hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang volume 3, nomor 1, Juli 2010
Volume 3. Nomor 1. Juli 2010 Penanggung Jawab Abdul Hadi Mitra Bestari Siti Syamsiatun Ismi Dwi Astututi Nurhaeni Penyunting Pelaksana Umma Farida Siti Muflichah Nur Said Pimpinan Redaksi Nur Mahmudah Sekretaris Redaksi Primi Rohimi Dewan Redaksi Siti Malaiha Dewi Setyoningsih Rini Dwi Susanti Desain Grafis Muhlisin Sekretariat Bunawati Penerbit Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus Alamat Redaksi PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp.0291 432677 Fax.0291 441613 Kudus 59322 Email&facebook:
[email protected] Website: www.psgstainkds.multiply.com Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
iii
iv
PENGANTAR REDAKSI Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan inayahNya sehingga Jurnal PALASTREN bisa hadir kembali secara konsisten menyapa pembaca dengan suguhan tema-tema terkini isu gender baik pada tataran wacana (kajian pustaka) maupun empirik (riset lapangan). Selanjutnya tim redaksi menyampaikan terim kasih atas antusiasme para pembaaca yang budiman dalam merespon kehadiran Jurnal PALASTRèN pada edisi sebelumnya. Banyak kritik dan masukan yang sudah kami tangkap. Semua itu kami jadikan sebagai model dalam memperbaiki format jurnal PALASTRèN menjadi lebih baik. Karena itu pada desain cover redaktur tidak lagi mengedepankan simbol gender yang terlalu umum, tetapi digantikan dengan kaligrafi yang bernafaskan keislaman dengan harapan para pembaca yang berminat menuliskan gagasan-gagasannya mengedepankan berperspektif Islam agar tidak tercerabut dari tradisi. Substansi isi pada edisi ini cukup beragam dan merespon isu-isu aktual. Misalnya ketikan pemerintah pada 2 Mei lalu medeklarasikan gerakan pembangunan karakter dan budaya bangsa, maka muncul dua tulisan menarik yang disajikan oleh Nur Said dengan tajuk Pendidikan Karakter Berkeadilan Gender; Suatu tinjauan Pengembangan Ide Kurikulum dan tulisan Retno Susilowati dengan judul Menguak Pengarustamaan Gender dalam Pendidikan. Penggunaan perangkat sastra dalam memahami Positioning perempuan menghadirkan tulisan Siti Muflichah dengan judul Pramoedya’s Reflection on Strong Female Characters dan tulisan Primi Rohimi Representasi Gender dalam aktivitas Berjualan Produk-Produk Islam di facebook. Dunia politik juga tidak le[pas dari pertarungan kepentingan dan bias gender.Dalam konteks ini sebagaimana disinggung oleh Bani Syarif Maula melalui tulisannya Women’s Struggle on Political Rights in Indonesia; Social and Religious Studies on The Failure of Womens’s 30 Percent Quota in the Indonesian Parliament
dan tulisan Triana Sofiani dengan tajuk Dari Hukum Seksis Menuju Non-Seksis; Analisis Kritis Posisi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Hukum Ketenagakerjaan. Yang tidak kalah menatik Islam dan khususnya Al-Qur’an selalu memberi inspirasi dalam menguak rahasia relasi gender. Tema-tema ini sangat tampak jelas dan mewarnai edisi ini seperti tulisan Suhadi dengan judul Respon Islam Terhadap Feminisme dan tulisan Ulya dengan tajuk Hermeneutika Al-Qur’an yang Berkeadilan Jender; Sebuah Window Shopping atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin Isu gender dalam buku juga selalu mengalami dinamika sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu rubrik “bedah buku” sangat memberi warna dalam edisi inisebagaimana disampaikan oleh Munawir aziz dengan tajuk Perempuan dalam Tragedi Komodifikasi sebagai hasil bacaan kritisnya terhadap buku manipulasi dan Dehumanisasi dalam Iklan karya Kasiyan (2010). Demikian juga tulisa Farida dengan judul Kokoh dan Kukuh dengan Prinsip Leluhur Menuju Mahligai Perkawinan sebagai hasil permenungannya atas buku karya Moh.Rosyid dengan Judul Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin (2009) Akhirnya redaktur menyampaikan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada para penulis yang telah bersedia menyiapkan artikel dan hasil risetnya untuk diterbitkan. Juga kepada para mitra bestari yang banyak memberi masukan dan juga semua pembaca yang budiman yang tetap kami tunggu saran dan kritikannya.kepada mereka semua, redaktur menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi. SELAMAT MEMBACA! Kudus, Juli 2010 Redaktur
vi
DAFTAR ISI
IDE UTAMA Pendidikan Karakter Berkeadilan Gender: Suatu Tinjauan Pengembangan Ide Kurikulum Nur Said Respon Islam Terhadap Feminisme Suhadi
1 - 23 24 - 50
Dari Hukum Seksis Menuju Non-seksis: Analisis Kritis Posisi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Hukum Ketenagakerjaan 51 - 71 Triana Sofiani Menguak Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Retno Susilowati
72 - 88
RISET Women’s Struggle on Political Rights in Indonesia; Social and Religious Studies on the Failure of Women’s 30 percent Quota in the Indonesian Parliament Bani Syarif Maula Pramoedya’s Reflection on Strong Female Characters Siti Muflichah
89 - 125
126 - 138
vii
Hermeneutika Al-Qur’an yang Berkeadilan Jender; Sebuah Window Shopping Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin 139 - 167 Ulya Representasi Gender dalam Aktivitas Berjualan Produk-Produk Islami di Facebook Primi Rohimi
168 - 184
BEDAH BUKU Perempuan Dalam Tragedi Komodifikasi Munawir Aziz
185 - 188
Kokoh Dan Kukuh Dengan Prinsip Leluhur Menuju Mahligai Perkawinan 189 – 196 Farida
viii
Ide Utama
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER (Suatu Tinjauan Pengembangan Ide Kurikulum)
Nur Said*) BSTRACT: Recently we have been showing the emergence of character crisis phenomena in this nation that casused the natinal crisis in multy-dimention. Various aspects of life also responsible for the fragility of personality of this nation. Including the school as an institution that essencially as the medium of character builder. Education to borrow a term of Shapiro (2006) already lost the hearts, because the moral and spiritual dimension has been marginalized. So if the momentum “Education Day” (May 2, 2010), the government declared a “national movement in the nation of character education,” then it needs to be well received, though still in a search model. This brief paper tries to review how the essence of character education and curriculum design as it should be prepared in the perspective of gender justice. This paper concludes that character education is different from the of moral education. If moral education tends to teach the ethical dimensions, good and bad in cognitive level, then character education requires a holistic approach. Character education as confirmed (Lickona, 1991) should include three aspects of knowing, feeling and acting of the good. Therefore, in designing the curriculum needs to consider the three-sphere which is supported by intervention efforts and habituation, starting at the class, school, and family environment. In order for the construction of curricula is not gender-biased, the need to put forward a gender perspective in developing a character education curriculum in all level. Keywords: character education, gender justice, curriculum development Dosen STAIN Kudus
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
A. Pendahuluan Dalam pespektif makro tren pendidikan akhir-akhir ini banyak bangsa di penjuru dunia termasuk Indonesia cenderung berkiblat pada Barat terutama Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan sistem pendidikan (Buchori, 2007; Rahmat, 2010). Yang mengejutkan ternyata pendidikan di AS yang banyak menjadi referensi pengembangan pendidikan di berbagai belahan dunia justru mengalami persoalan mendasar. Baru-baru ini Shapiro (2006) dalam buku Losing heart. The Moral and Spiritual Miseducation of America’s children menggambarkan pendidikan Amerika telah kehilangan hati, yaitu pendidikan yang terasing dari dimensi moral dan spiritual. Sekolah-sekolah cenderung mengejar tarjet skor tes dan kering makna. Sekolah kemudian mirip pabrik yang memproduksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (kapitalisme) belaka, dengan menyiapkan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan pasar yang begitu kompetitif. Siswa terkondisikan menghadapi orang lain sebagai kopetitor yang saling mengalahkan berebut ranking dan persaingan memperoleh lapangan kerja. Dampaknya sekolah-sekolah lalu hanya menjadi sekumpulan komunitas terpelajar namun tertutup oleh makna (closed community of meaning). Dalam hal ini sekolah-sekolah sudah menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan (Shapiro, 2006; ). Orientasi pendidikan yang seperti ini menurut Tabb (2001) tak lepas dari ideologi pendidikan neo-liberal yang memiliki 3 (tiga) ciri yaitu; (1) penyediaan beaya pendidikan yang efisien melalui modifikasi produk untuk meraih keuntungan; (2) pengujian hasil belajar dengan standardisasi pengalaman melalui tes pilihan ganda; (3) memfokuskan pada keterampilan yang laku di pasar (marketable skills). Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara (1962) pendidikan seharusnya memajukan bertumbuhnya watak (karakter), kekuatan batin, pikiran dan tubuh anak telah tereduksi menjadi sekedar memenuhi kebutuhan pasar kerja yang cenderung materialistik. Pengembangan karakter yang seharusnya menjadi hal essensial dalam praktek pendidikan
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
telah tergeser oleh kepentingan kapitalisme, sehingga pengetahuan, ketrampilan dan keberlangsungan pendidikan diorientasi untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan secara ekonomi. Gejala seperti di atas di dukung dengan semakin menguatnya paradoks sosial yang menunjukkan seakan bangsa ini sudah kehilangan identitas diri sebagai bangsa yang berkarakter. Banyak koruptor justru muncul dari kalangan terdidik, plagiator marak mulai dari mahasiswa hingga guru besar (The Jakarta Post, 12/11/2009; Kompas, 10/2/2010; Mujahidah, 2010). Banyak pelajar tawuran justru pada jamjam yang semestinya mereka belajar (Assegaf, 2002). Sementara dalam konteks ranah relasi gender perilaku yang menunjukkan menjadikan perempuan sebagai korban dalam berbagai bentuknya juga semakin hari semakin meningkat. Mulai dari tak dipedulkannya hak-hak reproduksi perempuan dalam penguangsian baik karena korban bencan atau konflik sosial, isu Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang menjadi korban majikan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sejenisnya (Ratnasari, 2009; Said, 2005; Sumbulah, 2008) menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis identitas dan krisis harga diri manusia Indonesia. Krisis identitas ditandai dengan hilangnya kepercayaan diri antara lain terlihat dalam merosotnya mutu warga bangsa sehingga tidak bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain (St. Sularto, 2009: 119-121). Lebih jauh menurut Buchori (2007; 2010) adanya berbagai krisis yang ada seperti itu, tak lepas dari sumber utama yang tak lain adalah krisis karakter bangsa. Karena itu semua pihak terutama para praktisi pendidikan mulai dari guru, kepala sekolah, pengembang kurikulum hingga tenaga kependidikan di semua jenjang perlu mengembalikan ruh pendidikan yang mulai sirna tersebut. Persoalannya kemudian meskipun pendidikan karakter bukan merupakan sesuatu yang baru, tetapi sebagaimana ditekankan oleh Martin Buber sebagaimana dikutib oleh Rahmat (2010) bahwa “education worthy of the name is essensially is education of character”. Dengan kata lain pendidikan digagas
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
tak lain untuk pengembangan karakter peserta didik. Karena itu apabila dalam kenyataannya pendidikan justru sekedar membekali kompetensi yang berbasis ktrampilan yang dibutuhkan industri belaka, tanpa membekali dengan nilainilai terinternalisasi dalam kepribadian peserta didik, maka pendikan telah mengalami disorientasi. Untuk merespon berbagai persoalan di atas, maka paper ini akan mencoba membahas tiga hal; (1) Ulasan tentang geneologi hakekat pendidikan karakter; (2) Dimensi ontologis pendidikan karakter; (3) Uraian tentang pengembangan kurikulum pendidikan karakter; (3) Gagasan pendidikan karakter sensitif gender. B. Geneologi Pendidikan Karakter Untuk melacak cikal bakal pendidikan karakter secara geneologis hingga menjadi masuk dalam ranah sistem pendidikan memang tidaklah mudah. Namun kajian akademik yang cukup kompreshensif tentang hal ini cukup menarik mencermati ulasan Doni Koesuma A (2007) dalam buku terbarunya Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Menutnya pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (18691966) yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pendidikan karakter muncul sebagai reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis deweyan dan pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai pedagogi di Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 yang mulai dirasakan semakin tidak mencukupi lagi bagi sebuah formasi intelektual dan kultural seorang pribadi (Koesoema, 2007: 9-44). Pada saat itu mulai muncul polemik anti-positivis dan anti-naturalis dalam konteks pendidikan yang berkembang di eropa sebagai bagian dari gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psikologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
kental dengan dimensi kultural dan religius. Karena itu lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf perancis Auguste Comte (Koesoema, 2007: 9-44). Tujuan pendidikan, menurut Foerster sebagaimana dikutip Koesoema (2007) adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya. Karena itu, karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Namun kalau mencermati kehadiran Islam yang secara normatif menegaskan dalam risalah kenabian bahwa “innma buitstu liutammima makarima al akhlaq” (sesungguhnya saya [Nabi Muhammad saw] diutus oleh Allah swt tak lain untuk menyempurnakan akhlak, hal ini menunjukkan bahwa sejak kehadirannya, Islam yang dibawa melalui Nabi Muhammad saw mengemban misi utama untuk membangun karakter. Akhlak dalam bahawa arab semakna dengan dengan karakter (character) dalam bahasa Inggris. Yang membedakan hanyalah pada sumber nilainya saja. Kalau akhlak lebih berorientasi pada nilai-nilai Islam, sementara dalam “karakter” lebih bermakna universal termasuknya di dalamnya karakter yang didasari pada nilai-nilai spiritualitas Islam (Saebani & Hamid, 2010: Lickona, 1991). Dengan demikian pendidikan karakter dalam Islam hadir sejak keberadaan Islam itu sendiri atau sejak diutusnya Rasulullah saw pada abad ke-VII Masehi. Karena itu Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individuindividu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Penekanan kepada pentingnya peserta didik supaya hidup dengan nilainilai kebaikan, spiritual dan moralitas dalam pendikan Islam
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
tidak bisa diabaikan. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi (Muhaimin, 2008: 36-37). Sementara manusia dewasa yang baik secara akal, mental maupun moral tentu akan menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Manusia yang bisa menjalankan antara apa yang dipahami sebagai baik dan meninggalkan apa yang dipahami sebagai buruk adalah bagian dari ciri-ciri manusia yang berakhlak (berkarakter). Demikian juga dalam konteks keindonesiaan Bapak pendidikan nasional kita Ki Hadjar Dewantara (1962) sejak awal menegaskan bahwa pendidikan perlu mengkondisikan tumbuhnya watak (karakter) disamping kekuatan batin, pikiran dan tubuh. Pendidikan menunutut adalanya olah pikir (head), olah rasa (heart) dan olah raga yang mendukung ketrampilan hidup (hand). Dalam upaya penguatan karakter peserta didik inilah maka Dewantara dengan cerdas merumuskan formulanya yang dikenal dalam rumusan; ”Ing ngarso sun tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” (di depan menjadi teladan, di tengah mengembangkan karsa, membimbing dari belakang). Pandangan tersebut menunjukkan bahwa konsep menghantarkan peserta didik dalam mengembangkan diri dan kepribadiannya begitu menonjol terumuskan dalam tujuan pendidikan. Karena itu menurut Hasan (2005) orientasi pendidikan perlu diarahkan untuk memenuhi karakter dan kemampuan dalam kehidupan pada situasi zamannya. Konsep sebagaimana dilontarkan Ki Hajar Dewantara tersebut menurut Hasan (2008: 176) justru telah menerapkan dari pandangan filosofis ”rekonstruksi sosial” yang banyak dibahas dalam dunia pendidikan pada masa kini. Namun sayangnya seiring dalam perjalan sejarah pendidikan Indonesia memperlihatkan bahwa setelah UU nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, konsep seperti itu tidak lagi menjadi suatu landasan kuat pendidikan pada masa berikutnya karena kepentingan ilmu menduduki
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
posisi yang lebih penting daripada pengembangan karakter. Pendidikan lalu kemudian sekedar menyiapkan para peserta didik untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi). Hal in terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik peserta didik saja, yang sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ). Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner (1983) tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya. Kesadaran paradigmatik mengenai pendidikan yang mampu mengkonstruk karakter peserta didik dalam hal ini bisa dijadikan sebagai ide kurikulum. Pendidikan karakter hanya menjadi wacana belaka kalau tidak dibarengi dengan pengembangan kurikulum pada tataran sebagai dokumen, implementasi dan juga sebagai hasil. C. Dimensi ontologis Pendidikan Karakter Secara istilah, karakter sebagaimana dinyatakan oleh Lickona (1991, 51) bahwa, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior . . . habits of the mind, habits of the heart, and habits of action”. Dengan kata lain karakter akan terkait dengan mengerti tentang kebaikan, mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan. Mengerti kebaikan tidak melulu dalam arti pengertian kognitif. Tetapi di dalamnya juga terkait dengan pengertian praktis, pengertian yang terkait dengan tindakan. Karenanya karakter akan muncul pada situasi kritis. Ada kemungkinan untuk memilih, atas berbagai pilihan yang mungkin ada, dan apa yang dilakukannya. Dan ini dapat terjadi di dalam situasi-situasi kritis. Salah satu tolok ukur menguji karakter menurut Budi Subanar (2010) dapat dilihat dari tindakan yang diambil seseorang dalam situasi kritis. Itulah sebabnya di dalam mengerti kebaikan juga terkait dengan pengertian praktis. Ini
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
berarti tidak melulu mengerti, tapi juga bertindak atas dasar pengertian tersebut. Hal kedua yang terkait dalam karakter (baik) adalah mencintai kebaikan. Terdorong untuk memilih untuk melakukan hal yang baik. Kondisi seperti itu bukanlah sesuatu yang taken for granted (cetak biru) karena dimensi kemanusiaan tak lepas dari gejala kejiwaan dengan berbagai potensi pikir, dzikir dan ikhtiar yang hidup dalam lingkungan tertentu. Faktor internal dan ekternal harus selaras dalam membangun karakter individu atau masyarakat. Untuk kepentingan inilah dibutuhkan upaya sadar dan terencana yang mengkondisikan setiap individu terbangun karakternya melalui proses pendidikan karakter. Kalau mengambil isnpirasi seorang filsuf Jerman era modern, Immanuel Kant sebagaimana dikutip Amin Abdullah (2010) ditegaskan bahwa Pendidikan Karakter adalah pendidikan kemanusiaan yang bertujuan menjadikan manusia “baik”. Menjadikan manusia “baik” tanpa prasyarat apapun. Karena itu dengan dengan Pendidikan Karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama, sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. Pendidikan Karakter seperti ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Karakter yang sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik dalam ranah multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi seperti saat sekarang ini. Pendidikan karakter akan menegaskan kehidupan yang baik dengan meletakkan dimensi kemanusiaan pada level satu. Sedangkan aspek lain di luar domensi kemanusiaan seperti pangkat, jabatan, ras, etnis, golongan, politik, ekonomi pada level dua. Karena kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster seperti dikutip oleh (Doni Koesoema, 2007) tampak dalam 4 ciri fondamental yang mesti dimiliki yakni; (1) keteraturan interior melalui mana setiap tindakan
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.; (2) koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; (3) otonomi yakni kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain; (4) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Penjelasan di atas persis sebagaimana juga ditegaskan oleh Ke Hadjar Dewantara dengan terminologi yang khas berakar pada budaya bangsa yang disebutnya sebagai pendidikan budi pekerti. Menurutnya (1962, 24): “budipekerti atau watak jaitu bulatnya djiwa manusia, jang dalam bahasa asing disebut “karakter”, …sebagai djiwa jang sudah “berasas hukum kebatinan”. Orang jang mempunjai ketjerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar jang pasti dan tetap. Itu sebabnja tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknja dengan pasti…” Karena itu Dewatara (1962) menekankan bahwa praktek pendidikan harus dibangun dengan tidak mengabaikan konsep “Tringa” yaitu ngerti (mengetahui), ngroso (memahami) dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan orang hidup pada dasarnya adalah meningkatkan pengetahuannya tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan sensifitas yang ada disekitarnya, serta melaksanakan ajaran yang ia telah ketahui sebelumnya. Kemudian konsep Tringa
10
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
ini berkembang menjadi konsep “Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Ini berarti untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat didalam dirinya. Yang kemudian konsep Trisakti Jiwa ini berkembang lagi menjadi konsep “Trihayu” yaitu, memayu hayuning sariro, memayu hayuning bongso, dan memayu hayuning bawono. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan juga bermanfaat bagi orang lain bagi manusia secara keseluruhan (Saiful Mustofa, 2010). Karena itu sesungguhnya akar pendidikan yang dibangun oleh para founding fathers hakekaktnya adalah pendidikan karakter, bukan pendidikan yang yang berbasis pada kebutuhan pasar industri minus karakter. Karena itu dalam hal ini perlu merevitalisasi pendidikan karakter yang telah ada dengan merekonstruksi kurikilum di semua jenjang pendidikan (Siskandar, 2010). Proses konstruksi dan rekonstruksi kurikulum pendidikan karakter ini mensyaratkan keterlibatan banyak pihak mulai dari lingkungan kelas, sekolah, masyarakat dan keluarga. Karena pendidikan karakter adalah proses sosial budaya yang berkelanjutan yang membutuh kesadaran budaya dan kecerdasan budaya (cultural intellegence). D. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter Dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang pada ranah kurikulum lalu melahirkan ide kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka hal ini memberi ruang yang luas bagi setiap satuan pendidikan untuk secara kreatif mengkonstruksi dan mengembangkan kurikulum di setiap jenjang pendidikan. UU Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yuang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” (Bab I Pasal 1). Dengan konsep pendidikan seperti jelas memperlihatkan sejumlah pokok yang berkaitan dengan pendidikan sangat berkaitan erat dengan pembentukan karakter dengan tetap memperhatikan potensi kecerdasan yang dimiliki oleh masingmasing peserta didik. Sedangkan mengenai pengembangan kurikulumnya secara penuh diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan sebagaimana sejalan dengan semangat KTSP. KTSP yang mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 2006 jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa KTSP merupakan produk dari penjabaran. Dua hal penting yang membedakan KTSP dengan kurikulum sebelumnya adalah (a) diberlakukannya kurikulum yang berdiversifikasi, dan (b) adanya standardisasi pendidikan sebagai akibat dari heterogenitas bangsa, baik dilihat dari aspek geografisnya maupun latar belakang sosial budayanya. Heterogenitas ini membawa dampak bahwa terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara daerah dan pusat (Kamarga, 2009). KTSP dengan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dan pengelola pendidikan (sekolah) untuk mendesian kurikulum sesuai potensi daerahnya masing-masing, mulai dari tujuan, isi/materi, matode, media hingga evaluasi. Karena itu inovasi selalu dibutuhkan, terutama dalam bidang kurikulum, untuk mengatasi masalah-masalah yang mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran. Sebagaimana ditegaskan oleh Rosenblum & Louis (1981 : 1) terkait dengan inovasi dalam pembelajaran: “Declining enrollments, rapid changes in the existing technology and knowledge about teaching and learning processes, a continual expansion of the role of the school into new areas, and changes in the prevailing cultural preferences of both local communities and the larger society continually impel schools to inovate” Dengan demikian pesatnya perubahan sosial dan perkembangan pengetahuan tentang belajar dan mengajar
11
12
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
menuntut adanya pembaruan-pembaruan yang berbasis pada kepentingan peserta didik dan stakeholder. Dibarengi dengan semangat pengembangan KTSP, maka pembaruan (inovasi) dalam berbagai komponennya kurikulum mutlak diperlukan dalam bingkai menjadikan sekolah sebagai sarana pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa. Dalam grand design pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Kemendiknas digambarkan dalam bagan sebagai berikut (Kemendiknas, 2010):
Dengan memperhatikan bagan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter membutuhkan proses sosial yang dalam bingkai pendidikan dan melibatkan para pemangku kepentingan mulai di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pada tataran mikro di tingkat sekolah dapat digambarkan sebagai berikut (Kemendiknas, 2010):
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Bagan mikro pendidikan karakter seperti di atas menunjukkan bahwa pendidikan karaktekter harus diselenggarakan secara holistik dan selaras antara teori (knowing) dan prakteks (acting) yang dilandasi dengan perasaan cinta (loving). Kondisi seperti itu harus terintegrasi mulai di ruang kelas, sekolah dan keluarga sehingga menjadi habitus dan etos yang tumbuh dalam pribadi anak dalam konteks interaksi sosial dalam berbagai dimensinya. Hal ini seperti juga ditegaskan oleh Amin Abdullah (2010) bahwa Pendidikan Karakter diawali dengan Pengetahuan (Teori), Pengetahuan (Teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk Sikap atau akhlak yang mulia. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Dengan pola seperti itu dapar dipahami bahwa model paradigma pembelajaran Pendidikan Karakter (humanities) semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual. Yang diperlukan dalam pembelajaran humanities, dalam hal ini Pendidikan Karakter menurut Abdullah (2010), adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi manusia meliputi perasaan, rasio, imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma Pendidikan Karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah Struktur Kepribadian manusia. Sedangkan Motivasi atau Kehendak sangat terkait dengan Hatinurani(Abdullah, 2010). Maka Pendidikan Karakter adalah Pendidikan Hatinurani, yang menekankan pentingnya sentuhan rahsa dan kalbu (heart). Dimensi hati perlu mendapatkan sentuhan khusus dalam pendidikan karakter, sebagaimana sudah sering disadari dalam tradisi Islam bahwa sesungguhnya dalam jasad setiap manusia terdapat segumpal darah, yaitu hati (“ala inna fi al-
13
14
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
jasadi mudghah, wa hiya qalbu”). Namun yang menarik menurut pemahaman Abdullah (2010), hati atau qalbu disini bukanlah bentuk fisiknya berupa segumpal darah, melainkan adalah Mind Set atau seperangkat nilai-nilai yang telah membentuk perilaku. Mind Set inilah biasa disebut dengan filsafat hidup pribadi (Mabda’ al hayah), yang telah mendarah mendaging. Dalam Mind Set atau Falsafah hidup pribadi mempunyai berbagai potensi yang seluruhnya perlu disentuh dan digerakkan, antara lain emosi, rasio, imajinasi, memori, kehendak, nafsu, dan kecenderungan-kecenderungan. Seluruh potensi ruhani yang tertimbun dalam badan fisik manusia akan tampak keluar ke permukaaan dalam bentuk perilaku lahiriyyah, baik dalam bentuk ekspresi wajah atau raut muka (senyum, sangar, cemberut, peduli, ramah), gerak-gerik (bhs Jawa : solah bowo) mencurigakan, slintutan), tutur bicara ( bhs Jawa : muna muni) seperti halus, kasar, galak, manis, tingkah laku (tegas, sopan, kasih sayang) dan juga kelalaian (lupa, tidak serius, tidak teliti). Untuk mengkondisikan peerta didik mampu menemukan falsafat hidupnya (mind set) yang menancap dalam hati tersebut tidak mungkin ditemukan melalui proses pembelajaran yang menekankan pada orientasi isi (content) belaka tetapi membutuhkan srangkaian pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran yang bermakna menurut Shapiro (2006, 40-41) justru seharusnya menekankan juga dimensi isi dari kurikulum yang tersembunyi (the conten of the hidden curriculum). Dalam prakteknya peserta didik tak sekedar belajar isi dalam materi pelajaran saja tetapi dalam proses pembelajaran guru harus mampu menghadirkan makna dalam hubungannya dengan kehidupan nyata yang kongrit, misalnya makna relasi sosial dalam sekolah, pentingnya pengetahuan teknis, ekpresi estetik dan juga pentingnya empati dalam kehidupan sosial. Karena itu peserta didik yang menemukan makna (meaning) dalam belajar, mereka akan terbangun rasa cinta (feeling and loving) dalam belajar, sehingga nilai-nilai yang mereka dapatkan akan direproduksi menjadi spirit dalam bertindak dalam kehidupan nyata tanpa paksaan dan tanpa
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
beban sehingga menjadi karakter dalam diri mereka. Namun persoalnnya kemudian bahwa pendidikan karakter adalah cakupan yang luas, seluas kehidpuan itu senditi. Karena dalam mendesain pendikan karakter dalam setaiap satuan pendidikan perlu menentukan nilai-nilai utama yang akan menjadi unggulan dalam karakter peserta didik yang dicita-citakan. Hal ini tentu tak lepas dari cita-cita kualitas masa depan manusia seperti apa yang ingin diraih (Hasan, 2009). Hal ini juga tidak bisa diabaikan dengan konstruksi budaya serta masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat pembelajar. Karena itu ketika pendidikan karakter dalam hal ini ingin diorientasikan pada kosntruksi masyarakat yang berkedailan gender, maka dalam pengembangan kurikulum juga perlu menggunakan perspektif gender. Untuk kepentingan inilah para pengembang kurikulum juga perlu menggunakan paradigma pengembangan kutikulum pendidikan karakter inklusi gender yang dalam prosesnya identifikasi masalah tak lepas dari analisis gender. E. Kurikulum Pendidikan Karakter Inklusi Gender Istilah inklusi dalam dunia pendidikan biasanya lebih menunjukkan upaya penyatuan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (BK) ke dalam program sekolah reguler dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidiakan yang menyeluruh (Smith, 2009). Meskipun istilah inklusi memiliki makna yang berbedabeda, namun semangat yang ditonjolkan adalah sebagai cara baru untuk berbicara mainstraiming sebagai banner untuk menyerukan full inclusion atau penghapusan pendidikan khusus atau sering disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Dalam kajian gender hal ini bisa kaitannya dengan pendidikan karakter inklusi gender, menunjukkan suatu upaya pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran karakter yang mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan gender. Dengan kata laia keadilan gender tak sekedar menjadi wacana tetapi mampu terinternalisasi dalam kesadaran indvidu
15
16
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
sehingga menjadi karakter dalam sosialitanya. Di tengah maraknya gerakan pendidikan karakter tanpa dibarengi dengan perspektif gender, maka bukan tidak mungkin karakter bangsan yang terbangun menjadi bias gender. Karena itu perlu upaya khusus orientasi kurikulum pendidikan karakter yang adil gender. Gagasan memasukkan isu-isu gender bukanlah sesuatu yang baru, namun masih dalam proses menemukan bentuknya. Karena itu dalam satuan pendidikan bisa dengan mengembangkan kurikulum yang dibuat berbasis gender. Bukti masuknya ide ini dalam kurikulum dapat dilihat dari adanya Kurikulum Kesetaraan Gender (KKG) dengan nilainilai Integritasi pada Kurikulum yang wajib dilaksanakan guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar yaitu: Persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerja sama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, demokrasi. Secara historis pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender ini, dilandasi oleh Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 (5) yang berbunyi “ ... ketidakseimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah harus ditiadakan”. Demikian juga dalam Konperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 (c) yang berbunyi: “ ... Menghapuskan ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 (UNICEF). Sementara dalam Lampiran Inpres No 9/ 2000, juga ditegaskan bahwa kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut merupakan problem mendasar dalam pendidikan.
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Karena itu Kemendiknad melalui upaya Pengarusutamaan Gender (PUG) melakukan pengurangan kesenjangan tersebut. Salah satu caranya dengan pengadaan kurikulum berbasis gender (Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender). Karena itu dalam konteks pendidikan karakter yang juga telah menjadi gerakan nasional tahun ini perlu membangun orientasi yang jelas dalam pengembangan kurikulum agar karakter bangsa yang terbangun juga adil gender. Menurut Sunaryo (2010) pendidikan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari guru sebagai tujuan pendidikan dan dikembangkan dalam suasana pembelajaran transaksional, bukan instruksional dan dilandasi semangat yang mendalam terhadap perkembangan peserta didik. Lebih jauh orientasi kurikulum transaksional sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh Seller dan Miller (1985, 62-67) memposisikan pendidikan memiliki fungsi utama sebagai upaya dialog antara siswa dan kurikulum dimana siswa merekonstruksi ilmu melalui proses dialog. Karena itu individu dipandang sebagai makluk rasional dan memiliki intellegensi untuk memecahkan masalah termasuk ketika dihadapkan pada isu-isu ketidakadilan gender. Kalau digambarkan dalam bagan sederhana relasi kurikulum dengan dengan peserta didik berorientasi transaksional yang sensitif gender adalah sebagai berikut:
Dengan mencermati bagan di atas dapat dipahami bahwa konstruk kurikulum harus secara partisipatoris didialogkan dengan pengalaman peserta didik, lingkungan dan isu-isu aktual. Proses dialog tidak hanya untuk mencapai tujuan individual dalam konteks tujuan pendidikan nasional yang ingin
17
18
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak, mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab; juga untuk mencapai tujuan kolektif dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan juga tujuan eksistensial untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertabat. Proses transaksional yang dibarengi dengan analisis gender tersebut dapat dijadikan sebagai ide kurikulum yang kemudian dikembangkan menjadi dokumen kurikulum yang menyangkut komponen-komponen tujuan, isi, metode dan evaluasi yang untuk selanjutnya sebagai pengayaan dalam menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Perlu diingat juga kurikulum pendidikan karakter inklusi gender dalam implementasinya harus diimplementasikan secara holistik tidak hanya menekankan pada satu mata pelejaran tetapi setiap mata pelajaran juga berupaya saling mendukung sehingga menjadi sebuah pembelajaran yang mendidik secara sinergis, mulai di kelas, sekolah, dan juga lingkungan keluarga. Dengan perspektif seperti ini maka gerakan pendidikan karakter yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini akan menemukan relefansinya dengan upaya pengarustamaan gender dalam dunia pendidikan di semua jenjangnya. F. Penutup Sebagai penutup dapat penulis sarikan beberapa catatan penting terkait ulasan paper ini; 1. Pendidikan digagas pada dasarnya memiliki dimensi ontologis sebagai upaya pembentukan karakter demi terwujudnya sistem sosial yang bermartabat besendikan moral dan spiritual. 2. Pendidikan karakter membutuhkan proses panjang dan mensyaratkan keterlibatan semua elemen yang terlibat dalam proses pendidikan. Karena itu dibutuhkan kesadaran budaya dan kecerdasan budaya sehingga nilai-nilai yang
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
ditanamkan menjadi habitus dan etos. 3. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter yang berkeadilan gender menuntut adanya proses transaksional (dialog) antara kurikulum sebagai ide, konstruk dan implementasi dengan peserta didik dalam lingkungannya secara berkesinambungan dibarengi dengan perspektif dan analisis gender untuk diaktualisasikan melalui komponenkomponen kurikulum mulai dari tujuan, isi, metode dan evaluasinya.
19
20
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Sumber Referensi Abdullah, A. (2010). “Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani”. Makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. Assegaf, A.R. (2002). Politik Pendidikan Nasional, Pergeseran Kebijakan Penadidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Assegaf, A.R. et. all. (2002). Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://www.ditpertais. net/istiqro/ist02-03.asp (19 Mei 2010). Basuki. (2006). “Mengonkruksi Pendididikan Kritis-Humanis dan Populis, Tinjuan tentang Politik Pendidikan Indonesia Era Globalisasi”, dalam Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, EDUKASI. 4, (2), 38-53. Brameld, T. (1995). Philosophies in Education in Cultural Perspectives. Toronto: London, Holt Rinehat. Buchori, M. (2010). “Guru Profesional dan Plagiarisme”. KOMPAS (22 Februari 2010). Buchori, M. (2010). “Krisis Morak dan Masalah Karakter”. KOMPAS (9 Februari 2010). Buchori, M.. (1994). Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan. Jakarta. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Buchori, M.. (2007). Evolusi Pendidikan di Indonesia; Dari Kweekschool Sampai ke IKIP; 1852-1998. Yogyakarta. INSISTpress. Damanik, J. (2010). “Epidemi Plagiarisme”. KOMPAS (19 Februari 2010). Dewantara, K.H. (1962). Karja Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta. Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Gardner, H (1983). Frames of Mind: The theory of multiple intelligences, New York: Basic Books.
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Hasan, S. H. (2005). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950–2005). dalam www. geocities.com/konferensinasionalsejarah/s_hamid_ hasan.pdf [akses 1 Juli 2009] Hasan, S.H. (2009). “Kurikulum, Standar Kompetensi Lulusan dan Ujian Nasional”, dalam Sejarah Sebuah Penilaian, Refleksi 70 tahun Prof. Dr. H. Asmawi Zaenul, M.Ed. Bandung. Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Hasan, S.H. (2009). “Evaluasi Pengembangan KTSP: Suatu Kajian Konseptual”, dalam Jurnal Inovasi Kurikulum, Pebruari 2009, Thn. 5. Vol 1 Nomor: 6 Hursh, D. Neo-liberalism, Markets and Accountability: transforming education and undermining democracy in the United States and England. [Online]. Tersedia: http:// www.wwwords.co.uk/pdf/validate.asp?j=pfie&vol=3 &issue=1&year=2005&article=2_Hursh_PFIE_3_1_web (5 Mei 2010) Kamarga, H. (2009), Inovasi Pendidikan dan Upaya Percepatan Pembangunan Bangsa. [Online]. Bisa diakses http:// hanckey.pbworks.com/Inovasi-Pendidikan (2 Nopember 2009). Kamarga, H. “Inovasi Pendidikan dan Upaya Percepatan Pembangunan Bangsa” dapat diakses di http://hanckey. pbworks.com/Inovasi-Pendidikan [on line 1 September 2009]. Kartadinata, S.(2010). Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/ Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI%20PE ND%20DAN%20BIMBINGAN/195003211974121%20%20SUNARYO%20KARTADINATA/MENCARI%20BE NTUK%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20BANGSA. pdf Koesoema A, D. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidikan Anak di Zaman Global. Jakarta. Grasiondo. Koesoema A, D. (2007). “Pendidikan Karakter”. [Online]. Tersedia http://albertdoni.blogspot.com/2007/09/
21
22
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pendidikan-karakter-doni-koesoema.html (2 Mei 2010). Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Oer School can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books. Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curruculum Perspectives and Practice. New York & London. Longman. Mujahidah. (2009). “Praktek Menyontek; Tradisi Klasik dalam Dunia Pendidikan”. Jurnal Kependidikan Ar-Riwayah. 2, (2), 45-58. Mustofa, S. (2010). Pemimpin Mati Rasa: Sebuah Kado di Hari Kebangkitan Nasional. [Online]. Tersedia http:// saifulmustofauin.blogspot.com/c (8 Juni 2010) Newman, Isadore and Carolyn R. Benz. (1998). Qual-Quan Research Methodology; Exploring the Interactive Continum. SIU Press. Patton, A. Self-Evaluation Dalam Konteks Perencanaan Strategis. [Online]. Tersedia: http://www.akademik.unsri.ac.id/ download/journal/files/brapub/7Self-evaluation%20 dalam%20Konteks%20Perencanaan%20Strategis-ADRI. pdf [Januari 2010] Rahmat, J. (2010). Membangun Karakter: Mengembalikan Jiwa Pedidikan. Makalah Pembekalan Guru SMU Plus Muthohhari Bandung. Rosenblum, S. & Louis, K. S. (1981). Stability and Change, Innovation in an Educational Context. New York & London : Plenum Press. Said, N. (2005). Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta.Pilar Media Shapiro, H.S. (2006) Losing Heart. The Moral and Spiritual Miseducation of America’s children. London: Lewrence Erlbaum Associates, Publishers. Smith, J.D. (1998). Inclusion, School for All Student. Wadsworth Publishing Company. Subanar, B. (2010). ”Mendidik: Membentuk Pribadi Yang Berkarakter. Tantangan Pendidikan di Era Informasi
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
dan Komunikasi”. Makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. Subkhan, E. (2009). “The Polarization of the Post-New Order Indonesian Education Ideologies”. Makalah dipresentasikan pada Internastional Seminar on: (Re)Considering Contemporary Indonesia:Striving for Democracy, Sustainability, and Prosperity, A Multidisciplinary Perspective. Diselenggarakan oleh Academy Professorship Indonesia in Social Sciences & Humanities, The Graduate School , Gadjah Mada University, in Yogyakarta, 2-3rd December 2009. Sularto, St. (2009). “Krisis Identitas dan Harga Diri”. Dalam Negara Minus Nurani; Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Indratno, A.F.T. (ed.). Jakarta. Penerbut Buku Kompas. Sumbulah, U., Dkk. (2008). Spektrum Gender; Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang. UIN Malang Press. Tabb, W. (2001). Essay: Globalization And Education As A Commodity [Online]. Tersedia: http://www.psc-cuny. org/jcglobalization.htm (5 Mei 2010) “Plagiarism”. (2010). [Online]. Tersedia di http://www. thejakartapost.com/news/2010/02/04/plagiarism.html (2 Mei 2010). “Pendidikan Karakter Mendesak; Penjiplakan, Dampak dari Politisasi Pendidikan” [Online]. Tersedia di http:// cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/20/04191432/. Pendidikan.Karakter.Mendesak 20 Februari 2010 “Survei, 62,7 Persen Remaja Indonesia Pernah ML”. Laporan wartawan KOMPAS, 9 Mei 2010. “The World Conference on Early Childhood Care and Education (ECCE): Building the Wealth of Nations” [Online]. Tersedia di http://unesdoc.unesco.org/images/0018/ 001873/187376e.pdf (8 Juni 2010)
23
Ide Utama
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME
Suhadi*) ABSTRACT: History records that women pre-Islamic Arabic has revealed their identity and position and glory, so worthy of being a pilot model of world civilization at the time, which in turn is next, Islam encourages. But history in the history also does not deny that Islam (read: the understanding of Islam) in the hands of some “defenders” are also played discrimination of women who then made the bearers of weapons by some groups that Islamic feminism nuanced misoginis (hatred of women). Islam does not “surprise” against feminism, because that’s what it became one big agenda from the beginning, even in Islam – if examined more deeply – very spoiled woman. But more than that, the Islamic clerics – through ‘moderate – also gave signs that feminism is not too far as he explores the hidden agendas behind feminism is dangerous. Keywords: Islamic history, feminism, responses
A. Pendahuluan Obor peradaban dahulu pernah di pegang oleh Timur pada masa Mesir kuno, Venessia, Babilonia dan Persia. Kemudian obor itu berpindah ke Barat pada masa Yunani dan Romawi. lalu kembali lagi ke Timur pada masa peradaban Islam Arab. Namun ketika kaum muslimin mengalami stagnasi dan keterbelakangan yang di sebabkan oleh kesalahannya dalam memahami agama dan aplikasinya, obor peradabanpun dengan cepat berpindah ke Barat dan mereka langsung menguasai kendali dunia hingga sekarang.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Sekarang ini Barat dengan dominasi dan hegemoninya hendak memaksakan kehendaknya untuk menguasai peradaban, ekonomi dan politik dunia dengan kemasan Globalisasi. Seluruh gerakan di Barat dari abad ketujuh belas sampai kini gagasannya selalu berkisar pada dua hal: kebebasan dan persamaan. Dan di antara gerakan kebebasan dan persamaan tersebut adalah kepeloporannya dalam memandang kebebasan wanita dan persamaan hak mereka dengan hak kaum pria di segala bidang sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan Hak Asasi Manusia yang telah merupakan ide sentral sejak abad ketujuh belas. Inilah yang kemudian di sebut sebagai gerakan Feminisme. Apa sebenarnya Feminisme ini, apa yang melatar belakanginya, bagaimana potret wanita sepanjang sejarah manusia dan bagaimana respon dunia Islam menyikapi Feminisme ini?, makalah ini - meski dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya - akan memaparkan dan mengulas persolan-persoalan di atas. B. Potret Wanita dalam Sejarah a. Kemuliaan Wanita di Arab Pra Islam Ahmad Syalabi-guru besar Sejarah dan Kebudayaan Islam dari Mesir-mengetengahkan bahwa ada suatu gejala yang boleh dikatakan kelihatan dengan jelas pada tiap-tiap kabilah pra Islam. Yaitu : adat menjaga dan membela perempuan, dan memandang kehormatan perempuan itu lebih tinggi harganya dari pada jiwa, harta dan anak-pinak.1 Salah satu dari tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka amat menjaga dan membela kehormatan perempuan ialah telah menjadi kebiasaan bagi mereka membawa perempuan-perempuan ke medan perang. Perempuanperempuan diletakkan di belakang balatentara yang berperang, dengan maksud agar mereka selalu ingat bahwa kekalahan berarti kehormatan kaum perempuan mereka akan diinjakinjak oleh musuh. Yang demikian itu dapat menjamin bahwa mereka akan berperang mati-matian melawan musuh.2
25
26
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Sementara itu Murtadha Muthahhari menukil dari alKasysyaf dan kitab-kitab Tafsir lainnya menyebutkan bahwa di zaman Jahiliyyah apabila seorang bayi wanita lahir maka orang yang mengucapkan selamat kepada ayah si bayi itu biasanya mengatakan “Hanian laka an-Nafijah”, artinya “selamat, semoga ia menjadi sumber kekayaan bagimu”. Ini berarti bahwa ayah si gadis kelak akan mengawinkan dia dan akan menerima Maskawin.3 Superioritas kaum perempuan juga mempunyai bukti sejarah bahwa di masyarakat Arab pra-Islam pernah mengalami sistem keluarga “Matrilinial” di mana pertalian keluarga dicatat dari pihak perempuan.4 Kitab-kitab klasik semisal an-Nasab az-Zaky, Nasabu Quraisy oleh Mash’ab az-Zubairy dan Jamharotu Ansab alArab oleh Ibnu Hazm mempersaksikan sejauh mana ahli-ahli silsilah itu mementingkan mempertengahkan para wanita dan bagaimana telitinya penulis-penulis Arab mencantumkan nama-nama wanita, silsilahnya hingga ke nenek moyang yang paling jauh.5 Bahkan banyak nama-nama Kabilah di Arab di ambil dari nama-nama para wanita semisal Bani Khandaf, Bani Dhariyah, Bani Jadilah, Bani Adiyah, Bani Raqqasy, Bani Muzayyanah, Bani Amilah, Bani Afra’, Bani Bahilah, Bani Salul dan Bani Abalah. Di kalangan raja juga ada yang mempopulerkan nama ibunya seperti Amr Ibn Hindun, Mundzir Ibn Ma’us Sama dan lain-lain.6 Lamya’ al-Faruqiy, seorang sarjana dalam sejarah musik dan kesenian Islam, yang juga dosen di Tample, Butler, Indiana, Pakistan dan Filipina, mencatat bahwa dalam masyarakat Arab Jahiliyah ada dua tipe utama perkawinan dipraktekkan. Tipe pertama menurutnya adalah perkawinan yang didasarkan atas suatu kebiasaan lama di kalangan orang-orang Arab yang menetapkan kekerabatan pada garis keturunan wanita. Baik perkawinan Endogami (antara anggota-anggota dari suku atau hayy yang sama) atau Exogami (antara anggota-anggota dua suku atau hayy yang berbeda).7 Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Smeth. Di masa
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
sebelum kedatangan Muhammad saw., di dalam masyarakat Arab terdapat sistem keluarga, yang berbentuk matriarkal, di mana pertalian keluarga dicatat dari sisi perempuan. Di bawah sistem ini kaum perempuan menyambut kedatangan kaum lakilaki ke dalam tendanya, anak keturunan mereka adalah milik perempuan dan masuk ke dalam keanggotaan suku mereka dan kaum perempuan memiliki hak untuk menyingkirkan kaum laki-laki menurut kehendaknya. Keadaan semacam ini masih berlangsung di masa Muhammad dan masih terus berlangsung hingga dua abad setelah datangnya Islam.8 Smeth lebih tegas lagi mengatakan bahwa kaum perempuan pada masa pra-Islam bahkan mempunyai hak penuh menguasai kaum laki-laki, sehingga mereka berhak mengusir kaum laki-laki sekehendaknya sendiri dan anak keturunannya menjadi bagian dari suku pihak perempuan. Inilah budaya Matriarkhi. Bahkan perkawinan Muhammad (sebelum menjadi Rasul) dengan Khadijah, menurut Fatima Mernisi, masih terpengaruh oleh budaya Matriarkhal dengan bentuk perkawinan Matrilinial, dimana yang melamar adalah pihak perempuan: “Dialah (Khadijah) yang melamar Nabi saw, karena dia menemukan pada diri beliau kualitas-kualitas yang paling dihargai bagi seorang laki-laki.9 Posisi matrilinial, menurut Smeth masih bertahan hingga dua abad setelah datangnya Islam. Oleh karena itu adalah benar jika Nawel El- Saadawi menganggap bahwa kaum perempuan Arab pada masa Islam masih lebih terhormat ketimbang perempuan Eropa, karena perempuan Arab masih mempunyai hak untuk membelanjakan uangnya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sepanjang menyangkut kedua hal ini (mengelola dan membelanjakan uangnya sendiri) istri-istri orang Arab menurut Saadawi lebih baik di banding saudarasaudara mereka di Amerika dan Eropa, karena wanita Arab tetap memakai namanya setelah menikah dan membelanjakan uangnya dengan kebebasan penuh tanpa membutuhkan segala macam bentuk perizinan dari suaminya.10 Salah satu rahasia besar yang membuat orang-orang Arab pra Isl”am menghormati wanita adalah karena “danyang” atau yang “mbaurekso” dalam arti perintis dan pemakmur pertama
27
28
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
negeri Arab dengan Makkah sebagai Ummul quronya adalah seorang wanita. Wanita ini menurut kepercayaan mereka adaah seorang dewi yang dikirim tuhan untuk menyulap tanah gersang Arab menjadi surga kehidupan. Melalui hentakan mukjizat kaki putranya yang masih bayi mungil,memancarlah sumber kehidupan; air zamzam. Sejak saat itulah denyut kehidupan di negeri Arab dimulai. Karena itu pulalah sebagai simbol kehormatan, patung-patung besar yang dituhankan orang-orang Arab adalah patung-patung perempuan. Ali Shariati dengan ketajaman analisisnya menulis bahwa di sebelah barat Ka’bah ada sebuah tembok rendah yang berbentuk setengah lingkaran dan menghadap ke Ka’bah. Bangunan ini disebut Hijr Ismail. Hijr berarti pangkuan atau pakaian wanita sebelah bawah. Sarah, istri Ibrahim, mempunyai seorang budak hitam yang berasal dari Ethiopia bernama Hajar. Budak ini sedemikian miskin dan hinanya sehingga Sarah tidak berkeberatan jika Ibrahim menikahinya untuk memperoleh keturunan. Walaupun tidak cukup terhormat untuk menjadi istri kedua Ibrahim, tetapi Allah menghubungkan lambang Hajar dengan lambang-Nya sendiri (Ka’bah). Di atas pangkuan Hajarlah Ismail dibesarkan. Di sanalah rumah Hajar dan kuburannya berada di dekat pilar Ka’bah yang ketiga. Betapa anehnya!- tulis Syari’ati- Jika tak seorang manusia, sekalipun ia nabi, boleh dikuburkan di dalam masjid maka mengapakah rumah seorang budak perempuan hitam sampai berada di sebelah rumah Allah? dan di situ pula Hajar, ibu Ismail, dikuburkan. Bangunan ka’bah memanjang ke arah kuburannya, dengan perkataan lain: rumah Allah menghadap ke pangkuan Hajar! Di antara Hijr Ismail dengan Ka’bah ada sebuah gang sempit. Allah memerintahkan agar ketika melakukan Thawaf kita mengelilingi kedua bangunan ini dan tidak mengelilingi ka’bah saja dengan melalui gang tersebut; jika tidak demikian maka ibadah haji yang kita lakukan itu tidak akan diterima oleh Allah.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Orang-orang yang berkeyakinan Monotheisme (tauhid) serta menerima undangan Allah untuk menunaikan ibadah haji harus menyentuh Hijr Ismail ini ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah. Kuburan seorang sahaya perempuan hitam Afrika dan ibu yang baik ini merupakan sebagian dari Ka’bah, dan hingga Kiamat nanti manusia-manusia senantiasa akan berthawaf mengelilinginya. Allah Yang Maha Besar adalah Sendirian. Tak seorang manusia pun dan tak sesuatu pun yang dibutuhkan-Nya. Walaupun demikian, di antara sekalian makhluk-Nya yang sangat banyak ini Dia telah mengangkat seorang manusia sebagai yang termulia di antara mereka yaitu seorang perempuan. Kepada yang terhina dan terlemah diantara makhlukmakhluk-Nya ini Allah memberikan tempat di sisi-Nya dan sebuah ruangan di dalam rumah-Nya. Dia telah datang ke rumah Hajar, menjadi tetangganya, dan menempati ruangan yang sama dengan Hajar. Ritual-ritual haji adalah untuk memperingati Hajar. Perkataan Hijrah bersumber dari perkataan Hajar; demikian pula halnya dengan Muhajir (orang yang ikut melakukan Hijrah). Nabi Muhammad berkata : “Muhajir yang ideal adalah yang berbuat seperti Hajar”. Hijrah adalah sebuah perbuatan seperti yang pernah dilakukan Hajar. Selanjutnya perkataan Hijrah dapat pula berarti peralihan dari hidup biadab menjadi hidup beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Di dalam bahasa-ibunya sendiri namanya (Hajar) berarti “kota”. Jika nama sahaya Ethiopia yang berkulit hitam ini melambangkan peradaban. Selanjutnya setiap hijrah seperti yang pernah dilakukannya adalah sebuah gerakan menuju peradaban!.11 Demikian Ali Syari’ati. Sedangkan Bintu asy-Syathi’-Mufassirah terkenal itumenulis bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyah dahulu sangat mementingkan kemuliaan keturunan Ayah dan kesucian keturunan Ibu, serta kemurnian asal-usul. Seorang ahli pikir mereka, Aktsam ibn Shaify, berkata: “ Janganlah kamu tergoda karena kecantikan wanita, sehingga kamu lupa menyelidiki
29
30
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
keturunannya yang jelas; karena sebenarnya perkawinan dengan isteri-isteri yang mulia itu merupakan tangga untuk menuju kemulyan. Abu Amar ibnu’I ‘Ala’ menghafalkan kata-kata dari salah seorang Hukama’ Arab Jahiliyah : “ saya tidak mau menikahi seorang wanita, sebelum saya memperhatikan anak-anak saya yang akan dilahirkannya”. Mendengar kata-katanya itu, seorang temannya berkata: “ bagaimana caranya anda memperhatikan anak-anakmu yang akan dilahirkan oleh seorang wanita?” Hakim itu menjawab: “Saya memperhatikan ayah dan ibu wanita itu, tentu saja kelak wanita itu akan melanjutkan sifat-sifat ayah dan ibunya. Mungkin keinginan mereka yang begitu kuat untuk memiliki keturunan yang mulia itu dapat menafsirkan untuk kita, bagaimana mereka benci menjadi tawanan. Dalam sejarah diterangkan, bahwa “Fatimah binti Kharsyab” menjatuhkan dirinya dari Haudaj, dari keranda di atas unta, pada waktu ia tertawan. Akhirnya ia mati seketika itu juga, dalam keadaan menyebut berulang kali pepatah : “ Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah” kata Bintu asy-Syathi’: “Saya hampir tidak menemukan, di dalam buku-buku yang telah saya baca, suatu bangsa di zaman purba, yang mempunyai kedudukan wanita yang mulia seperti bangsa Arab. Al Mubarrid mencatat dalam bukunya “Al Kamil”, beberapa baris sya’ir dari Sulaik ibn Salakah, yang menggambarkan perasaans yang menyusahkan dan meletihkan, karena adanya budak-budak wanita, yang menjadi hina karena perbudakan dan menjadi rendah nilainya karena selalu dipamerkan, sedang harta kekayaannya tidak cukup untuk menebus mereka”.12 Demikian Bintu asy-Syathi’ Tidak jarang pula penghargaan kepada perempuan telah menyeleweng dan berlebih-lebihan sampai menimbulkan bencana, serta menyebabkan perbuatan-perbuatan yang memberi malu dan noda bahkan kemusyrikan. Hal-hal kecil karena wanita bisa memicu peperangan tak berkesudahan. Akibatnya banyak tawanan perempuan dan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
janda,inilah awal budaya poligami di Arab. Bahkan karena adanya harapan yang berlebihan untuk menjaga agar wanita selalu terhormat pernah terjadi suatu insiden memalukan dari oknum Arab, yaitu mengubur anak perempuannya hiduphidup karena di khawatirkan nanti akan bernoda atau ditawan musuh. Sejarah mencatat insiden ini terjadi pada Bani Asad dan Bani Tamim.13 Pemujaan yang berlebihan pada wanita membuat mereka membuat patung-patung berjenis wanita, 3 patung besar yang paling di hormati; al-Latta, Manat dan al-Uzza adalah berjenis kelamin wanita. b. Kemuliaan Wanita dalam Islam Setelah Islam hadir posisi wanita semakin di pertegas dan di perjelas. Hak-hak mereka dalam berbagai bidang di atur oleh Syariat dengan seimbang dan selaras dengan sifat mulya kewanitaannya. Dan hal tersebut di tegaskan langsung oleh Tuhan: “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan” (QS.3:195). Begitu pula dalam Surat al-Nisa’ ayat 32: “Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang di anugerahkan kepadanya”. Juga Surat al-Taubah ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagin sebagian yang lain”. c. Wanita – wanita di belahan dunia yang lain Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Qur’an terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster, dan sebagainya. Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiranpemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan dikalangan
31
32
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjual belikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra atau seni. Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah “Dewi Cinta” yang terkenal dalam peradaban Yunani.14 Undang-undang di Athena sendiri ( kota Filsafat dan Filosof, negeri pencetus Demokrasi) tidak mengizinkan siapapun memperoleh pengajaran kecuali kaum laki-laki merdeka saja. Pintu pendidikan itu mutlak tertutup bagi kaum perempuan. Di kota ini, Plato telah berupaya menerapkan di kota “Republik”-nya prinsip-prinsip kesetaraan gender di bidang pendidikan dan kebudayaan. Hanya saja ia tidak mampu melakukannya, sebab gagasannya tentang prinsip itu mendapat banyak kecaman dari para pemikir dan filosof waktu itu. Aristoteles, filosof Yunani, malahan merasionalisasi kritikan tersebut bahwa secara almiah, perempuan memang tidak sedikitpun dibekali dengan perangkat pikir. Sehingga, kehidupan perempuan wajib berkutat pada urusan rumah tangga dan asuh-mengasuh anak. Aristoteles pernah mengatakan bahwa posisi perempuan di hadapkan laki-laki menyerupai posisi hamba di hadapan tuan, pekerja di hadapan ilmuwan, dan orang Barbar di hadapan orang Yunani, dan bahwa derajat laki-laki jauh lebih unggul di atas perempuan . Hal serupa dikatakan oleh orator Yunani terkemuka, Justin, “ kita mengambil istri-istri hanya agar mereka melahirkan anak-anak kita secara sah.15 Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak keluarganya yang laki-laki. Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa “Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita”.16 Kitab Hindu Brahman menganggap bahwa perempuan tidak memiliki wewenang (ahliyyah) penuh, dan laki-lakilah yang menjadi penguasa atas dirinya sepanjang zaman. Sebagai contoh, dalam pasal 147 Kitab Undang-Undang Manu tercatat bahwa perempuan tidak memiliki hak apapun semasa hidupnya.17 Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan “Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya”. Dalam ajaran Yahudi yang telah diselewengkan, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dalam agama Yahudi, Talmud menyuruh agar waspada terhadap perempuan, karena dianggap berbahaya. Ketika itu ia berkhotbah di hadapan publik Yahudi: “Bagi manusia, lebih baik berjalan di belakang singa daripada berjalan di belakang perempuan”. Dalam kitab suci mereka juga tertera bahwa perempuan sudah semestinya menjadi subordinat laki-laki dan laki-laki berkuasa atas perempuan (kitab kejadian 2: 12).18 Dalam pandangan sementara pemuka atau pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita
33
34
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mempunyai ruh atau tidak. Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Di antara kata-kata agama kristen berbunyi: perempuan pada kodratnya buruk, lemah bawaan, pembawa petaka, biang bahaya, sumber kekacauan, dan bergelimang kejahatan”. Begitu pula Thomas Aquinas, yang dikenal kalangan Kristiani sebagai penyebar kasih, menyatakan salah satu ungkapannya: “Keharusan perempuan tunduk pada laki-laki sesungguhnya disebabkan oleh kelemahan kodrati daya gerak dan fisiknya sekaligus, dan laki-laki adalah pangkal sekaligus ujung dari perempuan. Allah telah memerintahkan perempuan untuk tunduk patuh.19 Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundangundangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill-yang merupakan dokter wanita pertama di dunia-menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.20 Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Qur’an. C. Pengertian dan Sejarah lahirnyaFeminisme a. Pengertian Feminisme dan Gender.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interprestasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini- yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya- secara bersama- sama memoles “peran gender” kita.21 Sedangkan pengertian feminisme adalah gerakan wanita yang berusaha dan menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut pemikiran Feminisme Liberal bahwa asumsi dasar berakar pada kebebasan dan kesamaan yang rasional, kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini yang paling penting bagi mereka.22 Feminisme Radikal beranggapan bahwa ketidak adilan berakar pada jenis kelamin beserta idiologi patriarkinya. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Feminisme Marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis. Feminisme Sosialis menganggap ketidakadilan bukan
35
36
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
karena kegiatan produksi atau reproduksi, melainkan karena manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan penilaian dan anggapan (social contruction).23 b. Sejarah lahirnya Feminisme Di dunia Barat, sesudah abad ketujuh belas, timbul suatu gerakan dibidang masalah kemasyarakatan, bersamaan dengan terjadinya gelombang pasang perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah, yang kemudian memperoleh sebutan sebagai “Gerakan Hak-Hak Asasi Manusia”. Para penulis dan pemikir abad ketujuh belas dan kedelapan belas menyiarkan ide-ide mereka tentang hak-hak asasi manusia yang alami, intrinsik, dan tidak dapat disangkal dengan kegigihan yang mengagumkan. Rousseau, Voltaire, dan Montesquieu termasuk di antara kelompok penulis dan pemikir tersebut. Masalah pokok yang diberi perhatian oleh kelompok penulis dan pemikir tersebut ialah bahwa manusia menurut watak alami dan bawaannya memiliki serangkaian hak dan kebebasan. Tak ada seorang individu atau kelompok pun, dengan cara bagaimanapun atau dengan alasan apa pun, yang dapat menyangkal hak dan kebebasan seorang individu atau kelompok. Bahkan pemilik hak itu sendiri pun tidak dapat dengan sukarela dan seenaknya mengalihkan hak tersebut kepada orang lain. Semua orang, raja atau rakyat, kulit putih atau hitam, kaya atau miskin, sama dan sederajat sekaitan dengan hak dan kebebasan manusia itu.24 Gerakan intelektual dan sosial ini lalu membuahkan hasil, mula-mula di Inggris, kemudian di Amerika, dan sesudah itu di Perancis melalui revolusi, perubahan bentuk pemerintahan, dan pengajuan petisi. Ide-ide ini berangsur-angsur menyebar ke negara lain. Revolusi industri mengilhami gerakan perempuan karena pekerjaan mereka terganti mesin. Pada abad kesembilan belas, gagasan baru mengenai hak ekonomi, sosial, dan politik manusia dicanangkan, dan perubahan-perubahan pun terjadi, yang berpuncak pada munculnya sosialisme dan tuntunan pemberian bagian keuntungan kepada kaum proletar dan pengalihan kekuasaan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
pemerintahan kepada kelompok pembela kelas pekerja. Pada abad kedua puluh, masalah hak-hak wanita muncul menimpali hak-hak kaum pria, dan untuk pertama kali, dalam “ Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia” yang disusun tahun 1948 setelah perang Dunia Kedua oleh PBB, persamaan hak antara wanita dan pria dinyatakan dengan jelas. Seluruh gerakan sosial di Barat, dari abad ketujuh belas sampai kini, gagasannya selalu berkisar pada dua hal: ‘Kebebasan’ dan ‘Persamaan’. Meskipun kenyataannya gerakan hak-hak wanita di Barat mengikuti urutan yang sama dengan gerakan lainnya, dan sejarah hak-hak wanita di Eropa penuh dengan kesulitan yang luar biasa sejauh menyangkut kebebasan dan persamaan mereka, namun dalam hal ini pun yang dibicarakan masih juga tidak lain kecuali ‘Kebebasan’ dan ‘Persamaan’ belaka.25 Para pelopor gerakan ini memandang kebebasan wanita dan persamaan hak mereka dengan hak kaum pria sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan hak asasi manusia yang telah merupakan ide sentral sejak abad ketujuh belas. Meraka mengklaim bahwa tanpa memperoleh jaminan kebebasan wanita dan menegakkan hak yang sama bagi wanita dan pria maka setiap rujukan kepada hak dan kebebasan manusia tidak berarti apa-apa. Lagi pula, mereka percaya segala kesulitan di dalam keluarga timbul karena tiadanya kebebasan wanita dan karena perbedaan hak mereka dengan pria, dan bahwa dengan diperolehnya hak-hak tersebut, maka seluruh kesulitan dalam keluarga akan terpecahkan. Sebagian ahli sejarah melihat gerakan feminis kontemporer lahir dari antirasisme, yang menuntut bahwa “tanpa persaudaraan (sisterhood) kulit hitam, tidak akan ada persaudaraan”. Di berbagai belahan dunia, gerakan-gerakan rakyat dan revolusioner mempriorititaskan pelbagai aspek keadilan sosial. Dalam perlawanannya terhadap regim militer yang represif, di Amerika Latin gerakan revolusioner dengan ideologi sosialis menjadi gerakan rakyat yang paling berhasil. Di Afrika Selatan, perjuangan adalah menentang apartheid dan rasisme. Di India terjadi protes rakyat melawan sistem dan eksploitasi kasta maupun kesukuan yang telah mengakar.
37
38
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Perjuangan nasionalis terjadi di seluruh dunia.26 D. Respon Islam Terhadap Feminisme; Liberal, Radikal dan Moderat. Pada awal bukunya yang berjudul “Pertarungan antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat di wilayah Islam”, Ustadz Abul-Hasan An-Nadwi mengatakan : “Pada pertengahan abad ke-19 M. Dunia Islam menghadapi problem yang sangat kompleks dan berbahaya. Masa depan Dunia Islam sebagai dunia yang mempunyai kepribadian dan eksistensi, tergantung pada sikap yang diambil dalam menghadapi problem tersebut. Problemnya adalah lahirnya peradaban Barat yang baru, yang melahirkan kehidupan, kegiatan, ambisi, kekuatan penyebaran, dan kekuasaan. Ini termasuk peradaban manusia terkuat yang dikenal oleh sejarah”. Dunia Islam tidak akan mampu maju walaupun selangkah, tanpa terlebih dahulu memberi jawaban yang pasti atas pertanyaan: “Sikap apa yang (akan) diambil oleh negara-negara dunia Islam dalam menghadapi peradaban Barat? Manhaj apa yang hendak dijadikan pedoman untuk menyelaraskan masyarakat muslim dengan kehidupan modern dan mengabulkan tuntutan-tuntutan zaman modern? Dan, sampai sejauh mana tingkat kecerdikan dan keberanian kaum muslimin untuk menghadapi problem tersebut?”27 Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan khususnya tentang isu Feminisme, akan menentukan kedudukan kaum muslimin di peta (pentas) dunia, dan akan diketahui pula masa depan Islam di negara-negara Dunia Islam. Demikianlah problem yang dihadapi oleh dunia Islam. a. Pandangan Liberal Pandangan ini menyetujui isu Feminisme secara mutlaq, menginginkan kesetaraan dalam segala bidang bahkan dalam
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
bidang Syariat sekalipun. Mereka menyuarakan persamaan lakilaki dan perempuan dalam bidang Waris, persaksian, perwalian, Imam Sholat dan lain-lain. Mereka menuntut penghapusan Poligami,melepas Hijab dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh pendukung pandangan ini diantaranya adalah kelompok-kelompok nasionalis di berbagai negara yang nota bene mereka tidak memahami Islam dengan baik, disamping lembaga-lembaga tertentu yang “didanai” dari Barat. Orang-orang semisal Qasim Amin, Rifa’ah alThahthawi,Malak Hefni Nashif, Huda Sya’rawi, Munirah Tsabit Musa, Sa’d Zaghlul,Asmawi Nashr Hamid, Syahrur dan lain-lain meski mereka menyuarakan kemerdekaan perempuan namun menurut hemat penulis masih dalam tataran ijtihad dan membangun argumentasinya dengan amanah intelektual dan sangat ilmiah serta hanya pada bidang-bidang tertentu dalam masalah perempuan. Bahkan Amina Wadud pun yang menghebohkan sebagai Imam Sholat Jum’ah masih dalam wilayah diatas. Dan patut pula di catat bahwa mereka di wilayahnya masing-masing bukan ulama yang kapabel di bidangnya, bukan Fuqoha’ dan juga bukan Mufti atau Qadli. Ini berbeda dengan misalnya Nawal el-Saadawi dan kelompok-kelompok di Indonesia semisal Wardah Hafidz, Musdah Mulia, JIL dan lainnya yang rata-rata mereka hanya punya semangat berteriak tanpa punya karya ilmiah yang berbobot sesuai yang di teriakkannya di bidang feminisme. Kita menyaksikan sebagian perempuan di negeri Arab dan Islam pada umumnya, menolak hukum Islam, ada yang secara terang-terangan, ada pula sebagian yang sembunyisembunyi. Mereka menafsirkan hukum-hukum itu sesuai dengan kehendak mereka agar seiring dengan cara pandang dan tradisi Barat. Di antara mereka ada yang menentang talak, ada yang menentang poligami, ada pula yang menentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, juga yang menolak pembayaran mas kawin oleh laki-laki, ada sebagian lagi yang menolak hukum ketentuan waris. Mereka adalah para “tawanan”
39
40
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pemikiran barat sekuler. Jumlah mereka tentu saja sangat sedikit, tidak perlu diperhitungkan dalam masyarakat kita, namun media massa mem-blow up peran mereka, menyuarakan aspirasi mereka, dan menyebarkan berita mereka di wilayah yang demikian luas.28 Konferensi perempuan di Kairo menuntut penghapusan iddah (masa tunggu) perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, dan mengantinya dengan surat keterangan dokter saja. Adapun peristiwa yang benar-benar mungkar adalah apa yang terjadi di Maroko, seputar apa yang mereka sebut “rencana kerja nasional untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan”. Produk konferensi itu, antara lain, ingin menghentikan praktek poligami, sesuatu yang dihalalkan Allah untuk orangorang Islam yang memenuhi syarat, menganjurkan kaum hawa yang ditalak meminta bagian separo dari kekayaan suaminya sebagaimana berlaku dalam masyarakat Barat, talak harus ditetapkan oleh pengadilan, penghapusan kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada kaum laki-laki, dan persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, juga hal-hal lain semisalnya. b. Pandangan Radikal Kontras dengan fenomena di atas kita banyak melihat masyarakat yang mengekang kaum hawa. Isu feminisme secara mutlaq di maknai produk kafir, Islam bagi merekapun dimaknai dengan sempit. Wanita dilarang mengendarai kendaraan atau bekerja di luar rumah kecuali terpaksa. Mereka juga memasung hak-hak politik perempuan; kaum perempuan tidak mempunyai hak pilih dalam pemilu, apalagi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Anehnya, pemasungan hak perempuan ini dilakukan dengan atas nama Islam dan hukum Syariah. Kelompok-kelompok Islam konserfatif, “Salafy” maupun garis keras ikut bertanggung jawab dalam pembelengguan ini.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Tulis Qardhawi: “Saya pernah berkunjung di India, Pakistan dan negara-negara lain. Disana saya menyampaikan ceramah di berbagai mesjid diseluruh pelosok negeri. Namun, aneh sekali bahwa saya tidak melihat seorang perempuanpun yang hadir dimajlis ceramah saya. Ketika hal ini saya tanyakan kepengurus mesjid, mereka menjawab, “Agama melarang hal itu”. Spontan saya katakan pada mereka, “Perempuan boleh pergi ke sekolah, kampus, pasar, bahkan bepergian ke luar negeri, apakah hanya masjid saja satu-satunya kawasan yang terlarang untuk mereka?. Mengapa perempuan muslimah dilarang pergi kerumah Tuhannya, sementara perempuan Nasrani bebas pergi ke gereja, perempuan Yahudi bebas ke sinagog,dan perempuan penyembah berhala pergi ke kuil?.”29 c. Pandangan Moderat Pandangan ini di serukan oleh mayoritas Ulama, Fuqoha’, Mufti dan Qadli di berbagai dunia Islam. Menurut mereka, dari dua fenomena paradoks di atas, perempuan muslimah terjebak di antara komunitas: yang terlalu mengekang dan yang lain memberikan kebebasan tanpa batas. Kedua praktek ini jauh dari syariat Islam yang hanif. Mereka menyerukan bahwa kita harus mencegah dua sikap ekstrem dalam urusan perempuan, jangan sampai berlebihan dalam mengekang sebagaimana para pengekang dengan mengatasnamakan agama, namun tidak juga memberikan kebebasan tanpa batas untuk berbuat sesuka hatinya atas nama kebebasan. Tidak ada sisi positif dalam kedua sikap itu. Yang dituntut dalam hal ini adalah sikap moderat, dan itulah yang sesuai dengan sistem Islam. Kita harus juga membantu para wanita untuk menjadi istri yang salehah, ibu yang salehah, dan warga negara yang baik. Kita tidak bisa melarang mereka bekerja jika mereka dan keluarganya membutuhkan, sebagaimana kisah dua orang gadis (putri-putri Nabi Syu’aib yang tua renta, yang ditolong oleh Nabi Musa ketika mengambil air), atau masyarakat sendiri membutuhkan tenaganya, seperti menjadi guru di
41
42
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
lembaga-lembaga pendidikan yang khusus perempuan, dokter perempuan, perawat,dan pekerjaan lain sejenisnya. Jika kaum perempuan baik, maka anak-anak dan keluarganya baik, baik pula kehidupannya Bo:Allah swt. berfirman:”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat.” (at-Taubah:71). Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar merupakan inti kewajiban sosial dan politik yang menjadi misi utama negara Islam. Allah swt. berfirman:”Mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar”. (Al-hajj: 41) Patut diketahui bahwa firman Allah surat At-Taubat: 71 merupakan pendamping dari firman Allah:”Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat makruf”. (At-Taubat: 67) Logikanya, jika perempuan dan laki-laki munafik, bekerja sama untuk merusak tatanan sosial, mencampur-aduk dan mengganti nilai-nilai dasar, hingga berani menganjurkan berbuat kemungkaran dan melarang berbuat kebajikan, maka menjadi suatu keharusan bagi perempuan mukminah dan lakilaki mukmin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. E. Mewaspadai fakta lain di balik gerakan Feminisme Ulama-ulama moderat mengingatkan bahwa dalam perkembangan ini telah dilupakan bahwa ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan di samping persamaan dan kebebasan. Persamaan dan kebebasan adalah kondisi yang perlu, tetapi keduanya belumlah cukup. Kesederajatan hak pria dan wanita dari sisi pandang nilai material dan spiritualnya adalah satu hal, tetapi persamaan, keseragaman, dan keidentikannya adalah hal lain lagi. Dalam perkembangan ini, dengan sengaja atau tidak, ‘kesederajatan’ telah diartikan ‘keidentikan’, ‘kesamaan’ atau ‘keseragaman’. Kualitas telah dibaurkan dengan kuantitas, dalam usaha untuk menonjolkan “kepriaan”
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
wanita, “kewanitaan” –nya telah dilupakan. Para ulama ini juga mengungkap fakta-fakta lain dibalik isu feminisme ini, di antaranya adalah: a. Feminisme adalah Agenda Terselubung Kapitalisme Para ulama mengingatkan ada faktor-faktor lain yang bekerja, yang hendak mengambil keuntungan dari ‘kebebasan’ dan ‘persamaan’ wanita Salah satu faktor itu adalah bahwa aspirasi-aspirasi kapitalis terlibat dalam arus ini. Karena para pemilik pabrik industri hendak menarik kaum wanita dari rumah mereka ke pabrik-pabrik, dan karena mereka hendak memanfaatkan potensi ekonomis kaum wanita ini, maka mereka mengibarkan panji hak-hak wanita, kemerdekaan ekonomi mereka, kebebasan mereka, persamaan hak mereka dengan hak pria; dan hanya kaum kapitalislah yang bisa dan berusaha memenuhi tuntutantuntutan ini secara sah. Dalam bab sembilan dari bukunya The Pleasures of Phipilosophy, Will Durant mengatakan, “sampai sekitar tahun 1900, kaum wanita hampir tidak mempunyai suatu hak apapun yang harus dihormati kaum pria menurut hukum”. Durant kemudian menulis tentang sebab-sebab perubahan status wanita pada abad kedua puluh, “Emansipasi ‘wanita’ adalah suatu insiden dari Revolusi Industri”. Kemudian lanjutnya, “Mereka (kaum wanita) adalah tenaga kerja yang lebih murah dari kaum pria; para majikan lebih menyukai mereka sebagai pekerja ketimbang kaum pria, yang lebih mahal dan suka memberontak. Seabad yang lalu, di Inggris, kaum pria mendapatkan kesulitan untuk memperoleh pekerjaan, namun plakat-plakat mengundang mereka untuk mengirimkan istri dan anak-anak mereka ke pabrik-pabrik ….Langkah hukum pertama dalam emansipasi para nenek kita adalah undangundang tahun 1882 yang menetapkan bahwa sejak waktu itu kaum wanita berhak memiliki sendiri uang yang mereka peroleh. Undang-undang tersebut bersifat moral dan Kristiani, dan diusulkan oleh para pemilik pabrik di House of Commons untuk menggoda para wanita Inggris agar mau melayani mesin-
43
44
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mesin pabrik mereka. Mulai tahun itu hingga saat ini, sedotan yang tak terlawan dari motivasi keuntungan telah menarik kaum wanita dari pekerjaan rumahnya yang membosankan kedalam pembudakan kepada pabrik”. Hal-hal inilah yang mendorong si kapitalis untuk mengambil keuntungan dari eksistensi wanita; bukan keuntugan dari kekuatan fisiknya sebagai sekadar pekerja sederhana yang turut mengambil bagian bersama kaum pria dalam produksi, melainkan dari kemampuannya, untuk menarik perhatian dengan kecantikannya, dengan memperdagangkannya martabat dan kehormatannya, dengan daya pikatnya, untuk menawan pikiran dan kemauan dan mengubahnya demi memaksakan konsumsi kepada para konsumen. Dan ini jelas semuanya dilakukan atas nama ‘kebebasan’ dan kedudukan wanita yang telah menjadi ‘sama’ dengan kaum pria. Politik juga tidak ketinggalan dalam memanfaatkan faktor ini; kita dapat membaca upaya ini secara teratur dalam surat kabar dan majalah. Dalam segala ihwal, eksistensi wanita di eksploitasi, dan wanita digunakan sebagai alat untuk melaksanakan tujuan kaum pria, juga dengan selubung ‘kebebasan’ dan ‘persamaan’.30 b. Feminisme Melanggengkan Stereotipe Gender Perusahaan-perusahaan multinasional melanggengkan stereotipe gender, sebagian besar melalui iklan. Mereka juga mengekalkan gagasan bahwa kultur utara, kultur kulit putih, merupakan tujuan akhir bagi perkembangan bertahap semua kultur lainnya. Sebagian perusahaan multinasional membawa serta seluruh paket kultural (barat), menawarkan kepada karyawan kesempatan untuk membeli kosmetik dan pakaian barat melalui perusahaan. Dalam proses tersebut perusahaan multinasional menghancurkan produk lokal, produk asli dan memiskinkan kultur lokal tempat mereka beroperasi. “Imperialisme” kultural ini merupakan gema lain dari kolonialisme. Sebagaimana elit kelas menengah lokal di kolonikoloni yang dengan cepat mengadopsi pakaian dan kebiasaan barat, kini meerekapun memperoleh mesin cuci, pemasak nasi
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
listrik dan jean. Dampak kultur multinasional tidak netral gender; iklan mengulang kembali etos kolonial; perempuan adalah hiasan, konsumen domestik, ibu rumah tangga dan ibu. Perusahaan multinasional memang bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meningkatnya kemelaratan di dunia, tetapi dalam hubungan filial mereka dengan proses kolonial dan pengaruhnya kepada ekonomi setempat, mereka bisa memainkan peran penting dalam mendukung struktur kelas dan kekuasaan setempat, menguatkan pola dominasi laki-laki yang ada. Sifat tidak dapat dipercaya dan tak terikat dari perusahaan multinasional mengandung makna bahwa meskipun mereka mempekerjakan kaum perempuan, mereka tidak begitu banyak memperbaiki status perempuan dalam jangka panjang.31 c. Penghormatan Terhadap Perempuan Bersifat Labiriah Semata, Bukan Pada Hakikatnya Barat memang menampakkan penghormatannya terhadap wanita, membebaskannya dari kezaliman laki-laki, suami, dan semisalnya. Barat juga menghapus keyakinankeyakinan terdahulu yang menyatakan bahwa perempuan tidak mempunyai roh, perempuan tidak lain adalah perangkap setan, dan sebaginya. Akan tetapi perempuan di Barat sesungguhnya hanya dihormati lahiriahnya, sedangkan batinnya mereka terhina. Perempuan di Barat dipekerjakan layaknya laki-laki. Ia dituntut sebagaimana layaknya tuntutan atas laki-laki. Kaum perempuan digiring ke pabrik-pabrik tak ubahnya kaum lakilaki. Mereka lupa bahwa struktur tubuhnya berbeda dengan struktur tubuh laki-laki, lingkup kerjanya pun seharusnya tidaklah sama dengan lingkup kerja laki-laki. Para cendekiawan dan pemerhati masalah perempuan menyatakan ketidak setujuannya atas apa yang terjadi di Barat, semisal Alex Carol dalam bukunya Manusia Tak Dikenal. Maka tidaklah mengherankan jika di Barat tumbuh suatu
45
46
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
“jenis kelamin” yang dinamakan “jenis ketiga”. Mereka adalah para pekerja harian yang pekerjaannya melelahkan untuk ukuran seorang perempuan yang memiliki kelembutan tubuh, namun di sisi lain mereka tidak tergolong jenis yang kuat (lelaki). Dengan demikian, ia menjadi berjenis “kelamin” yang tidak jelas. Bukan seorang laki-laki, bukan pula perempuan. Perempuan di Barat telah menjadi alat pemuas dan pengumbar nafsu seksual. Sebab itu lahirlah t :gaya model pakaian perempuan yang filosofinya adalah keindahan dan menarik perhatian serta mengundang selera syahwat, tidak sekedar didasarkan pada tujuan menutupi tubuh dan perasaan malu, sebagaimana yang terdapat dalam Islam. Demikian pula, perempuan telah menjadi komoditi komersial melalui iklaniklan. Perempuan bahkan menjadi bintang iklan sekalipun untuk produk yang hanya berkaitan dengan urusan dan hajat lelaki. Keluarga dan nilai-nilai rumah tangga telah hancur di Barat. Kita melihat perempuan-perempuan tidak melihat, tidak hidup dalam naungan keluarga, tidak berkumpul bersamasama suami dalam nuansa cinta, kasih sayang, dan kedamaian. Padahal cinta, kasih sayang, dan kedamaian itu, disebutkan al-Qur’an sebagai fondasi kehidupan berkeluarga yang harus ditegakkan. Bahkan lebih dari itu, perempuan-perempuan Barat berhubungan dengan laki-laki hanya sebagi teman kumpul kebo, tanpa ikatan tanggung jawab pernikahan yang mengikat harta, akhlak, masyarakat, dan agama. Dari sinilah kita mendengar bencana besar itu, yaitu seruan penghalalan aborsi secara mutlak tanpa batasan dan aturan yang mengikat. Seorang perempun dianggap bebas atas tubuhnya sendiri. Agama, akhlak, dan nilai-nilai luhur kemanusiaan tidak berhak turut campur terhadapnya. Lebih menyedihkan lagi, seruan semisal ini di back up oleh partai-partai besar di USA dan negara lainnya. Partai-partai ini meletakkan aborsi sebagai daftar tema unggulan dalam kampanye-kampanyenya, bahkan PBB pun berusaha memaksakan pelegalannya. Ini terjadi di konferensi kependudukan di Kairo. Saat itu, para pemuka agama, dari kalangan Islam maupun Nasrani, berdiri melawan ajakan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
maksiat berupa aborsi yang tidak berperikemanusiaan ini. Ajakan maksiat ini bergaung justru ketika manusia mengira bahwa dirinya telah mencapai puncak peradabannya.32 F. Penutup. Isu Feminisme disadari atau tidak telah menjebak umat Islam dalam dua sikap ekstrim; berlebihan dan ceroboh, atau antara dua kejahiliaan “Jahiliah abad ke-14 mewariskan tradisi pemasungan kaum perempuan dari masa-masa kemunduran sejarah Islam, dan Jahiliah abad ke-20 mengadopsi tradisi peradaban Barat dalam bentuk penanggalan perempuan dari kemuliaan akhlak, seperti harga diri, rasa malu, dan sopan santun”. Perempuan tertindas di tengah-tengah komunitas yang religius sebagaimana iapun tertindas di tengah-tengah komunitas yang “progresif”. Ia ditindas atas nama Tuhan, di eksploitasi, atau “di-seksploitasi” atas nama kesempatan dan popularitas. Mengambil segala yang bermanfaat dari isu feminisme demi kemajuan umat Islam khususnya kaum perempuan adalah suatu keniscayaan sembari tetap menjunjung tinggi akidah, syariat, etika dan tradisi umat Islam. Ini tidak berarti menutup pintu bagi amandemen yang berlangsung untuk beberapa hukum fikih dan masih dalam kerangka syariat Islam dengan segenap madzhab dan alirannya, hanya saja, amandemen ini harus dilakukan oleh ulama yang diakui keahliannya, ahli fiqih Islam, yang tidak fanatik dengan pendapat–pendapat lama, dan tidak menafikan berbagai pemikiran kontemporer. Hanya dengan inilah umat Islam akan tetap eksis dalam kancah percaturan dunia global.
47
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
48
Endnotes Suhadi , M.S.I. adalah dosen STAIN Kudus lulusan Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud li al-Mamlakat al-Arabiyyah al-Su’udiyyah, Ma’had al-Ulum al-Islamiyyah wa al-Arabiyyah fi Indonesia (LPBA/LIPIA), fakultas Syariah al-Aqidah Jakarta dan S2 IAIN Walisongo Semarang. ** Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa penggunaan kosakata wanita lebih halus daripada kosakata perempuan, sementara sebagian kalangan mengatakan sebaliknya. Penulis memilih netral dengan menggunakan dua kosakata tersebut secara bergantian dalam tulisan ini. 1 Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya, M. Sanusi Latief, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997, hlm. 67. 2 Ibid. 3 Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, Bandung: Pustaka, 2000, hlm. 130. 4 Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004, hlm. 135. 5 ‘Aisyah Abdurrahman Bintu asy- Syathi’, Tarajim Sayyidat bait an-nubuwwah, Beirut: Dar asy-Syuruq, tth. hlm. 35. 6 Ibid. 7 Aksin Wijaya, op-cit, hlm.136 8 Ibid, hlm.137 9 Ibid. 10 Ibid, hlm.138 12 Aisyah Abdurrahman Bintu asy-syathi’, op-cit, hlm. 32-34 13 lihat Ahmad Syalabi, op-cit, hlm. 68 14 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 296 15 M.Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, terj. Mujtaba Hamdi, Jakarta: Azan, 2001, hlm. 4 16 M.Quraish Shihab, op-cit, hlm. 297 17 M. Anas Qasim Ja’far, op-cit, hlm. 2 18 Ibid, hlm. 5 19 Ibid 20 M.Quraish Shihab, op-cit, hlm. 297 *
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, terj. Hartian Silawati, Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 1996, hlm. 2-3. 22 Mulyo Hadi Purnomo, Kekuasaan Perempuan Dalam Keluarga dan Cita-Cita Persamaan Gender, Surakarta: 2000, hlm, 34. 23 Idi Subandi Ibrahim, Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: 1998, hlm, 12. 24 Murtadha Muthahhari, 0p-cit, hlm.vi 25 Ibid, hlm.vii 26 Julia Cleves Mosse, op-cit, hlm.129-130 27 Abu al-Hasan an-Nadwi, as-Shira’ Baina al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyyah fi al-Aqthar al-Islamiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, tth. 28 Yusuf Qaradhawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Terj. Yoga Izza Pranata, Solo:Inter Media, 2001, hlm.209 29 Ibid, hlm.203-204 30 Murtadha Muthahhari, op-cit, hlm.x-xi 31 Julia Cleves Mosse, op-cit, hlm.127-129 32 Yusuf Qaradhawi, op-cit, hlm.38-41 21
49
50
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA ‘Aisyah Abdurrahman Bintu asy- Syathi’, Tarajim Sayyidat bait an-nubuwwah, Beirut : Dar asy-Syuruq, tth. Abu al-Hasan an-Nadwi, as-Shira’ Baina al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyyah fi al-Aqthar al-Islamiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, tth. Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya, M. Sanusi Latief, Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 1997. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004. Ali Shari’ati, Haji, terj. Anas Mahyuddin, Bandung : Pustaka, 1995. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang : CV.Toha Putra,1989 Idi Subandi Ibrahim, Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : 1998. Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, terj. Hartian Silawati, Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 1996. M.Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, terj. Mujtaba Hamdi, Jakarta : Azan, 2001. M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1998. Mulyo Hadi Purnomo, Kekuasaan Perempuan Dalam Keluarga dan Cita-Cita Persamaan Gender, Surakarta : 2000. Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, Bandung : Pustaka, 2000. Yusuf Qaradhawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Terj. Yoga Izza Pranata, Solo : Inter Media, 2001.
Ide Utama
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Analisis Kritis Posisi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Hukum Ketenagakerjaan
Triana Sofiani*) Abstract: Employment Law should be a legal umbrella for all fomal and informal workers, male and female, do not touch the box of women in the informal sector, home-based workers. This happens because the labor laws sexist. Therefore, the position of home-based women workers both in the workplace and in employment law to be marginalized. The position of women will be better, if there is a legal reform to the law of sexist to non-sexist, that is by placing women’s experiences as a starting point. Keywords: Sexist Law , Female and Employment law
A. Pendahuluan Dikotomi domestik-publik, menyebabkan akses perempuan terhadap sumberdaya sosial maupun ekonomi menjadi terbatas. Alih-alih secara sosial, perempuan dipandang sebagai warga kelas dua, inferior sehingga secara ekonomi perempuan (istri) menjadi sangat tergantung *
Alumni Fak. Hukum UNS Surakarta dan MIH UNDIP Semarang, Dosen Fakultas Syariah STAIN Pekalongan dan Sekretaris (PSG) STAIN Pekalongan; email:
[email protected]
52
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pada suami dan, kalaupun bekerja hanya dianggab sebagai pencari uang tambahan bagi penghasilan keluarga. Sehingga, ketika perempuan melakukan pekerjaan yang bersifat publik (produksi), tetap saja pekerjaan perempuan dinilai sebagai kegiatan domestik (reproduksi). Pemahaman inilah sesungguhnya yang ikut memproduksi realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, dimana bidang publik mempunyai nilai lebih tinggi dari sudut sosial maupun ekonomi daripada bidang domestik. Di pasar kerja, perempuan juga menjadi korban struktur ekonomi, bahkan pengingkaran sosial (social ekslusion) baik yang dilakukan oleh laki-laki, institusi pendukung bahkan hukum negara yang dalam konteks ini adalah hukum ketenagakerjaan. Aturan kerja yang tidak jelas; sistem penggajian /upah yang tidak berpihak ; jaminan sosial dan kesehatan yang tidak memadahi dan lain-lain, menjadi suatu realitas sehingga perempuan tersegmentasi pada sektor – sektor informal, sektor sekunder yang berupah rendah, tidak ada jaminan sosialnya dan masuk dalam wilayah bebas perlindungan hukum. Kondisi tersebut menjadi semakin sulit, ketika idiologi yang dibangun mengarah pada upaya permarginalisasian perempuan. Perempuan, dengan berbagai keterbatasannya sebagai individu yang memiliki human capital rendah dalam hal, pendidikan; pengalaman kerja dan; ketrampilan, akhirnya hanya bisa memasuki lapangan kerja yang berupah murah dan tentunya rentan dengan eksploitasi. Lapangan pekerjaan kalaupun ada, adalah lapangan kerja pinggiran dan tentunya tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tidak salah apabila ada pernyataan bahwa “perempuan dieksploitasi dan dirugikan oleh dirinya sendiri”. Apalagi perempuan miskin, bekerja bukan sebuah “tawaran”, karena untuk mencukupi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Perempuan miskin mengalami miserisasi, dimana sebagai anggota rumah tangga, dia yang paling menderita menanggung beban berat akibat kemiskinan. Permasalahan menjadi semakin rumit, ketika ditarik dalam realitas Perempuan Pekerja Rumahan. Berbicara Perempuan Pekerja Rumahan, menjadi suatu yang khas dalam kehidupan masyarakat maupun dalam konteks kenegaraan.
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
Meskipun kontribusi yang telah diberikan secara riil bisa dirasakan hampir diseluruh lingkup kehidupan sehari-hari, namun keberadaannya tetap tidak diperhitungkan, baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara. Kekhasan dari Perempuan Pekerja Rumahan, lebih dikarenakan mereka adalah perempuan dan tentunya sangat terkait dengan posisi relasi gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Akibat selanjutnya adalah, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan pekerja rumahan hanya sebagai kerja bayangan, shadow work atau meminjam bahasa Ivan Illih sebagai kerja “bawah permukaan”. Sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh mereka tidak dihargai sebagai pekerjaan dan dianggab tidak perlu mendapat penghargaan secara ekonomis sebagaimana yang dikerjakan oleh laki-laki dan tentunya masuk dalam sektor informal. Hukum ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi payung hukum bagi para pekerja laki-laki maupun perempuan, baik sektor formal maupun informal, dus perempuan pekerja rumahan seakan enggan berpihak pada mereka. Hal tersebut terjadi karena, hukum ketenagakerjaan telah “berselingkuh” dengan para kapitalis, pengusaha. Sebagaimana yang kita tahu kapitalisme identik dengan kaum laki-laki dan kapitalisme identik dengan pemupukan modal. Sehingga, dalam kerangka kapitalisme, perempuan adalah alat produksi yang paling murah dan bisa memaksimalkan keuntungan bagi mereka. B. Hukum seksis : Pemikiran aliran feminis dan sosiologis 1. Hukum Seksis dalam pemikiran aliran feminis. Dalam berbagai literatur, istilah hukum seksis disamakan dengan istilah hukum yang tidak adil gender, tidak berpihak kepada perempuan. Secara lebih lengkap, konsep hukum seksis, dimaknai oleh para feminis sebagai hukum yang tidak berpihak kepada perempuan atau tidak adil gender. Asumsinya adalah, dalam relasi gender perempuan dianggab sebagai “ yang lain”, inferior yang hak-haknya tidak patut dilindungi. Hal tersebut dipertegas oleh Patricia Cain (D. Kelly Weisberg ( ed), 1993: 244-246), dalam kondisi dimana perempuan dianggab sebagai inferior, maka hukum yang berkeadilan gender tidak akan
53
54
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
terwujud. Sedangkan Margot Tubbs (D. Kelly Weisberg ( ed), 1993: 244-246) menegaskan bahwa, objektifikasi dan netralitas hukum yang diusung oleh kelompok positifisme hukum akan melahirkan hukum yang tidak adil gender, seksis. Pemikiran Tubbs, berangkat dari asumsi bahwa antara laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, berarti memperlakukan mereka secara sama akan menyebakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Dengan pendekatan masing-masing, aliran-aliran feminis ( liberal, radikal, sosialis dan ekofimisme), juga memberikan konsep tentang apa yang dimaksud dengan hukum yang seksis. Aliran feminis liberal yang berlindung dibalik kesetaraan 50/50 antara laki-laki dan perempuan, yang mengasumsikan bahwa , semua orang memiliki otonomi termasuk perempuan sehingga antara laki-laki dan perempuan secara rasional adalah setara, sehingga mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan berbagai pilihan secara rasional. Oleh karena itu, aliran ini mengartikan bahwa hukum yang tidak adil gender adalah hukum yang dalam rumusan dan pelaks anaannya,membedakan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai individu yang juga mempunyai otonomi mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan berbagai pilihan secara rasional. Aliran feminis radikal berpendapat bahwa, hukum yang tidak berkeadilan gender adalah hukum yang mencerminkan relasi kuasa dari laki-laki terhadap perempuan. Catrinne Mac Kinnon menyebut sebagai Phallocentris, dunia masih berada di genggaman laki-laki. Aliran ini berasumsi bahwa, jika perempuan dan laki-laki berangkat dari posisi yang sama, perlakuan yang sama kepada keduanya bukan berarti tercapainya kesetaraan. Ciri dari feminis radikal dalam feminis legal theory adalah adanya tuntutan transformasi sosial dalam hukum yang menghentikan adanya dominasi terhadap perempuan sebagai sebuah kelas. Secara prinsip aliran ini berusaha mencari jawab atas pertanyaan tentang bagaimana sistem hukum telah gagal melindungi integritas perempuan secara keseluruhan, sehingga mereka berusaha menghapuskan budaya tradisional yang melatarbelakangi munculnya
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
peraturan yang merugikan perempuan. Aliran feminis sosialis yang diilhami oleh pemikiran Materialist Determinism dari Mark dan Engel ( Collins Randall,1987: 13), menyatakan bahwa, hokum bersifat seksis karena adanya penindasan secara ekonomi antara laki-laki terhadap perempuan. Asumsinya, perempuan sangat tergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga menempatkan perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik (pencari nafkah). Pola relasi demikian akan mempengaruhi warna hukum suatu negara karena pada masyarakat dengan pola relasi materialis, konsisten dengan pola relasi hierarkhis-paternalistis. Sedangkan aliran ekofimisme atau post modernis, yang berangkat dari pemikiran bahwa perempuan adalah “ yang lain” artinya yang mengalami alienasi disebabkan cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan adanya keterbukaan, pluralitas dan diversifikas, mengartikan bahwa, hukum seksis adalah hukum yang diekspresikan dalam bahasa dan cara berpikir yang maskulin sehingga menyebabkan penindasan perempuan secara berulang. Jacques Lacan (Gadis Arivia, 2003: 128), menegaskan, bahwa aturan simbolis yang sarat dengan aturan laki-laki telah menyulitkan perempuan untuk mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang harus didapatkannya. Dari beberapa pemikiran di atas penulis lebih condong pada pengertian, bahwa hukum yang tidak berkeadilan gender, seksis adalah hukum yang tidak berpihak pada perempuan. Menyetarakan antara laki-laki dan perempuan dengan landasan kesetaraan 50/50 sebagaimana yang diusung oleh feminis liberal, adalah hal yang mustahil, karena memang secara biologis, nature antara mereka adalah tidak sama. Justeru menyetarakan mereka dengan konsep 50/50 akan menjadi sebab lahirnya hukum yang tidak ketidakadilan gender. Misalnya, perlakuan yang sama untuk melakukan “kerja malam” di perusahaan-perusahaan bagi laki-laki dan perempuan; atau penyamarataan cuti yang terkait dengan kebutuhan khusus perempuan , seperti pada saat datang bulan dan melahirkan, justeru akan melahirkan ketidakadilan bagi perempuan.
55
56
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
2. Hukum Seksis: P andangan aliran Sosiologi Hukum Hukum bagi aliran sosiologis diletakan dalam suatu realitas masyarakat, sehingga kajiannya tidak lagi dogmatik melainkan yuridis empiris, karena “meneropong” bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dilayaninya. Menurut Michael Barkun, hukum adalah as that of manipulable synbolic than fuchons as a representative as a model af social structure (Soetandya Wignosoebroto, 2002: 373).Oleh karena itu, perwujudan tujuan, nilai-nilai ataupun ide-ide yang terkandung di dalam peraturan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat. Keterlibatan manusia di dalam perumusan dan pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya hubungan antara hukum dan budaya, sehingga keadilan dan ketidakadilan dalam hukum dipengaruhi oleh budaya hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan sikap, ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di masyarakat. Dengan kata lain, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Hal tersebut senada dengan pemikiran Lowrence M Friedman ( Lawrence M.Friedman, 1986: 3), hukum yang adil dipengaruhi oleh kesadaran hukum dan kesadaran hukum dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat. Budaya hukum adalah sikap, pandangan dan nilai yang berpengaruh terhadap berfungsinya hukum. Untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan gender dipengaruhi oleh kultur hukum yang telah dibangun oleh masyarakat, kalau kultur hukum yang dibangun oleh masyarakat bias gender maka perlindungan hukum yang berkeadilan gender tidak akan terwujud dan akan melahirkan hukum seksis. Hal tersebut dipertegas oleh Satjipto Rahardjo (Abdurahman, 1986: 91-93) yang bertolak dari anggapan bahwa. dalam proses pembuatan hukum hal yang tidak dapat diabaikan adalah peranan orang-orang atau anggota masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan yang menjalankan hukum positif itu, apakah pada akhirnya menjadi hukum yang seksis atau non-seksis ditentukan oleh sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
masyarakat. C. Menilai Posisi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Dunia Kerja Ketika perempuan dikaitkan dengan dunia kerja, konotasinya adalah di luar rumah ( publik, sektor formal ) dan menghasilkan uang ( monetized) sama seperti laki-laki. Jadi bekerja di rumah ( informal) adalah bukan bekerja, dan penghargaannyapun lebih rendah dari perempuan yang berkerja di luar rumah. Hal tersebut terjadi karena, berdasarkan kenyataan objektif pekerja/ buruh perempuan menggemgam status subordinasi berganda. Di satu pihak mereka bersama pekerja laki-laki adalah bagian dari alat produksi yang berfungsi sebagai penghasil produk. Sedangkan dilain pihak pekerja perempuan mengalami penindasan berganda akibat status gender yang diembannya. Misalnya, dengan adanya mitos dan stereotype yang diciptakan untuk mereka, pekerja perempuan dicitrakan sebagai pekerja ideal yang trampil, rajin, ulet teliti patuh dan murah. Pekerja perempuan juga dianggab bahagia dengan kesempatan kerja yang diperolehnya, sehingga mereka manjadi mudah diatur dan tidak banyak menuntut. Crita semacam itu sudah menjadi mitos dan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam mengakumulasi modal, yaitu kapitalis. Dalam kerangka kapitalisme realitas Perempuan Pekerja Rumahan memusatkan diri pada upaya pemupukan modal, sehingga segala macam strategi yang digunakan diarahkan pada ekstrasi nilai surplus untuk akumulasi modal. Strategi tersebut menyebabkan kehidupan perempuan pekerja dus Perempuan Pekerja Rumahan menjadi rentan dan tertinggal. Timbulnya preferensi terhadap buruh perempuan, dikarenakan mereka memenuhi syarat strategis untuk penekanan biaya produksi. Preferensi tersebut terbentuk akibat pencitraan perempuan hasil dari sosialisasi idiologi gender. Kapitalisme telah mereduksi peran perempuan menjadi hanya pemegang dan pelaksana fungsi reproduksi belaka. Fungsi ekonomi perempuan dihapuskan dengan hanya meonjolkan fungsi reproduktif dan karena itu mereka kehilangan berbagai kesempatan terhadap akses dan kepemilikan alat-alat
57
58
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
produksi serta menafikan nilai-nilai ekonomis dari kegiatan mereka. Aggapan tersebut didukung oleh citra dan stereotype bahwa perempuan bukan pencari nafkah dan apabila mereka bekerja yang dilakukan hanyalah sebagai kerja sambilan. Menurut Heyzer dan Tan (Indrasari Tjandraningsih, 1997: 258), ada dua pemikiran yang menyebabkan terbentuknya anggapan bahwa kaum perempuan hanya sebagai pemegang dan pelaksana fungsi reproduksi. Pertama, family wage, suatu keyakinan bahwa lelaki penghasil nafkah keluarga dan sebagai kepala keluarga. Kedua, continuity of work (keberlangsungan kerja) yang mengasumsikan bahwa perempuan selalu akan mengundurkan diri dari dunia kerja ketika melahirkan dan merawat anak, sehingga tidak menjamin kontinuitas kerja. Reduksi peran perempuan disebut dengan istilah “ housewifization”, mistifikasi perempuan. Mistifikasi tersebut menjadi pembenar atas kondisi dan karateristik buruh perempuan serta perlakuan terhadap mereka. Keterbatasan perempuan sebagai individu ( human capital) dalam hal pendidikan, pengalaman dan ketrampilan kerja, kesempatan kerja serta faktor biologis menyebabkan perempuan hanya bisa memasuki lapangan pekerjaan yang berupah murah, sehingga kemungkinan besar mengalami eksploitasi. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan merupakan lingkaran yang tidak pernah terselesaikan. Keterkaitan perempuan dengan pekerjaan rumah tangga menyebabkan perempuan lebih memilih pekerjaan yang bisa mendukung kegiatan kerumahtanggaan dengan cara memilih pekerjaan yang dekat dengan rumah walau dengan upah yang rendah dan tentunya sedikit bersaiang dengan laki-laki. Gejala ini menyebabkan perempuan tersekmentasi di sektor pinggiran yang bersifat sekunder dan informal, peluang terbatas, upah kecil, jamian sosial dan kesejahteraan juga tidak ada. Industrialisasi juga semakin menyeret pekerja perempuan masuk ke dalam kubang keterpurukan karena pria menguasai basis material, seakan menjadi penguat relasi gender yang dibangun dengan basis kekuatan laki-laki. Pemikiran Marx (Ratna Megawangi, 2004:37), mengenai pola relasi superstruktural bisa dijadikan sebagai acuan untuk melihat pola relasi sosial masyarakat. Pola relasi tersebut disebabkan
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
oleh: pertama, kondisi produksi masyarakat; kedua, alat yang dipakai masyarakat untuk memproduksi dan; ketiga, pola relasi produksi dalam masyarakat berdasarkan pemilikan alatalat produksi. Status kepemilikan alat-alat produksi tersebut akhirnya menciptakan terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Logika yang dibangun oleh masyarakat industri ala Marx adalah kelas kapitalis yang memiliki pabrik atau industri membuat keuntungan dengan cara menjual hasil produksinya. Berhubung para kapitalis harus bersaing dengan kapitalis lainya, mereka cenderung ingin menjual barangnya dengan harga murah. Sehingga dalam memproduksi barang/ jasa dilakukan dengan cara menekan biaya produksi , termasuk memberi upah murah kepada buruh. Pola relasi tersebut, menyebar bagaikan virus kesemua sektor kehidupan baik sosial-ekonomi, politik dan budaya, sehingga semakin meminggirkan perempuan terutama dalam dunia kerja. Menurut penulis, Pekerja Rumahan ( home based workers) menjadi salah satu contoh kongkrit adanya pola relasi yang dibangun di bawah naungan kaum kapitalis yang notabene beridiologi patriarkhi dengan segala atributnya. Rata-rata pekerja rumahan adalah perempuan. Dengan membawa pulang ke rumah pekerjaan yang diberikan oleh juragannya, menjadikan apa yang dikerjakan oleh mereka bukan dianggab pekerjaan. Karena bisa dilakukan dengan “nyambi” tanpa harus mengganggu pekerjaan rumahtangga lainnya. Model pekerjaan ini memiliki ciri : tidak memerlukan skill yang tinggi; bisa dikerjakan dirumah tanpa harus meningalkan pekerjaan kerumahtanggan mereka; menghasilkan uang dalam waktu singkat (mingguan, harian) dan ; modal tidak besar. Sektor ini dalam prakteknya lebih merupakan instrumen kekuasaan dalam ekstraksi politik perusahaan atau pengusaha, dan bukan merupakan bentuk kemitraan yang memungkinkan yang kecil harus berkembang. Kapitalisme yang hegemonik dan nilai feodalisme yang menganggab perempuan lebih rendah, tenaganya lebih lemah daripada laki-laki seakan menjadi penguat bagi pengusaha kapital untuk membayar upah perempuan pekerja rumahan sangat murah. Kondisi tersebut dipertegas oleh Zaretsky (UNDP, 1995: 87-98), bahwa pekerjaan rumahan tidak dinilai
59
60
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
(materi) karena semua ada di luar wilayah pasar moneneter. Idiologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang harus dimainkan oleh perempuan. Kultur perempuan akhirnya dihadapkan pada budaya “bisu” yang menjadi pembenar bagi para pengusaha notabene kaum kapital dengan pola pikir yang tentunya kurang humanistik. Sebenarnya kontribusi yang disumbangkan Perempuan Pekerja Rumahan di dunia kerja, kalau diperhitungkan dengan uang lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang bekerja dalam sektor yang sama. Perhitungan System of National Acounts , mencoba memasukan semua barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi dalam suatu keluarga yang antara laki-laki dan perempuannya bekerja di sektor rumahan. Hasilnya menunjukan bahwa hampir disetiap negara, kontribusi ekonomi perempuan di dunia kerja tidak kalah dengan laki-laki bahkan lebih tinggi. Namun sekali lagi, yang menjadi masalah di dunia kerja ( di luar rumah atau di dalam rumah) maupun di sektor lainnya, perempuan masih dianggab sebagai the second sex, sehingga apapun yang dikerjakannya tetap bernilai ekonomis lebih rendah dari yang dilakukan oleh laki-laki. D. Melihat Dari Sisi Hukum Ketenagakerjaan Pasal 27(2) UUD 1945 menetapkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kata “setiap warga negara” mengindikasikan bahwa, bekerja yang dalam hal ini mencari penghasilan, adalah aktivitas yang menjadi hak semua orang, baik lakilaki maupun perempuan. Oleh karena itu, ketika perempuan masuk ke dunia kerja tentunya harus mendapatkan perlakuan yang sama dan proporsional sesuai dengan kemampuannya. Artinya, perbedaan kompensasi atau penghargaan dari hasil pekerjaan antara laki-laki dan perempuan bukan didasarkan pada perpedaan biologis, akan tetapi pada kemampuan antara mereka. Dalam konteks hak dan kwajiban sebagai pekerjapun, antara keduanya juga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil dan setara. Akan tetapi dalam realitasnya, perbedaaan gender yang
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
mengakibatkan tersubordinasinya peran perempuan, akhirnya mempengaruhi politik pengambilan keputusan. Sehingga hukum Ketenagakerjaan, sebagai payung hukum bagi pekerja/ buruh yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil dan setara bagi pekerja (formal maupun informal), baik lakilaki dan perempuan tanpa kecuali,karena antara keduanya mempunyai kontribusi yang sama di perusahaan maupun peningkatan devisa Negara, belum melakukan hal yang seharusnya dilakukan sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945. Dalam konteks pembahasan ini, perempuan pekerja rumahan yang masuk dalam kategori sektor informal, belum mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum. Sebagai penegasan, ciri pekerja informal adalah bekerja dengan cara tidak tetap; merupakan pekerjaan-pekerjaan pinggiran; pekerjaan yang dilakukan tidak dianggab pekerjaan dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Sedangkan pekerja formal adalah sebagai pekerjaan upahan yang mendapat pendapatan dari gaji. Menurut Keith Hart, Pekerja Rumahan ( home based workers), masuk dalam sektor pekerjaan informal dan biasanya dilakukan oleh perempuan (Zudan Arief, 2000: 27). Industrialisasi yang berkembang di negara dunia ketiga, realitasnya lebih mengedepankan sektor formal. Sedangkan sektor Informal yang mampu menampung banyak tenaga kerja, justru terabaikan bahkan menjadi sektor tidak terpantau dan tidak terlaporkan, unreported statistically, karena hanya dianggab sebagai kerja bayangan, bawah permukaan. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia mulai Undangundang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja, Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan sampai UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, masih bersifat seksis, terutama ditingkat pelaksanaan. Sehingga sektor informal dus perempuan pekerja rumahan tidak pernah tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Hal tersebut terjadi karena, dalam proses bekerjanya hukum keterlibatan manusia di dalam perumusan dan pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya hubungan antara hukum dan budaya, sehingga keadilan dan ketidakadilan dalam hukum dipengaruhi oleh budaya hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan sikap, ide, nilai-nilai seseorang
61
62
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
terhadap hukum di masyarakat. Dengan kata lain, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Pasal 1 Undang-undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja menyatakan: “ Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Selanjutnya pasal 9 menyatakan : “Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan kesusilaan” . Dari ketentuan pasal-pasal tersebut alasan pemberi kerja tidak memberikan hak-hak pekerja rumahan sama dengan “buruh” dipabriknya menjadi tidak relevan. Asumsinya, karena dalam pasal 1 tersebut di atas, meskipun tidak secara tegas disebutkan tentang sektor informal, akan tetapi difinisi tentang siapa tenaga kerja dalam pasal tersebut bisa dimaknai sebagai tenaga kerja fomal dan informal, baik laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang kita tahu bahwa tenaga kerja informal adalah mereka yang melakukan pekerjaan “ di luar hubungan kerja” dan dalam pasal 9 juga menyatakan dengan tegas mengenai hak-hak dari tenaga kerja. Selanjutnya dalam Pasal 3 angka 1 menyebutkan bahwa: “ Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di luar maupun di dalam hubungan kerja” . Sedang pasal 158 menyebutkan bahwa : “ Setiap tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja yang bersifat informal berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja dan keselamatan kerja” . Pasal 1 angka 31, menyebutkan bahwa: “ Sektor informal adalah kegiatan orang perorang atau kelompok yang melaksanakan kegiatan ekonomi atasa dasar kepercayaan dan kesepakatan.”. Dalam undangundang ini lebih tegas menyebutkan tentang sektor informal, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap belum menyentuh sektor informal dus perempuan pekerja rumahan. Meskipun kedua Undang-undang di atas telah diganti dengan yang baru, yaitu UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini juga tidak memberi efek bagi perempuan pekerja rumahan untuk mendapatkan perlindungan dan
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
jaminan yang lebih baik sebagaimana pekerja formal. Pasal 1 (2) UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 ini menyatakan bahwa: “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. Pasal 1 (3) menyebutkan bahwa: “Pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pasal 1 angka (30 ) : “ Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah dilakukannya”. Dalam pasal di atas, memang tidak disebutkan pekerja informal secara tegas, akan tetapi kata “ setiap orang” tentu berlaku juga bagi tenaga kerja informal baik laki-laki maupun perempuan. Indonesia juga pernah mengikuti Konvensi Homework (pekerja rumahan) di Genewa tahun 1999 silam, Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah sebagai peserta dalam konvensi untuk memasukan sektor informal dalam Undang-undang Ketenagakerjaan atau paling tidak meratifikasi peraturan khusus yang mengatur sektor pekerja informal yang dalam konteks ini adalah pekerja rumahan, untuk memberikan perlindungan atas upah yang layak serta jaminan sosial sebagaimana pekerja formal. Akan tetapi sampai sekarang hal tersebut belum dilakukan, dan pemerintah lebih tertarik memberikan jaminan pada pekerja urban dibandingkan pekerja rumahan. Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional terkait dengan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja, melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut, seharusnya menjadi “angin segar” bagi perempuan pekerja rumahan untuk memperoleh hak dan perlindungan hukumnya. Karena dalam deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Negara peserta deklarasi wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama
63
64
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak dan kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta bidang-bidang lainnya, termasuk hak atas pekerjaan. Akan tetapi sekali lagi, efek dari semua peraturan hukum yang telah diformalkan tersebut, belum menyentuh hak-hak perempuan pekerja rumahan bahkan, justeru menindas mereka. Ratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang terkait dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki (CEDAW), melalui Undang-undang No.7 tahun 1984, diitingkat pelaksanaan menghadapi kendala kultural maupun stuktural. Kendala kultural menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan yang dijustufikasi oleh pemahaman nilai-nilai agama, adat dan budaya yang dianut. Tragisnya sikap ini diadopsi oleh negara sebagaimana penjelasan UU No. 7 Tahun 1984 yang berbunyi :” Dalam pelaksanaannya ketentuan konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat-istiadat dan norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia”. Bunyi penjelasan itu, mengindikasikan ketidakkonsistensian dalam melaksanakan konvensi CEDAW. Akibatnya di tingkat peraturan pelaksanaan , yang terjadi justeru penguatan asusmsi-asumsi gender dan nilai-nilai stereotype yang menghasilkan hukum yang seksis. Sehingga keberadaan perempuan sebagai manusia ( human) yang mempunyai hak ( azasi) tidak terlindungi. Dalam analisis Gunder Frank (Mansur Fakih,2000:3), realitas yang terjadi atas perempuan pekerja rumahan lebih disebabkan oleh adanya nilai dan kepentingan yang sama antara negara dan laki-laki. Dengan center of hegemoni negara, rumah tangga dan masyarakat yang masih didominasi oleh laki-laki, maka perempuan akan semakin tertindas. Idiologi patriakhi yang dibangun dalam relasi gender yang berbasis kepentingan dan kekuasaan kaum laki-laki berpengaruh kental dalam melanggengkan ketidakadilan gender, sehingga hukum yang ada juga bersifat seksis. Pendapat tersebut dipertegas oleh sebagian besar ahli hukum bahwa, hukum adalah pergulatan kepentingan
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
sosial, budaya, ekonomi dan politik dan mencerminkan standar nilai yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, ketika dalam masyarakat nilai-nilai yang dibangun terkait dengan seksualitas perempuan mencerminkan ketidakadilan gender, maka hukumpun juga tidak berkeadilan gender, seksis. Hukum yang seksis adalah hukum yang tidak memihak kaum perempuan, karena dipengaruhi oleh kontruksi sosial yang bias gender. Manifestasi ketidakadilan gender ditingkat negara, terdapat dalam hukum negara dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Nursyahbani Kantjasungkana, 1996:2). E. Menuju Hukum Non-Seksis Hukum non- seksis dapat terwujud bila ada perombakan pola relasi antara laki-laki dan perempuan berbasis kekuatan ekonomi. Asumsinya adalah, selama ini penindasan lakilaki terhadap perempuan lebih disebabkan perempuan sangat tergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga menempatkan perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik ( pencari nafkah). Menurut Mark dan Engel dalam teori materialist determinism( Collins Randall, 1987:13), suami dalam konteks ini sebagai cerminan kaum borjuis dan istri sebagi kaum proletar. Pola relasi materialis akan mempengaruhi agama dan budaya sehingga warna agama dan budaya pada masyarakat dengan pola relasi materialis akan konsisten dengan pola relasi hierarkhis- paternalistis. Alasan lain yang sering menjadi bahan perdebatan terkait dengan penalaran seksisme hukum, adalah fenomena ikatan ganda ( reproduksi pola dominasi laki-laki) . Para pemikir feminis bahkan mengatakan “ makin banyak perubahan dibuat , makin kuat melekat pada keadaan mereka sebelumnya”, karena perubahan yang dibuat seringkali tidak signifikan berpengaruh pada adanya kemajuan posisi perempuan, bahkan perubahan dalam hukum hanya dianggab semacam retorika yang tidak meningkatkan kehidupan perempuan. Pola ikatan ganda yang berada dibawah dominasi laki-laki digambarkan dalam perubahan-perubahan yang dibuat, baik oleh masyarakat maupun hukum dengan mengatasnamakan perempuan, namun tidak memperbaiki posisi perempuan.
65
66
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Berangkat dari pemikiran bahwa perempuan adalah “ yang lain” artinya yang mengalami alienasi disebabkan cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan adanya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi dan perbedaan, maka aliran ekofimisme atau post modernis, mengartikan hukum non seksis, berkeadailan gender akan terwujud apabila melihat perempuan bukan sebagai “yang lain”. Jacques Lacan ( Gadis Arivia, 2003: 128), seorang pemikir aliran ini menegaskan bahwa, aturan simbolis yang sarat dengan aturan laki-laki telah menyulitkan perempuan. Aturan ini diekspresikan dalam bahasa dan cara berpikir yang maskulin sehingga menyebabkan penindasan perempuan secara berulang. Ironisnya, perempuan sendiri secara tidak sadar ikut menjustifikasi realitas yang menimpa mereka, dengan menganggab sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Sehingga perempuan secara tidak sadar juga, kadang dieksploitasi bahkan terkeskploitasi oleh diri sendiri. Oleh karena itu, pengalaman perempuan dijadikan sebagai kerangka awal untuk membongkar adanya ketimpangan relasi gender dalam hukum, dimana standar dan konsep-konsep yang secara kasat mata terlihat objektif dan netral akan bisa dibongkar melalui metode pengalaman perempuan. Bias relasi gender secara implisit dapat dikupas dengan mengkaji adanya dampak dari hukum pada perempuan sebagai standar yang cenderung merugikan perempuan. Teknik pelacakan seperti ini disebut asking the woman question, karena menempatkan perempuan pada fokus perhatian atau titik analisanya. Patricia Cain (D. Kelly Weisberg, 1993 : 42) menegaskan bahwa, untuk melihat bahwa hukum yang ada bias gender atau dalam bahasa lain disebut dengan istilah hukum seksis harus didasarkan pada pengalaman perempuan. Penekanan pada pemngalaman perempuan, terutama berguna untuk mengindentifikasi ekslusifitas hukum khususnya penderitaan perempuan yang tidak dikenali atau dipahami dan direfleksikan dalam peraturan perundangan atau setidaknya telah terminimalisir. Pengalaman perempuan tidak secara cukup hanya terekspresikan dalam formalisasi hukum. Pengkajian melalui pengalaman perempuan yang dikombinasi oleh aktivitas politik akan membentuk penalaran
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
hukum baru, yaitu penalaran hukum yang mempertimbangkan pengalaman-pengalaman khas perempuan sebagai dasar perimbangannya. Dengan proses penyadaran sebagaimana yang diusung oleh feminis sosialis, dimana kesetaraan relasi antara laki-dan perempuan merupakan syarat penting terciptanya masyarakat yang egaliter tanpa hirarkhi horisontal. Penyadaran pada kelompok inferior, yang dalam hal ini diwakili oleh perempuan, akan menumbuhkan eksistensi dirinya. Proses penyadaran dimaksudkan untuk membangkitkan emosional arousal agar para perempuan bangkit mengubah keadaanya sendiri. Proses penyadaran dilakukan dengan cara propaganda yang bertujuan memberi kesadaran pada kaum perempuan bahwa pekerjaan domestik mempunyai nilai yang sama dengan sektor publik. Metode yang digunakan untuk membongkar hukum seksis menuju non-seksis, antara lain: metode do law; asking woman question, feminist practical reasoning dan consciousness raising (Martha Challmalas, 2003 : 4). Metode do law, merupakan metode dasar yang dipakai oleh para Penstudi Ilmu Hukum Feminis. Metode ini dilakukan dengan cara menganalisis fakta dari masalah hukum yang ada, mengidentifikasi esensi dari fakta-fakta tersebut, menentukan prinsip hukum apa yang dapat memecahkan masalah dan menerapkan pronsip-prinsip tersebut pada fakta yang ada. Metode asking women question ( memberikan pertanyan pada perempuan), digunakan untuk menelaah bagaimana hukum telah gagal mempertimbangkan pengalaman perempuan dan nilai-nilai yang telah dianut oleh perempuan dan bagaimana standar konsep hukum yang merugikan perempuan. Penalaran hukum yang dilakukan berbeda dengan penalaran hukum pada umumnya karena ada penekanan dan komitmen yang berasal dari masyarakat yang berbeda. Penalaran hukum perspektif gender menolak adanya monolitic community yang sering digunakan sebagai penalaran praktis laki-laki, dan mencoba mengindentifikasi perspektif yang tidak terwakili dalam budaya dimana penalaran itu harus dihasilkan Metode feminist practical reasoning, mendengarkan
67
68
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pendapat/ alasan praktis perempuan atas berbagai pengalaman dan permasalahan yang dihadapinya. Dengan mendengarkan pendapat/alasan perempuan yang selama ini dianggab sebagai kaum termarginalkan maka akan diketahui apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh para perempuan. Dengan asumsi “ yang tahu kebutuhan perempuan adalah perempuan sendiri” . Oleh karena itu pelibatan perempuan dalam menetukan berbagai kebijakan termasuk hukum sangat diperlukan dalam konteks mewujudkan hukum berkeadilan gender. Metode consciousness raising (peningkatan kesadaran), dilakukan dengan untuk meningkatkan kesadaran seorang yang kurang tahu/ paham menjadi tahu/paham, sehingga hukum harus mendengarkan berbagai hak, sebagai proses penyadaran pada kaum perempuan. Tujuan dari metode ini adalah, adanya pemberdayaan individu dan kolektif bukan serangan secara personal atau penjajahan satu terhadap lainnya. Leslie Bender menuliskan bahwa, “ feminist conciuisness raising creates knowledge by explorinbg common experience and patterns that emerge from shared tellings of life events “.Peningkatan kesadaran/ pemahaman dilakukan tidak hanya pada kelompok kecil yang sedang berkembang, namun juga pada institusi pendukung melalui: “ bearing witness to evidences of patriarchy as they accur, through unremitting dialogues with and the challenges to the patriarchs, and throug the popular media, the art, politics, lobbying and even litigation”. Menurut hemat penulis, berbagai metode di atas bisa digunakan secara simultan dan berksinambungan dalam rangka mengkaji dan mengkritisi kebijakan hukum yang akan dirumuskan maupun yang telah dilaksanakan terutama dampaknya terhadap perempuan. Metode-metode tersebut juga akan lebih riil kalau dikaitkan dengan konsep pemikiran Sampford Charles—— hukum itu mengalir sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, jika masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat perempuan belum sadar bahwa mereka membutuhkan hukum maka hukumpun tidak akan pernah ada. Artinya, hukum non seksis tidak akan ada apabila kaum perempuan sendiri merasa bahwa apa yang seharusnya diberikan oleh hukum kepada mereka belum
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
menjadi kebutuhan buat mereka. F. Kesimpulan Hukum ketenagakerjaan yang bersifat seksis, sehingga enggan melindungi kaum perempuan menjadi titik nadir semakin timpangnya posisi antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Apalagi untuk pekerjaan-pekerjaan yang masuk dalam wilayah sektor informal sebagaimana yang terjadi dalam realitas perempuan pekerja rumahan. Pengingkaran sosial ( social exclution) , baik dari keluarga , masyarakat maupun negara, menjadikan posisi perempuan pekerja rumahan menjadi rentan dan termarginal. Sehingga pekerjaan apapun yang dilakukan oleh mereka, meskipun bernilai ekonomis lebih tinggi dari pekerja laki-laki dalam sektor yang sama, tetap bernilai lebih rendah, karena dilakukan di rumah yang notabene berada di wilayah domestik, reproduktif. Implikasi dari itu semua, perempuan pekerja rumahan mendapatkan upah yang rendah, dan bebas dari perlindungan hukum. Hukum non-seksis akan lahir apabila pengalaman perempuan dijadikan sebagai kerangka awal untuk membongkar adanya ketimpangan relasi gender dalam hukum, dimana standar dan konsep-konsep yang secara kasat mata terlihat objektif dan netral akan bisa dibongkar melalui metode pengalaman perempuan. Metode yang digunakan untuk membongkar hukum seksis menuju non-seksis, antara lain: metode do law; asking woman question, feminist practical reasoning dan consciousness raising. Dengan menggunakan keempat metode tersebut secara simultan dan berkesinambungan, maka bias relasi gender secara implisit dapat dikupas dengan mengkaji adanya dampak dari hukum pada perempuan sebagai standar yang cenderung merugikan perempuan.
69
70
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA Collins Randall, Sosiologiy of Marriage and the family: Gender, love and Property , Chicago: Nelson Hall, 1987 D. Kelly Weisberg, Feminist Legal Theory: Philadelphia, Temple University Press, 1993 Esmi warrasih, Pranata Hukum: telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005. Indrasari Tjandraningsih, dalam “ Sangkan Paran Gender” Buruh Perempuan Menguak Mitos, Yogyakarata: Pusat Penelitain Kerpendudukan UGM, 1997. Irwan Abdullah “ Dari Domestik Ke Publik : Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan” dalam Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Julia Cleves Mosse , Gender Dan Pembangunan (trj) , Yogyakarta: Rifka Anissa WCC dan Pustaka Pelajar, 2007. Katharine T. Barlet, Feminist Legal Methods, dalam FLT Foundation, Edited by D. Kelly Weisberg Temple University Press, 1993. Keith Hart, Informal Workers in Development, London : University Prees, 1989. Ken Surtiyah “ Pengorbanan Wanita Pekerja Industri” dalam Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Kunthoro Basuki, “Budaya Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum UGM .2002. Lawrence M. Friedman, Legal Culture New York: Walter de Gruyter, 1986. Patricia Cain, Feminism and the limits of Equality , dalam D. Kelly Weisberg ( ed) , Philadelphia, temple University Press, 1993. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999. Satjipto Rahardjo, hukum dan Perubahan Sosial,Bandung:
DARI HUKUM SEKSIS MENUJU NON-SEKSIS Triana Sofiani
Alumni, 1983. Sulistyowati Irianto, Hukum dan Perempuan: Menuju Hukum Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan obor Indonesia , 2006. Tapi Omas Ihroni, Hak Azasi perempuan: Instrumen Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
71
Ide Utama
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN Retno Susilowati *)
ABSTRACT: The position of gender in the spotlight from all walks of academia and the community in many different perceptions and response. When you hear the name of misguided perceptions of gender emerge to focus on the demand the degrees on behalf of the rights of women. Women of Indonesia has a very important position throughout the course of history. Gait of women on the stage of history no doubt. See the results of Kartini’s struggle, the idea he was about the emancipation of women has always been a spirit of Indonesia to increase the degree of life, subculture liberalisme, cultural absolutism, and many hit the normative foundations of values and religious norms. Though the name of gender does not mean discussing matters relating to women only. Gender is intended as a division of the nature, role, position and duties of men and women set by the community based on norms, customs, and public confidence in various aspects of life including the practice of education. Education as one of the sectors of development involved gender mainstreaming implementation in national and regional levels. Then the most easily done by the center to address the issue of gender studies from various circles about the gender issue of gender into the awareness of personal and collective consciousness that is yet to enter the sphere of education and science as a vessel to help the implementation of socialization efforts for gender mainstreaming. Keywords: Education, gender mainstreaming, gender studies. )
Penulis adalah Dosen Tarbiyah STAIN Kudus
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
A. Pendahuluan Selama kurun waktu 2010-2014 Kementerian Pendidikan Nasional ingin mewujudkan “Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif”. Untuk mencapai visi tersebut, Kemendiknas mengemas misi dengan sebutan “Misi 5K”, yaitu; (1) meningkatkan Ketersediaan layanan pendidikan secara merata di seluruh pelosok nusantara; (2) meningkatkan Keterjangkauan layanan pendidikan oleh seluruh lapisan masyarakat; (3) meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi layanan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, dunia industri, dan dunia usaha; (4) meningkatkan Kesetaraan dalam memperolehlayanan pendidikan bagi warga negara Indonesia dalam memperoleh pendidikan berkualitas dengan memperhatikan keberagaman latar sosial budaya, ekonomi, geografi, serta; (5) meningkatkan Kepastian/Keterjaminan bagi seluruh warga negara Indonesia mengenyam pendidikan yang bermutu. Dari kelima misi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional bertekad melayani kebutuhan pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, baik melalui jalur formal maupun nonformal dengan memegang tata nilai yang amanah, profesional, visioner, demokratis, inklusif, dan berkeadilan. Visi dan Misi Kementerian Pendidikan Nasional sebenarnya memiliki spirit yang sama dengan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa seluruh proses pembangunan pendidikan perlu melakukan pengarusutamaan gender dengan memperhatikan dimensi keadilan dan kesetaraan gender ke dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan. B. Dasar Hukum Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan dan Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan
73
74
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Untuk mempertegas komitmen Kementerian Pendidikan Nasional dalam melakukan PUG Bidang Pendidikan, pada tahun 2008 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan, meskipun secara program, Pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional sudah dilaksanakan sejak tahun 2003. Peraturan ini diharapkan memberikan arahan bagi para pengambil kebijakan di pusat dan daerah serta praktisi pendidikan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan. Pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui 5 strategi pokok, yaitu; (1) peningkatan kapasitas bagi pengambil kebijakan pada setiap unit utama; (2) peningkatan kapasitas para perencana pendidikan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsif gender; (3) melakukan kerja sama dengan pusat studi wanita/gender di Perguruan Tinggi dalam mengkaji dan menemukan isu-isu gender di setiap daerah; (4) melakukan kerja sama dengan orsos, ormas, dan LSM dalam mengembangkan model pendidikan adil gender pada keluarga dan masyarakat; dan (5) mengembangkan media Komunikasi, Informasi dan Edukasi. es: Semua strategi di atas bermuara pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam pendidikan yang terwujud dalam; (1) meningkatnya akses semua penduduk terhadap layanan pendidikan pada semua jenis dan jalur pendidikan; (2) meningkatnya partisipasi perempuan pada setiap pengambilan kebijakan, penyusunan program, dan implementasi program pada semua jenjang birokrasi pendidikan; (3) meningkatnya kemampuan laki-laki dan perempuan dalam mengelola sumber-sumber informasi dan pengetahuan; dan (4) laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat yang sama dari semua program pendidikan yang dilakukan. Pembangunan pendidikan yang dilakukan selama ini telah memberikan dampak yang sangat signifikan dalam peningkatan taraf pendidikan penduduk Indonesia
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
yang diikuti oleh menurunnya disparitas antar kelompok masyarakat. Bahkan dalam hal akses, angka partisipasi pada semua jenjang pendidikan sudah setara antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan oleh indeks paritas gender yang mendekati angka 1,0. Meskipun demikian telaah mendalam untuk menemukenali berbagai kesenjangan gender tidak hanya terfokus pada perbedaan capaian kinerja antara laki-laki dan perempuan tetapi juga kesenjangan yang diakibatkan oleh faktor lain seperti status sosial ekonomi, latar belakang budaya, dan geografi. Keberhasilan pelaksanaan pengarusutamaan gender bidang pendidikan sangat ditentukan oleh komitmen para pengambil kebijakan, baik di pemerintah pusat maupun daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang terwujudkan dalam; (1) kebijakan yang responsif gender; (2) dukungan sumber daya manusia sebagai focal point gender bidang pendidikan; (3) dukungan kelembagaan; dan (4) dukungan anggaran, baik melalui APBN maupun APBD provinsi/kabupaten/kota. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar universal bermutu danberkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota dilakukan melalui: a. penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan dasar bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota yang meliputi penyediaan guru SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu; penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan Paket A dan Paket B bermutu; penyediaan diklat bidang SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu; penyediaan tenaga kependidikan SD/SDLB dan SMP/ SMPLB bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota; b. perluasan dan pemerataan akses SD/SDLB dan SMP/ SMPLB bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota; c. perluasan dan pemerataan akses pendidikan Paket A dan Paket B bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota; serta d. penyediaan model pembelajaran, data dan informasi berbasis riset, dan standar mutu pendidikan dasar, serta
75
76
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
keterlaksanaan akreditasi pendidikan dasar Program Wajib Belajar 9 Tahun bertujuan untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun nonformal. Dengan demikian, seluruh anak usia 7-15 tahun dapat memperoleh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Menengah Pertama atau yang sederajat. Upaya peningkatan akses pendidikan terutama untuk tingkat pendidikan wajib belajar 9 tahun, telah berhasil mencapai kinerja yang cukup signifikan, dengan capaian Angka Partisipasi Murni (APM) 95,14% untuk SD/MI/SDLB/Paket A, serta Angka Partisipasi Kasar (APK) 96,18% untuk SMP/ MTs/SMPLB/Paket B. C. Wujud Reformasi Pendidikan Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengarusutamaan gender dalam pendidikan adalah dengan cara: 1. Reformasi Pendanaan Pendidikan Dalam periode pembangunan 2005—2009, reformasi pendanaan pendidikan telah menghasilkan terobosan penting yang meliputi program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS buku, Bantuan Khusus Murid (BKM), dan beasiswa dari SD hingga perguruan tinggi yang bertujuan mendukung penyediaan dana pendidikan bagi peserta didik, khususnya bagi masyarakat miskin atau yang berkekurangan serta peningkatan mutu melalui Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Melalui BOS, BKM, dan beasiswa telah terbukti dapat secara signifikan menurunkan angka putus sekolah dan meringankan beban orang tua dalam menyediakan biaya pendidikan bagi anak. Kegiatan ini telah menjadi best practice yang diakui oleh UNESCO dan berdasarkan survei nasional yang dilaksanakan oleh The Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada Oktober 2008 terungkap bahwa 75,9% responden menyatakan positif dan mendukung program BOS.
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
Sejalan dengan amanat Pasal 31 Ayat (1) dan (2) amendemen UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pada tahun 2010— 2014 Depdiknas akan mempertahankan kegiatan pendanaan pendidikan yang telah terbukti efektif, yaitu (a) BOS bagi pendidikan dasar, (b) BKM bagi pendidikan dasar dan menengah, (c) beasiswa untuk pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, dan (d) bantuan biaya operasional penyelenggaraan (BOP) bagi pendidikan anak usia dini dan nonformal. Khusus untuk pendidikan dasar, Depdiknas melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah akan meneruskan program sekolah gratis untuk mendorong terciptanya pendidikan dasar gratis di seluruh Indonesia. Permasalahan dalam pendistribusian dan pemanfaatan pendanaan massal ini akan diselesaikan dengan meningkatkan fungsi pengendalian dan pengawasan dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Daerah, serta didukung oleh peran serta masyarakat khususnya melalui Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. 2. Reformasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Perluasan dan pemerataan akses pendidikan pada tahun 2005—2009 mengalami kendala yang diakibatkan masalah distribusi guru yang tidak merata di beberapa wilayah di Indonesia. Sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada tahun periode 2010—2014, Depdiknas akan melakukan redistribusi guru antarprovinsi sesuai dengan kewenangannya untuk memastikan ketersediaan rasio guru dengan siswa maksimal yang disyaratkan oleh Standar Nasional Pendidikan. Sesuai dengan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menempatkan guru sebagai profesi, guru harus memenuhi kualifikasi pendidikan minimal S-1/D-4, sementara dosen berpendidikan minimal S-2/S-3. Selain itu, baik guru maupun dosen harus memiliki sertifikat profesi
77
78
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
berupa sertifikat pendidik. Untuk melanjutkan pelaksanaan kualifikasi dan sertifikasi yang disertai dengan peningkatan kesejahteraan pendidik, pada tahun 2010—2014 Depdiknas akan mempertahankan kegiatan-kegiatan peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui: a. beasiswa peningkatan kualifikasi guru menjadi guru dengan kualifikasi minimum S-1/D-4 dan peningkatan kualifikasi dosen menjadi S-2/S-3; b. sertifikasi pada pendidik yang berimplikasi pada pemberian penghargaan berupa tunjangan profesi pendidik; c. kegiatan-kegiatan pelatihan dan pengembangan kompetensi pendidik; d. pembinaan profesionalisme guru berkelanjutan melalui kegiatan KKG/MGMP, KKKS/MKKS, dan KKPS/MKPS. Peningkatan kesejahteraan dan penghargaan kepada pendidik sesuai dengan UU RI No. 14/2005 merupakan faktor utama dalam menaikkan motivasi pendidik dalam meningkatkan kualitas mengajar secara berkesinambungan. Untuk mendorong peningkatan kesejahteraan dan penghargaan guru, pada tahun 2010—2014 Depdiknas mempertahankan: a. subsidi tunjangan fungsional guru; b. tunjangan khusus bagi guru yang mengajar di daerah pedalaman, terpencil, dan Salah satu wujud dari otonomi pendidikan, baik satuan pendidikan negeri maupun swasta pada pendidikan dasar dan menengah 9 tahun diterapkannya konsep dan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau madrasah (school-based management). Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah. Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan kebijakan terobosan yang
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, melalui kegiatan pengelolaan BOS, dan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hasil pendidikan yang bermutu ditentukan oleh kemampuan pengelola pendidikan, yaitu pendidik, tenaga kependidikan, serta komite sekolah/madrasah. Pendidik berperan sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. Kepala sekolah berperan sebagai edukator (pendidik), manajer (pengelola), administrator (ketatausahaan), supervisor (pengawas), leader (pemimpin-pengayom), inovator (pembaharu), dan motivator (pendorong). Sebagai manajer, kepala sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan pelaksanaan pelbagai program sekolah, sedangkan komite sekolah atau madrasah berperan sebagai patner dari kepala sekolah atau madrasah sebagai wujud dari kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk membantu kepala sekolah/madrasah, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun program-program pendidikan. Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional untuk melaksanakan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender adalah dengan menetapkan Permendiknas Nomor 84/2008 tentang Pelaksanaan PUG bidang pendidikan. Program pengarusutamaan gender (PUG) bidang pendidikan telah menghasilkan pencapaian yang signifikan. Pada tingkat pendidikan dasar semua anak laki-laki dan perempuan telah memasuki SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B tanpa ketimpangan gender. Pada tingkat pendidikan menengah terdapat ketimpangan gender sebesar 5,4%. PUG bidang pendidikan pun telah menunjukkan keberhasilan dalam penurunan disparitas gender penduduk buta aksara. Disparitas gender buta aksara menurun dari 7,32% pada tahun 2004 menjadi 3,24% pada akhir tahun 2008. Pencapaian ini melampaui target tahun 2009 sebesar 3,65%
79
80
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
atau mencapai target nasional satu tahun lebih cepat. PUG bidang pendidikan disinergikan dengan pengembangan satuan pendidikan berwawasan gender, pengembangan keluarga berwawasan gender, peningkatan kapasitas pemangku pendidikan untuk merencanakan, mengelola, dan melakukan pengawasan anggaran berwawasan gender serta pengembangan bahan ajar, data dan sistem informasi, serta pelatihan yang responsif gender. 3. Reformasi Kurikulum Salah satu pengembangan kurikulum inovatif pendidikan yang akan dikembangkan oleh pusat kurikulum adalah model integrasi kurikulum kesetaraan gender. Latar belakang dari pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender adalah 1. Amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 27. 2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Tahun 1948. 3. Undang-undang Nomor : 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia. 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. 5. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi 7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan 8. Dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pengembangan KTSP Pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender, juga dilandasi oleh Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 (5) yang berbunyi “... ketidakseimbangan gender dalam pendidikan
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
dasar dan menengah harus di tiadakan”. Serta rencana aksi hasil dari Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 (c) yang berbunyi : “ .... Menghapuskan ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 (UNICEF). Begitu pula adanya intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG). yaitu: Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut merupakan problem mendasar dalam pendidikan. Dengan demikian Pusat Kurikulum pada tahun 2007 melakukan penelitian dan pengembangan untuk menyusun model integrasi kurikulum kesetaraan gender sebagai implementasi dari kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional, serta kebutuhan pada masyarakat. Kurikulum berbasis gender lebih komprehensif lagi ide ini pada faktanya telah dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada, yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan; kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan; perempuan dan media; perempuan dan lingkungan serta anak perempuan. Bahkan, saat ini sudah merambah melalui lembaga formal salah satunya adalah lembaga pendidikan dengan memasukkan ke dalam mata pelajaran sampai pada kurikulum yang dibuat berbasis gender. Bukti masuknya ide ini dalam kurikulum dapat dilihat dari adanya Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender (IKKG) dengan nilai-nilai Integritasi pada Kurikulum yang wajib dilaksanakan guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar yaitu: Persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan,
81
82
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
kerja sama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, demokrasi. Keberadaan kurikulum ini tidak independen akan tetapi ada pengaruh dari isu yang sedang mengglobal dan seolaholah kemunculan Kurikulum Berbasis Gender ini merupakan jawaban dari tuntutan globalisasi yang mau tidak mau negara yang terbawa arus globalisasi ini harus mengikutinya sebagai bukti keikutsertaannya dalam globalisasi. Apalagi isu ini dilegalkan secara global melalui lembaga internasional yaitu PBB dengan UNICEFnya. Selain itu, ditemukan pula hubungan bahwa negaranegara maju saat ini juga sedang gencar melakukan sosialisasi isu gender ini dalam setiap bidang di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, simaklah salah satu program politik luar negeri AS di Indonesia: “Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesan tren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan” Dalam hal ini Unesco melalui Education For All (EFA) pun tak luput memprogramkan kesetaraan gender dalam programnya yang dijalankan di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Arief Rahman, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco yang menilai guru merupakan pihak yang paling berpengaruh terhadap anak-anak untuk menyampaikan pemahaman tentang kesetaraan gender oleh karena itu banyak dilakukan pelatihan-pelatihan untuk memahamkan ide gender ini terhadap guru-guru Indonesia yang akan menjadi penunjang yang sangat berguna demi pelaksanaan Kurikulum berbasis Kesetaraan Gender di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, salah satu tugas Pusat Kurikulum adalah mengembangkan dan mengujicobakan
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
model-model kurikulum inovatif. Pengembangan dan uji coba yang dimaksud, dilakukan dalam rangka menyusun model-model kurikulum inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi, karakteristik peserta didik dalam rangka memberikan layanan yang optimal kepada peserta didik. Beberapa penjelasan tentang pentingnya kurikulum yang dimasukkan dalam proses belajar mengajar, khususnya yang responsif gender akan dijelaskan pada paparan dibawah ini. Mac Donal (1965) dalam Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan: Sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan profesional yang diberikan oleh gum. Belajar (learning) merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh siswa sebagai respon terhadap kegiatan belajar mengajar yang diberikan gum. Keseluruhan pertautan yang memungkinkan dan berkenaan dengan terjadi interaksi belajar mengajar disebut pembelajaran (instruction). Kurikulum (curriculum) suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar”. Model pembelajaran terpadu pada hakekatnya merupakan suatu sistem pembelajaran dengan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk keseluruhan dan meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran/sub mata pelajaran. Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa baik individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, dan otentik. Menurut Su’ud implementasi kurikulum tepadu merupakan wahana yang efektif dalam membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang secara alami sebagai individu yang utuh dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pembelajaran terpadu salah satu di antara maksudnya juga adalah “memadukan pokok bahasan atau sub pokok bahasan antar bidang studi, atau yang disebut juga lintas kurikulum, atau lintas bidang studi”. Tyler dalam Oliva mengemukakan “...integration as the horizontal relationship of curriculum experiences” dan manfaat keterpaduan menurut Taba. “... Learning is more effective when facts and principles from one field can related to another, especially when applying this
83
84
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
knowledge...”. Pembelajaran akan lebih efektif apabila guru dapat menghubungkan atau mengintegrasikan antara pelaksanaan pembelajaran di sekolah dengan temuan di lapangan. Oleh karena itu tugas guru menurut Oliva adalah “Curriculum workers should concern themselves with the problemof integrating subject matter”. Kurikulum terpadu dapat diartikan sebagai suatu model yang dapat memadukan materi dalam bahan pembelajaran. Keterpaduan dalam suatu pembelajaran menurut Fogarty dapat baik dalam satu rumpun bidang studi dan dapat juga memadukan antar bidang studi penting untuk memadukan keseluruhan kurikulum. Pembelajaran terpadu juga memungkinkan guru untuk mengintegrasikan antara materi pelajaran dalam pembelajaran dengan lingkungan kehidupan siswa Implementasi kurikulum terpadu merupakan wahana yang efektif dalann membantu siswa untuk tumbuh dan berkembang secara alami sebagai individu yang utuh dalam konteks kehidupan sehari-hari. Hal tesebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Beane bahwa implememasi kurikulum koheren atau terpadu dapat membantu mengembangkan kemampuan siswa sebagai kreator dan pengembang ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata dalam kehidupan mereka melalui interaksinya dengan lingkungan. Model pembelajaran terpadu ini nampaknya salah satu model yang memungkinkan untuk dikembangkan pada pembelajaran yang responsif gender, karena memberi peluang pada pemaduan materi atau merekayasa materi ajar, menjadi materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan keadilan gender.Disamping hal tersebut juga dapat melalui pendekatan pengajaran yang responsif, hal ini memungkinkan sekali. karena prinsip pembelajaran terpadu salah satunya luwes dan kontekstual, sehingga guru dan siswa dapat bereksplorasi dalam kegiatan pembelajaran. Rancangan pembelajaran terpadu secara eksplisit merumuskan tujuan pembelajaran. Dampak dari tujuan pengajaran dan dampak pengiringnya secara langsung dapat terlihat dalam rumusan tujuan tersebut. Pada dampak pengiring umumnya, akan membuahkan perubahan
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
dalam perkembangan sikap dan kemampuan berpikir logis, kreatif, prediktif,dan imajinatif. D. Kesimpulan Pendidikan sebagai salah satu sektor pambangunnan turut menerapkan pengarusutamaan gender di tingkat nasional maupun daerah. Kemudian yang paling mudah dilakukan oleh pusat studi gender untuk menjawab isu dari berbagai kalangan tentang persoalan gender yang menjadi kesadaran personal dan belum menjadi kesadaran kolektif yaitu dengan memasuki ranah-ranah pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai wadah untuk membantu terlaksanakannya upaya sosialisasi pengarusutamaan gender. Kementerian Pendidikan Nasional bertekad melayani kebutuhan pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, baik melalui jalur formal maupun nonformal dengan memegang tata nilai yang amanah, profesional, visioner, demokratis, inklusif, dan berkeadilan. Pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui 5 strategi pokok, yaitu; (1) peningkatan kapasitas bagi pengambil kebijakan pada setiap unit utama; (2) peningkatan kapasitas para perencana pendidikan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsif gender; (3) melakukan kerja sama dengan pusat studi wanita/gender di Perguruan Tinggi dalam mengkaji dan menemukan isu-isu gender di setiap daerah; (4) melakukan kerja sama dengan orsos, ormas, dan LSM dalam mengembangkan model pendidikan adil gender pada keluarga dan masyarakat; dan (5) mengembangkan media Komunikasi, Informasi dan Edukasi. Semua strategi di atas bermuara pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam pendidikan yang terwujud dalam; (1) meningkatnya akses semua penduduk terhadap layanan pendidikan pada semua jenis dan jalur pendidikan; (2) meningkatnya partisipasi perempuan pada setiap pengambilan kebijakan, penyusunan program,
85
86
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
dan implementasi program pada semua jenjang birokrasi pendidikan; (3) meningkatnya kemampuan laki-laki dan perempuan dalam mengelola sumber-sumber informasi dan pengetahuan; dan (4) laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat yang sama dari semua program pendidikan yang dilakukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengarusutamaan gender dalam pendidikan adalah dengan cara:(1). Reformasi Pendanaan Pendidikan,(2) Reformasi Pendidik dan Tenaga kependidikan dan (3) Reformasi Kurikulum. Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender (IKKG) dengan nilai-nilai Integritasi pada Kurikulum yang wajib dilaksanakan guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar yaitu: Persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerja sama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, demokrasi. Dengan memasukkkan hal-hal diatas dalam materi pembelajaran diharapkan pengarusutamaan gender dalam pendidikan segera terwujud. Dalam reformasi kurikulum, hendaknya para pendidik menggunakan model pembelajaran terpadu .Nampaknya dengan model ini yang memungkinkan untuk dikembangkan pada pembelajaran yang responsif gender, karena memberi peluang pada pemaduan materi atau merekayasa materi ajar,menjadi materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan keadilan gender.
MENGUAK PENGARUSUTAMAAN GENDER... Retno Susilowati
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 Tentang Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Abdulhak, Ishak Komunikasi Pembelajaran: Pendekatan Konuergensi daam Peningkatan Kualitas dan Efektiuitas Pembelajaran. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap. Bandung, UPI, 2001. Alt. Muhammad, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung, Sinar Baru. 1992. Astuti, M., Indati, A. & Sastriyani, “Bias gender dalam buku pelajaran bahasa Indonesia”, Juma/Jender, Vo! 1, 1999. Beane, A. J., Curriculum Integration And The The DidpiJines of Knowledge. New York, College Board Publications, 1995Borg, WR & Gall, MD., Educational Research An Introduction, New York, Longman Inc., 1979. Idris, R., Arismunandar, Pandang, A, ^ Muhammadiah, ALaporan Penelitian 5tudi Kebijakan tentang Kesenjangan Gender dalam Penyelenggaraan Pendidifean di Sulawesi Selatan”. Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen PLSP, Proyek Peningkatan Peranan Wanita 2002. Joyce, Weill B., Model of Theachig, Boston, AUyn and Bacon, 2000. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Rencana Jndufe Pcngembangan Perermpuan 2000 - 2004, Jakarta. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2000. Maryanto, Kurikulum Terpadu, Bandung, UPI, 1994. Moejiono, Srrocegi Belajar Mengajar, Jakarta, Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
87
88
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Pembinaan Tenaga Kependidikan, 1991/1992. Oliva, P., Developing The Curriculum, New York, Harper Collins Publishers, 1992. Rostiawati, Y. “Masalah Sensitifitas Gender di Sekolah Dasar” Juma! Perempuan, Edisi XII Tahun 1999. Slamet PH, Pembentukan Karakter Peserta Didik, Jurnal Mimbar Pendidikan, IKIP Bandung Edisi Juli 1994. SoediJarto, Menetapfean Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Jndonesia Abad Ke-21, Jakarta, Rineka Cipta, 1998. Sukmadinata, Nana Saodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.Bandung, Remaja Rosda Karya, 1997. Suleeman, E. “Gender Roles Stereotypes and Education” dalam S. van Bemmelen, A. Habsjah, & L. Setyawati (penyunting). Benin Berrumbuh: Kumpulan Karangan untuk Prof. Topi Omas Jhromi,Jakarta, Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas, 2000. Suud Udin S., Implementasi Kurikulum Terpadu. Makalah disampaikan Pada Pertemuan Alumni IKIP Bandung Tahun 1997. Tim Pengembang Kurikulum dan Pembelajaran FIP UPI, Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung, FIP UPI. 2002. Tim Pengembang PGSD, Pembelajaran Terpadu DM PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar, Jakarta, Dikti. 1996.
Riset
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS IN INDONESIA: Social and Religious Studies on the Failure of Women’s 30 percent Quota in the Indonesian Parliament
Bani Syarif Maula*) Abstract: Hak perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik atas dasar kesetaraannya dengan laki-laki tertulis dalam dan dijamin oleh konvensi internasional. Untuk membuat peluang perempuan lebih besar dalam kontestasi politik, perempuan memerlukan ketentuan khusus untuk memungkinkan mereka bisa terpilih atau ditunjuk dalam posisi pengambilan keputusan tingkat tinggi, yaitu dengan cara mempromosikan ide bahwa 30 persen dari keanggotaan badan legislatif diperlukan sebagai upaya yang akan memungkinkan suatu perubahan penting dalam suatu kebijakan. Oleh karena itu, kuota gender dalam pemilu digunakan sebagai langkah khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Dalam konteks Indonesia, jumlah partisipasi perempuan Indonesia dalam kehidupan politik telah menjadi perhatian yang cukup lama dalam sebuah masyarakat demokratis ini. Meskipun persentase perempuan pemegang jabatan pada umumnya meningkat sejak pertengahan abad ke-20, perempuan tetap kurang terwakili karena berbagai faktor, bisa karena politik, sosial ekonomi, dan budaya. Perempuan anggota parlemen juga bukanlah sebuah pengecualian. Rendahnya representasi (keterwakilan) perempuan di lembaga legislatif di tingkat nasional telah menjadi perhatian serius perempuan Indonesia. Setelah menjalani perjuangan yang panjang, akhirnya mereka berhasil menghasilkan sebuah ketentuan tentang kuota 30 persen bagi perempuan dimasukkan dalam UU Pemilihan Umum (UU No 12/2003), meskipun belum menjadi suatu kerarusan (non compulsory quota). Hasilnya, pada pemilu tahun 2004 (untuk
90
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
periode 2004-2009 parlemen) perempuan hanya memperoleh 11 persen kursi di parlemen nasional, sedangkan pada pemilu 2009 (untuk periode 2009-2014) perempuan hanya menerima 18 persen saja. Persepsi yang berkelanjutan tentang adanya dikotomi antara lingkup kehidupan keluarga dan masyarakat (publik) telah menyulitkan perempuan untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan politik. Makalah ini melihat bahwa hambatan terbesar untuk keterpilihan perempuan ada dalam sistem masyarakat Indonesia yang patriarki, ditambah lagi karena adanya faktor tradisi budaya dan interpretasi agama yang bias gender. Partisipasi perempuan dalam kehidupan politik seraca terus-menerus didasarkan pada peran tradisional mereka dan peran biologisnya sebagai istri dan ibu, yang dianggap oleh banyak orang Indonesia sebagai satu-satunya peran penting bagi perempuan. Selain itu, kebijakan negara tentang perubahan pada sistem pemilu dari semi-terbuka (semi-open list) menjadi sistem terbuka (full open-list system of proportional representation) menjadi tantangan besar lainnya bagi perempuan untuk mendapatkan akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengekspresikan hak-hak politiknya di Indonesia. Keywords: women’s political rights, women’s quota, electoral system
A. Introduction The right of women to participate in public life on an equal basis with men is inscribed in international standards and conventions such as article 25 of the ICCPR, article 7 of the CEDAW, and the Beijing Platform for Action (BPfA), which have suggested government and civil society to use special measures to increase the number of women in politics, administration and judiciary.1 Equal access of men and women to justice, power, decision-making and leadership at all levels is a key indicator of citizenship and equality, which is a necessary
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
precondition for the proper functioning of democracy.2 Equal participation of men and women in political affairs makes governments more representative of the composition of society. It makes them more accountable and transparent, and ensures that the interests of women are taken into account in policymaking.3 Therefore, representation in legislative bodies is believed essential in order for women to protect the expansion of their rights and opportunities by enshrining them in laws and constitutions. However, women have traditionally been excluded from power and decision-making processes. To make the women’s opportunity bigger in political contestation, women are demanding special provisions to enable women to be elected or appointed to high-level decisionmaking positions, and promoting the idea that 30 percent of membership is necessary to provide a critical mass that would allow significant changes in policies and procedures.4 Therefore, electoral gender quota is used as a special measure to increase women representation. In Indonesian context, the number of Indonesian women’s participation in the political life has been a long-standing concern in democratic society. Although the percentage of women office holders has generally increased since the mid 20th century, women remain underrepresented due to various factors: political, socioeconomic, and cultural. Women members of parliament are not an exception.5 Women’s right to vote and stand for parliament has existed since the first Indonesian election in 1955 but has not resulted in significant numbers of women in parliament.6 The low representation of women in the legislative bodies at national level has been challenged by Indonesian women after a long struggle, which resulted in a provision of a 30 percent non compulsory quota included in the General Election Law (Law No. 12/2003). However, in 2004 election (for a 2004-2009 parliamentary period) women got only 11 percent of the seats in the national parliament,7 while in 2009 election (for 2009-2014 period) women received only 18 per cent.8 The continued perception of the dichotomy between private and public spheres has made it difficult of women to be actively involved in political life. This paper will discuss social
91
92
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
and religious factors of the failure of women to achieve the 30 percent quota. This paper will look at how women’s status in social structure, which is basically based on religious beliefs, influences the involvement of women in political activities. B. Women’s Political Representation and the Electoral Law The rights of women in Indonesia are stipulated in the Indonesia’s Constitution, particularly in articles 27 and 28, which guarantee all citizens, without exception, equality before the law and freedom of association and assembly, and of expression. Indonesia has also ratified some international documents on women such as the ILO Remuneration Convention No. 100/1951 (ratified in Indonesian Law No. 80/1957) pledging equal pay for equal work, UN Convention on Political Rights of Women (in Law No. 68/1968), CEDAW (in Law No.7/1984), UN Convention to Eliminate Discrimination Against Women (in 1990).9 The history of representation in the Indonesian Parliament is one of a long process of women’s struggles in the public sphere.10 For centuries, men dominated almost every aspects of public life with their patriarchal values, which were very often considered natural, as they perceived that the role of women was to manage the household. This sociological fact is one of the obstacles faced by Indonesian women gaining access to political institutions, which make them always under-represented in the Indonesian Parliament throughout the Indonesian history.11 In fact, according to Parawansa, the first Indonesian Women’s Congress in 1928, which motivated the emergence and an increasing women’s nationalist activism, became a turning point for women to participate in all aspects of development in the Indonesian history because of the role the Congress played in improving opportunities for Indonesian women.12 Women played a major role in the armed services and generally in the public sphere during the struggle for independence up to and after 1945. However, after independence, along with the homecoming of men from the war, Parawansa argues that patriarchal values broadly re-emerged.13 The General Elections in Indonesia are normally held once
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
every five years, unless there is a special political circumstance. The first general election was held in 1955, ten years after Indonesia achieved its independence (1945) from colonialism under the Sukarno presidency.14 In the 1955 election, which was recognized as the first democratically acceptable election, several candidates came from women’s organization affiliated with the wide range of political parties which contested the election, and 17 women were elected to the legislature,15 which made up 6.3 percent of members of parliament.16 From 1955 onwards, the political system and general elections changed, and the numbers of political parties participating in the elections also altered, which brought about a different pattern of women’s representation within the political parties.17 This particularly happened during the Suharto regime (1967-98) when a single party was dominant and political life was entirely oriented towards the state. This condition affected women’s representation, which was determined by the party’s elites. The candidates were all chosen by and beholden to the party’s national-level elites, some of which had close relationships with the elites, because under a closed-list proportional representation electoral system, candidates were not necessarily involved actively in election campaigns, and there was often little relationship between those who were elected and their constituents. This condition made women’s organizations worked harder on issues they considered important, because the success of their efforts depended heavily on whether the state looked upon them favorably. However, the highest level of women’s representation of 13 percent was reached as a result of the 1987 election (the legislative period of 1987-1992).18 After the fall of President Suharto in 1998, the nature of political life changed dramatically, in which political life o was a mixture of turmoil, hope and uncertainty as the state became weaker and civil society flourished in neighborhoods as grass roots “in all kinds of admirable and repulsive ways, a mixture of mushrooms and toadstools bursting out of the debris of the authoritarian state”.19 The end of authoritarianism in 1998 and the transition from the Suharto government to that of his deputy, B. J. Habibie, was followed by an early election
93
94
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
in 1999. The majority of women elected in 1999 participated actively in the electoral process through community advocacy, discussions, speeches and other party activities associated with the election campaign.20 In the 1999 election, which was seen as the transition to democracy and the first election in which people, including women, could freely exercise their political rights, women made up only 45 out of 500 total members (9 percent) in the national parliament. This percentage is still far from a sufficient number to be able to demand for policies.21 After the 1999 election, Abdurrahman Wahid was elected by People’s Consultative Assembly 22 as the new president but was subsequently replaced by his deputy, Megawati Sukarnoputri, in 2001. It was the first Indonesian woman president took office, something unthinkable under the military-dominated Suharto regime with its patriarchal tradition. Freedom of association was enjoyed by women and men, but women in particular soon began to feel the lack of state services and control of law and order.23 Therefore, even though women, along with men counterpart, enjoyed the political freedom in more democratic political situation, representation of women remains low in the Parliament and other political institutions at the local, provincial and national levels. Even though, there are no more ‘political taboo’ and formal legal barriers that prevent women from taking part in decision making and women’s social and economic position has gradually improved, very often women who want to enter politics find that the political and public environment is not conducive to their participation, besides cultural and social reasons. Women still feel that it is quite difficult for them to enter the public political arena and to articulate their needs and concerns to the state.24 This condition makes the number of women in elected positions remains low. During the last two presidencies (1999-2004), a major process of constitutional amendment took place, under which Indonesia changed from an integrationist state in which the People’s Consultative Assembly was the single highest institution of the nation to a conventional presidential system with separation of powers. As a result of the amendment,
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Indonesia held elections for the national legislature and for provincial and district legislatures in 2004, accompanied by the first election for the newly established second chamber of the legislature, the Representatives Council. These elections were followed by Indonesia’s first-ever direct presidential election, conducted in 2004 using a Two-Round system.25 In this period as well, many new laws related to Indonesian political rules were also passed. One of them is the Law No. 12/2003 on the General Election, which was enacted for the 2004 election.26 The Law No. 12/2003 introduced a non-compulsory quota for the first time, in which political parties were asked to nominate 30 percent women in their lists of parliamentary candidates in all level. Although this was not imperative, and also it contained no provisions about the position of women on party lists, many parties attempted to fulfill the requirement to propose 30 percent women candidates in their lists for elected bodies at all levels. However, there are still many problems concerning the comprehensive implementation of the quota regulation. The greatest obstacles are due to institutional design of electoral system, the structure of political parties and gender ideology.27 In addition, the introduction of a limited open-list system in the 2004 election might help women to get a bigger chance to be elected as a member of parliament. A limited open-list system means that voters could vote for a party and also a candidate from that party; and a candidate who received a predetermined number of individual votes would be elected even if not placed high enough on the party list. However, in practice, not many candidates got enough individual votes from the voters.28 Quotas for women are actually tools to put an end to the exclusion of women from decision-making by helping them overcome the obstacles that prevent them from entering politics in the same way as their male colleagues. Moreover, in Indonesia, more women joining politics would have real effects on policy-making that cannot wait. Therefore, gender quota legislation is an effective tool to facilitate the election of women to Indonesian legislative bodies (national, provincial, and district levels) in the short or medium term.
95
96
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Indonesia has used proportional representation as its electoral system for parliamentary elections since the first election in 1955 with an open list in 1955 and a closed list during the Suharto era up to the 1999 election,29 while in the 2004 election and a semi-open list system was used.30 For a country in democratic transition like Indonesia, proportional representation is quite suitable because parties are represented in the legislature in exact proportion to the vote, which derive representatives from various segments within the society,31 including women’s representation. Regarding the women’s quotas, the election Law No. 12/2003 provides that political parties may nominate candidates for each electoral district, giving consideration to representation of women of at least 30 percent. However, the 30 percent quota for women in party lists of candidates is noncompulsory. Political parties are only encouraged to consider nominating women for 30 percent of their candidates’ lists. Part one of article 65 of the Law states that “every Political Party in the election may propose candidates for members of the national, provincial and local parliaments for each electoral district with consideration for at least 30 percent of women’s representation”. From this provision, it is clear that implementation of the quota system is really dependent on the will of the political parties. There are no sanctions against parties that do not implement the law. The law on general election (No. 12/2003) follows a semiopen list system of proportional representation. In this system one candidate can win a seat in parliament if he/she can achieve an allotment number (‘the Vote Division Number’ or BPP, Bilangan Pembagi Pemilih) calculated as the number of votes divided by seats allocated for the electoral district where the candidate contests. Regardless of the position of the candidate on his/her party’s list, he/she can be elected to the parliament if he/she achieves the BPP.32 Therefore, in this system, a voter could vote for both the party and the candidates or for the party only. However, vote for the candidate without the party was not accepted.33 As a result, there was more hope for an individual candidate to be elected to parliament as long as he/she could
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
achieve the BPP. If the candidate cannot achieve the BPP, his/ her number of votes will go to the candidates in higher positions on his/her party’s list.34 However, achieving the BPP may not easy because of the large number of parties: 24 contesting the election in 2004. Therefore, a candidate’s position on the list becomes very important in determining the possibility of his or her being elected.35 Candidates who ranked first in votes may not reach the BPP; but if their party has reached the BPP, the candidate is automatically elected. Only first ranked candidates benefited from this system, so competition for first rank within the parties was very strong.36 Although the list system of proportional representation has been consistently used and the women’s quota law has been implemented, the percentage of female members of national parliament has never been higher than 13 percent. Certainly many other factors contribute to this situation, such as the level of democracy in the country or gender ideology as will be explained below. C. Women’s Situation in Indonesia Indonesia is a large and extraordinarily diverse country, whose population of some 220 million people is spread over thousands of islands with about three hundred ethnic groups, among which the most important and wide-spread is Javanese. With regard to the religious life, most of the major world religions are represented in Indonesia, besides local religions and animistic beliefs.37 Among these faiths, Islam constitutes about 87 percent of the population; making it the largest religious group in the country, and dominating people’s lives considerably.38 Moreover, Indonesia is culturally very different from the Middle East or west or south Asia, particularly related to a tradition of greater freedom for women in public places.39 As mentioned above, the social and political dominance of the Javanese is a feature of Indonesian society. Javanese society, along with its culture and tradition, dominates most of the Indonesian society in general. The cultural hegemony of Javanese in Indonesian society happens because of political
97
98
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
supports, formal education system and the media. Javanese values, views and lifestyle have become the source and standard reference for many of the ideals and values of the larger community, not to mention the entire modern Indonesian society.40 In Javanese view, women’s destiny is primarily centered on a women’s role as wife and mother. There is a common cultural justification for women’s subordination in Javanese culture where women (wives) are defined as a “background companion” or the better one “the companion at the husband’s side”.41 This maxim reminds them that women’s role is to sit behind her husband (both a literal and figurative custom) and support him as he needs. This gender conception has remained unchanged and even reinforced by Islam. Many Indonesian Muslims believe that according to Qur’an Surah An-Nisa’ 34 if women (wives) fail to respect this obligation, men (husbands) have the right to beat them.42 Therefore, Indonesian society in general is actually influenced dominantly by the Javanese culture, which is supported by traditional Islamic traditions and the state’s intervention in determining people’s gender roles. The influence of Javanese culture, religious beliefs and state’s gender ideology, in which their patriarchal value systems predominantly discriminate against women, are obviously responsible for the continuing considerable influence of this ideal in the way it subordinates women to men. However, democratization gives women new important opportunities to act as citizens of a democratic state.43 For Indonesian women, this opportunity came when Suharto’s authoritarian, patriarchal regime ended its power in 1998, and Indonesia began a new process of democratic transition. Indonesian women had to define their roles, citizenship and participation in a more democratic government, tasks largely met through their vigorous social-movement activism. As a democratic country, the Indonesia’s Constitution guarantees equality before the law, equal protection of the law, and enjoyment of equal rights and obligations for its entire citizens.44 However, gender discrimination persists in practice. As mentioned above, the status of women in Indonesia is lower
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
than men. Because of this fact, there have been some movements for the improvement of the status of women and a drive for a more gender equal society. Actually, the women’s movement itself and quest for equality has existed since the nationalist movement for Independence began in the early twentieth century until the present days.45 According to Blackburn, the women’s movement in Indonesia that emerged in the early twentieth century was characterized by nationalist movement. 46 Many women’s organizations persisted in trying to create a united nationalist women’s movement, which gained support and solidarity of the male-led nationalist movement at the time, because the nationalist movement and women’s movement shared similar goals in gaining independence.47 When Independence was finally achieved in 1945 the new democratic government gave women’s rights a huge boost granting them legal rights in the constitution, the right to vote, and the right to equal pay. Furthermore, when the new marriage law was enacted in 1974, Indonesian women got their further rights in term of legal protections and greater power than before in the realm of family matters.48 In general, women also became part of the country’s development process as many women were appointed as government officers including decision makers, and when the government took greater supervision over the previously Islamic run court system, more women also held a position as judges, and decisions, particularly about divorce and polygamy, were less arbitrary and weighted against wives.49 Since Indonesia’s independence in 1945, women have been granted constitutionally equal rights with men, but in spite of their heterogeneity as a group, their common role as mothers and housewives is highly glorified in Indonesian context, in which men dominate almost all aspects of social lives.50 This patriarchal understanding of gender roles at the familial level coincided with the national-level ideology of dominance and subordination in such a way as to directly impact women’s lives and bodies.51 Even the government implemented this view in its policies and even national laws. Indonesian laws clearly state that the rights and position
99
100
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
of women are equal to the rights and position of men. However, in practice, and in some regulations, treatment is unequal. Women, or wives in this context, are assigned the nurturing and reproductive role in the private sphere, while men, or husbands, are assigned the productive role in the public sphere. The Marriage Law (Act No.1/1974), which is still in force until present day, is a good example that represents general principles of gender roles at the familial level based on patriarchal values. Article 31 of the law states that “the rights and position of the wife are equal to the rights and position of the husband, both in the family and in society”. However, polygamy may be allowed upon mutual petition to the court. Moreover, “the husband is the head of the family, while the wife is the mother of the household. The husband is the provider of the family.” The husband is expected to protect his wife and “provide for all necessities of life required in a family to the best of his ability,” while “the wife shall manage the household to the best of her ability.” These provisions reflect the sociolegal status of Indonesian women, which of course undermine women’s equality, development, and advancement.52 Moreover, in 1973, the Ministry of Internal Affairs officially implemented the Family Welfare Movement (PKK, Pembinaan Kesejahterann Keluarga) as a central government project. The PKK promoted five major roles for women, which were women as loyal backstop and supporter of her husband, as caretaker of her household, as producer of future generations, as the family’s prime socializer, and as Indonesian citizen.53 The program was highly criticized for its excessive emphasis on women’s role as wife and mother and for its being the primary channel of communication between the state and village women. Moreover, its organizational structure is strictly a top-down model, adopted from the bureaucratic and military hierarchy. The head of the PKK is always the wife of the bureaucratic leader. For example, in any province, the governor’s wife will automatically be the leader of the PKK regardless of her capabilities.54 After the establishment of the PKK, numerous other wives’ associations were formed. These included the Navy Wives’ Association, the Doctors Wives’ Association, the
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Economists Wives’ Association, the Civil Servants Wives’ Association, whose membership was mainly based on a women’s marital status and her husband’s work position, and the organizational hierarchy paralleled the work hierarchy of their bureaucrat husbands.55 Additionally, it was always the wives of high ranking officials who hold leading positions, and therefore lower ranking wives have no opportunity to take part in decision making within the organizational structure. Their members’ primary concern was actually to maintain woman’s traditional societal roles in relation to her husband and family, and to support her husband in the workplace environment.56 Therefore, a strong motherhood ideology, which means how to be a good and subservient wife, a dedicated mother for the children, and the nation, was the dominant focus of these associations.57 By forming this project, Suharto regime could ensure the political loyalty of the wives of civil servants, while at the same time controlling them in order to secure political stability.58 Indonesian women’s rights activists, scholars and intellectuals, for a long time criticized the ways Suharto’s policy put women in a secondary status in society as a mother and wife. Since the early 1980s, many of these activists and intellectuals worked with non-governmental organizations to implement a variety of strategies and programs aimed to stimulate people to think critically about how their conceptions of family and gender roles were influenced and manipulated by the government’s policy.59 Among their practices, gender activists hold public campaigns through newspaper and magazine editorials, television and radio talk shows, and seminars to promote women’s rights and deconstruct constraining ideologies.60 Suryakusuma, as one of the gender activists, overtly criticizes the Suharto regime’s gender ideology. She suggested that the state’s gender ideology, which tended to domesticate women, had been spread throughout Indonesia by non-political women’s organizations such as the PKK. Suryakusuma argues that this ideology tended to be urban and upper-middle class oriented, because it promoted activities and values which were irrelevant to the lives of poor rural women who mostly must
101
102
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
work for their survival and do not have time to join in such activities such as cooking, knitting and sewing classes. She also criticizes this ideology for overlooking many aspects of rural life such as a large number of female-headed households, the high rate of divorce, desertion, migration and unemployed husbands. This ideology, she argues, views women merely as male dependants and therefore denies their autonomy as widows, divorcees and single women.61 Suryakusuma also highlighted the negative effects of Suharto regime’s gender ideology, such as the assumption that women were housewives that led women to be regarded as the ‘secondary income earner’, an assumption which was then used to justify lower wages and salaries for women. In addition, she argues, the view that men are the heads of households would exclude women from certain beneficial programs such as credit extensions and income generating programs.62 After the fall of the Suharto regime in 1998, new women’s organizations were mushrooming and more vibrant than ever and engaged in a wide range of activities without the backing of state sponsorship and power. Therefore, governmentsponsored women’s organizations, such as the PKK, had to adapt to a world in which gender ideology has changed and the basis for their membership has become purely voluntary.63 The democratization era in Indonesia since the fall of Suharto’s authoritarian regime in 1998 gives women important new opportunities to act as citizens of a democratic polity. Those new women’s organizations share similar concerns in some aspects, particularly protecting women’s rights and freedoms, and they also have similar agendas of challenging domination of patriarchal values by reinterpreting religious precepts and modernizing cultural traditions. Similarly, not long after the demise of President Suharto, several radical Muslims organizations also appeared in early 2000. Those organizations share similar concerns in some aspects, particularly in the implementation of Shari’a law, and they also have similar agendas of challenging domination and influence of Western countries and Western ideas,64 including gender equality ideas brought about by moderate Muslim women’s organizations.
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
To some extent, their agenda is quite success. This can be seen from a growing number of Shari’a-based regional regulations.65 The shift away from a strong centralized state to regional autonomy based on the districts since the fall of Suharto has enabled some local authorities, which support the Islamist agenda, to enact regional regulations that limit the autonomy of women in regard to dress, travelling, being in public after dark, and denying their rights to sit in a high office.66 The increasing popularity of the striking symbol of gendered Islamic identity, i.e. head covering, is an indication of Islamists’ success in implementing their agenda. Moreover, in the name of the imposition of Shari’a law, in a number of places such as Jakarta and Kendal in Central Java, regional regulations state that only household heads are eligible to join the local government council (BPD), remembering that the 1974 Marriage Law legislates that men are household heads.67 The public debate in 1999 about whether Indonesia as a majority Muslim nation could have a woman president is another case, which indicates that the Islamist agenda actually has existed since in the beginning of reform era in 1998. In fact, many moderate Muslims, which constitute the largest Muslim population in Indonesia, believed that what Islamist tried to implement Shari’a law was actually an Arabization process among them rather than Islamization. However, this situation becomes another challenge for moderate Muslim women’s organizations to implement their agenda to uphold gender equity in the country, besides local cultures which influence the status of women in public life, as already mentioned above. Therefore, it could be said that in the era of Suharto authoritarian regime, Javanese culture dominated; while in the reform era, the Arabic culture, which masqueraded as Islamization, prevailed. The latter was actually considered by many Indonesians as beyond their Muslims’ tradition and originating beyond their culture. D. Indonesian Muslim interpretations on women’s status in social structure Any discussion relating to women in Muslim societies has to take Islamic law into consideration to show that their
103
104
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Islam does or does not give women certain rights. This is because when women’s status in Islam is questioned, most people refer to the sources of Islamic law, which are the Qur’an and prophetic tradition, sometimes including jurisprudence. However, analyzing isolated passages from these sources is not likely to give an accurate portrayal of women’s rights, nor do these sources necessarily reflect actual practice, because every Muslim society has its own culture and tradition that influence the interpretation of Islamic precepts, which is in turn implemented in Muslims’ daily lives. The perceptions of women among Indonesian Muslims in general have been influenced by various elements. One of them is the influence of Javanese tradition in interpreting Islamic precepts and teaching. Many Muslims believe that women are regarded as carnal temptation, for the mythical Eve was constructed as the seducer. The root of the devaluation of women has its source from the belief that Eve was created from Adam’s left rib. Influenced by Javanese culture, many Indonesian Muslims perceive that, unlike men, women are unable to have spiritual power due to their role as mothers and servile wives. It is only males who have the potency to achieve the spiritual power and thus attain a refined life. In the tradition of Java, since childhood, women are trained to be submissive wives rather than mothers.68 According to Javanese culture, “a good woman is one whose place is in the home, being a loyal, submissive and supportive wife, handling the domestic chores and being responsible for the children”.69 The idea of a good woman in Javanese culture is then entrenched in the Indonesian Marriage law No. 1/1974, article 31, as mentioned above, which divides men’s and women’s jobs into two rigid areas, the public and private domain. Moreover, as the Islamic rules allow polygamy, the Indonesian Marriage Law also does in article 3, 4 and 5. In this regards, many Indonesian Muslim scholars mirror Javanese tradition, because one of the social signs of power, according to Anderson, is fertility, the Javanese holds that the possession of a woman is considered a natural attribute of power.70 To evince women’s role as wives and mothers living in private domain, which is of course subordinate status to
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
men, many Indonesian traditional Muslim scholars argue by focusing on a Qur’anic text Sura An-Nisa’ 34. From the official Indonesian translation of the Qur’an,71 the passage reads: Men are the leaders (qawwamun) of women, because Allah has blessed them (men) with more than women and because they (men) spend their wealth on women. Because of this, virtuous women are those who obey Allah and restrain themselves when they are without their husband because Allah will protect them. Women who you fear defy you [their husband], admonish them, separate yourself from their bed and beat them (daraba). Many Muslims in Indonesia believe that this verse prescribes that men are the leaders (qawwam) of women. Their argument is also supported by hadiths, which are usually cited and interpreted literally in order to keep women stay in home. One of the hadiths stipulates that “women should have their husband’s permission if they want to go out of their houses into public world, because women’s appropriate place is in the domestic domain”.72 Moreover, female sexuality, for many Muslims’ perception, is seen as being more powerful and destructive than that of a man, and is identified as fitna or chaos. Therefore, according to them, women must be controlled to prevent men from being distracted from their social and religious duties. Another hadith, which is very popular and always cited by Indonesian conservative Musim scholars, even stipulates that “people would not be prosperous if ruled by a woman” (in Arabic: Lan yufliha qaum wallau amrahum imra’ah).73 During the 1999 election period, the Qur’anic passage and those hadiths were hotly debated in public arenas in the context of the statement by some Indonesian Muslim religious scholars that women could not become a president according to Islamic law.74 The controversy of women’s political rights, in this context was women’s rights to leadership roles, erupted when the Indonesian Council of Islamic Scholars (Majelis Ulama Indonesia or MUI) asserted that the popular presidential candidate Megawati Sukarnoputri was not permitted to be president according to Islamic law because she is a woman,75 even though other moderate Muslim scholars had different
105
106
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
interpretation. They believed that the Qur’anic prescription and hadiths cited above to argue against women becoming political leaders were misinterpretations of injunctions relating to domestic affairs.76 A survey carried out in 2002 by the research institute PPIM confirmed such opinion even though it was not represented a majority: 26 percent of respondents believe that a woman cannot be the president of the country, while 7 percent think a woman should not be a member of parliament.77 The public debate about women’s rights to leadership and a survey result above demonstrated the degree to which issues about women’s roles both inside and outside the family contributed to the personalization of political concerns and visions of modernization. The debates whether Indonesia as a majority Muslim nation could have a woman president would seem on the surface to indicate that Islam is an important source of gender inequity in Indonesia.78 Nonetheless, these debates provided gender activists with a timely context in which to encourage people to re-consider their understandings of women’s roles in Islam.79 E. Changing Patterns of Women’s Status in Social Structure in Indonesia Under Javanese culture, supported by literalist interpretation of Islamic prescriptions, Indonesian women were not appropriate to get involved and play a role in political life. Traditional Javanese women were not accustomed to play a part in politics, and had never been encouraged to do so. Politics appeared to be a man’s world in which women did not feel at ease and for which they had no training. Similarly, when Suharto regime used ideology of compulsory motherhood for political control, women were actually de-politicized as housewives and mothers, losing their political rights. However, in recent years, in the period following the demise of the Suharto regime, the opportunity to express political rights have been opened much wider than before, in line with growing awareness about human rights in general. With the rise of an educated middle class, improved communications with the rest of the world and pressure from aid donors, the
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
legitimacy of rights discourse grew in this country.80 Similarly, in the same time there has been a growing number of women’s movement, which makes several women’s groups become more active through the process of struggling for democratic rights in order to achieve the needs of women. The women’s movement is essential to achieve a more gender equal society, both in theory and in practice. Through women’s movements, Indonesian women are expected to get significant achievements and women would be able to do many things for positive social changes, as far as women’s rights are concerned. Many urban women are now educated and able to work outside the home. More women hold good positions in government offices and their proportion increases continuously. Education among women is wide spread, employment is also more accessible, and more legal instruments will protect the women’s rights. This condition may provide more space and opportunities for women to represent their needs and interests than previous times. This achievement has improved conditions and opportunities for many women, particularly those of the middle and higher class. The women’s movement has also engaged in collective action that has changed policies and decision-making structures, so that they may better address issues of gender discrimination. In addition to the political change that was followed by reform and democratization, the reinterpretation of Islamic law regarding women’s rights among younger generation of Indonesian Muslims become more prevalent. There is a current tendency among younger moderate Muslims to move in a more progressive direction in gender activism in /Indonesia. This trend has emerged as a result of changing local, national, and global socio-political influences, particularly the rise of progressive Muslim ideas in Indonesia. Based on the vision of making the Islamic religious interpretation more egalitarian and emancipatory, formulated by these activists, the shift has made Islamic texts more dynamic through a constructive dialogue with contemporary human reality which in turn put an agenda of socio-cultural transformation into real activism. The Indonesian moderate Muslims believe how Islam
107
108
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
provides an important place for women in the community, and guarantees their rights. By referring to the sources of Islamic law, Muslim women intellectuals and activists search for and develop strategies to challenge inequalities in their societies, question women’s status in Muslim societies and provide an alternative concept of women’s rights in Islam. They also endorse and promote women’s participation in public sphere, particularly participation in decision-making processes. By doing this, according to Cooke, Muslim women are constructing a cosmopolitan identity with local roots that unites them in a shared culture, diffused by education and modernization, because Indonesian women, along with women from other countries, are increasingly aware of connections among their experiences and those of Muslim women elsewhere.81 The growing number of moderate Muslim women’s organizations is not without challenge. The movements of radical Muslims have also been more intense since democratization in the freer political climate after the Suharto regime, as already explained above. However, in more democratic political atmosphere, many women’s organizations, along with human rights groups, also oppose any regulation that restrict the autonomy of women in public lives and challenge those regional regulations that limit women’s rights by judicial review. Simultaneously, in the era of democratization after the demise of the authoritarian regime, women take more opportunity to negotiate inside and outside parliament for extended rights. 82 Many women become accustomed to exercising and demanding their rights as citizens, and more Indonesian women have been active in attempting to influence government policy.83 This new climate of openness has created scope for women to make political gains, which include, among other things, the outlawing of domestic violence and the recognition of rape in marriage, the electoral quota, and the visible symbol of a woman president.84 Therefore, distinction of private and public domain for women and men, at least among middle-class people, tends to be meaningless in Indonesian society today, where notions of the private scarcely exist and women have always moved and worked freely in public
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
places.85 F. The Involvement of Muslim Women in Political Activities in Post-Suharto Era Women’s participation in politics, as an indicator of equality between women and men, is one of the fundamental rights of women that have been stated in the CEDAW and many other international documents.86 However, in Indonesia, women could only participate in politics if the rights of citizen would be granted and protected by the state. Therefore, when the Suharto’s authoritarian regime resigned in 1998, Indonesian women’s rights advocacy gained a new momentum to push women’s involvement in political life, as already elaborated above. The new advocacy of the post-Suharto era was coupled with pro-democracy and political participation movements. They quickly discovered that people’s desires for democracy— when it was understood as equal representation and voice for all—could be leveraged to argue for gender equality. Since then, many Indonesian women became involved in political activism. Many newer organizations led by women have appeared around the country, establishing independent groups dedicated to issues of gender equality and human rights.87 Given Indonesia’s recent history of political repression and the Suharto regime’s promulgation of a discriminatory and gendered notion of citizenship, it seems remarkable that there is something of a women’s movement at all.88 Even though those women’s organizations are mainly dominated by middle and upper-class women, and are centered largely on Jakarta, they have been actively promoting the rights of women, including the political rights, through their engagement in various political processes. Their actions have led to the adoptions of a number of measures, and the promulgation of legislation by the Indonesian government. In 2008, two significant policies promoting women’s involvement in political activities were enacted by the Parliament. The first policy is the amendment of electoral law No. 12/2003 (become No. 10/2008) that provides political parties to allocate a 30 percent quota for women candidates on
109
110
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
political party lists and prescribes sanctions to those parties that fail to comply with the provision. The second is the adoption of a “zipper” system, by which political parties have to alternate between men and women candidates throughout the party lists, with at least one woman for every three candidates. However, the second policy was hampered by the Constitutional Court decision stating that the appointment of legislative candidates should be based on the number of votes each candidate receives. This ruling forces women candidates to compete openly with male candidates and negates the hard-fought gains for equal opportunity with men in political life. As women candidates are disadvantaged by several factors, especially cultural, religious and economic factors, this means they must work harder than men to be elected. Women’s lack of access to funds and control over the political party machineries that would help them in running successful campaigns is another challenge for women’s candidate to win seats in the Parliament.89 Achieving the equal opportunity between women and men in the political contestation has always been a complex process. Cultural issues, such as patriarchal culture putting men as the primary decision makers in the society, could obstruct women’s performance in competing for the election. Moreover, the system of open-list proportional representation would also become a difficult task for women because of the expensive nature of the system. G. Conclusion Women are still under-represented in public and political institutions in Indonesia. The long struggle of the women’s movement for equal rights has not been easy, due to the cultural and religious reasons. From the cultural perspective, the Indonesian patriarchal society seems to give the duty of representation to men, and women are expected to comply and be content with the traditional gender roles within the family, in which their duties are taking care of the children, the house, and their husbands. When Suharto’s government was in power, this social expectation was even perpetuated by state gender ideology,
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
which emphasized women’s domestic roles as wives and mothers. A strong motherhood ideology of the Suharto regime put women merely as male dependants, by which women’s dedication as wives and mothers was glorified as an ideal picture of a good woman. For the purpose of regime’s political agenda, women were domesticated and their role as housewives were deemed as the only important role of women in social structure, with men regarded as the household heads. In this type of state’s gender ideology, certain national laws that are contrary to the principle of equality between men and women were enacted and even remain in force until present days, such as law No. 1/1974 on Marriage. The women’s traditional gender roles are undeniable and are perpetuated by a male biased interpretation of the religious texts. As most of Indonesians are Muslim, religious reasons also become a deterrent for women who want to involve in political life and become political representatives. Qur’anic verses are usually incorporated to uphold the unequal relationship between men and women, in opposition to the quest for gender equality. Based on the explanation above, this paper argues that the greatest obstacles to women’s election are found in the Indonesian patriarchal society, which is supported by cultural traditions and gender biased religious interpretation. Women’s participation in political life is persistently based on their traditional and biological role as wives and mothers, which are regarded by many Indonesians as the only important role of women. Moreover, the changing Indonesian policy on electoral system, from semi-open list to full open-list system of proportional representation would become the other big challenge for women to get the equal access and equal opportunities with men in expressing political rights in Indonesia.|*
111
112
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Endnotes Bani Syarif Maula received his B.A. and M.A. in Islamic Law from Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta Indonesia, and an LL.M. from Law School, the University of Melbourne, Australia. He works as a lecturer in Palangka Raya State College of Islamic Studies (STAIN), Central Kalimantan, Indonesia. He can be contacted by email: banisyarifm@gmail. com 1 “Women’s Quotas: How to introduce and implement them better?“, Seminar and Workshop for Southeast Asia Organized by the Friedrich Ebert Stiftung and Gender Development Research Institute (GDRI) Bangkok, Thailand; 6–7 June 2007, retrieved at 15 April 2009, from http://www.fes.de/ aktuell/focus/2/Dokumente/Thailand_Women%20Quota_ Bericht.pdf 2 Hassim, Shireen, “From Presence to Power: Women’s Citizenship in a New Democracy“, Agenda, No. 40, Citizenship (1999), pp. 6-17. 3 Ibid. 4 Ballington, Julie, and Azza Karam (Eds), Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 18. 5 Offenhauer, Priscilla, “Women In Islamic Societies: A Selected Review of Social Scientific Literature“, A Report Prepared by the Federal Research Division, Library of Congress, November 2005, p. 12, retrieved at 15 April 2009 from http:// www.loc.gov/rr/frd/pdf-files/Women_Islamic_Societies. pdf 6 Siregar, Wahidah Zein, “Parliamentary Representation of Women in Indonesia: The Struggle for a Quota“, Asian Journal of Women’s Studies, vol. 11 issue 3, 2005, pp. 36 -72. 7 Ibid 8 Komisi National Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), http://www.komnasperempuan.or.id/ wp-content/uploads/2010/01/profil-komisioner-2010-2014. pdf 9 Parawansa, Khofifah Indar, “Institution Building: An Effort to Improve Indonesian Women’s Role and Status“, in Robinson, Kathryn and Sharon Bessell (Eds), Women in *)
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Indonesia: Gender, Equity and Development, Singapore: ISEAS, 2002, p. 71. 10 Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia“, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 82. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 The second election was not held because the People’s Consultative Assembly, which had been charged to amend the 1945 constitution, was unable to complete its task, and President Sukarno issued a decree in July 1959 declaring that the 1945 constitution was revalidated. At this point, Indonesia became a ‘guided democracy’. The transition to the President Suharto’s government took place without an election. General elections were held in the New Order era in 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 and 1997. The first general election after the toppling down of Suharto was held in 1999. 15 Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia“, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 83. 16 Seda, Francisia SSE, “Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia“, in Ballington, Julie, and Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International IDEA, 2002, p. 93. 17 Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia“, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 83. 18 Seda, Francisia SSE, “Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia“, in Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International IDEA, 2002, p. 93. 19 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 1.
113
114
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Parawansa, Khofifah Indar, “Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia“, in Ballington, Julie, and Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International IDEA, 2002, p. 41. 21 Siregar, Wahidah Zein, “Women and the Failure to Achieve the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System“, Paper Presented at the 20th IPSA World Congress, Fukuoka, 9-13 July 2006, retrieved 20 April 2009 from http://ipsa-rc19.anu.edu.au/ Siregar.ipsa06.pdf 22 People’s Consultative Assembly is a legislative body in Indonesia’s political system, which comprises the members of the People’s Representative Council (the lower house of the legislature) and the Regional Representatives Council (the upper house). 23 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 1. 24 Ibid., p. 104. 25 Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia“, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 83. 26 This law was amended in 2008 and becomes the Law No. 10/2008. However, the provisions regarding women’s quota remain the same, i.e. 30 percent quota for women of the party list of parliamentary candidates. 27 The Friedrich Ebert Stiftung and Gender Development Research Institute (GDRI), “Women’s Quotas: How to introduce and implement them better?“, Seminar and Workshop for Southeast Asia, Bangkok, Thailand; 6–7 June 2007, retrieved at 19 April 2009, from http://www.fes.de/aktuell/focus/2/ Dokumente/Thailand_Women%20Quota_Bericht.pdf 28 Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia“, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005, p. 84. 29 King, Dwight Y., Half-hearted Reform: Electoral 20
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, Westport, Connecticut: Praeger, 2003, p. 31. 30 Based on the General Election Law No. 12/2003. 31 King, Dwight Y., Half-hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, Westport, Connecticut: Praeger, 2003, p. 42. 32 The recent Constitutional Court decisions, December 2008, on the electoral law have changed the rules of the game, which states that the appointment of legislative candidates should be based on the number of votes each candidate receives. 33 Siregar, Wahidah Zein, “Women and the Failure to Achieve the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System“, Paper Presented at the 20th IPSA World Congress, Fukuoka, 9-13 July 2006, retrieved 20 April 2009 from http://ipsa-rc19.anu.edu.au/ Siregar.ipsa06.pdf 34 Chapter X article 107 of the Law No 12/2003 35 Siregar, Wahidah Zein, “Women and the Failure to Achieve the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System“, Paper Presented at the 20th IPSA World Congress, Fukuoka, 9-13 July 2006, retrieved 20 April 2009 from http://ipsa-rc19.anu.edu.au/ Siregar.ipsa06.pdf 36 Ibid. 37 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p.2. 38 Intan, Benyamin Fleming, “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, New York: Peter Lang, 2006, p. 31. 39 Susan Blackburn, “Indonesian women and political Islam”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, Issue 1, February 2008, pp 83-105, at p. 96. 40 Martin van Bruinessen, “Global and Local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto)Vol. 37, No. 2 (1999), pp. 46-63. 41 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 71. 42 Clarissa Adamson, “Gendered Anxieties: Islam,
115
116
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 10. 43 Martyn, Elizabeth, The Women’s Movement in PostColonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy, New York : RoutledgeCurzon, 2005, p. 3. 44 Indonesia’s Constitution uses the term “citizen”, in which both women and men are subsumed. The term ‘citizen’ could mean that the Constitution limits protection only to citizens of Indonesia and excludes others such as migrant workers. Indonesia also participated in the 1993 Vienna Human Rights Conference, but the linkage between human rights and women’s rights has not emerged as a particularly pressing issue. 45 Martyn, Elizabeth, The Women’s Movement in PostColonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy, New York : RoutledgeCurzon, 2005, p. 30. 46 Balckburn, Susan, “Women and the Nation“, Inside Indonesia, April-June 2001, retrieved at 29 May 2009 from: http://insideindonesia.org/content/view/478/29/ 47 Ibid. 48 Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005, pp. 12-15. 49 Balckburn, Susan, “Women and the Nation“, Inside Indonesia, April-June 2001, retrieved at 29 May 2009 from: http://insideindonesia.org/content/view/478/29/ 50 Azeharie, Suzy, Representation of Women in Femina: An Indonesian Women’s Magazine, an MA thesis submitted to Murdoch University, Western Australia, 1997, p. 9. 51 Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 19. 52 Poverty Reduction and Social Development Division, Asian Development Bank, Sociolegal Status of Women in Indonesia, Malaysia, Philippines, and Thailand, The Philippines: Asian Development Bank, 2002, p. 45. 53 Sullivan, Norma, “Indonesian Women in Development:
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
State Theory and Urban Kampung Practice“, in Lenore Manderson (ed), Women’s Work and Women’s role: Economics and everyday life in Indonesia, Malaysia and Singapore, Canberra: Australian National University (ANU) Press, 1983, p. 148. 54 Azeharie, Suzy, Representation of Women in Femina: An Indonesian Women’s Magazine, an MA thesis submitted to Murdoch University, Western Australia, 1997, p. 9. 55 Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen (ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992, p. 226. 56 Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen (ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992, p. 238. 57 Sunindyo, Saraswati, “Murder, Gender, and the Media: Sexualizing Politics and Violence”, in Laurie J. Sears, Fantasizing the Feminine in Indonesia, London: Duke University Press, 1996, pp. 135-6. 58 Sunindyo, Saraswati, “Murder, Gender, and the Media: Sexualizing Politics and Violence”, in Laurie J. Sears, Fantasizing the Feminine in Indonesia, London: Duke University Press, 1996, pp. 135-6. 59 Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 10. 60 Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 10. 61 Suryakusuma, Julia I., Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor Publishing, 2004, pp. 161-188. 62 Ibid. 63 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 29. 64 Umam, Saeful, “Radical Muslim in Indonesia: The Case of Ja’far Umar Thalib and the Laskar Jihad“, Explorations in Southeast Asian Studies, Vol. 6, issue 1 (Spring 2006), retrieved at 15 April 2009 from http://www.hawaii.edu/cseas/pubs/
117
118
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
explore/Umam2006.pdf; also Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 171. 65 The regional regulations that contain Shari’a law are concerned with three broad sets of issues: first, public order and social problems such as prostitution, consumption of alcohol and gambling; second, religious skills and obligations, such as reading the Quran, attending Friday prayers and paying zakat; and third, religious symbolism, including Muslim dress. Salim, Arskal, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratization: The Religious Majority and the Rights of Minorities in the PostNew Order Era“ in Ross H. McLeod and Andrew MacIntyre (Eds.), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, Singapore: ISEAS, p. 126; and Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 21. 66 Some explained that the radicalization was the very product of the authoritarian regimes. In fact this is a common phenomenon among post-colonial Muslim countries in Southeast Asia and North Africa, where Muslim groups who played important role in fighting colonialism were betrayed and even repressed by post-colonial secular governments in Muslim countries. Others pointed to the international politics, especially political escalations between the West and Islamic World in post cold War era, as the main factor triggering radicalism in the country. Candraningrum, Dewi (2006) “Perda Shari’a and the Indonesian Women’s Critical Perspectives“, Bremen, Germany, retrieved at 21 April 2008 from: http://www.asienhaus.de/ public/archiv/PaperPERDASHARI’A.pdf 67 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 168; also Mas’udi, Masdar Farid, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning”, in Lies M. Marcoes-Natsir and Johan Hendrik Meuleman (Eds), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1993, p. 173. 68 Azeharie, Suzy, Representation of Women in Femina: An Indonesian Women’s Magazine, an MA thesis submitted to Murdoch University, Western Australia, 1997, p. 118. 69 Ibid. 70 Ibid., p. 120. 71 The standard of Indonesian translation of the Qur’an is
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
officially translated and published by the Ministry of Religious Affairs. 72 Mas’udi, Masdar Farid, “Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning”, in Lies M. Marcoes-Natsir and Johan Hendrik Meuleman (Eds), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1993, pp. 158-9. 73 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 168; also Mas’udi, Masdar Farid, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning”, in Lies M. Marcoes-Natsir and Johan Hendrik Meuleman (Eds), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1993, pp. 158-9. 74 Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 10. 75 Ibid. 76 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 169. 77 Martin van Bruinessen, “Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democracy”, paper presented at the Third International Conference and Workshop “Indonesia in Transition”, Jakarta, University of Indonesia, August 24-28, 2003, retrieved at 1 May 2009, from: http://www. let.uu.nl/~Martin.vanBruinessen/personal/publications/ Post_Suharto_Islam_and_civil_society.htm 78 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009., p. 21. 79 Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java“, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 5-37, at p. 11. 80 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 99. 81 Cooke, Miriam, “Deploying the Muslimwoman”, Journal of Feminist Studies in Religion, vol. 24, issue 1, pp. 91
119
120
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
-119, at pp. 98-99. 82 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 99. 83 Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, p. 99. 84 Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009, p. 181. 85 Blackburn, Susan, “Women and Citizenship in Indonesia“ Australian Journal of Political Science, Vol. 34, No. 2, July 1999, pp. 189- 204, at p. 191. 86 The CEDAW provides the basis for realizing equality between women and men through ensuring women’s equal access to, and equal opportunities in, political and public life, including the right to vote and to stand for election, as well as to hold public office at all levels of government. States parties agree to take all appropriate measures to overcome historical discrimination against women and obstacles to women’s participation in decision-making processes, including legislation and temporary special measures. United Nations Department of Economic and Social Affairs, “Equal Participation of Women and Men in Decision-Making Processes, with Particular Emphasis on Political Participation and Leadership“, retrieved at 30 April 2009 from: http://www.un.org/womenwatch/ daw/egm/eql-men/index.html 87 Rinaldo, Rachel, “Ironic Legacy: the New Order and Indonesian Women’s Groups“, Outskirts Online Journal: Feminisms along the Edge, volume 10, the University of Western Australia, retrieved at 27 April 2009, from: http://www.chloe. uwa.edu.au/outskirts/archive/volume10/rinaldo 88 Ibid. 89 Satriyo, Hana A., “The Ongoing Struggle for Women’s Political Participation“, In Asia: Weekly Insight and Features from Asia, The Asia Foundation, retrieved at 4 May 2009, from: http://asiafoundation.org/in-asia/2009/03/11/the-ongoing-strugglefor-women%E2%80%99s-political-participation/
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Bibliography Adamson, Clarissa, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java”, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 537. Azeharie, Suzy, Representation of Women in Femina: An Indonesian Women’s Magazine, an MA thesis submitted to Murdoch University, Western Australia, 1997. Balckburn, Susan, “Women and the Nation”, Inside Indonesia, April-June 2001, retrieved at 29 May 2009 from: http:// insideindonesia.org/content/view/478/29/ Ballington, Julie, and Azza Karam (Eds), Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005. Blackburn, Susan, “Women and Citizenship in Indonesia” Australian Journal of Political Science, Vol. 34, No. 2, July 1999, pp. 189- 204. Blackburn, Susan, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Bruinessen, Martin van, “Global and Local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto), Vol. 37, No. 2 (1999), pp. 46-63. Bruinessen, Martin van, “Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democracy”, paper presented at the Third International Conference and Workshop “Indonesia in Transition”, Jakarta, University of Indonesia, August 24-28, 2003, retrieved at 1 May 2009, from: http://www.let.uu.nl/~Martin.vanBruinessen/ personal/publications/Post_Suharto_Islam_and_civil_ society.htm Candraningrum, Dewi (2006) “Perda Shari’a and the Indonesian Women’s Critical Perspectives”, Bremen, Germany, retrieved at 21 April 2008 from: http://www.asienhaus. de/public/archiv/PaperPERDASHARI’A.pdf Clarissa Adamson, “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java”, Anthropological Quarterly, Volume 80, Number 1, Winter 2007, pp. 537. Cooke, Miriam, “Deploying the Muslimwoman”, Journal of
121
122
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Feminist Studies in Religion, vol. 24, issue 1, pp. 91 -119. Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen (ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992. Hassim, Shireen, “From Presence to Power: Women’s Citizenship in a New Democracy‑”, Agenda, No. 40, Citizenship (1999), pp. 6-17. Intan, Benyamin Fleming, “Public Religion” and the PancasilaBased State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, New York: Peter Lang, 2006. King, Dwight Y., Half-hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, Westport, Connecticut: Praeger, 2003. Komisi National Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), http://www.komnasperempuan.or.id/ wp-content/uploads/2010/01/profil-komisioner-20102014.pdf Martyn, Elizabeth, The Women’s Movement in Post-Colonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy, New York : RoutledgeCurzon, 2005. Mas’udi, Masdar Farid, “Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning”, in Lies M. Marcoes-Natsir and Johan Hendrik Meuleman (Eds), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1993. Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005. Offenhauer, Priscilla, “Women In Islamic Societies: A Selected Review of Social Scientific Literature”, A Report Prepared by the Federal Research Division, Library of Congress, November 2005, p. 12, retrieved at 15 April 2009 from http://www.loc.gov/rr/frd/pdf-files/ Women_Islamic_Societies.pdf Parawansa, Khofifah Indar, “Enhancing Women’s Political Participation in Indonesia”, in Ballington, Julie and Azza Karam, Women in Parliament: Beyond Numbers, Stockholm: International IDEA, 2005.
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
Parawansa, Khofifah Indar, “Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia”, in Ballington, Julie, and Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International IDEA, 2002. Parawansa, Khofifah Indar, “Institution Building: An Effort to Improve Indonesian Women’s Role and Status”, in Robinson, Kathryn and Sharon Bessell (Eds), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, Singapore: ISEAS, 2002. Poverty Reduction and Social Development Division, Asian Development Bank, Sociolegal Status of Women in Indonesia, Malaysia, Philippines, and Thailand, The Philippines: Asian Development Bank, 2002. Rinaldo, Rachel, “Ironic Legacy: the New Order and Indonesian Women’s Groups”, Outskirts Online Journal: Feminisms along the Edge, volume 10, the University of Western Australia, retrieved at 27 April 2009, from: http:// www.chloe.uwa.edu.au/outskirts/archive/volume10/ rinaldo Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009. Salim, Arskal, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratization: The Religious Majority and the Rights of Minorities in the Post-New Order Era” in Ross H. McLeod and Andrew MacIntyre (Eds.), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, Singapore: ISEAS, p. 126; and Robinson, Kathryn, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, London: Routledge, 2009. Satriyo, Hana A., “The Ongoing Struggle for Women’s Political Participation”, In Asia: Weekly Insight and Features from Asia, The Asia Foundation, retrieved at 4 May 2009, from: http://asiafoundation.org/in-asia/2009/03/11/theongoing-struggle-for-women%E2%80%99s-politicalparticipation/ Seda, Francisia SSE, “Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia”, in Ballington, Julie, and Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International
123
124
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
IDEA, 2002. Siregar, Wahidah Zein, “Parliamentary Representation of Women in Indonesia: The Struggle for a Quota”, Asian Journal of Women’s Studies, vol. 11 issue 3, 2005, pp. 36 -72. Siregar, Wahidah Zein, “Women and the Failure to Achieve the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System”, Paper Presented at the 20th IPSA World Congress, Fukuoka, 9-13 July 2006, retrieved 20 April 2009 from http://ipsarc19.anu.edu.au/Siregar.ipsa06.pdf Sullivan, Norma, “Indonesian Women in Development: State Theory and Urban Kampung Practice”, in Lenore Manderson (ed), Women’s Work and Women’s role: Economics and everyday life in Indonesia, Malaysia and Singapore, Canberra: Australian National University (ANU) Press, 1983. Sunindyo, Saraswati, “Murder, Gender, and the Media: Sexualizing Politics and Violence”, in Laurie J. Sears, Fantasizing the Feminine in Indonesia, London: Duke University Press, 1996. Suryakusuma, Julia I., Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor Publishing, 2004. Susan Blackburn, “Indonesian women and political Islam”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, Issue 1, February 2008, pp 83-105. The Friedrich Ebert Stiftung and Gender Development Research Institute (GDRI), “Women’s Quotas: How to introduce and implement them better?”, Seminar and Workshop for Southeast Asia, Bangkok, Thailand; 6–7 June 2007, retrieved at 19 April 2009, from http:// www.fes.de/aktuell/focus/2/Dokumente/Thailand_ Women%20Quota_Bericht.pdf Umam, Saeful, “Radical Muslim in Indonesia: The Case of Ja’far Umar Thalib and the Laskar Jihad”, Explorations in Southeast Asian Studies, Vol. 6, issue 1 (Spring 2006), retrieved at 15 April 2009 from http://www.hawaii. edu/cseas/pubs/explore/Umam2006.pdf
WOMEN’S STRUGGLE ON POLITICAL RIGHTS... Bani Syarif Maula
United Nations Department of Economic and Social Affairs, “Equal Participation of Women and Men in DecisionMaking Processes, with Particular Emphasis on Political Participation and Leadership”, retrieved at 30 April 2009 from: http://www.un.org/womenwatch/daw/egm/ eql-men/index.html “Women’s Quotas: How to introduce and implement them better?”, Seminar and Workshop for Southeast Asia Organized by the Friedrich Ebert Stiftung and Gender Development Research Institute (GDRI) Bangkok, Thailand; 6–7 June 2007, retrieved at 15 April 2009, from http://www.fes.de/aktuell/focus/2/Dokumente/ Thailand_Women%20Quota_Bericht.pdf
125
Riset
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE CHARACTERS
Siti Muflichah *) Abstract: Artikel ini mendiskusikan karya-karya Pramoedya Ananta Toer (PAT). Beberapa karyanya yang monumental bertemakan perempuan kuat yang tabah dan sukses menjalani pahitnya kehidupan. Meskipun PAM hidup di jaman yang perempuan masih dianggap sebagai second creation, PAM sudah menulis tema-tema yang berhubungan dengan usahausaha kemajuan kehidupan perempuan. Bahkan salah satu karyanya yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer merupakan sebuah bentuk protes kerasnya terhadap naasnya kehidupan perempuan, meskipun peristiwa dalam cerita tersebut sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Kata-kata Kunci: Pramoedya’s Reflection, Female Characters
A. Introduction Pramoedya Ananta Toer (PAT) is a well-known Indonesian author who played an increasingly important role in Indonesian literature. He has several works, in the range of short story, Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
novel, essay, semi autobiography, poetry, encyclopedia, and translations. A number of his works have been translated into forty languages and have spread all over the world. PAT’s works have various themes such as about war and human relation. Most of his writing can be classified as socialist realism characteristic. He wrote humanistic themes, critics to the situation where Indonesia was in war, and encouragement to have a better life. Some of the themes describe the strong female characters in war situations as well, and how those characters coped with the life bitterness. PAT has received some awards from overseas. Some experts discuss that he is candidate to receive Nobel award in literature. However, he is criticized as an antidemocrat writer. His involvement to one of organizations under the communist party-associated, people’s cultural organization, (Lembaga Kebudayaan Rakyat, LEKRA) was giving him a bad image; as a writer who opposed democracy. In addition, as the best-known author, he has never been appreciated in his own country. This essay would argue that PAT’s works are as reflection on his critics to human degradation, especially related to woman issues. B. Discussion a. Brief biography of PAT PAT was born in Blora, 6 February 1925. He was the eldest of 9 children from a noble family. His father was a teacher and his mother was a trader. His childhood was in poverty, since that time was in colonial situation, therefore he did not finish his elementary school (Boef, Snoek, & Toer, 2008). Some say he was taking ten year time to finish his elementary school. His mother always encouraged him to study even in abroad. PAT also studied to be a radio operator at Radio Vakschool, which he finished in entirely. However, because of Japanese occupation he never received the certificate. Later on, he received an honorary doctorate from the University of Michigan (http:// www.jawapos.co.id/18apr/koh18ap1.htm)
127
128
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
After Japan came to Java and after his mother died, PAT and his younger sibling went to Jakarta. He learned how to type and got a job at Japanese news agency called, Domei as a stenographer and a journalist. Besides that, he also studied up to class two of Taman Dewasa (Boef et al., 2008). After the Indonesian independence, PAT joined to the Indonesian armed forces to fight colonialism, but not so long he decided to withdraw from the army since he disagreed with the corruption happened in that corps. He was very disappointed with the situation. During these first years of the independence, PAT was briefly imprisoned by the Dutch and the allied army because of his political leanings (Boef et al., 2008). In the beginning of 1947s, PAT worked as a director and a translator of The voice of free Indonesia. This publisher launched his first book, a fragment of Di Tepi Kali Bekasi, The Edge of Bekasi River (Toer, 2003a). But this work did not finish yet since he was arrested and jailed to Bukit Duri. Then he was moved to Edam Island in Jakarta beach for almost two and a half years and he wrote Mereka Yang Dilumpuhkan, They Are Paralyzed (Toer, 1951). In those jails, PAT wrote Perburuan (The Fugitive) and Keluarga Gerilya (Guerrilla Family) which were published in 1950. The first one was based on Indonesian war against Japan’s brutal colonialism (Toer, 1992). Whereas the second one describes how many Indonesians families suffered from the war and it contains moral dilemma in their characters (Toer, 1994). In early 1950s, PAT worked as an editor in the Modern Indonesian Literature, department of the Balai Pustaka. He started to leave his mother tongue, Javanese, and wrote in Bahasa Indonesia (Indonesian language) since he was disappointed with Javanese feudalism (Kurniawan, 1999). According to Vatikiotis (1993), in the 1960s Suharto took over the government of Indonesia. He claims that the United States was behind this since the US did not like Sukarno’s alliance with China. Suharto began an all-out purge of communists and anyone alleged to be communist. Suharto
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
ordered mass executions, massive repression, and created a New Order military regime. In 1961, the army under the command of General A. H. Nasution arrested and sent PAT to the Buru Island prison for his political ideas (Toer, 1991). Although PAT was never a member of the Communist Party, he was imprisoned for 15 years because of his support for Sukarno. He also liked to criticize pre-Suharto Army, especially on 1959 decree, which said that no Chinese merchants were allowed to conduct businesses in several rural areas. Moreover, PAT was targeted because of his articles, which were collected as a book under the title Hoa Kiau di Indonesia (The History of Overseas Chinese in Indonesia). He criticized the way of army regarding with the Chinese problem. PAT disagreed with the Suharto government which banned the Chinese culture such as closing Chinese schools, and banning Chinese books and Chinese New Year celebration (Toer, 1991). For several years after, PAT was placed in a house arrest and had to report weekly to the Indonesian military. The government had taken away the best years of his life, his hearing, his papers, his house, and his writings. After the reformation to remove New Order, his books can be found in every bookstore in Indonesia. There are no banned books anymore. However, he never forgives the government who took everything from him. He argued that it is important to know someone’s history, so there will be no repeating mistakes. He continued to fight his right to write and read freely until he died April 30, 2006 at age 81 because of his poor health (Salmona, 2006). b. Some of PAT’s great works Kranji-Bekasi Jatuh (A Heap of Ashes) (1947) Perburuan (The Fugitive) (1950) Keluarga Gerilya (The Guerrilla Family) (1950) Bukan Pasar Malam (It’s Not An All Night Fair) (1951) Cerita dari Blora (The Story from Blora) (1952) Gulat di Jakarta (A Wrestling in Jakarta) (1953)
129
130
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Korupsi (Corruption) (1954) Midah - Si Manis Bergigi Emas (Midah- The Sweet, Spiked Gold) (1954) Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) Hoakiau di Indonesia (History of Overseas Chinese in Indonesia) (1960) Panggil Aku Kartini Saja I & II (Just Call Me Kartini) (1962) Buru Tetralogy (The Buru Quartet) (1979) Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1983) Jejak Langkah (Footsteps) (1985) Rumah Kaca (House of Glass) (1988) Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute’s Soliloquy) (1995) Arus Balik (The Flow Back) (1995) Arok Dedes (1999) Mangir (1999) Larasati (2000) c. PAT’s work characteristics Regarding PAT’s work characteristics, Kurniawan (1999) states that there are several periods in Indonesian literature. One of the periods is social realism. PAT defined social realism as a fighter literature, where unsuitable reality exists must be changed and the literature gives an answer (Toer, 1963). This was dedicated by PAT as a LEKRA literature. According to PAT (Toer, 1963), LEKRA was born because the revolution in Indonesia failed. This means, Indonesian people did not get anything back from the revolution which was paid with their blood and lives. PAT has unified two kinds of socialist realism, namely patriotic romanticism and creative realism. The former is socialist realism that is formed by a certain condition such as the author knows very well the situation in his or her own country. The author struggles and fights for the land and its
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
people. The last one which also called revolutionary realism means not to teach people to give up to their reality, but to face it and find the solution (Toer, 1963). This is one of PAT’s contributions as an effort to enhance historical awareness. Even though he had no much background of history actually, he had the encouragement. Therefore, in all his works includes Bumi Manusia, (This Earth of Mankind) he put Indonesian history as their settings, which focused on Indonesian nationalism (Toer, 1996). According to Manuba (2003), there are four dominant themes in PAT’s works, especially in his novels. The first is theme about dividing social class, the noble and the have-nots. This can be seen when reading Bumi Manusia (Toer, 1983). The second is about metaphor or making people as same as a thing, and humans have lower dignity. In Gadis Pantai (Toer, 2000) and Midah Si Manis Bergigi Emas (Toer, 2003b), and Inem (Toer & Samuel, 2004) he showed how women at that time were invaluable. The last is about violence, which he described well in Anak Semua Bangsa (Toer, 1982). d. Female strong characteristics in PAT’s works PAT acknowledged that his mother is a prominent figure in his life. He said that everything in his books is what he got from his mother. Strong female character evidence in his fiction is based on his mother, “a person of inestimable value, the flame that burns so bright it leaves no ash” (Toer & Samuels, 2000, p. 11). When he looked back at the past, he saw the Indonesian revolution embodied in the form of a woman, his mother. Toer and Samuels (2004) support this argument that PAT’s mother is the inspiration for the many strong women characters found in many of his works. However, PAT’s mother was weakened physically by tuberculosis and died when she was only 34 years old (http://www.umich.edu/~newsinfo/MT/99/Sum99/ mt9j99.html). According to Teeuw (1997), PAT has the main role as an artist. He struggled for the have-nots who suffer from neocolonialism system. His strength in his works is when he
131
132
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
criticized women condition in Javanese society in feudalism era. One of PAT’s works which critics society is Midah Si Manis Bergigi Emas (Toer, 2003b). In this novel, he criticized Midah’s father, Haji Abdul, who sold his daughter to a married man for his own ambition. Actually, Midah was from a religious and well-known family. Because there were some problems at home, she run away from home and lived in streets in Jakarta. In 1950s, Jakarta was very wild city. She performed as a sturdy woman, never gave up to the situation, even though in late her pregnancy, Midah looked so exhausted. But she never gave up to the tiredness. The wild life in streets should she passed. She should earn living from singing from one house to others. She was called ‘the sweet Midah who had a golden tooth’ in her singer group. Another PAT’s novel which critics the nobility where he came from is Gadis Pantai (The Girl from the Coast), another semi-fictional novel based on his grandmother’s own experience. Volumes 2 and 3 of this work were destroyed along with his library in 1965. Gadis Pantai reflects a woman’s life in Javanese feudalism era, getting marriage by parents’ arrangement in very young age. It illustrates a girl who was forcefully married to a noble man from Rembang at fourteen. When she delivered a baby girl, unfortunately she should leave his husband’s house without having the baby. For a noble man at that time, marriages to common women do not count; such wives are kept around until they produce children or simply cease to amuse him and are then discarded (Toer, 2000). PAT wrote Gadis Pantai was to tell about inequality between men and women. It illustrates the cruelty of Javanese nobility called priyayi. Razif (2007) claims that PAT has argued there was no real humanity in the priyayi. Even though PAT was born from a Javanese family and was educated to be a good Javanese, however later on, PAT grew up as a person who turned on progressive and left his Javanese nobility (Kurniawan, 1999). Razif supports what Kurniawan (1999) claims, that PAT saw the Javanese culture discriminated against humanity such as the noble over the poor, and men over women (Razif, 2007). Therefore, PAT wrote humanity themes in his works. Kurniawan (1999) also argues that PAT’s humanity
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
rooted from Javanese culture, but then it was developed to socialist realism with true and beautiful morality. The humanity aspects of all his works, can be found later on in the forms of history, politics and ideology. More recently, PAT wrote many columns and short articles criticizing the current Indonesian government. One of them is Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer (Young Virgins in the Military’s Grip), a documentary written in the style of a novel shows how Javanese women were forced to become comfort women during the Japanese occupation (Toer, 2001). They were brought to the Buru island where they were sexually abused, and ended up staying there instead of returning to Java. PAT made their acquaintance when he himself was a political prisoner on the Buru Island in the 1970s. In this book, PAT claimed that he wrote this book as a message for Indonesian young girl. He wanted to inform the bad luck experienced by young Indonesian women in the past. This means that the modern young girl should have attention to the bad luck, and this book, according to PAT, as a protest to that condition, even though this story happened in few decades ago (Toer, 2001). In Bumi Manusia (Toer, 1983), the female character was clearly expressed by PAT in order to against male ideology that was dominant (Razif, 2007). This portrait of male domination was described in colonial and Javanese culture. Sanikem, known as Nyai Ontosoroh, the main female character in Pramoedya’s novel Bumi Manusia is a remarkable woman. As a nyai or concubine of a Dutchman during the colonial period, female characters in PAT’s work has been described her as a successful and formidable woman. According to McMillan (2007), she turns notions of female subjugation and dependency at that time. Her ability to push against and past the restrictions of Javanese culture makes her as an unusual female character in postcolonial Indonesian literature (http://insideindonesia. org/content/view/44/29/). Maimunah (2002) also states that Nyai Ontorosoh as strong and brave women whose character has turned the myth of a Ducth mistress. As a matriarchal in her family, Nyai
133
134
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Ontosoroh develops thinking awareness that the struggle for freedom. As a woman who has been educated in the European tradition, she succeeds in demonstrating that women cannot be underestimated by the trade and education world. But this young woman fights to become an independent person. She studies and struggles to win sovereignty over herself, for her children, family, society and people. Nyai Ontosoroh is the story of how character is developed, strong and sovereign and able to confront and resist oppressive power without surrendering either personal or class integrity (Toer, 1983). The other female strong character is found in PAT’s mother disagreement on young marriage for Javanese girls, Inem (Toer & Samuels, 2004). Inem is to depict characters which try to make sense of a war-torn culture haunted by colonialism. Inem, is an eight-year-old girl soon to be married off by her parents for money. But unfortunately, the marriage is not last and she is a nine year old divorcee. Like Midah and Gadis Pantai, Inem is to some extent a victim of the injustice of her social system. When PAT’s mother heard that Inem would get married, she said: ..eight years? Isn’t that a bit young? (Toer & Samuels, 2004, p. 34). It is not right for children to marry. I was eighteen when I got married (p. 35). Their children will be stunned, their health will be poorly affected too (p. 36). Eight years, such a shame (p. 37). Those people have no respect for women (p. 41). Inem is PAT’s short story which is collected in All That Is Gone, was written in the style of social realism. It was a critique of the traditional institutions of child marriage, which is represented by strong characters of his mother who against to it. This is in line what Hatley (1997) claims that female characterization in PAT’ works confronts to the dominant ideology where the works created. By this she means that women in all his works were described as having positive images and roles for Indonesian liberation and heroic. She has argued that in order to solve the problem of gender and nation, the women story should be included.
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
Manuba (2003) comments that an artist is one of those who has high commitment to change the society. It may be from unsocialist to humanist condition. PAT is an artist who devoted his works for humanistic issues. His works are full of message about equality. Manuba asserts that equality which is not only between nobles and the have-nots, but also between women and men. PAT is a phenomenal artist, since not only his works are interesting to discuss but also his critics to the government which leads the banning of his book circulation. PAT’s reflection on inhuman dignity degradation themes can be found in conversations among characters, their comments, and events that happened to characters, and their contemplation. Manuba adds that there is a thought about human fighting to get their human dignity back as well, such as theme about the importance to love others, to have good relation with others without discriminating the social status. In addition, as humans, they need to change their bad attitudes to the better ones and also attitude to help others. e. Controversy over PAT A controversy has erupted in Indonesia over the award of a major Asian literary prize. It was in 1995 when PAT received ‘Ramon Magsaysay Award for journalism, literature, and creative communication arts’ at Manila. This created some protests from Indonesian artist such as Mochtar Lubis and H. B. Jassin. Journalist Mochtar Lubis would return his 1958 Magsaysay award if PAT was allowed to collect the 1995 prize since PAT was a LEKRA leader who opposed democracy. He attacked Lubis and other writers’ creativity and expression in the press (Teeuw, 1997, p. 52). But according to Teew (1997), Goenawan Muhammad was one of who did not protest to the award. He realized that PAT deserved to have the award even though PAT had bad mistakes in the past. Goenawan Mohamad as an Indonesian author and poet, argues that PAT was a witness to the outrages of Indonesian time. A leftist novelist, he was sent in the 1960s by the Suharto regime to the penal island of Buru. During his
135
136
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
worse 14 years time in the island, PAT fought not to be silenced. He managed to finish his singular Buru Quartet of books, a chronicle of Indonesia’s nationalist struggle in the 1920s, as well as two volumes documenting the cruelty of the Indonesian government. Teew (1997) claims that PAT is still the greatest author in Indonesia and in international event. C. Conclusion Women characters presented by Pramoedya Ananta Toer in his work have significant roles in bringing changes of the development of his nation, Indonesia. The role of women in contemporary literature and in cultural struggles has been relevant to the issues raised for the Indonesian contemporary women’s rights movement, and for the struggle for Indonesian national sovereignty. The struggle of Pramoedya Ananta Toer, as an international writer and the struggle for women’s liberation and human rights in Indonesia, is part of an international struggle.
PRAMOEDYA’S REFLECTION ON STRONG FEMALE...
Siti Muflichah
References Boef, A. H. d., Snoek, K., & Toer, P. A. (2008). Saya ingin lihat semua ini berakhir : esai dan wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer (Cet. 1. ed.). Depok: Komunitas Bambu. Hately, B. (1997). Nation, tradition and constructions of feminine in modern Indonesian literature. In Jim Schiller and Barbara Martin Schiller (ed.) Imagining Indonesia: Cultural politics and political culture. Athens, Ohio: Ohio University Centre for International Studies, p. 103-4 Jawa Pos (1999). Nama saya tidak pernah kotor. Retrieved November 14, 2008, from http://www.jawapos.co.id/18apr/ koh18ap1.htm Kurniawan, E. a. (1999). Pramoedya Ananta Toer dan sastra realisme sosialis (Cet. 1. ed.). Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia. Maimunah (2002). Perempuan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer = women and the rise of Indonesian nationalism in Pramoedya Ananta Toer’s “Tetralogi Pulau Buru”. Retrieved November 14, 2008, from http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunairgdl-jou-2004-maimunah-1090-nasionalis&PHPSESSID=33253 00045bcd666fed57e7275fd7d1e Manuba, I. B. P. (2003). Novel-novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi pendegradasian dan interpretasi makna perjuangn martabat manusia. Humaniora, XV(3) McMillan, J. (2007). Female autonomy became a prominent theme in Pramoedya’s writing. Retrieved November 17, 2008, from http://insideindonesia.org/content/view/44/29/ Michigan Today (1991). A chat with Pramoedya Ananta Toer. Retrieved November 9, 2008 from http://www.umich. edu/~newsinfo/MT/99/Sum99/mt9j99.html. Razif, B. (2007). Pramoedya postcolonially: (re-) viewing history, gender, and identity in the Buru tetralogy. Denpasar: Pustaka Larasan. Salmona, M. (2006). Headline News May 01, literary icon Pramoedya died at 81. Jakarta Post. May 01.
137
138
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Teeuw, A. (1997). Citra manusia Indonesia dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Toer, P. A. (1951). Mereka jang dilumpuhkan. Djakarta: Balai Pustaka. Toer, P. A. (1983). Bumi manusia; Dengan penjelasan istilah Bahasa Indonesia (Cet. 2. ed.). Kuala Lumpur: Wira Karya. Toer, P. A. (2000). Gadis pantai : Sebuah roman keluarga (Edisi reformasi ed.). Jakarta: Hasta Mitra. Toer, P. A. (1991). Awakenings. Ringwood, Vic.: Penguin. Toer, P. A. (2001). Perawan remaja dalam cengkeraman militer (Cet. 1. ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Toer, P. A. (2003a). Di tepi kali Bekasi (Cet. 5., rev. ed.). Jakarta: Lentera Dipantara. Toer, P. A. (2003b). Midah, simanis bergigi emas (Cet. 1. ed.). Jakarta: Lentera Dipantara. Toer, P. A., & Samuels, W. (2000). The mute’s soliloquy:A memoir. New York: Penguin. Toer, P. A., & Samuels, W. (2004). All that is gone (1st ed.). New York: Hyperion East. Toer, P. A. (1991). Awakening. Translated by Max Lane. Victoria: Penguin Books Australia Ltd. Toer, P. A. (1994). Keluarga gerilya. Jakarta: Hasta Mitra. Toer, P. A. (1992). The fugitive. Translated by Willem Samuels. Victoria: Penguin Books Australia Ltd. Toer, P. A. (1996). My apologies, in the name of experience. Translated by Alex G. Bradsley. INDONESIA, (61). Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. Toer, P. A., (1963). Realisme sosialis dan sastra Indonesia. Taken from retype, Juni, 1980. Jakarta: no publisher. Toer, P. A. (1983). Anak semua bangsa; Dengan penjelasan istilah Bahasa Indonesia. Melaka: Wira Karya. Vatikiotis, M. R. J. (1993). Indonesian politics under Suharto: Order, development and pressure for change. London and New York: Routledge.
Riset
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN YANG BERKEADILAN JENDER : Sebuah Window Shopping Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin Ulya*) ABSTRACT:Islam is a civilization religion. He is as blessing for all natural content particularly to human being, both men and women. In history, however, women are considered to be second best human being after men so that in reality blessing is not in favour of them. There is internal issue in the relationship between women and men in context of gender, causing the women oftentimes experience injustice or unfair treatment. One of the causes of injustice against women is distortion in understanding al-Qur’an verses, especially those corresponding to relationship between men and women. Nasaruddin Umar states the distortion of understanding is caused by unaccommodated interpreting methodologies. In fact, interpreting method trend of tahlili or tajzi’i, ijmali and muqoron, tend to result gender bias interpretation. Reconstructing method in reading al-Qur’an becomes vital requirement in this time in order to fight injustice of such gender relationship. Interpretation method based on gender justice is expostulated. Moreover, hermeneutics becomes specific choice especially to all feminist interpreters to break through the practices of gender injustice due to inaccurate understanding of Islamic teaching which actually emphasizes on egalitarian principle. Keywords : Hermeneutics, gender justice, Amina Wadud Muhsin
Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
140
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan penting untuk dicarikan solusinya. Ketidakadilan sosial dimaksud biasanya terjadi dengan mengambil bentuk subordinasi, misalnya dalam hubungan antara buruh dan pengusaha, antara rakyat dan pejabat, termasuk antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Terjadinya ketidakadilan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan atau disebut ketidakadilan jender (gender inequalities)1 dalam kenyataannya perempuanlah yang banyak menjadi korban. Representasi konkret dapat dilihat adanya bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik secara psikologis, secara fisik, secara seksual, secara sosial, secara ekonomi, dan lain-lain yang semuaya itu dapat kita lihat dalam sekitar lingkungan kita sendiri, di headline-headline surat kabar, bahkan sekarang juga menjadi bahan berita di media elektronik, seperti : sergap, buser, dan berita kriminal lainnya. Penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan memang banyak faktornya, di antaranya budaya patriarki2 yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk inferior, peniruan anak lakilaki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, frustasi (putus asa dan tak berpengharapan), kebiasaan buruk minumminuman alkohol, narkoba, judi, dan pengaruh pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama.3 Dalam konteks terakhir maka agama, termasuk Islam, mendapatkan sebuah ujian baru karena agama dijadikan ‘kambing hitam’ atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan dimaksud, misalnya: akibat penggambaran laki-laki adalah qowwamun di atas perempuan, perempuan (Hawa) berasal dari tulang rusuk laki-laki (Adam), dan lain-lain. Sesungguhnya secara normatif tidak ada yang membantah bahwa Islam dihadirkan di tengah-tengah manusia untuk menegakkan kemaslahatan, kasih sayang, dan keadilan tanpa pandang bulu. Konsep rahmat li al ‘alamin menegaskan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya komitmen tersebut. Dan lebih tegas lagi bahwa ide tersebut terumuskan dalam 5 (lima) asas perlindungan hak-hak dasar manusia seperti telah diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali dengan istilah dengan istilah al-kulliyah al-khas atau al-dharuriyah al-khams, yakni perlindungan atas jiwa, perlindungan atas agama, perlindungan atas akal atau intelektual, perlindungan terhadap keturunan, dan perlindungan harta.4 Lima hak dasar tersebut bersifat universal yang melekat dalam fitrah manusia. Itu berarti bahwa perwujudan lima hak tersebut haruslah mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit, etnis, dan apalagi jenis kelamin. Atas dasar inilah semua bentuk diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan yang seringkali kita lihat secara historis harus ditolak dan diperangi demi menjunjung tinggi ajaran agama dan kemanusiaan. Adanya distorsi pemahaman atas ajaran Islam dalam alQur’an dalam tataran kenyataan, Riffat Hasan melihat bahwa karena berabad-abad dalam sejarah muslim, sumber-sumber ini (al-Qur’an dan Sunnah) ditafsirkan melulu oleh kaum laki-laki muslim yang merampas (arrogated) tugas untuk merumuskan definisi status ontologis, teologis, soiologis, dan eskatologis kaum perempuan muslim.5 Sedangkan dengan ungkapan lain, Amina Wadud Muhsin mengatakan hal tersebut disebabkan oleh prior text, yaitu persepsi, keadaan, latar belakang penafsir.6 Dengan demikian akibatnya kalau penafsir dalam menafsirkan tidak disertai sikap positif terhadap perempuan maka produk penafsirannya akan bersifat misoginis.7 Di samping prior text, prasangka, hegemoni lakilaki yang mempengaruhi penafsiran, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa adanya distorsi pemahaman disebabkan ketidakmewadahinya metodologi penafsiran yang digunakan. Tren metode tafsir tahlili atau tajzi’i, ijmali dan muqarin ternyata cenderung mengakibatkan produk penafsiran berbias jender. Alasan yang diajukan Nasaruddin bahwa dalam metode penafsiran tersebut tidak mampu untuk menangkap weltanschauung al-Qur’an. Penggunaan metode tersebut cenderung akan meninggalkan penafsiran yang bersifat parsial,
141
142
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
atomistik, dan tidak holistik.8 Upaya memerangi ketidakadilan dalam relasi jender dimaksud maka merekonstruksi metode pembacaan alQur’an yang berkeadilan jender menjadi kebutuhan vital saat ini. Di sinilah peran metode penafsiran yang ramah jender didiskusikan dan hermeneutika9 menjadi pilihan khususnya bagi para penafsir feminis 10 untuk meretas praktek-praktek ketidakadilan jender di lapangan akibat pemahaman yang tidak akurat atas ajaran Islam dan sesungguhnya mengunggulkan prinsip egalitarian.11 Dari kerangka pikir itulah penelitian ini telah dilaksanakan. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalahnya adalah : bagaimana rajutan keterkaitan antara hermeneutika dengan studi al-Qur’an?, bagaimana background kehidupan Amina Wadud Muhsin sehingga dia mengkonstruk metode penafsiran al-Qur’an yang berkeadilan jender?, dan bagaimana konstruksi metodologis hermeneutis yang dikonstruk Amina Wadud Muhsin dalam menafsirkan teks al-Qur’an dan aplikasinya sehingga melahirkan produk penafsiran al-Qur’an yang berkeadilan jender? 3. Kerangka Teoritik Untuk menjawab masalah di atas, diperlukan kerangka teori. Dalam hal ini merunut pada klasifikasi Wardah Hafidz bahwa pada dasarnya gerakan penafsiran al-Qur’an dapat dipetakan menjadi 2 (dua). Pertama, melakukan redefinisi dengan landasan pandangan bahwa teks dan konteks saat wahyu diturunkan berbeda dengan konteks modern kontemporer. Dengan kesadaran sejarah semacam ini maka kebangkitan kembali Islam dalam pandangan ini adalah upaya memahami pesan-pesan dasar dan universal yang dikandung teks dan menjadikannya relevan dengan konteks kontemporer. Berbagai konsep, seperti : keadilan, kesamaan hak, penghormatan kepada kemanusiaan yang merupakan pesan-pesan dasar wahyu dipahami sebagai mempunyai
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya manifestasi yang berbeda dari 15 abad yang lalu. Maka dialog antara teks dan konteks menjadi penting dan menjadikan teks sebagai sesuatu yang dinamis menjawab permasalahan zamannya. Sedangkan yang kedua adalah melihat teks sebagai wajah yang beku dan mati. Teks beserta konteksnya termasuk semua simbol-simbol dan ciri luarnya diyakini sebagai blue print yang harus diwujudkan dalam segala konteks dan zaman. Karena itu pekerjaan besar adalah mengubah konteks. Dalam hal ini, masyarakat modern dan kontemporer harus menjadi sama persis atau paling tidak mendekati konteks ideal masa lalu. Kecenderungan regresif ini menjadikan teks sebagaimana barang mati yang tidak relevan dengan konteks kontemporer kecuali untuk kebutuhan eskapisme. Dalam hal ini maka dinamika zaman dibekukan dan diseret ke belakang.12 Dari dua pemetaan di atas maka model pertama berpeluang lebih besar untuk mendapatkan produk penafsiran yang bervisi kesetaraan dan keadilan jender karena di situ penafsiran lebih bersifat kontekstual dan hermeneutika menjadi satu keniscayaan, basis analisis jender bisa dimasukkan. Lebih lanjut Ghazala Anwar telah menggolongkan jenis penafsiran yang bervisi kesetaraan dan keadilan jender ini menjadi 5 (lima) tanggapan, yaitu : tanggapan apologis, tanggapan reformis, tanggapan transformatif, tanggapan rasionalis, dan tanggapan rejeksionis. 13 Tanggapan apologis meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an dan Sunnah telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, lakilaki dan perempuan, bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing. Tanggapan ini memunculkan 2 (dua) perbedaan, yang pertama mengatakan ada perbedaan yang tak bisa dipungkiri dari kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan keinginan dan kebutuhan perempuan, yang dilayani oleh teks al-Qur’an. Kedua, patriarki di banyak tempat yang menyalahi atau tidak sesuai yang ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah. Argumen yang pertama, bahwa kebutuhan dan keinginan laki-laki dan perempuan berbeda, mungkin bagi
143
144
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
sebagian feminis terasa sebagai cara untuk mempertahankan lembaga-lembaga dan struktur-struktur yang bersifat seksis. Namun yang perlu dicatat, mereka bersikeras menyatakan bahwa al-Qur’an telah memberikan hak-hak tertentu kepada perempuan tetapi justru tidak disadari oleh perempuan sendiri. Selain itu, laki-laki dianggap telah merampas hak-hak tersebut dari para perempuan atau mungkin justru perempuan telah menyerahkan hak tersebut kepada laki-laki karena ketidakpahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Mereka kemudian mengupayakan pengembalian hak-hak yang telah dirampas itu sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Metode yang dipakai oleh para apologis ini adalah metode filologi dan kontekstual. Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan kembali teks al-Qur’an agar berdampak kepada kedua jenis kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks tersebut. Cara ini menurut Anwar relatif tidak membangkitkan emosi kalangan ulama konservatif. Tanggapan reformis tidaklah sama dengan tanggapan yang diberikan oleh para apologis yang menilai pokok persoalan adalah teks-teks otoritatif dan praktik sosial-budaya, maka para reformis menjadikan perbedaan antara teks otoritatif (alQuran ’an dan Sunnah) dengan tafsiran-tafsiran tentangnya. Bagi para reformis bahwa teks-teks otoritatif telah dipahami secara tidak memadai dan disalahartikan. Oleh karenanya teks tersebut tidak bisa hanya dimaknai secara literal namun butuh penafsiran dan metode penafsiran yang digunakan adalah metode filologis dan kontekstual. Tanggapan transformatif, berupaya untuk memperbaharui tradisi secara keseluruhan selagi masih tetap berada di dalam kerangka kerja Islami yang dirumuskan secara tradisional. Mereka sudah menggunakan strategi hermeneutika (klasik) untuk menciptakan ruang penafsiran dan untuk mempertemukan berbagai pertentangan yang muncul, halhal yang membingungkan, atau tegangan-tegangan yang ada dalam teks. Tanggapan rasionalis, menafsirkan teks al-Qur’an dengan berangkat dari misi al-Qur’an yang mengedepankan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya visi keadilan dan kesetaraan, termasuk dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja keadilan dan kesetaraan ini sering hadir dalam satu penghadapan masalah dengan mempertimbangkan dengan konteks al-Qur’an tersebut diturunkan. Sesungguhnya visi keadilan dan kesetaraan dalam al-Qur’an memeng tertata dalam teks-teks yang bersifat konteksual dan sebagai norma-norma etis. Dengan demikian metode yang dipakai para rasionalis dalam menafsirkan alQur’an cenderung memakai metode hermeneutika seraya memperhatikan teks-teks yang bervisi etis. Tanggapan rejeksionis, merupakan tanggapan paling ekstrim. Para rejeksionis ini berpendapat bahwa memang ada teks al-Qur’an yang bersifat seksis, diskriminatif dan misoginis. Tilik rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu argumen apapun di luar itu, dari manapun sumbernya yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan harus ditolak. 4. Metode Penelitian Penelitian ini adalah kajian kepustakaan murni (library research) sehingga sumber yang diperoleh dari buku-buku dan artikel-artikel yang relevan dengan pokok permasalahan melalui metode dokumentasi.14 Karya Amina Wadud Muhsin, yakni Qur’an and Woman, Rereading The Sacret From Al-Qur’an Woman Perspective, yang kemudian telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Wanita Di Dalam al-Qur’an dirujuk sebagai sumber primer, sementara tulisan-tulisan tentang Amina Wadud Muhsin buah pena orang lain peneliti rujuk sebagai sumber sekunder. Setelah sumber data didapat maka dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode historis dan deskriptif analitik. Metode pertama dipakai untuk menyingkap kehidupan tokoh, guna mengetahui bagaimana tokoh tersebut merespon milieu-nya yang nantinya akan tercermin dalam produk pemikirannya. Metode ini juga penting untuk melacak kesinambungan sejarah antara konsep yang dikedepankan tokoh dengan konsep yang hidup sebelumnya.15 Dengan
145
146
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
metode ini Amina Wadud Muhsin sebagai tokoh akan distudi dari aspek kehidupannya yang kemudian berpengaruh dan mengantarkan kepada produk pemikirannya. Metode kedua digunakan untuk mengkaji gagasan tokoh yang menjadi persoalan pokok yang distudi dalam penelitian ini. Langkah dari metode ini adalah dengan memaparkan seluruh pemikiran Amina Wadud terutama terkait dengan permasalahan metode tafsirnya, implikasi dari metodenya ini terhadap penafsiran yang dibangun ketika langsung berhadapan dengan teks al-Qur’an. Dalam memaparkan seluuh pemikirannya maka secara inheren peneliti melakukan penafsiran atas sumber yang dikaji, maka di sinilah metode analitik mutlak digunakan. Sedangkan secara keseluruhan bahwa analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, artinya suatu analisis dengan menggunakan kata-kata dalam menguraikan dan memecahkan permasalahan dengan disertai argumen yang logis untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. B. Hasil Penelitian 1.Hermeneutika dan Studi Qur’an Penelusuran term hermeneutika berdasarkan asal usul katanya, maka hermeneutika berderivasi dari kata benda Yunani yaitu hermeneia, yang kata kerjanya adalah hermeneuien, yang artinya menafsirkan, 16 atau dalam bahasa Inggris terwakilkan dalam kata to interprete. Menelusuri kata awal hermeneutika dari Yunani ini, maka arti hermeneutika sebagai kegiatan menafsirkan atau to interprete ini mengasumsikan pada proses membawa sesuatu untuk dipahami. Dari pengertian ini menyebabkan seringkali istilah menafsirkan disejajarkan dengan istilah memahami. Secara definitif, hermeneutika yang secara umum dapat dipahami sebagai penafsiran atau pemahaman sebagaimana di atas, oleh Palmer didefinisikan dengan proses pengubahan sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya menjadi tahu (the process of bringing a thing or situation from intelligibility to understanding).17Proses menjadi tahu tersebut bisa dicapai melalui rekonstruksi dinamika internal teks, yaitu mengembalikan kemampuan teks agar bisa memproyeksikan sesuatu yang ada di luar dirinya dalam merepresentasikan teks tersebut di dunia, tempat dia berada.18 Kegiatan menafsirkan secara umum meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu linguistic formulation atau pengekspresian pikiran-pikiran seseorang ke dalam tingkat bahasa, cultural movement atau penerjemahan dari bahasa yang masih asing ke dalam bahasa sendiri yang sudah dikenal, dan logical formulation atau pemberian komentar atas makna yang masih absurd menuju makna yang lebih konkret-eksplisit.19 Menurut Zygmunt Bauman sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat bahwa hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remangremang dan kontradiksi sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.20 Menurut Carl E. Braaten, hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana sebuah kata atau peristiwa dalam budaya dan waktu yang lalu agar bisa dipahami dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang ini (the science of reflecting on how a word or event in a past time and culture may be understood and become existentially meaningful in our present situation)./21 Berangkat dari batasan-batasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah : a. Studi tentang penafsiran atau pemahaman b. Penafsiran dalam kerangka hermeneutika muncul karena adanya jarak, baik jarak vertikal (vertical gap), seperti jarak antara Tuhan sebagai Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya maupun jarak horisontal (horizontal gap) yaitu jarak yang muncul akibat adanya beda waktu, beda budaya, beda kondisi sosial, dan seterusnya.
147
148
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
c.
Tujuan penafsiran adalah untuk mendapatkan makna.
Sepanjang perjalanannya, hermeneutika mengalami perkembangan pendefinisian, yang masing-masing definisi merepresentasikan dari sudut mana hermeneutika itu dilihat dan didekati. Adapun perkembangan definisi hermeneutika dari masa ke masa adalah hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel, hermeneutika sebagai metodologi filologi secara umum, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fondasi metodologis geisteswissenschaften, hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan pemahaman eksistensial, hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Istilah lain secara berurutan disebut dengan hermeneutika Bibel, lalu hermeneutika filologis, hermeneutika saintifik, hermeneutika geisteswissenschaften, hermeneutika eksistensial, dan hermeneutika kultural. Dari perkembangan pendefinisian di atas maka hermeneutika oleh Bleicher dapat dipandang dari 3 (tiga) perspektif, yaitu : Pertama, teori hermeneutika. Sudut pandang ini mengkaji hermeneutika sebagai metode yang sesuai untuk menafsirkan teks sebagaimana dirasakan atau dipikirkan penulis atau pengarang teks sehingga penafsir atau pembaca terhindar dari kesalahpahaman. Tujuan hermeneutika ini adalah untuk mencapai makna yang obyektif dan valid menurut ukuran penulis atau pengarang teksnya. Beberapa tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey. Kedua, filsafat hermeneutika. Hermeneutika filosofis memfokuskan perhatiannya pada status ontologis memahami itu sendiri. Hermeneutika filosofis berpendapat dengan tegas bahwa penafsir atau pembaca telah memiliki prasangka atau prapemahaman atas teks yang dihadapi sehingga tidak mungkin untuk memulai sebuah aktivitas penafsiran dan pemahaman dengan sebuah pemikiran yang netral.22 Filsafat hermeneutika tidak bertujuan untuk memperoleh makna obyektif sebagaimana teori hermeneutika melainkan pada pengungkapan (explication) dan deskripsi fenomenologis mengenai dassein manusia dalam temporalitas dan historikalitasnya.23 Implikasinya
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya konsep mengenai apa yang terlibat dalam penafsiran pada akhirnya bergeser dari reproduksi sebuah teks yang sudah ada sebelumnya menjadi partisipasi dalam komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan masa kini. Istilah lain bahwa jika teori hermeneutika bertujuan untuk mereproduksi makna sebagaimana makna awal, yang diinginkan penulis atau pengarang teks, maka filsafat hermeneutika bertujuan memproduksi makna yang sama sekali baru.24 Di antara tokohnya adalah Heidegger dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika kritis. Disebut hermeneutika kritis karena sudut pandangnya yang mengkritik standar konsep-konsep penafsiran yang ada sebelumnya, yaitu teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika. Teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika, meskipun mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang penafsiran, tetapi keduanya ternyata sama-sama mempunyai sikap setia terhadap teks, artinya sama-sama berusaha menjamin kebenaran makna teks. Ini yang kemudian menjadi ladang kritik hermeneutika kritis, yang justru lebih cenderung mencurigai teks karena teks diasumsikan sebagai tempat persembunyian kesadarankesadaran palsu. Hermeneutika kritis lebih mengarahkan penyelidikannya dengan membuka selubung-selubung penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang berlangsung dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Juergen Habermas menempatkan pandangannya pada perspektif ini. Selanjutnya mengikuti Farid Esack bahwa aplikasi hermeneutika dalam studi tafsir al-Qur’an melibatkan 3 (tiga) kerangka dasar, yaitu a. Para penafsir adalah manusia Asumsi ini menyatakan bahwasanya seseorang yang menafsirkan teks kitab suci itu tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak
149
150
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
akan membawa penagaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini dimaksudkan untuk tidak memberikan vonis mutlak benar atau salah kepada suatu penafsiran, namun lebih mengarah untuk melakukan analisa kritis terhadap satu penafsiran. Para penafsir adalah manusia yang membawa “muatanmuatan” kondisi kemanusiaan yang mereka alami. Artinya, setiap generasi muslim sejak masa Nabi Muhammad, sambil membawa “muatan”-nya itu, telah memproduksi komentarkomentar mereka sendiri terhadap Al-Qur’an. Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari setiap generasi. b. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah, dan tradisi Segala aktivitas penafsiran pada dasaranya merupakan satu partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan al-Qur’an juga berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya, dan tradisi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis sering menyatakan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia Islam serta ketidakmampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meningglkan ikatan tradisi dan “kembali kepada Al-Qur’an”. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak selaras dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti berkaitan dengan muatan historisnya. c.
Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya al-Qur’an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan, dan bahasa yang dipakai al-Qur’an. Hal ini tampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyyah. Dalam hubungannnya dengan proses pewahyuan, bahasa, dan isi di satu sisi; serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain, Al-Qur’an tidaklah “unik”. Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu. 25 Berkaitan dengan studi jender, maka pola-pola penafsiran yang berkeadilan jender tidak akan terpenuhi jika seorang penafsir menafsirkan ayat secara literal-tekstual dan berdasar pada sisi partikularitas ayat. Penafsiran yang dilakukan harus masuk pada ide universalitas al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an diwahyukan membawa misi al-’adl (keadilan), al-musawah (kesetaraan), al-ikha (persaudaraan) atas semua makhluk, termasuk laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu penafsiran kontekstual yang menggunakan paradigma hermeneutika menjadi salah satu alternatif yang seringkali dipertimbangkan mencapai pola penafsiran berkeadilan jender. Pola atau model ini menjadi tumpuan karena kerangka dasar atau asumsi dasar hermeneutika memberi peluang untuk itu. 2. Amina Wadud Muhsin Hidup dan Meniti Kariernya Amina Wadud Muhsin adalah salah seorang tokoh feminis muslimah yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1952 di tengah-tengah masyarakat Islam yang waktu itu berjumlah kira-kira lebih dari 3 juta orang dan merupakan salah satu dari kelompok-kelompok agama yang paling cepat berkembang. Pendidikan Amina mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi ditempuh di kota kelahirannya. Dia adalah seorang guru besar atau professor di Commonwealth University di kota Richmond Virginia.26 Amina menguasai beberapa bahasa, di antaranya: Inggris, Arab, Turki, Spanyol, Perancis, dan Jerman. Dia juga sering mendapatkan penghormatan menjadi dosen tamu pada universitas di dalam dan luar negeri, di antaranya: Harvard
151
152
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Divinity school (1997-1988), International Islamic Malaysia (1990-1991), Michigon University, American University di Kairo (1981-1982), dan Pensylvania University (1970-1975). Dia juga pernah menjadi konsultan workshop dalam bidang Islam dan gender yang diselenggarakan oleh Maldivian Women’s Ministry (MWM) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1999. Amina Wadud juga aktif dalam bidang keorganisasian, di antaranya adalah forum SIS (Sister In Islam) Malaysia (1998), sebuah kelompok kajian dan kegiatan di sebuah LSM perempuan kecil yang terdiri atas perempuan professional yang mewakili berbagai macam pekerjaan.27 Ketua koordinator komite perempuan dan anggota dewan konggres (1999-2004), ketua komite gabungan peneliti studi agama dan studi tentang Amerika –Afrika (1996-1997), editor jurnal lintas budaya Virginia Commonwealth University (1996). Sebagai anggota dewan penasehat KARAMA, Muslim Women Lawyers Committee For Human Rights. Dia juga mengabdikan banyak waktunya dalam upaya menegakkan keadilan sosial pada masyarakat barat, selain juga pada masyarakat lainnya dan terutama bagi hak-hak kaum perempuan. Dia juga seringkali diundang untuk berseminar di berbagai belahan dunia mengenai perempuan dalam Islam secara umum, dan perempuan Amerika keturunan Afrika secara khusus, selain itu juga mengenai spiritualitas feminisme dari perspektif Islam. “Sesungguhnya yang membuat Amina demikian adalah kontribusi dari konteks sejarah yang melingkupi kehidupan dirinya, yang sarat dengan pengalaman dan pergumulannya bersama-sama para perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. 28 Dari pengalaman hidupnya ini Amina berdialog dengan al-Qur’an yang produknya adalah sebuah karya monumental yang berjudul Qur’an and Woman, Rereading The Sacret From Al-Qur’an Woman Perspective. Karya ini mencoba menawarkan konstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an yang secara teoritis maupun praktis bervisi adil jender. Edisi pertama karya tersebut dicetak oleh Fajar Bakti Publication, Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya 1992. Karya ini ternyata banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan dengan dibuktikan banyaknya permohonan penerjemahan dan cetak ulang. Penerjemahan dalam bahasa Turki pada tahun 1997, dan ada tawaran yang tidak tuntas untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada tahun 1996, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti dan diberi judul Wanita di dalam Al-Qur’an. Sedangkan buku ini dalam bahasa aslinya telah dicetak ulang oleh Oxford University Press pada tahun 1999. 3. Konstruksi Hermeneutika Amina Wadud Dan Aplikasi Dalam Praktek Penafsiran Menurut Amina Wadud Muhsin, penafsiran-penafsian mengenai perempuan atau tafsir feminis selama ini dapat dikategorisasikan menjadi 3 (tiga) corak, yaitu tafsir tradisional, tafsir reaktif, dan tafsir holistik. Ungkapan Amina : “I put interpretation of woman in the Qur’an into three categories : traditional, reactive, and holistic”.29 Tafsir tradisional adalah tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti : hukum (fiqh), nahwu, shorof, sejarah, tasawuf, dan lain-lain. Model tafsir semacam ini bersifat atomistik, partikular, juz’iyyat. Artinya penafsiran itu dilakukan ayat per ayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial, tidak ada upaya untuk mendiskusikan tematema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Mungkin saja ada hubungan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya, namun ketiadaan penerapan hermeneutika atau metode yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis, atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap welstanschaung al-Qur’an. Lebih lanjut menurut Amina bahwa tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif, ditulis hanya oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman laki-laki yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi, dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di dalamnya sehingga bias patriarkhi yang bisa memicu dan memacu kepada ketidakadilan jender dalam kehidupan keluarga dan
153
154
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
masyarakat dapat diminimalisasikan. Tafsir reaktif yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali bersal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tetapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan (liberation) namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam yakni al-Qur’an Tafsir holistik adalah tafsir yang menggunakan metode penafsiran komprehensif dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas. Setelah Amina Wadud memetakan berbagai macam tafsir dan penafsiran al-Qur’an, kemudian dia mengambil posisi dan mendudukkan dirinya di salah satu kategori, yaitu kategori yang ketiga. Dia menawarkan metode hermeneutika al-Qur’an yang menurutnya merupakan metode baru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain. Maksud dari metode hermeneutika adalah bentuk metode penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat yang terkait dengan 3 (tiga) aspek, yaitu : a. Konteks saat ditulis. Dalam kasus al-Qur’an yakni konteks saat al-Qur’an diwahyukan ; b. Komposisi gramatikal teks ditulis. Maksudnya bagaimana teks al-Qur’an menuturkan pesan yang diwahyukan; dan c. Teks secara keseluruhan, yakni weltansanschaung atau pandangan dunianya. Sering kali, perbedaan pendapat berakar pada perbedaan penekanan terhadap salah satu dari ketiga aspek ini.30 Ketiga aspek tersebut ketika digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an dapat dielaborasikan lebih lanjut dengan cara bahwa setiap ayat yang ditafsirkan akan dianalisis menurut konteksnya, asbab al-nuzul-nya menurut konteks pembahasan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya topik-topik yang sama dalam al-Qur’an, kemudian menyangkut soal bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian al-Qur’an, dan akhirnya menyangkut sikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur’an, menurut konteks weltanschaung atau pandangan dunia alQur’an.31 Di samping itu, Amina juga mencoba menggunakan metode penafsiran al-Qur’an yang pernah dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Seperti perkataannya bahwa : “I attempt to use the method of Qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman”.32 Metode penafsiran Fazlur Rahman, disetujui oleh Amina Wadud, dikenal dengan sebutan hermeneutika gerakan ganda (double movement), yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Secara singkat teknik ini memiliki gerakan-gerakan : Dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan. Gerakan ini terdiri dari 2 (dua) langkah, yaitu : pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu ayat dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana ayat al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyrakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat itu kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah – dengan tidak mengesampingkan peperangan-peperangan Persia, Bizantium akan harus dilakukan. Jadi langkah pertama ini adalah memahami makna al-Qur/’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Sedangkan langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan mengatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum (ideal moral) yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes logis yang sering dinyatakan. Kemudian gerakan kedua, kembali lagi ke masa kini, harus dilakukan dari generalisasi jawaban spesifik yang
155
156
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuantujuan moral sosial umum (ideal moral) ditubuhkan dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa kini. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an secara baru pula. 33 Metode-metode tersebut diaplikasikan dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali menimbulkan persepsi negatif dan bias jender, seperti : ayat-ayat tentang perceraian, poligami, saksi, merawat anak, warisan, dan lain-lain. Berikut ini salah satu contoh produk penafsirannya tentang warisan. Menurut Amina Wadud bahwa berkaitan dengan perolehan warisan yang ’berbeda’ antara laki-laki dan perempuan. Menurut literal al-Qur’an terdapat rumus matematis 2:1, meskipun semula al-Qur’an menyatakan dalam Qs. al-Nisa : 11-12, yang artinya : Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Nisa : 11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sudah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Qs. al-Nisa : 12) Perhatian yang teliti terhadap ayat tersebut, ternyata satu per satu ayat ini menyebutkan satu ragam jenis perbandingan pembagian harta antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataan jika hanya ada satu orang perempuan maka bagiannya adalah separuh harta warisan. Di samping itu perhitungan bagian orang tua, saudara kandung, kerabatkerabat jauh, juga anak cucu dibahas dalam berbagai kombinasi bagian yang menunjukkan bagian perempuan adalah separuh dari bagian pria, bukanlah satu-satunya cara tunggal pembagian harta warisan, melainkan hanya salah satu dari berbagai cara pembagian harta yang mungkin dilakukan. Berbagai variasi pembagian harta warisan menekankan 2 (dua) hal berikut: a. Tidak ada perempuan, seberapa jauh pun perhubungan keluarganya, yang tidak berhak mendapatkan warisan. Tradisi perempuan tidak mendapat warisan
157
158
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
dianggap benar terutama bagi adat istiadat pra-Islam, yang dipelihara sebagian hingga saat ini, sehingga memberikan bagian warisan perempuan kepada kerabat pria, meskipun sangat jauh hubungannya. b. Semua pembagian warisan antara kerabat yang masih ada haruslah adil. Menurut ayat tadi, persamaan dalam pembagian warisan harus pula memperhitungkan pula manfaat (naf’a) harta warisan bagi orang-orang yang ditinggalkan itu. Untuk mengetahui seluruh persyaratan dan aturan alQur’an tentang warisan , hal itu membutuhkan pandangan terhadap detail-detail lainnya yang bisa membawa kita kepada pembagian ulang harta warisan menurut keadaan orang yang meninggal dan siapa yang mewarisinya. Sebelum membagi warisan, perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang berhak mendapat warisan, kombinasinya dan kemanfaatannya. Misalnya jika dalam keluarga terdapat anak laki-laki, dua anak wanita, dan ibu yang harus dirawat dan disokong kehidupannya oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar?. Barangkali keputusannya tidak akan demikian apabila kita mengkaji menfaat sebenarnya harta warisan tersebut bagi orag-orang yang ditinggalkan. Al-Qur’an tidak menguraikan semua kemungkinan ini, tetapi dengan memberikan berbagai skenario, cukup jelas bagi kita bahwa banyak kombinasi yang mungkin terjadi yang harus diperhitungkan agar warisan terbagi secara adil. Terakhir, sepertiga kekayaan dapat diwariskan, tanpa pembatasan siapa orang yang akan memperolehnya dan tanpa mengurangi pembagian kekayaan yang masih ada. Jadi, pembagian warisan tersebut sangatlah fleksibel dan tentu saja adil. Kesimpulannya, masalah warisan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Pembagian untuk keluarga dan kerabat pria dan wanita yang masih hidup; b. Sejumlah kekayaan bisa dibagikan,
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya c. Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-orang yang ditinggalkannya, manfaat bagi yang ditinggalkan dan manfaat harta warisan itu sendiri.34 Contoh lain tentang saksi. Apakah seorang saksi pria sama nilai kesaksiannya dengan dua saksi wanita dan oleh karenanya seorang pria sama baiknya dengan dua orang wanita secara absolut? Sebuah ayat yang berhubungan dengan masalah tadi menyebutkan : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Qs. al-Baqarah : 282)
159
160
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Kata-kata dalam ayat ini tidak menyebut kedua perempuan sebagai saksi, seorang perempuan diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga dia bertindak sebagai mitra bagi yang lainnya, meskipun perempuan yang dihadirkan berjumlah dua, tetapi fungsi masing-masing berbeda. Di samping itu, terdapat pertimbangan konstektual sehubungan dengan kebutuhan adanya lebih dari satu saksi. Tujuannya adalah untuk menyaksikan tidak ada kesalahan yang terjadi - baik sengaja maupun tidak disengaja - dalam kontrak yang tengah dilakukan. Hanya Fazlur Rahman yang agak berbeda dalam mengartikan ‘bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan’ sebagai berikut:‘… kesaksian wanita dianggap kurang bernilai dibandingkan dengan pria, tergantung dari apakah si wanita tersebut punya daya ingatan yang lemah terhadap persoalan finansial, jika wanita tersebut memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keauangan –tak ada salahnya jiika ia juga membuktikan kemampuannya kepada masyarakat, bahwa ia juga mampu sejajar dengan pria. Jika ayat ini dianggap punya makna untuk keadaankeadaan tertentu, maka pendapat itu telah usang. Tetapi Amina tidak menemukan adanya tafsiran yang menyinggung soal kesalahan dalam hal kesalahan yang disengaja itu. Dipanggilnya dua saksi yang diridhai menunjukkan adanya upaya untuk mencegah terjadinya kecurangan. Jika seorang melakukan kesalahan atau dibujuk untuk memberikaan kesaksian palsu, ada saksi lain yang bisa mendukung perjanjian itu. Namum mengingat dalam masyarakat umumnya wanita gamapang dipaksa, jika saksi yang dihadirkan hanya seorang wanita, maka dia akan menjadi sasaran empuk bagi kaum pria tertentu yang ingin memaksanya agar memberi kesaksian palsu. Jika ada dua perempuan mereka bisa mendukung satu sama lain: jika seorang lupa (tudilla) maka seorang lagi dapat mudzakkira (mengingatkan)-nya akan perjanjian muamalah tersebut. Kesaksian tunggal yang terdiri dari dua wanita dengan fungsi berbeda tidak hanya menyebabkan si individu perempuan
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya menjadi lebih berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng keasatuan guna menghadapi saksi lainnya. Disamping itu, seorang pria ditambah dua saksi perempuan tidaklah sama dengan formula dua untuk satu orang, sehingga empat saksi perempuan bisa menggantikan dua saksi pria. Al-Qur’an tidak menyebutkan alternatif ini. Meskipun terdapat hambatan sosial terhadap turunnya ayat-ayat al-Qur’an yakni tak adanya pengalaman dan bisa terjadi pemaksaan terhadap wanita, namun perempuan tetap dipandang sebagai saksi yang potensial. Bahkan meskipun adanya sejumlah hambatan sosial, finansial dan pengalaman namun al-Qur’an tetap mengakui potensi kaum perempuan sebagai saksi. Dalam era modern ini, pertimbangan revolusioner mengenai potensi wanita seharusnya mendorong kemajuan yang lebih besar mengenai kemampuannya memberi sumbangan bagi sistem moral-sosial dan keadilan, serta diakhirinya eksploitasi kaum perempuan. Sistem sosial seperti itu hanya dapat dicapai melalui pemberian kesempatan belajar dan memiliki pengalaman, baik untuk kaum pria maupun perempuan. Terakhir, pertimbangan mengenai saksi dalam ayat tadi khusus tertuju pada jenis tertentu dari perjanjia keuangan. Dan ayat ini tidak dimaksudkan untuk diterapkan sebagai peraturan umum. Jika al-Qur’an tudak menyebutkan jenis kelamin secara khusus sebagai saksi, kaum adrosentik akan menafsirkan dan menyimpulkan secara eksklusif, ayat ini berlaku hanya bagi kaum pria saja. Akibatnya penerapan formula seorang pria sama dengan dua kali wanita bukan hanya diterapkan dalam masalah saksi, tetapi juga aspek-aspek lain yang memungkinkan wanita berpartisipasi. Keterbatasan sehubungan dengan masalah yang menyangkut transaksi keuangan tidak berlaku untuk persoalan lain. Dihadirkannya dua orang perempuan dan seorang pria sebagai saksi dalam transaksi keuangan tidak merupakan peraturan yang berlaku umum pada setiap partisipasi perempuan, tidak pula dalam seluruh jenis kesaksian. Selain itu permintaan akan saksi tidak khusus berkaitan dengan jenis kelamin. Oleh sebab itu siapapun yang berkeyakinan dia
161
162
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
sanggup memberi kesaksian, maka dia memiliki hak untuk menjadi saksi.35 C. Kesimpulan Dari uraian di atas, jawaban-jawaban atas ketiga persoalan bisa disimpulkan sebagai berikut : 1. Hermeneutika secara umum adalah studi tentang penafsiran atau pemahaman. Penafsiran dalam kerangka hermeneutika muncul karena adanya jarak, baik jarak vertikal (vertical gap), seperti jarak antara Tuhan sebagai Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya maupun jarak horisontal (horizontal gap) yaitu jarak yang muncul akibat adanya beda waktu, beda budaya, beda kondisi sosial, dan seterusnya. Adapun tujuan penafsiran atau pemahaman adalah untuk mendapatkan makna. Hermeneutika ini menjadi salah satu alternatif untuk menafsirkan al-Qur’an tatkala sekarang ini umat menusia sedang menghadapi permasalahan kontempr er sebagai akibat akselerasi perkembangan zaman, seperti : HAM, pluralitas, termasuk problem jender. 2. Amina Wadud Muhsin adalah salah seorang tokoh feminis muslimah yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1952. Beliau adalah seorang guru besar atau professor di Commonwealth University di kota Richmond Virginia.36 Di samping sebagai seorang akademisi , beliau juga seorang tokoh gerakan yang bergumul bersama-sama para perempuan AfrikaAmerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. 3. Hermeneutika yang ditawakan oleh Amina Wadud berkenaan dengan studi hermeneutika yang adil atau ramah perempuan adalah sebagai berikut : memperhatikan konteks saat al-Qur’an diturunkan, memperhatikan komposisi gramatikal teks ditulis, dan memperhatikan teks secara keseluruhan, yakni weltanschaung atau pandangan dunianya.
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya Endnotes Jender adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan jenis kelamin yang bersifat biologis, melainkan berdasarkan konstruksi sosial. Victoria Neufelt, Webster’s News World Dictionary, (New York : Clevenland, 1984), hlm.561 2 Patriarki adalah suatu sistem masyarakat yang lebih memihak kaum laki-laki, biasanya dengan ayah atau laki-laki sebagai kepala keluarga, suku, masyarakat. Lihat dalam Peter Salim, The Contamporary English – Indonesian Dictionary, (Jakarta : Modern English Press, 1997), hlm.1366 3 Leaflet Kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diterbitkan oleh Yayasan Krida Paramita Solo 4 M. Imaduddin Rahmat, “Mengembalikan Hak Kaum Perempuan”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi ke-5 Tahun 1999, hlm.1 5 Riffat Hassan, “Muslim Women and Post Patriarchal Islam”, dalam Paula M. Cooley dkk, After Patriarcy : Feminist Transformations of The World Religions, (Maryknoll : Orbis Books, 1991), hlm.39 6 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), hlm.1 Bandingkan dalam Amina WAdud Muhsin, “Qur’an and Women”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam : A Sourcebook, (Oxford University Press, 1998), hlm.127 dinyatakan bahwa “every reading reflect, in part, the intentions of the text, as well as the prior text of the one who makes reading Although each reading is unique, the understanding of various readers of a single text converage on many points”. Dalam bahasa yang berbeda Gadamer juga menyatakan bahwa seluruh prasangka (prejudices) yang diwarisis seseorang tidak dapat dilepaskan dalam usaha membaca sebuah teks. Sebaliknya prasangka itu malah turut mempengaruhi bagaimana sebuah teks itu dibaca. Lihat dalam Georg. Gadamer, Truth and Method, (New York : The Seabury Press, 1975), hlm.151 7 Misoginis tertulis dalam kamus adalah mis-ogyn-ist, 1
163
164
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
berarti hater of women. Lihat dalam AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxford University Press, 1983), hlm.541 8 Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 281-286. Lihat pula dalam Yunahar Ilyas, Feminisme dalam KAjian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 151 9 Biasanya dipahami bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan tentang bagaimana suatu kata atau peristiwa yang ada pada budaya dan waktu masa lampau itu dipahami dan dapat bermakna secara eksistensial dalam situasi kekinian (Hermeneutics is the science of reflecting on how a word or an event in a past time and culture may be understood and become existentially meaningful in our situation). Carl E. Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia : Fortress, 1966), hlm. 131 10 Disebut penafsir feminis adalah laki-laki atau perempuan yang peduli atas perjuangan meretas ketidakadilan jender dalam menginterpretasikan teks-teks agama . 11 Dengan jelas Cak Nur menyatakan bahwa dari paham keagamaan sangat memberi andil dalam mengkonstitusi suatu perilaku dan watak sosial masyarakat yang mewujud dalam tradisi keeragamaan. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987), hlm. 239 12 Wardah Hafidz, “Misogini Dalam Fundamentalisme Islam”, dalam Ulumul Qur’an, Vol.IV, No. III/1993, hlm. 3839 13 Ghazala Anwar, “Wacana Teologi Feminis Muslim”, dalam Zakiyuddin Baidhawy (ed.), Wacana Teologi Feminis : Perspektif Agama-Agama, Geografis, dan Teori-teori , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.7-14. Lihat juga dalam Ahmad Baidlowi, “Madzhab Feminis dalam Penafsiran al-Qur’an”, dalam Esensia, Vol.3, No,1, Januari 2002, hlm. 43-46 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm.181 15 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 77 16 Van A. Harvey, “Hermeneutics”, dalam Mircea Elliade
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya (ed.), Op.Cit., hlm.279. 17 Richard E. Palmer,Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), hlm.13. 18 Paul Ricoeur, From Text to Action,Terj.Kathleen Blamey dan John B. Thomson, (Evanston, Illions: Northwestern University Press, 1991), hlm.18. 19 James M. Robinson, “Hermeneutic Since Barth”, dalam James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr (Ed.), The New Hermeneutic, vol.II, (New York, Evanson and London: Harper and Row Publishers, 1964), hlm.6 20 Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm.126 21 Carl E. Braaten,Op.Cit, hlm.131 22 Josef Bleicher, Op.Cit., hlm.ix 23 Loc.Cit. 24 F. Budi Hardiman, “Hermeneutika : Apa itu?”, dalam Op.Cit., hlm.9-10 25 Farid Esack, Qur’an : Liberation and Pluralism, (Oxford : Oneworld, 1997), hlm. 73-77 26 Charles Kurzman (ed), Op.Cit, hlm. 172 27 Jane I Smith, Op.cit., hlm. 307 28 Charles Kurzman (ed), Op.cit., hlm. 127 29 Ibid, hlm. 128 30 Amina Wadud, Op.Cit, hlm. 19 31 Ibid, hlm. 21 32 Charles Kurzman, Op.Cit, hlm. 129 33 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1982), hlm.6-8 34 Amina Wadud Muhsin, Op.Cit, hlm. 117-118 35 Ibid., hlm.114-116 36 Charles Kurzman (ed), Op.Cit, hlm. 172
165
166
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Daftar Pustaka AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxford University Press, 1983) Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, terj.Yaziar Radianti, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994) ————, “Qur’an and Women”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam : A Sourcebook, (Oxford University Press, 1998) Ahmad Baidlowi, “Madzhab Feminis dalam Penafsiran alQur’an”, dalam Esensia, Vol.3, No,1, Januari 2002 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1992) Carl E. Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia : The Westminster Press, t.th.) Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1982) Farid Esack, Qur’an : Liberation and Pluralism, (Oxford : Oneworld, 1997) Ghazala Anwar, “Wacana Teologi Feminis Muslim”, dalam Zakiyuddin Baidhawy (ed.), Wacana Teologi Feminis : Perspektif Agama-Agama, Geografis, dan Teori-teori , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997) Georg. Gadamer, Truth and Method, (New York : The Seabury Press, 1975) James M. Robinson, “Hermeneutic Since Barth”, dalam James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr (Ed.), The New Hermeneutic, vol.II, (New York, Evanson and London: Harper and Row Publishers, 1964) Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama (Jakarta : Paramadina, 1997), Leaflet Kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diterbitkan oleh Yayasan Krida Paramita Solo Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif alQur’an, (Jakarta : Paramadina, 1999)
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Ulya Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987) M. Imaduddin Rahmat, “Mengembalikan Hak Kaum Perempuan”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi ke-5 Tahun 1999 Peter Salim, The Contamporary English – Indonesian Dictionary, (Jakarta : Modern English Press, 1997) Paul Ricoeur, From Text to Action,Terj.Kathleen Blamey dan John B. Thomson, (Evanston, Illions: Northwestern University Press, 1991) Riffat Hassan, “Muslim Women and Post Patriarchal Islam”, dalam Paula M. Cooley dkk, After Patriarcy : Feminist Transformations of The World Religions, (Maryknoll : Orbis Books, 1991) Richard E. Palmer,Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969) Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991) Victoria Neufelt, Webster’s News World Dictionary, (New York : Clevenland, 1984), Wardah Hafidz, “Misogini Dalam Fundamentalisme Islam” , dalam Ulumul Qur’an, Vol.IV, No. III/1993 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam KAjian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997)
167
Riset
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS BERJUALAN PRODUK-PRODUK ISLAMI DI FACEBOOK Oleh: Primi Rohimi*)
Abstract: The formulation of the problem in this research is what the symbols of gender representation in the activity of selling Islamic products on facebook and understood what is the meaning of these symbols. Gender symbols on islamic products selling activity on facebook is greeting “sist” by each user, profile pictures in every coment, and of course, identical with product photos. To understand the symbols, the semiotic method used in this study. Representation of women is very dominant in the activities of Islamic products to sell on facebook. This can be seen from the product, language, and user profiles.
Keywords: Representasi gender, aktivitas berjualan, produk islami, dan facebook.
A. PENDAHULUAN Facebook adalah website jaringan sosial dimana para pengguna dapat bergabung dalam komunitas yang sama seperti kota, kerja, sekolah, dan daerah untuk melakukan
Primi Rohimi, S.Sos., lahir di Pontianak tanggal 01 Maret 1980. Alumni S1 Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang tahun 2003 ini sedang menempuh studi magister di program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang konsentrasi Komunikasi Islam/ Ilmu Dakwah.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
koneksi dan berinteraksi dengan orang lain. Orang juga dapat menambahkan teman-teman mereka, mengirim pesan, dan memperbarui profil pribadi agar orang lain dapat melihat tentang dirinya. Menurut Sartika Kurniali (2009), facebook adalah social networking. Social Networking adalah penggunaan sebuah website untuk menghubungkan orang-orang yang memiliki kesamaan minat personal atau professional, tempat tinggal, pendidikan di sekolah tertentu dan lainnya (Kurniali, 2009: 1). Seperti halnya sifat media komunikasi elektronik yang memudahkan komunikasi, maka internet yang merupakan media komunikasi elektronik pun memberikan akses kemudahan penggunanya dalam berkomunikasi. Salah satunya adalah komunikasi pertemanan dan relasi dengan fasilitas facebook. Dulu jika kita ingin menjaga hubungan baik dengan teman dan relasi maka kita harus dating,bertemu dan berkomunikasi tatap muka (interpersonal coomunication) maka sekarang kita tidak perlu melakukan semua itu. Cukup dengan koneksi internet dan jari kita tidak terlepas dari mouse dan keyboard maka kita sudah dapat berkomunikasi dengan teman dan relasi. Di Indonesia, komunitas online ini bisa dilihat dalam bentuk situs pertemanan atau jejaring sosial. Situs yang paling terkenal adalah facebook. Walaupun memang ada situs-situs jejaring sosial lain seperti Friendster, Hi5, MySpace dan terakhir ini adalah Twitter. Sebetulnya facebook berawal dari karya Mark Zuckerberg,mahasiswa Harvard yang membuat situs kontak jodoh untuk teman-temannya. Dalam waktu 24 jam sejak “The fb” diluncurkan pada Februari 2004, ada lebih dari 1.200 mahasiswa Harvard yang antri untuk bergabung (Hidayat, 2009: 11). Dari pertemanan dan perjodohan, facebook menjadi media untuk mempopulerkan pribadi seseorang, baik pengguna (user) maupun orang lain. Dari sini muncullah fenomena facebook sebagai media kampanye politik menjelang pemilihan umum. Jika tidak mendekati momen pemilu maka facebook menjadi media iklan produk barang atau jasa. Dari sini
169
170
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
muncul tren berjualan melalui facebook. Jika user sudah memiliki banyak teman yang tergabung dalam account facebook maka kesempatan mengenalkan produknya pada teman-temannya lebih mudah. Bahkan teman dari temannya lagi secara tidak langsung juga terkena terpaan informasi. Inilah yang disebut dengan jaringan sosial. Walaupun memang ada menu khusus di facebook yang ditujukan untuk beriklan (advertising). Keunggulan promosi melalui facebook adalah user sudah mengetahui pangsa pasar promosi karena mereka adalah teman-teman yang dikenal sehingga tingkat keberhasilan promosi melalui facebook sangat tinggi (Yuhefizar, 2009: 68). Sehubungan dengan aktivitas berjualan di facebook ini maka yang menarik dicermati adalah profil-profil para penjualnya. Beberapa produk tidak menunjukkan dengan jelas apakah dijual oleh user laki-laki atau perempuan. Namun sering kali jika produk adalah produk yang dikonsumsi perempuan seperti baju waita, jilbab, kosmetik, asesoris baju, dan pelangsing maka sapaan seperi ”sist” adalah sapaan antara user dengan peminatnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja simbol-simbol representasi gender dalam aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook dan apa saja makna yang dipahami dari simbol-simbol tersebut. Fenomena ini unik karena facebook sudah menjadi suatu media komunitas yang didalamnya bisa dipelajari berbagai hal untuk diambil manfaatnya. Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui simbol-simbol representasi gender dalam aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook dan makna yang dipahami dari simbol-simbol tersebut. Tujuan penelitian ini menjadi hal yang urgen karena implikasinya pada kesetaraan gender. Dengan tercapainya tujuan penelitian ini maka dapat memberi pengetahuan baru akan fenomena facebook. Beberapa manfaat pun bisa diambil. Di antaranya, penelitian ini mempunyai signifikansi pada perkembangan teori komunikasi khususnya pada simbol-simbol komunikasi. Teori semiotika
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
tanda dan maknanya sangat signifikan untuk penelitian ini. Penelitian ini juga memberi signifikansi praktis dalam memanfaatkan facebook untuk hal-hal positif. Dan tentunya bermanfaat sebagai alternatif media baru untuk berdakwah. Dari latar belakang yang sudah dipaparkan di awal maka penelitian ini memiliki kerangka teori yang digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook. Aktivitas berjualan ini tidak hanya ditandai dari bahasa dan gambar promosi namun transaksi jual beli pun bisa dilihat dari coments dalam facebook. Produk-produk islami yang dimaksud dalam penelitian ini adalah barang dan jasa yang memang dikonsumsi oleh orang Islam (muslim) sebagai alat, media dan cara beribadah
171
172
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
atau melakukan syariat Islam. Produk-produk tersebut di antaranya jilbab (kerudung), gamis (baju muslim), buku-buku Islam, kosmetika dan mukena. Dari fenomena berjualan produk-produk islami di facebook ini maka banyak simbol-simbol gender yang terlihat. Gender di sini berbeda dengan maksud gender dalam registration form ketika sign up menjadi user facebook. Gender dalam aplikasi tersebut maksudnya adalah jenis kelamin. Dan simbol gender dalam aplikasi tersebut hanya terlihat pada foto profil yang disediakan facebook. Jika foto profil sudah diedit dengan foto upload kita sendiri maka jenis kelamin user bisa tidak kita ketahui kecuali foto tersebut adalah wajah user. Simbol-simbol gender pada aktivitas berjualan produkproduk islami di facebook di antaranya sapaan “sist” oleh setiap user, foto-foto profil dalam setiap coment, dan tentunya foto produk yang identik dengan pamakainya. Simbol-simbol gender tersebut menghasilkan makna yang bisa kita pahami sebagai representasi gender. Begitu banyaknya aktivitas berjualan produk-produk islami yang akan menjurus pada pengelompokan jenis kelamin tertentu bisa mengarahkan pemahaman pada bias gender. Namun jika kita melihat dengan perspektif enterpreneurship perempuan maka penelitian ini bisa menunjukkan kesetaraan gender. B. ISI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang melihat realitas sebagai suatu yang jamak dan dapat dikonstruksikan serta bersifat holistik. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memahami proses, fenomena, dinamika, perspektif, serta makna-makna yang mendalam (insight) dan menyeluruh (whole) yang berkaitan dengan representasi gender dalam aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook. Penelitian ini merupakan penelitian komunikasi. Konteks komunikasi dalam penelitian ini adalah komunikasi antar budaya. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini) (Moss, 1996: 236). User yang terlibat dalam facebook adalah priadi yang berragam, yang memiliki latar belakang demografi. Karenanya komunikasi yang mereka lakukan dipengaruhi oleh kebiasaan dan nilai (budaya) mereka. Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Purwanto, 2003: 123). Negosiasi dalam aktivitas berjualan di facebook dimulai dari proses promosi (ketika produk dikenalkan), dialog tentang produk, pemesanan dan pengiriman hingga deal (kesepakatan) dan pasca pengiriman dan penerimaan barang. Dalam proses negosiasi tersebut terjadi pertukaran simbol. Di antaranya tentu saja simbol-simbol dalam bentuk bahasa verbal tentang produk dan bahasa satuan dagang (pcs=picis, kodi=20 picis, discount, reseler, ecer, sold out, booked dan lain-lain). Simbol lain adalah foto produk dan simbol bahasa sapaan dan bahasa percakapan, seperti “sist”,”dan “sista”. Untuk memahami simbol-simbol tersebut maka dalam penelitian ini digunakan metode semiotik. Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda yaitu signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang
173
174
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penanda adalah semua simbol aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook, yaitu bahasa promosi, fotofoto produk, dan bahasa percakapannya. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri. Roland Barthes berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Lebih konkritnya, penanda dan petanda dalam penelitian ini adalah: Tabel 1. Penanda dan Petanda No Penanda Petanda J u d u l p r o d u k : Baju muslimah panjang untuk “gamis cantik” perempuan, kata cantik untuk mengundang minat (provokatif) dan 1. positioning produk sebagai produk yang menarik dan bisa menambah menariknya penampilan pemakai. F o t o p r o d u k Untuk memperjelas konsumen dikenakan oleh jika produk tersebut dipakai oleh 2. model perempuan perempuan yang menarik maka produknya pun menarik.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
“Booked ya sist”
3.
Foto profil user 4.
Kata “sist” adalah kependekan dari sister yang merupakan sapaan pada sesama user yang tidak perlu mengenal nama aslinya, yang penting produknya untuk perempuan sehingga perkiraan yang menjual adalah perempuan. Kadang-kadang ada user yang menggunakan foto wajahnya sehingga kelihatan jelas bahwa penjual dan pembeli adalah para perempuan.
Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi
175
176
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Tabel penanda dan petanda di atas masih merupakan makna denotatif. Walaupun petanda merupakan makna konotatif, secara bersamaan menjadi makna denotatif atas makna konotatif tertentu. Makna konotatif dalam penelitian ini seolah-olah menunjukkan bahwa perempuan dalam menjual produk-produk islami pun masih berkutat pada produk untuk perempuan. Yang merespon pun perempuan. Sehingga yang sampai mencapai kesepakatan adalah konsumen perempuan. Makna konotatif lain yang terbentuk adalah aktivitas berjualan produk islami di facebook mayoritas dilakukan oleh user perempuan. Ini bisa dilihat dari profil comments di setiap wall yang menjual produk. Faceboook memang banyak diikuti oleh user perempuan. Di facebook memang banyak sekali yang ditawarkan untuk perempuan. Mulai dari berkumpul dengan komunitas kecantikan, fashion, perawatan anak, sampai bisnis (Nilawati, 2010: 37). Yang khusus untuk muslimah di antaranya adalah account “muslimah cantik onlinestore”, “zaza salon muslimah”, “khusus muslimah”, dan lain-lain. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
Selama ini yang menjadi mitos dalam aktivitas berjualan adalah laki-laki. Laki-laki menguasai perdagangan (ekonomi). Perempuan tidak memiliki kemampuan dan kesempatan dalam berdagang. Nama-nama pengusaha pria yang bisa disebut sukses di antaranya Donald Trumph, Arifin Panigoro, Bakrie, dan lain-lain. Mitos yang selama ini sudah terbentuk di masyarakat adalah bahwa perempuan hanya di rumah dan tidak mampu serta tidak memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas di luar rumah seperti berdagang (berjualan). Ini membuat perempuan menjadi sosok yang tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Penelitian ini menggunakan sudut pandang komunikasi gender. Penelitian ini berupaya menafsirkan perilaku perempuan yang dibentuk oleh konteks sosial. Dalam pembahasan mengenai gender dan komunikasi, Griffin menyadur tiga buah pemikiran sebagai berikut: Genderlect Styles (dari Deborah Tannen); Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood); dan Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae). Deborah Tannent (Griffin, 2008) mendiskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya. Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap, bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar. Perbedaan-perbedaan itu terletak pada kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis, untuk membangun relationship menunjukkan responsif. Komunitas maskulin, menyelesaikan tugas, menyatakan diri, mendapatkan kekuasaan.
177
178
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Perbedaan ke dua, perempuan berhasrat pada koneksi sedangkan laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power). Perbedaan ke tiga, raport talk versus report talk. Perbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan pada publik speaking versus private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah, menyampaikan informasi, meminta persetujuan. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapanharapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan-khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status. Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya. Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya. Sandra harding dan Julia Wood (Griffin, 2008) sepakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perspektif terpisah, dan mereka tidak memandangnya sebagai sesuatu yang setara. Lokasi-lokasi yang berbeda dalam hirarkhi sosial mempengaruhi apa yang dilihat. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan minoritas yang lainnya mempersepsi dunia secara berbeda daripada kelompok yang berkuasa. Standpoint merupakan tempat dari mana melihat pemandangan dunia, apapun sudut pandangnya. Sinonim dari istilah ini adalah perspektif; view point, out look, dan sebagainya. Sandra Harding dan Julia Wood menganjurkan harus ada perjuangan terhadap diskriminasi gender (Christie, 2000). Mereka tidak mencirikan perbedaan gender pada insting atau biologis atau intuisi, tetapi perbedaan itu sebagai hasil harapanharapan budaya dan perlakuan kelompok dalam hal menerima kelompok yang lain. Budaya tidak dialami secara identik, budaya adalah aturan hirarkhi sehingga kelompok yang punya posisi cenderung menawarkan kekuasaan, kesempatan pada anggota-anggotanya. Dalam hal ini teori ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah dibanding posisi laki-laki. Gender adalah sistem makna, sudut pandang melalui posisi dimana kebanyakan laki-laki dan perempuan dipisahkan secara lingkungan, material, simbolis. Berdasarkan analisis feminis, Cheris Kramarae (Griffin, 2008) memandang pembicaraan laki-laki dan perempuan sebagai pertukaran yang tidak setara antara mereka yang mempunyai kekuasaan di masyarakat dan yang tidak. Ia meyakini bahwa kurang bisanya mengartikulasikan diri/memperjuangkan diri dibanding laki-laki di sector public- sebab kata dalam bahasa dan normanorma yang mereka gunakan itu telah dikendalikan laki-laki. Sepanjang pembicaraan perempuan sebagai tentatif dan sepele, posisi dominan laki-laki aman. Kramarae yakin bahwa kebisuan perempuan itu cenderung menipis, kontrol mereka dalam kehidupan kita akan meningkat.
179
180
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Cheris Kramarae mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini yaitu perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja; karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan; untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki. Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian erempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki; perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan; perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan; perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki; perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturanaturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional; secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer dalam masyarakat luas; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa; perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda dari pada laki-laki. Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner. Teori yang dikembangkan oleh Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
Dalam hal komunikasi media terjadi efek-efek yang disebabkan oleh upaya untuk menarik perhatian publik, akan secara berbeda-beda mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku dan propaganda yang bersifat stereotip. Teori yang dikembangkan oleh Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial (http://teddykw1.wordpress.com/2008/03/07/teorirepresentasi-sosial/, diakses pada 20 Januari 2010). Dalam penelitian ini bisa dilihat bahwa representasi perempuan dalam aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook sangat dominan. Ini terlihat dari produk, bahasa, dan profil user. Facebook tidak hanya digunakan oleh perempuan untuk memenuhi kebutuhan komunitasnya, namun juga untuk berbisnis bahkan mengembangkannya menjadi suatu profesi. Jika selama ini perempuan identik dengan pekerjaan rumah maka dengan facebook, perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya bahkan sampai ke manca negara. Ini karena sifat internet yang merupakan media komunikasi maya yang bisa menjangkau khalayak kapan pun dan di mana pun. Di facebook, produk perempuan biasanya ditawarkan dan dijual oleh user perempuan juga. Dan peminatnya pun perempuan. Ketika terjadi kesepakatan jual beli pun akan menarik minat user lain. Produk telepon seluler, sepatu laki-laki dan baju lakilaki identik dengan user laki-laki. Namun aktivitas berjualan produk-produk ini jarang memunculkan coments bahkan jarang terlihat kesepakatannya. C. KESIMPULAN Faceboook memang banyak diikuti oleh user perempuan. Di facebook memang banyak sekali yang ditawarkan untuk
181
182
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
perempuan. Mulai dari berkumpul dengan komunitas kecantikan, fashion, perawatan anak, samapai bisnis. Dalam fenomena berjualan produk-produk islami di facebook makna konotatif yang terbentuk adalah aktivitas berjualan produk islami di facebook mayoritas dilakukan oleh user perempuan. Ini bisa dilihat dari profil comments di setiap wall yang menjual produk. Representasi perempuan dalam aktivitas berjualan produk-produk islami di facebook sangat dominan. Ini terlihat dari produk, bahasa, dan profil user.
REPRESENTASI GENDER DALAM AKTIVITAS... Primi Rohimi
DAFTAR PUSTAKA Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication : Konteks-konteks Komunikasi. 1996. Bandung. Remaja Rosdakarya. Yuhefizar. Berteman dan Berbisnis lewat Facebook. 2009. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Sartika Kurniali. Step By Step Facebook. 2009. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Taufik Hidayat. Lebih Dekat dengan Facebook. 2009. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Andrik Purwasito. Komunikasi Multikultural. 2003. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Em Griffin. A First Look at Communication Theory. 2008. McGrawHill Higher Education. Christine Christie. Gender and language: towards a feminist pragmatics. 2000. Edinburgh University Press. Cheris Kramarae, Dale Spender. Routledge International Encyclopedia of Women: Identity politics to publishing. 2000. Routledge. Eva Sativa Nilawati. Kaya & Gaya Via Facebook. 2010.Penerbit Andi Offset. Yogyakarta http://teddykw1.wordpress.com/2008/03/07/teorirepresentasi-sosial/Ratio dio ex etueraestrud magna faccum velisl ip et autpat velit, quat, sum velesent ipis nostrud magnis num nostrud te magna feugiametum iril do core venit nullaortio conse magnibh et ulput nummod ex eum incilit dolor ipit vel dolutat vendrer sim vel ute te dolor autet, sim zzriureet eum dolut dolum volese feugiamet praeseq uiscidunt augiam iniat acilisi et, sit laorem qui bla feugait wisis niam quismod essit laore dunt alit lummy nonsequisl utpate tet num dolorti onulput patinci lissit, quisis dunt vel utpatet accum quatisisl ullaor incidunt prat do duisi.
183
184
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Em zzrit alit il in et ip eu feugiatuerat adit, quisl ent lortinim quatis aliquipis autpating er atum velent nullametue tatuero euguero odolobor augue magna facilit nisci exero ex ecte dolestrud tat, susci ea faciliquatum zzriliquisi. Odo od tem irit ullut lutat iril ullan henim zzriusci tet nulluptat. Unt laortionsed ea facilla feummy non vendiam conulla faccum esent velis dolorting et alisim velestrud tisim do odolor sequam aciliquat. Acing esse min velesse feum aci et iustrud eugait num ilismod te tincipi smolor ipisi.
Bedah Buku
Perempuan dalam Tragedi Komodifikasi Munawir Aziz *)
Judul Buku : Manipulasi dan Dehumanisasi dalam Iklan Penulis : Kasiyan Penerbit : Ombak, Yogyakarta Cetakan : I, 2010 Tebal : 402 halaman
Di panggung kehidupan negeri ini, perempuan masih terbelenggu budaya patriarkhi yang menghempas kebebasan. Kaum perempuan seakan ditikam oleh tradisi yang mendekonstruksi eksistensi diri, melalui proses dehumanisasi, perempuan terjerembab dalam lubang hitam yang tanpa disadari secara utuh. Walaupun gerakan emansipasi telah berhembus kencang dalam beberapa dekade dewasa ini, akan tetapi perempuan belum sepenuhnya dapat menyuarakan suara nuraninya secara bebas. Kaum perempuan menjadi spoken majority, mayoritas yang diam, tak menggenggam kebebasan menggelorakan aspirasi. Inilah sebentuk sayatan yang menyebabkan luka perempuan sulit tersembuhkan. Bahkan, dalam ruang kapitalisme, perempuan kembali menjadi komoditas yang menguntungkan segelintir pihak. Di jagat iklan, perempuan hanya menjadi obyek untuk menaklukkan pasar komersial. “Tubuh” dan ekspresi perempuan dieksplorasi secara massif untuk memberi berbagai kesan yang mendukung citra iklan. Akan tetapi, penggunaan simbol perempuan dalam ruang gemerlap iklan, belum sepenuhnya menguntungkan kaum hawa. Bahkan, perempuan seakan tertindas secara tidak sadar. Dan, dari keprihatinan semacam ini, buku Manipulasi dan Dehumanisasi dalam Iklan ini lahir. Menurut Kasiyan, sang Munawir Aziz, alumni LPM Paradigma STAIN Kudus, peneliti dan penikmat buku, tinggal di Jogja.
186
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
penulis, di ruang iklan yang merupakan sayap kapitalisme, perempuan menjadi tanda dan komoditas yang bebas digerakkan. Pembentukan citra mengenai tubuh perempuan, menjadi brand image, sebuah produk kecantikan. Pada titik ini, politik pencitraan menemukan muaranya. Simbol tentang kecantikan, tak lagi menjadi multitafsir. Akan tetapi, dimaknai secara subyektif dan membentuk perspektif massa secara menyeluruh. Alih-alih memihak kepentingan perempuan, konstruksi citra semacam ini, pada akhirnya akan menjadikan perempuan sebagai komoditas penting dalam ruang kapitalisme. Dengan demikian, perempuan hanya menjadi sarana yang mengukuhkan kepentingan iklan (hlm. 19). Politik Tubuh Dalam ruang iklan yang serba gemerlap, tubuh perempuan dimaknai dan difungsikan dalam berbagai pencitraan. Hal inilah yang menyebabkan semiotisasi tubuh perempuan menjadi penting. Di relung sistem budaya kapitalisme, dalam analisis Yasraf Amir Piliang (2004), tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (body politics), yang berderak pada tiga tingkat politik; Pertama, ekonomi-politik tubuh (political economy of the body), yakni bagaimana tubuh digunakan dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarkhi). Kedua, politik ekonomi tanda tubuh (political economy of the body sign), yakni bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna dan identitas diri mereka di dalamnya. Ketiga, ekonomi-politik hasrat (political economy of desire), yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi sebuah ajang eksploitasi ekonomi. Bagaimana libido disalurkan, digairahkan, dikendalikan dan dijinakkan dalam berbagai relasi sosial yang menyertai produksi ekonomi. Dari perspektif pembacaan tubuh seperti ini, dapat dimaknai bahwa dalam gemerlap iklan, perempuan hanya menjadi simbol yang melengkapi politik kapitalisme. Sehingga, dengan atau tanpa kesadaran, perempuan hanya menjadi sign (tanda), untuk melengkapi hembusan kampanye iklan.
PEREMPUAN DALAM TRAGEDI KOMODIFIKASI Munawir Aziz
Dan, Kasiyan, dalam buku ini, menganalisis citra perempuan dalam lima lanskap. Yakni, citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Dalam citra pigura, kaum hawa dilukiskan sebagai makhluk yang harus memikat. Perempuan menjadi frame, yang melingkari mitos mengenai keramahan, kecantikan dan seksualitas. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun simbol kecantikan yang lahir dari konstruksi tradisi, seperti rambut panjang, betis ramping mulus, kulit putih dan sebagainya. Hal ini tebentang dalam iklan berbagai kosmetik serta alat kecantikan lainnya. Dalam citra pilar, perempuan dimaknasi sebagai tokoh utama dalam ruang keluarga. Dengan demikian, kaum hawa menempati aras penting dalam memberi perlindungan terhadap kesehatan, pendidikan dan derajat sosial keluarga. Citra inilah yang ditangkap oleh iklan dalam berbagai komoditas konsumsi. Citra peraduan menggambarkan perempuan sebagai obyek pemuas nafsu laki-laki, khususnya pemuasan hasrat seksual. Sehingga seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun konstruksi tradisi, disediakan untuk dinikmati kaum lelaki. Misalnya, dalam adegan iklan yang melukiskan kemolekan perempuan untuk menandingi keperkasaan laki-laki, di dalam ruang senyap keluarga. Sedangkan, dalam citra pinggan, perempuan dimaknai sebagai tokoh penting yang harus bisa memasak dan mengurus rumah tangga, walaupun telah menempuh pendidikan tinggi dan memiliki wawasan kesetaraan. Akan tetapi, dengan teknologi terkini, pekerjaan di dapur, bukanlah sebuah kesulitan, akan tetapi menjadi hal yang menyenangkan. Misalnya, dalam iklan alat masakan, bumbu masak instan, maupun perangkat dapur yang lebih efisien. Citra pergaulan, merupakan citra terakhir yang menandai obyek perempuan dalam iklan. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu ingin tampil beda, dan memiliki konsistensi dalam lingkung sosial. Untuk itu, perempuan hendaknya menggunakan produk tertentu, agar dapat diterima dalam komunitasnya. Untuk itu, physically presentable
187
188
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
merupakan poin penting. Dengan demikian, citra mempesona, menggairahkan dan menawan, menjadi citra yang harus digenggam perempuan. Akan tetapi, berbagai politik pencitraan dengan menggunakan simbol perempuan dalam iklan, pada akhirnya menjadi komprador yang melancarkan tindak represif terhadap kaum hawa. Perempuan menjadi bagian tertindas dalam labirin iklan, serta menjadi korban konsumerisme yang menguntungkan segelintir pihak. Kajian tentang ketertindasan perempuan di ruang iklan, yang diurai dalam buku ini, menjadi rujukan penting untuk mengenali “wajah anggun” kapitalisme yang mendesak perempuan dalam ruang sempit. Buku ini menjadi kajian penting bagi punggawa gerakan kesetaraan, kaum akademis dan elemen masyarakat lain, agar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam ingar-bingar panggung kehidupan.
Bedah Buku
KOKOH DAN KUKUH DENGAN PRINSIP LELUHUR MENUJU MAHLIGAI PERKAWINAN Farida *)
Judul Buku : Nihilisasi Peran Negara Potret Perkawinan Samin Penulis : Moh. Rosyid, M.Pd. Penerbit : Idea Press, Yogyakarta, 2009 ISBN : 978-602-8686-10-5
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Sebagai sarana aktualisasi diri maupun saling tukar informasi, manusia berkumpul dalam sebuah masyarakat (komunitas) yang mempunyai visi dan misi hidup yang sama yakni kenyamanan dan kebahagiaan. Untuk terwujudnya dibutuhkan pemimpin dan anggota masyarakat (syarat berdirinya negara) yang mempunyai kesepakatan (peraturan bersama). Peraturan (kesepakatan) dibuat agar ada keseragaman sikap di antara anggota masyarakat dengan pemegang kekuasaan. Peraturan tertulis (UU) menjadi pedoman sampai berubahnya sesuai dengan perubahan pemerintahan, sanksi dan aturannya jelas. Namun peraturan tidak tertulis (adat) menjadi pedoman turun-temurun, sanksinya bagi “pelanggar” adalah dikeluarkan dari adat. Salah satu peraturan tidak tertulis adalah perkawinan Samin yang telah ditulis M. Rosyid dalam Nihilisasi Peran Negara (Potret Perkawinan Samin). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Samin adalah sekumpulan orang (komunitas) yang meyakini agama Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
190
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
adam dan leluhurnya Ki Samin Surosentiko. Masyarakat Samin “dianggap berbeda” dan merasa “dimarginalkan” karena tidak taat secara utuh terhadap kebijakan negara, di antaranya perkawinannya tanpa dicatatkan (tidak bersurat nikah), hanya adanya wali (orangtua), saksi (tamu undangan yang Samin dan nonsamin dan keluarganya), adanya kedua mempelai, adanya ijab-kabul, mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum nyuwito), dan sekufu (seagama), meskipun mereka telah melebur bersama masyarakat nonsamin. Mengapa harus dicatat? UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan menandaskan bahwa peristiwa kependudukan antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas atau tinggal sementara, perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap, dan peristiwa penting meliputi kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, perceraian, pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, perubahan status kewarganegaraan, ganti nama, dan peristiwa penting lainnya yang dialami seseorang merupakan kejadian penting yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas kependudukan. Hal itu memerlukan bukti administrasi dan pencatatan sesuai ketentuan UU Keyakinan komunitas Samin yang dibangun berdasarkan warisan luhur (baik ucap maupun sikap) dengan tahapan perkawinannya berupa, pertama, Nyumuk adalah kedatangan keluarga (calon) kemanten putra ke keluarga (calon) kemanten putri untuk menanyakan keberadaan calon menantu, apakah sudah mempunyai calon suami atau masih gadis (legan). Jika belum memiliki calon suami, selanjutnya, pihak keluarga calon kemanten putra menentukan hari untuk ngendek. Proses nyumuk tidak disertai calon kemanten putra, biasanya kedatangannya tidak menyertakan banyak saudara atau teman, tidak sebagaimana acara ngendek. Kedua, Ngendek adalah pernyataan calon besan dari keluarga kemanten putra kepada bapak-ibu (calon) kemanten putri, menindaklanjuti forum nyumuk. Pelaksanaan ngendek diawali pernyataan calon kemanten putra kepada bapak-ibunya (di rumahnya/lingkungannya) bahwa dirinya berkeinginan mempersunting seorang putri. Prosesi ngendek, calon kemanten putra tidak mengikuti (menghadiri), sedangkan ibu
KOKOH DAN KUKUH DENGAN PRINSIP LELUHUR Farida
kemanten putra (biasanya) memberi cincin emas kepada calon kemanten putri (calon menantu) sebagai tanda telah diendek (diwatesi). Ngendek dihadiri tokoh Samin, keluarga Samin, dan tetangganya yang berajaran Samin dan non-Samin. Dalam prosesi ngendek, besan (keluarga dari calon kemanten putra) kedatangannya membawa ‘buah tangan’ yang biasanya berupa hasil bumi dan jenis makanan yang biasanya dihidangkan bagi tamu. Setelah tamu dan rombongan dari calon besan (bapak kemanten putra) menempati tempat yang disediakan tuan rumah (bapak-ibu kemanten putri), hidangan berupa makanan ringan (snack) dan minuman disediakan bagi tamu untuk dinikmati (dirahapi) bersama. Setelah prosesi ngendek berakhir, tuan rumah mempersilahkan tamu menikmati hidangan yang disediakan. Dalam prosesi ngendek tersebut, calon kemanten putra tidak ikut menghadiri acara, karena diwakilkan kedua orang tuanya. Adapun penempatan waktu di malam hari dengan pertimbangan, miturut sipatane wong sikep, mergo yen bengi iku kanggo tatane uwong, yen rino kanggo tatane sandang pangan (waktu malam dipergunakan untuk istirahat atau bercengkerama dengan keluarga, sedangkan di siang hari saat mengais rizki). Ketiga, Nyuwito-Ngawulo adalah hari dilangsungkan perkawinan didasari niat kemanten putra untuk meneruskan keturunan (wiji sejati, titine anak Adam). Setelah pasuwitan, biasanya kemanten putra hidup bersama keluarga kemanten putri dalam satu rumah (ngawulo) atau kemanten putri hidup bersama keluarga kemanten putra. Penempatan kemanten putra di rumah ibu kemanten putri atau kemanten putri hidup bersama keluarga kemanten putra (mertua) berdasarkan kesepakatan antarbesan. Kesepakatan tersebut berdasarkan pada realitas kehidupan, maksudnya, jika (besan) hanya memiliki seorang anak putra, biasanya kemanten putri nyuwito di rumah kemanten putra, begitu pula sebaliknya. Selama proses ngawulo, kemanten membantu melaksanakan pekerjaan yang dilaksanakan mertuanya. Rentang waktu nyuwito, tidak dibatasi waktu dan ditentukan oleh kedua kemanten jika sudah cocok. Kecocokan itu ditandai keduanya telah berhubungan intim yang selanjutnya dilakukan tahapan paseksen. Di tengahtengah nyuwito, pada dasarnya masa menuju kecocokan kedua belah pihak, sehingga ditemukan data dua pasangan kemanten, keduanya tidak menemui kecocokan dan tidak melanjutkan
191
192
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
tahapan menuju paseksen. Pelaksanaan nyuwito dengan runtutan acara, pertama, pemandu acara membuka acara: Bapak-bapak, ibu-ibu, soho sederek sedoyo, menawi kulo bade rembakan, nyuwun sewu kulo bade ngaturake salam kulo, gadah printah saking sedulur .., jenengan diaturi kendel saantawis mbok bilih wonten salah anggen kulo kondo nyuwun pangapunten. Kedua, pernyataan besan kemanten putra menindaklanjuti pembuka dari pembawa acara: Amit poro pinisepuh, pak .. (nama besan) aku tekan kene perluku rembukan karo kowe, aku ngendek turunmu, wes tak wujudake, ben bocahe jawab dewe... , Ketiga, pernyataan kemanten putra di hadapan mertua dalam forum pasuwitan: Pak kulo dateng mriki pingin sumerep seger kuwarasane Pak ..., kulo ajeng takon kaleh panjenengan, jenengan gadah turun wong jeneng wedok pengaran ... (calon istri) nopo taseh legan?, keempat, jawaban mertua (bapak kemanten putri, ..):yo le, ijeh legan. Kelima, pertanyaan kemanten putra berikutnya: niku ajeng kulo rukun tatanane wong sikep rabi, enjeng nek pun podo seneng, jenengan pripon pak? nopo lego? keenam, jawaban mertua: yo le... opo kuwe sabar, opo nrimo?, ketujuh, jawaban kemanten putra: ajeng kulo tunggu minongko nyuwito, nyiwita-ake partikel, artikel, pengucap lan kelakuan seng kados ndiko lakoni, kedelapan, respon mertua: yo nek karepmu koyok ngono le, rembukmu titenono dewe, rembukku tak titenane dewe kanggo selawase, kesembilan, pernyataan mertua (ibu kemanten putri):le aku wong jeneng wedok, sak dermo ngrukunake, tak jak nyandang pangan sak wujude, kuwe yo opo sabar?opo yo nrimo?, kesepuluh, jawaban kemanten putra: nrimo mbok?, kesebelas, pernyataan ibu ...: yo gunemu dewe titenono, gunemku tak titenane dewe, kedua belas, prosesi brokohan, pernyataan sesepuh: (menyebut nama tuan rumah) Maskat gadah tembung kaleh kulo gadah niat brokohan, brokohi turun kulo, ditunggu kaliyan (menyebut nama kemanten putra), mugi kangge sak lami-laminipun, niku ndiko tindakke, ketiga belas, pernyataan dari besan (bapak kemanten putra): (menyebut nama besan), iki dino bocah wes ndok kene, dadi wajibmu yo tuturono, / keempat belas, dijawab besan (mertua kemanten putra): yo kang, yo wes tak titeni rembukku, yo wajibku ngandani. Kelima belas, kemanten putri beserta ibunya meninggalkan forum pasuwitan (pasemon) untuk mempersiapkan hidangan kepada tamu undangan. Keenam belas, pernyataan besan
KOKOH DAN KUKUH DENGAN PRINSIP LELUHUR Farida
(bapak kemanten putra) minta pamit untuk undur diri dari forum menuju kediamannya, dan ketujuh belas, pernyataan besan (bapak kemanten putri) mempersilahkan besan dan tamu lainnya kembali ke kediaman masing-masing. Keempat, Paseksen merupakan forum ungkapan kemanten putra di hadapan orang tua (mertua) yang dihadiri kemanten putri, keluarga, dan tamu undangan warga Samin dan nonsamin. Ungkapan tersebut setelah kemanten putra-putri melangsungkan hubungan suami-istri (kumpul) dengan runutan acara, Pertama, pernyataan tuan rumah (besan/bapak kemanten putri) dumateng sedulur kulo sedoyo, poro mbah, poro bapak, ibu, kadang kulo seng pernah nem, jaler miwah estri sing wonten mondoane kulo mriki. Kulo niki gadah kondo mangke do ndiko sekseni. Kulo duwe turun wong jeneng wedok pengaran .., empun dijawab wong jeneng lanang pengaran .., kulo mpon ngelegaake, yen miturut kandane wong jeneng lanang pengaran .. turune tatanane wong sikep rabi pun dilakoni (selanjutnya dijawab forum: nggih). Niku kondo kulo do ndiko sekseni piyambak (dijawab forum: nggih). Kedua, pernyataan kemanten putra (syahadat): kulo duwe kondo ndiko sekseni. Kulo ajeng ngandaake syahadat kulo, kulo wong jeneng lanang pengaran .., toto-toto noto wong jeneng wedok pengaran .., kulo sampun kukuh jawab demen janji, janji sepisan kanggo selawase, inggih niku kondo kulo ndiko sekseni (dijawab forum: yo le..). Ketiga, doa oleh tokoh Samin (nyintreni) untuk keselamatan bagi kedua mempelai. Setelah itu keempat, acara brokohan, tamu mendapatkan hidangan dari tuan rumah. Meskipun perkawinan Samin memiliki ’ritme’ sendiri, terdapat perbedaan yang ditampilkan di buku tersebut di tengah adanya persamaan antara lain: 1. Pernikahan dihadiri kedua orang tua (Ibu berkewajiban merukunkan anak dan Bapak berkewajiban menyetujui anak melaksanakan pernikahan), mempelai berdua, saudara, tokoh samin, dan orang nonsamin terdekat. 2. Pernikahan tidak ada umbul-umbul/dekorasi (formalitas), hanya yang ekonomi mapanlah ada tanggapan tradisional. 3. Mempelai “duduk bersanding di pelaminan” tanpa riasan mencolok.
193
194
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
4. Tidak ada petugas pencatat pernikahan (Petugas KUA). Anggapan masyarakat samin, antara lain: 1. pernikahan adalah untuk mendapatkan kesenangan, ketentraman, kebahagiaan. Semuanya tidak terjamin dalam hukum positif. Bagi masyarakat Samin “janji ucap” adalah selamanya, tidak dapat direvisi karena dibawa sampai mati. 2. prosedur menikah dengan prosedur hukum positif bersifat lama dan berbelit, padahal ketika calon mempelai dan keluarga setuju maka pernikahan segera dilaksanakan (niat baik harus segera dilaksanakan). 3. keyakinannya bahwa nabi Adam ketika menikah dengan Hawa tanpa ada catatan tertulis (petugas pencatat pernikahan). 4. Kehakikian yang dicari. Sisi positif anggapan tersebut adalah: 1. Pernikahan adalah suci dan bagi “pembuat onar” berarti mengingkari janji ucap, yang memberi sanksi adalah dirinya sendiri. 2. Memudahkan pernikahan/tanpa direpotkan oleh surat menyurat, keuangan, formalitas tanpa makna (riasan, nonjok, balen, “membebani nyumbang”), bahkan tanpa batasan minimal usia “mempelai”. 3. Pikiran yang sangat sederhana (bisa dianggap primitif) ketika situasi sosial pertukaran budaya (cross culture) dan pengetahuan teknologi saat ini sangat kompleks. 4. Makna hakiki yang sejati ada pada diri (self value), sehingga hukum positif (pemerintahan) tidak dapat “sensitif” memfasilitasi. 5. Ketika terjadi permasalahan dan bercerai maka dasar yang digunakan adalah musyawarah mufakat (bahkan untuk urusan pembagian gono-gini). 6. Sifat kekerabatan sangat “kental” (apakah karena jumlah yang sedikit “kaum minoritas”) sehingga muncul ugeman “mikul duwur mendem jero”. Pendekatan budaya lokal perlu dilakukan agar masyarakat Samin dengan penguasa pemerintahan terjalin hubungan
KOKOH DAN KUKUH DENGAN PRINSIP LELUHUR Farida
sinergis harmonis. Sehingga pemerintah berfungsi pembuat kebijakan “vertikal” sedangkan masyarakat menyadari fungsi “horisontal”. Anggapan-anggapan masyarakat Samin yang negatif “pudar” maka tercipta masyarakat aman sentosa. Moh. Rosyid menawarkan pendekatan hukum positif “RAMAH”. Itu dapat diartikan: ra nulayani (saling menepati “ucap janji”), andarbeni (saling memiliki), dan (saling mengasihi), angrungkebi (saling melindungi), dan harmonisasi (saling memahami dan menghormati). Masyarakat Samin Kudus dalam hal administrasi kependudukan sudah memiliki KTP, kepengurusan RT, dan mengikuti pemilu. Meskipun faktor pembeda utama dengan komunitas nonsamin adalah dalam perkawinannya tidak menyertakan negara (KUA atau Kantor Catatan Sipil) dengan dalih Nabi Adam menikah dengan Hawa tidak dicatatkan! Yang terakhir bahwa buku tersebut menyadarkan pembaca semua, bahwa (1) ada sekelompok masyarakat samin (dengan semua warisan keyakinan turun temurun) dan (2) pemerintah kurang mengayomi (dengan semua aturan formal). Bagaimana menyatukan mereka adalah tantangan bagi kita semua untuk bisa saling berbagi dan memahami. Keberadaan masyarakat Samin menjadi bagian dari negara dan tugas negara adalah membuat peraturan agar tata negara berjalan semestinya (tertib) menurut “ukuran umum”. Sekali lagi bahwa potret perkawinan samin memberi contoh “inspirasi” adanya rasa saling percaya (dengan sikap dan ucap), sedangkan nihilisasi peran negara juga memberi contoh agar tidak terjadi pada masyarakat lainnya (agar negara membuat kebijakan yang berdasarkan culture positif lokal). Meskipun perkawinan berdasar hukum positif berpeluang terjadi konflik, namun perlu disadari negara Indonesia terdiri dari berbagai provinsi dan hidupnya berbagai suku sebagai pertanda bahwa ragam pernikahan tidak hanya pada masyarakat Samin, tetapi masyarakat lain pun telah mentradisikan perkawinan tanpa dicatatkan. Menjadi tantangan bagi M.Rosyid agar dapat memotret perkawinan masyarakat lainnya yang mempunyai ciri khas yang unik, sebagai pekerjaan rumah bagi peneliti (tentunya). Alhasil buku tersebut pun memiliki kelemahan mendasar, pertama, lokus yang dijadikan bidikan penelitian hanya
195
196
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
di sebuah dukuh, idealnya berbagai dukuh yang dihuni komunitas Samin Kudus dengan harapan diperoleh dinamika data. Kedua, penelitian etnografi sebagaimana dilakukan Moh. Rosyid, idealnya dalam proses menggali data dalam rentang waktu lama, sehingga validitas dan keutuhan data didapatkan dari sumber data secara utuh. Ketiga, sebagai peneliti harus memosisikan diri sebagai peneliti tidak sebagai dewan juri, apalagi sebagai pembela, sehingga didapatkan hasil penelitian yang fair. Keempat, proses penggalian dan analisis data (jika) menggunakan pendekatan etnografi dan grounded research idealnya mengedepankan aspek keakuratan dan ketajaman kajian, tidak hanya deskripsi. Meskipun demikian, penelitian yang serupa perlu dilanjutkan agar diperoleh data yang variatif dan multitelaah, khususnya di tengah pemerintah merancang RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan (RUU HMPBP) masuk daftar Prolegnas 2010 yang melengkapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Diharapkan sebagai masukan bagi pembuat UU agar tidak menafikan keunikan pernikahan yang dilakukan oleh komunitas yang hidup di negeri ini.
197 FORMAT PENULISAN JURNAL PALASTRèN
Bagian
Artikel Konseptual Jelas dan mencerminkan substansi. Book Antiqua 14 Bold, All Caps. Spasi single. Sub judul Book Antiqua 14 Bold, Caps di awal. Center. Tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, atau 90 ketuk pada papan kunci Nama lengkap tanpa gelar Book Antiqua 11 Caps di awal, Center. Cantumkan asal institusi di footer Book Antiqua 10 Italic, Justify.
Hasil Penelitian Jelas dan mencerminkan substansi. Book Antiqua 14 Bold, All Caps. Spasi single. Sub judul Book Antiqua 14 Bold, Caps di awal. Center. Tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, atau 90 ketuk pada papan kunci Nama lengkap tanpa gelar Book Antiqua 11 Caps di awal, Center. Cantumkan asal institusi di footer Book Antiqua 10 Italic, Justify. Satu paragraph dalam bahasa Inggris, Book Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi single. 100 kata. Italic. Keywords: 3-5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Berisi masalah atau tujuan, metode, hasil. rumusan masalah, tujuan, deskripsi, dan kerangka teori
Isi
Satu paragraph dalam bahasa Inggris, Book Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi single. 100 kata. Italic. Keywords: 3-5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Berisi ringkasan isi artikel. acuan permasalahan diakhiri rumusan singkat tentang materi yang dibahas dan tujuan kupasan argukentasi dan pendirian penulis
Kesimpulan
uraian jawaban sistematis, maksimal 1 halaman
Judul
Penulis
Abstrak
Pendahuluan
metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan uraian jawaban sistematis, maksimal 1 halaman
198
Daftar Pustaka
Spasi single, dengan ketentuan: 1. Sumber buku: Said, N. (2005). Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta. Pilar Media. 2. Sumber buku kumpulan tulisan: LeCompte, M. & Goetz, J. P. (1983). “Etnography Data Collection in Evaluation Research”, dalam Fetterman, D. M. (1983). Etnography in Educational Research. New Delhi. Sage Publication. 3. Sumber jurnal: Astuti, T. M. P. (2009). “Metodologi Penelitian Berperspektif Gender”, dalam Jurnal PALASTReN ed.2, Nomor 2. 4. Sumber internet: Van Eck, M. V. E. (2001). “Gender Equity and Information Technology in Education: The Second Decade” [On Line] di http://rer.sagepub.com/ cgi/content/abstract/ 71/4/613(diakses tanggal 20 April 2009)
Spasi single, dengan ketentuan: 1. Sumber buku: Said,N.(2005).Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta. Pilar Media. 2. Sumber buku kumpulan tulisan: LeCompte, M. & Goetz, J. P. (1983). “Etnography Data Collection in Evaluation Research”, dalam Fetterman, D. M. (1983). Etnography in Educational Research. New Delhi. Sage Publication. 3. Sumber jurnal: Astuti, T. M. P. (2009). “Metodologi Penelitian Berperspektif Gender”, dalamJurnalPALASTReN ed.2, Nomor 2. 4. Sumber internet: Van Eck, M. V. E. (2001). “Gender Equity and Information Technology in Education: The Second Decade” [On Line] di http://rer. sagepub.com/cgi/content/abstract/71/4/ 613(diakses tanggal 20 April 2009)
KETERANGAN LAIN: 1. Naskah merupakan hasil kajian sosial keagamaan, bisa berupa hasil penelitian ataupun kajian teks yang berhubungan dengan isu-isu gender. 2. Naskah merupakan karya asli penulis dan belum pernah dipublikasikan. 3. Middle note menurut APA (nama akhir penulis, tahun terbit: no.halaman).
199 4. Panjang naskah 20-25 halaman kwarto (A4) Spasi 1,5 Top margin 4cm, Left 4cm, Bottom 3cm, Right 3cm. 5. Diserahkan kepada redaksi dalam bentuk soft copy (flash disk, CD, atau via emal:
[email protected]) 6. Naskah yang dimuat akan diberi 1 jurnal dan 4 off-print (cetak lepas). 7. Resensi buku sebanyak 5-10 halaman kwarto dengan spasi single Book Antiqua 11 dengan mencantumkan gambar cover depan, judul buku, nama penulis, penerbit, tahun terbit dan jumlah halaman buku. 8. Pembaban: A. 1ketukan 1. 1ketukan a. 1ketukan 1) 1ketukan a) 1ketukan
200