BAB 2 DASAR TEORI
2.1 Gunung Merapi Gunung api merupakan pembukaan ataupun retakan pada permukaan Bumi sehingga objek yang berada di bawah kulit Bumi seperti magma, debu vulkanik serta gas dapat keluar dari permukaan Bumi tersebut. Gunung api biasanya ditemukan pada daerah yang terjadi aktivitas tektonik seperti konversi dan diversi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa negara yang memiliki sesar seperti Indonesia memiliki banyak gunung api yang relatif berdekatan dengan sesar yang ada. [Sudrajat,2002] Gunung api aktif di Indonesia tersebar sepanjang sabuk pelebaran dari Sumatera hingga Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara. Sabuk ini diestimasi sekitar 7000 km. Sabuk gunung api di Indonesia merupakan segment minor dari rantai global gunung api pada daerah Pasifik. Sistem gunung api sepanjang Pasifik sering disebut “cincin api” Pasifik. Pada “cincin api” Pasfik tersebut terdapat sekitar 1000 gunung api aktif, 129 atau sekitar 13% dari gunung api tersebut terdapat pada kepulauan Indonesia. Sabuk gunung api Indonesia memanjang dari Sumatera hungga Sulawesi Utara melewati Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku menutupi area sepanjang 7000 kilometer dan lebar 60 kilometer. [Sudrajat,2002]
Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org] Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia yang terletak di wilayah administrasi provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung ini 6
termasuk gunung yang memiliki tingkat bahaya yang sangat tinggi karena gunung ini memiliki periode terjadinya erupsi yang tinggi yaitu 2 hingga 5 tahun dan pemukiman yang padat pada sekitar gunung tersebut. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Pada tahun 2006 gunung api tersebut erupsi sebanyak 2 kali yaitu pada 8 Juni. Tahun 2010 terjadi erupsi Gunung Merapi.Erupsi ini terjadi sebanyak 2 kali pada tanggal 26 Oktober dan 4 November. Untuk mempelajari erupsi yang terjadi ini dapat dilakukan dengan pengamatan deformasi Gunung Merapi sebelum dan sesudah erupsi. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar dengan jumlah penduduk yang 118.227 jiwa dan 388.627 jiwa merupakan kota terdekat dari kawasan gunung api dengan jarak di bawah 30 km dari puncaknya. Selain membahayakan pemukiman pada kedua kota tersebut lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Karena kedekatan kawasan Gunung Merapi dengan pemukiman penduduk ini gunung ini menjadi penting untuk dilakukan pengamatan deformasi yang terjadi. Informasi aktivitas Gunung Merapi yang diambil dari http://volcano.si.edu/index.cfm selengkapnya dapat diamati pada tabel 2.1. Pengamatan aktivitas gunung api dapat dilakukan melalui pengamatan deformasi yang terjadi pada gunung api tersebut. Berbagai metode dapat dilakukan untuk dapat melakukan pengamatan deformasi tersebut dengan kelebihan serta kekurangan masing-masing yaitu metode GPS, metode InSAR, metode fotogrametrik, metode terestris. Pengamatan deformasi yang dilakukan dapat pada saat sebelum, saat dan sesudah erupsi untuk dapat melihat aktivitas gunung api yang terjadi. Dengan diamatinya deformasi yang terjadi dapat dilakukan pengamatan aktivitas gunung api serta penanggulangan bencana gunung api yang akan terjadi selanjutnya.
2.2 Deformasi Gunung Api Deformasi merupakan perubahan bentuk, dimensi dan posisi dari suatu materi baik merupakan bagian dari alam ataupun buatan manusia dalam skala waktu dan ruang [Sarsito , 2006]. Pengamatan deformasi dapat diamati dengan menggunakan berbagai keilmuan dan metode yaitu seperti ilmu geologi, geofisika dan geodesi. Dalam ilmu geodesi pengamatan deformasi dilakukan dengan mengamati perubahan posisi dan bentuk dengan berbagai metode. Terdapat berbagai metode dalam keilmuan geodesi yang dapat digunakan untuk mengamati deformasi yaitu survey terestrial, pengindraan jauh, GPS dan lain sebagainya.
7
Gunung api merupakan salah satu objek alam yang memiliki deformasi yang penting untuk diamati karena dengan mengamati deformasi yang terjadi pada gunung api, maka aktivitas dari gunung api juga dapat diamati. Deformasi yang terjadi pada gunung api pada prinsipnya terjadi kenaikan (inflasi) ataupun penurunan (deflasi) pada gunung api tersebut. Deformasi inflasi pada umumnya disebabkan adanya tekanan oleh magma pada gunung api tersebut yang menekan ke arah keluar permukaan Bumi. Hal ini terjadi tidak begitu lama sebelum terjadi erupsi pada gunung api. Deflasi merupakan deformasi yang terjadi setelah erupsi terjadi di mana magma yang menekan ke arah luar permukaan Bumi telah keluar dari permukaan Bumi sehingga tidak terdapat lagi objek yang menekan pada gunung api sehingga terjadi kekosongan pada gunung api tersebut dan mengakibatkan turunnya tanah pada gunung api tersebut. Dalam mengamati deformasi gunung api dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu salah satunya metode pengindraan jauh. Metode pengindraan jauh dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit yaitu citra satelit InSAR yang saat ini sering digunakan. Dengan menggunakan metode pengindraan jauh dapat diperoleh beberapa keuntungan dari pengamatan deformasi yaitu pengamatan deformasi dapat dilakukan dengan aman pada saat aktivitas gunung api sedang tinggi karena tanpa berhubungan langsung dengan gunung api tersebut. Selain itu hasil yang didapatkan berupa pengamatan deformasi dalam luasan sehingga pengamatan deformasi lebih baik dilakukan. Namun terdapat beberapa kekurangan pada pengamatan deformasi dengan menggunakan metode ini yaitu buruknya ketelitian yang dihasilkan pada metode ini. Tabel 2.1 Tabel Informasi Aktivitas Merapi Tanggal
Informasi Aktivitas
14 Mei - 20 Mei Berdasarkan pengamatan melalui udara Darwin VACC (Darwin 2008
Volcanic Ash Advisory Center) melaporkan bahwa adanya abu keluaran Gunung Merapi hingga ketinggian 11,6 km pada 19 Mei
22 September – 28 CVGHM (Center of Volcanology and Geological Hazard Mitigation) September 2010
melaporkan adanya pola peningkatan seismifitas dari Merapi dimulai pada awal September. Pengamat pada Babadan dan Kaliurang melaporkan adanya longsoran pada 12 September. Pada 13 September terdapat awan debu yang naik hingga 800 meter di atas kawah. Terjadi inflasi yang dideteksi sejak Maret yang meningkat 0,1 hingga 0,3 mm 8
Tabel 2.2 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
22 September – 28 per hari menjadi sekitar 11 mm pada 16 September. Pada 19 September September 2010
terjadi sejumlah gempa Bumi yang berkelanjutan hingga hari berikutnya CVGHM menaikkan tingkat waspada pada Level 2 (dari skala 1-4).
20 Oktober – 26 CVGHM melaporkan dari akhir September hingga 20 Oktober inflasi Oktober 2010
rata-rata terjadi sekitar 0,6 cm per hari dan pada 21 Oktober naik hingga 10,5 cm per hari dan terjadinya kubah lava pijar meningkat. CVGHM menaikkan tingkat waspada menjadi Level 3 (dari skala 1-4). Nilai inflasi meningkat pada Oktober 24 menjadi sekitar 42 cm perhari. Pada hari berikutnya CVGHM meningkatkan tingkat waspada menjadi Level 4 dan merekomendasikan evakuasi secepatnya pada beberapa kawasan (laporan berita mengestimasi sekitar 11.000 hingga 19.000 orang) dengan radius 10 km. Adanya erupsi terjadi sekitar jam 5 pada 26 Oktober yang dikarakterisasikan oleh ledakan disertai aliran piroklastik. CVGHM melaporkan adanya aliran piroklastik yang terjadi hingga 1854 dan ketika aktivitas aliran piroklastik mulai berkurang. Kebanyakan aktivitas aliran piroklastik terjadi 2 hingga 9 menit kecuali pada 2 aktivitas yang berhenti 33 menit masing-masing. Bunyi ledakan terdengan dan materi pijar dari kawah dapat dilihat dari pos pengamatan Selo. Awan debu juga diamati meningkat hingga 1,5 km di atas kawah. Berdasarkan sejumlah artikel berita secara ofisial tercatat bahwa 15.000 jiwa belum sempat dievakuasi walaupun sejumlah erupsi kecil telah terjadi pada 26 Oktober. Laporan pada 27 Oktober tercatat sekitar 25 orang meninggal dan beberapa terluka.
27 Oktober – 2 Berdasarkan November 2010
Darwin
VAAC
laporan
berdasarkan
tanah
yang
diindikasikan erupsi Merapi terjadi pada 28 Oktober, awan menutupi observasi satelit. CVGHM melaporkan adanya 2 aliran piroklastik pada 30 Oktober. Berdasarkan artikel berita, debu jatuh pada Yogyakarta, 30 km Selatan- Tenggara, yang menebabkan rendahnya visibilitas. 9
Tabel 2.3 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
27 Oktober – 2 CVGHM mencatat terjadinya 4 aliran piroklastik esok harinya. November 2010
Pada 1 November terjadi erupsi yang dimulai pada pertengahan hari dengan gempa Bumi frekuensi rendah dan longsoran. Sekitar 7 aliran piroklastik terjadi pada beberapa jam selanjutnya, menuju SelatanTenggara pada jarak maksimum 4 km. Awan gas dan debu naik hingga 1,5 km di atas kawah dan bergeser ke arah timur dan utara. CVGHM merekomendasikan evakuasi dari beberapa kawaan hingga radius 10 km untuk terus tinggal di area aman. Darwin VAAC melaporkan adanya kemungkinan erupsi pada 1 November dengan keluaran awan debu yang naik hingga 6,1 km berdasarkan laporan tanah, analisis citra satelit dan gambar kamera web. Pada 2 November awan debu terlihat pada citra satelit bergeser 75 km ke utara pada ketinggian 6,1 km. Berita mencatat diversi dan pembatalan penerbangan ke dalam dan keluar kota Solo (40 km Timur) dan bandara Yogyakarta. Tingkat waspada tetap pada 4. CVGHM melaporkan 26 aliran piroklastik pada 2 November. Laporan tengah hari pada 3 November mencatat 38 aliran piroklastik terjadi selama 12 jam pertama pada hari tersebut. Seorang pengamat pada pos Kaliurang melihat 19 dari 38 aliran menuju 4 km Selatan. Awan dari aliran piroklastik naik hingga 1.2 km walaupun ketebalan kabut membuat pengamatan visual menjadi sulit. Jatuhan debu terjad beberapa daerah yang dekat.
3 November – 9 CVGHM melaporkan bahwa selama 3-8 November erupsi Merapi November 2010
meningkat hingga level tinggi, dikarakterisasikan oleh longsoran pijar dari kubah lava, aliran piroklastik, awan debu dan ledakan terjadi. Pengamatan visual sulit dilakukan karena cuaca yang buruk dan awan gas dan debu dari erupsi. Pengamatan visual sulit dilakukan karena cuaca yang buruk dan awan debu dan gas dari erupsi. Pada 7 November sebuah artikel berita menyatakan bahwa sejak erupsi pada 26 Oktober sekitar 156 orang tewas dan lebih dari 200.000 orang dipindahkan.
10
Tabel 2.4 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
3 November – 9 Pada 3 November pengamat pada beberapa pos melaporkan awan debu November 2010
dari aliran piroklastik. Satu aliran piroklastik berpindah 10 km, mendesak CVGHM untuk meningkatkan zona bahaya hingga radius 15 km dan merekomendasikan evakuasi dari beberapa pemukiman. Aliran piroklastik lainnya berpindah 9 km ke arah Tenggara setelah hari itu. Darwin VAAC melaporkan bahwa awan debu naik hingga ketinggian 18,3 km dan bergeser 110 km ke arah Barat. Pengamat mencatat erupsi signifikan tetapi tidak mengkonfirmasi ketinggian awan. Pada 4 November awan debu dan gas naik hingga ketinggian 11 km dan aliran piroklastik meluas pada arah Barat Laut, Utara Barat Laut dan Utara sejauh 3 km. Berdasarkan analisis dari citra satelit, Darwin VAAC melaporkan bahwa awan debu naik hingga ketinggian 10,7 – 11,9 km dan bergeser ke arah Barat. Pada 5 November suara gemuruh terdengan hingga area 30 km. Aliran piroklastik turun dan debu berjauhan di Yogyakarta, 30 km Selatan Tenggara dan pasir berukurah tephra jatuh dalam area 15 km. CVGHM
merekomendasikan evakuasi dari
beberapa kota dalam radius 20 km. Aktivitas tetap sangat tinggi pada 6 November. Aliran piroklastik turun dan berpindah 4 km Barat. Longsoran pijar berpindah 2 km ke bawah menjadi bebeapa saluran menuju Selatan Tenggara, Selaan dan Selatan barat Daya. Awan debu naik hingga ketinggian 7 km. Kilasan cahaya dari kubah lava dilaporkan dari pos observasi dan material pijar dikeluarkan
dari
atas
kawah.
Aliran
piroklastik
selanjutnya
mengirimkan awan debu hingga ketinggian 6 km dan bergeser ke arah Barat Utara dan Timur. Sepanjang hari debu berjatuhan pada sisi Merapi dan diamati pada area sekitar termasuk Selo (6 km Utara Barat Laut) dan Magelang (26 km Barat Barat Laut). Pada Muntilan (18 km Barat Barat Daya) tephra dan debu berukuran hingga 4 cm. Pada 5 dan 6 November, Darwin VAAC melaporkan bahwa awan debu yang diamati pada citra satelit meningkat hingga ketinggian 16,8 km. Artikel berita menyatakan tiga bandara membatalkan penerbangan menuju 11
Tabel 2.5 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
3 November – 9 Jakarta karena bahaya penerbangan karena debu. November 2010
Pada & November sejumlah sinyal seismik mengindikasikan airan piroklastik dari hari sebelumnya. Sebuah letusan terdengan dan awan debu nik 6 km dan bergeser ke arah barat. Kilasan cahaya terlihat dari Yogyakarta dan debu berjatuhan dalam 10 km. Aliran piroklastik berpindah 5 km dan pijaran lava bergerak 600 m Selatan dan Barat Daya. Awan ketinggian tinggi bergeser ke arah barat Daya. Berdasarkan Darwin VAAC selama 7 – 8 November citra satelit menampakkan awan debu bergeser 165-220 km barat dan Barat Daya pada ketinggian 7,6 km. Pada 8 November awan SO2 terlihat melewati Samudera Hindia pada ketinggian 12,2 – 15,2 km. Bandara pada Yogyakarta ditutup dan CVGHM
melaporkan longsoran pijar
terkadang dapat dilihat pada sistem televisi sirkuit tertutup. Awan debu naik hingga ketinggian 4,5 km dan bergeser Timur Laut. Pada 9 November CVGHM
menyatakan pengurangan intensitas
aktivitas Merapi, satu aliran piroklastik terjadi selama 6 jam. Suara gemuruh disertai awan debu naik pada ketinggian 4,5 km dan pijaran kubah lava. Jatuhan debu dilaporkan pada Selo dan pijaran lava berpindah 800 m Selatan Tenggara. 10 November – 16 CVGHM melaporkan selama 10 – 11 November seismisitas Merapi dan November 2010
jumlah longsoran dan aliran piroklastik berkurang dibandingkan dua hari sebelumnya. Penggumpalan lahar terlihat pada beberapa saluran sekitar merapi pada jarak maskimum 16,5 km dari puncak. Pada 10 November, awan naik 800 m di atas kawah tetapi sekitar jam 10 malam awan coklat naik dengan ketinggian 1,5 km. Jatuhan debu berat dilaporkan pada area menuju Barat Barat Daya dan Barat Barat Laut. Sebuah 3,5 km aliran piroklastik dan longsoran 200 m menuju Selatan pada saluran Gendol. Pijaran dari kawah diamati melalui CCTV yang diinstal pada museum merapi. Pada 11 November suara keras diiuti jatuhan debu pijar pada pos pengamatan Ketep. Awan, hitamcoklat, naik 800 m di atas kawah dan bergeer ke Barat dan Barat Laut. 12
Tabel 2.6 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
10 November – 16 Longsoran berpindah ke Selatan pada saluran Gendol. Satu aliran November 2010
piroklastik diamati lewat CCTV menuju 3 km Selatan. Sebuah awan coklat naik 1,5 km di atas kawah. Tingkat waspada tetap pada 4 (pada skala 1-4) Berdasarkan analisis citra satelit, Darwin VAAC melaporkan bahwa selama 12-14 November awan debu bergeser 185-280 km Barat Daya pada ketinggian 7,6 km. Awan sulfur ketinggian tinggi dideteksi melewati Samudera Hindia yang kemungkinan mengandung debu. Pada 14 November dan 15-16 November, awan debu naik hingga ketinggian 6,1-7,6 km dan bergeser 110-130 km Selatan, Barat Daya dan Barat. Konsentrasi sulfur oksida pada awan level tinggi berkurang dan awan tidak mengandung debu. Selama 14-15 November, artikel berita menyatakan bahwa jumlah kematian akibat erupsi melebihi 250 dan bandara Yogyakarta tetap ditutup. Sekitar 390.000 penghuni juga mulai kembali ke tempat tinggalnya setelah “zona bahaya” dikurang pada sejumlah area karena berkurangnya aktivitas beberapa hari sebelumnya.
17 November – 23 CVGHM melaporkan bahwa pada 15 November tidak terdapat aliran November 2010
piroklastik turun pada sisi Merapi dan beberapa longsoran dideteksi dibandingkan hari sebelumnya. Selama 16-18 November, jumlah sinyal seismik dan jumlah longsoran berlanjut berkurang. Walaupun kabut sering mengganggu pengamatan awan gas dan debu diamati naik 0,5 km di atas kawah dan bergeser ke Tenggara. Awan Uap nail 250 m di atas kawah dan bergeser ke Barat. Pada 18 November sebuah aliran piroklastik terjadi dengan intensitas rendah. Penggumpalan lahar terlihat pada beberapa saluran. CVGHM mencatat area yang tetap berada 10-20 km zona bahaya. Pada 21 November satu aliran piroklastik dideteksi dan 5 dicatat pada hari berikutnya. Selama 21-23 November longsoran mengalir berlanjut terjadi dan lahar menuju selatan pada 23 November dengan membawa material 100 cm dalam diameter. Jumlah kematian dari erupsi mencapai 322 dan lebih dari 13
Tabel 2.7 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal
Informasi Aktivitas
17 November – 23 130.000 jiwa tinggal di tempat tinggal sementara. November 2010
Berdasarkan analisis citra satelit, Darwin VAAC dilaporkan bahwa selama 16-21 November awan debu naik hingga ketinggian 4,6-6,1 km dan bergeser 55-165 km ke Barat dan Barat Laut.
24
November-30 CVGHM melaporkan bahwa longsoran pada sisi Merapi dideteksi oleh
November 2010
jaringan
seismik
selama
25-30
November.
Walaupun
kabut
mengganggu pengamatan, awan putih dan coklat naik 100 m di atas kawah bergeser Barat Daya pada 25 November dan awan coklat naik 300 m di atas kawah pada 27 November. Selama 27-30 November, awan putih naik 100-800 m di atas kawah dan bergeser ke Barat, Barat Daya, Utara dan Timur. Pijaran dari kawah di amati melalui kamera diinstal pada museum Merapi. Berdasarkan artikel berita, lahar pada Sungai Code mengalir menuju Yogyakarta 30 km Selatan Tenggara, membanjiri jalan dan merusak jembatan dan menyebabkan 1000 orang evakuasi. Tingkat waspada tetap pada 4 dengan skala 1-4. 1
Desember-7 CVGHM melaporkan bahwa aktivitas pada Merapi berubah selama 1-3
Desember 2010
Desember. Data seismik menunjukkan penurunan jumlah gempa Bumi serta
amplitudonya.
Pengukuran
deformasi
tidak
menunjukkan
perubahan signifikan. Walaupun awan sering mengganggu pengamatan visual atai pengelihatan melalui kamera web, awan gas terlihat naik 500 m di atas kawah dan bergeser ke Barat. Awan sulfur dioksida tidak terdeteksi pada citra satelit. CVGHM mencatat gumpalan lahar terlihat pada sejumlah saluran dan sejumlah jembatan telah rusak akibat lahar. Pada 4 Desember tingkat waspada turun menjadi 3 dengan skala 1-4. 5
Januari-11 Berdasarkan artikel berita, lahar pada sisi Merapi terjadi pada 3 dan 9
Januari 2011
Januari menyebabkan kerusakan rumah, ladang dan infrastruktur pada sejumlah desa di daerah Magelang, 26 km Barat Barat Laut dari Merapi. Satu kematian dan satu korban luka dilaporkan. Pada 9 januari Palang Merah mengevakuasi orang yang terperangkap pada rumah mereka di desa Sirihan. Sekitar 3000 jiwa diestimasi tinggal pada daerah yang terkena, namun jumlah orang yang dievakuasi tidak 14
Tabel 2.8 Tabel Informasi Aktivitas Merapi (lanjutan) Tanggal 5
Informasi Aktivitas
Januari-11 diketahui.
Januari 2011 19
Januari-25 CVGHM melaporkan bahwa tingkat waspada Merapi dikurangi hingga
Januari 2011
2 dari 9 Januari. Selama 10-16 Januari seismisitas telah berkurang dibandingkan minggu sebelumnya. Awan gas naik dari kawah, pada 11 januari awan gas naik pada ketinggian maksimum 80 m di atas kawah. Pada 2 januari longsoran turun pada saluran Krasak, menuju 1,5 km Barat Daya. Lahar dan air panas selama 15-23 januari merusak infrastruktur dan menyebabkan jalan ditutup sementara. Pada 22 Januari awan naik 175 m di atas kawah dan bergeser ke Timur.
2.3 Satelit ALOS PALSAR Satelit ALOS PALSAR merupakan satelit yang diluncurkan pada tahun 2006 dan dikontrol oleh Jepang dengan misi pematauan sumber daya alam. Dengan nama lengkap Advanced Land Observation Satellite – The Phased Array L-Band Synthetic Aperture RADAR ini menggunakan band L dalam melakukan pencitraan. Hal ini dilakukan karena band L dapat memiliki penetrasi terhadap awan, vegetasi, tanah dan juga lapisan es. Satelit ALOSPALSAR akan melakukan pencitraan pada daerah yang sama dengan selang waktu 46 hari. Dalam melakukan pencitraan ALOS-PALSAR terbagi menjadi 3 mode yaitu sebagai berikut [http://en.alos-pasco.com/alos/palsar/]. 1. HIgh resolution mode (Fine Beam Single dan Fine Beam Dual) 2. Wide observation mode 3. Polametric observation mode Data yang dihasilkan oleh ALOS-PALSAR akan diubah sesuai dengan format CEOS (Comitte on Earth Observation Satellites) sebelum dipergunakan oleh pengguna. Data High Resolution Mode terbagi menjadi tiga format menurut tingkat pemrosesan data yang dilakukan oleh CEOS yaitu sebagai berikut [Indra , 2010].
15
1. Level 1.0 yaitu merupakan data ALOS-PALSAR yang masih berupa data RAW. Pengolahan yang telah dilakukan oleh CEOS pada data level ini adalah membagi-bagi data menjadi citra-citra tertentu. 2. Level 1.1 yaitu merupakan data yang dikeluarkan oleh CEOS yang berupa SLC (Single Look Complex) dan MLI (Multi Looks Image). Pada data level 1.1 sistem koordinat yang digunakan adalah slant range. Pembuatan interferogram dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan data level ini. Pengolahan yang telah dilakukan oleh CEOS pada data level ini adalah range compresion, autofocus dan azimuth compression. 3. Level 1.5 yaitu merupakan data yang dikeluarkan CEOS di mana data InSAR tersebut telah dikonversi dari sistem koordinat slant range menjadi ground range sehinga data ini telah orthorectified image artinya citra ini tidak lagi diproyeksikan secara perpektif melainkan telah diproyeksikan secara tegak lurus.
2.4 RADAR Pengindraan jauh (remote sensing) merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk mendapatkan informasi suatu objek tanpa melakukan kontak langsung terhadap objek tersebut. Salah satu penerapan dari teknologi ini adalah teknologi RADAR (Radio Detecton and Ranging) di mana pada teknologi ini dilakukan dengan pemancaran gelombang elektromagetik terhadap suatu objek dan gelombang tersebut akan dipantulkan oleh objek tersebut dan akan diterima kembali oleh sensor RADAR. Hal ini diilustrasikan oleh Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Prinsip Kerja RADAR[http://earth.esa.int] 16
Pada gambar 2.2 tersebut dapat dilihat pantulan dari objek A akan lebih duluan kembali dibandngkan pantulan objek B karena objek B memiliki jarak yang lebih jauh dibandingkan objek A dari sensor. Perbedaan waktu kembalian ini kemudian dapat digunakan untuk melakukan penghitungan jarak dikarenakan kecepatan gelombang yang digunakan pada RADAR selalu konstant. Pada teknologi radar ini gelombang elektromagnetik yang digunakan adalah gelombang mikro. Gelombang ini merambat dengan kecepatan cahaya. Prinsip dari teknologi radar ini adalah pengukuran jarak dengan menggunakan selang waktu antara pemancaran gelombang ke objek yang ingin diamati hingga dipantulkan kembali pada sensor RADAR. Secara sederhana fungsi berikut menggambarkan jarak yang diukur didapatkan dari kecepatan dari gelombang radar serta selang waktu pemancaran dan penerimaan gelombang. (2.1) di mana s : jarak antara perangkat RADAR dan objek diamati c : kecepatan rambat gelombang RADAR (gelombang mikro) t : selang waktu pemancaran dan penerimaan gelombang
Gambar 2.3 Pengaruh Panjang Gelombang Terhadap Penetrasi [Lusch, 1999] 17
Pemilihan gelombang mikro pada teknologi tersebut didasarkan oleh kemampuan dari gelombang mikro tersebut merambat. Gelombang mikro memiliki kemampuan merambat yang sangat baik di atmosfer karena dapat melakukan penetrasi awan. Semakin panjang gelombang yang dipancarkan maka gelombang tersebut akan memiliki kemampuan penetrasi awan dan uap air yang semakin baik. Gambar 2.2 berikut menggambarkan hubungan panjang gelombang serta kemampuan gelombang dalam melakukan penetrasi awan dan uap air. Berdasarkan Gambar 2.2 tersebut gelombang mikro dengan panjang gelombangdari 1 mm hingga 1 m relatif memiliki kemampuan baik dalam merambat pada atmosfer. Gangguan kecil yang terjadi dikarenakan adanya gangguan terhadap awan dan tetesan hujan. Gelombang mikro terbagi atas beberapa band menurut frekuensi dan panjang gelombangnya. Table 2.2 berikut menunjukkan frekuensi dan panjang gelombang dari masing-masing band.
Tabel 2.9 Panjang Gelombang dan Frekuensi Masing-Masing Band [Lusch, 1999] Panjang gelombang (cm) Band Gelombang (*paling sering digunakan) Ka
0,75 – 1,10
K
1,10 – 1,67
Ku
1,67 – 2,40
X*
2,40 – 3,75
C*
3,75 – 7,50
S
7,50 – 15,0
L*
15,0 – 30,0
P
30,0 – 130,0
RADAR tidak dipengaruhi oleh waktu.RADAR dapat digunakan pada waktu siang hari maupun malam hari. Hal ini dikarenakan RADAR menggunakan sensor aktif di mana sensor tersebut memancarkan sendiri gelombang dan menerimanya kembali untuk mendapatkan informasi tanpa memerlukan matahari.
18
2.4.1 Geometri Pencitraan RADAR RADAR mempunyai geometri pencitraan side looking seperti terlihat pada gambar 2.3, dimana perlu diperhatikan beberapa hal pada saat pencitraan RADAR [Lusch, 1999] yang meliputi : 1. Incidence angle (θ) Incidence angle merupakan sudut yang dibentuk oleh pancaran RADAR terhadap garis tegak lurus dari permukaan. 2. Depression Angle (γ) merupakan sudut yang dibentuk oleh horizon wahana tehadap arah pancaran dari RADAR. 3. Look Angle Look Angle merupakan sudut yang dibentuk oleh nadir satelit terhadap arah pancaran gelombang RADAR. 4. Slant Range Slant Range merupakan jarak miring dari wahana terhadap objek di permukaan Bumi.Slant Range ini terbagi menjadi near range dan far range. 5. Ground Range Groundrange merupakan jarak lurus dari wahana terhadap objek di permukaan Bumi.
Gambar 2.4 Geometri Pencitraan RADAR [Lusch, 1999] 2.4.2 Resolusi RADAR Resolusi RADAR adalah kemampuan RADAR untuk memvisualisasikan objek yang dicitrakan dan membedakan dua objek yang berdekatan. Resolusi yang dihasilkan oleh
19
RADAR terbagi menjadi dua yaitu azimuth resolution (resolusi searah jalur terbang) dan range resolution (resolusi tegak lurus terhadap jalur terbang). 2.4.2.1 Azimuth Resolution
Azimuth resolution (Ra) merupakan kemampuan RADAR untuk membedakan dua objek yang berdekatan pada arah yang searah jalur terbang. Semakin tinggi azimuth resolution dari RADAR maka akan semakin baik kemampuan dari RADAR untuk mengindetifikasi dua objek yang berdekatan sebagai dua objek yang berbeda. Resolusi azimut memenuhi persamaan sebagai berikut.
dimana,
Ra = Gr.β
(2.2)
Gr = Sr.sin θ atau Sr.cos γ
(2.3)
β=
(2.4)
Ra = Azimuth Resolution Gr = Ground Range β = BeamWidth θ = Incidence Angle γ = depression Angle λ = Panjang gelombang L = Panjang antena RADAR
Semakin besar nilai L maka nilai dari β akan semakin kecil sehingga nilai dari Ra akan semakin kecil (Azimuth resolution akan semakin tinggi). 2.4.2.2 Range Resolution
Range resolution (Rr) merupakan kemampuan RADAR untuk membedakan dua objek yang
berdekatan pada arah yang tegak lurus arah terbang. Semakin tinggi range resolution dari RADAR maka akan semakin baik kemampuan dari RADAR untuk mengindetifikasi dua objek yang berdekatan sebagai dua objek yang berbeda. Dua objek yang berdekatan akan dianggap sebagai dua objek yang berbeda jika melebihi dari setengah panjang pulsa yang dipancarkan. 20
Rr =
dimana,
(2.5)
Rr = Range Resolution τ = panjang pulsa c = kecepatan rambat γ = depression angle
Dari persamaan 2.5 terlihat bahwa panjang pulsa sangat mempengaruhi range resolution yang dihasilkan oleh RADAR. Semakin panjang pulsa dari gelombang yang dipancarkan oleh RADAR maka range resolution dari RADAR akan menurun. Sebaliknya jika panjang pulsa yang dipancarkan oleh RADAR semakin pendek maka range resolution dari RADAR akan semakin baik. Hal ini dapat diamati pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 RADAR Range dan Azimuth Resolution [Lusch, 1999] Objek A dan B akan dideteksi sebagai sebuah objek karena jarak miring (slant range) dari A dan B lebih kecil dari setengah panjang pulsa RADAR sedangkan objek C dan D akan dideteksi sebagi dua objek yang berbeda karena memliki slant range lebih dari setengah 21
panjang pulsa.Gambar 2.6 memperlihatkan ilustrasi sinyal pantul yang diterima oleh RADAR.
Gambar 2.6 Sinyal Pantul Yang Diterima Oleh RADAR [Warren, 2007]
Gambar 2.7 Polarisasi [Lusch, 1999]
2.4.3 Polarisasi Perambatan gelombang mikro yang dipancarkan oleh RADAR akan memiliki pola perambatan tertentu. Pola perambatan pada atmosfer ini disebut sebagai polarisasi.Polarisasi gelombang mikro ini dapat berupa perambatan horizontal ataupun vertikal. Gelombang yang dipancarkan oleh sistem RADAR ini akan dipantulkan kembali dan polarisasi hasil pantulan dapat berbeda dengan polarisasi gelombang pancaran. Gelombang yang dipantulkan memiliki 22
polarisasi yang
sama dengan gelombang yang dipancarkan memiliki polarisasi sejajar
sedangkan apabila gelombang yang dipantulkan memiliki polarisasi yang tegak lurus terhadap gelombang yang dipancarkan, gelombang tersebut memiliki polarisasi silang. Gambar 2.7 menggambarkan polarisasi gelombang. 2.4.4 Distorsi RADAR Pencitraan dengan menggunakan RADAR akan mengalami beberapa distorsi, diantaranya : 1. Foreshortening (Pemendekan) Foreshortenng terjadi dikarenakan permukaan bumi yang akan dicitrakan mengalami pemendekan pada citra sehingga proyeksi dari citra lebih pendek dari keadaan sebenarnya. Distorsi ini dipengaruhi oleh sudut incidence yang digunakan di mana semakin besar sudut incidence yang digunakan maka efek dari foreshortening akan semakin kecil. Untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka diperlukan sudut incidence sekitar 90o . Efek foreshortening dapat diamati pada gambar 2.8 (c dan d).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.8 Distorsi RADAR [Tomiyama, 2010] 2. Shadow (Bayangan) Shadow merupakan distorsi yang terjadi dikarenakan terhalangnya gelombang untuk dapat mencitrakan suatu objek sehingga objek tersebut tidak dapat dicitrakan. Hal ini mengakibatkan objek tersebut dicitrakan menjadi bagian tampak gelap pada citra. Gambar 2.8 (b) menggambarkan efek ini. 3. Layover (Tumpang Tindih) Layover merupakan distorsi yang terjadi di mana objek yang lebih jauh dicitrakan lebih dekat terhadap sensor. Distorsi ini terjadi pada objek yang lebih tinggi dari objek yang 23
memiliki range lebih jauh dari sensor. Hal ini mengakibatkan gelombang akan lebih dahulu dipantulkan oleh objek yang lebih tinggi tersebut sehingga gelombang tersebut akan lebih dahulu diterima oleh sensor. Gambar 2.8 (a) menggambarkan efek ini.
2.5 SAR (Synthetic Aperture RADAR) Untuk meningkatkan range resolution dari citra yang dihasilkan dapat dilakukan dengan memperpendek panjang gelombang yang digunakan untuk pencitraan. Sedangkan untuk meningkatkan azimuth resolution dapat dilakukan dengan memperpanjang antena yang digunakan untuk pencitraan. Namun memperpanjang antena yang digunakan untuk pencitraan memiliki kendala yaitu biaya pembuatan akan meningkat serta berat dari antena yang digunakan juga bertambah. Untuk mengatasi kendala ini maka dapat dilakukan pemanjangan antena secara “sintetik” atau palsu. Hal ini dinamakan dengan SAR (Synthetic Aperture Radar). Pada sistem SAR untukmelakukan pemanjangan antena secara “sintetik” dilakukan dengan menggunakan prinsip Doppler. Pada prinsip Doppler, frekuensi bunyi yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi akan semakin besar apabila sumber bunyi dan atau pendengar bergerak mendekati satu sama lain. Begitu pula sebaliknya frekuensi bunyi tersebut akan berkurang apabila sumber bunyi dan atau pendengar menjauhi satu sama lain. Berikut adalah perumusan dari prinsip Doppler. (2.6) di mana : : frekuensi Doppler : kecepatan relatif : panjang gelombang : frekuensi transmisi : kecepatan rambat Dengan memanfaatkan prinsip Doppler, sistem SAR melakukan pencitraan dengan menggunakan moving antena. Frekuensi yang diterima kembali oleh antena dari suatu objek akan berbeda-beda karena antena terus bergerak. Frekuensi tertinggi akan terjadi apabila 24
objek tersebut berada pada jarak terdekat dengan satelit. Gambar 2.8 berikut akan mengambarkan pencitraan dengan menggunakan prinsip Doppler.
Gambar 2.9 Synthetic Antenna [http://www.csr.utexas.edu/projects/rs/whatissar/sar.html] Dari Gambar 2.9 di atas dapat dilihat bahwa dengan bergeraknya antena seolah-olah antena tersebut memiliki ukuran yang sangat panjang.
2.6 InSAR (Interferometry Synthetic Aperture RADAR) Pada sinyal yang dipancarkan dan diterima oleh RADAR terdapat berbagai informasi seperti fase, amplitudo dan selang waktu pemancaran dan penerimaan sinyal seta polarisasi [Warren, 2007]. Fase yang diterima kembali oleh RADAR akan menunjukan jarak yang telah ditempuh sinyal antara objek dan sistem RADAR. Secara umum setiap piksel pada citra SAR terdiri dari fasa dan juga amplitudo, sehingga setiap piksel SAR mempunyai nilai kompleks, disebut fasor. Interferometry SAR merupakan sebuah teknik yang mempelajari perbedaan fasa dari dua citra (pada area yang sama) SAR yang diambil dari posisi yang berbeda [Sacristán, 2004]. Perbedaaan fasa dari kedua citra SAR tersebut akan menghasilkan interferogram (fasa interferometri) yang mengandung informasi dari kedua citra. Gambar 2.10 di bawah ini menunjukkan proses akuisisi fasa pada InSAR sedangkan gambar 2.11 memperlihatkan geometri pencitraan pada InSAR.
25
Gambar 2.10Phase Acquisition [Esfahany, 2008]
Gambar 2.11 Interferometry Synthetic Aperture RADAR [Warren, 2007]
dimana,
R1
= slant range 1
R2
= slant range 2
S1
= sensor SAR 1
S2
= Sensor SAR 2
B⊥
=baseline perpendicular
B
= sensor SAR 1 dan sensor SAR 2
Setiap pixel dari masing-masing citra SAR akan menghasilkan fasa sebesar[Sacristán, 2004]: φ1=
(2.7)
26
ϕ2 =
(2.8)
jika tidak terjadi perubahan pada kondisi terrain maka, ≈
(2.9)
sehingga didapatkan fasa interferometri
2.6.1 Multipass InSAR
ϕ=
(2.10)
Untuk melakukan pencitraan terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan berdasarkan pengiriman dan penerimaan sinyal yaitu : 1. Along Track Interferometry 2. Across Track Interferometry 3. Multipass Interferometry Metode 1 dan 2 dilakukan dengan menggunakan 2 antena secara bersamaan. Perbedaannya adalah pada metode along track kedua antena sejajar dengan arah pergerakan wahana sedangkan metode across track kedua satelit tegak lurus terhadap arah pergerakan wahana. Kedua antena tersebut terpisah pada suatu jarak tertentu. Kedua metode ini digunakan pada pencitraan menggunakan pesawat udara. Pada pencitraan dengan menggunakan pesawat udara
pergerakan
pesawat
harus
diperhatikan
karena
pergerakan
pesawat
dapat
mempengaruhi kualitas citra yang diperoleh. Pada metode multipass interferometry pencitraan dilakukan dengan menggunakan satu antena terhadap suatu area namun area tersebut dicitrakan berulang kali. Untuk melakukan pencitraan dengan metode ini diperlukan pergerakan wahana yang stabil sehingga metode pencitraan ini dipakai pada satelit. Secara geometri bentuk pencitraan pada metode ini mirip dengan metode across track namun pada metode across track pencitraan dengan kedua sensor dilakukan pada selang waktu hampir sedangkan pada pencitraan multipass interferometry dilakukan pada selang waktu orbit. Gambar 2.12 memperlihatkan metode multipass interferometry.
27
Gambar 2.12 Multipass Interferometry [Indra , 2010] dimana, S1 =posisi sensor pada waktu 1 S2 = posisi sensor pada waktu 2 θ = incidence angle R1 = slant range waktu 1
B= baseline mendatar Bp= baseline perpendicular H = tinggi satelit R2=slant range waktu 2
Z= tinggi objek Selang waktu orbit ini menghasilkan perbedaan fase yang besar antara lintasan satu dan lintasan dua. Perbedaan fase ini dua kali lebih besar dibandingkan perbedaan fase yang dihasilkan oleh metode across track. Perbedaan fase yang besar ini sangat bermanfaat untuk membantu mendeteksi perubahan ketinggian pada area yang dicitrakan. Contoh satelit yang digunakan adalah pasangan ERS1, ERS 2 dan ALOS-PALSAR. 2.6.2 Koherensi Pada InSAR konsep dasar yang digunakan adalah membandingkan citra suatu daerah yang sama namun pada proses pencitraan yang berbeda. Pada kedua proses pencitraan ini kedua citra hasil akan dibedakan menjadi citra master dan citra slave. Citra slave kemudian akan direlatifkan terhadap citra master. Korelasi antara citra pertama dan citra kedua dinyatakan dalam nilai koherensi. Dari nilai koherensi tersebut, besar korelasi antara kedua citra akan dapat diketahui perbedaan kedua citra tersebut yang diakibatkan oleh perubahan karakteristik permukaan, perubahan iklim dan tingkat kepadatan atmosfer. Nilai koherensi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut [Born et al, 1959; Foster dan Guinzy, 1967; Papoulis, 1991].
28
(2.11) dimana, E=harga ekspektasi *= Kompleks Konjugasi y1= Sinyal RADAR 1 y2=Sinyal RADAR 2 Nilai koherensi berada pada selang 0 hingga 1. Apabila nilai koherensi bernilai 1 maka kedua citra berkorelasi secara sempurna yang mengindikasikan tidak adanya perubahan karakteristik pada kedua citra. Begitu juga sebaliknya apabila nilai koherensi bernilai 0 maka kedua citra tidak memiliki korelasi sama sekali. Namun pada kenyataannya koherensi bernilai 1 sulit didapatkan sehingga untuk mendapatkan citra yang identik sangat sulit juga untuk dilakukan. Begitu juga untuk koherensi bernilai 0 sangat sulit untuk didapatkan. Penyebab perbedaan korelasi antara kedua citra tersebut disebabkan oleh berbagai hal. 2.6.3 Keterbatasan Pada InSAR Dalam pencitraan dengan menggunakan InSAR terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari citra yang dihasilkan. Kesalahan yang terjadi ini dipengaruhi oleh kemampuan memisahkan dan menganalisis fase yang dihasilkan. Fase yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh topografi permukaan Bumi, deformasi, pengaruh atmosfer dan perubahan pada objek yang disebut sebagai dekorelasi. Menurut Zebker dan Villasenor (1992) ada beberapa dekorelasi yang mempengaruhi koherensi dari data InSAR, (2.12) merupakan dekorelasi geometri di mana decorelasi ini terjadi karena perbedaan incidence angle pada dua akusisi citra,
merupakan dekorelasi Doppler ceontroid yang
terjadi akibat perbedaan Doppler centroid dari kedua akuisisi,
merupakan dekorelasi
volume yang terjadi arena penetrasi gelombang RADAR dalam medium pemendaran, merupakan dekorelasi termal atau gangguan sistem (system noise) yang disebabkan oleh karakteristik dari sistem termasuk faktor penambahan dan karakteristik antena, dekorelasi waktu yang terjadi karena perubahan fisik pada permukaan Bumi oleh waktu yang mempengaruhi karaktersitik dari pemantuan oleh permukaan Bumi dan dekorelasi 29
pemrosessan yang diakibatkan dari pemilihan algoritma yang digunakan untuk memproses citra pada proses ko-registrasi (coregistration) dan interpolasi (interpolation). 2.6.3.1 Dekorelasi Geometrik Dekorelasi ini merupakan hasil dari perbedaan sudut pencitraan (incidence angle) antara kedua sensor yang digunakan untuk pencitraan pada permukaan Bumi (Gattelli et al., 1994). Dekorelasi ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perbedaan spektral antara kedua akuisisi SAR. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti deformasi, pengaruh atmosfer dan topografi. Dekorelasi geometrik dapat digambarkan persamaan sebagai berikut
(2.13)
di mana
merupakan baseline kritikal yang disebabkan oleh pergeseran spektral sama
dengan bandwidth
di mana hubungan keduanya dengan panjang gelombang
pencitraan (incidence angle)
dan kemiringan topografi
, sudut
digambarkan persamaan
sebagai berikut. (2.14) 2.6.3.2 Dekorelasi Doppler Centroid Dekorelasi gemometrik terjadi karena perbedaan frekuensi Doppler centroid pada azimut yang sama pada kedua citra yaitu dekorelasi Doppler centroid centroid
. Persamaan berikut menggambarkan bahwa
berbanding lurus dengan perbedaan frekuensi Doppler
.
(2.15)
merupakanbandwidth pada arah azimut. 2.6.3.3 Dekorelasi Volume Dekorelasi volume terjadi dikarenakan penetrasi dari gelombang radar sehingga hal ini bergantung pada panjang gelombang dari gelombang RADAR yang digunakan serta media pemendaran gelombang tersebut. 30
2.6.3.4 Dekorelasi Termal
Pengaruh gangguan termal (thermal noise) pada fase interferometrik dapat diperoleh secara teoritis dengan menentukan SNR dari sistem. SNR dapat diperoleh dari membagi daya sinyal dengan daya dari noise seperti yang digambarkan oleh persamaan berikut. (2.16) Koefisien korelasi antara dua sinyal kompleks yang sama dan dua gangguan termal (thermal noise)
dan dan
pada bagian c dapat ditulis sebagai berikut
(Zebker dan Villasenor, 1992).
(2.17) Dengan mengasumsikan dua komponen gangguan tidak berkorelasi dan sinyal tidak berkorelasi dengan gangguan maka dapat dituliskan persamaan sebagai berikut. (2.18)
Dengan menggunakan defenisi SNR
kita dapat mendapatkan persamaan sebagai berikut
(Zebker dan Villasenor, 1992). (2.19)
2.6.3.5 Dekorelasi Waktu Untuk dapat mengamati deformasi yang terjadi dalam perbedaan waktu dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya adalah dengan menggunakan InSAR (Intermerometry Radar). Deformasi ini diamati karena adanya dekorelasi waktu antara kedua citra sehingga melaui dekorelasi waktu ini perubahan yang terjadi antara kedua citra dapat diamati. Dekorelasi waktu ini sebisa mungkin dihilangkan apabila citra digunakan untuk melakukan pencitraan topografi sehingga pasangan citra yang digunakan memiliki selang waktu pencitraan seminimal mungkin.
Namun untuk tujuan pengamatan deformasi dekorelasi
waktu diperlukan untuk mengamati perubahan yang terjadi pada perubahan Bumi. Namun 31
tidak semua dekorelasi waktu disebabkan oleh deformasi seperti adanya perubahan vegetasi ataupun pertambahan populasi yang menyebabkan terdapatnya perbedaan objek yang ada dipermukaan Bumi. 2.5.4 Proses Pembuatan SLC (Single Look Complex) SLC merupakan data SAR yang diolah dari data mentah yang berupa citra yang telah dilakukkan pengkompresan arah azimut dan arah range. Sebelum dilakukan pengkompresan azimut terlebih dahulu dilakukan proses penghilangan kejulingan pada data tersebut. 2.6.4.1 Penentuan Resolusi Ambiguitas Doppler Pada SAR gelombang dipancarkan tidak berbentuk satu garis melainkan berbentuk suatu luasan sehingga hasil pantulan kembali pada posisi tersebut dapat berasal dari segala arah dari luasan yang dicitrakan. Untuk dapat membentuk citra maka perlu dilakukan penyusunan diskrit dari hasil pantulan yang tegak lurus dengan satelit tersebut. Dengan menggunakan efek Doppler maka hasil pantulan tegak lurus tersebut dapat diperoleh di mana pada efek Doppler hasil pantulan gelombang dengan frekuensi Doppler sama dengan nol merupakan gelombang pantul yang tegak lurus dengan satelit pada saat pencitraan. Sebelum dilakukan penentuan Doppler centroid tersebut maka perlu dilakukan penentuan ambiguitas Doppler yang diakibatkan oleh kemiringan pencitraan sehingga arah pencitraan terhadap arah orbit tidak tepat tegak lurus. 2.6.4.2 Estimasi Doppler Centroid Setelah
dilakukan
penentuan
ambiguitas Doppler
maka
Doppler centroid
dapat
diestimasi.Doppler centroid tersebut diestimasi dengan menggunakan metode line to line complex cross-corelation [Madsen, 1989] atau dengan mencari spektrum daya centroid azimut [Li et al., 1987]. 2.6.4.3 Range Compression Range compression dilakukan untuk mengkompres semua energi yang terdistribusi hingga menyempit pada arah range. Dengan pengkompresan ini maka sinyal yang diterima akan berada pada nilai maksimum (peak value) dari keseluruhan sinyal yang diterima. Dengan menggunakan suatu sinyal referensi maka dapat dilakukan filtrasi.Filtrasi yang dapat dilakukan untuk PALSAR adalah filtrasi Radio Frequency Interference (RFI). Filtrasi ini tidak dibutuhkan untuk band C namun disarankan untuk citra hasil band L yaitu salah satunya adalah PALSAR.
32
2.6.4.4 Autofocus Akibat pencitraan dilakukan pada saat satelit bergerak dengan gerakan yang tidak teratur sempurna maka akan terdapat gangguan pada saat pencitraan sehingga hasil pencitraan dapat kelihatan kabur. Pemrosesan pemgfokusan azimut yang efisien membutuhkan jalur orbit berupa orbit yang halus. 2.6.4.5 Azimuth Compression Proses ini sama dengan proses range compression hanya dilakukan pada arah azimut. Setelah estimasi Doppler centroid dilakukan maka proses ini dapat dilakukan. Setelah proses ini dilakukan maka akan didapatkan data SLC. 2.6.5 Proses Pembuatan Interferogram Interferogram merupakan hasil yang didapatkan dari proses penyelisihan fase dari kedua citra SAR yaitu Single Complex Look (SLC). Berikut ini adalah proses dari pembuatan interferogram hingga unwrapping dari interferogram. 2.6.4.1 Kalibrasi Pola Antena Pada citra SLC tidak semua bagian dari citra memiliki perbesaran yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh pola diagram antena pada citra, perbandingan antara near range dan far range (semakin menjauhi sensor atau garis orbit maka citra akan kelihatan semakin menyebar). Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kalibrasi relatif.Kalibrasi relatif digunakan untuk pola antena dalam jarak, variasi dalam jarak miring (slant range), variansi dalam panjang azimut referensi, fungsi jendela interpolasi, proyeksi permukaan tanah untuk permukaan horizontal. 2.6.4.2 Penghitungan Offset Kedua SLC Pada proses ini dilakukan penghitungan offset pada kedua citra. Offset yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan geometri pada kedua citra di mana perbedaan ini terjadi dalam bentuk geometri piksel-piksel pada citra. Untuk melakukan penghitungan ini dapat dilakukan dengan menggunakan cross-corelation intensitas ataupun pencarian koherensi kedua citra. Setelah offset kedua citra maka diperlukan pencarian model matematis yang sesuai dengan offset yang ada. Model matematis yang digunakan merupakan model matematis polinomial dan untuk menentukan nilai polinomialnya harus diperhatikan simpangan baku dari setiap piksel.
33
2.6.4.3 Proses Coregristration dan Resampling Kedua SLC Setelah proses penghitungan offset dilakukan maka proses selanjutnya adalah proses coregristration dan resampling. Pada proses ini dilakukan transformasi koordinat piksel dari salah satu citra SLC (citra slave) terhadap satu citra SLC referensi (citra master) dengan menggunakan model matematis yang telah didapatkan sebelumnya. Proses ini dilakukan agar geometri dari kedua citra menjadi sama sehingga pembentukan interferogram dapat dilakukan. 2.6.4.4 Proses Pembentukan Interferogram Pada proses ini interferogram kemudian dapat dibentuk. Proses ini dilakukan pembentukan interferogram dengan cara menyelisihkan fase dari kedua citra sehingga terbentuk fringe dari kedua citra. Fringe ini masih belum dapat dikatakan sebagai representasi permukaan Bumi pada citra karena fase yang terbentuk masih berupa fase relatif (masih berada dalam modulo 2π) sehingga diperlukan proses selanjutnya yaitu pengubahan fase relatif menjadi fase absolut. 2.6.4.5 Proses Penentuan Baseline Orbit Pada proses ini dilakukan penentuan baseline dari orbit satelit yang melakukan pencitraan pada kedua citra. Proses ini dilakukan untuk dapat melakukan proses selanjutnya yaitu penghilangan kelengkungan Bumi di mana proses selanjutnya ini membutuhkan informasi perbedaan orbit dari satelit kedua citra. 2.6.4.6 Proses Penghilangan Kelengkungan Bumi Pada proses ini dilakukan penghilangan kelengkungan Bumi sehingga untuk proses unwrapping fase yang ada tidak terpengaruhi oleh kelengkungan Bumi. Proses ini membutuhkan hasil dari proses sebelumnya yaitu proses penentuan baseline dari orbit kedua satelit. 2.6.4.7 Proses Estimasi Derajat Koherensi Pada proses ini dilakukan penentuan derajat koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Buminya. Proses ini dilakukan untuk mengkoreksi fase dari interferogram tersebut. 2.6.4.8 Proses Filtering Interferogram Pada proses ini dilakukan pemfilteran interferogram terhadap noise atau gangguan fase yang ada pada interferogram. Pemfilteran ini dilakukan agar residu yang ada dapat dikurangi. 34
Residu ini merupakan suatu titik pada interferogram di mana jumlah dari selisih fase antar piksel yang dekat tidak sama dengan 0.0. Proses ini dilakukan agar pada proses unwrapping interferogram dihasilkan hasil yang lebih baik serta proses lebih cepat dan efisien. 2.6.4.9 Proses Unwrapping Interferogram Pada proses ini fase interferogram dilakukan proses pengubahan dari fase relatif menjadi fase absolut. Pada interferogram yang belum dilakukan proses unwrapping fase yang dimiliki oleh interferogram tersebut masih berada pada rentang –π hingga π atau masih berada pada modulo 2π sehingga untuk dapat membuat representasi Bumi maka diperlukan proses unwrapping sehingga fase yang dimiliki ditambahkan kelipatan dari modulo 2π.
2.7 Differential InSAR Informasi φ (fasa) yang dihasilkan oleh InSAR terdiri dari beberapa unsur yang berbeda seperti terlihat pada persamaan 2.16 berikut,
dimana,
φ=
φtopografi
= fasa akibat pengaruh topografi
φdeformasi
= fasa akibat pengaruh deformasi
φatmosfer
= fasa akibat pengaruh atmosfer
φnoise
= fasa akibat noise
φorbit
= fasa akibat pengaruh posisi orbit
(2.20)
Untuk mendapatkan fasa hasil deformasi maka fasa topografi, fasa atmosfer dan fasa hasil noise harus dihilangkan. Metoda yang digunakan untuk menghilangkan pengaruh unsur lain terhadap fasa akhir interferogram adalah Differential InSAR.
Pada metoda differential
InSAR tersebut dilakukan proses differencing (pengurangan) antara fasa interferogram dengan fasa interferogram lainnya. Interferogram lainnya dapat diperoleh dari DEM (Digital Elevation Model) ataupun dari kombinasi dua citra SAR yang berbeda. 2.7.1 Dual Pass DInSAR Metoda dual pass DInSAR merupakan metoda yang menggunakan dua buah citra SAR dan Digital Elevation Model. Citra SAR tersebut akan digunakan untuk mendapatkan 35
interferogram sedangkan DEM akan digunakan untuk menghilangkan pengaruh topografi pada fasa interferogram. Untuk dapat digunakan pada proses dual pass DInSAR maka sistem koordinat DEM yang berada pada sistem koordinat peta harus ditransformasi menjadi sistem koordinat RADAR. Pada metoda ini kesalahan pada DEM akan sangat mempengaruhi hasil akhir DInSAR. Gambar 2.13 menunjukkan proses dual pass DInSAR. 2.7.2 Three Pass DInSAR Berbeda dengan metoda dual pass, pada metoda three pass tidak dibutuhkan data DEM. Metoda three pass menggunakan tiga buah citra SAR yang didapat dari tiga akuisisi yang berbeda yang kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan interferogram. Dua buah citra akan digunakan untuk menghasilkan data DEM. Sebaiknya digunakan dua buah citra yang memiliki waktu pengambilan yang berdekatan sehingga diasumsikan tidak terjadi deformasi pada selang waktu pengambilan data. Dua buah citra digunakan untuk menghasilkan interferogram hasil deformasi. Pada selang waktu pengambilan antar citra diasumsikan terjadi deformasi. Setelah itu dilakukan differencing antara interferogram dengan DEM. Gambar 2.14 menunjukkan proses dual pass DInSAR. 2.7.3 Four Pass DInSAR Secara umum metoda four pass DInSAR ini mirip dengan three pass DInSAR, namun pada metoda ini digunakan empat buah citra dari empat akuisisi data yang berbeda. Interferogram hasil kombinasi empat buah citra inilah yang akan digunakan pada proses differencing.
SAR Image 1
Deformation
SAR Image 2
DEM
Registration
Inverse Georeference
Interferogram Generation
Cancelation Of Flat Earth
Orbital Information
Canceation Of Flat Earth
Filtering
Phase Unwrapping
Deformation Map
Gambar 2.13 Dual Pass DInSAR [Sacristán, 2004] 36
SAR Image 1
Orbital Information
SAR Image 2
Deformation
Registration
Registration
Interferogram Generation
Interferogram Generation
Cancelation Of Flat Earth
Cancelation Of Flat earth
Filtering
Filtering
SAR Image 3
Orbital Information
Phase Unwrapping
Phase Scaling
Phase Unwrapping
Deformation Map
Gambar 2.14 Three Pass DInSAR [Sacristán, 2004]
37