VII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KJA WADUK CIRATA
Sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan, dan riset perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles 2001 dalam Adrianto 2005). Dalam konteks pengelolaan perairan Waduk Cirata, sistem alam yang merupakan perairan buatan yang dibangun pemerintah telah menempatkan perairan Waduk Cirata sebagai ekosistem perikanan dengan lingkungan biofisik yang sangat mendukung. Sedangkan sistem manusia, adalah penduduk sekitar yang berperan sebagai pelaku perikanan baik itu sebagai petani, penyedia sarana produksi perikanan, pedagang ikan serta komunitas petani ikan. Adapun lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang ada di sekitar kawasan ini adalah gabungan dari lingkungan petani sawah dan petani ikan. Sebagai akibat, mereka
132
selain berperan sebagai petani ikan, pemilik KJA juga berperan sebagai petani yang bertanam padi dan jenis hortikultur lain. Sistem pengelolaan perikanan budidaya KJA di perairan Waduk Cirata pada awalnya belum memiliki bentuk disebabkan tidak ada kejelasan wewenang yang dimiliki oleh Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap perairan Waduk Cirata. BPWC adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), sebuah anak perusahaan PT PLN, yang bertugas mengelola perairan Waduk Cirata, sehingga jaminan suplai listrik jaringan Jawa-Bali tersedia secara berkesinambungan. Pengelolaan perikanan budidaya KJA dilandaskan pada berbagai kebijakan yang dibuat secara koordinatif dengan pemerintahan propinsi maupun pemerintahan kabupaten. Analisis di bawah ini memperlihatkan keberadaan kebijakan pengelolaan perairan Waduk Cirata untuk budidaya KJA.
7.1. Analisis Isi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya KJA di Waduk Cirata Perairan Waduk Cirata berdasarkan ketetapan pemerintah adalah milik PT PJB. Sedangkan BPWC adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh PT PJB untuk mengelola Waduk Cirata sebagai sumberdaya air pembangkit listrik. Oleh sebab itu, BPWC bertanggung jawab sepenuhnya terhadap segala sesuatu yang terjadi dengan badan air perairan Waduk Cirata. Salah satu beban berat yang dihadapi oleh BPWC saat ini adalah keberadaan budidaya KJA yang berada di 3 (tiga) wilayah, yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat, dimana jumlah KJA makin bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan makin menurunnya kualitas perairan.
133
Beban berat ini terjadi disebabkan sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan penduduk sekitarnya. Peluang usaha tersebut adalah budidaya ikan KJA. Selanjutnya usaha budidaya ikan KJA dilakukan oleh penduduk setempat tanpa disertai aturan-aturan tertentu yang mengarah pada upaya pembatasan usaha, sehingga terjadi bentuk common property terhadap sumberdaya perairan dan berlanjut hingga saat ini. Kondisi ini menyebabkan BPWC berada dalam situasi dilematis, dimana BPWC harus bertanggung jawab terhadap PJB tentang pengelolaan waduk dan harus memperhatikan kepentingan petani ikan KJA. Untuk menjaga keberlangsungan Waduk Cirata sebagai sumberdaya air PLTA BPWC hanya berperan sebagai fasilitator bagi keberlangsungan budidaya ikan KJA dan semua kebjakan tentang budidaya ikan KJA diatur oleh Provinsi Jawa Barat sebagai penguasa wilayah. Aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Waduk Cirata dapat dikelompokkan menjadi : 1. Undang-undang, yang terdiri UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian direvisi dengan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undangundang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 2. Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air; 3. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.12/MEN/2006 tentang Perijinan Usaha Pembudidayaan Ikan.
134
5. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, yang terdiri dari : a. Keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No
41
Tahun
2002
tentang
Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata b. Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Bupati Cianjur, Bupati Purwakarta No. 15 Tahun 2003, 1 Tahun 2003, 13 Tahun 2003, 8 Tahun 2003, 036/060/Dinet/V/2003 tentang Pengembangan pemanfaatan Waduk Cirata c. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan, d. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; e. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat. f. Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT. g. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu. h. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa Barat
135
i. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan. Kelima kelompok aturan main tersebut secara legal-formal merupakan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Aturan main yang diatur dalam lima kelompok aturan formal tersebut adalah penentuan jumlah maksimum KJA, penggunaan bahan KJA yang diperbolehkan, menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan kualitas perairan waduk, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, pengaturan izin budidaya, pengaturan zonasi, sanksi terhadap pelanggaran, dan pungutan perikanan (Tabel 36).
136
Tabel 36. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Perairan Waduk Cirata No 1.
2.
3.
4.
5.
Aturan Main Penentuan jumlah KJA yang diperbolehkan Menjaga kelestarian sumberdaya ikan
Peraturan 1. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Uum lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata
1. UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undangundang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan 2. UndangUndang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. UndangUndang No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air 4. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan Pengaturan ijin 1. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang budidaya KJA Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 2. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan 3. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat. 4. Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT 5. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu. 6. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa Barat Pengaturan Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002 tentang bahan KJA Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata Retribusi 1. UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UndangPerikanan undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan 2. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 3. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan 4. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat. 5. Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT 6. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu. 7. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa Barat
137
7.1.1
Analisis Urusan dan Peletakan Kewenangan Dalam Peraturan Perundang-undangan Peraturan sebagai rules of game, yang mengatur perilaku makhluk hidup
dalam interaksinya dengan sumberdaya alam perlu dipahami secara utuh dengan mempelajari urusan apa saja yang diatur dana bagaimana peletakan kewenangan atas urusannya, pada tataran makro, meso dan mikro. Sebagai catatan, keberadaan UU No.7/2004 dalam konteks pengelolaan Waduk Cirata belum menjadi referensi bagi lahirnya kebijakan baru bagi petani KJA di Waduk Cirata.
7.1.1.1 Urusan-urusan yang Diatur dalam Undang-Undang No. 7/2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42/2008. Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumberdaya Air terdiri 18 bab dan 100 pasal. UU ini merupakan satu dari UU yang akan dibahas dalam riset ini, namun secara konten, UU ini belum menjadi ruh dari semua kebijakan pengelolaan Waduk Cirata. Kebijakan terbaru yang ditetapkan oleh DPRD Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 belum dibuat petunjuk pelaksanaannya oleh Pemda Provinsi. UUSDA merupakan produk UU yang relatif komprehensif substansinya dan perhatian yang seimbang. Komprehensivitas substansinya terletak pada ketentuanketentuannya yang memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air. Keseimbangan
perhatian ditunjukkan oleh
pengaturan yang relatif sama terhadap berbagai aspek yang menjadi isu pokok dalam kajian ini. Komprehensivitas dan perhatian yang seimbang dapat dicermati dari uraian berikut. Fungsi sumberdaya air, dalam penjelasan umum UU No. 7/2004 untuk pasal 4 disebutkan memiliki 3 fungsi, yaktu sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Fungsi sosial, menyatakan bahwa sumberdaya air lebih untuk kepentingan umum
138
daripada kepentingan pribadi. Fungsi lingkungan hidup, menyatakan sumberdaya air menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna. Sedangkan fungsi ekonomi, menyatakan sumberdaya air dapat didayagunakan untuk kepentingan usaha. Berdasarkan 3 (tiga) fungsi di atas dalam pasal 5 disebutkan bahwa, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Selanjutnya dalam pasal 6, disebutkan bahwa negara memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan air sesuai kewenangannya. Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini karena pemberian kewenangan otonom juga sampai ke pemerintahan desa. Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, namun dengan menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemda dan Pemerintah Desa juga diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa penguasaan (Negara) atas sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda. Mencermati rumusan Pasal 6 ayat (2) di atas yang menggunakan kata ”dan/atau” tampaknya dimaksudkan bahwa pelaksana kewenangan yang bersumber dari Hak Penguasaan Negara dapat saja bersifat desentralistis mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh Pemerintah dengan yang diserahkan kepada Pemda berbeda, namun dapat juga bersifat desentralistis yang mengarah
139
pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan Pemerintah dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup berlakunya kewenangan tersebut. Jika ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah (Pasal 14) dan Pemda (Pasal 15 dan Pasal 16) dicermati, maka penafsiran yang dapat diajukan bahwa sifat pemberian kewenangan itu bukan bersifat desentralistis mutlak,
namun
lebih
mengarah
pada
prinsip
pembagian
kewenangan.
Kewenangan Pemerintah dan Pemda mengandung substansi yang sama yaitu menetapkan kebijakan, pola pengelolaan, rencana pengelolaan, menetapkan dan mengelola kawasan lindung, melaksanakan pengelolaan, memberikan perijinan, memfasilitasi penyelesaian sengketa, pembentukan dewan sumberdaya air. Perbedaannya bahwa ruang lingkup kewenangan pemerintah nasional, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota adalah wilayah administratifnya. Selain itu, pelaksanaan kewenangan Hak Penguasaan Negara juga diserahkan kepada : a. Pemerintah Desa Pemerintah desa atau yang setingkat dengan desa juga diberi kewenangan dan tanggungjawab, meskipun secara kuantitas relatif terbatas yaitu mengelola SDA yang ada di desanya yang belum dikelola oleh masyarakat atau oleh pemerintah yang di atasnya, menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan SDA yang ada di desa, dan berusaha menjamin pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air. b. Dewan Sumberdaya Air Dewan SDA dibentuk di semua tingkat wilayah pemerintahan, yaitu : (1) Di tingkat nasional terdapat 3 (tiga) macam Dewan yaitu Dewan SDA Nasional,
140
Dewan SDA Wilayah Sungai Lintas Provinsi, dan Dewan SDA Wilayah Sungai Strategis Nasional; (2) Di tingkat Provinsi dapat hanya dibentuk satu dewan SDA Provinsi, namun juga dapat dibentuk 2 (dua) dewan yaitu Dewan SDA yang umum dan Dewan SDA Wilayah Sungai lintas Kabupaten/Kota; (3) Di tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk satu Dewan SDA, namun dapat juga dibentuk 2 (dua) dewan yaitu Dewan SDA Kabupaten/Kota yang umum dan Dewan SDA Wilayah Sungai. Tugas dan tanggung jawab Dewan SDA di semua tingkatan pada prinsipnya sama, yaitu: (1) Melakukan koordinasi pengintegrasian kepentingan lintas sektor, lintas wilayah dalam pengelolaan sumberdaya air; (2) Menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya air. c. Dewan Tertentu Dewan ini dibentuk oleh Menteri yang membidangi sumberdaya air dengan tugas melakukan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi. d. Perkumpulan Petani Pemakai Air Perkumpulan Petani Pemakai Air ini berada di tingkat desa yang diberi kewenangan dan tanggungjawab untuk mengembangkan sistem irigasi tersier. Bahkan menurut Pasal 41 ayat (5), perkumpulan ini dapat melakukan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder jika memang mampu melakukan. Dalam konteks pengelolaan Waduk Cirata, urusan yang diatur dalam UU No.7 /2004 dan PP No.42/2008 terdiri dari 34 urusan. Sebagai catatan disini, urusan yang mencakup tentang sungai dimasukkan sebagai urusan yang terkait
141
dengan waduk, yaitu: (1) Penetapan kebijakan sumberdaya air; (2) Penetapan pola pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; (3) Penetapan rencana pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; (4) Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumberdaya air pada wilayah sungai; (5) Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; (6) Pengaturan, penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukkan, penggunaan, dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai; (7) Pengaturan, penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukkan, penggunaan, dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai; (8) Pembentukan Dewan Sumberdaya air; (9) Fasilitasi penyelesaian sengketa dala pengelolaan air; (10) Perlindungan dan pelestarian sumberdaya air; (11) Penunjukkan dan penetapan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air; (12) Penetapan peraturan untuk pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan; (13) Pengelolaan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air; (14) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi resapan air; (15) Pelaksanaan pengendalian pemnafaatan air; (16) Pelaksanaan perlindungan sumber air; (17) Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu; (18) Penetapan daerah sempadan air; (19) Melakukan pemantauan dan pengawasan atas pelaksanaan pengaturan sempadan air; (20) Mempertahankan fungsi daerah sempadan air; (21) Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sekaligus pemantauan dan pelaksanaan dari kegiatan rehabilitasi; (22) Penetapan tarif penggunaan air yang bersifat progresif; (23) Pemberian insentif dan disinsentif bagi pengguna air; (24) Penetapan kelas dan baku mutu pada sumber air; (25) Penanggulangan pencemaran air pada sumber air; (26) Perbaikan
142
fungsi lingkungan untuk pengendalian kualitas iar; (27) Penetapan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukkan pada sumber air; (28) Inventarisasi jenis pemanfaatan air yang sudah ada; (29) Pemetaan potensi konflik kepentingan antar jenis pemanfaatan yang sudah ada; (30) Penetapan urutan prioritas penyediaan air pada setiap wilayah sungai; (31) Penetapan dan perubahan rencana penyediaan sumber air tahunan; (32) Pemberian, pembatalan, pembekuan atau diberlakukan lagi ijin pengusahaan/penggunaan air; (33) Pemberian ijin pelaksanaan konstruksi pada sumber air; dan (34) Penetapan jangka waktu ijin penggunaan air (Gambar 22).
Makro (Menteri)
KEWENANGAN
10,11
10,11
10,11
1,2,3,4,5,6,7,8,9, 12,13,14,15,16, 17,18,19,29,21, 22,23,24,25,26, 27,28,29,30,31, 32,33,34
Meso (Gubernur)
Mikro 1,2,3,4,5,6,7,8, (Bupati/Walikota) 12,13,14,15,16, 17,18,19,29,21, 22,23,24,25,26, 27,28,29,30,31, 32,33,34 Mikro NAMA PERATURAN (Kabupaten)
Meso (Propinsi) URUSAN
1,2,3,4,5,6,7,8, 9,10,11,12,13, 14,15,16,17,18, 19,29,21,22,23, 24,25,26,27,28, 29,30,31,32,33,34
Makro (Pusat)
Gambar 22. Matriks Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Undang-Undang
143
7.1.2
Sumber Kebijakan Common Property Resources (CPR) Budidaya KJA di Waduk Cirata SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 merupakan petunjuk
pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 1986 yang mengatur tentang Tata Cara Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan. SK ini memuat tata cara pemanfaatan
dan
perijinan
usaha
perikanan
di
tingkat
pemerintahan
kabupaten/kota, serta biaya retribusi perijinan dan retribusi produksi. Pada pasal Umum dari SK ini disebutkan bahwa setiap awal musim hujan, selama 2 bulan perairan umum tertutup bagi usaha perikanan. Sedangkan pada pasal Perijinan (pasal 3), disebutkan bahwa setiap usaha perikanan perorangan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak diwajibkan memiliki ijin memerlukan. Pasal sebelumnya disebutkan juga bahwa skala usaha perorangan untuk budidaya dalam jaring terapung khususnya di Jatiluhur tidak dibatasi jumlah unitnya. Sementara
pasal-pasal
lainnya
bersifat
standar
yang
menginformasikan
persyaratan, pelaporan dan lain sebagainya. SK ini dimunculkan setelah Perda No. 11 Tahun 1986 yang merupakan jawaban atas pertanyaan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di tingkat pemerintahan kabupaten/kota sejak tahun 1987. Akan tetapi, sebagai petunjuk pelaksanaan, SK ini tidak termuat berapa besaran biaya retribusi perijinan dan retribusi produksi perikanan, sehingga petani tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya retribusi. Adanya Pasal 2 dan 3 dalam SK ini menimbulkan kerancuan dalam kaitannya dengan upaya property right perairan umum. Secara harfiah diterjemahkan bahwa skala usaha perorangan budidaya KJA diperkenankan tanpa batasan unit, dan tidak wajib memiliki ijin. Akibat yang timbul adalah perairan umum seperti Waduk Jatiluhur juga Waduk Cirata merupakan perairan umum
144
milik bersama (common property), sehingga setiap orang dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Isi dari SK ini merupakan terjemahan atas Perda No 11 Tahun 1986. Sedangkan Waduk Cirata dioperasikan pada tahun 1988, dan dalam kurun waktu 1989 – 1994, pertumbuhan KJA di Waduk Cirata meningkat drastis dari tahun ke tahun. Adanya SK Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 menyebabkan terjadinya eskalasi jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun-tahun berikutnya, sehingga mencapai jumlah di atas 51.000 buah pada tahun 2008. Selain itu SK ini menimbulkan kesulitan bagi BPWC, sebagai penguasa tunggal perairan Waduk Cirata, untuk menerapkan kebijakan yang berpihak pada upaya pemeliharaan badan perairan Waduk Cirata. Hasil pengamatan terhadap isi detail SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 memperlihatkan bahwa SK ini tidak memiliki atau tidak bermuatan lingkungan secara eksplisit. Wacana atau pesan atau semangat yang dibawa SK ini sebagai Petunjuk Pelaksanaan Perda
No. 11 Tahun 1986 ini, adalah
kepedulian pada peluang usaha bagi masyarakat petani ikan, sehingga menimbulkan keberanian petani setempat, yang memiliki modal kecil, menggunakan asksesnya mengundang investor dari luar wilayah Waduk Cirata untuk berinvestasi di budidaya ikan KJA. Tabel 36 di bawah ini disajikan hasil analisis isi terhadap kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994.
145
Tabel 37. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 27 Tahun 1994
No. 1.
Fokus Landasan Hukum Lingkungan Perairan
Sumberdaya air Pemerintahan 2.
Isi Maksud dan Tujuan Definisi /klasifikasi Informasi Umum Mekanisme /Prosedur Instansi penanggung jawab
-Instansi pelaksana -Instansi pengawasan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 Tidak Ada Ada Komentar Perda Tk I Tentang Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan
Merupakan SK yang sangat terlambat penerbitannya yang mengatur retribusi usaha dan retribusi produksi perikanan. SK ini tidak memuat klasusul konsiderans yang mengarah aspek lingkungan. Padahal kebijakan tentang lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya air telah ada baik berupa UU ataupun yang diterbitkan oleh Dep. Pekerjaan Umum. Nuansa kebijakan ini adalah Penerimaan Pendapatan Daerah.
Tidak ada sama sekali Sangat sedikit info yang tersampaikan Mekanisme pengajuan usaha perikanan ASDA di Sekda Tk I untuk Pembinaan dan Pengawasan Pengawasan/Penertiban Oleh Diskan Dati I Pemungut oleh UPTD Bendaharawan kepada Dispenda Diskan Dati I UPTD Diskan Dati I Asda Sekda Dati I
146
3.
4.
Implementasi: Implementasi SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 yang merupakan penjelasan atas Perda No. 16 Tahun 1986 di lapang menyebabkan terjadinya peningkatan besar-besaran atas jumlah KJA di perairan Waduk Cirata. Peningkatan jumlah ini mengatasnamakan penduduk sekitar dengan skala usaha tidak dibatasi. Dalam SK pasal 2, disebutkan bahwa apabila usaha KJA bersifat perorangan, maka skala usaha tidak dibatasi. Selanjutnya pasal 3 menyebutkan bahwa untuk perorangan, budidaya KJA tidak harus ada ijin prinsip dari Dinas Perikanan. Retribusi di lapang tidak terwujud dalam bentuk PAD, kecuali untuk skala usaha non perorangan. Retribusi produksi perikanan juga tidak terwujud, disebabkan pihak pengumpul tidak dianggap sebagai pelaku/aktor ekonomi dalam usaha budidaya KJA. Hal ini berakibat, retribusi produksi tidak dapat dipungut dari petani secara rutin. Berdasarkan wawancara dengan Kabid Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur dan para stafnya, kontibusi petani ikan dalam retribusi produksi tidak terjadi disebabkan secara sistemik belum ada mekanisme yang mengatur dan bagaimana mewujudkannya. UPTD sendiri tidak dapat bertindak memungut retribusi perikanan kepada usaha budidaya KJA perorangan disebabkan pengaturan rinci tidak tersedia. Payung hukum berupa SK KD Dati I No. 27 Tahun 1994 tidak cukup bagi aparat untuk melaksanakannya di lapang. Andaikan terjadi pungutan, maka pungutan tersebut bukan sebagai retribusi dan dilakukan oleh oknum saja yang mengatasnamakan Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur Implikasi: Terjadi peningkatan jumlah KJA dari sejak diterbitkan SK ini sampai tahun 2002. Apabila sebelumnya perkembangan jumlah KJA masih dalam taraf yang wajar, namun sejak SK ini terbit, perkembangnya sudah berada di atas wajar. Batas wajar jumlah KJA di Waduk Cirata pada rentang waktu 1988-2000 memang belum diketahui oleh pengelola perairan Waduk Cirata atau BPWC (tahun 1998), namun akibat yang dirasakan adalah makin meningkatnya biaya pemeliharaan waduk untuk menjaga agar turbin PLTA tetap berfungsi optimal. Pihak pengelola Waduk Cirata atau BPWC tidak dapat mencegah terjadinya peningkatan jumlah KJA disebabkan belum ada aturan atau kebijakan yang mengarah pada pembatasan jumlah KJA.
Telah disebut sebelumnya bahwa kebijakan berupa SK Gubernur No. 27 Tahun 1994 merupakan sumber terjadinya hak kepemilikan bersama, sehingga secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya pada saat hak-hak pemilikan yang melekat kepada sumberdaya tertentu tidak terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat komponen hak kepemilikan. Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari keempat komponen hak-hak pemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama (common pool resources). Sumberdaya bersama adalah sumberdaya yang tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh karena
147
itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggungjawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah terlalu sukar untuk mencari contohcontoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya ikan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto 2002). Masalah yang timbul dengan sumberdaya bersama adalah adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa (a) “milik semua orang itu berarti bukan milik siapa-siapa (everyone’s property is no one’s property and no one’s property is every one property)”, (b) “dapatkan sumberdaya itu selagi masih dalam keadaan baik”, dan (c) “mengapa kita harus menghemat penggunaan sumberdaya sedangkan orang lain menghabiskannya”?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebihlebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbarui sekalipun (Dharmawan dan Daryanto 2002).
148
Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien adalah munculnya dampak sampingan (third party’s effect) atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1986) yang dikenal dengan istilah tragedi kebersamaan (the Tragedy of the Commons). Dalam kasus sumberdaya ikan sebagai sumberdaya bersama, hak pemilikan tidak dapat diberikan kepada satu individu melainkan diberikan kepada sekelompok masyarakat. Oleh karena manfaat sumberdaya ikan tidak hanya dirasakan satu individu saja, maka tidak seorang pun yang dapat menjual hak kepemilikannya. Dalam hal seperti ini, maka tidak ada pasar untuk sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena setiap orang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan, maka setiap orang akan cenderung untuk menggunakan sungai atau laut bebas secara berlebih (over used, over exploited) (Dharmawan dan Daryanto 2002).
7.1.2. Kebijakan Hak Kepemilikan (Property Right) Kebijakan yang terbit setelah kebijakan di atas adalah kebijakan yang mengatur tentang keberadaan jumlah petak KJA di perairan Waduk Cirata. Kebijakan ini terbit pada tahun 2002, akan tetapi tidak memberikan solusi bagi BPWC sebagai penanggung jawab Waduk Cirata, disebabkan dalam kebijakan ini tidak diatur bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah
149
Waduk Cirata yang pada saat kebijakan ini diterbitkan telah berjumlah lebih dari 30 ribu petak. SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJB-BPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Bagian Kedua SK ini, khususnya pasal 8 s/d pasal 18 diatur ketentuan tentang budidaya KJA. Petani ikan, yang dapat berusaha di Waduk Cirata adalah penduduk yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata. Selain itu diatur pula zona budidaya, jumlah produksi, jumlah KJA, syarat teknis KJA dan tidak diperkenankannya KJA sebagai rumah tinggal serta pembentukan kelompok pengawas masyarakat dan adanya pengawas lalulintas benih, pakan dan produksi di tiap zona.
BPWC sebagai instansi pengelola dalam mengimplementasikan SK ini di lapang banyak menghadapi kendala, hal ini disebabkan jumlah KJA yang ada di kawasan ini sudah jauh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh SK Gubernur Jabar No. 41 Tahun 2002, yaitu 12.000 petak, dimana di Kabupaten Bandung, hanya boleh sampai 1.896 petak, di Kabupaten Purwakarta 4.644 dan di Kabupaten Cianjur 5.460 petak.
BPWC akhirnya mengambil kebijakan untuk tidak memberikan ijin baru dan membiarkan yang telah ada sebelumnya.
Penduduk sekitar waduk, masih tetap membuat KJA baru dengan jumlah petak sesuai pesanan investor dengan menggunakan nama penduduk sekitar.
150
Jumlah KJA sejak SK ini dikeluarkan makin bertambah secara tidak terkendali. Penduduk bersama investor tanpa diketahui dengan pihak BPWC saat akan membuat KJA baru. Implikasi kebijakan ini, jumlah KJA tetap meningkat. BPWC tidak sanggup
mencegahnya disebabkan dalam SK tidak diatur bagaimana upaya mengurangi jumlah, dan bagaimana menghentikan kegiatan KJA yang tidak memenuhi syarat teknis. Petani merasakan kebijakan ini berada dalam status quo, sehingga dipandang oleh mereka bahwa kebijakan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya, yakni jumlah KJA sebanyak 12.000 petak. Akibatnya KJA tetap saja makin bertambah. Tabel 38 berikut ini memperlihatkan analisis isi terhadap SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002.
151
Tabel 38. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 41 Tahun 2002
No.
1.
2.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 Tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian Dan Kawasan Waduk Cirata Tidak Ada Ada Komentar
Fokus
Landasan Hukum Lingkungan Perairan dan - PP No. 82 Th 2001 Sumberdaya -Permen PU No air 45/PRT/ 1990 - Permen PU No. 48/ PRT/ 1990 - Perda Prov Dati I Jabar No. 2 Tahun 1998 - Perda Prov Dati I Jabar No. 14 Tahun 2002 - Perda Prov Dati I Jabar No. 3 Tahun 2001 Pemerintahan Isi Maksud dan Tujuan
Definisi /klasifikasi Informasi Umum
Mekanisme/ Prosedur
Instansi penanggung
Merupakan SK yang muncul setelah ditunggu oleh PT PJB, sebagai pemilik perairan Waduk Cirata dan BPWC sebagai pengelolanya. SK ini tidak memuat klasusul konsiderans tentang lingkungan secara khusus, namun kebijakan baik PP, Permen sebagai landasan lahirnya kebijakan cukup mengadopsi aspek lingkungan perairan. Nuansa kebijakan ini lebih pada upaya mengendalikan peningkatan jumlah KJA di perairan Waduk Cirata.
Melakukan pengaturan secara integratif kawasan Waduk Cirata agar fungsi dan daya guna waduk tidak terganggu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat memanfaatkan untuk budidaya KJA sesuai persyaratan teknis yang ditetapkan. Lengkap beserta penjelasannya Lengkap disertai dengan zona budidaya di Kab. Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta dan batas atas jumlah KJA di masing-masing zona (semuanya 12.000 petak). Selain itu ada batas atas jumlah produksi per musim tanam. - Mekanisme pengajuan usaha perikanan di tingkat perorangan diajukan ke Gubernur dan perusahaan. - Harus mendapat rekomendasi dari BPWC dengan menyertakan keterangan domisili dari desa/kecamatan di sekitar Waduk Cirata dan persyaratan teknis - Ijin budidaya KJA tidak dapat dipindahtangankan dan bisa diteruskan oleh ahli warisnya dan berlaku 3 tahun serta dapat diperpanjang - Ijin dapat dibatalkan/dicabut jika tidak memenuhi syarat teknis dan merusak lingkungan. - BPWC sebagai pengelola melakukan pemantauan terhadap kualitas air dan
152
No.
Fokus
jawab, pelaksana dan pengawasan
3.
4.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 Tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian Dan Kawasan Waduk Cirata Tidak Ada Ada Komentar pembinaan terhadap tatacara, evaluasi, pelatihan, dan solusi dalam melaksanakan kegiatan budidaya. Laporan 3 bulan sekali ditujukan kepada KD Dati I dan Dati II - Pengawasan, penertiban dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Dati I Jabar.
Implementasi: SK KD Dati I No. 41 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJBBPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Bagian Kedua SK ini, khususnya pasal 8 s/d pasal 18 diatur ketentuan tentang budidaya KJA. Petani ikan, yang dapat berusaha di Waduk Cirata adalah penduduk yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata. Jumlah produksi, jumlah KJA, syarat teknis KJA dan tidak diperkenankannya KJA sebagai rumah tinggal serta pembentukan kelompok pengawas masyarakat dan adanya pengawas lalulintas benih, pakan dan produksi di tiap zona. BPWC sebagai instansi pengelola dalam mengimplementasikan SK ini di lapang banyak menghadapi kendala, hal ini disebabkan jumlah KJA yang ada di kawasan ini sudah jauh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh SK Gubernur No. 41 Tahun 2002, yaitu 12.000 petak, dimana di Kab Bandung, hanya boleh sampai 1.896 petak, di Kab. Purwakarta 4.644 dan di Kab. Cianjur 5.460 petak. BPWC akhirnya mengambil kebijakan untuk tidak memberikan ijin baru dan membiarkan yang telah ada sebelumnya. Penduduk sekitar waduk, masih tetap membuat KJA baru dengan jumlah petak sesuai pesanan investor dengan menggunakan nama penduduk sekitar. Jumlah KJA sejak SK ini dikeluarkan makin bertambah secra tidak terkendali. Penduduk bersama investor tanpa diketahui dengan pihak BPWC saat akan membuat KJA baru. ‘Sepertinya’ ada jaringan tertentu di lingkup sekitar Waduk Cirata yang menjadi pemicu bagi bisa tidaknya investor baru masuk di budidaya KJA dengan pembagian tugas di sektor perijinan di level pemerintahan dan sektor konstruksi (dengan harga bervariasi sesuai harga pasar dan jenis bahan dasar KJA). Rekomendasi BPWC tidak disertakan untuk perijinan ke pemerintahan. Implikasi: Jumlah KJA tetap meningkat. BPWC tidak sanggup mencegah peningkatan ini disebabkan dalam dalam SK ini tidak diatur bagaimana upaya mengurangi jumlah, dan bagaimana menghentikan kegiatan KJA yang tidak memenuhi syarat teknis. Petani KJA sendiri pada umumnya tidak memiliki perijinan resmi, dan BPWC tidak dapat menghentikan petani yang tidak memiliki ijin ini. Tidak adanya tindak lanjut secara instansional baik dari BPWC maupun restu dari penguasa wilayah, menyebabkan petani merasakan kebijakan ini berada dalam status quo, sehingga dipandang oleh mereka bahwa kebijakan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya, yakni jumlah KJA 12.000 petak. Akibatnya KJA tetap saja makin bertambah dan didukung oleh sikap petani bahwa BPWC tidak dapat bertindak secara ketat, apalagi menarik KJA yang bermasalah dalam konteks perijinan, atau yang melanggar ketentuan teknis KJA terhadap kelestarian lingkungan.
153
Kebijakan yang terbit setelah tahun 2002 adalah SK Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2002 yang mengatur tentang retribusi usaha perikanan dan retribusi produksi perikanan. Kebijakan ini berjalan intensif, namun akhirnya dibatalkan oleh Departemen Dalam Negeri. Tabel 38. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 45 Tahun 2003
No.
1.
2.
3.
Fokus
Landasan Hukum Lingkungan Perairan dan Sumberdaya air Pemerintahan
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Propinsi Jawa Barat No. 14 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan Dan Retribusi Usaha Perikanan Tidak Ada Ada Komentar
Merupakan SK yang hanya mengatur soal retribusi usaha dan retribusi produksi perikanan. Konsiderans yang ada hanya terkait dengan keberadaan UU/PP/Kepmen/Permen yang terkait dengan bentuk pungutan atau restribusi kepada petani/petani ikan/ nelayan.
Tidak termaktub maksud dan tujuan secara eksplisit. Implisitnya adalah penerapan retribusi usaha/produksi perikanan. Lengkap beserta penjelasannya Lengkap - Mekanisme pengajuan ijin usaha perikanan di tingkat perorangan/ badan hukum diajukan ke Gubernur - Perusahaan harus mendapat rekomendasi dari BPWC dan bupati setempat dan hasil pemeriksaan sarana pembudidayaan. - Biaya ijin per petak KJA Rp.50.000 dan retribusi produksi 0,1% dari harga jual seluruh hasil budidaya. - Harga patokan ikan ditetapkan sekali dalam satu tahun oleh Gubernur. - Daftar ulang budidaya harus menyertakan pembayaran retribusi produksi terutang 2 tahun sebelumnya.
Isi Maksud dan Tujuan
Definisi/klasifikasi Informasi Umum Mekanisme/ Prosedur
Instansi penanggungjawab, pelaksana dan pengawasan
- Gubernur untuk pembinaan, pengawasan, dan pengendalian dan dilaksanakan oleh Instansi terkait (ASDA Pemerintahan, Perekonomian, Administrasi, Dinas Daerah bidang perdagangan dan Dispenda
Implementasi: SK Gubernur Jabar No. 45 Tahun 2003 merupakan kebijakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya yang ditujukan bagi masuk PAD Provinsi Jawa Barat. Dalam perjalanannya SK ini mengalami hambatan dalam pelaksanaanya, dan sempat dievaluasi oleh
154
No.
4.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Propinsi Jawa Barat No. 14 Tahun Fokus 2002 Tentang Usaha Perikanan Dan Retribusi Usaha Perikanan Tidak Ada Ada Komentar Departemen Dalam Negeri dan selanjutnya SK ini dibatalkan karena bertentangan dengan SK sebelumnya dan tumpang tindihnya pungutan, dan serta berbeda dengan ketentuan UU No. 25 Tahun 2000. Implikasi: SK ini menimbulkan gejolak di kalangan petani KJA, tapi akhirnya SK ini dalam perjalanannya dibatalkan oleh Depdagri. Pada sisi pengelola, keberadaan retribusi bagi petani ikan KJA, merupakan sesuatu yang sah-sah saja, namun tetap tidak bisa memberikan kenyamanan pengelola dalam arti PT PJB-BPWC harus membayar pajak atas semua kegiatan produksi listriknya, sementara itu petani KJA yang turut berperan menurunkan produksi listrik PT PJB-BPWC harus menyetorkan retribusi produksi KJA 0,1% kepada Dispenda yang sama sekali tidak berkontribusi terhadap produksi listrik.
Selanjutnya kebijakan yang mengarah pada bentuk kebijakan yang dikehendaki oleh BPWC diterbitkan oleh Pemprov dalam bentuk Perda No. 7 tahun 2011 yang belum memiliki petunjuk pelaksanaannya. Dalam Perda ini diatur bahwa jumlah petak KJA maksimal adalah 20 buah, sedangkan jumlah KJA maksimal di seluruh perairan belum ditetapkan dalam Perda ini.
155
Tabel 39. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 7 Tahun 2011
No.
Fokus Ada
1.
Landasan Hukum Lingkungan Perairan dan - UU No.31 Sumberdaya Th 2004 air - UU No 32 tahun 2009 Pemerintahan
2.
Isi Maksud Tujuan
- UU No 26 Th 2007 - UU No 32 th 2004
dan
Definisi /klasifikasi Informasi Umum Mekanisme/ Prosedur
3.
Perda Provinsi Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Perikanan Tidak Ada Komentar Merupakan Perda yang muncul setelah ditunggu oleh PT PJB, sebagai pemilik perairan Waduk Cirata dan BPWC sebagai pengelolanya. Peraturan ini memuat tentang lingkungan, perikanan Peraturan ini memuat tentang otonomi daerah
Melakukan pengaturan secara integratif kawasan Waduk Cirata agar fungsi dan daya guna waduk tidak terganggu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat memanfaatkan untuk budidaya KJA sesuai persyaratan teknis yang ditetapkan. Lengkap beserta penjelasannya Lengkap bahwa petani KJA maksimal memiliki 20 petak KJA. - Mekanisme pengajuan usaha perikanan di tingkat perorangan diajukan ke BPWC untuk mendapatkan SPL, kemudian ke Dinas Perikanan untuk mendapat rekomendasi teknis - Setelah mendapat rekomendasi teknis, pengurusan perijinan dilanjutkan ke Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jabar Pengawasan, penertiban dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jabar.
Instansi penanggung jawab, pelak sana dan pengawasan Implementasi: Perda Prov Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJB-BPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Oleh karena Perda ini baru, maka Perda ini masih pada tahap baru akan disosialisasikan. Adapun petunjuk pelaksanaan Perda ini belum ada, biasanya baru akan terbit setahun setelah Perda ini terbit.
156
7.1.3. Implementasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kebijakan pengelolaan perairan Waduk Cirata, implikasi dan implementasi kebijakan yang disajikan di atas, terlihat jelas adanya beberapa kesenjangan pelaksanaan kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994, merupakan SK yang tidak dapat digunakan sebagai payung hukum bagi PT PLN, yang saat itu berperan mengelola Waduk Cirata sebagai penyedia suplai listrik bagi wilayah Jawa Barat, untuk mengelola budidaya KJA. Berdasarkan acuan waktu, 1988-1994, dan produk kebijakan pada kurun waktu tersebut, keberadaan kebijakan tentang budidaya KJA dapat dirinci sebagai berikut: 1. PT PLN yang mengelola Waduk Cirata sejak tahun 1988, sebelum BPWC berdiri, tidak memiliki legitimasi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan budidaya ikan KJA di Waduk Cirata. Hal ini tidak terlihat dari notulen atau konsiderans produk kebijakan PLN tentang KJA yang seharusnya dikutip oleh BPWC saat membuat kebijakan baru. 2. PT PLN memposisikan diri sebagai pengelola Waduk Cirata, dan Dinas Perikanan Pemprov dan Pemkab yang bertanggung jawab secara teknis terhadap keberadaan budidaya ikan KJA di Waduk Cirata, sehingga segala sesuatu tentang KJA merupakan urusan Dinas Perikanan. 3. Dalam kurun waktu 1988-1994, keberadaan perairan Waduk Cirata berbentuk open access bagi budidaya KJA dimana siapapun dapat masuk untuk berinvestasi dimana perijinan dapat diatur oleh pemkab sekitar, atau tidak perlu ijin apabila investor adalah penduduk sekitar Waduk Cirata.
157
4. Dinas Perikanan tidak membuat aturan main yang rinci, jelas dan tegas tentang hak dan kewajiban yang dimiliki petani ikan. Konteks aturan yang ada adalah penerapan Perda No. 14 Tahun 1986 yang mengarah pada peningkatan PAD pemda. 5. Dalam rangka peningkatan PAD, promosi dinas perikanan baik tingkat propinsi maupun kabupaten tentang sumberdaya perairan Waduk Cirata bagi potensi budidaya KJA berlangsung secara terus menerus, sehingga dalam kurun waktu tersebut, investor dari luar Waduk Cirata, luar propinsi, dan luar P. Jawa berdatangan untuk berinvestasi. Terjadi peningkatan jumlah petak KJA secara signfikan (87 kali lipat). Dari 74 buah tahun 1989 menjadi 6.743 petak pada tahun 1994. 6. SK Gubernur No. 27 Tahun 1994, semakin mengukuhkan keberadaan budidaya KJA dapat dilakukan siapa saja di perairan Waduk Cirata tanpa ada informasi tentang hak dan kewajiban dari para pembudidaya. 7. Setelah tahun 1994 s/d Tahun 2002, tidak ada produk kebijakan yang dibuat Pemda, PT PJB (setelah PT PLN), yang mengarah pada bentuk-bentuk property right dalam budidaya KJA. Hal ini berakibat pada peningkatan KJA sehingga mencapai 30.249 petak atau 400 kali lipat dari jumlah petak tahun 1989 atau 4 kali lipat dari tahun 1994. 8. PT PJB pada tahun 1998 bersama Pemprov Jawa Barat membentuk BPWC, sebagaimana PT OJL (Otorita Jati Luhur), yang bertanggung jawab mengelola Waduk Cirata secara lebih fokus, utamanya untuk suplai listrik, dan pengelolaan KJA. Akan tetapi disebabkan sejak tahun 1988-1994, dan SK Gubernur No. 27 Tahun 1994, tidak ada bentuk produk hukum/kebijakan yang
158
dapat dijadikan acuan bagi BPWC untuk melakukan penertiban KJA, menyebabkan BPWC sebagai lembaga baru tidak mampu berperan optimal untuk mencegah peningkatan jumlah KJA.
7.2. Kelembagaan Pengelolaan Perairan Waduk Cirata Berdasarkan Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung Barat Bupati Cianjur, Bupati Purwakarta dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) tahun 2003 tentang pengembangan pemanfaatan kawasan Waduk Cirata diatur tentang pelaksanaan, perijinan dan pengawasan Waduk Cirata. Pelaksanaan pengembangan Waduk Cirata dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang dalam pelaksanaannya dikuasakan kepada BPWC dengan membentuk Tim Koordinasi Pengembangan Pemanfaatan Waduk Cirata berdasarkan Keputusan Gubernur. Perijinan KJA dilaksanakan melalui pola pelayanan satu atap yang terdiri dari Provinsi, pemerintah Kabupaten dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Setiap unit KJA wajib dilengkapi Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Ijin Usaha Pembudidayaan Ikan (SPbI) sesuai dengan Perda Propinsi Jawa Barat No 14 Thn 2002. Untuk memperoleh IUP dan SPbI, petani ikan mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur dengan persyaratan harus dilengkapi dengan Surat Penempatan Lokasi (SPL) dari Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) sesuai dengan SK Gubernur No 41 Thn 2002. Mekanisme pengurusan ijin usaha perikanan KJA mengikuti bagan alir yang telah ada.
Pembudidaya ikan dapat berupa perorangan atau badan hukum
menyampaikan surat permohonan ke BPWC untuk mendapatkan Surat Penempatan Lokasi (SPL). BPWC meminta rekomendasi IUP ke Dinas perikanan
159
Tingkat II, kemudian dilanjutkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.
Pengurusan Surat Izin Budidaya Ikan (SIBI) diteruskan ke Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat. Setiap pembudidaya ikan membayar SIBI di BPWC. Selanjutnya penempatan diatur sesuai dengan SIBI, seperti tertuang pada Gambar 22. Pengawasan KJA juga dilaksanakan oleh Provinsi, pemerintah Kabupaten dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Tim Pengendali ini diperlukan untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan budidaya ikan sistem KJA di lingkungan perairan waduk agar sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. Memberikan petunjuk/penyuluhan cara-cara bertani ikan yang baik dan mengamankan lingkungan perairan dari kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak manapun.
160
Bagan Alir Pengendalian KJA
Bagan Alir Pembinaan dan Pemutihan KJA
Bagan Alir Mekanisme Ijin Usaha Perikanan KJA Sumber: BPWC, 2011
Gambar 22. Diagram Alir Pengendalian, Pembinaan/Pemutihan dan Mekanisme Perijinan Usaha Perikanan KJA
161
7.2.1. PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) PLTA Cirata, sejak pertama dioperasikan pada tahun 1988 dikelola oleh PT. PLN (persero) Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat (PT. PLN KJB) Sektor Cirata. Pada tahun 1995 terjadi restrukturisasi di PT PLN (Persero) yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan pada tanggal 3 Oktober 1995, yaitu PT. PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa-Bali (PT. PLN PJB 1) dan PT. PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa-Bali (PT. PLN PJB 11), sehingga Sektor Cirata masuk wilayah kerja PT PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa-Bali II. Kemudian pada tahun 1997, Sektor Cirata berubah nama menjadi PT PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa – Bali II Unit Pembangkit CIRATA (UP CIRATA). Seiring dengan pengembangan strategi usaha, pada tahun 2000, PLN PJB II melakukan penyempurnaan organisasi dan mengubah nama menjadi PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
7.2.2. Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Dalam rangka mengelola waduk Cirata dan asset-assetnya, diperlukan badan tersendiri yang membantu Unit Pembangkitan Cirata dalam mempertahankan kualitas dan kontinuitas air. PT PJB telah membentuk Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) berdasarkan SK Direksi no. 026.K / 023 / DIR / 2000 dengan referensi SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 16 Tahun 1998 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum dan Lahan Surutan di Waduk Cirata yang direvisi oleh SK Gubernur Jawa Barat No 41 tahun 2002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata.
162
PT PJB BPWC memiliki tugas pokok untuk melaksanakan pengelolaan secara profesional (mengelola, memelihara dan mengembangkan potensi ekonomi) asset berupa waduk dan lahan-lahan disekitarnya yang terletak di waduk Cirata tanpa mengabaikan kepentingan Unit Pembangkitan dan masyarakat yang mempergunakan sungai dan waduk tersebut. Dasar pembentukan BPWC adalah: 1.
SK Gubernur Jawa Barat No. 16 Thn. 1998 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum dan Lahan Surutan di Waduk Cirata 2. SK Direksi PT. PJB No.037.K/023/DIR/1998 tanggal 18 Desember 1998, tentang Pembentukan BPWC pada PT. PJB UP Cirata. 3. SK Direksi PT.PJB No. 026.K/023/DIR/2000 tanggal 07 Nopember 2000, tentang Organisasi dan Tata Kerja BPWC pada PT. PJB
BPWC mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan secara profesional (mengelola, memelihara dan mengembangkan potensi ekonomi) asset berupa waduk dan lahan-lahan disekitarnya yang terletak di Waduk Cirata untuk menghasilkan keuntungan bagi Perusahaan tanpa mengabaikan kepentingan Unit Pembangkitan dan Masyarakat yang mempergunakan Sungai dan Waduk tersebut. Adapun kegiatan pemeliharaan BPWC atara lain pemantauan kualitas air, pembersihan sampah dan gulma air, pemantauan sedimentasi pemeliharaan trash boom, penghijauan, penguatan pinggiran waduk, perapatan/pemeliharaan patok batas dan batas perairan, pembuatan/pemeliharaan papan peringatan, pembersihan area bendungan s/d base camp atas dan sekitarnya. Kegiatan pengembangan potensi ekonomi BPWC meliputi pemanfaatan lahan surutan dan non surutan,
163
penataanbudidaya kolam jaring apung, penambangan batu gunung aseupan, mengembangkan sarana pendidikan dan latihan, mengembangkan kawasan agrowisata, mengembangkan kawasan perhotelan, pembibitan tanaman keras dan buah-buahan Rencana pengembangan Waduk Cirata sebagai kawasan pariwisata, penanganan asset cirata, pusat penelitian, pusat pendidikan dan latihan kawasan perhotelan/resor yang bernuansa pendidikan dan penertiban KJA. Corak kegiatan wisata yang dapat dikembangkan (1) Bio-tourism: rekreasi, alam terbuka, peristirahatan, agro-tourism; (2) tekno-tourism: rekreasi alam terbuka; (3) pusat kegiatan olahraga aquatic; (4) demo-tourism Untuk mengatur tata letak dan pembinaan serta pemeliharaan lingkungan perairan, maka diperlukan lokalisasi usaha jaring apung ini agar teratur dan mudah dalam pelaksanaan pengawasan oleh BPWC. Sampai saat ini pembagian wilayah perikanan budidaya ini dibagi berdasarkan lokasi daerah kabupaten yaitu: 1. Lokasi I : Cipicung, Kecamatan Cipendeuy (Kabupaten Bandung Barat). 2. Lokasi II : Tegal Datar, Kecamatan Maniis (Kabupaten Purwakarta). 3. Lokasi Ill : Ciputri, Nyalempet, Jarigari, Neundeut, Kebon Cokelat, Bongas, dan Calincing (Kabupaten Cianjur). Untuk memudahkan dalam pemantauan dan pengontrolan, diterapkan pola pengawasan dengan cara pendataan dengan diberikan tanda atau nama untuk masing-masing lokasi. Selain itu dalam rangka pengendalian jumlah populasi jaring apung ini, sesuai dengan SK Gubernur No. 16 Tahun 1998, maka ditetapkan jumlah jaring apung untuk Waduk Cirata sebanyak 12.000 petak.
164
Konstruksi jaring apung harus mempunyai kriteria seperti: pelampung terbuat dari fiberglass atau sejenisnya, jaring apung terbuat dari nylon ukuran 2,5 m dengan diameter mata jaring apung 1,5 sampai dengan 2 cm terdiri atas 2 lapis, rangka terbuat dari besi siku L 50.50.5, ukuran petak 7 x 7 m, serta landasan dari papan kayu kualitas baik/tahan cuaca. Gudang pakan dan ruang jaga harus mempunyai: atap seng (dicat sesuai dengan pengaturan blok), dinding triplek/bilik, tiang kayu/besi dengan sambungan baut/besi, ventilasi, fasilitas yang tersedia harus ada tong sampah, penangkal petir, alat pelampung, penerangan, MCK, alat komunikasi, copy IUP (Ijin Usaha Perikanan), SPBI (Surat Pembudidayaan Ikan ) dan plat nomor resmi.
7.2.3. Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Cirata PT PJB BPWC sesuai SK DIR 019.K/010/DIR/2007 dipimpin dan dikelola oleh Kepala, Kepala bidang teknik dan Kepala bidang administrasi dan keuangan. Berdasarkan SK Direksi PT. PJB No.037.K/023/DIR/1998 tanggal 18 Desember 1998, BPWC merupakan pengelola Waduk Cirata yang berwenang dalam mengelola lingkungan perairan waduk termasuk budidaya ikan sistem KJA di perairan tersebut. Namun demikian untuk bidang perikanan selanjutnya dikelola oleh berbagai pihak yang terkait Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta yang tertuang dalam Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Bupati Cianjur, Bupati Purwakarta dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) tahun 2003 tentang pengembangan pemanfaatan kawasan Waduk Cirata. Dalam pengelolaan lingkungan perairan waduk yang terkait dengan budidaya ikan, telah dituangkan dalam bentuk aturan tertulis tentang status setiap
165
kelembagaan dalam surat keputusan. Hal ini sejalan dengan pertimbangan bahwa dalam suatu koordinasi kelembagaan perlu suatu aturan permainan. Pembudidaya ikan di lingkungan perairan waduk ini mendapatkan pembinaan yang dominan dari dinas perikanan setempat. Pembinaan tersebut dalam bentuk pemberitahuan teknis budidaya ikan sistem KJA pada setiap pengurusan SIUP. Pembinaan tersebut mencakup aspek legal teknis dan sosial ekonomi termasuk pengaturan pola tanam pada bulan-bulan tertentu yang dianggap rawan tidak melakukan penanaman ikan mas (Diskan Jawa Barat 1996). Disamping itu. pembatasan frekuensi penanaman yang dilakukan maksimal 3 periode dalam setahun dan penyuluhan yang dilakukan menggunakan pendekatan kelompok. Kelompok Kerja ini secara khusus menetapkan petunjuk teknis budidaya ikan jaring apung di lingkungan perairan waduk Cirata.
Beberapa bahasan
penting dalam hubungannya dengan budidaya ikan antara lain zonasi perairan budidaya ikan jaring apung, kriteria jaring apung, tata nama jaring apung perizinan dan pengendalian. 7.2.4. Batas Yurisdiksi Berdasar hasil penelitian terlihat bahwa, peraturan yang ada pada BPWC dan SK Direksi untuk izin Iokasi budidaya ikan merupakan kewenangan BPWC terkait dengan Surat Penempatan Lokasi (SPL). Sedangkan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat mempunyai kewenangan memberikan Izin Usaha (IUP). Pengaturan yang dilaksanakan oleh BPWC adalah pemberian izin lokasi budidaya ikan sistem KJA berpedoman kepada luasan maksimum yang diperhitungkan terus menurun sampai tidak lebih dari 2 % dari luas perairan
166
Waduk secara keseluruhan. Di lain pihak dinas perikanan juga menyatakan bahwa IUP dibuat atas rekomendasi izin lokasi yang dikeluarkan oleh BPWC. Dalam hal pembinaan terhadap pembudidaya suatu hal yang ditekankan adalah pengelolaan waduk dalam hubungannya dengan budidaya ikan yaitu penggunaan pakan yang efisien, tepat dalam jumlah dan mutu. 7.2.5. Hak dan Kewajiban Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan tugas dan fungsi BPWC secara kelembagaan anggota tim telah bekerja sesuai dengan tugasnya masingmasing. Kewajiban BPWC adalah membina pembudidaya untuk ikut mengelola waduk terutama dalam hal penggunaan pakan dan pembuangan sampah diwajibkan dibuang ke tempat sampah yang telah disediakan (tong sampah). Disamping itu. bersamaan dengan fungsi lainnya adalah pengaturan tinggi muka air waduk yang sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan keringnya air waduk karena keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pembudidaya ikan. Pada sisi lain, dinas perikanan berkewajiban membina pembudidaya ikan agar tertib dalam berusaha dan tidak melakukan cara-cara tertentu yang tidak wajar atau mencemarkan perairan waduk termasuk didalamnya adalah pengelolaan pakan ikan. Dari segi pembudidaya ikan mereka telah berusaha menjaga kebersihan perairan waduk dengan cara membuang sampah di tong sampah. Namun demikian pembudidaya menyatakan bahwa seharusnya merekapun menerima informasi tentang keadaan perubahan air di lingkungan perairan waduk yang selama ini belum mereka terima. kecuali penentuan waktu tanam setelah adanya kejadian kematian ikan. Hal ini sejalan dengan prinsip
167
bahwa disamping tanggung jawab (kewajiban) harus pula diimbangi dengan hakhak (Schmid. 1972). Selain itu semua pembudidaya tidak merasa keberatan dengan aturan alokasi dan penempatan KJA serta pengaturan pembuangan sampah, pembayaran sewa perairan dan SIUP. Hak dan kewajiban pembudidaya ikan diperkirakan akan lebih tertihat partisipasinya misalnya dalam efisiensi penggunaan pakan ikan. Apabila para pembudidaya tersebut dibentuk atas beberapa kelompok. Hal ini akan semakin diperlukan bagi pembudidaya luar lokasi yang secara keseluruhan bukan pemilik penggarap sehingga kurang perhatiannya terhadap pengelolaan pakan yang pada akhimya dapat berpengaruh negatif terhadap kualitas lingkungan perairan waduk.
Hal yang diperlukan para pembudidaya ikan guna
pengembangan usaha mereka adalah pinjaman modal untuk pembuatan KJA baru dan pembelian pakan ikan dalam bentuk kredit bunga rendah atau tanpa bunga sama sekali. 7.2.6. Aturan Representasi Aturan representasi antar lembaga terkait dalam pengelolaan lingkungan perairan waduk dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA sudah berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini antara lain dapat terlihat dengan adanya Surat Keputusan (SK) Direksi PJB. kelembagaan
yang
diperlukan
Dalam SK tersebut terdapat perwakilan
dalam
hubungannya
dengan
pengelolaan
lingkungan perairan waduk dalam hubungannya dengan Perikanan termasuk Tim Pengendali yang dibentuk, maka perwakilan pembudidaya tersebut dapat menjadi mitra pembina dan manajer dalam rangka menyadarkan mereka sesama pembudidaya tentang pentingnya pemberian pakan yang tepat baik dalam jumlah
168
maupun mutu untuk tujuan pengendalian baik jumlah KJA maupun penggunaan pakan. Hal ini akan budidaya ikan sistem KJA. Perwakilan pembudidaya ikan di Waduk Cirata dalam bentuk kelompok pembudidaya ikan, Gabungan kelompok pembudidaya ikan (GAPOKTAN), Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS), dan Asosiasi Pembudidaya Ikan Cirata (ASPINDAC).
Kelompok ini dipandang perlu sebagai pelaksana
budidaya ikan sistem KJA di lingkungan perairan waduk tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pembudidaya ataupun kelompoknya selalu berada di lingkungan perairan tersebut. Secara langsung mereka dapat melihat kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan perairan waduk. Selain itu, pembudidaya sebagai pelaksana budidaya ikan sistem KJA dapat berfungsi sebagai pengawas satu sama lain dalam hubungannya dengan kebersihan lingkungan perairan waduk Fungsi lainnya adalah fungsi komunikasi, yaitu perwakilan pembudidaya dapat menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi baik terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas air di lingkungan perairan waduk maupun permodalan dalam mengembangkan usahanya. Sebaliknya juga pengaturan yang datangnya dari BPWC ataupun Dinas Perikanan akan dengan mudah sampai ke tangan pembudidaya.
Bagi Dinas
Perikanan dan instansi pembina lainnya, jika ada perwakilan pembudidaya ikan diduga akan lebih efektif hasilnya daripada penyuluhan yang diadakan secara berkelompok maupun surat pemberitahuan dan pengendalian yang dilakukan Tim Pengendali. Dengan demikian kepentingan lembaga pembina agar pembudidaya ikan dapat menjaga lingkungan perairan waduk agar tetap bersih dan tidak
169
tercemar akan dapat dicapai sehingga penggunaan air waduk untuk kepentingan di luar perikanan sistem KJA dapat terjamin. Begitu pula pembudidaya diberi pengertian bahwa hal tersebut juga akan menjaga keberlanjutan budidaya ikan yang mereka laksanakan di lingkungan perairan waduk ini. Ini berarti kedua belah pihak mendapatkan manfaat.
7.3. Persepsi Lembaga Terkait Terhadap Keberadaan Budidaya Ikan Kesamaan persepsi antar lembaga terkait terhadap keberadaan budidaya ikan akan menunjang keberhasilan pengelolaan lingkungan perairan waduk dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA yang dilaksanakan pembudidaya ikan. Dalam hal ini suatu persepsi yang sama menghasilkan suatu tujuan akhir yang bermuara kepada pembangunan berwawasan lingkungan. Kelembagaan yang telah disebut pada sub-bab sebelumnya telah menyepakati pentingnya kesamaan persepsi sebagai titik tolak bagi langkah pengelolaan perairan Waduk Cirata dalam kaitannya dengan budidaya ikan KJA. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kesamaan persepsi mencakup pada 3 (tiga) hal mendasar, yakni alokasi KJA dan bentuk eksternalitas budidaya KJA. Persepsi yang terkait dengan alokasi KJA dalam konteks bahwa tidak semua bagian perairan Waduk Cirata dapat digunakan untuk budidaya KJA, selain itu, KJA harus terletak di kedalaman tertentu sehingga disamping akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ikan, juga tidak akan mempercepat pendangkalan waduk disebabkan sedimentasi yang timbul dari pakan sisa. BPWC dan lembaga formal pemerintah daerah menyadari bahwa luas alokasi KJA sudah melebihi ketentuan yang dipakai oleh berbagai negara lain. China membatasi jumlah luasan KJA kurang dari 1%, Vietnam 0,6%, dan Phillipina 0,5% dari luas
170
keseluruhan waduk. Luas alokasi KJA di perairan Waduk Cirata telah mencapai 19,7% dan akan diupayakan menurun sampai 2% dari luas waduk. Persepsi yang terkait dengan eksternalitas budidaya KJA walaupun belum tersosialisasi secara menyeluruh sampai pada tingkat petani, namun telah sama dipahami bersama oleh lembaga formal seperti BPWC dan Dinas Perikanan. Penyebab terjadinya kematian massal dan menurunnya produksi perikanan disebabkan
oleh
meningkatnya
kesuburan
perairan
oleh
phytoplankton.
Kesuburan phytoplankton lebih disebabkan oleh banyaknya pakan ikan yang terbuang karena tidak termakan oleh ikan ataupun berasal dari feses dan urine atau ikan mati. Persepsi yang sama adalah menyangkut perlunya mencegah terjadinya eksternalitas dalam bentuk manajemen pemberian pakan. Riset tentang ini belum diperoleh secara utuh sehingga belum diputuskan bentuk sosialisasi apa yang harus dilakukan agar pemberian pakan menjadi lebih tertata dalam kerangka penyehatan lingkungan. Selain persepsi di atas, persepsi lain yang muncul adalah perlunya upaya pengerukan sebagai upaya perbaikan lingkungan perairan Waduk Cirata. Persepsi terakhir ini didukung oleh Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), untuk mencegah terjadinya pengerasan sedimen yang terletak di dasar perairan. Dengan demikian, secara keseluruhan tidak ada perbedaan persepsi diantara lembaga yang terkait dengan pengelo1aan lingkungan perairan waduk terhadap keberadaan budidaya ikan sistem KJA dan kematian ikan yang terjadi di perairan waduk. Kemudian, persepsi ini searah dengan kebijakan yang diambil oleh masing-masing kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan perairan kaitannya
171
terhadap budidaya ikan sistem KJA seperti yang tercermin pada penjelasan tentang koordinasi, batas yurisdiksi serta hak dan kewajiban kelembagaan.
7.4. Analisis Aktor/pelaku dan Tingkat Kepentingannya Aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan perairan Waduk Cirata berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya pada kuadran I (Subjek) ditempati oleh para pedagang sarana produksi perikanan, seperti penyedia benih, penyedia pakan dan sekaligus sebagai pembeli produksi ikan budidaya KJA. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap perairan Waduk Cirata, tapi kurang terlibat secara intens dalam merumuskan berbagai hal yang mengarah pada upaya pelestarian perairan Waduk Cirata. Ketergantungan tinggi yang dimaksud disini dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi yang dapat diraih dalam usaha budidaya ikan KJA. Para pengusaha perikanan di sektor benih, pakan, obatobatan di sekitar Waduk Cirata selama ini meraih keuntungan yang tidak sedikit. Betapa tidak. Nilai ekonomi untuk sektor perbenihan dan penyediaan pakan bagi budidaya KJA sebanyak 43.350 petak yang rata-rata menggunakan 48,75 kg benih/petak dan pakan 1,5 ton/petak akan mencapai 370,6 M untuk benih dan 56,18 M untuk pakan selama satu musim tanam. Kuadran II (Pemain) ditempati oleh BPWC, Dinas Perikanan Provinsi, Dinas Perikanan Kabupaten, Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum (BPPU) dan UPTD-nya, petani ikan dan PokMasWas.. Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan perairan Waduk Cirata. Sedangkan Kuadran III (Penonton) ditempati oleh aparat desa, perbankkan dan rentenir. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap perairan Waduk Cirata sebagai sumberdaya ikan dan juga tidak terlalu berpengaruh
172
terhadap pengelolaannya. Adanya fleksibelitas usaha bagi aparat desa dalam kegiatan perekonomian yang tidak harus di sektor perikanan, tetapi bisa juga sektor pertanian menyebabkan aparat desa tidak memiliki kepentingan khusus terhadap keberlangsungan perairan Waduk Cirata sebagai sumberdaya perikanan. Sementara itu perbankkan yang bersaing dengan para rentenir hanya berperan sebagai penyedia sarana permodalan bagi para petani ikan. Biasanya petani ikan yang mendapat pinjaman modal dari bank adalah petani yang telah menjadi anggota kelompok tani tertentu. Petani ikan yang tidak menjadi anggota kelompok tani apabila butuh dana bagi usaha budidaya KJA menggunakan jasa rentenir atau para pedagang sebagaimana yang ada di Kuadran I. Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh tenaga keamanan yang bertugas mengutip uang keamanan kepada para petani ikan. Kelompok ini memiliki pengaruh tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di perairan Waduk Cirata. Mereka hanya mengutip, dan tidak berperan sebagai penegak hukum atas terhadap pelanggaran aktivitas budidaya KJA yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Keberadaan aktor yang ada di kuadran I perlu didorong lebih ke tengah lagi jangan hanya sekedar berkepentingan tinggi terhadap sumberdaya perairan, tapi tidak mau berperan serta merumuskan apa yang sama-sama patut dimunculkan bagi kepentingan pelesatarian perairan. Dukungan pemerintah dan BPWC serta aktor yang ada di kuadran II diperlukan agar kelompok I terdorong/tergeser ke kuadran II.
173
Secara keseluruhan aktor-aktor harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Waduk Cirata dapat dikelompokkan berdasarkan 4 (empat) yaitu: I. Kelompok petani. Aktor-aktor yang berperan ditingkat petani ikan terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu petani yang menjadi anggota kelompok tani dan bukan atau belum menjadi anggota kelompok tani. Banyak di antara petani ikan yang bukan menjadi anggota kelompok tani, ternyata merupakan tokoh masyarakat sekitar, sehingga mereka mutlak harus menjadi perahatian. II. Kelompok kedinasan, yaitu BPWC, Pemprov Jabar, Pemkab 3 Kabupaten , yang diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cianjur, Bandung Barat dan Purwakarta, BPPPU, III. Kelompok pengusaha/swasta. Kelompok swasta ini umumnya adalah para penyandang dana bagi petani ikan yang membutuhkan dana untuk musim tanam berikutnya. Keberadaan kelompok swasta ini sangat bermanfaatan bagi para nelayan, terutama dalam pengembangan modal usaha, namun juga berperan sebagai pembeli produksi perikanan. IV. Kelompok keamanan, yang ditempati oleh beberapa penduduk tertentu yang yang telah diminta/ditunjuk oleh desa sebagai tenaga keamanan.