Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
PEMETAAN SINTILASI IONOSFER KUAT DI ATAS INDONESIA (MAPPING OF STRONG IONOSPHERIC SCINTILLATION OVER INDONESIA) Sri Ekawati Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Riwayat Artikel: Diterima: 22-11-2016 Direvisi: 17-02-2017 Disetujui: 27-02-2017 Diterbitkan: 22-05-2017
Kata kunci: Sintilasi Ionosfer, GPS, Indeks S4, Pemetaan
Keywords: Ionospheric Scintillation, GPS, S4 Index, mapping.
Aktivitas sintilasi ionosfer kuat, yang dapat mempengaruhi propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit, bervariasi terhadap lokasi. Oleh karena itu, pengamatan sintilasi ionosfer diatas wilayah Indonesia yang luas memiliki tantangan. Penelitian ini bertujuan membuat pemetaan sintilasi ionosfer kuat dengan indeks S4 lebih besar dari 0,5 diatas wilayah Indonesia. Hal tersebut bermanfaat untuk mengetahui posisi gangguan sintilasi ionosfer di atas wilayah Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data indeks S4 yang diperoleh dari penerima GPS di Kototabang (0,20°LS;100,32°BT), di Pontianak (0,03°LS;109,33°BT), di Manado (1,48°LU; 124,85°BT), di Kupang (-10,15°LS; 123,67°BT), dan di Bandung (-6,90°LS; 107,60°BT) pada saat terjadi sintilasi kuat (S4>0,5) di semua stasiun. Kejadian gangguan sintilasi ionosfer diidentifikasi dari pukul 18:00 – 24:00 LT. Hasil menunjukkan bahwa ketika terjadi gangguan sintilasi pada tanggal 3 Maret, 14 Maret dan 8 April 2015, area ionosfer diatas wilayah Indonesia yang terkena dampak adalah pada daerah ekuator sampai dengan -10°LS (koordinat geografis) atau daerah sekitar -3° sampai dengan -19°LS (koordinat geomagnet).
ABSTRACT Ionospheric scintillation in strong level, that causes degradation of satellite communication and satellite navigation system, have spatial variation. Therefore, observations of ionospheric scintillation over a vast Indonesian territory have a challenge. This study is aimed to have ionospheric scintillation map in strong level with S4 index more than 0.5 over Indonesian territory. By mapping the ionospheric scintillation, it will be easy to analyze the position where the strong scintillation occurred. Amplitude scintillation (S4 index) data was obtained from five GPS receiver installed at Kototabang (0.20°S; 100.32°E), Pontianak (0.03°S; 109.33°E), Manado (1.48°N; 124.85°E), Kupang (-10.15°S; 123.67°E), and Bandung (-6.90°S; 107.60°E) when strong scintillation (S4>0.5) occurred at all observation station. Ionospheric scintillation perturbation event was identified from 18:00 – 24:00 LT. Results show that when the occurrence of ionospheric scintillation perturbation on March 3, March 14 and April 8 2015, the area of strong ionospheric scintillation over Indonesian territorry is over the equatorial region to 10°S (geographic coordinates) or the area around 3° to 19°S (geomagnetic coordinates).
Seminar Nasional Sains Antariksa Bandung, 22 November 2016
c 2017 Pusat Sains Antariksa LAPAN
ISBN: 978-602-17420-1-3
96
S. Ekawati
1. Pendahuluan Aplikasi teknologi transionosphere seperti sistem navigasi berbasis satelit, komunikasi satelit, penginderaan jauh dan sistem pengamatan bumi lainnya yang berbasis satelit dapat dipengaruhi oleh sintilasi ionosfer yang merupakan salah satu fenomena gangguan di medium ionosfer (Beniguel, 2009). Oleh karena itu, Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai center of excellence sains antariksa mempunyai kewajiban memberikan layanan sintilasi ionosfer terhadap local space weather communities di Indonesia. Beberapa institusi di dunia memberikan informasi sintilasi ionosfer ini berupa peta sehingga memudahkan pengguna dalam membaca informasi tersebut. Gambar-1 adalah salah satu contoh peta sintilasi ionosfer yang diinformasikan oleh Radio and Space Weather Services, Australia Government. Peta sintilasi tersebut menunjukkan indeks S4 (ditunjukkan dengan warna) pada tanggal 11 Februari 2014 pukul 02:50 UT (09:50 WIB). Indeks S4 pada waktu tersebut lebih kecil dari 0,25 yang artinya aktivitas sintilasi ionosfer berada pada kondisi tenang. Dengan peta tersebut, dapat diketahui pula posisi ionosfer yang dikur yaitu di daerah sekitar lintang -8° sampai – 16° LS dan 125° sampai 145° BT. Kemunculan sintilasi ionosfer lebih sering dan intensif terjadi di daerah sepanjang garis sekitar ± 20° lintang geomagnet belahan bumi utara maupun selatan (Abdullah et al.,2009; Kintner et al., 2009). Gambar 1-2 menunjukkan peta kemunculan sintilasi ionosfer secara global. Warna merah menunjukkan frekuensi kemunculannya sangat tinggi. Dan ionosfer diatas wilayah Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan frekuensi kemunculan sintilasi ionosfer yang tinggi. Identifikasi masalah dalam makalah ini adalah bagaimana metode untuk mengetahui secara akurat posisi sintilasi ionosfer di atas wilayah Indonesia sehingga diperoleh peta sintilasi ionosfer berdasarkan data pengamatan yang lebih memudahkan pengguna teknologi trans-ionosphere dalam melakukan mitigasi gangguan sintilasi ionosfer tersebut. Adapun tujuan penelitian pada makalah ini adalah membuat pemetaan sintilasi ionosfer kuat dengan indeks S4 lebih besar dari 0,5 diatas wilayah Indonesia. Dengan mengetahui posisi sintilasi ionosfer tersebut dapat diketahui posisi gangguan ionosfer yang dapat mengganggu propagasi sinyal satelit.
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
Gambar 1-1. Peta sintilasi ionosfer diatas wilayah Australia yang diinformasikan oleh Radio and Space Weather Services, Australia Government. (sumber : Space Weather Services, Bureou of Meteorology, Autralian Government, http://www.sws.bom.gov.au/Satellite/1/2).
Gambar 1-2. Peta global kemunculan sintilasi ionosfer.
2.
Tinjauan Pustaka
Lapisan plasma ionosfer berada pada ketinggian sekitar 90 sampai dengan sekitar 500 kilometer diatas permukaan bumi. Salah satu gangguan ionosfer adalah turbulensi plasma yang menyebabkan fluktuasi yang kuat dan cepat dari sinyal satelit setelah melalui medium ionosfer yang dinamakan sintilasi ionosfer (Jakowski, 2012). Sintilasi Ionosfer terjadi di lapisan F ionosfer. Ketinggian lapisan F di Indonesia berkisar 250 kilometer ke atas. Sintilasi ionosfer paling kuat dan paling sering terjadi terdapat di daerah dua pita yang melingkupi ekuator magnet, yang terjadi lebih dari 100 hari per-tahun. Di lintang tinggi, lebih jarang terjadi dan di daerah lintang menengah paling jarang terjadi, hanya puluhan hari pertahun (Kintner,2009). Waktu sintilasi ionosfer di daerah ekuator sampai dengan lintang rendah geomagnet terjadi beberapa saat setelah matahari terbenam seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2-1.
Pemetaan Sintilasi Ionosfer Kuat Di Atas . . .
Gambar 2-1. Ilustrasi waktu kemunculan sintilasi ionosfer terjadi beberapa saat setelah transisi siang ke malam (matahari terbenam).
Ekawati, 2014; Soegeng, 1994). Ilustasi RTI setelah matahari terbenam dijelaskan pada gambar II.8. Di daerah ekuator magnet, medan magnet horizontal ke arah utara, arus ion-ion muatan (+) dengan kecepatan ke arah timur akibat . Maka, menghasilkan gaya kearah atas. Akibat terjadi pemisahan muatan (+) dan (-), maka ′ menghasilkan gaya kearah bawah. Ketidakstabilan plasma tersebut akan semakin berkembang sehingga menimbulkan gelembung dengan gerak keatas yang dinamakan plasma bubbles. Kemunculannya bervariasi dari beberapa menit sampai dengan beberapa jam (Abdu, et.al, 1983). Secara geografis, Indonesia terletak di garis ekuator (khatulistiwa). Namun, berdasarkan ekuator magnet Indonesia berada di daerah lintang rendah magnet belahan bumi bagian selatan yang merupakan daerah dengan konsentrasi plasma yang tinggi (crest) dibandingkan dengan daerah ekuator geomagnet. Fenomena tersebut dinamakan Equatorial Ionization Anomaly (EIA) atau Appleton Anomaly (Appleton, 1946). Mekanisme terjadinya anomali tersebut dinamakan Fountain effect. Daerah yang dinamakan crest of EIA ini berkontribusi besar pada fenomena sintilasi ionosfer yang disebabkan ketidakstabilan plasma.
3.
Gambar 2-2. Ilustrasi RTI (Rayleigh-Taylor Instability) post-sunset plasma ionosfer (courtesy: Maruyama, NICT, Japan). Setelah matahari terbenam (post-sunset) proses ionisasi akan berhenti karena partikel di ionosfer tidak mendapat radiasi dari matahari. Sehingga, elektron (-) dan ion (+) akan bergabung membentuk partikel netral yang dinamakan proses rekombinasi. Laju rekombinasi di ketinggian lebih rendah (lapisan D ionosfer) lebih cepat dibandingkan dengan lapisan diatasnya. Pada malam hari lapisan D, E, F1 dan F2 akan menghilang menyisakan satu lapisan yaitu lapisan F di ketinggian 300 km. Lapisan ini tidak hilang pada malam hari karena laju rekombinasi terhadap ketinggian semakin lambat akibat kerapatan molekul atmosfer semakin berkurang terhadap ketinggian (Kelley, 1989). Kemunculannya disebabkan oleh plasma bubble yang bergerak ke atas dengan densitas plasma yang lebih rendah (Abadi et al., 2014;
97
Data dan Metode
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data indeks S4 yang diperoleh dari penerima GPS di Kototabang (0,20ºLS; 100,32oBT), di Pontianak (0,03ºLS; 109,33ºBT), di Manado (1,48ºLU; 124,85ºBT), di Kupang (-10,15º LS; 123,67º E), dan di Bandung (-6,90º S; 107,60º E) pada tanggal 14 Maret 2015. Indeks S4 yang terkoreksi (Dubey et.al, 2006) kemudian diidientifikasi nilai yang lebih besar dari 0,5 dan kurang dari 1 yang merupakan sintilasi kategori kuat (Butcher, 2005) dari pukul 18:00 – 24:00 LT. Kemudian dipetakan dengan melakukan perhitungan konversi dari sudut elevasi dan azimut posisi satelit GPS terhadap titik potong ionosfer (Ionospheric Pierce Point/IPP) menjadi data lintang dan bujur posisi sintilasi ionosfer diatas Indonesia (Asnawi et.al, 2015). Untuk mengisi kekosongan data pada peta, maka dilakukan gridding yaitu dengan mengambil nilai maksimum pada suatu area berbentuk kotak dari 1º × 1º sampai dengan 5º × 5º dengan menggunakan metode interpolasi nearest neighborhood (Asnawi et al., 2015; De Rezende et al., 2007).
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
98
S. Ekawati
Gambar 3-1. Konsep Ionosphere Pierce Point (IPP).
4.
Pembahasan
Gambar 4-1 menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer pada tanggal 14 Maret 2015 diatas Kototabang (panel atas), Pontianak (panel tengah) dan Manado (panel bawah). Sumbu-x adalah waktu (UT) dan sumbu-y adalah indeks amplitudo S4. Ketiga stasiun mendeteksi adanya gangguan sintilasi ionosfer yang ditandai dengan indeks S4 lebih besar dari 0,5. Stasiun Kototabang, Pontianak dan Manado merupakan stasiun yang posisinya di suatu lintang yang hampir sama, namun berbeda posisi secara longitudinal. Pada Gambar 4-1, kemunculan sintilasi kuat (indeks S4>0,5) di atas Manado terjadi pada sekitar pukul 11.00 UT, di atas Pontianak terjadi pada sekitar pukul 13.00 UT namun pada pukul 12.00 UT terlihat ada kemunculan sintilasi sedang (0,25
0,5) di atas Kupang terjadi pada sekitar pukul 12.30 UT, sedangkan di atas Bandung terjadi pada sekitar pukul 12.00 UT. Untuk durasinya, di atas Kupang terjadi sekitar 3 jam, sedangkan di atas Bandung terjadi sekitar 4 jam. Dari Gambar 4-1 dan 4-2 dapat terlihat bahwa intensitasnya (nilai indeks S4 maupun
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
Gambar 4-1. Indeks S4 diatas Kototabang, Pontianak dan Manado tanggal 14 Maret 2015.
Gambar 4-2. Indeks S4 diatas Bandung dan Kupang tanggal 14 Maret 2015. durasinya) terlihat lebih intensif diatas Bandung dan Kupang dibandingkan dengan Kototabang, Pontianak dan Manado. Stasiun Manado posisi lintangnya hampir sama dengan stasiun Kupang, dapat terlihat intensitas gangguan sintilasi ionosfer lebih kuat terjadi di atas Kupang dibandingkan dengan di atas Manado. Begitu juga dengan stasiun Pontianak posisi lintangnya hampir sama dengan stasiun Bandung. Intensitas sintilasi ionosfer lebih intensif di atas Bandung dibandingkan dengan di atas Pontianak.
Pemetaan Sintilasi Ionosfer Kuat Di Atas . . .
99
Gambar 4-3. Peta aktivitas sintilasi ionosfer dari semua PRN satelit GPS yang terdeteksi di 5 stasiun pengamatan Sintilasi di Indonesia pada tanggal 14 Maret 2015. Warna merah menunjukkan aktivitas sintilasi kuat Gambar 4-3 adalah hasil pemetaan dari konversi sudut elevasi dan azimuth menjadi lintang dan bujur wilayah Indonesia. Garis-garis tersebut merupakan lintasan satelit terhadap IPP yang kemudian dapat dipetakan seolah-olah posisi pegukuran ionosfer di atas wilayah Indonesia. Warna hijau, kuning dan merah merupakan pengklasifikasian aktivitas sintilasi ionosfer (Butcher, 2005). Warna hijau menunjukkan indeks S4 yang lebih kecil sama dengan dari 0,25 (quiet), warna kuning menunjukkan indeks S4 yang lebih besar dari 0,25 namun lebih kecil dari 0,5 (moderate), sedangkan warna merah menunjukkan indeks S4 yang lebih besar dari 0,5 (strong). Bila kita lihat lebih seksama warna merah pada peta tersebut, terlihat jelas bahwa sintilasi kuat (indeks S4>0,5) terdistribusi pada suatu daerah saja yaitu, di sebelah selatan stasiun Manado, Pontianak dan Kototabang serta di atas stasiun Bandung dan sebelah utara stasiun Kupang. Untuk mengisi kekosongan pada peta tersebut maka dilakukan teknik interpolasi. Gambar 4-4 adalah teknik kontur dengan interpolasi dari gridding 1o x 1o sampai dengan 5ox5o. Dengan menggunakan gridding 5ox5o wilayah Indonesia dapat tercakup untuk memperoleh peta potensi kemunculan sintilasi ionosfer kuat. Gambar 4-5 menunjukkan hasil kontur dengan gridding (5ox5o) dengan metode nearest
neighborhood pada tanggal 3 Maret, 14 Maret dan 8 April 2015. Daerah ionosfer yang terkena dampak adalah pada daerah sekitar lintang 3o LS – 9o LS (koordinat geografis) atau sekitar lintang 12o LS – 9o LS (koordinat geomagnet).
5. Kesimpulan Pemetaan sintilasi ionosfer di atas Indonesia dari data indeks S4 yang diperoleh dari penerima GPS dapat dilakukan dengan menggunakan metode IPP, namun dengan data dari 5 stasiun penerima GPS yang tersebar di Indonesia terdapat beberapa kekosongan data pada suatu daerah tertentu. Dengan teknik interpolasi, maka diperoleh peta sintilasi ionosfer di atas Indonesia. Gangguan sintilasi ionosfer bervariasi terhadap posisi lintang geomagnet bumi. Intensitas kemunculan sintilasi ionosfer di lintang rendah geomagnet (stasiun Kupang dan Bandung) lebih intensif dibandingkan dengan di daerah tang lebih dekat ke ekuator geomagnet (stasiun Manado, Pontianak dan Kototabang). Ionosfer di wilayah Indonesia yang berpotensi terjadi peristiwa gangguan sintilasi ionosfer meliputi sekitar daerah selatan stasiun Manado, Pontianak dan Kototabang, serta di atas stasiun Kupang dan Bandung. Terlihat juga sangat intensif di sepanjang Laut Jawa dan pulau Jawa.
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
100
S. Ekawati
Gambar 4-4. Peta contour aktivitas sintilasi ionosfer dari semua PRN satelit GPS yang terdeteksi di 5 stasiun pengamatan Sintilasi di Indonesia pada tanggal 14 Maret 2015 dengan gridding 1° × 1° sampai 5° × 5°.
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
Pemetaan Sintilasi Ionosfer Kuat Di Atas . . .
101
Gambar 4-5. Peta contour aktivitas sintilasi ionosfer dari semua PRN satelit GPS yang terdeteksi di 5 stasiun pengamatan Sintilasi di Indonesia dengan gridding 5o x 5o pada tanggal 3 Maret, 14 Maret dan 8 April 2015.
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3
102
S. Ekawati
Sehingga, kemunculan sintilasi ionosfer akan berpotensi sangat intensif terjadi di sekitar lintang 3o LS – 9o LS (koordinat geografis) atau sekitar lintang 12o LS – 9o LS (koordinat geomagnet).
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada staff jaringan tekmat, BPD Kototabang, Pontianak, Manado dan Kupang untuk ketersedian data ionosfer. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sefria Anggarani, S.Si untuk ketersediaan data Bandung, P. Abadi dan Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang yang telah menyediakan data Kototabang serta Noersomadi, M.Si atas bantuannya dalam pembuatan program pemetaan dalam penelitian ini.
Rujukan Abadi, P., Saito, S., and Srigutomo, W. (2014). Low-latitude scintillation occurrences around the equatorial anomaly crest over Indonesia. Ann. Geophys, 32, 7–17. Abdu, M. A., de Medeiros, R. T., Sobral, J. H. A., and Bittencourt, J. A.. (1983). Spread F plasma bubble vertical rise velocities determined from spaced ionosonde observations. J. Geophys. Res., 88, 9197–9204. Abdullah, M., Zain, A.F.M, Ho, Y.H. and Abdullah, S. (2009). TEC and Scintillation Study of Equatorial Ionosphere: A Month Campaign over Sipitang and Parit Raja Stations, Malaysia. American Journal of Engineering and Applied Sciences, 2(1), 44-49. Appleton, E. V. (1946). Two anomalies in the ionosphere, Nature, 157, 691. Asnawi, Abadi, P., Ekawati, S., dan Marlia, D. (2015). Analisis Spasial Kemunculan Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks Periode 2013 di
Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara, 12(2), 7786. Beniguel, Y., Romano, V., Alfonsi, L., Marcio, Bourdillon, A., Cannon, P., De Franceschi, G., Dubey, S., Forte, B., Gherm, V., Jakowski, N., Materassi, M., Noack, T., Pozoga, M., Rogers, N., Spalla, P., Strangeways, H.J., Warrington, M., Wernik, A., Wilken, V. and Zernov, N. (2009). Ionospheric scintillation monitoring and modelling. Annals of geophysics, 52, 3. Butcher, N. (2005). Daily Ionospheric Forecasting Service (DIFS) III, Annales of Geophysicae, 23:3591-3598. 2005. De Rezende, L.F.C, De Paula, E.R., Kantor, I.J., Kintner, P.M. (2007). Mapping and Survey of Plasma Bubbles over Brazilian Territory. Journal of Navigation, 60, 69-81. Dubey, S., Wahi, R. and Gwal, A.K. (2006). Ionospheric effects on GPS positioning. Adv. Space Res., 38(11), 2478–2484. Ekawati, S., Srigutomo, W. dan Jiyo (2014). Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer di atas Pontianak dan Manado. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013. Jakowski, N, Beniguel, Y., Franceschi, G.D, Pajares, M. H., Jacobsen, K. S., Stanislawska, I, Tomasik, L., Warnant, R., and Wautelet, G. (2012). Monitoring, tracking and forecasting ionospheric perturbations using GNSS techniques. J. Space Weather Space Clim., 2 , A22. Kelley, M.C. (1989). The Earth’s Ionosfer: Plasma Physics and Electrodynamics, Academic Press, USA. Kintner, Paul M. JR., Humphreys, T., Hinks J. (2009). GNSS and Ionospheric Scintillation: How to Survive the Next Solar Maximum, Inside GNSS July/August 2009. Soegeng, R. (1994). Ionosfir, Andi Offset, Yogyakarta.
SRI EKAWATI, M.Si, lahir di kota Bandung (Jawa Barat) pada tanggal 29 April 1981 bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), masuk mulai tahun 2006, menjadi salah satu Peneliti Fisika Ionosferik dan Magntosferik di satuan kerja Pusat Sains Antariksa di Bandung. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1) di Universitas Padjadajaran (Unpad) Jurusan Fisika lulus pada tahun 2005 dan Strata 2 (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB) lulus pada tahun 2014.
Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3