32 Rochmat Soemitro, loc. cit. 30 31
115
Pendidikan untuk melenceng dari tujuan semula, menunjukkan betapa pentingnya peran para pengurus dalam mengelola suatu Yayasan Pendidikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton:33 “Power tend to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutly”, maka kewenangan pengurus juga sangatlah rentan untuk diselewengkan. Oleh karena itu, UU Yayasan pada Pasal 35 ayat (2) mensyaratkan bahwa : “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.” Hal yang kontradiktif adalah UU Yayasan mengalami banyak kendala dalam penerapannya. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah : bila regulasi yang berakar pada konstitusi itu tidak berpihak pada stakeholder dalam dunia pendidikan, maka bagaimana Pengurus Yayasan tersebut dikategorikan telah menjalankan tugas dengan itikad baik ? Apakah tolak ukurnya ? Bahasan mengenai itikad baik penting, karena pengurus yang melaksanakan tugas dengan itikad baik harus mendapat perlindungan hukum, sebaliknya pengurus dengan itikad tidak baik sehingga merugikan kepentingan yayasan maupun pihak ketiga, harus bertanggung jawab secara pribadi.34 Oleh karena itu, perlu adanya tolak ukur diluar regulasi mengenai itikad baik pengurus yang dipersyaratkan, mengingat bahwa konstitusi tidak memberikan cukup penjelasan dan hingga kini belum ada regulasi (Peraturan Pemerintah) sebagai panduan pelaksanaan UU Yayasan tersebut.
B. PERMASALAHAN Beranjak dari uraian di atas, penulis merumuskan beberapa research questions sebagai berikut : 1. Bagaimana kesesuaian tugas Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi dengan fiduciary duty ? 2. Bagaimana kesesuaian tugas Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi dengan Anggaran Dasar Yayasan ?
33 Isrok, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 12 Oktober 2004, hal. 4 dan Masruchin Ruba’i, Tinjauan Perspektif Islam atas Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Arena Hukum Nomor 19 Tahun 6, Fakultas Hukum Brawijaya Malang, Maret 2003. 34 Pasal 35 ayat (5) UU Yayasan : Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
116
3. Bagaimana kesesuaian tugas Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi dengan ketertiban umum ?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KESESUAIAN TUGAS PENGURUS YAYASAN PENDIDIKAN TINGGI DENGAN FIDUCIARY DUTY. Hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus memberikan Pengurus kewajiban bertindak untuk kepentingan Yayasan sebatas dalam lingkup hubungan kepercayaan tersebut. Hubungan kepercayaan antara Yayasan dan Pengurus Yayasan menjadi dasar timbulnya fiduciary duty bagi Pengurus tersebut. Tentunya pemberian kepercayaan oleh Yayasan untuk mengemban fiduciary duty itu didasarkan pada fiduciary capacity dari Pengurus tersebut. Secara teoritis, fiduciary capacity itu dapat dilihat dari fakta bahwa kekayaan yang diurus tersebut bukanlah miliknya, namun suatu tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya. Kapasitas yang demikian seharusnya ada pada kriteria Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi. Kriteria Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi adalah orang perseorangan yang mempu melakukan perbuatan hukum,35 personal yang harus memiliki itikad baik, bertindak berdasarkan kepatutan, kejujuran, dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi pengurus, melainkan berupaya dengan sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan pendidikan tinggi. Prinsip itikad baik secara umum bersumber pada moral agama, kesadaran hukum, dan kepatutan yang sesuai dengan standar obyektif yang berlaku sebagai kebiasaan sosial. Oleh karena itu, itikad baik sebagai suatu kriteria yang harus dimiliki oleh pengurus yayasan seharusnya diformalkan dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga Yayasan. Namun pada kenyataannya kriteria pengurus justru ditetapkan secara lisan dan hanya dibahas dalam Rapat Pemilihan Pengurus. Pada umumnya Yayasan Pendidikan Tinggi di Malang memiliki tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga Pengurus harus mewujudkan tujuan tersebut, namun karena masing-masing Yayasan memliki latar belakang, visi dan misi yang beragam, maka kriteria dalam pemilihan Pengurus Yayasan menjadi berbeda-beda.
35
Rahayu Kartini, Aspek Hukum Bisnis,UMM Press, Malang, 2003, hal. 58
117
Tabel 3 PERTIMBANGAN YANG DIJADIKAN DASAR PENGANGKATAN PENGURUS N=7 No 1 2 3
Kriteria Pengurus Pendiri atau terafiliasi dengan Pendiri Latar belakang profesi yang sama Latar belakang organisasi yang sama Total
Jumlah Yayasan 3 1 3 7
Persentase (%) 42,8 % 14,4 % 42,8 % 100 %
Pertimbangan yang menjadi dasar alasan Pengurus diangkat dari Pendiri atau personel yang terafiliasi dengan Pendiri antara lain kurangnya proses kaderisasi36, pendiri kurang dapat mempercayai orang lain untuk dilimpahi kewenangan mengelola aset yayasan yang berasal dari pendiri tersebut, kesulitan mencari orang dengan misi dan visi yang sama, kesulitan mencari orang yang mau bekerja sungguh-sungguh dengan sukarela (tidak digaji) 37, dan pertimbangan bahwa mengangkat pengurus yang memiliki hubungan keluarga / kekerabatan dapat mempermudah pengelolaan institusi.38 Selain itu, Pendiri yang menjadi pengurus tentunya tidak ingin kekayaan yang dipisahkan dulu tersia-sia, sebab seseorang yang ikhlas bersedekah pun ingin agar sedekahnya bermanfaat bagi orang lain dan tidak mubadzir. Hal ini diakui memang berakibat pada terhambatnya proses regenerasi, namun pertimbangan utamanya adalah lebih baik bekerja sama dengan orang yang telah dikenal baik, sehingga dapat menjamin tercapainya tujuan yayasan. Selanjutnya, latar belakang profesi menjadi pertimbangan pengangkatan Pengurus. Hal ini dikarenakan Yayasan pendidikan dikelola oleh pensiunan dari instansi tertentu, sehingga personel pengurus telah dikenal baik dan juga memiliki ikatan serta 39
sebelumnya.
loyalitas dengan korps / institusi tempatnya bekerja
Loyalitas
tersebut
menjadi
dasar
terjadinya
hubungan
kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus. Berbeda dengan dasar pertimbangan lainnya, Pengurus yang memiliki latar belakang organisasi yang sama dianggap layak dipercaya mengemban 36 Wawancara dengan Bpk. Fatah Ibrahim, Ketua Yayasan Masjid Khadijah, 22 Desember 2005 dan Bpk. Nur Rahman, Bendahara Yayasan Masjid Khadijah, 23 Januari 2006. 37 Wawancara Ibu Muryati, Bendahara YPPI, 23 Februari 2006. 38 Wawancara dengan Bpk. Aji, Ketua STIMIK Pradnya Paramitha, 6 Mei 2006. 39 Wawancara dengan Bpk. Toegino, Wakil Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka Malang, 1 Juni 2006.
118
fiduciary duty tersebut karena yayasan pendidikan tinggi ini memang berlatar belakang organisasi keagamaan tertentu.40 Beberapa organisasi keagamaan ini adalah organisasi massa yang berbasis ahlusunnah waljama’ah, pesantren, dan ikatan pengajian muslimah. Berdasarkan kriteria religiusitas, personel telah dikenal sebelumnya, dan kemauan berjuang di jalur pendidikan tanpa imbalan, maka diharapkan pengurus dapat mewujudkan maksud dan tujuan yayasan. Pada yayasan-yayasan ini hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) ini didasarkan pada motif keagamaan. Pengurus dianggap bermoral dan beritikad baik karena itikad baik bersumber pada agama dan tidak ada yang menyangsikan kebenaran agama. Sebaliknya, bila mengangkat pengurus yang bukan pendiri atau tidak terafiliasi dengan pendiri, maupun pengurus yang berasal dari profesi dan organisasi yang berbeda dikhawatirkan dapat mengkhianati kepercayaan, menyelewengkan
kewenangan,
atau
mencari
keuntungan
dari
yayasan
pendidikan tinggi, walaupun tidak tertutup kemungkinan pendiri maupun pengurus yang terafiliasi dengan pendiri itu juga melakukan hal tersebut. 41 Hal ini dimungkinkan bila pengurus Yayasan menggunakan kewenangannya sebagai pengurus, tanpa persetujuan organ yayasan lainnya, untuk mengalihfungsikan aset yayasan demi kepentingan institusi pendidikan yang dikelola yayasan. Meskipun tujuan dari pengurus tersebut adalah demi kemajuan insitusi pendidikan, namun yang bersangkutan bertindak di luar kewenangannya, dan tanpa persetujuan organ yayasan lainnya merubah peruntukan aset yayasan. Tentunya hal ini bertentangan dengan Anggaran Dasar yayasan, karena seharusnya perubahan peruntukan fungsi aset yayasan diputuskan oleh Rapat Yayasan dan bukan keputusan pribadi seorang pengurus yayasan. Terhadap kasus demikian, pengurus diberikan Surat Peringatan, karena berdasarkan Rapat Yayasan, peringatan tersebut dianggap cukup memberikan efek jera bagi pengurus yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan dari pengembalian aset yayasan ke fungsinya semula, permintaan maaf secara tertulis dari pengurus tersebut disertai pernyataan tidak akan mengulangi hal tersebut. Pemberian sanksi demikian dan bukannya berupa pemberhentian dilakukan dengan pertimbangan 40 Wawancara dengan Bpk. Nur Rahman, Bendahara Yayasan Masjid Khadijah, 23 Januari 2006, Ibu Ida, Karyawan Yayasan Universitas Islam Malang, 22 Februari 2006, dan Bpk. Ahmad Syafi’I, Ketua Sunan Yayasan Pendidikan Sunan Giri, 9 Mei 2006. 41 Wawancara dengan Bpk. Nur Rahman, Bendahara Yayasan Masjid Khadijah, 23 Januari 2006, dan Bpk. Dayal, Bendahara Yayasan STIBA, 2 Juni 2006.
119
bahwa loyalityas pengurus tersebut selama bertahun-tahun telah teruji, tindakan tersebut hanyalah ketidaksengajaan belaka, dan kesulitan yayasan untuk mendapatkan pengurus yang sesuai dengan kriteria yang selama ini digunakan. Setelah adanya UU Yayasan, yayasan-yayasan pendidikan tinggi harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut, termasuk larangan bagi Pengurus untuk merangkap jabatan dan menerima gaji. Hal ini ditekankan guna menjaga fiduciary duty dan fiduciary relatonship serta untuk menghindari konflik kepentingan, namun pada kenyataannya Yayasan Pendidikan Tinggi mengalami berbagai kendala dalam mematuhi larangan tersebut. 1)
Rangkap jabatan. Guna menjaga fiduciary duty dan fiduciary relationship serta mencegah
konflik kepentingan, maka UU Yayasan melarang Pengurus untuk merangkap jabatan sebagai : a)
Anggota Direksi (Pengurus), Anggota Dewan Komisaris (Pengawas) dari badan usaha. Pengurus yayasan dilarang merangkap jabatan sebagai Pengurus maupun Pengawas badan usaha. Oleh karena badan usaha dari yayasan pendidikan adalah lembaga perguruan tinggi swasta, maka pengurus yayasan dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat struktural maupun fungsional di perguruan tinggi.
b)
Pembina atau Pengawas. Pemisahan tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas serta pengaturan mengenai hubungan organ Yayasan dimaksudkan untuk menghindari konflik internal Yayasan. Pengurus yayasan dilarang merangkap jabatan sebagai Pembina atau Pengawas Yayasan.
c)
Wakil Yayasan di muka pengadilan bila terdapat konflik kepentingan antara kepentingan pribadi dengan jabatannya sebagai Pengurus Yayasan. Pengurus dilarang bertindak sebagai wakil yayasan di muka pengadilan dalam perkara yang melibatkan kepentingan yayasan dan kepentingan pribadinya.
d)
Pemeriksa Yayasan.
Pengurus yayasan dilarang bertindak
sebagai
pemeriksa yayasan jika diduga organ yayasan telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar, lalai,
merugikan yayasan, pihak ketiga dan Negara.
120
Larangan bagi Pengurus untuk merangkap jabatan yang ditetapkan oleh UU Yayasan tersebut berusaha diakomodasi oleh Yayasan Pendidikan Tinggi melalui Anggaran Dasarnya. Tabel 4 PASAL DALAM ANGGARAN DASAR YANG MELARANG PENGURUS UNTUK MERANGKAP JABATAN N=7 Jumlah No Tercantum / Tidak tercantum Yayasan Persentase (%) 1 Tercantum 4 57 % 2 Tidak tercantum 3 43 % Total 7 100 %
Dicantumkannya klausul larangan rangkap jabatan bagi pengurus di dalam ketentuan Anggaran Dasar yayasan, bukan berarti penerapannya berjalan demikian. Hanya ada 1 (satu) yayasan pendidikan tinggi yang menerapkan larangan rangkap jabatan tersebut, namun tidak adanya pengurus yang rangkap jabatan ini bukan karena mematuhi larangan tersebut, tetapi lebih karena para pengurus yang sebelumnya telah rangkap jabatan itu telah pensiun atau meninggal dunia sehingga digantikan oleh pengurus baru. Pada 3 (tiga) Anggaran Dasar lain yang juga mencantumkan larangan rangkap jabatan, penulis menemukan bahwa masih terjadi rangkap jabatan di yayasan pendidikan tersebut, yaitu pendiri menjabat sebagai pengurus yayasan, juga merangkap sebagai pengurus badan pekerja harian (BPH) yayasan sekaligus menjadi pejabat struktural di pendidikan tinggi.42 Rangkap jabatan pengurus yayasan sebagai pejabat struktural di perguruan tinggi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena UU Yayasan melarang pengurus yayasan untuk merangkap jabatan pada badan usaha yayasan, dimana badan usaha pada yayasan pendidikan tinggi adalah institusi perguruan tinggi swasta. Hal yang berbeda terjadi pada 3 (tiga) yayasan yang tidak mencantumkan klausul larangan rangkap jabatan pada Anggaran Dasarnya. Pada yayasan yang pertama, Anggaran Dasar tidak mencantumkan larangan rangkap jabatan, tetapi justru tidak ada pengurus yayasan yang rangkap jabatan. Pengurus diangkat oleh Pembina dari kalangan pemerhati pendidikan dan benar-benar dipisahkan dari struktur pejabat lembaga perguruan tinggi. Yayasan ini menggunakan struktur yang sederhana tanpa adanya BPH yayasan. Pada yayasan yang
121
kedua, Anggaran Dasar tidak memuat larangan rangkap jabatan, namun justru memperbolehkan pengurus yayasan merangkap sebagai BPH yayasan. Pada yayasan yang ketiga, Anggaran Dasar yayasan tidak memuat larangan rangkap jabatan, dimana pendiri duduk sebagai pengurus yang sekaligus pejabat struktural perguruan tinggi.
2)
menerima keuntungan materi yang dapat dinilai dengan uang
Selain melarang rangkap jabatan, guna menjaga fiduciary duty dan fiduciary relationship serta mencegah konflik kepentingan, UU Yayasan juga melarang Pengurus untuk menerima : a)
Hasil kegiatan usaha yang diperoleh dari pendirian badan usaha Yayasan. Pengurus dilarang menerima hasil kegiatan usaha yang diperoleh dari pendirian badan usaha Yayasan. Kegiatan Yayasan adalah untuk sosial, kemanusiaan
dan
keagamaan,
sehingga
kekayaan
yayasan
harus
diperuntukkan bagi tujuan idiil dan sosial (tenzij de uit keringen een idieele of sociale strecking hebben). 43 Oleh karena itu kegiatan usaha Yayasan haruslah menunjang tercapainya maksud dan tujuan Yayasan tersebut. b)
Gaji, upah, honorarium, maupun bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.
Dengan demikian, Pengurus dilarang menerima kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU Yayasan, secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Larangan bagi pengurus untuk memperoleh keuntungan materi, menunjukkan bahwa Pengurus adalah orang-orang yang beritikad baik dalam menjalankan tugasnya, suka rela, tanpa pamrih dan tidak mengharapkan keuntungan materiil atas kerja kerasnya. Idealnya motivasi menjadi pengurus adalah demi kepentingan orang banyak, menjalankan amanah untuk mengurus kekayaan yang bukan miliknya dan tidak untuk mendapatkan kontra prestasi demi kepentingan diri sendiri.
42 43
Selanjutnya Badan Pekerja Harian dalam tulisan ini disingkat menjadi BPH. Rudhi Prasetya, loc. cit.
122
Tabel 5 PASAL DALAM ANGGARAN DASAR YANG MELARANG PENGURUS UNTUK MENERIMA KEUNTUNGAN MATERIIL N=7 Jumlah No Tercantum / Tidak tercantum Yayasan Persentase (%) 1 Tercantum 1 14 % 2 Tidak tercantum 6 86 % Total 7 100%
Ternyata dari penelitian penulis terhadap 7 (tujuh) yayasan, hanya 1 (satu)
Anggaran
Dasar
yayasan
yang
mencantumkan
ketentuan
yang
menyatakan bahwa kepada Pengurus tidak diberikan imbalan atau keuntungan yang bersifat materi dari yayasan, sedangkan pada Anggaran Dasar lainnya hal tersebut tidak dinyatakan secara tegas. Anggaran Dasar yang tidak menyatakan secara tegas bahwa para Pengurus tidak dapat memperoleh imbalan / keuntungan yang bersifat materi dari yayasan, memberi kesan bahwa ada Pengurus yang mendapat kontra prestasi dari yayasan yang bersangkutan. Pengurus yayasan idealnya adalah pekerja sosial, sehingga tidak seharusnya memperoleh kontra prestasi dari yayasan. Konsep ideal tersebut bertolakbelakang dengan kenyataan bahwa orang bekerja untuk mendapatkan nafkah. Pada beberapa yayasan pendidikan tinggi yang telah berubah menjadi perkumpulan, pengurus mendapatkan kontra prestasi yang disesuaikan dengan kondisi keuangan perkumpulan. Bila penerimaan mahasiswa rendah sehingga perkumpulan merugi, maka pengurus dengan
kesadaran pribadi akan
menyisihkan pendapatannya tersebut untuk menopang keuangan perkumpulan. Prioritas pertama pemberian gaji adalah pada pekerja harian dan karyawan, sedangkan pengurus menerima kontra prestasi bila keadaan keuangan perkumpulan sudah memungkinkan.44 Mengenai hal tersebut, pemberian kontra prestasi ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi dari Pengurus dan yayasan itu sendiri, seperti yang dinyatakan Donald Young : The direction of a philantropic foundation, as its operation are normally conducted, should be accepted as a social obligation by people qualified for directorships. Now, I can readily imagine foundations which are so large and require so much of the time of their directors that there should be some compensation… So, I don’t think that this is a matter of black or 45 white… 44 Wawancara Bpk Marno, karyawan Perkumpulan Keluarga Gajayana, 23 Februari 2006 45 F. Emerson Andrews, Philantropic Foundations, page 84
123
Menurut penulis, bila seorang Pengurus tidak dapat lagi mengerjakan pekerjaan lain, atau seluruh waktunya untuk yayasan, kiranya layak ia mendapat kompensasi. Oleh karena UU Yayasan melarang pemberian kontra prestasi bagi Pengurus, maka jalan keluarnya adalah dengan mengangkat pelaksana kegiatan atau BPH dimana anggota BPH ini tidak dilarang oleh UU Yayasan untuk menerima imbalan atau kontra prestasi. UU Yayasan memang menyatakan bahwa Pengurus Yayasan dapat membentuk badan pelaksana harian, dan banyak yayasan pendidikan tinggi lainnya yang menggunakan BPH dengan personel yang sama dengan pengurus yayasan. Bila Pengurus sekaligus adalah pelaksana kegiatan atau BPH, maka ia berhak untuk menerima kontra prestasi asalkan Pengurus tersebut melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh, serta tidak terafiliasi dengan pendiri maupun organ yayasan lainnya. Dalam Anggaran Dasar Yayasan dapat ditentukan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, bila Pengurus tersebut memenuhi syarat kumulatif berikut ini : a)
bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri dan organ Yayasan lainnya, dan
b)
melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. Sedangkan Pengurus yang tidak memenuhi syarat kumulatif tersebut,
hanya berhak atas segala biaya atau ongkos yang dikeluarkannya dalam rangka menjalankan tugas Yayasan. Dengan demikian, rangkap jabatan pengurus sebagai BPH dapat menjadi alternatif bagi Pengurus untuk mendapatkan kontra prestasi tanpa melanggar UU Yayasan.
No 1 2 3 4
Tabel 6 KEUNTUNGAN MATERIIL YANG DITERIMA OLEH PENGURUS N=7 Jumlah Bentuk Keuntungan Materiil Yayasan Persentase (%) Tunjangan 1 14 % Gaji 3 43 % Biaya operasional 2 29 % Tidak ada 1 14 % Total 7 100 %
Yayasan pendidikan tinggi di kota Malang telah berusaha menyesuaikan Anggaran Dasar-nya dengan UU Yayasan namun dunia pendidikan tinggi secara
124
keseluruhan masih menunggu diundangkannya Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan, karena berlakunya RUU tersebut dikhawatirkan akan mengubah fungsi yayasan pendidikan tinggi, sehingga yayasan pendidikan tinggi harus berkali-kali mengubah Anggaran Dasarnya untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi yang silih berganti. Menurut penulis, beragamnya peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi yang harus dijadikan acuan justru akan membuat yayasan pendidikan tinggi tersebut mencari lubang-lubang dan menyiasati secara tidak jujur pelaksanaan peraturan tersebut. Yayasan pendidikan menjadi “tricky” dan penuh tipu daya, berusaha berkelit dari aturan yang menghalangi pencapaian tujuan yayasan. Hal ini justru akan menyelewengkan itikad baik pengurus dalam melakukan kepengurusan yayasan. Pada yayasan pendidikan tinggi yang memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya, meskipun UU Yayasan melarangnya, justru yayasan pendidikan tinggi tersebut berkembang secara positif dan dapat memberikan jasa pendidikan tinggi yang lebih baik bagi mahasiswa dibandingkan dengan yayasan pendidikan tinggi yang tidak memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya. Menurut penulis, pemberian kontra prestasi dapat menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan, sehingga pengelolaan harta awal yayasan yang ditujukan untuk memajukan pendidikan46, dapat tercapai. Pada yayasan pendidikan tinggi yang tidak memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya justru yayasan pendidikan tinggi tersebut tidak berkembang dan tidak dapat memberikan jasa pendidikan tinggi sebaik yayasan pendidikan tinggi yang memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya. Indikasi yang dilihat oleh penulis adalah pada yayasan pendidikan tinggi tersebut tidak diberikan kontra prestasi bagi pengurus bukan karena mematuhi UU Yayasan, tetapi lebih karena kesulitan pendanaan. Berdasarkan hasil penelitian penulis dil lapangan, larangan rangkap jabatan dan pemberian kontra tidaklah mencerminkan fiduciary duty, karena menurut penulis bila tujuan yayasan tercapai dan selama pengurus berada dalam limited liabity and duties serta dapat mencapai tujuan yayasan, maka 46 Pengelolaan harta awal yayasan ini penulis kaji berdasarkan Teori Harta Kekayaan Bertujuan yang dikemukakan oleh A. Brinz dalam bukunya “Lehrbuch der Pandecten”. Teori ini menyatakan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan anggotanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Lihat Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 230)
125
itulah ukuran fiduciary duty yang sebenarnya dari pengurus yayasan pendidikan tinggi.
B. KESESUAIAN TUGAS PENGURUS DENGAN ANGGARAN DASAR YAYASAN. Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak bertentangan dengan UU Yayasan dan Anggaran Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berlakunya UU Yayasan, maka Anggaran Dasar Yayasan tidak boleh bertentangan dengan UU Yayasan tersebut.Berdasarkan Pasal 71 UU Yayasan, Yayasan yang telah ada sebelum UU Yayasan, harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan. Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat bahwa Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan UU Yayasan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, yaitu tanggal 6 Oktober 2008. Berdasarkan fakta empirik, ternyata hanya 1 (satu) yayasan pendidikan tinggi yang telah mengajukan permohonan pengesahan status badan hukum yayasan pada Menteri Kehakiman dan HAM. Belum diajukannya permohonan pengesahan tersebut, dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan berikut : 1)
waktu pemberlakuan UU Yayasan yang masih relatif lama, yaitu 2 (dua) tahun mendatang, tepatnya 6 Oktober 2008.
2)
sering bergantinya peraturan perundang-undangan mengenai pendidikan.
a) UU Yayasan Di dalam UU Yayasan terdapat pasal-pasal yang tidak kondusif bagi yayasan pendidikan, karena pembentukannya tidak melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah tersebut (stakeholders) pendidikan tinggi, 47 sehingga justru menimbulkan konflik intern yang sebelumnya tidak ada
47 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang, 2002, hal.37
126
diantara yayasan dan perguruan tinggi.48 Larangan rangkap jabatan dan menerima keuntungan yang dapat dinilai dengan uang telah merupakan conto h beberapa ketentuan yang digunakan untuk memberhentikan pengurus, membubarkan yayasan, maupun memisahkan lembaga pendidikan dari yayasan. Konflik intern yang dipicu oleh pasal-pasal UU Yayasan yang tidak kondusif tersebut menyebabkan hubungan yang tidak harmonis antara yayasan dan perguruan tinggi, dimana pihak perguruan tinggi menggunakan UU Yayasan sebagai dasar untuk menggugat keberadaan yayasan. Hal ini berakibat pada tindakan pejabat perguruan tinggi
yang menolak kebijakan-
kebijakan yayasan, menerbitkan kebijakan yang bertentangan, keinginan untuk mandiri dan melepaskan diri dari yayasan, secara sepihak universitas membentuk Badan hukum pendidikan mandiri dengan motivasi menguasai aset yayasan, bahkan meniadakan yayasan. 49 Sebaliknya, pihak yayasan keberatan bila aset yayasan diserahkan pada yayasan lain atau negara, karena kriteria yayasan lain maupun negara sebagai penerima aset tersebut tidak jelas. Terlebih lagi, yayasan pendidikan tinggi dapat dikatakan tidak memiliki sumber dana abadi,50 sehingga aset yayasan merupakan penopang yayasan dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan. UU Yayasan hanya menyebutkan bahwa yayasan penerima aset harus mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang bubar, sedangkan yayasan lain itu bisa jadi didirikan oleh negara. Hal ini yang menyebabkan adanya anggapan bahwa pemerintah membatasi peran swasta di bidang pendidikan, bahkan berusaha mengambil alih aset swasta di bidang pendidikan. Oleh karena itu, alternatif untuk menyelamatkan aset yayasan yang bubar adalah membuat Akte Pembubaran yayasan di depan notaris dan sekaligus membuat Akte Pendirian yayasan yang baru, sehingga aset tersebut tidak diserahkan pada yayasan lain.
Elly Burhaini Faizal, Kontroversi UU Yayasan (2) : Kehadirannya Menyulut "Revolusi, Suara Pembaharuan, Kamis, 24 Oktober 2002, http://www.suarapembaruan.com/News/2002/10/24/Utama/ut06.htm 49 Elly Burhaini Faizal, Kontroversi UU Yayasan (1) : Trisakti Terpecah Karenanya, Suara Pembaharuan, Rabu, 23 Oktober 2002, http://www.suarapembaruan.com/News/2002/10/23/index.html 50 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Yayasan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hal. 6 48
127
Permasalahan mengenai aset yayasan ternyata juga menjadi alasan bagi beberapa yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang untuk berubah menjadi perkumpulan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan :51 i)
Perkumpulan dianggap lebih fleksibel karena masih menggunakan dasar hukum Staatsblaad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum dan belum diatur oleh undang-undang. Meskipun yayasan dan perkumpulan yang berbentuk Badan Hukum mempunyai kekuatan hukum yang sama, yaitu sama-sama dianggap sebagai subyek hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum, namun keduanya memiliki perbedaan sebagai berikut :52 Tabel 7 PERBEDAAN PERKUMPULAN DAN YAYASAN
PERBEDAAN Definisi
PERKUMPULAN Memiliki pengertian luas, yang meliputi 2 (dua) macam, yaitu: a. Berbentuk Badan Hukum, seperti Perseroan Terbatas, Koperasi dan Perkumpulan saling Menanggung; b. Tidak berbentuk Badan Hukum, seperti Persekutuan Perdata, CV dan Firma.
YAYASAN Merupakan suatu bagian dari perkumpulan yang berbentuk Badan Hukum dengan pengertian/definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 UU Yayasan.
Sifat dan tujuan Orientasi
Komersial
Anggota
Memiliki Anggota
Sosial, keagamaan dan kemanusiaan Tidak semata-mata mengutamakan keuntungan atau mengejar/ mencari keuntungan dan/atau penghasilan yang sebesar-besarnya; Tidak memiliki anggota
Mementingkan keuntungan (profit oriented);
Oleh karena perkumpulan memiliki anggota dan bertujuan komersial, maka dimungkinkan membagikan hasil keuntungan usaha perkumpulan maupun aset perkumpulan pada para anggotanya. Kefleksibelan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh yayasan, sehingga memicu beberapa yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang untuk berubah menjadi perkumpulan. Menurut penulis, alasan
51 Wawancara dengan Bpk. Siswo Atmowidjojo (Ketua P2PUTN), Bpk. Soeharto (Sekretaris Perkumpulan Pengelola Pendidikan (P2P) Wisnu Wardhana, dan Bpk. Shaleh (Ketua Perkumpulan Keluarga Gajayana) tanggal 8 Desember 2005 52 Mulyadi, Hukum Perusahaan : Bedanya Perkumpulan Dengan Yayasan http://hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=2755
128
perubahan bentuk ini bukanlah suatu pilihan yang tepat karena sewaktu-waktu pemerintah dapat saja menerbitkan undang-undang perkumpulan.53 ii)
Perubahan bentuk menjadi perkumpulan hanyalah pergantian nama pada Akte Notaris saja, karena pada kenyataannya organisasi perkumpulan sama dengan yayasan yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan data empirik, perubahan bentuk yayasan menjadi perkumpulan tersebut dilakukan dengan jalan :
(a)
mengganti nama yayasan menjadi perkumpulan berdasarkan Akta Notaris,
(b)
membubarkan yayasan dengan Akta Pembubaran di hadapan notaris, kemudian mendirikan Perkumpulan dengan Akta Notaris yang baru. Menurut penulis, perubahan bentuk yayasan menjadi perkum pulan yang demikian ini juga tidak tepat karena Ikatan Notaris Indonesia telah menghimbau para notaris untuk mempertimbangkan ulang pembuatan Akte Pendirian Perkumpulan yang berasal dari yayasan, karena perubahan tersebut patut diduga untuk menghindari UU Yayasan.54
b)
Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Mencermati lahirnya UU Yayasan yang oleh berbagai kalangan dianggap
bersifat etatis dan tidak representatif tersebut,55 penulis melihat bahwa pasalpasal UU Yayasan tersebut memang ditujukan pemerintah untuk mengubah bentuk badan hukum pengelola lembaga pendidikan. Menurut penulis, dengan 53 Pada situs Civil Society Organisation (CSO) – Interim Fund dimuat bahwa AusAID menerapkan suatu program Bantuan Interim menjelang dilaksanakannya program ACCESS. Bantuan Interim CSO ini ditujukan untuk merespon dengan segera berbagai kebutuhan CSO yang berkembang pesat dan memberikan masukan bagi AusAID berupa informasi dasar untuk ACCESS dengan cara: i. menjalin hubungan antara AusAID dengan CSO inti termasuk instansi pemerintah yang terlibat dalam agenda pemerintahan sipil; ii. pengumpulan informasi, sumber dan pengetahuan tentang masalah dan program pemerintahan sipil; dan
iii. mendukung program CSO di Indonesia dengan bantuan dana secukupnya oleh karena itu diberikan hibah Rp. 218.800.000, bagi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta untuk melaksanakan proyek Penyusunan Laporan Akademis: UU Perkumpulan untuk Memfasilitasi Masyarakat Madani di Indonesia dengan rincian Penyusunan laporan akademis untuk UU Perkumpulan dan melaksanakan proses konsultasi mengenai penyusunan laporan ini untuk diserahkan sebagai RUU Perkumpulan, dimulai pada Juli 2003 – TBA http://www.indo.ausaid.gov.au/bi/projects/csointerim-indo.html 54 Wawancara dengan Notaris Ita Kristiana dan Notaris Dyah Widhiawati, Agustus 2006 55 Marianus J. Gaharpung, Hukum dalam Dinamika Masyarakat, CV. Citra Media, Surabaya, 2004, hal. 99
129
adanya UU Yayasan, maka pemerintah berupaya mengalihkan pengelolaan pendidikan dari bentuk yayasan menjadi bentuk badan hukum pendidikan tersendiri. RUU BHP ini merupakan salah satu contoh kebijakan pemerintah yang sering berganti di bidang pendidikan tinggi. Pendidikan di Indonesia belum menemukan konsep dan model yang jelas, sehingga pergantian pemerintahan otomatis mencabut sistem pendidikan sebelumnya. Implikasinya pendidikan tidak berpihak
pada 56
kekuasaan.
pencerahan
moral,
tetapi
lebih
memainkan
instrument
Hal ini juga berakibat pada pengelolaan institusi pendidikan,
termasuk yayasan pendidikan dan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Pro dan kontra mewarnai penyusunan RUU BHP ini karena dianggap akan meniadakan fungsi yayasan sebagai pengelola lembaga pendidikan, bahkan adanya dugaan institusi pendidikan dapat melakukan komersialisasi pendidikan secara legal. Berdasarkan RUU BHP, peran yayasan tidak ada lagi. Selain itu, para Pengurus yayasan yang notabene merupakan stakeholders
pendidikan,
mendapat tempat yang lebih terhormat dalam sebuah institusi tertinggi di universitas bernama Majelis Wali Amanah, 57 yang di Amerika atau Eropa dikenal dengan istilah Board of Trustee. Bila RUU BHP disahkan, maka akan ada 3 (tiga) konsekuensi. Pertama, yaitu setiap penyelenggara pendidikan (yayasan) haruslah menjadi BHP, karena secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas58 yang didukung oleh Pasal 2 ayat (1) RUU BHP, satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.59 Konsekuensi kedua, yayasan tetap berdiri, tetapi setiap satuan pendidikan, tiap jenjang satuan pendidikan, SD, SLTP, SMA dan PT yang dikelola yayasan dibuatkan badan hukum pendidikan tiap satuan pendidikan. Kemungkinan konsekuensi ini akan merepotkan dan menyibukkan yayasan yang 56 Sudiyono, Manajemen Pendidikan Tingg : Buku Pegangan Kuliah, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 74 57 Pasal 1 angka 7 RUU BHP : Majelis Wali Amanat yang selanjutnya disebut MWA adalah organ tertinggi BHP yang bertindak mewakili penyelenggara, satuan pendidikan, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. 58 Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas : Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
130
memiliki banyak sekolah. Yayasan akan membuatkan akta notaris bagi satuan pendidikan untuk membentuk BHP.60 Sedangkan konsekuensi terakhir bila RUU BHP disahkan adalah Yayasan dan lembaga pendidikan menjadi BHP.61 Hal-hal tersebut diatas merupakan penghambat berkembangnya institusi pendidikan di Indonesia, sehingga menurut penulis, tindakan yayasan yang menunda penyesuaian Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan bukan merupakan pengabaian atau pembangkangan sipil (civil disobidience) terhadap UU Yayasan 62 karena
ternyata produk
perundang-undangan di bidang
pendidikan dibuat dengan cara yang tidak partisipatif, tidak melibatkan mayoritas stakeholder yang terkait dengan undang-undang yang bersangkutan dan tidak disosialisasikan, sehingga akhirnya UU Yayasan itu hanya menjadi 'macan kertas'.
C. KESESUAIAN TUGAS PENGURUS DENGAN KETERTIBAN UMUM DAN KESUSILAAN Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Pada yayasan pendidikan tinggi di Kota Pasal 2 ayat (1) RUU BHP : Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 60 PTS Bebas Pilih Bentuk Badan Hukum Pendidikan, diakses 17 juni 2005 dari http:/www.atmajaya.ac.id/content.asp?if=0&id=680 59
61
Pasal 3 RUU BHP :
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP. (2) Pendirian BHP dilakukan melalui salah satu cara sebagai berikut: a) Penyelenggara menjadi BHP dan satuan pendidikan formalnya menjadi salah satu organ BHP; b) Satuan pendidikan menjadi BHP; c) Penyelenggara bersama satuan pendidikan menjadi BHP. Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) RUU BHP : Untuk memenuhi berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, serta sesuai dengan amanat Pasal 53 UU. Sisdiknas, maka dibuka tiga pilihan cara untuk mendirikan BHP. Secara khusus, ketiga pilihan cara pendirian BHP tersebut merupakan penghargaan dan penghormatan pada sejarah, ciri khas, serta jasa para pelopor pendidikan formal, terutama yang diselenggarakan oleh masyarakat. Bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan atau badan hukum sejenis, dapat memilih salah satu dari ketiga pilihan cara pendirian BHP tersebut. Adapun yang dimaksud dengan badan hukum sejenis adalah badan hukum yang memiliki tujuan yang serupa dengan tujuan yayasan, yaitu sosial, kemanusiaan, keagamaan, antara lain berupa Wakif sebagai badan hukum sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Eryanto Nugroho, Berlakunya UU Yayasan : Ribuan Yayasan Tak Berbadan Hukum, www.hukumonline.com/detail.asp?id=6186&cl, 7 Agustus 2002, diakses 17 juni 2005 62
131
Malang, tujuan yayasan adalah sosial dan kemanusiaan, serta keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang di luar yayasan yang mendapat manfaat karena memperoleh pendidikan dari perguruan tinggi swasta yang dikelola yayasan pendidikan tinggi. Kesesuaian tugas pengurus dengan ketertiban umum dan kesusilaan dapat dilihat dari Anggaran Dasar Yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang yang mengemban misi dan visi pendidikan, maka kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Ukuran ketertiban umum dan kesusilaan merupakan kesepakatan umum sehingga sesuatu yang baik bagi masyarakat tentunya sesuai dengan pemahaman mengenai keteriban dan kesusilaan masyarakat tersebut secara umum. Demikian juga dengan itikad baik. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kegiatan usaha tersebut, yayasan berusaha melibatkan mahasiswa dan karyawan. Kegiatan usaha dari badan usaha tersebut antara lain berupa stasiun radio swasta, percetakan / penerbitan, balai pengobatan, bengkel, persewaan sarana dan prasarana olah raga, bahkan pom bensin. Keuntungan dari kegiatan usaha ini digunakan untuk menopang operasional yayasan, bila tidak ada sumbangan maupun penurunan jumlah penerimaan mahasiswa yang signifikan. Sebaliknya, pada lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan dengan tanpa memiliki lembaga usaha yang menopang pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tersebut, atau bahkan lembaga pendidikan itu sendirilah yang menjadi penopang dana yayasan tersebut, maka pendirian yayasan tersebut sama sekali bersifat nirlaba, bukan bisnis. Yayasan pendidikan seperti ini terlahir dari keprihatinan komunitas kecil yang didorong karena tidak ada atau minimnya lembaga pendidikan di daerahnya, maupun keprihatinan terhadap sistem pendidikan nasional yang tergambar dari kurikulumnya, yang dianggap terlalu barat dan tidak memanusiakan. 63 Yayasan seperti ini biasanya didirikan oleh komunitas majelis taklim atau pesantren yang berada daerah, atau kota-kota kecil. Jelas bahwa keberadaan yayasan pendidikan tersebut adalah untuk kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan susila. Selanjutnya, pemilihan nama yayasan pendidikan tinggi dilakukan dengan cermat, karena Yayasan tidak boleh memakai nama yang bertentangan dengan
63 Ahmad Gibson Al-Bustomi, Bisnis Pendidikan, Etiskah?, Diakses 17 juni 2005 dari http:/www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/25.htm
132
ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Tentunya nama yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang tidak memakai nama yang bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan, karena nama yayasan menggambarkan identitas yayasan tersebut. Bila image suatu yayasan pendidikan itu baik, maka orang tua tidak akan segan mengirim anak-anaknya untuk menempuh pendidikan di institusi pendidikan yayasan tersebut. Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa pengurus dapat dikategorikan menjalankan tugas dengan itikad baik bila tindakan Pengurus yang sesuai dengan fidiciary duty secara umum, tidak bertentangan dengan UU Yayasan, Anggaran Dasar, ketertiban umum, serta rasa kesusilaan. Mengenai larangan rangkap jabatan dan menerima gaji, penulis berpendapat bahwa larangan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara kaku, karena pada kenyataannya pengurus yang rangkap jabatan tersebut mengemban fiduciary duty dan bertanggung jawab atas limited liability and duties yang tercantum di dalam Anggaran Dasar yayasan masing-masing. Menurut penulis, itikad baik pengurus yayasan tersebut dapat diukur berdasarkan Teori Harta Kekayaan Bertujuan. Teori ini dikemukakan oleh A. Brinz dalam bukunya “Lehrbuch der Pandecten”, yang menganut pandangan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan anggotanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Harta kekayaan tersebut merupakan milik badan hukum, yang menyebabkan badan hukum tersebut menjadi subyek hukum.64 Oleh karena itu, menurut Teori Harta Kekayaan Bertujuan, titik berat eksistensi yayasan sebagai pribadi hukum adalah pada maksud dan tujuan pendiriannya:65 “… only human beings can be considered correctly as ‘persons’. The law, however, protects purposes other than those concerning the interests of human beings. The property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody. But it may be considered us ‘belong’ for certain purposes and the device of the corporations is used to protect those purposes.”
66
Dengan demikian, bila pengelolaan harta kekayaan yayasan itu digunakan untuk mewujudkan maksud dan tujuan yayasan dan tindakan pengurus tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar, UU Yayasan, susila dan ketertiban umum, serta tujuan yayasan itu terbukti tercapai, maka itulah esensi dari itikad Achmad Ali, loc. cit. W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum : Hukum & Masalah-Masalah Kontemporer (Susunan III), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 213 64 65
133
baik pengurus. Itikad baik pengurus yayasan akan tampak pada berhasilnya yayasan pendidikan tinggi itu melakukan misinya mencerdaskan kehidupan bangsa. KESIMPULAN DAN SARAN Konstitusi telah menegaskan kewajiban Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pada kenyataannya, jumlah calon peserta didik jauh melampaui kemampuan Pemerintah untuk menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas namun dengan biaya murah. Ketidakmampuan Pemerintah tersebut akhirnya diisi oleh Yayasan yang menyediakan jasa pendidikan secara nirlaba. Dengan kata lain, Pemerintah mendukung lahirnya yayasan-yayasan di Indonesia. Ironisnya regulasi, bahkan kontitusi, ternyata tidak berpihak pada Yayasan Pendidikan swasta yang ada. Regulasi bidang pendidikan lebih condong pada perguruan tinggi negeri ketimbang perguruan tinggi swasta yang dididirikan oleh yayasan pendidikan. Demi menjalankan amanat konstitusi, Perguruan Tinggi Swasta berusaha tetap eksis menyelenggarakan pendidikan. Terlebih lagi, minat masyarakat untuk menempuh studi di Perguruan Tinggi Swasta bergantung pada berhasil tidaknya Perguruan Tinggi Swasta itu mengemban visi dan misinya. Pengurus dapat dikatakan menjalankan tugas dengan itikad baik bila sesuai dengan fiduciary duty, Anggaran Dasar dan UU Yayasan, serta ketertiban umum dan kesusilaan. Tetapi larangan rangkap jabatan dan pemberian kontra prestasi ternyata tidak dapat dijadikan cerminan terlaksananya fiduciary duty. Berdasarkan fakta empirik, pengurus yayasan telah terikat dengan limited liability and duties di dalam Anggaran Dasar dan UU Yayasan, sehingga walau terjadi rangkap jabatan dan pengurus menerima kontra prestasi,
namun pengurus tetap
mengemban fiduciary duty dan terbukti berhasil mencapai maksud dan tujuan yayasan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan teori harta kekayaan bertujuan. Oleh karena itu, penulis menyarankan perlu segera dibentuk peraturan pelaksana UU Yayasan yang mengakomodasi kebutuhan beragam bentuk yayasan di Indonesia, khususnya yayasan pendidikan tinggi, dan melakukan sosialisasi secara optimal.
66
Achmad Ali, loc. cit.
134
DAFTAR PUSTAKA Ais, Chatamarrasjid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT Citra Aditya Bakti, Bandung -------, 2002, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai suatu Badan Hukum Sosial), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung -------, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Ali, Chidir, 1999, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung Arikunto, Suharsini, 1988, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta Ford, Cf. HAJ; Austin, RP & Ramsay, IM, 1999, Ford’s Principles of Corporations Law, 9th edition, Sydney, Butterworths Fuady, Munir, 2002, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung Gie, Kwik Kian, 2005, Platform : Wahai PresidenTerpilih, Tolonglah Rakyat Dengan Tidak Menunda Agenda Kerja Ini, www.korwilpdip.org/ 17KWIK090604.htm Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung Isrok, 2004, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 12 Oktober 2004 Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta Machdhoero, Ach. Mohyi, 1993, Metode Penelitian, UMM Press, Malang Maria, Titi, 2004, Liability Aspects of Corporate Group Structures : A Primer for Indonesian Legal Practioners, PT. Tata Nusa, Jakarta Moleong, Lexy J., 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung Prasetya, Rudhi, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung Prodjodikoro, Wirjono, 1995, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung Rido, Ali, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung Soedarmadji, 2002, Eksistensi Ajaran Itikad Baik dalam Suatu Perjanjian, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Merdeka Malang Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta Soemitro, Rochmat, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Suhardiadi, Arie Kusumastuti Maria, 2002, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta Suryabrata, Sumadi, 1995, Metodologi Penelitian, Rajagrafindo, Jakarta
135
Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Untung, Budi, et. al, 2002, Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Penerbit ANDI, Yagyakarta Vatikiotis, Michael R. J., 1993, Indonesian Politics Under Soeharto : Order, Development and Pressure for Change, Routledge, London and New York Yappika : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, Sejarah Lahirnya UU Yayasan, http://www.dbyayasan.org/tentang/lahirnya/asp.htm, diakses 19 April 2005 BIODATA PENULIS Nama
: RIANA SUSMAYANTI, SH, MH
Tempat/tgl lahir
: MALANG, 17 JANUARI 1979
Pekerjaan
: DOSEN FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG