s
D~: Soeroso H. Prawirohardjo
STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN, SISTEM SOSIAL DAN TUJUAN PENDIDIKAN:SEBUAH CATATAN
UPJNDO
STAKAAN UGM
?:-•.~~
:T U.P. INDONESIA
STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN, . SISTEM SOSIAL DAN TUJUAN PENDIDIKAN SEBUAH CATATAN
RAWATLAH BUKU INI SEBAIK-BAIKNYA dan KEMBALIKAN PADA SAATNYA
Dr. Soeroso H. Prawirohardjo Fakultas IImu Ssosial dan IImu Politik Universitas Gadjah Mada
,.
PENERSIT , U~P.INDONESIA
1984
~'
..•.
~
...... ~
. #r~
ofF;'
'.1.:)
·r
I- " .;..
t '- . r
~
~:
f __0".
'J--
. ..... ~-- 1-.-. ~•...",.
.:.-_,..;~:-_---
.•••-
. .._' .••...........
-.:
_··~I:
...; ~~}.
I.,
.. ,I •
.
t'!l
:~'7}~·!:
:
•..• , ' .•. t
.:,'
=--,..---t
....•..••.•......-.........-...--
'\
I. PEND~lIULUAN '
,
• ,,:,l
••••• ---
.
i ':
T AKA A N
~YI~ • .,0
~.....
"
..• , '''.
.
..
'
'-"•
6'
"
..,
.
..
1. Tulisa~ ini dtbuat sehubungan ,d~P..K"!.~. adanya berbagai perkembangan yang menyangkut sistern pendidikan tinggi,: khususnyaFakultas Sosial dan Politk Universitas Gadjah Mada (FSP-UGM). Perkembangan itu antara lain berujud perubahan-perubahan cepat yang terjadi di lingkungan yang melingkungi sistem pendidikan. tinggi seperti masyarakat dan kebudayaan, perubahan yang terjadi dalam struktur iImu pengetahuan, perkembangan yang terjadi dalam kebijakan Pemerintah tentang penjenjangan program pendidikan tinggi. 2. Sikap yang sebaiknya kita ambil dalam kita menghadapi persoalan seperti itu adalah dengan memberikan jawaban atasnya, Salah satu jawaban yang kiranya dapat kita berikan pada masalah itu adalah dengan cara memikirkan kembali kurikulurn yang pada waktu ini di miliki dan dilaksanakan di FSP-UGM. Dengan mengadakan reformasi atas kurikulum tersebut, dengan berbagai implikasinya seperti perumusan kembali tujuan pendidikan, perkembangan seperti yang telah disebutkan tadi dapat ditanggapi dengan sebaikbaiknya. 3. Tulisan ini tidak merupakan suatu rumusan pemikiran yang komprehensip tentang sistem pendidikan di FSP-UGM, akan tetapi lebih merupakan percikan gagasan atas beberapa hal yang ada kaitannya dengannya dan berujud prinsip-prinsip, pedoman atau bahkan hanya konstatasi yang masih memerlukan perincian operasional dan penjelasan lebih lanjut. dalam pengertian yang dernikian, diharapkan tulisan ini dapat merupakan pemacu dan landasan pertama bagi diadakannya serangkaian pembahasan lebih lanjut yang bersifat komprehensip dan mendasar atas sistem pendidikan FSP-UGM. 4. Dalam tulisan ini, prinsip, pedoman atau konstatasi tersebut di arahkan pada usaha pencarian suatu landasan-kurikulum umum, yang kiranya dapat dan seharusnya diadakan bagi FSP-UGM, termasuk semua jurusan yang dirnilikinya. Titik tekan perhatiannya diletakkan pada struktur ilmu pengetahuan beserta perkembangan-
'.
3
2
nya dalam hubungannya dengan kurikulum, kebijakan pendidikan tinggi dan faktor-faktor yang telah disebutkan dimuka.
tujuan pendidikan, lingkungan seperti
n TUJUAN
PENDIDlKAN, MU PENGETAHUAN.
KURIKULUM
DAN
STRUKTUR
IL-
1. Tujuan pendidikan adalah rumusan yang eksplisit tentang cara-cara bagaimana para mahasiswa diharapkan berubah melalui proses pendidikan, yaitu cara-cara bagaimana mereka akandiubah dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan mereka. Rumusan tersebut mempunyai dua aspek yang dapat dibedakan meskipun tidak dapat dipisahkan, yaitu aspek moral dan aspek intelektual. Tiap tujuan pendidikan memang seharusnya dirumuskan dalam kerangka pengertian tujuan yang lebih umum yang berujud tujuan substansiil yang berakar pada batasan moral tertentu dan penggambaran-akhir yang bersifat menyeluruh tentang manusia dan alam semesta. Oleh karenanya telah menjadi stereotype dalam tiap rumusan pendidikan untuk menjadikan mahasiswa seorang manusia yang baik, warga negara yang bertanggung jawab, dsb. Meskipun demikian, penguasaan ilmu pengetahuan beserta car a memperolehnya serta menjadikan para mahasiswa sebagai pencinta kebenaran menjadi pula tujuan pendidikan. 2. Seorang educationist membedakan an tara dua unsur dalam tujuan pendidikan dalam pengertiannya yang terakhir, yaitu apa yang ia sebut "cognitive domain" dan "intellectual abilities and skills". Dalam "cognitive domain" termasuk kategori yang berikut: "knowledge, knowledge of specifics, knowledge of terminology, knowledge of specific tacts, knowledge of ways and means of deeling with specifics, knowledge of convention, knowledge of trends and sequences, knowledge of classifications and categories, knowledge of criteria, knowledge of methodology, knowledge of the universals and abstractions in a field, knowledge of principles and generalizations, and knowledge of theories and structures". Dalam "intellectual abilities and skills" termasuk: "comprehension; translation; interpretation; extrapolation; application; analysis; analysis of elements; analysis of relationship; analysis of organizational principles; synthesis; production of unique communication; production of a plan or proposed set of operations; derivation of a set
___
~I
"
4
of abstract realtions; evaluation; judgments deriving from internal evidence; and judgments deriving from external criteria". 1 3. Berbicara tentang tujuan pendidikan tentu harus berbicara tentang kurikulum, oleh karena kurikulum adalah alat untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Oleh karenanya, perubahan tujuran pendidikan meminta pula adanya perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum biasanya didorong oleh baik faktor ekstem maupun faktor intern. Faktor ekstern adalah faktor yang melingkungi sesuatu sistem pendidikan, seperti masyarakat dan kebudayaan; faktor intern adalah faktor di dalam sistem pendidikan itu sendiri, seperti dalam perhatian kita sekarang adalah perkembangan struktur ilmu pengetahuan yang menyebabkan adanya keharusan untuk menata berbagai disiplin intelektual menurut "subject matter" atau "modes of inquiry" tertentu. Perkembangan yang terakhir ini menyebabkan adanya kesadaran akan pentingnya struktur pengetahuan dalam hubungannya dengan perubahan kurikulum dan adanya kesadaran bahwa dalam proses pendidikan akan selalu terjadi apa yang disebut "intellectual obsolescence" apabila perubahan kurikulum tidak diadakan pada waktunya secara bekala. Tentang masalah "intellectual obsolescence" ini, dan dalam hubungannya dengan spesialisasi dalam pendidikan tinggi, Daniel Bell, seorang sosiologist terkemuka, menyatakan, bahwa: " ... in the present phase of the organization of knowledge, one can no longer train people for specific intellectual tasks or provide a purely vocational training. In effect, obsolescence of specializations indicates that one cannot any longer educate a person for a job. One has to provide the means for intellectual mobility, for continuing education, for mid-career refreshment; and this can be done only by a grounding in the modes of intellectual inquiry". 2 4. Rumusan kurikulum mengandung implikasi adanya atau terdapatnya anggapan (suppositions) tentang adanya tujuan pendidikan 1. B.S. Bloom. A Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of educational Goals (New York: Longman. Curten & Co .• 1965). 2. D. Bell. The Reforming of General Education (New Yorle: Columbia University Press. 1966). p. 158.
-
s tertentu. Akan tetapi, didalam rumusan itu terdapat pula implikasi lainnya yang penting, yaitu adanya teori tentang struktur ilmu pengetahuan. Perubahan struktur ilmu pengetahuan seharusnya menjadi dasar daripada perubahan kurikulum. Dan rupanya penekanan pada pentingnya "modes of intellectual inquiry" dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengatasi masalah "intellectual obsolescence" itu tadi. Seperti dikatakan oleh seorang educationist, Jerome Bruner, " ... a theory of instruction seeks to take account the fact that a curriculum reflects not only the nature of knowledge itself but also the nature of the knower and of the knowledgegetting process. ... We teach a subject not to produce little living libraries on that subject. but rather to get a student to think mathematically for himself, to consider matters as historian does, to take part in the process of knowledge-getting. Knowing is a process, not a product".3 Apabila pencapaian kebenaran merupakan tujuan pendidikan tinggi, maka titik tekan perhatian seharusnya juga diletakkan pada proses tercapainya kebenaran itu tadi. 5. Jadi, dengan perubahan yang cepat atas faktor-faktor disekeliling sistem pendidikan dan perubahan dalam struktur ilmu pengetahuan dewasa ini, maka dalam masalah perubahan kurikulum seharusnya kita mempergunakan "conceptual approach". Struktur ilmu pengetahuan mengharuskan penekanan pada "modes of inquiry" dan bukannya hal-hal yang sifatnya faktual dan deskriptip semata-rnata dalam kurikulum. Spesialisme, dalam arti sebagai "occupational training" dengan cara penguasaan atas suatu pengetahuan, seni, tehnik atau ketrampilan tertentu, dan dalam ujudnya sebagai spesialisasi yang sempit hendaknya dihindari. Sistem pendidikan universiter tidak akan dapat secara mutlak-murni berorientasi pada lapangan kerja yang spesialistis ("purely vocational training"). Oleh karenanya, hendaknya diberikan perhatian besar pada dasardasar konsepsual daripada ilmu pengetahuan untuk menjadi komponen utama dalam kurikulum. 3. J. Bruner. Toward A Theory of Instruction (Cambridge. Mass.: Harvard University . Press. 1966). p. 72.
.,
7
6
6. Di dalam tiap ilmu pengetahuan tentu terkandung dua unsur yang berkaitan satu sarna lain, yaitu unsur faktual dan unsur konsepsual. Makin tinggi suatu jenjang pendidikan makin berat titik tekannya pada unsur yang terakhir. Dan ciri output sistem pendidikan tinggi adalah dapat digantinya penglihatan faktual oleh persepsi konsepsual. Dan memang, masyarakat intelektual selalu dibatasi oleh adanya kesamaan ukuran clan pernilaian yang memungkinkan adanya komunikasi pendapat tentang beraneka ragam masalah dan pengalaman. Kesamaan itu ada sebagai akibat dimilikinya kesamaan dalam persepsi konsepsual itu tadi. 7. Penekanan pada aspek konsepsual daripada usaha intelektual manusia juga disebabkan oleh adanya perubahan fundamental dalam struktur pernikiran ilmiah sejak pertengahan dekade 19201930, yang dimulai dalam bidang ilmu fisika.4 Dalam masa sebelumnya, pernah terdapat pend irian dikalangan para sarjana fisika, seperti K Pearson, WK Clifford, dan Lord Kelvin, bahwa ilmu pengetahuan adalah soa1 menemukan "facts of nature" dan membuat laporan atas segala sesuatu yang segera dapat diamati dan diukur. Pada waktu ini, pendirian seperti itu telah ditinggalkan Perkembangan pemikiran ilrniah sekarang mengandung implikasi hilangnya apa yang disebut "self-evident giveness" yang mempunyai dimensi yang sudah pasti (fixed), atau pendirian, bahwa fakta dapat diperlakukan sebagai "self-existing givens". Dalam hal tertentu, hal ini merupakan suatu "revival" dari pada pendirian Emanuelle Kant, yang mengemukakan proposisi bahwa pengetahuan tergantung pada si pengamat (knower) clan pada persoalanpersoalan yang dikemukakan untuk meng-organisasikannya dan memberikan petunjuk pada pelaksanaannya. akan tetapi, tidak seperti pendirian Kant, konsepsi ilmiiah yang baru tidak timbul dari suatu pernikiran yang Q priori, sebab pernilihan fakta ditentukan oleh prinsip-prinsip konsepsual yang terdapat dalam tiap pernikiran, dan hal ini tidak fixed tetapi dapat berubah-ubah, Revolusi konsepsual ini tidak terbatas pada bidang ilmu fisika saja. Sebagai suatu metode berpikir hal itu telah merubah sifat semua ilmu pengetahuan. Konsekwensi daripada revolusi 4. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago:
dalam pemikiran ilmiah tersebut telah mengakibatkan menjadi pendeknya siklus dalam proses dan akumulasi pengetahuan ilmiah. Hampir tiap bidang pada waktu ini ada dalam situasi perubahan. Seseorang tidak dapat lagi memakai sebagai asumpsi suatu pengetahuan akumulatip sebagai pedoman untuk pemecahan masalah tertentu. Akibatnya, biologi, kimia, fisika, sosiologi, ekonomi, yang dipelajari seseorang tigapuluh tahun yang lalu sudah hampir tidak ada artinya bagi struktur konsepsual baru yang jadi pedoman pernikiran dalam bidang tersebut pada waktu ini.
University Press, 1974).
~~'
'r
,.
8
III. RE-FORMASI KURlKULUM FSP-UGM
1. Dengan sistem pendidikan yang parochial dan super-spesialistis, kiranya sukar bagi kita untuk mengerti proses perubahan yang terjadi dengan cepat dalam alam sekeliling sistem pendidikan itu dan perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan usaba intelektual manusia. Universitas, terutama sekali fakultas yang membina ilmu-ilmu sosial seperti FSP ini, harus marnpu mernberikan pada tamatannya dimensi yang luas dalam rangka penuaian tugas-utama-nya untuk melestarikan warisan intelektual masa lalu, menafsirkannya untuk masa kini, dan mengembangkannya untuk masa datang. Hal inilah yang hams menjadi unsur utama daripada setiap sistem pendidikan tinggi seperti universitas. dengan segala bagiannya. Menjadi tugas universitas untuk menanamkan tradisi yang bernilai itu dalam diri orang-orang muda yang segera akan mengambil peranan kepemimpinan dan mempersiapkan mereka dengan penguasaan ilmu pengetahuan tertentu. 2. Untuk menghindari terjadinya "intellectual obsolescence" di FSP, kita hams melakukan re-formasi kurikulum dengan mempergunakan "conceptual approach". Hal ini mengharuskan adanya kerjasarna antar disiplin yang tidak sekedar berujud conglomeraat daripada berbagai aktivitas yang tidak tersusun secara coherent dan sequential. Berbagai kesulitan memang mungkin timbul dalam memberikan landasan konsepsual yang dapat menjadi dasar kerjasarna "makro-disipliner". Kesulitan demikian ini timbul baik karena sebab yang bersifat institusional maupun karena sebab yang bersifat intelektual. . Kesulitan institusional berkaitan dengan preferensi daripada banyak fakultas, bagian atau jurusan untuk memusatkan perhatiannya pada sistem pendidikan atas dasar jalur disipliner. Salah satu akibatnya, mereka tetap mengarahkan para mabasiswa pada, misalnya, masalah-masalah penelitian dan pengajaran yang khusus sesuai dengan spesialisasi mereka. Mereka enggan atau bahkan tidak bersedia untuk mencoba tugas yang memang lebih sulit,
---------------
9
yaitu mencari bahasa konsepsual yang sarna untuk berbagai bidang. Kesulitan intelektual bersifat inherent pada usaha pencarian kesarnaan pada peralatan konsepsual yang tidak terbatas pada bidang tertentu. Kesulitan ini mengakibatkan adanya pengertian yang berbeda-beda bagi berbagai orang. Sebagian orang akan menafsirkannya sebagai suatu pendekatan yang bersifat holistis yang akan menyatukan berbagai spesialisme. Unruk sebagian orang yang lain hal itu berarti penggabungan daripada berbagai spesialisme untuk meng-analisa sesuatu masalah. Hal yang demikian ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua disiplin cukup ditata untuk "logical ordering" dan analisa seperti itu, sehingga struktur pengetahuan tertentu tidak dapat diterima oleh disiplin tertentu. Meskipun demikian, kesulitan seperti itu bukannya tidak mungkin diatasi. Para pengasuh dalam masing-masing bidang hendaknya bersedia membuka diri untuk kerjasama antar disipliner apabila kita tidak ingin mendapatkan "intellectual obsolescence" di FSP, yang kemudian akan dapat mengakibatkan irrelevensi daripadanya. Realisasi sikap seperti itu dapat dimulai dengan masing-masing disiplin mengemukakan pada disiplin yang lain garnbaran dari "mode of inquiry" dalam disiplinnya, mengidentifikasi-kan batas disiplinnya dan sumbangannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, menjelaskan bagaimana disiplin tersebut di-transforrnasi-kan ke dalam kurikulurn, dsb. 3. Dasar-dasar konsepsual daripada ilmu pengetahuan yang melampaui batas-batas disipliner dan rnata-rnata pengetahuan dengan problema-problema yang bersifat integratip atau "subject matters" yang bersifat umum daripada beberapa disiplin perlu mendapatkan tempat yang sentral dalam kurikulum FSP. Salah satu maksud fundamental pendidikan tinggi adalah penelaahan atas cara-cara "conceptualization", "principles of explanation", dan "nature of verification". Dipandang dari segi ilmu pengetahuan, tata dunia ini selalu terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan faktual dan lapisan intelektual yang diterapkan diatas lapisan faktual itu tadi. Makin tinggi jenjang pendidikan dalam sistem pendidikan tinggi titk tekan perhatian haruslah kurang pada yang pertama dan lebih besar pada lapisan yang kedua, kurang pada apa yang seseorang ketahui
I
,.
10 11
dan lebih pada dasar-dasar pengetahuan, yaitu pada bagairnana seseorang rnenjadi tahu atau mengerti akan sesuatu. 4. Menurut Daniel Beil, pola pengetahuan pada dasarnya bersifat "triadic" dalam ilmu-ilmu alam-kodrat (terrnasuk matematika) sifatnya sequential; dalam ilmu-ilmu sosial sifatnya atau ujudnya adalah linkages antara berbagai bidang; dalam ilmu-ilrnu humaniora sifatnya concentric.P Apabila kita dapat menerima pernolaan at au pensifatan yang demikian itu, konsekwensi paedagogis daripada pembagian seperti itu adalah bahwa dalam ilmu-ilrnu sosial apa yang disebut "cross-hatching" perlu dilakukan. Titik pusat perhatian hendaknya dapat diletakkan pada penyajian disiplin-disiplin yang mernberikan dasar contextual danlinkages dan bukannya semata-mata spesialisasi sernpit yang berujud suatu pengetahuan yang akumulatip dan bersifat fixed daripada sebagian kecil subject matter. Hal yang dernikian itu akan memberikan pengertian yang lebih baik atas kerangka konsepsual dan tehniktehnik analisa yang akan jadi pre-requisites bagi cara pendekatan antar disipliner. Hakekat konsepsi disiplin intelektual adalah dimilikinya kerangka konsepsual dan metode analisa yang logis pad a tingkat generalisasi atau bahkan abstraksi yang tinggi. Penguasaan at as suatu disiplin hanya dapat memberikan dimensi yang bermakna apabila penguasaan itu diletakkan dalam rangka konsepsual yang lebih luas. 5. Meskipun spesialisasi sempit seharusnya dihindarkan, hal ini tidak berarti ditiadakannya kedalaman (depth) dan keluasan (breadth) dalam penguasaan ilrnu pengetahuan. Dan keluasan disini tidak diartikan dimasukkannya semua jenis pengetahuan tentang manusia dalam aspek sosialnya didalam satu kapsul dengan cara pemberian segala macam pengetahuan yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah manusia tersebut. Yang harus jadi keluasan adalah kesadaran akan "methods of inquiry" untuk mendapatkan pengetahuan tentang manusia itu tadi. 6. Pendekatan dengan mempergunakan struktur ilmu pengetahuan berarti bahwa semata-mata pengetahuan pengantar harus dipilih sedernikian rupa sehingga secara logis mempunyai tempat dalam struktur tersebut, Dan mata-mata-pengetahuan seperti itu tidak bersifat terminal, tetapi merupakan dasar bagi penyelidikan dan S. D. Bell, op.cit., p. 174.
pengetahuan berikutnya. Mata-mata-pengetahuan lanjutan bukanlah mata-mata-pengetahuan yang sekedar lebih sulit daripada mata-mata-pengetahuan pengantar, tetapi harus merupakan mata rantai dalam rangka keseluruhan kerangka konsepsual yang merupakan prerequisites bagi analisa konsepsual yang lebih sophisticated dan "modes of inquiry" yang lebih abstrak. Dengan demikian keseluruhan kurikulum bukanlah apa yang disebut oleh seorang penulis sebagai "a cafetaria of random subject matters".6 7. Dalam kaitannya dengan penjenjangan program pendidikan tinggi yang baru, "conceptual approach" dalam re-formasi kurikulum FSP hendaknya dapat juga diadakan sebagai peletakan dasar bagi program-program Pasca Sarjana (SID dan Doktor SIII) yang akan (seharusnya!) menekankan program-programnya pada penelaahan serta penguasaan landasan-landasan atau dasar-dasar filsafati daripada ilrnu pengetahuan sebagai "Intellectual enterprise".
6. C.B.T. Lee (ed.), Improving College Teaching (Washington, D.C.: American Council on Education, 1976), p. 401. I
--~
I
12
IV.CATATAN AKHIR: PENJABARAN
1. Apabila penjenjangan program pendidikan sarjana dapat digambarkan terdiri dari empat tahap, maka dalam tiap tahap perlu diberikan hal-hal yang berikut: (i) Penguasaan latar belakang (background umum) dimana didalamnya termasuk Sejarah dan Tradisi, (ii) Pengantar ke disiplin tertentu. (iii) Penerapan disiplin ke subject matter. (iv) Usaha menghubungkan berbagai disiplin atas dasar adanya problema yang bersifat umum dan sarna untuk berbagai disiplin. 2. Kecuali itu, khusus untuk tingkat terakhir, perlu diberikan program synopsis dalam ujud penelaahan dan penguasaan pre-supposisi metodologis dan filsafati daripada sesuatu bidang, serta penerapan sesuatu disiplin pada problema-problema yang umum, termasuk problema-problema yang menyangkut masalah pilihan nilai dan moral, yang memerlukan pendekatan multi-disipliner; kesemuanya ini dalarn rangka menguji penerapan sesuatu disiplin dalam konteks-nya yang lebih luas. Program synopsis demikian tu dilaksanakan sebagai usaha untuk mencari dan menelaah persoalan-persoalan dlaam berbagai disiplin yang berhubungan satu sarna lain, meng-analisa masalahmasalah nilai dalam penerapan disiptin tertentu, dan untuk menciptakan suatu sophistifikasi filsafati tentang dasar-dasar bidang pengetahuan tertentu.
,.. ~
..
r "
~ .(
I
J.:
".,•. -
.,
'r'~,.,'J"" .. liP ....
_~_.~L._
J
...
-
