WACANA KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM SISTEM HUKUM WARIS ISLAM Nurhadi1
ABSTRAK Kesetaraan kedudukan dan hak perempuan dengan laki-laki sebagai ahli waris merupakan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Perilaku anggota masyarakat Muslim dalam segenap lapisan yang banyak menempuh medium hibah dan wasiat dalam pengalihan hak atas harta yang akan ditinggalkan orang tua kepada anak menunjukkan inner voice mereka yang tidak ingin membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris. Meskipun demikian, penggunaan medium ini menyisakan celah untuk dibatalkan oleh pengadilan, karena para ulama fiqh berpandangan bahwa menghindari faraidh dengan melakukan hibah atau wasiat merupakan bentuk hilah atau hiyal al-syar'iyah yang secara hukum terlarang.Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya pembaharuan hukum waris nasional yang memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan menerapkan asas “kesetaraan terbuka”. Penggunaan asas “kesetaraan terbuka” terhadap kedudukan dan hak perempuan dengan laki-laki sebagai ahli waris ini sudah pada tempatnya dalam upaya membangun hukum kewarisan nasional dalam bentuk undang-undang, dengan catatan masyarakat Muslim tetap diberikan peluang melakukan penyimpangan atas asas tersebut jika telah terdapat kesepakatan dari seluruh ahli waris.
Kata Kunci : Kesetaraan, Hukum Waris Islam, Sistem hukum, Unifikasi hukum, Faraidh
PENDAHULUAN Sampai saat ini, setelah lebih dari enam puluh tahun Indonesia merdeka, sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda masih tetap pluralistis dan belum terunifikasi (unified) seperti yang diamanatkan oleh asas kesatuan dan persatuan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut pakar hukum Indonesia, Mochtar Kusumatmadja, asas ini mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus menjadi hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. 2 Kondisi seperti ini tentu menimbulkan tanda tanya, apalagi setelah tahun 1974 lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menandakan usaha unifikasi dalam bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Pada mulanya banyak orang menganggap bahwa bidang-bidang hukum keluarga adalah bidang-bidang hukum yang tidak netral —karena menyangkut kultur dan kepercayaan— dan karena itu sulit untuk diunifikasikan. Tetapi setelah keberhasilan unifikasi hukum perkawinan melalui UU Nomor 1 Tahun 1974, kemungkinan tentang unifikasi hukum waris harus dipertimbangkan kembali.
1
Dosen Tetap Prodi AS Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Mochtar Kusumaatmadja, ―Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang‖, Dalam Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & Alumni, 2002), 187. 2
Dalam praktik terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, dulu dan sekarang. Pembagian ini disesuaikan dengan penggolongan warganegara warisan berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS).3 Ketiga sistem hukum waris tersebut adalah: (1) Hukum Waris Perdata Barat; (2) Hukum Waris Islam;dan (3) Hukum Waris Adat.4Dalam ketiga sistem hukum waris ini, posisi laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukannya sebagai ahli waris maupun dalam jumlah besaran porsi bagian harta waris yang akan diterimanya, terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Jika mencermati ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum waris Islam, terutama jika dihubungkan dengan kondisi saat ini, ada banyak persoalan yang harus dipecahkan, di antaranya persoalan kedudukan dan hak perempuan sebagai ahli waris.Hukum waris Islam pada dasarnya tidak membedakan kedudukan perempuan dengan laki-laki sebagai ahli waris.Namun demikian, hukum waris Islam membedakan porsi atau besarnya bagian harta waris yang diterima oleh laki-laki dan perempuan, yakni perempuan mendapat separuh dari bagian anak laki-laki. Dilihat dari sudut hakikat waris itu sendiri, sesungguhnya waris itu adalah proses pengalihan, pengoperan, atau penerusan pemilikan harta kekayaan materiil dan immateriil dari pewaris kepada ahli warisnya. 5 Jika dihubungkan dengan hakikat tersebut, harta waris itu sendiri sebagai obyek dari proses pewarisan berfungsi sebagai bekal atau modal untuk pembinaan kehidupan selanjutnya bagi para ahli waris. Ini dipertegas dalam Simposium Hukum Waris Nasional Tahun 1983 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa ―Harta warisan berfungsi sebagai bekal/modal dasar materiil bagi pembinaan kehidupan dan mewujudkan keadilan sosial.‖6 Sesungguhnya hukum Islam juga menekankan fungsi ini.Sebagian ulama kerap merujuk pendapat Ibn Sina yang menyatakan bahwa manusia untuk hidupnya membutuhkan sandang pangan, pendidikan, kesehatandan sebagainya.Kebutuhan ini diperoleh melalui aktivitas perekonomian yang modalnya terdiri dari dua sumber, yaitu warisan dan usaha.Warisan menurut Ibn Sina merupakan modal untuk usaha, dalam arti tidak untuk halhal yang konsumtif.7Dengan demikian, jelas bahwa harta waris mempunyai nilai ekonomi dan berfungsi sebagai sarana atau modal untuk kehidupan para ahli waris selanjutnya. Nilai ini akan semakin tinggi bila dihubungkan dengan kaum perempuan yang memiliki banyak keterbatasan. Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung sedemikian pesat telah mengakibatkan terjadinya perubahan revolusioner dalam sejarah sosial umat manusia, salah satunya adalah perubahan sistem masyarakat berdasarkan sistem kekeluargaan bilateral. Pada saat yang sama, kaum perempuan mulai mendapatkan pendidikan dan akses yang luas untuk berpartisipasi di ruang publik. Situasi tersebut telah menimbulkan pergeseran terhadap kedudukan kaum perempuan di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. 3
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), 25-105. Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), 281. Bandingkan dengan Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007), 241. 5 Lihat B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), 197; R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1964), 37; R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), 84; dan R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1966), 8. 4
6 7
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1991), 108. Abdullah Zaky Al Kaaf, Ekonomi Dalam Perspketif Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 176.
PEMBAHASAN A.Hak dan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan dalam Hukum Waris Islam Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba8 – saat ini masalah hamba sahaya sudah tidak banyak dibahas lagi kecuali dalam fiqh konvensional. Adanya perkawinan akan menimbulkan hak warisan antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak. Karakteristik yang paling menonjol dari hukum waris Islam, yang membedakannya dengan sistem hukum waris lainnya, adalah bahwa dalam hukum Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-laki. Dalam kitab-kitab tafsir, relatif ditemukan sedikit perbedaan antara para mufassir ketika memahami prosentase bagian masing-masing ahli waris. Hal ini mengingat bahwa Allah SWT telah menjelaskan bagian prosentase masing-masing ahli waris secara jelas dan pasti dalam Q.S. al-Nisa/4: 11, 12, dan 176. Ayat waris pertama, yakni ayat 11, berbicara tentang dua macam pewarisan, pewarisan bagi anak-anak dan pewarisan bagi orang tua.Ayat 12 berbicara tentang dua hal; penggal pertama ayat 12 berbicara tentang pewarisan bagi suami-istri, dan penggal kedua berbicara tentang pewarisan bagi saudara-saudara (seibu) atau disebut dengan pewarisan al-kalâlah (pewarisan punah).Kemudian terakhir, ayat 176, juga berbicara tentang pewarisan al-kalâlah. Selengkapnya redaksi ketiga ayat tersebut adalah sebagai berikut: Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta, dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Nisa/4: 11). Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak, jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun 8
Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ahkâm al-Tirkah wa al-Mawârits (Kairo: Dar al-Fikr al-‗Arabi, t.th.), 79-83; Muhammad al-Syahat al-Jandi, Al-Mîrats fî Syarî„ah al-Islâm (Kairo: Dar al-Fikr al‘Arabi, t.th.), 60-67; dan Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqh al-Mawârits wa al-Washiyyah fî Syarî„ah al-Islâm: Dirâsah Muqâranah (Mesir: Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th.), 28-29.
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun (Q.S. al-Nisa/4: 12). Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. al-Nisa/4: 176). Pembahasan dalam bagian ini hanya menguraikan prosentase bagian ahli waris dalam kaitannya dengan hak dan kedudukan perempuan dalam konteks hukum waris Islam.Pada penggal pertama ayat 11, yang berbicara tentang pewarisan bagi anak-anak, terdapat beberapa pembahasan dari para mufassir.Pertama, terkait dengan firman Allah SWT ―li dzakar mitsl hazh al-untsayayn‖ (bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan). Seluruh mufassir memahami bahwa dalam redaksi ini Allah SWT menjelaskan tentang pewarisan anak-anak yang ditinggalkan si mayit jika terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan sekaligus.Dalam keadaan berkumpulnya anak laki-laki dan anak perempuan secara bersamaan, maka prinsip pembagiannya adalah dua banding satu untuk laki-laki, berapapun jumlah anak yang ditinggalkan.9Al-Zamakhsyari (w. 538 H/1142 M) dan al-Razi (w. 606 H/1208 M) menyatakan bahwa penyebutan laki-laki terlebih dahulu dan penerimaan bagiannya dua kali lipat dari bagian yang diterima perempuan menunjukkan keutamaan laki-laki atas perempuan.10Hal senada juga dikemukakan oleh Mahmud al-Alusi (w. 1270 H/1853 M). Namun demikian, beliau menambahkan bahwa penggunaan kata-kata al-dzakar dan al-untsâ untuk menunjuk jenis laki-laki dan perempuan pada ayat tersebut mengindikasikan tidak adanya perbedaan sama sekali dalam hal umur untuk menerima warisan, baik anak kecil maupun dewasa berhak
9
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1420 H/1999 M),Jilid III, 616; Abu al-Qasim Mahmud ibn ‗Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, AlKasysyâf „an Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Beirut: Dar al-Kutub al‗Ilmiyyah, 1415 H/1995 M),Jilid I, 469; Abu Bakar Muhammad ibn ‗Abdullah Ibn al-‗Arabi, Ahkâm alQur‟ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1408 H/1988 M),Jilid I, 435; Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsîr alKabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid V, 211; Abu al-Fida Ismail ibn ‗Umar ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (Mesir: Dar Mishr li al-Thiba‘ah, t.th.), Jilid I, 457; Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1421 H/2000 M), Jilid I, 457; dan Syihabuddin Mahmud al-Alusi, Rûh al-Ma„ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm wa al-Sab‟u al-Matsânî (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1422 H/2001 M),Jilid II, 426.. 10 Lihat al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf , 469; dan al-Razi, Al-Tafsîr al-Kabîr, 214.
menerima bagian–berbeda dengan anggapan orang-orang Jahiliyyah yang tidak memberikan warisan kepada anak-anak kecil dan perempuan.11 Para mufassir mengemukakan beragam argumen terkait dengan ‗illat dan hikmah dalam penerimaan bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan, Menurut al-Razi, terdapat beberapa ‗illat dan hikmah yang terkandung dalam pembagian dua kali lipat untuk laki-laki.Pertama, perempuan lebih sedikit keluar rumah, karena suaminya yang berkewajiban memberikan nafkah kepadanya; sementara laki-laki lebih sering keluar rumah untuk mencari nafkah bagi isterinya, maka orang yang lebih banyak keluar lebih banyak kebutuhannya terhadap harta.Kedua, laki-laki lebih sempurna akal dan agamanya dibanding perempuan, misalnya kecakapan sebagai hakim dan pemimpin, juga kesaksian perempuan adalah separuh kesaksian laki-laki, karena itu adalah wajar jika pemberian kepada laki-laki melebihi pemberian kepada perempuan.Ketiga, perempuan pendek akal dan besar keinginan nafsunya, sehingga jika kepadanya diserahkan harta yang banyak akan berpotensi besar menimbulkan kerusakan. Keempat, sesungguhnya laki-laki disebabkan oleh kesempurnaan akalnya akan membelanjakan hartanya kepada hal-hal yang berfaedah di dunia dan akhirat, seperti untuk menolong orang yang teraniaya atau anak yatim; hal itu juga didukung dengan seringnya laki-laki bergaul dengan masyarakat umum, berbeda dengan kondisi perempuan. Kelima, diriwayatkan bahwa Ja‘far al-Shadiq pernah ditanya perihal pembagian dua kali lipat untuk laki-laki, maka beliau menjawab: ―Sesungguhnya Hawa mengambil segenggam gandum dan memakannya, kemudian mengambil segenggam lagi dan menyembunyikannya, kemudian mengambil ketiga kalinya dan memberikannya kepada Adam. Sehingga pada saat ia mengambil bagian bagi dirinya dua kali lebih banyak dari bagian laki-laki, maka Allah SWT membalik kecurangan ini atasnya, dan menjadikan bagiannya setengah dari bagian laki-laki.‖12 Menurut Rasyid Ridha (w. 1355 H/1935 M), hikmah dalam pembagian waris dua kali lipat untuk laki-laki adalah karena seorang laki-laki membutuhkan biaya nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk isterinya, sementara seorang perempuan hanya untuk dirinya sendiri dan tatkala menikah biaya nafkahnya akan ditanggung sepenuhnya oleh suami. Menurut Ridha, argumen yang mengatakan bahwa penerimaan dua kali lipat pihak laki-laki dibanding perempuan dalam pewarisan disebabkan karena kurangnya akal perempuan adalah pendapat yang munkar.13 Kedua, firman Allah ―fa in kunna nisâ‟an fawqa itsnatayn fa lahunna tsulutsâ mâ tarak wa in kunna kânat wâhidah fa lahâ al-nishf‖ (dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta). Para mufassir memahami bahwa redaksi tersebut khusus berbicara tentang pewarisan anak perempuan jika tidak beserta anak laki-laki.Al-Thabari menafsirkan redaksi tersebut, yaitu apabila yang ditinggalkan hanya anak-anak perempuan saja yang berjumlah lebih dari dua, maka bagi mereka 2/3 dari harta warisan, dan jika anak perempuan yang ditinggalkan hanya seorang, maka baginya separuh harta warisan yang ditinggalkan. 14 Terlihat dengan jelas bahwa dalam ayat tersebut, berdasarkan penafsiran al-Thabari di atas, Allah SWT hanya menjelaskan tentang bagian yang diterima oleh anak perempuan yang berjumlah lebih dari dua dan bagian satu anak perempuan. Lalu bagaimana halnya dengan bagian dua anak perempuan, berapa bagian yang akan diterima? Maka, di sinilah 11
Al-Alusi, Rûh al-Ma„ânî, 426. Al-Razi, Al-Tafsîr al-Kabîr, 214. 13 Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th.), Jilid 4, 406. 14 Al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân, 618. 12
muncul perbedaan di antara para ulama.Dalam kitab-kitab tafsir dikemukakan dua pendapat berkaitan dengan masalah ini.Pertama, menurut Ibn ‗Abbas, dua anak perempuan mendapat bagian 1/2, sebagaimana satu anak perempuan. Beliau berhujjah dengan redaksi ayat ―fa in kunna nisâ‟an fawqa itsnatayn fa lahunna tsulutsâ mâ tarak‖ (dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan). Menurutnya, huruf ―in‖ dalam bahasa berfungsi sebagai syarat (li al-isytirâth).Sehingga bagian 2/3 hanya bisa dipenuhi apabila jumlah anak perempuan adalah 3 orang atau lebih.15Namun, pendapat Ibn ‗Abbas ini banyak ditentang oleh jumhur ulama, yang berpendapat bahwa bagian dua anak perempuan adalah 2/3 disamakan dengan jumlah di atas dua orang (fawqa itsnatayn).Pendapat kedua inilah yang kemudian lebih populer dan diterapkan dalam ilmu faraidh.Argumen-argumen yang digunakan untuk memperkuat pendapat kedua di atas didasarkan pada ayat al-Quran dan Hadis Nabi. Ibn al-‗Arabi (w. 543 H/1148 M), misalnya, mengemukakan enam argumen untuk memperkuat pendapat di atas.Pertama, firman Allah ―li dzakar mitsl hazh al-untsayayn‖ (bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan), mengindikasikan bahwa jika anak perempuan bersama saudara laki-lakinya mendapat sepertiga, maka ia juga lebih berhak mendapat dua pertiga jika bersama saudari perempuannya. Kedua, berdasarkan Hadis Shahih yang bersumber dari Ibn Mas‘ud, Nabi telah memutuskan perihal harta warisan seseorang yang meninggalkan ahli waris: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudari perempuan; seperenam untuk cucu perempuan dari anak laki-laki, separuh untuk anak perempuan untuk menggenapkan menjadi dua pertiga, dan sisanya (1/3) untuk saudari perempuan. Maka, jika cucu perempuan dari anak laki-laki beserta anak perempuan saja mendapatkan 2/3, apalagi anak perempuan bersama saudari perempuannya (dua anak perempuan), tentunya lebih berhak.Ketiga, Nabi memberikan bagian 2/3 untuk dua anak perempuan Sa‘d ibn al-Rabi‘. Keempat, sesungguhnya makna ayat ―fa in kunna nisâ‟an fawqa itsnatayn fa lahunna tsulutsâ mâ tarak‖ (dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan) adalah seperti firman Allah SWT dalam Q.S. al-Anfal/8: 12: ― ‖ فاضربوا فوق األعناق, maksudnya adalah ― ‖ إضربوا األعناق فما فوقها. Kelima, bagian 1/2 bukanlah bagian yang diperuntukkan untuk isytirâk (dibagi bersama), ia adalah bagian yang dikhususkan untuk satu orang anak perempuan, berbeda dengan bagian 2/3 yang memang diperuntukkan untuk isytirâk. Keenam, sesungguhnya Allah berfirman tentang pewarisan bagi saudara (al-ikhwah) dalam Q.S. al-Nisa/4: 176: ―fa in kânatâ itsnatayn fa lahumâ al-tsulutsân min mâ tarak‖ (tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal), maka dua anak perempuan disamakan dengan dua saudari perempuan mendapatkan 2/3 harta.16 Setelah membicarakan pewarisan bagi anak-anak, penggal kedua ayat 11 beralih kepada pembicaraan tentang pewarisan bagi kedua orang tua, yang diawali dengan firman Allah SWT ―wa li abawaih li kulli wâhid minhumâ al-sudus min mâ tarak in kâna lahu walad‖ (dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak).Para mufassir menafsirkan redaksi ayat tersebut: ―dan bagi kedua orang tua si mayyit masing-masing bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan si mayyit, jika ia tidak memiliki anak, baik laki-laki atau perempuan, baik berjumlah satu atau banyak‖. Dalam kondisi ini, pembagian yang diterima ayah maupun ibu adalah sama, tidak ada prinsip dua banding satu bagi laki-laki. Namun, 15
Lihat Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 471; Ibn al-‗Arabi, Ahkâm al-Qur‟ân, 436; dan Al-Razi, AlTafsîr al-Kabîr, 212. 16 Ibn al-‗Arabi, Ahkâm al-Qur‟ân, 437.
terdapat perbedaan untuk bagian ayah ketika anak yang ditinggalkan adalah seorang anak perempuan.Karena bagian maksimal anak perempuan sebagaimana ditetapkan al-Quran adalah 1/2, maka setelah masing-masing ayah dan ibu menerima bagian 1/6, ayah menerima bagian 1/6 sisanya sebagai „ashabah. Lanjutan ayat tersebut, ―fa in lam yakun lahu walad waritsahu abawâhu fa li ummih al-tsusluts‖ (jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga) dipahami oleh para mufassir: ―jika si mayyit tidak meninggalkan anak dan hanya diwarisi oleh kedua orang tuanya tanpa adanya ahli waris selain keduanya, maka bagi ibunya 1/3 dan sisa selebihnya untuk ayah.‖ Dalam kasus ini berlaku prinsip ―li dzakar mitsl hazh al-untsayayn‖ (bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan).17 Kasus yang dijelaskan di atas adalah jika ahli waris hanya terdiri dari ayah dan ibu saja (waritsahu abawâhu). Namun, jika selain keduanya terdapat suami atau istri sebagai pewaris, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat tentang cara pembagiannya. Pertama, setelah suami atau isteri menerima bagiannya (1/2 dan 1/4), isteri mengambil bagian 1/3 dari sisa harta setelah dipotong untuk bagian suami atau isteri, dan ayah mengambil 2/3 sisanya. Pendapat ini adalah pendapat ‗Umar dan ‗Utsman – dalam riwayat lain adalah pendapat ‗Ali, dan merupakan pendapat yang diikuti oleh jumhur ulama. Dengan pembagian demikian, maka prinsip ―li dzakar mitsl hazh al-untsayayn‖ (bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan) bisa dipertahankan. Kedua, menurut Ibn ‗Abbas, ibu mengambil 1/3 dari keseluruhan harta warisan sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam ayat ―fa in lam yakun lahu walad waritsahu abawâhu fa li ummih altsusluts‖ (jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga).Ketiga, pendapat yang mengambil jalan tengah di antara kedua pendapat di atas, yaitu dalam kasus adanya isteri, maka ibu mengambil 1/3 dari keseluruhan harta warisan, sementara dalam kasus adanya suami, maka ibu mengambil bagian 1/3 dari harta sisa setelah dipotong untuk bagian suami. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin.18 Redaksi ayat selanjutnya ―fa in kâna lahu ikwah fa li ummih sudus‖ (jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam).Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata al-ikhwah dalam ayat ini. Menurut Ibn ‗Abbas, al-ikhwah berarti tiga saudara atau lebih, sementara menurut jumhur ulama, alikhwah adalah mulai dua orang. Karena itu, jumhur ulama menafsirkan redaksi ini dengan: ―jika si mayit mempunyai al-ikhwah (dua saudara atau lebih), maka ibu mendapat 1/6 dan sisanya untuk ayah.‖19 Dalam hal ini, saudara-saudara menghalangi (hijâb nuqshân) ibu dari perolehan 1/3 menjadi hanya 1/6, meskipun mereka sendiri tidak mendapat bagian sama sekali.20 Setelah ayat 11 di atas menjelaskan pewarisan bagi ahli waris yang memiliki hubungan darah secara langsung kepada si mayyit, yakni anak-anak dan orang tua; ayat 12 berbicara tentang dua macam pewarisan, yaitu pewarisan bagi ahli waris yang memiliki hubungan dengan si mayyit melalui ikatan perkawinan (suami-isteri) dan pewarisan kalâlah. 17
Lihat al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân, 619; al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 472; Ibn al-‗Arabi, Ahkâm alQur‟ân, 439; dan Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, 458. 18 Lihat Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, 458; dan al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr, 223. 19 Al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân, 620. 20 Pendapat di atas berbeda dengan pendapat Ibn ‗Abbas.Menurutnya, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris ayah, ibu, dan tiga saudara, maka ibu mendapat 1/6, al-ikhwah mendapat 1/6, dan sisanya untuk ayah. Lihat Al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân, 622; dan Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, 459.
Penggal pertama ayat 12 yang berbicara tentang pewarisan bagi suami-isteri sebagaimana berikut: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak, jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Dalam kitab-kitab tafsir tidak ditemukan banyak perbedaan penafsiran di antara para mufassir ketika menafsirkan redaksi ayat di atas.Secara jelas, ayat di atas menjelaskan bahwa suami mendapat bagian 1/2 dari harta peninggalan isteri, jika isteri tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Namun jika isteri memiliki anak, maka suami mendapat bagian 1/4, sementara isteri akan mendapat bagian 1/4 dari harta peninggalan suami, jika suami tidak meninggalkan anak, dan jika suami meninggalkan anak, maka isteri mendapat bagian 1/8 dari harta peninggalan suami. Interpretasi para mufassir di atas pada dasarnya merupakan landasan bagi kerangka hukum waris yang dirumuskan oleh para fuqaha.Oleh karena itu, sikap para fuqaha terhadap hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum waris tidak berbeda dengan sikap para mufassir sebagaimana dikemukakan di atas. Ketentuan Q.S al-Nisa/4: 11 masih tetap dianggap qath„î al-dilâlah yang tidak mungkin mengalami perubahan sepanjang masa walaupun dalam konteks masyarakat modern berbeda dengan konteks masyarakat Arab saat al-Qur‘an tersebut diturunkan. Pemahaman terhadap Q.S al-Nisa/4: 11 tersebut tetap dipertahankan karena kalimat ―li dzakar mitsl hazh al-untsayayn‖ sangat jelas pengertiannya, yaitu jika anak laki-laki bergabung dengan anak perempuan maka bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Dalam Ketentuan ushul fiqh, kalimat yang mengandung pengertian jelas merupakan lafadz yang qath„î atau tidak mengandung tafsir lain.Di samping asas qath„î al-dilâlah, hukum waris oleh para fuqaha dianggap hukum yang bersifat ta„abbudî yang tidak dapat dirasionalisasikan. B.Konsep Kesetaraan Hak & Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Islam Indonesia 1. Pembagian Harta Waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Beberapa literatur akademik menyebutkan bahwa konstruksi pemikiran dan penerapan hukum Islam di Indonesia ditandai oleh karakteristik yang unik. Menurut M.B. Hooker, syariah di Indonesia memiliki karakter yang khas dan berbeda dengan negaranegara lain yang ada di Timur Tengah, Afrika Utara atau Asia Tenggara lainnya—meskipun dalam hal tertentu memiliki tradisi hukum yang sama. Hooker mengemukakan bahwa hukum positif di Indonesia tidak didasarkan pada inspirasi ketuhanan, melainkan bergantung pada otoritas lain, yaitu konstitusi yang merancang kriteria keabsahan hukum dan peraturan.Oleh karena itu, positivisasi hukum syariah di Indonesia senantiasa dilakukan melalui jalur-jalur konstitusional. Proses tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kebijakan negara melalui perundang-undangan, lembaga peradilan, lembaga pendidikan dan domain publik lainnya. Menyimak fakta tersebut, Hooker berkesimpulan bahwa hukum Islam di Indonesia sesungguhnya merupakan manifestasi fiqh baru yang ditemukan dalam hukum positif negara. Dalam level yang paling mendasar, fiqh baru adalah syariah dalam
pengertian negara. Dengan kata lain, syariah di Indonesia adalah work in progress menuju penciptaan mazhab hukum Islam yang khas.21 Pandangan di atas paling tidak dapat dilihat manifestasinya dalam penerapan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Formalisasi hukum kewarisan Islam di Indonesia secara normatif dan sosiologis pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari eksistensi tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Trikotomi sistem hukum tersebut telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pembentukan dan pergeseran paradigma hukum kewarisan Islam Indonesia yang dianggap unik dan, dalam beberapa aspek, berbeda dengan paradigma hukum kewarisan Islam konvensional. Paradigma hukum kewarisan Islam Indonesia tersebut secara institusional dilembagakan dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991. Formulasi hukum kewarisan Islam yang termaktub dalam KHI pada dasarnya merefleksikan ikhtiar para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia untuk melampaui asumsi-asumsi tradisional yang selama ini dijadikan pedoman dalam bidang hukum kewarisan. Hal ini dapat dilihat dalam pergeseran beberapa ketentuan fiqh waris konvensional ke dalam ketentuan baru sebagaimana diintrodusir dalam KHI, antara lain dalam masalah penghalang ahli waris, wasiat wajibah, kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menghijab saudara ayah, kedudukan anak angkat dan ahli waris pengganti. Meskipun KHI tidak melakukan perubahan radikal dalam kaitannya dengan hak dan kedudukan perempuan, namun KHI telah merambah jalan baru dalam upaya pembaruan hukum kewarisan Islam yang lebih responsif terhadap perubahan-perubahan struktural dan realitas sosial-kultural masyarakat Muslim Indonesia kontemporer. Dalam kaitannya dengan masalah penghalang waris (mawâni„ al-irts), para ulama fiqh telah menyepakati tiga faktor yang menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan hak waris, yakni: (1) pembunuhan; (2) perbedaan agama; dan (3) perbudakan. Selain ketiga faktor ini, terdapat faktor lain penghalang waris yang status hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama, yakni murtad, berlainan negara di antara sesama orang kafir dan ketidakjelasan waktu kematian.22 Dalam konteks ini, KHI tidak mengenal terminologi penghalang waris akibat perbedaan negara dan perbudakaan. Namun demikian, KHI memperluas makna pembunuhan menjadi beberapa terminologi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173, yaitu seseorang yang telah dipersalahkan: (a) telah membunuh; (b) mencoba membunuh; (c) menganiaya berat para pewaris; (d) memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dengan demikian, dalam masalah pembunuhan, KHI menetapkan kriteria yang lebih ketat dibandingkan dengan fiqh konvensional. Dalam masalah hak dan kedudukan anak angkat dan orang tua angkat, KHI juga memperkenalkan ketentuan hukum baru yang berbeda dengan fiqh konvensional. Ketentuan hukum baru tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan antara ketentuan hukum adat dan hukum Perdata Barat yang cenderung memposisikan anak angkat sebagai anak kandung di
21
M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008), 285. 22 Lihat Said Abdul al-Salam, Al-Masyâkil al-„Amaliyyah fî Qânûnî al-Mawârîts wa al-Washiyyah (Iskandariyah: Mansya‘at al-Ma‗arif, t.th.), 13; Yasin Ahmad Ibrahim Daradakah, Al-Mîrâts fî al-Syarî„ah alIslâmiyyah (Beirut: Mu‘assasah al-Risalah, 1403 H/1983 M), 127; dan Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâm wa Adillatuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), 256.
satu sisi23 dan ketentuan hukum Islam yang melarang memposisikan anak angkat sebagai anak kandung di sisi lain.24 Dalam konteks ini, KHI mengambil jalan tengah untuk menjembatani pelbagai ketentuan mengenai status hukum anak angkat dengan cara memberlakukan instrumen wasiat wajibah yang membuka peluang bagi anak angkat atau orang tua angkat untuk memperoleh bagian dari harta warisan. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 209 KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah, yaitu wasiat yang ditetapkan oleh hakim jika seorang meninggal dunia dan meninggalkan anak angkat yang tidak diberi wasiat. Pemahaman tentang wasiat sendiri pada dasarnya bertolak dari ketentuan yang tertuang dalam Q.S. al-Baqarah/2: 180, ―Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orangorang yang bertakwa.‖ Sebagian ulama ahli tafsir berpendapat bahwa pengertian kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan.25 Di samping itu, dalam Q.S. al-Nisa‘/4: 11, 12, dan 176, disebutkan bahwa hutang pewaris dan wasiat harus dilaksanakan lebih dahulu sebelum pembagian harta warisan. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan dilindungi keberadaannya untuk dilaksanakan di samping hak ahli waris.26 Hukum Kewarisan Islam Indonesia juga memuat ketentuan tentang kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menghijab saudara ayah.Ketentuan ini memang tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi dapat dipahami secara a contrario (mafhûm mukhâlafah) berdasarkan Pasal 181 KHI yang menyebutkan bahwa ―bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.‖Pemahaman secara a contrario dari pasal tersebut menunjukkan bawa bila ternyata pewaris meninggalkan anak baik lakilaki maupun perempuan dan ayah, maka saudara laki-laki maupun saudara perempuan tidak mendapatkan bagian harta warisan. Dalam praktek peradilan, ketentuan ini telah menjadi yurisprudensi tetap sebagaimana dimuat dalam tiga putusan Mahkamah Agung RI, yaitu: (1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995; (2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 184K/AG/1995 tanggal 30 September 1996; dan (3) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998. Dalam fiqh klasik, kedudukan anak laki-laki dan perempuan terhadap paman atau bibi ini bertautan erat dengan pembahasan mengenai kalâlah. Kalâlah dalam kewarisan pada dasarnya membicarakan tentang hak saudara—baik laki-laki maupun perempuan—dari seorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, hak saudara dalam kondisi tertentu mempunyai kewarisan sejajar furûdhiyah dengan mempertimbangkan status dan keberadaan ahli waris lainnya. Permasalahan mengenai kalâlah ini terdapat pada dua ayat, yaitu Q.S alNisa: 12 dan 176. Dalam literatur tafsir, makna kalâlah ini telah menjadi lokus perdebatan 23
Cik Basir, Aspek Prosedural/Prosesuil Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Pasca UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 (Jakarta: Pokja Perdata MARI, 2007), 65. 24 Lihat Mushtofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Mushthafa Bab al-Halaby, 1946), Jilid XXI, 127; dan Nasroen (dkk.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove, 1996), Jilid I, 29-30. 25 Lihat al-Qurthubi, Al-Jâmi„ li Ahkâm al-Qur‟ân, (Kairo: Dar al-Katib al-‗Arabiyah, 1967), Jilid II, 264; dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, 137. 26 Lihat al-Qurthubi, Al-Jâmi„ li Ahkâm al-Qur‟ân, Jilid V, 73-74; dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, 421.
dan perbedaan pendapat para mufassir. Perbedaan pendapat tersebut berkisar pada dua makna pokok: (1) kalâlah berarti ―orang yang mati tidak meninggalkan ibu-bapak dan anak‖—jadi kata tersebut dalam hal ini berarti ―almarhum‖; dan (2) kalâlah berarti ―semua ahli waris kecuali ibu-bapak dan anak‖, sehingga ia berarti ―para ahli waris‖.27 Menurut Amir Syarifudin,28kalâlah telah menimbulkan polemik antara fiqh Sunni dan fiqh Syi‘ah. Dalam pandangan ulama Sunni, kalâlah adalah orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak dan ayah, sementara menurut pendapat ulama Syi‘ah kalâlah adalah seorang mati yang tidak meninggalkan ayah.Perbedaan awal ini telah melebar pada pembahasan kedudukan anak laki-laki dan perempuan serta dalam pembahasan hijab mahjub. Pemahaman ulama Sunni mengenai kalâlah sebagai ahli waris yang tidak meninggalkan anak dan ayah menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak waris ketika ada ayah, karena ayah akan menjadi ashabah. Hal ini berbeda dengan pandangan ulama Syi‘ah yang menganggap saudara mempunyai hak waris meskipun ada ayah.Di samping itu, dalam pandangan Sunni, anak yang dimaksud dalam pembahasan kalâlah adalah anak laki-laki, sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara. Sementara ulama Syi‘ah memandang anak tersebut adalah anak laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya dapat menghijab saudara.Pandangan ulama Syi‘ah ini memiliki kemiripan dengan pandangan mazhab Zahiri yang berpendapat bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan dapat menghijab saudara.Namun demikian, menurut mazhab Zahiri anak perempuan hanya menghijab saudara perempuan saja. Pendapat mazhab Zahiri bahwa saudara perempuan terhijab oleh anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki didasarkan pada pemahaman atas kata ―walad‖ dalam Q.S. al-Nisa/4: 12 dan 176. Menurut Ibn Hazm—salah seorang ulama Zahiri terkemuka—makna kata ―walad‖ dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan.29 Dalam konteks ini, ketentuan KHI ternyata lebih memilih madzhab Syi‘ah dan mazhab Zahiri untuk ditetapkan dalam hukum kewarisan Islam Indonesia. Terakhir, KHI memuat ketentuan tentang ahli waris pengganti yang tidak dikenal dalam tradisi fiqh konvensional. KHI menempatkan pergantian ahli waris pada Pasal 185 ayat (1), yaitu: ―Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.‖ Dalam ayat (2) disebutkan: ―Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti‖. Kategori ahli waris pengganti ini pada dasarnya tidak dikenal dalam fiqh mazhab empat. Dalam fikih mazhab empat, jika terjadi seorang meninggal dunia meninggalkan anak dan cucu dari anak yang lebih dahulu 27
Menurut al-Thabari—setelah menyajikan semua riwayat mengenai kalâlah—pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat kedua, yaitu bahwa al-kalâlah berarti ―mereka (ahli waris) yang mewarisi dari almarhum, selain ibu-bapak dan anak‖. Kesimpulan tersebut didasarkan pada riwayat Jabir ibn ‗Abdullah, yang bertanya kepada Nabi Muhammad saw. perihal harta warisannya: ―Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta berlimpah, dan tak seorangpun yang akan mewarisi dariku yang akan mewarisi dariku kecuali kalâlah?‖ Menurut al-Thabari, dalam riwayat tersebut, tidak mungkin kalâlah berarti Jabir sendiri, dan oleh karena itu pasti berarti ahli waris atau para ahli warisnya.Lihat Al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fi Ta‟wîl al-Qur‟ân, Jilid 3, 628 dan Jilid 4, 378. Bandingkan dengan Al-Râzî, Ahkâm al-Qur ân, Jilid II, 130; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid I, 460 dan 593; dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, 346. 28 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), 58-58. 29 Ibn Hazm, Al-Muhallâ fî Sharh al-Muhallâ bi al-Hujaj wa al-Athâr, 1476-1475. Kalangan mufassir yang memahami makna kata ―walad‖ mencakup laki-laki dan perempuan antara lain adalah al-Thabari dan Abu Hayyan. Menurut al-Thabari, term walad mencakup anak laki-laki dan anak perempuan, baik sudah besar maupun masih kecil. Sementara Abu Hayyan menyatakan bahwa inti dari al-walad adalah al-waladiyyah atau al-tawallud (keanakan), karenanya ia mencakup laki-laki dan perempuan, baik besar atupun kecil, bahkan termasuk janin. Lihat al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fi Ta‟wîl al-Qur‟ân, Jilid III, 616; dan Abu Hayyan, Al-Bahr al-Muhîth (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid III, 180.
meninggal dunia, maka cucu dari anak yang lebih dahulu meninggal dunia disebut dzawî alarhâm dan tidak dapat mewaris dari kakeknya. 30 Semantara mazhab Syi‘ah, meskipun mengenal ahli waris pengganti, akan tetapi posisinya tidak dapat mewaris bersama-sama dengan ahli waris langsung. 31 Di lain pihak, hukum waris common law dan civil law mengenal kategori ahli waris pengganti.32 Penggantian ahli waris (plaatsvervulling)juga dikenal dalam KUHPerdata dengan memposisikan ahli waris pengganti sama halnya dengan yang digantikannya sesuai dengan ketentuan Pasal 841-848 KUPerdata. Penggantian ahli waris merupakan salah satu dari dua bentuk perolehan waris berdasarkan undang-undang. Bentuk lainnya adalah perolehan ahli waris secara langsung Uit Eigen Hoofde,yaitu berdasarkan Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa, ―Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri.‖ Di Indonesia, pembahasan mengenai ahli waris pengganti diintrodusir oleh Hazairin berdasarkan penafsirannya atas Q.S. al-Nisa‘/4: 33. Hazairin menafsirkan ayat tersebut secara berbeda dengan para ahli tafsir.Ia menafsirkan ― لكلbagi setiap orang‖, ― مواليahli waris pengganti‖ ― مما تركharta warisan‖. Sehingga menurut Hazairin terjemahan lengkap ayat tersebut adalah ―dan bagi setiap orang Allah membuat (menetapkan) ahli waris pengganti untuk mewaris harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau kerabatnya.‖33 Dengan demikian,Hazairin menempatkan keturunan dari anak laki-laki dan anak perempuan pada keutamaan pertama—di samping orang tua dan janda/duda—untuk memperoleh harta warisan. Penafsiran atau istinbâth al-hukm yang dilakukan oleh Hazairin ini merupakan murni hasil pemikirannya, karena pembahasan semacam ini tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun hukum kewarisan di negara-negara Islam lain. Dengan demikian, rumusan hukum kewarisan Islam Indonesia berkenaan dengan ahli waris pengganti lebih memilih pendapat hukum ―pribumi‖ dari Hazairin ketimbang menerapkan fiqh konvensional—yang menempatkan perbedaan cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/laki-laki—dan hukum kewarisan yang dianut di beberapa negara Arab yang menerapkan wasiat wajibah terhadap ahli waris pengganti. Oleh karena itu, hukum kewarisan Islam Indonesia tidak mengenal lagi terminologi cucu perempuan atau cucu lakilaki dan cucu dari anak perempuan dan cucu dari anak laki-laki, karena penilaian terhadap golongan ini lebih didasarkan pada orang tua mereka yang digantikannya. Menurut Yahya Harahap, alasan pencantuman ketentuan ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI kemungkinan besar didasarkan pada pertimbangan sosial ekonomi dalam kaitannya dengan larangan monopolistik atas harta warisan di satu sisi dan alasan kepatutan dan kemanusiaan di sisi lain.34
30
Lihat Ibn ‗Abidin, Radd al-Mukhtâr „alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dar al-Ihya‘ al-Turats al‗Arabi, t.th.), 427-428; dan Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, 680. 31 Lihat Muhammad al-Hasan al-Hurri al-‗Amili, Hidâyat al-Ummatî ilâ Ahkâm al-A‟immatî „Alayhim al-Salâm (Mashad-Iran: t.p., 1414 H), Jilid VIII, 308-309; dan Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh al-Imâm Ja„far al-Shâdiq (Qum: Mu‘assasah Anshariyani, t.th.), Jilid VI, 214-215. 32 Lihat Pasal 841 dan 842 KUHPerdata, dalam Harun Alrasid (ed.), Himpunan Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), Vol. I, 569; dan Article 887 Paragraph 2 dan Article 889 Paragraph 2The Civil Code of Japan, dalam Fukio Nakane, EHS Law Bulletin Series Japan (Tokyo: Eibun-Horei-Sha Inc., 2001), 149-150. 33 Hazairin, Hukum Waris Bilateral menurut a-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: Tinta Mas, 1981), 27-28. 34 M. Yahya Harahap, ―Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan‖, dalam Majalah Mimbar Hukum, No. 10, 1995, 99.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma hukum kewarisan Islam Indonesia sebagaimana diintrodusir KHI dalam beberapa hal memiliki perbedaan dengan paradigma hukum kewarisan Islam konvensional dan hukum kewarisan di negaranegara Islam lain. Pertama, penghalang warisan (mawâni„ al-irts)di Indonesia tidak mengenal adanya perbudakan dan perbedaan territorial. Di samping itu, ahli waris murtad atau berbeda agama masih mempunyai kesempatan untuk memperoleh harta warisan melalui wasiat wajibah. Dalam hal pembunuhan sebagai alasan penghalang hak waris, KHI telah melakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga orang yang melakukan penganiayaan berat dan orang yang memfitnah sehingga menimbulkan kemadaratan bagi pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak waris. Kedua, anak perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam menghijab paman atau bibi. Demikian pula dengan status saudara, masing-masing mempunyai kedudukan yang sama antara saudara sekandung, seayah dan saudara seibu dalam hal memperoleh hak waris. Ketiga, kedudukan anak angkat dalam hukum waris konvensional tidak mendapatkan hak waris sedikitpun, akan tetapi di Indonesia anak angkat memperoleh harta warisan melalui wasiat wajibah. Keempat, hukum waris di Indonesia tidak lagi membahas cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/anak laki-laki, karena pembahasannya terletak pada orang tua yang akan digantikannya. Hal ini disebabkan adanya pergantian ahli waris di mana seorang ahli waris yang meninggal lebih dahulu akan digantikan oleh anaknya dengan ketentuan tidak ada halangan waris dan tidak melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat. 2. Pembagian Harta Waris dalam Praktik Masyarakat Indonesia Praktik masyarakat Islam Indonesia membagi harta waris dengan porsi sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kenyataannya telah menjadi fakta sosiologis-empiris yang tak dapat dipungkiri. Praktik tersebut secara tidak langsung menggambarkan upaya pemenuhan nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam sebagian besar masyarakat. Pertengkaran yang kerap terjadi antara anak laki-laki dan anak perempuan yang iri hati dengan bagian anak laki-laki yang lebih besar bukan semata-mata oleh ketidaktahuan mereka terhadap hukum waris Islam, tetapi lebih banyak didasari oleh kenyataan hidup sehari-hari tentang masalah tanggung jawab anak laki-laki terhadap anak perempuan. Kenyataan hidup sehari-hari ini dijadikan sebagai ukuran keadilan yang seharusnya mereka terima. Karena itu dalam praktik di Pengadilan Agama, walaupun sudah jelas hukum waris yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah hukum waris Islam yang dalam hal bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan adalah dua berbanding satu (2 :1), tetap saja ada para pencari keadilan dalam perkara waris yang mempersoalkan perbedaan porsi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama RI tahun 2004 dalam hukum waris menunjukan adanya pencari keadilan yang mempersoalkan besarnya bagian (porsi) ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan. Penelitian ini merekam masalah yang berkaitan dengan hukum waris, dan ternyata masalah perbedaan besarnya bagian ahli waris laki-laki dengan bagian ahli waris perempuan menduduki presentase terbanyak kedua, yaitu 17,1%, terbanding kasus proses pembagian waris (7,1%) dan kasus wasiat yang menyalahi aturan (7,1%). Persentase terbesar adalah kasus sengketa harta waris yang mencapai 68,6%.35 Hal ini merupakan fenomena yang luar biasa, karena pada tahun-tahun tersebut dalam bidang kewarisan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih membolehkan hak opsi. Melalui hak opsi ini para pencari 35
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Peta Permasalahan Hukum Tentang UU Nomor 7 Tahun 1989, UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), 62.
keadilan yang menginginkan adanya porsi yang sama antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan dapat memilih hukum adat dengan mengajukan perkaranya di Pengadilan negeri.36 Selain fakta di atas, penelitian Otje Salman mengenai pandangan masyarakat Cirebon terhadap persoalan hukum waris Islam juga menarik untuk disimak. Penelitian yang melibatkan responden Muslim sejumlah 92,62 % ini menunjukkan bahwa dari jumlah persentase responden Muslim tersebut, 50,88 % responden mengetahui bahwa porsi bagian laki-laki dan perempuan dalam hukum waris Islam 2:1. Akan tetapi, dalam praktik pembagian waris tidak sepenuhnya berdasarkan hukum waris Islam, melainkan lebih cenderung mengikuti kesadaran hukum masyarakat yang berbasis kesetaraan gender, di mana porsi bagian anak laki-laki dan anak perempuan sama menduduki 53% dibandingkan dengan hanya 35,32% yang membagi porsi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan sesuai hukum Islam. Demikian halnya jika pewaris hanya meninggalkan anak perempuan, 33,72 % responden menyatakan bahwa seluruh harta warisan diwarisi oleh anak perempuan. Sebaliknya hanya 10,09 % menyatakan anak perempuan tidak mewarisi seluruh harta warisan melainkan hanya memperoleh 1/2 atau 2/3 dari harta warisan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.37 Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa di daerah Cirebon yang mayoritas berpenduduk Muslim dan 50% masyarakatnya memahami hukum Islam dalam pembagian waris tidak menggambarkan pelaksanaan hukum waris Islam secara murni melainkan didasarkan atas rasa keadilan yang bersemayam dalam jiwa masyarakat setempat. Dipersoalkannya perbedaan porsi bagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan di Pengadilan Agama dan fakta pembagian harta waris di Cirebon menunjukan adanya penilaian yang berbeda terhadap masalah pembagian waris pada sebagian masyarakat Islam, di samping adanya dimensi sosiologis yang ditandai oleh dinamika perubahan nilai dan budaya dalam masyarakat itu sendiri. Fenomena semacam ini juga sempat direkam oleh Munawir Syadzali. Pada saat masih menjabat sebagai Menteri Agama, Munawir Syadzali pernah mengemukakan bahwa di kalangan masyarakat Islam telah membudaya ―penyimpangan tidak langsung‖ dari ketentuan Al-Quran tentang porsi pembagian harta peninggalan. Menurut Munawir Syadzali, ada dua cara yang dilakukan orang-orang Islam agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama. Pertama, menyelesaikan perkara waris ke Pengadilan Negeri, bukan ke Pengadilan Agama, karena di Pengadilan Negeri hukum yang diberlakukan untuk perkara kewarisan adalah hukum perdata Barat dan hukum adat. Melalui salah satu dari dua sumber hukum ini, bagian anak laki-laki disamakan dengan bagian anak perempuan.38 Kedua, melakukan kebijakan preemptive, yakni kepala keluarga semasa masih hidup telah membagikan sebagian besar dari harta benda kepada anak-anaknya dengan bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah.39 Cara kedua ini menurut Munawir Syadzali merupakan bentuk helah, yang secara formal tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur‘an karena hibah memang dibolehkan, namun secara semangat keagamaan hal itu belum tentu benar karena pada dasarnya mereka menghindari ketentuan surat al-Nisa‘ ayat 11 yang menentukan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. 36
Hak opsi ini melalui UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan telah dicabut. 37 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung: Alumni, 1993), 93-110. 38 Munawir Syadzali, ―Reaktualisasi Ajaran Islam‖, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 4. 39 Ibid., 3.
Cara kedua ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia, tetapi juga di negara-negara Muslim lainnya. Hal ini antara lain diakui oleh Muhammad Said alAsymawi. Ia menyatakan bahwa banyak masyarakat Muslim di negara-negara yang berpenduduk Islam melakukan helah (akal-akalan) dengan melakukan akad hibah, jual beli pura-pura atau transaksi-transaksi lain yang dikaitkan dengan kematian. Tujuannya adalah agar para ahli waris mendapat pembagian yang sama rata karena khawatir terdapat ketidakadilan dalam pembagian harta warisan. 40 Majid Khadduri menamakan cara kedua ini dengan istilah hiyal al-syar„iyyah, yaitu saluran atau medium legal yang digunakan untuk tujuan ekstra-legal, suatu perbuatan yang kemungkinan tampak sah menurut hukum, akan tetapi tidak bersesuaian dengan ruh atau tujuan umum hukum itu sendiri. Majid Khadduri mengajukan contoh akad hibah yang sesungguhnya legal, namun karena tujuannya untuk menghindari ketentuan al-Qur‘an, maka hal ini menjadi illegal.41 Berbeda dengan Munawir, al-Asymawi dan Khadduri, Qodri Azizy menganggap pengalihan harta dari orang tua kepada anak melalui hibah seperti yang banyak dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia bukan semecam helah atau hiyal al-syar„iyyah. Hibah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim itu merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan atas dasar saling merelakan („an tarâdhin) yang sesungguhnya tidak dilarang oleh Islam.42 Qodri Azizy merujuk pada ahli hukum Islam kontemporer, Muhammad Salam Madkur, yang menyebut cara ini sebagai al-ahkâm al-wijdâniyyah, hukum berdasarkan suara hati.43 Konsep al-ahkâm al-wijdâniyyah ini pada level tertentu serupa dengan konsep inner voice (suara batin) yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman. Friedman menyatakan bahwa inner voice tidak lain dari kesadaran, perasaan moral, hasrat untuk patuh dan rasa kebenaran (the conscience, moral feelings, the desire to obey, the sense of right). Friedman juga menganggap inner voicesebagai kehendak Tuhan (God will), etika yang baik (good ethics) atau bahkan tugas keagamaan (religious duty).Dalam hal efektivitas hukum, tidak seorangpun mengingkari inner voice ini.44 Jika mengamati perubahan sosial-kultural masyarakat pada hari ini, alasan-alasan sosiologis untuk tidak mendudukkan perempuan sebagai ahli waris atau tidak mempersamakan porsi pembagian harta warisan antara perempuan dan laki-laki cenderung tidak relevan lagi dengan kenyataan empirik. Menurut catatan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dikenal dengan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga), ada lebih dari 7900 perempuan sebagai kepala keluarga di delapan provinsi di Indonesia. 45 Menurut Koordinator Nasional PEKKA, sebagai kepala keluarga, merekalah yang bekerja mencari nafkah dan memikul tanggung jawab seluruh kebutuhan keluarga. Mereka terdiri dari 53% janda yang ditinggal mati suami, 23% janda cerai, 10% janda ditinggal suami tidak tentu arah, 7% suami sakit, dan 7% lajang.46 Menurut pengamatan Zoer'aini Djamal Irwan, di pasar-pasar tradisional di Indonesia 80 sampai 90 persen para pedagangnya adalah para perempuan. Pramuniaga di mal-mal juga 40
Muhammad Said al-Asymawi, Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam Undang-undang, (terj.) Saiful Ibad (Jakarta: gaung Persada Press, 2005), 85. 41 Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, (terj.)Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 224. 42 A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 198. 43 Muhammad Salam Madkur, Al-Qadâ‟ fî al-Islâm (Kairo: Dar al-nahdhah al-‗Arabiyyah, 1964), 12. 44 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Foundation, 1975), 111. 45 Cate Sumner, Providing Justice to the Justice Seeker,(Jakarta: Australia Indonesia Partnership, 2008), 10. 46 Nani Zulminani, ―Saatnya Bicara Perempuan Kepala Keluarga‖,Makalah pada Konsultasi Nasional Komnas Perempuan, Jakarta, 2009, 4.
didominasi oleh kaum perempuan. Bahkan di kalangan keluarga miskin, tugas dan kewajiban perempuan lebih berat, khususnya di pedesaan. Perempuan desa memegang beban terberat dalam menanggung beban rumah tangga. 47 Menurut Aida Vitalaya, situs Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) menyuguhkan data bahwa 60% dari sekitar 30 juta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dikelola oleh perempuan. 48 Fakta-fakta di atas memperkuat asumsi bahwa alasan-alasan sosiologis untuk tidak mempersamakan porsi pembagian harta warisan antara perempuan dan laki-laki tidak lagi relevan dengan kenyataan.Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang hukum waris jauh tertinggal jika dibandingkan dengan bidang hukum perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah meletakkan hak dan kedudukan perempuan setara dengan hak dan kedudukan laki-laki. Kenyataan ini dapat dilihat pada Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 angka 4 huruf (f) yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. Frasa ―diputuskan bersama‖ ini menunjukkan bahwa makna seimbang dalam angka 4 huruf (f) tersebut tidak berbeda jauh dengan setara, karena diputuskan bersama menunjukkan tidak adanya dominasi dari salah satu pihak. Usaha mewujudkan kesetaraan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam hukum kewarisan ternyata jauh lebih konkrit dilakukan oleh lembaga peradilan dibandingkan melalui seminar, diskusi, dan simposium sebagaimana disebutkan di atas. Tercatat sejak tahun 1959, Mahkamah Agung melalui Putusan No. 320/K/Sip/1958 tanggal 17 Januari 1959 telah lebih dahulu menetapkan di daerah Tapanuli isteri dan anak-anak mewarisi harta pencaharian setelah suami meninggal, padahal sebelumnya daerah Tapanuli yang menganut kekerabatan patrilineal, janda dan anak perempuan bukanlah ahli waris. 49 Selain putusan tersebut, masih banyak lagi contoh putusan Mahkamah Agung yang mempunyai andil dalam mewujudkan kesetaraan ahli waris laki-laki dan perempuan dalam hukum adat, misalnya Putusan No. 298 K/Sip/1958, Putusan No. 179 K/Sip/1961, Putusan No. 1411 K/Pdt/1985, Putusan No. 357 K/Pdt/1988 dan sebagainya. Terkait hukum kewarisan Islam yang diputus oleh Pengadilan Agama, Mahkamah Agung kelihatannya belum pernah mengeluarkan putusan yang berkaitan dengan kesetaraan hak dan kedudukan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecuali Putusan No. 86K/AG/1994 Tanggal 27 Juli 1995 yang menyamakan kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki dalam hal menghijabsaudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris. Menariknya, Hakim Agung MA, Muhktar Zamzami, dalam risetnya menemukan 3 putusan Pengadilan Agama tentang pembagian waris Islam yang ‗melenceng‘ dari hukum Islam (konvensional). Jika hukum Islam menyaratkan pembagian waris laki-laki dan wanita adalah 2:1, Mukhtar justeru menegaskan bahwa pembagian sama rata ternyata tidak masalah berdasarkan ketiga putusan tersebut. Ketiga putusan tersebut adalah Putusan PA Makassar No.338/Pdt.G/1998/PA.Upg, putusan PA Makassar No.230/Pdt.G/2000/PA.Mks dan Putusan PA Medan No 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn. Menurut Mukhtar, ketiga putusan tersebut merupakan putusan pelopor dalam mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli
47
Zoer'aini Djamal Irwan, Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), 57. 48 Aida Vitalaya S. Lubis, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, (Bogor: IPB Press, 2010), 361. 49 Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 1998), 584.
waris laki-laki. Porsi bagian waris anak laki-laki secara eksplisit disamakan dengan bagian anak perempuan, yakti satu banding satu.50 Ketiga putusan ini diterima oleh para pihak tanpa keberatan sama sekali dan tidak satupun pihak yang melakukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Diterimanya putusan-putusan Pengadilan Agama yang menetapkan bagian waris anak laki-laki dan anak perempuan dalam pola satu banding satu (1:1) dalam ketiga putusan tersebut sesungguhnya menggambarkan kesadaran hukum, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law), sebagaimana konsep inner voice atau ahkâm al-wijdâniyah yang telah disinggung sebelumnya. Seperti dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values)yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Ketiga putusan Pengadilan Agama di atas dapat dijadikan sebagai yurisprudensi dalam rangka mewujudkan kesetaraan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bidang hukum waris Islam. Lebih dari itu, preseden tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak (starting point) dalam upaya mewujudkan agenda unifikasi hukum waris nasional. Selama ini, agenda unifikasi hukum waris nasional sulit untuk direalisasikan karena terkendala oleh aturan hukum waris Islam (konvensional) yang tidak memungkinkan pembagian harta waris dalam pola satu banding satu 1:1 antara laki-laki dan perempuan. Dengan manggunakan metode analogi ―asas monogami terbuka‖ dalam hukum perkawinan, maka dalam hukum waris pada dasarnya dapat diberlakukan ―asas kesetaraan terbuka‖. Artinya, laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ahli waris dan mempunyai hak bagian yang sama besarnya atas harta warisan, namun asas ini dapat disimpangi apabila seluruh ahli waris tanpa kecuali sepakat untuk memilih hukum lain. Dengan kata lain, asas kesetaraan dapat dikecualikan bila seluruh ahli waris tanpa kecuali sepakat untuk melaksanakan hukum adat atau hukum agama yang dipilihnya. Namum apabila kesepakatan itu tidak ada, maka asas kesetaraan yang terdapat dalam hukum kewarisan nasional―yang menganut asas kesetaraan terbuka ini―harus dilaksanakan. Dengan demikian, asas kesetaraan terbuka dapat mewujudkan agenda unifikasi hukum waris nasional di satu sisi, namun di sisi lain tetap mengakomodir faktor pluralisme hukum dan sensitivitas keagamaan. PENUTUP Kesetaraan kedudukan dan hak perempuan dengan laki-laki sebagai ahli waris merupakan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Perilaku anggota masyarakat Muslim dalam segenap lapisan yang banyak menempuh medium hibah dan wasiat dalam pengalihan hak atas harta yang akan ditinggalkan orang tua kepada anak menunjukkan inner voice mereka yang tidak ingin membeda-bedakan 50
Lihat http://badilag.net/e-dokumen/315-berita-kegiatan/9463-drsh-mukhtar-zamzami-sh-mhmeraih-predikat-cumlaude-09012012.html, diakses 20 Juni 2013; http://finance.detik.com/read/2012/01/10/095257/1811222/10/2/alasan-waris-islam-lelaki-dan-wanita-samarata-tidak-masalah, diakses 20 Juni 2013; http://news.detik.com/read/2012/01/09/193746/1810962/608/pembagian-waris-islam-lelaki-dan-wanita-samarata-tidak-masalah?nd771104bcj, diakses 20 Juni 2013; dan http://ikatanbankir.com/ibi/opinion.php?id=468, diakses 20 Juni 2013.
antara anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris. Meskipun demikian, penggunaan medium ini menyisakan celah untuk dibatalkan oleh pengadilan, karena para ulama fiqh berpandangan bahwa menghindari faraidh dengan melakukan hibah atau wasiat merupakan bentuk hilah atau hiyal al-syar'iyah yang secara hukum terlarang.Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya pembaharuan hukum waris nasional yang memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan menerapkan asas ―kesetaraan terbuka‖. Penggunaan asas ―kesetaraan terbuka‖ terhadap kedudukan dan hak perempuan dengan laki-laki sebagai ahli waris ini sudah pada tempatnya dalam upaya membangun hukum kewarisan nasional dalam bentuk undang-undang, dengan catatan masyarakat Muslim tetap diberikan peluang melakukan penyimpangan atas asas tersebut jika telah terdapat kesepakatan dari seluruh ahli waris.
DAFTAR PUSTAKA Mochtar Kusumaatmadja, ―Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang‖, Dalam Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & Alumni, 2002). R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991). Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006). Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007). B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960). R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1964). R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007). R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1966). Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1991). Abdullah Zaky Al Kaaf, Ekonomi Dalam Perspketif Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002). Muhammad Abu Zahrah, Ahkâm al-Tirkah wa al-Mawârits (Kairo: Dar al-Fikr al-‗Arabi, t.th.) Muhammad al-Syahat al-Jandi, Al-Mîrats fî Syarî„ah al-Islâm (Kairo: Dar al-Fikr al‘Arabi, t.th.) Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqh al-Mawârits wa al-Washiyyah fî Syarî„ah al-Islâm: Dirâsah Muqâranah (Mesir: Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th.). Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi„ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1420 H/1999 M). Abu al-Qasim Mahmud ibn ‗Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf „an Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Beirut: Dar alKutub al-‗Ilmiyyah, 1415 H/1995 M). Abu Bakar Muhammad ibn ‗Abdullah Ibn al-‗Arabi, Ahkâm al-Qur‟ân (Beirut: Dar alKutub al-‗Ilmiyyah, 1408 H/1988 M). Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.). Abu al-Fida Ismail ibn ‗Umar ibn Katsir, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (Mesir: Dar Mishr li al-Thiba‘ah, t.th.). Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1421 H/2000 M). Syihabuddin Mahmud al-Alusi, Rûh al-Ma„ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm wa al-Sab‟u al-Matsânî (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1422 H/2001 M). Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th.). M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008). Said Abdul al-Salam, Al-Masyâkil al-„Amaliyyah fî Qânûnî al-Mawârîts wa al-Washiyyah (Iskandariyah: Mansya‘at al-Ma‗arif, t.th.). Yasin Ahmad Ibrahim Daradakah, Al-Mîrâts fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Beirut: Mu‘assasah al-Risalah, 1403 H/1983 M). Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâm wa Adillatuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989). Cik Basir, Aspek Prosedural/Prosesuil Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Jakarta: Pokja Perdata MARI, 2007). Mushtofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Mushthafa Bab al-Halaby, 1946). Nasroen (dkk.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove, 1996). al-Qurthubi, Al-Jâmi„ li Ahkâm al-Qur‟ân, (Kairo: Dar al-Katib al-‗Arabiyah, 1967).
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005). Ibn ‗Abidin, Radd al-Mukhtâr „alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dar al-Ihya‘ al-Turats al‗Arabi, t.th.) Muhammad al-Hasan al-Hurri al-‗Amili, Hidâyat al-Ummatî ilâ Ahkâm al-A‟immatî „Alayhim al-Salâm (Mashad-Iran: t.p., 1414 H). Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh al-Imâm Ja„far al-Shâdiq (Qum: Mu‘assasah Anshariyani, t.th.). Harun Alrasid (ed.), Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006). Hazairin, Hukum Waris Bilateral menurut a-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: Tinta Mas, 1981). M. Yahya Harahap, ―Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan‖, dalam Majalah Mimbar Hukum, No. 10, 1995. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Peta Permasalahan Hukum Tentang UU Nomor 7 Tahun 1989, UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004). Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung: Alumni, 1993). Munawir Syadzali, ―Reaktualisasi Ajaran Islam‖, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988). Muhammad Said al-Asymawi, Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam Undangundang, (terj.) Saiful Ibad (Jakarta: gaung Persada Press, 2005). Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, (terj.)Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar (Surabaya: Risalah Gusti, 1999). A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002). Muhammad Salam Madkur, Al-Qadâ‟ fî al-Islâm (Kairo: Dar al-nahdhah al-‗Arabiyyah, 1964). Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Foundation, 1975). Cate Sumner, Providing Justice to the Justice Seeker,(Jakarta: Australia Indonesia Partnership, 2008). Nani Zulminani, ―Saatnya Bicara Perempuan Kepala Keluarga‖,Makalah pada Konsultasi Nasional Komnas Perempuan, Jakarta, 2009. Zoer'aini Djamal Irwan, Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009). Aida Vitalaya S. Lubis, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, (Bogor: IPB Press, 2010). Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 1998). http://badilag.net/e-dokumen/315-berita-kegiatan/9463-drsh-mukhtar-zamzami-sh-mhmeraih-predikat-cumlaude-09012012.html, diakses 20 Juni 2013. http://finance.detik.com/read/2012/01/10/095257/1811222/10/2/alasan-waris-islam-lelakidan-wanita-sama-rata-tidak-masalah, diakses 20 Juni 2013. http://news.detik.com/read/2012/01/09/193746/1810962/608/pembagian-waris-islam-lelakidan-wanita-sama-rata-tidak-masalah?nd771104bcj, diakses 20 Juni 2013. http://ikatanbankir.com/ibi/opinion.php?id=468, diakses 20 Juni 2013.