URBAN, ANGKATAN MUDA DAN DEMOKRASI Belum lama ini seluruh dunia telah memperingati Hari Kependudukan Dunia 2001. Di Indonesia, peringatan itu kecuali ditandai dengan suatu pertemuan meja bundar (round table discussion) yang ditutup dengan acara makan siang bersama Presiden Gus Dur dibarengi pula dengan fenomena kependudukan yang menarik. Fenomena itu adalah kenyataan hahwa Indonesia mengikuti tren dunia dengan pertambahan jumlah penduduk urban yang tinggi, penduduk remaja yang membengkak dan warga lansia yang meningkat dengan drastis. Pertambahan penduduk urban yang tinggi itu bukan hanya karena adanya migrasi penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah maju dan penduduk desa tersebut siap atau tidak, karena “desanya” berubah menjadi “kota", dengan otomatis dan menyeluruh berubah menjadi "penduduk kota" atau "penduduk urban”. Dinamika peruhahan penduduk desa menjadi penduduk kota yang, terjadi dengan kecepatan tinggi itu hukan hanya monopoli hangsa Indonesia saja. Fenomena itu adalah suatu kejadian luar biasa dalam akhir ahad ke-20 yang terjadi di banyak negara berkembang. Kejadian ini, dengan segala implikasi sosial, budaya dan politik yang cukup rumit kurang mendapat perhatian para ahli, politisi dan penyelenggara negara. Untung saja peruhahan itu terjadi seiring dengan makin melemahnya angka fertilitas dan angka pertumhuhan penduduk secara menyeluruh. Namun demikian, biarpun tingkat pertumbuhan penduduk dunia mulai mereda, tahun ini penduduk dunia telah lebih dari 6 milyar jiwa. Kalau semula diperkirakan bahwa pada pertengahan abad ini penduduk dunia akan mencapai sekitar 9 – 9,5 milyar, karena melambatnya angka pertumbuhan itu para ahli telah menyusun ramalan haru yang memperkirakan bahwa penduduk dunia hanya akan mencapai sekitar 7,8 – 8,9 milyar saja. Tetapi sebaliknya, kalau kita semula pesimis bahwa penduduk dunia akan tetap bersifat tradisional sebagai penduduk pedesaan, perkembangan baru memperkirakan bahwa 60 – 70 persen penduduk dunia sudah akan menjadi penduduk urban yang relatip modern pada sekitar tahun 2030 yang akan datang. Angka prosentase itu sungguh diluar dugaan karena pada tahun 1950 proporsi jumlah penduduk urban dunia baru mencapai sekitar 30 persen saja. Jumlah itu bisa kecil karena jumlah penduduk urban Asia dan urban Afrika pada tahun 1950 tersebut masing-masing baru diperkirakan sekitar 18 persen dan I5 persen dari seluruh penduduk di kedua benua yang sedang berkembang tersebut. Perk.iraan moderat untuk. Asia pada tahun 2030 adalah sekitar 55 persen, dan untuk Afrika adalah sekitar 54 persen. Dengan melompatnya perkembangan jumlah penduduk perkotaan di kedua benua itu maka dengan mudah penduduk, urban dunia akan mencapai angk.a sekitar 60 – 70 persen seperti digambarkan diatas.
Transisi Demografi Lamban Ada dua pola transisi demografi yang terjadi dengan segala implikasinya. Transisi demografi model yang pertama terjadi dengan lamban yaitu di negara-neguru Eropa seperti Inggris dan Wales. Transisi demografi model pertama yang berlangsung relatip lamban itu mulai sekitar tahun 1700 sampai sekitar tahun 1950-an. Dalam proses transisi tersebut tingkat kematian turun dengan pelahan karena kemajuan industrialisasi yang terjadi di negara-negara tersebut. Adanya transisi itu menyebabkan nilai-nilai kultural tentang berbagai phenomena berubah secara pelahan. Dalam masyarakat agraris anak merupakan potensi yang segera dapat ikut dalam proses produksi. Dengan perubahan itu masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dengan industrialisasi. Nilai anak juga mengalami perubahan. Anak tidak bisa secara langsung ikut serta dalam proses produksi. Anak harus dikirim ke sekolah dengan waktu dan ongkos yang tidak kecil sampai anak-anak itu bisa ikut dalam proses produksi serta menghasilkan. Pemeliharaan anak menjadi lebih mahal dan dengan adanya nilai anak yang makin mahal pemeliharaannya itu maka angka kelahiran akhirnya mengikuti proses menurun dengan pelahan-lahan. Dalam masa transisi yang relatip lama itu masyarakat mempunyai waktu yang cukup lumayan untuk melakukan penyesuaian dengan pelahan. berubah dari masyarakat yang tradisionil perdesaan pelahan-lahan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang makin modern. Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih siap melakukan atau menerima berbagai perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial politik penduduk juga mulai mengalami perubahan dengan mengembangkan kemampuan ekspresi politik yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal demokratik. Dengan adanya penyesuaian itu maka proses transisi demografi yang lamban bisa diikuti dengan proses penyesuaian kehidupan kemasyarakatan yang seimbang. Biarpun proses transisi itu terjadi pertama-tama di negara Inggris dan Wales namun negara-negara Eropa lainnya. begitu juga negara-negara Amerika Utara dan Kanada. mengikuti proses itu dengan model yang hampir serupa. Negara maju yang terakhir mengikuti proses tersebut adalah Jepang yang memulai proses itu tahun 1920-an. Model Proses Transisi Cepat Biarpun agak terlambat negara-negara berkembang mengikuti juga proses transisi demografi tersebut. Anehnya, pada awal transisi, angka kematian pada tahun 1900 relatip sangat tinggi dan baru mulai menurun pada sekitar tahun 1920-an. Angka itu menurun lebih tajam pada sekitar tahun 1940-50. Proses penurunannya agak berbeda. Di negaranegara berkembang penurunan itu lebih banyak dipengaruhi oleh diketemukannya pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan langkah-langkah nyata secara global. Namun demikian, untuk penyesuaiannya, tingkat kelahiran juga segera menurun, tidak harus menunggu 150 tahun. Tingkat kelahiran itu turun menyusul penurunan tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Penurunan tingkat kematian itu terjadi terutama di negara-negara dengan jumlah penduduk besar yang secara sungguh-sungguh melaksanakan program KB dan kesehatan
dengan komitmen yang tinggi. Dengan penurunan tingkat kelahiran atau fertilitas itu maka proses transisi demografi terjadi dengan cepat. Akibatnya tingkat pertumbuhan penduduk juga menurun dengan drastis. Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan penduduk yang makin rendah, ada fenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di negara-negara berkembang. Fenomena itu adalah makin tingginya proporsi jumlah penduduk urban, ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang meningkat dalam waktu yang relatip pendek. Karena terjadi dalam tempo yang sangat singkat, implikasi perubahan phenomena ini pasti belum disadari secara mendalam oleh para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Fenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan atau konflik di wilayahnya. Perubahan struktur yang mirip dengan struktur piramida penduduk di negara maju sekaligus diikuti dengan makin membengkaknya penduduk urban di negara berkembang. Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk. Ledakan Penduduk Urban dan Angkatan Muda Dengan mengecilnya proporsi penduduk usia muda. terjadi pembengkakan proporsi penduduk usia 25 tahun sampai 45 tahun. atau penduduk usia muda. Penduduk usia muda tersebut telah mendapat pendidikan dasar dan makin tidak tertarik untuk bertani seperti orang tuanya di desa. Penduduk muda itu mempunyai tendensi untuk pindah ke kota mencari pekerjaan yang bersifat "urban", bekerja di pabrik atau industri jasa yang tidak banyak tergantung musim seperti bertani di sawah desanya. Disamping itu penduduk yang terdidik di desa mulai pula mempergunakan waktunya yang banyak untuk membangun industri dan perdagangan di desanya. Karena fasilitas transportasi yang makin baik, usaha itu makin bisa dihubungkan dengan rekan- rekannya dari kota sehingga menumbuhkan kepadatan dan ciri baru di desa-desa penyangga kota. Angkatan muda dan petani maju yang berhasil mulai ikut membangun industri dan jasa proses pasca panen di desa dan merubah infrastuktur desanya menjadi makin bersifat urban. Akibatnya pertumbuhan urban di negara-negara berkembang seperti Indonesia mempunyai dua sumber yang sama kuatnya, yaitu perpindahan penduduk ke kota dan berubahnya desa-desa agraris menjadi daerah urban yang baru. berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhannya di masa lalu.
Demokrasi dan Keterbukaan Ketidakseimbangan penduduk yang disertai makin tingginya mutu itu biasanya diikuti oleh ketidak puasan karena dukungan sistem yang lamban. Di negara-negara maju proses
penyesuaian diikuti dengan proses demokratisasi dan keterbukaan masyarakatnya. Biarpun ada kegoncangan karena para penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya perubahan phenomena dan masih terlena pada phenomena lama, tetapi perubahan masyarakat tani menjadi masyarakat industrial yang modern dan urban mendapat tanggapan yang wajar. Di negara berkembang proses penyesuaian dan tanggapan itu berjalan lamban. Karenanya tekanan angkatan kerja profesional, baik wanita maupun pria di negara berkembang, memaksa munculnya tuntutan perubahan sistem sosial yang lebih tanggap, demokratis, terbuka dan sanggup memenuhi tuntutan masyarakat. Karena itu tiba waktunya para politisi memperhatikan transisi demografi, perubahan struktur penduduk yang ditandai ledakan penduduk urban, angkatan muda dan munculnya tuntutan demokratis dan keterbukaan yang tidak saja harus mengikuti arus perubahan kuantitatifnya, tetapi harus siap menanggapi fenomena itu dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita pria yang menyejukkan. Perubahan itu harus disikapi dengan suasana yang kondusif untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). Penduduk-I 40 20(J I
MEMBANGUN PERSAHABATAN DUNIA Oleh : Haryono Suyono Minggu ini Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden RI, mengadakan perjalanan keliling ke negara-negara ASEAN untuk mempererat persahabatan regional. Kita juga diingatkan bahwa pada hari-hari seperti sekarang ini, tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1994, bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok, para ahli kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Selatan-Selatan, berkumpul di Jakarta untuk maksud yang sama. Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan tekun, para ahli itu bicara tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang akan diadakan kurang dari sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para ahli menyatukan sikap untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh tahun itu makin menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan yang kuat dari Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan membentuk suatu Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan Pembangunan sebagai wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan mengkoordinasikan program-program yang menguntungkan penduduk negara-negara berkembang. Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir, pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe, Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in Population and Development”. Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional. Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah
mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan akhirnya menjadi peserta KB yang lestari. Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”, untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para magang petugas Bangladesh itu dapat menyerap pengalaman menyelenggarakan program KB disini dengan sangat cepat. Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan milihat dan mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk menggerakkan program dengan gegap gempita. Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia. Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan rekan-rekannya di Indonesia. Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda. Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul
sukses yang telah diraih Indonesia ! Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka sebut sebagai Program “Family Planning Caravan”. Program ini sangat mirip dengan program pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia atau program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok dan para bidan di pedesaan. Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin dunia” . Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan NonBlok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak. Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut. Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai sekretaris jendral organisasi ini, telah disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari negara donor atau lembaga-lembaga internasional. Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah
mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing. Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah drastis tersebut. Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan baru yang mengasyikkan. Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk membangun. Mudah-mudahan kunjungan muhibah Ibu Megawati Soekarnoputri, sekaligus dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke 56, dapat makin meyakinkan negara-negara sahabat bahwa putra-putra bangsa ini dapat terus menggalang persahabatan dunia yang makin bermakna. Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz, kita bangkitkan generasi muda Indonesia menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa dengan lebih tegar menjadi penggerak persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia dalam usianya yang makin dewasa selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) - SAHABAT-2582001. ANAK-ANAK DUNIA HADAPI PERANG,
BERAPA JUTA LAGI HARUS DIKORBANKAN? Delapan puluh Kepala Negara serta wakil-wakil negara lain setingkat Menteri dari seluruh Dunia, yang sangat peduli terhadap nasib anak-anak di masa depan, menggelar pertemuan paling akbar pada Sidang Khusus PBB tentang Anak, di New York, tahun 2001. Namun, kurang dari satu minggu dari pembukaan pertemuan yang dipersiapkan oleh para pemimpin dan ahli-ahli selama satu tahun itu dibuka, telah terjadi suatu tragedi serangan mendadak terhadap World Trade Center (WTC) di jantung kota New York. Pertemuan yang sangat vital tersebut terpaksa ditunda. Karena peristiwa itu, anak-anak dunia yang selama ini telah kalang kabut menghadapi perang terhadap berbagai penyakit, kebodohan, ketidak pedulian, dan akhirnya kemiskinan yang tidak kunjung selesai, hari-hari ini dibayangi ketakutan menghadapi ancaman perang baru yang lebih dahsyat dan sangat mengerikan. Selama ini, anak-anak dunia telah banyak mengalami, ikut serta dan menjadi korban berbagai perang atau konflik yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi gambaran kemungkinan perang baru sebagai akibat dihancurkannya gedung WTC dan Pentagon di Amerika Serikat itu sungguh sangat mengerikan. Dengan kemajuan tehnologi dan kemampuan industri persenjataan yang canggih, peperangan atau konflik bersenjata yang terbaru akhir-akhir ini telah memanfaatkan anak-anak dan remaja. Akibatnya, anak-anak tidak saja menjadi korban karena terkena peluru nyasar atau karena ledakan bom yang salah sasaran. Dengan tersedianya produk senjata ringan yang terdiri dari pistol, senapan ringan, sampai AK-47 yang relatip ringan dan makin canggih telah memungkinkan anakanak dibawah usia 18 tahun menentengnya sebagai bawaan untuk bisa berperan sebagai prajurit di medan laga. Dengan senjata ringan tersebut, yang jumlahnya lebih dari ½ milyar, atau sekitar 1 pucuk senjata untuk setiap 12 orang, dan beredar dengan luas di seluruh dunia, anakanak dengan mudah dapat dipersenjatai. Anak-anak yang sedang tumbuh rupanya menyukai “lakon” yang penuh advorisme, atau petualangan seperti bintang sinetron, atau film-film advonturir, atau pemain dalam lakon jagoan lainnya, dan dengan senang hati siap menjadi prajurit dan mengikuti kegiatan yang penuh tantangan. Menurut data UNICEF, tidak kurang dari 300.000 anak-anak telah ikut serta dalam kegiatan perang sungguhan di beberapa negara Afrika. Di Sierra Leon, dalam suatu “perang anak -anak” yang mengerikan, tidak kurang dari separo g erilyawan yang ada berumur dibawah 18 tahun. Mereka ikut sebagai prajurit, agen-agen spionase, ikut bertempur di medan laga, dan tidak jarang ikut memberikan pelayanan seksual kepada para seniornya. Di Uganda bagian Utara, tidak kurang dari 12.000 anak-anak dibawah usia 18 tahun ikut serta dalam pasukan “Lord’s Resistant Army” sejak tahun 1985. Merekapun ikut dilatih, dikirim ke medan laga, mengalami kehidupan yang penuh dengan hubungan seksual, terkena penyakit menular dan tidak jarang yang mengidap Virus HIV/AIDS yang mematikan. Di Colombia, Amerika Latin, tidak kurang dari 30 persen anggota-anggota
unit gerilya adalah anak-anak dan remaja yang berusia dibawah 18 tahun. Dengan adanya “prajurit -prajurit anak-anak” yang langsung dikirim ke medan laga tersebut dengan sendirinya tidak dapat dihindari kematian anak-anak pada usia yang sangat muda. Disamping itu pada hampir setiap perang, apakah itu perang yang besar dengan terlebih dulu diumumkan, atau sekedar adanya konflik sosial politik, atau konflik jenis lainnya, anak-anak dan Ibu rumah tangga adalah korban terbesarnya. Sejak tahun 1990 lebih dari 2 juta anak-anak telah meninggal dunia karena peperangan semacam itu. Disamping itu diperkirakan pula sekitar 6 juta anak-anak telah menderita cacat, dan sekitar 20 juta anak-anak terpaksa meninggalkan rumah dan lingkungan desanya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Lembaga-lembaga internasional telah berusaha untuk mengembalikan anak-anak yang dipaksa atau terpaksa ikut dalam pertempuran semacam itu ke desanya atau kepada orang tuanya masing-masing. Baru-baru ini tidak kurang dari 227 anak-anak berusia antara 10 – 18 tahun, dengan bantuan lembaga internasional, telah dikembalikan ke masyarakat di Kigali di dekat Ibukota Ruwanda setelah selama musim panas yang lalu terpaksa ikut serta dalam kamp-kamp di daerah konflik yang berbahaya. Dengan bantuan UNICEF, baru-baru ini sekitar 3481 anak-anak dan ramaja dibawah usia 18 tahun dikembalikan ke masyarakat di Sudan Selatan setelah selama 5 bulan mereka mengikuti perang saudara yang mengerikan di Sudan. Dari gambaran itu selalu dicatat apapun wujud perangnya, sejak jaman dahulu kala peperangan selalu membawa korban. Korban itu umumnya adalah anak-anak, ibu rumah tangga atau penduduk sipil yang tidak berdosa. Pada masa perang di tahun 1890an korban penduduk sipil itu relatip masih rendah, yaitu hanya sekitar 5 persen saja. Pada periode Perang Dunia pertama korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa itu sudah meningkat menjadi 15 persen. Pada Perang Dunia kedua korban penduduk sipil dan anakanak itu sudah mencapai 65 persen. Tetapi peperangan yang nampaknya tidak terlalu dahsyat di tahun 1990-an, dengan menggunakan tank-tank besar, pesawat terbang jet dengan kemampuan pengeboman yang luar biasa, serta makin banyaknya senjata ringan yang dipergunakan dengan mudah oleh anak-anak dan remaja, korban penduduk sipil dan anak-anak yang jatuh telah naik menjadi sekitar 90 persen. Dengan demikian, penggunaan anak-anak dan remaja, yang sebenarnya melanggar Artikel 21, 38, dan 39 dari ”Konvensi tentang Hak -hak Anak” yang tidak memberi peluang untuk menempatkan anak-anak pada kegiatan yang berbahaya, yang teoritis memberikan hak kepada anak untuk berkumpul dengan keluarga, dan hak-hak anak lainnya, dalam praktek penggunaan anak-anak dan remaja sebagai prajurit tameng, prajurit pengintai yang menantang bahaya, atau prajurit penghibur seksual tetap saja menempati jumlah yang makin membesar. Disamping perang, timbul pula kerusuhan antar suku, antar agama, antar etnik, atau antar kepentingan, yang “relatip ringan” yang selama beberapa tahun ini telah terjadi di beberapa negara. Indonesia tidak terkecuali dari musibah tersebut. Beberapa tahun terakhir ini beberapa daerah di Indonesia mengalami kejadian tersebut yang
ternyata membawa akibat yang sangat mengerikan. Biarpun kita tidak tahu secara tepat berapa banyak yang telah terbunuh akibat konflik itu, tetapi yang jelas menurut catatan, di pada tahun 2000, di Indonesia terdapat tidak kurang dari 1,2 juta jiwa pengungsi tersebar di 19 provinsi. Para pengungsi itu terdiri dari orang tua, para Ibu yang ditinggalkan suaminya, anak-anak yang tidak berorang tua lagi, anak-anak yang tidak mempunyai bapak lagi, atau anak-anak yang tidak mempunyai Ibu lagi. Menurut catatan jumlah mereka ada sekitar 350.000 anak-anak. Anak-anak itu sebagian besar, atau sekitar 125.000 adalah anak-anak dari Maluku, 100.000 anak-anak dari TimTim, dan sekitar 75.000 anak-anak dari Aceh. Anak-anak itu sebagian besar terpaksa tidak sekolah dan hidup bersama orang tuanya, atau ibunya, atau saudaranya, atau di pengungsian sendirian tanpa kerabat dengan penderitaan yang sangat menyedihkan. Prosentase anak-anak yang mengungsi di masing-masing daerah berbeda-beda. Di daerah yang penderitaannya sangat tinggi, dimana banyak para Bapak atau para Ibu yang meninggal dunia meninggalkan anak-anaknya, prosentase jumlah anak-anak itu bisa mencapai 80 persen dari seluruh pengungsi yang ada. Dalam kondisi seperti itu penderitaan anak-anak tersebut menjadi sangat berganda dan tidak pernah terbayangkan kapan persoalan yang rumit seperti ini dapat diselesaikan. Anak-anak itu tidak bisa membayangkan kapan bisa tumbuh kembang dengan suasana yang lebih harmonis. Biarpun menurut ukuran dunia apa yang kita hadapi ini “ringan”, tetapi sampai hari ini kita belum bisa memecahkan persoalan yang rumit dan sangat mahal tersebut. Upaya untuk membuat Panti Asuhan akan memakan biaya yang mahal dan memerlukan tenaga pembimbing yang luar biasa banyaknya. Sementara itu upaya untuk membantu keluarga yang menderita dengan mengembalikan ketempat asal semula, nampaknya tidak semudah membalik tangan. Banyak keluarga yang mengalami trauma dan belum siap untuk kembali ke tempat asalnya semula. Tidak banyak pilihan yang tersisa. Mereka berada dalam tempat pengungsian, baik dalam asrama atau ikut keluarga lain yang baik hati, dengan bekal yang sangat tipis, kalau ada atau kalau belum habis, akan selalu dalam keadaan yang menderita. Mereka, biarpun sebelumnya mungkin saja bukan keluarga pra sejahtera atau keluarga miskin, bisa-bisa akan menjadi keluarga yang sangat menderita. Kita semua, termasuk para pengungsi sendiri, harus mengambil tindakan yang konkrit dan cepat. Kalau ancaman serangan balik yang sementara ini dicanangkan oleh Pemerintah Amerika betul-betul diwujudkan, bisa saja terjadi perang karena saling balas membalas yang membabi buta. Kalau peperangan itu merembet ketempat-tempat lain, bisa saja memicu Perang Dunia III yang dahsyat dengan korban yang akan sangat besar. Akibatnya, dunia akan dilanda berbagai krisis yang luar biasa. Krisis ekonomi dengan pangan yang makin langka akan menyebabkan Ibu-ibu dan anak-anak akan sangat menderita dan mengalami kekurangan gizi yang parah. Di Indonesia, selama sepuluh tahun terakhir ini saja kita telah mendapat kesukaran untuk menurunkan tingkat kematian ibu karena mengandung dan melahirkan. Kalau terjadi perang dan kelangkaan pangan, maka angka kematian ibu yang sudah mulai berada dibawah angka 400 per 100.000 ibuibu yang melahirkan dengan mudah bisa mencuat lagi.
Tingkat kematian bayi dan anak-anak dibawah usia lima tahun, yang mulai dapat diturunkan menjadi sekitar 43 – 45 per 1000 pada tahun 2000 dengan mudah bisa menjadi duakali lipat. Angka kematian anak dibawah usia lima tahun yang telah dengan susah payah dapat diturunkan menjadi dibawah angka 60 per 1000 kelahiran dengan mudah dapat naik lagi tanpa komando. Jumlah keluarga di negara-negara berkembang dan miskin yang selama ini dengan susah payah mengurangi jumlah anak-anaknya yang terpaksa bekerja di bawah umur, dengan mudah akan “terpaksa mengijinkan anaknya”, yang masih dibawah umur, untuk bekerja kembali membantu menghidupi seluruh isi keluarga yang ada. Para orang tua pasti akan merelakan anak-anaknya bekerja dibawah umur, biarpun dilarang undangundang dan berbagai konvensi dunia. Di Indonesia keadaan kita dalam hal ini belum juga dapat diatasi. Banyak anakanak terpaksa bekerja biarpun usianya belum mencapai usia kerja, baru berusia 10-14 tahun. Jumlah anak-anak yang terpaksa bekerja dibawah umur itu pada tahun 1990 sekitar 2,3 juta anak. Pada tahun 1997 sempat menurun menjadi 1,7 juta. Tetapi karena krisis ekonomi yang berkepanjangan, sejak tahun 1998 jumlah itu naik lagi dan pada tahun 2000 mendekati angka 2,1 juta anak. Orang tua yang tidak mampu tidak bisa mencegah apalagi melarang kegiatan anak-anak itu. Karena itu, marilah kita berpikir dengan kepala dingin. Marilah kita kembangkan pendekatan yang penuh kedamaian agar nasib anak-anak dan remaja yang selama ini sudah sangat menderita, tidak ditambah lagi dengan balas dendam emosional tanpa perhitungan, atau diselesaikan dengan peperangan yang belum tentu menyelesaikan masalah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). – Anak-Perang-2292001. SIDANG KHUSUS PBB TENTANG ANAK Sidang Khusus PBB tentang Anak di New York tahun 2001 disiapkan secara marathon sejak Sidang Umum PBB yang menyetujui Resolusi nomor 53/93 untuk mengadakan Sidang Khusus PBB tentang Anak tersebut. Dengan persiapan yang sangat intensip, diperoleh informasi dari Panitia di New York bahwa Sidang Khusus PBB tersebut, yang bisa menjadi peristiwa terpenting awal abad itu, telah mendapat komitmen kehadiran 79 Kepala Negara. Sidang Khusus PBB itu merupakan kulminasi dari ratusan pertemuan yang telah diadakan secara intensip di seluruh dunia. Pertemuan-pertemuan intensip itu telah dihadiri oleh ribuan pemimpin dunia, para ahli, pendidik, anak-anak dan remaja, pada tingkat nasional, regional, bahkan global. Berbagai pertemuan penting itu telah membahas dan menilai kemajuan dan kekurangan hasil kerja bersama dunia selama sepuluh tahun terakhir. Atas dasar penilaian itu dikembangkan komitmen awal untuk sepuluh tahun yang akan datang. Bahan-bahan itu dijadikan agenda yang sangat penting pada Sidang Khusus di New York nanti. Mengingat pentingnya agenda pertemuan itu,
banyak kalangan mengharapkan Presiden RI, Ibu Megawati Soekarnoputri, dapat hadir secara pribadi dalam Sidang Khusus PBB yang sangat vital tersebut. Dalam persiapan yang sangat intensip di seluruh dunia itu, disamping adanya ratusan pertemuan tingkat nasional, setidak-tidaknya ada enam pertemuan tingkat regional dimana para wakil pemerintah telah melaporkan kemajuan dan kekurangan negara masing-masing dalam melaksanakan target-target yang telah disepakati bersama pada Sidang Tingkat Tinggi pada tahun 1990. Laporan-laporan itu telah menjadi bahan perdebatan yang menarik. Perdebatan itu menghasilkan kesimpulan yang hampir serupa bahwa perhatian tentang anak harus terus ditingkatkan. Tidak itu saja. Berbagai pertemuan lain yang diselenggarakan secara intensip pada bulan Oktober 2000 di Jamaika telah menghasilkan Kingston Consensus yang kemudian disusul dengan banyak sekali pertemuan lain pada tahun 2001. Berbagai pertemuan itu telah menghasilkan komitmen antar negara yang mempunyai bobot politik yang sangat tinggi. Pertemuan Pan Africa yang diikuti oleh negara-negara Afrika di Kairo, pada bulan Mei 2001, telah menghasilkan Posisi Bersama Afrika tentang Anak. Pertemuan Konsultasi tingkat Menteri yang kelima di Beijing, pada bulan Mei 2001, telah diikuti oleh 21 negara-negara Asia Timur dan Pasifik juga telah menghasilkan Deklarasi Beijing tentang Anak. Selanjutnya pertemuan 52 negara-negara Eropa di Berlin pada bulan yang sama telah pula menghasilkan Komitmen Berlin tentang Anak. Pertemuan serupa di Rabat, dan di Katmandu telah menghasilkan komitmen atau deklarasi yang serupa. Hasil-hasil pertemuan itu telah secara langsung disampaikan kepada setiap negara untuk mendapat tanggapan lebih lanjut. Bahan yang sama diteruskan kepada Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan, sebagai bahan untuk menyusun laporan kemajuan negara-negara di dunia dalam menangani masalah anak-anak. Laporan Kemajuan Dunia Atas dasar bahan-bahan yang berasal dari seluruh dunia tersebut, Sekretaris Jendral PBB telah menyusun suatu laporan dunia untuk Sidang Khusus yang sangat penting itu. Laporan Sekjen PBB yang diberi judul “We the Children” itu dikembalikan kepada setiap negara pada bulan Juni lalu untuk ditelaah dan disempurnakan. Laporan itu mengandung pula beberapa rekomendasi yang diharapkan akan makin diperkaya oleh masing-masing negara yang bisa disampaikan sebelum konperensi, atau dilemparkan dalam konperensi yang sangat penting itu di New York nanti. Dari dokumen “We the Children” dengan segala rekomendasinya itu para pemimpin dari seluruh dunia akan melahirkan suatu dokumen bersama yang untuk sementara disebut sebagai “A World Fit f or Children” yang berisi deklarasi dan komitmen politik serta Rencana Program Aksi Anak untuk masa sepuluh tahun yang akan datang. Deklarasi dan Rancangan Program Aksi itu diharapkan merupakan konsensus dari hasil perdebatan di New York dengan basis laporan Sekjen PBB tersebut. Karena itu Pidato Kepala Negara pada Sidang PBB nanti akan menjadi dokumen yang sangat penting untuk diperdebatkan dan bisa mewarnai hasil kesepakatan dunia nanti.
Dari dokumen Sekretaris Jendral PBB “We the Children” dapat kita li hat berbagai kemajuan yang telah diraih oleh negara-negara di dunia selama sepuluh tahun terakhir. Sejak Pertemuan Puncak (Summit Meeting) di tahun 1990 tidak kurang dari 155 negara telah berhasil menyusun Rencana Program Aksi untuk anak-anak. Tidak kurang dari 100 negara melakukan monitoring yang sangat inten terhadap program-programnya. Yang juga cukup menggembirakan adalah bahwa sekitar 192 negara telah meratifikasi atau menanda tangani Konvensi tentang Hak-hak Anak, suatu kemajuan yang sangat menggembirakan. Sekretaris Jendral PBB secara rutin setiap tahun selalu melaporkan pelaksanaan Rencana Program Aksi itu dalam Sidang-sidang Umum tahunan PBB di New York. Dalam bidang kesehatan anak-anak, dilaporkan bahwa tidak kurang dari 63 negara telah mencapai target 1990, yaitu penurunan tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun sebanyak sepertiga keadaannya pada tahun 1990. Disamping itu tidak kurang dari 100 negara telah berhasil menurunkan tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun sebesar 20 persen. Tingkat kematian anak karena diare atau mencret, yang biasanya merupakan salah satu penyebab kematian anak dibawah usia lima tahun yang terbesar, telah berhasil diturunkan dengan 50 persen. Keberhasilan itu telah menyelamatkan tidak kurang dari satu juta nyawa anak-anak balita dari seluruh dunia. Ditambah dengan keberhasilan imunisasi yang dilakukan di banyak negara, tidak kurang dari 3 juta kematian anak telah dapat dicegah. Tingkat kesehatan anak-anak balita yang lebih baik itu menambah kepercayaan para orang tua di seluruh dunia terhadap kelangsungan hidup anak-anak balitanya. Kepercayaan itu mempermudah para relawan gerakan KB untuk menyampaikan pesannya kepada masyarakat luas. Itu mungkin yang menjadi salah satu sebab bahwa biarpun penduduk dunia bertambah dengan sekitar 800 juta selama sepuluh tahun terakhir, tetapi bayi yang dilahirkan pada tahun 2000 ternyata lebih kecil jumlahnya, yaitu sekitar 13 juta lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bayi yang dilahirkan pada tahun 1990 yang lalu. Keberhasilan itu tidak saja membuat para petugas gerakan KB seluruh dunia girang, tetapi juga memungkinkan para orang tua bisa menjaga tumbuh kembangnya anak-anak mereka dengan lebih baik. Dalam bidang pendidikan dicapai kemajuan yang cukup membesarkan hati. Jumlah anak-anak yang masih sekolah meningkat dengan cukup baik. Kalau di tahun 1990 tingkat melek huruf hanya sekitar 75 persen, pada tahun 2000 meningkat mendekati angka 80 persen. Sangat menggembirakan bahwa kemajuan melek huruf ini diikuti pula dengan jumlah ibu-ibu yang tetap menyusui bayinya. Kalau semula terjadi tren penurunan yang mengkawatirkan dari ibu-ibu yang tidak menyusui anak-anaknya, selama sepuluh tahun terakhir ini tren itu dapat dikembalikan kepada pola yang lebih baik dengan kenaikan sekitar 30 persen. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini persoalan anak-anak dan remaja belum seluruhnya dapat diselesaikan. Ada sekitar 10 juta anak-anak yang tetap meninggal dunia padahal anak-anak itu sebenarnya dapat diselamatkan. Ada sekitar 150 juta anak-anak kekurangan gizi. Ada lebih 100 juta anak-anak tidak sekolah, tragisnya
sekitar 60 persen adalah anak-anak perempuan. Lebih tragis lagi kalau dilihat secara seksama ternyata anak-anak yang tidak sekolah itu adalah anak-anak yang terpaksa bekerja karena orang tuanya sangat miskin, mengungsi karena konflik sosial, atau anakanak keluarga miskin yang tidak kuat membayar sekolah, atau anak-anak dari keluarga minoritas yang tersisihkan, dan anak-anak cacat. Jutaan anak-anak lainnya terpaksa sekolah pada sekolah yang pelayanan dan mutunya sangat tidak memadai. Konflik antar suku, daerah dan agama yang disulut oleh kepentingan politik orang-orang dewasa, selalu saja mengorbankan anak-anak dan kaum ibu yang tidak berdosa. Mereka umumnya menjadi korban keganasan dan kebiadaban yang melanggar hak-hak azasi manusia dengan sangat memilukan. Persoalan itu ditambah dengan pandemi HIV/AIDS yang mencapai puncak yang sangat mengerikan di beberapa negara, khususnya di Sub Sahara Afrika. Pada akhir tahun 2000 penyakit itu telah membunuh tidak kurang dari 22 juta jiwa. Sekitar 10,4 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun menjadi yatim piatu yang sangat menderita. Mereka dihantui dengan rasa takut yang mengerikan, harapan masa depan yang pupus, serta isolasi dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya. Penyakit itu telah membunuh para orang tua mereka, petugas kesehatan, guru, dan para penyelenggara negara yang biasanya mengurus kehidupan dan pembangunan daerahnya. Kalau toh anak-anak itu nantinya bisa sekolah, akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum pemerintah bisa memulihkan kualitas pendidikan dan sosial lainnya dengan sumber daya manusia yang baru dan berkualitas. Karena katastrope itu usia harapan hidup yang semula mulai meningkat dengan tajam telah turun drastis. Di negara-negara yang terkena dampak yang memilukan itu penurunannya mencapai rata-rata sekitar 18-23 tahun. Dalam keadaan seperti itu beberapa negara telah mengambil langkah serangan balik yang gegap gempita, tetapi masih banyak penderita yang menunggu ajalnya, sebagian dengan pengobatan yang mahal, dan sebagian lagi dengan putus asa dan pasrah karena biaya pengobatan yang tidak pernah bisa terjangkau. Karena itu kemiskinan tetap menjadi musuh nomor satu dari anak-anak maupun bangsa-bangsa di seluruh dunia. Menurut laporan Bank Dunia, disamping banyak keluarga hidup dalam kemewahan, sekitar separuh penduduk dunia masih hidup dalam kemiskinan, bahkan masih banyak yang tidak tahu apakah hari ini akan bisa makan. Sekitar 3 milyar penduduk dunia hidup dengan US$ 2 atau kurang sehari. Dari jumlah itu ada sekitar 1,2 milyar jiwa hanya hidup dengan US$ 1 setiap hari, dan separo dari jumlah itu adalah anak-anak. Mereka hidup dalam kemiskinan yang memilukan. Konsekwensinya sangat mengerikan. Dalam tiga setengah abad sejak tahun 1960 sampai tahun 1995 jurang perbedaan tingkat pendapatan per kapita penduduk negaranegara berkembang dan negara maju makin menganga tiga kali lebih lebar. Perempuan dan anak-anak menjadi korban perlombaan dan penjualan senjata gelap. Diskriminasi terhadap perempuan tidak juga mengendor biarpun advokasi tentang kesamaan jender berdengung lebih nyaring di banyak negara.
Tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan di negara-negara miskin tetap berada pada angka yang sangat tinggi. Disamping itu desakan kemiskinan menghalalkan prostitusi dan abuse seksual lainnya dengan mengorbankan wanita sebagai umpan penyakit seksual serta serangan HIV/AIDS yang mematikan. Bahkan kalau mereka terkena serangan Virus yang mematikan itu, wanita dan anak-anak tetap mendapat penanganan yang sangat diskriminatip. Konflik antar suku, daerah dan agama, yang biasanya disertai perdagangan senjata gelap, umumnya juga mengorbankan wanita dan anak-anak. Selama sepuluh tahun terakhir ini, konflik itu telah membunuh tidak kurang dari 2 juta anak-anak disamping meninggalkan anak yatim piatu dan pengungsi yang tidak tahu lagi masa depannya dengan pasti. Tidak kurang dari 35 juta jiwa, dimana sekitar 80 persen adalah anakanak, berada dalam status mengungsi di barak-barak yang tidak memenuhi standar atau di tempat-tempat pengungsian yang sangat menyedihkan. Dengan berbagai persoalan yang tersisa itu, yang juga kita miliki dan sedang kita perjuangkan penyelesaiannya, kita berharap mudah-mudahan Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri menegaskannya di New York dengan pengalaman nyata di lapangan. Kita berharap Ibu Presiden ikut memberi semangat dan mewarnai perjuangan dunia untuk anak-anak harapan masa depan tersebut. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). – Anak-1592001.
NEGARA BERKEMBANG IKUTI POLA TRANSISI DEMOGRAFI Tahun 1994, bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok, para ahli kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara SelatanSelatan, berkumpul di Jakarta. Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan tekun, para ahli itu bicara tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang diadakan kurang dari sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para ahli menyatukan sikap untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh tahun itu makin menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan yang kuat dari Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan membentuk suatu Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan Pembangunan sebagai wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan mengkoordinasikan program-program yang menguntungkan penduduk negara-negara berkembang. Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi
resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir, pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe, Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in Population and Development” . Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional. Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan akhirnya menjadi peserta KB yang lestari. Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”, untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para peserta magang atau petugas Bangladesh itu dapat menyerap pengalaman program KB disini dengan sangat cepat. Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan melihat dan mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di
negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk menggerakkan program dengan gegap gempita. Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia. Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan rekan-rekannya di Indonesia. Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda. Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul sukses yang telah diraih Indonesia ! Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka sebut sebagai Program “F.P. Caravan”. Program ini sangat mirip dengan program pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia atau program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok dan para bidan di pedesaan. Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu
menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin dunia” . Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan NonBlok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak. Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut. Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai Sekretaris Jenderal organisasi ini, telah disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari negara donor atau lembaga-lembaga internasional. Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing. Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah drastis tersebut. Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan
baru yang mengasyikkan. Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk bekerja keras membangun dirinya dan seluruh anak bangsanya. Sebagai negara berkembang yang mempunyai pengalaman unik untuk menggelar program-program pembangunan kependudukan yang berhasil, Partners mengajak pula para pengusahanya untuk tertarik dan menghasilkan produksi alat, obat dan sarana yang berkualitas tinggi yang sekaligus dapat dipergunakan oleh negara-negara semitra dengan harga yang lebih terjangkau. Mudah-mudahan dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI kemarin, putraputra bangsa yang besar ini dapat lebih mengembangkan persahabatan dunia yang akrab. Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz, kita bangkitkan generasi muda Indonesia menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa dengan lebih tegar menjadi penggerak persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia dalam usianya yang makin dewasa selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) SAHABAT-1882001.
MENGHADAPI LEDAKAN BARU PENDUDUK ASIA PASIFIK Kita masih ingat keprihatinan dunia terhadap ledakan penduduk di tahun 60 dan 70-an telah menyatukan dunia untuk mengembangkan gerakan kependudukan dan KB yang luar biasa. Indonesia sebagai bagian dari negara di wilayah Asia Pasifik di masa itu ikut prihatin dan memberikan jawaban tegas dengan komitmen tinggi melaksanakan Program Kependudukan dan KB yang gegap gempita. Para Pemimpin dari wilayah Asia Pasifik beberapa waktu lalu kembali bertemu di Bangkok untuk membicarakan tantangan baru di bidang kependudukan yang bersama-sama akan dihadapi oleh bangsa-bangsa di wilayah Asia Pasifik. Tantangan itu kemiskinan yang makin menghimpit, kesehatan rerproduksi yang tidak kunjung bertambah baik dan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berkejaran dengan tututan masa depan yang makin berat. Memang benar, dengan program kependudukan dan KB di masa lalu yang gegap gempita di wilayah Asia Pasifik, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, berbagai indikator kependudukan telah bertambah baik. Tingkat pertumbuhan penduduk menurun
dengan drastis. Tingkat kelahiran dan tingkat kematian menurun dengan angka-angka yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Secara hampir serempak penduduk di wilayah Asia Pasifik mempunyai kualitas yang bertambah baik dengan indikator usia harapan hidup yang bertambah panjang. Namun di banyak negara masih tersisa kantong-kantong besar wilayah dengan penduduk miskin yang bertambah miskin. Masih banyak keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, dan mempunyai pendapatan rata-rata kurang dari US$ 1 setiap harinya. Jumlah keluarga miskin yang semula menurun dengan menyakinkan, pada penghujung abad 20 terganggu gara-gara goncangan ekonomi yang sangat menyakitkan yang berlanjut menjadi krisis multi demensi sampai sekarang. Negara-negara Asia Pasifik yang semula satu demi satu mampu merencanakan dan mengolah program kependudukan dan keluarga berencananya sendiri, bukan makin yakin atas kemampuannya, tetapi makin berfikir dua kali apakah harus melanjutkan upayanya. Bantuan luar negeri yang semula gencar di awal tahun 1970-an, dan satu demi satu merangsang pengembangan program nasional dengan pembiayaan yang makin penuh oleh negara dan rakyat masing-masing, menjadi goyang dan makin tidak menentu. Karena krisis ekonomi, negara-negara yang semula menyadari manfaat program untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia, mulai ragu-ragu dan memikirkan langkah alternatip untuk tujuan serupa. Akibatnya, kalau komitmen tidak segera dipulihkan kembali, dan dukungan dana tidak segera diberikan kepada program yang sangat penting itu, dikawatirkan jumlah penduduk Asia Pasifik akan meledak kembali. Ledakan kedua di wilayah ini sungguh akan sangat dahsyat karena mereka yang sekarang berusia subur bukanlah berasal dari keluarga yang tingkat kesadarannya terhadap program KB sudah tinggi. Mereka adalah keluarga yang masa muda remajanya berasal dari keluarga yang belum melaksanakan program KB, mereka adalah generasi yang orang tuanya baru ikut KB setelah terlanjur mempunyai anak yang cukup banyak. Kita juga mencatat, bahwa semenjak krisis, upaya pemberdayaan manusia, yang harus dilakukan dengan sabar dan profesional, tidak bisa dikarbit, makin tergeser oleh keperluan-keperluan darurat yang dianggap lebih penting. Pada saat yang bersamaan negara-negara donor, yang merasa tanggung jawabnya sudah digantikan oleh masingmasing negara, secara kebetulan juga mengendorkan bantuannya. Akibatnya, secara tidak terduga, goncangan ekonomi meruntuhkan pandangan yang sangat positip terhadap manfaat program kependudukan dan KB di negara-negara Asia Pasifik itu. Lembaga PBB, yaitu UNFPA, yang tahun ini terkejut karena pemerintah Amerika Serikat membatalkan bantuannya sebesar US$ 34 juta, langsung mengurangi bantuannya kepada 142 negara yang biasa dibantunya. Bahkan dikabarkan tidak kurang dari 2 juta kehamilan yang tidak dikehendaki tidak bisa dicegah serta lebih dari 77.000 kematian bayi dan anak-anak tidak bisa ditolong. Negara-negara Asia Pasifik seperti Republik Rakyat Cina (RRC), negara terbesar
di Asia Pasifik, yang selama ini mendapat bantuan dari PBB, karena tuduhan melakukan program aborsi yang memaksa, mendapat pengurangan bantuan yang sangat substansial. Padahal mungkin saja RRC telah bisa mengurangi pertumbuhan penduduknya dengan sangat bermakna, tetapi negara terbesar itu sekarang menghadapi masalah reproduksi yang sangat dilematis. Karena pengaruh kebudayaan dunia yang makin terbuka, negara ini dengan anak-anak muda dan remajanya, seperti negara-negara berkembang lainnya, menghadapi serangan virus HIV/AIDS yang sangat dahsyat. Begitu juga India, negara terbesar kedua di Asia Pasifik, mereka tidak saja masih menghadapi masalah reproduksi dasar berupa pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, tetapi juga harus berjuang keras menghadapi serangan virus HIV yang ganas. Indonesia, negara terbesar ketiga di Asia Pasifik, tidak terkecuali, seperti negara lainnya, biarpun relatif lamban, serangan virus HIV di Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja. Kalau bantuan PBB tidak dapat diharapkan lagi, begitu juga bantuan dari Amerika yang pada awal tahun 1970-an bisa mengalir dengan lancar dan memenuhi hampir seluruh kebutuhan kontrasepsi di hampir semua negara Asia, tidak lagi tertarik kepada negara-negara Asia yang dianggap berhasil menggerakkan KB mandiri yang bergengsi. Oleh karena itu, para pemimpin Asia Pasifik yang berkumpul di Bangkok minggu lalu, berjuang keras menghadapi mengendornya komitmen yang diiringi dengan suasana globalisasi yang makin terbuka dan penuh persaingan. Mereka harus membuka diri dengan kemungkinan serbuan tenaga kerja asing dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang relatif murah. Karena itu upaya pemberdayaan sumber daya manusia harus bisa menghasilkan tenaga yang sanggup bersaing memperebutkan kesempatan yang terbatas. Sumber-sumber dana untuk pendidikan yang relatif langka harus diperebutkan untuk menjamin program berkelanjutan. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, akan berakibat fatal. Penduduk Asia Pasifik yang sudah terlanjur besar jumlahnya, akan meledak dengan dahsyat dan akan memperberat proses globalisasi yang sangat berat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-PengantarPendudukAsiaPasifik-16122002(A1/B2/D1) MENYONGSONG LEDAKAN ANGKATAN KERJA DUNIA Hari Kependudukan Dunia diperingati setiap tanggal 11 Juli. Di Indonesia, pada tahun 2001 peringatan Hari Kependudukan Dunia itu didahului oleh Peringatan Hari Keluarga Nasional dan hadiah khusus "hidupnya kembali" Badan Kependudukan Nasional yang ditandai dengan pelantikan Kepala dan para Pejabat Eselon I-nya pada 2 Juli 2001. Selain itu, Hari Kependudukan Dunia kali ini ditandai pula dengan jumlah penduduk dunia yang untuk pertama kalinya melebihi angka 6 (enam) milyar jiwa dimana Indonesia merupakan satu dari lima negara besar dengan sumbangan penduduk sebesar 206 - 207 juta jiwa. Sejalan dengan itu penduduk dunia juga makin urban, dan untuk pertama kalinya mempunyai struktur piramida penduduk tua berbeda dibandingkan strukturnya pada abad keduapuluh.
Perubahan struktur itu adalah karena penduduk dunia yang struktur piramidanya muda "telah di-tua-kan" oleh negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar yang pada akhir abad keduapuluh gerakan KB-nya berhasil, yaitu Republik Rakyat Cina, India, Indonesia dan Bangladesh. Pada abad ke 20 negara-negara berkembang tersebut selalu mengalahkan negara maju, yaitu dengan menyeret negara maju dengan piramida penduduk tua untuk membentuk piramida dengan dasar sangat besar, piramida penduduk usia muda. Dengan bergabungnya negara-negara dengan penduduk besar itu pada abad ke 21, dunia tidak lagi ngeri menghadapi fertilitas atau pertumbuhan penduduk yang tinggi. Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan pertumbuhan penduduk yang makin rendah, ada phenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di negara-negara berkembang. Phenomena itu adalah makin tingginya penduduk urban, ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang implikasinya pasti belum disadari secara mendalam oleh para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Phenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan atau konflik di wilayahnya. Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk.
Ledakan Angkatan Muda Dengan makin mengecilnya proporsi penduduk dibawah usia 16 tahun, atau proporsi penduduk dibawah usia 25 tahun, terjadi pembengkakan proporsi penduduk usia 25 tahun sampai 45 tahun, atau penduduk usia muda, sebagai hasil pendewasaan dari ledakan penduduk dimasa lalu. Pertumbuhan penduduk muda usia produktip itu terjadi dalam suasana transisi yang miskin tetapi lebih sehat, dalam lingkungan yang berubah, dan sosial sistem yang tidak selalu siap menampung. Ledakan angkatan muda tersebut mengejutkan karena penduduk usia yang lebih tua juga bertambah panjang umurnya. Banyak penduduk yang di abad lalu mempunyai usia harapan hidup kurang dari 50 tahun, berkat pelayanan kesehatan dan gizi yang makin baik, dapat memperpanjang usia harapan hidupnya menjadi 55 tahun, 60 tahun atau bahkan 65 tahun atau lebih.
Penduduk lanjut usia itu biasanya miskin sehingga akan tetap mempertahankan pekerjaan yang sedang dikuasai. Meledaknya penduduk lanjut usia itu disatu pihak menggembirakan, tetapi dipihak lain, terutama di negara-negara berkembang yang penyediaan lapangan kerja lamban, lebihlebih dengan krisis multidemensi dewasa ini, akan mengganggu upaya penyelesaian munculnya ledakan angkatan kerja generasi muda. Ledakan angkatan kerja dewasa ini bukan lagi monopoli remaja laki-laki, tetapi diikuti juga dengan sejumlah besar tenaga kerja wanita dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Ledakan itu menyebabkan adanya kegoncangan yang tidak proporsional karena para penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya perubahan phenomena tersebut dan masih terlena pada phenomena lama dengan focus pada penyediaan lapangan kerja untuk kaum pria. Akibatnya timbul kecurigaan gender dan perasaan dukungan sosial budaya yang tidak adil dalam masyarakat luas. Kerikuhan sosial budaya ini membuat kaum wanita bisa menjadi sangat terjepit. Kecepatan angkatan kerja baru wanita yang tinggi tidak diimbangi penyediaan lapangan kerja yang memadai. Angkatan kerja profesional wanita itu akan merasa seakan-akan dipermainkan oleh perbedaan gender, padahal sesungguhnya para penyedia lapangan kerja belum siap mental menerima angkatan kerja wanita baru yang sama atau kadang lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan angkatan kerja pria. Perubahan struktur penduduk yang ditandai membesarnya penduduk urban dan membengkaknya penduduk usia muda tidak boleh hanya dilihat sebagai arus perubahan kuantitatif tetapi harus ditanggapi dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita pria yang menyejukkan. Perubahan itu harus disikapi dengan mengembangkan suasana yang kondusif untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang.
Pembangunan Berwawasan Kependudukan Dengan adanya dinamika kependudukan yang arus dan kecepatannya makin tinggi itu tidak ada pilihan lain kecuali mengarahkan pembangunan dengan pendekatan kependudukan yang lebih kental. Penduduk tidak boleh lagi sekedar dijadikan obyek pembangunan yang pasip, tetapi justru harus dijadikan titik pusat pembangunan yang diperlakukan sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan dengan dimensi kemanusiaan yang paripurna. Dengan menjadikan penduduk sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan kita harus secara cermat mempelajari dinamika kependudukan dan setiap kali mengarahkan dukungan intervensi kepada titik pusat itu sendiri secara bijaksana. Pendekatan ini mengundang orientasi pembangunan yang sangat berbeda dengan orientasi pembangunan di masa lalu yang memperlakukan dana atau tersedianya uang
sebagai titik pusat pembangunan. Dalam orientasi ini kita harus mempersiapkan sumber daya manusia menjadi sumber daya professional yang mampu berpartisipasi dalam pembangunan dengan cakupan makin besar, bahkan harus diusahakan semaksimal mungkin sampai ke titik maksimal dengankualitas partisipasi unggul. Pendekatan pembangunan berwawasan kependudukan mengharuskan setiap aparat dan pengelola pembangunan memperhitungkan potensi dan kekuatan penduduk dengan arahan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan partisipasinya dalam merencanakan dan mengelola pembangunan. Penduduk harus berperan sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus ikut menikmati hasil pembangunan dengan adil dan merata sesuai dengan sumbangannya dalam pembangunan. Target-target pembangunan harus memperhitungkan dengan cermat dinamika kependudukan dengan perubahan nilai-nilai yang makin maju, demokratis, terbuka dan berdimensi global. Contoh Kebangkitan Kobe Salah satu contoh pendekatan kependudukan yang menarik adalah bagaimana Kobe membangun dirinya. Kobe adalah sebuah kota di Jepang dengan penduduk sekitar 1,5 juta yang beberapa waktu yang lalu hancur porak poranda dilanda gempa bumi dahsyat. Namun dengan kemampuan yang luar biasa, Kobe telah dibangun kembali sebagai kota baru yang megah, dengan arena perdagangan dan pelabuhan internasional yang sanggup mengadakan hubungan dagang dengan berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Pendekatan pembangunan yang ditempuh adalah pendekatan bisnis yang sangat efisien, yang mampu mengundang partisipasi para pemilik modal, dunia bisnis, rakyat maupun pemerintahnya sendiri dengan baik. Kota Kobe, seperti juga kota-kota lain di Jepang, mempunyai jumlah penduduk dibawah usia 16 tahun yang sama dengan jumlah penduduk usia lanjut. Kobe mempunyai penduduk remaja dan usia kerja yang cukup potensial. Mungkin karena itu perhatian dan pelayanan terhadap penduduk remaja, usia kerja maupun warga lanjut usia sama baiknya. Kepada penduduk remaja dan usiakerja disediakan sekolah-sekolah dan pusat-pusat latihan yang memadai sehingga setiap penduduk mendapat pendidikan dan latihan ketrampilan dengan baik. Dimanapun kita berada selalu bertemu dengan anak remaja berseragam sekolah, membawa buku, dan dari setiap sakunya dapat dilihat adanya telepon genggam yang sering diangkat karena dering dari teman-temannya. Semua penduduk usia sekolah tidak ada satupun yang tidak sedang bersekolah. Kepada para warga lanjut usia diberikan dukungan melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Kalau diperlukan, pemerintah daerah memberikan dukungan kepada lembaga kemasyarakatan itu agar pelayanan dan kesempatan untuk warga lanjut usia dapat diberikan dengan baik. Tidak terlihat perbedaan perlakuan erhadap warga lanjut usia di stasiun kereta api, di stasiun bus, atau bahkan di rumah-rumah makan. Mereka dengan penuh kedamaian bisa menikmati hari tuanya dengan fasilitas yang ada.
Dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia 11 Juli 2001, mudah-mudahan pengalaman Kobe dapat kita adopsi untuk menghidupkan hubungan penduduk yang akrab antar generasi dengan sekaligus menegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, menghargai demokrasi, tetap hormat sesama, disiplin, teknologi tepat guna dan canggih, serta upaya yang menguntungkan semua pihak. Semoga. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). PendudukDunia - 07072001