VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y DAN GEN CYTOCHROME B
ARIS WINAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 20 Januari 2010
Aris Winaya NRP. D061050021
ii
ABSTRACT ARIS WINAYA. The Genetic Variations and Phylogenetic Relationship Between Indonesian Native Cattle Population Based on Molecular Marker of YChromosome Mcrosatellite DNA and Cytochrome b Gene. Under direction of MULADNO, R. EDDIE GURNADI, and ASEP SAEFUDDIN. Seven Y-chromosome specific microsatellites and cytochrome b (cyt b) of mitochondrial DNA (mtDNA) markers were assayed to get the genetic variation of 7 breeds of Indonesian native cattle, primary on male cattle. The analysis of Ychromosome microsatellites variation was determinate from PCR products by using 7 primer pairs that flanking those microsatellites (INRA008, INRA057, INRA062, INRA124, INRA126, DYS 199, INRA 189). PCR products were separated on 10 % of polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE), and then silver staining method was used to detect allele polymorphism at each locus by manually. The analysis of cyt b gene variation was carried out by analysis of nucleotide cyt b gene sequences based on sequencing results of PCR product from amplification of cyt b gene region of mtDNA genome. From Y-chromosome microsatellite allelic polymorphism analysis showed only found limited allele (two alleles) by average 1.8. While, from heterozgousity level INRA 062 locus has higher value (h= 0.53) than others that found in Pesisir cattle population, also this locus has higher value of PIC (0.37). Because markers in Y chromosome, so it is a haplotype system. According to FAO, the specific allele must have minimum four distinct alleles per locus for proficient judgment of genetic differences between breeds. So, all locus in this research was not sufficient to categorized polymorphic allele. Nevertheless, locus INRA 062 could be considered in future study to get more information about polymorphism of this marker. Ychromosome microsatellite in general has tend to specific in breed comparing with autosomal chromosome, because allele come from only male or Y sex chromosome and it contrary to autosomal chromosome where allele is contributed from male and female. The nucleotides variation of cyt b gene showed that in general all population of cattle only has 39.56 % nucleotide conserve side comparing with Banteng (Bos javanicus) mtDNA. These phenomena could be assumed that the Indonesian native cattle has more genetic introgession of Bos indicus and Bos taurus breeds. But, from phylogenetic relationship, Bali cattle (both from Bali and Lombok) and Madura cattle have closer relationship to Banteng. Its means that two breeds are still have more genetic composition of Banteng. For Aceh and Pesisir cattle were have opportunity to increase the genetic potential as a local breeds, where based on this study has been founded any specific nucleotide sequences of cyt b gene to those breeds comparing with Bos taurus or Bos Indicus. For the next study we need more Y-chromosome microsatellite marker and also more mtDNA gene sequences to discriminate the Indonesian breeds related to tracking the genetic potential. Because the male cattle has roles in genetic spreading where could have an enormous impact on highly selected domestic animal populations and also in genetic conservations. Key words : Y-chromosome microsatellite, cytochrome b, Bos javanicus, mitochondria DNA, phylogenetic
iii
RINGKASAN ARIS WINAYA. Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b Dibimbing oleh MULADNO, R. EDDIE GURNADI, dan ASEP SAEFUDDIN. Karakterisasi genetik sapi lokal Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan, dimulai sejak tahun 1974 hingga 1977 dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan, diantaranya berdasarkan perbedaan golongan darah, protein, protein darah, enzim dan komposisi asam amino rantai β haemoglobin X. Hasilnya bahwa sapi Bali memiliki spesifikasi adanya alel HbX pada golongan darahnya yang tidak dimiliki sapi lokal lain. Tetapi, studi karakterisasi genetik di tingkat molekuler masih sangat kurang. Adanya pertimbangan perkembangan cepat sejumlah penciri genetik molekuler yang lebih diskriminatif dan akurat dibandingkan fenotipik, maka penggunaan marka ini akan sangat membantu dalam penanganan manajemen sistim seleksi pada ternak sapi potong. Informasi tentang alel-alel spesifik (breed spesific allele) dari data molekuler sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya alel spesifik bangsa untuk sapi Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023, HEL9 dan INRA 035 dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus). Demikian pula hasil studi berdasarkan panel 16 lokus penciri mikrosatelit memberikan gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali, Madura, PO dan Brangus. Namun hasil-hasil tersebut belum menunjukkan adanya hubungan antara penciri DNA mikrosatelit dengan sifat-sifat ekonomis sapi lokal, terutama terhadap kualitas daging. Untuk pengukuran variasi genetik pada populasi (misal, breed-breed ternak domestikasi) masih diperlukan penciri mikrosatelit kromosom Y lebih banyak. Hal ini berbeda dengan tikus dan manusia yang telah tersedia banyak data sekuens DNA pada kromosom Y dibandingkan mamalia lain yang masih kurang. Tetapi, beberapa studi terakhir dilaporkan tentang filogenetik daerah kromosom Y pada spesies ternak domestikasi berdasarkan variasi keterpautan bagian spesifik jantan kromosom Y (male specific Y chromosome / MSY) dan mampu membedakan pula antara sapi keturunan Bos indicus dan Bos taurus. Sampel sapi pada penelitian ini dikhususkan pada individu sapi jantan dengan pertimbangan bahwa penyebaran populasi sapi di Indonesia masih bertumpu pada teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk manajemen budidayanya. Sehingga peran pejantan sebagai sumber sperma menjadi sangat penting. Oleh karena itu, analisis variasi genetik menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y dan DNA mitokondria (mtDNA) dari gen cytochrome b (cyt b) pada ternak jantan beberapa bangsa (breed) sapi lokal Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagaimana diketahui bahwa penciri mtDNA berbeda dalam konteks segregasi secara genetis, yakni mtDNA diturunkan dari garis maternal (induk), sedangkan mikrosatelit pada kromosom Y melalui garis paternal (pejantan). Sehingga kedua penciri tersebut dapat dijadikan sebagai model pendekatan berbeda dalam segregasi genetiknya. Demikian pula penggunaan sapi jantan dalam studi ini dimaksudkan untuk lebih membuktikan sejauhmana kemungkinan terjadinya variasi di dalam mendapatkan hasil interpretasi dengan penggunaan penciri genetik yang berbeda. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) mendeteksi derajat polimorfisme DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b pada populasi sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi
iv
Madura, sapi Bali di Bali (Bali-Bali), sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), sapi PO dan sapi PFH; 2) mendapatkan alel-alel DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b yang spesifik untuk setiap populasi sapi tersebut; 3) mengetahui filogenetik populasi sapi lokal yang ada di Indonesia berdasarkan penciri DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cyt b; dan 4) mengetahui konsistensi filogenetik berbasis DNA mikrosatelit dan gen cyt b. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai salah satu landasan dalam menentukan program pemuliaan sapi lokal di Indonesia dan penciri DNA mikrosatelit dan gen cyt b diaplikasikan sebagai Marker Assisted Selection (MAS) atau Marker Pembantu Seleksi pada sifat-sifat produksi atau reproduksi sapi. Ruang lingkup penelitian meliputi penggunaan sampel DNA yang diekstraksi dari beberapa jenis bangsa sapi yang sudah adapatip maupun endemik hidup di Indonesia, seperti sapi Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO dan PFH; kemudian analisis DNA inti dan gen cyt b sapi-sapi tersebut; analisis data secara statistik yang meliputi analisis polimorfisme alel-alel mikrosatelit pada kromosom Y dan analisis variasi mutasi nukleotida pada gen cyt b. Perangkat lunak pendukung dalam analisis data diantaranya NTSYS dan MEGA ver. 4. Dalam penelitian ini sampel digunakan sapi-sapi lokal atau adaptip Indonesia yang secara purposif seluruhnya ditentukan individu jantan, yaitu : 1) Sapi Aceh, berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Aceh, berlokasi di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD); 2) Sapi Pesisir berasal dari sapi-sapi yang dipelihara pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat yang berada di kota Painan; 3) Sapi Madura, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang – Madura, Propinsi Jawa Timur; 4) Sapi Bali di Bali (Bali-Bali), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali; 5) Sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Lingsar dan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat; 6) Sapi Peranakan Ongole (PO), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur; dan 7) Sapi Peranakan Fries Holland (PFH), berasal dari peternakan rakyat anggota KUD Sapi Perah KOPSAE di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Untuk pengambilan sampel darah, sel darah total sejumlah 10 mL diambil dari vena jugularis sapi, kemudian diawetkan dalam 10 % larutan EDTA yang dikoleksi pada beberapa lokasi dimana terdapat sapi-sapi lokal tersebut, yang selanjutnya diekstraksi dengan metode standart fenol-kloroform untuk digunakan sebagai sumber DNA genom. Penciri DNA mikrosatelit memanfaatkan sejumlah penciri DNA mikrosatelit dari sapi (bovine microsatellite) yang telah ada sebelumnya, terutama pada kromosom Y dengan harapan dapat teridentifikasi alel-alel lain yang muncul pada sapi-sapi lokal Indonesia. Adapun DNA mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 lokus, yaitu INRA008, INRA057, INRA062, INRA 124, INRA 126, DYS 199, dan INRA 189. Sedangkan daerah target mtDNA adalah gen cyt b dengan primer gen cyt b sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari mtDNA sapi domestik.
v
Analisis polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit didasarkan pada jumlah dan frekuensi serta distribusi alel produk PCR menggunakan primer sekuen pengapit DNA mikrosatelit, sedangkan variasi nukleotida gen cyt b pada mtDNA diperoleh dari hasil sekuensing daerah gen cyt b. Untuk menentukan jarak genetik (filogenetik) antara sapisapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit dan variasi sekuens nukleotida gen cyt b ditetapkan dengan Metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA) (Sneath & Sokal 1973). Sedangkan konstruksi pohon genetik digunakan perangkat lunak NTSYS dan MEGA ( Molecular Evolutionary Genetics Analysis) version 4.0. Dari variabel vital statistik, maka sapi PFH memiliki volume scrotum terbesar (+1.032 cc) dibandingkan bangsa sapi lainnya. Hal ini berarti bahwa sapi PFH memiliki kapasitas produksi sperma lebih banyak. Sebagaimana diketahui sapi PFH merupakan bangsa sapi keturunan spesies B. taurus, yang apabila dibandingkan dengan bangsa sapi Asia (B. indicus) secara umum karakteristik fenotipiknya lebih unggul, baik pada sapi perah maupun sapi potong. Jumlah alel secara keseluruhan rendah, tertinggi hanya 2 alel, sedangkan jumlah rata-rata alel pada seluruh populasi (tujuh bangsa sapi) adalah 1.8. Nilai heterosigositas (h) ke tujuh populasi adalah antara 0 % hingga 53 % dan nilai tertinggi h ditemukan pada lokus mikrosatelit INRA 062 (53 %) di populasi sapi Pesisir. Adanya fenomena sapi Pesisir lebih tinggi heterosigostasnya dibandingkan dengan sapisapi lainnya menunjukkan bahwa variasi genetik sapi Pesisir masih lebih tinggi dibandingkan sapi-sapi lainnya. Demikian pula lokus INRA 062 yang memiliki nilai PIC (37%) lebih tinggi dibanding lokus lain, maka perlu dilakukan studi lanjut sejenis agar nantinya dapat ditemukan alel-alel lebih banyak sehingga dapat pula ditemukan marker yang spesifik dan karena mikrosatelit Y merupakan sistem haploid, maka alel yang spesifik dapat pula merupakan haplogrup spesifik bagi penciri ini. Menurut petunjuk FAO untuk justfikasi penilaian perbedaan atau variasi genetik antar breed minimum harus terdapat empat alel yang berbeda per lokus, sehingga dalam studi ini tidak ada satu lokuspun yang memenuhi kriteria tersebut. Jadi, lokus-lokus yang digunakan dalam studi ini belum dapat dikategorikan sebagai lokus polimorfik untuk uji evaluasi variasi genetik antar bangsa sapi lokal Indonesia. Untuk itu dapat dilakukan studi lanjut sejenis namun dengan menggunakan jumlah sampel yang memadai dan letak geografis yang lebih luas. Gambaran rata-rata alel yang rendah (1.8) dapat diasumsikan karena pola penyebaran sapi jantan kurang mencukupi untuk pejantan sapi betina yang ada, atau jumlah sampel yang masih belum optimal mewakili populasi yang ada serta diversitas letak geografis yang sangat jauh, sehingga memungkinkan terjadinya keragaman genetik akibat proses seleksi. Untuk lokus lain, yang pada studi ini memiliki nilai h diatas 50% selain lokus INRA 062, misal lokus INRA 124 (h=50 % dan 52%) pada sapi Bali dan PO, dapat dipertimbangkan pula untuk diuji kembali pada populasi sapi lokal Indonesia dengan populasi yang berbeda dan jumlah individu lebih banyak. Hubungan kekerabatan genetik pada tujuh populasi sapi secara umum tidak berbeda antara penciri mikrosatelit kromosom Y dengan gen cyt b. Berdasarkan penciri mikrosatelit kromosom Y, sapi Bali, Madura dan Lombok jarak genetiknya terdekat (satu klaster). Artinya, pola distribusi alel mikrosatelit pada ketiga populasi sapi tersebut memiliki tingkat kemiripan. Hal yang menarik adalah sapi Aceh lebih berdekatan dengan PO dan PFH dibandingkan sapi Pesisir. Hal ini diduga bahwa pola distribusi alel mikrosatelit kedua sapi yang berasal dari B. taurus (sapi PFH) dan B. indicus (sapi PO) lebih mirip sapi Aceh dibanding sapi lainnya. Adapun sapi Pesisir lebih berdekatan secara klaster dengan sapi Bali, Madura dan Lombok dari percabangan
vi
klasternya, maka sapi Pesisir diasumsikan memiliki pola distribusi alel mikrosatelit kromosom Y lebih mirip sapi Bali, Madura dan Lombok. Sisi variabel dan konservatif dari parsial gen cyt b ditetapkan dengan cara alignment (pensejajaran) terhadap sekuen konsensus (consensus sequence) dari sekeuens gen cyt b Banteng (Bos javanicus) yang diperoleh dari Genebank dengan nomor aksesi (accession number) NC_012706.1. Dalam penelitian ini panjang sekuens parsial gen cyt b adalah 230 bp, mulai posisi basa 14691 hingga 14920 dari sekuen komplit gen cyt b. Setiap perbedaan sekuen pada urutan basa tertentu berdasarkan sekuen konsensus (consensus sequence), maka merupakan sisi variabel dalam sekuen parsial. Dari hasil pensejajran (aligment) ditemukan bahwa sisi variabel lebih banyak yakni 139 buah (60.44 %) dibandingkan sisi konservatifnya yakni 91 buah (39.56 %). Hal ini menunjukkan bahwa dari gen cyt b sapi-sapi lokal di Indonesia hampir 60.44 % bukan berasal dari garis maternal induk Banteng (berdasarkan konsensus sekuen cyt b dari B. javanicus Genebank nomor akses NC_012706.1). Tetapi secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa garis maternal Banteng masih ditemukan meskipun mengalami penurunan jumlah sisi konservatifnya. Hubungan genetik berdasarkan variasi sekuens cyt b menunjukkan sebagian besar sapi Aceh, Pesisir dan Madura berdekatan jaraknya dengan B. taurus dan B. indicus, sedangkan sebagian besar sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok lebih berdekatan jaraknya dengan Banteng (B. javanicus). Hasil ini sesuai beberapa hasil studi sebelumnya bahwa sapi Madura dan Bali masih memiliki kedekatan genetik dengan Banteng. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sama dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya dengan menggunakan mtDNA, baik di daerah kontrol (CR) maupun cyt b. Hasil penelitian ini juga membuktikan adanya aliran genetik sapi Bos taurus maupun Bos indicus pada sapi-sapi lokal Indonesia, termasuk sapi Bali dan Madura sebagai sapi keturunan Banteng (Bos javanicus), yang merupakan salah satu tetua bangsa-bangsa sapi di dunia saat ini. Sapi Bali dan Madura masih memiliki proporsi genetik terbesar dari Banteng, maka kedua sapi ini masih dapat diakui eksistensinya sebagai sapi khas Indonesia. Bagi sapi Aceh dan Pesisir masih memiliki harapan untuk lebih ditingkatkan eksistensi sebagai sapi khas daerah tersebut berdasarkan titik mutasi tertentu pada gen cyt b, meskipun kedekatan genetik lebih ke arah Bos taurus dan Bos indicus. Kelemahan penggunaan gen cyt b karena dugaan adanya pseudogen (gen mirip mtDNA dalam gen inti) namun dapat dihindari dengan sampel DNA yang memadai sebagai templat apabila digunakan primer universal. Sumber mtDNA sebaiknya jaringan aktif, misal otot skeletal atau organ-organ aktif lain seperti ginjal dan jantung. Sebab jumlah mtDNA jaringan darah tidak sebanyak DNA di jaringan aktif. Hal ini penting untuk meningkatkan akurasi hasil PCR. Untuk meningkatkan eksistensi spesifikasi sapi-sapi lokal Indonesia, maka kegiatan penelitian yang berbasis molekuler harus diperbanyak. Sebab, hingga saat ini teknologi ini yang masih diakui dunia sebagai teknologi yang tepat untuk identifikasi genetik. Sehingga, di masa depan sapi-sapi lokal dapat diakui konservasi genetiknya secara internasional dengan data yang memadai. Termasuk dalam rangka pelestarian plasma nuftah tetua sapi asli Indonesia (Banteng) yang jumlahnya semakin berkurang akibat tekanan alam maupun manusia. Kata kunci : mikrosatelit kromosom Y, gen cytochrome b, Marker Assisted Selection, Banteng, filogenetik
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y DAN GEN CYTOCHROME B
ARIS WINAYA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ix
Judul Disertasi : Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b Nama : Aris Winaya NIM : D061050021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muladno, MSA. Ketua
Prof. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc. Anggota
Dr. Asep Saefuddin, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.
Tanggal Ujian : 30 Oktober 2009
Tanggal Lulus :
x
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Prof. (R). Dr. Kusuma Diwyanto, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. (R). Dr. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc. Dr. Ir. Machmud Thohari, M.Sc.
xi
PERSEMBAHAN DAN TERIMA KASIH Dengan hati yang tulus dan penuh rasa syukur kupersembahkan karya ini : Kepada Mu Ya Allah SWT sebagai wujud syukur atas ilmu yang telah engkau limpahkan Kepada kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi, nasehat, kasih sayang serta do’a yang tiada hentinya Kepada isteri dan anakku tercinta “Maftuchah” dan “Muhammad Syauqi Al Maghfirah” atas pengertian, perhatian, pengorbanan dan do’anya dalam mendukung suami dan bapaknya untuk menyelesaikan pendidikan S3 ini. Kepada bangsa, negara dan agamaku
Kalamullah “ Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan “ [An-Nahl (16) : 05]. “ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “ [Al-Mujaadilah (58) : 11].
xii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah, serta inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan judul “Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b ”, yang merupakan salah satu syarat penyelesaian Pendidikan Program Doktoral (S3) pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan para pengikut yang diridhoi-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan disertasi ini adalah atas sumbangsih materi maupun pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Yang Terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Muladno, MSA; Prof. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc., dan Dr. Asep Saefuddin, M.Sc., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan saran selama ini, sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. 2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Ternak serta Koordinator Mayor ITP atas bantuan, perhatian dan motivasinya yang diberikan selama mengikuti pendidikan di PTK-IPB sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan S3 dengan baik. 3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. 4. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Demikian pula kepada seluruh kolega di Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang atas segala dukungan, motivasi, bantuan dan do’anya yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di IPB. 5. Para Kepala Dinas Peternakan terkait dengan pengambilan sampel penelitian, yakni Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kabupaten Pesisir Selatan-Sumbar, Kabupaten Sampang-Madura, Kabupaten Tabanan-Bali, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Banyuwangi, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dalam wilayahnya. 6. Kolega khusus yang membantu penulis dalam kegiatan penelitian maupun penyusunan disertasi, yakni Ir. Maskur, M.Si, dari Fakultas Peternakan UNRAM atas bantuan pendampingan dalam koleksi sampel darah sapi Bali-Lombok dan diskusi mendalam tentang genetika molekuler hewan; Dr. Rusfidra dan Dr.
xiii
Sarbaeni Anwar dari Fakultas Peternakan UNAND atas bantuan pendampingan koleksi sampel sapi Pesisir dan diskusi pengembangan sapi Pesisir; saudara Farhan, SPt, MP, dari Dinas Peternakan Propinsi NAD dan Ir. Achmadi, Kepala BPTU Sapi Aceh atas bantuan pendampingan koleksi sampel sapi Aceh; dan Ir. Suprio Guntoro atas bantuan pendampingan sampel sapi Bali-Bali dan diskusi mendalam tentang konsep peternakan organik. Juga rekan Dr.agr. M. Amin, dari FMIPA Universitas Negeri Malang atas bantuan analisis data menggunakan software MEGA dan juga diskusi mendalam tentang genetika molekuler hewan; sahabat Dr. Ir. Bram Brahmantiyo, M.Si dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si, atas dukungan moral maupun materi selama penulis tinggal di Bogor menempuh studi S-3; rekan Ir. J.L. Wahono, MT dan Hariyadi, S.Pi, M.Si. atas bantuan pembuatan peta digital wilayah penelitian serta sahabat Ir. Mulyoto Pangestu, MSc. PhD., Monash University Australia atas bantuan jurnal-jurnalnya. 7. Seluruh rekan-rekan di Program Studi Ilmu Ternak, terutama saat penulis menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) PTK periode 2005-2007 atas kebersamaannya dalam belajar dan berdiskusi selama mengikuti pendidikan di IPB. 8. Sembah sujud kepada kedua orang tua tercinta, Ayah Atang Soewarno (alm.) dan Ibu Ruth Sularsihati, yang telah membesarkan, mendidik, dan do’a-nya yang tiada putusnya untuk keberhasilan putranya. Demikian pula kepada mertua (alm.) atas pengertian, perhatian dan motivasinya selama penulis menempuh studi. Kepada saudara-saudara saya : Rr. Ratna Arum Widyati, Rr. Ari Widyarini, Rr. Ambar Widyasari dan R. Adi Wianjri Nugroho serta seluruh keluarga yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas bantuan dan do’a-nya selama ini. 9. Secara khusus kepada isteri tercinta “ Dr. Ir. Maftuchah, MP. “ dan anakku tersayang “ Muhammad Syauqi Al Maghfirah “, atas pengertian, perhatian dan pengorbanannya yang tulus dan semangat serta do’a-nya yang tiada putusnya diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini dengan lancar. 10. Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang turut membantu penulis demi suksesnya penyelesaian studi Doktor di Institut Pertanian Bogor ini. Kepada Allah SWT penulis berdo’a semoga amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. “ Tiada gading yang tak retak “, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran membangun akan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan di masa mendatang. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi dunia peternakan dan pembaca umumnya. Amin. Bogor, Januari 2010 Penulis
xiv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang, Jawa Barat pada tanggal 14 Mei 1964 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Atang Soewarno (alm.) dan Ruth Sularsihati BA. Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Dr. Ir. Maftuchah, MP. dan dikarunia seorang putra bernama Muhammad Syauqi Al Maghfirah yang lahir pada tanggal 22 Desember 2001. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto dari Jurusan Produksi Ternak. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S2) dari Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program penyelenggaraan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) Program Studi PTK periode 2005-2007. Pada tahun 1990, penulis diangkat sebagai dosen tetap Kopertis Wilayah VII Jawa Timur dan dipekerjakan pada Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sampai sekarang. Mulai tahun 2000 hingga saat ini penulis menduduki jabatan sebagai Koordinator Divisi Bioteknologi Hewan dan Sekretaris Pusat Pengembangan Bioteknologi UMM. Karya ilmiah terbaru yang telah ditulis dan merupakan bagian dari disertasi ini adalah : 1) Y Chromosomal Microsatellites Polymorphism in Madura Cattle (Bos javanicus). The 4th Indonesian Biotechnology Conference. Bogor, August, 5 – 7, 2008; 2) Genetic Variation of Indonesian Ongole Cattle Breed (Bos indicus) Based on Five Loci Y Chromosomal DNA Microsatellite. International Research Seminar and Exibition (IRSE) Universitas Muhammadiyah Malang. November, 7 – 8, 2008; 3) Y Chromosome Microsatellites Variation in Bali Cattle (Bos sondaicus) Population. Jurnal Animal Production Vol. 11, No. 3, September 2009, Fakultas Peternakan UNSOED. (Terakreditasi DIKTI No. 56/DIKTI/Kep./2008), dan 4) Contributions of Bos indicus Breed to Genetic Diversity Of Sumatra Native Cattle Based on Y-Chromosome Microsatellite Marker. International Seminar on Animal Industry, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. November, 23 – 24, 2009.
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………...
xvi
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..……
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
1 5 7 7 7
TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan Bangsa (Breed) Sapi Lokal Indonesia ………………..….. Keragaman Alel DNA dan Variasi Genetik Pada Ternak ...................... DNA Mikrosatelit Spesifik Pada Kromosom Y …………………..…... DNA Mitokondria dan Gen Cytochrome b …………………………....
8 12 15 18
BAHAN DAN METODE Bahan ………………………………………………………………..… Tahapan Penelitian …………………………………………………….. Metode ………………………………………………………………....
23 32 33
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Sifat Kuantitatif Sapi Lokal ................................................... Isolasi DNA Genom dan Reaksi Amplifikasi PCR ................................ Jenis dan Frekuensi Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Genom Sapi Nilai Heterosigositas (h) dan Indeks Polymorphic Information Content (PIC) Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y .......................................... Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y ............................................................ Reaksi Amplifikasi Gen Cytochrome b Sapi .......................................... Sisi Variabel (Variable Site) dan Konservatif (Conservative Variable) Gen Cytochrome b pada Genom Sapi .................................................... Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan Sekuens Gen Cytochrome b ..................................................................
38 42 43 49 51 53 55 74
PEMBAHASAN UMUM ..................................................................................
79
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
84
LAMPIRAN .......................................................................................................
98
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Nama lokus, urutan primer, rata-rata ukuran alel dan referensi mikrosatelit pada Kromosom Y yang digunakan dalam penelitian .........................……
30
2. Rata-rata panjang badan, lingkar dada, tinggi badan dan volume scrotum dari berbagai populasi sapi jantan penelitian .............................................
38
3. Tabulasi data lokus mikrosatelit Kromosom Y sapi penelitian ................
47
4. Nilai heterosigositas (h) dan polimorphic information content (PIC) alel DNA mikrosatelit Kromosom Y pada populasi sapi penelitian ...................
50
5. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Aceh dengan Bos javanicus ...................................................................................
55
6. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Pesisir dengan Bos javanicus ...................................................................................
56
7. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Madura dengan Bos javanicus ...................................................................................
58
8. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Bali-Bali dengan Bos javanicus ...................................................................................
60
9. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi BaliLombok dengan Bos javanicus ....................................................................
61
10. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PO dengan Bos javanicus ..................................................................................
62
11. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PFH dengan Bos javanicus ..................................................................................
64
12. Daftar insersi nukloetida yang terdapat pada sapi Aceh, Pesisir dan BaliLombok .................................………………………………….…………...
67
13. Posisi dan jenis substitusi basa dari gen cytochrome b pada sapi penelitian .
69
14. Komposisi penggunaan kodon gen cytochrome b sapi penelitian ………….
72
15. Jarak genetik kelompok sapi-sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi urutan nukleotida gen cytochrome b .........................................................................
74
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perkembangan populasi sapi potong tahun 2000 - 2008 (X 1000 ekor) (Direktorat Jenderal Produksi Ternak dalam Badan Pusat Statistik [BPS] 2009) ...............................................................................................................
9
2. Peta genetik DNA mitokondria pada mamalia ...............................................
20
3. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh ..........................................
23
4. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Pesisir ........................................
24
5. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Madura.......................................
25
6. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Bali ....................................
26
7. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Lombok .............................
27
8. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan Ongole (PO) ............
28
9. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan Friesien Holland (PFH) ..............................................................................................................
29
10. Daerah gen cytochrome b sebagai target amplifikasi PCR ...........................
31
11. Bangsa-bangsa sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian dengan jenis kelamin jantan ................................................................................................
41
12. Contoh hasil isolasi DNA genom sapi pada sapi PFH ...................................
42
13.a. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 126 genom sapi PO.......................................................
43
13.b. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 189 (hemizygous) genom sapi Bali-Bali ..................... 44 13.c. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 057 (multicopy event) genom sapi PFH .......................
44
14. Diagram filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi DNA mikrosatelit pada Kromosom Y ......................................................................
51
15. Produk PCR gen cytochrome b sebelum proses purifikasi (A) dan setelah purifikasi (B). Sekuensing dilakukan pada produk PCR setelah purifikasi ...
54
xviii
16. Diagram lingkar filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen nukleotida gen cytochrome b .........................................................................
76
17. Diagram pohon filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen nukleotida gen cytochrome b...........................................................................
77
xix
DAFTAR LAMPIRAN 1. Haplotipe alel mikrosatelit pada Kromosom Y ............................................ 2. Hasil sekuensing produk PCR gen cytochrome b ..........................................
xx
98 102
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dokumen ‘World Watch List for Domestic Animal Diversity‘ report (3rd ed.) melaporkan bahwa terdapat kurang lebih 6300 bangsa (breed) ternak di dunia dari sekitar 30 spesies hewan domestikasi dan hampir sebagian besar breed saat ini merupakan spesies lokal yang berasal dari negara-negara berkembang. Keragaman genetik yang dimiliki breed lokal berperan besar dalam keberhasilan program pemuliaan ternak di negara-negara berkembang selama kurun waktu abad 19 hingga 20. Hal ini jelas menggambarkan bahwa spesies lokal merupakan sumber daya genetik yang penting dan unik untuk antisipasi kebutuhan produksi ternak saat ini maupun mendatang. Namun, kenyataannya saat ini banyak breed lokal yang mulai menurun potensinya, baik kuantitas maupun kualitas. Diperkirakan satu hingga dua breed punah setiap minggunya (Schearf, 2003). Dua spesies utama dari famili Bovidae yang telah didomestikasi adalah sapi (Bos) dan kerbau (Buballus). Diantara spesies sapi yang didomestikasi dan masih eksis keberadaannya sebagai tetua bangsa sapi adalah Yak (Bos grunniens ), Gayal / Mithan (Bos gaurus) dan sapi Bali (Bos javanicus), sedangkan Taurine (Bos taurus) dan Indicine (Bos indicus) telah dijinakan sebagai ternak domestik (Lenstra & Bradley 1999). Dua tipe bangsa sapi terakhir tersebut merupakan yang terbesar jumlah populasinya di dunia dan tetua liar dari Bos taurus dan Bos indicus yaitu Auroch (Bos primigenius) tersebar mulai dari Pasifik melalui Asia dan Eropa hingga Atlantik, dan juga dari dataran tundra di belahan utara ke selatan hingga India dan Afrika. Tetapi Bos primigenius ini diduga telah punah pada abad 14 SM di sekitar Mesir, tetapi sisanya ditemukan hidup lebih lama di daerah lain, termasuk Eropa dan diketahui spesies terakhir mati di tahun 1627 M (Epstein & Mason 1984). Benua Asia memiliki kurang lebih tiga ratus juta sapi dan dua ratus juta diantaranya terdapat di sub benua India. Sapi-sapi di Asia dan Afrika, umumnya dibedakan ke dalam kategori berpunuk (hump) dan tidak berpunuk (humpless) dan diperkirakan terdapat 170 breed yang telah diketahui, termasuk sapi Bali (domestikasi dari Banteng, Bos [Bibos] banteng) di Asia Tenggara, terutama di
2 Indonesia dan Filipina. Oleh karena itu, peternak sapi di Asia telah dikenal peranannya sangat penting dalam proses domestikasi maupun ekologi pertanian di benua ini. Di Indonesia, sapi Bali merupakan sapi lokal yang sangat populer terkait dengan statusnya pada proses berkehidupan masyarakat petani di Indonesia, khususnya sebagai hewan tarik dan penyedia daging.
Selain sapi Bali, di Indonesia juga
terdapat jenis atau bangsa sapi lokal lain, baik yang karena status silsilahnya masih terdapat hubungan darah dengan Banteng (seperti sapi Madura) maupun dari bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus yang karena faktor ekonomi dan politik pada masa lampau (penjajahan maupun setelah merdeka) didatangkan ke Indonesia dan akhirnya mampu beradaptasi dengan lingkungan sehingga menjadi bagian dari ternak lokal yang ada. Oleh karenanya, studi genetik sapi lokal yang ada di Indonesia menjadi menarik dikarenakan variasi genetiknya yang cukup besar. Hal ini penting terkait dengan usaha perbaikan sifat maupun menjaga karakter genetiknya sehingga ternak lokal ini tidak semakin menurun kualitas genetiknya bahkan punah dari negeri Indonesia. Bangsa sapi umumnya dibedakan secara morfologi dengan membedakan ada (Bos indicus) dan tidak adanya (Bos taurus) gumba (Lenstra & Bradley 1999). Namun saat ini dengan kemajuan teknologi molekuler, maka pembedaan genus Bos tersebut dapat didasarkan pada variasi urutan nukleotida pada DNA mitokondria (Loftus et al. 1994), DNA mikrosatelit (MacHugh et al. 1997), DNA satelit (Nijman et al. 1999) dan kromosom Y (Kikkawa et al. 2003; Verkaar et al. 2003, Verkaar et al. 2004) yang kemudian digunakan untuk identifikasi introgesi genetik dan studi percampuran populasi. Data molekuler mengindikasikan adanya fenomena dikotomi bahwa umumnya sapi Bos taurus adalah breed Eropa sedangkan sapi Bos indicus adalah breed Asia.
Berdasarkan haplotipe DNA mitokondria yang diperoleh dari
specimen arkeologi, juga telah dapat dirancang kembali tentang Auroch Eropa dan Timur Dekat yang kemudian diinterpretasikan bahwa Timur Dekat merupakan asal mulanya domestikasi sapi Bos taurus yang kemudian diikuti dengan introduksi pejantan Auroch dari Eropa (Troy et al. 2001; Götherström et al. 2005; Edwards et al. 2007).
3 Banyak cara dan usaha yang telah dilakukan untuk karakterisasi genetik sapi lokal Indonesia, dimana studi awal dimulai tahun 1974 hingga 1977 dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan oleh Namikawa et al. (1980) tentang karakterisasi sapi lokal di Indonesia berdasarkan golongan darah dan protein, kemudian Namikawa et al. (1982a) berdasarkan protein darah dan enzim, serta Namikawa et al. (1982b) berdasarkan komposisi asam amino rantai β dari haemoglobin X.
Hasilnya antara
lain menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki spesifikasi, seperti alel HbX pada golongan darahnya dan sapi lokal lain tidak, serta sapi Peranakan Ongole (PO) sangat dominan karakter genetiknya dari sapi zebu India. Studi karakterisasi genetik pada tingkat molekuler di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Adanya pertimbangan bahwa perkembangan cepat sejumlah penciri genetik molekuler lebih diskriminatif dan akurat dibandingkan fenotipiknya, maka penggunaan marka ini akan sangat membantu dalam penanganan manajemen sistim seleksi pada ternak sapi potong (Ge et al. 2002). Penggunaan sekuen DNA pada studi genetika populasi telah berkembang secara cepat pada ternak, terutama setelah ditemukannya sekuen DNA dengan tingkat variabilitas dan polimorfis yang tinggi sebagai penanda genetik. Meskipun penggunaan penanda genetik klasik seperti
protein darah dan biokimia cukup
berperan penting dalam beberapa studi genetika populasi, namun salah satu masalah yang membatasi penggunaan penanda ini adalah keterbatasan jumlah genotip pada setiap lokus. Adanya penemuan lokus-lokus DNA dengan tingkat variabilitas tinggi, misal DNA mikrosatelit menawarkan sejumlah solusi untuk memecahkan masalah keterbatasan tersebut (Chakraborty & Jin 1993). Informasi tentang alel-alel spesifik (breed spesific allele) dari data molekuler untuk sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas. Hasil penelitian Muladno et al. (2000) dalam Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi [KMNRT] (2000) telah menunjukkan adanya alel spesifik bangsa (breed spesific allele) untuk sapi Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023. Hasil studi Noor et al. (2000) juga menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki alel spesifik pada lokus mikrosatelit HEL9 dan INRA 035 dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus), namun hasil ini masih merupakan gambaran awal tentang adanya fenomena alel spesifik pada ternak asli Indonesia. Hasil studi berdasarkan panel 16 marka mikrosatelit (Winaya 2000;
4 Winaya et al. 2000), diketahui pula bahwa penciri molekuler DNA mikrosatelit mampu memberikan gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali, Madura, PO dan Brangus. Namun hasil ini belum mampu menunjukkan adanya hubungan antara penciri DNA mikrosatelit dengan sifat-sifat ekonomis sapi, terutama terhadap kualitas daging. Sekuen DNA yang menawarkan sejumlah besar karakter memiliki pula potensi homologi sehingga dapat dimanfaatkan bagi studi filogenetik. Pemahaman ini akan menawarkan pula sejumlah besar potensi utama disamping kemungkinan terdapatnya karakter yang menyesatkan dari indikasi homologi berdasarkan analisis filogenetik. Sekuen DNA dapat sangat berbeda dari karakter morfologi. Adanya perubahan karena mutasi juga menjadi penyebab perbedaan. Adanya perbedaan ini memerlukan pula metode yang berbeda dalam analisis sekuen molekuler untuk hubungan homologinya, yang akan membedakan dengan sifat morfologinya (Mindell 1991). Sejak istilah homologi didefinisikan sebagai “ organ yang sama pada hewan tetapi berbeda dalam berbagai variasi bentuk dan fungsi “ oleh Owen (1848) dan telah banyak digunakan, namun hingga saat ini masih menjadi perdebatan (Scotland 1992). Homologi merupakan konsep yang menggambarkan suatu hipotesis yang berkaitan dengan penampilan individu dan penggunaannya pada tingkat yang berbeda dari organisasi biologinya (misal : fenotipik, genotipik). Sebagian besar ilmuwan biologi evolusi, terutama bidang sistimatika organisme telah setuju bahwa homologi menjelaskan hubungan antara tampilan-tampilan yang sama secara umum pada organisme, yang kejadiannya dapat diturunkan. Demikian pula sebaliknya, persamaan tersebut dapat pula terjadi karena adanya evolusi yang terpusat maupun paralel. Oleh karena itu, identifikasi penampilan homologi merupakan suatu langkah yang krusial dalam menentukan hubungan filogenetik (Mindell 1991). Klasifikasi organisme juga telah menjadi suatu hal yang menarik bagi para ilmuwan biologi sejak publikasi hasil-hasil penelitian awal dalam bidang biologi. Misal, Aristoteles telah membuat suatu sistim untuk klasifikasi spesies hewan, yang dimulai dengan membagi hewan ke dalam dua grup utama, yakni warna merah darah seperti yang terdapat pada manusia atau vertebrata dan semakin berkurangnya warna merah tersebut pada invertebrata. Selanjutnya, dia membagi pula dalam subdivisi
5 menjadi dua grup berdasarkan cara reproduksi, seperti siklus hidup, perkembangan dalam telur, bentuk kepompong dan sebagainya. Oleh karenanya, klasifikasi organisme merupakan suatu bagian esensial dari perkembangan pengetahuan manusia mengenai dunia kehidupan (Dunn & Everitt 1982). Ilmuwan biologi modern memberikan pula catatan bahwa metode awal dalam klasifikasi hewan dan tanaman umumnya masih menggunakan pertimbangan yang hanya menggambarkan permukaannya saja dan hanya bermanfaat untuk sarana komunikasi. Secara umum masih belum menggambarkan sisi “ alamiah ” atau “ kenyataan “ yang sebenarnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka ide tentang metode klasifikasi berdasarkan perbandingan asam amino atau urutan asam nukleat dapat digunakan sebagai pendekatan metode untuk karakter klasifikasi pada makluk hidup berdasarkan indikasi adanya homologi (Dunn & Everitt 1982). Perkembangan dalam analisis genom dan genetika populasi pada manusia mengarah pada haplotipe kromosom Y yang merupakan alat penting dalam mempelajari
populasi
secara
alami
(Hurles
&
Jobling,
2001).
Tanpa
mengesampingkan daerah pseudo-autosom, aksi kromosom Y secara keseluruhan merupakan unit tunggal non rekombinan dan merupakan haploid spesifik jantan. Hal ini dapat diyakinkan bahwa berbagai kombinasi pada kejadian mutasi sepanjang garis keturunan jantan terkonservasi merupakan suatu haplotipe pautan tunggal yang tidak meragukan (bias). Penciri kromosom Y diperlukan sebagai suatu analog jalur jantan sebagaimana DNA mitokondria (mtDNA) pada jalur betina.
Tingkat
polimorfisme penciri pada daerah non-rekombinan kromosom Y dimulai dari yang paling rendah atau jarang, yakni pada kejadian bi-alel pada titik mutasi single nucleotide polymorphisms (SNPs) hingga yang paling sering ditemukan pada lokus penciri minisatelit atau mikrosatelit (short tandem repeat [STR]).
Adapun
polimorfisme SNPs pada kromosom Y sering ditemukan pada populasi yang spesifik (Hammer et al. 1997).
Perumusan Masalah Saat ini untuk pengukuran variasi genetik pada populasi (misal, breed-breed ternak domestikasi) masih memerlukan penciri mikrosatelit kromosom Y lebih banyak lagi. Hal ini berbeda kondisinya pada tikus dan manusia, dimana tersedia
6 banyak data sekuens DNA pada kromosom Y, tetapi informasi untuk kromosom Y pada mamalia lain masih kurang (Hurles & Jobling, 2001). Namun, akhir-akhir ini telah dilaporkan beberapa survei tentang filogenetik daerah kromosom Y dari spesies ternak domestikasi berdasarkan variasi keterpautan bagian spesifik jantan kromosom Y (male specific Y chromosome / MSY). Dilaporkan pula variasi nukleotida yang rendah antar lokus MSY pada kuda (Lindgren et al. 2004), sapi (Hellborg and Ellegren 2004) dan domba (Meadows et al. 2004). Meskipun demikian, beberapa studi yang memanfaatkan variasi lokus MSY telah mampu mengangkat aspek-aspek sejarah keberadaan populasi. Bradley et al. (1994) telah mengembangkan pelacak (probe) spesifik untuk lokus Y yang mampu membedakan subspecies Bos taurus (taurine) dan Bos indicus (zebu). Penelitian ini merupakan analisis terhadap kromosom Y untuk mendukung pengembangan metode analisis variasi genetik maupun kekerabatan individu pada spesies sapi (bovidae) yang mengarah pada jenis kelamin jantan. Pertimbangan dilakukan khusus pada individu sapi jantan adalah bahwa dalam konteks penyebaran populasi sapi di Indonesia masih bertumpu pada teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk keperluan manajemen budidaya, sehingga peran pejantan sebagai sumber sperma menjadi sangat penting. Oleh karena itu, analisis menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit pada kromosom Y dan DNA mitokondria pada gen cytochrome b (cyt b) yang diaplikasikan pada beberapa bangsa (breed) sapi lokal Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagaimana diketahui bahwa penciri mtDNA berbeda dalam konteks segregasi secara genetis, yakni mtDNA diturunkan dari garis maternal (induk), sedangkan mikrosatelit pada kromosom Y melalui garis paternal (pejantan), maka kedua penciri tersebut dapat dijadikan sebagai model pendekatan berbeda dalam segregasi alel. Pada penelitian ini sampel breed merupakan sapi jantan dengan maksud untuk lebih membuktikan sejauhmana kemungkinan terjadinya variasi di dalam mendapatkan hasil interpretasi penciri genetik yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penggunaan data molekuler dalam studi genetik ternak, terutama ternak sapi-sapi lokal yang banyak terdapat di Indonesia akan sangat berperan penting dalam penentuan status genetiknya. Pemanfaatan teknologi lebih modern, dalam hal ini teknologi molekuler sangat diperlukan untuk
7 membantu meningkatkan kembali keberadaan sapi lokal, terutama akibat kondisi global, derasnya introduksi sapi-sapi impor lambat laun akan menghilangkan keberadaan ternak lokal dan akan punah jika tidak diperhatikan secara serius.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk : 1) mendeteksi derajat polimorfisme DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b pada populasi sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi Madura, sapi Bali di Bali (Bali-Bali), sapi Bali di Lombok (BaliLombok), sapi PO dan sapi PFH; 2) mendapatkan alel-alel DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b yang spesifik untuk setiap populasi sapi tersebut; 3) mengetahui filogenetik populasi sapi lokal yang ada di Indonesia berdasarkan penciri DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cyt b; dan 4) mengetahui konsistensi filogenetik berbasis DNA mikrosatelit dan gen cyt b.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu landasan dalam menentukan program pemuliaan sapi lokal di Indonesia dan dapat menggunakan penciri DNA mikrosatelit dan gen cyt b sebagai Marker Assisted Selection (MAS) atau Marker Pembantu Seleksi pada sifat-sifat produksi atau reproduksi sapi.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi penggunaan sampel DNA yang diekstraksi dari beberapa jenis bangsa sapi yang sudah adapatip maupun endemik hidup di Indonesia, seperti sapi Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO dan PFH; analisis DNA inti dan gen cyt b sapi-sapi tersebut; analisis data secara statistik yang meliputi analisis polimorfisme alel-alel mikrosatelit pada kromosom Y dan analisis variasi mutasi nukleotida pada gen cyt b. Perangkat lunak pendukung dalam analisis data diantaranya NTSYS dan MEGA ver. 4.
8
TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan Bangsa (Breed) Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, dan memiliki banyak bangsa sapi sebagaimana hewan-hewan lainnya. Sapi Bali, sangat dipercaya sebagai sapi lokal hasil domestikasi dari Banteng (Bos /Bibos banteng), yang merupakan hewan klas bovidae primitif dengan habitat di beberapa hutan wilayah Asia Tenggara (Namikawa et al. 1980). Berdasarkan sejarah diketahui juga bahwa sapi zebu India secara berulangkali telah diintroduksi ke wilayah Indonesia pada awal abad 19. Tampaknya komposisi genetik berbagai bangsa sapi yang ada di Indonesia menjadi cukup sulit untuk diklarifikasi filogeninya. Namun, justru adanya variasi genetik yang cukup besar pada sapi-sapi lokal Indonesia ini menjadi bahan studi yang menarik, karena bisa jadi sapi-sapi lokal Indonesia menjadi salah satu kumpulan gen terbesar terkait dengan asal usul sapi-sapi yang rumit tersebut dan deferensiasi genetik menjadi masalah yang sangat penting untuk dikaji (Namikawa et al. 1980) Antara tahun 1870 – 1890, sapi Jawa merupakan sapi idaman untuk mengolah lahan pertanian. Namun dilaporkan tahun 1907 – 1910 bahwa sapi Jawa menurun kualitas genetiknya, seperti berkurangnya kemampuan konsumsi pakan dan tenaga. Kemampuan reproduksinya juga menjadi rendah sehingga banyak yang diafkir. Maka pemerintah yang berkuasa saat itu (Belanda) memutuskan tahun 1905 untuk memasukkan sapi zebu ke Indonesia. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1920an.
Kegiatan pemurnian genetik sapi-sapi lokal di Indonesia sebenarnya telah
dimulai sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah Belanda tahun 1913, yang menetapkan pulau Madura sebagai tempat pemurnian sapi Madura dan pulau Bali dan pulau Lombok sebagai tempat pemurnian sapi Bali, sedangkan sebelumnya tahun 1912, pulau Sumba telah ditetapkan sebagai tempat pemurnian sapi Ongole yang diimport dari Nellore, India dan kegiatan ini dilakukan dengan ketat di bawah pengawasan pemerintah Belanda saat itu (Soeratmo 1923 dalam Talib 1988). Diantara sapi-sapi lokal Indonesia, maka sapi Bali memang memiliki potensi genetik yang besar (Ditjenak 2008), terutama sebagai ternak pedaging. Namun, keberadaan sapi-sapi lokal di Indonesia pada beberapa dekade terakhir ini kurang
9 m mendapat perrhatian seriuus dari pem merintah maaupun masyyarakat.
Paadahal telahh
teerbukti bahw wa ternak lokkal lebih maampu bertahhan dan beraadaptasi den ngan kondisii linngkungan setempat s maaupun secarra sosial daan budaya ttelah lama berinteraksii deengan masy yarakat.
Paada Gambarr 1 berikut ditampilkann grafik peerkembangann
poopulasi sapi potong lokaal maupun im mport (terutaama sapi Brrahman Crosss / BX asall A Australia) di Indonesia I daari tahun 20000-2008.
12000 11500
Ekor
11000 10500 10000 9500 2000
2001
2002
2003
200 04
2005
2006
2007 7
2008
Tahu un
G Gambar 1 Peerkembangan n Populasi Saapi Potong Tahun T 2000 - 2008 (X 10 000 ekor) (D Direktorat Jennderal Produuksi Ternak dalam d Badann Pusat Statiistik [BPS] 200 09) G 1 di atas tampakk bahwa meeskipun periiode tahun 2003 2 – 20044 Dari Gambar seempat mengaalami penuruunan populaasi, tetapi aw wal tahun 20005 mulai tam mpak adanyaa teendensi kenaaikan populaasi. Hal ini jika dicerm mati sebenarnnya merupaakan peluangg baagi pemerinntah untuk mengembanngkan sapi--sapi lokal, khususnyaa sapi lokall peedaging gun na mencukuupi kebutuhaan dalam negeri, n bukaannya kebijaakan importt deengan berbaagai dalih yaang sebenarnnya merupakkan alasan ppolitis daganng. Apalagii taahun 2010, pemerintah p t telah mencannangkan unttuk pencapaiian swasembbada daging, seehingga dipeerlukan strattegi tepat unntuk memperrcepat jumlaah populasi sapi potong. D Dalam upaya meningkatk kan jumlah populasi p sapii, peran sapi pejantan sangat pentingg unntuk mempeercepat pennyebaran dann peningkattan kualitass populasinyya.
Karenaa
10 kenyataannya sampai saat ini teknologi yang tepat untuk sistem perkawinan ternak sapi di Indonesia adalah teknologi Inseminasi Buatan (IB), maka sistem seleksi untuk mendapatkan pejantan yang unggul, terutama untuk penyediaan sperma yang berkualitas harus mendapatkan perhatian, sehingga akan mampu meningkatkan pula kualitas sapi-sapi potong yang dihasilkan dari teknologi Inseminasi Buatan tersebut. Bangsa-bangsa (breed) sapi yang ada di dunia saat ini sebenarnya terbentuk selama berabad-abad melalui proses seleksi alam maupun seleksi yang dilakukan oleh manusia.
Breed sapi diseleksi terutama untuk ketahanan terhadap kondisi
lingkungan dan kebutuhan manusia (Maudet et al. 2002). Menurut beberapa buku catatan seleksi ternak, bahwa pada 200 tahun terakhir, seleksi mengarah pada isolasi genetik beberapa breed sapi, dan seleksi yang ketat untuk produktivitas tinggi telah menyebabkan turunnya sejumlah populasi breed. Variasi genetik yang ditemukan pada breed dikembangkan ke arah karakter baru, seperti respon terhadap perubahan lingkungan, penyakit atau kondisi pasar. Namun, sapi-sapi lokal (indigenous) justru memiliki banyak kombinasi gen dan karakter spesifik untuk adaptasi terhadap berbagai kondisi, seperti ketahanan penyakit, adaptasi kondisi pakan terbatas atau kualitas pakan yang rendah dan sebagainya, yang tidak ditemukan pada breed-breed terseleksi. Namun, karena tidak adanya perhatian yang serius, maka beberapa breed lokal ini terancam punah (Maudet et al. 2002). Upaya untuk mempertahankan keragaman genetik ternak-ternak lokal perlu dijaga bahkan ditingkatkan, terutama untuk tujuan seleksi maupun pemanfaatan gengen tertentu yang seringkali tidak dimiliki oleh breed modern hasil seleksi ketat. Sehingga, hal ini seolah-olah merupakan suatu tindakan kontroversi, antara upaya meningkatkan produktivitas ternak (pola pemuliaan) yang berakibat pada turunnya keragaman
genetik
dengan
kepentingan
pelestarian
plasma
nutfah
yang
mengharapkan keragaman genetik. Jadi, konsep konservasi adalah pertimbangan pembangunan masa kini jangan sampai merusak kemungkinan masa depan. Masih banyak potensi ternak lokal yang belum tergali atau diketahui, sehingga konservasi merupakan usaha yang rasional untuk menjaga mutu genetik ternak-ternak lokal tersebut (Setiadi & Diwyanto 1997). Contoh kasus pada sapi Bali, dalam sejarah panjang domestikasi Banteng menjadi sapi Bali, diketahui bahwa sapi Bali pada masa lampau justru memiliki
11 potensi genetik lebih baik jika dibandingkan sapi Bali saat ini. Hal ini berarti telah terjadi penurunan mutu genetik (Darmadja 1980; Pane 1991). Demikian pula hasil studi Noor et al. (2000), dengan menggunakan metode analisis lebih baru bahwa berdasarkan data hasil analisis polimorfisme iso-electrical focussing (IEF) protein darah, analisis DNA mikrosatelit, analisis struktur kromosom dan analisis struktur bulu dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM), diduga bahwa sapi Bali pejantan di Balai Inseminasi Buatan, Singosari, Malang, Jawa Timur dan pulau Bali telah terkontaminasi oleh breed sapi lain. Meskipun hasil ini masih menggunakan sampel terbatas dan belum mengarah pada kesimpulan menyeluruh, tetapi merupakan indikasi telah terjadi introduksi genetik pada sapi ini. Pembahasan tentang kepentingan dan peluang pengembangan manajemen sumber genetik ternak bagi kepentingan nasional maupun global dimulai di Amerika Serikat tahun 1984 (CAST 1984; OTA 1987; NRC 1993). Secara umum diskusi membahas tentang strategi mempertahankan breed-breed ternak yang populasinya telah langka, termasuk diskusi tentang masalah yang kritis dan peluang ke depan serta program konservasi yang luas untuk breed-breed ternak langka.
Untuk
manajemen sumber genetik peternakan, difokuskan pada negara-negara sedang berkembang dari sudut pandang kepentingan global. Karena, hampir sebagian besar ternak domestikasi terdapat di wilayah negara-negara ini dan karakter genetik lokal ternak di wilayah ini telah menurun akibat seleksi terarah yang sangat ketat (Mason & Crawford 1993). Namun, peluang dan kesempatan untuk manajemen sumber genetik ternak di negara-negara berkembang justru cenderung tidak diperhatikan. Padahal saat ini variasi sumber genetik ternak diperlukan untuk keperluan produktifitas ternak pada berbagai kondisi lingkungan, juga kemungkinan mempertahankan sumber genetik ternak dan memberikan fasilitas yang cepat untuk adaptasi terhadap perubahan tujuan pemuliaan ternak (Notter 1999). Program manajemen sumber genetik ternak dalam jangka panjang sebaiknya diarahkan untuk pencapaian potensi maksimal spesies dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Jadi, tindakan saat ini jangan sampai mengurangi upaya kita untuk mempertahankan tingkat kemampuan genetik dalam produksi maupun performans ternak. Memang seringkali terjadi perbedaan informasi yang besar terhadap program manajemen sumber genetik pada hewan-hewan yang hampir
12 punah. Studi umumnya difokuskan pada ukuran populasi dan struktur populasi yang diperlukan untuk mencegah inbreeding dan menerimanya untuk tujuan menjaga tingkat heterosigositas dan potensi adaptasi, yang seolah-olah hal ini mencukupi untuk menambah variasi genetik.
Padahal sesuai dengan petunjuk manajemen
konservasi spesies langka, studi tidak hanya selalu tentang pemeliharaan variasi genetik dalam breed itu sendiri tetapi lebih dari itu, yakni manajemen strategi yang sesuai untuk populasi secara keseluruhan (Notter 1999).
Keragaman Alel DNA dan Variasi Genetik pada Ternak Manajemen yang menekankan pada pemeliharaan heterosigositas individu mungkin sedikit berguna jika dibandingkan manajemen yang langsung bertujuan untuk memelihara adanya keragaman alel-alel dalam genom suatu individu atau spesies. Keragaman alel disini didefinisikan sebagai suatu nukleotida yang memiliki urutan / sekuens unik yang dapat menghasilkan kemampuan individu dalam produktivitas atau mampu mengeluarkan efek spesifik regulator lain dari sekuens unik tersebut. (Notter 1999).
Denniston (1977) menggambarkan bahwa ukuran
populasi yang efektif diperlukan untuk memelihara beberapa alel pada lokus dalam suatu perkawinan tunggal secara random dan kepentingan ini lebih besar daripada keperluan untuk mempertahankan nilai inbreeding yang telah ditetapkan pada populasi. Notter & Foose (1986) juga menunjukkan bahwa memelihara keragaman alel dalam suatu spesies lebih efisien untuk pencapaian subdivisi spesies daripada populasi utuh, sehingga subpopulasi sangat cukup untuk menjaga akumulasi efek inbreeding atau menjaga kemungkinan untuk melakukan strategi crossing pada subpopulasi guna mendapatkan heterosigositas. Diperkirakan jumlah breed
ternak
mamalia sekitar 4 000, sangat
kecil
dibandingkan seluruh spesies mamalia yang sudah dikenal, dan sekitar 1 000 spesies dalam kondisi mengkawatirkan (Loftus & Scherf 1993). Sehingga, dalam jangka panjang menjaga 4000 breed dengan suatu pendekatan ukuran populasi yang sesuai bagi spesies yang dilindungi menjadi tidak cocok dan tidak perlu untuk menjaga potensi adaptif spesies tersebut. Akan tetapi, diperlukan dukungan untuk program pemeliharaan spesies secara luas dan menyeluruh serta contoh breed secara global untuk setiap spesies yang kritis dan perlu penanganan segera (Notter 1999). Dalam
13 daftar FAO (1996) terdapat 783 breed sapi secara global. Pertanyaan yang harus diperhatikan adalah seberapa besar potensi nilai keragaman alel yang dimiliki dan mungkinkah secara langsung memiliki nilai komersial. Jawaban dari pertanyaan ini adalah bagaimana kita dapat menemukan alel-alel spesifik yang berkorelasi dengan sifat-sifat kuantitatif tertentu yang memiliki nilai komersial atau lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci/QTL). Oleh karenanya memelihara keragaman alel pada suatu spesies sapi yang memiliki potensi tertentu akan sangat berguna sebagai suatu cara untuk memfasilitasi akses ke depan dalam memanfaatkan suatu peluang. DNA genom eukariot yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan DNA genom prokariot, sebagian besar mengandung sekuen berulang. Walaupun fungsinya belum diketahui secara pasti, sekuen tersebut diduga memiliki struktur yang berperan dalam arsitek interfase nukleus, meiosis kromatin dan atau metafase kromosom. Sejumlah besar informasi telah dikumpulkan mengenai elemen berulang dan organisasinya dalam genom ternak.
Konsekuensinya adalah sesuatu yang harus
dipertimbangkan berkenaan arti yang ada, yakni tentang kegunaan klasifikasi sekuen berulang berdasarkan struktur, distribusi dan frekuensi pengulangannya. Beberapa genom eukariotik mengandung beberapa macam repetitif DNA, mulai dari yang sederhana berupa suatu nukleotida tunggal hingga tingkatan-tingkatan satelit DNA (Tautz et al. 1984; Ellegren et al. 1992), dan beberapa repetitif DNA ini memiliki polimorfik tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa sekuen berulang DNA (mikrosatelit) dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal usul individu dari suatu populasi (Bradley et al. 1998; Edwards et al. 2000; Maudet et al. 2002).
Analisis variasi genetik
menggunakan penciri mikrosatelit adalah analog dengan metode lama yakni elektroforesis protein. Sejumlah mikrosatelit diaplikasikan, setiap penciri dideteksi sejumlah alternatif alel pada lokus genetik spesifik. Alel-alel individu mencerminkan frekuensi yang berbeda antar populasi yang berbeda. Perbedaan yang besar pada alel ini memungkinkan ketersediaan data dasar untuk pendugaan jarak genetik (Bradley et al. 1998).
Bagaimanapun juga penciri mikrosatelit berbeda dengan protein.
Mikrosatelit lebih variatif (lebih banyak alel per lokus) dan tingkat informasinya menjadi lebih bervariasi dalam hubungan evolusinya antar alel dalam lokus yang ada. Alel-alel yang sama dalam satu garis keturunan akan lebih mirip pada ukuran
14 alelnya. Gambaran ini dijelaskan hasil studi bahwa distribusi ukuran alel yang berbeda sering ditemukan antar populasi Bos indicus dan Bos taurus. Oleh karena alel breed zebu juga terdapat pada hewan yang tetuanya campuran, maka frekuensi alelnya dapat digunakan untuk mengestimasi kontribusi relatif dari breed zebu dan Bos taurus dalam genom inti keturunannya. Mitokondria DNA (mtDNA) merupakan satu diantara penciri DNA yang sangat popular digunakan sebagai penciri genetik pada populasi hewan (Avise et al., 1987). Alasannya, karena penciri ini memiliki tipikal tingkatan variabilitas tinggi, merupakan jalur turunan maternal (induk), dan lebih mendekati model evolusi netral. Dalam suatu populasi yang mengalami mutasi atau penyimpangan genetik setimbang (equilibrium), maka tingkat dugaan variasi genetik dari suatu lokus netral adalah proporsional terhadap ukuran populasi efektif (dan tingkat laju mutasi Wright 1953). Variasi mtDNA secara tipikal juga dapat menggambarkan pengaruh demografi, seperti variasi ukuran populasi antar spesies maupun antar populasi sehingga menjadikan mtDNA alat yang populer untuk tujuan konservasi genetik (Harrison 1989; Roman & Palumbi 2003). DNA mitokondria (mtDNA) telah menjadi sarana yang sangat penting dalam memahami asal usul bangsa dan proses domestikasi sapi. Studi awal oleh Loftus et al. (1994) dan Bradley et al. (1996) menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok utama haplotipe berdasarkan mtDNA, yang mewakili garis keturunan dari Bos indicus (zebu) dan Bos taurus (taurine). Identifikasi proses domestikasi independen pada kedua breed sapi tersebut menunjukkan pula bahwa sapi zebu didomestikasi di benua Asia, sedangkan taurine berasal dari suatu pemisahan kelompok spesies aurochs di Timur Dekat dan Afrika (Loftus et al. 1994a). Studi lebih lanjut pada bangsa sapi taurine di Eropa, Afrika dan Timur Dekat menunjukkan bahwa hampir semua sekuens mtDNA memiliki satu akar dari empat tetua utama haplotipe, salah satu dari tetua merupakan haplotipe predominan di Afrika sedangkan lainnya di Eropa dan Timur Dekat. Setiap lokasi geografi sampel sapi menghasilkan suatu titik sebagai pusat filogeni dari salah satu dari dua haplotipe, yang dibedakan hanya pada transisi basa di 16050, 16113 dan 16255 dari d-loop mitokondria. Hal ini juga menggambarkan bahwa domestikasi sapi Afrika terpisah dari sapi taurine. Hasil studi mtDNA ini juga telah dikonfirmasikan dengan hasil studi menggunakan mikrosatelit
15 (MacHugh et al. 1997; Loftus et al. 1999; Hanotte et al. 2002), yang disimpulkan bahwa sapi Afrika berawal dari benua tersebut dan adanya introduksi genetik dari sapi Eropa dan Timur Dekat. DNA mitokondria hewan berukuran kecil (sekitar 15-20 kb) berupa molekul sirkuler, terdiri atas sekitar 37 gen yang mengkode 22 tRNA, dua rRNA dan 13 mRNA, yang terakhir gen yang mengkode protein utama termasuk transport elektron dan fosforilasi oksidatif dari mitokondria. Genom mitokondria tersusun sangat efisien; tanpa intron, memiliki daerah antara (spacer) intergenik yang kecil dimana posisi reading frames kadang-kadang overlap. Daerah kontrol (control region) merupakan daerah non koding utama, dan bertanggung jawab untuk regulasi transkripsi untai berat / heavy (H) and ringan/light (L) dan replikasi untai H. Terdapat banyak molekul mtDNA pada suatu mitokondrion yang menjadikan mtDNA secara alamiah memiliki sumber variasi genetik. Hal ini menjadikan pula mtDNA lebih cepat perbaikan inefisiensi replikasinya (Brown et al. 1982) dibandingkan dengan DNA inti (Clayton, 1991). mtDNA pada awalnya dilaporkan tidak mengalami rekombinasi (Hayashi et al. 1985), tetapi beberapa bukti telah menunjukkan adanya kejadian rekombinasi (Hagelberg et al. 1999). Tingkat kejadian mutasi yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan gen-gen inti telah mengarah pada suatu hasil kumpulan informasi tentang adanya titik-titik mutasi yang memungkinkan dalam diskriminasi spesies hewan yang berdekatan. Hal ini menjadikan catatan pula bahwa mtDNA menunjukkan adanya derajat variabilitas intraspesifik tinggi sehingga dapat pula dijadikan referensi ketika kita mempelajari perbedaan genetik antar organisme yang didasarkan pada polimorfisme (Chow & Inogue 1993).
DNA Mikrosatelit Spesifik pada Kromosom Y Pada dekade terakhir ini beberapa studi telah difokuskan pada analisis kromosom Y mamalia, diantaranya studi kesehatan masyarakat (Jobling & TylerSmith 2000) dan evolusi pembentukan jenis kelamin/sex (Graves 2002). Kromosom Y hanya merupakan bagian dari genom mamalia yang secara eksklusif diturunkan dari jalur paternal/bapak yang kemudian diistilahkan sebagai patrilineal. Sehingga, kromosom Y merupakan penciri unik untuk mempelajari kontribusi hewan jantan
16 terhadap sejarah evolusi suatu spesies, sebagai contoh penciri genetik yang terkait dengan kromosom Y telah memberikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan dalam sejarah filogeografi manusia. (Hammer et al. 1997). Kelangkaan marker pada kromosom Y dan informasi sekuens-nya (Petit et al. 2002) serta level variasinya yang rendah (Hellborg & Ellegren 2004; Meadows et al. 2004; Queney et al. 2001) menyebabkan aplikasi data kromosom Y pada populasi genetik non primata, seperti kuda, sapi dan domba masih sangat jarang ditemukan. DNA mikrosatelit spesifik pada kromosom Y, sebenarnya telah dikembangkan pada manusia untuk diskriminasi populasi yang berdekatan maupun untuk menetapkan hubungan genetik antar populasi yang berbeda (Hammer et at. 1997; Pérez-Lezaun et al. 1997; Seielstad et al. 1999). Tanpa mengesampingkan daerah pseudoautosomal, aksi kromosom Y secara keseluruhan merupakan unit tunggal non rekombinasi, yang merupakan sifat spesifik jantan dan haploid efektif.
Hal ini
membuktikan bahwa awal kejadian kombinasi mutasi dari garis keturunan jantan dipertahankan secara pautan tunggal oleh haplotipe. Variasi genetik pada haplotipe yang tersusun antar populasi telah dikembangkan pada ternak dan telah meningkatkan keberhasilan reproduksi jantan (Nowak 1991). Pada ternak domestikasi yang memiliki indikasi adanya variasi individu dalam populasi berdasarkan penciri molekuler mikrosatelit spesifik pada kromosom Y telah ditunjukkan pula adanya hibridisasi breed dan pola migrasinya (MacHugh et al. 1997; Bradley et al. 1998). Adanya polimorfisme pada mikrosatelit spesifik kromosom Y dapat dijadikan titik awal dalam menyediakan informasi tentang studi variasi genetik paternal pada sapi maupun spesies yang terkait. Indikasi ditemukannya pseudogen hormon pertumbuhan (GH) spesifik jantan pada hewan domestikasi, menunjukkan bahwa kromosom sex dapat mempengaruhi proses diferensiasi individu. Peran kromosom sex terpaut sifat jantan pada hewan penting untuk diketahui secara lebih mendalam misal kemampuan dalam reproduksi. Banyak studi penciri molekuler DNA mikrosatelit dilakukan pada bagian autosom dan jarang pada kromosom sex, terutama kromosom Y. Hasil studi Hanotte et al. (2000) dengan menggunakan penciri mikrosatelit spesifikasi pada kromosom Y INRA23 menunjukkan adanya introgesi pejantan zebu di sapi lokal yang ada di Mozambique dan Zimbabwe yang diduga alel tersebut berasal dari teluk
17 Mozambique, dimana pada masa lalu teluk Mozambique merupakan daerah perdagangan internasional, termasuk perdagangan sapi, sehingga kemungkinan terjadinya introgesi bangsa sapi dari luar sangat besar, termasuk adanya alel pada bangsa sapi Bos taurus yang toleran terhadap penyakit tripanosoma. Hasil penelitian Edwards et al. (2000) dengan menggunakan 4 buah penciri DNA mikrosatelit (INRA124, INRA126, INRA189 dan BM861) menggambarkan dugaan adanya aliran gen pejantan dari bangsa taurine maupun zebu pada populasi hibrid beberapa spesies bovida. Hal yang sama ditemukan pula pada kerbau Afrika, penggunaan penciri DNA mikrosatelit pada kromosom Y mampu menunjukkan adanya perbedaan yang cukup tinggi antara kerbau di daerah Afrika Tengah dengan Afrika Barat Daya. Studi tentang invasi dan sejarah migrasi populasi manusia modern saat ini juga difokuskan pada variasi daerah spesifik jantan pada kromsom Y (male-spesific region of the Y chromosome /MSY). Observasi alel-alel yang diketahui haploid dan tidak terikut dalam rekombinasi X-Y memungkinkan adanya haplotipe-haplotipe yang dapat diidentifikasi untuk menentukan garis keturunan dari jantan. Hal ini terbukti efektifitasnya untuk studi penyebaran populasi global (Kayser et al. 2000, 2001; Deng et al. 2004) serta untuk penentuan waktu terjadinya ekspansi populasi manusia (Shen et al. 2000). Uji garis keturunan jantan juga menjadi bagian penting dalam studi domestikasi spesies, karena ternyata perkawinan terkontrol telah menyebabkan beberapa
pejantan
kontribusinya
menjadi
tidak
seimbang
pada
sejumlah
keturunannya pada generasi yang berbeda. Meskipun masih jarang, beberapa studi filogenetik yang melibatkan kromosom Y telah dilaporkan pada spesies domestikasi dikaitkan variasi MSY. Nilai variasi nukleotida yang sangat rendah antar MSY dilaporkan pada kuda (Lindgren et al. 2004), sapi (Hellborg & Ellegren 2004) dan domba (Meadows et al. 2004). Hal ini terjadi karena daerah kromosom Y umumnya bukan daerah rekombinasi sehingga memiliki lokus tunggal (haplotipe), sebaliknya situasinya sangat berbeda pada autosome (secara umum) dan kromosom X, yaitu kejadian rekombinasi mampu menghasilkan urutan nukleotida hasil penggabungan yang merupakan lokus hasil seleksi.
18 Menurut Meadows et al. (2006), faktor-faktor yang berpotensi terhadap rendahnya tingkat variasi kromosom Y antara lain proses seleksi, sistem perkawinan, pola migrasi, serta mekanisme lain yang menyebabkan rendahnya efektivitas ukuran populasi pejantan. Bradley et al. (1994) telah mengembangkan probe spesifik pada kromosom Y yang dapat membedakan subspesies Bos taurus (taurine) dan Bos indicus (zebu).
DNA Mitokondria (mt DNA) dan Gen cytochrome b (cyt b) Adanya penemuan bahwa terjadinya mutasi di mtDNA dapat menyebabkan penyakit pada manusia telah meningkatkan pula studi di bidang ini agar fungsi mtDNA dapat berjalan baik. Sejumlah faktor seperti ekspresi gen, replikasi DNA dan perbaikan DNA (repair) diperlukan agar fungsi mtDNA sebagai pusat kontrol metabolisme individu dapat berjalan dengan normal. Proses ini dikendalikan dalam inti sel, sebab memerlukan protein yang dikode di dalam inti sel dan kemudian diimpor ke dalam mitokondria. Pada mitokondria vertebrata, replikasi DNA dan transkripsi saling terkait, karena transkripsi RNA diawali pada promotor yang berada di untai ringan (light-strand) yang merupakan primer untuk replikasi mtDNA yang terletak di untai berat (heavy-chain). Studi pada mekanisme transkripsi primer untuk replikasi mtDNA telah mengarah pada isolasi faktor-faktor yang berperan penting dalam replikasi mtDNA dan transkripsinya serta pemahaman tentang bentuk struktur unik nukleotida pada daerah ini. Bentuk mekanisme transkripsi-primer pada vertebrata cenderung konservatif, dan secara umum inisiasi sintesis DNA diketahui pada untai berat (heavy-strand). Pada beberapa organisme, eksistensi mtDNA tidak hanya pada mekanisme replikasi, tetapi juga DNA repair dan rekombinasi (Shadel & Clayton 1997). Sebagian besar sel hewan memiliki genom mtDNA yang berfungsi sebagai informasi genetik tambahan yang berada di inti sel. Pada vertebrata, mtDNA terdapat dalam banyak copy (biasanya 103 – 104 copy/sel) dan hal ini berhubungan dengan ekspresi 13 komponen rantai polipeptida kompleks enzim respirasi yang berada di membran dalam mitokondria. Meskipun kontribusinya hanya sebagian kecil dari sejumlah besar kompleks protein (sedikitnya terdapat 100 polipeptida) dalam proses respirasi, ke 13 polipeptida yang dikode oleh mtDNA diduga sangat esensial sebab
19 polipeptida tersebut diperlukan untuk fosforilasi oksidasi dalam mitokondrion dan juga untuk produksi ATP seluler (Wallace 1992), sedangkan komponen mitokondria lainnya yang dikode gen inti dan dengan target organel spesifik ditransport melalui sistem importasi mitokondria. Molekul mtDNA juga mengkode dua molekul RNA ribosom (rRNA) dan satu set 22 tRNA yang diperlukan dalam translasi mtDNA yang mengkode mRNA dalam matriks mitokondria.
Secara keseluruhan, genom
mitokondria pada vertebrata sangat kompak, yang setiap protein dan gen rRNA selalu diapit sedikitnya satu gen tRNA, sehingga, ekspresi informasi genom mitokondria memerlukan eksistensi tRNA sebagai suatu kejadian utama prosesing RNA, yang dimediasi pada bagian RNaseP mitokondria. Sebagian besar kandungan genetik dan gen yang terdapat di mtDNA sangat konservatif antar spesies vertebrata. Tetapi urutan nukleotida dan organisasi elemen yang mengatur mtDNA, termasuk dalam proses transkripsi dan replikasi dalam genom mtDNA cukup bervariasi. Ukuran genom mitokondria vertebrata bervariasi antara ~16 hingga ~18 kb dan dapat diisolasi sebagai molekul sirkuler tertutup. Dua untai rantai mtDNA dapat dipisahkan pada denaturasi gradien cesium klorida, dengan untai nukleotida yang banyak mengandung G+T dan menyusun untai berat (H-strand) dan untai ringan (Lstrand) (Gambar 2). Beberapa peneliti telah mendeteksi adanya pengaruh sitoplasmik pada sifatsifat sapi perah (Boettcher et al. 1996). Akhir-akhir ini diketahui adanya hubungan antara sifat kuantitatif sapi perah dengan variasi urutan nukleotida mtDNA di daerah d-loop (displacement-loop) (Schutz et al. 1994). Pada studi yang telah dilakukan sebelumnya belum banyak diketahui hubungan antara jalur induk yang memberikan pengaruh genetik sitoplasmik dengan sifat-sifat produksi pada sapi potong (Tess & Robison 1990). Mannen et al. (1998), menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata dari variasi sekuen nukleotida mtDNA pada daerah d-loop terhadap sifat karkas sapi lokal Jepang (Japanese Black Cattle), sehingga hasil ini dapat pula dijadikan dasar untuk studi sejenis pada bangsa sapi lain.
20
Gambar 2 Peta genetik DNA mitokondria pada mamalia (da Fonseca et al. 2008) Data mtDNA telah digunakan secara luas untuk studi struktur populasi (Avise 1994; Simonsen et al. 1998; Goodacre 2002; Carvajal-Carmona et al. 2003; Mannen et al. 2003), karena bagian genom ini dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang variasi dalam populasi maupun antar populasi (Simonsen et al. 1998). Hampir sebagian besar daerah variabel dari sitoplasmik genom mamalia adalah control region (daerah kontrol) DNA mitokondria. Daerah kontrol yang cenderung konservatif antar taxa, telah dapat dikarakterisasi dengan cepat pada urutan maupun panjang basa-nya. Daerah ini sangat sesuai untuk studi analisis genetika populasi. Beberapa hal perlu diwaspadai karena genom mitokondria pada mamalia merupakan sifat yang diturunkan lewat induk (maternal inheritance) serta tanpa rekombinasi, sehingga dapat menyebabkan bias-induk dalam mendiskripsikan struktur populasi. Analisis untuk DNA inti, diantaranya menggunakan penciri mikrosatelit juga diperlukan sebagai pelengkap dalam memberikan data dalam analisis struktur populasi (Simonsen et al. 1998). Protein cytochrome b merupakan salah satu protein yang membentuk kompleks III sistem fosforilasi oksidasi dari mitokondria (Hatefi, 1985). Protein ini hanya dikode oleh satu gen dari genom mitokondria. Ditinjau dari strukturnya, protein ini merupakan suatu protein transmembran yang terdiri atas delapan heliks
21 yang diduga mengandung kedua fungsional reaksi redoks pusat, yakni Qo and Qi (Hatefi, 1985). Semua organisme eukariot memerlukan enzim redoks jenis ini, sehingga konsekuensinya cytochrome b berperan dalam konservasi energi (Trumpower, 1990). Berdasarkan studi mutasi maka telah dapat dikembangkan suatu struktur model cytochrome b yang meliputi sisi transfer elektron dan aksi inhibitornya (Howell & Gilbert, 1988; di Rago et al. 1990), sehingga pemahaman cytochrome b mitokondria berkembang sangat cepat. Akhir-akhir ini gen cyt b juga digunakan sebagai alat dalam mempelajari evolusi molekuler (Kocher et al. 1989; Montgelard et al. 1997; Prusak et al. 2004) dan kedokteran forensik (Bartlett & Davidson, 1992; Zehner et al. 1998; Parson et al. 2000). Mobilitas yang tinggi dari manusia juga perkembangan produk dan teknologi, telah meningkatkan pula masalah pada ketahanan pangan serta punahnya beberapa spesies berharga, sehingga studi yang difokuskan pada karakterisasi sumber daya genetik dan identifikasi spesies berdasarkan gen cyt b saat ini banyak dilakukan di berbagai negara (Prusak & Grzybowski 2004). Gen cyt b telah disekuens secara lengkap ataupun sebagian pada beberapa spesies, seperti mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan dan juga beberapa invertebrata. Informasi penting tentang sekuens gen cyt b untuk spesies yang lebih luas lagi masih diperlukan agar memungkinkan pula untuk mempelajari lebih mendalam tentang mekanisme ekspresi proteinnya tetap terpelihara sesuai dengan fungsinya. Disamping itu, sejumlah penyakit degenerasi syaraf dan kelainan metabolisme juga diketahui berhubungan dengan mutasi pada gen cyt b maupun gen mitokondria lainnya (Lestienne et al. 1999), karena kelainan mitokondria pada beberapa kasus merupakan efek sistemik dari keterlibatan dua genom dan beberapa gen berbeda (Shoffner & Wallace 1990), maka menjadi penting untuk mengetahui peran genetik, biokimia dan karakteristik fungsional protein cyt b, agar dapat menjelaskan pula peran genetik, biokimia dan karakteristik fungsional dari enzim yang membentuk rantai fosforilasi oksidasi. Studi yang bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek variasi sekuens gen cyt b secara alamiah untuk melihat korelasi antara komposisi asam amino dan struktur protein pada suatu spesies menurut Prusak & Grzybowski (2004) sangat penting untuk dilakukan.
22 Sekuens gen cyt b adalah alat yang baik untuk mempelajari filogenetik pada spesies yang berdekatan. Struktur dan fungsi yang konservatif dari gen cyt b seringkali penggunaannya terbatas untuk studi intra-spesifik. Di dalam spesies, sekuens daerah kontrol mtDNA (control region) biasanya menjadi pilihan, sebab strukturnya lebih longgar dan batasan fungsionalnya mengarah pada laju rata-rata substitusi basanya. Daerah variabel gen cyt b menawarkan dua keuntungan (Kocher et al.1989; Matsunaga et al. 1999; Verkaar et al. 2002). Pertama, mtDNA terdapat dalam jumlah ribuan copy per sel (sekitar 2500), terutama berada di jaringan postmitotic, seperti otot skeletal (Greenwood et al. 1999). Jumlah yang banyak ini memungkinkan untuk memperoleh hasil lebih baik terkait dengan kasus fragmentasi DNA dalam kondisi proses aktivitas tinggi (Bellagamba et al. 2001). Kedua, variasi yang besar pada sekuens mtDNA dibandingkan dengan DNA inti, memungkinkan fasilitasi untuk studi diskriminasi spesies hewan yang berkerabat dekat, terutama pada kasus percampuran antar spesies (Hopwood et al. 1999; Prado et al. 2002). Laju substitusi basa pada gen cyt b pada mtDNA mamalia adalah 2.1% per Myr (Million years) (Irwin et al. 1991), sedangkan di daerah kontrol (control region) adalah 8.3% hingga 14.3% (Stewart & Baker 1994). Variasi gen cyt b oleh karenanya dapat digunakan sebagai pendukung dari sudut pandang sejarah evolusi dan hubungan filogenetik suatu individu.
23
BAHAN DAN METODE Bahan Pada penelitian ini digunakan sapi-sapi lokal atau adaptip Indonesia yang secara purposif sampel keseluruhannya berjenis kelamin jantan, yaitu : 1. Sapi Aceh, berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Aceh, berlokasi di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sapi-sapi Aceh tersebut sehari-hari dipelihara secara bebas dalam ranch atau tidak secara intensif dalam kandang. Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput-rumput yang ditanam disekitar lokasi BPTU. Sapi-sapi yang dipelihara di BPTU Sapi Aceh ini berasal dari seleksi sapi beberapa daerah di sekitar wilayah Propinsi NAD. Pada Gambar 3 berikut adalah peta letak geografis dari Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh
24 2.
Sapi Pesisir berasal dari sapi-sapi yang dipelihara pada Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat yang berada di kota Painan. Sapi Pesisir sebagian dipelihara secara terbatas dalam kandang individu dan sebagian lainnya dibiarkan secara bebas dalam ranch. Sumber pakan terbanyak berasal pula dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah UPT BPT-HMT tersebut. Sapi yang dipelihara juga berasal dari hasil seleksi beberapa sapi yang dipelihara oleh masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan.
Pada Gambar 4 ditunjukkan peta
geografis posisi dari Kecamatan Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat.
Gambar 4 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Pesisir
25 3. Sapi Madura, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang – Madura, Propinsi Jawa Timur.
Sapi Madura yang berada
di Kecamatan Jrengik, berasal dari sapi-sapi yang dipelihara oleh masyarakat. Umumnya karena sampel sapi adalah pejantan, maka sapi Madura ini dipelihara secara terbatas dalam kandang individu untuk tujuan pejantan, penggemukan (fattening) bahkan adapula untuk tujuan kontes ternak (lomba karapan atau lomba performans). Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah pemeliharaan sapi tersebut, kecuali konsentrat umumnya membeli dari pedagang. Pada Gambar 5 ditunjukkan peta geografis posisi Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang - Madura, Propinsi Jawa Timur.
Gambar 5 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Madura
26 4. Sapi Bali-Bali, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Sapi Bali (Bali-Bali) berasal dari sapi-sapi yang dipelihara oleh masyarakat di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Umumnya karena sampel sapi adalah pejantan, maka sapi Bali-Bali ini dipelihara secara terbatas dalam kandang individu untuk tujuan penggemukan (fattening). Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah pemeliharaan sapi tersebut, kecuali konsentrat membeli dari pedagang. Sapi yang dipelihara berasal dari beberapa daerah disekitar Kabupaten Tabanan, bahkan ada yang dibeli dari kabupaten lain di Bali, seperti Kabupaten Singaraja dan Jembrana. Pada Gambar 6 ditunjukkan peta geografis posisi Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.
Gambar 6 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Bali
27 5. Sapi Bali-Lombok, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Lingsar dan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sapi umumnya juga dipelihara dalam kandang individu dengan tujuan penggemukan (fattening) (terutama di Lingsar milik perorangan dengan kapasitas 25 ekor) yang menggunakan areal milik Fakultas Peternakan, Universitas Mataram.
Pada
peternakan sapi Bali yang berlokasi di Gunungsari merupakan sapi rakyat anggota suatu kelompok tani ternak.
Secara geografis letak kedua kecamatan lokasi
penelitian untuk sampel sapi Bali asal Lombok sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Lombok
28 6. Sapi Peranakan Ongole (PO), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Sapi PO dipelihara dalam kandang individu maupun massal, karena sapi pejantan yang dipelihara oleh penduduk di Kecamatan Wongsorejo umumnya digunakan sebagai ternak kerja. Meskipun pada akhirnya akan dijual sebagai ternak pedaging, tetapi ternak tidak diperlakukan khusus untuk pengggemukkan, misal dengan pakan yang terukur. Sumber pakan hijauan sebagian besar berasal dari sekitar wilayah peternakan. Di Kecamatan Wongsorejo curah hujan relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain di Kabupaten Banyuwangi, sehingga ketersediaan hijauan cukup memadai bagi peternakan rakyat.
Pada Gambar 8 berikut ditunjukkan peta lokasi
pengambilan sampel darah sapi PO di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur.
Gambar 8 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan Ongole (PO)
29 7. Sapi Peranakan Fries Holland (PFH), berasal dari peternakan rakyat anggota KUD Sapi Perah KOPSAE di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Ternak sapi jantan tidak bisa dimanfaatkan susunya, sehingga sapi jantan PFH milik anggota kelompok KOPSAE umumnya dipelihara untuk tujuan penggemukan sebagai ternak pedaging. Adapun ketersediaan pakan untuk daerah Pujon biasanya kurang mencukupi, karena sapi perah memerlukan hijauan yang cukup agar produktifitasnya terjaga. Selain dari daerah Pujon sendiri, peternak juga mendatangkan pakan hijauan dari daerah lain, misal dari Kediri.
Sedangkan
konsentrat disediakan oleh koperasi susu dengan cara membeli dari hasil penjualan susu sapi. Secara geografis letak Kecamatan Pujon sebagai lokasi penelitian untuk sampel darah sapi Peranakan Friesien Holland (FH) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9 berikut ini.
Gambar 9 Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan FH (PFH)
30 Pengambilan sampel darah berupa sel darah total sejumlah 10 ml diambil dari vena jugularis sapi, kemudian diawetkan dalam 10 % larutan EDTA yang dikoleksi pada beberapa lokasi dimana terdapat sapi-sapi lokal tersebut, yang selanjutnya diekstraksi dengan metode standart fenol-kloroform untuk digunakan sebagai sumber DNA genom. Penciri DNA mikrosatelit memanfaatkan sejumlah penciri DNA mikrosatelit dari sapi (bovine microsatellite) yang telah
ada
sebelumnya, terutama pada
kromosom Y dengan harapan dapat teridentifikasi alel-alel lain yang muncul pada sapi-sapi lokal Indonesia.
Adapun DNA mikrosatelit yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 7 lokus sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 1 Nama lokus, urutan primer, rata-rata ukuran alel dan referensi mikrosatelit pada kromosom Y yang digunakan dalam penelitian No.
Nama
Urutan Primer (5’- 3’)
Lokus 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07.
Rata-rata
Referensi
Ukuran Alel
DYS3
GAG CCT GTG TGT GTA TAC AC
(INRA008)
GGC ACT TTC CTC TCC TGT CGC G
DYS4
CCT AGC GAC TGT CCA AGC G
(INRA057)
CAC GGG CTG AGA ATT CAA AAC
DYS5
TGT GCA GCA CCT TGT CTC C
(INRA062)
ACA TGC ATG TGC TTG TGT CG
DYS6
GAT CTT TGC AAC TGG TTT G
(INRA124)
CAG GAC ACA GGT CTG ACA TG
DYS7
TCT AGA GGA TCA AGG ATT TGT G
(INRA126)
AAT CCA TGG AAA GAT GCA CTG
DYS199
AAT AGG TTG ACC TGA CAA TGG
(M3)
TCA TTT TAG GTA CCA GCT CTT
INRA189
TAC ACG CAT GTC CTT GTT TCG G CTC TGC ATC TGT CCT GGA CTG G
140
Vaiman et al. (1994)
125
Vaiman et al. (1994)
150
Vaiman et al. (1994)
130-132
Vaiman et al. (1994)
182-186
Vaiman et al. (1994)
113
Underhill
et
al. (1996) 68-124
Kappes et al. (1997)
Demikian pula untuk deteksi urutan DNA mitokondria didasarkan pada sekuen yang ada sebelumnya, baik dari data hasil penelitian dalam jurnal maupun data yang terdapat dalam GenBank. Dalam hal daerah mitokondria yang digunakan sebagai
31 daerah target adalah daerah gen cyt b dari mtDNA sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 10, sedangkan primer gen
cyt b sebanyak dua primer dengan urutan
oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari mtDNA sapi domestikasi (Verkaar et al. 2002).
Segmen Target Amplifikasi
Gambar 10 Daerah gen cytochrome b sebagai target amplifikasi PCR Hasil penelitian ini diharapkan akan mendapatkan data-data dasar tentang penciri DNA lebih banyak, sehingga dapat memberikan sumbangan informasi untuk melengkapi peta genom sapi yang sudah ada. Selain itu, uji kemurnian bangsa sapi dapat dilakukan berdasarkan penciri DNA yang digunakan, dengan harapan bahwa
32 kemurnian genetik masih tetap terjaga. Hal ini penting karena dapat digunakan sebagai upaya konservasi plasma nutfah yang ada.
Tahapan Penelitian Pada penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : 1) deteksi polimorfisme alelalel mikrosatelit kromosom Y pada sapi-sapi lokal sampel (Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO, dan PFH; 2) deteksi variasi urutan nukleotida dari mtDNA (haplotipe) pada gen cyt b sapi-sapi lokal sampel (Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO, dan PFH; dan 3) mencari pola variasi genetik dan hubungan genetik (filogenetik) antar sapi-sapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit pada kromosom Y dan haplotipe mtDNApada gen cyt b. Analisis polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit dan haplotipe gen cyt b pada mtDNA didasarkan pada jumlah dan frekuensi serta distribusi alel dari produk PCR dengan primer sekuen pengapit DNA mikrosatelit dan mtDNA pada daerah gen cyt b. Penentuan jarak genetik (filogenetik) antara sapi-sapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit ditetapkan dengan Metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA) (Sneath & Sokal 1973), sedangkan konstruksi pohon genetik digunakan perangkat lunak MEGA (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) version 4.0. (Tamura et al. 2007). Penggunaan penciri DNA mikrosatelit dengan pertimbangan bahwa DNA mikrosatelit merupakan penciri molekuler yang memiliki keunggulan dibandingkan penciri molekuler lainnya, antara lain tersebar sangat banyak di genom, polimorfisme tinggi, diskriminasi tinggi hingga perbedaan satu basa dan dapat dengan mudah diamplifikasi dengan reaksi PCR. Penggunaan penciri mtDNA diantaranya untuk mengetahui pola evolusi molekuler (molecular clock) pada individu berdasarkan perubahan yang terjadi pada urutan basanya atau mutasi, sehingga dapat pula digunakan sebagai alat penduga terjadi perubahan struktur genetik suatu spesies.
33
Metode Koleksi dan Ekstraksi DNA Genom Sapi DNA
genom sapi
diisolasi dari sel darah utuh (whole blood). Darah
ditampung menggunakan tabung vaccutainer dari vena jugularis (+ 10 ml) dengan pengawet larutan EDTA 10 %. Prosedur ekstraksi DNA darah didasarkan pada metode standar fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989) dengan modifikasi waktu inkubasi sampel lebih pendek. Secara ringkas prosedur ekstraksi yakni sampel darah 250-500 µl ditambah larutan penyangga pelisis (lysis buffer), vortex secukupnya dan sentrifugasi untuk mendapatkan pelet. Selanjutnya, ditambahkan larutan pencuci (rinse buffer) dan dilakukan vortex sampai endapan larut. Kemudian ditambahkan larutan digesti (digestion buffer), enzim Proteinase K dan RNAse dan diinkubasikan overninght pada suhu 55ºC. Setelah sampel tercerna semua, ditambahkan fenol dan dilakukan vortex atau digunakan rotary mixer agar larutan tercampur sempurna. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 2 menit, kemudian supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf
baru. Supernatan diberi
fenol-
klorofom (1:1) dengan volume yang sama, kemudian divortex dan disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan etanol absolut (100%) untuk presipitasi DNA, kemudian dilakukan sentrifugasi untuk mengendapkan pelet DNA tersebut. Selanjutnya etanol absolut dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol. Kembali pelet diendapkan dengan sentrifugasi 13000 rpm. Setelah sentrifugasi ethanol secara hati-hati dibuang agar pelet DNA tidak ikut terbuang. Material/pelet DNA yang mengendap dalam tabung dikeringkan dengan bantuan aspirator. Setelah kering, pelet DNA ditambahkan larutan TE dan disimpan dalam freezer untuk proses selanjutnya. Setelah DNA hasil isolasi dimurnikan dan diketahui konsentrasinya, maka dipreservasikan untuk disiapkan sebagai cetakan (template) pada reaksi PCR. Adapun prosedur purifikasi dilakukan sebagaimana pada proses ekstraksi DNA.
Reaksi Polimerase Chain Reaction (PCR) Pada reaksi amplifikasi DNA (reaksi PCR), DNA genom sapi digunakan sebagai cetakan (template) dengan pasangan primer (mix) sekuen pengapit (flanking sequence) nukleotida DNA mikrosatelit (Forward dan Reverse).
34 Amplifikasi daerah target DNA mitokondria digunakan primer yang mengapit daerah gen cyt b (Anderson et al. 1982). Primer DNA mikrosatelit yang digunakan sebanyak 7 buah, merupakan primer yang dirancang dan telah diaplikasikan pada bangsa sapi (bovine microsatellite). Berdasarkan informasi ini diharapkan dapat diperoleh pula informasi khusus untuk sapi-sapi lokal di Indonesia. Primer DNA mitokondria pada gen cyt b menggunakan sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari DNA mitokondria sapi domestikasi (Verkaar et al. 2002). Reaksi PCR untuk DNA mikrosatelit dilakukan dengan volume total 25μl dari campuran larutan yang terdiri atas DNA Taq Polimerase dan 10 X buffer Taq Polimerase (100 mM Tris-Cl, pH 8.3; 500 mM KCl; 15 mM MgCl2; 0.01 % gelatin); dNTP’S mix (dGTP, dATP, dTTP dan dCTP) (Pharmacia); dan dH2O steril. Kondisi untuk reaksi PCR dalam mesin thermocycler dirancang dengan suhu pradenaturasi 95o C, denaturasi 95o C, annealing 58-60o C, perpanjangan 72o C dan pasca PCR 4o C.
Perbanyakan siklus diulang sebanyak 35-40 kali. Untuk reaksi
PCR amplifikasi dari DNA mitokondria gen cyt b dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Nijmann et al. (2003), yang terdiri atas suhu denaturasi 95o C selama 45 detik, suhu annealing 58o C selama 45 detik dan suhu perpanjangan (extension) 74o C selama 45 detik. Verifikasi produk PCR sebelum dilakukan sekuensing melalui separasi dengan elektroforesis gel agarosa 1.5 %. Sekuensing purifikasi produk digunakan kit produk dari Qiagen.
Penentuan Polimorfisme Alel-alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Pada Genom Sapi Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pola polimorfisme DNA yang diperoleh dari polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit hasil produk PCR dengan DNA cetakan (template) berasal dari genom sapi dan primer merupakan sekuen DNA pengapit daerah mikrosatelit. Produk PCR dipisahkan dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamid (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak
35 (silver staining) untuk memperoleh pola pita DNA. Pola pita inilah yang digunakan untuk deteksi polimorfisme alel DNA mikrosatelit secara manual. Fragmen DNA produk PCR dideteksi dari pola pita yang berbeda hasil elektroforesis setelah diwarnai dengan pewarnaan perak (silver staining) menurut petunjuk Guillemet & Lewis (Tegelström 1986) dengan modifikasi pengurangan waktu perendaman masing-masing larutan yang digunakan. Metode pewarnaan perak cukup efektif dalam mengurangi back ground dan meningkatkan sensitivitas. Penentuan posisi pita DNA dilakukan secara manual (Leung et al. 1993). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memudahkan pengamatan : 1. Semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama, diasumsikan sebagai lokus yang homologus. 2. Masing-masing pita DNA ditandai (dapat menggunakan tinta berwarna), setiap tanda mewakili satu posisi pita DNA tertentu.
Hal ini dimungkinkan dengan
menempelkan plastik transparan pada membran nilon atau film X-ray / foto gel. 3.
Bila lane (jalur) DNA yang
dibandingkan terpisah satu sama lain dapat
digunakan alat tertentu (misal mistar) untuk membantu menentukan posisi pita DNA. 4. Data profil DNA merupakan data alel yang teramati dengan ketentuan ada dan tidaknya pita DNA berdasarkan ukuran produk PCR pada satu posisi yang sama dari beberapa individu yang dibandingkan. Pita alel DNA yang muncul merupakan karakter haplotipe karena mikrosatelit merupakan kromosom Y Pita yang muncul pada gel poliakrilamid dengan pewarnaan perak pada masing-masing lokus diasumsikan sebagai alel DNA mikrosatelit. Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel dari masing-masing individu sampel. Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit dihitung berdasarkan rumus : x i = (2nij + Σ nij) /(2n) j≠1
dengan : xi = frekuensi alel ke i nij = jumlah individu untuk genotip ij n = jumlah alel
36 Keragaman genetik diukur dengan nilai rataan heterosigositas (H) pada semua lokus, baik lokus yang polimorfik maupun monomorfik. Lokus polimorfik apabila frekuensi alel yang diperoleh adalah sama atau kurang dari 0.99 (Nei 1987). Adapun formulasi untuk memperoleh nilai heterosigositas (h) untuk setiap lokus adalah :
(1 − ∑ Xi ) h = 2n 2
(2n − 1)
dengan : h xi n
= heterosigositas lokus = frekuensi alel lokus ke-i = jumlah individu sampel
Rataan heterosigositas (H) untuk keseluruhan lokus dalam populasi dihitung dengan formula : r H = ∑ hj / r j=1 dengan : H = rataan heterosigositas seluruh lokus hj = heterosigositas lokus ke-j r = jumlah lokus Ragam heterosigositas dari setiap lokus dapat diperoleh dengan formulasi :
V, 1(h)
2 = -------------- {2(2n - 2) {∑ xi3 - (∑ xi2)2} + ∑ xi2 - (∑ xi2)2} 2n(2n - 1)
dengan : V (h) = ragam heterosigositas setiap lokus xi = frekuensi alel lokus ke-i n = jumlah individu sampel
37
PIC (Polymorphic Information Content) Frekuensi alel digunakan pula untuk menentukan nilai PIC, yakni suatu nilai yang dapat digunakan sebagai penentu derajat informasi tingkat polimorfik dari suatu marker yang digunakan (Botstein et al. 1980). Formulanya adalah :
k
k −1
k
PIC = 1 − ∑ Pi − ∑ ∑ 2 Pi Pj 2
i =1
2
2
i =1 j =i +1
dengan : PIC = Polymorphic Information Content K = jumlah alel Pi dan Pj = frekuensi alel ke i dan ke j Penentuan Variasi Urutan Gen Cytochrome b Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran variasi urutan DNA yang diperoleh dari hasil perunutan (sekuensing) produk PCR dengan DNA cetakan (template) berasal dari genom sapi dan primer merupakan sekuen DNA pengapit daerah gen cyt b dari mtDNA sapi. Proses sekuensing produk PCR gen cyt b menggunakan mesin perunut otomatis ABI PRISM 377 (Applied Biosystems, Foster City, CA, USA). Kegiatan perunutan (sequencing) nukleotida gen cyt b dilaksanakan di 1st BASE Laboratories Sdn.Bhd., Malaysia. Produk PCR dirunut dengan mesin sequencer untuk mengetahui adanya perbedaan urutan gen cyt b,Urutan DNA yang muncul dari hasil runutan ini yang digunakan untuk deteksi variasi gen cyt b. Kemiripan susunan urutan nukleotida gen cyt b ditentukan menggunakan metode alignment (pensejajaran) dengan perangkat lunak ClustalW (Thompson et al. 1997). Jarak genetik standar (Ds) Nei (1972) digunakan untuk membandingkan jarak genetik setiap individu dari populasi sampel. Konstruksi topologi pohon genetik ditentukan dengan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method with Arithmatic mean) (Nei 1991) menggunakan perangkat lunak MEGA ver. 4 (Tamura et al. 2007), nilai boostrap dihitung dengan ulangan sebanyak 1 000 kali.
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Sifat Kuantitatif Sapi Lokal Koleksi data vital statistik sampel penelitian, yakni sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi Madura, sapi Bali di Bali (Bali-Bali), sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), sapi Peranakan Ongole (P.O) dan sapi Peranakan Friesien Holland (PFH) diperoleh dengan metode sub sampling dari populasi sapi secara purposif dengan jenis kelamin ditetapkan seluruhnya jantan. Pada penelitian ini tidak dilakukan sampel terhadap sapi betina karena lokus mikrosatelit yang diuji seluruhnya merupakan mikrosatelit di kromosom Y. Jumlah indvidu sapi yang diambil sebagai sampel berturut-turut sapi Aceh sebanyak 25 ekor, sapi Pesisir 15 ekor, sapi Madura 25 ekor, sapi BaliBali 20 ekor, sapi Bali-Lombok 25 ekor, sapi PO 25 ekor dan sapi PFH sebanyak 25 ekor. Pada Tabel 3 ditampilkan rata-rata panjang badan, lingkar dada, tinggi badan dan volume scrotum sapi-sapi sampel. Tabel 2 Rata-rata panjang badan, lingkar dada, tinggi badan dan volume scrotum dari berbagai populasi sapi jantan penelitian Bangsa Sapi
Aceh Pesisir Madura Bali-Bali BaliLombok PO PFH
Jumlah Individu Diamati (ekor) 25 15 25 20 25
Panjang Badan (cm) + sd
Lingkar Dada (cm) + sd
Tinggi Badan (cm) + sd
Volume Scrotum (cc) + sd
102.95 + 07.80 101.97 + 23.35 121.64 + 15.49 112.60 + 08.51 111.76 + 07.66
134.76 + 14.55 123.59 + 29.00 152 + 21.63 166.45 + 06.62 144.64 + 08.79
102.96 + 08.44 99.71 + 23.19 121.36 + 09.77 119.10 + 03.85 112.76 + 05.08
188 + 14.72 245.53 + 54.12 416 + 96.78 460 + 87.93 352 + 84.16
25 25
135.30 + 13.27 159.40 + 15.63
173.84 + 16.94 182.56 + 17.97
139.16 + 10.90 140.76 + 10.39
534.80 + 151.25 1032 + 174.93
Hasil observasi terhadap variabel ukuran linier pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sapi Peranakan Frisien Holstein (PFH) memiliki volume scrotum terbesar (+ 1032 cc) dibanding bangsa sapi lainnya. Hal ini dapat dinyatakan bahwa sapi ini memiliki kapasitas produksi sperma lebih banyak. Sapi PFH merupakan salah satu bangsa sapi dari spesies Bos taurus, yang apabila dibandingkan secara umum dengan
39 bangsa sapi Asia (Bos indicus) secara karakteristik fenotipe maupun liniernya lebih tinggi, baik karakter sapi perah maupun sapi potong. Sapi Bali maupun sapi Madura sebenarnya termasuk sapi potong asli Indonesia yang memiliki keunggulan spesifik lokal meskipun secara ukuran linier tubuh lebih kecil. Diantara keunggulan yang dimiliki oleh kedua sapi tersebut adalah kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stress di lingkungan tropis, dalam keadaan pakan yang kurang baik mampu hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik; serta tahan terhadap serangan caplak, meskipun sapi-sapi tersebut termasuk memiliki bentuk tubuh kecil dengan variasi berat badan sekitar 250 - 350 kg. Pada sapi Madura misalnya apabila dilakukan pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan yang berkualitas ternyata mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg (Disnak Jatim, 2001). Sapi PO merupakan salah satu jenis sapi adaptif Indonesia yang mempunyai potensi besar sebagai penyedia daging. Sapi jenis ini mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang baik (Yuari, 2008). Kondisi sapi PO sebagai sapi potong lokal sekarang ini telah mengalami degradasi produksi dan banyak dijumpai dengan ukuran tubuh kecil. Penurunan tersebut terjadi akibat menurunnya mutu genetik sapi PO. Perbaikan mutu genetik perlu diupayakan guna meningkatkan produktivitas sapi PO, sehingga diharapkan dapat mendukung potensi sapi adaptif Indonesia yang ada. Menurut Astuti et al. (1983) dan Keman (1986), produktifitas ternak potong di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain, namun sebenarnya masih dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam aplikasinya kedua aspek tersebut sangat disarankan. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian ini bahwa produktifitas sapi lokal asli Indonesia umumnya masih rendah, sehingga harus mendapatkan perhatian serius mengingat potensi lokal yang dimilikinya. Searah dengan perkembangan teknologi DNA, maka keragaman genetik, kesamaan genetik dan jarak genetik pada sapi beberapa sapi lokal yang berasal dari berbagai wilayah atau letak geografis berbeda dapat dipelajari. Keragaman genetik
40 ini dapat dipelajari dengan melihat variasi alel DNA berdasarkan penciri genetik molekuler. Keragaman genetik ini sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak, karena dengan diketahuinya keragaman genetik ternak dimungkinkan untuk membentuk bangsa ternak baru melalui seleksi dan sistem perkawinan. Hal ini penting karena dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan outbreeding dengan menggunakan sapi jantan dari wilayah lain. Berkaitan dengan sumber daya genetik, sapi lokal Indonesia diketahui memiliki variasi genetik cukup besar. Meskipun secara umum sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia diduga memiliki tetua umum dari Banteng, namun dari beberapa studi molekuler yang telah dilakukan, hasilnya masih menunjukkan adanya variasi genetik cukup tinggi.
Demikian pula secara fenotipik, beberapa wilayah telah
menetapkan pula bangsa atau breed sapinya menurut kriteria lokal setempat, seperti sapi Aceh dan Pesisir maupun sapi Bali dan Madura yang diyakini merupakan bangsa sapi tertua di Indonesia yang mewarisi komposisi genetik terbesar dari Banteng. Hal ini selain merupakan tantangan untuk mendapatkan spesifikasi secara molekuler sapi-sapi lokal yang ada, juga merupakan peluang yang besar dalam upaya untuk
manajemen
konservasi
plasma
nuftah
sapi-sapi
lokal
tersebut.
Pertimbangannya bahwa dengan semakin banyaknya informasi alel-alel yang ada pada sapi-sapi lokal tersebut, maka diharapkan menjadi bagian dari data base (datadata dasar) bagi potensi genetik sapi-sapi lokal Indonesia. Apabila dikehendaki adanya profil secara molekuler sapi-sapi lokal Indonesia, maka meskipun masih terbatas, data-data dasar tersebut telah diperoleh. Studi molekuler genetik perlu diupayakan secara terus-menerus agar semakin lengkap data base sapi-sapi lokal Indonesia, terutama sangat penting dalam upaya perlindungan plasma nuftah sapisapi lokal Indonesia. Bangsa-bangsa sapi lokal yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 11.
411
Gambar 11 Baangsa-bangssa sapi-sapi yyang digunaakan dalam penelitian deengan G jeenis kelamin jantan
42
Isolasi DNA Genom dan Reaksi Amplifikasi PCR Metode yang paling lama dan banyak digunakan untuk isolasi DNA dari darah adalah metode fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989). Hal ini karena fungsi kedua bahan kimia tersebut sebagai penghancur lemak dan protein jaringan cukup signifikan. Pada perkembangannya, kini telah tersedia pula berbagai macam dan merk produk untuk teknik isolasi DNA secara kit (Qiagen 2009). DNA genom sapi hasil isolasi sebagai materi template (cetakan) memiliki nilai kemurnian rata-rata 1.7 berdasarkan nilai OD 260/280 nm menggunakan spektrofotometer UV visible Shimadzu.
Hasil ini cukup baik karena nilai pembacaan OD 260 nm yang
disarankan berada pada kisaran 1.5 – 1.8, artinya semakin tinggi nilai tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kemurnian DNA hasil isolasi. Sebagaimana pendapat Kephart (1999) bahwa performans terbaik DNA hasil isolasi dari darah dapat diperkirakan dari pembacaan spektofotometri. Sehingga tingkat kemurnian DNA akan menentukan pula dalam proses selanjutnya, misalnya untuk PCR. Pada Gambar 12 merupakan dari hasil isolasi DNA yang digunakan dalam reaksi PCR. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1000 bp
500 bp
100 bp
Gambar 12 Contoh hasil isolasi DNA genom sapi pada sapi PFH. 100 bp = weight marker. Nomor 1 – 16 pita DNA.
43
Jenis dan Frekuensi Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Genom Sapi Pada penentuan jenis alel, meskipun setiap lokus menggunakan kode alel yang sama (misal alel A pada mikrosatelit INRA 008 dan A pada INRA 057), alel tersebut sebenarnya berbeda karena masing-masing lokus mikrosatelit mencirikan genotip berbeda. Jadi, dalam hal ini alel A pada mikrosatelit INRA 008 berbeda dengan alel A pada mikrosaelit INRA 057 demikian seterusnya. Ketentuan alel berlaku sama untuk melihat perbedaan antar populasi, artinya alel A dengan ukuran tertentu dari mikrosatelit INRA 008 yang terdapat pada sapi Bali sama dengan alel mikrosatelit INRA 008 pada sapi Madura. Berdasarkan ketentuan ini dapat dianalis kesamaan atau perbedaan genetiknya atau genetic similarity, karena lokus mikrosatelit terletak hanya pada kromosom Y, maka alel yang diperoleh merupakan sistem haploid bukan diploid. Pada Gambar 13a dan 13b ditampilkan contoh hasil separasi produk PCR mikrosatelit kromosom Y dengan pewarnaan perak (silver staining). Pada Gambar 13a merupakan contoh adanya ukuran alel berbeda dalam satu lokus (lokus INRA 126), sedangkan pada Gambar 13b, contoh ukuran alel yang sama dalam satu lokus (hemizygous) (lokus INRA 189).
1 2 3 4 5 6 7
Gambar 13a Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 126 genom sapi PO. M = 100 bp ladder. Nomor 1-7 sampel sapi PO. Huruf A dan B kode alel mikrosatelit.
44
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 13b Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 189 (hemizygous) genom sapi Bali-Bali. M = 100 bp ladder. Nomor 1-9 sampel sapi Bali-Bali. Huruf A kode alel mikrosatelit.
M
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 13c Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus mikrosatelit INRA 057 (multicopy event) genom sapi PFH. M = 100 bp ladder. Nomor 1-8 sampel sapi PFH. Huruf A alel mikrosatelit.
45 Jumlah alel tertinggi sebanyak dua alel ditemukan pada semua lokus mikrosatelit (Tabel 4), pada masing-masing populasi sapi yang diamati, sedangkan jumlah ratarata alel pada seluruh populasi (tujuh bangsa sapi) adalah 1.8, dan secara keseluruhan jumlah alel masih cukup rendah (1 hingga 2 buah).
Studi ini menggunakan
mikrosatelit pada kromosom Y dan mendapatkan adanya fenomena rata-rata jumlah alel yang rendah pada daerah kromosom Y. Menurut Meadows et al. (2006), hal ini disebabkan adanya beberapa faktor potensial, diantaranya faktor seleksi, sistem perkawinan, atau pola migrasi, serta mekanisme lain yang berakibat pada rendahnya jumlah pejantan efektif untuk ukuran populasi. Daerah kromosom Y merupakan daerah non-rekombinan yang effektif dan hal ini sangat mudah menerima pengaruh tekanan seleksi akibat aksi suatu sekuens tertentu pada kromosom, dengan pengecualian pada daerah pseudoautosomal. Kondisi ini sangat berlawanan dengan situasi di autosom dan kromosom X, dimana rekombinasi dapat menghasilkan sekuens dari gabungan beberapa lokus. Pada penelitian ini ditemukan fenomena yang menarik, yakni terdapat beberapa individu yang memiliki alel ganda (multi alel) dalam satu lokus, sebagai contoh lokus mikrosatelit INRA 057 pada sapi PFH individu 3, 4, 5 dan 7 (Gambar 13c, ) dan INRA 189 pada sapi Aceh (gambar tidak ditampilkan). Hal ini dapat diasumsikan karena lokus mikrosatelit pada kromosom Y, maka kejadian alel ganda semestinya tidak terjadi karena alel dalam kondisi haplotipe. Menurut pendapat Liu et al. (2003), kejadian multi-alel dan bentuk multi-pita DNA mirip tangga (ladderlike bands) merupakan salah satu gambaran peristiwa unik dari mikrosatelit kromosom Y yang dinamakan kejadian multi-copy hemyzygous lokus mikrosatelit. Hasil penelitian Edwards et al. (2000) juga menemukan beberapa alel ganda pada lokus mikrosatelit kromosom Y, misal lokus INRA 126 pada sapi Bos taurus maupun Bos indicus. Menurut Liu et al. (2003), kejadian alel ganda maupun multi-alel (multi-copy alel) disebabkan oleh salah satunya karena letak lokus mikrosatelit pada daerah Pseudoautosomal (PAR) bukan di daerah Y-spesifik male (MSY). Daerah PAR merupakan daerah ujung kromosom Y yang model pewarisannya mirip daerah autosom. Individu jantan memiliki dua copy sekuen DNA atau gen di kromosom Y. Satu set di daerah PAR dan satu set pasangannya di daerah kromosom X, sehingga
46 individu jantan dapat menurunkan alelnya pada kromosom X yang berasal dari ayahnya dan individu betina dapat menurunkan alelnya pada kromosom Y dari ayahnya. Hasil studi Perez-Pardal et al. (2009) membuktikan pula pendapat Liu et al. (2003) yang ternyata mikrosatelit kromosom Y pada lokus INRA 124 dan INRA 126 teramplifikasi pula pada individu betina. Hal ini berarti bahwa alel lokus INRA 124 dan INRA 126 kemungkinan besar dapat menjadi alel ganda karena terdapat pula pada kromosom X
individu betina, sehingga Perez-Pardal et al. (2009) tidak
merekomendasi dua lokus mikrosatelit ini digunakan untuk studi karakterisasi kejadian introduksi genetik pada pejantan.
Hasil studi Edwards et al. (2000),
menunjukkan pula bahwa lokus INRA 126 ternyata dapat teramplifikasi baik di individu jantan maupun betina pada Yak (Bos grunniens). Hal ini mengindikasikan pula bahwa lokus INRA 126 memiliki homologi sekuens yang terdapat pada kromosom X, sehingga fenomena alel ganda atau multi-copy alel yang terdeteksi dalam studi ini merupakan salah satu fenomena bahwa alel mikrosatelit kromosom Y memiliki keunikan tersebut.
Pada penetapan variasi genetik, maka alel ganda
ataupun multi-copy ditetapkan sebagai satu jenis alel karena alel lain merupakan penggandaan atau copy dari alel sesungguhnya, hanya karena adanya proses segregasi maupun rekombinasi terutama pada daerah PAR kromosom Y maka memunculkan kejadian unik tersebut. Jika ditinjau dari teknik laboratorium, menurut Viljoen et al. (2005) saat proses polimerisasi dalam reaksi PCR (in vitro), persentase ketidak stabilan enzim Taq Polymerase yang berakibat pada produk PCR yang tidak sesuai akibat pengaruh suhu adalah sangat rendah (1/9000 atau satu penyimpangan reaksi / 400 nukleotida setelah 30 siklus). Berdasarkan hal ini penulis berasumsi bahwa terjadinya alel ganda atau alel multi-copy terjadi pada fase in vivo (dalam genom), karena pada sampel lain, produk PCR yang diperoleh telah sesuai dengan target. Namun, untuk membuktikan hal ini, perlu dilakukan uji lanjut, misal melalui sekuensing produk PCR. Saran studi sejenis di masa mendatang, apabila terdapat fenomena serupa sebaiknya diikuti proses sekuensing pada lokus-lokus yang diduga memiliki multicopy tersebut agar kejadian tersebut dapat dijelaskan lebih detail.
47 Tabel 3 Tabulasi Data Lokus Mikrosatelit Kromosom Y Sapi Penelitian
Keterangan : 1) jumlah individu sapi yang diuji; 2) jumlah alel; 3) frekuensi alel.
48
Adapun polimorfisme alel yang rendah pada sapi lokal sampel (rata-rata 1.8) dalam studi ini kemungkinan disebabkan oleh variasi genetik pejantan yang cenderung ke arah homogen, atau sampel yang diduga masih belum maksimal mewakili populasi yang ada serta memiliki diversitas letak geografis yang sangat jauh sehingga memungkinkan terjadinya keragaman genetik akibat proses seleksi. Hal lain adalah budaya masyarakat setempat, misal di Bali dan Madura yang sangat membatasi ternak jantannya digunakan sebagai sumber genetik sehingga penggunaan pejantan sangat terbatas. Hal ini dimungkinkan karena selama ini peternak cukup protektif terhadap perkawinan silang sehingga sumbangan keragaman genetik dari luar cukup rendah. Namun, juga tidak diikuti dengan transfer atau perpindahan pejantan dari breed yang sama antar peternak yang secara geografis letaknya cukup jauh, sehingga memungkinkan terjadinya pemanfaatan antar pejantan. Kenyataan lain, peternak rakyat lebih senang memelihara mendapatkan
induk pedet
daripada daripada
pejantan
dengan
penggemukan
tujuan
reproduksi,
pejantan.
Namun,
yakni dengan
pertimbangan bahwa kualitas sapi Madura dan Bali sebagai ikon sapi lokal Indonesia yang saat ini kenyataannya cenderung menurun secara genetis, maka sebenarnya dengan memanfaatkan beberapa marka mikrosatelit maupun gen yang telah diketahui, maka masih dapat dilakukan seleksi lebih lanjut untuk mendapatkan kualitas sapi lebih baik. Namun dari studi ini yang menunjukkan bahwa semua lokus teramplifikasi pada semua populasi sampel, maka mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat jadikan kandidat marker. Terutama pada sapi-sapi yang ditetapkan sebagai breed lokal. Untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan marker mikrosatelit kromosom Y tersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih lanjut atau berulang kali, misal dengan uji keturunan (pedigree) dan segregasi Mendel dengan menggunakan jumlah individu lebih banyak serta cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak domestik di Indonesia ataupun yang terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini.
49
Nilai Heterosigositas (h) dan Indeks Polymorphic Information Content (PIC) Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Efek yang dapat dimunculkan dari heterosigositas adalah dapat dihasilkannya heterosis positif atau over dominance dalam suatu bangsa (Baker & Manwell 1991), walaupun kemungkinan tersebut memerlukan proses seleksi yang ketat dan panjang. Gambaran heterosigositas rendah yang masih ditemukan pada populasi sampel berdasarkan marker mikrosatelit kromosom Y ini dapat mengidikasikan bahwa bangsa sapi lokal diduga mengalami seleksi ke arah peningkatan silang dalam (inbreeding), dan ada kecenderungan pula menurunnya beberapa karakter fenotipik dibandingkan sebelumnya. Nilai heterosigositas ke tujuh populasi adalah antara 0 % hingga 53 %. Nilai heterosigositas (h) tertinggi ditemukan pada lokus mikrosatelit INRA 062 (53 %) pada populasi sapi Pesisir. Hasil ini sebenarnya tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan studi sebelumnya oleh Ginja et al. (2009), yang menganalisis variasi genetik pada sapi Portugis (Bos taurus) dengan sapi Brahman (Bos indicus) dengan menggunakan SNPs dan STRs (mikrosatelit) kromosom Y. Nilai heterosigositas (h) rata-rata pada sapi Portugis adalah antara 0.09 (9 %) hingga 0.30 (30 %) dan sapi Brahman 0 (0 %). Namun hasil dua studi tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan hasil studi Li et al. (2007) pada sapi Ethiopia dengan menggunakan lima lokus mikrosatelit kromosom Y (INRA124, INRA126,
INRA189,
BM861
dan
BYM-1)
yang
mendapatkan
heterosigositas antara 0.541 (54.1 %) hingga 0.795 (79.5 %).
nilai
Hasil ini
menunjukkan bahwa sapi Ethiopia keragaman genetiknya masih cukup tinggi. Menurut petunjuk FAO (1996), untuk menilai variasi genetik antar breed minimum harus terdapat empat alel yang berbeda per lokus (Pandey et al. 2006), sehingga dalam studi ini semua lokus masih belum memenuhi kriteria tersebut. Oleh karenanya, dalam kasus ini, penggunaan penanda ini untuk analisis variasi genetik antar bangsa mempertimbangkan jumlah sampel yang lebih banyak dan letak geografis yang lebih luas. Semakin banyak sampel digunakan akan semakin banyak muncul alel-alel lain sehingga dapat dijustifikasi sebagai alel polimorfik
50
sesuai ketentuan FAO (1996). Nilai heterosigositas di atas 50 %, berarti keragaman genetik dalam populasi tersebut cukup tinggi, sehingga apabila jumlah individu populasi ditambah maka akan menambah tingkat keragaman dalam populasi yang diamati. Harapannya adalah akan dapat ditemukan kandidat marker yang spesifik untuk sapi-sapi lokal Indonesia berdasarkan marker mikrosatelit pada kromosom Y. Hal ini penting karena status pejantan sebagai transmitter (penyebar) karakter genetik tertentu masih dibutuhkan dalam konteks manajemen Inseminasi Buatan di Indonesia. Tabel 4 Nilai heterosigositas (h) dan polimorphic information content (PIC) alel DNA mikrosatelit kromosom Y pada populasi sapi penelitian ACEH
PESISIR
MADURA
BALI
LOMBOK
PO
PFH
LOKUS
h
PIC
h
PIC
h
PIC
h
PIC
h
PIC
H
PIC
h
PIC
INRA 008
0.3
0.24
0.34
0.27
0.43
0.32
0.47
0.34
0.21
0.18
0.43
0.32
0
0
INRA 057
0
0
0.24
0.2
0.43
0.32
0.21
0.18
0.36
0.28
0.3
0.24
0
0
INRA 062
0.47
0.34
0.53
0.37
0.36
0.28
0.3
0.24
0.21
0.18
0.52
0.37
0
0
INRA 124
0.43
0.32
0.34
0.27
0.43
0.32
0.52
0.37
0.47
0.34
0.5
0.36
0.3
0.24
INRA 126
0
0
0.14
0.12
0.3
0.24
0.21
0.18
0.36
0.28
0.36
0.28
0.43
0.32
DYS 199
0.3
0.24
0
0
0.36
0.28
0.3
0.24
0.36
0.28
0.47
0.34
0
0
INRA 189
0.36
0.28
0
0
0.36
0.28
0.21
0.18
0.21
0.18
0
0
0.12
0.11
Rataan
0.27
0.20
0.23
0.18
0.38
0.29
0.32
0.25
0.31
0.25
0.37
0.27
0.12
0.10
Berdasarkan pada nilai polymorphic information content (PIC), marker DNA mikrosatelit kromosom Y menunjukkan nilai antara 0 hingga 0.37, dengan nilai rataan PIC antara 0.10 hingga 0.27, dan dari ketujuh lokus tidak terdapat satu lokuspun yang memiliki nilai PIC lebih dari 0.50. Jadi secara umum ketujuh lokus yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan sebagai lokus yang kurang informatif untuk analisis genetika populasi (Botstein et al. 1980). Meadows et al. (2006), juga menemukan nilai yang rendah pada variasi sekuens nukleotida dari daerah spesifik kromosom Y di beberapa spesies hewan termasuk sapi. Oleh karena itu, studi ini masih memerlukan penelitian lanjutan yang sejenis untuk mendapatkan informasi lokus-lokus yang polimorfik pada penciri mikrosatelit kromosom Y ini. Harapannya akan diperoleh alel-alel lebih banyak lagi sehingga
51
diperoleh lokus mikrosatelit kromosom Y yang lebih polimorfik yang dapat digunakan untuk analisis variasi genetik pada populasi sapi-sapi lokal Indonesia.
Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Diagram hubungan kekerabatan genetik (filogenetik) antar populasi yang dianalisis berdasarkan NTSYS, disajikan pada diagram dibawah ini (Gambar 14).
ACEH
PO
PFH
PESISIR
LI-LOMBOKMW
MADURA
BALI-BALI
BALI-LOMBOK
0.42
0.50
0.57
0.64
0.71
Coefficient
Gambar 14 Diagram filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi DNA mikrosatelit pada kromosom Y Berdasarkan hasil analisis kekerabatan genetik, maka tampak bahwa sapi Bali-Bali dan Madura memiliki kekerabatan genetik paling dekat (> 70 %), dibandingkan sapi Bali-Lombok, tetapi ketiga bangsa sapi asli Indonesia tersebut masih berada dalam satu kluster. Hal ini berati bahwa sapi-sapi tersebut (Madura, Bali-Bali dan Bali-Lombok) memiliki kedekatan genetik berdasarkan alel-alel yang terdapat dalam ketujuh lokus mikrosatelit kromosom Y yang diuji.
52
Meskipun berbeda klaster, namun sapi Pesisir merupakan percabangan dari kelompok tersebut, sehingga dapat diasumsikan bahwa sapi Pesisir lebih dekat secara genetis dengan sapi Bali dan Madura dibandingkan sapi Aceh, sedangkan sapi Aceh lebih berdekatan dengan sapi PO dan PFH. Diantara lokus tersebut terdapat lokus yang spesifik dimiliki oleh Bos indicus (misal INRA 124, INRA 126 maupun INRA 189). Sapi PO merupakan keturunan bangsa sapi Bos indicus, sehingga diduga alel Bos indicus terdapat pada sapi Aceh dalam proporsi lebih besar. Demikian pula sapi PO dan PFH membentuk satu klaster dengan titik percabangannya dengan sapi Aceh. Hal ini diduga terdapat jenis maupun proporsi jumlah alel yang sama pada kedua sapi tersebut dan merupakan campuran antara alel dari Bos taurus dan Bos indicus. Sapi PFH diketahui merupakan keturunan sapi Bos taurus sedangkan sapi PO adalah keturunan Bos indicus. Jarak percabangan genetik cukup jauh (kurang dari 50%) antara sapi Aceh dan klaster PO-PFH, maka diduga variasi genetik individu dalam populasi sapi Aceh dengan sapi PO dan PFH cukup tinggi. Jadi, dengan menggunakan marka DNA mikrosatelit spesifik pada kromosom Y, secara umum telah mampu memberikan gambaran tentang hubungan kekerabatan genetik diantara sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia.
Pada
penelitian ini tidak mendapatkan satupun marka yang menunjukkan nilai PIC lebih dari 50%, maka masih diperlukan marka-marka lain yang sejenis untuk lebih jelas menggambarkan hubungan kekerabatan yang sebenarnya. Hasil studi Cai et al. (2006) pada sapi-sapi Cina dengan menggunakan dua lokus mikrosatelit, yaitu UMN2404 dan UMN0103, masing-masing hanya menghasilkan dua alel yang diduga alel dari sapi Bos indicus dan Bos taurus. Artinya, sapi-sapi di Cina juga merupakan campuran dari kedua spesies tersebut, meskipun ada studi yang menduga bahwa sapi Cina adalah keturunan dari Bos primigenius (Chen et al. 1995). Saat itu ada introduksi bangsa Mongolia ke Cina dengan membawa sapi pula. Bangsa Mongolia saat itu melakukan domestikasi sapi liar keturunan Primigenius yang disilangkan dengan sapi-sapi keturunan Bos taurus. Hal inilah yang diduga penyebab adanya campuran gen sapi-sapi di Cina.
53
Hal serupa juga terjadi dengan sapi-sapi lokal di Indonesia, yang komposisi genetiknya juga menyerupai sebagaimana yang terjadi di Cina tersebut. Hanya situasinya sedikit berbeda. Masuknya gen-gen sapi spesies Bos taurus dan Bos indicus diantaranya karena faktor politik penjajahan saat itu. Kasus yang sama pada sapi Ongole yang diimpor dari India dan kemudian pulau Sumba dijadikan tempat pemurnian sapi tersebut untuk karakter di Indonesia, maka menjadikan sapi ini merupakan bagian dari potensi genetik sapi-sapi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa secara umum susunan genetik sapi-sapi lokal Indonesia merupakan campuran dari genetik Banteng (Bos javanicus) ditambah dengan Bos taurus dan Bos indicus. Demikian pula hasil-hasil penelitian secara molekuler sebelumnya, baik menggunakan golongan darah (Namikawa et al. 1980), protein (Namikawa et al. 1982a; Namikawa et al. 1982b; Noor et al. 2000), DNA satelit dan mikrosatelit autosom (Muladno et al. 2000; Winaya et al. 2000; Verkaar et al. 2002; Verkar et al. 2003; Nijman et al. 2003, Ugla 2008), serta DNA mitokondria ( Nijman et al. 2003; Verkaar et al. 2003; Mohamad et al. 2007 dan Ugla 2008), semua telah menunjukkan bahwa masih terdapatnya unsur genetik Banteng sehingga secara filogenetikpun ada kedekatan jarak antara sapi-sapi lokal Indonesia tersebut dengan Banteng. Berdasarkan studi ini dapat dijadikan acuan bahwa spesifikasi sapi-sapi lokal kita yang saat ini ditetapkan sebagai sapi spesifik Indonesia, diantaranya Aceh, Pesisir, Madura dan Bali harus memiliki proporsi genetik lebih besar dari Banteng. Banteng merupakan salah satu nenek moyang bangsa-bangsa sapi di dunia, terutama di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara berdasarkan temuan sejarah baik fossil maupun binatang yang ada.
Reaksi Amplifikasi Gen cytochrome b Sapi Reaksi PCR dilakukan untuk mengamplifikasi daerah sekuens target yang diinginkan. Produk PCR tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk reaksi perunutan nukleotida gen cyt b Produk PCR yang diperoleh diverifikasi dengan menggunakan gel agarose untuk memastikan produk fragmen gen cyt b sebesar
54
kurang lebih 273 bp (Verkaar et al. 2003). Meskipun demikian tidak semua hasil amplifikasi dapat lolos untuk dilakukan sekuensing, karena harus dilakukan purifikasi terlebih dulu agar meningkatkan kualitas hasil sekuensing. Pada Gambar 15 ditampilkan contoh hasil PCR gen cyt b sebelum dan setelah purifikasi untuk proses reaksi perunutan (sekuensing).
A 1000 bp 500 bp 100 bp
B 1000 bp 500 bp 100 bp
Gambar 15 Produk PCR gen cytochrome b sebelum proses purifikasi (A) dan setelah purifikasi (B). Sekuensing dilakukan pada produk PCR setelah purifikasi. Keterangan : CL = cytochrome b sapi BaliLombok; CO = cytochrome b sapi PO. 100BP = weight marker 100 bp. Apabila dari hasil purifikasi produk tersebut menunjukkan pola pita (band) produk yang spesifik dan bersih (tanpa back draw berlebihan) maka dapat dinyatakan lolos untuk dilakukan proses sekuensing. Adapun produk spesifik amplifikasi pada gen ini sekitar 273 bp. Pada penelitian ini sampel terdiri dari 126 buah, yakni masing-masing sampel sapi terdiri dari 18 buah dan yang lolos untuk proses sekuensing hanya sebanyak 85 sampel. Berdasarkan data hasil sekuensing dengan menggunakan mesin sekuenser ABI PRISM 377, maka kemudian data hasil sekuensing ke 85 sapi ini selanjutnya digunakan untuk analisis data.
55
Sisi Variabel (Variable Site) dan Sisi Konservatif (Conservative Site) Gen cytochrome b Pada DNA Mitokondria Sapi Pada penentuan sisi variabel dan konservatif dari parsial gen cyt b, maka sebelumnya dilakukan alignment (pensejajaran) menggunakan perangkat lunak ClustalX dengan sekuen konsensus (consensus sequence) dari sekeuens gen cyt b Banteng (Bos javanicus) yang diperoleh dari Genebank dengan nomor aksesi (accession number) NC_012706.1. Pada penelitian ini panjang sekuens parsial gen cyt b adalah 230 bp, mulai posisi basa 14691 hingga 14920 dari sekuen komplit gen cyt b (Anderson et al. 1982). Setiap perbedaan sekuen pada urutan basa tertentu berdasarkan sekuen konsensus (consensus sequence), maka merupakan sisi variabel dalam sekuen parsial. Berikut ini berturut-turut dari Tabel 5 hingga Tabel 11 ditampilkan hasil pensejajaran (aligment) dari masingmasing bangsa sapi dibandingkan sekuens konsensus Banteng [NC_012706.1]. Tabel 5 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Aceh (CA) dengan Bos javanicus (NC 012706.1) Urutan NC012706.1 CA1 F CA2 F CA3 F CA4 F CA5 F CA6 F CA7 F CA8 F CA9 F CA11F CA14F CA16F CA17F CA18F Urutan NC012706.1 CA1 F CA2 F CA3 F CA4 F CA5 F CA6 F CA7 F CA8 F CA9 F CA11F CA14F CA16F CA17F CA18F
14641 CTACAAATCC ACAAATCC
14651 TCACAGGCCT TCACAGGCCT
14661 ATTCCTAGCA ATTC NN
14671 ATACACTACA T.T.GAA.A.
14681 CATCCGACAC AG........
G
TGGGTT.CAT NNNT.A.TA. CNNAT.ATA.
AGA.G..... A..A...TCA A...TC.T..
NNGCTT GCGG C.G C.CG.
14701 TTCTCCTCTG .......... .......... .......... .......... .......... N........ .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14711 TTACCCATAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... C.........
14721 CTGCCGAGAC .......... .......... .......... .......... .....*...* .*........ .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14731 GTGAACTACG .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
NN.TA.. .CAACGTAC. TG..GCCG.T GT.GGCT.GA ..TTG. .TG.A.GCGA .......... GGA 14741 GCTGAATCAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14691 AACAACAGCA .......... GCAT...... .......... T.......G. .......... .......... .......... .......... CT.C...... .GAT..T... .......... .CAC...... .......... G.TC..C... 14751 CCGATACATA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
56
Lanjutan Tabel 5. Urutan NC012706.1 CA1 F CA2 F CA3 F CA4 F CA5 F CA6 F CA7 F CA8 F CA9 F CA11F CA14F CA16F CA17F CA18F Urutan NC012706.1 CA1 F CA2 F CA3 F CA4 F CA5 F CA6 F CA7 F CA8 F CA9 F CA11F CA14F CA16F CA17F CA18F Urutan NC012706.1 CA1 F CA2 F CA3 F CA4 F CA5 F CA6 F CA7 F CA8 F CA9 F CA11F CA14F CA16F CA17F CA18F
14761 CACGCAAACG .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... 14881 GTAATAGCCA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ....-..... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14891 CAGCATTTAT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
14781 GTTTTTTATC .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14841 TCTAGAAACA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14901 AGGATACGTC .......... .......... ..-....... .......... .........A .......AAA ..-....... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14791 TGCTTATATA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. 14911 CTACCATGAG ... ...TA ...A ..GAGGAAGA AATAA.AA.. AATAA..CG. ...A ...A ...A ...A ...A ... ... ...A
14801 TGCACGTAGG .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14921 GACAAATATC
14811 ACGAGGCTTA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14871 TCTGCTCACA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14931 ATTCTGAGGA
TGGG . TC
Keterangan * = Insersi nukleotida pada CA5F = A,C & CA6F = T.
Tabel 6 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Pesisir (CP) dengan Bos javanicus (NC 012706.1) Urutan NC012706.1
CP1 CP2 CP4 CP5 CP6 CP7
F F F F F F
14641
14651
14661
14671
14681
14691
CTACAAATCC ACAAATCC
TCACAGGCCT TCACAGGCCT
ATTCCTAGCA ATTC
ATACACTACA NGCTA.AC NNNGNTG C.NGNC
CATCCGACAC AT.A..TA.. TG..T.GGGA .TGAG..G.T TGGG..A.A GTC...TG.T A.GACG
AACAACAGCA C......... T..TC..... .C.C...... G.......T. G..CCAC... .T.CT.....
NCG.
57
Lanjutan Tabel 6. CP8 F CP9 F CP10F CP13F CP14F CP15F Urutan NC012706
CP1 F CP2 F CP4 F CP5 F CP6 F CP7 F CP8 F CP9 F CP10F CP13F CP14F CP15F Urutan NC012706
CP1 F CP2 F CP4 F CP5 F CP6 F CP7 F CP8 F CP9 F CP10F CP13F CP14F CP15F Urutan NC012706
CP1 F CP2 F CP4 F CP5 F CP6 F CP7 F CP8 F CP9 F CP10F CP13F CP14F CP15F Urutan NC012706
CP1 CP2 CP4 CP5 CP6 CP7
F F F F F F
C CATC
14701 TTCTCCTCTG .......... .......... .......... .......... .......... ........*. .......... .CTCT.GT.T .......... .......... .......... .......... 14761 CACGCAAACG .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT .....T...C ..C..T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... .....T.... 14881 GTAATAGCCA .......... .......... .......... .......... .......... ..........
14711 TTACCCATAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... C..G.ATAGC .......... .......... .......... .......... 14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14891 CAGCATTTAT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
14721 CTGCCGAGAC .......... .......... .......... ....*..... .......... .......... .......... GGC.GCCCA. .......... .......... .......... .......... 14781 GTTTTTTATC .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14841 TCTAGAAACA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14901 AGGATACGTC .........T .......... .......... .......... .......... ..........
C.G.TT 14731 GTGAACTACG .......... .......... .......... .-........ .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14791 TGCTTATATA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. 14911 CTACCATGAG ...A ...A ...A ...A ...A ...A
NGT.GGGT GG.AG.GTTT TACACT ACAGGTGAAC ..GAT. TCC.ACGA.. 14741 GCTGAATCAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14801 TGCACGTAGG ........C. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14921 GACAAATATC
T..TC.G... .CT.C.GAT. .......... .......... .......... .......... 14751 CCGATACATA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14811 ACGAGGCTTA ..C....... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14871 TCTGCTCACA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14931 ATTCTGAGGA
58
Lanjutan Tabel 6. CP8 F CP9 F CP10F CP13F CP14F CP15F
.......... .......... .......... .......... .......... ..........
.......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
.......... ..-....... ..-....... .......... .......... ..........
.... .. ...A ... ... ...
Keterangan * = Insersi nukleotida pada CP5F = A & CP7F = C
Tabel 7 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Madura (CM) dengan Bos javanicus (NC 01276.1) Urutan
14641
14651
NC012706.1 CM4_F CM5_F CM8_F CM9_F CM10_F CM11_F CM12_F CM13_F CM14_F CM15_F CM16_F CM17_F CM18_F Urutan NC012706.1 CM4_F CM5_F CM8_F CM9_F CM10_F CM11_F CM12_F CM13_F CM14_F CM15_F CM16_F CM17_F CM18_F
CTACAAATCC
TCACAGGCCT
14661 ATTCCTAGCA
14671
14681
14691
ATACACTACA NGCTTC
CATCCGACAC .......... G..CGAC. TNN.AGT.G NNT. GGGGT.ACT GCC.GC.... ACC.GT..T. ACG.GC.AC. ...TGCGGAT ACC.GC.... GT.TAGT NATTAGC CGG 14741 GCTGAATCAT .......... .......... ......C... .......... .......... .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......... .......T.. .....T.A..
AACAACAGCA .......... AACAACAGCA ..G.TACT.C GGTT...... .C.C...... .......... ..A.CAC… .C..CAGCAT C......... .......... TTA....... .......... GGG.CA.T.C 14751 CCGATACATA .......... .......... ....C.T... .......... .......... T.....-... T......... T......... T......... T......... .......... T......... .-........
.N. GGG.TGG .TTTAC.C NNCAG NT
14701 TTCTCCTCTG ........C. .......... ACTGTTCTGT .......... .......... ........C. ........C. .CTCT...C. ........C. ........C. .......... ........C. ..TCT..T.C
14711 TTACCCATAT ....T..... .......... ..CT.G.A.. .......... .......... ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... .......... ....T..... G.TAT.....
14721 CTGCCGAGAC .......... .......... G..GACGAC. .......... .......... .......... .......... ..CG.C..C.. .......... .......... .......... .......... ........C.
14731 GTGAACTACG .......... .......... CGTGAA.... .......... .......... .......... .......... ...C...... .......... .......... .......... .......... ..........
59
Lanjutan Tabel 7. Urutan
14761
14771
14791
14801
14811
NC012706.1 CM4_F CM5_F CM8_F CM9_F CM10_F CM11_F CM12_F CM13_F CM14_F CM15_F CM16_F CM17_F CM18_F NC012706.1 CM4_F CM5_F CM8_F CM9_F CM10_F CM11_F CM12_F CM13_F CM14_F CM15_F CM16_F CM17_F CM18_F Urutan
CACGCAAACG .......... .......... T.......T. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT ..C..T.... .....T.... C.CGT..CC. ..T..T.... .....T.... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... .....T.... ..C....... ..C.....C. 14881
GAGCTTCAAT .......... .......... ...AC.TT.. .......... .......... .......... .......... .......T.. .......... .......... .......... .......... .......T.. 14831 CTTACACTTT .......... .......... .AC.T.T.CC .......... .......... .......C.. .......... ..C..C.C.. .......C.. .......C.. .......... .......C.. .......C.. 14891
GTTTTTTATC .......... .......... ..C.CCGT.T .......... .......... .........T .........T .........T .........T .........T .......... .........T .........T 14841 TCTAGAAACA .......... .......... .AGCA..TG. .......... .......... C......... C......... C.....C... C......... C......... .......... C......... C.....C... 14901
TGCTTATATA .......... .......... GCGTGTATAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG .......... ........C. AATGC.GGA. ........C. ........C. .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... ........C. .....C.... .....C.... 14911
TGCACGTAGG .......... .......... GCCGAAGGAC .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... TT.TGTCT.G .......... .......... .......... .......... .....CC... .......... .......... .......... .......... .......... 14921
ACGAGGCTTA .......C.. .......... GAGCGTAATT .......... .......... .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......... .......C.. .......C.. 14871 TCTGCTCACA .......... .......... .G.TACATGT .......... .......... ...A..T... ...A..T... ..CA..T... ...A..T... ...A..T... .......... ...A..T... C..A..T... 14931
NC012706.1 CM4_F CM5_F CM8_F CM9_F CM10_F CM11_F CM12_F CM13_F CM14_F CM15_F CM16_F CM17_F CM18_F
GTAATAGCCA .......... .......... A.TGCTA.AG .......... .......... .......... .......... ......C... .......... .......... .......... .......... ..........
CAGCATTTAT .......C.. .......C.. ATATGCC.GG .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
AGGATACGTC .......... .......... GTACGTTTGT .......... .......... .......... .......... ....C..C.. .......... .......... ..-....... .......... ..........
CTACCATGAG ...A ..
GACAAATATC
ATTCTGAGGA
Urutan
14781
...A ...A .. ... ...A ...A ...A ...A ...AG ...A
60
Tabel 8 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Bali-Bali (CB) dengan Bos javanicus (NC 01276.1) Urutan NC012706.1 CB 1_F CB 2_F CB 3_F CB 4_F CB 8 F CB 10 F CB 13 F CB 15 F CB 16 F CB 17 F CB 18 F Urutan NC012706.1 CB 1_F CB 2_F CB 3_F CB 4_F CB 8 F CB 10 F CB 13 F CB 15 F CB 16 F CB 17 F CB 18 F Urutan NC012706.1 CB 1_F CB 2_F CB 3_F CB 4_F CB 8 F CB 10 F CB 13 F CB 15 F CB 16 F CB 17 F CB 18 F Urutan NC012706.1 CB 1_F CB 2_F CB 3_F CB 4_F CB 8 F CB 10 F CB 13 F CB 15 F CB 16 F CB 17 F CB 18 F
14641 CTACAAATCC
14651 TCACAGGCCT
14661 ATTCCTAGCA
14671 ATACACTACA GGG NGC CNACC
14681 CATCCGACAC GTA.ACCAGT A ATGTGTTCTA NAGTCT AC.TAC.G.G
14691 AACAACAGCA G......... ..A....... G.AC...... C......... CT.CTACT.G
NAC GGNACAC
14701 TTCTCCTCTG ........C. ........C. ........C. ........C. ..GCT.C.CC
14711 TTACCCATAT ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... CCGGT..G.G
14721 CTGCCGAGAC .......... .......... .......... .......... .A...CC.T.
14731 GTGAACTACG .......... .......... .......... .......... ...T......
14741 GCTGAATCAT .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. ..........
T.CT...... .......... ANCAGGGCA .......... ....NACTTT 14751 CCGATACATA T......... T......... T......... T......... T.........
........C. ........C. ........C. ........C. AACAACAGCA 14761 CACGCAAACG .......... .......... .......... .......... .CAAA.....
....T..... ....T..... ....T..... ....T..... ..CT..TCCG 14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .......... ..........
.......... .......... .......... .......... TTA.TC.T.T 14781 GTTTTTTATC .........T .........T .........T .........T .........T
.......... .......... .......... .......... C..CCGAGAC 14791 TGCTTATATA .......... .......... .......... .......... ..........
.......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .TGA.C.ACG 14801 TGCACGTAGG .......... .......... .......... .......... ..........
T......... T......... T......... T......... T......... 14811 ACGAGGCTTA .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. ..C....C..
.......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C.......
.......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
.........T .........T .........T .........T .........T 14841 TCTAGAAACA C......... C......... C......... C......... C.........
.......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C....
.......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... .......... .......... ..........
.......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. 14871 TCTGCTCACA ...A...... ...A..T... ......T... ...A..T... ...A..T...
..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C.......
.......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
C......... C......... C......... C......... C.........
.....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C....
.......... .......... .......... .......... ..........
...A..T... ...A..T... ......T... ......T... ...A..T...
NNCCAC.
61
Lanjutan Tabel 8. Urutan NC012706.1 CB 1_F CB 2_F CB 3_F CB 4_F CB 8 F CB 10 F CB 13 F CB 15 F CB 16 F CB 17 F CB 18 F
14881 GTAATAGCCA .......... .......... .......... .......... ..........
14891 CAGCATTTAT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
14901 AGGATACGTC .......... ..-....... ..-....... ..-....... ..........
14911 CTACCATGAG ... ...A ...A ...A ...A
.......... .......... .......... .......... ..........
.......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
.......... .......... .......... .......... ..-.......
.. ... ...AG ...A ...
14921 GACAAATATC
14931 ATTCTGAGGA
Keterangan : CB 10 _F (Urutan nukleotidanya tidak ada yang sama)
Tabel 9 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Bali-Lombok (LB) dengan Bos javanicus (NC 012706.1) Urutan NC012706.1 LB 1 F LB 2 F LB 4 F LB 5 F LB 6 F LB 9 F LB 10 F LB 11 F LB 12 F LB 13 F LB 14 F LB 15 F LB 16 F Urutan NC012706.1 LB 1 F LB 2 F LB 4 F LB 5 F LB 6 F LB 9 F LB 10 F LB 11 F LB 12 F LB 13 F LB 14 F LB 15 F LB 16 F
14701 TTCTCCTCTG ........C. ........C. ........C. ...C.TGTC.T ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C. ........C.
14711 TTACCCATAT ....T..... ..T.T..... ....T..... C...T.....GC ....T..... ....T..... ....T..... C...T..... ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... ....T.....
14721 CTGCCGAGAC .......... .......... .......... T.......C. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
Urutan NC012706.1 LB 1 F LB 2 F LB 4 F LB 5 F LB 6 F
14761 CACGCAAACG .......... .......... .......... .......... ..........
14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .......... ..........
14781 GTTTTTTATC .........T .........T .........T .........T .........T
14641 CTACAAATCC
14651 TCACAGGCCT
14661 ATTCCTAGCA
14671 ATACACTACA
14681 CATCCGACAC NC..T
14731 GTGAACTACG .......... .......... .......... ..........C .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
NNAGACT CGTCG NNNGCT. 14741 GCTGAATCAT .......T.. ....-..T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T-.
14691 AACAACAGCA CTGCT..... NCAAT.C... .......... CT.CGTCATT .......... ..GGT.. T......... G.A....... .TTGG..... .......... .......... .......... .......... 14751 CCGATACATA T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T......... T.........
14791 TGCTTATATA .......... .......... .......... .......... ..........
14801 TGCACGTAGG .......... .......... .......... .......... ..........
14811 ACGAGGCTTA .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
NNNTATG G.GTTA ..GTT.
NAC
ATGT.. T.A.T...GA
62
Lanjutan Tabel 9 LB LB LB LB LB LB LB LB
9 F 10 F 11 F 12 F 13 F 14 F 15 F 16 F
.Urutan NC012706.1 LB 1 F LB 2 F LB 4 F LB 5 F LB 6 F LB 9 F LB 10 F LB 11 F LB 12 F LB 13 F LB 14 F LB 15 F LB 16 F Urutan NC012706.1 LB 1 F LB 2 F LB 4 F LB 5 F LB 6 F LB 9 F LB 10 F LB 11 F LB 12 F LB 13 F LB 14 F LB 15 F LB 16 F
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT ..C....... ..C......C ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... 14881 GTAATAGCCA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. 14891 CAGCATTTAT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
.........T .........T .........T .........T .........T .........T .........T .........T 14841 TCTAGAAACA C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... 14901 AGGATACGTC ..-....... .......... .......... .......... .......... ..-....... .......... .......... .......... ...C...... .......... .......... ..........
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG .......... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... 14911 CTACCATGAG ...A ...TGT ...A ...A ...A ...AG ...AG ... ... ...A ... ...AG ...AA
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14921 GACAAATATC
.......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. 14871 TCTGCTCACA ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..-... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... 14931 ATTCTGAGGA
Tabel 10 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PO (CO) dengan Bos javanicus (NC 012706.1) Urutan NC012706.1 CO1_F CO3_F CO4_F CO5_F CO6_F CO7_F CO10_F CO11_F CO12_F CO13_F
14641 CTACAAATCC
14651 TCACAGGCCT
14661
14671
14681
14691
ATTCCTAGCA
ATACACTACA
CATCCGACAC NACCATG NNNTA.TT.T GNTTGGG GGG.GAGA GGAAG..A.. GGGG..A.A ..C....... NT.. TTA.GTCGCT ..GAGG
AACAACAGCA CCTCCCTGTT .GG.TACTCC .......... ..T.CACTGT T.TC...CAT T.A....... .......... TT.CGTTTTT .CAGGTCCTC GTTCCACC..
N CCCAC..TAC NNG
63
Lanjutan Tabel 10. CO15_F CO16_F CO17_F CO18_F Urutan NC012706.1 CO1_F CO3_F CO4_F CO5_F CO6_F CO7_F CO10_F CO11_F CO12_F CO13_F CO15_F CO16_F CO17_F CO18_F Urutan NC012706.1 CO1_F CO3_F CO4_F CO5_F CO6_F CO7_F CO10_F CO11_F CO12_F CO13_F CO15_F CO16_F CO17_F CO18_F Urutan NC012706.1 CO1_F CO3_F CO4_F CO5_F CO6_F CO7_F CO10_F CO11_F CO12_F
14701 TTCTCCTCTG .CTC.TCTC. AATGTT...C ........C. ........C. G.......C. .......... ........C. TCA.TG..GT A.T.TTCTCT ..T....... ........C. ........C. ........C. C..CGT.ACT 14761 CACGCAAACG -......... ..GCA...A. .......... .......... .......... .......... .......... T......... .......... .......... .......... TT.A...... .......... .......... 14821 TATTACGGGT .CC.CTC... ........C. ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C.......
14711 TTACCCATAT .......... G.TT.T.GGA ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... ....T..... C...T..... G.TT.T.... ..C.T..... ....T..... ....T..... .C..T..... ....T..... 14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ...A...... .......C.. .......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT AC.C.TACC. .......... .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. ..C....C..
N 14721 CTGCCGAGAC .......... AGTGT.... .......... .....C.... .......... .......... .......... T......C.. .GG.G..... ...T....CA .......... .......... .......... .......... 14781 GTTTTTTATC .......... .C.C...... .........T .........T .........T .........T .........T ..C..C...T .....C...T .........T .........T .........T .........T .........T 14841 TCTAGAAACA .....C.T.G .......... C......... C......... C......... C......... C......... C......... CT........
.GGC.C NNT.TTT TNCC.C T..ACACCCG 14731 GTGAACTACG .......... CCGTAGTTAA .......... .......... .......... .......... .......... .....-.... CCG....... .......... .......... .........C .......... .......... 14791 TGCTTATATA .......... C......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG ..CGC.G.A. .......... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C....
.CCGGC.... .CGA..GACC ACC....... G.CA.A...A 14741 GCTGAATCAT .....-.... C.CTCGA.CA .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. .-.CG.C... .....C.AC. .......... .......T.. .......T.. .......T.. .......T.. 14801 TGCACGTAGG .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... C......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT T...CCCT.. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
...C..C... ...TC.T.TT ......C... C.GC.TTCTC 14751 CCGATACATA .......... ..TGATATA. T......... T......... T......... T......... T......... T..........-....... T......... T......... T......... T......... T......... 14811 ACGAGGCTTA .........C .......... .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. 14871 TCTGCTCACA .....C.-.. .......... ......T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T...
64
Lanjutan Tabel 10. CO13_F CO15_F CO16_F CO17_F CO18_F Urutan NC012706.1 CO1_F CO3_F CO4_F CO5_F CO6_F CO7_F CO10_F CO11_F CO12_F CO13_F CO15_F CO16_F CO17_F CO18_F
..C....... ..C....... ..C....... ..C....... ..C....... 14881 GTAATAGCCA ..T.CCA..G ......C... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
.......C.. .......C.. .....C.C.. .......C.. .......C.. 14891 CAGCATTTAT ...T.CCCGTG .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
C......... C......... C......... C......... C......... 14901 AGGATACGTC ..A.CCTT.A .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ...C...... .......... .......... .......... .......... ..-.......
.....C.... .....C.... .....C.... .....C.... .....C.... 14911 CTACCATGAG -.. ...AA ...A ...A ...A ...A ...AG
.......... .......... .......... .......... .......... 14921 GACAAATATC
...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... ...A..T... 14931 ATTCTGAGGA
...A ...ATG.A ...AA ... ... .. ...A
Tabel 11 Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PFH (CH) dengan Bos javanicus (NC 012706.1) Urutan NC012706.1 CH1 F CH2 F CH3 F CH4 F CH5 F CH8 F CH9 F CH10F CH11F CH12F CH13F CH14F CH15F CH16F CH17F Urutan NC012706 CH1 F CH2 F CH3 F CH4 F CH5 F CH8 F CH9 F CH10F CH11F CH12F
14641 CTACAAATCC ACAAATCC
14701 TTCTCCTCTG .......... CAG..TC... .......... CAT.TTC.AT ......C... ......**.. ..T....... ........C. ..T.T..... ..........
14651 TCACAGGCCT TCACAGGCCT
14711 TTACCCATAT .......... ..GT.TCCG. .......... G.TT.TTG.. .......... ....-A.... .......... ....T..... .......... ..........
14661 ATTCCTAGCA ATTC
14671 ATACACTACA C..AACT.
GG.C
CCCA.AGCG. NG
14681 CATCCGACAC .T....GA.. AG.TA NT N .T GTGT N N GGC....GTT TCC...GTTG
GGTG
GGGAA.C..G
GGGT.TTG
GGGGG.GGTC ATTTT. 14741 GCTGAATCAT .......... .....C-... .......... AGCCTCAACC .......... .....-.... .GA.....-.......T.. .......... ..........
14721 CTGCCGAGAC .......... A.TTGCC.C* .......... AA.TGC.... .......... .......... ....GC...G .......... .......... ..........
14731 GTGAACTACG .......... .......... .......... CC.TGA.CTA C......... .......... AGAG.AC..C .......... .......... ..........
14691 AACAACAGCA ..TCCA.... .GT.G..C.G T.T....... NGATTG.CTC GCAT....*. GGAG...C.G GGTT..T..G .......... .CT.C.G.T. GCTCT..... .........T .......... ..ANCAGA.. GGT.G..... ...T...... 14751 CCGATACATA .......... .......... .......... TACG...... .......... .......... .*......C. T......... .......... ..........
65
Lanjutan Tabel 11. CH13F CH14F CH15F CH16F CH17F Urutan NC012706 CH1 F CH2 F CH3 F CH4 F CH5 F CH8 F CH9 F CH10F CH11F CH12F CH13F CH14F CH15F CH16F CH17F Urutan NC012706 CH1 F CH2 F CH3 F CH4 F CH5 F CH8 F CH9 F CH10F CH11F CH12F CH13F CH14F CH15F CH16F CH17F Urutan NC012706 CH1 F CH2 F CH3 F CH4 F CH5 F CH8 F CH9 F CH10F CH11F CH12F CH13F CH14F CH15F CH16F CH17F
NC........ .......... .......... .......... ........C. 14761 CACGCAAACG .......... .......... .......... T.A.....T. .......... ...C...... ....A.C.GA .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14821 TATTACGGGT .....T.... .......... .....T.... .......... .....T.... .........C .T...T..CC ..C....... .......... .....T.... .......... .......... .....T.... .......... ..C....... 14881 GTAATAGCCA .......... .......... .......... .......... .......... ......C..A ........-. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
.......... .......... .......... .......... ....T..... 14771 GAGCTTCAAT .......... .......... .......... .....CATT. .......... .......... ...TC.TG. .......... .......... .......... -......... .......... .......... .......... .......... 14831 CTTACACTTT .......... .......... .......... .......C.. .C........ .....CT.CC T....TT..C .......C.. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......C.. 14891 CAGCATTTAT .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .CA-T..... ...TTCAC.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C.. .......C..
.......... .......... .......... .......... .......... 14781 GTTTTTTATC .......... .......... .......... ...C.CC..T .......... .......... .........G .........T .......... .......... .......... .......... .......... .......... .........T 14841 TCTAGAAACA .......... .......... .......... C......... .......... .-..A..C.A .......... C......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... C......... 14901 AGGATACGTC .......... .......... ...C...... ...G...... .......... ....C.TCCT .......CCT ..-....... .......... .......... .......... .......... ..-....... .......... ..-.......
.......... .......... .......... .......... .......... 14791 TGCTTATATA .......... .......... .......... .......... .......... .......... C.T....... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14851 TGAAATATTG ........C. .......... ........C. .....C.... ........C. ......T.GA A.....C.GA .....C.... .......... ........C. ........C. .......... ........C. .......... .....C.... 14911 CTACCATGAG ... ... ...A ...A ...A AC.A AA.A ...A ...A ...A ... ...AT. ...AAG. ...A. ...A
.......... .......... .......... .......... .......T.. 14801 TGCACGTAGG .......... .......... .......... ..TC...T.. .......... ...-...... C...T...A. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14861 GAGTAATCCT .......... .......... .......... .......... .......... AGT.CC.T.C ....CC.T.. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14921 GACAAATATC
Keterangan :. * Insersi nukleotida pada CH2F = C; CH5F= C & CH9F = A ** Insersi nukleotida pada CH8F = TC (berulang)
.......... .......... .......... .......... T......... 14811 ACGAGGCTTA .......... .......... .......... .TC....C.. .......... .....C.... .A....T... .......C.. .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......C.. 14871 TCTGCTCACA .......... .......... ...A..T... ...A..T... .......... --........ G.-....... ...A..T... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 14931 ATTCTGAGGA
66
Berdasarkan data pensejajaran (aligment) (data Tabel 6 sampai Tabel 12) ditemukan bahwa sisi variabel lebih banyak yakni 139 buah (60.44 %) dibandingkan sisi konservatifnya yakni 91 buah (39.56 %). Hal ini menunjukkan bahwa dari gen cyt b sapi-sapi lokal di Indonesia hampir 60.44 % bukan berasal dari garis maternal induk Banteng (dalam ini berdasarkan konsensus sekuen cyt b dari Bos javanicus sekuens Genebank nomor akses NC_012706.1 (Lipinski et al. 2009). Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Mohamad et al. (2007) tetapi dengan menggunakan daerah d loop mitokondria bahwa garis maternal Banteng ditemukan 56 % pada sapi Madura Jawa Timur dan lebih tinggi hampir 94 % ditemukan sapi Galekan, sedangkan untuk sapi Bali hampir sebagian besar membawa garis maternal dari Banteng dibanding zebu (125 : 1 atau 99%). Hasil penelitian Nijmann et al. (2003), menunjukkan kesamaan yang tinggi dengan penelitian ini bahwa sapi Bali-Malaysia juga terdapat lebih banyak garis maternal sapi zebu.
Secara umum dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa garis
maternal dari Banteng masih ditemukan meskipun sudah menurun jumlah sisi konservatifnya. Selain dari jumlah sisi konservatif dan variabel sekuen gen cyt b dari hasil penelitian ini diketahui pula bahwa terdapat beberapa insersi basa pada gen cyt b sapi sampel penelitian, terutama pada sapi Aceh, Pesisir dan Bali-Lombok. Hasil ini tidak ditemukan merata pada semua sampel sapi-sapi tersebut yakni masingmasing ditemukan kasus hanya pada satu ekor sapi. Namun, hal ini dapat dijadikan indikasi awal bahwa untuk menentukan spesifikasi bangsa sapi tersebut dapat ditentukan dari adanya insersi pada daerah sekuen gen cyt b ini. Adapun daftar insersi dan jenis nukleotida pada gen cyt b ditampilkan pada Tabel 12.
67
Tabel 12 Daftar insersi nukloetida yang terdapat pada sapi Aceh, Pesisir dan Bali-Lombok No. 1.
Bangsa Sapi Aceh
2.
Pesisir
3.
Bali-Lombok
Posisi Insersi 14721 – 14722 14725 – 14726 14728 – 14729 14708 – 14709 14724 – 14725 14710 – 14711 14720 – 14721 14740 – 14741
Jenis Nukleotida T A C C A T G+C C
Hasil penelitian pada sapi Bali-Lombok menarik untuk dicermati karena ditemukan sekaligus dua insersi nukleotida secara berurutan, walaupun secara fisik pada saat penelitian dilakukan tidak terdapat perbedaan dalam hal performans, terutama variabel ukuran linier tubuh.
Pada penelitian ini tidak
dilakukan eksplorasi lebih jauh untuk mengetahui pengaruh insersi ini terhadap sistem metabolismenya. Secara umum perbedaan tingkat mutasi atau variasi pada daerah mitokondria dapat dipengaruhi banyak faktor (Kimura 1987; Mindell & Thacker 1996). Studi untuk mengetahui efek hambatan laju mutasi terhadap tingkat replikasi, efisiensi perbaikan DNA, dan eksposur mutagen tidak banyak dilakukan langsung, dan umumnya dikaitkan dengan variabel biologis, seperti ukuran tubuh, waktu generasi dan SMR (Standart Metabolic Rate). Menurut teori, individu taxa dengan ukuran tubuh besar, waktu hidup panjang dan nilai metabolik rendah, biasanya memiliki tingkat mutasi rendah, tetapi, menurut hasil penelitian pada gen ribosom dan P12, mutasi mtDNA tidak berhubungan dengan ukuran tubuh dan SMR (Gissi et al. 2000). Laird et al. (1969); Martin & Palumbi (1993); Rand (1994) berpendapat bahwa efek laju metabolisme diusulkan sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat mutasi mitokondria, sebab polutan radikal bebas yang terdapat pada oksigen dapat mempengaruhi laju metabolisme tersebut. Meskipun ditemukan adanya korelasi antara tingkat mutasi dan SMR, namun hanya ditemukan pada kasus model perbaikan kerusakan mitokondria (DNA repair) akibat ketidakcukupan oksidasi. Hal ini menunjukkan bahwa mitokondria
68
pada organisme tingkat tinggi telah dilengkapi mekanisme yang sangat baik melalui proses eksisi basa dalam sistem perbaikan kerusakan oksidatif (Bogenhagen 1999; Sawyer & Van Houten 1999), seperti yang terjadi pada genom inti sel (Sawyer & Van Houten 1999), sehingga eksistensi efisiensi perbaikan DNA spesifik pada taxon belum pernah terbukti. Reyes et al. (1998) melaporkan bahwa komposisi mtDNA tidak berhubungan dengan kerusakan oksidatif tetapi lebih pada proses spontanitas selama terjadinya replikasi. Oleh karena itu, ditemukannya kasus insersi pada penelitian ini tidak serta merta merupakan bagian dari proses evolusi maupun kerusakan gen, tetapi lebih kepada proses kejadian di tingkat replikasi DNA. Hal ini bisa diasumsikan bahwa sapisapi lokal Indonesia saat ini sudah banyak dikawin silangkan dengan breed lain, sehingga kemungkinan terjadinya slipped (terpeleset) saat rekombinasi DNA sangat tinggi. Apabila ditemukan kasus insersi, tranversi maupun mutasi sangat mungkin diakibatkan oleh perkawinan antar bangsa tersebut. Selanjutnya, selain ditemukan fenomena insersi pada gen cyt b, dalam penelitian ini ditemukan pula kasus substitusi (pergantian) dan tranversi (kebalikan) jenis nukleotida pada sekuens-sekuens nukleotida tertentu. Dari hasil pengamatan terdapat 16 kasus substitusi yang melibatkan beberapa bangsa sapi. Kasus substitusi yang terbanyak adalah dari basa T ke C atau sebaliknya C ke T. Kasus ini hanya terdapat pada bangsa sapi-sapi tertentu, sehingga gambaran yang diperoleh dapat dijadikan indikasi awal sebagai dasar untuk mempelajari variasi genetik dan menetapkan spesifikasi pada suatu bangsa sapi berdasarkan transversi basa pada gen cyt b. Menurut Anderson et al. (1981) yang merujuk pada sekuens cyt b manusia, susbstitusi pada basa posisi T ke C biasanya silent substitution (pergantian tersembunyi) yang tidak merubah komposisi asam amino. Demikian pula diketahui adanya fragment mirip mitokondria yang ditemukan di genom inti seperti pada manusia atau dikenal dengan pseudogen (Fukuda et al. 1985), namun dalam penelitian ini tidak ditemukan suatu sekuens dari pseudogenes. Hal ini bisa dijelaskan bahwa hasil sekuens gen cyt b pada penelitian ini tidak ada sekuens dengan basa berbeda lebih dari dua pada posisi yang sama atau perbedaan lain
69
dalam jumlah substitusinya (Li et al. 1985), sehingga dapat disimpulkan bahwa sekuens dalam penelitian ini adalah asli sekuens mitokondria. Mirol et al. (2000) yang mengamati adanya cyt b pseudogen di Ctenomys (sejenis rodensia tanah) menjelaskan bahwa kasus delesi basa umumnya terjadi pada kasus pseudogen dan jarang terjadi kasus insersi basa (jumlah antara 1 – 4 bp), sehingga kasus ini juga dapat dijadikan dasar indikasi apakah sekuens cyt b yang dihasilkan merupakan sekuens asli mitokondria atau bukan. Pada penelitian ini, berdasarkan sekuens yang dihasilkan justru ditemukan beberapa kasus insersi (sapi Aceh dan Pesisir) dan hanya dua kasus delesi (itupun hanya satu basa), sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil sekuensing gen cyt b dalam penelitian ini
dapat ditetapkan sebagai sekuens asli DNA mitokondria, terutama pada gen cyt b. Pada Tabel 13 berikut ditampilkan beberapa posisi basa yang mengalami proses substitusi pada sekuens gen cyt b. Tabel 13 Posisi dan jenis substitusi basa dari gen cytochrome b pada sapi penelitian No.
Posisi Basa
Jenis Substitusi
1.
14709
TÆC
2.
14715
CÆT
3.
14749
CÆT
4.
14752
CÆT
5.
14790
CÆT
6.
14818
TÆC
Persentase Terbesar Pada Bangsa Sapi Madura (67 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) Madura (67 %) Bali-Bali (90 %) Bali-Lombok (100 %) PO (85 %) Bali-Lombok (100 %) PO (70 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (69 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (92 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (100 %)
70
Lanjutan Tabel 13. No.
Posisi Basa
Jenis Substitusi
7.
14823
TÆC
8.
14826
CÆT
9.
14838
TÆC
10.
14841
TÆC
11.
14856
TÆC
12.
14859
TÆC
13.
14874
GÆA
14.
14877
CÆT
15.
14898
TÆC
16.
14913
CÆA
Persentase Terbesar Pada Bangsa Sapi Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (92 %) Aceh (100 %) Pesisir (100 %) B. taurus & B. Indicus Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (92 %) Bali-Lombok (100 %) PO (92 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (92 %) PO (92 %) Aceh (100 %) Pesisir (100 %) Madura (83 %) B. taurus & B. Indicus Bali-Lombok (100 %) PO (85 %) Bali-Bali (90 %) Bali-Lombok (92 %) PO (92 %) Aceh (100 %) Pesisir (100 %) Madura (100 %) Bali-Bali (100 %) Bali-Lombok (100 %) PO (100 %) PFH (100 %) B. taurus Aceh (71 %) Madura (75 %) Bali-Lombok (69 %) PO (77 %) PFH (82 %)
71
Pada Tabel 13 tampak beberapa fenomena, diantaranya bahwa sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok adalah dua bangsa sapi yang banyak mengalami susbtitusi basa. Hal ini dapat diduga pada posisi basa tersebut merupakan mutasi basa yang dapat berasal dari bangsa sapi lain akibat proses rekombinasi, karena basa ini pada Bos javanicus (Banteng) telah tersubstitusi. Terutama secara jelas tergambarkan pada posisi basa 14898 (T Æ C), hampir seluruh sapi memiliki perubahan ini dan pada posisi ini basa tersebut dimiliki oleh bangsa Bos taurus. Hal ini mengindikasikan bahwa sapi-sapi lokal tersebut membawa tipe basa dari bangsa Bos taurus pada posisi basa tersebut.
Artinya, penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil
penelitian sebelumnya bahwa sapi-sapi lokal Indonesia telah mengalami hibridisasi genetik dari bangsa Bos taurus maupun Bos indicus (Namikawa et al. 1981; Kikkawa et al. 1995; Kikkawa et al. 2003; Nijmann et al. 2003; Verkaar et al. 2003). Pada sapi-sapi lokal spesifikasi masih bisa dicirikan melalui kejadian substitusi basa lainnya yang tidak dimiliki oleh bangsa sapi Bos taurus maupun Bos indicus, seperti posisi basa yang dimiliki 100 % oleh sapi-sapi tersebut, terutama Bali-Bali, Bali-Lombok, Aceh dan Pesisir. Pada sapi Madura hasil penelitian ini menunjukkan bangsa sapi yang paling sedikit mengalami transisi basa. Hal ini mengindikasikan pula bahwa sapi Madura masih memiliki proporsi genetik lebih besar terhadap Bos javanicus (Banteng) berdasarkan sekuen basa gen cyt b. Artinya, dalam sampel penelitian ini sapi Madura masih lebih banyak memiliki kedekatan genetik dengan Banteng. Indikasi ini mirip dengan hasil penelitian Mohamad et al. (2007), bahwa sapi Madura memiliki DNA mitokondria Banteng sebesar 56% dan sapi Galekan yang merupakan keturunan zebu ditemukan lebih tinggi 94 %. Khusus pada sapi Aceh dan Pesisir, penelitian ini juga mengindikasikan adanya DNA mitokondria bangsa Bos taurus dan Bos indicus, tetapi masih mengindikasikan pula adanya DNA mitokondria dari Banteng. Jadi, secara umum terbukti bahwa sapi-sapi Indonesia saat ini merupakan campuran (admixture) dari tiga bangsa sapi, yakni Banteng (Bos javanicus), Bos taurus (Eropa) dan Bos indicus (Asia), sehingga untuk mendapatkan penciri genetik molekuler yang spesifik sapi lokal, terutama proporsi genetik Banteng lebih banyak, maka harus
72
dilakukan seleksi lagi terhadap sapi-sapi lokal Indonesia dengan berbagai jenis penciri molekuler. Bukti-bukti molekuler lebih kuat dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan ciri spesifik sapi-sapi lokal Indonesia, karena hingga saat ini telah disepakati bahwa berdasarkan bukti-bukti fisik, sejarah maupun molekuler, Banteng adalah tetua sapi asli Indonesia (Rollingson, 1994). Menurut Prusak & Grzybowski (2004), karena umumnya perbedaan sekuens nukleotida pada posisi kodon ketiga merupakan substitusi silent (tersembunyi), maka biasanya posisi kodon ketiga relatif lebih bervariasi dalam jenis kodon dibandingkan dua posisi kodon lainnya, demikian pula halnya dalam penelitian ini ditemukan bahwa jenis nukleotida pada kodon ketiga lebih bervariasi (Tabel 14). Tabel 14 Komposisi penggunaan kodon gen cyt b sapi penelitian UUU (F) UUC (F) UUA (L) UUG (L)
1.6 (1.17) 1.1 (0.83) 1.5 (1.11) 0.5 (0.40)
| UCU (S) 1.6 (1.21) | UAU (Y) 3.0(1.31) | UGU (C) 0.1(0.11) | | UCC (S) 0.1 (0.06) | UAC (Y) 1.6(0.69) | UGC (C) 0.9(1.89) | | UCA (S) 0.0 (0.03) | UAA (*) 0.1(1.67) | UGA (*) 0.0(1.00) | | UCG (S) 0.5 (0.37) | UAG (*) 0.0(0.33) | UGG (W) 1.0(1.00) |
CUU (L) CUC (L) CUA (L) CUG (L)
2.0 (1.52) | CCU (P) 1.9 (1.42) | CCC (P) 0.6 (0.43) | CCA (P) 1.5 (1.12) | CCG (P)
3.0 (3.30) | CAU (H) 0.1 (0.07) | CAC (H) 0.0 (0.05) | CAA (Q) 0.5 (0.58) | CAG (Q)
3.9(1.20) | CGU (R) 2.0(1.36) | 2.7(0.80) | CGC (R) 1.0(0.70) | 0.0(0.60) | CGA (R) 0.0(0.01) | 0.1(1.40) | CGG (R) 2.0(1.36) |
AUU (I) 1.9 (0.94) | ACU (T) AUC (I) 0.1 (0.05) | ACC (T) AUA (I) 4.0 (2.01) | ACA (T) AUG (M) 1.1 (1.00)| ACG (T)
1.0 (1.08) | AAU (N) 3.9(1.15) | AGU (S) 2.0(1.54) | 0.6 (0.64) | AAC (N) 2.9(0.85) | AGC (S) 3.7(2.78) | 1.1 (1.16) | AAA (K) 2.1(1.93) | AGA (R) 1.0(0.69) | 1.0 (1.11) | AAG (K) 0.1(0.07) | AGG (R) 2.8(1.88) |
GUU (V) 1.0 (1.33) | GCU (A) GUC (V) 1.0 (1.36) | GCC (A) GUA (V) 0.0 (0.05) | GCA (A) GUG (V) 0.9 (1.27) | GCG (A)
0.6 (1.38) | GAU (D) 0.0(0.67) | GGU (G) 0.1 (0.14) | GAC (D) 0.1(1.33) | GGC (G) 1.0 (2.46) | GAA (E) 0.0(0.07) | GGA (G) 0.0 (0.03) | GAG (E) 0.9(1.93) | GGG (G)
0.1(1.82) | 0.0(1.45) | 0.0(0.36) | 0.0(0.36)
Keterangan : - angka dalam kurung merupakan prosentase penggunaan kodon yang sama - (*) stop kodon
Menurut Irwin et al. (1991), sistematika dalam kelompok mamalia dapat dibedakan berdasarkan letak basa pada posisi kodon tertentu.
Karena dari
perbedaan ini dapat dijelaskan lebih lanjut, misal salah satunya adalah efek dari
73
seleksi maupun tekanan mutasi (Sueoka, 1988), maka konsekuensinya rasio transisi maupun tranversi basa dapat bervariasi pada posisi kodon yang berbeda pula. Hal ini menjadikan bahwa meskipun perubahannya tinggi tapi pada kodon ketiga perubahannya tersembunyi (silent). Studi Prusak & Grzybowski (2004) pada 20 spesies mamalia menemukan kasus manusia dan zebra memiliki sekuens yang unik dengan lebih banyak basa A dibandingkan C pada untai ringan DNA mitokondria, dan pada domba maupun sapi (Zebu) juga basa A lebih banyak dibandingkan dengan basa C, dan fenomena ini memang umum terjadi pada mamalia. Hasil penelitian ini juga menunjukkan fenomena yang sama (data terlampir). Menurut Irwin et al. (1991) fenomena ini ada hubungannya dengan tingkat identitas asam amino yang terkait dengan kandungan protein pusat reaksi redoks (baik Qo maupun Qi) yang terlibat dalam transfer electron (Hatefi 1985; Howell & Gilbert 1988). Hasil studi Kocher et al. (1989) juga menunjukkan bahwa banyak kejadian kodon basa silent di gen cyt b pada beberapa vertebrata dan yang paling tinggi mengalami substitusi adalah basa C (sitosin) sedangkan yang paling rendah adalah basa G (guanin). Gambaran ini menunjukkan bahwa gen cyt b cukup tinggi variabilitas sekuensnya (hypervaiable), namun secara umum tidak mempengaruhi fungsi umum gen tersebut, karena kodon yang mengalami substitusi biasanya merupakan residu asam amino yang tidak mengkode protein fungsional. Variabilitas tinggi pada gen cyt b memiliki dua kelebihan (Kocher et al. 1989; Matsunaga et al. 1999; Verkaar et al. 2002), yaitu 1) DNA mitokondria memiliki ribuan copy jumlahnya per sel (kurang lebih 2 500 copy), terutama di jaringan post-mitosis seperti otot skeletal (Greenwood et al. 1999). Hal ini memungkinkan lebih banyak diperoleh hasil isolasi DNA mitokondria untuk proses analisis selanjutnya, sehingga kasus kerusakan DNA (misal, fragmentasi DNA) dapat diatasi (Bellagamba et al. 2001), dan ke 2) karena variabilitasnya tinggi, maka DNA mitokondria memungkinkan memiliki kemampuan diskriminasi lebih tinggi pada kasus kejadian percampuran antar spesies hewan yang berdekatan apabila dibandingkan dengan DNA inti (Hopwood et al. 1999; Prado et al. 2002). Jadi, sekuens gen cyt b merupakan alat analisis yang sesuai untuk studi filogenetik pada
74
spesies yang berdekatan, karena mekanisme struktur dan fungsi konservasi gen cyt b terjaga dengan baik, sehingga menjadi sangat berguna untuk studi intra spesifik. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada sub bab berikut akan dibahas tentang variabilitas sekuens gen cyt b untuk konstruksi pohon filogenetik pada sapi-sapi lokal Indonesia.
Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan Sekeuens Gen cytochrome b Studi sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat sekuen nukleotida yang spesifik pada sapi-sapi asli Indonesia, seperti sapi Bali-Bali, Bali-Lombok dan Madura (Kikkawa et al. 2003; Nijman et al. 2003; Verkaar et al. 2003; Ugla 2008), namun studi tersebut umumnya menggunakan daerah kontrol (control region / CR) dari mitokondria, sedangkan dalam penelitian ini digunakan gen cyt b. Jarak genetik antar kelompok sapi dapat ditentukan dari urutan nukleotida hasil sekuensing gen cyt b pada sapi sampel seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Jarak genetik kelompok sapi-sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi urutan nukleotida gen cytochrome b Bangsa Sapi
Aceh Pesisir Madura
Aceh Pesisir Madura Bali-Bali Bali-Lombok PO PFH
0.02 0.06 0.12 0.08 0.13 0.07
0.07 0.12 0.09 0.13 0.08
0.09 0.06 0.11 0.10
BaliBali
BaliLombok
0.05 0.10 0.13
0.07 0.10
PO
PFH
0.14
-
Pada Tabel 15 tampak bahwa jarak genetik terdekat adalah antara sapi Aceh dan Pesisir (0.02) kemudian diikuti oleh sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok (0.05). Selanjutnya dengan jarak genetik yang sama yakni 0.06 antara sapi Aceh dan Madura serta sapi Madura dan Bali-Lombok. Berdasarkan hal tersebut dapat
75
dijelaskan bahwa kedekatan genetik antara sapi Aceh dan Pesisir maupun sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok dapat dinyatakan karena lokasi geografis kedua sapi tersebut lebih dekat dibandingkan dengan sapi-sapi lain. Sedangkan antara sapi Madura dan Bali-Lombok maupun sapi Madura dan sapi Aceh kedekatannya diduga karena secara umum masih membawa genetik sapi Bos indicus. Akan tetapi, dengan nilai jarak kurang dari 0.5, berarti secara umum sapi-sapi tersebut secara genetik cukup dekat. Nijman et al. (2003), menyatakan bahwa berdasarkan daerah kontrol DNA mitokondria pada sapi Madura dan sapi Bali-Malaysia ditemukan pula alel dari sapi zebu (Bos indicus). Demikian pula sapi Madura yang memiliki tipikal bergumba mendukung bahwa sapi tersebut merupakan hibridasi Banteng dan zebu (Payne & Rollinson 1976). Berdasarkan sekuens nukleotida gen cyt b, pohon genetik (filogenetik) dikonstruksi untuk menjelaskan hubungan genetik sapi-sapi lokal Indonesia. Menurut Bandelt et al. (1995), bahwa untuk membedakan kelompok spesies dapat dikonstruksi pohon genetik (filogenetik) dengan titik median hubungan diantaranya. Pada analisis filogenetik, dapat dikonstruksi dengan menggunakan algoritma neighbor-joining (NJ) (Saito & Nei 1987), yang jarak genetiknya dikoreksi dengan metode Kimura (1983). Sisi nukleotida yang merepresentasikan gap dalam pensejajaran sekuens dikeluarkan dari analisis. Kemudian analisis bootstrap (1000 kali) dilakukan untuk mendapatkan titik percabangan pohon genetik yang sesuai.
Konstruksi pohon genetik dilakukan setelah dilakukan
pensejajaran (alignment) data nukleotida gen cyt b hasil dari sekuensing dibandingkan sekuen konsensus yakni Banteng (Bos javanicus). Pada konstruksi filogenetik digunakan perangkat lunak MEGA 4 (Tamura et al. 2007). Gambar 16 dan 17 berikut ditampilkan gambar filogenetik sapi-sapi lokal Indonesia berdasarkan gen cyt b.
0.01
Pesisir 1 Madu ra 5 Pesis ir 15 Bos -ind icus Pes GBE isir F07 6 Ac 667 eh 81 9 PF H 1 Ac e Ac h 1 eh Ac eh 8 3
Aceh 5
1 521 154 5 GQ li 1 GB Ba alis 1 bub ali B alus 9 Bub ok 7 mb 1 Lo PO 3 1 7 PO PO
Lo m Lo bo m k bo Lo 4 k mb 12 o k Lo 16 mb ok Ba 2 li 2 PO 18 Bali 18 Lom bok 6 P FH 1 0 Bali 13
0.00
Aceh 6
76
17 eh ir 5 c A sis Pe h 7 e 16 ra Ac du a M 14 eh Ac ir 7 sis Pe h2 Ace 15 PFH ir 9 is s Pe 8 Pesisir Pesisir 14
0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07
Bali 8
Bos-taurus GBAF376008 1
Lombok 13
Aceh 16
PO 11 P FH 4
Madura 11
13
Lo P m bo O 6 k 1 4 PO Lo 15 mb ok 5 PO 4 PF H1 7 Bali 17 Bali 16 Bali 3
a ur ad M
Madura 15
16
r2 si si 13 Pe H 16 PF H 06 127 PF 11 C0 H BN PF 14 sG H icu PF van s ja Bo 3 PO 17 ura Mad ra 4 Madu 12 Madura Madura 18
PO
Pesisir 10 Pesisir 4 Pesis ir 13 P FH 12 Ma dur a Ac 10 eh 11 Ma du ra Ac 9 e Ac h 1 8 e PF h 4 H 3
Lombok 1 Madura 14
PO 12 11 bok Lom 10 PO 5 PO 15 ok mb 10 Lo ok mb ali 4 o L B
Gambar 16 Diagram lingkar filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen nukleotida gen cytochrome b
77
Aceh 5 Aceh 6 Pesisir 1 Madura 5 Pesisir 15 Bos-indicus GBEF076678 1 Pesisir 6 Aceh 9 PFH 1 Aceh 1 Aceh 8 Aceh 3 Aceh 17 Pesisir 5 Aceh 7 Madura 16 Aceh 14
15
Pesisir 7 Aceh 2 PFH 15 Pesisir 9 Pesisir 8 Pesisir 14 Bos-taurus GBAF376008 1 Aceh 16 Pesisir 10 10
Pesisir 4 Pesisir 13 PFH 12 Madura 10 Aceh 11 Madura 9 Aceh 18 Aceh 4
24
PFH 3 Pesisir 2 PFH 13 PFH 16 PFH 11
66
PFH 14
50
Bos javanicus GBNC012706 PO 3 Madura 17 Madura 4 Madura 12 Madura 18 Madura 11 10
Madura 15 Madura 14 Lombok 1 Bali 3 Bali 16
39
64
Bali 17 PFH 17 PO 4 Lombok 5 PO 15 Lombok 14 PO 6
2
Madura 13 PO 16 Bali 4 Lombok 10 Lombok 15 PO 5 PO 10 Lombok 11 PO 12 PFH 4 16
PO 11 Lombok 13 Bali 8 Bali 13 PFH 10 Lombok 6 Bali 18 PO 18 Bali 2 Lombok 2 0
Lombok 16 Lombok 12 Lombok 4 PO 7
0
PO 13 PO 17 0
Lombok 9 Bali 1 Bali 15 Bubalus bubalis GBGQ154521 1
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0.00
Gambar 17 Diagram pohon filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen nukleotida gen cytochrome b
78
Pada Gambar 16 dan 17 tampak bahwa sebagian besar sapi Aceh, Pesisir dan Madura berdekatan jarak genetiknya dengan Bos taurus dan Bos indicus, sedangkan sebagian besar sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok lebih berdekatan jaraknya dengan Bos javanicus (Banteng). Hal ini sesuai beberapa hasil penelitian sebelumnya (Kikkawa et al. 2003; Nijman et al. 2003; Verkaar et al. 2003; Muhamad et al. 2007; Ugla 2008), bahwa sapi Madura dan Bali masih memiliki kedekatan genetik dengan Banteng. Pada analisis ini sekuens kosensus berdasarkan sekuens cyt b Bos javanicus (Banteng) yang diperoleh dari GenBank NC_012706.1 dan untuk outgroup digunakan sekuens gen cyt b dari spesies kerbau (Buballus) dari GenBank GQ 154521.1. Control group digunakan sekuens dari Bos taurus (Genbank AF376008.1) dan Bos indicus (Genbank EF76678.1), sehingga hasil penelitian inipun mendukung dari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang juga menggunakan DNA mitokondria, baik di daerah kontrol (CR) maupun cyt b. Hasil inipun sejalan dengan penggunaan data mikrosatelit kromosom Y, yakni sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok berdekatan secara genetik dan membentuk satu klaster, sedangkan sapi lainnya sedikit menyimpang, meskipun secara umum sapi Aceh dan Pesisir diduga memiliki aliran alel mikrosatelit kormosom Y bangsa Bos taurus dan Bos indicus.
Hasil penelitian Ugla (2008), dengan
menggunakan mikrosatelit pada daerah autosom dan daerah control mitokondria secara umum menunjukkan bahwa sapi Aceh klasternya berdekatan dengan sapi zebu, baik sapi zebu dari Cina, India dan Buthan. Sedangkan sapi Bali dan Madura lebih mendekati ke klaster Banteng. Penggunaan data molekuler dengan demikian telah mampu membedakan genom sapi zebu dengan taurine yang kemudian digunakan untuk mendeteksi aliran gen maupun introgesi dua taxa tersebut. Berdasar hasil tersebut akhirnya diketahui adanya bias jenis kelamin pada campuran taxa tersebut dengan pola migrasinya, seperti genom zebu telah menyebar disepanjang benua Afrika melalui aliran gen yang dimediasi pejantan (Hanotte et al. 2000; Hanotte et al. 2002; MacHugh & Bradley 2001), demikian pula yang terjadi di Indonesia yang pada akhirnya menghasilkan distribusi asimetri mitokondria DNA.
79
PEMBAHASAN UMUM Kekayaan hayati Indonesia berupa sapi seharusnya dapat memberikan sumbangan yang nyata terhadap proses berkehidupan masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki salah satu nenek moyang (common ancestor) dari bangsa sapi-sapi yang ada di dunia, yaitu Banteng (Bos banteng). Sapi Bali dan Madura diduga merupakan bangsa sapi hasil domestikasi Banteng tersebut.
Fakta menunjukkan pula bahwa sapi Bali maupun Madura memiliki
keunggulan sebagai sapi lokal Indonesia, seperti proporsi karkas tinggi, kualitas daging lebih baik serta tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk maupun serangan penyakit (Martojo 1995). Meskipun secara ukuran linier tubuh tidak sebesar bangsa sapi modern lainnya, seperti sapi Bos taurus (sapi Eropa) maupun sapi Bos indicus (sapi Asia) tetapi secara ekonomis sebenarnya cukup tinggi apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Misal, di kalangan masyarakat Madura dengan tradisi Karapan Sapi mampu mengangkat nilai jual sapi lokal secara signifikan. Demikian pula untuk kepentingan ibadah Qurban dalam Islam, maka ternak sapi lokal memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan sapi breed impor, karena diyakini lebih tinggi nilai religiusnya. Harus diakui pula bahwa
saat sekarang ini terdapat kecenderungan
penurunan produktivitas sapi khas Indonesia tersebut (Bali dan Madura) jika dibandingkan dengan kondisi masa lalu.
Pada sapi Bali misalnya, rata-rata
pertumbuhan dan ukuran linier telah menurun (Sonjaya & Idris 1996), mortalitas pedet meningkat pada fase menyusui (Wirdahayati & Bamualin 1990) dan penurunan kualitas daging (Arka 1996).
Kondisi ini secara nasional harus
menjadi perhatian serius dan diperlukan alat analisis yang lebih sesuai dan akurat dalam upaya menduga kemungkinan penyebab penurunan mutu genetik tersebut. Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah menentukan penurunan genetik yang diakibatkan oleh adanya genetic drift (hilangnya karakter genetik tertentu) atau karena effek in breeding (silang dalam) maupun cross breeding (kawin silang) dengan bangsa sapi-sapi lainnya.
80
Adanya perkembangan ilmu genetika molekuler yang cepat saat ini dapat dimanfaatkan sebagai alat dalam mengevaluasi mutu genetik sapi-sapi lokal Indonesia, sebab hingga saat ini teknologi ini yang masih diakui dunia sebagai teknologi yang sesuai untuk evaluasi genetik maupun klasifikasi individu. Khusus kondisi di Indonesia penggunaan teknologi molekuler dalam riset-riset genetik untuk sapi lokal masih sangat jarang. Adanya penelitian ini dapat menjadi dasar acuan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak di Indonesia dan strategi pemuliaan maupun konservasinya. Penelitian ini menggunakan penciri DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y dan gen cyt b untuk mempelajari variasi genetik dan hubungan kekerabatan sapisapi lokal Indonesia dengan harapan bahwa potensi genetik yang sesungguhnya dari sapi-sapi tersebut dapat diidentifikasi dan kemudian dapat ditetapkan strategi pengembangannya. Pada penelitian ini ditetapkan bahwa sampel sapi hanya untuk jenis kelamin jantan. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lokus INRA 062 memiliki nilai PIC (37%) lebih tinggi dibandingkan lokus-lokus lain yang diuji, maka lokus ini dapat diulang kembali untuk analisis variasi genetik sapi lokal Indonesia untuk dapat menentukan spesifikasi bangsa sapi lokal tertentu menggunakan penciri lokus ini, dalam penelitian ini kasus terdapat pada sapi Pesisir, sehingga sapi Pesisir mungkin dapat dicirikan dari adanya alel pada lokus ini. Meskipun secara keseluruhan jumlah rata-rata alel masih rendah (1.8), namun penelitian sejenis dapat dilakukan lebih lanjut dengan menggunakan penciri mikrosatelit kromosom Y yang lebih banyak, demikian juga dengan jumlah sampel yang diuji juga lebih banyak dengan melibatkan letak geografis yang lebih luas, sehingga evaluasi genetik secara lebih mendalam pada sapi-sapi lokal Indonesia dapat tetap dilakukan. Harapann yang diinginkan adalah dapat diketahui spesifikasi sapi lokal Indonesia secara lebih terukur dan tepat berdasarkan penciri molekuler pada kromosom Y. Demikian pula berdasarkan variasi gen cyt b telah ditemukan pula beberapa titik-titik mutasi pada basa tertentu dari sapi-sapi lokal contoh dibandingkan Banteng (Bos javanicus) maupun Bos taurus dan Bos indicus.
Mutasi pada
81
urutan basa cyt b nomor 14898 (T Æ C), ditemukan hampir pada seluruh sapi dan pada posisi ini basa tersebut dimiliki oleh bangsa Bos taurus. Hasil ini sejalan penelitian sebelumnya bahwa sapi-sapi lokal Indonesia telah mengalami hibridisasi genetik dari bangsa Bos taurus maupun Bos indicus (Namikawa et al. 1981; Kikkawa et al. 1995; Kikkawa et al. 2003; Nijmann et al. 2003; Verkaar et al. 2003). Adanya mutasi tersebut, dapat dipertimbangkan dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan karakter spesifik bangsa sapi lokal Indonesia lainnya, seperti sapi Aceh dan Pesisir. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua bangsa sapi ini memiliki proporsi genetik lebih besar ke Bos indicus dan Bos taurus dibandingkan dengan Banteng. Studi awal ini dapat dijadikan acuan untuk evaluasi genetik berikutnya dengan jumlah dan luasan daerah yang berbeda untuk ketercukupan data yang diperlukan, sehingga sapi Aceh dan Pesisir dapat ditentukan spesifikasinya secara molekuler. Gambaran umum tentang hubungan kekerabatan genetik menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cyt b mengindikasikan bahwa secara genetik sapi-sapi lokal Indonesia menyebar dan tidak mengelompok secara spesifik dalam satu klaster, baik terhadap Banteng, Bos taurus maupun Bos indicus. Hal ini menunjukkan bahwa variasi genetik sapi-sapi Indonesia saat ini cukup tinggi. Berdasarkan sisi konservatif dari gen cyt b, maka spesifikasi sapi Indonesia dapat ditetapkan homologinya berdasarkan sekuens referensi Banteng. Perbaikan mutu genetik sapi lokal Indonesia sesuai pembahasan sebelumnya, dapat menggunakan teknologi ini untuk proses seleksi maupun pemuliabiakan sapi-sapi lokal yang ada, sehingga tidak memunculkan kekawatiran punahnya identitas plasma nutfah sapi asli Indonesia yang merupakan keturunan dari salah satu tetua bangsa sapi di dunia yaitu Banteng. Pada sisi yang lain konservasi Banteng dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi molekuler ini.
82
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penggunaan penciri molekuler DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y dan gen cyt b membuktikan adanya aliran gen sapi Bos taurus maupun Bos indicus pada sapi-sapi lokal Indonesia, termasuk sapi Bali dan Madura sebagai sapi keturunan Banteng (Bos javanicus) yang merupakan salah satu tetua bangsa-bangsa sapi di dunia saat ini. Namun, secara umum untuk penciri mikrosatelit kromosom Y polimorfisme masih rendah (PIC < 50%), meskipun terdapat satu lokus nilainya tertinggi dibanding lokus lain yakni INRA 062 (37 %) tapi belum dapat dinyatakan sebagai kandidat marker sesuai dengan ketentuan
FAO
sehingga
masih
perlu
penelitian
lebih
lanjut
dengan
mempertimbangkan jumlah sampel lebih banyak dan letak geografis lebih luas. Sapi Bali dan Madura masih memiliki proporsi gen terbesar dari Banteng, maka kedua sapi ini masih dapat diakui eksistensinya sebagai sapi khas Indonesia. Sapi Aceh dan sapi Pesisir masih memiliki harapan untuk lebih ditingkatkan eksistensi sebagai sapi khas daerah tersebut berdasarkan titik mutasi tertentu pada gen cyt b, meskipun kedekatan genetik lebih ke arah Bos taurus dan Bos indicus. Penggunaan penciri molekuler dalam penelitian ini, baik penciri DNA mikrosatelit kromosom Y maupun gen cyt b secara umum telah mampu menggambarkan potensi dan variasi genetik sapi-sapi lokal atau adaptif Indonesia. Studi penggunaan penanda molekuler tersebut di Indonesia masih tetap relevan digunakan dengan catatan bahwa jumlah dan akurasi data harus lebih terjamin.
Saran Upaya peningkatan eksistensi spesifikasi sapi-sapi lokal Indonesia harus tetap dilakukan melalui berbagai kegiatan penelitian yang lebih banyak, terutama yang berbasis molekuler. Teknologi ini masih diakui dunia sebagai teknologi yang tepat untuk identifikasi genetik spesies makhluk hidup, sehingga, diharapkan di
83
masa mendatang sapi-sapi lokal dapat diakui konservasi genetiknya secara internasional dengan data yang memadai. Kekurangan yang ada dalam studi ini, terutama dalam teknik analisis DNA mikrosatelit yang masih secara manual (metode silver staining), diharapkan pada studi sejenis yang akan datang dapat ditingkatkan teknik analisisnya dengan penggunaan label pada primer mikrosatelit yang digunakan, sehingga kemudian produk PCR dapat dilakukan sekuensing untuk menentukan ukuran besaran alel lebih akurat. Penggunaan gen cyt b dianggap memiliki kelemahan karena diduga adanya pseudogen (gen mirip mitokondria tetapi terdapat dalam gen inti). Penggunaan primer universal dalam PCR harus dikombinasikan dengan materi sampel DNA yang memadai sebagai template untuk menghindari hal tersebut.
Sebaiknya
sumber mtDNA adalah di jaringan yang aktif, misal otot skeletal atau organ-organ aktif lain seperti ginjal dan jantung, karena mtDNA dari jaringan darah jumlahnya tidak sebanyak jika DNA diisolasi dari jaringan aktif tersebut. Hal ini penting untuk meningkatkan akurasi hasil PCR. Studi mendatang disarankan perlu diperbanyak lagi jumlah sampel maupun jenis penciri genetik molekuler yang digunakan.
Hal ini penting untuk
mendapatkan data lebih banyak dan ketepatan analisis data, sehingga di masa mendatang dapat diperoleh data molekuler maupun peta genetik sapi-sapi lokal Indonesia lebih banyak. Termasuk dalam rangka pelestarian plasma nuftah tetua sapi asli Indonesia (Banteng) yang jumlahnya semakin berkurang akibat tekanan alam maupun manusia.
84
DAFTAR PUSTAKA Anderson S et al. 1981. Sequence and organization of the human mitochondrial genome. Nature. 290 : 457–65 Anderson S et al. 1982. Complete sequence of bovine mitochondrial DNA. J. Mol. Biol. 156 : 683–717. Arka, IB. 1996. Meat Quality and Marketing of Bali cattle. Proceedings of seminar on Bali cattle, a special species for dry tropics, held by Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), 21 September 1996, Udayana University Lodge, Bukit Jimbaran, Bali. Astuti M, Hardjosubroto W, Lebdosoekojo S. 1983. Analisis jarak beranak sapi P.O. di Kecamatan Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan BP3, Departemen Pertanian, Bogor. Avise JC et al. 1987. Intraspecific phylogeography: the mitochondrial dna bridge between population genetics and systematics. Annu. Rev. Ecol. Syst. 18 : 489-522. Avise JC. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. New York : Chapman & Hall. Baker CMA, Manwell C. 1991. Population genetics, molecular marker and gene conservation of bovine. In : Cattle genetic resosurces, edited by C.G. Hickman. Elsevier Science Publisher B.V. The Netherland. pp.221-289. Bandelt HJ, Forster P, Sykes BC, Richards MB. 1995. Mitochondrial portraits of human populations using median networks. Genetics 141 : 743-753. Bartlett SE, Davidson WS. 1992. FINS (forensically informative nucleotide sequencing) : a procedure for identifying the animal origin of biological specimens. BioTechniques 12 : 408-411. Bellagamba F, Moretti VM, Comincini S, Valfre F. 2001. Identification of species in animal feeds us by polymerase chain reaction–restriction fragment length polymorphism analysis of mitochondrial DNA. J. Agric. Food Chem. 49 : 3775– 3781. Boettcher PJ et al. 1996. Relationship between polymorphismfor mitochondrial deoxyribonucleic acid and yield traits of Holstein cows. J. Dairy Sci. 79 : 647– 654.
85
Bogenhagen DF. 1999. Repair of mtDNA in vertebrates. Am. J. Hum. Genet. 64 : 1276–1281. Botstein D, White RL, Skolnick M, Davis RW. 1980. Construction of a genetic linkage map in man using restriction fragment length polymorphisms. Am. J. Hum. Genet. 32 : 314–331. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Populasi Ternak 2000 – 2008. www.bps.go.id. Tanggal download : 28 Juni 2009. Bradley DG et al. 1994. Zebu-taurine variation in Y chromosomal DNA a sensitive assay for genetic introgression in West African trypanotolerant cattle populations. Anim. Genet. 25 : 7-12. Bradley DG, MacHugh DE, Cunningham P, Loftus RT. 1996 Mitochondrial diversity and the origins of African and European cattle. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93 : 5131-5135. Bradley DG, Loftus RT, Cunningham P, MacHugh DE. 1998. Genetics and Domestic Cattle Origin. Evolutionary Anthropology. Willey-Liss, Inc. hlm. 79-86. Brown WM, Prager EM, Wang A, Wilson AC. 1982. Mitochondrial DNA sequences of primates: tempo and mode of evolution. J. Mol. Evol. 18 : 225239. Cai X, Chen H, Wang S, Xue K, Lei C. 2006. Polymorphisms of two Y chromosome microsatellites in Chinese cattle. Genet. Sel. Evol. 38 : 525– 534. Carvajal-Carmona LG et al. 2003. Abundant mtDNA diversity and ancestral admixture in Colombian criollo cattle (Bos taurus). Genetics 165 : 1457– 1463. [CAST] 1984. Council for Agricultural Science and Technology. Animal Germplasm Preservation and Utilization in Agriculture. Ames. IA. Rep. No. 101. Chakraborty R, Jin L. 1993. A unified approach to study hypervariable polymorphisms : Statistical considerations of determining relatedness and population distances. Di dalam : Pena SDJ, Chakraborty R, Epplen JT, Jeffreys AJ, editor. DNA Fingerprinting : State of the Science. Germany : Birkhäuser Verlag. hlm. 153-176.
86
Chen ZH, Zhong JC, Deng XY, La N. 1995. A study on Y chromosome of Tibetan yellow cattle. J. Yellow Cattle Sci. 21 : 1–2 (in Chinese with English abstract). Chow S, Inogue S. 1993. Intra ands interspecific restriction fragment length polymorphisms in mitochondrial genes of thunnus Tuna species. Bull. Nat.Inst. Far. Seas Fish. 30 : 207-224. Clayton DA. 1991. Replication and transcription of vertebrate mitochondrial DNA. Annu. Rev. Cell. Biol. 7 : 453-478. Darmadja SDND. 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam ekosistem pertanian di Bali [disertasi]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. Da Fonseca RR, Johnson WE, O'Brien SJ, Maria João Ramos MJ, Antunes A. The adaptive evolution of the mammalian mitochondrial genome. 2008. BMC Genomics 9 : 119 : 1-22. Deng W et al. 2004. Evolution and migration history of the Chinese population inferred from Chinese Y-chromosome evidence. J. Hum. Genet. 49 : 339–48. Deniston C. 1977. Small population size and genetic diversity. Implications for endangered species. In : S.A. Temple (Ed.). Endangered birds : Management techniques for present threatened species. Pp. 281-289. Univ. of Winconsin P.A. Madison. Di Rago JP, Netter P, Slonimski PP. 1990. Pseudo-wild type revertants from inactive apocytochrome b mutants as a tool for the analysis of the structure/function relationships of the mitochondrial ubiquinolcytochrome c reductase of Saccharomyces cerevisiae. J. Biol. Chem. 265 : 3332–9. [Disnak Jatim] Dinas Peternakan Jawa Timur. 2001. Penetapan Standard Bibit Ternak Regional Jawa Timur. Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. [Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan 2008. Jakarta : Ditjenak, Departemen Pertanian R.I. Dunn G, Everitt BS. 1982. An Introduction to Mathematical Taxonomy. Di dalam : Cannings C, Hoppensteadt F, editor. Cambridge Studies in Mathematical Biology : 5. England : Cambridge University Press. Edwards CJ, Gaillard C, Bradley DG, MacHugh DE. 2000. Y-specific microsatellite polymorphisms in a range of bovide species [short communication]. Anim. Genet. 31 : 127-130.
87
Edwards CJ et al. 2007. Mitochondrial DNA analysis shows a Near Eastern Neolithic origin for domestic cattle and no indication of domestication of European aurochs. Proc. Biol. Sci. 274 : 1377–1385.. Ellegren H, Johansson M, Sanberg K, Andersson L. 1992. Cloning of highly polymorphic microsatellite in the horse. Anim. Genet. 23 (2) : 133-142. Epstein H, Mason IL. 1984. Cattle, in Mason JL (ed): Evolution of Domesticated Animals, pp 6–27 (Longman Group Limited, Essex 1984). [FAO] Food and Agriculture Organization. 1996. Domestic Animal Diversity Information System and Agric. Organ. United Nations, Rome. Available at : http//193.43.36.7:80/dad-is/. Accesed July, 1996. Fukuda M et al. 1985. Mitochondrial DNA-like sequences in the human nuclear genome. Characterization and implications in the evolution of mitochondrial DNA. J. Mol. Biol. 186 : 257–66. Ge W, Davis ME, Hines HC, Irvin KM. 2002. Identification of genetic marker for growth and carcass traits in beef cattle. Research and Review : Beef & Sheep. Bulletin Extension. Special Circular. Ohio : The Ohio State University. hlm. 170-99. Goodacre, SL. 2002. Population structure, history and gene flow in a group of closely related land snails : genetic variation in Partula from the Society Islands of Pacific. Mol. Ecol. 11 (1) : 55 - 68. Götherström A et al. 2005. Cattle domestication in the Near East was followed by hybridization with aurochs bulls in Europe. Proc. Biol. Sci. 272 : 2345–235. Ginja C, Telo da Gama L, Penedo MCT. 2009. Y chromosome haplotype analysis in Portuguese cattle breeds using SNPs and STRs. J. Heredity 100(2) : 148 - 157. Gissi C, Reyes A, Pesole G, Saccone C. 2000. Lineage-specific evolutionary rate in mammalian mtDNA. Mol. Biol. Evol. 17(7) : 1022–1031. Graves JAM. 2002. The rise and fall of SRY. Trends in Genetics. 18 : 259–264. Greenwood A, Capelli C, Possnert G, Pääbo S. 1999. Nuclear DNA sequences from Late Pleistocene megafauna. Mol. Biol. Evol. 16 : 1466–1473. Hagelberg E et al. 1999. Evidence for mitochondrial recombination in a human population of island Melanesia. Proc. R. Soc. Lond. B. 266 : 485- 492. Hammer MF et al. 1997. The geographic distribution of human Y chromosome variation. Genetics 145 : 787–805.
88
Hanotte O et al. 2000. Geographic distribution and frequency of a taurine Bos taurus and an indicine Bos indicus Y specific allele amongst sub-Saharan African cattle breeds. Mol. Ecol. 9 : 387–396. Hanotte O et al. 2002. African pastoralism: genetic imprints of origins and migrations. Science 296 : 336–339. Harrison, RG. 1989. Animal mitochondrial DNA as a genetic marker in population and evolutionary biology. Trends Ecol. Evol. 4 : 6- 11. Hatefi Y. 1985. The mitochondrial electron transport and phosphorylation system. Annu. Rev. Biochem. 54 : 1015–69.
oxidative
Hayashi JI, Tagashira Y, Yoshida MC. 1985. Absence of extensive recombination between inter and intraspecies mitochondrial DNA in mammalian cells. Exp. Cell. Res. 160 : 387-395 Hellborg L. & Ellegren H. 2004. Low levels of nucleotide diversity in mammalian Y chromosomes. Mol. Biol. Evol. 21 : 158–63. Hopwood AJ, Fairbrother KS, Lockley AK, Bardsley RG. 1999. An actin generelated polymerase chain reaction test for identification of chicken in meat mixtures. Meat Sci. 53(4) : 227-231. Howell N, Gilbert K. 1988. Mutational analysis of the mouse mitochondrial cytochrome b gene. J. Mol. Biol. 203 : 607–18. Hurles ME, Jobling MA. 2001. Haploid chromosomes in molecular ecology: lessons from the human Y. Mol. Ecol. 10 : 1599-1613. Irwin DM, Kocher TD, Wilson AC. 1991. Evolution of the cytochrome b gene of mammals. J. Mol. Evol. 32 : 128–44. Jobling MA, Tyler-Smith C. 2000. New uses for new haplotypes the human Y chromosome, disease and selection. Trends Genet. 16 : 356-362. Kappes SM et al. 1997. A second-generation linkage map of the bovine genome. Gen.Res. 7 : 235-249. Kayser M et al. 2000. Characteristics and frequency of germline mutations at microsatellite loci from the human Y chromosome, as revealed by direct observation in father/son pairs. Am. J. Hum. Genet. 66 : 1580–1588. Kayser M, Sajantila A. 2001. Mutations at Y-STR loci: implications for paternity testing and forensic analysis. Forensic Sci. Int. 118 : 116–121.
89
Keman S. 1986. Keterkaitan produktifitas ternak dengan iklim, masalah dan tantangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta. Kephart D. 1999. Rapid isolation of genomic DNA from small quatities of human tissue. Promega Corporation. http://www.promega.com/profile/203/Profil.htm [20 September 2009]. Kikkawa Y, Amano T, Suzuki H. 1995. Analysis of genetic diversity of domestic cattle in east and Southeast Asia in terms of variations in restriction sites and sequences of mitochondrial DNA. Biochem. Genet. 33 : 51-60. Kikkawa Y et al. 2003. Phylogenies using mtDNA and SRY provide evidence for male-mediated introgression in Asian domestic cattle. Anim. Genet. 34 : 96– 101. Kimura M. 1987. Molecular evolutionary clock and the neutral theory. J. Mol. Evol. 26 : 24–33. [KMNRT] Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. 2000. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu VI (1997-1999) dengan judul Pemetaan Genom Sapi Bali : Strategi Awal dan Upaya Memproduksi “Tandemly Repeated Sequence “ dan “ Interspearse Repetitive Sequence “ Sebagai Penciri DNA (DNA Marker) oleh Muladno, Noor RR, Tappa B. Jakarta : KMNRT. Kimura M. 1983. The neutral theory of molecular evolution. Cambridge Univ. Press, New York. Kocher TD et al. 1989. Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals: amplification and sequencing with conserved primers. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 86 : 6196-6200. Laird, CD, Mcconaughy BL, Mc Carthy BJ. 1969. Rate of fixation of nucleotide substitutions in evolution. Nature 224 : 149–154. Lenstra JA, Bradley DG. 1999. Systematics and phylogeny of cattle, in Fries A, Ruvinsky A (eds): The Genetics of Cattle, pp 1–14 (CAB International, Oxon). Leung H, Nelson RJ, Leach JE. 1993. Population structure of plant pathogenic fungi and bacteria. Adv. Plant Pathol. 10 : 157 - 205. Lestienne P, Bouzidi M, Desguerre I, Ponsot G. 1999. Molecular basis of mitochondrial diseases. In Mitochondrial Diseases. Models and Methods. Lestienne P. ed., pp 33–58. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg.
90
Li WH, Lou CC, Wu CI. 1985. Evolution of DNA sequences. In Molecular Evolutionary Genetics. MacIntyre RJ. ed., pp 1–94. Plenum Press, New York, London. Li MH, Zerabruk M, Vangen O, Olsaker I, Kantanen J. 2007. Reduced genetic structure of north Ethiopian cattle revealed by Y-chromosome analysis. J. Heredity 98 : 214-221. Lindgren G et al. 2004. Limited number of patrilines in horse domestication. Nat. Genet. 36 : 335–6. Lipinski D et al. 2009. Biochemistry and Biotechnology, University of Life Sciences, Wolynska 35, Poznan 60-637, Poland. Liu WS, Beattie CW, Ponce de León FA. 2003. Bovine Y chromosome microsatellite polymorphisms. J. Cyt. Genom. Res. 102 : 53-58. Loftus I, Scherf B, editor. 1993. World Watch List for Domestic Animal Diversity. Rome : Food and Agriculture Organization. United Nation. Loftus RT, MacHugh DE, Bradley DG, Sharp PM, Cunningham P. 1994. Evidence for two independent domestications of cattle. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 91 : 2757-2761. Loftus RT et al. 1994a. Mitochondrial genetic variation in European, African and Indian cattle populations. Anim. Genet. 25 : 265–271. Loftus RT et al. 1999. A microsatellite survey of cattle from a centre of origin : the Near East. Mol. Ecol. 8 : 2015–2022. MacHugh DE, Shriver MD, Loftus RT, Cunningham P, Bradley DG. 1997 Microsatellite DNA variation and the evolution, domestication and phylogeography of taurine and zebu cattle (Bos taurus and Bos indicus). Genetics 146 : 1071–1086. MacHugh DE, Bradley DG. 2001. Livestock genetic origins : goats buck the trend. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 98 : 5382–5384. Martin A P, Palumbi SR. 1993. Body size, metabolic rate, generation time, and molecular clock. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 90 : 4087–4091. Martojo H. 1995. Penyebaran Sapi Bali pada Masa Lampau. Ruminansia, 4, IX. Mason IL, Crawford RD, editor. 1993. Global Status of Livestock and Poultry Species. Di dalam : Managing Global Genetic Resources : Livestock. Washington : National Academy Press. hlm. 141-169.
91
Matsunaga T et al. 1999. A quick and simple method for the identification of meat species and meat products by PCR assay. Meat Sci. 51 : 143-148. Maudet C, Luikart G, Taberlet P. 2002. Genetic diversity and assignment test among seven french cattle breeds based on microsatellite DNA analysis. Anim. Sci. 80 : 942-950. Meadows JRS, Hawken RJ & Kijas JW. 2004. Nucleotide diversity on the ovine Y chromosome. Anim. Genet. 35 : 379–385. Meadows JRS et al. 2006. Globally dispersed Y chromosomal haplotypes in wild and domestic sheep. Anim. Genet. 37 : 444–453. Mindel DP. 1991. Aligning DNA Sequences : Homology and Phylogenetic Weighting. Di dalam : Michael M, Miyamoto, Cracraft J, editor. Phylogenetic Analysis of DNA Sequences. New York : Oxford University Press Inc. Mindell DP, Thacker CE. 1996. Rates of molecular evolution: phylogenetic issues and applications. Annu. Rev. Syst. 27 : 279–303. Mirol PM, Mascherettià S, Searle JB. 2000. Multiple nuclear pseudogenes of mitochondrial cytochrome b in Ctenomys (Caviomorpha, Rodentia) with either great similarity to or high divergence from the true mitochondrial sequence. J. Heredity 84 : 538 - 547 Mohamad K et al. 2007. Genetic diversity and conservation of South-East Asian cattle : from Indian zebu to Indonesian Banteng, and then to the Cambodian Kouprey?. EU-Asia Link Project Symposium “Managing the Health and Reproduction of Elephant Population in Asia. 8 – 10 October 2007. Faculty of Veterinary Medicine, Kasetsart University, Bangkok, Thailand, pp. 120124. Montgelard C, Catzeflis FM, Douzery E. 1997. Phylogenetic relationships of artiodactyls and cetaceans as deduced from comparison of cytochrome b and 12S rRNA mitochondrial sequences. Mol. Biol. Evol. 14 : 550–9. Muladno, R.R. Noor dan B. Tappa. 2000. Pemetaan Genom Sapi Bali : Strategi Awal dan Upaya Memproduksi “Tandemly Repeated Sequence “ dan “ Interspearse Repetitive Sequence “ Sebagai Penciri DNA (DNA Marker). Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu VI (1997-1999). Dewan Riset Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Jakarta. Namikawa, T., Matsuda Y, Kondo K, Pangestu B, Martojo H. 1980. Blood Groups and Blood Protein Polymorphisms of Different Types of the Cattle in Indonesia. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native Livestock
92
(Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey, No. 404315). Bogor :. The Research Group of Overseas Scientific Survey. hlm. 35-45. Namikawa, T. 1981. Geographic distribution of bovine haemoglobin-beta (Hbb) alleles and the phylogenetic analysis of cattle in Eastern Asia. Z. Tierz. Zücht.Biol. 98 : 151-159. Namikawa T, Amano T, Pangestu B, Natasasmita S. 1982a. Electrophoretic Variation of Blood Protein & Enzymes in Indonesian Cattle and Bantengs. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native Livestock (Report by Grantin-Aid for Overseas Scientific Survey, No. 57043041). Bogor : The Research Group of Overseas Scientific Survey. hlm. 35-42. Namikawa, T., K. Kondo, O. Takenaka, & K. Takahashi. 1982b. A Comparison of the Amino Acid Compositions of Tryptic Peptides from the β chain of Haemoglobin XBali of the Bali Cattle (β X Bali) with Other β Variants of Domestic Cattle. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native Livestock (Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey, No. 57043041). Bogor : The Research Group of Overseas Scientific Survey. hlm. 43-48. Nei M. 1972. Genetic distance between populations. American Naturalist 106 : 283–92. Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York : Columbia University Press. Nijman IJ, Bradley DG, Hanotte O, Otsen M, Lenstra JA. 1999. Satellite DNA polymorphisms and AFLP correlate with Bos indicus-taurus hybridization. Anim. Genet. 30 : 265–273. Nijman IJ et al. 2003. Hybridization of banteng (Bos javanicus) and zebu (Bos indicus) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP and microsatellites. J. Heredity 90 : 10–16 Noor RR, Muladno, Benyamin B, Hedah Z, Herliantin. 2000. Uji Kemurnian Sapi Bali Melalui Protein, DNA Mikrosatelit, Struktur Bulu dan Kromosom [laporan penelitian]. Bogor : Fakultas Peternakan IPB dan Pusat Inseminasi Buatan Singosari. Notter DR, Foose TJ. 1986. Concept and Strategies to Maintain Domestic and Wild Animal Germplasm. In : Technologies to Maintain Biological Diversity, Volume II : Contract Papers. 103 pp. National Technical Information Service, Springfield, VA. Notter DR. 1999. The importance of genetic diversity in livestock population of the future. Anim. Sci. 77 : 61-69.
93
Nowak RM. 1991. Walker’s Mammals of the World. John Hopkins University Press, Baltimore, MD [NRC] National Research Council. 1993. Managing Global Genetic Resources: Livestock. Washington : National Academy Press. [OTA] Officer of Technology Assesment. 1987. Technologies to Maintain Biological Diversity. Washington : U.S. Congress Officer of Technology Assesment. Pandey AK, Sharma R, Singh Y, Prakash BB, Ahlawat SPS. 2006. Genetic diversity studies of Kherigarh cattle based on microsatellite markers. J. Genetics 85 (2) : 117-122. Pane I. 1991. Produktivitas dan Pemuliaan Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang : Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. hlm. 50-69. Pardal LP et al. 2009. Female segregation pattern of the putative Ychromosome-specific microsatellite markers INRA 124 and INRA 126 do not support their use for cattle population studies. Anim. Genet. 40 : 560564. Parson W, Pegoraro K, Niederstatter H, Foger M, Steinlechner M. 2000. Species identification by means of the cytochrome b gene. Int. J. Legal Med. 114 : 23–28. Payne WJA, Rollinson DHL. 1976. Madura cattle. Z. Tier. Züchts. 93: 89–100. Perez-Lezaun A et al. 1997. Population genetics of Y chromosome short tandem repeats in humans. J. Mol. Evol. 45 : 265–270. Perez-Pardal L et al. 2009. Female segregation patterns of the putative Ychromosome-specific microsatellite markers INRA124 and INRA126 do not support their use for cattle population studies. Anim. Genet. 40 : 560-564. Petit E, Balloux F, Excoffier L. 2002. Mammalian population genetics : why not Y? Trends Ecol. Evol. 17 : 28–33. Prado M et al. 2002. Comparison of extraction methods for the recovery, amplification and species-specific analysis of DNA from bone and bone meals. Electrophoresis. 23 : 1005-1012. Prusak B, Grzybowski T. 2004. Non-random base composition in codons of mitochondrial cytochrome b gene in vertebrates. Acta Biochimia Polonia. 51 : 897–905.
94
Qiagen 2009. Protocol for isolation of genomic DNA from blood, cultured cell, tissue, yeast, or bacteria. QIAGEN Genomic Handbook 08 : 44. http://www.qiagen.com. [12 September 2009]. Queney G, Ferrand N, Weiss S, Mougel F, Monnerot M. 2001. Stationary distributions of microsatellite loci between divergent population groups of the European rabbit (Oryctolagus cuniculus). Mol. Biol. Evol. 18 : 2169 - 2178. Rand DM. 1994. Thermal habit, metabolic rate and the evolution of mitochondrial DNA. Trends Ecol. Evol. 9 : 125–131. Reyes A, Gissi C, Pesole G, Saccone C. 1998. Asymmetrical directional mutation pressure in the mitochondrial genome of mammals. Mol. Biol. Evol. 15 : 957–966. Roman J, Palumbi S. 2003 Whales before whaling in the North Atlantic. Science 301 : 508–510. Rollinson DHL. 1994. Bali Cattle. In Evolution of domestic animals, (I.L. Mason, ed.), Longman, Essex, UK, pp 28-34. Saito N, Nei M. 1987. The Neighbor-Joining Method : a new method for reconstructing phylogenetics trees. Mol. Biol. Evol. 4 : 406-425. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning : A Laboratory Manual. 2nd Edition. Washington : Cold Spring Harbor Laboratory Press. Sawyer DE, Van Houten DB. 1999. Repair of DNA damage in mitochondria. Mutat. Res. 434 : 161–167. Schearf, B. (ed.). 2003. World Watch List for Domestic Animal Diversity. FAO 2003. Schutz M, Freeman AE, Lindberg GL, Koehler CM, Beitz DC. 1994. The effect of mitochondrial DNA on milk production and health of dairy cattle. Livestock Production Sci. 76 : 283-295. Scotland RW. 1992. Character coding. Di dalam : Cladistics : a Practical Course in Systematics. New York : The Systematic Association Publication, Oxford University Press Inc.hlm. 3-12. Seielstad MT, Minch E, Cavalli-Sforza LL. 1999. Genetic evidence for a higherfemale migration rate in humans. Nat. Genet. 20 : 278-28 Setiadi B, Diwyanto, K. 1997. Karakterisasi Morfologis Sapi Madura. J Ilmu Ternak dan Veteriner 2 (4) : 218-224.
95
Shadel GS, Clayton DA. 1997. Mitochondrial DNA maintenance in vertebrates. Annu. Rev. Biochem. 66 : 409-435. Shen P et al. 2000. Population genetic implications from sequence variation in four Y chromosome genes. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 97 : 7354-735. Shoffner JM, Wallace DC. 1990. Oxidative phosphorylation diseases: disorders of 2 genomes. Adv. Hum. Genet. 19 : 267 – 273. Simonsen BO, Hans T, Siegismund R, Arctander P. 1998. Population structure of African buffalo inferred from mtDNA sequence and microsatellite loci : high variation but low differentiation. Mol. Ecol. 7 : 225 - 237. Sneath PHA, Sokal RR. 1973. Francisco : W.H. Freeman.
Principles of Numerical Taxonomy.
San
Sonjaya, H. and Idris, T. 1996. Kecenderungan perkembangan populasi sapi potong di Sulawesi Selatan. Forum Komunikasi Pimpinan Perguruan Tinggi Peternakan se Indonesia. 9–10 Agustus 1996, UNHAS Ujung Pandang. Stewart DT, Baker AJ. 1994. Patterns of sequence variation in the mitochondrial D-loop region of shrews. Mol. Biol. Evol. 11 : 9 – 21. Sueoka N. 1988. Directional mutation pressure and neutral molecular evolution. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 85 : 2653 - 2657. Talib C. 1988. Produktivitas induk sapi Peranakan Ongole dan keturunannya [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Tautz D, Renz M. 1984. Simple sequences are ubiquitos repetitive components of eukaryotic genomes. Nucleic Acids Res. 12 : 4127 - 4138. Tegelström H. 1986. Mitochondrial DNA in natural population : an improved routine for the screening of genetic variation based on sensitive silver stain. Electrophoresis 7 : 226 - 229. Tess M.W, Robison OW. 1990. Evaluation of cytoplasmic genetic effects in beef cattle using an animal model. J. Anim. Sci. 68 : 1899 - 1909. Thompson J.D, Gibson TJ, Plewniak F, Jeanmougin F, Higgins DG. 1997. The ClustalX-Windows Interface : flexible strategies for multiple alignment through sequence alignment aided by quality analysis tools. Nucleid Acids Res. 25 : 4876 - 4882.
96
Troy CS et al. 2001. Genetic evidence for Near-Eastern origins of European cattle. Nature 410 : 1088 - 1091. Trumpower BL. 1990. Cytochrome-bc1 complexes of microorganisms. Microbiol. Rev. 54 : 101 - 129. Ugla CM. 2008. Investigating genetic variability within specific indigenous Indonesian cattle breeds.[dissertation]. Uppsala, Department of Animal Breeding and Genetics, Swedish University of Agricultural Sciences, Box 7080, 75007 Uppsala, Sweden. Underhill PA, Jin L, Zemans R, Oefner PJ, Cavalli-Sforza LL. 1996. A preColumbian Y chromosome-specific transtition and its implication for human evolutionary history. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93 : 196 - 200. Vaiman D et al. 1994. A set of 99 cattle microsatellites characterization, synteny mapping, and polymorphisms. Mammalian Genome 5 : 288–297. Verkaar ELC, Nijman IJ, Boutaga K, Lenstra JA. 2002. Differentiation of cattle species in beef by PCR-RFLP of mitochondrial and satellite DNA. Meat Sci. 60 (4) : 365-369. Verkaar ELC et al. 2003. Paternally inherited markers in bovine hybrid populations. J. Heredity 91 : 565–569. Verkaar EL, Nijman IJ, Beeke M, Hanekamp E, Lenstra JA. 2004. Maternal and paternal lineages in cross-breeding bovine species. Has wisent a hybrid origin? Mol. Biol. Evol. 21 : 1165–1170. Viljoen GJ, Nel LH, Crowther JR. 2005. Molecular diagnostic PCR handbook. Published by Springer, P.O. Box 17, 3300 AA Dordrecht, The Netherlands. 307 p. Winaya A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winaya A, Muladno, Tappa B. 2000. Variasi genetik berdasarkan 16 lokus mikrosatelit pada populasi sapi bali dan madura [makalah]. Di dalam : Kongres dan Seminar Nasional II Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI); Yogyakarta, 7-8 November 2000. Wirdahayati RB, Bamualin A. 1990. Penampilan produksi dan struktur populasi sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. Fak. Peternakan UNUD.
97
Yuari. 2008. Bangsa-Bangsa Sapi Potong di Provinsi Jawa Timur (Online), http://yuari.wordpress.com/2008/01/10/bangsa-bangsa-sapi-potong-diprovinsi-jawa-timur/. [ 10 Mei 2008]. Zehner R, Zimmermann S, Mebs D. 1998. RFLP and sequence analysis of the cytochrome b gene of selected animals and man: methodology and forensic application. Int. J. Legal Med. 111 : 323 - 327.