VARIASI GENETIK DAN PERUBAHAN PATOLOGIS INFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) PADA Cyprinus carpio
BUDI SUGIANTI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi
Variasi Genetik
dan
Perubahan
Patologik Infeksi Koi Herpesvirus (KHV) pada Cyprinus carpio adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
Budi Sugianti NRP B161020071
Abstract
BUDI SUGIANTI. Genetic Variation and Pathological Changes of Koi Herpesvirus (KHV) Infection of Cyprinus carpio. Under supervision of MARTHEN B.M. MALOLE, BAMBANG PONTJO P., S. BUDI PRAYITNO, ETTY RIANI. KHV has made mass mortality in koi and common carp, and spread out to many countries. In Indonesia, KHV has caused outbreaks of mass mortality in many provinces, and cause economic losses and significant social matter. The aim of this research are to recognize and to analyze genetic variation of KHV that infects Cyprinus-carpio and to recognize its biogeographic distribution in Indonesia as well as to recognize and to analyze tissues pathological changes which infected by KHV. In this research, the fish that have been used are koi and common carp which suspected infected by KHV according to the clinical symptoms derived from 20 provinces in Indonesia. In every fish sample was taken its gill to PCR examination and then was done sequencing DNA (for KHV positive samples), for histopathology and immunohistochemistry examination, the organs that were taken: gill, kidney, spleen, intestine or digestive tract, liver, heart, and brain. Based on the results of sequencing DNA KHV and phylogenetic tree construction that has been made, there are 17 variants from 18 samples KHV positive was found. Those variants can be grouped into two clusters the main branch which consisted of group 1 includes variants KHV from South Kalimantan, Lampung, West Papua, West Kalimantan, West Java, Bali, East Nusa Tenggara. Then group II consists of KHV variants from North Sumatra, West Kalimantan, West Nusa Tenggara, Riau, East Kalimantan, and DKI Jakarta. Related to the infections of KHV variants on koi and common carp, pathological changes were found in such organs (gill, spleen, kidney, intestine and digestive tract, liver, heart, and brain). Pathological changes in gill organ was found proliferation of epithelial cells and fusion of secondary lamella, hypertrophy epithelial cells of gill lamella, telangiectasis, the inclusion body, edema, proliferation of hyaline layer and fibrosis at the base of the gills. Spleen pathological change was found infiltration of inflammatory cells or lymphocytes, appeared MMC, hemorrhage, congestion, and edema. Kidney pathological change was found hemorrhage, proliferation of cells in the interstitial, MMC, thickening of the tubule, inflammation of the glomerulus, the inclusion body, congestion, edema, fibrosis, necrosis of the glomerular. Intestine and digestive tract was found hemorrhage, enteritis, proliferation, goblet cells, fusion of the villi, deposit enterolit on gastric, congestion, edema, and necrosis in krypta. Liver pathological change was found hydropic degeneration, perivascular cuffing, congestion, and fibrosis. Heart pathological change was found infiltration of inflammatory cells or lymphocytes in the endocardium, hemorrhage, epicarditis, pericarditis, myocarditis, vacuolization, congestion, edema, fibrosis, and necrosis. Keywords: Koi Herpesvirus, Genetic Variation, Pathological Change, Cyprinus carpio.
RINGKASAN BUDI SUGIANTI. Variasi Genetik dan Perubahan Patologis Infeksi Koi Herpesvirus (KHV) pada Cyprinus carpio. Dibimbing oleh MARTHEN B.M. MALOLE, BAMBANG PONTJO P., S. BUDI PRAYITNO, dan ETTY RIANI. KHV diketahui telah menyebabkan kematian masal pada golongan ikan mas dan koi. Virus ini telah tersebar di berbagai negara di dunia. Di Indonesia, KHV dilaporkan telah menimbulkan wabah kematian masal di banyak provinsi, dan menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis variasi genetik KHV yang menginfeksi Cyprinus carpio dan mengetahui sebaran biogeografisnya di Indonesia, mengetahui dan menganalisis perubahan patologis jaringan yang terinfeksi KHV, serta mengetahui dan menganalisis penyebaran KHV pada jaringan organ-organ target yang terinfeksi KHV. Dalam penelitian ini, ikan uji yang digunakan adalah ikan mas dan koi yang diduga positif terinfeksi KHV berdasarkan pada gejala klinis yang berasal dari 20 provinsi di Indonesia. Pada setiap ikan sampel diambil organ insang untuk pemeriksaan PCR, dan selanjutnya dilakukan sekuensing DNA (untuk sampelsampel positif KHV). Untuk pemeriksaan histopatologi dan uji imunohistokimia, organ yang diambil terdiri dari insang, ginjal, limpa, usus/saluran pencernaan, hati, jantung, dan otak. Pemeriksaan sampel dengan metoda PCR dimulai dengan melakukan ekstraksi DNA KHV dari insang, selanjutnya dilakukan amplifikasi produk DNA, elektroforesis, serta pengamatan dan dokumentasi. Hasil menunjukkan positif KHV jika terlihat ada pita DNA pada ukuran fragmen 290 bp. Uji PCR dilakukan untuk meneguhkan diagnosa KHVD terhadap ikan mas dan koi sampel yang menunjukkan gejala klinis melalui pengamatan secara makroskopik. Selain menggunakan metoda PCR dan DNA Sequencing, pemeriksaan KHV juga dilakukan dengan pemeriksaan histopatologik dan uji imunohistokimia. Pemeriksaan histopatologik dilakukan untuk mengetahui perubahan patologik pada organ-organ yang terinfeksi varian-varian KHV, dan dilakukan dengan menggunakan pewarna rutin hematoksilin eosin (HE). Selanjutnya, pada uji imunohistokimia dilakukan aplikasi dengan kromogen DAB. Perubahan warna menjadi cokelat/kecokelatan menunjukkan jaringan positif terinfeksi KHV. Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Analisis dilakukan terhadap hasil uji PCR dan imunohistokimia pada ikan-ikan yang positif KHV. Selanjutnya, hasil sekuensing DNA KHV digunakan sebagai dasar pembuatan pohon filogenetik. Konstruksi pohon filogenetik dibuat menggunakan metoda Neighbor Joining dengan 100 x replikasi menggunakan software ClustalX. Hasil yang diperoleh dianalisis untuk memberikan gambaran tentang jarak genetik/kemiripan varian-varian KHV yang ditemukan. Untuk mengetahui perubahan patologik jaringan yang terinfeksi varian-varian KHV dan penyebarannya pada organ-organ target, dilakukan pendekatan dengan pemeriksaan histopatologik dan imunohistokimia.
Dari sejumlah sampel bergejala klinis KHV, sebanyak 18 sampel ditemukan positif KHV melalui PCR dan juga positif dengan metoda imunohistokimia. Sedangkan 4 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif dengan metoda PCR, namun memberikan hasil positif dengan metoda imunohistokimia. Hal tersebut menunjukkan 4 sampel genom tidak dapat diamplifikasi melalui PCR. Sampel-sampel genom yang tidak berhasil diamplifikasi adalah genom asal Jawa Timur, Sumatera Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Hal yang dapat menyebabkan kegagalan amplifikasi adalah penggunaan primer kurang spesifik untuk sampel-sampel genom dari 4 provinsi tersebut. Adanya variasi genetik KHV yang relatif tinggi atau jarak genetik yang relatif jauh pada sampel-sampel genom dari 4 lokasi dibandingkan dengan sampel-sampel genom yang berhasil diamplifikasi, dapat merupakan penyebab kegagalan proses amplifikasi. Berdasarkan hasil sekuensing DNA KHV dan konstruksi pohon filogenetik yang dibuat, ada 17 varian dari 18 sampel positif KHV yang ditemukan. Varian-varian tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 clusters cabang utama yang terdiri dari kelompok I meliputi varian-varian KHV yang berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, D.I. Yogyakarta, Sumatera Barat, Bengkulu, D.I. Aceh, dan Kalimantan Timur. Selanjutnya kelompok II terdiri dari varian-varian KHV yang berasal dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tengara Barat, Riau, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Berkaitan dengan infeksi varian-varian KHV pada ikan mas dan koi, perubahan patologis yang ditemukan diantaranya terjadi pada organ-organ insang, limpa, ginjal, usus dan saluran pencernaan, hati, jantung, dan otak. Perubahan patologis organ insang yang ditemukan antara lain adalah proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder dan fusi lamela, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang, telangiectasis, adanya inclusion body, edema, proliferasi lapisan hyaline, dan fibrosis pada pangkal insang. Perubahan patologis organ limpa yang ditemukan antara lain infiltrasi sel-sel radang/limfosit, tampak MMC, hemoragi, kongesti dan edema. Perubahan patologis organ ginjal yang ditemukan antara lain hemoragi, proliferasi sel-sel di interstisial, tampak MMC, penebalan pada tubulus, radang pada glomerulus, adanya inclusion body, kongesti, edema, fibrosis, dan nekrosis pada glomerulus. Perubahan patologis pada usus/saluran pencernaan yang ditemukan antara lain adalah hemoragi, enteritis, proliferasi sel-sel goblet, fusi vili, deposit enterolit pada lambung, kongesti, edema, dan nekrosis pada krypta. Perubahan patologis organ hati yang ditemukan antara lain adalah degenerasi hidropik, perivascular cuffing, kongesti, dan fibrosis. Perubahan patologis pada organ jantung yang ditemukan antara lain adalah infiltrasi sel-sel radang/limfosit pada endokardium, hemoragi, epikarditis, perikarditis, myokarditis, vakuolisasi, kongesti, edema, fibrosis, dan nekrosis. Perubahan patologis organ otak yang ditemukan antara lain adalah hemoragi, vakuolisasi, perivascular cuffing, satelitosis, gliosis, kongesti, edema, fibrosis, dan nekrosis. Keywords: koi herpesvirus, variasi genetik, perubahan patologis, Cyprinus carpio
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
VARIASI GENETIK DAN PERUBAHAN PATOLOGIS INFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) PADA Cyprinus carpio
BUDI SUGIANTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.drh. Eva Harlina, MSi., AP Vet. Dr. Ir. Sri Nuryati, MS Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Syamsul Ma’arif Dr. Ir. Edi Supriyono, MSc.
Judul Disertasi Nama NRP
: Variasi Genetik dan Perubahan Patologik Infeksi Koi Herpesvirus (KHV) pada Cyprinus carpio : Budi Sugianti : B161020071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Marthen B. M. Malole Ketua
Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS., AP Vet. Anggota
Prof. Dr. Ir. S. Budi Prayitno, MSc. Anggota
Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. drh. Banbang Pontjo P., MS., AP Vet.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji hanya kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan hasil penelitian ini. Disertasi ini berisi informasi tentang variasi genetik dan perubahan patologik infeksi koi herpesvirus (KHV) pada Cyprinus carpio. Informasi tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi KHV di Indonesia. Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai ditujukan kepada Bapak Dr. Marthen B.M. Malole selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo, MS., AP Vet., Bapak Prof. Dr. Ir. S. Budi Prayitno, MSc., dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani MS., selaku anggota komisi pembimbing, atas keikhlasan dan kesabarannya yang telah memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dorongan selama perencanaan, pelaksanaan dan penulisan hasil penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Kepala Pusat Karantina Ikan beserta staf, Kepala Balai Uji Standar Karantina Ikan beserta seluruh staf, serta rekan-rekan yang telah membantu, selama penulis menempuh pendidikan serta menyelesaikan penelitian ini. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang terutama dalam pengembangan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ikan di Indonesia.
Bogor, Januari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1964, sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan (Alm.) R. Rafioedin Nitikoesoema (Ayah) dan R. Marifah (Ibu). Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (lulus tahun 1987), dan pendidikan pascasarjana (S2) di Program Studi Manajemen Keuangan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta (lulus tahun 1994). Selanjutnya pada tahun 2002, penulis melanjutkan ke program doktor (S3) pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bekerja di Pusat Karantina Ikan (Puskari), Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), sebagai Kepala Bidang Sistem Perkarantinaan Ikan. Dua buah artikel ilmiah berjudul Perubahan Histopatologi Beberapa Organ Ikan Mas Positif Koi Herpesvirus (KHV) yang Dilalulintaskan di Indonesia akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner Indonesia Hemera Zoa pada tahun 2012. Artikel lain berjudul Deteksi Variasi Genetik Koi Herpesvirus pada Cyprinus carpio dengan Metoda PCR, Sekuensing DNA, dan Imunohistokimia pada Titik Masuk Transportasi Ikan di Indonesia, akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner Universitas Udayana pada tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI..................................................................................................... i DAFTAR TABEL............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iv I.
PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2 1.3. Kerangka Pemikiran Penelitian........................................................ 3 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 5 1.5. Kebaruan (Novelty) .......................................................................... 6 1.6. Batasan Penelitian ............................................................................ 6 1.7. Hipotesis........................................................................................... 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 8 2.1. Karakteristik KHV ........................................................................... 8 2.2. Variasi Genetik................................................................................. 11 2.3. Inang................................................................................................. 15 2.4. Mekanisme dan Perubahan Patologik Infeksi KHV ........................ 16 2.5. Pengaruh Lingkungan ...................................................................... 22 2.6. Sebaran Geografis ............................................................................ 24
III. BAHAN DAN METODA PENELITIAN ............................................ 29 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian ......................................................... 29 3.2. Bahan Penelitian............................................................................... 29 3.2.1. Ikan Uji. .................................................................................. 29 3.2.2. DNA Virus. ............................................................................. 29 3.2.3. Bahan. ..................................................................................... 29 3.2.4. Peralatan.................................................................................. 30 3.3. Prosedur Penelitian........................................................................... 31 3.3.1. Pengambilan Sampel............................................................... 31 3.3.2. Pengamatan Gejala Klinis. ...................................................... 32 3.3.3. Nekropsi. ................................................................................. 33
i
3.4. Uji PCR dan Sekuensing DNA ........................................................ 35 3.4.1. Ekstraksi DNA. ....................................................................... 35 3.4.2. Amplifikasi DNA. ................................................................... 36 3.4.3. Elektroforesis. ......................................................................... 37 3.4.4. Pengamatan dan Dokumentasi. ............................................... 37 3.4.5. Purifikasi DNA. ...................................................................... 37 3.4.6. Amplifikasi Cycling Sequencing............................................. 38 3.4.7. Purifikasi Cycling Sequencing. ............................................... 39 3.4.8. Sequencing DNA..................................................................... 39 3.5. Pemeriksaan Histopatologik ............................................................ 40 3.6. Pemeriksaan Jaringan dengan Teknik Immunohistokimia .............. 41 3.7. Analisis Data .................................................................................... 42 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 43 4.1. Gejala Klinis..................................................................................... 43 4.2. Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) ........................................... 49 4.3. Uji Immunohistokimia ..................................................................... 51 4.4. Variasi Genetik dan Sebaran Geografis ........................................... 53 4.5. Perubahan Patologik Infeksi KHV................................................... 57 4.5.1. Perubahan Patologik Pada Insang . ......................................... 63 4.5.2. Perubahan Patologik Pada Ginjal ........................................... 81 4.5.3. Perubahan Patologik Pada Limpa . ......................................... 87 4.5.4. Perubahan Patologik Pada Hati .............................................. 94 4.5.5. Perubahan Patologik Pada Usus ............................................. 102 4.5.6. Perubahan Patologik Pada Jantung . ....................................... 108 4.5.7. Perubahan Patologik Pada Otak . ............................................ 113 V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 120 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 120 5.2. Saran................................................................................................ 121 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 122
ii
DAFTAR TABEL
1. Asal dan jumlah sampel ikan. ........................................................................................ 30 2. Gejala klinis varian-varian KHV pada Cyprinus carpio................................................ 45 3. Jumlah lokasi sampel ikan positif KHV dengan metode PCR dan imunohistokimia ............................................................................................................ 50 4. Hasil sekuensing DNA KHV dari ikan sampel positif KHV......................................... 58 5. Jarak genetik dan similaritas varian-varian KHV yang ditemukan dalam penelitian ............................................................................................................. 62 6. Perubahan patologik jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji PCR dan metode immunohistokimia...................................................................................... 68 7. Perubahan patologik jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan metode immunohistokimia............................................................................................. 72 8. Perubahan patologik infeksi varian-varian KHV pada Cyprinus carpio ...................... 74
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bentuk famili Herpesviridae ............................................................... 8 2. Virion-virion KHV yang terdapat pada sel-sel KF 1 . ......................... 9 3. Spesifikasi PCR primer set yang didesain Grey et al. (2002) ............. 11 4. Strategi dasar replikasi virus dengan genom ds DNA . ....................... 17 5. Gejala klinis ikan yang terserang KHV . ............................................. 20 6. Jaringan insang yang terinfeksi KHV . ................................................ 21 7. Nekropsi ikan: pengguntingan kulit bagian ventral ikan dari anus ke jaringan isthmus . ............................................................................ 35 8. Beberapa bentuk dan posisi organ internal ikan . ................................ 35 9. Gejala klinis ikan mas sampel yang terduga terinfeksi KHVD . ......... 44 10. Hasil pemeriksaan ikan sampel dengan metoda PCR . ........................ 51 11. Hasil pemeriksaan dengan metode immunohistokimia ....................... 52 12. Pohon filogenetik KHV . ..................................................................... 60 13. Pohon filogenetik KHV . ..................................................................... 61 14. Peta sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia . ................... 63 15. Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder (a) dan edema (b) pada insang........................................................................................... 66 16. Infiltrasi sel-sel radang pada insang ................................................... 66 17. Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder pada insang........................ 67 18. Telangiectasis pada insang................................................................... 67 19. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan insang ......... 80 20. Penebalan lumen tubulus dan nekrosis tubulus.................................... 83 21. Haemoraghi pada ginjal. ...................................................................... 84 22. Infiltrasi MMC pada ginjal ................................................................. 84 23. Inclusion body (a) dan nekrosis (b) pada ginjal. ................................. 85 24. Kongesti pada ginjal ............................................................................ 85 25. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan ginjal ........... 86 26. Infiltrasi MMC pada limpa. .................................................................. 91 27. Kongesti dan infiltrasi MMC pada limpa............................................ 92 28. Peningkatan aktivitas limfosit pada limpa. ......................................... 92 iv
29. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan limpa.. ... 93 30. Perivascular cuffing pada hati. ............................................................ 100 31. Degenerasi hidropik (a), kongesti (b), infiltrasi MMC (c), pada hati. 100 32. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan hati.. ............ 101 33. Proliferasi sel-sel goblet pada usus. ..................................................... 105 34. Edema pada saluran pencernaan. ......................................................... 105 35. Fusi vili pada usus................................................................................ 106 36. Haemoraghi pada saluran pencernaan. ................................................ 106 37. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan usus. ............ 107 38. Epikarditis pada jantung ...................................................................... 110 39. Kongesti pada jantung.......................................................................... 110 40. Vakuolisasi pada jantung...................................................................... 111 41. Miokarditis pada jantung...................................................................... 111 42. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan jantung. ....... 112 43. Kongesti pada otak . ............................................................................ 115 44. Gliosis pada otak. ................................................................................. 115 45. Infiltrasi sel radang (mononuclear perivascular cuffing)..................... 116 46. Nekrosis pada otak ............................................................................. 116 47. Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan otak. ............ 117
v
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu spesies ikan yang cukup luas dibudidayakan dan dipelihara di
Indonesia adalah ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Ikan mas dibudidayakan untuk tujuan konsumsi, sedangkan ikan koi dipelihara karena keindahannya. Tingginya permintaan dunia maupun domestik terhadap ikan-ikan tersebut, membawa konsekuensi meningkatnya lalulintas ikan mas dan koi, baik antar negara maupun antar area di dalam wilayah negara Indonesia. Salah satu resiko meningkatnya perdagangan ikan adalah terbawanya hama dan penyakit ikan berbahaya yang apabila tidak dilakukan tindakantindakan pencegahan penyebarannya, maka dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak kecil. Pada bulan Maret tahun 2002, dilaporkan telah terjadi wabah kematian masal pada ikan mas dan koi yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar. Serangan pertama kali terjadi di Blitar Jawa Timur. Wabah terjadi pada ikan koi yang baru datang dari Surabaya. Ikan koi ini diimpor dari Cina ke Surabaya melalui Hong Kong kurang lebih pada bulan Desember 2001-Januari 2002 (Sunarto et al., 2004). Pada waktu yang tidak terlalu lama sejak kejadian pertama kalinya di Blitar, wabah penyakit ini dilaporkan telah
menyebar di beberapa lokasi pembudidayaan maupun
penampungan ikan mas dan koi di beberapa provinsi. Umumnya, wabah terjadi setelah hujan deras dengan total kematian mencapai 80-95%. Ikan yang sakit memperlihatkan gejala klinis antara lain kerusakan insang, pendarahan pada
1
pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh, sunken eyes, sering juga ditemukan adanya kulit yang melepuh. Agen penyakit ini diketahui sangat ganas dan cepat menular, baik melalui ikan-ikan yang terinfeksi maupun media air pemeliharaan ikan yang terkontaminasi (Sunarto et al., 2005, Taukhid et al., 2004). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA) menemukan beberapa bukti ilmiah yang mendukung bahwa wabah ini disebabkan oleh koi herpesvirus (KHV) (Sunarto et al., 2004). KHV merupakan salah satu anggota Herpesviridae yang menyerang ikan mas dan koi di banyak negara dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Perelberg et al., 2003). Selain Indonesia, beberapa negara yang dilaporkan telah terserang wabah penyakit KHV yaitu Israel, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Afrika Selatan, Cina, Taiwan, dan Jepang (Hedrick et al., 2005). Koi herpes virus disease (KHVD) telah menjadi wabah pada ikan mas dan koi hampir di seluruh Indonesia. Namun demikian, hingga saat ini data dan informasi tentang variasi genetik KHV dan wilayah persebarannya di Indonesia masih terbatas.
Demikian pula halnya dengan informasi tentang perubahan
patologis infeksinya pada ikan mas dan koi, padahal data dan informasi tersebut sangat diperlukan untuk
mengembangkan langkah-langkah pencegahan dan
pengendalian infeksi KHV di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menggali informasi tentang hal tersebut di atas. 1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
2
1. Menganalisis variasi genetik KHV yang menginfeksi Cyprinus carpio. 2. Memetakan sebaran biogeografis variasi genetik KHV di Indonesia. 3. Menganalisis perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio yang terinfeksi KHV. Menganalisis penyebaran KHV pada jaringan organ-organ pada Cyprinus
4.
carpio yang terinfeksi KHV. 1.3.
Kerangka Pemikiran Penelitian KHV diketahui telah menyebabkan kematian masal pada golongan ikan
mas (Cyprinus carpio carpio) dan koi (Cyprynus carpio koi). Virus ini telah tersebar terutama di Amerika Utara , Eropa, Israel, dan Asia. Di Indonesia, wabah kematian masal pada ikan mas dan koi akibat KHV pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 2002, yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar. Serangan pertama kali terjadi di Blitar Jawa Timur, kemudian dengan cepat menyebar ke tempat-tempat pembudidayaan maupun penampungan ikan mas dan koi di banyak provinsi. Berdasarkan hasil pemantauan hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) yang dilakukan unit-unit pelaksana teknis (UPT) karantina ikan di Indonesia, pada tahun 2010 KHV ditemukan pada 17 provinsi di Indonesia (Pusat Karantina Ikan, 2010). Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep.03/MEN/2010 tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa, dan Sebarannya, KHV merupakan salah satu jenis HPIK dari golongan virus yang dicegah masuk dan tersebarnya ke/di dalam wilayah Republik Indonesia. Selain itu, penyakit akibat
3
infeksi KHV juga termasuk kategori Diseases Listed by The OIE, yang termasuk jenis penyakit berbahaya yang perlu diwaspadai di dunia (OIE, 2010). Dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit KHV di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan antara lain melalui deteksi dini KHV dengan metoda polymerase chain reaction (PCR). Sampai saat ini, penerapan metoda PCR untuk deteksi KHV sudah meluas dan berbagai disain primer digunakan untuk pengujian KHV. Banyak lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang menerapkan metoda ini sebagai satu-satunya metoda yang dianggap paling sensitif dan spesifik untuk mendeteksi KHV.
Namun demikian, dalam
perkembangannya, seringkali ditemukan hasil uji yang variatif. Diduga telah terjadi mutasi atau ada variasi genetik KHV di Indonesia.
Menurut Walker
(2000), variasi genetik karena mutasi sekuen nukleotida dapat mencegah mengikatnya primer PCR pada sekuen target. Berkaitan dengan variasi genetik, Aoki et al. (2007) telah meneliti secara molekuler 3 isolat KHV yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat, dan Israel, dan menemukan bahwa ketiganya merupakan strain baru KHV. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sano et al. (2007) ditemukan adanya perbedaan isolat-isolat KHV dari berbagai negara seperti Israel, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Eropa.
Di Indonesia, data dan informasi yang
berkaitan dengan varian-varian KHV dan wilayah persebarannya secara geografis masih terbatas. Sejauh ini laporan KHV di seluruh Indonesia masih berupa laporan kejadian, dan belum diteliti perbandingan genetika molekulernya. Penelitian tentang variasi genetik KHV dan sebaran geografisnya di
4
Indonesia memegang peranan penting untuk mengidentifikasi varian-varian virus yang berkembang di Indonesia dan patogenesanya. Hal tersebut akan memberikan petunjuk berharga berkaitan dengan pola transmisi virus, sehingga memberikan informasi bagi tindakan pencegahan maupun pengendaliannya.
Perubahan
patologis varian KHV yang diperiksa melalui penelitian ini, juga akan menyajikan gambaran gejala klinis dan kerusakan yang ditimbulkan oleh virus dalam tubuh hospes. Melalui hal tersebut, pengenalan infeksi oleh KHV dapat bersifat variatif dalam memberikan informasi terhadap deteksi dini infeksi KHV di Indonesia. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Informasi ilmiah tentang variasi genetik KHV yang menginfeksi Cyprinus carpio. 2. Informasi ilmiah tentang sebaran geografis variasi genetik KHV di Indonesia. 3. Informasi ilmiah tentang perubahan patologis infeksi varian KHV di Indonesia. 4. Informasi ilmiah sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan,
strategi,
program dan kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit KHV di Indonesia yaitu antara lain: a) Pengembangan vaksin sesuai dengan varian KHV yang ada di Indonesia. b)
Pengembangan metode deteksi dan diagnosa penyakit berdasarkan variasi genetik KHV.
c) Pengembangan kegiatan pemantauan dan surveilen berdasarkan variasi genetik KHV yang ada di Indonesia. d) Pengembangan teknik pencegahan dan pengendalian penyakit KHV lainnya.
5
5.
Informasi ilmiah sebagai bahan evaluasi keberhasilan program dan kegiatan intervensi yang sudah dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit KHV di Indonesia.
1.5.
Kebaruan (Novelty) Hal-hal baru yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Variasi genetik KHV pada Cyprinus carpio di Indonesia. 2. Sebaran biogeografis variasi genetik KHV di Indonesia. 3. Perubahan patologis infeksi varian KHV di Indonesia. 1.6.
Batasan Penelitian Batasan penelitian ini meliputi pengamatan gejala klinis dan deteksi KHV
dengan uji PCR pada ikan-ikan yang diduga terinfeksi KHV.
Selanjutnya
dilakukan DNA sequencing untuk mengetahui profil DNA KHV dari ikan-ikan yang positif KHV yang berasal dari berbagai lokasi yang diteliti, dan dianalisis variasi genetiknya. Pengamatan dan analisis selanjutnya dilakukan terhadap histopatologi ikan-ikan yang diketahui terinfeksi KHV. Konfirmasi hasil uji PCR dan mengetahui penyebaran KHV pada jaringan atau organ-target, dilakukan pengujian dengan teknik imunohistokimia. 1.7.
Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada variasi genetik KHV yang ditemukan pada Cyprinus carpio di berbagai lokasi budidaya di Indonesia.
6
2. Varian KHV sudah menyebar secara geografis di berbagai lokasi budidaya di Indonesia. 3.
Ada hubungan antar kelompok (cluster) variasi genetik KHV dengan perubahan patologis yang ditimbulkan pada jaringan Cyprinus carpio.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Karakteristik KHV Herpesvirus adalah virus yang berukuran besar. Herpetos berasal dari
bahasa Yunani yang artinya mengerikan. Herpesviridae berbiak dalam inti, membentuk badan inklusi yang disebut “cowdry type A”. Virus-virus ini memperoleh amplopnya sewaktu budding melalui membran inti sel (Malole, 1988) Herpesvirus memiliki sejumlah besar gen, yang telah dibuktikan bersifat peka terhadap kemoterapi anti virus (Brooks, et al, 1995). Menurut Malole (1988), semua anggota Herpesviridae sensitif terhadap ether dan asam. DNA-nya berserabut ganda dengan berat molekul 50–100 x 106
Dalton. Kapsidnya
bersimetri kubus memiliki 162 kapsomer (150 heksagonal dan 12 pentagonal). Virion yang beramplop berukuran antara 150–200 nm, tetapi virion yang tanpa amplop juga sering ditemukan dengan ukuran 100–110 nm. Bentuk famili Herpesviridae dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Bentuk famili Herpesviridae (Sumber : Wagner dan Hewlett, 2004)
8
KHV yang termasuk salah satu anggota famili Herpesviridae, dilaporkan menyerang ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) di banyak negara dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Perelberg et al., 2003). Pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron pada sel-sel yang terinfeksi KHV menemukan virion-virion beramplop yang membungkus nukleokapsid ikosahedral berukuran diameter sekitar 100 – 110 nm yang terdapat di bagian
dalamnya.
Virion-virion KHV memiliki suatu lapisan tegument
diantara amplop dan nukleokapsidnya.
Ukuran diameter total virion matang
dengan amplopnya sekitar 170–230 nm (Hedrick et al., 2005). Bentuk KHV yang dilihat melalui mikroskop elektron dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Virion-virion KHV yang terdapat pada sel-sel KF-1. Figur inset adalah virion KHV lengkap dengan amplop viral, tegument, dan nukleokapsid hexagonal. Bar = 100 nm (Hedrick et al., 2005) Genom KHV merupakan suatu molekul double-stranded (ds) DNA dan diperkirakan berukuran 277 kbp, melebihi rata-rata ukuran virus yang termasuk famili Herpesviridae yang berkisar 250 kbp (Ronnen et al., 2003 dalam Hedrick et al., 2005). Namun demikian, ukuran genom bukan merupakan salah satu kriteria
9
yang dipertimbangkan dalam mengelompokkan virus ini dalam famili Herpesviridae. KHV berbeda dari herpesvirus-herpesvirus lainnya yang menyerang ikanikan cyprinid seperti Cyprinid herpesvirus 1 yang merupakan agen penyebab carp pox. Hal ini ditunjukkan melalui uji-uji immunofluosescene yang menemukan antibodi anti-CyHV-1 gagal bereaksi dengan KHV (Hedrick et al., 2000). Selanjutnya, perbedaan-perbedaan dalam susunan protein dan sequence genomik virion memberikan bukti tambahan bahwa kedua jenis virus tersebut merupakan agen-agen yang berbeda (Gilad et al., 2002).
CyHV-1 dapat
menyebabkan mortalitas pada ikan mas dan koi tetapi hanya terjadi pada ikan-ikan yang usianya kurang dari 2 bulan (Sano et al., 1985 dalam Hedrick et al., 2005). Selain itu juga, ikan-ikan yang dapat bertahan hidup dari infeksi CyHV-1 menunjukkan karakteristik pertumbuhan papillomatous-like
yang umum
diketahui sebagai carp pox (Schubert, 1966 dalam Hedrick et al., 2005). Satu jenis herpesvirus lainnya adalah Cyprinid herpesvirus 2 yang awalnya dinamakan goldfish hematopoietic necrosis virus (GFHNV), telah diobservasi melalui mikroskop elektron dan telah berhasil diisolasi dari ikan koki (Carassius auratus) yang menunjukkan nekrosis yang parah pada sel-sel hematopoietic. Tidak seperti CyHV-1, KHV sangat virulen dan dapat menyebabkan mortalitas pada seluruh ukuran ikan mas dan koi (Hedrick et al., 2000 dan Perelberg et al., 2003). CyHV1 hanya dapat menyebabkan kematian pada Ikan Mas dan Koi yang berumur kurang dari 2 bulan (Sano et al., 1985 dalam Hedrick et al., 2005). Selain itu, bukti lainnya adalah tidak terjadi pembentukan papilloma pada ikan-ikan yang dapat bertahan hidup dari infeksi KHV.
10
Perbandingan-perbandingan DNA genomik dan polipeptida virion dari KHV terhadap CyHV-1 menunjukkan bahwa virus-virus tersebut memiliki kemiripan tetapi merupakan agen-agen yang berbeda nyata. Perbedaan ini dapat ditunjukkan melalui deteksi terhadap masing-masing virus dengan menggunakan uji-uji PCR yang dikembangkan oleh beberapa peneliti (Gray et al., 2002; Bercovier et al., 2005). Gray et al. (2002), telah mengembangkan uji PCR melalui pembuatan disain primer untuk mendeteksi KHV. Primer set SphI-5, forward (5’-GACACCACATCTGCAAGGAG-3’)
dan
reverse
(5’-
GACACATGTTACAATGGTGGC-3’), untuk mengamplifikasi produk dengan ukuran fragmen DNA 290 bp, terbukti dapat mendeteksi KHV.
Hal ini
ditunjukkan dengan munculnya pita DNA yang tampak jelas pada ukuran fragmen 290 bp. Sedangkan pada isolat-isolat virus lainnya seperti Channel Catfish Virus (CCV) dan Cyprinid Herpesvirus (CHV), pita-pita DNA tersebut tidak tampak (Gambar 3). Uji PCR ini cukup sensitif untuk mendeteksi 100 femtograms atau sekitar 600 kopi DNA dari DNA genomik KHV (Gray et al., 2002).
Gambar 3 PCR primer set yang didisain Gray et al. (2002) spesifik untuk mendeteksi KHV, hal ini tampak dari pita DNA pada ukuran fragmen 290bp. 2.2.
Variasi Genetik Variasi genetik merupakan ciri-ciri yang paling esensial pada seluruh
organisme hidup, yang merupakan salah satu cara untuk beradaptasi secara 11
progresif terhadap perubahan lingkungan alamiah (Walker, 2000). Mutasi dan rekombinasi menyebabkan adanya variasi genetika (Trun dan Trempy, 2004). Menurut Trun dan Trempy (2004), mutasi adalah suatu perubahan fisikal pada satu atau lebih dari satu pasang nukleotida dalam DNA, dan dapat hanya mempengaruhi satu pasang nukleotida atau dapat mempengaruhi ratusan kilo basa nukleotida. Pengaruh mutasi tergantung pada tempat dimana mutasi tersebut terjadi dalam DNA. Mutasi dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu yang terjadi pada nukleotida tunggal dan banyak nukleotida.
Mutasi yang
mempengaruhi nukleotida tunggal disebut microlesions, sedangkan yang mempengaruhi banyak nukleotida disebut sebagai macrolesions. Beberapa tipe microlesions adalah mutasi titik dan mutasi frameshift. Mutasi titik adalah perubahan yang terjadi pada satu pasang basa nukleotida. Perubahan tersebut dapat berupa substitusi basa dari satu purin dengan satu purin (A menjadi G atau G menjadi A), atau satu pirimidin dengan satu pirimidin (T menjadi C atau C menjadi T). Mutasi titik ini disebut juga transisi. Jika mutasi titik tersebut berupa substitusi basa dari satu purin dengan satu pirimidin atau satu pirimidin dengan satu purin, mutasi ini disebut juga suatu transverse. Tipe microlesions lainnya adalah mutasi frameshift, yang berupa insersi/penyisipan atau delesi/penghapusan satu pasang basa tunggal dalam suatu gen. Beberapa mutasi frameshift juga dapat diklasifikasikan sebagai macrolesions, jika mutasi tersebut berupa insersi/penyisipan atau delesi/penghapusan yang terjadi pada basa dalam jumlah banyak. Tipe mutasi macrolesions termasuk didalamnya meliputi delesi/penghapusan, duplikasi, insersi/penyisipan, dan penyusunan kembali
12
seperti inverse/pembalikan dan translokasi. Seluruh mutasi tersebut melibatkan perubahan-perubahan besar dalam urutan nukleotida (Trun dan Trempy, 2004).. Variasi genetik juga dapat terjadi pada virus. Variasi viral tersebut dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme yang meliputi penyusunan/pengaturan kembali yang utama pada struktur genom, dan pengorganisasiannya dapat terjadi melalui rekombinasi genetik.
Selain itu, dapat juga melalui duplikasi gen,
pertukaran gen, penghapusan gen, dan penyisipan gen. Namun demikian, bentuk variasi yang paling umum adalah mutasi melalui substitusi nukleotida (Walker, 2000). Variasi genetika yang terjadi dapat disebabkan virus-virus tersebut harus menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi secara terus menerus. Seperti halnya virus-virus berhadapan
dengan
melintas dari satu inang ke inang lainnya, mereka harus respon
pertahanan
dan
sistem
imunologis
inang.
Penghindaran dari pertahanan inang merupakan suatu ciri pokok strategi bertahan pada seluruh virus (Walker, 2000). Terkait dengan KHV, sejak pertama kali terjadinya wabah, perkembangan KHV telah dilaporkan melalui berbagai penelitian maupun forum ilmiah. Berdasarkan pada penelitian – penelitian tersebut diketahui bahwa isolat–isolat KHV dari berbagai Negara seperti USA, Israel, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Negara–Negara Eropa memiliki perbedaan (Sano et al., 2007). Penelitian Stone et al. (2007) melaporkan berbagai varian KHV yang terdeteksi di Eropa. Selanjutnya, penelitian Aoki et al. (2007) menemukan adanya variasi genetik 3 isolat KHV yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat, dan Israel. Ukuran genom KHV yang teridentifikasi untuk masing-masing varian adalah 295,271 bp (varian
13
1 ), 295,146 bp (varian 2) dan 295,138 (varian 3). Berdasarkan pada preparasi DNA melalui Restriction Endonuclease Digestion dengan Notl atau XbaI menghasilkan profil yang identik dari ketiga strain tersebut. Genom strain KHV memiliki pengulangan langsung (direct repeat) sebesar 22 kbp pada tiap–tiap terminal (22,437 bp untuk varian 1, 22,469 bp untuk varian 2 dan 22,485 bp untuk varian 3). Genom-genom varian tersebut memiliki tingkat kesamaan yang cukup tinggi pada level sekuen. Sebagai contoh, substitusi nukleotida tunggal (tidak termasuk duplikat terminal pengulangan/terminal repeat) varian 1 berbeda dengan varian 2 dan 3 pada loki 181 dari 217 loki. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan pada setiap rata–rata 1,5 kbp. Disisi lain, dari sebanyak 36 nonconserved loki, varian 3 berbeda dengan varian 1 dan 2 pada 32 loki dan varian 2 berbeda dengan varian 1 dan 3 pada 4 loki. Selain tinjauan pada genom dan loki tersebut, ketiga strain KHV menunjukkan perbedaan pada open reading frame atau dikenal sebagai ORF. Kejadian tersebut diduga karena adanya insersi dan delesi yang terjadi pada satu atau dua strain menyebabkan kerusakan pada titik pengkodean (coding region). Variasi genetik KHV dari beberapa isolat di Eropa, Israel dan Amerika jauh sebelumnya pada tahun 2003 telah diteliti oleh Gilad et al. (2003). Pada penelitian tersebut diketahui bahwa sebanyak 6 dari 7 isolat yang diteliti tidak memiliki perbedaan yang signifikan berkaitan dengan polipeptida virionnya. Pada isolat KHV D-081 dari Israel diketahui memiliki polipeptida tambahan dengan ukuran 162 dan 41 kDa. Penelitian tersebut juga menemukan adanya perbedaan antara isolat KHV yang berasal dari Israel dengan isolat Amerika. Isolat-isolat selanjutnya yang ditemukan di Israel maupun Amerika dengan lokasi geografis
14
yang berbeda-beda memiliki polipeptida virion dan RFLP yang identik atau mirip dengan isolat KHV yang terlebih dulu diisolasi (Gilad et al., 2002). Sejalan dengan hasil penemuan tersebut, Banks (1993) mengemukakan bahwa meskipun terdapat variasi minor yang terlihat pada isolat virus dalam satu spesies, namun isolat yang berasal dari lokasi geografis yang sejenis akan membentuk kelompok yang bersifat relative homogeny. Penelitian yang mendalam berkaitan dengan sequencing amplikon KHV dan jumlah variasi lokasi geografis asal genom di masa mendatang akan sangat berguna dalam membedakan beberapa isolat KHV berdasarkan lokasi geografis. 2.3.
Inang Ikan mas dan koki (Cyprinus carpio) merupakan
inang KHV
(Perelberg et al., 2003; Hedrick et al., 2005; Ishioka et al., 2005; Shapira et al., 2005; Waltzek et al., 2005). KHV ini diketahui dapat menyerang seluruh ukuran ikan. Meskipun demikian, ikan-ikan berukuran kecil lebih sensitif terhadap KHV daripada yang berukuran lebih besar ( Perelberg et al., 2003). Kerentanan ikan terhadap infeksi KHV dan cara transmisinya dapat berpatokan pada hasil penelitian Perelberg et al. (2003) dengan menggunakan berbagai jenis ikan cyprinids yaitu Cyprinus carpio, Oreochromis niloticus, Bidyanus
bidyanus,
Hypophthalmichthys
Ctenopharyngodon idella.
molitrix,
Carassius
auratus,
Hasil penelitiannya menunjukkan hanya Cyprinus
carpio saja yang rentan terhadap infeksi KHV, dengan tingkat kematian mencapai 72 % setelah terpapar virus, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya tidak terpengaruh dan tetap bertahan hidup. Melalui uji kohabitasi yang dilakukan Perelberg et al. (2003) menunjukkan hanya ikan mas saja yang dapat
15
mentransmisikan KHV ke ikan mas lainnya yang sehat. Sedangkan ikan-ikan dari strain-strain yang resisten tetap bertahan hidup dan tidak menularkan KHV pada ikan mas yang sehat. 2.4.
Mekanisme dan Perubahan Patologis Infeksi KHV Proses infeksi herpesvirus pada sel inang dimulai dengan terjadinya
perlekatan atau adsorpsi partikel virus pada reseptor yang ada di permukaan sel inang. Adsorpsi virus pada permukaan sel segera diikuti oleh masuknya virusvirus yang mengandung genom ds DNA ke dalam sitoplasma melalui proses endocytosis. Selanjutnya nucleocapsid ditransportasikan sepanjang matriks cytoskeletal menuju membran inti kemudian masuk ke dalam inti/nukleus. Setelah memasuki inti, terjadi proses replikasi virus dengan langkah-langkah biosintesisnya menurut urutan sebagai berikut: 1) Transkripsi untuk pembuatan messenger RNA (mRNA) dari DNA virus asal (parent) yang menginfeksi sel (sesudah uncoating). 2) mRNA tersebut berpindah ke ribosom dalam sitoplasma sel dan diterjemahkan (translated) menjadi enzim dan protein-protein lainnya (early protein = protein awal) yang melakukan sintesis asam nukleat untuk virus baru. 3) Replikasi DNA virus dalam inti. 4) Transkripsi lanjutan untuk pembuatan mRNA lagi dari DNA-parent dan virus baru (progeny). 5) Penerjemahan (translation) mRNA yang dibentuk kemudian (late mRNA) menjadi protein (late protein) sebagai bagian dari komponen virus dan sebagai enzim yang sama dengan early enzyme. 6) Perakitan (assembly) virus baru (progeny virus) di dalam inti sel. 7) Pelepasan virus yang matang (mature virus) dari sel. Herpesvirus selain keluar secara biasa melalui sitoplasma dimana virus-virus ini memperoleh
16
amplop, dapat juga berpindah langsung ke sel terdekat tanpa harus terlebih dahulu keluar sel yang terinfeksi. Metode transfer antar sel tersebut memungkinkan virus menyebar dalam tubuh inang walaupun terdapat banyak antibodi di dalam cairan tubuh di luar sel. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya infeksi virus secara laten atau kronis selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun pada inang yang terlihat sehat (Malole, 1988; Walker, 2000). Strategi dasar replikasi virus dengan genome ds DNA dapat dilihat pada Gambar 4. Terkait dengan KHV, Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al. (2003) berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa KHV pertama kali masuk dan menginfeksi ikan melalui insang dan atau usus. Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004) menyebutkan bahwa virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang, selanjutnya bereplikasi di dalam insang. Aktivitas replikasi tersebut mempengaruhi struktur insang sehingga terlihat mengalami nekrosis dan kelukaan pada lapisan mukosanya.
Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu faktor
munculnya gejala klinis pada ikan.
Gambar 4 Strategi dasar replikasi virus dengan genom ds DNA (Walker, 2000)
17
Berdasarkan hasil penelitiannya, Gray et al. (2002) melaporkan bahwa KHV menyebar secara sistemik pada ikan yang terinfeksi.
Hal tersebut
dibuktikan melalui analisis PCR dan DNA hybridization, yang mendeteksi DNA KHV pada jaringan insang, gastrointestinal, dan hati ikan yang terinfeksi. Pada jaringan otak, DNA KHV terdeteksi lemah. Studi yang dilakukan beberapa peneliti dengan menggunakan pengujian patologik mikroskopik dan uji-uji PCR kuantitatif juga menunjukkan jaringanjaringan target KHV meliputi insang, ginjal, limpa, kulit, otak, usus, dan hati (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004) menemukan konsentrasi DNA KHV tertinggi terdapat pada insang, ginjal, limpa, dengan jumlah genom yang ekuivalen secara konsisten yaitu mulai dari 108 sampai 109 setiap 106 sel-sel inang. Level DNA KHV yang tinggi juga ditemukan pada mucus, hati, usus, dan otak. Ikan koi yang dapat bertahan hidup dari infeksi KHV pada 62 – 64 hari setelah terpapar virus, masih mengandung kopi genom KHV dalam jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 102 per 106 sel-sel inang) pada insang, ginjal, atau otak. Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV sangat variatif dan umumnya tidak spesifik. Gejala-gejala yang ditemukan antara lain adalah ikan berenang ke permukaan untuk mengambil udara atau ikan mengumpul di tempat-tempat air masuk.
Ikan kelihatan megap-megap karena frekuensi pernafasannya tinggi.
Selain itu, seringkali ditemukan juga ikan bergerak kehilangan arah dan berenang dengan gerakan yang tidak teratur, sebelum akhirnya mengalami kematian (Gray et al., 2002). Kematian ikan berlangsung sangat cepat, sekitar 24 – 48 jam setelah gejala klinis pertama kali terlihat (Taukhid et al., 2004). 18
Hasil pengamatan terhadap ikan yang terserang KHV secara umum menunjukkan tanda-tanda produksi lendir (mucus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat. Pada tahap awal infeksi, insang ikan menunjukkan bercak-bercak putih kecil di bagian ujung-ujung lembaran insang dan warna insang masih terlihat normal dan cerah. Infeksi lebih lanjut ditandai dengan warna ujung-ujung lembaran insang menjadi pucat putih keabu-abuan disamping bercak-bercak putih menjadi lebih jelas dan meluas. Perkembangan infeksi selanjutnya menunjukkan sebagian besar lembaran-lembaran insang mengalami nekrosis atau kematian sel-sel insang. Secara keseluruhan insang mengalami kerusakan, terjadi penempelan diantara lembaran-lembaran insang, geripis, dan akhirnya membusuk. Pendarahan (hemorrhage) juga terjadi di sekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya, bahkan selanjutnya sirip menjadi rapuh dan geripis. Sering juga ditemukan adanya kulit yang melepuh, atau bahkan luka yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri, jamur, dan parasit (Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004; Hedrick et al., 2005). Gejala klinis yang tampak pada ikan yang terinfeksi KHV dapat dilihat pada Gambar 5. Ikan yang terserang penyakit KHV juga menunjukkan perubahan pada organ-organ internalnya. Hati (liver) terlihat membengkak, terdapat bercak – bercak putih yang sebenarnya adalah nekrosis, tekstur lembek, pucat, terdapat petechiae, selanjutnya mengalami kerusakan. Ginjal membengkak dan terlihat berwarna pucat. Studi yang dilakukan beberapa peneliti menunjukkan bahwa ikan
yang terinfeksi KHV mengalami disfungsi hati dan sistem osmoregulasi,
19
hypoprotein, serta imunosupresif sehingga rentan terhadap infeksi patogen sekunder (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004). Secara histologis, ikan-ikan yang terserang KHV menunjukkan adanya kerusakan jaringan atau lesi yang serius terutama pada kulit, insang, dan organ dalamnya (hati, ginjal, limpa dan sistem pencernaan). Pada jaringan insang terjadi hyperplasia dan hypertrophy
terutama pada sel-sel epitel lamella sekunder
sehingga terjadi fusi antar lamella sekunder yang berdekatan (Gambar 6). Hal tersebut terjadi karena adanya proliferasi dan pembengkakan sel-sel epitel lamella sekunder yang tidak terkontrol akibat induksi virus-virus yang menginfeksi (Perelberg et al., 2003). Selanjutnya, kerusakan atau perubahan-perubahan histologis tersebut antara
lain
dapat
dilihat
dengan
ditemukannya
semacam
eosinophilic
intracytoplasmic inclusion body (EICB-like) dan nekrosis serta intranuclear inclusion bodies pada sel-sel epithelium jaringan insang (epithelium branchial). Perubahan berikutnya adalah ditemukannya koloni sel-sel bakteri yang terdapat di dalam suatu ruangan yang terbentuk akibat adanya fusi antar lamela sekunder yang berdekatan (Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004.
Gambar 5
Gejala klinis ikan yang terserang KHV, tampak pendarahan dan luka pada permukaan tubuh, sirip geripis, insang busuk dan mengalami erosi (sumber: BRKP, 2004)
20
Organ limpa (spleen) mengalami nekrosis di beberapa lokasi pada sel-sel atau jaringan parensimnya. Pada sel-sel parensim limpa ada sebagian inti selnya yang mengalami pembengkakan (hipertrofi) dan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi kromatin (Gilad et al., 2002).
Gambar 6 Jaringan insang yang terinfeksi KHV, menunjukan hiperplasia dan fusi Lamela sekunder (Sumber: Perelberg et al., 2003) Perubahan histologis dari organ ginjal ditandai oleh perubahan-perubahan yang terjadi antara lain pada sel-sel hematopoietik di jaringan interstitial pada bagian anterior ginjal yang mengalami nekrosis dan di dalam inti selnya terdapat badan inklusi (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Hedrick et al. (2000), telah melakukan penelitian untuk mengetahui efek virus terhadap sel. Dalam penelitian tersebut digunakan beberapa jenis cell lines yaitu koi fin-1 (KF-1), epithelioma papulosum cyprini (EPC), dan fathead minnow (FHM) dari Prenephales promelas. Virus yang digunakan berasal dari hasil ekstraksi organ-organ ginjal, limpa (spleen), dan insang, yang berasal dari ikan yang secara klinis terinfeksi. Ekstrak tersebut selanjutnya diinokulasikan pada KF-1, EPC, FHM. Hasil pengamatan setelah 1 – 2 minggu pasca inokulasi menemukan adanya aktivitas atau efek virus pada cell lines
atau cytopathic 21
effects (CPE) pada KF-1 dan EPC. Efek tersebut meliputi terbentuknya vakuolavakuola pada sel-sel kultur / jaringan dan terbentuknya fusi antar sel
yang
merupakan pengaruh dari serangan virus. Pengamatan yang dilakukan Hedrick et al. (2000) dengan menggunakan mikroskop elektron pada jaringan organ yang terinfeksi, menemukan adanya perubahan antara lain pada sel-sel jaringan insang. Perubahan tersebut berupa pembengkakan sel, dan inti selnya mengalami hipertrofi yang diikuti dengan terjadinya difus atau penyebaran kromatin.
Selanjutnya pada inti sel yang
mengalami hipertrofi tersebut ditemukan adanya virion-virion, baik pada jaringan insang, hati, maupun limfosit dalam pembuluh darah di hati. Virion atau partikel virus tersebut berbentuk heksagonal yang merupakan tipikal Herpesvirus. 2.5.
Pengaruh Lingkungan Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan KHV adalah suhu. Oleh karena itu, memelihara ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) pada suhu tertentu dapat membatasi pengaruh dari penyakit ini. Hampir seluruh wabah penyakit KHV terjadi selama musim semi dan gugur pada saat suhu air sekitar 18-26°C (Hedrick et al, 2000; Perelberg et al., 2003). Pada suhu air yang lebih rendah virus dapat menginfeksi ikan tanpa menginduksi gejala klinis penyakit, tetapi pada suhu air yang memungkinkan perkembangan KHV, gejala klinis akan tampak dan selanjutnya dapat menyebabkan mortalitas (Gilad et al., 2004 dalam Hedrick et al., 2005). Infeksi KHV umumnya lebih serius pada suhu air antara 22-27°C (OATA, 2001 dalam Taukhid et al., 2004), menginfeksi ikan mas dan koi semua umur dengan ikan ukuran benih lebih sensitif daripada ukuran dewasa (Perelberg et al., 2003).
22
Berkaitan dengan suhu, suatu penelitian dengan menggunakan sel koi fin (KF-1) telah dilakukan oleh Gilad et al. (2003), untuk mengetahui perkembangan KHV pada suhu yang berbeda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan KHV. Virus ini menginduksi fusi sel dan vakuolasi sitoplasmik pada sel-sel KF-1 dalam waktu 5 hari setelah inokulasi KHV pada suhu 20°C. Efek sitopatik yang meluas sangat jelas terlihat setelah 7-10 hari, dan berkembang pesat ke seluruh sel setelah 14 hari. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa KHV dapat tumbuh pada kisaran suhu 15-25°C, dengan suhu terbaik untuk replikasi KHV pada 20-25°C. Pada suhu 30°C dan 40°C, tidak ditemukan adanya pertumbuhan KHV, dan hanya pertumbuhan minimal yang terjadi pada suhu 10°C. Berdasarkan kisaran suhu KHV, maka dapat dikembangkan suatu cara untuk mengendalikan penyakit melalui penginfeksian ikan dengan KHV pada suhu yang memungkinkan perkembangannya, dan kemudian merubah suhu pada kisaran yang
dapat menghambat pertumbuhan KHV untuk menghindari
munculnya gejala klinis penyakit dan untuk menginduksi imunitas ikan terhadap penginfeksian kembali. Tampaknya merubah suhu air dibawah atau diatas batas toleransi KHV (sebagai contoh 30°C atau 13°C) akan menghambat munculnya gejala klinis penyakit (Ronen et al., 2003 dalam Hedrick et al., 2005; Gilad et al., 2004). Cara pemaparan ikan terhadap KHV dan perubahan suhu air yang tinggi, telah dilakukan dalam uji coba skala besar di Israel untuk menghasilkan ikan-ikan yang resisten secara alamiah terhadap KHV. Ketika ikan-ikan tersebut kebal terhadap penginfeksian kembali, maka ikan-ikan tersebut merupakan carrier
23
potensial dari KHV (Hedrick et al., 2005). Gilad et al. (2004) menemukan ikanikan yang diinfeksi pada suhu 13°C tidak menunjukkan gejala klinis tetapi mengandung DNA KHV yang dapat dideteksi dengan taqman PCR. 2.6.
Sebaran Geografis Sejak awal tahun 1995–1996 dilaporkan telah terjadi wabah penyakit baru
yang menyerang ikan mas dan koi (Cyprinus carpio), tetapi secara formal baru dilaporkan terjadi di Jerman pada tahun 1997 (Bretzinger et al., 1997 dalam Hedrick et al., 2005). Penyebab aktual dari penyakit tersebut belum teridentifikasi hingga tahun 1998 menyusul investigasi yang dilakukan pada saat terjadinya wabah penyakit pada ikan mas dan koi di Israel dan Amerika Serikat (Hedrick et al., 2000). Hasil investigasi menunjukkan keberadaan suatu virus herpes yang selanjutnya disebut Koi herpesvirus atau KHV, pada ikan koi sakit asal Israel dan Amerika Serikat yang berhasil diisolasi dengan menggunakan suatu cell line yang baru dikembangkan dari koi fin (KF-1). Virus hasil isolasi tersebut menunjukkan dapat menginduksi karakteristik penyakit yang sama dan mortalitas tinggi seperti pada kejadian wabah alamiahnya melalui infeksi percobaan pada ikan koi di laboratorium (Hedrick et al., 2000). Perkembangan selanjutnya menunjukkan penyebaran yang cepat dari KHV. Wabah penyakit KHV dilaporkan telah menyebabkan mortalitas yang tinggi pada ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) di seluruh dunia. Negara-negara tersebut meliputi Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Afrika Selatan, Cina, Taiwan, Indonesia, dan Jepang ( Waltzek dan Hedrick, 2004; Sano et al., 2004 dalam Hedrick et al., 2005). Haenen dan Engelsma (2004) melaporkan serangan KHV untuk yang pertama kalinya pada ikan mas dan koi di berbagai negara Eropa
24
yang meliputi Belgia (tahun 1999), Inggris (tahun 2000), Belanda (tahun 2002), Denmark (Juli tahun 2002), Perancis (tahun 2003), Austria (wabah pertama terjadi pada musim panas tahun 2003), Switzerland (tahun 2003), Luxemburg (tahun 2003), dan Italia (tahun 2003). Serangan KHV di negara-negara Asia meliputi Cina (tahun 2001), Indonesia (Maret tahun 2002), Taiwan (Januari tahun 2003), Jepang (Mei tahun 2003). Selanjutnya, KHV juga sudah menyerang ikan mas dan koi di Afrika Selatan (tahun 2003). Serangan KHV di Indonesia pertama kalinya terjadi pada bulan Maret tahun 2002 di Blitar Jawa Timur. Wabah terjadi pada ikan koi yang baru datang dari Surabaya. Ikan koi ini diimpor ke Surabaya dari Cina melalui Hongkong pada bulan Desember 2001–Januari 2002. Wabah terjadi setelah hujan deras dengan total kematian mencapai 80–95%. Ikan yang sakit memperlihatkan gejala klinis berupa lepuh pada kulit. Oleh karena itu penyakit ini mula-mula dikenal sebagai penyakit melepuh. Meskipun ada gejala kerusakan insang pada ikan yang terkena wabah, tetapi gejala ini belum banyak diperhatikan. Blitar dikenal sebagai sentra produksi ikan koi, dengan lebih dari 5000 petani ikan koi.
Koi dari Blitar
termasuk yang sakit selanjutnya menyebar ke berbagai daerah termasuk ke Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta yang merupakan pangsa pasar utama (Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, 2002; Sunarto et al., 2004; Taukhid et al., 2004). Serangan berikutnya terjadi pada ikan mas di Subang, Jawa Barat pada bulan April 2002. Gejala klinis penyakit ini pada ikan mas di Subang sama dengan gejala klinis pada ikan koi di Blitar, yaitu insang rusak.
Wabah ini
menyebabkan kematian ratusan ton ikan mas, sehingga terjadi kelebihan supply
25
ikan konsumsi. Petani dari daerah lain membeli ikan mas sakit ini sehingga penyakit menyebar cepat ke daerah lain (Sunarto et al., 2004). Pada bulan Mei-Juni 2002 terjadi serangan berikutnya di Waduk Cirata. Waduk Cirata merupakan salah satu dari tiga waduk di Sungai Citarum yang meliputi Waduk Saguling (4.425 unit karamba apung), Cirata (33.000 unit karamba terapung) dan Jatiluhur (2000 unit karamba apung). Beberapa minggu sebelum terjadi wabah, ada pembudidaya ikan yang memasukkan ikan dari Subang ke waduk Cirata. Sebelumnya tidak pernah terjadi wabah semacam ini. Kematian masal yang biasanya terjadi karena umbalan (up-welling) yang terjadi hampir setiap tahun terutama pada permulaan musim hujan (Oktober, November, Desember). Ikan yang sakit menunjukkan gejala klinis berupa nafsu makan menurun, lemah, beberapa gejala klinis lain yang tidak selalu ditemukan pada ikan sakit kecuali insang rusak (Sunarto et al., 2004). Pada bulan Februari 2003, serangan penyakit ini sudah mencapai Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Gejala klinis ikan sakit di Sumatera ini sama persis dengan gejala klinis pada wabah yang terjadi di Jawa. Wabah di Lubuk Linggau ini diduga terjadi karena kontaminasi ikan mas sakit dari waduk Cirata, Jawa Barat. Selanjutnya wabah menyebar dari Lubuk Linggau ke daerah sekitarnya termasuk ke Bengkulu di selatan dan Jambi di sebelah barat (Sunarto et al., 2004). Pada bulan September 2004, wabah terus menyebar ke Sumatera Barat yang menyebabkan kematian masal ikan mas sebanyak 150 ton (Sunarto et al., 2004). Kasus serangan penyakit ini juga dilaporkan terjadi di Sumatera Utara yang menyebabkan kematian masal ikan mas di sekitar perairan Danau Toba (Balai Karantina Ikan Polonia, 2004). Pada bulan September tahun 2004 juga,
26
wabah ini telah menyebar ke Kalimantan Selatan melalui kontaminasi induk ikan mas dari Punten, Jawa Timur ke Kalimantan (Sunarto et al., 2004; Taukhid et al., 2004). Berdasarkan hasil pemantauan hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) yang dilakukan oleh unit-unit pelaksana teknis (UPT-UPT) karantina ikan di seluruh Indonesia, pada tahun 2010 KHV sudah ditemukan pada 17 provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara (Pusat Karantina Ikan, 2010). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyebaran penyakit KHV tergolong sangat cepat. Bermula dari satu lokasi dan seterusnya menyebar secara lokal di sekitar lokasi tersebut serta menyebar secara jarak jauh. Dari setiap satu lokasi yang terserang penyakit, selanjutnya penyakit menyebar secara lokal di sekitarnya. Penyebaran penyakit ini di tempat-tempat pemeliharaan ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) terjadi segera setelah pemasukan ikan sakit dari luar. Pada sistem kolam air deras di sungai, penyakit ini menyebar ke hilir (ke bawah) tapi tidak ke hulu (bagian atas).
Hal ini merupakan indikasi bahwa
penyakit dapat menyebar melalui aliran air (Sunarto, 2004). Hasil penelitian Perelberg et al. (2003) menemukan partikel KHV masih dapat bertahan hidup di luar inang (dalam air) dan masih infektif sekurangnya selama 4 jam. Beberapa mekanisme penularan penyakit KHV ini adalah : 1) menyebar di dalam farm melalui kontak langsung antara ikan sakit dan ikan sehat, melalui bangkai ikan sakit dan melalui air; 2) penularan lokal antar farm melalui air yang
27
terkontaminasi, dan kemungkinan juga penularan melalui peralatan yang terkontaminasi; 3) penularan jarak jauh, terutama melalui pemindahan ikan dari daerah wabah ke daerah bebas (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Sunarto et al., 2004; Taukhid et al., 2004).
28
III. BAHAN DAN METODA PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina
Ikan (BUS-KI) Jakarta, Laboratorium Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang, dan Laboratorium Teknologi Genetika Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Nopember tahun 2007 sampai
dengan bulan Juli 2009. 3.2.
Bahan Penelitian
3.2.1. Ikan Uji Dalam penelitian ini, ikan-ikan uji adalah ikan mas dan koi yang berasal dari tempat-tempat budidaya ikan atau perairan umum yang dilaporkan ada kejadian serangan KHV di 20 provinsi. Rincian asal dan jumlah ikan dapat dilihat pada Tabel 1. 3.2.2. DNA Virus DNA virus yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA KHV yang berasal dari jaringan insang ikan yang positif terinfeksi KHV. 3.2.3. Bahan Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan-bahan untuk ekstraksi dan pemurnian DNA virus,
amplifikasi
DNA, elektroforesis gel agarose, serta
sekuensing DNA. Amplifikasi DNA target menggunakan primer set SphI-5, forward
(5’-GACACCACATCTGCAAGGAG-3’)
dan
reverse
(5’-
29
GACACATGTTACAATGGTGGC-3’), yang didisain untuk mengamplifikasi suatu produk pada ukuran fragmen DNA 290 bp (Gray et al., 2002). Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan-bahan untuk pembuatan preparat jaringan histopatologi, serta bahan-bahan untuk uji KHV dengan metoda imunohistokimia. Tabel 1. Asal dan jumlah sampel ikan No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
D.I Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Bengkulu Riau Lampung DKI Jakarta Jawa Barat D.I Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
16
Kalimantan Timur
17 18 19 20
Kalimantan Selatan Gorontalo Sulawesi Utara Papua Barat
Kota/Kabupaten Banda Aceh Toba Samosir Padang Panjang Lubuk Linggau Seluma Pekanbaru Lampung Barat Jakarta Selatan Cianjur Sleman Blitar Denpasar Lombok Barat Kupang Pontianak Sanggau Tarakan Balikpapan Banjar Gorontalo Manado Sorong
Jumlah ikan (ekor) Koi Mas 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 -
10 10 10 10 10 10 10 10 10
3.2.4. Peralatan Peralatan yang digunakan untuk deteksi dan sekuensing DNA KHV serta untuk pembuatan dan pemeriksaan preparat jaringan yang terinfeksi KHV terdiri dari alat utama, alat pendukung, dan alat habis pakai. Alat utama meliputi mesin
30
sequencer,
thermocycler,
unit
elektroforesis,
gel-documentation
system,
mikroskop trinokuler dengan fotomikrograf, mikrotom, automatic tissue processor, dan mesin embedding.
Alat pendukung meliputi dissecting set,
analytical balance, autoclave, refrigerated microcentrifuge, hot plate dengan magnetic stirrer, vortex, micropipette (ukuran 1-10 µl, 2-20 µl, 20-100 µl, 2001000 µl), refrigerator, incubator, water bath, embedding mold, pH meter, timer, glasswares (staining jar, erlenmeyer, botol, dll), plasticwares (rak microtube dan microtube PCR, pestle, cooler).
Alat habis pakai meliputi botol sample,
microtube 2 ml, PCR microtube 0,2 ml, micropipette tips (10 µl, 100 µl, 1000 µl), parafilm, dan sarung tangan. 3.3.
Prosedur Penelitian
3.3.1. Pengambilan Sampel Pengambilan ikan-ikan sampel dilakukan secara purposive (hanya dilakukan pada tempat-tempat yang ada laporan tentang kejadian serangan KHV). Jumlah ikan yang diambil sebanyak sepuluh ekor untuk setiap provinsi, yang menunjukkan gejala-gejala klinis terinfeksi KHV.
Ikan-ikan tersebut diamati
lebih lanjut untuk seleksi, dan hanya satu ekor ikan terpilih yang menunjukkan gejala klinis paling parah yang diambil untuk proses pemeriksaan lanjut, berupa pengujian dengan metoda PCR, histopatologi, dan imunohistokimia. Pada saat dikumpulkan, ikan dalam keadaan hidup, dan segera dikirim ke laboratorium dalam keadaan hidup atau baru mati, dikemas dalam keadaan tertutup dan disimpan pada suhu yang rendah. Pembekuan ikan dihindari kecuali untuk pemeriksaan PCR.
31
3.3.2. Pengamatan Gejala Klinis Prosedur
pengamatan
dimulai
dengan
melakukan
pengamatan
ketidaknormalan pada ikan-ikan sampel, seperti tingkah laku (behavior), penampakan organ-organ eksternal dan internal. Umumnya ikan yang sehat bergerak lincah, agresif dan responsif terhadap rangsangan dari luar. Ikan-ikan yang terinfeksi suatu jenis pathogen sering menunjukan gejala seperti
tubuh
tampak lemah (tidak responsif), menggosok-gosokkan tubuhnya pada benda di sekelilingnya, frekwensi pernafasan meningkat, pergerakan kurang terarah, hilang keseimbangan, meloncat ke luar air, diam di dasar atau mengumpul di permukaan air. Perilaku makan (feeding behavior) yang tampak berupa nafsu makan menurun, sehingga ada penumpukan pakan di dasar wadah/bak. Permukaan luar tubuh ikan-ikan yang sehat akan terlihat sempurna. Warna tubuh cerah dan bersih, serta, anggota tubuh lengkap dan teratur. Pada ikan-ikan yang sakit akan terlihat warna tubuh yang kusam atau pucat, sirip menyatu atau sobek/rontok, sisik lepas dan terkadang tidak rapi, perut kembung, mata menonjol atau sunken eyes, tampak bercak putih atau bercak merah/pendarahan pada bagian luar tubuh, abdomen otot berwarna putih susu, luka, produksi mukus berlebihan, kulit terbuka/terkelupas, tutup insang selalu terbuka dan warna tapis insang kurang cerah, benjolan dapat berupa kumpulan atau koloni organisme menempel pada insang atau permukaan tubuh, katarak, ukuran badan dan kepala tidak proporsional, dan mungkin terjadi kelainan bentuk tubuh. Ikan-ikan yang diduga terinfeksi KHV menunjukkan gejala klinis nafsu makan menurun, berkumpul pada permukaan air dan tampak frekwensi pernafasan meningkat, gerakan tidak terarah, dan tampak lemah. Permukaan
32
tubuh mengalami pendarahan, kulit tampak pucat dan mengelupas, lesi pada kulit, sirip ikan geripis, insang pucat atau mengalami pendarahan, dan sunken eyes. Organ-organ internal antara lain hati, ginjal, dan jantung, tampak pucat. Tindakan pengamatan gejala klinis merupakan kegiatan untuk mendeteksi ikan-ikan yang diduga terinfeksi KHV.
Kegiatan pengamatan tingkah laku
(perilaku) dan gejala klinis permukaan luar dan dalam tubuh ikan hanyalah untuk mendapatkan indikator dugaan kondisi abnormal yang sedang terjadi, sehingga untuk menentukan penyebab yang lebih definitif perlu dilakukan pengambilan ikan sampel untuk pemeriksaan secara laboratoris. 3.3.3. Nekropsi Sebelum dilakukan nekropsi, panjang standar dan/atau total ikan diukur. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar. Panjang total adalah panjang maksimum yang merupakan jarak dari ujung mulut ikan yang tertutup hingga ujung sirip ekor ikan yang digabungkan. Panjang standar adalah jarak dari ujung mulut ikan yang tertutup hingga ujung pelipatan batang ekor. Sebelum dilakukan nekropsi, sampel ikan yang akan dibedah dipastikan telah mati. Ikan diletakkan pada nampan bedah dengan posisi kepala di sebelah kiri, perut ikan mengarah ke bawah. Selanjutnya, dengan menggunakan gunting yang satu bagiannya berujung tumpul dan bagian lainnya berujung runcing, dilakukan pengguntingan/pengirisan dimulai dari lubang anus mengarah ke depan/kepala, sepanjang bagian ventral ikan hingga melewati diantara kedua sirip ventral (pelvic fin). melewati
isthmus,
Pengguntingan diteruskan memanjang ke depan hingga yaitu
jaringan
di
bawah
kepala
diantara
tutup
insang(opercullum). Secara perlahan kulit pada kedua sisi tubuh ikan yang sudah
33
terbelah dibuka, mulai dari anus hingga isthmus. Pada kondisi tersebut sudah dapat dilihat beberapa organ dalam, antara lain jantung, hati, usus/saluran pencernaan,
dan
jaringan
adipose/lapisan
lemak.
Secara
perlahan
lapisan/gumpalan lemak disingkirkan dari usus, beberapa organ dalam seperti gelembung renang, limpa serta sepasang gonad dan ginjal akan tampak jelas. Organ insang dapat diamati dengan cara memotong tutup insang. Insang ikan terdiri atas 3 (tiga) bagian yaitu filamen insang (gill filaments), gill rakers dan gill arches. Organ thymus ikan berukuran sangat kecil dan terletak di bagian tutup insang. Organ otak dapat diamati dengan cara memotong bagian depan kepala ikan secara melintang dengan menggunakan pisau bedah, mulai dari atas lubang hidung (nostrils) ke arah belakang. Teknik yang relatif aman dan umum dilakukan untuk mengamati atau mengambil organ otak ikan adalah dengan cara memotong kepala dari badan ikan secara vertikal, untuk selanjutnya pemotongan bagian depan kepala ikan mulai dari atas lubang hidung ke arah belakang dilakukan secara vertikal. Teknik nekropsi dan beberapa posisi organ ikan dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Pada saat nekropsi, dilakukan pengamatan terhadap kelainan pada organorgan eksternal dan internal ikan, dan dilakukan pencatatan. Untuk pengujian histopatologi dan imunohistokimia, organ-organ yang dikumpulkan meliputi insang, ginjal, limpa, jantung, hati, usus, dan otak. Sampel organ-organ yang berasal dari ikan-ikan terpilih, disimpan dalam larutan NBF 100 %. Untuk uji PCR, organ yang diambil adalah insang, dan disimpan serta difiksasi dalam larutan alkohol 90 %.
34
Gambar 7. Nekropsi ikan: pengguntingan kulit bagian ventral ikan dimulai dari anus ke jaringan isthmus (sumber: Pusat Karantina Ikan, 2007)
Gambar 8. Beberapa bentuk dan posisi organ internal ikan (sumber: Pusat Karantina Ikan, 2007) 3.4.
Uji PCR dan Sekuensing DNA
3.4.1. Ekstraksi DNA Prosedur kerja ekstraksi DNA dengan QIAGEN dimulai dengan mengambil sampel insang sebanyak 25 mg dari ikan-ikan yang menunjukkan gejala klinis, dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian ditambahkan dengan 180 µl buffer ATL dan dicampur homogen. Selanjutnya, ditambahkan 20 µl proteinase K dan diinkubasi pada suhu 560 C sampai seluruh jaringan larut (1-3 jam). Setelah itu, campuran tersebut dihomogenkan dengan vortex selama 15
35
detik, dan ditambahkan buffer AL 200 µl, kemudian dicampur homogen kembali dengan vortex. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan 200 µl ethanol absolut dan selanjutnya dicampur homogen dengan vortex. Seluruh campuran (termasuk endapannya) dimasukan kedalam kolom dan disentrifugasi pada 8000 rpm selama 1 menit. Cairan sisa lalu dibuang, kemudian kolom dimasukan ke dalam tabung baru (dari QIAGEN), serta ditambahkan 500 µl buffer AW1, dan disentrifugasi pada 8.000 rpm selama 1 menit. Cairan sisa lalu dibuang. Setelah itu, kolom dimasukan ke dalam tabung baru (dari QIAGEN), ditambahkan 500 µl buffer AW2, dan disentrifugasi pada 14.000 rpm selama 3 menit. Selanjutnya, kolom dimasukkan ke dalam tabung baru, dan ditambahkan 200 µl buffer AE serta diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Kemudian, kolom dibuang, dan disentrifugasi pada 8.000 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil, dan disimpan pada suhu -200 C. 3.4.2. Amplifikasi DNA Sampel insang yang telah diekstraksi DNA-nya kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf (vol. : 0,2 ml) sebanyak 2 µl, dan ditambahkan dengan master mix (Promega) sebanyak 12,5 µl, 1 µl 10 µM primer Forward (5’GACACCACATCTGCAAGGAG-3’), 1 µl 10 µM primer GACACATGTTACAATGGTGGC-3’),
Reverse (5’-
8,5 µl ddH2O (tambahkan sampai
volume total 25 µl). Selanjutnya, tabung dimasukan ke dalam thermalcycler dan dijalankan sesuai dengan setting suhu dan siklusnya. Setting suhu untuk pemeriksaan KHV yaitu sebagai berikut : 95° C selama 5 menit (1 siklus), 94 0 C selama 1 menit (30 siklus), 550 C selama 2 menit (30 siklus), 720 C selama 3
36
menit (30 siklus), dan diakhiri pada 720 C selama 7 menit (1 siklus), kemudian disimpan pada suhu 4° C. 3.4.3. Elektroforesis Gel agarosa 2 % disiapkan, lalu dituangkan ke dalam tangki elektroforesis yang telah dipasang comb. Setelah larutan agarose mengeras (membentuk gel), TBE buffer dituangkan ke dalam tangki, dan comb diambil sehingga terbentuk sumur (well) sebanyak 12 buah. Sebanyak 10 µl produk PCR dicampur dengan 2,5 µl loading buffer diletakkan di atas parafilm. Selanjutnya, 10 µl larutan tersebut dimasukkan ke masing-masing sumur pada gel agarose. Sumur terakhir diisi dengan 10 µl penanda molekuler (marker). Elektroforesis dijalankan pada voltase 100 V selama kira-kira 25 menit. 3.4.4. Pengamatan dan Dokumentasi Gel diangkat dari tangki elektroforesis, kemudian direndam dalam larutan Ethidium Bromida (EtBr) 0,05 % selama kira-kira 10 menit, dan aquades selama 5-10 menit.
Selanjutnya gel diamati dan didokumentasikan pada gel
documentation system.
Molekul DNA yang berikatan
dengan
EtBr akan
berpendar bila dilihat dengan lampu ultraviolet. Panjang atau berat molekul pita DNA yang tampak berpendar dapat dihitung dengan cara membandingkan dengan penanda (marker) yang telah diketahui berat molekulnya. Hasil menunjukkan positif KHV jika terlihat ada pita DNA pada ukuran fragmen 290 bp. 3.4.5. Purifikasi DNA Purifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan kit GEL/PCR DNA fragments extraction KIT (Geneaid). Prosedur kerja purifikasi Gel DNA dimulai
37
dengan menambahkan 500 µl DF buffer pada gel DNA fragments, kemudian diinkubasi pada suhu 600 C selama 10-15 menit (sampai gel larut). Selanjutnya, sampel DNA yang telah larut dimasukan ke dalam kolom DF dan disentrifugasi pada 14.000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang. Wash buffer sebanyak 750 µl ditambahkan ke dalam kolom DF, dan disentrifugasi pada 14.000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang, dan kolom DF disentrifugasi kembali pada 14.000 rpm selama 2 menit, kemudian DF kolom dipindahkan ke tabung mikro yang baru. Selanjutnya, elution buffer ditambahkan ke dalam sampel DNA sebanyak 20-50 µl (tergantung konsentrasi DNA pada DF kolom), diinkubasi pada suhu ruangan selama 5 menit, dan disentrifugasi pada 14.000 rpm selama 1 menit. Setelah itu, DF kolom dibuang. Sampel DNA disimpan pada suhu -200 C, dan siap digunakan pada amplifikasi cycle sequencing. 3.4.6. Amplifikasi Cycle Sequencing Sampel DNA yang telah dipurifikasi, kemudian dimasukkan kedalam tabung PCR sebanyak 2 µl dan ditambahkan dengan Big Dye V.3.1 (applied biosystem) sebanyak 1 µl, 2 µl 5x Buffer Sequencing, 2 µl 1,6 µM primer Forward (5’-GACACCACATCTGCAAGGAG-3’), 3 µl ddH2O (sampai volume total 10 µl). Selanjutnya, tabung dimasukan ke dalam thermalcycler dan dijalankan sesuai dengan setting suhu dan siklusnya. Setting suhu untuk amplifikasi cycle sequencing KHV yaitu sebagai berikut : 96° C selama 2 menit (1 siklus), 960 C selama 10 detik (25 siklus), 550 C selama 5 detik (25 siklus), 600 C selama 4 menit (25 siklus), dan disimpan pada suhu 4° C.
38
3.4.7. Purifikasi Cycle Sequencing Purifikasi Cycle Sequencing dilakukan dengan metode etanol presipitasi. Setelah proses ini dilakukan, sampel DNA siap untuk disequencing. Purifikasi cycle sequencing dimulai dengan menambahkan nuclease free water ke dalam sampel DNA (dengan volume yang sama dengan sampel DNA). Setelah itu, sampel DNA dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Selanjutnya, ke dalam tabung ditambahkan masing-masing EDTA 125 mM sebanyak 2 µl, 3 M NaCH3COO sebanyak 2 µl, etanol (100%) sebanyak 50 µl, dilakukan tapping secara perlahan-lahan, dan setelah itu diinkubasi pada suhu ruangan selama 15 menit. Setelah itu, sampel disentrifugasi pada 5.000 rpm selama 30 menit, dan setelah itu supernatant dibuang. Etanol (70%) sebanyak 70 µl ditambahkan ke dalam sampel DNA, dilakukan tapping secara perlahan-lahan, dan disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 15 menit.
Kemudian, supernatant dibuang.
Sisa
alkoholdihilangkan dengan cara dilakukan spin down, dikeringkan dengan tissue, dan terakhir dikeringkan dengan memasukan tabung yang berisi sampel DNA ke dalam alat vacum selama 10 menit. Setelah dikeringkan, nuclease free water sebanyak 10 µl ditambahkan ke dalam sampel DNA, lalu dilakukan tapping secara perlahan lahan, dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 10 menit. Selanjutnya, dilakukan tapping kembali secara perlahan-lahan dan kemudian dilakukan
spin down. Kemudian, seluruh sampel dipindahkan ke dalam
sequencing plate. Sampel siap untuk disequencing. 3.4.8. Sequencing DNA Sequencing DNA dilakukan terhadap sampel yang diketahui positif KHV,
39
dengan menggunakan mesin sequencing ABI 3130 Genetic Analyzer. 3.5.
Pemeriksaan Histopatologik Pemeriksaan histopatologik dilakukan dengan pewarna rutin hematoksilin
eosin (HE), mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Wasito (1999). Kegiatan awal yang dilakukan adalah memfiksasi organ-organ ikan di dalam larutan NBF 10% selama 24 jam, selanjutnya jaringan diproses cetak parafin. Pembuatan jaringan cetak paraffin meliputi kegiatan processing, embedding, sectioning. Dalam kegiatan processing, sediaan jaringan yang sudah difiksasi dimasukkan ke dalam serial larutan alkohol dengan konsentrasi yang berbeda yaitu alkohol 80 % selama 0,5 – 1 jam, alkohol 95 % selama 0,5 – 1 jam, alkohol 95 % selama 0,5 – 1 jam, alkohol absolut selama 0,5 – 1 jam, alkohol absolut selama 0,5 – 1 jam, alkohol absolut selama 0,5 – 1 jam , xylene (2 X) masing-masing selama 0,5 – 1 jam, paraffin encer (3X) masing-masing selama 0,5 – 1 jam. Sesudah processing selesai, jaringan dicetak paraffin lewat pendinginan cepat. Selanjutnya pada proses sectioning, jaringan cetak paraffin dipotong 4 – 5 µ dengan rotary microtome dan kemudian ditempelkan pada kaca benda dengan adhesive yang sesuai. Pewarnaan rutin hematoksilin-eosin dilakukan dalam beberapa tahap kegiatan. Langkah awal adalah melakukan deparafinasi dan rehidrasi sediaan jaringan dengan cara merendam sediaan jaringan (4 - 6 µ) dalam xylene (3 X) masing-masing selama 2 menit, kemudian sediaan jaringan dimasukkan ke dalam etanol 100 % (2 X) masing-masing selama 2 menit, dimasukkan ke dalam etanol 95 % (1 X) selama 2 menit, dimasukkan kedalam etanol 50 % (1 X) selama 2 menit, dimasukkan ke dalam aquades (2 X) masing-masing selama 2 menit.
40
Setelah itu sediaan jaringan direndam dalam hematoksilin selama 15 menit, dilanjutkan dengan dimasukkan dalam aquades sebanyak 4 celupan, dimasukkan dalam acid alcohol 1 % sebanyak 3 – 10 celupan, dimasukkan ke dalam aquades sebanyak 4 celupan, direndam dalam eosin selama 15 – 20 menit, dimasukkan dalam alkohol 95 % (2 X) masing-masing selama 1 menit, dimasukkan ke dalam alkohol 100 % (2 X) masing-masing selama 1 menit, dan dimasukkan ke dalam xylene (3 X) masing-masing selama 2 menit. 3.6.
Pemeriksaan Jaringan dengan Teknik Imunohistokimia Selain pemeriksaan histopatologi sebagai
kegiatan pendukung lainnya
yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini adalah melakukan pemeriksaan sediaan jaringan dengan teknik imunohistokimia. Metoda imunohistokimia dimulai dengan deparafinasi jaringan/sediaan dengan cara merendam jaringan/sediaan dalam xylol masing-masing selama 5 menit (2 X). Kemudian dilakukan rehidrasi dengan membilas sediaan/jaringan dengan alkohol berseri (absolut, 90 %, 80 %, dan 70 %) masing-masing selama 5 menit (2 X), dibilas dengan deionize water/aquades steril masing-masing selama 5 menit (3 X), dan disimpan dalam refrigerator (overnight).
Selanjutnya,
jaringan/sediaan dicuci dengan PBS (pH 7,4) selama masing-masing 5 menit (3 X), diinkubasi pada 3 % H2O2 selama 10 menit, dan dicuci dengan PBS (pH 7,4) masing-masing selama 6 menit (3 X). Setelah itu, dilakukan blocking dengan unspecific protein yaitu diinkubasi dalam 5 % FBS/1 % - 2% BSA. Kemudian diinkubasi dengan antibodi primer yaitu anti-KHV (1 : 100) (dari University of Stirling) pada 4°C (overnight). Setelah diinkubasi dengan antibodi primer selama semalam, jaringan/sediaan dicuci dengan PBS (pH 7,4) selama masing-masing 6
41
menit (3 X), diinkubasi dengan antibodi sekunder (1: 200) (spesifikasi antibody sekunder: biotin labeled affinity purified antibody to mouse IgG (H+L) merk KPL/no. katalog 16. 18-06)
selama 60 menit, dicuci dengan PBS (pH 7,4)
masing-masing selama 5 menit (3 X), diinkubasi dalam SA-HRP (1: 500) selama 40 menit dan dicuci kembali dengan PBS (pH 7,4) selama 5 menit (3 X). Selanjutnya terhadap jaringan/sediaan dilakukan aplikasi dengan kromogen DAB selama 20 menit, dicuci dengan PBS (pH 7,4) selama 5 menit (3 X), dan dibilas dengan deionize water/aquades steril selama 5 menit (3 X). Setelah itu, dilakukan counterstaining dengan mayer haematoxilen selama 10 menit, dicuci dengan tap water selama 5 menit (3 X), kemudian dikeringanginkan, dan diberi mounting entellan untuk pengamatan di bawah mikroskop. 3.7.
Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Analisis dilakukan terhadap hasil uji PCR dan imunohistokimia pada ikan-ikan yang positif KHV. Selanjutnya, hasil sekuensing DNA KHV digunakan sebagai dasar pembuatan pohon filogenetik.
Konstruksi pohon filogenetik dibuat
menggunakan metoda Neighbor Joining dengan 100 x replikasi menggunakan software ClustalX. Hasil yang diperoleh dianalisis untuk memberikan gambaran tentang jarak genetik/kemiripannya diantara varian-varian KHV yang ditemukan. Untuk mengetahui perubahan patologik jaringan yang terinfeksi KHV dan penyebaran KHV pada organ-organ target, dilakukan pendekatan dengan menggunakan metoda histopatologi dan imunohistokimia.
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gejala Klinis Hasil pengamatan makroskopik terhadap ikan-ikan yang terinfeksi varian
KHV yang berbeda tidak menemukan adanya perbedaan gejala klinis yang signifikan. Seluruh ikan-ikan sampel (100%) menunjukkan kelainan tingkah laku selalu berenang ke arah permukaan air atau berkumpul di permukaan air, frekuensi pernafasan meningkat, dan gerakan lemah. Gejala gerakan ikan tidak terarah ditemukan pada 73%, insang pucat atau mengalami pendarahan ditemukan pada 86%, pendarahan pada tubuh 100%, lesi pada kulit ditemukan pada 91%, warna kulit pucat pada 82%, dan sekresi mukus berlebihan ditemukan pada 82% dari total ikan yang diduga terinfeksi KHV. Selanjutnya, kelainan berupa hati pucat ditemukan pada 63%, tekstur hati lembek pada 63%, ginjal pucat ditemukan pada 55%, dan jantung pucat ditemukan pada 18% dari total ikan-ikan yang diteliti (Gambar 9 dan Tabel 2). Perubahan-perubahan di atas cocok dengan gejala klinis akibat infeksi KHV seperti yang telah disebutkan oleh Bondad (2002), yaitu adanya erosi insang dan insang tampak pucat, letargi (mulut ikan selalu mengarah ke permukaan), mata ke dalam (sunken eyes), sekresi mukus yang berlebihan, diskolorasi dan kulit ikan mengelupas. Tidak semua gejala klinis tersebut muncul pada setiap infeksi KHV. Menurut Gray et al. (2002), diskolorasi dan peningkatan frekuensi pernafasan merupakan dua hal utama yang pasti muncul pada setiap infeksi KHV. Oh et al. (2001) melaporkan bahwa gejala klinis utama KHVD adalah kulit mengelupas, kulit dan insang yang berwarna pucat dan nekrotik.
43
a
b
c
d
e
f
Gambar 9
Gejala klinis ikan mas sampel terduga terinfeksi KHV: a. selalu berenang ke arah permukaan, nafsu makan menurun dan sekresi mukus berlebihan; b. sirip pektoral dan kaudal geripis; c. erosi dan busuk insang (nekrotik); d. kulit ikan melepuh/mengelupas; e. diskolorasi; f. pendarahan terutama pada bagian ventral abdomen
Ikan-ikan yang terserang KHV juga menunjukkan perubahan pada organ internalnya. Hati terlihat membengkak, terdapat bercak-bercak putih, tekstur lembek, pucat, dan terdapat petechiae. Ginjal membengkak dan terlihat pucat. Studi yang dilakukan beberapa peneliti menemukan bahwa ikan yang terinfeksi
KHV
mengalami
disfungsi
hati
dan
sistem
osmoregulasi,
hipoproteinemia, serta imunosupresif sehingga rentan terhadap infeksi patogen sekunder (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004). Hedrick et al. (2000) dan Goodwin et al. (2003) juga melaporkan perubahan makroskopik organ visceral pada infeksi KHV yang utama adalah adanya perlekatan organ dalam pada cavitas abdominales dan adanya bintik-bintik pada beberapa organ dalam.
44
V V V V V
V V V V V
V V V V
V V V V V
V - V - V - - V - V V V V - V - V - - V - V V V - V V V - V V - V V V - - - - - - - - V - - V
-
V V V V V V - -
V V V V V
V V V V V
Persen kejadian (%)
V V V V -
Sulut
V V V V V
Gorontalo
V V V V V V V V V V V - V V V V V V V V
Sumsel
V V V V
Jatim
V V V V
Kaltim 2
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V - - V V - V V V V V V V V V V V V
Riau
V V V
NTB
8
Kalbar 2
7
Sumut
DKI.Jakarta
Bengkulu
6
Kaltim 1
5
D.I.Aceh
4
Sumbar
Bali
3
NTT
Jabar
1 2 3 4
Kalbar 1
III
1 2 3 4 5
Pap.Bar
II
1 2 3 4
2 Kelainan tingkah laku Ikan berkumpul di permukaan air Frekuensi pernafasan meningkat Gerakan tidak terarah Gerakan lemah Kelainan eksternal Insang pucat atau pendarahan Pendarahan di badan Lesi pada kulit/tubuh Warna kulit pucat/diskolorasi Sekresi mukus berlebihan Kelainan organ internal Hati pucat Tekstur hati lembek Ginjal pucat Jantung pucat
Lampung
1 I
Gejala Klinis Kalsel
NO
D.I.Yogyakarta
Varian KHV
Jumlah ekor (N=22)
Tabel 2 Gejala klinis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
V - V V V V V V V V V V V V V - V V V V V - V V V
V V V V V
V V V V
V V V V
V V V 22 100 V V V 22 100 V - V 16 73 V V V 22 100
V - V V V V V V V V V V V V V V V V V - V V V V V V - V V V - V V - V V V -
19 22 20 18 18
86 100 91 82 82
V V V V - V 14 63 V V V V - V 14 63 - V - - V - 12 55 V - - V - - 4 18
45
Berkaitan dengan gejala klinis yang muncul, suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan KHV.
Hampir
seluruh wabah penyakit KHV terjadi pada saat suhu air sekitar 18-26°C (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Pada suhu air yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut, virus dapat menginfeksi ikan tanpa menginduksi gejala klinis.
Namun, pada suhu yang memungkinkan perkembangan KHV,
gejala klinis akan tampak dan selanjutnya dapat menyebabkan mortalitas (Gilad et al., 2004 dalam Hedrick et al., 2005). Pada ikan-ikan yang rentan, invasi KHV dapat menimbulkan perubahan dan kerusakan pada organ-organ target, serta akhirnya menimbulkan kematian. Kematian ikan dapat berlangsung sangat cepat, sekitar 24-48 jam setelah gejala klinis pertama kali terlihat (Taukhid et al., 2004). Perubahan tingkah laku berupa selalu berenang ke arah permukaan atau berkumpul di permukaan air dan frekuensi pernafasan meningkat, merupakan salah satu petunjuk adanya gangguan atau kerusakan pada organ insang, sedangkan gerakan yang tidak terarah dapat disebabkan oleh gangguan atau kerusakan yang terjadi pada otak dan sistem syaraf ikan.
Insang dan otak
merupakan organ-organ target KHV (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; dan Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004), menemukan konsentrasi DNA KHV yang tinggi pada organ-organ insang dan otak. Kulit yang merupakan permukaan dan pembungkus tubuh ikan berfungsi sebagai garis pertahanan pertama terhadap penyakit dan faktor-faktor lingkungan. Dalam beberapa hal, kulit dapat juga berfungsi sebagai alat respirasi, ekskresi, dan osmoregulasi (Sjafei et al., 1990). Permukaan tubuh ikan merupakan tempat ideal
46
bagi pertumbuhan organisme, meskipun kebanyakan organisme yang berkoloni di bagian luar tubuhnya membentuk interaksi komensalis. Namun jika jumlahnya sangat besar, ketika keadaan lingkungan menjadi buruk atau ikan dalam kondisi stress, dapat menyebabkan abnormalitas pada lapisan luar tubuh sehingga merusak sistem pertahanannya. Sebelum memasuki permukaan tubuh dan menimbulkan kerusakan, agen patogen harus terlebih dulu menembus lapisan terluar kulit yang berupa kutikula atau glycocalyx yang merupakan lapisan mucopolysaccharidae dengan ketebalan kira-kira 1 µm. Lapisan kutikula mengandung imunoglobulin spesifik dan lysozyme, serta asam lemak bebas, yang diketahui memiliki aktivitas anti patogen yang merupakan bagian dari sistem pertahanan mukosa pada ikan. Bekerja bersama-sama dengan kinetika proliferasi seluler yang secara kontinyu melepaskan mikroorganisme dari permukaan tubuh (Speared and Mirasalimi, 1992 dalam Roberts, 2001). Gejala sekresi mukus yang berlebihan merupakan respons perlindungan tubuh ikan terhadap invasi agen patogen termasuk KHV, serta perubahan yang terjadi pada lingkungan hidupnya.
Mukus pada kulit terdapat pada lapisan
epidermis yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh ikan. Selain mukus, pada lapisan epidermis juga terdapat sel-sel yang dapat bermigrasi secara bebas seperti limfosit dan makrofag. Sel-sel ini mempunyai peranan penting dalam imunitas kulit. Limfosit pada lapisan epidermis menyekresikan imunoglobulin ke dalam mukus kulit (Takashima et al., 1995; Roberts, 2001). Lapisan mukus yang terdiri dari mucopolysaccharides, memiliki fungsi yaitu: 1) membentuk lapisan licin di kulit sehingga mengurangi gesekan gerakan dalam air, 2) melindungi tubuh
47
dengan cara membentuk penghalang bagi agen patogen, 3) melindungi permukaan tubuh dari abrasi dan 4) berperan dalam proses osmoregulasi (Takashima et al., 1995; Hoole et al., 2001). Selain sekresi mukus yang berlebihan, gejala yang ditemukan pada permukan tubuh ikan adalah pendarahan dan luka pada kulit. Gejala pendarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Pecahnya arteri atau vena dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma, peradangan, atau erosi pada dinding pembuluh darah. Luka atau kerusakan kulit dapat disebabkan oleh penanganan yang kasar dan atau infestasi ektoparasit sehingga mengakibatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder menjadi meningkat. Beberapa ektoparasit dapat menjadi penyebab utama abrasi kulit meskipun tidak parah, namun luka tersebut merupakan pintu bagi masuknya agen-agen infeksi (Roberts, 2001). Gejala lain yang ditemukan adalah diskolorasi kulit. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanya invasi agen patogen atau terjadinya perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi kehidupan ikan. Sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital antara lain respon terhadap stress dan cedera. Jika terjadi stress atau cedera, sistem endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk mempertahankan hidup. Salah satu reaksi ikan terhadap serangan agen patogen maupun lingkungan yang kurang menguntungkan adalah perubahan warna pada tubuhnya. Perubahan warna menjadi lebih pucat antara lain disebabkan oleh gangguan terhadap sel-sel pembentuk pigmen (chromatophores) yang terletak pada lapisan dermis kulit, dan
48
atau penyebab lainnya. Terjadinya kerusakan atau kematian jaringan atau adanya lesi pada kulit ikan, juga dapat menyebabkan perubahan warna menjadi pucat. Terkait dengan invasi KHV pada permukaan tubuh ikan, hasil penelitian Costes et al. (2009) menemukan jalur infeksi awal KHV adalah melalui kulit dan kemudian berlanjut menjadi infeksi sistemik. Pada hari ke 2 atau 3 setelah penetrasi, KHV akan bereplikasi pada titik masuk tersebut. Replikasi KHV pada titik masuk merupakan replikasi awal, dan hal tersebut dibuktikan dengan adanya partikel-partikel viral yang terdeteksi melalui mikroskop elektron. KHV baru hasil replikasi awal tersebut, kemudian melanjutkan infiltrasi ke lapisan yang lebih dalam dari kulit. Sementara itu, sebagian KHV lainnya jatuh ke perairan dan menyebar ke populasi ikan di sekitarnya. Pada 2 atau 3 hari pasca infeksi, ikanikan yang terinfeksi akan merasa tidak nyaman dengan adanya luka pada kulit akibat aktivitas replikasi KHV. Hal tersebut menyebabkan ikan saling menggosok-gosokkan tubuhnya satu sama lain. Tingkah laku tersebut membuat penyebaran KHV semakin meluas dan merupakan pola penyebaran skin to skin mode of transmission (Costes et al., 2009). 4.2.
Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) Uji PCR dilakukan untuk memastikan ikan mas dan koi (Cyprinus carpio)
benar-benar terinfeksi KHV. Dari sampel yang menunjukkan gejala klinis KHV di 20 provinsi, sebanyak 18 sampel menunjukkan positif KHV dengan uji PCR. Hasil uji PCR disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 10. Metoda PCR yang digunakan pada penelitian ini telah membuktikan adanya penyebaran KHV pada ikan mas dan koi, bahkan lama setelah terjadinya outbreak. Dengan menggunakan primer set SphI-5, sebanyak 18 sampel
49
menunjukkan
hasil
positif
KHV.
Primer
set
SphI-5
didisain
untuk
mengamplifikasi suatu produk dengan ukuran 290 bp, dan tidak mengamplifikasi produk DNA dari cetakan herpesvirus lainnya kecuali KHV. Penggunaan primer set hasil temuan Gray et al. (2002) tersebut bersifat spesifik untuk pemeriksaan KHV. Primer set ini telah digunakan dalam inspection procedure for KHV di beberapa negara Asia. Hasil penelitian pendahuluan untuk mengetahui sensitivitas primer set dalam mendeteksi varian-varian KHV di Indonesia, menunjukkan primer set SphI-5 yang didisain oleh Gray et al. (2002) lebih sensitif daripada primer set thymidine kinase yang didisain oleh Bercovier et al. (2005). Tabel 3 Lokasi sampel ikan yang positif KHV menggunakan metoda PCR dan Imunohistokimia.
50
Gambar 10
4.3.
Hasil pemeriksaan sampel ikan dengan gejala klinis KHV menunjukkan18 sampel positif KHV dengan metode PCR, yaitu DI Aceh (4), Sumut (5), Sumbar (7), Riau (8), Bengkulu (10), Lampung(11), DKI Jakarta (12), Jabar (3), DI Yogyakarta (14), Bali (18), NTT (19), NTT (20), Kalbar 1 (21), Kalbar 2 (23), Kaltim 1 (25), Kaltim 2 (26), Kalsel (27), Papua Barat (28). Untuk marker (M), kontrol positif (Pc), kontrol negatif (Nc), masing-masing dengan kode 1, 2, dan 3.
Uji Imunohistokimia Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel ikan bergejala klinis KHV
yang berasal dari 20 provinsi, 18 sampel ditemukan positif KHV dengan metoda PCR dan imunohistokimia, sedangkan 4 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif dengan PCR, namun memberikan hasil positif dengan metoda imunohistokimia (Gambar 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa 4 sampel genom tidak dapat diamplifikasi melalui PCR. Rincian hasil pengujian imunohistokimia pada seluruh ikan sampel disajikan pada Tabel 3.
51
a
b
c
d
e
f
Gambar 11 Hasil uji imunohistokimia terhadap beberapa sampel bergejala klinis KHV dari : (a) Sumatera Selatan, (b) Jawa Timur, (c) Gorontalo, (d) Sulawesi Utara, menunjukkan hasil positif (warna cokelat pada jaringan). Sebagai kontrol positif dan negatif masing-masing adalah (e) dan (f). Sampel-sampel genom yang tidak berhasil diamplifikasi adalah genom asal Jawa Timur, Sumatera Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan amplifikasi tersebut antara lain adalah penggunaan primer yang tidak spesifik untuk sampel-sampel genom dari 4 provinsi tersebut. Adanya variasi genetik KHV yang relatif tinggi atau jarak genetik yang relatif jauh pada sampel-sampel genom dari 4 lokasi tersebut dibandingkan dengan sampel-sampel genom yang berhasil diamplifikasi, dapat merupakan penyebab kegagalan proses amplifikasi. Menurut Walker (2000), variasi genetik karena
52
mutasi sekuen nukleotida dapat mencegah mengikatnya primer-primer PCR pada sekuen target. Dalam pengujian KHV di laboratorium, dilakukan juga pengujian menggunakan metoda selain PCR untuk konfirmasi hasil yang diperoleh, sebagai contoh penerapan metoda imunohistokimia. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari kekeliruan dalam menarik kesimpulan hasil uji yang dilakukan. Rosenkranz et al. (2008) melaporkan bahwa metoda imunohistokimia memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosa KHV selain dengan PCR. Metoda imunohistokimia memiliki kelebihan dalam deteksi KHV karena kemampuannya berikatan dengan salah satu membran protein yang dikode oleh gen ORF81 (Open Reading Frame 81). Gen ORF81 merupakan produk KHV yang memiliki berat molekul 26 kDa, bersifat non-glycosylated, berlokasi di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan atau di dalam amplop virion. Selanjutnya menurut Rosenkranz et al. (2008), metoda yang paling baik untuk mendeteksi keberadaan membran protein yang dikode oleh ORF81 adalah imunohistokimia, immunofluorescense dan immunoelectron microscopy. 4.4.
Variasi Genetik dan Sebaran Biogeografis KHV Sekuensing DNA dilakukan terhadap produk PCR dari 18 sampel ikan
positif KHV, dan hasilnya disajikan pada Tabel 4. Selanjutnya dengan menggunakan metoda Neighbor Joining dengan 100X replikasi menggunakan software ClustalX, hasil sekuensing DNA digunakan sebagai dasar pembuatan pohon filogenetik KHV. Sebagai pembanding, digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan Cyprinid Herpesvirus 3 (CyHV-3) yang berasal dari Jepang.
53
Berdasarkan hasil sekuensing DNA KHV (Tabel 4) dan konstruksi pohon filogenetik yang dibuat (Gambar 12), ada 17 varian dari 18 sampel positif KHV yang ditemukan, sedangkan varian KHV dan CyHV-3 yang berasal dari Jepang merupakan varian-varian yang berbeda. Selanjutnya, varian-varian KHV yang ditemukan tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 clusters cabang utama yang terdiri dari kelompok I meliputi varian-varian KHV yang berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung,
Papua Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Nusa
Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Bengkulu, DI Aceh, dan Kalimantan Timur. Kelompok II terdiri dari varian-varian KHV yang berasal dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tengara Barat, Riau, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok I memiliki tingkat similaritas atau kemiripan yang relatif tinggi atau memiliki jarak satu sama lain yang relatif dekat, bahkan sekuen DNA KHV yang berasal dari DI Aceh dan Kalimantan Timur (1) memiliki tingkat homologi 100%. Beberapa sekuen DNA KHV lainnya yang memiliki kemiripan yang relatif tinggi ( >95 %) adalah Bali dengan Nusa Tenggara Timur, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); Nusa Tenggara Timur dengan DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); DI Aceh dengan Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Kalimantan Timur (1) dengan Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Bengkulu dengan Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Sumatera Barat dengan DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; DI Yogyakarta
54
dengan Jawa Barat, serta Jawa Barat dengan Kalimantan Barat (1). Selanjutnya, sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok II yang memiliki tingkat similaritas yang relatif tinggi ( > 90 %) adalah Kalimantan Timur (2) dan DKI Jakarta. Similaritas dan jarak genetik varian-varian KHV yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 5, sedangkan sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Berkaitan dengan variasi genetik KHV yang ditemukan dalam penelitian ini, tingkat similaritas atau jarak genetik yang diperoleh dari hasil sekuensing DNA dan pohon filogenetik KHV dapat menggambarkan hubungan antara DNA KHV dari berbagai provinsi dan dapat memprediksi kemungkinan penyebarannya. Sebagai contoh, varian yang memiliki tingkat kemiripan yang relatif tinggi atau sangat tinggi, kemungkinan berasal dari sumber atau lokasi yang sama. Meningkatnya lalulintas perdagangan ikan koi dan mas antar daerah di wilayah Indonesia maupun antar negara, membawa kemungkinan menyebarnya varian-varian KHV yang sebelumnya tidak ditemukan di wilayah atau negara-negara tertentu. Variasi genetik pada virus merupakan salah satu cara alamiah untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Virus-virus harus menghadapi perubahan lingkungan yang terus menerus di inangnya, maupun saat melintas dari satu inang ke inang lainnya. Mereka harus berhadapan dengan respon pertahanan atau sistem imunitas inang. Menghindar dari pertahanan inang merupakan ciri pokok strategi bertahan pada seluruh virus (Walker, 2000). Variasi genetik virus terjadi melalui mekanisme mutasi dan rekombinasi genetik (Trun dan Trempy, 2004; Walker, 2000). Pada penelitian ini, tipe mutasi yang ditemukan adalah microlesions dan macrolesions. Jenis microlesions yang
55
ditemukan meliputi mutasi titik (transisi dan transverse) dan frameshift (berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan satu pasang basa dalam suatu gen. Jenis macrolesions yang ditemukan meliputi mutasi frameshift yang berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan basa dalam jumlah banyak. Menurut Walker (2000), mutasi dapat terjadi setiap saat dalam pertumbuhan suatu populasi virus. Mutasi dapat terjadi secara spontan, maupun dapat diinduksi oleh agen-agen fisika dan kimia terhadap DNA. Mutasi spontan dapat terjadi karena kekeliruan pasangan antar basa selama replikasi DNA atau selama proses reparasi atau perbaikan DNA. Selain itu mutasi spontan dapat terjadi karena perubahan “tanpa makna” basa-basa dalam DNA, radiasi tingkat rendah, perubahan spontan basa-basa pada depurinasi atau deaminasi atau rekombinasi.
Laju mutasi dapat meningkat dengan adanya mutagen-mutagen
kimia atau fisika yang dapat menginduksikan perubahan-perubahan nukleotida dalam molekul-molekul DNA (Trun dan Trempy, 2004). Adanya mutasi dan rekombinasi gen-gen memungkinkan virus beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya dengan sangat mudah, dan varian-varian yang muncul mempunyai potensi meningkatkan kelangsungan hidup virus. Variasi genetik juga dapat menyebabkan strain virus yang berhubungan dekat memiliki sifat-sifat biologis yang berbeda seperti patogenesitas, tissue tropism, atau kisaran inang (Walker, 2000). Tidak semua mutasi mempunyai pengaruh yang merusak gen, banyak juga mutasi yang tidak merusak atau tidak berbahaya. Sebagai contoh, suatu mutasi titik yang terjadi dalam suatu gen namun tidak mengubah pengkodean protein sehingga mutasi tersebut tidak ada pengaruhnya. Tipe mutasi titik ini disebut
56
silent, terjadi jika substitusi
satu pasang basa dengan basa lainnya tidak
menyebabkan perubahan asam amino yang dihasilkan. Sebaliknya, ada mutasi titik dalam suatu gen yang secara signifikan mengubah urutan asam amino dari suatu protein. Mutasi missense terjadi jika substitusi satu pasang basa dengan basa lainnya mengubah asam amino yang dihasilkan. Sebagai contoh, kodon UGG dalam mRNA atau TTG dalam DNA mengkode tryptophan. Mutasi yang terjadi pada basa pertama dari kodon, mensubstitusi satu T menjadi satu G, sehingga hasilnya
pengkodean untuk glycine sebagai pengganti tryptophan. Beberapa
mutasi missense dapat mengubah sama sekali fungsi protein atau masih dapat berfungsi secara parsial. Pada mutasi nonsense, mutan-mutan nonsense dimana suatu kodon yang menspesifikasi
asam amino diubah menjadi suatu kodon
penghenti (stop codon). Dengan demikian mengakibatkan terbentuknya produk polipeptida yang terputus dan biasanya tidak aktif. 4.5.
Perubahan Patologis Infeksi KHV Studi yang dilakukan beberapa peneliti dengan menggunakan pengujian
patologi mikroskopik dan uji PCR kuantitatif menunjukkan perubahan pada jaringan-jaringan target KHV meliputi insang, ginjal, limpa, kulit, otak, usus, dan hati (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004) menemukan konsentrasi DNA KHV tertinggi terdapat pada insang, ginjal, limpa, dengan jumlah genom yang ekuivalen konsisten yaitu mulai dari 108-109/106 sel-sel inang. Level DNA KHV yang tinggi juga ditemukan pada mukus, hati, usus dan otak. Ikan koi 62-64 hari pasca infeksi dapat bertahan hidup, masih mengandung kopi genom KHV namun dalam jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 102/106
sel-sel inang) pada
57
Tabel 4 Hasil sekuensing DNA KHV pada 18 sampel ikan positif dengan metode PCR
58
59
Gambar 12 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, terdiri dari dua cluster : Cluster I yaitu: Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat (1), Jawa Barat, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), dan Bengkulu. Cluster II yaitu: Sumatera Utara, Kalimantan Barat (2), NTB, Riau, Kalimantan Timur (2), dan DKI Jakarta. Sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang.
60
Gambar 13 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, dan sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang.
61
Tabel 5 Jarak genetik dan similaritas varian KHV yang ditemukan
SIMILIARITAS
ASAL KHV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
JARAKGENETIK 1 99.568 96.983 96.552 95.279 95.689 97.84 97.408 66.094 93.548 87.069 77.586 65.854 37.639 37.778 25.272 34.076 37.808
2 3 0.004 0.03 0.03 96.989 96.989 100 95.717 98.718 96.129 99.142 96.552 96.989 97.414 96.559 93.576 93.589 92.704 90.149 87.097 84.978 76.344 75.536 61.062 57.616 36.889 36.585 37.029 36.283 33.482 33.63 34.222 33.925 36.161 36.303
4 5 6 7 0.034 0.047 0.043 0.021 0.03 0.042 0.038 0.034 0 0.012 0.008 0.03 0.012 0.008 0.03 98.718 0.021 0.042 99.142 97.863 0.021 96.989 95.717 97.849 96.129 94.861 96.129 96.983 93.162 93.617 93.162 93.576 90.149 90.618 89.293 89.699 84.549 85.47 83.69 84.086 73.819 73.932 74.249 74.193 57.616 57.363 58.94 60.177 37.916 36.865 37.472 37.778 36.283 37.004 37.168 36.585 32.739 33.038 33.63 33.482 33.925 35.099 34.811 34.667 34.966 35.255 35.857 35.714
8 0.025 0.025 0.034 0.038 0.051 0.038 0.03 94.432 91.416 84.516 76.344 59.292 38.222 37.029 33.036 34.667 35.268
9 0.339 0.064 0.064 0.068 0.063 0.068 0.064 0.055 89.339 85.47 79.914 63.516 40.397 40.088 36.142 37.748 40.133
10 0.064 0.072 0.098 0.098 0.093 0.107 0.103 0.085 0.106 89.293 81.584 63.877 40.265 40.397 36.444 38.938 37.778
11 0.129 0.129 0.15 0.154 0.145 0.163 0.159 0.154 0.145 0.107 86.695 66.446 44.124 42.92 42.984 42.794 41.648
12 0.224 0.236 0.244 0.261 0.26 0.257 0.259 0.236 0.2 0.184 0.133 77.483 54.324 53.539 51.893 53.88 51.893
13 0.341 0.389 0.423 0.423 0.426 0.41 0.398 0.407 0.364 0.361 0.335 0.225 73.059 73.121 67.889 68.036 72.018
14 0.623 0.631 0.634 0.62 0.631 0.625 0.622 0.617 0.596 0.597 0.558 0.456 0.269
15 0.622 0.629 0.637 0.637 0.629 0.628 0.634 0.629 0.599 0.596 0.57 0.464 0.268 0.086
16 0.742 0.665 0.663 0.672 0.669 0.663 0.665 0.669 0.638 0.635 0.57 0.481 0.321 0.119 0.165
17 0.659 0.657 0.66 0.66 0.652 0.651 0.653 0.653 0.622 0.61 0.572 0.461 0.319 0.11 0.133 0.055
91.304 88.018 83.448 88.991 86.696 94.47 91.705 90.345 87.963 86.636
18 0.621 0.638 0.636 0.65 0.647 0.641 0.642 0.647 0.598 0.622 0.583 0.481 0.279 0.082 0.096 0.12 0.133
Keterangan: Varian KHV dari Bali (1), NTT (2), DI Aceh (3), Kaltim1 (4), Bengkulu (5), Sumbar (6), DI Yogyakarta (7), Jabar (8), Kalbar 1 (9), Papua Barat (10), Lampung (11), Kalsel (12), Sumut (13), Kalbar 2 (14), Riau (15), Kaltim 2 (16), DKI Jakarta (17), NTB (18).
62
Gambar 14 Peta sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia. Ada 2 clusters cabang varian KHV yang ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu cluster I (warna merah): DI Aceh (Ib2), Sumatera Barat (Ib2), Bengkulu (Ib2), Lampung (Ib1), Jawa Barat (Ib2), DI Yogyakarta (Ib2), Bali (Ib2), Nusa Tenggara Timur (Ib2), Kalimantan Timur 1 (Ib2), Kalimantan Barat1 (Ib2), Kalimantan Selatan (Ia), Papua Barat (Ib2). Cluster II (warna hitam): Sumatera Utara (IIb), Riau (IIa1), DKI Jakarta (IIa2), Nusa Tenggara Barat (IIa1), Kalimantan Timur 2 (IIa2), Kalimantan Barat 2(IIa1). insang, ginjal, atau otak. Selain organ-organ tersebut, jantung juga merupakan target organ KHV. Menurut Wada et al. (2006), infiltrasi KHV menyebabkan degenerasi dan nekrosis otot jantung. 4.5.1. Perubahan Patologis Pada Insang Hasil pengamatan terhadap insang ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV yang berbeda ditemukan perubahan patologis berupa proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder pada seluruh jaringan insang yang diperiksa (100%). Selain itu, pada beberapa ikan juga ditemukan adanya hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder (13,6%), inclusion body (9,1%), telangiectasis (9,1%), edema (4,5%), proliferasi 63
lapisan hialin (4,5%), dan fibrosis pada pangkal insang (4,5%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Namun demikian, ditemukan perubahan patologis yang relatif berat pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian-varian KHV yang berasal dari Riau (cluster II), Kalimantan Timur 1 (cluster I) dan Kalimantan Timur 2 (cluster II). Kondisi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan, kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, dan tissue tropism. Perubahan patologis pada jaringan insang disajikan pada Gambar 15 sampai dengan 19, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Perubahan patologis yang ditemukan pada insang merupakan indikasi terjadinya radang sebagai akibat infiltrasi dan aktivitas replikasi virus. Aktivitas replikasi virus dibuktikan dengan penemuan inclusion body.
Menurut Claudia
(2008), inclusion body pada infeksi KHV dapat ditemukan pada organ insang, ginjal, hati, dan otak. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan, terletak di bawah operkula, di kedua belah sisi kepala.
Insang berbentuk melingkar, bertulang, mengandung
cartilaginous serta kaku, jumlahnya 4 lembar pada masing-masing sisi. Pada bagian medio anterior, terdapat gill raker yang fungsinya menyaring partikel makanan. Lengkung insang (gill arch) menjadi tempat menempelnya filamen-filamen insang yang mengandung kapiler-kapiler darah. darah (arteri afferent
Pada lengkung insang terdapat saluran
dan efferent), sehingga memungkinkan darah dapat keluar
masuk insang. Pada kedua sisi filamen insang terdapat lamela. Lamela merupakan 64
lokasi pertama terjadinya pertukaran gas pada insang. Lamela dibentuk oleh sel-sel epitel eksternal yang tebal dan sel-sel pilar penunjang, fungsinya memfasilitasi aliran darah melalui insang. Selain itu, pertukaran gas difasilitasi juga oleh system countercurrent, dimana arah aliran darah berlawanan dengan arah aliran air. Pertukaran gas jenis ini dijaga dengan jalan mengkoordinasikan perubahan tekanan di mulut dan bukaan operkulum (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Insang juga mengandung sel-sel penghasil mukus dan sel-sel pengekskresi ammonia dan garam yang berlebih. Posisi insang dan strukturnya yang lemah serta selalu bersentuhan dengan air menjadikan insang sangat mudah rusak karena perubahan lingkungan. Selain itu, insang juga menjadi tempat paling menarik bagi virus, bakteri dan parasit untuk menginfeksi karena permukaannya luas dan kaya akan darah (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Berkaitan dengan infeksi KHV pada ikan mas dan koi, insang ditengarai sebagai entry point KHV selain kulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bretzinger et al. (1999) yang melakukan pengamatan pertama kali partikel herpes-like virus yang diisolasi dari epitel insang. Demikian juga dengan Body et al. (2000) yang telah berhasil mengisolasi KHV dari insang koi di Belgia. Penelitian Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al. (2003) menemukan KHV pertama kalinya masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang atau usus. Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004), virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang, selanjutnya bereplikasi di dalam organ tersebut. Aktivitas replikasi tersebut mempengaruhi struktur insang, sehingga terlihat
65
Gambar 15 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder (a) dan edema (b) pada insang (perbesaran 10 x)
Gambar 16 Infiltrasi sel-sel radang pada insang (perbesaran 40x)
66
Gambar 17 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder pada insang (perbesaran 10x)
Gambar 18 Telangiectasis pada insang (perbesaran10x)
67
Tabel 6 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji PCR dan imunohistokimia NO. 1 1
Varian KHV/ Anggota kekerabatan 2 Kalimantan Selatan / Ia
2
Lampung / Ib1
3
Papua Barat / Ib2
4
Kalimantan Barat (1) / Ib2
5
Jawa Barat / Ib2
Perubahan Patologik Jaringan Ginjal Hati Limpa
Insang
Usus
Jantung
Otak
3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
4 tampak normal
5 tampak normal
6 kongesti, degenerasi hidropik
7 kongesti, infiltrasi MMC
8 haemorhagi, perikarditis
9 Kongesti
tampak normal
tampak normal
degenerasi hidropik
kongesti
kongesti
kongesti, gliosis, nekrosis
tampak normal
haemorhagi
degenerasi hidropik
kongesti
haemorhagi,
Gliosis
kongesti, aktivitas selsel goblet meningkat
tampak normal
kongesti, infiltrasi MMC
perikarditis, haemorhagi
Kongesti
enteritis, fusi vili, nekrosis, edema
haemorhagi, fibrosis
degenerasi hidropik, kongesti, inclusion body,nekrosis degenerasi hidropik
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
tampak normal
miokarditis
kongesti, fibrosis, nekrosis
68
1 6
2 Bali / Ib2
3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
7
Nusa Tenggara Timur (NTT) / Ib2
8
DI Yogyakarta / Ib2
9
Sumatera Barat / Ib2
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
10
DI Aceh / Ib2
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder & tampak potongan cacing
4 tampak normal
5 kongesti, haemorhagi
6 degenerasi hidropik
7 tampak normal
8 kongesti
9 kongesti
proliferasi sel-sel goblet, edema, kongesti lambung : deposisi enterolith, edema
haemorhagi, kongesti
degenerasi hidropik
kongesti
kongesti pada perikardium, miokarditis
kongesti
penebalan pada tubulus
degenerasi hidropik, kongesti
edema
perikarditis, kongesti
tampak normal
haemorhagi, kongesti
haemorhagi
perikarditis, kongesti, edema
aktifitas selsel goblet meningkat
haemorhagi, kongesti
degenerasi hidropik, perivascular cuffing, kongesti, fibrosis degenerasi hidropik, inclusion body
kongesti, gliosis, mononuclear perivascular cuffing, nekrosis kongesti
infiltrasi sel-sel radang/limf osit, infiltrasi MMC
infiltrasi selsel radang pada endokardium, haemorhagi, vakuolisasi, perikarditis, kongesti
kongesti, vakuolisasi, satelitosis, nekrosis
69
1 11
12
2 Kalimantan Timur (1) / Ib2
3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel epitel Bengkulu / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
13
Kalimantan Barat (2)/ IIa1
14
Nusa Tenggara Barat (NTB) / IIa
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel sekunder
4 tampak normal
5 tampak normal
6 degenerasi hidropik
7 kongesti
8 haemorhagi
9 kongesti
haemorhagi
haemorhagi, edema, kongesti, inclusion body tampak normal
degenerasi hidropik
kongesti
epikarditis, miokarditis, perikarditis, nekrosis
kongesti
degenerasi hidropik
kongesti
tampak normal
kongesti, edema
kongesti, nekrosis pada glomerulus
kongesti, degenerasi hidropik, perivascular cuffing
tampak normal
haemorhagi, perikarditis, infiltrasi vakuolisasi
kongesti
enteritis
kongesti, aktifitas sel-sel goblet meningkat, enteritis, haemorhagi, nekrosis
70
1 15
2 Riau / IIa1
16
DKI Jakarta / IIa2
17
Kalimantan Timur (2) / IIa2
18
Sumatera Utara / Iib
3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fusi lamela sekunder, proliferasi lapisan hialin, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis
4 enteritis, aktivasi selsel goblet meningkat
5 Kongesti
6 degenerasi hidropik, kongesti
7 kongesti
8 epikarditis, kongesti
9 kongesti
tampak normal
tampak normal
degenerasi hidropik, kongesti
tampak normal
Perikarditis
kongesti, gliosis, nekrosis
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
"Unknown" Infiltrasi
tampak normal
kongesti, degenerasi hidropik
kongesti, peningkatan aktivitas limfosit
tampak normal
kongesti, vakuolisa si, nekrosis
enteritis, infiltrasi sel-sel, radang
proliferasi sel-sel di interstitial, kongesti, nekrosis pada glomerulus
tampak normal
tampak normal
epikarditis, miokarditis perikarditis
Gliosis
71
Tabel 7 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji imunohistokimia No. 1 1
Asal Sampel Ikan 2 Jawa Timur
2
Sumatera Selatan
3
Gorontalo
4
Sulawesi Utara
Organ Hati
Insang
Usus
Ginjal
3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
4 edema
5 tampak normal
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fibrosis pada pangkal insang proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
kongesti, enteritis
infiltrasi sel-sel radang pada glomerulus
tampak normal
infiltrasi MMC
tampak normal
infiltrasi MMC, peningkata n aktifitas limfosit
proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder
fusi vili, enteritis
tampak normal
kongesti, degenerasi hidropik
tampak normal
6 kongesti, degenerasi melemak, nekrosis degenerasi hidropik
Limpa
Jantung
Otak
7 tampak normal
8 infiltrasi selsel radang
9 gliosis, kongesti
kongesti
kongesti pada perikardium, perikarditis
kongesti
tampak tampak droplet lemak, normal miokarditis, infiltrasi limfosit & heterofil tampak kongesti, normal haemorhagi , nekrosis
72
insang mengalami nekrosis pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu faktor munculnya gejala klinis pada ikan, seperti peningkatan frekuensi pernafasan dan ikan kelihatan megap-megap, serta selalu berenang ke arah permukaan air. Beberapa peneliti juga meyakini bahwa insang merupakan titik masuk infeksi KHV (Gilad et al., 2004; Dishon et al., 2005; Ilouze et al., 2006; Miyazaki et al., 2008). Hipotesis ini diperkuat beberapa data penelitian. Pertama, Roberts (2001) melaporkan bahwa insang menunjukkan peranannya sebagai titik masuk beberapa agen patogen. Kedua, ikan yang terinfeksi KHV memiliki lesi-lesi pada insang, hal tersebut menjawab pertanyaan mengapa pada awalnya virus ini dikenal sebagai carp interstitial nephritis and gill necrosis virus atau CNGV (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Ronen et al., 2003; Pikarsky et al., 2004; Miyazaki et al., 2008). Ketiga, laporan Gilad et al. (2004) dan Pikarsky et al. (2004) menyebutkan bahwa insang ikan yang terinfeksi dan kemudian diperiksa dengan metoda PCR mengandung genom KHV pada stadium awal. Perubahan jaringan berupa proliferasi, hiperplasia dan hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder merupakan respons adaptasi terhadap rangsangan atau stimulus patologik yang terjadi. Sel-sel yang mendapatkan rangsang atau stimulus patologik, secara fisiologik dan morfologik akan mengalami adaptasi perubahan sel sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup serta mengatur fungsinya. Namun demikian, apabila stimulus patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel terhadap stimulus tersebut, maka akan timbul sel yang sakit 73
Tabel 8 Perubahan patologis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder Hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Inclusion body Edema Fusi lamela sekunder Proliferasi lapisan hialin Telangiectasis Fibrosis pada pangkal insang
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
7 5 2 1 4 4 2 2
31.8 22.7 9.1 4.5 18.2 18.2 9.1 9.1
7 1 2 8 1 1 1 1 1 1
31.8 4.5 9.1 36.4 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Jaringan Ginjal
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
26 100 13.6 9.1 9.1 4.5 4.5 9.1 4.5
Ѵ
Ѵ
25 22 3 2 2 1 1 2 1
Ѵ
Enteritis Aktifitas sel-sel goblet meningkat/Proliferasi sel-sel goblet Haemorhagi Deposit enterolith pada lambung Edema Kongesti Fusi vili Nekrosis
Persen Kejadian (%)
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Jumlah Ekor (N=22) Sulut
Gorontalo
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jaringan Saluran Pencernaan
Haemorhagi Proliferasi sel-sel di interstitial Nekrosis pada tubulus Kongesti Edema Penebalan pada tubulus Infiltrasi MMC Fibrosis Infiltrsi sel-sel radang pada glomerulus Inclusion body
Sumsel
Jatim
Sumut
Kaltim 2
DKI Jakarta
Riau
NTB
8
Kalbar 2
7
Bengkulu
6
Kaltim 1
5
DI Aceh
4
SumBar
Bali
3
DI Yogyakarta
Jabar
2
Kalbar 1
Jaringan Insang
Pap. Bar
1 1
Lampung
Perubahan Patologik Jaringan Kalsel
No
NTT
Varian KHV
74
1 4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Jaringan Hati Degenerasi hidropik Kongesti Fibrosis Perivascular cuffing Inclusion body Degenerasi melemak Nekrosis Jaringan Limpa Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Infiltrasi MMC Haemorhagi Kongesti Edema Jaringan Jantung Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Epikarditis Perikarditis Miokarditis Kongesti Haemorhagi Vakuolisasi Edema Nekrosis
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
86.4 45.5 4.5 9.1 9.1 4,5 9.1
Ѵ Ѵ
2 4 1 11 1
9.1 18.2 4.5 50.0 4.5
Ѵ
3 3 10 5 8 6 2 1 1
13.6 13.6 45.5 22.7 36.4 27.3 9.1 4.5 4.5
V Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ
26
19 10 1 2 2 1 2
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
25
75
1 7
Jaringan Otak 1 Kongesti 2 Vakuolisasi 3 Satelitosis 4 Gliosis 5 Haemorhagi 6 Edema 7 Perivascular cuffing 8 Fibrosis 9 Nekrosis
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
25
Ѵ Ѵ
19 2 1 6 1 1 1 1 7
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ Ѵ
Ѵ
26 86.4 9.1 4.5 27.3 4.5 4.5 4.5 4.5 31.8
76
(cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible). Jika stimulus menetap atau bertambah besar, sel akan mengalami lesi yang menetap (irreversible) sehingga sel akan mati atau nekrosis. Sel yang mengalami nekrosis merupakan hasil akhir yang biasanya disebabkan oleh iskemia, infeksi, dan reaksi imun (Sudiono et al., 2003). Menurut Robbins et al. (1995), hiperplasia dan hipertrofi sel dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik.
Hiperplasia fisiologik terjadi
karena penyebab fisiologis atau normal dalam tubuh, sedangkan hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau pengaruh faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal pada sel-sel target. Salah satu penyebab hiperplasia patologik adalah induksi virus yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel epitel skuamosa. Hasil penelitian Perelberg et al. (2003) menemukan perubahan berupa hiperplasia dan hipertrofi terutama pada sel-sel epitel lamela sekunder insang yang terinfeksi KHV, sehingga menyebabkan terjadinya fusi antara lamela sekunder yang berdekatan. Hal tersebut terjadi karena adanya proliferasi dan pembengkakan sel-sel epitel lamela sekunder yang tidak terkontrol akibat infeksi virus. Selain hiperplasia dan hipertrofi, perubahan lain yang tampak pada jaringan insang adalah adanya telangiectasis, edema, dan fibrosis.
Perubahan-perubahan
tersebut merupakan ciri-ciri terjadinya radang pada jaringan tersebut. Reaksi ini dapat disebabkan oleh infeksi mikrobial (termasuk KHV), faktor fisik, zat kimia, jaringan nekrotik, dan reaksi imunologik. Peran proses peradangan adalah untuk
77
membawa dan mengisolasi trauma, memusnahkan mikroorganisme penginfeksi menginaktifkan toksin, serta untuk mencapai penyembuhan dan perbaikan. Perubahan patologik telangiectasis ditemukan pada jaringan insang yang terinfeksi KHV varian DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur. Telangiectasis adalah dilatasi pembuluh darah yang berada di dekat permukaan tubuh atau tepi atau berada pada membran mukosa. Adanya infeksi merangsang sistem pertahanan tubuh meningkatkan aliran komponen imun ikan ke jaringan insang. Telangiectasis merupakan kongesti yang berkelanjutan sebagai akibat infeksi sistemik yang menimbulkan dilatasi pembuluh darah insang. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas imun melalui pembuluh darah, sehingga volume darah menuju insang meningkat. Selain hal tersebut, dilatasi juga disebabkan oleh pelepasan faktorfaktor anti radang. Agar dapat berfungsi dengan normal, jaringan membutuhkan sirkulasi darah yang baik, keseimbangan cairan tubuh intravaskular dan ekstravaskular, serta konsentrasi zat-zat dalam cairan yang tetap, termasuk elektrolit. Pada jaringan normal, hal ini diselenggarakan oleh endotel kapiler. Membran ini sangat penting untuk distribusi cairan tubuh dan mempunyai permeabilitas yang selektif.
Pada
beberapa keadaan, permeabilitas endotel kapiler dapat bertambah. Akibatnya protein plasma akan keluar dari kapiler sehingga tekanan koloid osmotik darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin bertambahnya cairan yang meninggalkan kapiler sehingga menimbulkan edema (Robbins et al., 1995). Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi antara lain pada infeksi mikrobial (termasuk KHV), keracunan zat kimia, anoksia 78
yang terjadi akibat berbagai keracunan, tekanan vena yang meningkat, atau kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria. Terjadinya edema, biasanya juga disertai dengan degenerasi jaringan akibat anoksia, bahkan kadang-kadang sampai terjadi nekrosis. Kongesti dan edema yang terjadi relatif lama atau berlarutlarut dapat menyebabkan terjadinya proliferasi jaringan ikat (fibrosis) (Sudiono et al., 2003). Berkaitan dengan kerusakan yang parah pada jaringan insang ikan-ikan yang positif KHV, maka fungsi insang dalam pengikatan oksigen terlarut dalam air akan terganggu. Kondisi ini dapat menimbulkan hipoksia sel yang serius. Beberapa penyebab hipoksia adalah : 1) Oksigenasi insang yang tidak memadai; 2) Penyakit pada insang. Menyebabkan berkurangnya luas permukaan lamela-lamela insang sehingga mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen dari lingkungan ke insang, 3) Transport oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan karena anemia atau hemoglobin abnormal, penurunan sirkulasi umum, penurunan sirkulasi lokal, dan edema jaringan; 4) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai. Kerusakan pada organ insang juga menyebabkan menurunnya kemampuan insang mengeluarkan zat-zat toksik yang berbahaya seperti ammonia, CO 2 dan garam-garam yang berlebih dari tubuhnya. Menurut Hoole et al. (2001), ikan-ikan carp dan koki dapat mengekskresikan nitrogen melalui insang 10 kali lebih banyak dibandingkan melalui ginjal. Jika ada gangguan pada insang menyebabkan penurunan kapasitas metabolisme sel akibat kekurangan oksigen dan keracunan zatzat yang bersifat toksik pada tubuh ikan. 79
(Perubahan Patologis) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Proliferasi sel-sel Hipertrofi sel-sel Inclusion body epitel lamela epitel lamela sekunder insang
Edema
Fusi lamela sekunder
Proliferasi lapisan Telangiectasis hialin
Fibrosis pada pangkal Insang
(Persen)
Gambar 19 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan insang ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II(warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut.
80
4.5.2. Perubahan Patologis Pada Ginjal Hasil pengamatan patologis terhadap ginjal ikan yang terinfeksi varian KHV ditemukan perubahan berupa haemorhagi (31,8%), kongesti (36,4%), inclusion body (4,5%), infiltrasi MMC (4,5%), infiltrasi sel radang pada glomerulus (4,5%), edema (4,5%), penebalan lumen tubulus (4,5%), fibrosis (4,5%), dan nekrosis pada tubulus (9,1%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varianvarian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Perubahan patologis yang relatif berat ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Bengkulu (cluster I), Kalimantan Barat 2 (cluster II), dan Riau (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh faktorfaktor lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, kerentanan ikan, stadium lanjut infeksi, patogenisitas varian KHV, dan tissue tropism. Perubahanperubahan patologis yang terjadi pada jaringan ginjal ikan yang terinfeksi KHV dapat dilihat pada Gambar 20 sampai dengan 25, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis sebagaimana diuraikan di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan ginjal merupakan target infeksi KHV. Hedrick et al (2000) dan Perelberg et al (2003) menemukan perubahan patologis utama pada ginjal ikan yang terinfeksi KHV adalah nephritis interstitialis yang ditandai dengan penebalan epitel lumen tubulus, radang dan nekrosis. Etiologi perubahan patologis ginjal disebabkan oleh hipoksia karena kerusakan jaringan insang. Pikarsky et al (2004) juga menemukan perubahan yang sama dengan peneliti sebelumnya, yaitu KHV yang mencapai ginjal dapat menyebabkan terjadinya 81
nephritis interstitialis yang parah. Dari ginjal KHV kemudian menyebar ke seluruh organ ikan. DNA viral akan terdeteksi pada organ ginjal dan darah ikan yang terinfeksi masing-masing pada 3 sampai dengan 5 hari pasca infeksi. Pada penelitian tersebut juga ditemukan adanya inclusion body. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Kholidin (2007). Inclusion body dalam jaringan ginjal merupakan salah satu ciri utama infeksi KHV. Pembentukan inclusion body merupakan indikator utama adanya aktivitas replikasi virus.
Hal tersebut dapat muncul ketika virus
berusaha mengekspresikan gen viral ke dalam sel hospes agar mengkode pembentukan protein viral. Adanya tingkatan evolusi yang jauh berbeda antara virus (eukariotik) dengan sel hospes (prokariotik), maka ketika proses pengkodean protein viral selesai, akan terbentuk suatu agregat protein yang bersifat inaktif. Hal tersebut muncul karena protein viral yang baru saja terbentuk memasuki lingkungan mikro (dalam sel hospes) yang sangat berbeda dari asalnya (kapsid virus) (Anonim, 2008). Selain agen penginfeksi seperti virus, beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan perubahan-perubahan patologis pada jaringan ginjal antara lain adalah hipoksia (kekurangan oksigen) yang terjadi sebagai akibat: (a) iskemia (kekurangan pasokan
darah),
(b)
oksigenasi
tidak
mencukupi
(sebagai
contoh
gangguan/kerusakan fungsi insang atau jantung), atau (c) hilangnya
akibat
kapasitas
pembawa oksigen darah. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat faktor fisik, bahan-bahan beracun, reaksi imunologik, atau ketidakseimbangan nutrisi (Robbins et al., 1995). Pada perairan tawar, lingkungan hipoosmotik dan air cenderung masuk ke
82
dalam cairan tubuh ikan melalui insang dan permukaan-permukaan permeable pada pharynx. Hal ini dikompensasi melalui ginjal yang memproduksi urin dalam volume yang besar. Oleh karena itu, filtrasi glomerular pada ikan air tawar berperan sangat penting (Roberts, 2001). Gangguan atau kerusakan ginjal akibat agen penginfeksi maupun non infeksi, dapat menyebabkan gangguan fungsi atau disfungsi ginjal. Sebagaimana diketahui, ginjal menjalankan fungsi yang multiguna yaitu: 1) pengeluaran produk sisa metabolisme, bahan-bahan beracun, serta bahan-bahan lain yang tidak diperlukan tubuh; 2) pengaturan konsentrasi ion-ion penting; 3) pengaturan keseimbangan asambasa tubuh; 4) pengaturan produksi sel darah merah; 5) pengaturan tekanan darah; 6) sekresi hormon; dan 7) glukoneogenesis (Sloane, 1994).
Gambar 20 Penebalan lumen tubulus dan nekrosis tubulus (perbesaran 40x) 83
Gambar 21 Haemoraghi pada ginjal (perbesaran 40x)
Gambar 22 Infiltrasi MMC pada ginjal (perbesaran 40x)
84
a b
Gambar 23 Inclusion body (a) dan nekrosis (b) pada ginjal (perbesaran 40x)
Gambar 24 Kongesti pada ginjal (perbesaran 40x)
85
(Perubahan Patologis) 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Haemorhagi
Proliferasi Nekrosis sel-sel pada tubulus Interstitial
Kongesti
Edema
Penebalan pada tubulus
Infiltrasi MMC
Fibrosis
Infiltrasi pada glomerulus
Inclusion Body
(Persen)
Gambar 25 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan ginjal ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut
86
4.5.3. Perubahan Patologis Pada Limpa Hasil pengamatan patologis limpa ikan yang terinfeksi varian KHV ditemukan perubahan berupa kongesti (50%), infiltrasi MMC (18,2%), infiltrasi sel-sel radang/limfosit (13,6%), haemorhagi (4,5%), dan edema (4,5%), namun ada juga limpa yang tampak normal.
Perubahan patologis infeksi KHV pada jaringan limpa
dapat dilihat pada Gambar 26 sampai dengan 29 , serta Tabel 6 sampai dengan 8. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh ikan dapat dikategorikan sebagai organ limfoid primer dan sekunder. Organ limfoid primer adalah produsen komponen sistem kekebalan tubuh. Tugas organ limfoid sekunder adalah menciptakan lingkungan fisiologis yang tepat agar dapat terjadi interaksi antara faktor-faktor kekebalan tubuh dengan molekul asing (antigen) (Hoole et al., 2001). Limpa adalah organ limfoid sekunder yang paling utama. Permukaan limpa diselimuti dengan kapsula fibrous, yang termasuk otot polos. Stroma splenika yang terdapat dalam kapsula terutama tersusun dari korda splenika dan sinus lienalis, yang merupakan kapiler khusus yang memisahkan korda-korda (Takashima et al., 1995). Elemen-elemen utama dari limpa adalah ellipsoids, pulpa putih dan pulpa merah, serta melano-macrophage centres (MMC). Ellipsoids adalah kapiler-kapiler penyaring berdinding tebal, yang merupakan percabangan dari arteriol limpa. Pulpa putih merupakan jaringan limfatik yang mengelilingi dan mengikuti arteri, dan kaya akan limfosit. Selanjutnya pulpa merah lebih banyak dan sering membentuk lempeng-lempeng korda splenika dan kaya akan eritrosit.
Ellipsoids efektif
menangkap molekul-molekul asing (antigen) yang ditransportasikan melalui sirkulasi 87
darah. Dengan bantuan makrofag di sekeliling ellipsoids serta limfosit dalam korda splenika berinteraksi dan menghasilkan zat anti. Antigen yang ditangkap pertamatama difagositosis oleh makrofag di zona marginal dan pulpa merah, kemudian bermigrasi ke pulpa putih yang kaya akan limfosit (Takashima et al., 1995). Hampir seluruh darah memasuki limpa melalui arteri, memasuki jaringan korda splenika, kemudian mengalir keluar menuju sinus melalui dinding pembuluh darah yang terbuka. Limpa mengatur volume sirkulasi darah melalui pengendalian jumlah sel darah dalam jaringan.
Pada saat ikan dalam kondisi tenang, jumlah
eritrosit dalam darah perifer relatif sedikit, dan limpa penuh dengan sel-sel darah, sedangkan pada saat ikan bergerak aktif, jumlah eritrosit menjadi relatif besar pada perifer, dan limpa menipis karena terjadi pelepasan sel-sel darah (Takashima et al., 1995; Roberts, 2001). Fungsi limpa antara lain adalah membentuk limfosit, menyimpan darah, dan menghasilkan zat antibodi. Limpa juga membentuk unsur myeloid di dalam embryo. Dalam keadaan patologis tertentu, dapat mengalami metaplasia mieloid, dan menghasilkan semua jenis sel darah. Limpa juga merupakan tempat penyimpanan (reservoar) sel darah yang elastis dan terkendali, yang mampu dengan cepat mengeluarkan sel darah ke dalam peredaran darah dan menyesuaikan volume peredaran darah. Selain itu, fungsi limpa lainnya yang penting adalah menghasilkan zat antibodi. Zat renik asing yang beredar dalam darah dapat merangsang respons imun yang kuat dalam limpa (Leeson et al., 1985). Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis sebagaimana telah diuraikan di atas baik secara langsung maupun tidak langsung. 88
Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan limpa merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al.(2004), yang menemukan konsentrasi KHV yang relatif tinggi pada organ limpa ikan. Menurut Gilad et al (2002), organ limpa pada ikan-ikan yang terserang KHV mengalami nekrosis di beberapa lokasi pada sel-sel atau jaringan parenkimnya. Pada sel-sel parenkim limpa ada sebagian inti sel yang mengalami pembengkakan (hipertrofi) dan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi kromatin. Hasil penelitian Wada et al (2006) menemukan infiltrasi KHV dalam organ limpa menyebabkan reaksi fagositosis oleh makrofag (Wada et al, 2006). Beberapa perubahan patologis yang terjadi pada jaringan limpa menunjukkan infiltrasi agen infeksi telah menggertak sistem pertahanan tubuh ikan. Hal ini tampak dari infiltrasi sel-sel radang atau limfosit dan MMC pada jaringan limpa. Peningkatan aktivitas limfosit di dalam limpa merupakan indikasi adanya benda asing ataupun infeksi mikroorganisme yang bersifat sistemik. MMC yang juga dikenal sebagai agregat makrofag yang merupakan kelompok sel khusus berpigmen yang biasa ditemukan pada golongan vertebrata heterothermik. Dalam kondisi normal, MMC dapat ditemukan pada bagian stroma jaringan haematopoetik limpa atau ginjal. Khusus pada ikan, MMC dapat pula ditemukan pada jaringan hati. Munculnya MMC merupakan salah satu indikasi penyakit yang berjalan secara kronis.
Komposisi
MMC biasanya adalah limfosit, makrofag dan deposit pigmen. Pada infeksi oleh mikroorganisme, MMC berperan sebagai focal depository. Pigmen melanin melalui mekanisme tertentu berfungsi sebagai antigen trapping dan pemapar limfosit (Agius dan Roberts, 2003). 89
Perubahan jaringan lainnya yang tampak adalah kongesti. Kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika lebih banyak darah mengalir ke dalam pembuluh arteri daerah itu dari biasanya disebut kongesti aktif atau hiperemia. Contoh kongesti aktif atau hiperemia adalah yang menyertai radang akut sehingga menimbulkan warna mencolok pada jaringan yang disebabkan pertambahan kandungan darah. Selain kongesti, perubahan lain yang tampak adalah edema. Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel atau di dalam berbagai rongga tubuh. Timbulnya edema dapat disebabkan faktor-faktor
lokal yang mencakup
tekanan hidrostatik dalam mikrosirkulasi dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Kenaikan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk ke dalam ruang interstitial jaringan. Karena alasan tersebut, kongesti dan edema cenderung terjadi bersama-sama. Kenaikan permeabilitas lokal dinding pembuluh terhadap protein memungkinkan molekul-molekul besar lolos dari pembuluh, dan secara osmotik cairan akan menyertainya. Oleh karena itu, edema adalah bagian yang mencolok dari reaksi peradangan akut. Penyebab lokal lain dari pembentukan edema adalah obstruksi saluran limfe, yang pada keadaan normal bertanggung jawab atas pengaliran cairan interstitial. Jika saluran tersebut tersumbat, maka dapat mengakibatkan penimbunan cairan yang disebut sebagai limfedema. Faktor-faktor sistemik dapat juga mempermudah pembentukan edema. Selain itu, keadaan yang disertai oleh penurunan konsentrasi protein juga dapat mengakibatkan edema, karena keseimbangan cairan bergantung pada sifat-sifat osmotik protein serum.
90
Jaringan limpa yang tampak normal diduga menunjukkan tahap awal infeksi, sehingga belum tampak perubahan pada jaringan tersebut. Setelah virus menginfiltrasi organ-organ target, selanjutnya akan terjadi proses replikasi dan pelepasan virus yang matang dari sel. Herpesvirus, selain keluar secara biasa melalui sitoplasma dimana virus-virus ini memperoleh amplop, dapat juga berpindah langsung ke sel terdekat tanpa harus terlebih dahulu keluar sel yang terinfeksi. Metode transfer antar sel tersebut memungkinkan virus menyebar dalam tubuh inang walaupun terdapat banyak antibodi di dalam cairan tubuh di luar sel. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya infeksi virus secara laten atau kronis selama berbulan-bulan pada inang yang terlihat sehat (Malole, 1988; Walker, 2000).
Gambar 26 Infiltrasi MMC pada limpa (perbesaran 40x)
91
Gambar 27 Kongesti dan infiltrasi MMC pada limpa (perbesaran 40x)
Gambar 28 Peningkatan aktivitas limfosit pada limpa (perbesaran 100x) 92
(Perubahan Patologis) 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Infiltrasi sel-sel radang / Limfosit
Infiltrasi MMC
Haemorhagi
Kongesti
Edema
(Persen)
Gambar 29 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan limpa ikan-ikan sampel (n = 22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sumut.
93
4.5.4. Perubahan Patologis Pada Hati Hasil pengamatan histopatologi jaringan hati ikan yang terinfeksi varian KHV menunjukkan perubahan berupa degenerasi hidropik (86,4%), kongesti (45,5%) perivascular cuffing (9,1%), inclusion body (9,1%), fibrosis (4,5%), nekrosis (9,1%), namun ditemukan juga beberapa hati ikan yang tidak menunjukkan perubahan yang menciri.
Selanjutnya, pengamatan terhadap patologis varian-varian KHV yang
dikelompokkan dalam cluster 1 dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Perubahan patologis pada jaringan hati yang relatif berat ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Sumatera Barat (cluster I), Nusa Tenggara Barat (cluster II), dan Kalimantan Barat 1 (cluster I). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan yang rentan dan atau mengalami stress lebih mudah terserang KHVD), stadium lanjut infeksi, kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, patogenisitas varian KHV, dan tissue tropism. Perubahan-perubahan patologis infeksi varian-varian KHV pada jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 30 sampai dengan 32, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Perubahan patologis jaringan hati ikan, dapat disebabkan oleh penyebab infeksi dan non infeksi. Penyebab infeksi terdiri dari agen-agen golongan parasit, bakteri, jamur dan virus. Selanjutnya penyebab non infeksi antara lain oleh malnutrisi, bahan-bahan yang bersifat toksik, logam berat, dan bahan-bahan beracun lainnya, kualitas air yang buruk, kelainan genetik dan penyebab lainnya. Perubahan tersebut ada yang dapat pulih (reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible). Perubahan-perubahan morfologik pada hati akibat penyebab yang non fatal biasanya masih dapat pulih. Namun demikian apabila berjalan lama dan derajatnya berat, 94
dapat mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Perubahan tersebut merupakan tingkat lanjut degenerasi, dan tidak dapat pulih (irreversible). Tampak atau tidaknya sisa selsel hati bergantung pada lamanya dan jenis nekrosis tersebut. Sebagai contoh, pada kebanyakan kerusakan kimia, sel-sel hati mati perlahan-lahan. Selanjutnya pada penyakit virus, sel-sel biasanya hancur terserap menjadi bagian-bagian yang berukuran kecil. Malnutrisi, deplesi glikogen dan anoksia dapat merupakan predisposisi untuk nekrosis sel-sel hati (Price dan Wilson, 1992). Infeksi virus (termasuk KHV), dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan hati secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan hati merupakan target infeksi KHV. Hasil temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Hedrick et al. (2000), Gray et al. (2002), Gilad et al. (2003), Gilad et al. (2004), yang melaporkan bahwa hati merupakan salah satu jaringan target KHV. Penelitian Gilad et al. (2004) juga menemukan adanya kandungan DNA KHV yang relatif tinggi pada hati ikan yang terinfeksi. Ikan-ikan yang terserang penyakit KHV juga menunjukkan perubahan organ-organ internalnya, seperti hati membengkak, terdapat bercak-bercak putih yang sebenarnya adalah nekrosis, tekstur lembek, pucat dan terdapat petechiae. Ikan yang terinfeksi KHV akan mengalami disfungsi hati (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Perubahan patologis yang paling sering ditemukan pada ikan-ikan yang terinfeksi KHV adalah degenerasi hidropik. Menurut Sudiono et al. (2003), degenerasi hidropik adalah pembengkakan sel yang merupakan manifestasi awal terhadap semua jejas sel, yang menyebabkan desakan pada kapiler-kapiler organ seperti kapiler pada sinusoid hati. Jika penimbunan air dalam sel berlanjut karena 95
jejas terhadap sel semakin berat, akan timbul vakuola-vakuola dalam sitoplasma. Vakuola yang terjadi disebabkan oleh pembengkakan retikulum endoplasmik. Degenerasi hidropik merupakan jejas sel yang reversible dengan penimbunan intraselular yang lebih parah dibandingkan dengan degenerasi albumin. Etiologinya dianggap sama dengan pembengkakan sel, hanya intensitas rangsang patologis lebih berat dan jangka waktu terpapar rangsang patologis tersebut lebih lama (Sudiono et al., 2003). Selanjutnya, menurut Price dan Wilson (1992), cedera dapat menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Dalam rangka menjaga kestabilan lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar sel, dan hal ini terjadi pada tingkat membran sel. Gangguan metabolisme energi dalam sel atau luka pada membran sel, dapat membuat sel tidak mampu memompa ion natrium dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi ion natrium di dalam sel meningkat, yang selanjutnya mengakibatkan masuknya air ke dalam sel. Jika terdapat aliran masuk air yang hebat, sebagian dari organela sitoplasma seperti retikulum endoplasma dapat diubah menjadi kantongkantong yang berisi air. Perubahan ini disebut perubahan hidropik atau degenerasi hidropik, atau dapat disebut juga degenerasi vakuolar (Price dan Wilson, 1992). Perubahan patologis lain yang ditemukan pada jaringan hati ikan adalah degenerasi melemak. Secara mikroskopis, sitoplasma dari sel-sel yang terserang tampak bervakuola mirip dengan yang terlihat pada degenerasi hidropik, tetapi isi vakuola adalah lipid. Menurut Price dan Wilson (1992), penimbunan lemak di dalam sel dapat terjadi akibat gangguan proses pertukaran pada sel-sel hati. Sebagai contoh, jika lipid yang diberikan kepada sel-sel hati berlebihan, maka kemampuan 96
metabolisme dan sintesis dari sel-sel tersebut akan dapat dilampaui, sehingga lipid akan mengumpul di dalam sel. Sebaliknya, meskipun lipid yang mencapai sel-sel hati jumlahnya normal akan tetapi oksidasinya terganggu oleh kelainan sel, maka lipid juga akan tertimbun. Akhirnya, jika proses sintesis lipoprotein pada sel-sel hati dan pengeluarannya mengalami gangguan, maka lipid akan tertimbun juga. Dengan demikian, degenerasi melemak dapat ditemukan pada berbagai keadaan mulai dari malnutrisi yang akan menghalangi sintesis protein, sampai kelebihan makanan yang akan mengakibatkan hati dipenuhi lipid. Selain itu, hipoksia juga dapat mengganggu metabolisme sel yang dapat menyebabkan penimbunan lemak. Berbagai zat beracun dari lingkungan juga dapat mempengaruhi sel-sel sedemikian rupa sehingga mempermudah penimbunan lemak. Degenerasi melemak secara potensial dapat pulih (reversible), tetapi pada kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) (Price dan Wilson, 1992). Selain degenerasi hidropik dan degenerasi melemak, kongesti juga merupakan gejala yang sering muncul (45,5%), sedangkan perivascular cuffing hanya ditemukan pada hati ikan yang terinfeksi varian KHV Sumatera Barat (cluster I) dan Nusa Tenggara Barat (cluster II).
Adanya sel radang dalam perivascular cuffing,
merupakan salah satu indikator infiltrasi oleh mikroorganisme ke dalam sel hati. Hati pada ikan merupakan organ yang bersifat masif dan secara anatomis terletak pada bagian ventral abdomen dan cranial cavitas visceral. Bentuknya secara makroskopik beradaptasi sesuai dengan ruang yang tersedia diantara organ-organ lain di dalam cavitas visceralis. Pada golongan vertebrata, hati memiliki struktur utama yang terdiri dari hepatosit, kanalikuli, dan sinusoid, serta stroma dan parenkim yang 97
bersifat tiga dimensional (Geyer dan Swanepoel, 1996). Hepatosit memiliki bentuk yang bervariasi, mulai bulat sampai oval. Pada setiap hepatosit mengandung nucleus yang besar, bulat dan terletak pada bagian tengah dengan nukleolus berwarna gelap. Susunan hepatosit menyerupai struktur vakuolar di dalam sel-sel hati. Hal tersebut dimungkinkan karena keberadaan lemak dan saluran empedu (Mir dan Channa, 2011). Menurut Vicentini et al. (2005), hepatosit ikan memiliki nukleus tunggal berbentuk bulat dan terletak sentralis.
Kromatinnya
bersifat
granuler
yang
mengandung heterokromatin, terkondensasi dalam jumlah yang banyak dan terletak pada bagian tepi nukleus. Nukleolus hepatosit bersifat homogenous dan memiliki tingkat kerapatan yang tinggi. Retikulum endoplasma seringkali terlihat tersusun secara paralel dengan membran nukleus, dan berhubungan dengan mitokondria yang memiliki bentuk bulat atau memanjang. Selanjutnya, vakuola sitoplasmik dalam berbagai ukuran juga ditemukan dalam sitoplasma. Lumen sinusoid mengandung banyak eritrosit dan makrofag, sedangkan pada bagian permukaan luminal endothelium sinusoid terdapat sel kupffer. Sinusoid diselubungi sel-sel endhotelial yang memiliki nukleus pipih (Mir dan Channa, 2011). Menurut Hinton dan Lauren (1990), beberapa fungsi hati ikan diantaranya sebagai penyimpanan lipid, karbohidrat, vitamin A dan zat besi; membantu dalam pencernaan dengan menghasilkan zat empedu; berperan dalam reproduksi dengan menghasilkan vitellogenin; membantu sistem peredaran darah; berperan dalam sistem kekebalan melalui sistem retikuloendotelial dan menghasilkan immunoglobulin; detoksifikasi toksin dan polutan, serta katabolisme nitrogen. Penelitian Mir dan Channa, (2011), 98
menemukan adanya deposit zat besi di dalam sitoplasma sel-sel hepatik, dan tersimpan dalam bentuk ferric. Menurut Michell (1996), zat besi di dalam hati ikan akan dibongkar dalam berbagai kondisi fisiologis tertentu. Zat besi merupakan komponen utama dari haemoglobin, myoglobin dan sitokrom yang berperan dalam transport oksigen dan oksidasi seluler. Selain deposit zat besi, pada hati ikan juga ditemukan adanya deposit protein. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hepatosit memiliki kemampuan memproduksi protein dengan cara menggabung-gabungkan asam amino melalui berbagai kombinasi dan sekuen. Protein-protein yang dihasilkan memiliki fungsi yang berguna dalam sistem metabolisme hormon, antibodi dan produksi zat-zat yang memiliki aktivitas biologis tertentu berdasarkan aktivitas ikan (Abdelmeguid et al., 2002). Depositdeposit zat lainnya yang ditemukan dalam hati ikan antara lain adalah lipid dan glikogen (Mir dan Channa, 2011). Selain fungsi-fungsi penyimpanan (storage), hati ikan juga memiliki fungsi fisiologis dalam mendukung metabolisme tubuh. Diantara fungsi fisiologis tersebut adalah adanya aktivitas beberapa enzim yaitu alkaline phosphatase, acid phosphatase, ATPase dan lipase di dalam sitoplasma sel hepatosit (Mir dan Channa, 2011). Berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada sel-sel hati ikan, kerusakan yang berat pada sel-sel tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi organ, bahkan dapat menyebabkan gagal fungsi dan kematian ikan. Gangguan fungsi hati tersebut antara lain: (1) gangguan dalam metabolism karbohidrat, lemak, dan protein; (2) gangguan dalam absorpsi dan pengiriman nutrient ke seluruh tubuh oleh sel-sel darah; (3) gangguan dalam penyimpanan dan distribusi berbagai vitamin dan mineral 99
yang diperlukan tubuh ikan; (4) gangguan dalam proses detoksikasi material-material asing.
Gambar 30 Perivascular cuffing pada hati (perbesaran 40x)
b
c
a
Gambar 31 Degenerasi hidropik (a), kongesti (b), infiltrasi MMC (c), pada hati (perbesaran 40 x)
100
(Perubahan Patologis) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Degenerasi hidropik
Kongesti
Fibrosis
Perivascular Cuffing
Inclusion body
Degenerasi melemak
Nekrosis
(Persen)
Gambar 32 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan hati ikan-ikan sampel (n = 22) yang terinfeksi varian-varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau) terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut.
101
4.5.5. Perubahan Patologis Pada Usus Hasil pengamatan terhadap ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV menemukan adanya perubahan patologis berupa enteritis (31,8%), proliferasi sel-sel goblet (22,7%), edema (18,2%), kongesti (18,2%), haemorhagi (9,1%), fusi vili (9,1%), deposit enterolith pada lambung (4,5%), dan nekrosis pada krypta (4,5%). Pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Perubahan patologis yang relatif berat pada jaringan usus ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Nusa Tenggara Barat (cluster II) dan Jawa Barat (cluster I). Kondisi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan terhadap infeksi KHV, patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi KHV, tissue tropism, dan keadaan lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit.
Perubahan
patologik yang terjadi pada jaringan usus dapat dilihat pada Gambar 33 sampai dengan 37, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan usus secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan usus merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al. (2004), yang menemukan konsentrasi KHV yang relatif tinggi pada organ usus ikan. Demikian pula hasil penelitian Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al.(2003) yang menemukan KHV pertama kalinya masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang dan atau usus. Usus merupakan salah satu jaringan target, yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA KHV. Hal tersebut dikarenakan virus yang lepas ke dalam perairan 102
dapat terserap ke dalam tubuh ikan melalui usus. Infiltrasi dan replikasi virus di dalam jaringan usus memicu terjadinya radang. Kondisi tersebut ditandai dengan peningkatan aktivitas sel-sel goblet. Sel-sel goblet merupakan sel-sel penghasil mukus, sehingga adanya proliferasi sel ini menghasilkan sekresi mukus yang berlebihan. Selain itu, akibat peradangan akan meningkatkan ukuran vili, dan dapat menyebabkan perlekatan antar vili (Hedrick, 2004). Deposisi kristal enterolith dalam jaringan usus merupakan indikator kekurangan asupan nutrisi karena berbagai faktor, salah satunya adalah sebagai akibat dari suatu penyakit (Anonim, 2006). Pembentukan
kristal
enterolith
di
dalam
jaringan
usus
terjadi
akibat
ketidakseimbangan proses penyerapan. Kristal enterolith pada dasarnya memiliki 3 bentuk yaitu asam empedu, kalsium oksalat dan fosfat (Fowweather, 1955). Menurut Reifel dan Travill (1979), lumen usus ikan tersusun dari sel-sel epitel kolumner sederhana (enterocyte) dan juga mengandung banyak sel goblet. Lapisan epitel usus bersama dengan lamina propria yang terletak di bawahnya merupakan bagian yang dikenal sebagai mukosa usus (Buddington et al, 1992). Bagian proksimal usus ikan memiliki bagian–bagian yang sama dengan vertebrata lain, diantaranya lapisan epitel mukosa, lamina propria atau lapisan mukosa tanpa jaringan ikat, tunika muskularis dan lapisan serosa eksternal (Bakary dan Gamal, 2000). Bagian permukaan usus dilengkapi dengan banyak lipatan yang dalam dan memanjang yang disebut villi. Selain itu, terdapat pula jajaran microvilli dengan epitel kolumner simpleks, serta terdapat sel-sel goblet yang mampu menyekresikan mukus. Pada banyak spesies ikan, mukosa usus memiliki lipatan yang berbentuk 103
pendek, bercabang-cabang dan mengandung banyak vili yang di dalamnya terdapat lapisan tipis sel-sel epitel kolumner penyerap atau dikenal sebagai enterocyte. Sel tersebut memiliki “brush border”. Sejumlah kecil sel goblet tersebar diantara epitel dan dapat ditemukan di seluruh bagian vili (Bakary dan Gamal, 2000). Sel-sel goblet yang terletak di antara epitelium usus, diketahui memproduksi mukus pelindung. Keanekaragaman sel mukus mengindikasikan bahwa zat-zat yang dihasilkan memiliki beberapa peran dalam proses pencernaan (Reifel dan Travill, 1997). Selain mukus, usus juga menghasilkan musin yang memiliki fungsi lubrikasi dan melindungi mukosa terhadap senyawa-senyawa kimia, parasit dan asam. Musin juga memiliki peran sebagai barrier difusi beberapa ion (Veggeti et al, 1999; Desantis et al, 2009). Bagian usus lainnya adalah lapisan submukosa, muskularis (longitudinal dan sirkular) dan serosa. Selain itu, pada usus ikan juga terdapat jaringan ikat yang melekat pada jaringan mesenterika (Buddington et al, 1992; Kupperman dan Kuzmania, 1994; Kozaric et al, 2007). Bagian submukosa merupakan lapisan yang tebal dan kaya akan pembuluh darah dan bagian lamina propria terlihat masuk sampai lipatan usus. Bagian serosa mengandung sel-sel mesothelial, sedikit pembuluh darah, sel-sel darah dan jaringan ikat polos (Bakary dan Gamal, 2010). Seperti kebanyakan hewan vertebrata lainnya dan juga golongan spesies terrestrial, pencernaan makanan pada ikan melibatkan proses mekanik dan biokimiawi (Smith, 1991). Fungsi usus di dalam pencernaan terutama adalah digesti dan absorpsi. Proses digesti dalam usus disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam
104
getah usus. Banyak diantara enzim-enzim tersebut terdapat pada “brush border” vili dan mencerna zat-zat makanan sambil diabsorpsi. Absorpsi merupakan pemindahan
Gambar 33 Proliferasi sel-sel goblet pada usus (perbesaran 40x)
Gambar 34 Edema pada saluran pencernaan (perbesaran 40 x) 105
Gambar 35 Fusi vili pada usus (perbesaran 10 x)
Gambar 36 Haemoraghi pada saluran pencernaan (perbesaran 40 x)
106
(Perubahan Patologis) 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Enteritis
Proliferasi sel-sel goblet
Haemorhagi
Deposit enterolith pada lambung
Edema
Kongesti
Fusi vili
Nekrosis
(Persen)
Gambar 37 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan usus ikan-ikan sampel (n = 22) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut.
107
hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absorpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transport aktif dan pasif. Berkaitan dengan fungsi usus pada ikan, penyakit-penyakit pada usus seperti tersebut di atas seringkali diikuti oleh perubahan fungsi yang dimanifestasikan oleh sindrom maldigesti dan malabsorpsi. Maldigesti merupakan gangguan dalam mencerna zat-zat gizi, sedangkan malabsorpsi merupakan suatu keadaan dimana terdapat gangguan absorpsi mukosa usus terhadap satu atau banyak zat gizi. 4.5.6. Perubahan Patologis Pada Jantung Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jaringan jantung, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perikarditis (45,5%), kongesti (36,4%), haemorhagi (27,3%), miokarditis (22,7%), epikarditis (13,6%), infiltrasi sel-sel radang (13,6%), vakuolisasi (9,1%), edema (4,5%), fibrosis (4,5%), dan nekrosis (4,5%). Pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Perubahan patologis yang relatif
berat ditemukan pada ikan-ikan sampel yang
terinfeksi varian KHV dari DI Aceh (cluster I), Bengkulu (cluster I), Sumatera Barat (cluster I), NTB (cluster II), dan Sumatera Utara (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan stress lebih mudah terinfeksi KHV), patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, tissue tropism, dan kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit.
Perubahan patologis 108
jaringan jantung ikan-ikan yang terinfeksi varian-varian KHV dapat dilihat pada Gambar 38 sampai dengan 42, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan jantung secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan organ jantung merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al. (2004), yang menemukan perubahan miokarditis pada ikan-ikan positif KHV. Wada et al. (2006) menemukan perubahan tersebut muncul pada hari ke 7 sampai dengan 9 pasca infeksi. Perubahan patologis yang ditemukan pada jantung tersebut antara lain disebabkan kurangnya suplai oksigen. Biasanya miokarditis dan subendothelial vakuolisasi menandai suatu penyakit yang berjalan kronis. Keadaan tersebut terjadi mengingat gangguan
dan
kerusakan pada insang akan menghambat asupan oksigen. Pada penelitian ini, miokarditis hanya ditemukan pada ikan-ikan sampel yang berasal dari Jawa Barat (cluster I), Nusa Tenggara Timur (cluster I), Bengkulu (cluster I), Sumatera Utara (cluster II), dan Gorontalo. Menurut Robbins (1995), etiologi miokarditis meliputi hampir semua agen mikrobiologi, cedera diperantarai reaksi imun, dan reaksi terhadap agen fisik. Perubahan patologis pada insang akibat infeksi KHV, menyebabkan gangguan pada fungsi insang dalam mengikat oksigen terlarut dalam air. Kerusakan insang yang parah dapat menimbulkan hipoksia yang serius karena oksigenasi insang yang tidak memadai. Penyakit KHV pada insang menyebabkan berkurangnya difusi oksigen dari lingkungan ke insang, karena berkurangnya luas permukaan lamela insang. Dengan demikian terjadi transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke 109
Gambar 38 Epikarditis pada jantung (perbesaran 40x)
Gambar 39 Kongesti pada jantung (perbesaran 40 x)
110
Gambar 40 Vakuolisasi pada jantung (perbesaran 40 x)
Gambar 41 Miokarditis pada jantung (perbesaran 40 x)
111
(Perubahan Patologis) 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Infiltrasi selsel radang / Limfosit
Epikarditis
Perikarditis
Miokarditis
Kongesti
Haemorhagi
Vakuolisasi
Edema
Nekrosis
(Persen)
Gambar 42 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan jantung ikan-ikan yang terinfeksi varian-varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut.
112
jaringan karena anemia atau hemoglobin abnormal, penurunan sirkulasi umum, penurunan sirkulasi lokal, dan edema jaringan. Berkaitan dengan kerusakan insang yang terjadi pada ikan-ikan yang terinfeksi KHV, menyebabkan gangguan suplai oksigen oleh jantung ke jaringan. Jantung akan mengalami gangguan fungsi. Menurut Santer (1985), fungsi utama jantung adalah mempertahankan sirkulasi darah agar berlangsung secara kontinyu sehingga mampu melakukan suplai oksigen dan zat makanan. Selain insang, infeksi KHV pada usus atau saluran pencernaan dapat menyebabkan malabsorpsi dan maldigesti. Kondisi tersebut juga mengganggu fungsi jantung dalam melakukan suplai zat-zat makanan ke dalam jaringan tubuh ikan. Akibat langsung dari infeksi KHV yang terbawa aliran darah ke dalam organ jantung dapat menyebabkan gangguan bahkan kerusakan pada organ tersebut. Adanya infiltrasi sel-sel radang limfosit pada jaringan jantung ikan menunjukkan respon pertahanan tubuh terhadap invasi virus. Pada ikan-ikan yang rentan, infeksi virus dapat cepat meluas dan menimbulkan gangguan bahkan kematian jaringan (nekrosis). 4.5.7. Perubahan Patologis Pada Otak Perubahan patologis yang ditemukan pada jaringan otak ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian KHV meliputi kongesti (86,4%), nekrosis (31,8%), gliosis (27,3%) vakuolisasi (9,1%), satelitosis (4,5%), gliosis (13,6%), haemorhagi (4,5%), edema (4,5%), perivascular cuffing (4,5%), dan fibrosis (4,5%). Pengamatan terhadap
113
perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Namun demikian, gangguan maupun kerusakan
otak yang relatif berat ditemui pada ikan-ikan sampel yang
terinfeksi varian-varian DI Yogyakarta (cluster I), DI Aceh (cluster I), Lampung (cluster I), Jawa Barat (cluster I), DKI Jakarta (cluster II), dan Kalimantan Timur 2 (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan stress lebih mudah terinfeksi KHV), patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, tissue tropism, dan kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit. Perubahan-perubahan patologis yang terjadi pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian KHV dapat dilihat pada Gambar 43 sampai dengan 47, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Berkaitan dengan peran penting otak dan sistem syaraf, perubahan-perubahan jaringan dapat terjadi pada sistem tersebut. Berbagai perubahan yang terjadi dapat disebabkan antara lain oleh agen penginfeksi, hipoksia, faktor fisik, reaksi imunologik, dan ketidakseimbangan nutrisi. Virus merupakan salah satu agen penginfeksi yang dapat menyebabkan perubahan jaringan otak dan sistem syaraf ikan. Umumnya virus menginfeksi organ tersebut melalui darah. Tanda dan gejala infeksi virus pada otak dan sistem syaraf dapat berbeda-beda tergantung pada kerentanan sel terhadap serangan virus. Infeksi virus dapat menyebabkan perubahan patologis seperti diuraikan di atas. Hasil uji imunohistokimia menemukan jaringan otak merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gilad et al. (2004), yang menemukan KHV dalam
114
konsentrasi yang relatif tinggi. Ikan koi yang dapat bertahan hidup dari infeksi KHV pada 62–64 hari setelah terpapar virus, masih mengandung kopi genom KHV dalam
Gambar 43 Kongesti pada otak (perbesaran 40 x)
Gambar 44 Gliosis pada otak (perbesaran 40 x) 115
Gambar 45 Infiltrasi sel radang (mononuclear perivascular cuffing) (perbesaran 40x)
Gambar 46 Nekrosis pada otak (perbesaran 40x)
116
(Perubahan Patologis) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Kongesti
Vakuolisasi
Satelitosis
Gliosis
Haemorhagi
Edema
Perivascular Cuffing
Fibrosis
Nekrosis
(Persen)
Gambar 47 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan otak ikan-ikan sampel (n = 22 ekor) yang terinfeksi varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut.
117
jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 10 2 per106 sel-sel inang) pada insang, ginjal, atau otak. Akibat dari infiltrasi KHV pada otak menyebabkan perubahan jaringan berupa degenerasi dan nekrosis sel-sel syaraf (Wada et al., 2006). Perubahan patologis pada organ otak mengindikasikan adanya reaksi peradangan pada jaringan tersebut. Keadaan tersebut dapat terlihat pada mononuclear perivascular cuffing, dimana mekanisme pertahanan di dalam jaringan otak berusaha melokalisir infiltrasi virus. Kerusakan syaraf dengan jelas terindikasi dengan adanya satelitosis dan gliosis. Satelitosis adalah akumulasi sel neuroglia di sekitar jaringan syaraf yang rusak (Anonim, 2011a). Sedangkan gliosis merupakan sel-sel yang memulai proliferasi di sekitar jaringan otak yang rusak (Anonim, 2011b). Berkaitan dengan peran penting otak dan sistem syaraf, perubahan-perubahan patologis yang terjadi dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Selain itu, gangguan atau kerusakan otak juga dapat mengganggu fungsi organ-organ lainnya mengingat otak dan jaringan syaraf merupakan organ yang sangat penting, karena semua organ tubuh ikan mengandung unsur syaraf. Sistem syaraf bersama-sama dengan sistem endokrin, melakukan sebagian terbesar fungsi pengaturan untuk tubuh.
Pada
umumnya, sistem syaraf mengatur kegiatan tubuh seperti kontraksi otot, gerakan renang dan keseimbangan, peristiwa visceral yang berubah dengan cepat, dan bahkan kecepatan sekresi beberapa kelenjar endokrin. Sistem syaraf bersifat khas dalam hal kerumitan tindakan pengaturan yang dapat dilakukannya. Sistem ini menerima ribuan informasi kecil dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikannya
118
untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Selain itu juga berperan dalam respirasi dan osmoregulasi.
119
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1. Ada dua clusters variasi genetika KHV yang ditemukan. Cluster I terdiri dari varian-varian KHV dari provinsi Kalimantan Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur (1), DI Aceh, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Barat, Kalimantan Barat (1), dan Papua Barat.
Cluster II terdiri dari varian-varian KHV dari
provinsi Kalimantan Barat (2), Nusa Tenggara Barat, Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Timur (2), dan Sumatera Utara. 2. Ditemukan 17 varian KHV dari 18 sampel ikan mas dan koi positif KHV yang berasal dari 16 provinsi di Indonesia. 3. Secara umum perubahan patologis tidak dapat membedakan variasi genetik dari dua clusters. 4. Infeksi KHV bersifat sistemik dan menyebabkan perubahan histopatologi berupa degenerasi hingga nekrosis
pada organ insang, limpa, ginjal,
saluran pencernaan, hati, jantung, dan otak. Perubahan histopatologi insang yaitu telangiectasis, proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder dan fusi lamela, edema, degenerasi hialin, inclusion body pada insang, dan hipertrofi sel-sel epitel lamella insang. Perubahan histopatologi limpa yaitu peningkatan aktivitas limfosit dan MMC. Perubahan histopatologi ginjal yaitu edema, infiltrasi MMC, haemorhagi, nekrosis tubulus, penebalan lumen tubulus, dan inclusion body. Perubahan histopatologi saluran pencernaan yaitu deposisi kristal enterolith, peningkatan aktivitas
120
sel-sel goblet, fusi vili usus, kongesti, edema, dan nekrosis pada kripta usus. Perubahan histopatologi hati yaitu degenerasi hidropik, kongesti, fibrosis, karioreksis inti hepatosit, infiltrasi sel radang dan perivascular cuffing. Perubahan histopatologi jantung yaitu subendothelia vakuolisasi, miokarditis, perikarditis, dan haemorhagi. Perubahan histopatologi otak yaitu kongesti, fibrosis, gliosis, vakuolisasi otak, satelitosis, dan infiltrasi sel radang (mononuclear perivascular cuffing). 5.2.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai primer-primer PCR dan dilanjutkan dengan sekuensing DNA, dalam rangka mendeteksi varian-varian KHV yang menginfeksi ikan mas dan koi. 2. Perlu diterapkan uji konfirmasi selain PCR, yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi KHV, untuk menghindari kekeliruan dalam menarik kesimpulan tentang hasil uji yang dilakukan. 3. Perlu dilakukan pengembangan teknik dan metoda secara periodik untuk mendeteksi varian-varian baru KHV yang menginfeksi ikan mas dan koi.
121
DAFTAR PUSTAKA Agius, C., R.J. Roberts. 2003. Melano-macrophage centres and their role in fish pathology. Journal of Fish Diseases 2003, 26, 499 – 509. Anonim. 2006. Intestinal disorder. www.nationalfishfarm.com. Anonim, 2008. Inclusion body. Wikipedia. Anonim, 2011a. Satellitosis. online-medical encyclopedia.com Anonim, 2011b. Gliosis. www.wikipedia.com Abdelmeguid, A.M., Kheirallah, Aboushabana, K. Adham, A. Abdel Moneim, 2002. Histochemical and Biochemical Changes in Liver of Tilapia zilii G. as a consequence of water pollution. Journal of Biological Sciences, 2:224-229. Aoki, T., I. Hirono, K. Kurokawa, H. Fukuda, R. Nahary, A. Eldar, A.J. Davidson, T.B. Waltzek, H. Bercovier, R.P. Hedrick. 2007. Genome Sequences of Three Koi Herpesvirus Isolates Representing the Expanding Distribution of an Emerging Disease Threatening Koi and Common Carp Worldwide. Journal of Virology, May 2007, p. 5058-5065. Bakary and Gamal. 2000. Comparative histological, histochemical and ultrastructural studies on the proximal intestine of flathead grey mullet (Mugil cephalus) and Sea Bream (Sparus aurata). World Applied Sciences Journal 8 (4): 477-485. Banks, M. 1993. DNA restriction fragment length polymorphism among British isolates of Aujeszky’s disease virus: use of the polymerase chain reaction to discriminate among strains. Br. Vet. J. 149, 155-163. Bercovier, H., Y. Fishman, R. Nahary, S. Sinai, A. Zlotkin, M. Eyngor, O. Gilad, A. Eldar, R. P. Hedrick. 2005. Cloning of the koi herpesvirus (KHV) gene encoding thymidine kinase and its use for a highly sensitive PCR based diagnosis. Bio. Med. Central Microbiology 2005, 5 : 13. Body J., F. Lieffrig, C. Charlier, A. Collard. 2000. Isolation of virus-like particles from koi (Cyprinus carpio) suffering gill necrosis. Bulletin of the European Association of Fish Pathologists 20, 87-88. Bondad, M. G., 2002. Transboundary aquatic animal disease focus on Koi herpesvirus (KHV). Aquatic Animal Research Pathologist at the Cooperative Oxford Laboratory of the Maryland Departement of Natural Resources in Oxford, Maryland.
122
Bretzinger, A., T. Fischer-Scher, R. Oumouma, R. Hoffman, U. Truyen. 1999. Mass mortalities in koi Cyprinus carpio, associated with gill and skin disease. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol. 19:182-185. Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. Published by Appleton and Lange Company. England. 753 p. Buddington, R.K., A. Krogdahl and A.M. Bakke-Mckellep, 1992. The intestine of carnivorous fish : structure and functions and the relations with diet. Acta. Physiol. Scand. Suppl., 638 : 67 – 80. Cabana, E.M., 1999. Cellular degeneration and infiltration. Veterinary Pathology College of Veterinary Science and Medicine. Central Luzon State University. Claudia, G., 2008. Nachweis von antikorpern gegen das Ciprine Herpesvirus3(CyHV-3) bei Karpfen (Cyprinus carpio), Dertierarztliczen Fakultat der Ludwig-Maximilans-Universitat Munchen. Costes, B., V.S. Raj, B. Michel, G. Fournier, M. Thirion, L. Gillet, J. Mast, F. Lieffrig, M. Bremont, A. Vanderplasschen. 2009. The major portal of entry koi herpesvirus in Cyprinus carpio is the skin. J. Virol. doi: 1128/JVI.02305-08. Desantis, S., F. Acone, S. Zizza, M. Deflorio, J.L.P. Fernandez, C. Sarasquete and G. De Metro. 2009. Glycohistochemical study of the toadfish Halo batrachus didactylus (Scheider, 1801) stomach. Scientia Marina 73: 515525. Fowweather, F.S 1955. True Enterolitht Of The Small Intestine With Reports Of Three Cases. From The Departement of Chemical Pathology University of Leeds. Gilad, O., S. Yun, K.B. Andree, M.A. Adkison, A. Zlotkin, H. Bercovier, A. Eldar, R.P. Hedrick. 2002. Initial characteristics of koi herpesvirus and development of a polymerase chain reaction assay to detect the virus in koi, Cyprinus carpio koi. Diseases of Aquatic Organisms, Vol. 48 : 101108, 2002. Gilad, O., S. Yun, M.A. Adkison, K. Way, N.H. Willits, H. Bercovier, R.P. Hedrick. 2003. Molecular comparison of isolates of an emerging fish pathogen, koi herpesvirus, and the effect of water temperature on mortality of experimentally infected koi. Journal of General Virology (2003), 84, 2661 – 2668. Gilad, O., S. Yun, F.J.Z. Vergara, C.M. Leutenegger, H. Bercovier, R.P. Hedrick. 2004. Concentration of koi herpesvirus (KHV) in tissues of 123
experimentally infected Cyprinus carpio koi as assessed by real-time Taqman PCR. Diseases of Aquatic Organisms Vol. 60 : 179 – 187, 2004. Gray, W.L., L. Mullis, S.E. LaPatra, J.M. Groff, A. Goodwin. 2002. Detection of koi herpesvirus DNA in tissues of infected fish. Journal of Fish Diseases 2002, 25, 171 – 178. Geyer, H.J., J.H. Swanepoel, M.N. Nel. 1996. Histology and ultrastructure of the hepatopancreas of the tigerfish, Hydrocynus forskahlii. Journal of Morphology 227 : 93 – 100. Goodwin, A., 2003. Differential Diagnosis: SVC vs. KHV in Koi. Fish Health Newsletter, AFS/FHS. 31:1, 9:13. Hedrick, R.P., O. Gilad, S. Yun, J.V. Spangenberg, G.D. Marty, R.W. Nordhausen, M.J. Kebus, H. Bercovier, A. Eldar. 2000. A herpesvirus associate with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of a common carp. Journal Aquatic Animal Health, 12, 44 – 57. Hedrick, R.P., O. Gilad, S.C. Yun, T.S. Mcdowel, T.B. Waltzek, G.O. Kelley, M.A. Adkison. 2005. Initial isolation and characterization of a herpeslike virus (KHV) from Koi and Common Carp. Department of Medicine and Epidemiology, School of Veterinary Medicine, University of California, Davis, California. 7 p. Hinton, D.E. and D.J. Lauren, 1990. Integrative histopathological approaches to detecting effects of environmental stressors on fishes. Am. Fish. Soc. Symp 8 : 51 – 66. Hoole, D., D. Bucke, P. Burgess, I. Wellby. 2001. Diseases of Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing News Books, Blackwell Science Ltd. London. Ilouze, M., A. Dishon, T. Kahan, M. Kotler. 2006. Cyprinid herpes virus-3 (CyHV-3) bears genes of genetically distant large DNA viruses. FEBS Lett. 580:4473-8. Ishioka, T., M. Yoshizumi, S. Izumi, K. Suzuki, H. Suzuki, K. Kozawa, M. Arai, K. Nobusawa, Y. Morita, M. Kato, T. Hoshino, T. Iida, K. Kosuge, H. Kimura. 2005. Detection and sequence analysis of DNA polymerase and major envelope protein genes in koi herpesviruses derived from Cyprinus carpio in Gunma prefecture, Japan. Veterinary Microbiology 110 (2005) 27 – 33. Kholidin, E.B. 2007. Studies on Koi Herpesvirus Disease Occurred in Indonesia. Laboratory of Fish Pathology Graduate School of Bioresources Mie University. 58 p.
124
Kozaric, Zvonimir, Kuzir, Snjezana, Petrinec, Zdravko, Gjurcevic, Emill, Bozic, Milan. The development of the digestive tract in larval European catfish (Silurus glanis). Anatomia, Histologia, Embryologia, Journal of Venerinary Medicine, 37 (2008), 2, 141 – 146 (journal article). Kuperman, B.I. and V.V. Kuzmina, 1994. The ultrastructure of the intestinal epithelium in fishes with different types of feeding. J. Fish Biol., 44 : 181193. Leeson, C.R., T.S. Leeson, A.A. Paparo. 1985. Textbook of histology. W.B. Saunders Company. Philadelphia. Malole, M. B. 1988. Virologi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. 112 hlm. Mitchell, P.H., 1956. A Textbook of General Physiology. McGraw Hill Book Co. In., New York. Mir, I.H. and A. Channa. 2011. Liver of the Snow Trout, Schizothorax curvifrons Heckel : A histochemical study. Int., J. Biol. Chem., 5 : 75 – 85 Miyazaki, T., Y. Kuzuya, S. Yasumoto, M. Yasuda, T. Kobayashi. 2008. Histopathological and ultrastructural features of Koi herpesvirus (KHV)infected carp Cyprinus carpio, and the morphology and morphogenesis of KHV. Diseases of Aquatic Organisms Vol. 80: 1-11, 2008. Muladno. 2002. Jakarta.
Teknologi Rekayasa Genetika.
Pustaka Wirausaha Muda.
Oh, M.J., S.J., Jung, T.J. Choi, R. Kim, K.V. Rajendran, Y.J. Kim, M.A. Park and S.K. Chun. 2001. A viral disease occurring in cultured carp Cyprinus carpio in Korea. Fish Path. 36, 147-151. OIE. 2010. Aquatic Animal Health Code. OIE. Paris. Perelberg, A., M. Smirnov, M. Hutoran, A. Diamant, Y. Bejerano, M. Kotler. 2003. Epidemiological description of a new viral disease afflicting cultured Cyprinus carpio in Israel. Israeli J. Aquat. Bamidgeh. 55, 5 – 12. Pikarsky, E, A. Ronen, J. Abramowits, B. Levavi-Sivan, M. Hutoran, Y. Shapira, 2004. Pathogenesis of acute viral disease induced in fish by carp interstitial nephritis and gill necrosis virus. J. Virol. 78: 9544-51. Price, S.A., L.M. Wilson. 1992. Mosby Year Book, Inc.
Clinical Concepts of Diseases Processes.
Pusat Karantina Ikan. 2007. Prosedur Operasional Standar Karantina Ikan. Pusat Karantina Ikan. Jakarta. 125
Pusat Karantina Ikan. 2010. Peta daerah sebar hama dan penyakit ikan karantina (HPIK). Pusat Karantina Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Reifel, C.W. and A.A. Travill. 1979. Structure and carbohydrate histochemistry of the intestine in ten teleostean species. J. Morphol., 162: 343 – 360. Riley, W.R., 2004. Molecular Epidemiology of Infectious Diseases. ASM Press. Washington, DC. Roberts, R.J., 2001. Fish Pathology. Third Edition. W.B. Saunders. London. Robbins, S.L., R.S. Cotran, V. Kumar. 1995. Pocket Companion to Pathologic Basis of Disease. W.B. Saunders Company, Philadelphia. Rosenkranz, D., B.G. Klupp, J.P. Teifke, H. Granzow, D. Fichtner, T.C. Mettenleiter, W. Fuchs. 2008. Identification of envelope protein pORF81 of koi herpesvirus. Journal of General Virology (2008), 89, 896 – 900. Sano, M., T. Ito, J. Kurita, S. Miwa, T. Iida. 2007. Diagnosis of Koi Herpesvirus (KHV) Disease in Japan. Bull. Fish. Res. Agen. Supplement No. 2, 59-64, 2007. Santer, R.M., 1985. Morphology and innervation of the fish heart. Adv. Anat. Embryol. Cell Biol. 1985, 89: 102. Shapira, Y., Y. Magen, T. Zak, M. Kotler, G. Hulata, B.L. Sivan. 2005. Differential resistance to koi herpesvirus (KHV)/carp interstitial nephritis and gill necrosis virus (CNGV) among common carp (Cyprinus carpio L.) strains and crossbreds. Aquaculture 245 (2005) 1 – 11. Sjafei, D.S., Sulistiono. 1990. Morfologi dan Anatomi Ikan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sloane, E. 1994. Anatomy and Physiology An Easy Learner. Jones and Bartlett Publishers, Inc. Sudbury. Sudiono, J., B. Kurniadhi, A. Hendrawan, B. Djimantoro. 2003. Ilmu Patologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Sunarto, A. 2004. Epidemiologi penyakit koi herpesvirus (KHV) di Indonesia. Laboratorium Riset Kesehatan Ikan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 9 hlm. Sunarto, A., A. Rukyani, T. Itami. 2005. Indonesian experience on the outbreak of koi herpesvirus in koi and carp (Cyprinus carpio). Bull. Fish. Res. Agen. Supplement No. 2, 15 – 21, 2005. 126
Sunarto, A., Taukhid, A. Rukyani, I. Koesharyani, H. Supriyadi, L. Gardenia, H. Huminto, D.R. Agungpriyono, F.H. Pasaribu, Widodo, D.Herdikiawan, D. Rukmono, S.B. Prayitno. 2005. Field investigations on a serious disease outbreak among Koi and Common Carp (Cyprinus carpio) in Indonesia. In P. Walker, R. Lester and M.G. Bondad-Reantaso (eds). Diseases in Asian Aquaculture V, pp. 125-135. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila. Smith, B.J., S.A. Smith, B. Tengjaroenkul. 1991. Gross morphology and topography of the adult intestinal tract of the tilapian fish, Oreochromis niloticus. Cell. Tiss. Organs., 166:294-303. Takashima, F., T. Hibiya. 1995. An Atlas Fish Histology, Normal and Pathological Features. Second Edition. Kodansha Ltd. Tokyo. Taukhid, T. Sumiati, I. Koesharyani. 2005. Pengaruh Suhu Air dan Total Bahan Organik Terlarut Terhadap Patogenisitas Koi Herpesvirus pada Ikan Mas. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Taukhid, A. Sunarto, I. Koesharyani, H. Supriyadi, L. Gardenia. 2004. Strategi pengendalian penyakit koi herpesvirus (KHV) pada ikan mas dan koi. Laboratorium Riset Kesehatan Ikan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Makalah dipresentasikan pada Workshop pengendalian penyakit Koi Herpesvirus (KHV) pada budidaya ikan air tawar, Bogor 28 September 2004. Trun, N, J, Trempy, 2004. Fundamental Bacterial Genetics. Blackwell Publishing. Oxford, UK. 287 p. Veggeti, A., A. Rowlerson, G. Radaeli, S. Arrighi, C. Domeneghini. 1999. Posthatching development of the gut and lateral muscle in the sole. J. Fish. Biol. 5, 44-65. Vicentini, C.A., I.B. Francheschini-Vicentini, M.T. Bombonato, B. Bertolucci, S.G. Lima, A.S. Santos. 2005. Morphological Study of the Liver in the Teleost Oreochromis niloticus. Int. J. Morphol., 23 (3): 211-216, 2005. Wada, S., M. Shimamoto, O. Kurata, K. Hatai, K. Yuasa. 2006. Histopathology of artificial infection of koi herpesvirus disease. Chulalongkorn Univ. Fac. of Vet. Sc., Bangkok, Thailand. Wagner, E.K., M.J. Hewlett. 2004. Basic Virology. Second Edition. Blackwell Publishing Company. Oxford. 440 p. Walker, P.J., 2000. Introduction to Virology. CSIRO Tropical Agriculture, Indrooroopilly, Queensland, Australia.
127
Walker, J.P., 2000. Molecular epidemiology of viral infection. CSIRO Tropical Agriculture, Indrooroopilly, Queensland, Australia. Waltzek, T. B., G.O. Kelley, D.M. Stone, K. Way, L. Hanson, H. Fukuda, I. Hirono, T. Aoki, A.J. Davison, R.P. Hedrick. 2005. Koi herpesvirus represents a third cyprinid herpesvirus (CyHV-3) in the family Herpesviridae. Journal of General Virology (2005), 86, 1659 – 1667. Wasito, 1999. Petunjuk Teknis Diagnosa Klinis dan Patologis pada Ikan. Pusat Karantina Ikan. Jakarta. 78 hlm.
128