Wajah Nasionalisme Masyarakat Melayu Melalui Sepakbola dalam Novel Sebelas Patriot Penulis: Rhillaeza Mareta Pembimbing: Sunu Wasono Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini berisi pengkajian atas novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot (2011) yang berkisah tentang kecintaan seorang anak dan sang ayah terhadap sepakbola, PSSI, dan bangsa Indonesia. Kisah dalam Sebelas Patriot bermain di era kolonial (1936—1940) dan selepasnya (1967—1997 ke atas). Di dalam novel yang berlatar tempat di Pulau Belitong dan Benua Eropa ini tergambar pula wajah nasionalisme masyarakat Melayu Belitong melalui sepakbola. Penelitian atas novel ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis dan pendekatan sosiologi sastra. Unsur-unsur intrinsik dalam novel dikaji menggunakan pendekatan sosiologi sastra guna mengetahui hubungan konteks nasionalisme di Indonesia baik dalam ranah pergerakan merebut kemerdekaan maupun ranah sepakbola dengan novel Sebelas Patriot. Hasil penelitian membuktikan bahwa Andrea Hirata kembali menghadirkan semangat mengejar mimpi lewat tokoh Ikal dan novel Sebelas Patriot adalah karya yang menghadirkan wajah nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola yang sarat akan penghadiran kembali kisah kesejarahan dan pengalaman masa lalu tokoh pencerita. Kata kunci: Andrea Hirata; Nasionalisme; PSSI; Sebelas Patriot; Sepakbola.
Face of Malay Community Nationalism Through Football Sport in the Sebelas Patriot Novel Abstract This thesis contains the review of Andrea Hirata's seventh novel, entitled Sebelas Patriot (2011) which tells the story of a child and his father’s love for football, PSSI, and Indonesia. The stories in Sebelas Patriot play in the colonial era (1936-1940) and thereafter (1967-1997). In this novel, which is sets in Belitong Island and Continental Europe, also reflected face of Belitong Malay nationalism through football. The research was conducted with descriptive analysis method and sociology literature approach. Intrinsic elements in novel examined with sociology literature approach in order to determine the relationship of Indonesian nationalism context within the realm of the movement for independence as well as the realm of football with Sebelas Patriot novel. The results prove that Andrea Hirata bring back the spirit of pursuing dreams through his character named Ikal and Sebelas Patriot novel is a work that presents a face of Malay nationalism through football with telling back historical stories and past experiences of the author.
Keywords: Andrea Hirata; Football; Nationalism; PSSI; Sebelas Patriot.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Pendahuluan Karya sastra di Indonesia terus menggeliat dari masa ke masa. Adapun para ahli telah mencoba merekamnya ke dalam rumusan-rumusan angkatan sastra yang berupa-rupa. Hingga memasuki millenium kedua, Korrie Layun Rampan hadir dengan usahanya membidani kelahiran Angkatan 2000. Dalam antologi Angkatan 2000
tersebut, dimuat 76 nama dari 150 nama
sastrawan yang hingga Agustus 1999 ia pandang memiliki corak dan pengucapan yang mencerminkan lahirnya sebuah angkatan sastra baru. Dari ke-76 nama tersebut di antaranya disebutkan Ayu Utami, Seno Gumira Adjidarma, Jujur Prananto, Helvy Tiana Rosa, dan Agus Noor. Hingga sejauh ini, kiranya belum terdapat antologi karya-karya yang menandakan kelahiran angkatan sastra baru di Indonesia setelah Angkatan 2000 seserius antologi hasil penyusunan Rampan meski mulai bermunculan angkatan yang dikenal dengan angkatan cybersastra. Kendati demikian, kemunculan karya sastra kian beragam dan semarak. Ayu Utami yang sempat mencecap rasa dari kesuksesan karya pertama saat digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 2000 hingga tahun ini terhitung terus produktif menerbitkan novel. Begitu pula dengan nama-nama lainnya yang terus memperkaya galaksi sastra Indonesia dengan karya yang kian berupa-rupa. Selain terus meruncing dengan kualitas yang makin bersaing, karya-karya para sastrawan berbakat Indonesia di era 1990 hingga 2000-an sesungguhnya berkembang pula di kancah internasional. Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, 4 Juni 1975 silam, H.B. Jassin telah mengungkapkan jalan pikirannya yang memandang bahwa sastra Indonesia adalah bagian dari sastra dunia. Pidato ini dimuat dalam Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia bersama-sama dengan pemikiran-pemikiran Jassin lainnya. Dalam pidato tersebut (1983: 3—9), Jassin menyatakan bahwa sejak sebelum Perang Dunia Kedua sastra Indonesia telah mendapatkan perhatian dari para filolog dunia seperti Hans Overbeck, R.O. Winstedt, R.J. Wilkinson, W.H. Rassers, Ph. S. van Ronkel, dan C. Hooykaas. Pada masa sesudah perang, penelitian terhadap karya-karya sastra modern Indonesia masih berlanjut. Namanama seperti Prof. Dr. A. Teeuw, Prof. Dr. J.M. Echols, dan Harry Aveling banyak menggarap karya sastra Indonesia guna diteliti secara mendalam. Kegiatan tersebut kemudian berlanjut pada murid-murid mereka.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Beragam judul karya sejak Angkatan Balai Pustaka hingga seterusnya pun telah diterjemahkan dan tersebar ke berbagai negara di dunia. Jika dihubungkan dengan konteks perkembangan sastra Indonesia pasca-2000, terdapat sebuah nama yang kini sedang mendaki puncak kepopuleran sebab novelnya dikabarkan berhasil menjadi novel best seller di tingkat dunia. Ia adalah penulis novel Laskar Pelangi yang mencuri perhatian para penggiat dan penikmat sastra Indonesia sejak tahun 2005: Andrea Hirata. Sejak kemunculannya pada tahun 2005, pembaca sastra Indonesia seolah tersihir oleh kehadiran karya dari seorang penulis yang hingga kini karya tersebut telah diwacanakan di Fakultas Sastra, dijadikan skripsi, mas kawin, bacaan wajib di sekolah, dan bacaan orang di dalam bus kota, yakni tetralogi Laskar Pelangi. Sang pengarang adalah seorang putra asli Pulau Belitung yang menceritakan kisah hidupnya yang sarat akan potret pendidikan serba sulit nan menghimpit. Pulau Belitung yang kini telah berstatus sebagai provinsi bersama dengan Pulau Bangka dan sejak 4 Desember 2000 resmi bernama Provinsi Bangka Belitung ini memiliki ibukota bernama Pangkal Pinang. Dalam bahasa lokal Melayu Belitung, masyarakat setempat menyebut tanah kelahiran Hirata dengan sebutan “Belitong” (Andrea Hirata telah menggunakan sebutan “Belitong” pula sejak memunculkan pulau ini dalam Laskar Pelangi). Orang Belanda memiliki sebutan khusus untuk pulau yang terletak di timur Sumatera ini, yakni Billiton atau Billiton Eiland1. Meski dalam peta umum pulau tersebut disebut “Belitung”, selanjutnya dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sebutan “Belitong”. Hal ini dilakukan guna menyamakan gaya penyebutan yang digunakan Andrea Hirata saat menceritakan Belitung dalam novel. Andrea Hirata mengebatkan jalinan kisah bertema persahabatan dan kekeluargan yang semuanya dibalut dengan kekhasan budaya Melayu yang amat kental. Setelah mereguk kesuksesan atas tetralogi Laskar Pelangi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Hirata kemudian menebar pukat selanjutnya berupa novel yang kembali sarat akan kekentalan etnisitas masyarakat Melayu yakni dwilogi Padang Bulan di tahun 2010. Jeda waktu satu tahun kemudian dimanfaatkan oleh pria yang bersuku Melayu asli ini untuk menerbitkan novel berikutnya: Sebelas Patriot. Di tahun 2012, suatu gabungan potongan-potongan beberapa bab 1 Informasi ini diperoleh dari artikel berjudul “Sejarah Awal Pertambangan Timah di Belitung” dalam laman www.billitonisland.com, sebuah laman penyedia informasi sejarah dan wisata Pulau Belitung (25 Agustus 2011).
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
pilihan dalam Laskar Pelangi disatukan dalam sebuah buku yang di dalamnya dilengkapi pula oleh torehan lirik-lirik lagu karya Andrea Hirata. Karya ini bernamakan Laskar Pelangi Song Book. Novel Sebelas Patriot yang diterbitkan pada tahun 2011 cukup berbeda dengan novelnovel Andrea Hirata sebelumnya. Jika ia membentangkan Laskar Pelangi dalam satu lintasan yang sejajar dengan Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov membentuk gugus tetralogi, ataupun menciptakan Padang Bulan dengan saudara kandungnya yakni Cinta di Dalam Gelas hingga bergandengan membentuk dwilogi, maka Sebelas Patriot nyatanya dihadirkan hanya seorang diri di jagat sastra nusantara. Novel ini pun semakin berbeda dari karya Hirata sebelumnya karena menjadi novel pertamanya yang dilengkapi oleh kepingan CD (berisi lagulagu yang diharapkan menggenapi pemahaman pembaca terhadap karya) dan foto-foto di antara jalinan cerita. Dengan tebal 112 halaman saja (novel ini adalah novel Hirata yang paling tipis), ia menenun kisah dengan rapat juga padat menggunakan benang-benang emas yang memantulkan rasa kagumnya terhadap sosok sang ayah yang begitu pendiam namun ternyata sempat melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui sepakbola. Perlawanan tersebut dilakukan oleh sang ayah pada saat lelaki Melayu yang tak bisa membaca huruf latin itu masih belia. Lewat kejeniusannya dalam bermain sepakbola, Belanda berhasil ia tekuk hingga merah padam mukanya. Akan tetapi, Belanda tetaplah Belanda. Kekejaman bertubi yang tertanam pada diri mereka sebagai bangsa penjajah tak membiarkan mereka rela martabatnya terinjak oleh pribumi begitu saja, bahkan dalam pertandingan sepakbola sekali pun. Melalui sumbu ini, Hirata terus menyalakan kisah-kisah seputar kekejian lain Belanda yang dilakukan saat menjajah tanah Belitong, saat mereka mengeruk timah-timah terbaik pulau tersebut. Potret nasionalisme masyarakat Melayu, khususnya Melayu Belitong, cukup terpampang dominan pada novel ini. Dalam karya-karya sebelumnya bukan berarti tak ada sama sekali potret nasionalisme tersebut, namun dalam novel ketujuh Hirata ini potret tersebut disajikan melalui suguhan tema yang bebeda. Hirata masih mengusung pengalaman masa lalunya di Belitong dan belahan dunia lainnya yang diolah sedemikian rupa. Namun, dalam Sebelas Patriot, wajah nasionalisme yang digambarkan berhubungan dengan perjuangan para patriot Belitong di lapangan hijau. Andrea Hirata menumpahkan kecintaannya dan masyarakat Melayu Belitong yang meluap-luap terhadap sepakbola sedari zaman pendudukan Belanda hingga pasca Indonesia merdeka. Kecintaan terhadap PSSI turut pula mewarnai kisahan dalam novel Hirata yang kini tak
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
begitu kental dipenuhi deskripsi nilai budaya layaknya karay-karya terdahulu. Belakangan diketahui pula bahwa ternyata kehadiran Sebelas Patriot tak semeledak novel-novel Hirata lainnya. Fakta ini kiranya cukup menarik untuk digali. Selain itu, tema nasionalisme yang disajikan melalui media sepakbola di kalangan masyarakat Melayu pun belum banyak dibahas. Hal ini berhubungan dengan berdirinya PSSI pada 1930 di Solo (Pulau Jawa), sehingga pembahasan sepakbola di luar Pulau Jawa, terlebih Belitong, belum kaya. Dari penjelasan yang telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Andrea Hirata menjadi sastrawan Indonesia yang kiranya menarik untuk diteliti baik jejak kepengarangan maupun karya-karyanya. Ia termasuk sebagai pengarang yang disebut-sebut fenomenal dan telah menorehkan prestasi baru dalam sejarah sastra Indonesia di jagat sastra dunia lewat karyanya. Penelitian karya Hirata dalam kajian ini kemudian akan difokuskan pada novel ketujuhnya yang nampak memiliki paling banyak perbedaan dengan novel-novelnya yang terdahulu. Potret nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola pada masa pendudukan Belanda di Belitong seputar tahun 1936 hingga pascamerdeka dalam Sebelas Patriot menjadi titik kajian penulis. Melalui peninjauan terhadap nasionalisme dalam diri para tokoh yang menonjol, wajah nasionasisme dalam novel akan terungkap. Selain itu, penelusuran strategi Hirata dalam meramu dan mengekspresikan kilasan-kilasan masa lalunya menjadi sebuah novel dalam Sebelas Patriot akan penulis lakukan pula. Dengan penggalian ini, diharapkan suara-suara yang berusaha untuk digaungkan oleh Hirata melalui Sebelas Patriot dapat ditangkap untuk kemudian diungkapkan secara gamblang oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deksriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2009: 53). Sebelum kajian dipaparkan, penulis terlebih dahulu akan memaparkan dengan amat ringkas konsep nasionalisme yang berkembang di Indonesia mulai dari asal mula kemunculannya hingga hubungannya dengan sepakbola bangsa.
Perjalanan Nasionalisme di Indonesia Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan dari banyak orang bahwa mereka merupakan suatu bangsa (nation). Monsterrat Guibernau menyatakan bahwa nasionalisme adalah paham dan proses di dalam sejarah saat sekelompok orang merasa menjadi anggota dari suatu nation (bangsa) dan mereka ingin mendirikan satu state (negara) yang
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
mencakup semua anggota dari kelompok itu. Ernest Renan dalam teorinya mengemukakan pula bahwa nasionalisme adalah terutama suatu perasaan kebersamaan, semua orang ‘merasa’ menjadi anggota dari satu bangsa (Dhont, 2005: 91, 9, 109). Suatu perasaan dan penghayatan manusia sebagai bagian dari sebuah bangsa atau nation jelas menjadi hal yang penting dalam nasionalisme. Menilik pandangan tentang bangsa atau nation, Bennedict Anderson (1991: 49— 50) mengemukakan gagasannya bahwa terdapat empat hal pokok yang berkaitan dengan konsep bangsa, yaitu terbayang (imagined), terbatas (limited), berdaulat (sovereign), dan komunitas (community). Berbicara mengenai nasionalisme, tidak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia memiliki kisah panjang tentang kemunculan nasionalisme dalam diri rakyat-rakyatnya. Masa lalu perjuangan meraih kemerdekaan yang tidak mudah menjadikan tumbuhnya jiwa nasionalisme dalam diri rakyat Indonesia di masa itu dianggap sebagai momen penting dalam sejarah bangsa. Nasionalisme Indonesia memiliki asal-usul yang kompleks, demikian pernyataan seorang sejarawan asal Belgia, Frank Dhont (2005: 115). Sebelum menjadi Indonesia yang merdeka, perjalanan panjang berisikan penjajahan dan penindasan tidak berkesudahan dialami oleh bangsa Indonesia. Pada tahun 1602, VOC didirikan oleh pemerintah Belanda. VOC benar-benar mengisap sumber daya alam maupun tenaga pribumi. Pribumi kalangan bangsawan yang menjadi kaki-tangan VOC ditugaskan memimpin pribumi rendah tertindas. Para bangsawan ini memperoleh kekuasaan yang luar biasa dari VOC untuk mengisap ekonomi desa di Jawa sebanyak mungkin (Kahin, 1995: 3—8). Pada 1798, VOC runtuh akibat korupsi besar-besaran yang dilakukan para pengurusnya di sektor pemerintahan Kepulauan Hindia. Daerah kekuasaan VOC pun kemudian jatuh ke tangan pemerintah Belanda langsung. Program-program pemerintahan yang baru ini sejatinya masih begitu senapas dengan program VOC. Pada kurun waktu 1816-1830 pemerintah Belanda menjalankan sistem monopoli pemerintah. Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel dijalankan sepenuhnya hingga tahun 1877. Sistem ini sedikit demi sedikit dibatasi hingga akhirnya pada 1915 dihapuskan sama sekali. Seperti yang sudah-sudah, sistem ini amat menguntungkan pemerintah Belanda namun menyengsarakan kaum pribumi petani. Praktik penjajahan masih terus berjalan. Meski telah dihapuskan, pengaruh pemerintahan VOC dan Sistem Tanam Paksa masih terasa hingga permulaan 1942 (Kahin, 1995: 12—19).
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Latar sosial masyarakat pribumi Hindia Belanda jelas dipenuhi dengan penindasan pemerintah kolonial. Tatkala kaum tani yang terus mengalami penindasan mulai bergerak, realisasi atas penderitaan mereka dan meningkatnya kesadaran politis ke dalam suatu nasionalisme hanya tinggal menunggu seorang elite Indonesia untuk memimpinnya. Sementara kesadaran nasionalisme mulai lahir dalam diri kaum tani dalam bentuk gerakan perlawanan terhadap rezim kolonial, pemerintah Belanda justru lebih menitikberatkan fokusnya terhadap ancaman bahaya Pan-Islam. Guna memerangi Pan-Islam, pemerintah Belanda menjadikan pendidikan Barat sebagai senjata yang tanpa mereka sadari di kemudian hari justru membunuh rezim mereka sendiri (Kahin, 2005: 58). Frank Dhont telah melakukan suatu kajian mengenai kaum intelektual Indonesia yang dengan kelompok diskusinya muncul sebagai suatu generasi baru dalam perjuangan politik melawan Belanda. Kaum intelektual muda ini terdiri atas pemuda-pemuda bangsa yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Barat. Kelompok studi bentukan kaum ini lahir di akhir tahun 1920-an dan Dhont menyebut mereka sebagai golongan pelaku politik yang menjadi pelopor dari gelombang nasionalisme kedua dalam perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan (gelombang pertama dianggap diwakili oleh pendiri Budi Utomo, Sarekat Islam, dan sebagainya) (2005: 1) Dalam kajiannya, Dhont menyimpulkan bahwa mahasiswa membuat suatu nationbuilding dengan menciptakan suatu pola pikir pribumi di Hindia Belanda berdasarkan konsep nasionalisme Indonesia. Konsep itu dijalankan berdasar pada lima orientasi nilai nasionalisme yang melandasi pikiran dan cita-cita kaum muda dalam menjawab tantangan dan tuntutan zamannya kala itu. Kelima orientasi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan para mahasiswa itu adalah nonkooperasi dan self-help atau kepercayaan atas kemampuan dan kecerdasan diri sendiri yang berasal dari nasionalis Irlandia, ide kemauan bersama dan keinginan untuk menciptakan self-determination serta self-government yang berasal dari para pemikir Barat dan Indische Partij, serta ide persatuan budaya yang berasal dari pemuda di Hindia Belanda dengan unsur kesatuan bahasa dari Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda. Di Indonesia, munculnya konsep nasionalisme telah dimulai oleh Indische Partij dalam bentuk nasionalisme Indis. Selanjutnya, konsep ini diadopsi oleh kaum intelektual muda Indonesia menjadi konsep nasionalisme Indonesia yang lebih berfokus pada pribumi. Pencipta konsep nasionalisme Indonesia adalah Perhimpoenan Indonesia yang didirikan di Belanda,
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
sedangkan penyebarnya adalah Indonesische Studieclub yang didirikan di Surabaya dan Algemeene Studieclub yang didirikan di Bandung. Perlengkapan konsep nasionalisme Indonesia kemudian dilaksanakan dalam wilayah Hindia Belanda sendiri melalui Sumpah Pemuda oleh pemuda pribumi dan tidak lagi dilakukan di Belanda. Selanjutnya, kaum intelektual muda ini terus berkarya. Pada 17 Agustus 1945, Sukarno, mantan pemimpin Algemeene Studieclub, dan Hatta, mantan pemimpin Perhimpoenan Indonesia, mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. (Dhont, 2005: 119—123). Pembahasan seputar awal kemunculan konsep nasionalisme Indonesia hingga kini tidak dapat dilepaskan dari sosok seorang putra bangsa yang terus menginspirasi banyak pihak di Indonesia maupun dunia. Dalam bagian 4.2.1 telah disebutkan pula bahwa ia turut berperan dalam pembentukan studieclub yang menjadi pelopor atas munculnya konsep nasionalisme Indonesia yang tidak lagi membedakan pribumi atas suku dan agamanya. Sosok ini sesungguhnya memiliki pemikiran-pemikiran tentang konsep nasionalisme Indonesa yang kuat. Kuatnya konsep nasionalisme Indonesia yang ia gencarkan penyebarannya pada rakyat jajahan terbukti mampu membuat pemerintah Belanda merasa sangat terancam hingga memutuskan memenjarakannya berkali-kali selama belasan tahun. Tokoh tersebut adalah Sukarno, Bapak Proklamator Indonesia Latar belakang Sukarno sebagai kaum muda intelektual telah membuka wawasannya. Pengetahuan bahwa semangat rakyat yang disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri maupun rakyat di tanah-tanah jajahan, adalah semangat ingin merdeka, terhunjam dalam di benaknya. Semangat ingin merdeka inilah yang ingin Sukarno dan PNI tumbuhkan dengan subur dalam jiwa tiap-tiap rakyat Indonesia terjajah (Sukarno, 2001: 114). Semangat ingin merdeka dapat terbentuk jika rakyat memiliki pemikiran tentang bangsa yang satu dan utuh. Pemikiran semacam ini adalah denyut nasionalisme. Berikut ini kutipan dalam pidato “Indonesia Menggugat” yang berisikan pandangan Sukarno dan PNI tentang nasionalisme yang harus mereka suburkan.
[…] tiap-tiap rakyat jajahan , tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam merasakan imperialisme bangsa lain, […] adalah berbudi nasionalistis. PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasionaliteit, di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan hari kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu,
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
dari nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme yang hidup, dari nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang sadar, dari nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis, --pendek kata: dari nasionalisme yang negatif jadi nasionalisme yang positif. Dibikin jadi nasionalisme yang positif, Tuan-tuan Hakim, dibikin nasionalisme positif, sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa dendam saja terhadap imperialisme, kami belumlah tertolong. Kami punya nasionalisme haruslah suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang mencipta, suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang “mencipta dan memuja”. Dengan nasionalisme yang positif itu maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat hidup merdeka yang bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci kepada bangsa lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang cahuvinistis […] Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah melihat hari kemudian sebagai fajar yang berseri-seri dan terang cuaca, tentulah hatinya penuh dengan pengharapan-pengharapan yang menghidupkan. [..] tidaklah lagi hatinya dipenuhi dendam belaka. Dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati menjalankan segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang menimbulkan hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang! (Sukarno, 2001: 114—115)
Kutipan panjang di atas kiranya telah secara jelas menggambarkan hakikat dan tujuan dari konsep nasionalisme positif yang dimaksud oleh PNI dan tentu saja Sukarno sebagai ketuanya. Adapun jalan yang akan ditempuh oleh Sukarno dalam menyuburkan nasionalisme di Indonesia tertuang dalam trimurti yang ia sampaikan pula dalam “Indonesia Menggugat”. Berikut ini tiga jalan yang ia rumuskan.
Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya ada tiga: pertama: kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah; kedua: kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap; ketiga: kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseriseri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh janji-janji itu. […] hanya trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
[…] dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya. […] makin mendalam keinsafan rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, membikin pula makin rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari kemudian yang indah itu, —mengerti, bahwa makin merasuk keinsafan akan perihalnya hari sekarang itu di dalam daging dan sumsum rakyat, membikin hidupnya rasa nasional, lebih berkobarkobarnya nasionalisme positif yang memang sudah menyala! (Sukarno, 2001: 116—19) Sejak era kolonial, sepakbola menjadi salah satu media bagi pribumi untuk menyalurkan semangat nasionalismenya. Sesuai dengan semangat zamannya, secara umum dapat dikatakan olahraga di masa kolonial masih terpisah-pisah berdasarkan latar belakang keturunan pelaku (organisasi, pengurus, dan atletnya) yakni Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Segregasi itu memunculkan semangat tersendiri bagi pemain jika ada pertandingan yang mempertemukan dua tim yang berbeda latar belakang karena seolah pertandingan itu menjadi lambang pertarungan dua pihak. Organisasi dan para pengurus pun terpacu untuk berbuat lebih agar dapat mencapai prestasi pesaing mereka, khususnya kalangan Tionghoa dan Pribumi yang menganggap titik prestasi tertinggi adalah prestasi bangsa Eropa. Beberapa kali tim pribumi dikabarkan menang melawan tim Eropa kala itu. pertandingan yang kiranya tidak terlupakan salah satunya terjadi di Bengkulu pada tahun 1910. Tim pribumi berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 4-0. Menanggapi hal ini, Agum Gumelar (dalam Bangun, 2007: viii) berpendapat bahwa pertandingan di Bengkulu kala itu adalah wujud nyata atas fanatisme yang ia artikan sebagai nasionalisme yang disalurkan secara positif. Waktu pun terus melaju, hingga akhirnya pada bulan April 1930 sebuah panitia dibentuk di Yogyakarta dengan tujuan mengadakan konferensi pembentukan organisasi sepakbola tingkat nasional. Tepat pada tanggal 19 April 1930, PSSI (Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia) resmi didirikan. Perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial yang hanya memperhatikan bondbond Belanda dan pemain kulit putih dalam sepakbola mendorong kelahiran organisasi ini. Dalam konteks ini, kelahiran PSSI tidak hanya dijadikan sebagai aksi protes atas sikap diskriminatif pemerintah kolonial. Kelahiran PSSI turut menjadi simbol perjuangan bangsa dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan Indonesia. Hingga pasca kemerdekaan, nasionalisme melalui sepakbola di Indonesia masih terus menyala. Kobaran semangat cinta tanah air yang melanda PSSI dan seluruh masyarakat Indonesia
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
pada gelaran AFF Championship – Suzuki Cup 2010 turut mewarnai sejarah persepakbolaan Indonesia. Kala iu, sepakbola di Indonesia bagi para pemain dan pendukungnya telah menjadi medan tempat memperjuangkan martabat bangsa. Di kampung-kampung, di kampus-kampus, di pasar swalayan, dan di sepanjang jalan di atas tanah air Indonesia kerapkali terlihat pemandangan masyarakat mengenakan kostum Tim Garuda. Acara menonton laga Timnas Indonesia bersamasama menjadi suatu kegiatan penuh sorak-sorai “Indonesia! Indonesia!”. Pada Piala AFF 2010 sesungguhnya telah terbukti bahwa Indonesia memiliki tim sepakbola dan masyarakat pendukung yang fanatik. Pemain yang berlaga di lapangan dengan para pendukungnya tidaklah saling mengenal, akan tetapi semangat nasionalisme dalam diri mereka membuat mereka semua merasa satu sebagai satu bangsa.
Nasionalisme Masyarakat Melayu Melalui Sepakbola dalam Novel Sebelas Patriot Telah dipaparkan pada bagian sebelumnya mengenai asal-usul nasionalisme di Indonesia, konsep nasionalisme yang dirumuskan oleh Sukarno selaku kaum intelektual muda Indonesia yang memiliki peran sentral dalam kemunculan nasionalisme di Indonesia, serta nasionalisme yang terkandung dalam olahraga sepakbola bangsa. Uraian tersebut pada bagian ini digunakan untuk memahami gambaran nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola dalam novel Sebelas Patriot karangan Andrea Hirata. Terdapat tiga tokoh dalam Sebelas Patriot yang memiliki jiwa nasionalisme menonjol dalam bidang sepakbola, yaitu tokoh Ayah Ikal, Ikal, dan Pelatih Toharun. Dalam diri sang ayah, nasionalisme lahir disebabkan dorongan atas keinginan untuk merdeka dari kungkungan penjajah. Kesempatan melawan pemerintah kolonial itu didapat ayah Ikal dalam pertandingan sepakbola. Bertanding secara total tanpa memedulikan ancaman pemerintah Belanda yang akan menyiksanya jika tim Belanda kalah adalah realisasi atas semangat nasionalisme yang ada dalam diri tokoh ayah. Ia dan timnya pun menang. Semangat berani mati demi kemerdekaan dirinya yang juga mewakili bangsanya itu kemudian berdampak pada penyiksaan yang sungguh-sungguh dilakukan oleh pihak Belanda. Poin-poin orientasi nasionalisme Indonesia seperti nonkoperasi, self-help, dan self-determination tampak menyala dalam diri tokoh ayah. Selepas era kolonial pun nasionalisme positif khas Sukarno tampak tetap hidup dalam dirinya.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Selanjutnya, nasionalisme dalam diri tokoh Ikal lahir ketika ia mendengar kisah perjuangan sang ayah di lapangan hijau saat memperkuat tim sepakbola kuli parit tambang melawan tim Belanda. Penyiksaan pemerintah Belanda yang menyebabkan karier ayah Ikal sebagai pemain sepakbola berakhir membakar semangat Ikal. Ikal berniat untuk meneruskan citacita ayahnya untuk menjadi pemain sepakbola. Pertandingan-pertandingan yang Ikal ikuti pun ia jalani dengan membayangkan perjuangan ayahnya saat melawan Belanda. Semangat nasionalisme era kolonial tampak menyala di dadanya yang saat itu sudah tidak lagi hidup di masa yang sama. Hingga dewasa, meski tidak berhasil menjadi pemain PSSI, rasa cinta Ikal terhadap sepakbola, PSSI, dan Indonesia tidak pernah hilang. Meski Ikal tengah menapakkan kakinya di tanah Eropa, ia tetap merindukan saat-saat ketika ia dan ayahnya bersama-sama masyarakat Melayu Belitong menyaksikan pertandingan PSSI dengan dukungan penuh. Kerinduan ini adalah buah nasionalisme, buah rasa cintanya terhadap bangsa Indonesia yang membuat ia terus merasa terikat dengan tanah tumpah darahnya di mana pun ia berada. Segenap karakteristik ini mencerminkan bahwa Ikal adalah sosok anak bangsa yang menghayati sejarah Indonesia dan pertumbuhan nasionalismenya sejalan dengan Trimurti Nasionalisme khas Sukarno. Pelatih Toharun, meski tidak seusia dengan Ikal dan lebih dekat usianya dengan usia ayah Ikal, juga mengalami apa yang Ikal alami dalam soal pewarisan nasionalisme. Ayahnya yang berprofesi sebagai pelatih bagi tim sepakbola yang diperkuat ayah Ikal turut menentang larangan Belanda bagi timnya untuk menang. Siksaan pun diterima Pelatih Amin saat timnya berhasil mengalahkan tim Belanda. Kisah inilah yang kiranya menginspirasi Pelatih Toharun untuk meneruskan perjuangan yang sama membangun klub sepakbola kampung demi kemajuan sepakbola bangsa. Nasionalisme positif dapat dilihat telah tumbuh dalam diri Pelatih Toharun melalui Trimurti Nasionalisme. Ketiga tokoh di atas adalah sosok-sosok lelaki Melayu Belitong asli. Mereka adalah bagian dari masyarakat Melayu Belitong yang dekat dengan dunia sepakbola. Selain itu, mereka juga termasuk sebagai bagian dari masyarakat Melayu Belitong kebanyakan yang hidup dalam serba keterbatasan. Namun, semangat nasionalisme dalam diri mereka mampu menjadi vitamin penguat untuk menembus segala keterbatasan yang mengadang. Tokoh Ikal, sang ayah, dan Pelatih Toharun dapat dikatakan hadir sebagai representasi masyarakat Melayu Belitong.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Nasionalisme dalam diri mereka dapat pula digolongkan sebagai wajah nasionalisme masyarakat Melayu Belitong dalam novel Sebelas Patriot. Adapun wajah nasionalisme masyarakat Melayu Belitong melalui sepakbola yang tampak dari penelusuran nasionalisme dalam diri ketiga tokoh ini adalah nasionalisme yang terbagi ke dalam dua cabang. Pada cabang pertama, nasionalisme lahir dalam diri sosok yang mengalami sendiri penindasan kaum penjajah. Pahitnya penjajahan membuat mereka berusaha meraih kemerdekaannya sebagai manusia dan juga sebagai rakyat yang tergabung dalam suatu bangsa. Pada cabang kedua, nasionalisme lahir secara terwariskan. Nasionalisme ini lahir pada generasi yang tidak mengalami langsung penindasan penjajah. Akan tetapi, dengan mendengar, mengetahui, dan mempelajari kisah perjuangan generasi pendahulunya, mereka mengerti mahalnya harga kemerdekaan. Nasionalisme dalam diri generasi-generasi ini umumnya disalurkan dalam bentuk selain perlawanan mengingat tidak ada lagi pemerintah jajahan yang harus mereka lawan. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme dalam diri masyarakat Melayu Belitong melalui sepakbola pada novel Sebelas Patriot berhubungan erat dengan kondisi sosial dan historis Pulau Belitong. Catatan pada sejarah yang menyatakan bahwa Belitong selama berabad-abad pernah berada dalam kungkungan penjajah tidak heran menjadi pemicu tumbuhnya semangat nasionalisme dalam diri masyarakatnya termasuk dalam hal memaknai sepakbola. Adapun keberlanjutan semangat nasionalisme di era selepas masa kolonial terus diwariskan atau tumbuh dengan sendirinya dalam jiwa-jiwa generasi penerus yang mau mengetahui sejarah sepakbola Belitong. Melalui sebuah novel, yakni Sebelas Patriot, Hirata seolah ingin menyadarkan masyarakat pembaca bahwa potret masyarakat Melayu tidak dapat dianggap main-main. Meskipun selalu ditindas, mereka mampu menemukan cara dan jalannya untuk melawan pemerintah kolonial, salah satunya melalui sepakbola. Dengan jumlah halaman yang tidak terlampau banyak jika dibandingkan dengan novel-novelnya terdahulu, Hirata tidak banyak menawarkan hasil riset budaya seperti yang telah ia sajikan dalam dwilogi Padang Bulan. Jika dalam dwilogi yang dipenuhi kelucuan akan hal-hal unik tentang kebiasaan masyarakat Melayu tersebut Hirata menelanjangi habis kebiasaan para pria Melayu dengan kehidupannya di warung kopi, maka kadar kekentalan sajian warna lokal tersebut terasa lebih encer dalam Sebelas Patriot. Tampak kemungkinan bahwa dalam Sebelas Patriot Hirata tidak ingin mengulang-ulang berbagai
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
hal yang telah ia kisahkan panjang-lebar di karya-karya sebelumnya. Namun, jika dipandang sebagai karya pembangkit semangat serta penguat keyakinan manusia akan kekuatan cinta tulus dan mimpi, karya ini tidak kalah bersinarnya dengan karya-karya Hirata terdahulu yang memang dikenal menginspirasi. Dari novel Sebelas Patriot didapat kesimpulan bahwa Andrea Hirata hendak mengangkat kisah sarat nilai nasionalisme yang belum terekam dalam sejarah umum secara formal. Kisah yang ia angkat pun bukan seputar perjuangan dalam praktik angkat senjata maupun peperangan. Perjuangan sepakbola rakyat Belitong di era kolonial dipilih oleh Andrea Hirata untuk menyadarkan pembaca bahwa perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hanya terdiri atas kisah-kisah perjuangan besar yang populer. Selain itu, penghadiran sosok sang ayah yang baru pada kelas 6 SD ia sadari sebagai patriot Indonesia tampak pula sebagai upaya Hirata untuk menyuarakan bahwa patriot bukanlah melulu sosok besar yang terkenal. Sosok patriot mungkin saja ada di sekitar, bahkan sangat dekat, dengan keseharian kita. Dengan perjuangannya, sosoksosok patriot ini rela mempertaruhkan nyawa demi kemajuan bangsa yang mereka cinta. Kisah dalam Sebelas Patriot yang amat kental diwarnai oleh semangat nasionalisme para tokoh sentralnya pada akhirnya menguatkan pemikiran para kaum nasionalis bahwa semangat nasionalisme adalah semangat yang harus dihidupkan, disuburkan, dan disebarkan dalam jiwa setiap rakyat Indonesia. Adapun sepakbola dan PSSI dapat menjadi salah satu media penyalur semangat nasionalisme itu. Di samping itu, penghadiran tema nasionalisme dalam Sebelas Patriot tampak sebagai jawaban Hirata atas kritik-kritik yang menyatakan bahwa karya-karyanya selama ini sesungguhnya begitu mengagungkan modernitas Eropa dan tidak begitu mengakrabkan pembaca dengan kekaguman terhadap bangsa Indonesia. Pada bagian akhir novel, Hirata menghadirkan sosok Ikal yang terasa menjadi perpanjangan lidahnya untuk menyampaikan bahwa ke mana pun ia melangkah dan betapa pun ia mengagumi kemajuan bangsa asing, cinta yang sesungguhnya tetaplah ia persembahkan bagi Indonesia. Berpijak pada segenap strategi Hirata yang terlihat dari pilihan tema yang ia angkat dan cara penuangannya ke dalam sebuah novel beserta suara-suara yang tampak ingin ia gaungkan, didapatkan pula kesimpulan bahwa suatu pengkajian mendalam secara nyata dapat menggali nilai-nilai yang terkandung dalam karya yang sepintas terlihat sangat sederhana seperti Sebelas Patriot ini. Meski data menunjukkan bahwa Sebelas Patriot adalah novel Hirata yang sejauh ini
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
paling tipis, tidak begitu kaya akan deksripsi warna lokal, dan belum meraih keberhasilan setinggi karya-karya Hirata sebelumnya, nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya tidaklah sesederhana tampilan luarnya.
Penutup Melalui kajian dalam tulisan ini, semangat nasionalisme yang disalurkan melalui olahraga bangsa telah terbukti menyala-nyala kehadirannya di Indonesia. Salah satu olahraga yang menjadi media penyaluran nasionalisme di masa pasca penjajahan seperti saat ini adalah sepakbola. Sepakbola memang jelas terlihat sebagai olahraga yang begitu digemari di nusantara. Kendati demikian, perluasan kajian terhadap wujud nasionalisme dalam novel Indonesia lainnya yang juga mengangkat tema olahraga selain sepakbola kiranya baik dilakukan. Setelah sekian banyak novel Indonesia bermunculan dengan tema nasionalisme yang mewujud dalam upaya perlawanan melawan penjajah melalui aksi perang, tema nasionalisme dalam wujud-wujud berbeda seperti olahraga memanglah menarik. Dengan jalan ini, pesan bahwa wujud nasionalisme tidak hanya identik dengan masyarakat terjajah dan upayanya mengusir penjajah dapat lebih jelas tersampaikan. Di samping itu, kajian bandingan antara karya sastra bertema nasionalisme yang diterbitkan saat Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajah dan karya sastra bertema nasionalisme yang ditulis benar-benar saat penjajah masih menduduki Indonesia terlihat menarik. Melalui kajian bandingan ini, perbedaan maupun persamaan tanggapan sastrawan yang melahirkan karya-karya tersebut dapat digali dan diketahui sehingga tergambar pula pengaruh maupun hubungan keberadaan penjajah dengan karya-karya bertema nasionalisme di Indonesia. Upaya serius, kerja sama, dan tindak nyata para ahli sastra pada akhirnya menjadi poin penting yang amat dibutuhkan guna mewujudkan pemikiran-pemikiran yang telah tersaji.
Daftar Acuan Abdullah, Husnial Husin. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. Jakarta: Karya Unipress, 1983.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Adams, Cindy. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia: Biography As Told To Cindy Adams. Jakarta: Gunung Agung, 1966. Anderson, Bennedict. Imagined Communities. London, New York: Verso, 2000. Bangun, Henry Ch. Wajah Indonesia dalam Olahraga: 100 Tahun Berita Olahraga Indonesia. Jakarta: Pustaka Spirit, 2007. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum, 2010. Dhont, Frank. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Hirata, Andrea. Maryamah Karpov. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2008. ------------------. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2010. ------------------. Padang Bulan. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2010. ------------------. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011. ------------------. Laskar Pelangi: New Edition. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011. ------------------. Sebelas Patriot. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011. ------------------. Sang Pemimpi: New Edition. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2012. Hirata, Andrea dan kawan-kawan. Laskar Pelangi Song Book. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2012. Jassin, H.B. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia, 1983. Kahin, George McTurnan. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: UNS Press, 1995. Rampan, Korrie Layun. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Terj. Nin Bakdi Soemanto). Jakarta: Grasindo, 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Terj. Satrio Wahono, dkk.). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. Sirimorok, Nurhady. Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, Pembacanya, dan Modernisasi Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, 2008. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya, 1988.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013
Sukarno. Indonesia Menggugat: Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial, Bandung, 1930. Jakarta: Gunung Agung, 2001. Susilo, Joko dan Siti Maemunah. Tiga Abad Melayani Dunia: Potret Tambang Timah Bangka Belitung. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 2009. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia, 1988. Disertasi Miftahuddin. Makna Nasionalisme Indonesia: Suatu Pendekatan Diskursif di Era Orde Baru. Disertasi Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok: FISIP UI, 2009. Skripsi Ichsan, Achmad Chuzaifah. Gentlement’s Agreement 15 Januari 1937 Antara NIVU (Nederlansch Indishe Voetbal Unie) dengan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Depok: FIB UI, 2004.
Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013