UPAYA MEMBELAJARKAN SISWA BERBAHASA ARAB DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) (Studi Kasus di Madrasah Negeri 8 Cakung Jakarta Timur) Tesis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Magister di Sekolah Pascasarjana
Diajukan Oleh : Muzdalifah 04.2.00.1.06.01.0077 Pembimbing Prof. Dr. Aziz Fakhrurrozi, MA
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB PROGRAM MAGISTER SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
1
2
SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “Upaya Membelajarkan Siswa Berbahasa Arab dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Negeri 8 Cakung Jakarta Timur)” yang telah disusun oleh Muzdalifah disahkan untuk dibawa ke dalam ujian tesis. Dengan demikian pengesahan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ciputat, 11 Agustus 2009
Pembimbing
(Prof. Dr. Aziz Fakhrurrozi, MA.)
3
SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “Upaya Membelajarkan Siswa Berbahasa Arab dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Negeri 8 Cakung Jakarta Timur)” yang telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Program Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Jakarta pada hari Kamis tanggal 03 September 2009 dan telah direvisi sesuai saran dan rekomendasi dari tim penguji. Dengan demikian pengesahan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ciputat, 28 Desember 2009 Tim Penguji: Prof. Dr. Suwito, MA Ketua/Merangkap Penguji
( ....................................................... )
Prof. Dr. Aziz Fakhrurrozi, MA Pembimbing/Merangkap Penguji
( ....................................................... )
Prof. Dr. Moh. Matsna, MA Penguji
( ....................................................... )
Dr. Usman Syihab Penguji
( ....................................................... )
4
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama
: Muzdalifah
NIM
: 04.2.00.1.06.01.0077
Tempat/Tanggal Lahir
: Brebes, 15 Pebruari 1980
menyakatan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Upaya Membelajarkan Siswa Berbahasa Arab dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning” adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Jakarta, 28 Desember 2009
Yang Membuat Pernyataan
Muzdalifah
5
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Latin
Arab
Latin
]ء[ أ ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
(aprostop)
ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ي ة ال
th
b T ts j h kh d dz r z S sy sh dh
Vokal Pendek Arab
َ ِ
Latin
zh
، (petik satu) gh f q k l m n w h Y ah; at (waqaf; mudhâf) al-(ta‘rîf, partikel)
Vokal Panjang Arab
Diftong
Latin
Arab
Latin
=
a
… ا.
= â (a panjang)
ْأو
=
aw
=
i
ْي
= î (i panjang)
ْاُو
=
uw
u
ْو
= û (u panjang)
ْاي
=
ay
__ُ___ =
Untuk syaddah atau tasydîd ( _ّ__ ) transliterasinya = dobel huruf latin. Contoh: )*+( رrabbanâ), ّل,( ﻥnazzala), ّ./0( اal-birr), ّ120( اal-hajj).
6
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
ﻭﻧﻮﺭ ﻗﻠﻮﺑﻨﺎ، ﳓﻤﺪﻙ ﻳﺎ ﻣﻦ ﺷﺮﺡ ﺻﺪﻭﺭﻧﺎ ﻟﻼﻃﻼﻉ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﰲ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺩﻗﺎﺋﻖ ﺍﳌﺒﺎﱐ ﻭﻧﺼﻠﻲ ﻭﻧﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻚ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﻨـﺎﻃﻖ ﺑﺄﻓﺼـﺢ، ﲟﺎ ﰲ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺍﳌﻌﺎﱐ . ﺠﻬﻢ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺍﻟﺴﺎﻟﻜﲔ، ﺍﻟﻜﻼﻡ Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister bidang Bahasa dan Sastra Arab di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah agar senantiasa terlimpah untuk Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarga, sahabat, dan kaum Muslimin sejagat. Dalam menyelesaikan tugas ini, penulis perlu menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA (Rektor UIN Jakarta), Dr. Fuad Jabali, MA (Asisten Direktur I Sekolah Pascasarjana), Prof. Dr. Suwito, MA (Asisten Direktur II Sekolah Pascasarjana), serta seluruh staf akademik dan perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga juga penulis persembahkan kepada seluruh jajaran dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang
7
telah memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penulis selama belajar di UIN Jakarta. Ungkapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga penulis haturkan terutama kepada Prof. Dr. H. Aziz Fakhrurrozi, MA selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, arahan, masukan, dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulis. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Warpai dan Musronah, yang dengan penuh sabar dan tiada jemu senantiasa mengingatkan penulis untuk menyelesaikan studinya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman penulis yang dengan penuh pengorbanan, memotivasi, menemani, dan menghibur penulis tanpa pamrih dalam menyelesaikan tulisan ini, yang tdak dapat diungkapkan satu persatu. Semoga semua usaha yang telah tercurahkan oleh masing-masing pihak mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT dan dicatat sebagai bagian dari shadaqah jariyah. Jazâhumullâhu khairan.
Pesanggrahan, 28 Desember 2009 Pondok Penulis,
Muzdalifah
8
ABSTRAK Kesimpulan besar dari tesis ini adalah bahwa pendekatan CTL dapat diterapkan dalam pembelajaran semua bidang studi termasuk didalamnya pembelajaran bahasa Arab. Pembelajaran bahasa Arab dapat dikatakan menggunakan pendekatan CTL, apabila dapat menerapkan tujuh komponen pembelajaran CTL dengan tanpa melupakan penggunaan metode-metode yang terdapat dalam pembelajaran bahasa Arab. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa Arab di madrasah masih menggunakan pola pembelajaran tradisional yang dalam proses pembelajarannya kurang melibatkan peserta didik, sehingga peserta didik pasif, monoton, jenuh dan tidak ada ketertarikan untuk belajar. Oleh sebab itu, dengan pendekatan kontekstual ini diharapkan adanya peningkatan mutu pembelajaran bahasa Arab di madrasah pada umumnya dan di Madrasah Aliyah pada khususnya, dengan beberapa upaya yang ditempuh oleh pihak Madrasah Aliyah Negeri Delapan dan pihak-pihak lainnya yang mendukung. Adapun penelitian yang relevan dengan penulisan ini adalah beberapa tesis yang ditemukan dengan judul yang variatif seperti, tesis karya Cucu Kartini dengan judul pembelajaran kontekstual dalam menulis kreatif cerpen pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Bandung), yang berintikan bahwa para siswa SMP dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kreatifitas dalam menulis cerpen, hal ini disebabkan karena mereka secara langsung dapat melihat kehidupan yang nyata tanpa harus menghafal beberapa komponen yang berkaitan dengan kegiatan menulis, tetapi mereka secara langsung melakukan latihan dalam menulis cerpen. Tesis ini mendukung pendapat Elaine Brain johnson yang menekankan perlu adanya keterkaitan materi dengan dunia nyata peserta didik. Dan menguatkan pendapat M. Adnan Latief yang mengungkapkan bahwa pendekatan CTL dapat diterapkan untuk mata pelajaran bahasa termasuk pelajaran bahasa Arab dengan imbauan tanpa mengindahkan metodologi pembelajaran bahasa Arab yang tersedia. Sumber yang dijadikan sebagai rujukan primer adalah data-data hasil penelitian di Madrasah Aliyah Negeri Delapan. Sedang sumber yang mendukung rujukan primer adalah buku Contextual Teaching and Learning; what it is and why it’s here to stay karangan Elaine B. Johnson, Ph.D yang menjelaskan metode CTL sebagai metode pembelajaran di Amerika Serikat yang kini membudaya di banyak Negara. Buku kedua adalah buku Mel Silberman, Active Learning; 101 Strategies to Teach Any Subject, yang menjelaskan langkah-langkah menunjang CTL. Buku selanjutnya adalah Ta’lîm al-‘Arabiyat lighairi al-Nâthiqîn bihâ, Manâhij wa Asâlîbihi, karya Rusydi Ahmad Thu’aimah yang menerangkan teknik-teknik yang sebaiknya digunakan dalam mengajarkan bahasa Arab bagi non-Arab. Terakhir, adalah buku alLughat al-‘Arabiyat Ushulihâ al-Nafsiyat wa Thuruqi Tadrîsihâ Nâhiyat al-Tahshîl, karangan ‘Abdul ‘Azîz ‘Abdul Majîd.
9
ABSTRACT
After circumstantial research in my thesis, I have conclusion that Contextual Teaching Learning Methods is applicable in any area of study including in study of Arabic Language. The CTL approach can be used in Arabic language lesson if it can apply seven components of CTL learning without forgetting the methodology that has existed in Arabic language learning. This happens because the Arabic language learning in islamic senior high school is still using traditional learning pattern, which doesn’t involve the students` activity in the learning process. And subsequently, it can make the students become passive, monotons, bored and have no interest in studying Arabic language lesson. Therefore, by this CTL approach the writer expects some quality improvement in learning Arabic language for all islamic high school generally and for the state islamic senior high school (MAN) 8 in particularly. And certainly, this method many efforts that has been taken by school authorities and the others. As for relevant research with this thesis is Cucu Kartini’s thesis, with title “Pembelajaran Kontekstual dalam Menulis Kreatif Cerpen pada Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Bandung). That’s thesis explaines about teaching Indonesian language with Contextual Teaching Learning Approach’s can improve creativity in writing short story, this matter is caused the student has plunged direct in real life without having to memorize some component related to writing activity, but they directly practice in writing short story. This thesis supports the opinion from Elaine Brain Jhonson that emphasized the correlation of the lesson subject or material with the students` real life. This thesis also collaborates the theory from M. Latief that said the CTL approach can be used in any language lesson, that include Arabic language without leavinf the current Arabic learning methodology. Source of taken as primary references that’s explained about Contextual Teaching Learning Approach’s is book with title Contextual Teaching and Learning; what it is and why it’s here to stay by Elaine B. Johnson, Ph.D. Elaine talks about CTL in USA what is cultural nowadays in many state. Second books is Mel Silberman’s book, Active Learning; 101 Strategies to Teach Any Subject, explaining stages; steps support CTL. Next books is Rusydi Ahmad Thu’aimah’s, Ta’lîm al‘Arabiyat lighairi al-Nâthiqîn bihâ, Manâhij wa Asâlîbihi, this book explains some technique which better be used in teaching Arab Ianguage to non-Arab. Last book, is al-Lughat al-‘Arabiyat Ushulihâ al-Nafsiyat wa Thuruqi Tadrîsihâ Nâhiyat alTahshîl, by ‘Abdul ‘Azîz ‘Abdul Majîd.
10
ﺍﳌﻠﺨﺺ ﺗﺴﺘﺨﻠﺺ ﺍﻟﺒﺎﺣﺜﺔ ﻣﻦ ﺧﻼﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺃﻥ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﰲ ﺍﻟـﺘﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﺘـﺪﺭﻳﺲ ) (CTLﳝﻜﻦ ﺗﻄﺒﻴﻘﻪ ﰲ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻳﺔ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺍﳌﻮﺍﺩ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﻴﺔ ﲟﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻣـﺎﺩﺓ ﺍﻟﻠﻐـﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﻭﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺴﲑ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﺗﺘﻮﻓﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﳌﻜﻮﻧﺎﺕ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﳍﺬﺍ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺩﻭﻥ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﺍﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﺍﳌﻌﺮﻭﻓﺔ ﺍﳉﺎﺭﻳﺔ ﰲ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐـﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ. ﻭﳑﺎ ﺩﻓﻊ ﺍﻟﺒﺎﺣﺜﺔ ﺇﱃ ﺍﻗﺘﺮﺍﺡ ﻫﺬﺍ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺃﻥ ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﰲ ﺍﳌﺪﺍﺭﺱ ﺍﻹﺳـﻼﻣﻴﺔ ﺣﺎﻟﻴﺎ ﱂ ﻳﺰﻝ ﻳﺴﲑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﺮﺍﺋﻖ ﺍﻟﺘﻘﻠﻴﺪﻳﺔ ﺍﻟﱵ ﻳﻘﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺷﺮﺍﻙ ﺍﻟﻄﻼﺏ ﰲ ﺍﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻤﻴﺔ، ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺴﺒﺐ ﻓﻘﺪﺍﻥ ﺍﳊﺲ ﻭﺍﳌﻠﻞ ﻭﺍﲢﺎﻡ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﰲ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﻋﻨﺪﻫﻢ .ﻓﻤﻦ ﺍﻷﻏﺮﺍﺽ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺭﻓﻊ ﻣﺴﺘﻮﻯ ﺟﻮﺩﺓ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴـﺔ ﺑﺎﳌـﺪﺍﺭﺱ ﺍﻹﺳـﻼﻣﻴﺔ ﻋﺎﻣـﺔ ﻭﺑﺎﳌﺪﺍﺭﺱ ﺍﻟﺜﺎﻧﻮﻳﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﻣﻦ ﺧﻼﻝ ﻋﺪﺓ ﺍﶈﺎﻭﻻﺕ ﺍﻟﱴ ﻳﻘﻮﻡ ﺎ ﻣﻨﺴﻮﺑﻮ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻮﻳﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﳊﻜﻮﻣﻴﺔ "ﲦﺎﻧﻴﺔ" ﻭﻋﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﳉﻬﺎﺕ ﺍﳌﻌﻨﻴﺔ. ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺒﺤﻮﺙ ﺍﻟﱵ ﳍﺎ ﺻﻠﺔ ﺬﺍ ﺍﳌﻮﺿﻮﻉ ﻓﻤﻨﻬﺎ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﺍﻟﱵ ﺃﺟﺮﺎ ﺗﺸﻮﺗﺸﻮ ﻛﺎﺭﺗﻴﲏ ﲢﺖ ﻋﻨﻮﺍﻥ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﰲ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺍﻹﺑﺪﺍﻋﻴﺔ ﻟﻠﻘﺼﺺ ﺍﻟﻘﺼـﲑﺓ ﻋﻨـﺪ ﻣـﺎﺩﺓ ﺍﻟﻠﻐـﺔ ﺍﻹﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺔ ﻭﺁﺩﺍﺎ )ﺩﺭﺍﺳﺔ ﺷﺒﻪ ﲡﺮﻳﺒﻴﺔ ﻟﺪﻯ ﻃﻼﺏ ﺍﻟﺼﻒ ﺍﻟﺜﺎﻣﻦ ﻣﻦ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﳌﺘﻮﺳـﻄﺔ ﺍﳊﻜﻮﻣﻴﺔ 15ﺑﺎﻧﺪﻭﻧﺞ( ،ﻭﺩﻟﺖ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺴـﲑ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺭﺱ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻹﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺔ ﻳﺮﻓﻊ ﺑﺈﺑﺪﺍﻋﻴﺔ ﺍﻟﻄﻼﺏ ﰲ ﻣﻬﺎﺭﺓ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻘﺼﺺ ﺍﻟﻘﺼـﲑﺓ. ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺴﺒﺐ ﻣﻼﺣﻈﺘﻬﻢ ﻣﺒﺎﺷﺮﺓ ﺇﱃ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﻮﺍﻗﻌﻴﺔ ﻭﺑﺎﻟﺘﺎﱄ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﺑﺘﺴﺠﻴﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻝ ﺗﺪﻳﺒﺎﻢ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻘﺼﺺ ﺍﻟﻘﺼﲑﺓ ﺩﻭﻥ ﺇﺟﺒﺎﺭﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺣﻔﻆ ﻋﺪﺓ ﺍﳌﻜﻮﻧـﺎﺕ ﺍﻟﻨﻈﺮﻳـﺔ ﺍﻟﻼﺯﻣﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﳌﻤﺎﺭﺳﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﻴﺔ.
11
ﻭﻳﺪﻋﻢ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻣﺎ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺇﻳﻼﻳﻦ ﺑﺮﺍﻳﻦ ﺟﻮﻧﺴﻮﻥ ﻣﻦ ﺃﳘﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﻛﻴﺰ ﻏﻠﻰ ﺭﺑﻂ ﺍﳌﻮﺍﺩ ﺍﳌﺪﺭﻭﺳﺔ ﺑﺎﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﻮﺍﻗﻌﻴﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻄﻼﺏ ،ﻛﻤﺎ ﻳﺆﻛﺪ ﻣﺎ ﻳﻌﺘﻘﺪﻩ ﳏﻤﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ ﻣﻦ ﺇﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﰲ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻳﺔ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺍﳌﻮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﲟﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻣﺎﺩﺓ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺩﻭﻥ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﺍﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﺍﳌﻌﺮﻭﻓﺔ ﺍﳉﺎﺭﻳﺔ ﰲ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ. ﻭﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻷﺳﺎﺳﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﲎ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻫﻲ ﺍﻟﺒﻴﺎﻧﺎﺕ ﺍﻟﱵ ﲨﻌﺘﻬﺎ ﺍﻟﺒﺎﺣﺜﺔ ﻣﻦ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻮﻳﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﳊﻜﻮﻣﻴﺔ . 8ﻭﺃﻣﺎ ﺍﳌﺼﺎﺩﺭ ﺍﻟﺪﺍﻋﻤﺔ ﺍﻟﱵ ﺗﺮﺟﻊ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺍﻟﺒﺎﺣﺜﺔ ﺗﺘﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻋﺪﺓ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻵﺗﻴﺔ ،ﻭﻫﻲ -ﺃﻭﻻ-ﻛﺘﺎﺏ Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s here to Stayﻟﻠﺪﻛﺘﻮﺭ ﺇﻳﻼﻳﻦ ﺑﺮﺍﻳﻦ ﺟﻮﻧﺴﻮﻥ ،ﻭﻳﺸﲑ ﺻﺎﺣﺐ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺇﱃ ﺃﻥ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺸﺄ ﰲ ﺍﻟﻮﻻﻳﺎﺕ ﺍﳌﺘﺤﺪﺓ ﻗﺪ ﺍﻧﺘﺸﺮ ﺍﺳﺘﺨﺪﺍﻣﻪ ﰲ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻠﺪﺍﻥ ﰲ ﺍﻟﻌﺎﱂ ،ﻭ-ﺛﺎﻧﻴﺎ -ﻛﺘﺎﺏ Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjectﳌﻴﻞ ﺳﻴﻠﱪﻣﺎﻥ ﺍﻟﱵ ﺃﻓﺎﺩﺕ ﰲ ﻛﺘﺎﺎ ﺍﳋﻄﻮﺍﺕ ﺍﻹﺟﺮﺍﺋﻴﺔ ﰲ ﺗﻨﻔﻴﺬ ﺍﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻴﺎﻗﻲ ﰲ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﺘﺪﺭﻳﺲ ،ﻭ-ﺛﺎﻟﺜﺎ -ﻛﺘﺎﺏ ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻟﻐﲑ ﺍﻟﻨﺎﻃﻘﲔ ﺎ ﻣﻨﺎﻫﺠﻪ ﻭﺃﺳﺎﻟﻴﺒﻪ ﻟﺮﺷﺪﻱ ﺃﲪﺪ ﻃﻌﻴﻤﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﺮﺡ ﺍﻷﺳﺎﻟﻴﺐ ﺍﻹﺟﺮﺍﺋﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﻤﺪﺭﺱ ﺃﻥ ﻳﺴﲑ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﰲ ﺗﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻟﻐﲑ ﺍﻟﻌﺮﺏ ،ﻭ-ﺭﺍﺑﻌﺎ -ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺃﺻﻮﳍﺎ ﺍﻟﻨﻔﺴﻴﺔ ﻭﻃﺮﻕ ﺗﺪﺭﻳﺴﻬﺎ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻋﺒﺪ ﺍﻴﺪ.
12
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v ABSTRAK .............................................................................................................. vi DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I
BAB II
BAB III
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Identifikasi Masalah .................................................................
12
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
15
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................
16
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................
20
F. Metode Penelitian .....................................................................
20
: TEORI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) A. Model Pembelajaran Bahasa ....................................................
26
B. Strategi Pembelajaran CTL ......................................................
42
C. Faktor-faktor Penerapan CTL ..................................................
45
: PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH A. Proses Belajar dan Pembelajaran .............................................
51
B. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Arab ...................................
58
C. Komponen Pembelajaran Bahasa .............................................
60
D. Rumusan CTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah .....
82
13
BAB IV
: UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
BAB V
A. Pembaharuan Komponen Pembelajaran ..................................
102
B. Lingkungan Berbahasa .............................................................
134
C. Membangkitkan Motivasi dan Minat .......................................
137
: PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
149
B. Saran .........................................................................................
150
Daftar Referensi Lampiran-lampiran
14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran yang berasal dari kata dasar “belajar” diartikan sebagai proses kegiatan belajar mengajar yang merubah perilaku seseorang setelah melakukan proses belajar. Dikatakan juga pembelajaran merupakan proses perubahan yang terjadi pada perilaku seseorang setelah melakukan proses belajar. Gagne (1974) memberikan definisi belajar sebagai sebuah perubahan dalam karakteristik dan kemampuan manusia yang berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.1 Definisi yang diberikan Gagne tersebut seiring dengan Sudirman yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian tentang pemahaman, pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan.2 Dengan demikian apabila seseorang sudah belajar, berarti seseorang tersebut sudah dapat memperoleh keterampilan baik secara teoritis maupun praktis yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Pemerolehan pengetahuan dan kemampuan seseorang itu dapat dilalui dengan belajar yang tidak hanya sekedar menerima informasi atau pengetahuan, tetapi juga dengan belajar seseorang dapat merubah atau mengubah perilakunya dengan memahami makna dari sesuatu yang dipelajarinya. Dengan ungkapan lain, seseorang dapat belajar dan yang membelajarkan. Belajar yang membelajarkan adalah kegiatan proses belajar dilakukan dengan cara mengkonstruksi pengetahuan yang dibangun sendiri berdasarkan pengalaman tanpa harus menghafal seperangkat fakta sebagaimana proses belajar yang terdapat di paradigma pendidikan lama.
1
Gagne Robert M., Essentials of Learning For Instruction, (Illiones; The Drayden Press, 1974), h. 5 2 Sudirman, Ilmu Pendidikan, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1987), h. 9
15
Kegiatan belajar yang membelajarkan bercirikan adanya keterlibatan langsung peserta didik dalam proses pembelajaran. Dengan keterlibatannya itu, mereka akan merasakan pentingnya belajar karena belajar dapat bermakna. Berbicara tentang belajar bermakna, ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar, yang saat ini sedang melebarkan sayapnya ketika diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Berkenaan dengan kurikulum, dapat diungkap bahwa penerapan sebuah kurikulum yang baik, tidak hanya melaksanakan sebuah instruksi pembelajaran yang disusun pemerintah, tetapi juga perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan peserta didik sesuai dengan tuntutan kehidupan di lingkungan masyarakatnya. Salah satu strategi pembelajaran yang saat ini dikembangkan adalah pendekatan kontekstual3 yang memfokuskan perhatiannya terhadap kecakapan hidup yang dilakukan peserta didik. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah reaksi dari pendekatan behaviorisme yang menekankan pada stimulus-respon supaya mampu dalam menggunakan bahasa secara alami seperti dalam kehidupan yang riil dan dalam berbagai situasi, pemikiran yang kritis dan arti dari manfaat belajar. Ketika peserta didik dapat menghubungkan materi pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah dengan kehidupan mereka, mereka akan merasakan betapa pentingnya belajar. Di samping mereka juga menyadari pentingnya sekolah. Melalui proses penerapan materi dalam situasi dunia nyata, peserta didik selain merasakan betapa pentingnya belajar, juga akan memperoleh makna yang
3
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning diperkenalkan oleh hasil penelitian Johnson yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar lebih baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning;What It is and Why It’s here to Stay, (Thousand Oaks;Corwin Press,Inc., 2002. dan munculnya CTL didasarkan pada kekecewaan pemerintah Amerika terhadap pembelajaran tradisional yang berlangsung lama. Namun tak ada perubahan dalam hasil yang diperoleh oleh peserta didik di sana.
16
berarti terhadap materi yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual mendorong peserta didik dalam memahami hakikat, makna dan manfaat belajar, sehingga mereka termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan sampai kecanduan belajar. Dalam CTL, terdapat beberapa kecenderungan tentang pemikiran proses belajar yang mendasar pada filosofi pembelajaran berbasis kompetensi, yang berintikan bahwa belajar itu harus bermakna dengan siswa mengalami bukan hanya sekedar menghafal. Ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam belajar yang bermakna, yaitu: berpusat kepada siswa, belajar dengan melakukan, mengembangkan kemampuan sosial, mengembangkan keingintahuan imajinasi dan fitrah bertuhan, mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah, mengembangkan kreatifitas siswa, mengembangkan kemampuan dalam menggunakan IPTEK, menumbuhkan kesadaran kebangsaan sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat dan perpaduan kompetisi kerjasama dan solidaritas.4 Mendasar pada prinsip-prinsip belajar yang bermakna, maka diperlukan adanya tenaga pendidik -hal ini guru- yang mempunyai keterampilan dalam mengelola pembelajaran. Pembelajaran sebagai aktualisasi kurikulum, menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang diprogramkan. Dalam hal ini, guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat ketika peserta didik belum dapat membentuk sebuah kompetensi, oleh karena guru harus menguasai prinsipprinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran, metode mengajar, keterampilan menilai hasil-hasil belajar peserta didik serta memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran.5 4
Puskur Balitbang Depdiknas, Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar, (Jakarta;Balitbang Depdiknas, 2002), h. 1-3 5 Hal ini juga dinyatakan oleh Mansur Pateda dalam buku Linguistik Terapan bahwa sebelum melaksanakan kegiatan belajar terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan yaitu; pertama, menentukan teori linguistik yang melandasi kegiatan pembelajaran bahasa, kedua, menentukan pendekatan yang digunakan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti faktor
17
Guru juga dituntut mampu untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Tugas guru di sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan dan percaya diri yang tinggi dan dapat juga menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademik, skill, kematangan emosional, moral maupun spiritual, karena guru yang berhadapan langsung dengan peserta didik di kelas melalui proses belajar mengajar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan prestasi peserta didik, guru harus memiliki pengetahuan dan kemampuan secara profesional selain melaksanakan tugasnya. Istilah profesional bersangkutan dengan profesi yakni bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan lain sebagainya) tertentu,
memerlukan
kepandaian
khusus
untuk
menjalankannya,
dan
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesionalitas guru termasuk didalamnya guru bahasa Arab ditandai oleh kompetensi guru tentang kurikulum, bahan ajar, strategi pembelajaran, sistem penilaian dan sikap positif terhadap tugasnya. Pernyataan ini juga dirumuskan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan yaitu, kemampuan profesional, sosial, dan personal yang kemudian dirinci ke dalam sepuluh kemampuan dasar yaitu penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya, pengelolaan program belajar mengajar, pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber pembelajaran, penguasaan landasan-landasan kependidikan,pengelolaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi siswa,
tujuan, siswa, materi, alat Bantu, keterampilan, pengajar, alokasi waktu dan lain-lain, ketiga, menentukan strategi yang tepat, keempat, menentukan metode, kelima, menentukan teknik pembelajaran, keenam, menentukan prosedur, ketujuh, mempertimbangkan faktor penunjang berupa sumber pelajaran dan pengayaan, alat bantu yang dibutuhkan dan alokasi waktu, ke8, menyusun satuan pelajaran, kesembilan, pelaksanaan proses pembelajaran di kelas dan kesepuluh adalah evaluasi, (Mansur Pateda, Linguistik Terapan, (Flores; Nusa Indah, 1991), cet. I, h. 124126
18
pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, pemahaman dan penyelenggaraan sekolah, dan pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.6 Berkaitan dengan kompetensi, ada beberapa kompetensi yang perlu dikembangkan,7 agar peserta didik dapat berkomunikasi dengan baik dan memanfaatkan hasil pembelajaran peserta didik dalam kehidupan sehari hari. Diantara kompetensi dasar yang perlu dikembangkan adalah kompetensi dasar bahasa -dalam hal ini bahasa Arab- yang terdapat dalam pusat kurikulum, ada tiga komponen
dalam
mempelajari
bahasa
yaitu
pertama;
mengembangkan
kemampuan komunikasi baik secara lisan maupun tulisan yang mencakup kemampuan mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Kedua; meningkatkan kesadaran alamiah berbahasa baik bahasa Arab sebagai bahasa asing maupun bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan memkomparasikan kedua bahasa tersebut. Dan yang ketiga; mengembangkan pemahaman sekitar hubungan antara bahasa dan budaya dan kemudian memperluas horizon budaya. Oleh karena itu peserta didik mampu mengetahui persilangan budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya. Untuk dapat menguasai semua kompetensi tersebut, peserta didik dapat memperolehnya secara sadar dan tidak sadar. Pemerolehan secara tidak sadar adalah dengan melibatkan diri atau berinteraksi langsung dengan pemakai bahasa Arab. Sedang pemerolehan kompetensi secara sadar adalah dengan melalui proses pembelajaran. Pemerolehan dengan sadarlah yang menemukan beberapa kendala terkait
dengan
proses
pembelajaran,
baik
dari
komponen-komponen
pembelajaran, karakteristik pembelajar -peserta didik- maupun unsur-unsur lainnya menjadi kendala, seperti ketersediaan dukungan lingkungan pembelajaran 6
Dikutip dari Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, (Bandung:Rosdakarya, 2001), h. 192-193) 7
Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK, (Bandung; Rosdakarya,2007), h. 6
19
yang akan memberi masukan atau bahan yang akan dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Arab yang memadai, latar belakang pendidikan guru, dan metode mengajar yang keefektifannya akan sangat bergantung pada semua faktor yang telah disebutkan di atas. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat kegiatan belajar mengajar bahasa Arab yang kondusif dan bermanfaat. Selain itu juga, diungkapkan oleh Al-Qasimi bahwa ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bahasa asing termasuk bahasa Arab, yaitu kebutuhan peserta didik, usia peserta didik, waktu pembelajaran, tujuan dan metodologi pembelajarannya.8 Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa Asing yang oleh masyarakat Indonesia perlu menguasai dengan tujuan untuk penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial budaya dan pembinaan hubungan dengan bangsa timur tengah. Pengajaran bahasa Arab merupakan suatu proses pendidikan yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan peserta didik supaya mampu menyimak, berbicara, membaca dan menulis bahasa Arab. Dengan ungkapan lain, memberikan bekal kepada peserta didik agar mampu menggunakan bahasa secara produktif dan reseptif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran berbasis kompetensi yang mencakup empat kemahiran berbahasa diajarkan secara integral. Kompetensi berbahasa Arab, sebaiknya penekanan kompetensinya terdapat hubungan dengan pekerjaan yang ada di masyarakat dan tuntutan kehidupan
yang nyata. Seperti halnya penekanan
kompetensi bahasa Arab adalah kemampuan peserta didik dalam berbahasa baik secara lisan maupun tulisan, namun perlu ada penekanan pada salah satu kemampuan bahasa pada peserta didik, seperti pada tingkat pendidikan dasar penekanan kompetensinya pada kemampuan menyimak dan berbicara sebagai 8
Ali Muhammad al-Qasimi, Ittijahât haditsah Fi Ta’lîm al-Arabiyah Linnâthiqîna Bi alLughât al-Ukhra, (Riyadh; al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1979), h. 59-60
20
landasan berbahasa. Pada tingkat menengah, keempat keterampilan diajarkan secara seimbang dan pada tingkat pendidikan lanjut, penekanan kompetensinya pada kemampuan membaca dan menulis, sehingga peserta didik diharapkan mampu mengakses berbagai referensi berbahasa Arab. Permasalahan mengenai sekolah atau madrasah merupakan bagian integral dari lingkungan masyarakat. Maka Istilah madrasah9 dalam pemahaman di masyarakat Indonesia digunakan untuk mengacu pada lembaga pendidikan10 keagamaan Silam, baik yang berbentuk formal yang terdiri dari madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs.) dan madrasah aliyah (MA), maupun yang berbentuk informal yaitu madrasah diniyah yang terdiri dari jenjang awaliyah, wushtha dan ulya. Sedangkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah merupakan jenis pendidikan umum. Istilah madrasah hanya digunakan untuk merujuk pada jenis pendidikan formal yang terdiri atas madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah (sejenjang dengan sekolah dasar dan menengah pertama) yang merupakan jenjang pendidikan dasar, dan madrasah aliyah dan madrasah aliyah kejuruan (setaraf dengan sekolah menengah atas) yang merupakan jenjang pendidikan menengah. Salah satu madrasah yang berada di bawah naungan di salah satu departemen pemerintah Republik Indonesia adalah Madrasah Aliyah Negeri 8 penulisan selanjutanya MAN 8- yang terletak di kawasan Jakarta Timur. Dalam kegiatan belajar mengajar di madrasah tersebut terdapat beberapa kendala, halnya 9
Sekolah pada dasarnya mempunyai makna yang sama dengan madrasah. Istilah sekolah lebih mengarah kepada pendidikan umum sedang madrasah mengacu kepada pendidikan keagamaan yang kata madrasah merupakan kata serapan dari bahasa Arab berwazan isim makân yang menunjukkan makna tempat, berarti tempat belajar. Tempat belajar berarti suatu ruangan yang dapat dijadikan seseorang belajar. 10 Jika ditinjau dari struktur internal, lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam terdapat empat kategori, menurut ungkapan Yasmadi, yaitu pendidikan pondok pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum berasaskan Islam, dan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum. Lebih terinci, lih. Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta; Ciputat Press, 2002), h. 58-59
21
dengan beberapa kendala yang terdapat dalam proses pembelajaran, di antaranya adalah motivasi dan minat siswa terhadap mata pelajaran bahasa khususnya bahasa Arab. Istilah pembelajaran berbeda dengan pengajaran meskipun keduanya terdapat hubungan yang erat. Kata pembelajaran merupakan sebagai proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar, yakni proses belajar yang berlangsung baik di dalam kelas ataupun luar kelas formal. Dengan ungkapan lain pembelajaran memusatkan perhatian terhadap bagaimana membelajarkan siswa dan apa yang dapat diperolehnya. Karena, tujuan pembelajaran adalah membentuk watak, mendewasakan penalaran dan pemikiran, memandirikan sikap, memerdekakan dan memberdayakan. Sedang pengajaran adalah belajar untuk mengetahui dan tujuan pengajaran adalah membentuk konsep dan mentransfer ilmu.11 Oleh sebab itu, dalam pembelajaran, siswa bukan hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar tetapi juga berinteraksi pada keseluruhan komponen yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Biasanya dalam proses belajar mengajar guru hanya menyampaikan materi dengan cara memerintah peserta didik untuk menghafal tanpa memikirkan apakah peserta didik dapat menerapkan materi yang dipelajarinya -dalam hal ini bahasa Arab- dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru bukan hanya sekedar menyampaikan materi namun memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai begitu halnya juga dengan mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Untuk memperjelas teknik-teknik CTL dalam pembelajaran bahasa Arab, penulis mencoba menerapkannya pada siswa-siswi kelas sepuluh atau kelas satu
11
Andreas Harefa, Pembelajaran di Era serba Otonomi, (Jakarta;Kompas), cet. I, h. 63-64
22
tingkat menengah atas. Pertimbangan pemilihan kelas sepuluh, disebabkan beberapa hal. diantaranya; 1. Kelas sepuluh adalah kelas transisi antara menengah pertama dan menengah atas. 2. Kelas sepuluh adalah pondasi utama pendidikan menengah atas, di kelas ini ilmu-ilmu pengetahuan tingkat atas diajarkan pertama kali. 3. Di kelas ini, keberhasilan pembelajaran akan berimbas pada keberhasilan pembelajaran-pembelajaran selanjutnya. 4. Kelas sepuluh ini menjadi jembatan yang menghubungkan pemahamanpemahaman siswa selama masa menengah pertama dengan pelajaranpelajaran tingkat atas. 5. Selain itu, sebagai kelas pertama di sekolah menengah atas, pengaruhpengaruh luar bisa diminimalisir karena posisi siswa sebagai siswa angkatan baru (junior). Pemilihan tingkat menengah atas, diasumsikan karena pada tingkat ini, minat dan bakat siswa mulai diarahkan pada spesialisasi-spesialisasi tertentu. Selain itu, secara psikologis masa-masa usia kelas sepuluh (yang diperkirakan berusia 15-16 tahun) adalah masa adoselen atau masa remaja yang sesungguhnya12. Adapun sekolah yang dijadikan fokus penelitian adalah Madrasah13 Aliyah14 Negeri Delapan Jakarta. Adapun alasan pemilihan penelitian pada MAN 12
Pembagian tahap perkembangan yang paling tua, dikemukakan oleh Aristoteles, Aristoteles membagi masa perkembangan ini atas tiga tahap, yaitu: masa kanak-kanak (0-7 tahun), masa anak (7-14 tahun), masa remaja (14-21 tahun) setelah itu masa dewasa. Jean Jacques Rosseau seorang filosof dan negarawan Perancis, juga mengemukakan tentang tahap-tahap perkembangan anak. Menurut Rosseau ada empat perkembangan yaitu masa bayi (0-2 tahun) anak hidup sebagai binatang, masa kanak-kanak (2-12 tahun) anak hidup sebagai manusia biadab, masa remaja awal (12-15 tahun) anak hidup sebagai petualang; perkembangan intelek dan pertimbangan, dan masa remaja yang sesungguhnya (15-24 tahun) individu hidup sebagai manusia beradab; pertumbuhan kelamin, social dan kata hati. Lih. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), cet. IV, hal. 117 13 Sekolah pada dasarnya mempunyai makna yang sama dengan madrasah. Istilah sekolah lebih mengarah kepada pendidikan umum sedang madrasah mengacu kepada pendidikan
23
Delapan Jakarta, pertama, MAN Delapan adalah salah satu Madrasah yang dicanangkan pemerintah menerapkan dua program sebagai implementasi KBK/ KTSP. Yakni; Program Pengembangan Potensi Akademik (P2A) dan Program Persiapan Hidup Mandiri (PHM). P2A disiapkan untuk siswa yang berminat dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi dan PHM disiapkan untuk siswa yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi sehingga ia harus menjadi siswa yang siap kerja. Pada PHM, MAN Delapan menawarkan keterampilan Montir, Tata Busana dan Industri Mebelair15. Kedua, sebagai salah satu madrasah yang tengah dicanangkan menjadi MAN standar Nasional, MAN Delapan merupakan tempat yang tepat untuk menginformasikan metode CTL pada mata pelajaran Bahasa Arab. Apalagi MAN Delapan belum membuka bidang konsentrasi Bahasa dalam jurusan-jurusan yang ditawarkannya pada program P2M, sehingga pengajaran Bahasa Asing khususnya Bahasa Arab hanya mendapat porsi lima persen dari seluruh waktu belajar siswa MAN Delapan. Padahal sebagai madrasah, memahami bahasa Arab adalah mutlak adanya karena dengan pengetahuan berbahasa Arab, siswa-siswa madrasah memiliki nilai tambah dari alumni-alumni SMU. Lagi pula selama ini, para alumni madrasah selalu dituntut untuk dapat memahami dan mengerti nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis, demi keperluan itu
keagamaan yang kata madrasah merupakan kata serapan dari bahasa Arab berwazan isim makân yang menunjukkan makna tempat, berarti tempat belajar. Tempat belajar berarti suatu ruangan yang dapat dijadikan seseorang belajar. 14 Jika ditinjau dari struktur internal, lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam terdapat empat kategori, menurut ungkapan Yasmadi, yaitu pendidikan pondok pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum berasaskan Islam, dan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum. Lebih terinci, lih. Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta; Ciputat Press, 2002), hal. 58-59 15 Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non Akademik”, (Jakarta, MAN DELAPAN, 2006)
24
bahasa Arab menjadi unsur yang harus dan wajib diperdalam oleh siswa-siswa madrasah. Ketiga, MAN Delapan merupakan Madrasah Aliyah berprestasi Tingkat Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2005 sampai dengan 200716. Penghargaan ini menunjukkan bahwa MAN Delapan adalah madrasah yang patut diperhitungkan. Sehingga segala upaya menuju penyempurnaan madrasah selalu diupayakan. Salah satunya adalah dengan memperkuat kemampuan bahasa siswa. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, penulis memutuskan untuk menjadikan MAN Delapan sebagai tempat pembelajaran siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL. Dengan audiensi penelitian siswa kelas sepuluh atau kelas satu MAN Delapan. Untuk menjalankan metode pembelajaran CTL, penulis membuat rencana pembelajaran bahasa Arab selama satu semester, rencana ini disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, usia peserta didik, waktu pembelajaran, tujuan dan metodologi pembelajarannya17. Setelah menjalankan metode ini, penulis menyebarkan angket dan latihan-latihan untuk mengetahui bagaimana nilai dan partisipasi siswa selama pembelajaran bahasa Arab. Dari angket dan latihanlatihan ini, penulis akan mengetahui tingkat keberhasilan metode CTL dalam membangkitkan minat dan kompetensi siswa dalam berbahasa Arab. Besar harapan penulis untuk membantu siswa-siswa madrasah menguasai bahasa Arab sampai tahap berbicara dan menulis serta memahami maknanya meskipun pada tingkat yang paling sederhana. Sehingga sedikit waktu yang selama ini diberikan untuk mata pelajaran bahasa Arab menjadi waktu berkualitas.
16
Piagam Penghargaan Departemen Agama RI, Nomor K.W. 09.4/5/ KP.08.8/221/2007 Dalam pembelajaran bahasa asing, al-Qasimi menekankan pentingnya melihat kebutuhan dan usia peserta didik agar ilmu yang diajarkan menjadi tepat sasaran. Lih. Ali Muhammad alQasimi, Ittijahât haditsah Fi Ta’lîm al-Arabiyah Linnâthiqîna Bi al-Lughât al-Ukhra, (Riyadh; alMamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1979), h. 59-60 17
25
Dengan demikian penelitian ini berupaya untuk mengadakan kajian lebih lanjut tentang upaya apa saja yang dilakukan untuk membelajarkan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) di madrasah? B. Identifikasi Masalah Dari uraian tersebut diatas dapat diidentifikasi berbagai permasalahan dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan menggunakan pendekatan CTL di madrasah Aliyah Negeri 8 merupakan hal yang penting guna meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab. Maka sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi siswa dalam proses belajar-mengajar yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Faktor-faktor tersebut berasal dari intern dan ekstern seperti siswa, guru, materi, metode, fasilitas, tempat dan waktu. 1. Siswa atau Peserta didik Siswa sebagai subjek dan objek serta kegiatan dalam proses pembelajaran, masing-masing memiliki beraneka ragam karakter. Seperti dari latar belakang baik berasal dari pendidikan maupun keluarga, motivasi, kemampuan, kecerdasan, dan ketertarikan. Sikap siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh dua komponen dasar, yaitu: kepribadian dan kompetensi. Kepribadian siswa terkait dengan karakteristik mereka. Sebagai bukti, dalam suatu kelas terdapat berbagai macam karakteristik siswa, contohnya terdapat siswa yang malas, rajin, aktif, pasif, disiplin, kreatif, dan sebagainya. Perbedaan karakteristik inilah yang akan mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar. Kompetensi siswa terdiri dari tiga kompetensi, yaitu: kognitif yang kaitannya dengan otak siswa, karena setiap siswa memiliki kemampuan berfikir
26
yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya seperti dalam menerima dan memahami informasi, menganalisa suatu masalah dan dalam memecahkan permasalahan, kedua; afektif yang berhubungan dengan sikap dan perilaku siswa terhadap materi seperti sebagai contoh seorang siswa yang cenderung menganggap qawâ’îd lebih penting dari komponen bahasa Arab yang lain, maka siswa tersebut akan terfokus terhadap qawâ’îd daripada kemampuan berbahasa yang lain, dan kompetensi yang ketiga adalah psikomotorik yang hubungannya dalam persoalan keahlian siswa karena rasa keinginan dan kemampuan siswa itu berbeda-beda seperti dalam keberanian dalam berdiskusi atau tanya jawab dengan berinteraksi dengan guru dan atau siswa lainnya. Keperbedaan dari ketiga kompetensi tersebut dapat mempengaruhi dalam proses kegiatan belajar mengajar siswa. 2. Guru Begitu juga halnya dengan siswa, guru sebagai objek dalam pengajaran dipengaruhi juga oleh dua komponen dasar, yaitu: kepribadian dan kompetensi.
Kompetensi guru terdiri dari kompetensi kognitif yang
berhubungan dengan kemampuan berfikir, afektif yang berhubungan dengan tingkah laku, dan psikomotorik yang berhubungan dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Guru juga memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, seperti: galak, sabar, santai, disiplin, kreatif dan sebagainya. Karakteristik tersebut terdapat hubungan yang erat dengan kepribadiannya. 3. Materi Dalam menyampaikan materi, guru harus membuat ketertarikan siswa terhadap materi yang disampaikan dengan membangun kreatifitas yang dimilikinya. Karena dengan berbagai macam cara guru dalam menyalurkan
27
materi yang diberikan sangat mempengaruhi siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu, perlua adanya pengembangan materi untuk dapat mewujudkan peserta didik yang berkompeten. 4. Metode Guru harus menggunakan metode yang tepat dalam melaksanakan pengajaran karena untuk menarik perhatian siswa dan membuat mereka menyukai materi yang diberikan. Metode yang baik juga akan mempengaruhi dalam proses belajar-mengajar. Untuk membangkitkan keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka diupayakan beragam proses agar siswa terlibat dalam proses pendidikan, diantaranya: 1. Mengubah pola pembelajaran yang berasal dari berbasis guru menjadi berbasis siswa; 2. Pembelajaran yang bermula dari mengajar tentang bahasa menjadi mengajar berbahasa; 3. Melengkapi sarana belajar; 4. Menciptakan lingkungan berbahasa; 5. Meningkatkan hubungan yang harmonis antara guru dengan peserta didik; 6. Mengubah penilaian yang bersifat subyektif menjadi obyektif; 7. Mengembangkan materi pembelajaran; 8. Menggunakan pendekatan yang relevan; 9. Memadukan pembelajaran di sekolah dengan kehidupan yang riil. 5. Fasilitas Fasilitas adalah unsur yang membantu dalam proses belajar mengajar, seperti: buku pelajaran, OHP, kamus, papan tulis, tape recorder, kapur, boardmarker dan sebagainya. Fasilitas yang dimiliki oleh madrasah harus
28
dimanfaatkan secara maksimal oleh guru dalam proses belajar mengajar. Penyajian materi yang didukung oleh pemanfaatan yang maksimal oleh guru akan membelajarkan siswa dalam proses belajar mengajar. 6. Tempat Tempat yang dimaksud adalah ruang kelas.
Ruang kelas yang
nyaman, bersih dan tertata rapi dapat mempengaruhi dalam proses belajar mengajar.
Ruang kelas yang nyaman adalah ruang kelas yang memiliki
pencahayaan yang baik, ventilasi yang cukup, tidak bising, pengaturan tempat duduk, dan ukuran ruangan. Ruang yang nyaman akan membuat prosesbelajar mengajar lebih kondusif. 7. Waktu Begitu halnya dengan
alokasi waktu
yang ada juga akan
mempengaruhi pengajaran di kelas. Waktu atau durasi yang digunakan guru dalam menyajikan suatu materi dan urut-urutan proses belajar mengajar didalam kelas harus diupayakan seoptimal mungkin. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari permasalahan tersebut di atas dibatasi pada aspek-aspek tertentu saja. Seperti permasalahan mengenai upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan pembelajaran kontekstual guna meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab di madrasah aliyah negeri 8. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di madrasah aliyah negeri 8?
29
D. Landasan Teori 1. Pengajaran Bahasa Arab Istilah pengajaran dengan pembelajaran merupakan dua peristiwa yang berbeda tetapi keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan terjadi keterkaitan dan interaksi dan saling pengaruh mempengaruhi serta saling menunjang satu sama lain. Keduanya juga melibatkan berbagai variabel. Dengan ungkapan lain bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang sederhana tetapi untuk melaksanakan suatu proses kegiatan belajar mengajar atau dalam hal ini pengajaran bahasa, seseorang harus memikirkan berbagai komponen yang berkaitan dengan pengajaran bahasa. Komponenkomponen utama yang berkaitan dengan pengajaran bahasa diantaranya adalah guru dan peserta didik, bahan ajar serta tujuan pengajaran. Guru memiliki peranan yang penting karena guru sangat menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai subjek yang bertugas melaksanakan proses belajar mengajar, baik sebagai fasilitator, informator maupun sebagai pembimbing, ia harus dapat menjadikan peserta didik tuntas berbahasa bahasa yang diajarkan. Tugas guru menurut Stevick18 mencakup tiga hal yaitu mengembangkan kompetensi
komunikasi,
mengembangkan
mengembangkan
kompetensi
personal.
kompetensi Yang
linguistik
berhubungan
dan
dengan
kompetensi komunikasi adalah mengacu kepada upaya agar peserta didik berani dalam berkomunikasi dengan temannya dan lingkungan yang terdapat di sekitar peserta didik. Kompetensi komunikasi dan linguistik bersama-sama akan memperkuat kemandirian peserta didik sebagai makhluk yang berkembang. Keberanian berkomunikasi dapat menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa peserta didik merupakan pribadi yang berarti. Oleh karena kompetensi personalnya telah berkembang sedemikian rupa dengan 18
Dikutip dari Mansur Pateda, Linguistik Terapan …h. 38
30
melalui interaksi antara guru, peserta didik dan lingkungan sekitarnya, maka keadaan tertentu dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang dihadapinya. Sedang peserta didik yang merupakan subjek dan objek serta kegiatan pembelajaran yang akan dikenai proses diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang lebih baik setelah proses belajar selesai. Komponen selanjutnya adalah bahan dan tujuan pengajaran. Sebelum menyusun bahan ajar, perlu ditinjau terlebih dahulu mengenai karakteristik peserta didik termasuk kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karena setiap peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dalam perkembangan kognitif, intelegensi dan lain sebagainya. Begitu halnya dalam merumuskan tujuan pengajaran sebaiknya ditelusuri terlebih dahulu dengan menganalisis akan kebutuhan peserta didik. Kebutuhan ini dapat diketahui antara
lain
dengan
mengidentifikasi
fungsi
yang
menjadi
sasaran
pembelajaran. Semua komponen tersebut mempunyai hubungan fungsional dalam aktivitas pengajaran bahasa dan turut menentukan keberhasilan proses pengajaran termasuk dalam pengajaran bahasa Arab. Bahasa sebagai alat komunikasi termasuk bahasa Arab mempunyai empat keterampilan yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan tersebut sangat berkaitan dalam rangka mewujudkan tujuan pengajaran bahasa. Salah satu tujuan pengajaran bahasa adalah mempersiapkan peserta didik untuk melakukan interaksi yang bermakna, yaitu dengan cara membuat mereka mampu menggunakan dan memahami bentuk-bentuk ujaran alamiah. Oleh karena, ketika guru akan mengajarkan keterampilan bahasa ia dapat menggunakan satu model pembelajaran yang ada dalam prosedur pengajaran. Sebagai contoh, ketika akan mengajarkan keterampilan menyimak, sebaiknya
31
guru menggunakan prosedur dengan menekankan aktivitas-aktivitas yang berorientasi pada keterampilan menyimak. Begitu halnya dalam pengajaran pada keterampilan bahasa yang lain. 2. Contextual Teaching and Learning Istilah contextual berasal dari bahasa Inggris yang berarti yang berhubungan dengan konteks. Kata contex berarti keadaan, situasi dan kejadian. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sistem pengajaran yang didasarkan dari hasil penelitian John Dewey yang menyimpulkan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan aktivitas atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya.19 Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok. Pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata dan mendorong peserta didik untuk menciptakan hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai anggota masyarakat. Contextual teaching and learning memiliki karakteristik20 dalam strategi pengajaran yaitu: pertama; pembelajaran berbasis masalah, maksudnya sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, meminta peserta didik untuk mengobservasi suatu peristiwa atau fenomena terlebih dahulu kemudian mencatat beberapa permasalahan yang muncul. Setelah itu, guru merangsang dan mengarahkan peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan
19
Elaine B. Johnson, Contextual teaching… Teaching For Contextual Learning, http://ateec.org/learning/instructur/contextual.htm 20
diakses
tanggal
06
Maret
2008,
32
permasalah tersebut dan bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan perspektif yang berbeda dari berbagai pola pikir peserta didik. Kedua; penggunaan multi konteks, artinya guru memberikan tugas kepada peserta didik yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungannya seperti di sekolah, keluarga dan masyarakat. Pemberian tugas tersebut memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar di luar kelas, seperti peserta didik keluar dari kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan interview dengan harapan mendapatkan pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Dengan pengalaman tersebut merupakan upaya dalam pencapaian penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran. Karakteristik yang ketiga adalah memberikan aktivitas kelompok dengan cara guru membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan jumlah personel kelompok tersebut disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam penugasan. Aktivitas belajar secara kelompok ini untuk membangun kompetensi personal seperti salah satu tugas guru yang diungkapkan Stevick. Keempat; dorongan belajar mandiri. Dengan kata lain, peserta didik mampu mencari kemudian menganalisis dan menggunakan informsi tanpa bantuan guru. Untuk dapat melakukannya, mereka harus lebih memperhatikan bagaiamana memproses informasi, menerapkan srategi pemecahan masalah dan mengaplikasi pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran CTL harus berani melakukan trial dan error, disiplin waktu, menyusun refleksi dan mencoba tanpa meminta bantuan guru agar dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri. Kelima; dorongan belajar bekerjasama dengan masyarakat. Sekolah dapat bekerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu karena untuk memberikan pengalaman belajar secara langsung agar peserta didik termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu juga, bekerja sama dengan institusi tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Seperti
33
meminta peserta didik untuk magang di tempat kerja. Dan keenam adalah menerapkan penilaian autentik. Dalam CTL, penilaian ini dilakukan untuk membangun
pengetahuan
dan
keterampilan
yang bermakna dengan
melibatkan siswa ke dunia nyata atau konteks yang alamiah. Adapun bentukbentuk penilaian yang dapat digunakan adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi dan laporan tertulis. Selain karakteristik-karakteristik tersebut, CTL juga terdapat komponenkompenen penting untuk menerapkannya dalam pengajaran bahasa. Tujuh komponen tersebut adalah kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui mengenai pendeskripsian upaya-upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan menggunakan pendekatan CTL. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk berbagai pihak terkait terutama lembaga pendidikan formal dalam memutuskan kebijakan terkait dengan menggunakan strategi pembelajaran kontekstual. Kegunaan yang kedua adalah sebagai sumbangsih khazanah linguistik terapan bahasa Arab khususnya mengenai pendekatan kontekstual yang diterapkan dalam proses pembelajaran bahasa Arab. F. Metode Penelitian 1. Subjek dan Latar Penelitian Setting penelitian ini akan dilaksanakan di MAN 8 yang terletak di daerah Jakarta Timur tepatnya di jalan Balai Rakyat Cakung Jakarta Timur. Sekolah ini memiliki sebuah cabang yang letaknya masih dalam satu kawasan di Jakarta Timur dan dari dua tempat tersebut, madrasah ini memiliki 18 kelas yang dibagi dalam tiga tingkat. Dan sekolah ini juga dilengkapi oleh berbagai
34
fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar seperti perpustakaan, laboratorium bahasa dan komputer serta IPA. Sasaran dari penelitian ini adalah siswa kelas X MAN 8 sebanyak 40 siswa, yang mencakup kelas yang peserta didiknya memilih program pengembangan potensi akademik dan program persiapan hidup mandiri, dengan alasan bahwa para peserta didik yang terdapat di kelas X adalah pendatang baru di madrasah, sehingga upaya peningkatan membelajarkan siswa berbahasa Arab dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Arab sangat perlu untuk dilaksanakan. 2. Sumber Data Data dan informasi mengenai upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di MAN 8 diperoleh melalui berbagai dokumen. Dokumen ini berupa pengamatan dan pelaksanaan interview dengan kepala bidang kurikulum, guru yang bersangkutan dan penyebaran angket21 terhadap siswa serta melakukan eksperimen tentang penerapan pendekatan CTL di kelas. Sumber data dalam penelitian ini adalah ungkapan dan tindakan orangorang yang diobservasi22 dan diinterview. Selain dari sumber data tersebut juga diperlukan argument-argumen yang mendukung dalam pembahasan ini dengan memaparkan teori mengenai kajian penggunaan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam pengajaran bahasa Arab adalah buku-buku karya para tokoh linguistik edukasional dari berbagai aliran. Walaupun 21
Angket adalah termasuk alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atau informasi, sikap dan paham akan hubungan kausal. Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara. Dalam wawancara, interviewer berhadapan langsung dengan responden, sedang angket dilaksanakan secara tertulis. Terdapat dua macam bentuk angket, yaitu berstruktur dan takberstruktur. Bentuk pertama adalah adanya kemungkinan jawaban yang disediakan, dan bentuk kedua, angket yang memberikan jawaban secara terbuka yang respondennya menjawab secara bebas dari sebuah pertanyaan. Baca di M. Sobry Sutikno, Pembelajaran Efektif, (Mataram; NTP Press, 2005), h. 8384 22 Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilaksanakan secara terprogram dan terdapat unsur kesengajaan yang diawali dengan pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diselidiki khususnya dalam proses kegiatan belajar mengajar bahasa Arab. Lih. Pengantar Teori Konseling; Suatu Uraian Ringkas, (Jakarta; Galia Indonesia, 1985), h. 110
35
sebagian literatur dari buku-buku tersebut menggunakan bahasa Inggris pengantarnya, pembahasannya
namun terdapat
tidak
menutup
kajian
kemungkinan
mengenai
dalam
pembelajaran
objek
kontekstual,
meskipun dalam memberikan contoh kebanyakan bahasa Inggris tetapi juga mencakup bahasa-bahasa lain pada umumnya. Literatur secara khusus yang membahas pembelajaran kontekstual bahasa Arab belum banyak ditemui di berbagai perpustakaan di tanah air. Akan tetapi, pembahasan -walaupun tidak terperinci- mengenai pembelajaran kontekstual yang mencakup dalam pembelajaran bahasa asing banyak ditulis oleh para ahli sebagai bagian dari bab/sub bab dari pembahasan kurikulum berbasis kompetensi secara umum yang akan sangat membantu dalam penelitian. Untuk merencanakan penulisan yang terarah dan sistematis, penulis mengklasifikasi sumber data pada dua bagian; a) Sumber Data Primer Yaitu data-data yang menjadi dasar penelitian berupa data-data mengenai pembelajaran bahasa Arab di sekolah Madrasa Aliyah Negeri Delapan serta bagaimana penguasaan siswa terhadap bahasa tersebut diperkaya dengan karya-karya yang menerangkan metode CTL dan teknikteknik penerapannya dalam pembelajaran. b) Sumber Data Sekunder Yaitu data-data pendukung di seputar pembahasan mengenai; 1). Metode Pembelajaran; 2). Pengajaran Bahasa Arab; 3). Teknik-teknik mengajar pelajaran bahasa, baik bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. 1) Dalam memaparkan mengenai metode-metode pembelajaran, diantara referensi pendukung yang digunakan adalah: The Theory and Practice of Teaching, editor Peter Javis; Tools for Teaching Philosophy and Ideas You Can Use ditulis oleh George Richardson, Jim Parsons dan
36
Laura Servage; Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject oleh Mel Silberman; Quantum Learning oleh Bobbi De Porter dan Mike Hernacki; Quality in Education: An Implementation Handbook oleh Jerome S. Arcaro serta beberapa buku berbahasa Indonesia diantaranya, Menjadi Guru oleh Hernowo, Perencanaan Pembelajaran oleh Hamzah B.
Uno,
Strategi
Belajar
Mengajar;
Strategi
Mewujudkan
Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami karya Pupuh Fathurrahman; Pembelajaran di Era serba Otonomi oleh Andreas Harefa dan lainnya. 2) Untuk pengajaran bahasa Arab, beberapa referensi pendukungnya antara lain Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghairi al-Nâthiqîn bihâ Manâhijuhu wa Asâlîbuhu oleh Doktor Rusydi Ahmad Thu’aimah, al-Lughat al‘Arabiyyah; Ushuluhâ al-Nafsiyah wa Thuruq Tadrisihâ karya Abdul ‘Aziz ‘Abdul Majid; Khashâis al-‘Arabiyyah wa Tharâiq Tadrîsihâ yang ditulis oleh Mahmûd Nayîf Ma’ruf dan Ta’lim al-Lughat al‘Arabiyah baina al-Nadhriyah wa al-Tathbîq oleh Hasan Shahatah, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab oleh Ahmad Fuad Effendy, dan buku-buku pelajaran bahasa Arab yang digunakan pada sekolah menengah atas (madrasah aliyah). 3) Adapun teknik-teknik mengajar pelajaran bahasa, penulis merujuk pada beberapa buku, diantaranya The Context of Language Teaching diedit oleh Jack C. Richards, Languange Teaching Methodology ditulis oleh David Nunan; al-Lughât al-Ajnabiyah Ta’lîmuhâ wa Ta’alumihâ oleh ‘Alî Hajaj; Strategi Belajar dan Mengajar Bahasa Indonesia Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran karya M. Subana dan Sunarti; Metodologi Pengajaran Bahasa oleh Sri Utari SubyaktoNababan; Terampil Berbahasa Indonesia karya Sudarno dan Eman A. Rahman; Pengajaran Bahasa Asing; Sebuah Tinjauan dari Segi
37
Metodologi karya Muljanto Sumardi; Linguistik Terapan oleh Mansur Pateda; Linguistik Edukasional; Metodologi Pembelajaran Bahasa Analisis Konstrastif dan Analisis Kesalahan Berbahasa karya Daniel Jos Parera dan buku terjemahan Paul Ohoiwutun; Sosiolinguistik; Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. 3. Metode Analisis Berdasarkan uraian permasalahan, penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan, mencatat, mengarah, dan menginterpretasikan data, sehingga didapati berbagai fakta dan keterangan yang nyata. Oleh sebab itu, metode dalam penelitian ini menggunakan deskriptif-analisis. Dengan ungkapan lain, bahwa dalam penelitian ini mencoba untuk menggambarkan objek pembahasan dengan penyertaan analisis kualitatif tentang upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di MAN 8. Ada beberapa langkah yang harus digunakan dalam metode deskriptifanalisis, yaitu dengan mengumpulkan data sebagai langkah pertama yang berhubungan dengan kajian pembahasan kemudian dianalisis, setelah itu data diinterpretasikan dan sebagai langkah terakhir adalah langkah menarik kesimpulan. Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, data tersebut diolah. Dalam menganalisa data23 dilakukan secara kontinuitas dan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Yaitu peneliti akan melakukan analisis data pada saat pengumpulan data dalam bentuk catatan supaya peristiwa yang diteliti dapat dideskripsikan secara utuh, objektif dan sistematis.
23
Analisis data adalah suatu proses investigasi secara sistematis terhadap pedoman interview, catatan lapangan, dan data-data lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap data-data tersebut supaya dapat dinterpretasikan kepada orang lain. Analisis data juga dapat disebut dengan pengolahan data, ada pula yang menyebut sebagai data preparation. Lih. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta; Rineka Cipta, 1991), h. 191
38
BAB II TEORI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
Dalam wacana pendidikan ada dua tataran penting yang selalu bersinggungan namun sesungguhnya bekerja secara bersamaan dan bersinergi, yakni tataran teoritis dan praktis. Konsep teoritis ini biasanya disusun oleh professional pendidikan dan para pengamat pendidikan yang mengujicobakan satu teori dengan teori lainnya, sedangkan praktisi pendidikan adalah guru-guru yang berhubungan langsung dengan aktivitas belajar mengajar dalam kelas. Tataran teoritis dan praktis ini seyogyanya berjalan beriringan agar dengan mudah dievaluasi hasilnya, tetapi realitasnya, wacana teoritis selalu cepat berubah-ubah dan praktik di lapangan berjalan di tempat. Beberapa tahun belakangan ini, berbagai konsep teoritis sudah muncul, tetapi kesiapan di lapangan belum direncanakan dengan baik. Quantum Learning, Ambak, Active Learning dan Contextual Learning menjadi populer dengan cepat, tetapi teknik mengajar berbasis teori-teori tersebut belum terlihat jelas. Saat pendidikan bermula di Yunani, metode ceramah adalah metode yang dianggap tepat untuk mendidik dan mengajar peserta didik.24 Padahal, teori-teori ini muncul dari hasil penelitian yang cukup panjang dengan berupaya untuk memperbaharui metode-metode lama yang diasumsikan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Melalui pembaharuan-pembaharuan inilah, perjalanan mutu dan kualitas bangsa disusun dan direncanakan untuk kemudian dibimbing menjadi lebih baik. Tapi apalah artinya teori-teori tersebut, jika pada praktiknya tidak sejalan dengan teorinya. Sehingga setiap upaya sosialisasi teori-teori tersebut menjadi keharusan dan pengetahuan mengenai perbedaan antara teori terbaru dengan teori-teori sebelumnya menjadi pekerjaan terpenting agar setiap 24
M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia; Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, (Bandung, Pustaka Setia, tt), h. 94
39
guru atau praktisi pendidikan dapat memahami benar bahwa teori tersebut adalah teori yang tepat dalam proses pembelajaran. A. Model Pembelajaran Bahasa CTL atau pembelajaran kontekstual sebagai salah satu pendekatan (approach) dalam pembelajaran25 yang merupakan gebrakan dari pembelajaran tradisional yang dianggap kurang layak untuk dipergunakan di saat sekarang ini. Dalam dunia pengajaran, kata approach lebih tepat diartikan a way of beginning something. Secara harfiah bahwa , approach ialah cara memulai sesuatu, sedang secara istilah sebagai seperangkat asumsi tentang hakikat mata pelajaran tertentu, pengajarannya dan proses belajarnya.26 Istilah pendekatan (approach) sering dikaitkan dengan metode (method) dan teknik (technique). Daniel Parera menyebutkan tiga istilah tersebut berhubungan secara hierarkis. Hubungan ini menggambarkan bahwa teknik merupakan satu hasil dari metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Gambaran lengkapnya adalah, pendekatan (approach) merupakan satu latar belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang hendak diajarkan, termasuk di dalamnya teori-teori yang berbeda tentang hakikat suatu ilmu dan cara mengajarkannya.27 Adapun metode merupakan satu rancangan menyeluruh untuk menyajikan secara teratur bahan-bahan dari mata pelajaran yang diajarkan, yang semuanya didasarkan pada asumsi yang ditetapkan dalam pendekatan. Sedangkan teknik adalah usaha pemenuhan akan metode dalam pelaksanaan pengajaran di dalam kelas.28
25
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, (Jakarta, Bumi Aksara, 2007), h. 40 26 Kutipan dalam Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, (Bandung, Pustaka Setia, tth), h. 19 27 Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional, (Jakarta, Erlangga, 1987), h. 18 28 Parera, Linguistik …, h. 18-19
40
Menurut para ahli, istilah pendekatan digunakan untuk merujuk pada rancang bangun silabus (syllabus design). Melalui syllabus design ini kemudian dijabarkan penyusunan materi pelajaran, penyusunan ini membawa konsekuensi metodologis. Itu sebabnya ketika satu pendekatan ditetapkan, penyusunan materi pelajaran dan metode pengajarannya sudah harus disinergikan. Bila tidak segera disinergikan, maka yang terjadi adalah perbedaan antara taraf teoritis dengan praktik yang terjadi di lapangan. Karenanya, suatu approach sangat menentukan dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Approach mempunyai pengaruh besar terhadap hasil yang diharapkan, maka sebelum melaksanakan pembelajaran, perlu dipikirkan terlebih dahulu atau dipilih approach yang tepat. (suatu approach yang dilaksanakan secara konsekuen dalam pengajaran bahasa disebut aliran pengajaran bahasa). Artinya, CTL sebagai sebuah pendekatan (approach), menjadi dasar bagi setiap guru dalam penentuan isi program, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber belajar dan teknik/ bentuk penilaian. CTL juga menjadi acuan
bagi
guru
untuk
menentukan
keseluruhan
tahapan
pengelolaan
pembelajaran.29 Kesadaran perlunya pendekatan CTL dalam pembelajaran didasarkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini disebabkan pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Pendekatan pembelajaran yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian rentetan topik atau pokok bahasan, tetapi tidak diikuti
29
Muslich, KTSP …, h. 40
41
dengan pemahaman atau pengertian yang mendalam, yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupannya. Ini tidak berarti bahwa pendekatan-pendekatan pra-CTL, merupakan pendekatan-pendekatan tak bermakna. Karena sesungguhnya setiap teori pendekatan yang lahir semuanya didasarkan pada tantangan zamannya masingmasing. Satu pendekatan yang lahir pada masa lalu tentu saja belum dapat dipastikan tepat digunakan pada masa selanjutnya, dan mungkin teori pendekatan pada masa ini juga tidak sesuai bila diterapkan di masa itu. Keterpaduan pendekatan-pendekatan (approaches) dengan metode-metode dan teknik-teknik pendukungnya ini kemudian disebut dengan “Model Pembelajaran”.30 Jadi, model pembelajaran adalah sesuatu yang merangkum semua kegiatan pembelajaran, termasuk metode dan teknik-tekniknya. Maka, jika CTL sudah dikategorikan sebagai model pembelajaran, CTL tersebut telah dijalankan dalam proses pengajaran dengan metode dan teknik-teknik yang sudah dirumuskan sebelumnya. Secara umum, terdapat beberapa model pembelajaran yang pernah dirumuskan oleh para praktisi pendidikan sejak zaman dahulu hingga kini, sebagiannya sudah jarang digunakan tetapi sebagian lainnya masih dipertahankan dalam kegiatan belajar mengajar. Perlu diketahui pula bahwa keberadaan satu pendekatan atau satu model pembelajaran dilatarbelakangi oleh pendekatan atau model pembelajaran sebelumnya. Misalnya keberadaan pendekatan diskusi 30
Model pembelajaran disusun dari dua kata besar, model dan pembelajaran. Menurut kamus bahasa Indonesia, model diartikan dengan pola dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Berkaitan dengan pembelajaran, model diartikan oleh Bruce dan Weil sebagai suatu perencanaan yang digunakan dalam menyusun kurikulum, merancang materi pelajaran dan untuk memberi arah dalam proses pembelajaran dan pengaturan lain, Dalam hal ini, Jujun memberikan definisi model sebagai penyederhanaan dari realitas sebuah abstraksi sehingga hanya unsur-unsur yang penting yang muncul dalam bentuknya. Lih. Bruce Joice & Marsha Weil, Models of Teaching, (New Jersey; Prentece Hall International, Inc., 1985), hal. 1 dan Jujun S. Suriasumantri, Berpikir Sistem; Konsep, Penerapan, Teknologi, dan Strategi Implementasi, (Jakarta; PPS IKIP Jakarta, 1988), h. 22
42
didorong oleh usaha pembaharuan terhadap pendekatan ceramah. Dengan demikian model pembelajaran dan atau pendekatan adalah sebuah evolusi dari model-model pembelajaran sebelumnya. Dengan memilih pendekatan yang tepat, dikatakan David Nunan dapat membantu menyukseskan kegiatan belajar mengajar. Tetapi ditekankannya bahwa kesuksesan ini takkan terjadi jika tidak terdapat interaksi komunikatif dua belah pihak; antara siswa sebagai orang yang sedang belajar dan guru sebagai figur yang mengajar.31 Menurut Ernest Chang dan Simpson, terdapat beberapa model pembelajaran (aplikatif pendekatan beserta teknik dan metodenya) 32, diantaranya; 1. Model Pembelajaran traditional lectures (ceramah tradisional) Disebut dengan traditional, karena konon model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran tertua. Model pembelajaran ini menggunakan pendekatan ceramah dengan metode penyajian fakta atau ide secara lisan, tekniknya adalah melalui retorika-retorika terbaik,33 agar murid memfokuskan diri pada ceramah yang disampaikan. Model ini mencapai puncak keemasannya pada abad ke-5 Masehi, yaitu pada masa kejayaan para sufi Yunani kuno, yang memandang dan menggunakan ceramah sebagai suatu cara yang paling cemerlang untuk mengemukakan pikiran, menyampaikan pidato, atau membacakan sajak-sajak tanpa teks. Peter Jarvis mengasumsikan bahwa pada masa Yunani dulu, ada kecenderungan untuk menilai kemampuan 31
David Nunan, Language Teaching Methodology a Textbook for Teachers, (Hertfordshire, Prentice Hall International, 1998), h. 2-3 32 Dikutip dari Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, (Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 59 33 Kelebihan teknik ceramah dikatakan Subana, antara lain; memberikan pengalaman praktis pada siswa untuk mengembangkan keterampilan membuat catatan, menghemat waktu mengajar karena hanya menerangkan informasi dan memungkinkan guru mampu menghadapi siswa dalam jumlah banyak, dan jika perlu menyajikan materi pelajaran yang banyak pula, lih. M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, (Bandung, Pustaka Setia, tt), h. 96-97
43
mengajar seseorang dengan kemampuannya berkomunikasi dengan audiens. Sehingga retorika menjadi hal yang esensial dalam pengajaran.34 Agaknya, model pembelajaran ini sangat digemari, terbukti bahwa dalam Islam sekalipun sejak zaman dahulu, metode lisan adalah satu-satunya metode yang digunakan dalam pembelajaran. Seperti yang terjadi dalam proses belajar mengajar hadis (ajaran-sunnah Nabi Saw) . Model pembelajaran traditional lectures disebut juga dengan belajar menerima. Belajar menerima maksudnya adalah sebuah bentuk kegiatan belajar, dengan peranan peserta didik lebih pasif, mereka lebih banyak menerima pengetahuan yang disampaikan guru.35 Dengan ungkapan lain, peserta didik lebih banyak menerima pengetahuan -dalam hal ini materi- yang disampaikan guru dalam proses pembelajaran. Model ini mempunyai nilai positif bila peserta didik kreatif dan dapat menangkap semua informasi yang diberikan. Strategi pembelajaran dalam model ini, dilakukan dengan mengikuti ceramah dari guru, sehingga peserta didik dijadikan hanya sebagai pendengar setia tanpa diikutsertakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini tentu saja akan membuat peserta didik merasa bosan untuk mengikuti proses belajar. Ciri-ciri utama dalam model pembelajaran ini adalah mendengarkan penjelasan guru, kegiatan dan lingkungan dikendalikan guru, pengetahuan yang diperoleh tergantung penangkapan pembicaraan guru, dukungan teknologinya sedikit dan berlangsung dalam keadaan otoriter. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, yang menjadi sumber utama dalam model ini adalah guru, sehingga model ini selalu dipandang sebagai model 34
Peter Jarvis ed., The Theory & Practice of Teaching, (Canada, Kogan Page, 2002), h.
35
Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta; Rineka Cipta, 2003),
90 h. 38
44
tradisional dan kurang memberdayakan kecakapan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuannya dan juga kemandirian dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam upaya membelajarkan siswa, model ini tidak dapat diterapkan kecuali jika model ini dikombinasikan dengan model pembelajaran yang lebih inovatif. Seperti contoh, model ini berkombinasi dengan model diskaveri.36 2. Model pembelajaran self study (belajar sendiri) Self study merupakan reaksi dari pendekatan ceramah, yang diduga berpotensi memandulkan siswa. Model pembelajaran ini mengarahkan pembelajaran pada kemandirian peserta didik dalam keseluruhan aktifitasnya. Disini, guru hanya menciptakan sarana dan prasarana yang diarahkan sedemikian rupa untuk membangkitkan kemandirian siswa. Tetapi untuk dapat memainkan peran ini, seorang guru harus teliti dalam mencari arahan yang tepat, karena jika guru tidak dapat memberikan motivasi yang tepat alihalih membentuk membangun kemandirian siswa yang terjadi malah sebaliknya. Untuk itu, fasilitas dan media pembelajaran adalah komponen penting yang dapat digunakan sebagai strategi pembelajaran. Hal yang paling penting dan perlu diawasi dalam model pembelajaran ini adalah munculnya siswa-siswa yang semakin kuat mandiri. Dan semakin mundurnya beberapa siswa yang tidak berbakat karena rasa minder mereka dan ketidakyakinan mereka untuk ikut serta dalam program adu bakat dan kemandirian. Pembelajaran ini harus diiringi pula dengan bimbingan dan konseling, yakni suatu program yang disediakan sekolah untuk membantu mengoptimalkan 36
Model diskaveri adalah model yang menganggap peserta didik mempunyai kemampuan-kemampuan dasar untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Lihat Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta; Quantum Teaching, 2005), h. 11
45
perkembangan siswa. Bimbingan ini bersifat individual, berusaha membantu para siswa dalam memahami dirinya, menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan serta mengatasi problema-problema dirinya.37 Tanpa bimbingan dan konseling ini, pembelajaran self study seringkali hanya menjadi pembelajaran untuk siswa-siswa berbakat saja dan membiarkan yang tertinggal semakin tertinggal. Strategi pembelajaran yang dilakukan dalam model ini adalah kemandirian peserta didik dalam keseluruhan aktifitasnya. Sehingga menuntut adanya disiplin diri yang kuat dari pihak peserta didik supaya tujuan pembelajaran mencapai optimal, maka motivasi peserta didik harus kuat dan stabil. Model pembelajaran ini memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran berfokus pada pemikiran sendiri, proses belajar diarahkan sendiri, isi pengetahuan yang berupa refleksi dan integrasi, dengan menggunakan multimedia dan diatas penghargaan diri secara otonom. Mendasar pada ciri-ciri tersebut, peserta didik dituntut memiliki sikap disiplin yang kuat karena harus mengatur dirinya sendiri secara terarah. Model ini peserta didik benar-benar diberdayakan untuk belajar mandiri tanpa ada bantuan dari orang lain. Guru hanya berperan sebagai pembimbing dan motivator. 3. Model Pembelajaran concurren learning (belajar berbarengan) Karena self study seringkali menyisihkan siswa-siswa tidak berbakat, kemudian lahirlah concurren learning atau pembelajaran berbarengan atau berkelompok, yang menuntut setiap siswa langsung dan tidak langsung dalam keadaan berbarengan dengan yang lain dan saling berinteraksi. Model ini bercirikan pembelajaran partisipatif, dalam sebuah forum terbuka dan keadaan 37
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), h. 234-235
46
saling menghargai satu sama lain, materi yang berada dalam perspektif masing-masing, suasana demokratis dengan dukungan teknologi. Kemampuan siswa dalam satu kelas yang beragam, pandai, sedang dan kurang, menuntut kecermatan guru bagaimana pengelompokkan tersusun dan kerjasama terjalin. Kapan siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan yang sama (homogen), sehingga guru mampu berkonsentrasi pada kelompok yang kurang; dan kapan pengelompokkan berdasarkan variasi (heterogen) sehingga terjadi tutorial sebaya.38 Dari strategi guru tersebut, memungkinkan murid untuk terampil dalam mengemukakan pendapat dan bertoleransi terhadap perbedaan pemahaman dan pendapat orang lain. Model ini dapat dipakai dalam upaya membelajarkan siswa belajar bahasa, karena peserta didik bebas dalam mengemukakan pendapat dengan menggunakan bahasa Arab dan guru hanya mengarahkan jika ada kesalahan dalam penggunaan bahasa. Concurren learning atau pembelajaran berbarengan, pada dasarnya dilakukan dengan tanggung jawab peserta didik secara mandiri namun secara langsung dan tidak langsung dalam keadaan berbarengan dengan yang lain dan saling berinteraksi. Model ini bercirikan pembelajaran dilakukan secara partisifatif, dalam sebuah forum terbuka dan keadaan saling menghargai satu sama lain, materi yang berada dalam perspektif masing-masing, suasana demokratis dengan dukungan teknologi. Dari ciri-ciri tersebut, memungkinkan murid untuk terampil dalam mengemukakan pendapat dan bertoleransi terhadap perbedaan pemahaman dan pendapat orang lain.
38
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, (Jakarta, Bumi Aksara, 2007), h. 73
47
4. Model Pembelajaran Kolaboratif39 (collaborative learning) Model ini merupakan pengembangan dari model concurren learning hanya saja penekanan kerja sama untuk mendapatkan consensus lebih ditekankan untuk mencapai pemahaman yang “sama” dan keputusan yang dibuat bersama atas dasar nilai yang disepakati bersama. Terdapat dua unsur penting dalam model pembelajaran kolaboratif yaitu 1) adanya tujuan yang sama dan 2) ketergantungan yang positif. Dua unsur ini menuntun peserta didik bekerja sama dengan teman untuk menentukan strategi pemecahan masalah yang ditugaskan guru, kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluar dan menetapkan keputusan bersama. Dengan berdiskusi, peserta didik akan berpikir bahwa persoalan yang didiskusikan bersama adalah milik bersama. Perbedaan pendapat dalam mengemukakan ide dan saling menanggapi antar peserta didik satu dengan peserta didik lainnya akan dapat mengembangkan pengetahuan bersama dan pengetahuan dari masing-masing individu. Kedua, ketergantungan yang positif, dengan ungkapan lain, bahwa setiap anggota kelompok hanya dapat berhasil mencapai tujuan apabila seluruh anggota bekerja sama. Dengan demikian, ketergantungan individu sangat tinggi dalam model ini.40 Maka,
39
Strategi pembelajaran kolaboratif dilakukan dalam bentuk kolaboratif yakni bekerja sama yang saling membantu antar peserta didik dalam bentuk tim, dengan memecahkan suatu permasalahan bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Model ini diungkapkan juga dalam buku Holistik bahwa collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi yang dapat dilakukan dengan melalui media elektronik ataupun internet dalam upaya mencari jawaban atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Dan ada sebuah model yang lebih spesifik dari kolaboratif yaitu cooperative learning . baca selengkapnya di Ratna megawati et.al., Pendidikan Holistik, (Bogor; Indonesia Heritage Foundation, 2005), cet. I, h.66 40 Terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam model pembelajaran kolaboratif, yaitu: meningkatkan pengetahuan anggota kelompok; siswa belajar untuk memecahkan permasalahan bersama-sama; menanamkan rasa kebersamaan antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya; meningkatkan keberanian dalam mengemukakan pendapat untuk pemecahan bersama karena setiap peserta didik diarahkan untuk membantu teman kelompoknya yang belum paham; memupuk rasa tanggung jawab peserta didik dalam mencapai satu tujuan bersama, sehingga dalam bekerja tidak terjadi tumpang tindih. Lih. Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 62.
48
belajar disini bukan hanya sekedar bekerja sama dalam sebuah kelompok tetapi lebih menekankan kepada suatu proses pembelajaran yang melibatkan komunikasi secara utuh dan adil dalam kelas.41 5. Model Pembelajaran Kuantum (quantum learning) Model pembelajaran kuantum muncul untuk mengatasi permasalahan yang rumit di sekolah, yaitu “rasa bosan dalam belajar”. Model ini berakar dari Lozanoz dengan eksperimennya mengenai suggestopedia. Suggestopedia berprinsip bahwa sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar dan dalam suasana belajar apapun memberikan sugesti positif atau negatif.42 Ada beberapa teknik yang digunakan untuk memberikan sugesti positif seperti memberikan kenyamanan, menggunakan musik, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan beraneka ragam gambar dengan diselipkan informasi supaya terkesan dan menyediakan guru-guru yang terlatih dalam seni pembelajaran sugesti. Dengan ungkapan lain bahwa dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa dapat dilalui dengan kenyamanan, meningkatkan partisispasi individu dan menghadirkan seni. Dengan demikian, model ini menyarankan lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman, menyenangkan karena dalam proses belajar mengajar sambil mendengar musik, ruangan yang indah karena terdapat beraneka warna gambar dan lain sebagainya, positif dan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode pengajaran seperti metode menirukan, permainan, simbol dan simulasi. Untuk membuktikan suasana atau lingkungan pembelajaran tersebut, guru harus mengerti kondisi peserta didik yang mencakup kebiasaan belajar dan faktor-faktor yang menghalangi dalam proses kegiatan belajar mengajar. 41
Adi W. Gunawan, Genius Learning; Strategi Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Aktif Learning, (Jakarta; Gramedia, 2006), h.198 42 Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Unleashing The Genius in You, terj., (Bandung, Kaifa, 2003), h. 14
49
6. Model Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) Model
pembelajaran
kontekstual
muncul
karena hipotesa
yang
berkembang mengenai lulusan-lulusan sekolah yang tidak siap guna. Alumnialumni atau sarjana-sarjana ini bukan tidak pintar, tetapi seringkali hanya menguasai teori-teori dan tidak memiliki kemampuan praktis, sehingga saat diterjunkan ke dunia kerja dan masyarakat, para sarjana ini tidak dapat mengaplikasikan ilmunya, kecuali dengan pengajaran-pengajaran terbaru di lingkungan kerjanya tersebut. Hipotesa ini mendorong Elaine B. Johnson merumuskan pembelajaran CTL, dengan asumsi bahwa belajar itu akan berjalan baik jika para peserta didik dapat menemukan makna dalam pengetahuan yang mereka peroleh dan pemerolehan pengetahuan tersebut dapat dikaitkan dengan situasi atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya.43 Sehingga hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna untuk peserta didik. Dengan ungkapan lain bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik bukan hanya sekedar mengetahui pengetahuan melainkan bermanfaat untuk diri sendiri sehingga mereka merasa kecanduan untuk belajar. Artinya, pendekatan CTL adalah proses pendidikan yang membantu peserta didik untuk memahami makna
yang
terdapat
dalam
materi
yang
mereka
pelajari
dan
menghubungkannya dengan situasi keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. 7. Model Pembelajaran Belajar Tuntas Belajar tuntas adalah model pembelajaran yang disiapkan untuk mendukung sistem pendidikan holistik. John B. Carol memastikan bahwa dalam model belajar tuntas, peserta didik diharapkan mampu belajar dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal terhadap materi pelajaran dan peserta didik ini tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan atau aktifitas 43
Elaine B. Johnson PH.D, Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay, terj., (Bandung, Mizan Media Utama, 2007) cet. V, h. 60
50
berikutnya sebelum mereka mampu menyelesaikan tindakan tersebut dengan prosedur yang benar dan dapat memperoleh hasil yang baik. Teknik pengajarannya, bisa dilakukan dengan sistem berkelompok atau individual yang terpenting, setiap siswa dianjurkan mencapai tujuan-tujuan pembelajaran dengan baik.44 Oleh karena itu, Pelaksanaan pembelajaran dalam model ini harus sistematis, terutama dalam mengorganisasi tujuan dan bahan pelajaran, pelaksanaan evaluasi dan pemberian bimbingan khusus terhadap peserta didik yang
tidak
mencapai
tujuan
pembelajaran
yang
telah
ditentukan.
Pengorganisasian tujuan pembelajaran untuk memudahkan menimbang ulang hasil pembelajaran dan diuraikan menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran, dan sebelum proses pembelajaran berlanjut ke jenjang berikutnya, peserta didik dituntut untuk menguasai kelengkapan materi atau bahan pelajaran dari semua tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran. Setiap proses pembelajaran itu selesai, evaluasi selalu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh feedback. Tujuan utama dari pelaksanaan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi dan bahasan tentang pencapaian tujuan pembelajaran dan penguasaan materi peserta didik, sehingga mengetahui peserta didik yang hasilnya belum mencapai target supaya dilakukan bimbingan khusus dengan harapan dapat mencapai tujuan dan penguasaan bahan secara maksimal.45 Model belajar tuntas berasumsi peserta didik dapat belajar bersama-sama dengan memperhatikan bakat dan ketekunan masing-masing, pemberian waktu yang memadai, dan pemberian bantuan terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan.46 44
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung; Rosdakarya, 1990), h. 199 45 E Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004 …, h. 53 46 Untuk peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lambat dengan materi yang sama, diberikan tambahan waktu sehingga mereka mampu mencapai tujuan pembelajaran. Lih. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta; Bumi Aksara, 2001), h. 132-133
51
Setelah memperhatikan tujuh model pembelajaran yang selama ini berkembang dan mewarnai pendidikan di dunia, kita dapat menemukan bahwa suatu pendekatan dapat berubah menjadi teknik atau metode pada model pembelajaran selanjutnya. Dan lahirnya suatu model pembelajaran dipengaruhi oleh keberadaan model pembelajaran lainnya. Perhatikan saja, jika pada model pembelajaran traditional, ceramah adalah pendekatan pembelajaran, pada self study, ceramah merupakan salah satu teknik pengajaran bersama-sama dengan diskusi. Dan pada modul pembelajaran concurren learning, ceramah, diskusi dan program kerjasama saling bersinergi dalam teknik pengajaran. Saling mengisi dengan porsi masingmasing, misalnya teknik ceramah 20 % dari pertemuan, diskusi 35% dari pertemuan dan latihan kerja sama sebanya 45% dari seluruh pertemuan. Adapun CTL, dalam prosesnya juga didukung oleh teknik-teknik dan metodemetode tertentu. Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan
bahwa belajar tidak
hanya
sekedar menghafal,
tetapi
merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Pendekatan ini selaras dengan konsep KBK dan KTSP yang sedang diberlakukan saat ini. Kehadiran KBK dan KTSP juga dilandasi oleh pemikiran bahwa berbagai kompetensi akan terbangun secara mantap dan maksimal apabila pembelajaran dilakukan secara kontekstual, yaitu pembelajaran yang didukung situasi dalam kehidupan nyata. Sistem CTL ini diasumsikan berhasil karena sistem ini meminta siswa untuk bertindak dengan cara yang alami bagi manusia. Cara itu sesuai dengan fungsi otak, dengan psikologi dasar manusia, dan dengan tiga prinsip kebermaknaan. Prinsipprinsip tersebut adalah “kesalingbergantungan (interpedence), diferensiasi dan pengaturan diri sendiri” adalah tiga prinsip yang memompa segala sesuatu yang hidup, termasuk manusia. Kesesuaian yang disampaikan melalui penelitian terbaru
52
menunjukkan terdapat hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya, keseluruhan adalah sinergi dari satu partikel dengan partikel lain dan kehidupan satu unsur bersandar pada keberadaan unsur lain. Lebih jauh lagi, makna yang dihasilkan hubungan demi hubungan tersebut melampaui sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Teori ini dikuatkan ahli fisika teoritis, Brian Swimme dan rekannya Thomas Berry, menekankan pola hubungan ini dengan teorinya “tidak ada satu benda pun berdiri sendiri tanpa adanya yang lain”.47 Kesesuaian antara cara kerja alam dengan manusia membantu setiap orang memahami mengapa CTL membuka jalan bagi semua siswa dalam mata pelajaran apa pun untuk mencapai keunggulan akademik. Menurut teori psikologi modern, bahwa sesuatu menjadi bermakna jika sesuatu itu dianggap penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang.48 Pencarian hidup secara psikologis menurut Viktor Frankl adalah sensibilitas makna yang diterimanya, dan menjadi motivasi utama hidupnya. Dengan memberikan makna pada hidup, manusia “mengaktualisasikan segala hal dalam proses mencapai makna potensial (mereka sendiri).49 Untuk memahami secara lebih mendalam konsep pembelajaran kontekstual, COR (Center for Occupational Research) di Amerika menjabarkan lima teknik yang digunakan untuk menjalankan pendekatan CTL yang disingkat REACT, yaitu Relating, Experiencing, Applying, Coorperating dan Transferring.50 47
Teori ini dikuatkan juga oleh ahli Biologi Lynn Margulis bersama Dorion Sagan yang berpendapat, “bahwa segala sesuatu di bumi adalah bagian dari sebuah jejaring hubungan. Hewanhewan terkait satu dengan lain juga dengan lingkungan hidupnya. Tumbuh-tumbuhan menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi hewan. Jamur dan cacing berfungsi sebagai pendaur ulang, yang membantu mempertahankan kestabilan alam ini, sayang manusia sering kali arogan menganggap dirinya berbeda dari makhluk lain. Padahal sesungguhnya, alam ini terus menerus berinteraksi termasuk dengan ulah manusia. Tidak ada kemandirian alam, alam adalah kesalingbergantungan; alam terbentuk dari banyak sekali pola hubungan. Jadi kata konteks dipahami sebagai pola hubungan-hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang. Lih. Johnson, Contextual Teaching …,terj., h. 33-34 48 Webster’s New World Dictionary of The American Language, New York, -CD49 Frankl, V.E, Man’s Search for Meaning, (New York, Simon & Schuster, 1984), h. 12 50 Lih. Masnur, KTSP …, h. 42
53
Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata atau pengalaman nyata. Pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru untuk dipahami atau dengan problema untuk dipecahkan.
Experiencing adalah belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Ini berarti bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pembelajaran yang mengedepankan proses berfikir kritis lewat siklus inquiry.
Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan.
Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespons dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.
Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru. Jika pada pendidikan tradisional teknik yang dilakukan ditekankan pada
penguasaan dan manipulasi isi, dimana siswa dituntut untuk menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung. Dengan asumsi, bahwa jika siswa berkonsentrasi hanya untuk menguasai isi, mereka pasti memperoleh informasi mendasar tentang subjek yang mereka pelajari. Anggapan ini diwarisi dari ilmu pengetahuan abad ke-18 yang juga dikenal dengan pandangan ala Newton, yang
54
mencatat bahwa keseluruhan sebagai tidak lebih dari jumlah bagian-bagiannya yang terpisah dan berdiri sendiri.51 Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak ada bagian yang berdiri sendiri melainkan saling bergantung satu sama lainnya. Dan REACT pun muncul untuk mendorong siswa menemukan makna dari hubungan-hubungan yang terjadi di alam ini. Sehingga para pendidik merasa perlu berfikir ulang tentang konsep mengajar. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, sebagai sebuah system mengajar didasarkan pada fikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi dan semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya yang akan mereka dapatkan dari pelajaran tersebut. Mampu mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, definisi CTL adalah sebuah sistem menyeluruh, gabungan dari beragam pendekatan. Seperti halnya biola, cello, clarinet dan alat musik lainnya dalam sebuah orkestra yang menghasilkan bunyi berbeda-beda namun melahirkan alunan musik nan indah. Keterpaduan inilah yang nantinya akan dilakukan dalam REACT. Namun secara umum, keterpaduan ini harus mengandung delapan komponen, dimana kedelapan komponen tersebut dicetuskan dan dikembangkan guru. Tanpa delapan komponen ini keterpaduan ini dapat saja meleset dari tujuan utamanya. Kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna 2. Menekankan pekerjaan yang berarti 3. Menciptakan pekerjaan yang diatur sendiri 4. Membangun bekerja sama 5. Melatih berfikir kritis dan kreatif 51
Johnson, Contextual Teaching …,terj., hal. 33
55
6. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang 7. Memotivasi siswa untuk mencapai standar yang tinggi 8. Menggunakan penilaian autentik52 B. Srategi Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Untuk memudahkan penggunaan CTL, ada beberapa strategi dalam kegiatan pembelajaran penjabaran sebagai berikut: 1. Pembelajaran berbasis masalah Sebelum memulai proses belajar mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka 2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar Guru memberi penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman 52
Berdasarkan penelitian Elaine dijelaskan bahwa semua komponen system CTL sangat jelas di dalam karya-karya sekolah-sekolah baru Amerika (New American High Schools), New American High Schools ditunjuk oleh Departemen Pendidikan AS. Untuk menerima penunjukan ini, sekolah-sekolah mendaftar pada Departemen Pendidikan untuk didaftarkan sebagai institusi inovatif yang usaha-usaha reformasinya membuat para siswa unggul. Sekolah-sekolah ini tidak menggunakan satu model. Ciri-ciri dari sekolah-sekolah ini yang dihargai karena peningkatan kualitas pendidikannya yang pesat, adalah komponen-komponen CTL berikut: tuntutan akademik yang ketat yang mengharuskan para siswa memenuhi standar yang tinggi; mentor yang memberikan perhatian individual kepada para siswa (termasuk memperhatikan gaya belajar, bakat dan minatnya); penekanan pada pemikiran yang kritis dan kreatif; pembelajaran yang melibatkan pembentukan hubungan dengan anggota masyarakat, pembuat kebijakan, para orang tua dan pemberi pekerjaan; pembelajaran yang diatur oleh diri sendiri menuntut pembelajaran bebas yang menghubungkan sekolah dengan kehidupan keseharian; tugas-tugas penilaian autentik digunakan sejalan criteria yang telah ditetapkan; lih. Kutipan no. 11, bab 2, buku Elaine, Contextual Teaching …, h. 311
56
langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran. 3. Memberikan Aktivitas Berkelompok Aktivitas belajar secara berkelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan. 4. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri Peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Agar dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning) 5. Membuat Aktivitas Belajar Bekerja Sama Dengan Masyarakat Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung, di mana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.
57
6. Menerapkan Penilaian Autentik Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang tengah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson, penilaian autentik memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar mengajar. Adapun bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru, yaitu portofolio53, tugas kelompok54, demonstrasi55 dan laporan tertulis (dapat berbentuk uraian –essay- singkat, brosur dan lainnya). Agar pembelajaran kontekstual ini berhasil dengan baik dan menghasilkan kualitas yang tepat, John A. Zahorik menyarankan terpenuhinya lima elemen dalam praktik pembelajaran kontekstual, lima elemen tersebut adalah: activating knowledge atau pengaktifan pengetahuan yang sudah ada; acquiring knowledge atau pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; pemahaman pengetahuan atau understanding knowledge dengan cara menyusun hipotesis, melakukan sharing dengan orang lain agar
53
Istilah portofolio dalam bahasa Inggris berarti kotak datar yang bisaanya terbuat dari kulit untuk membawa kertas, dokumen, atau gambar-gambar lepas; perangkat investasi yang dimiliki seseorang, bank atau sejenisnya; posisi atau tugas kementrian negara. Dalam dunia pendidikan, portofolio diberikan pengertian sebagai kumpulan karya siswa yang dihimpun secara sistematis. Sedangkan Surapranata dan Hatta memberikan definisi mengenai portofolio lebih rinci, yaitu penilaian portofolio merupakan penilaian terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, digunakan guru dan peserta didik untuk memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. lih. W. Jhames Popham, Classroom Assesment; What Teacher Need to Know (Mass;Allyn&Bacon, 1995), h. 163; Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004), h. 21 54 Tugas kelompok dalam pendekatan CTL berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini dilakukan agar terlihat perbedaan peserta didik dalam gaya belajar, minat dan bakat dari masingmasing individu. Lih. Masnur Muslich, KTSP …, h. 51 55 Sedang penilaian yang berbentuk demonstrasi, meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan hasil tugasnya kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah diraih. Dari pendemonstrasian tersebut, penonton -peserta didik yang lain ataupun guru- yang melihat dan menyaksikan pendemonstrasian tersebut dapat memberikan evaluasi atau penilaian kepada peserta didik. Lih. Masnur Muslich, KTSP…, h. 52
58
mendapat tanggapan dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman atau applying knowledge; dan melakukan refleksi atau reflecting knowledge terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. C. Faktor-faktor Penerapan CTL dalam Proses Pembelajaran Penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran bahasa Arab dinyatakan berhasil atau tidak ditentukan beberapa faktor, baik dari faktor intern maupun faktor ekstern, linguistik maupun non-linguistik, dan edukatif maupun nonedukatif. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:56 1. Tenaga pendidik atau guru Faktor utama dalam penerapan pendekatan CTL adalah faktor guru, yakni cara berfikir, wawasan dan kompetensi guru dalam kajian bahasa Arab sangat mempengaruhi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam pendekatan CTL, sebelum melakukan proses pembelajaran, seorang guru terlebih dahulu mengamati kebutuhan peserta didik di lingkungan sosialnya sehingga dalam materi yang akan disampaikan ada keterkaitan dengan peserta didik butuhkan, maka ia akan merasakan betapa pentingnya belajar. Selain dari ketiga tersebut (cara berfikir, wawasan dan kompetensi), seorang guru bahasa Arab juga harus profesional dan memiliki dedikasi, etos kerja serta etos keilmuannya dalam mengembangkan pembelajaran bahasa Arab. Guru bahasa Arab yang professional selalu senantiasa memikirkan kebutuhan peserta didik, yaitu mencocokkan materi yang akan disampaikan
56
Lih. Muhbib abdul Wahhab, Aplikasi Model Contextual and Creative Teaching and Learning (CCTL) dalam Pembelajaran Bahasa Arab; Sebuah Gagasan Awal, Makalah Seminar Nasional, Model Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendidikan Islam, (UIN Jakarta; PBA-FITK), 24 Mei 2007, h. 27
59
dengan menggunakan metode dan media yang sesuai dan desain pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dengan menggunakan pendekatan CTL. 2. Peserta didik atau siswa Faktor yang terdapat dalam peserta didik adalah setiap peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari sisi keluarga, intelegensi, minat, motivasi, kebutuhan dalam belajar bahasa Arab. Faktor yang sangat dominan adalah rasa butuh, minat dan motivasi peserta didik dalam belajar bahasa Arab, karena ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Jika peserta didik tidak memiliki minat, rasa butuh dan motivasi dalam belajar bahasa Arab, maka sebaik apapun guru dalam mengelola kelas, pada dasarnya tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. 3. Lembaga Pendidikan Keberadaan seseorang di lembaga pendidikan pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan menurut warna dan corak dari sebuah institusi. Maka dari itu, sebuah lembaga pendidikan harus mempunyai visi, misi, tujuan yang jelas untuk merubah dan mengembangkan potensi seseorang secara umum dan secara khusus dalam mengembangkan dan memajukan pembelajaran bahasa Arab. Sebuah lembaga harus memiliki kurikulum, media, fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang atau membantu proses pembelajaran bahasa Arab. Karena apabila kesemuanya itu ada, maka kemungkinan besar upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab akan tercapai dan dalam mengelola kelas guru merasa mendapat dukungan dari lembaga pendidikan itu. Dilihat dari perkembangan teknologi saat ini, peserta didik di zaman yang serba canggih selalu berkeinginan memasuki sekolah atau madrasah yang bergengsi, yang sekolahnya memiliki visi, misi dan tujuan yang berkelas yakni mempunyai keterampilan dan kecakapan yang berguna setelah mereka
60
lulus nantinya, diantaranya keterampilan dan kecakapan berbahasa asing khususnya kecakapan dan keterampilan berbahasa Arab. Dari pernyataan itu, bahwa masyarakat termasuk peserta didik selektif dalam memilih sekolah. 4. Lingkungan Lingkungan57 juga merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung
berhasil
tidaknya
penerapan
pendekatan
CTL
dalam
membelajarkan siswa berbahasa Arab. Lingkungan yang dimaksud dalam faktor penerapan CTL adalah lingkungan yang tidak hanya sekedar terciptanya suasana lingkungan eksternal peserta didik untuk belajar. Melainkan, terwujudnya sebuah tradisi masyarakat umum, keluarga masyarakat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan peserta didik itu sendiri untuk melakukan tugas-tugas belajar dan pembelajaran. Dengan singkat dapat dinyatakan bahwa peserta adalah sebagai manusia pembelajar. Menciptakan lingkungan belajar di Indonesia sangatlah ribet, karena untuk menunjukkan sikap belajar dimanapun seseorang merasa malu. Ditambah dengan mempraktekkan bahasa Arab yang mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperhatikan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Arab, dibandingkan dalam peningkatan mutu bahasa Inggris. 5. Politik Politik juga merupakan hambatan dalam penerapan pendekatan CTL, yaitu bahwa dukungan dari lembaga pemerintah, baik dukungan moril maupun materi dalam pengembangan pembelajaran bahasa Arab dapat membantu terlaksananya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan dukungan tersebut, peserta didik diupayakan untuk melibatkan diri dalam proses 57
Lingkungan adalah keberadaan peserta didik di berbagai tempat, yang berupa lingkungan dengar, pandang, lingkungan dengar-pandang, pergaulan di madrasah/sekolah, suasana kelas, lingkungan sosial dan lain sebagainya.
61
pembelajaran karena mereka merasa butuh untuk belajar bahasa Arab dengan alasan bahwa pemerintah juga mendorong untuk dapat menguasai bahasa asing. Politik
dan
pendidikan58
termasuk
didalamnya
pembelajaran
merupakan dua komponen penting dalam unsur sosial politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara yang berkembang. Meskipun antara pendidikan dan politik terlihat dua hal yang terpisah-pisah, namun merupakan proses pembentukan karakteristik masyarakat di sebuah Negara dan keduanya saling menunjang dan saling mengisi satu sama lain. Padahal keduanya terdapat hubungan yang erat dan dinamis. Hubungan tersebut telah terlihat sejak pertama kali peradaban manusia berkembang dan menjadi perhatian para ilmuan. 6. Linguistik Hambatan dalam penerapan pendekatan CTL selanjutnya adalah faktor linguistik yakni, bahwa penelitian bahasa dan sastra di Indonesia sangat sedikit dikarenakan orang yang memiliki bahasa Arab seperti Negara timur tengah lebih mendominasi dalam pembangunan masjid, pesantren dan yang berkaitan dengan keagamaan, dengan melupakan sumber daya manusia. Sebenarnya dengan memperhatikan sumber daya manusia –dalam hal ini penelitian bahasa Arab- akan merasa diperlukan karena bahasa akan selalu berkembang dengan mengikuti perkembangan zaman. 7. Sosial dan Budaya Dalam pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Arab, faktor sosial dan budaya juga termasuk hambatan karena sosial budaya Indonesia berbeda dengan sosial dan budaya yang terdapat di Negara timur tengah.
58
M. Sirazi, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan; Politik Pendidikan, (Jakarta; Raja Grafindo Persada), h. 1
62
Negara selain Negara Indonesia masyarakatnya mempunyai kedisiplinan dalam belajar, waktu, beribadah dan berkarya. Oleh karena itu, ketika ada pendekatan baru yang peserta didiknya harus aktif sangat mudah diterapkan, karena mereka (peserta didik) mempunyai keinginan untuk belajar dan merasakan haus akan ilmu. Berbeda dengan peserta didik masyarakat Indonesia yang lebih senang apabila dalam proses belajar mengajar hanya mendengar, dapat nilai bagus tanpa memikirkan apa yang akan diperoleh dan dapat bermanfaat di lingkungan sekitar dan dalam dunia kerja. Oleh karena, dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab di Indonesia kurang ada perhatian yang lebih untuk mengembangkannya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang dalam kegiatan belajar mengajar dapat mengaktifkan peserta didik di kelas sehingga peserta didik tidak merasa bosan dan dapat memahami materi yang disampaikan guru karena mereka merasakan pentingnya belajar meskipun dalam proses pembelajaran terdapat hambatan-hambatan yang dihadapinya.
63
BAB III PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH
Peninjauan mengenai upaya-upaya memberdayakan atau membelajarkan siswa berbahasa Arab, tidak terlepas dari pembahasan mengenai visi, misi sebuah lembaga pendidikan termasuk Maadrasah Aliyah Negeri Delapan. Karena visi merupakan unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap lembaga pendidikan termasuk Madrasah Aliyah Negeri Delapan sebagai bentuk usaha mengkreasi masa depan. Dihubungkan dengan proses perubahan, visi yang baik adalah mempunyai tiga tujuan utama,59 yaitu: 1) memperjelas petunjuk umum perubahan kebijakan lembaga, 2) memberi dorongan terhadap karyawan untuk bertindak dengan arah yang benar, dan 3) membantu proses mengoordinasi tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang berbeda. Untuk mewujudkan visi menjadi realita memerlukan keistimewaan atau keunggulan tersendiri dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Salah satu keunggulan yang harus ditampilkan oleh sekolah atau madrasah adalah munculnya lembaga pendidikan yang memberikan layanan pencerdasan, pembinaan sikap, dan keterampilan itu menjadi sebuah organisasi pembelajaran. Berdasarkan ungkapan-ungkapan tersebut, Madrasah Aliyah Negeri Delapan merupakan salah satu madrasah yang memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan keinginankeinginan yang hendak dicapai bersama. Dari beberapa keinginan yang ingin dicapai, maka penggunaan pendekatan CTL merupakan salah satu pendekatan yang sesuai untuk diterapkan di Madrasah 59
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar; Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran, (Jakarta; Bumi Aksara, 2003), h. 83
64
Aliyah Negeri Delapan yang memiliki kecenderungan berfikir dalam teori belajar sebagai landasan dalam penerapan CTL, sebagai berikut: A. Proses Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan syarat mutlak yang membuat seseorang itu pintar dalam segala bidang, baik dari sisi pengetahuan, kognitif maupun dari sisi kecakapan atau keterampilan. Proses belajar adalah proses seseorang mengubah perilaku dalam upaya memenuhi kebutuhannya.60 Dari pengertian proses belajar tersebut, belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku-perilaku seseorang. Perubahan itu dapat mengacu kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga dapat mengarah terhadap tingkah laku yang lebih buruk. Thomas dan Jane berpendapat bahwa belajar adalah proses dasar perubahan perkembangan hidup manusia. Proses perubahan tersebut secara relatif untuk memperoleh perubahan permanen dalam pengetahuan, informasi, pemahaman, sikap, kemampuan atau kecakapan dan keterampilan melalui pengalaman.61 Sedang menurut Brunner dikutip Nasution bahwasanya proses belajar dapat dibedakan atas tiga fase, yaitu informasi, transformasi dan evaluasi,62 yang menjadi tolok ukur adalah berapa banyak informasi yang diperlukan untuk ditransformasi. Hal ini juga bergantung pada hasil yang diharapkan, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan diri sendiri. Selain dari dua ungkapan tersebut masih banyak ahli pendidikan yang mengemukakan tentang pengertian belajar. Seperti ungkapan Kimble dan Garmezi yang dikutip Sudjana mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan
60
Endin Nasrudin, Psikologi Pembelajaran, (Sukabumi; STAI, 2008), h.71 Thomas L Good and Jane E Bropy, Educational Psycology a Realistic Approach, (New York; Logman, 1990), h. 142 62 Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta; Bumi Aksara, 1992), h. 9 61
65
tingkah laku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang alami melalui pengalaman dan latihan. Wittaker menyatakan juga mengenai pengertian belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan dan pengalaman. Sedangkan Winbel mengartikan belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan dan kemampuan, kebiasaan, atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sebagai menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif. Dari beberapa definisi belajar tersebut dapat diungkapkan dengan ungkapan lain bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dengan melalui pengalaman dan latihan yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya melalui kegiatan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Semua aktifitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan. 63 Dengan kata lain juga belajar itu akan lebih baik jika peserta didik belajar mengalami bukan menghafal fakta-fakta. Seperti ungkapan Cronbach dalam mengartikan belajar sebagai “learning is shown by a change in behavior as a result of experience”.64 Untuk dapat merubah perilaku seorang peserta didik dengan kegiatan yang mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, maka ada beberapa prinsip kegiatan belajar mengajar yang perlu diperhatikan dalam kegiatan belajar yang membelajarkan, yaitu; belajar akan berhasil jika peserta didik dapat melihat
63
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, Edisi Revisi (Jakarta; Grasindo, 2002), h. 120-125 64 Dikutip dari Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta; Grafindo Persada, 2007), h. 231
66
tujuan pembelajaran itu sendiri yang tujuannya disusun berdasarkan kebutuhan dari peserta didik, karena jika tujuan itu berharga bagi peserta didik, dia akan tetap berusaha untuk menyelesaikan dari berbagai rintangan, kesulitan dan situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, peserta didik bereaksi terhadap lingkungan yang mengandung arti penting bagi kehidupannya yang dibantu oleh orang-orang disekitarnya untuk mendapatkan situasi belajar yang efisien karena di samping mengejar tujuan utama mereka, juga hal-hal yang berhubungan dan tidak berhubungan dengan tujuan utama tersebut. Belajar diarahkan pada perubahan perilaku peserta didik karena dengan belajar, seseorang dapat melakukan perubahan kualitatif individu, sehingga tingkah lakunya berkembang. Terdapat beberapa aspek-aspek dalam perbuatan belajar, yaitu aspek kebiasaan sebagai suatu bentuk belajar dan aspek perbuatan belajar sebagai yang ternyata dari kecakapan-kecakapan. Aspek kebiasaan adalah suatu cara bertindak yang telah dikuasai yang bersifat tahan-uji (persistent), serasi dan otomatis. 65 Jika kebiasaan memiliki sifat yang sama, maka dalam kecakapan memiliki perbedaan yaitu dengan cara mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Kecakapan memerlukan pengulangan dan latihan yang bersifat kontinuitas untuk mempertahankan kualitas. Untuk mencapai kedua aspek tersebut, di Madrasah Aliyah Negeri Delapan terdapat pemilihan program studi yang mengarahkan peserta didik untuk memiliki kecakapan-kecakapan yang diinginkannya setelah menamatkan belajarnya dari Madrasah Aliyah Negeri Delapan untuk bekerja.
65
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi ... h. 2
67
Bahasa
termasuk
bahasa
Arab
memerlukan
kebiasaan
dengan
menerapkan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari dan bahasa juga memerlukan kecakapan untuk mengekspresikan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Maka dari itu, kebiasaan dan kecakapan tersebut juga dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Arab dengan membelajarkan siswa, yaitu dengan melakukan kebiasaan dan pengulangan serta latihan secara terus menerus, tidak menutup kemungkinan peserta didik akan merasakan nikmatnya belajar bahasa Arab dan akan dengan mudah dalam mempelajari bahasa Arab. 66 Dari beberapa uraian mengenai belajar di atas, maka pembelajaran dapat diarahkan pada pengembangan dan penyempurnaan potensi kemampuan yang dimiliki seseorang seperti kemampuan berbahasa, sosio-emosional, motorik, dan intelektual. Secara terminologi, pembelajaran berakar dari kata belajar yang berarti berusaha untuk merubah tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman. Sedangkan secara istilah pembelajaran merupakan suatu perubahan perilaku seseorang sebagai hasil interaksi antara dirinya dan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhannya. Adapun proses pembelajaran adalah tahapan demi tahapan yang merubah perilaku seseorang sebagai hasil interaksi antara diri individu dengan lingkungan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhannya. 67 Pembelajaran biasanya terjadi dalam lingkungan lembaga formal yang secara sengaja diprogramkan dengan upaya mentransformasikan ilmu kepada peserta didik, berdasarkan kurikulum dan tujuan yang hendak dicapai.
66
Stevick ( 1976:111) Mengatakan bahwa orang yang belajar bahasa asing dengan motivasi instrument erat kaitanya dengan orang yang memiliki sikap belajar defensif. Sebaliknya orang yang bermotivasi integratif erat kaitannya dengan orang yang bersikap reseptif Prof Dr. Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Beberapa Pokok pemikiran (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), h. 32-33 67 Robert F.Mager,Preparing Instructional Objectives, Edisi II Th 1975
68
Melalui pembelajaran, peserta didik melakukan proses belajar dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan. Dengan itu, unsur kesengajaan melalui perencanaan oleh pihak guru merupakan ciri utama pembelajaran. Upaya pembelajaran yang berakar pada pihak guru dilaksanakan secara sistematis, yaitu dilakukan dengan langkah-langkah teratur dan terarah secara sistematik. Yaitu secara utuh dengan memperhatikan berbagai aspek. Maka pembelajaran merupakan kegiatan yang berproses dalam suatu sistem. Pelaksanaan sistem pembelajaran dapat dilakukan dengan membaca buku, belajar dikelas atau disekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik. Pembelajaran berbeda dengan pengajaran dan pelatihan. Istilah pembelajaran merupakan proses belajar menjadi (learn to be), sedang pelatihan adalah proses belajar untuk melakukan (learn to do), dan pengajaran merupakan proses belajar untuk mengetahui (learn to know).68 Ketiga istilah tersebut merupakan pilar belajar dalam menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang sangat pesat. Selain ketiga itu, ada tambahan satu istilah lagi untuk melengkapi pilar belajar yaitu belajar hidup bersama (learn to live together). Belajar menjadi berkenaan dengan supaya manusia berkembang secara utuh dengan adanya tantangan hidup yang berkembang cepat dan sangat kompleks. Dengan sebab itu, manusia dalam halnya peserta didik harus berupaya
untuk
banyak
mencapai
keunggulan
atau
kelebihan
yang
menyertainya. Adapun belajar untuk melakukan adalah, agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat yang berkembang 68
60
Baca Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta;KOMPAS, 2001), h. 53-
69
dengan pesat. Belajar untuk melakukan ini berhubungan dengan belajar untuk mengetahui karena pengetahuan menjadi landasan dalam perbuatan. Learn to do adalah belajar atau berlatih untuk menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Hal ini juga ditemukan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan yang peserta didiknya akan melangsungkan kerja setelah mereka menamatkan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan. Sedangkan learn to know berkaitan dengan perolehan, penguasaan, dan pemanfaatan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan dengan cara membaca, bertanya, mengakses internet, mengikuti pelajaran di kelas, mengikuti pelatihan, seminar, dan lain sebagainya. Pengetahuan juga dapat dikuasai dengan hafalan, Tanya jawab, diskusi, latihan dan memecahkan masalah, dan lain sebagainya. Pengetahuan akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi halnya pengembangan mufradat bahasa Arab. Dan pilar belajar yang terakhir adalah learn to live together yang dalam globalisasi, seseorang tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, profesi, tetapi juga hidup bersama dengan kelompokkelompok tersebut. Untuk mewujudkan semua itu, seorang individu harua belajar hidup bersama. Diawali dengan belajar berkelompok dari yang terkecil seperti dalam pengelompokan di dalam kelas ketika melakukan proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat diungkap bahwa fungsi pembelajaran adalah merangsang dan menyukseskan proses belajar serta untuk mencapai tujuan dengan mengarah pada pengembangan dan penyempurnaan potensi kemampuan yang dimiliki seperti kemampuan berbahasa, sosio-emosional, motorik, dan intelektual dalam peserta didik. 69
69
Hamzah B.Uno, Perencanaan Pembelajaran,( Jakarta,Bumi Aksara, 2006) h 47-49
70
Karena dalam proses pembelajaran adalah proses dalam mengubah perilaku dengan usaha memenuhi kebutuhannya, maka ada serangkaian proses pembelajaran yang harus dilalui oleh peserta didik sebagai berikut:70 Pertama; individu merasakan adanya kebutuhan dan melihat tujuan yang ingin dicapai. Dengan keadaan yang seperti ini, peserta didik merasakan mempunyai kekurangan dalam dirinya. Dengan perasaannya tersebut, dia merasa perlu atau butuh untuk mempelajari dari sesuatu yang kurang dalam dirinya. Sebagai contoh, dia merasa bahasa Arabnya minim, sedang bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan Alquran. Dengan menyadari kurangnya kecakapan bahasa Arabnya, maka dengan melihat bahwa apabila dia cakap berbahasa Arab, maka ia akan berhasil dalam membaca buku-buku berbahasa Arab dan mampu berkomunikasi dengan orang asing yang berasal dari Timur Tengah, atau setidaknya mampu memahami ketika orang berbicara bahasa Arab. Kedua; kesiapan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Untuk memenuhi kebutuhan, seseorang harus mempersiapkan diri dalam segala hal, baik kesiapan mental, fisik, maupun sosial. Kaitannya dengan proses pembelajaran, kesiapan sangat diperlukan supaya proses pembelajaran berlangsung dan berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, seseorang ingin menguasai bahasa Arab, sebelumnya dia harus mempunyai kesiapan mental dan sosial yang kuat, karena jika tidak, dia tidak akan berkembang dalam berbahasa Arab karena menguasai bahasa Arab itu harus ada keberanian diri untuk mengekspresikan atau mengungkapkan bahasa Arab itu ketika dalam proses pembelajaran meskipun ketika seseorang mengungkapkan terdapat kesalahan. Ketiga; pemahaman situasi. Maksudnya adalah segala sesuatu yang terdapat di lingkungan seseorang dan memiliki hubungan dengan kegiatan
70
Mohammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, h. 14-18
71
dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Untuk memperoleh pembelajaran yang efektif, pemahaman situasi perlu dilakukan, hal ini dikarenakan untuk mengenal atau mengetahui berbagai faktor dan kendala yang terdapat di lingkungan sekitar individu pembelajar. Keempat; menafsirkan situasi. Artinya peserta didik melihat keterkaitan antar berbagai aspek yang terdapat dalam situasi. Dan kelima; tindak balas; tahapan tindak balas atau respon, peserta didik melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sesuai dengan yang telah direncanakan dalam tahapan ketiga dan keempat. Adapun yang keenam adalah akibat atau hasil pembelajaran. Fase ini, peserta didik akan memperoleh umpan balik dari apa yang telah dilakukannya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu antara berhasil dan tidak. B. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Arab Sebagaimana diketahui bersama bahwa bahasa Arab adalah mata pelajaran yang hanya diajarkan di Madrasah dan pesantren. Meskipun ada beberapa SMA yang mempelajari Bahasa Arab sebagai bahasa Asing, namun pembelajaran bahasa Arab lebih dikenal di madrasah daripada sekolah. Hal ini terdapat beberapa alasan dan kronologis historis mengapa bahasa Arab hanya dikenal menjadi mata pelajaran di Madrasah dan pesantren. Pensinoniman paradigma antara bahasa Arab dan pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang masih kuat difahami oleh masyarakat Indonesia. Sebuah pandangan yang memiliki akar sejarah kuat dengan sistem pendidikan yang dikembangkan kolonialisme Belanda.71 71
Asal usul sistem pendidikan di Indonesia yang dualistis menurut Karel A. Steenbrink sangat berkaitan dengan sistem pendidikan yang diberlakukan oleh kolonialisme Belanda. Karel menuturkan bahwa sebelumnya pendidikan di Indonesia didominasi oleh model pendidikan
72
Di Madrasah, pembelajaran bahasa Arab seringkali kurang maksimal. Pertama, porsi waktu untuk mata pelajaran bahasa Arab sangat sedikit. Kedua, kurang terciptanya suasana berbahasa dalam lingkungan sekolah dan ketiga, kurang adanya keterlibatan lingkungan dalam berbahasa Arab. Akibatnya, pembelajaran bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama kurang maksimal. Sudah bukan rahasia lagi bahwa mata pelajaran agama yang diberikan di Madrasah tidak mampu bersaing dengan yang diberikan di pesantren. Sayangnya, mata pelajaran umum Madrasah pun diduga masih kesulitan bersaing dengan yang diberikan di sekolah umum. Oleh karena itu, ada upaya-upaya yang selalu dilakukan oleh pihakpihak terkait untuk mewujudkan keberlangsungan proses pembelajaran di Madrasah dengan sukses dengan menggunakan beberapa pendekatan yang dapat menunjang peningkatan dalam pembelajaran bahasa Arab. Pendekatan adalah suatu antar usaha dalam aktivitas kajian, atau interaksi, relasi dalam suasana tertentu, dengan individu atau kelompok melalui penggunaan metode-metode tertentu secara efektif. Maka pendekatan pembelajaran adalah sebagai proses penyajian isi pembelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi tertentu dengan suatu metode atau beberapa metode pilihan. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam kegiatan proses belajar mengajar bahasa. Diantaranya adalah pendekatan struktural, pendekatan humanistik, pendekatan komunikatif, pendekatan pragmatik. Pendekatanpendekatan itu dapat digunakan pula dalam pembelajaran bahasa Arab. Seperti pesantren yang disebutnya dengan model pendidikan tradisionalis didaktis pendidikan pribumi. Metode pengajaran dalam model pendidikan tradisionalis didaktis ini dalam pendidikan ini adalah membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Model pendidikan ini tidak selaras dengan gaya pendidikan kolonialis, yang menekankan kemampuan membaca dan menulis huruf latin. Lagipula dalam versi kolonialis Belanda porsi untuk pengetahuan agama sangat sedikit dan porsi untuk pengetahuan umum sangat besar. Berbeda dengan model pendidikan pribumi yang sangat sedikit mengajarkan pengetahuan umum. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta, LP3ES, 1986), h. 1-9
73
pendekatan struktural yang dapat disebut juga sebagai pendekatan qawâ’id,72 pendekatan komunikatif,73 pendekatan humanistik.74 Pendekatan-pendekatan itu digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditentukan dalam penyusunan materi dan kegiatan pembelajaran. Pendekatan yang digunakan untuk pembelajaran berbasis kompetensi adalah pendekatan pembelajaran kontekstual yang merupakan konsep belajar yang membantu guru menghubungkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik untuk mengaitkan atau menghubungkan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. Dengan pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran, karena apabila peserta didik belajar dengan mengalami peserta didik akan merasakan betapa pentingnya arti belajar karena materi yang disampaikan bukan hanya sekedar dihafal tetapi juga mereka harus memahaminya. Dengan pemahaman itulah peserta didik akan selalu mengingat pengetahuan itu sampai kapanpun. Dengan kata lain, pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang harus diterima, tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh peserta didik. C. Komponen-komponen dalam Pembelajaran Ada beberapa komponen dalam kegiatan belajar mengajar. Komponen satu dengan komponen lainnya saling berkaitan. Komponen-komponen tersebut
72
Pendekatan qawâ’id adalah pendekatan yang memandang bahasa sebagai kumpulan dari suatu sistem, baik berupa bunyi, bentuk kata, struktur kalimat, ataupun semantik. Sistemsistem tersebut perlu dikuasai oleh seseorang yang ingin menguasai suatu bahasa termasuk bahasa Arab. 73 Sedang pendekatan komunikatif adalah pendekatan yang memandang perlu dikuasainya kompetensi gramatika, sosiolinguistik, wacana (discourse) dan strategi komunikasi untuk menguasai suatu bahasa. 74 Adapun pendekatan humanistik adalah pendekatan yang memandang peserta didik bukan sebagai robot yang dapat begitu saja diberikan latihan-latihan yang otomatis, seperti dalam pendekatan aural-oral.
74
mencakup dalam unsur tujuan, materi atau bahan pelajaran, strategi, evaluasi, guru, peserta didik, media atau sarana dan prasarana, dan alokasi waktu. Unsurunsur tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tujuan Pembelajaran Di semua kegiatan, tujuan merupakan unsur terpenting untuk mencapai segala sesuatu. Menurut Zakiyah Darajat, memberi definisi tentang tujuan sebagai sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu upaya atau kegiatan
selesai.75
Sedang
Robert,
mengungkapkan
bahwa
tujuan
pembelajaran adalah suatu statement tentang perubahan yang diharapkan terjadi dalam diri anak didik ketika ia telah menjalani pengalaman belajar.76 Maka tujuan pembelajaran adalah sesuatu yang hendak dicapai melalui kegiatan proses belajar mengajar dan dalam upaya membelajarkan siswa, tujuan pembelajaran sebaiknya dirumuskan melalui analisis terhadap kebutuhan peserta didik. Dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan peserta didik, proses pembelajaran biasanya berlangsung lebih menarik dan akan membantu dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Di antara kebutuhankebutuhan peserta didik tersebut adalah kebutuhan jasmaniah yang mencakup kesehatan peserta didik, kebutuhan sosial, dan kebutuhan intelektual.77 Secara nasional, tujuan pembelajaran bahasa harus dihubungkan dengan tujuan pendidikan nasional dan institusional. Pada dasarnya, tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasilais seutuhnya. Sebagai contoh, butir pancasila yang pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dapat dihubungkan dengan tujuan pembelajaran bahasa 75
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta;Bumi Aksara, 1999), h. Robert F. Mager, Preparing Instructional Objectives, (California; Fearon, 1962), h. 3 77 …, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta; Rajawali Pers, 1990), h. 11176
112
75
adalah untuk memahami bahasa agama umat muslim di Indonesia yaitu bahasa Arab yang terdapat dalam Alqur’an. Sedangkan tujuan secara institusional adalah tujuan yang hendak dicapai di berbagai lembaga kependidikan tertentu termasuk di Madrasah Aliyah Negeri Delapam, tujuan pembelajaran bahasa Arab didasarkan pada kurikulum bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab baik secara reseptif maupun produktif.78 Maka dari itu tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah perubahan perilaku peserta didik dalam kecakapan berbahasa yang meliputi empat kemahiran. Perubahan perilaku itu dapat digambarkan agar peserta didik dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab baik lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa. Selain itu juga supaya peserta didik menyadari akan pentingnya mempelajari bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar pada umumnya dan mengkaji sumber-sumber ajaran Islam pada khususnya. Dan peserta didik juga memahami akan adanya keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya, sehingga peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.79 Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, sebaiknya disusun dengan jelas,
tepat
dan
spesifik.
Jika tujuan
dihubungkan
dengan
upaya
membelajarkan siswa, maka tujuan pembelajaran bahasa mengarah kepada
78
Reseptif adalah kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Sedang produktif adalah kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. 79 Depag, kurikulum, ….h.47
76
perubahan potensi sebagai kemampuan atau kecakapan seperti taksonomi Bloom yaitu kecakapan afektif, kognitif dan psikomotor.80 Dengan demikian, tujuan merupakan komponen terpenting di segala aktivitas khususnya dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena tujuan harus dibuat sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan baik dan benar. 2. Materi/Bahan Pembelajaran Setelah tujuan dirumuskan dan disusun dengan jelas, komponen yang kedua adalah materi sebagai suatu pokok bahasan yang akan disampaikan guru kepada peserta didik dalam kegiatan proses belajar mengajar juga harus direncanakan dan disusun dengan baik. Untuk tercapainya tujuan pembelajaran, maka dalam menyusun sebuah
materi
pembelajaran
terdapat
beberapa
prinsip
yang
perlu
diperhatikan,81 yaitu: a. Materi harus menunjang tercapainya tujuan; b. Materi harus disesuaikan dengan situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta budaya; c. Cakupan materi harus serasi dan berkesinambungan; d. Materi harus berkaitan dengan pola pikir dan mengarahkan peserta didik untuk melakukan pembahasan secara parsial; e. Sifat materi ada yang faktual dan konseptual.
80
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung; Sinar Baru, 1989), h. 60 81 Nana Sudjana, Cara …, h. 169. lihat juga dalam buku Muhammad Muzammil Basyir dan M. Malak M. Sa’id, Madkhal ila al-Manâhij wa al-Thuruq al-Tadrîs, (Riyadh; Dâr al-Liwâ’ li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1415 H), h. 23-24. dapat dibaca dan dilhat dalam buku Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta; Rineka Cipta, 2003), h. 101-103
77
Dalam upaya membelajarkan siswa, prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan di kelas. Adapun yang menjadi sumber belajar tidak hanya dari buku pegangan yang dipakai siswa, tetapi dari berbagai macam sumber, seperti; buku yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disampaikan, makalah, artikel dan lain sebagainya, sehingga bukan hanya guru yang dituntut untuk kreatif, siswa pun juga harus kreatif. Materi yang disampaikan atau diberikan dengan keterlibatan siswa, mengacu atau mengarah terhadap dengan membuat siswa melakukan interaksi yang produktif dan memperoleh pengalaman belajar yang dibutuhkan, sehingga materi yang dipelajari peserta didik dapat bermakna. Materi pembelajaran dapat dikatakan bermakna, jika memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) materi berhubungan dengan gagasan yang ada dalam kognitif peserta didik, 2) peserta didik telah mempunyai gagasan yang akan terkait dengan materi baru, dan 3) peserta didik memiliki intent untuk menghubungkan butir-butir gagasan terkait dengan gagasan kognitifnya secara seksama. Apabilan ketiga criteria tersebut tidak terdapat dalam materi, maka proses pembelajaran yang terjadi adalah sekedar hafalan-hafalan. Secara komprehensif, pemilihan materi itu berkaitan erat dengan perencanaan pengajaran. Hamred menjelaskan bahwa memilih materi perlu ada penelaahan tujuan, tingkat dan waktu yang tersedia. Diuraikan juga bahwa tujuan mengarah kepada ketercapaian instruksional yang direncanakan, dan tingkat itu mengacu kepada kesukaran dan kemudahan yang akan tercermin dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan waktu mengarah kepada rentangan durasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan instruksional.
78
Materi juga merupakan komponen dalam pembentukan sebuah model dan akan mempengaruhi juga dalam memilih dan menggunakan dari sebuah model pembelajaran. 3. Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran merupakan komponen yang akan menentukan dalam pemilihan dari sebuah model pembelajaran dan perlu diperhatikan juga oleh guru dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan pendekatan dalam mengelola kegiatan pembelajaran, dengan mengintregasikan komponen urutan kegiatan, cara mengorganisasikan materi pelajaran dan peserta didik, peralatan dan bahan serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran, untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan, secara efektif dan efisien. Komponen yang terdapat dalam strategi pembelajaran adalah urutan kegiatan, metode pembelajaran, media pembelajaran dan waktu, karena yang terkandung dalam strategi adalah cara penyampaian isi materi atau bahan pelajaran. Dengan mendasar dari komponen-komponen yang tercakup dalam strategi pembelajaran, terdapat tiga jenis strategi yang terkait dengan pembelajaran, yaitu 1) strategi pengorganisasian pembelajaran, 2) strategi penyampaian pembelajaran, dan 3) strategi pengelolaan pembelajaran.82 82
Strategi jenis pertama disebut oleh Reigeluth, Bunderson, dan Merril sebagai structural strategi yang mengacu kepada cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta, konsep, prosedur, dan prinsip yang berkaitan. Sedang jenis kedua menekankan dalam menentukan penggunaan media untuk menyampaikan materi, kegiatan belajar yang cocok bagi peserta didik, dan dalam pelaksanaan struktur belajar mengajar. Adapun jenis ketiga adalah penekanannya pada penjadwalan penggunaan setiap komponen strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pembelajaran, termasuk pula pembuatan catatan tentang kemajuan belajar peserta didik. Lihat detail mengenai jenis di Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006), h. 45-49.
79
4. Metode Pembelajaran Metode secara bahasa yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan sesuatu kegiatan guna mencapai tujuan yang teratur. Sedang menurut istilah metode diartikan sebagai langkah dalam menyajikan termasuk menguraikan, memberi contoh dan memberikan pelatihan terhadap isi atau materi pembelajaran kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi atau kecakapan tertentu. Secara historis terdapat fase-fase pengajaran bahasa, fase-fase ini berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pengajaran bahasa telah dimulai sejak tahun 1880, ada empat fase penting yang bisa kita amati dari perkembangan dan inovasi dalam bidang pengajaran bahasa sejak tahun 1880 hingga dasawarsa 80-an ini. Pertama, periode 1880-1920; pada masa ini terjadi rekonstruksi atau pengembangan ulang bentuk-bentuk metode langsung (direct method) – ﺍﻟﻄﺮﻳﻘﺔ
ﺍﳌﺒﺎﺷﺮﺓ- yang pernah dikembangkan pada zaman Yunani. Metode langsung yang pernah diterapkan pada abad-abad awal masehi dicoba untuk direkonstruksi dan diterapkan di sekolah-sekolah. Selain itu mulai dikembangkan metode bunyi (fonetics method), yang juga berakar pada tradisi Yunani.83 Kedua, antara tahun 1920-1940. Pada kurun ini di Amerika dan Canada dibentuk forum studi bahasa asing, yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi (compromise method) dan metode membaca. Ini merupakan perluasan dari teknik-teknik pengajaran
83
Jack C. Richards and Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Teaching, (Cambridge, Cambridge University Press, 1992), h. 4
80
membaca yang sudah ada, dikaitkan dengan tujuan-tujuan pengajaran bahasa yang lebih khusus.84 Ketiga, fase 1940-1950, pada periode ini di dunia terjadi peperangan besar, yakni perang dunia I dan II. Kebutuhan pemahaman bahasa asing dalam situasi perang sangat mendesak, sehingga dicari solusi cepat yang dapat mengajarkan para prajurit, diplomat dan unsur-unsur yang lebih sederhana dan sistematis dalam pengajaran. Konon, pandangan Strukturalis lahir di periode ini, dan ahli linguistic bermunculan dengan cepat. Atas bantuan ahli linguistik ini diciptakan teknologi canggih untuk kebutuhan prajurit dan disebut (army method). Di akhir fase ini, pengaruh Chomsky meluas, dan para ahli mulai berfikir tentang keberadaan metode Audiolingual dan Audiovisual. Meski metode ini sempat membooming, tetapi karena SDM yang ada belum siap dengan metode ini, perlahan metode ini kehilangan audiensnya. Sebaliknya para ahli mulai melatih SDM-SDM dengan menekankan landasan teori dalam pengajaran bahasa.85 Keempat,
periode
1970-1980,
disebut-sebut
sebagai
puncak
pengajaran bahasa. Dipandang sebagai periode titik balik dan merupakan periode yang paling inovatif dalam studi pemerolehan bahasa kedua. Pada periode ini, konsep dan hakikat belajar bahasa mulai dirumuskan kembali, kemudian diarahkan pada pengembangan sebuah model metode pengajaran bahasa yang efektif dan efisien. Inti bahasa dipermudah, misalnya masalah asumsi dasar tentang basis gramatika (kemampuan menyusun kalimat-kalimat secara tepisah) sebagai dasar kemampuan bertutur ternyata tidak terbukti sama sekali, seperti yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah. Pandangan 84
Nurhadi Roekhan, ed., Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua, (Bandung, Sinar Baru, 1990), h. 2 85 Richards and Rodgers, Approaches …, h. 14-29
81
itu diubah menjadi penguasaan terhadap kalimat-kalimat dalam kesatuan wacana (dalam penggunaan secara utuh). Hasilnya adalah, pada tahun 1980-an muncul apa yang sekarang dikenal dengan pendekatan komunikatif dalam belajar bahasa. Ciri dari pendekatan ini antara lain adalah: 1). Kurikulum menekankan pada tindak berbahasa, analisis kebutuhan siswa, pengajaran bahasa untuk tujuan khusus dan discourse analysis, 2). Memanfaatkan semaksimal mungkin hasil studi dalam belajar bahasa: ciri bahasa pertama dan bahasa kedua, aspek-aspek pemerolehan bahasa, analisis kesalahan berbahasa, interlanguage86 dll, 3). Kelas atau interaksi dalam kelas menekankan segi-segi hubungan yang bersifat humanis.87 Dari proses-proses tersebut, ada tiga hal yang menjadi fokus pengajaran bahasa yang dari tiga hal tersebut diharapkan lahir enam kemampuan atau penguasaan bahasa; 1. metode tata bahasa;88 metode tata bahasa yang sering diartikan pula dengan metode terjemahan. Metode ini lahir berdasarkan asumsi bahwa ada satu “logika semesta” (universal logic) yang merupakan dasar semua bahasa di dunia ini, bahwa tata bahasa adalah cabang dari logika.89 Seperti yang diasumsikan Chomsky, bahwa tata bahasa seperti aturan-aturan dalam gen 86
Interlanguage disebut juga dengan “bahasa antara” yaitu, periode dimana pembelajar bahasa kedua menghasilkan ujaran-ujaran yang tidak identik dengan ujaran-ujaran penutur asli dalam mengekspresikan makna yang sama. Tampak bahwa ujaran-ujaran yang dihasilkan merupakan usaha pembelajar memenuhi norma-norma bahas kedua. John H. Schumann and Nancy Stenson, New Frontiers in Second Language Learning, (Massachusetts, Newbury House Publishers, Inc., 1978), h.117-118 87 Richards and Rodgers, Approaches …, h. 31 88 Metode pengajaran tata bahasa atau terjemahan ini mengalami masa kejayaannya sekitar tahun 1840 sampai dengan 1940-an, karena pada saat itu banyak sekali imigran-imigran yang berminat tinggal di wilayah-wilayah berbahasa Inggris, sehingga mempelajari bahasa Inggris menjadi sangat terbuka, lih. Jack C. Richards and Theodore S. Rodgers, Approach and Methods in Language Teaching, (New York, Cambridge University Press, 1992), h. 4 89 Subyakto-Nababan, Metodologi Pengajaran …, h. 11
82
tubuh kita, yang menjadi dasar bergeraknya susunan biologis dalam tubuh, maka memahami tata bahasa lain selain bahasa asli adalah satu-satunya jalur untuk mengerti dan menguasai bahasa di luar bahasa ibu.90 Dari penguasaan tata bahasa ini lahirlah kompetensi struktur dan kosakata. 2. metode langsung yang disebut juga dengan metode lisan (oral method) atau metode alamiah (natural method) adalah pelatihan bahasa kedua dengan cara penggunaan bahasa secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Tujuan utamanya adalah penguasaan bahasa kedua seperti para penutur aslinya. Untuk mencapai tujuan ini, pelajar diberi latihanlatihan untuk mengasosiasikan kata-kata dan kalimat-kalimat dengan artiartinya melalui demonstrasi, peragaan-peragaan, gerakan-gerakan serta mimik-mimik. Upaya ini diharapkan membantu siswa terampil berbicara dan mengarang. 3. reading methods;
tharîqah al-qirâ`ah; pengajaran membaca mulai
diterapkan ketika diketahui lemahnya kemampuan menyimak siswa dan memahami teks terutama berkaitan dengan teks-teks ilmiah yang menggunakan penyampaian yang berbeda dari bahasa lisan. Biasanya dalam pengajaran membaca ini siswa dibantu dengan kosakata-kosakata asing yang dianggap sukar dengan menggunakan definisi-definisi, kemudian siswa dilatih untuk membaca secara diam (silent reading) dan dianjurkan untuk melatih kemampuan membaca mereka secara lebih luas (extensive reading). Lalu siswa diminta menerangkan hasil bacaan mereka baik melalui questioning atau re-story telling. Pengajaran ini ditujukan membangun keterampilan menyimak dan membaca siswa.
90
Chomsky, The New Horizons …, terj., h. 9
83
Berjalan dengan beralirnya waktu, ketiga metode tersebut diperkuat lagi dengan munculnya metode Audiolingual. Metode ini hampir mirip dengan metode langsung, tetapi didasarkan pada situational, yaitu dengan menciptakan situasi atau kondisi tertentu untuk membangkitkan kemampuan bicara siswa.91 Metode audiolingual ( al-Tharîqah al-Sam’iyyah-al-Syafawiyah ) sering disebut dengan pendekatan dengar-ucap (Aural-Oral Approach) atau metode meniru-menghafal (The Mimicry-Memorization Method) atau metode informan-drill (The InformantDrill Method).92 Metode ini, menggunakan teknik dengan cara memberi latihan (drill) dan latihan pola (pattern practice), itu sebabnya latihan yang intensif dalam keterampilan berbicara dan menyimak dengan cara bercakap-cakap, menghafal, dan latihan pola menjadi ciri utama metode ini. Menurut Purwo ada lima slogan yang dikumandangkan oleh para pendukung metode audiolingual, yakni bahasa adalah lisan, bukan tertulis; bahasa adalah seperangkat kebiasaan; yang diajarkan adalah bahasa, bukan mengenai bahasa; bahasa adalah yang diujarkan oleh penutur asli, bukan yang sebenarnya diujarkan dan bahasa berbeda-beda.93 Dengan adanya latihan berulang-ulang diharapkan pola-pola yang menjadi biasa pada si terdidik. Itu sebabnya metode ini biasa disebut pula The Audiolingual Habit Theory. Latihan-latihan ini diharapkan pula dapat difungsikan dalam kehidupan sehari-hari, maka metode ini dikenal pula dengan Functional Skill Strategy. Artinya, metode Audiolingual ini menekankan pendekatan pendengaran/ pembicaraan dengan fokus pelatihan kemampuan menyimak siswa terutama menyimak dari bahasa-bahasa native speaker.94 91
Subyakto-Nababan, Metodologi Pengajaran …, h. 24 Metode yang muncul pada masa perang dunia ke-2 mendasarkan teorinya pada aliran linguistic structural dan psikologi behaviorisme yang terkenal dengan teori stimulus respons yang konsepnya berasal dari seorang linguis Bloomfield dan seorang psikolog yang bernama Skinner. 93 Pateda, Linguistik …, h. 138 94 Subyakto-Nababan, Metodologi Pengajaran …, h. 32 92
84
Belakangan, pengajaran audiolingual mulai dipersoalkan, karena proses penciptaan situasi sangat sulit dilakukan, apalagi dengan multi mata pelajaran di sekolah. Reaksi ini memunculkan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan kognitif
(fikiran) -al-tharîqah al-lughawiyah al-fikriyah-, yang
tekniknya adalah teknik guru diam (The Silent Way), belajar bahasa secara berkelompok (Community Language Learning) dan Suggestopedia.95 Bersamaan dengan pendekatan kognitif, berkembang pula pendekatan komunikatif, yakni suatu pendekatan yang menekankan “kebermaknaan” (meaningfulness) dan penyampaian makna/ pesan yakni fungsi menggunakan bahasa secara wajar. Pandangan
proses
belajar
pendekatan
kognitif
ditujukan
pada
“kemampuan” dan “kinerja/ praktek”. Yang dimaksud dengan “kemampuan/ kompetensi” adalah pengetahuan seorang penutur mengenai suatu bahasa dalam arti kaidah-kaidah bahasa itu, sedangkan “kinerja” ialah penggunaan bahasa itu dalam situasi-situasi nyata, bukan dengan dikondisikan.96 Disini, murid-murid diminta untuk memahami multiple makna pada satu kata, misalnya kata back yang berarti; kembali, posisi belakang tubuh, bertaruh dsb. Kata back ini
95
Konon, metode ini kehilangan peminatnya akibat kecaman yang disampaikan Chomsky, ia menolak prinsip-prinsip linguistikstruktural, dan juga teori psikologi behaviorisme dalam pengajaran bahasa. Dalam bukunya Syntactic Structures (1957), yang sekarang dianggap buku “klasik”, ia mengatakan antara lain, bahwa linguistic structural tidak mampu menunjukkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan “makna/ arti”. Chomsky mencetuskan teori bahasa yang disebut Transformasonal-Generatif atau T.G. Kecamannya terhadap linguistic structural adalah kemungkinan terdapat makna ganda dalam kalimat, misalnya; Penembakan pemburu itu terjadi kemarin dapat mempunyai arti ganda tergantung pada hubungan tata bahasa antara “penembakan” dan “pemburu”. Kemungkinannya pemburu yang menembak atau pemburu yang ditembak. Kelemahan ini tidak bisa disolusi melalui audiolingual, tetapi perlu pemahaman bahasa dengan pemikiran yang matang. Lih. Konsepnya pada Diane Larsen Freeman, Teaching Techniques in English As a Second Language; Techniques and Principles in Language Teaching, (Oxford, Oxford University Press, 2), h. 51-108 96 H. Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching 2nd edition, (New Jersey, Prentice Hall Inc., 1987), h. 84-85
85
dianjurkan untuk difahami melalui susunan kalimat-kalimat yang berbeda-beda, dan siswa diminta mampu menggunakan kata multiple makna ini dengan tepat.97 Untuk membangkitkan kemampuan kognitif ini, para ahli menetapkan tiga metode98; 1. Metode Guru Diam (The Silent Way) Dasar teoritis The Silent Way dari Cattegno ini adanya ide bahwa mengajar seharusnya merupakan sub ordinasi atau harus berada setingkat di bawah dari pembelajaran yang berarti bahwa siswa harus mengembangkan kriteriakriteria batin agar dapat berbicara dengan benar. Ke empat keterampilan yaitu, membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan diajarkan sejak tahap awal. Kesalahan-kesalahan siswa dianggap sebagai bagian yang wajar dari pembelajaran, keheningan guru (saat guru tidak berbicara) dapat membantu terciptanya kepercayaan pada diri sendiri serta prakarsa pihak siswa. Guru aktif dalam menciptakan situasi-situasi belajar, sementara siswa lebih banyak terlibat dalam kegiatan berbicara dan berinteraksi. 2. Metode Sugesti (Suggestopedia) Metode yang berasal dari Lasanov ini berusaha membantu siswa meniadakan hambatan-hambatan psikologis dalam pembelajaran. Lingkungan belajar memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa dengan penerangan lampu yang baik serta dilatarbelakangi oleh lagu-lagu yang sengaja diperdengarkan secara sayup-sayup selama kegiatan belajar. Setiap siswa memilih nama dan tokoh yang ada dalam bahasa serta kebudayaan yang tengah dipelajari, agar siswa dapat mengkhayal seolah-olah merekalah yang merupakan tokoh
97
John W. Oller J.R and Jack C. Richards, Focus on The Learner Pragmatic Perspectives for The Language Teacher, (Massachusetts, Newbury House Publishers, Inc., 1978), h. 58 98 Lih., Freeman, Teaching Techniques …, h. 51-108; Oller and Richards, Focus on …, h. 57-78
86
sebenarnya. Dialah yang disajikan diikuti oleh musik. Para siswa dianjurkan santai sambil mendengarkan apa yang sedang dibicarakan kepada mereka, kemudian dengan cara bergurau mereka melatih bahasa tersebut selang fase latihan penggiatan (activation phase) 3. Metode Belajar Berkelompok (Community Language Learning) Dalam metode Curceu ini, guru membantu membangkitkan minat belajar siswa. Guru harus menyadari bahwa terkadang pembelajaran di mata siswa adalah ancaman menyadari bahwa pembelajaran itu dapat merupakan ancaman, maka guru harus memberikan pengertian agar siswa tidak merasa khawatir, dan merasa aman serta dapat mengatasi kekhawatiran tersebut sehingga dengan cara demikian mereka terdorong untuk belajar. Karena itu silabus yang digunakan adalah silabus yang berorientasi pada siswa, yang berarti bahwa siswalah yang menentukan, apa yang mereka inginkan untuk dipelajari dari bahasa sasaran. Kesimpulannya, ada berbagai macam metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab, seperti metode langsung, grammartranslation, metode membaca, metode audiolingual, metode eklektik dan lain sebagainya. Sedang, Ramayulis menyebutkan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab, seperti metode demonstrasi, metode imla, metode kerja kelompok, metode pengajaran terprogram, dan metode-metode lainnya.99 Setiap metode tentu saja memiliki kekurangan dan kelebihan, yang satu sama lainnya saling mengisi, untuk mencapai kesempurnaan pengajaran. Demi mendapatkan hasil yang maksimal, kedelapan metode pengajaran
99
132-133
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), h.
87
bahasa di atas sebaiknya dilaksanakan secara bersamaan. Karena pemilihan terhadap satu metode pengajaran saja membuat lemah kemampuan berbahasa yang
lainnya.
Seorang
guru
yang
bijaksana
tidak
perlu
ragu
mencampuradukkan metode tertentu dengan metode lainnya, sebab yang terpenting adalah bagaimana tujuan khusus pengajaran tercapai. Jauh lebih penting lagi adalah bagaimana membuat peserta didik terampil dalam bahasa yang sedang diajarkan.100 Penggunaan metode dalam pelaksanaan pembelajaran bergantung pada kompetensi yang tercakup dalam rumusan tujuan pembelajaran. Dengan ungkapan lain, penggunaan metode untuk tujuan menyampaikan ilmu pengetahuan akan berbeda dengan penggunaan metode untuk tujuan keterampilan atau kecakapan. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar harus sesuai dengan isi atau materi yang akan disampaikan tanpa melalaikan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan memilih penggunaan model pembelajaran. Dengan mempertimbangkan bentuk materi atau isi pelajaran, maka terdapat kemungkinan akan menggunakan berbagai macam metode dalam setiap pertemuan. Ungkapan lain, setiap pelaksanaan pembelajaran dengan satu aspek kebahasaan dapat menggunakan lebih dari satu metode, sehingga akan berpengaruh juga terhadap model pembelajaran yang akan digunakan. 5. Guru atau Pendidik Komponen dalam pembelajaran selanjutnya adalah guru. Guru memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan dalam proses 100
Mukhson Nawawi, Kompilasi Materi Kuliah Linguistik Terapan; ‘Ilm al-Lughah alTathbiqiy, (Jakarta, Fak. Tarbiyah UIN Jakarta, 2002), h. 147
88
belajar mengajar. Dalam upaya membelajarkan siswa, guru bahasa harus pintar berkreasi dalam mengolah kegiatan belajar. Karena sebagai subjek dalam proses pembelajaran, guru bertugas melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, dan dalam pembahasan ini tugas guru adalah sebagai fasilitator, informator, dan sebagai pembimbing. Dengan ungkapan lain menjadikan peserta didik tuntas berbahasa dengan bahasa yang diajarkan, dalam hal ini bahasa Arab. Untuk mewujudkan proses pembelajaran secara tepat, maka ada beberapa karakteristik guru yang diharapkan, seperti: a. memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang diajarkannya; b. memiliki kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan suasana hati secara tepat serta membuat kontak dengan kelompok secara tepat; c. memiliki kesabaran, keakraban, dan sensitivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar; d. memiliki pemikiran yang imajinatif dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan kepada peserta didik; e. memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya, baik isi maupun metode; f. memiliki sikap terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode dan teknik. Stevick (1982) berpendapat bahwa tugas guru bahasa termasuk di dalamnya
bahasa
Arab,
meliputi
tiga
kategori101
yaitu,
pertama,
mengembangkan kompetensi komunikasi, dalam hal ini tugas guru adalah berupaya mengembangkan keberanian peserta didik dalam berkomunikasi 101
Mansur Pateda, Linguistik Terapan, h. 75
89
tanpa ada keraguan, kebimbangan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan pikiran peserta didik dengan peserta didik lainnya dan dengan manusia atau orang-orang yang hidup di lingkungan sekitarnya. Kategori kedua adalah mengembangkan
kompetensi
linguistik,
yakni
untuk
memperkuat
kemandirian dan meyakinkan diri peserta didik dalam mengemukakan pendapatnya. Sedang kategori ketiga adalah mengembangkan kompetensi personal, yaitu untuk melengkapi dari kompetensi komunikasi dan linguistik. Dengan perkataan lain bahwa setelah kepercayaan diri dalam peserta didik timbul dengan memberanikan diri untuk berinteraksi dengan peserta didik lainnya, guru, dan lingkungan sekitarnya, maka tanpa disadarinya bahwa kompetensi personal dalam diri peserta didik itu telah berkembang. Dari berbagai pendapat yang telah terkemukakan bahwa dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa khususnya berbahasa Arab, seorang guru sebaiknya memiliki beberapa kompetensi yang terdapat dalam dirinya, bukan hanya karena latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya, namun seorang guru juga harus mempunyai keterampilan dan kecakapan yang dapat menumbuhkembangkan peserta didik sehingga peserta didik dapat merasakan pentingnya belajar. 6. Peserta Didik Peserta didik merupakan salah satu objek kajian dari pendidikan. Definisi pendidikan adalah mengubah sikap dan tingkah laku seseorang dalam usaha mendewasakan melalui upaya belajar dan berlatih. Dengan demikian, peserta didik dapat diartikan sebagai seorang individu yang mengikuti proses pembelajaran untuk menerima dan memahami materi pembelajaran.
90
Dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik adalah sebagai subjek dan sebagai objek dalam kegiatan pembelajaran. Karena itu, inti proses pembelajaran tidak lain adalah kegiatan belajar peserta didik dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran tentu saja akan dapat tercapai jika peserta didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan peserta didik di sini tidak hanya dituntut dari sisi jasmani, tetapi juga dari sisi rohani. Bila hanya jasmani peserta didik yang aktif tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya Peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Peserta didik juga sebagai salah satu unsur yang dapat membentuk sebuah model pembelajaran dan juga akan menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, tugas guru adalah merangsang peserta didik untuk aktif dan melibatkan diri dalam proses pembelajaran. 7. Media Pembelajaran Media dalam bahasa Latin adalah medius yang berarti tengah, perantara dan pengantar. Sedang dalam bahasa Arab adalah wasâil yang memiliki arti perantara, yaitu pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Maka dalam kegiatan belajar mengajar sebaiknya menggunakan media pembelajaran untuk membantu102 tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan
102
Fungsi media pembelajaran selain sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran juga memiliki fungsi lain, yaitu untuk mempertinggi daya serap dan retensi anak terhadap materi
91
adanya media pembelajaran juga akan mendorong peserta didik untuk belajar. Dalam hal ini, Syaodih mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dibuat dan digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, pemahaman dan kecakapan peserta didik, sehingga dapat mendorong atau membantu dalam kegiatan proses belajar mengajar.103 Adapun Gerlach dan Elly mengemukakan bahwa media adalah manusia, materi, kejadian yang membangun kondisi yang membuat sesuai mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dari defini tersebut, bahwa guru, buku teks, dan lingkungan termasuk dalam kategori media. Sedang secara khusus media diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.104 Dengan
demikian,
bentuk
media pembelajaran
bukan
hanya
seperangkat alat audiovisual, tetapi adanya interaksi dengan terjalin komunikasi antara peserta didik dengan guru pun dapat dinyatakan dan dijadikan media pembelajaran. Hal ini dinyatakan juga oleh Rowntree dikutip Syaodih, Rowntree mengelompokkan media pembelajaran ke dalam lima macam,105 yaitu: a. Interaksi insani; yakni yang merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih, karena dengan sadar tidaknya dalam komunikasi akan mempengaruhi perilaku lainnya.
pembelajaran. Lih. Lebih lengkap di Asnawir dan Basyiruddin Umar, Media Pembelajaran, (Jakarta; Ciputat Press, 2002), h. 21 103 Nana Syaodih, Pengembangan …, h. 108 104 Arsyad, Media Pendidikan, h.3 105 Nana Syaodih, Pengembangan …, h. 108-109
92
b. Realita; adalah jika yang terdapat dalam interaksi, peserta didik berkomunikasi dengan orang sekitarnya, maka dalam realita, orang sekitarnya itu hanya dijadikan sebagai objek pengamatan. c. Pictorial; media bentuk ini menunjukkan penyajian berbagai bentuk variasi gambar dan diagram nyata dan symbol, dibuat di atas kertas, film, kaset, disket dan media lainnya. d. Pengelompokkan media keempat adalah symbol tertulis yang penyajian informasinya paling umum, tetapi masih tetap efektif. Seperti buku teks, majalah, koran, modul, segala sesuatu informasi yang berbentuk tulisan. e. Media terakhir yang dikelompokkan Rowntree adalah rekaman suara yaitu semua informasi dapat disampaikan melalui rekaman suara. Pola media yang berbentuk rekaman suara ini dapat disajikan sendiri atau dikombinasikan dengan media yang berbentuk pictorial. Dari beberapa uraian pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran diupayakan dibantu dengan media pembelajaran yang bentuk medianya dapat bervariasi seperti dapat berupa benda langsung ataupun imitasi dan media yang lainnya. 8. Evaluasi Segala kegiatan selalu diakhiri dengan evaluasi, karena untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu aktivitas, halnya dengan proses kegiatan belajar mengajar. Berkenaan dengan aktivitas evaluasi, terdapat beberapa istilah yang digunakan diantaranya yaitu evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat satu sama lain.106
106
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta; Bumi Aksara, 2004), h. 145
93
Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang mengandung kata dasar value yang berarti nilai. Sedang dalam bahasa Arab istilah evaluasi disebut dengan istilah taqwîm, yang kata dasarnya q-w-m, yang dalam kamus Hanswer berarti lurus, tegak, berdiri dan konsisten. Dalam buku-buku tentang pengajaran bahasa Arab ditemukan dua istilah yang terkadang digunakan secara bergantian, meskipun keduanya tidak mempunyai makna yang sama. Kedua istilah tersebut adalah 1) taqwîm dan 2) taqyîm. Istilah pertama mencakup makna menjelaskan nilai sesuatu, melakukan perubahan terhadap sesuatu, sedang istilah yang kedua hanya meliputi arti menjelaskan nilai sesuatu.107 Kata value dalam penggunaan istilah evaluasi berkaitan dengan keyakinan bahwa sesuatu hal itu bisa baik atau buruk, benar atau salah dan lain sebagainya. Secara umum, evaluasi didefinisikan sebagai suatu proses mempertimbangkan suatu hal atau gejala dengan menggunakan beberapa kriteria yang bersifat kualitatif. Evaluasi didefinisikan sebagai proses aktivitas terprogram untuk memahami suasana proses pembelajaran dengan menggunakan seperangkat alat tertentu dan membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur, sehingga memperoleh kesimpulan. Kutipan dari Ainin dkk., Gronlund dan Linn memberikan definisi evaluasi sebagai “evaluation is a sistematic process of collecting, analyzing and interpreting information to determine the extent to wich pupils are achieving instructional objectives108. Pertanyaan besar dalam evaluasi menurut Gronlund dan Linn adalah “how good”. Dari pengertian tersebut
107
Rusydî Ahmad Thu’aimah dan Muhammad Sayyid al-Mannâ’, Ta’lîm al-Arabiyyah wa al-Dîn baina al-‘Ilm wa al-Fann, (Kairo; Dâr al-Fikr al-Araby, 2000), h. 80 108 Ainin dkk., Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang;Misykat, …), h. 5
94
dapat diungkap dengan jelas bahwa evaluasi merupakan sebuah proses yang sistematis dalam pengumpulan, analisis dan penafsiran terhadap informasi atau data untuk menentukan pandangan terhadap peserta didik dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Sedang pengukuran diartikan sebagai pengumpulan informasi yang berupa angka atau deskripsi verbal, analisis, dan interpretasi informasi untuk mengambil keputusan. Saat ini, istilah penilaian sangat populer. Hal ini disebabkan karena adanya pembaharuan dalam kurikulum yang berbasis kompetensi. Meskipun keduanya -evaluasi dan penilaian- pada dasarnya saling menggantikan, walau ada yang berusaha membedakan. Duncan dan Dunn mengemukakan pengertian yang berbeda mengenai penilaian dan evaluasi. Mereka mendefinisikan penilaian sebagai proses mengumpulkan informasi oleh guru tentang peserta didik, guru tentang pengajarannya, atau oleh peserta didik tentang kegiatan belajar mengajarnya. Sedangkan evaluasi diartikan sebagai suatu penilaian sampai dengan penentuan keputusan tentang sesuatu yang dinilai. Dengan ungkapan lain bahwa evaluasi adalah suatu proses dalam menentukan kebijakan keputusan dari hal-hal yang dinilai. Adapun pengukuran didefinisikan sebagai prosedur yang dapat ditempuh untuk melakukan evaluasi. Dengan pengertian lain pengukuran dilakukan dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan dalam evaluasi. Dalam buku yang sama Gronlund dan Linn memberikan pengertian penilaian sebagai “measurement is the process of obtaining numerical description of the degree to wich an individual processes a particular characteristic.109 Yang menjadi pertanyaan besar 109
Ainin dkk., Evaluasi Pembelajaran..., h. 6
95
dalam pengukuran adalah “how much”. Artinya pengukuran adalah sebuah proses dalam pemerolehan gambaran yang berupa angka-angka nominal mengenai tingkat kemampuan yang dimiliki seseorang. Pengukuran merupakan konsep proses yang bermakna yakni proses diterapkannya angkaangka kepada peristiwa dengan berlandaskan aturan-aturan yang telah ditentukan. Dari definisi-definisi tersebut, dapat diungkapkan bahwa ketiga unsur -evaluasi, penilaian dan pengukuran- mempunyai hubungan antar ketiganya. Evaluasi cakupannya lebih luas yang dapat meliputi penilaian dan pengukuran. Sedang penilaian lebih spesifik dalam penggunaannya, dan adapun ukuran hanya untuk mengukur kuantitas. Pengadaan evaluasi pembelajaran termasuk pembelajaran bahasa Arab adalah untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah melakukan proses pembelajaran. Keterlibatan peserta didik dalam proses belajar mengajar adalah penilaian atau evaluasi yang berbentuk keaktifan peserta didik, seperti pemberian tugas untuk mengarang pidato, mencari beberapa kosakata dalam kamus yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan bentuk evaluasi seperti itu, peserta didik tidak akan jenuh dalam melakukan tugas, karena mereka tidak selalu berada di kelas tetapi dapat belajar di perpustakaan.110 D.
Rumusan CTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah Merumuskan model pembelajaran CTL dalam pembelajaran bahasa Arab di madrasah memang bukan perkara sederhana. Karena bahasa Arab bukanlah bahasa yang dianggap siswa sebagai bahasa yang dibutuhkan dalam
110
Hasil penelitian di Madrasah Aliyah Negeri Delapan tanggal 26 Mei 2008
96
kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, dengan waktu yang sangat sedikit yang diberikan untuk mata pelajaran bahasa Arab dan kurangnya kesadaran seluruh civitas sekolah terhadap mata pelajaran bahasa Arab menjadi kurang tersosialisasikan
pada
siswa-siswa
di
sekolah.
Itu
sebabnya
penulis
menggunakan metode pengajaran bahasa yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dengan berasumsi bahwa ada beberapa hal yang harus diterapkan dalam konsep CTL untuk pengajaran bahasa Arab. Asumsi ini didasarkan pada lima teknik yang dirumuskan COR (Center for Occupational Research) di Amerika, yakni Relating, Experiencing, Applying, Coorperating dan Transferring.111 Merealisasikan bahasa dalam konteks kehidupan nyata, dihubungkan dengan situasi sehari-hari, dengan melatih siswa berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Seluruh proses belajar menjadi bermakna karena diciptakan rasa “butuh” dan “perlu” berbahasa Arab dalam setiap komunikasi menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Arab, merupakan pembelajaran bermakna.112 Dengan demikian, merumuskan CTL dalam pembelajaran bahasa Arab di madrasah adalah mengadaptasi semua metode pengajaran bahasa, menghubungkan satu metode dengan metode lainnya, mengintegrasikan pengajaran bahasa ini dengan pelajaran lainnya. Misalnya membuat kaidahkaidah
bahasa
dengan
paradigma
bahasa
ibu
(bahasa
Indonesia),
menghubungkan peran kaidah dan bahasa ini dengan teks-teks dalam al-Quran
111
Lih. Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, (Jakarta, Bumi Aksara, 2007), h. 42 112 Dalam belajar bermakna sesuatu yang dipelajari adalah makna, makna dapat terjadi karena ada hubungan antara sesuatu fakta atau pengetahuan dengan fakta atau pengetahuan nyata, juga terdapat hubungan antara sesuatu pengetahuan dengan penggunaannya dalam realitas kehidupan, lih., R. Ibrahim dan Nana Syaodih S., Perencanaan Pengajaran, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003), h. 39
97
lalu mengkaitkannya dengan fenomena alam, pluralisme, toleransi dan multikulturalisme. Jack C. Richard mengidentifikasi The Context of Language Teaching113 sebagai berikut; 1. Dengan menghubungkan foreign language (bahasa asing) dengan bahasa setempat. Menginteraksikan bahasa asing dengan bahasa setempat mengakselerasi pembelajaran karena pembelajaran dibuat membumi dan tidak mengawang-awang. 2. Menerapkan konsep speech acts and second-language learning; yakni melatih berbicara dengan menunjukkan perbedaan atau karakter bahasa kedua dibanding bahasa setempat 3. Menjelaskan fungsi mempelajari bahasa asing tersebut, pentingnya mempelajari bahasa tersebut dan menghubungkan dengan masing-masing kelebihan bahasa tersebut 4. Menerangkan culture (sosial dan masyarakat) dari bahasa asing tersebut dan memperbandingkannya dengan culture (sosial dan masyarakat) setempat 5. Menekankan interactive language teaching Dari kelima langkah tersebut sejalan dengan rumusan CTL yang akan berjalan baik jika para siswa dapat menemukan makna dalam pengetahuan yang mereka peroleh dan pemerolehan pengetahuan tersebut dapat dikaitkan dengan situasi atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan 113
Jack C. Richards, The Context of Language Teaching, (Cambridge, Cambridge University Press, 1989), cet. III, hal. v (contents)
98
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Konsep tersebut supaya hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna untuk peserta didik. Dengan ungkapan lain bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik bukan hanya sekedar mengetahui pengetahuan melainkan bermanfaat untuk diri sendiri sehingga mereka merasa kecanduan untuk belajar. Dalam hal ini, Johnson mengatakan bahwa “The CTL sistym is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, sosial and culture circumstance114. Dari pernyataan ini dapat ditegaskan bahwa pendekatan CTL merupakan suatu proses pendidikan yang membantu peserta didik untuk memahami makna yang terdapat dalam materi yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan situasi keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Dari pengertian tersebut di atas, terdapat tiga hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu 1) CTL menekankan pada proses pemberdayaan siswa untuk menemukan materi. Dalam artian proses belajar ditujukan pada proses pengalaman secara live. 2) CTL untuk memotivasi peserta didik dapat menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan kenyataan hidup. Maksudnya adalah peserta didik dituntut untuk dapat memahami hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Dan 3) adalah CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkan materi dalam kehidupan. Jika yang kedua adalah menemukan hubungan dengan kehidupan yang riil, maka ketiga ini adalah peserta didik tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi pemahaman materi tersebut dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terdapat di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. 114
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, h.95
99
Jika ditinjau dari pandangan psikologis, pendekatan CTL ini berakar dari aliran kognitif yang menyatakan bahwa terjadinya proses belajar disebabkan adanya pemahaman seseorang akan lingkungannya, yaitu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen dengan orang lain yakni melalui interaksi dengan teman sekelasnya dan dibantu dengan rangsangan guru yang berupa pertanyaan. Karena belajar bukanlah suatu fenomena mekanis yang ada hanya stimulus dan respon. Belajar tidak semudah itu, belajar yang baik adalah melibatkan proses mental peserta didik yang tidak nampak, seperti emosi, minat, motivasi, kecakapan dan pengalaman.115 Penampilan yang ada merupakan wujud dari adanya motivasi yang bertumbuh kembang dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan CTL, Johnson merumuskan delapan komponen yang tercakup dalam sistem pendidikan, yaitu: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran mandiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan penilaian autentik. Dari kedelapan komponen tersebut, C-Star mengemukakan pendapat yang sejenis dengan Johnson dan dalam menggunakan istilah yang bahasanya tidak jauh berbeda dengan Johnson bahwa akan dinyatakan sempurna menggunakan pendekatan CTL ini, jika semua -tujuh komponen CTL- telah terpakai. Tujuh
115
Pengalaman terdapat dua macam yaitu pengalaman yang bersifat mendidik dan yang tidak bersifat mendidik. Pengalaman yang tidak bersifat mendidik, proses pembelajaran tidak membawa peserta didik ke dalam tujuan pembelajaran, tetapi menyimpang dari tujuan pembelajaran. Sebagai contoh, mendidik peserta didik untuk mencopet. Sedang pengalaman yang bersifat mendidik terdapat beberapa karakteristik, yaitu berpusat pada sebuah tujuan yang berguna untuk peserta didik atau dengan kata lain, belajar itu bermakna, kontinu dengan kehidupan peserta didik, interaktif dengan lingkungan, dan menambah integrasi peserta didik. Lebih lanjut, baca buku karangan H.C. Witherington, Teknik-teknik Belajar Mengajar, (Bandung;Jemmars, 1986), h. 75-83
100
komponen tersebut adalah kontruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik. Dari ketujuh komponen tersebut akan dijabarkan sebagai berikut: a. Konstruktivisme (Construktivisim) Konstruktivisme116 adalah landasan pemikiran filosofi bahwa peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep yang siap diadopsi dan diingat. Namun peserta didik harus dapat mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna dengan melalui pengalaman nyata. Dengan ungkapan lain, bahwa dalam proses pembelajaran peserta didik bukan hanya menerima pengetahuan atau informasi, tetapi memberi makna pada peserta didik terhadap objek atau materi dan pengalamannya yang tidak dilakukan secara individual, melainkan melalui interaksi dalam cakupan sosial yang unik, yang terbentuk dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Dalam hal ini, pusat pembelajaran adalah peserta didik, bukan guru. Oleh karena itu, tugas guru di sini adalah menyediakan fasilitas, kondisi, lingkungan dan sarana supaya peserta didik dapat menciptakan sendiri pengetahuannya. Dengan kata lain, guru membantu agar proses mengkonstruksi pengetahuan peserta didik berjalan lancar. Konstruktivisime yang merupakan proses pembelajaran menjelaskan cara menyusun pengetahuan atau informasi dalam diri peserta didik. Komponen-komponen konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas.
116
Kegiatan yang mengembangkan pemikiran seseorang bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
101
Proses konstruktivisme adalah mendefinisikan pembelajaran sebagai hasil usaha peserta didik. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita peserta didik berdasarkan pembinaan dari diri sendiri. Pada dasarnya peserta didik telah memiliki seperangkat ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka. Guru harus memperkirakan struktur kognitif yang terdapat dalam diri peserta didik, untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru. Setelah adanya penyesuaian dan penyerapan pengetahuan baru yang dijadikan sebagai pijakan, maka dapat membuat kerangka baru dalam bentuk pembinaan ilmu pengetahuan. Sebagai implikasinya, dalam penilaian pun harus mencakup cara-cara penyelesaian masalah dengan berpatokan pada aturan yang berlaku. Teknikteknik tersebut dapat berbentuk peta konsep, diagram ven, portopolio, uji kompetensi, dan ujian komprehensif. Pengetahuan akan tumbuh berkembang jika dilandasi pengalaman. Dengan pengalaman tersebut, pemahaman akan semakin berkembang dan kuat apabila diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, hendaknya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan rangsangan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
102
Aktivitas dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menggabungkan tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.117 Dengan ciri-ciri pembelajarannya sebagai berikut: 1. menyediakan pengalaman belajar dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan; 2. menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara; 3. mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep mtk melalui kenyataan kehidupan sehari-hari; 4. mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru dan siswa-siswa; 5. memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif; 6. melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar. Contoh pembelajaran bahasa dalam bentuk konstruktivisme: Pengalaman awal
: pengalaman saya pergi ke pantai
Pengalaman belajar
: menulis cerita
117
Hal ini sebagaimana taksonomi Bloom yang menerangkan bahwa dalam proses pembelajaran harus dilihat dari tiga bagian. Lih Bloomfield, Language
103
Pengalaman baru
: pengalaman pergi ke pantai dan pengalamanpengalaman lainnya merupakan bahan yang baik untuk menulis cerita
Dari contoh tersebut, dapat dirangkai kata bahwa dalam proses belajar diawali dengan konflik kognitif yang terjadi dalam diri peserta didik yang menyebabkan peserta didik itu dapat menemukan hal baru atau kenyataan yang berbeda dengan apa yang sudah diketahuinya. b. Menemukan (Inquiry) Komponen menemukan ini adalah kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual, karena inquiri diartikan sebagai “mencari kebenaran, informasi, atau pengetahuan dengan bertanya atau mencari tahu.118 Pembelajaran tradisional biasanya hanya terfokus terhadap penguasaan materi dengan berorientasi supaya peserta didik untuk menjawab soal-soal dan ulangan atau ujian saja tanpa memikirkan bagaimana peserta didik dapat berkeinginan untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut tentang materi yang dipelajarinya karena peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan bukan hanya sekedar dapat menjawab soal-soal ulangan atau ujian dengan cara menghafal atau mengingat seperangkat fakta, tetapi mereka menemukan sendiri pengetahuan itu. Oleh karena itu, dengan strategi menemukan ini, tugas guru adalah merancang kegiatan yang mengarah kepada kegiatan menemukan, dengan membuat rangsangan pertanyaan peserta didik, karena kegiatan ini bercirikan dalam pemberian materi dirancang untuk merangsang minat peserta didik, baik dalam bentuk pertanyaan, rasa ingin tahu, dan dorongan untuk mencoba atau membuat eksperimen.
118
Ratna megawati et.al., Pendidikan Holistik, (Bogor; Indonesia Heritage Foundation, 2005), cet. I, h.64
104
Ada beberapa tahapan dalam kegiatan menemukan ini, yaitu dengan tahapan pertama mengamati yang kemudian bertanya dilanjutkan dengan berhipotesa, mengumpulkan data dan tahapan terakhir adalah menyimpulkan hasilnya. Contoh dari langkah-langkah kegiatan menemukan: Materi yang akan disampaikan adalah mengenai mubtada khabar - Observasi dengan mengamati contoh dari mubtada khabar - Bertanya apa mubtada khabar itu? - Hipotesis, siswa mengambil kesimpulan sementara, kalau mubtada adalah isim yang dirafakan yang terletak di awal kalimat - mengumpulkan data; mengumpulkan sebanyak mungkin contoh mengenai mubtada khabar dari beraneka sumber untuk mendapatkan informasi pendukung - kesimpulan; setelah kesemuanya dilakukan, peserta didik menyimpulkan bahwa mubtada adalah … dan khabar adalah …. Jumlah mubtada khabar adalah …. Peserta didik membacakan hasil kesimpulannya di depan kelas untuk mendapatkan masukan dari peserta didik lainnya. Unsur ini juga dapat digunakan dengan cara lain dari langkah-langkah tersebut di atas, yaitu dengan cara guru memperlihatkan suatu benda yang belum peserta didik ketahui di depan kelas. Dengan memperlihatkan benda tersebut, guru memerintahkan peserta didik untuk mengamati, menganalisis dan melihat dengan seksama, kemudian guru mengajukan pertanyaan untuk dijawab peserta didik. Dengan ajuan pertanyaan tersebut, setiap peserta didik akan mendapatkan giliran untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing yang dapat mengembangkan permasalahan tanpa harus menyimpang dari
105
tujuan pembelajaran. Dari berbagai macam pendapat yang dikemukakan tersebut, peserta didik dapat menemukan materi-materi baru yang bermakna. Komponen inkuiri dilakukan dengan harapan untuk menciptakan peserta didik yang inkuirer, yaitu manusia yang selalu bertanya119 dan mencari tahu, yang sumber pertanyaan dan pencari tahuan itu dapat ditemukan dimanapun keberadaannya. Contoh dari komponen ini secara garis besar dinyatakan dari cara-cara berpikir John Dewey bahwa pertama-tama timbul permasalahan yang kemudian dirumuskan, dianalisa untuk mengidentifikasi dari luas jangkauan permasalahan. Setelah itu melakukan hipotesa yang dilanjutkan dengan mengumpulkan beberapa bahan dari bermacam-macam sumber yang berkenaan dengan pemecahan permasalahan itu. Dan sebagai langkah terakhir adalah diambil kesimpulan sebagai dasar untuk tindakan. c. Bertanya (Questioning) Pembelajaran berbasis bertanya merupakan proses belajar inti dari inkuiri dalam pendekatan CTL, karena peserta didik akan memiliki pengetahuan jika berawal dari pertanyaan. Bertanya juga sebagai kegiatan guru untuk mendorong peserta didik dalam mengetahui sesuatu, memperoleh informasi dan menilai kemampuan berpikir kritis. Dengan kegiatan bertanya, peserta didik dalam memperoleh informasi tidak hanya menerima dari pengetahuan yang disampaikan guru, namun peserta didik diupayakan kompetensi personalnya dapat bertumbuh kembang dengan berusaha aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar.
119
Karena dengan selalu bertanya dapat menimbulkan minat dan motivasi dalam diri peserta didik dan dapat menuntun proses berpikirnya.
106
d. Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan supaya peserta didik memperoleh hasil pembelajaran dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari berdiskusi antara teman, kelompok dan guru. Tugas
guru
dalam
masyarakat
belajar
adalah
pelaksanaan
pembelajaran dilakukan dengan bentuk berkelompok yang heterogen supaya saling membantu dan berbaur antar peserta didik yang cepat-lambat, pintarbodoh, pria-wanita. Sehingga tidak terdapat pihak yang merasa dirinya lebih tahu melainkan semua pihak saling mau mendengarkan. e. Pemodelan (Modeling) Unsur selanjutnya dalam pendekatan CTL adalah pemodelan. Dengan kata lain, bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat pendemonstrasian benda, hasil karya ataupun keterampilan. Tahap awal yang menjadi model dalam proses belajar adalah orang tua. Karena pada awalnya, peserta didik akan belajar bertingkah laku dengan meniru tingkah laku orang tuanya. Dan di tahap-tahap berikutnya, yang dapat dijadikan model adalah orang lain, seperti guru, teman sebaya atau yang lainnya dengan bentuk hasil karya, keterampilan dan dari bentuk sebuah benda pun dapat dijadikan model belajar. Oleh karena, dalam pemodelan ini bukan hanya guru satu-satunya yang dapat dijadikan model melainkan siswapun dapat dilibatkan untuk mendemonstrasikannya. Selain itu juga, model dapat didatangkan dari luar, seperti seorang native speaker berbahasa Arab sesekali dapat dihadirkan guna menjadi model bagaimana cara berujar, gerak tubuh ketika berbicara dan lain sebagainya. Istilah modeling atau pemodelan dapat disebut juga dengan penggunaan istilah observasional, yakni pembelajaran dilakukan ketika orang
107
mengamati dan meniru perilaku orang lain. Kapasitas untuk mempelajari pola perilaku dengan observasi dapat mengeliminasi proses pembelajaran yang membosankan. Dalam komponen pemodelan ini memerlukan sedikit waktu daripada dalam bentuk proses pembelajaran operan.120 f. Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang materi yang sudah pernah dipelajari masa silam. Materi yang telah diperolehnya kemudian diterapkan ke dalam pengalaman lainnya lebih detail. Dengan ungkapan lain, peserta didik menyimpan materi yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki peserta didik diperluas dalam konteks pembelajaran sedikit demi sedikit. Tugas guru dengan membantu peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, sehingga peserta didik merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi diri sendiri tentang materi yang baru dipelajari. Menurut Curran (1978) dikutip Mansur Pateda, membagi refleksi menjadi dua, yaitu refleksi teks dan pengalaman.121 Dalam refleksi teks, peserta didik mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan. Kegiatan pembelajarannya adalah menanamkan kembali kebermaknaan kalimat yang telah mereka demonstrasikan di hadapan audiens -dalam hal ini peserta didik lainnya dan guru-. Dan refleksi pengalaman bertujuan untuk mengekspresikan berbagai macam persoalan psikologis yang berkecamuk di dalam hati seseorang.
120 121
John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: McGraw Hill, tth.), h. 287 Mansur Pateda, Linguistik Terapan, (Flores; Nusa Indah, 1991), cet. I, h. 104
108
Dari dua pembagian refleksi tersebut, ada beberapa langkah dalam kegiatan refleksi, yaitu langkah pertama, peserta didik mengungkapkan pengalamannya dengan menggunakan kalimat sendiri. Tugas guru di sini adalah mendengarkan dan dapat menolak atau menerima dari pengungkapan peserta didik. Sedang langkah kedua adalah mengulang kembali pernyataan yang diungkapkan peserta didik tanpa ada jeda atau waktu luang. Dan langkah terakhir yang harus ditempuh dalam kegiatan refleksi adalah pengungkapan pernyataan peserta didik didengarkan kalimat demi kalimat, yang tiap-tiap kalimat tersebut dapat ditulis di papan tulis kemudian peserta didik menyalinnya. Langkah-langkah tersebut berorientasi agar peserta didik memahami materi yang diajarkan, karena dengan pemahaman itu akan melekat atau tersimpan dalam memori peserta didik. g. Penilaian Autentik (Autentic Assesment) Komponen terakhir dalam CTL adalah penilaian yang sebenarnya atau autenthic assesment. Assesment adalah proses pengumpulan bermacammacam data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.122 Sedang penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan peserta didik melalui berbagai teknik yang dapat mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kecakapan telah dikuasai dan dicapai.123 Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru supaya bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran dengan benar. Ketika dalam pengumpulan data guru 122
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2007), cet. III, h. 185 123 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, h. 186
109
menemukan kemacetan belajar siswa, maka guru segera mengambil tindakan cepat untuk mengatasi kemacetan tersebut. Karena gambaran tentang kemajuan belajar siswa diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran. Data dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah mencari informasi tentang belajar siswa. Belajar yang benar, sebaiknya terdapat penekanan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari bukan penekanan pada kuantitas diperolehnya informasi di akhir pertemuan pembelajaran. Karena penilaian menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Arab bagi para siswanya harus mengumpulkan data kegiatan nyata saat para siswa menggunakan bahasa Arab, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Arab. Data yang diambil dari kegiatan siswa melakukan kegiatan berbahsa Arab baik di kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut data autentik. Penilaian autentik adalah menilai pengetahuan dan performance yang diperoleh peserta didik, karena yang menilai tidak hanya guru, bisa juga teman
ataupun
orang
lain.
Menurut Johnson,124
penilaian
autentik
memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk menunjukkan apa yang telah mereka peroleh selama proses belajar mengajar. Penilaian autentik terdapat beberapa bentuk penilaian yang dapat digunakan seperti portofolio,
124
Elaine B. Johnson, Contextual …, h. 165
110
tugas kelompok, demonstrasi dan laporan tertulis. Penjelasan dari masingmasing bentuk penilaian tersebut adalah: Istilah portofolio dalam bahasa Inggris berarti kotak datar yang bisaanya terbuat dari kulit untuk membawa kertas, dokumen, atau gambargambar lepas; perangkat investasi yang dimiliki seseorang, bank atau sejenisnya; posisi atau tugas kementrian negara. Dalam dunia pendidikan, portofolio diberikan pengertian sebagai kumpulan karya siswa yang dihimpun secara sistematis.125 Sedangkan Surapranata dan Hatta memberikan definisi mengenai portofolio lebih rinci, yaitu penilaian portofolio merupakan penilaian terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, digunakan guru dan peserta didik untuk memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.126 Dari uraian pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam upaya membelajarkan siswa diperlukan jenis penilaian portofolio karena peserta didik terlibat langsung dalam mengembangkan pengetahuan yang dimiliki sebelum dan sesudah proses pembelajaran. Dalam bidang bahasa Arab penilaian portofolio adalah kumpulan karya atau dokumen peserta didik yang digunakan untuk menganalisis perkembangan pengetahuan dan keterampilan serta sikap berbahasa Arab peserta didik. Dokumen tersebut tidak hanya berupa satu aspek keterampilan saja tetapi dapat mencakup semua aspek keterampilan. Dengan kumpulan karya tersebut diharapkan peserta didik untuk lebih kreatif, memperoleh kebebasan dalam belajar dan memberi 125
W. Jhames Popham, Classroom Assesment; What Teacher Need to Know (Mass;Allyn&Bacon, 1995), h. 163 126 Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004), h. 21
111
kesempatan yang lebih luas untuk berkembang dan memberi dorongan. Penilaian bentuk portofolio ini tidak mendapatkan penilaian angka, tetapi melihat terhadap proses keaktifan peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik ditugaskan untuk membuat karangan. Dari pemberian tugas itu, guru memberikan nilai yang pantas terhadap peserta didik yang mengerjakan tugas dengan peserta didik yang tidak mengerjakan tugas. Hal ini dapat teridentifikasi peserta didik yang aktif dan tidak. Tugas kelompok dalam pendekatan CTL berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini dilakukan agar terlihat perbedaan peserta didik dalam gaya belajar, minat dan bakat dari masing-masing individu. Sedang penilaian yang berbentuk demonstrasi, meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan hasil tugasnya kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah diraih. Dari pendemonstrasian tersebut, penonton peserta didik yang lain ataupun guru- yang melihat dan menyaksikan pendemonstrasian tersebut dapat memberikan evaluasi atau penilaian kepada peserta didik. Secara umum penilaian bentuk portofolio dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu tinjauan proses dan hasil.127 Yang pertama menekankan terhadap tinjauan bagaimana perkembangan peserta didik dapat diamati dan dinilai dari waktu ke waktu. Sedangkan portofolio tinjauan hasil menekankan terhadap tinjauan hasil terbaik peserta didik dengan mengumpulkan semua pekerjaan peserta didik tanpa memperhatikan proses untuk mendapatkan hasil tersebut. Dalam penilaian autentik terdapat beberapa karakteristik,128 yaitu: 127
Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, h. 46 128 Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, h. 187
112
1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran; 2) dapat digunakan untuk formatif dan sumatif; 3) yang diukur performance dan keterampilan, bukan mengingat fakta-fakta; 4) berkesinambungan; yakni penilaian dilakukan dengan cara memantau dalam proses, kemajuan, dan perbaikan hasil secara terus menerus dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. 5) terintegrasi; 6) dan dapat digunakan sebagai feedback. Inti dalam penilaian autentik ini adalah penilaian terhadap kemampuan peserta didik dengan beraneka macam cara, penilaian tersebut tidak hanya dari hasil ulangan secara kontinuitas, tetapi dapat juga berupa kumpulan karya peserta didik. Dari uraian-urain tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Arab akan berhasil apabila peserta didik terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Karena dengan keterlibatannya mereka akan merasa belajar yang bermakna dan arti belajar yang sesungguhnya tanpa adanya paksaan dari orang lain melainkan keinginan belajar dari dalam diri peserta didik itu sendiri.
113
BAB IV UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB Dalam bab ini, penulis akan berupaya untuk mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh dari hasil observasi penelitian dan merujuk kepada hasil penelitian dari berbagai landasan teoritis yang terdapat dalam pembahasan hasil penelitian ini. Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menguasai bahasa Arab sangat minim. Hal terlihat dari kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dengan bahasa Arab sangat terbatas, baik secara lisan maupun tulis. Di satu sisi, penguasaan bahasa Arab merupakan kewajiban bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim, dan di sisi lain, Negara Indonesia yang letak geografisnya sangat strategis dengan Negara-negara maju dan berkembang, sehingga dijadikan tempat persinggahan. Oleh karena itu, Indonesia harus memainkan peran secara maksimal dalam go internasional supaya tidak ketinggalan dengan Negara-negara lainnya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat terbatasnya kemampuan
berbahasa Arab dan pentingnya
penguasaan dengan melalui pembelajaran, perlu adanya pengembangan pembelajaran bahasa Arab yang efektif dan efisien. Howard Gardner dalam buku multiple intellegences, mengelompokkan beberapa intelegensi atau kecerdasan yang harus dimiliki oleh setiap orang termasuk guru dan peserta didik di Madrasah Aliyah Negeri 8, kecerdasan-kecerdasan itu adalah : 1) kecerdasan matematika atau logika. 2) kecerdasan bahasa. 3) kecerdasan emosional. 4) kecerdasan musical. 5) kecerdasan kinestetik. 6) inter dan intra personal.
114
7) kecerdasan naturalis.129 Kajian yang berkaitan dengan penguasaan termasuk pembelajaran bahasa Arab adalah kecerdasan bahasa. Kecerdasan bahasa meliputi aspek kecakapan seseorang dalam menggunakan bahasa dengan kata-kata yang berbentuk kalimat ataupun paragraf, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa tersebut dengan berbagai cara atau bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan ide pikiran seseorang. Peserta didik yang memiliki kecerdasan bahasanya tinggi, peserta didik akan mempunyai kesenangan dalam kegiatan berbahasa seperti menulis, membaca, membuat syair dan lain sebagainya. Peserta didik itu akan lebih cenderung mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar bahasa dibanding dengan peserta didik lainnya. Berhubungan dengan pembahasan dari uraian tersebut adalah peserta didik Madrasah Aliyah Negeri 8 mempunyai karakteristik yang berbeda termasuk karakteristik mengenai tingkat kecerdasan dari masing-masing peserta didik. Hal ini terlihat dari hasil penilaian yang dilakukan guru bahasa Arab selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab dengan memberdayakan siswa terdapat berbagai kendala dan cara untuk mengatasi hambatan itu dengan melakukan berbagai upaya yang diselenggarakan oleh pihak sekolah termasuk guru bahasa Arab. Meskipun karakteristik siswa di Madrasah Aliyah Negeri 8 beragam, namun keberagamannya itu tidak terlalu terlihat karena mereka adalah siswa-siswa yang rajin, aktif, disiplin dan kreatif meski terdapat sebagian kecil siswa yang malas sekitar 5%. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar siswa adalah siswa-siswa yang memiliki kemampuan kognitif cukup baik di sekolah terdahulu (Madrasah Tsanawiyah), selain itu, Madrasah Aliyah Negeri 8 sendiri melakukan seleksi siswa 129
Howard Gardner, Multiple Intellegences: The Theory and Practice: A Reader, (New York; Basic Books, 1993), h. 85
115
dari segi kepribadian dan pemahaman keagamaan sebagai prasyarat menjadi siswa Madrasah Aliyah 8.130 Namun tingkat kognitif siswa tidak dapat disebut “brilian”, artinya tingkatnya kebanyakan berada di tingkat cukup dan sedang dengan kemampuan yang merata. Hanya sekitar 2 % siswa yang memiliki kemampuan lebih di atas rata-rata lainnya. Homogenitas kognitif siswa ini cukup memudahkan pembelajaran karena kemampuan siswa yang tidak terlampau berbeda. Sehingga keragaman metode tidak begitu banyak dilakukan.131 Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab pada umumnya dan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan pada khususnya, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Madrasah Aliyah Negeri Delapan yaitu memperbaharui komponen pembelajaran, lingkungan berbahasa dan membangkitkan motivasi dan minat peserta didik. Ketiganya dapat dijabarkan sebagai berikut: A. Pembaharuan Komponen Pembelajaran. Dalam upaya memperbaharui komponen pembelajaran ada beberapa kendala yang dihadapi Madrasah Aliyah Negeri Delapan dalam proses pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab. Kendala-kendala tersebut adalah: 1. masalah yang berkenaan dengan kurikulum; Masalah-masalah yang berkaitan dengan kurikulum adalah antara materi dan waktu kurang seimbang. Materi yang harus ditempuh banyak, namun terbatasnya waktu untuk pelajaran bahasa Arab terhadap peserta didik,
130
Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non Akademik”, (Jakarta, MAN DELAPAN, 2006) 131 Untuk membangkitkan daya kompetensi mereka, penulis memberikan aktivitas berkelompok, aktivitas mandiri dan aktivitas berkerja sama. Aktivitas berkelompok ditujukan membangkitkan kemampuan afektif siswa, aktivitas mandiri untuk memacu kemampuan kognitifnya dan aktivitas berkerja sama ditujukan untuk memicu adrenalin psikomotorik mereka
116
sehingga tujuan atau target pembelajaran yang ingin dicapai dalam kurikulum belum dapat terwujud. 2. masalah yang berkaitan dengan tenaga pendidik dan kependidikan; Sedang permasalahan yang berhubungan dengan tenaga kependidikan termasuk di dalamnya tenaga pendidik -hal ini guru- adalah berdasarkan jumlah guru sudah mencukupi, namun secara umum dari sisi kualifikasi dan kompetensi, guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan terbatas. Dengan ungkapan lain, bahwa terdapat guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi seimbang, ada juga yang mempunyai salah satu diantara kualifikasi dan kompetensi. Selain itu juga, guru belum memahami persis karakteristik dari masingmasing peserta didik, sehingga tanpa disadarinya ketika melakukan kegiatan pembelajaran seringkali melakukan kesalahan dengan berfikir bahwa hanya dialah seorang yang mampu menyampaikan materi. Begitu halnya dengan tenaga kependidikan selain guru. Padahal peserta didik menginginkan suasana yang harmonis, nyaman dan menyenangkan baik dalam lingkungan kelas maupun di luar kelas. 3. masalah yang berkaitan dengan sarana prasarana; Meskipun Madrasah Aliyah Negeri Delapan mempunyai fasilitas lengkap sepertinya tersedianya laboratorium bahasa, namun mengenai alatalat peraga untuk digunakan dalam membantu proses pembelajaran sangat terbatas. Sehingga dengan keterbatasannya itu dapat menghambat dan mengurangi kualitas pembelajaran bahasa Arab. 4. masalah yang berkaitan dengan peserta didik; Adapun yang berhubungan dengan masalah peserta didik adalah adanya perbedaan yang beragam dari tingkat kecerdasan, baik intelektual ataupun
117
emosional. Selain itu juga perbedaan minat dan motivasi peserta didik dan latar belakang pendidikan yang beragam. 5. masalah yang berhubungan dengan biaya; Setiap kegiatan tanpa adanya pembiayaan tidak akan berhasil. Oleh karena, pembiayaan selalu menjadi faktor utama. Termasuk biaya di Madrasah Aliyah Negeri Delapan yang tanpa unsur kesengajaan mendengar komentar peserta didik tentang biaya yang belum terjangkau oleh peserta didik yang mempunyai latar belakang ekonomi dibawah rata-rata. Hal ini terlihat dari pekerjaan yang ditekuni oleh orangtua peserta didik yang beragam. 6. masalah yang berkenaan dengan lingkungan. Lingkungan pendidikan Sedang masalah yang berkaitan dengan lingkungan adalah terbatasnya kesempatan peserta didik dalam berinteraksi berbahasa Arab untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dari berbagai ragam permasalahan yang muncul, beberapa tahun belakangan, ada upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi dari permasalahan dan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa asing termasuk bahasa Arab di Indonesia dari pihak-pihak terkait. Upaya-upaya tersebut adalah dengan cara memperbaharui kurikulum dengan menerapkan belajar tuntas, pengembangan pembelajaran kontekstual, penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan materi pembelajaran, pelatihan guru, dan lain sebagainya. Upayaupaya tersebut dijabarkan sebagai berikut:132 1. Pembaharuan kurikulum
132
Timur, 2008
Penelitian di Madrasah Aliyah Negeri 8 pada tanggal 26 Mei 2008, Cakung; Jakarta
118
Kurikulum bersifat dinamis. Kurikulum akan berkembang dan berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itulah masyarakat yang tumbuh berkembang di zamannya juga akan berbeda dengan perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu, kurikulum sebaiknya dirancang dan disusun berlandaskan perkembangan sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebab itu, kurikulum yang saat ini sedang dikembangkan133 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik saat ini. Kurikulum berbasis kompetensi ini digunakan di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia termasuk Madrasah Aliyah Negeri Delapan. Dalam kurikulum berbasis kompetensi pengalokasian waktu yang sedikit dengan kepadatan materi, maka Madrasah Aliyah Negeri Delapan menyiasati akan hal itu dengan memilih materi yang esensial untuk memenuhi target kurikulum, dan memberikan tugas kelompok untuk meningkatkan materi yang tidak dapat disampaikan dalam bentuk tatap muka. Selain itu juga mengintegrasikan pokok bahasan yang hampir sama serta menambah jam mata pelajaran tertentu yang salah satunya memanbah jam pelajaran bahasa Arab di kelas X, adanya penambahan waktu untuk bahasa Arab dengan tujuan untuk 133
Ada empat bentuk kurikulum yang menurut Nunan dapat dikembangkan berdasarkan tingkat perkembangan, yaitu; 1) kurikulum yang tersentralisasi secara penuh (a fully centralised curriculum), yaitu kurikulum yang dikembangkan secara terpusat, kemudian disebarkan ke daerah. Pembelajar dapat mengikuti kelas-kelas bahasa tertentu sesuai dengan tingkat kompetensinya yang telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut. 2) kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum), yaitu kurikulum yang dikembangkan, baik sebagian atau seluruhnya, dalam lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga ia lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat pembelajar. 3) kurikulum yang berpusat pada subjek (subject-centred curriculum), yaitu kurikulum yang memandang bahwa pembelajar bahasa hendaknya menguasai body of knowledge bahasa. 4) kurikulum yang berpusat pada pembelajar (learner-centered curriculum), yaitu kurikulum yang memandang perolehan bahasa sebagai suatu proses pemerolehan berbagai keterampilan, bukan sebagai a body of knowledge. ...., Pembelajaran Bahasa Asing, diakses tanggal 08 Mei 2008
119
pendalaman dan pengayaan dalam memberi peluang kepada peserta didik dan guru untuk mengungkapkan gagasan, pikiran dan pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari.134 Oleh karena itu, dalam kurikulum bahasa dengan pendekatan apapun sebaiknya
mempertimbangkan
minat,
kebutuhan
dan
kompetensi
berlandaskan tuntutan perkembangan zaman saat ini.135 Pertimbanganpertimbangan tersebut adalah pertama, keterampilan berinteraksi sosial. Pertimbangan ini ditujukan agar peserta didik dapat berkomunikasi secara lisan atau tertulis dengan masyarakat dari latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda khususnya latar belakang dan budaya Timur Tengah. Pertimbangan kedua adalah keterampilan mengakses informasi. Pertimbangan ini diartikan supaya peserta didik memiliki kemahiran dalam memperoleh informasi dari berbagai sumber dan media serta mampu menggunakan bahasa Arab dengan baik. Pertimbangan ketiga adalah keterampilan presentasi, sehingga peserta didik dapat mempunyai kemahiran mempresentasikan segala informasi dan gagasan secara sistematis dengan menggunakan bahasa Asing termasuk bahasa Arab. Adapaun pertimbangan keempat adalah apresiasi sastra dengan artian peserta didik dapat mengembangkan kepekaannya terhadap nilai-nilai budaya Timur Tengah yang terkandung dalam karya sastra. Sedangkan pertimbangan terakhir adalah mengenai pertimbangan bahasa dan budaya
134
Dalam pengembangan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu : administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guruguru dan orang tua murid, serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah : administrator, guru dan orang tua murid, Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, ( Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1997), h. 155 135 ..., Pembelajaran Bahasa Asing, diakses tanggal 08 Mei 2008
120
untuk bertujuan agar peserta didik mengapresiasi karakteristik antarbahasa dan perbedaannya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut seiring dengan National Standard in Foreign Language Education yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan asing peserta didik diharapkan memiliki kemahiran berkomunikasi dengan bangsa lain, mengetahui dan memahami budaya yang terkandung dalam bahasa asing, menghubungkan pengetahuan bahasa dengan disiplin ilmu lainnya yang relevan, membandingkan dan mengkontraskan bahasa yang dipelajari dengan bahasa lain, dan merangkum keempat keterampilan tersebut, sehingga peserta didik merasa nyaman menjadi warga dunia. Karena itu, pembaharuan kurikulum dalam pendidikan bahasa perlu dicanangkan dengan berbasis pada standar tertentu. Harapan dalam perumusan standar ini peserta didik dari daerah mana saja dapat melakukannya di berbagai keterampilan berbahasa termasuk keterampilan dalam berbudaya. 2. Meningkatkan kualitas dan kompetensi guru Upaya pengatasan permasalahan dalam tenaga kependidikan terutama tenaga pendidik adalah dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi guru. Guru adalah orang yang sangat berpengaruh dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh sebab itu, guru harus dapat mempengaruhi peserta didik untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kompetensi adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan seseorang yang berhubungan dengan tugas tertentu. Kompetensi guru adalah keseluruhan pengetahuan, sikap dan keterampilan
121
yang harus dimiliki oleh seseorang yang dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa seseorang itu adalah guru. 136 Oleh karena dalam meningkatkan kualitas guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan, Madrasah melakukan upaya dengan cara mengikutsertakan guru yang belum memiliki kualifikasi guru dalam penataran atau pelatihan guru yang diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait dan Madrasah juga memberikan peluang atau kesempatan kuliah kepada guru yang memerlukan kualifikasi. Sedang meningkatkan kompetensi guru adalah dengan cara memotivasi guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan guru dan mengaktifkan guru untuk mengikuti kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), baik yang diselenggarakan oleh sanggar-sanggar MGMP tingkat Kanwil Depag DKI maupun MGMP di SMU atau Dikmenti DKI. 3. Menyediakan sarana dan prasarana Dalam rangka melengkapi ruang sarana dan prasarana, Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta meminta bantuan kepada instansi yang berwenang untuk melengkapi alat-alat laboratorium dan meminta bantuan kepada orang 136
Menurut Sri Esti bahwa guru yang terlatih dengan baik adalah akan mempersiapkan empat kompetensi untuk tercapainya hasil belajar yang diharapkan. Empat kompetensi itu adalah 1) memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia; 2) menunjukkan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain dengan tulus; 3) menguasai mata pelajaran yang diajarkan dan 4) mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa belajar. Lih. Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta;Raja Grafindo, 2006), h. 17-23. ada tugas guru lainnya yang harus terdapat dalam diri seorang guru yang menurut Stevick mencakup tiga hal yaitu mengembangkan kompetensi komunikasi, mengembangkan kompetensi linguistik dan mengembangkan kompetensi personal. Yang berhubungan dengan kompetensi komunikasi adalah mengacu kepada upaya agar peserta didik berani dalam berkomunikasi dengan temannya dan lingkungan yang terdapat di sekitar peserta didik. Kompetensi komunikasi dan linguistik bersama-sama akan memperkuat kemandirian peserta didik sebagai makhluk yang berkembang. Keberanian berkomunikasi dapat menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa peserta didik merupakan pribadi yang berarti. Oleh karena kompetensi personalnya telah berkembang sedemikian rupa dengan melalui interaksi antara guru, peserta didik dan lingkungan sekitarnya, maka keadaan tertentu dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang dihadapinya. Dikutip dari Mansur Pateda, Linguistik Terapan …h. 38
122
tua /wali murid melalui pengurus BP3/Majelis Madrasah untuk melengkapi alat-alat laboratorium secara bertahap. Demikian cara mengatasi kekurangan alat-alat laboratorium termasuk laboratorium bahasa. Sedang untuk memenuhi alat Bantu mengajar atau media pembelajaran, Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta melakukan upaya dengan meminta bantuan kepada instansi terkait, kerjasama dengan lembaga-lembaga tertentu, swadaya orang tua secara bertahap, mengaktifkan guru untuk membuat alat-alat pembelajaran. Adapun dalam pelengkapan buku diupayakan melalui permintaan bukubuku paket kepada Depag Pusat dan Depdiknas, swadaya pembelian buku dari dana BP3 dan rutin, pengumpulan buku referensi dari peserta didik yang sudah tamat. Selain dari upaya-upaya yang dilakukan Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta tersebut, guru bahasa Arab pun berusaha untuk meningkatkan kualitas dan berkompeten dalam proses pembelajaran dengan cara menyediakan CD interaktif pembelajaran bahasa Arab, menyediakan buku referensi berbahasa Arab di perpustakaan sekolah, dan menyediakan kaset pita pembelajaran bahasa Arab.137 Hal ini terbukti dengan adanya beberapa sarana yang terdapat di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta untuk membantu keberhasilan proses pembelajaran. Sarana-sarana tersebut adalah: Pengadaan sarana sebagai pendukung dalam proses pembelajaran yang terdiri atas ruang kelas atau belajar, ruang laboratorium, ruang perpustakaan, ruang keterampilan dan kamar mandi, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha, dan masjid. Ruang kelas atau ruang belajar sebanyak 12 buah dengan luas 672 m2, yang masing-masing ruangan dilengkapi dengan whiteboard, seperangkat 137
penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dengan mewancarai guru serta melihat langsung di objek
123
meja belajar, seperangkat meja guru, dan lemari loker peserta didik, sedang ruang laboratorium terdiri atas sebuah ruang laboratorium IPA dengan luas 62 m2 dan ruang laboratorium komputer serta ruang laboratorium bahasa dengan luas masing-masing ruangan 56 m2. dari masing-masing ruangan memiliki alat-alat sendiri, seperti laboratorium IPA berisi seperangkat alat-alat IPA, begitu juga dengan laboratorium computer dan bahasa. Adapun ruang perpustakaan yang terletak di dekat pintu gerbang memiliki luas bangunan 62 m2, dan terdapat ruang keterampilan untuk melakukan praktek bagi peserta didik program persiapan hidup mandiri ada tiga ruangan yaitu ruang keterampilan busana, keterampilan kayu, dan keterampilan otomotif dengan luas dari masing-masing ruangan 294 m2 . Sedangkan ruang kepala sekolah mempunyai ukuran bangunan seluas 35 m2, ruang guru dengan luas 72 m2, dan masjid memiliki luas bangunan kurang lebih 120 m2 . 138 4. Pengembangan kegiatan Pembelajaran Mengatasi permasalahan mengenai problematika yang dihadapi peserta didik
dengan
melalui
pengembangan
kegiatan
pembelajaran
yang
dilaksanakan guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta termasuk guru bahasa Arab. Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental peserta didik melalui interaksi antar peserta didik, guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka mencapai kompetensi dasar. Pengertian pengalaman belajar di sini adalah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran bervariatif yang berpusat
138
Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non Akademik”, (Jakarta, MAN DELAPAN, 2006)
124
terhadap peserta didik dan mencakup kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Menurut Moore (1999), ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran. Langkah-langkah tersebut adalah:139 1) memahami situasi dalam belajar, 2) merencanakan pelajaran, 3) merencanakan tugas-tugas, 4) melaksanakan kegiatan belajar mengajar, 5) mengevaluasi kegiatan belajar mengajar, dan 6) menindaklanjuti. Selanjutnya akan diuraikan dari beberapa langkah terebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memahami suasana belajar peserta didik. Langkah ini mencakup pemilihan kurikulum yang akan diajarkan kepada peserta didik. Proses pemilihannnya harus dilandasi dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat sekitar secara khusus dan masyarakat pada umumnya, serta subyek pelajaran. Proses pemilihan kurikulum yang terdapat di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta, yakni kurikulum yang tertulis di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta merupakan kebutuhan peserta didik dan masyarakat sekitarnya,140 yang menginginkan materi pelajaran berdasarkan suatu keterampilan atau kecakapan untuk menunjang di dunia kerja. Dengan pemahaman seperti ini, maka dalam pembagian kelas X pun terpecah menjadi kelas yang isi peserta didiknya berminat terhadap keterampilan, yang sebutan dalam hal ini merupakan program persiapan hidup mandiri dan kelas yang isi peserta didiknya berminat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
139
M. Sobry Sutikno, Pembelajaran …, h. 40 Konsep kurikulum berkembang sejalan dalam perkembangan teori dan praktik pendidikan,juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya, Prof.Dr.Nana Syaodih Sukmadinata , Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek,PT Remaja Rosdakarya Bandung,1997, H 4 140
125
tinggi, yang sebutan dalam kelompok ini adalah program pengembangan potensi akademik. Dari pembagian kelas tersebut, tampak jelas perbedaan karakteristik peserta didik dalam motivasi belajar mereka umumnya, motivasi mempelajari bahasa Arab pada khususnya.141 Kelas yang pertama, dalam belajar memiliki motivasi yang kurang, halnya motivasi dalam mempelajari bahasa Arab yang pada dasarnya merupakan mata pelajaran dari aspek keterampilan berbahasa Asing. Penguasaan bahasa Asing untuk saat ini dibutuhkan dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih. Penguasaan bahasa Asing bukan hanya bahasa Inggris, bahasa Arab pun perlu dikuasai karena merupakan bahasa dunia.142 Namun, dalam kelompok ini kurang memperhatikan betapa pentingnya mempelajari bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam, yang ada dalam pikiran peserta didik dalam kelompok ini adalah dengan memiliki dan menguasai sebuah keterampilan sudah cukup untuk pegangan dalam mencari kerja nantinya. Sedang dalam kelompok kelas yang kedua, memiliki motivasi yang tinggi dalam hal belajar termasuk dalam mempelajari bahasa Arab. Karena mereka menyadari betul akan pentingnya bahasa Arab yang dijadikan sebagai bahasa Alquran. Selain itu juga, mereka menyatakan bahwa dengan 141
Untuk peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lambat dengan materi yang sama, diberikan tambahan waktu sehingga mereka mampu mencapai tujuan pembelajaran. Lih. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta; Bumi Aksara, 2001), hal. 132-133 142 Secara historis, terdapat kesan bahwa Arab sama dengan Islam, padahal bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang muslim, melainkan juga bahasa yang digunakan nonmuslim.seperti Yahudi dan Nasrani, yakni kaum minoritas yang hidup di Jazirah Arabia. Bahkan orang-orang Kristen Libanon yang merupakan keturunan langsung Bani Ghassân sudah terKristenkan lama sejak sebelum Rasululllah Saw, yaitu sejak mereka menjadi satelit kerajaan Romawi. Selain itu, pada masa ekspansi pasca wafatnya Rasulullah, sebagian besar bangsa-bangsa mengalami Arabisasi, yang di zaman modern ini menghasilkan suatu kesatuan budaya dan kawasan sosial politik Liga Arab. Lih. Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya Beberapa Pokok Pikiran, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), kata pengantar, hal. xiii-xiv
126
mempelajari bahasa Arab, dapat memahami ilmu-ilmu keagamaan yang bertuliskan bahasa Arab. Dengan pernyataan tersebut, mereka menyadari bahwa penguasaan bahasa asing yang salah satunya penguasaan bahasa Arab bagi mereka sangat penting karena dengan menguasai dari salah satu bahasa Asing itu, mereka dapat berinteraksi dan memahami orang lain yang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. 143 Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta, sebelum menyusun kegiatan belajar mengajar, guru-guru halnya dengan guru bahasa Arab telah memahami betul karakteristik dari para peserta didik yang melalui penyaringan tes awal. Dengan pemahaman seperti itu, maka dalam proses pembelajaran nantinya akan dapat mengatasi berbagai kendala termasuk motivasi dan minat peserta didik. Dan dengan pengklasifikasian kelas tersebut, guru akan dengan mudah untuk merumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan melihat latar belakang karakteristik dan keinginan peserta didik setelah menyelesaikan studinya di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta. Karena dengan demikian, kegiatan pembelajaran bahasa Arab akan berjalan dengan efektif dan efisien. Setelah rumusan tujuan telah ditentukan, langkah kedua dalam melakukan kegiatan yang paling penting dalam merencanakan pelajaran adalah memilih materi yang tepat untuk digunakan berdasarkan pengklasifian kelas tersebut dengan cara menstruktur beberapa keputusan yang telah 143
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Mayor didunia yang dituturkan oleh lebih dari 200.000.000 umat manusia (Ghazzwi : 1992). Bahasa ini digunakan secara resmi oleh kurang 20 negara .Dan karena ia merupakan bahasa kitab suci dan tuntunan agama umat islam sedunia,maka tentu saja ia merupakan bahasa yang paling besar signifikasinya bagi ratusan juta muslim sedunia, baik yang berkebangsaan arab maupun bukan. Akawi , Mahmud Jad.1987 , Almuhasanah al-Yawmiyyah bi al-Lugah A-Arabiyyah
127
ditempuh, yakni tentang peserta didik secara perorangan, sasaran-sasaran, dan teknik pembelajaran dan didokumentasikan, sehingga dapat dipergunakan untuk melanjutkan pembelajaran berikutnya. 144 Dalam merencanakan pelajaran guru bahasa Arab Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta menentukan dan merencanakan materi pembelajaran berdasarkan dengan kebutuhan peserta didik, sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan teknik pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Dalam merencanakan tugas, guru bahasa Arab telah mempersiapkan tugas untuk diberikan atau dilakukan peserta didik berdasarkan materi dari keterampilan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, pencapaian keterampilan membaca, maka dalam merencanakan tugas, guru mempersiapkannya yang berkenaan dengan aspek-aspek membaca seperti dalam intonasi, pemahaman teks dan lain sebagainya, dengan melalui peserta didik untuk membacakan teks bacaan secara individu dan berkelompok. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru membimbing peserta didik melalui kegiatan yang terprogram dan berupaya memenuhi kondisi peserta didik, teori dan teknik pembelajaran yang tepat. 145 Guru memberikan atau mengadakan penilaian dengan menguji peserta didik dalam menguasai dan memahami dari sebuah materi dalam cakupan kompetensi yang hendak dicapai. 146 144
Pentingnya penggunaan media dan sarana penunjang bertitik tolak dari teori yang mengatakan bahwa totalitas presentase banyaknya ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh seseorang terbanyak dan tertinggi melalui indra lihat dan indra dengar serta indra lainnya, Soenjoyo Dirjo Soemarto, h. 10-11 145 Guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar para peserta didik dalam bentuk kegiatan belajar yang sedemikian rupa dapat menghasilkan pribadi yang mandiri,pelajar yang efektif,pekerja yang produktif dan anggota masyaratak yang baik, Prof Dr.H.Mohamad Surya, Psikilogi Pembelajaran Dan pengajaran ( Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004 ) h 55 146 Sebagai penilai belajar siswa,guru dituntut untuk berperan secara terus menerus mengikuti hasil-hasil belajar yang dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu, Prof Dr.H.Mohamad Surya, Psikilogi Pembelajaran dan Pengajaran ( Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004 ) h 55
128
Langkah
yang terakhir dilakukan adalah
menindaklanjuti atau
memfollow-up terhadap peserta didik yang belum sampai kepada pemahaman dari sebuah materi itu. Hal ini dilakukan, karena belajar pada hakikatnya sebuah kegiatan yang mengharapkan adanya perubahan perilaku dari peserta didik. Perubahan itu dapat timbul kalau ada usaha dari keterlibatan peserta didik itu sendiri. Maka dari itu, jika hasil evaluasi pembelajaran membuktikan adanya peserta didik yang belum mencapai target, perlu ada pelaksanaan program tindak lanjut. Dari uraian-uraian tersebut dapat digarisbawahi bahwa ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran. Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Tahapan Persiapan Tahap persiapan atau dapat dikatakan juga sebagai tahap perencanaan adalah tahap awal yang harus dijalani guru di setiap kegiatan pembelajaran. Pada tahap ini guru mempersiapkan segala sesuatunya agar kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan guru dapat berjalan secara efektif dan efisien dan membuat peserta didik ikut aktif dalam aktivitas belajar. Kegiatan pembelajaran akan dikatakan efektif bila proses belajar mengajar yang menggunakan bahan pelajaran sesuai dengan waktu yang tersedia. Sedangkan yang dimaksud proses belajar mengajar yang efisien adalah proses belajar mengajar yang menggunakan semua bahan pelajaran dapat dipahami anak didik dan dikuasai. Dalam tahapan persiapan, ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh guru bahasa Arab, yaitu membuat silabus,147 menentukan tujuan 147
Istilah silabus dalam Kurikukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil. Silabus mencakup beberapa komponen yang meliputi target pencapaian peserta didik terhadap indikator yang dikembangkan dari kompetensi dasar, cara pengembangan
129
pembelajaran -istilah dalam KTSP adalah mengembangkan indikator pencapaian, yakni penjabaran dari kompetensi dasar- yang dituangkan dalam
kurikulum
yang
kemudian
dibuat
rencana
pelaksanaan
pembelajaran, memilih model dan alat bantu yang relevan dengan materi yang akan disampaikan, menentukan cara penilaian atau evaluasi yang tepat untuk mengetahui pemahaman dan kecakapan peserta didik dan menentukan buku sumber utama dan juga penunjang serta membuat ringkasan informasi atau handout untuk dibagikan kepada peserta didik sebagai langkah feedback. Kegiatan ini harus dilaksanakan karena segala aktifitas akan berjalan dengan lancar dan efektif apabila sebelum pelaksanaan kegiatan termasuk kegiatan pembelajaran disusun dan dirancang secara sistematis. 2. Tahapan Pelaksanaan Dalam tahapan pelaksanaan, langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran -istilah dalam KTSPdengan tujuan untuk mengurutkan sistem pembelajaran yang sistematis. Hal ini yang dilakukan oleh semua guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta termasuk guru bahasa Arab. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru bahasa Arab adalah dengan memfokuskan pada salah satu aspek kebahasaan atau standar kompetensi yang ingin dicapai. Dari salah satu aspek tersebut dapat menjadi beberapa pertemuan, karena dari satu standar kompetensi
kompetensi dasar dan hasil dari target pencapaian kompetensi dasar. Pengembangan silabus dilakukan dengan tujuan untuk membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam menjabarkan kompetensi dasar menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran, dan yang menjadi sasaran pengembangan silabus adalah para guru, KGMP di sekolah ataupun MGMP dan dinas pendidikan. Abdul Majid, Perencanaan …., h. 39. dan lihat lebih jelas di Nurhadi, Kurikulum 2004; Pertanyaan dan Jawaban, (Jakarta; Grasindo, 2004), h. 141
130
terdapat beberapa kompetensi dasar dan dari kompetensi dasar itu dikembangkan menjadi beberapa indikator yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil penelitian: Aspek
Menyimak
dengan
standar
kompetensi;
“memahami
informasi lisan berbentuk paparan atau dialog tentang hobi dan pekerjaan”.
Dari
standar
kompetensi
tersebut
terdapat
beberapa
kompetensi dasar. Kompetensi dasar tersebut adalah peserta didik mengidentifikasi bunyi, ujaran, (kata, frasa, atau kalimat) dalam suatu konteks dengan tepat. Kompetensi dasar kedua adalah menangkap makna dan gagasan atau ide dan berbagai bentuk wacana lisan secara tepat.148 Dari dua kompetensi dasar dikembangkan menjadi beberapa indikator, seperti peserta didik menyimak dengan seksama sesuai dengan pelafalan dan intonasi yang baik dan benar, peserta didik mengungkapkan kembali isi materi yang didengar dengan menggunakan bahasa sendiri, dan peserta didik melakukan tugas dengan menyimpulkan isi materi simakan dengan menggunakan bahasa Arab di depan teman-teman sekelasnya. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru bahasa Arab adalah dengan memanfaatkan laboratorium untuk melatih peserta didik dalam aspek mendengarkan dengan menyimak materi yang disajikan melalui kaset atau video. Setelah menyimak, peserta didik ditugaskan untuk mengungkapkan kembali isi materi yang dilakukan dengan cara berkelompok dan penugasan untuk masing-masing peserta didik. Kemudian setelah pelaksanaan itu selesai, guru merangsang peserta didik
148
Depag, Kurikulum Bahasa Arab …, h.
131
untuk mengajukan pertanyaan, sehingga muncul tanya jawab yang membuat suasana kelas ramai dalam artian positif.149 Begitupun dengan langkah yang dilakukan dalam aspek-aspek kebahasaan lainnya. Seperti, ketika akan mengajarkan standar kompetensi membaca, maka yang ditekankan adalah aspek-aspek bacaan yang benar dengan pelaksanaan pembelajarannya peserta didik membaca secara bergantian, setelah semua telah selesai membaca, baru kemudian guru membaca ulang materi bacaan. Peserta didik menyimak bacaan guru, kemudian mengamati bacaan dan berfikir akan kesalahan yang telah dilakukan dalam kegiatan membaca. Setelah mengulang bacaan, peserta didik ditugaskan untuk mencoba memahami isi atau maksud teks bacaan dengan cara menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penilaian yang dilakukan guru adalah dengan mengamati pekerjaan peserta didik dan jika ditemui peserta didik yang terlihat lambat dan mendapat nilai di bawah standar, maka guru menuntaskan materi tersebut terhadap siswa yang lambat tanpa mencampurkan materi-materi atau kecakapan-kecakapan lainnya. Sedangkan langkah pembelajaran dalam aspek berbicara, hampir sama dengan aspek membaca, namun dalam aspek ini, peserta didik dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok untuk mendemonstrasikan materi hiwâr secara berpasangan di depan teman kelompok yang lain berdasarkan tugas yang diberikannya.
149
Menurut sejarahnya, media pengajaran pertama kalinya disebut visual-education (alat peraga pandang),kemudian menjadi audio visual aids (bahan pengajaran),seterusnya berkembang menjadi audio-visual communication (komunikasi pandang dengar),dan selanjutnya berubah menjadi educational technology ( teknologi pendidikan) atau teknologi pengajaran. Azhar Arsyad, Bahasa Arab ..., h.75
132
Adapun desain pembelajaran materi qawâ’id, peserta didik diberikan beberapa contoh gramatika berdasarkan qawâ’id yang akan disajikan, seperti pengenalan fi’il, isim dan huruf. Guru memberikan beberapa contoh kalimat yang berkenaan dengan fi’il, isim dan huruf. Dari contohcontoh tersebut, peserta didik diminta untuk mengamati dan menganalisis, karena dengan pengamatan dan analisis, mereka dapat menemukan jawaban dari contoh-contoh tersebut dengan bantuan guru yang memberi rangsangan
dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan.
Setelah
menemukan dan memahami materi, mereka ditugaskan untuk mencari kata-kata yang terdiri dari fi’il, isim dan huruf yang terdapat dalam materi qirâah maupun berdasarkan asumsi mereka sendiri.150 Langkah pembelajaran insya’, peserta didik diberikan tugas untuk mengarang dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagai contoh, pemberian tugas dengan membuat teks pidato bahasa Arab yang kemudian dibacakan di hadapan teman kelas lainnya dengan tema yang berbeda, sesuai dengan keinginan peserta didik sendiri. Dengan pemberian tugas tersebut bertujuan untuk melatih peserta didik terampil dalam menulis. Dari langkah-langkah pembelajaran tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran, guru bahasa Arab di Madrasah Aliyah Negeri Delapan memberikan sikap demokratis terhadap peserta didik dengan selalu melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, dan sistem pembelajarannya berdasarkan konteks, sehingga peserta didik tidak merasakan kejenuhan ataupun kebosanan. Hal ini terbukti berdasarkan jawaban dari angket yang dibagikan kepada siswa dengan 150
Hal ini berdasarkan hasil penelitian di Madrasah Aliyah Negeri Delapan. Hal ini juga dipertegas dengan ungkapan Mansur Pateda bahwasanya sebagai guru bahasa bukan mengajarkan teori bahasa melainkan mengajarkan peserta didik agar tuntas berbahasa dengan bahasa yang diajarkan. Lih. Mansur Pateda, Linguistik Terapan, …., h. 36
133
adanya
beberapa
pernyataan
yang
menyatakan
bahwa
dalam
menyampaikan materi, guru bahasa Arab menggunakan teknik dan metode yang sangat bervariatif, sehingga suasana pembelajaran di kelas terasa sangat menyenangkan dan tidak membosankan bagi siswa. Selain daripada langkah-langkah pembelajaran tersebut, proses pelaksanaan pembelajaran di Madrasah Aliyah Negeri Delapan juga menggunakan sistem team teaching151 untuk mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran MIPA, Agama dan Bahasa termasuk mata pelajaran bahasa Arab. Team teaching terdiri atas dua sampai tiga guru bidang studi dan sekaligus memasuki kelas dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan atau hambatan. Team teaching ini dapat dinyatakan untuk memberikan contoh cara kerja sama yang baik dalam berkelompok dan dinyatakan pula bahwa dalam kehidupan, kita tidak hanya seorang diri tetapi masih ada orang lain untuk saling mengisi. Dalam kegiatan team teaching, para team guru harus menyusun program secara bersama-sama, dan mempunyai pendapat yang berbeda dari tiap-tiap anggota, serta tugas diberikan di setiap topik supaya para siswa dapat dibimbing secara terarah. Dan berdasarkan hasil penelitian juga menyatakan bahwa guru bahasa Arab di Madrasah Aliyah Negeri Delapan menurut para peserta didik selalu membantu mereka ketika anak didiknya mengalami kesulitan dan hambatan dalam proses pembelajaran. Selain itu juga mereka selalu bersikap riang gembira dengan memiliki humor yang tinggi untuk 151
Team teaching adalah sebuah pelaksanaan pembelajaran bersama yang dilakukan oleh beberapa orang. Dengan kata lain, team teaching merupakan cara menyampaikan materi pelajaran yang dilakukan oleh dua orang atau lebih kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Lih. (cari bukunya)
134
menyelingi ketika kegiatan pembelajaran berlangsung
sehingga dapat
mengurangi kejenuhan anak didiknya dan peserta didik dapat merasakan kedamaian dalam proses pembelajaran karena guru bahasa Arab tersebut selalu menganggap dirinya merupakan bagian dari salah satu anggota di kelas. Dan guru di Madrasah Aliyah Negeri Delapan juga memahami karakter dari peserta didik, oleh karena itu guru selalu memberi motivasi di sela-sela proses pembelajaran, sehingga menimbulkan hasrat untuk belajar
dan
membuat
proses
pembelajaran
berlangsung
menjadi
menyenangkan. Meskipun guru bahasa Arab memiliki humor yang tinggi, ia juga tegas, dapat mengendalikan tugas dengan baik dan menimbulkan respon dari peserta didik.152 Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan William dan Burden yang menyatakan bahwa ada beberapa kiat untuk menciptakan suasana kelas yang efektif. Kiat-kiat tersebut adalah:153 1. Menciptakan suasana ruangan kelas yang nyaman dan menyenangkan; 2. Mengendalikan kelas ke arah pembelajaran; 3. Menyajikan kegiatan yang menarik dan dapat memotivasi siswa; 4. Menyediakan suasana yang membuat siswa memahami materi yang diajarkan; 5. Menjelaskan tujuan yang hendak dicapai siswa secara terperinci; 6. Membantu siswa dalam menghadapi berbagai kesulitan; 7. Mendorong siswa untuk memunculkan ide brilliannya; 8. Mengembangkan sosialisme dalam berinteraksi dengan siswa lain;
152
Hal ini dipertegas pula dengan pernyataan Witherington yang menyatakan bahwa guru harus memiliki sifat-sifat yang baik seperti tidak kasar, marah-marah, tidak suka mencela dan sarkastis. Selain itu juga harus dapat membuat anak memahami materi pelajaran dan mempunyai kepribadian yang menarik dan menyenangkan. Lih. H. C. Witherington, Teknik-teknik ..., h. 133 153 Dikutip dari …, Pembelajaran Bahasa Asing,
135
9. Memperlihatkan antusiasme; 10. Memvariasikan kegiatan selama kegiatan pembelajaran. Dengan demikian di Madrasah Aliyah Negeri Delapan dapat dinyatakan guru menerapkan model kurikulum yang berbasis pada standar kompetensi dengan melihat bahwa dalam kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik dan memfokuskan pada penguasaan peserta didiknya terhadap sejumlah kompetensi yang ingin dicapai serta dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan. 3. Tahapan Penilaian atau Evaluasi Sebagaimana diketahui bersama bahwa evaluasi adalah akhir dari setiap kegiatan atau aktivitas termasuk kegiatan pembelajaran dengan bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai tingkat kecakapan peserta didik dalam mencapai target atau tujuan pembelajaran sehingga dapat melakukan program tindak lanjut. Berkenaan dengan evaluasi yang merupakan bagian dari setiap proses pembelajaran, tidak hanya berupa keberhasilan melainkan mencakup semua aspek proses belajar mengajar. Aspek proses pembelajaran yang mencakup kurikulum, metode, materi, pendekatan, fasilitas dan administrasi madrasah. Dewasa ini paradigma pendidikan di Indonesia sudah semakin berkembang dari pendekatan tradisional dimana siswa hanyalah sebagai objek pendidikan, kurang aktif di dalam prosesnya dan gurulah yang menjadi subjek utama dalam pembelajaran, menjadi pendekatan yang lebih modern yang berpusat kepada siswa. Dalam pendekatan ini, siswa aktif merekontruksi pengetahuan yang dimilikinya sedangkan guru hanyalah
sebagai
fasilitator
untuk
mengembangkan
kemampuan.
136
Di dalam pendekatan tradisional, pendidikan ditekankan pada penguasaan dan manipulasi isi. Para siswa hanya menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal tempat, dan kejadian. Dimana mereka memperlajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain, mereka juga hanya dilatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung.154 Siswa seolah hanya menjadi cawan penerima ilmu dari pihak luar sehingga model penilaian yang dilakukan terkesan sangat sederhana dan hanya menekankan pada aspek-aspek yang dangkal dari kognitif. Sekarang para pakar pendidikan, orang tua, ataupun masyarakat secara luas mulai menyadari bahwa pendidikan tidaklah cukup hanya dengan model tradisional seperti itu. Mereka mulai mempertanyakan tentang manfaat sekolah terhadap siswa, apalah artinya ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah jika pada akhirnya tidak bisa diaplikasikan ke dalam dunia nyata atau ketika siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang membutuhkan keterampilan tertentu untuk menyelesaikan masalah. Jika siswa hanya tau dan hafal, namun tidak bisa mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan untuk menyelesaikan masalah, maka fungsi pengetahuan belumlah tercapai sepenuhnya. Oleh karena itulah, paradigma pendidikan pada akhirnya semakin bergeser kepada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap maksud dalam materi akademis yang mereka terima, mampu mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya serta mampu mengaplikasikannya ke dalam dunia nyata.
154
Lihat Johnson, Contextual teaching and learning,
137
Di dalam proses belajar belajar yang dilakukan di sekolah-sekolah, tentu saja tidaklah terlepas dari adanya evaluasi hasil belajar. Dimana, Evaluasi menurut Tyler155 merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan tercapai. Dalam arti luas evaluasi diartikan sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang tepat untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Oleh karena itu, evaluasi sangat dibutuhkan untuk meninjau sejauh mana metode yang digunakan efektif, dan sejauh mana siswa mampu menyerap pembelajaran yang diberikan. Berkembangnya metode dalam pendidikan tentu saja sejalan dengan berkembangnya sistem evaluasi di dalam pendidikan dan pembelajaran itu sendiri. Namun sampai sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang terlalu kaku dan tradisional dalam menerapkan sistem evaluasi kepada siswa. Siswa terkadang hanya dihadapkan pada sesuatu yang hanya bersifat fakta, dengan jawaban-jawaban pendek atau pertanyaan pilihan ganda. Model seperti ini, sistem evaluasi seolah terpisah dengan pembelajaran dan pengaplikasiannya pada kondisi rill. Siswa hanya dinilai pada sejumlah tugas terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan dikelas, menilai dalam situasi yang telah
ditentukan
sebelumnya dimana
kandungannya sudah
ditetapkan, seolah hanya menilai prestasi, jarang memberi sarana untuk menilai kemampuan siswa memonitor pembelajaran mereka sendiri bahkan jarang memasukan soal-soal yang menilai respon emotional terhadap pengajaran.156 Hal ini pada dasarnya terlalu menyerderhanakan 155 156
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta;Bumi Aksara, 2001), John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: McGraw Hill, tth.), h. 28
138
kapasitas siswa selaku pembelajar karena potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tidak mampu sepenuhnya diungkap, apalagi jika penilaian hanya terbatas pada pengungkapan aspek-aspek yang dangkal seperti pengetahuan level dasar, hanya mengandalkan memori semata atau metode penilaian yang sangat terbatas. Pada dasarnya, suatu sistem penilaian yang baik adalah tidak hanya mengukur apa yang hendak di ukur, namun juga dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada siswa agar lebih bertanggungjawab atas apa yang mereka pelajari, sehingga penilaian menjadi bagian integral dari pengalaman pembelajaran dan melekatkan aktivitas autentik yang dilakukan oleh siswa yang dikenali dan distimulasi oleh kemampuan siswa untuk menciptakan atau mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat di ranah yang lebih luas dari pada hanya menguji memori atau kemampuan dasar saja. Oleh karena itulah, sistem evaluasi belajarpun mulai berkembang dari sistem yang bersifat tradisional menjadi sistem penilaian yang lebih autentik (authentic assessment). Autentic assessment dianggap mampu untuk lebih mengukur secara keseluruhan hasil belajar dari siswa karena penilaian ini menilai kemajuan belajar bukan melulu hasil tetapi juga proses dan dengan berbagai cara. Dengan kata lain sistem penilaian seperti ini dianggap lebih adil untuk siswa sebagai pembelajar, karena setiap jerih payah yang siswa hasilkan akan lebih dihargai. Gulikers, Bastians & Kirschner menjelaskan bahwa authentic assesment menuntut siswa untuk menggunakan
kompetensi
yang
sama
atau
mengkombinasikan
pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dapat mereka aplikasikan pada kriteria situasi dalam kehidupan professional.
139
Penilaian autentik berarti mengevaluasi pengetahuan atau keahlian siswa dalam konteks yang mendekati dunia rill atau kehidupan nyata sedekat mungkin, muncul dikarenakan penilaian tradisional yang sering kali mengabaikan konteks dunia nyata.157 Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian ini merupakan alat bagi sekolah yang maju, yang tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari siswa dan tahu dengan jelas bagaimana mereka mewujudkan kualitas tersebut. Sedangkan Johnson menjelaskan bahwa authentic assesment berfokus kepada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, mengharuskan membangun, keterkaitan dan kerja sama, dan menanamkan tingkat berfikir yang lebih tinggi, karena tugas-tugas yang diberikan di dalam penilaian autentik mengharuskan penggunaan strategi-strategi tersebut, maka para siswa bisa menunjukan penguasaannya terhadap tujuan dan kedalaman pemahamannya, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan pemahaman dan perbaikan diri. Penggunaan penilaian autentik sebagai evaluasi hasil pembelajaran siswa di sekolah merupakan suatu solusi yang bisa ditawarkan untuk melihat sejauh mana pembelajaran yang dilakukan berjalan dengan efektif. Di kedua sisi ini adalah sesuatu yang menguntungkan baik bagi siswa itu sendiri maupun pihak guru atau sekolah. Manfaat bagi siswa adalah dapat mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka, mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka, seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani
157
teknologi
dan
berfikir
sistematis,
menghubungkan
John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: McGraw Hill, tth.), h.
140
pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka dan masyarakat luas, mempertajam keahlian berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, dan mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi dan mengikuti hubungan sebab akibat, Menerima tanggung jawab dan membuat pilihan, berhugungan dan kerja sama dengan orang lain dalam membuat tugas, dan belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri.158 Sedangkan bagi guru penilaian autentik bisa menjadi tolak ukur yang komprehensif mengenai kemampuan siswa dan seberapa efektif metode yang diberikan kepada siswa bisa dijalankan. Oleh karena itulah, penerapan authentic assessment sebagai alat evaluasi hasil belajar di sekolah-sekolah ataupun level universitas penting untuk diperhatikan agar siswa tidak hanya sekedar menjadi pembelajar saja, namun pada akhirnya pencapaian
prestasi
diikuti
dengan
kemampuan
mengaplikasikan
kemampuan yang dimilikinya kedalam dunia nyata. Namun, yang berkait erat dalam tahapan evaluasi ini adalah tahapan persiapan yang disusun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai peserta didik dan tahapan pelaksanaan dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian, Madrasah Aliyah Negeri Delapan dalam melaksanakan kegiatan evaluasi menggunakan empat bentuk,159 yaitu: a. Tes Tertulis; b. Tes Performent, yang berupa tes percobaan, response praktikum, praktek olah raga, dan praktek ibadah;
158
Johnson, Contextual Teaching and Learning, Hasil penelitian dengan berwawancara bersama Imron S.Ag., (Madrasah Aliyah Negeri 8; Cakung, 2008) 159
141
c. Penugasan dan Proyek; d. Portofolio; yaitu kumpulan hasil kerja dan tugas peserta didik dengan guru memberi komentar mengenai tingkat kemajuan peserta didik baik secara individu ataupu kelompok (penalaran minat baca, bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan)). Dari jenis-jenis evaluasi tersebut, dapat diklasifikasi menjadi dua jenis evaluasi, yaitu 1) evaluasi hasil belajar dan evaluasi kegiatan dan perkembangan hasil belajar. Jenis pertama mencakup dalam evaluasi bentuk tes tertulis dan tes performent. Pelaksanaan ini berusaha untuk mengetahui kemampuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran di setiap akhir semester dan akhir pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan, dan dilakukan dengan mengikuti pelaksanaan yang diselenggarakan oleh Depag. Adapun jenis yang kedua, cakupannya terhadap penugasan dan proyek dan bentuk portofolio. Jenis ini bertujuan mengetahui perkembangan belajar peserta didik untuk melakukan perbaikan dan peningkatan terhadap kegiatan pembelajaran sebagai umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan pembelajaran. Berkenaan dengan evaluasi pembelajaran bahasa Arab, terdapat beberapa petunjuk umum yang dijadikan patokan dalam pelaksanaan kegiatan evaluasi dan menjadi ukuran standar minimal yang sudah biasa dilakukan. Petunjuk-petunjuk umum itu adalah sebagai berikut: a. Pilihan Ganda Pilihan ganda merupakan salah satu bentuk obyektifitas tes yang dapat dikembangkan dalam evaluasi pembelajaran bahasa Arab.160 Ada
160
Muhammad ‘Abd al-Khâliq Muhammad, Ikhtibârât al-Lughah, (Riyâdh; Jami’ah alMalik Su’ud, 1989), h. 13-15
142
beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penyusunan obyektifitas tes, yaitu: 1) soal harus berdasarkan indikator; 2) setiap opsi jawaban harus ada pengecoh; 3) hanya ada satu jawaban yang benar dalam setiap butir soal; 4) soal kebahasaaraban hanya menguji masalah kebahasaan. Selain dari keempat kriteria tersebut, terdapat standarisasi dalam mengkunstruksi soal, yaitu: 1) pokok soal harus tegas dan jelas; 2) opsi jawaban harus berupa pernyataan yang singkat, padat dan jelas; 3) menghindari penggunaan kata yang persis sama pada pokok soal dengan opsi; 4) penggunaan opsi yang berbunyi jamî’ al-ajwibah al-sâbiqah shahîhah dan sejenisnya hendaknya dihindari; 5) pilihan jawaban angka diurutkan; 6) menghindari ungkapan yang sama dalam opsi; 7) penyebaran kunci jawaban harus proporsional. Daripada itu, penggunaan segi bahasa harus diperhatikan dalam penyusunan tes obyektif, seperti: 1) menggunakan bahasa yang benar, baik dari sisi nahwu, sharf, dan kaidah imla’, khususnya untuk mengukur pemahaman mufradat dan struktur kalimat; 2) bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan atau penguasaan peserta didik;
143
3) perhatikan dalam menggunkan tanda baca dalam redaksi soal, agar peserta didik dapat memahami soal. b. Jawaban Singkat Bentuk jawaban singkat ditandai dengan adanya penyediaan tempat kosong untuk menuliskan jawaban sesuai dengan petunjuk. Criteria dari bentuk ini adalah: 1) soal harus berdasarkan indikator; 2) stem (rumusan kalimat soal) harus komunikatif; c. Uraian Bentuk uraian dilakukan dengan harapan dapat menggali informasi tentang kemampuan peserta didik dalam bernalar, dan berkreasi. Criteria dari bentuk uraian adalah: 1) soal harus berdasarkan indikator; 2) gunakan kata-kata mengapa (limâdza), bagaimana pendapat peserta didik (mâ ra’yuk), dan sejenisnya; 3) buat petunjuk menggunakan soal; 4) buat kunci jawaban lebih dari satu; 5) buat pedoman penskoran. Bentuk evaluasi tersebut dapat dilaksanakan untuk memantau dan melihat keberhasilan kompetensi peserta didik secara objektif. Selain dari bentuk evaluasi yang telah disebutkan di atas, bentuk evaluasi juga dapat dilakukan berupa portofolio, hasil karya peserta didik, melakukan suatu proyek yang dikerjakan oleh sekelompok anak didik. d. Portofolio Harapan dari bentuk ini adalah untuk dapat mengetahui perkembangan unjuk kerja dengan menilai kumpulan karya-karya
144
peserta didik atau tugas yang dikerjakan peserta didik. Pelaksanaan portofolio dapat berupa pekerjaan rumah, dan tugas lainnya. Jenis-jenis portofolio dapat dibaca bab tiga. Pelaksanaan evaluasi di Madrasah Aliyah Negeri Delapan melalui tiga tahapan,161 yaitu a) tes harian, b) tes blok, dan c) tes akhir semester. Tahapan awal adalah dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung dengan berdasarkan pengamatan dan perbuatan. Sedang tahapan kedua adalah sebagai alat ukur untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap suatu kompetensi tertentu. Peserta didik dinyatakan berkompeten, jika hasil dari uji blok mencapai standar nilai minimal yaitu 7,2-7,5. bagi peserta didik yang tidak mencapai nilai standar dalam kompetensi tertentu, maka mereka melakukan remedial terhadap salah satu kompetensi tersebut. Nilai yang menjadi patokan adalah nilai yang tertinggi antara hasil nilai tes dengan nilai remedial dari peserta didik. Pelaksanaan tes blok dijadwalkan dua kali dalam satu semester. Adapun tahapan ketiga sebagai tahapan pelaksanaan akhir adalah alat tes untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk beberapa kompetensi dalam satu semester. Nilai ujian akhir juga berdasarkan nilai standar minimal. Jika ditemukan peserta didik yang mendapat nilai di bawah standar, maka guru bahasa Arab harus melakukan remedial terhadap peserta didik dengan bentuk soal berbeda yang isi materi dimaksud sama. Pelaksanaan ujian akhir ini berdasarkan jadwal yang diselenggarakan Depag. Berdasarkan bentuk-bentuk evaluasi yang dilakukan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta dan langkah-langkah pembelajaran yang 161
Mei 2008
Wawancara dengan Kamiluddin, S.Pd.I di Madrasah Aliyah Negeri 8 pada tanggal 26
145
ditempuh guru bahasa Arab, bentuk dan jenis evaluasi yang dipakai adalah berupa tes dan non tes. Evaluasi yang berupa tes dengan mengadakan ujian praktek yang tercakup dalam tes performent, memberikan tugas berkelompok dan individu, dan evaluasi yang non tes berupa observasi atau pengamatan langsung oleh guru di setiap tatap muka pertemuan.162 Pelaksanaan evaluasi tidak hanya dilakukan di setiap akhir semester yang mencakup beberapa kompetensi dasar, tetapi di setiap pertemuan, guru bahasa Arab melakukan penilaian atau evaluasi dengan pengamatan, dan pemberian tugas terhadap peserta didik di setiap penekanan aspek yang diajarkan. Demikianlah pelaksanaan tahapan evaluasi di Madrasah Aliyah Negeri Delapan yang dilakukan guru bahasa Arab karena kompetensi berbahasa dapat diamati dan dinilai dari performansi berbahasa peserta didik, karya-karyanya dengan membuat pidato berbahasa itu, dari cara berinteraksi dengan guru dan peserta didik yang lain, dan dari kemampuannya
mengakses
dan
menggunakan
informasi
yang
diperolehnya. Demikianlah, kurikulum bahasa asing masa depan hendaknya dirancang dengan berorientasi pada pencapaian dan penguasaan kompetensi berbahasa yang telah distandarkan agar mampu merespon tuntutan global dan lokal yang dihadapi siswa yang memiliki kebutuhan, kemampuan, dan potensi variatif. Perancangan kurikulum yang demikian akan berimplikasi pada startegi pengorganisasian materi, strategi pembelajaran, dan sistem penilaian.
162
Hasil penelitian dengan berwawancara bersama Kamiluddin di Madrasah Aliyah Negeri 8, Cakung; 2008
146
Dari beberapa uraian dan ungkapan yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya penyusunan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang memuat rangkaian aktivitas yang harus dilakukan peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar. Dan penentuan urutan aktivitas pembelajaran itu harus sistematis berdasarkan konsep materi pembelajaran serta rumusan pembelajaran minimal mencakup unsur kegiatan peserta didik dan materi. Dengan demikian, dan berdasarkan pemberian jawaban yang diberikan guru bahasa Arab, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Arab adalah model contextual teaching and learning dan model pembelajaran belajar tuntas. 5. Pengembangan Contextual Teaching and Learning CTL sebagai salah satu pendekatan yang sedang berkembang dalam pembelajaran semua bidang studi termasuk bidang studi bahasa Arab digunakan sebagai pendekatan pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah Negeri Delapan. Dengan melaksanakan sebuah pendekatan pembelajaran yang melibatkan keaktifan peserta didik dengan argumen bahwa mereka tidak hanya sekedar menghafal materi atau seperangkat ilmu pengetahuan melainkan mereka dapat mengkonstruksi pengetahuannya dalam memori sehingga bermanfaat dalam kehidupan mereka. Penjelasan lengkapnya baca bab dua. Pengembangan ini juga yang dirasakan peserta didik Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta yang mengungkapkan bahwa pembelajaran bahasa Arab yang disampaikan dan dijelaskan oleh guru bahasa Arab sangat menyenangkan karena mereka diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide,
147
dan gagasan peserta didik yang ada kaitannya dengan materi, sehingga mereka tidak merasa jenuh dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar.163 Dalam mengembangkan CTL ini, Madrasah Aliyah Negeri Delapan mendatangkan guru non-native speaker dengan mendengarkan kaset yang suaranya berasal dari native speaker untuk dijadikan model sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan senang.164 6. Pengembangan Materi Pembelajaran Dalam rangka memperluas bahan ajar atau materi untuk guru, perlu dilakukan langkah dengan mengembangkan materi pembelajaran supaya guru mempunyai arahan materi yang representative, komprehensif, dan multi dimensi materi, sehingga peserta didik dapat menguasai setiap kompetensi dengan tuntas (mastery learning). Sebagaimana uraian dalam pembaharuan kurikulum yang mengharapkan peserta didik dalam mempelajari bahasa Asing khususnya bahasa Arab dapat memahami bahasa dan budaya dari penutur bahasa Arab, maka dalam materi yang akan disampaikan sebaiknya peserta didik diajarkan keterampilan berbahasa dengan pengetahuan dan pengalaman budaya bahasa asing. Bahan ajar atau materi yang dimaksud adalah penggunaan berbagai macam bentuk bahan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan pengertian bahan tersebut, maka pengembangan materi tidak hanya satu yang dijadikan sumber belajar. Penetapan sumber belajar 163
Hasil wawancara dengan peserta didik dan juga pengamatan penulis di Madrasah Aliyah Negeri Delapan. 164 Menurut Robert, bahwa dalam pengajaran bahasa Asing dalam hal ini bahasa Arab pada dasarnya ada dua jenis guru yaitu native speaker yang telah memiliki wawasan budaya yang sesuai dan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Arab, sehingga ia dapat mengajarkan sistem bunyi, kosakata, dan struktur bahasa serta kemahiran lainnya dengan layak. Lih. Robert Lado, Usûs Ta’lîm al-Lughât al-Ajnabiyyah wa Dhuruf alMutaghayyirât, (terj.) Kamal Ibrahim Badri, (Jakarta;LIPIA, 1991), h. 7
148
ditentukan sebagai informasi yang disampaikan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu peserta didik dalam belajar. Hal ini yang dilakukan guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan dalam proses pelaksanaan pembelajaran termasuk pembelajaran bahasa Arab. B. Lingkungan Berbahasa (Bî’ah al-Arabiyah) Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa Asing termasuk dalam proses belajar mengajar bahasa Arab, terdapat dua istilah yang digunakan, yaitu istilah pemerolehan dan istilah pembelajaran.165 Para pakar yang menggunakan istilah pemerolehan berasumsi bahwa bahasa dapat diperoleh secara alamiah dengan melalui alam bawah sadar dengan cara berkomunikasi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa Arab. Sedang para pakar yang menggunakan istilah pembelajaran berargumentasi bahwa suatu bahasa dapat dikuasai dan diperoleh melalui orang lain yang mengajarinya, terutama dalam penguasaan kaidah-kaidah atau gramatika secara disengaja. Ketidaksengajaan dalam pemerolehan atau penguasaan bahasa Arab dengan melalui interaksi bersama orang-orang yang menggunakan bahasa Arab. Karena dengan berinteraksi tersebut, tanpa disadari seseorang itu telah melakukan tindakan berbahasa. Sedangkan yang menggunakan istilah pembelajaran bahwa penguasaan bahasa Arab dengan sengaja diperoleh melalui kegiatan belajar mengajar yang mencakup beberapa unsur pembelajaran di dalamnya seperti adanya tujuan, metode, pendekatan dan unsur-unsur lainnya, terutama penguasaan akan kaidah-kaidah bahasa Arab atau struktur atau juga gramatika. Oleh karena itu, peserta didik mengalami kendala dalam proses pembelajaran bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung pembelajaran bahasa Arab. Menurut Dulay kualitas 165
Baca psikolinguistik karangan Abdul Chaer, aspek-aspek psikolinguistik karangan Mansur Pateda dan buku-buku psikolionguistik lainnya.
149
lingkungan bahasa166 itu penting untuk keberhasilan peserta didik yang sedang mempelajari bahasa Asing termasuk di dalamnya bahasa Arab. Maka dari itu, untuk mengatasi permasalahan minimnya lingkungan berbahasa di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta, guru melakukan upaya dengan cara menempel lima mufradat setiap hari di majalah dinding kelas. Dalam pelaksanaannya sebelum dilakukan kegiatan belajar, menugaskan salah peserta didik untuk membacakan lima kosakata tersebut, yang diikuti oleh peserta didik lainnya. Begitu juga setelah pelaksanaan pembelajaran berakhir. Peserta didik ditugaskan untuk membaca lima kosakata dilaksanakan secara bergantian. Hal ini dilakukan setiap hari terdapat jam mata pelajaran bahasa Arab.167 Selain dari pemberian mufradât, guru bahasa Arab juga memanfaatkan fasilitas yang tersedia, dengan menggunakan laboratorium bahasa secara intensif. Dan setiap di sela-sela proses pembelajaran guru selalu menyelipkan dengan pemberian motivasi terhadap peserta didik. Upaya lain yang dilakukan guru dengan menggunakan metode langsung dan tarjamah dengan tujuan untuk membiasakan peserta didik mendengarkan atau menyimak langsung cara orang berbicara bahasa Arab dan budayanya serta intonasinya. Saat ini, lingkungan berbahasa diistilahkan dengan imersi bahasa. Untuk kata imersi sendiri berasal dari bahasa Inggris to immerse yang mempunyai arti dasar mencelupkan, menyerap atau melibatkan secara dalam. Sedangkan salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan sekolah termasuk lingkungan kelas, dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, sebuah interaksi aktif dengan 166
Yang dimaksud lingkungan bahasa di sini adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh peserta didik sehubungan dengan bahasa yang sedang dipelajari. Yang termasuk dalam lingkungan bahasa adalah tempat peserta didik terlibat di dalamnya seperti di kelas dan lain sebagainya. Lihat Abdul Chaer, Psikolinguistik;Kajian Teoritik, (Jakarta; Rineka Cipta,2003), h. 258 167 Hasil wawancara dengan guru pada tanggal 26 Mei 2008
150
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan materi mata pelajaran bahasa Arab yang dilakukan guru bahasa Arab di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta, maka mereka pada dasarnya telah melakukan kegiatan imersi. Karena, peserta didik Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta belajar materi, dan guru menyampaikan dengan bahasa Arab, yang akhirnya sudah menjadi terbiasa, bahasa Arabpun menjadi bahasa komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, imersi bahasa merupakan usaha bersama-sama untuk menciptakan suatu lingkungan bahasa yang kondusif. C. Membangkitkan Motivasi dan Minat Motivasi dalam kata Latin disebut motivum yang mengarah terhadap alasan tertentu mengapa sesuatu itu bergerak. Lambert, memberi pengertian motivasi sebagai alasan untuk mencapai tujuan secara keseluruhan. Dengan demikian motivasi adalah suatu dorongan, hasrat, keinginan, alasan, dan tujuan yang menggerakkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu. 168 Halnya ketika seseorang ingin menguasai suatu bahasa, dengan dorongan atau kemauan yang terdapat dalam jiwa seseorang tersebut yang dapat menimbulkan seseorang itu memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari suatu bahasa termasuk dalam mempelajari bahasa Arab. Jika kegiatan belajar dihubungkan dengan motivasi, maka peserta pada dasarnya ada kemauan untuk mempelajari sebuah materi pelajaran. Oleh karena itu, peserta didik harus sadar akan tujuan yang harus dicapai dan bersedia untuk melibatkan diri. Motivasi sangat penting untuk menimbulkan gairah belajar, dan harus dimiliki dalam diri setiap peserta didik, karena mereka akan berusaha keras dengan memberdayakan otak pikirannya. Jika peserta didik mempunyai motivasi 168
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya ..., h. 32-33
151
yang lemah, maka mereka akan lebih cenderung cuek dalam proses belajar. 169 Oleh sebab itu, peran guru di sini adalah menimbulkan motivasi belajar peserta didik dan menyadarkannya akan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Menurut seorang psikolog, ada dua macam motivasi,170 yaitu 1) motivasi internal dan 2) motivasi eksternal. Motivasi internal adalah dorongan yang diciptakan dari dalam diri seseorang, sementara motivasi eksternal adalah dorongan yang terbentuk dari pengaruh luar diri seseorang. Motivasi internal dapat menciptakan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, begitupun dengan motivasi eksternal yang dapat melakukan kegiatan yang bermanfaat, jika menjadikan motivasi itu sebagai motivasi internal. Hal tersebut juga diungkapkan Nana bahwa motivasi terbentuk oleh tenagatenaga yang berasal dari dalam dan luar diri seseorang. Menurutnya pula bahwa motivasi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu kegiatan dan akan mempengaruhi kekuatan suatu kegiatan tersebut halnya dengan kegiatan belajar mengajar.171 Dari semua faktor yang telah disebutkan di atas, terdapat faktor yang mendasar dalam kegiatan belajar mengajar termasuk proses pembelajaran bahasa Arab, yaitu faktor motivasi dari peserta didik di Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta itu sendiri. Kegiatan belajar dengan mengaktifkan siswa terjadi, jika ada motivasi dari peserta itu sendiri. Seperti adanya kebutuhan yang tidak mereka temui dalam kebiasaan sehari-hari. Dengan adanya kebutuhan itu, peserta didik akan menginginkan belajar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru bahasa
169
Motivasi Integgratif adalah adanya keinginan untuk memperoleh kecakapan berbahasa asing agar dapat berintegrasi dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Beberapa Pokok pemikiran (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), h. 32 170 Hernowo, Menjadi Guru; yang mau dan mampu Mengajar dengan Menyenangkan, (Bandung; MLC, 2007), h. 43 171 Azhar Arsyad, Bahasa Arab ...., h. 32-33
152
Arab bekerja sama dengan guru agama untuk memberi waktu kepada peserta didik, lima belas menit sebelum bel masuk mengadakan kegiatan membaca Alqur’an yang berindikasi agar peserta didik dapat menyadari bahwa bahasa Alqur’an yang dibaca menggunakan bahasa Arab yang merupakan salah satu keistimewaan bahasa Arab disbanding dengan bahasa-bahasa lain yang ada di dunia. Dengan sebab itu, mereka dapat memahami manfaat yang terdapat dalam bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Alquran. Selain kegiatan membaca Alquran, untuk kelas X ditambahkan alokasi waktu sebanyak satu jam pelajaran dengan tujuan untuk menambah wawasan ilmu kebahasaan terhadap peserta didik. Langkah kedua terkait dengan langkah pertama. Yaitu apabila peserta didik telah memiliki motivasi, maka peserta didik akan memberi perhatian terhadap materi yang akan dipelajari dan menginginkan untuk mempelajarinya, sehingga terbentuk pola-pola perceptual dengan menjadikan konsentrasi peserta didik terjamin. Tugas guru adalah membuat perhatian peserta didik terfokus pada materi yang akan disajikan.172 Hal ini dapat diupayakan dengan menjelaskan dari kegunaan cakupan materi, dengan memberikan contoh tentang tujuan yang harus peserta didik capai, sehingga peserta didik timbul motivasi dan berkeinginan untuk mengetahui isi materi pelajaran. Minat adalah tenaga penggerak yang mendominasi semangat dalam proses belajar seseorang. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran seharusnya guru memberi peluang lebih banyak dalam perkembangan minat. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di Madrasah Aliyah Negeri Delapan 172
Guru tidak hanya menerangkan, melatih, memberikan ceramah, tetapi juga mendesain materi pelajaran, membuat pekerjaan rumah, mengevaluasi prestasi siswa, dan mengatur kedisiplinan, Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologis Pendidikan, Edisi Revisi (Jakarta; Grasindo, 2002), h. 27-29
153
Jakarta, bahwa di setiap proses pembelajaran, guru selalu memberikan hal-hal yang positif mengenai bahasa Arab, sehingga membangkitkan minat para peserta didik untuk mempelajari bahasa Arab. Ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan minat dan motivasi dalam diri peserta didik, yaitu dengan selalu memberi motivasi di setiap pertemuan pembelajaran, sehingga tumbuh minat atau keinginan untuk mempelajari bahasa Arab.173 Pemberian motivasi tidak hanya berkaitan dengan kebahasaan, tetapi juga dikaitkan dengan tantangan globalisasi yang sedang berkembang, yang setiap individu harus dapat menguasai salah satu bahasa asing termasuk bahasa Arab. Motivasi itu juga dapat dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan khususnya agama Islam. Selain daripada itu, motivasi dapat dikaitkan dengan segala hal, yang pada intinya dapat menimbulkan motivasi dalam diri peserta didik. Hal upaya menumbuhkan motivasi juga dituliskan oleh Ibrahim dan Nana Syaodih, bahwasanya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru,174 yaitu: 1. Menggunakan cara atau metode dan media pembelajaran yang bervariasi. Dengan langkah itu, setidaknya dapat meminimalisir rasa jenuh dan bosan peserta didik dalam belajar bahasa. 2. Memilih bahan yang menarik dan dibutuhkan peserta didik. Sesuatu yang dibutuhkan akan menarik perhatian, sehingga akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya.
173
Menurut Hernowo bahwasanya seseorang akan terdorong mempelajari sesuatu termasuk dalam mempelajari bahasa Arab, apabila dalam diri seseorang tersebut mempunyai hasrat atau minat. Lih. Hernowo, Menjadi Guru …h. 16 174 Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran …, h. 28
154
3. Memberikan sasaran antara. Hal ini berkaitan dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM). Dengan adanya penentuan SKBM, peserta didik akan berusaha mempelajari bahasa Arab untuk mencapai target SKBM itu. 4. Memberikan kesempatan untuk sukses. Bahan atau butiran soal yang sulit hanya dapat diterima atau dipecahkan oleh peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, peserta didik yang kurang akan menemukan kesulitan untuk memecahkannya. Mengatasi hal itu, berikan bahan atau butiran soal berbeda yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki peserta didik. Dengan perbedaan itu, hasil yang diperoleh juga akan berbeda. Nilai terendah di kelas yang pandai, belum tentu bisa dapat diraih oleh peserta didik yang terdapat di kelas kurang pandai. Pencapaian hasil peserta didik dapat menimbulkan kepuasan yang akan dapat membangkitkan motivasi belajarnya. 5. Diciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Menyenangkan atau membuat Suasana belajar menjadi gembira bukan berarti menciptakan suasana ribut dan kacau. Tetapi gembira disini dapat membangkitkan minat, adanya keterlibatan penuh, menciptakan belajar bermakna, pemahaman dengan menguasai materi pembelajaran dan nilai yang membahagiakan. Dengan demikian, suasana belajar yang dimaksud adalah berisi rasa persahabatan, ada rasa humor, pengakuan akan keberadaan peserta didik, terhindar dari celaan dan makian. 6. Adakan persaingan sehat. Kompetisi yang sehat juga akan dapat membangkitkan motivasi. Peserta didik dapat berkompetisi dengan hasil belajarnya sendiri, atau dengan hasil yang diraih oleh peserta didik lainnya. Selain upaya-upaya tersebut juga, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran terhadap peserta didik, yaitu:
155
1. Mempercayai peserta didik untuk belajar sendiri; dengan artian, peserta didik diberi keleluasaan atau kebebasan dalam belajar mandiri. 2. Menyukai pembelajaran dan senang dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan; 3. Memberikan kebebasan dalam mengemukakan pendapat; 4. Tidak menyalahkan argumentasi yang dikemukakan peserta didik, sehingga peserta didik merasa dihargai pendapatnya dan tidak takut melakukan kesalahan-kesalahan; 5. Dalam menyelesaikan permasalahan, tidak menerima satu jawaban yang betul tetapi menerima bermacam-macam jawaban. Dari uraian tersebut, dapat diungkapkan dengan bahasa lain bahwa guru tidak hanya memberi perhatian pada satu jawaban atau penyataan yang benar, karena tidak semua bidang studi menginginkan jawaban yang tepat saja tetapi pernyataan-pernyataan lain dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda.175 Sedangkan karakteristik peserta didik di Madrasah Negeri Delapan itu beragam, yaitu ada kelas yang peserta didiknya berminat untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan kelas yang peserta didiknya hanya berminat setelah menamatkan sekolah, mereka bisa dapat langsung mendapatkan kerja. Dari karakteristik itu dapat menimbulkan pula dalam minat dan motivasi dari masingmasing peserta didik. Dengan demikian, guru pun dalam menumbuhkan minat dan motivasi dalam diri peserta didik dapat menggunakan berbagai macam cara yang berbeda pula. Di kelas yang pertama, mayoritas peserta didik yang motivasi belajarnya sangat tinggi, halnya dalam mempelajari bahasa Arab. Hal ini dapat dibuktikan 175
Hasil dari jawaban angket yang dibagikan kepada peserta didik Madrasah Aliyah Negeri Delapan yang dijadikan sebagai objek penelitian
156
dengan beberapa pernyataan mereka yang berbeda-beda dalam menuliskan motivasi dan manfaat dalam mempelajari bahasa Arab. Peserta didik ada yang mengatakan bahwa belajar bahasa memiliki manfaat yang sangat penting yakni untuk dapat memahami kitab suci umat Islam, bisa melakukan komunikasi dengan bahasa Arab, ada yang ingin menjadi guru bahasa Arab, dapat menyusun kalimat bahasa Arab berdasarkan kaidah kebahasaan, dengan berbahasa Arab dapat disegani orang, menambah wawasan bahasa Negara lain, sebagai persiapan karena saat ini bahasa Arab sudah menjadi bahasa Internasional, meski belajar bahasa Arab hanya sedikit, tetapi senang karena ada dorongan dari orang tua dan guru. Selain itu juga ada yang mengungkapkan bahwa dengan mempelajari bahasa Arab dapat membaca bahasa Arab yang gundul, memahami percakapan orang lain yang menggunakan bahasa Arab, menerjemahkan bacaan Alquran dan bangga bisa berbahasa Arab krn sudah go internasional, dengan mempelajari bahasa Arab, dapat mengetahui sebagian dari ayat-ayat alquran, sehingga dapat ilmu yang bermanfaat karena alquran adalah pedoman hidup, menambah kosakata bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari, menjawab soal ujian, bahasa Arab jarang dipelajari, sehingga menjadi bangga karena tidak semua orang bias berbahasa Arab, karena bahasa Arab sebagai bahasa dunia, maka kita harus dapat menguasainya. Dan selain itu juga untuk dapat memahami ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan lainnya yang menggunakan bahasa Arab.176 Sedang kelas yang kedua, peserta didiknya kurang termotivasi dalam belajar, halnya dengan mempelajari bahasa Arab. Namun, ternyata peserta didik yang ada di kelas ini memiliki motivasi dan minat serta memahami dan mengerti akan pentingnya bahasa dan manfaat yang didapat, halnya yang terdapat di kelas pertama. Pernyataan-pernyataan itu adalah agar dapat menafsirkan Alquran dan 176
Berdasarkan hasil penelitian di Madrasah Aliyah Negeri 8 pada tanggal 26 Mei 2008
157
mengartikan kitab-kitab Islam, lancar membaca alquran dengan baik dan benar, menjadi pengamen dengan menyanyikan lagu Arab, gampang ngomong pas pergi haji, berbicara bahasa Arab meskipun dalam masih pembelajaran, persiapan ada beasiswa dari mesir, bahasa Alqur’an yang akan dipakai diakhirat, sehingga menjadi tahu arti kalamullah, bisa berkomunikasi bahasa Arab agar dapat bekerja di Airlines ke negeri Arab. Dari masing-masing pernyataan tersebut, ada beberapa peserta didik yang menjawab tidak tahu akan pentingnya mempelajari bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena tidak adanya motivasi dalam diri peserta didik tersebut. Meskipun peserta didik itu berasal dari latar pendidikan yang bernotabennya MTs., hal tersebut tidak mempengaruhi motivasi dalam belajar. Karena belajar adalah keinginan seseorang untuk menjadi tahu dan akan adanya kebutuhan yang belum didapat. Jawaban-jawaban tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan dalam motivasi mempelajari bahasa antara peserta didik yang berada di program pengembangan potensi akademik dengan program persiapan hidup mandiri. Pernyataan-pernyataan tersebut juga dapat diungkapkan bahwa dalam mempelajari sesuatu termasuk mempelajari bahasa Arab bergantung dari minat dan motivasi dari peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu, langkah utama yang harus dilakukan oleh guru sebagai pendidik, pengajar, fasilitator dan lainnya adalah membangkitkan minat dan motivasi terhadap peserta didik di setiap waktu. Dari uraian-uraian tersebut berkaitan dengan visi dan misi Madrasah Aliyah Negeri Delapan bahwa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar adalah mencoba untuk membangun dan menumbuhkan peserta didik yang cerdas bersamaan dengan memantapkan
IMTAQ. Dan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan harus disertai dengan penanaman perilaku yang
158
baik supaya tetap bersikap rendah hati sehingga terjadi keseimbangan antara jasmani dan rohani.177 Peserta didik sebagai manusia pembelajar dapat memberikan pemahaman terhadap arti belajar. Akan ada kegiatan belajar, jika peserta didik merasakan adanya kebutuhan dalam dirinya yang tidak ditemukan dalam kebiasaan sehari-hari. Sebagai manusia pembelajar, manusia termasuk peserta didik dapat belajar untuk mengetahui (learn to know), belajar untuk melakukan (learn to do) dan belajar untuk menjadi (learn to be) ditambah dengan belajar untuk hidup bersama (lear to live together). Dari keempat bentuk manusia sebagai pembelajar tersebut dan visi dan misinya, bahwa Madrasah Aliyah Negeri Delapan berusaha untuk menjadikan peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar yang membelajarkan. Keempat kegiatan itu juga telah dilakukan oleh guru Madrasah Aliyah Negeri Delapan, seperti langkah pemberian motivasi terhadap peserta didik dengan cara penyampaiannya dilakukan di sela-sela proses belajar mengajar bahasa Arab khususnya. Pembuktian tersebut berdasarkan ungkapan peserta didik dan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru bahasa Arab yang menyatakan bahwa guru selalu memotivasi peserta didik untuk belajar khususnya belajar bahasa Arab. Karena dengan bahasa Arab memiliki karakteristik yang lebih dibanding dengan bahasa-bahasa dunia lainnya. Begitu juga dalam langkah perhatian, pengolahan dan umpan balik. Dengan pemberian motivasi itu, peserta didik belajar bahasa Arab merasa nyaman dan memahami materi pelajaran yang disampaikan guru. Peserta didik dapat memahami materi itu berdasarkan hasil ulangan yang diperolehnya. Peserta didik yang memperoleh nilai yang sampai mencapai target disinyalir adanya motivasi diri dalam benaknya dan juga 177
Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non Akademik”, (Jakarta, MAN DELAPAN, 2006)
159
memiliki kecerdasan bahasa yang lumayan, sedang peserta didik yang mendapatkan hasil dibawah nilai standar terbukti kurang adanya motivasi di benak mereka.178 Keadaan tersebut sesuai dengan anggapan yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki dorongan, kemauan, alasan atau tujuan dalam mencapai proses kegiatan belajar bahasa asing termasuk bahasa Arab akan cenderung lebih berhasil daripada seseorang yang belajar tanpa mendasar dari kesemuanya itu. Argument tersebut dipertegas dengan ungkapan Lambert (1972), Brown (1980) dan Ellis (1986) yang menyatakan bahwa seseorang akan berhasil jika dalam belajar bahasa mempunyai suatu keinginan atau tujuan. Berkenaan dengan pembelajaran bahasa Arab, motivasi memiliki dua fungsi,179 yaitu 1) sebagai integrative; jika motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat pemakai bahasa Arab atau menjadi masyarakat bahasa Arab. 2) sebagai instrumental; jika motivasi mendorong seseorang untuk memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa Arab karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat tersebut. Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menguasai bahasa Arab sangat minim. Hal terlihat dari kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dengan bahasa Arab sangat terbatas, baik secara lisan maupun tulis. Di satu sisi, penguasaan bahasa Arab merupakan kewajiban bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim, dan di sisi lain, Negara Indonesia yang letak geografisnya sangat strategis dengan Negara-negara maju dan berkembang, sehingga dijadikan tempat persinggahan. Oleh karena itu, 178 179
Hasil penelitian di Madrasah Aliyah Negeri Delapan pada tanggal 26 Mei 2008 Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, h. 251
160
Indonesia harus memainkan peran secara maksimal dalam go internasional supaya tidak ketinggalan dengan Negara-negara lainnya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 180 Mengingat terbatasnya kemampuan berbahasa Arab dan pentingnya penguasaan dengan melalui pembelajaran, perlu adanya pengembangan pembelajaran bahasa Arab yang efektif dan efisien. Sebuah pembelajaran yang tidak hanya terfokus pada objek yang diajarkan tetapi juga pada kemampuan siswa dan kondisi fasilitas sekolah itu sendiri. Karena pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mempertimbangkan seluruh komponen di dalamnya. 181 Berkenaan dengan “penguasaan” dalam hal ini pembelajaran bahasa Arab adalah kecerdasan bahasa
siswa. Kecerdasan bahasa ini meliputi aspek
kecakapan seseorang dalam menggunakan bahasa dengan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan. Kecakapan ini dapat terekspresikan melalui kemampuan bicara seseorang, daya tangkapnya dalam menjawab dan bertanya dalam berbahasa, juga bagaimana seseorang berhasil menjelaskan tema-tema tertentu di luar idenya dengan menggunakan bahasa tersebut. 182 Peserta didik yang memiliki kecerdasan bahasa yang tinggi, pada hakikatnya akan menunjukkan kesenangan dan rasa menikmatinya dalam kegiatan berbahasa seperti menulis, membaca, membuat syair dan lain
180
Bahasa Arab sebagai bahasa penghubung antara umat Islam diakui sebagai bahasa aagama yang diperlukan untuk berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia Islam,selain itu bahasa Arab juga dibutuhkan untuk kepentingan kepariwisataan, Prof Dr.Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode pengajarannya Beberapa Pokok Pikiran, ( Jakarta, Pustaka Pelajar, 2002) h 157 181 Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, Mohammad Surya, Psikologi Pembelajaran ..., h 1 182 Fungsi bahasa secara umum adalah komunikasi. Jika dikaji lebih jauh maka fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat secara lebih terperinci akan dibedakan menjadi empat golongan fungsi, yaitu : fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan, fungsi perseorangan dan fungsi pendidikan, PWJ Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, (Jakarta;Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 23
161
sebagainya. Peserta didik itu akan lebih cenderung mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar dibanding dengan peserta didik lainnya. 183 Berkenaan dengan pembahasan dari uraian tersebut, peserta didik pada Madrasah Aliyah Negeri Delapan Jakarta yang tengah penulis kaji, memiliki beragam karakter termasuk di dalamnya kecerdasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan bahasa. Sehingga, dalam kegiatan belajar mengajar para guru termasuk bahasa Arab mendesain kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik yang beragam dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab dilakukan pemberdayaan siswa untuk meminimalisasi kendala dan hambatan dengan melakukan berbagai upaya yang diselenggarakan oleh pihak sekolah termasuk guru bahasa Arab. 184
183
Motivasi dalam memperoleh bahasa asing menurut Burt Dulay, dan Keashen ( 1982:47) adalah semacam dorongan kebutuhan keinginan murid untuk mengetahui suatu bahasa. Motivasi Instrumental adalah keinginan untuk memiliki kecakapan berbahasa asing karena alasan faedah atau mamfaat, dan motivasi Integratif adalah adanya keinginan untuk memperoleh kecakapan berbahasa asing supaya dapat berintegrasi dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Dulay,Burt And Krasehn. 1982. Language Two.New York Oxford University.Press. H 19 184 Pada Tahun 1964 Dr.James J.Asher mengemukakan Teknik Total Phisical Response (TPR) yaitu sebuah teknik yang pendekatan awalnya adalah membuat peserta didik diam, mendengarkan perintah lalu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh pengajar, mereka menuruti apa saja yang dilakukan oleh pengajar itu, “The Total Physical Response Approach To Second Languange Learning”,Modern LanguageJournal , 53:3-17
162
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan paparan-paparan yang telah dikemukakan mengenai upaya melibatkan atau membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Arab yang membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan beberapa upaya sebagai berikut: Yang pertama adalah adanya pembaharuan kurikulum; dengan adanya penambahan alokasi waktu dalam mata pelajaran bahasa Arab di kelas X sebanyak satu jam mata pelajaran.Perubahan kurikulum tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi guru.Hal tersebut dapat terwujud dengan cara menyediakan sarana dan prasarana, yang meliputi tersedianya laboratorium bahasa dengan melengkapi penyediaan CD
dan kaset pita pembelajaran
berbahasa Arab, dan menyediakan buku referensi berbahasa Arab di perpustakaan sekolah. Adapun tahapan pengembangan kegiatan pembelajaran mencakup dalam hal tahapan persiapan, tahapan pelaksanaa, dan tahapan penilaian atau evaluasi. Dan penerapan pengembangan Contextual Teaching and Learning, strategi pembelajarannya dengan melalui kegiatan pembelajarannya yang mencakup pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis inkuiri, pembelajaran berbasis kerja, pembelajaran layanan, dan penilaian autentik. Selain upaya-upaya tersebut di atas juga, ada beberapa upaya lain yang dapat membelajarkan siswa berbahasa Arab, yaitu: yang perama pengembangan Materi; berupaya untuk memperluas materi guru supaya guru mempunyai arahan yang sistematis dan terpadu, sehingga peserta didik dapat menguasai materi dari
163
setiap kompetensi. Selain itu disempurnakan dengan lingkungan berbahasa (Bî’ah al-Arabiyah, untuk menciptakan lingkungan berbahasa, guru bahasa melakukan upaya dengan menempel kosakata di majalah dinding kelas sebanyak lima kosakata. Sedangkan upaya yang berkaitan dengan karakteristik peserta didik adalah guru membangkitkan minat dan motivasi terhadap peserta didik yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas maupun diluar kelas. Upaya-upaya membangkitkan motivasi dengan menggunakan metode yang bervariasi, menyusun bahan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, melakukan mastery learning, memberi kesempatan sukses dan meciptakan suasana belajar yang menyenangkan, serta mengadakan kompetesi sehat.
B. Saran-saran Setelah memperhatikan langkah-langkah kerja CTL dalam pembelajaran bahasa Arab dan menilai keberhasilannya dalam mencapai tujuan pembelajaran. Penulis mengharapkan sosialisasi mengenai pembelajaran kontekstual dapat dijalankan secara terus menerus. Sosialisasi ini seyogyanya menjadi hal penting yang mesti dilakukan oleh fihak-fihak terkait seperti Departemen Agama dan Universitas Islam Negeri yang memiliki kewenangan dalam perkembangan kemajuan sekolah-sekolah agama. Selain itu, penelitian-penelitian mengenai metode pengajaran bahasa sebaiknya terus didorong agar menghasilkan metode-metode terbaik dalam pengajaran bahasa Arab, termasuk di dalamnya memperkaya khazanah pendidikan dan pengajaran bahasa Arab.
164
DAFTAR REFERENSI
Abdul Majid, Abdul Aziz, al-Lughah al-‘Arabiyah;Ushuluhâ al-Nafsiyah wa Thuruq Tadrîsihâ, Mesir:Dâr al-Ma’ârif, 1991 Agustina, Leonie, dan Chaer, Jakarta:Rineka Cipta, 1995
Abdul,
Sosiolinguistik
Perkenalan
Awal,
Ali Muhammad al-Qasimi, Ittijahât haditsah Fi Ta’lîm al-Arabiyah Linnâthiqîna Bi al-Lughât al-Ukhra, Riyadh:al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1979 Al-Khâliq Muhammad, Muhammad ‘Abd, Ikhtibârât al-Lughah, Riyâdh: Jami’ah alMalik Su’ud, 1989 Al-Suyûthi, Jalâluddin, al-Muzhir fi Ulûm al-Lughat wa Anwâ’uhâ, Beirut: alMaktabah al-‘Ashriyah, 1978 Alwasilah, Ahmad Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa, Bandung:Angkasa, 1993 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:Rineka Cipta, 1991 Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Beberapa Pokok pemikiran Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002 A. Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta, LP3ES, 1986 B. Uno, Hamzah, Perencanaan Pembelajaran, Jakarta:Bumi Aksara, 2006 Boey, Kiat, Lim, Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa, Jakarta:Rebia Indah Perkasa, 1992 Brown, H. Douglas, Principles of Language Learning and Teaching 2nd edition, New Jersey:Prentice Hall Inc., 1987 Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:Rineka Cipta, Cet. 1, 2005 Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta:Rineka Cipta, 2003 Chomsky, Noam, Cakrawala Baru; Kajian Bahasa dan Pikiran, Jakarta:Logos, 2000 Brown, H. Douglas, Principles of Language Learning and Teaching 2nd edition, New Jersey:Prentice Hall Inc., 1987 C. Richards, Jack, W. Oller J.R, John Focus on The Learner Pragmatic Perspectives for The Language Teacher, Massachusetts:Newbury House Publishers, Inc., 1978 Danim, Sudarwan, Menjadi Komunitas Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1999
165
DePotter, Bobbi dan Mike Hernacki, Quantum Learning:Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Terj. Alawiyah Abdurrahman dari Quantum Learning Unleasing the Genius in You, Bandung:Kaifa, 1999 Dardjowidjojo, Soenjono, Linguistik; Teori dan Terapan, suntingan, Jakarta:Arcan, 1987 David Nunan, Language Teaching Methodology a Textbook for Teachers, Hertfordshire: Prentice Hall International, 1998 Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Edisi Revisi Jakarta: Grasindo, 2002 E Bropy, Jane, L Good, Thomas, Educational Psycology a Realistic Approach, New York: Logman, 1990 Effendy, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang:Misykat, 2005 Fathurrahman, Pupuh, Strategi Belajar Mengajar;Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, Bandung:Refika Aditama, 2007 Frankl, V.E, Man’s Search for Meaning, New York:Simon & Schuster, 1984 F. Mager, Robert, Preparing Instructional Objectives, California:Fearon, Edisi II, 1975 Gunawan, Adi W., Genius Learning; Strategi Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Aktive Learning, Jakarta: Gramedia, 2006 Hafaji, al-Hayat al-Adabiyah fi ‘ashrai al-Jahiliyyah wa Shadr al-Islâm Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, tt. HD. Hidayat, Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia; Masalah dan Cara Mengatasinya, Penyampaian Makalah seminar dengan tema Pengembangan Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia, Jakarta: LIPIA, 1989 Halih, Ahmad Zaki, ‘Ilm al-Nafs al-Tarbawi, Kairo;Maktabah al-Nahdlah alMishriyyah, 1988 Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta:Bumi Aksara, 1995 Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta:Bumi Aksara, 2004 Harefa, Andreas, Pembelajaran di Era serba Otonomi, Jakarta:Kompas, cet. I, Harefa, Andreas, Menjadi Manusia Pembelajar;On becoming a learner: Pemberdayaan Diri, Transformasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, Cet. 4, Jakarta:Kompas, 2001 Hâsyimî, Ahmad, Jawâhir al-Adab fi Adâbiyât wa Insyâ al-Lughat al-Arabiyyah, Libanon: Dâr al-Fikr, tt.
166
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum;Teori dan Praktek, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999 Iskandary, al-Wasîth fi al-Adab al-Araby wa Târîkhi Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1916 Jack C. Richards, The Context of Language Teaching, Cambridge:Cambridge University Press, 1989Larsen Freeman, Diane, Teaching Techniques in English As a Second Language; Techniques and Principles in Language Teaching, Oxford:Oxford University Press Jarvis ed., Peter, The Theory & Practice of Teaching, Canada:ogan Page, 2002 Johnson, Elaine B., Contextual Teaching and Learning;What It is and Why It’s here to Stay, (Thousand Oaks;Corwin Press,Inc., 2002 Krashen, et. al. Language Two, New York: Oxford University Press, 1982 M. Sa’id, M. Malak, Muzammil Basyir, Muhammad, Madkhal ila al-Manâhij wa alThuruq al-Tadrîs, Riyadh: Dâr al-Liwâ’ li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1415 H Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Rosdakarya, 2007 Ma’ruf, Nâyif Mahmûd, Khashâish al-Arabiyyah wa Tharâiq Tadrîsihâ, Beirut:Dâr al-Nafâis, 1998 Megawati, Ratna, et.al., Pendidikan Holistik, Bogor:Indonesia Heritage Foundation, 2005 Muhammad ‘Abd al-Khâliq Muhammad, Ikhtibârât al-Lughah, Riyâdh; Jami’ah alMalik Su’ud, 1989 Muhammad Hatta, Surapranata, Sumarna Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004Muslich, Masnur, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosdakarya, 1990 Mukhson Nawawi, Kompilasi Materi Kuliah Linguistik Terapan; ‘Ilm al-Lughah alTathbiqiy, Jakarta: FITK UIN Jakarta, 2002Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2001 Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung:Remaja Rosdakrya, 2006 Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung:Rosdakarya, 2007 Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK, Bandung:Rosdakarya, 2006
167
M. Sirazi, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan; Politik Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Persada Nababan, P.W.J., Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1993 Nasrudin, Endin, Psikologi Pembelajaran, Sukabumi: STAI, 2008 Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1992 Nurhadi, Kurikulum 2004; Pertanyaan dan Jawaban, Jakarta: Grasindo, 2004 Nurhadi, Pendekatan Kontekstual, Malang:Universitas Negeri Malang, 2002 Ohoiwutun, Paul, Sosiolinguistik; Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta:Kesaint Blanc, 1997 Parera, Daniel, Jos., Linguistik Edukasional, Jakarta:Erlangga, 1986 Parera, Daniel, Jos., Linguistik Edukasional;Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis Kontrastif dan Analisis Kesalahan Berbahasa, Jakarta:Erlangga, 1994 Pateda, Mansur, Linguistik Terapan, Jakarta:Nusa Indah, 1991 Popham, W. Jhames, Classroom Assesment; What Teacher Need to Know Mass:Allyn&Bacon, 1995 Puskur
Balitbang Depdiknas, Ringkasan Jakarta:Balitbang Depdiknas, 2002
Kegiatan
Belajar
Mengajar,
Robert Lado, Usûs Ta’lîm al-Lughât al-Ajnabiyyah wa Dhuruf al-Mutaghayyirât, (terj.) Kamal Ibrahim Badri, Jakarta:LIPIA, 1991 Robert M., Gagne, Essentials of Learning For Instruction, Illiones:The Drayden Press, 1974 Roekhan, Nurhadi, Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua, Bandung: Sinar Baru, 1990 Sabri, Ahmad, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta:Quantum Teaching, 2005 Sadiman, Arief S., dkk., Media Pendidikan, Jakarta: CV. Rajawali, Cet. I, 1986 Saiful Bahri, Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Surabaya: Usaha Nasional, 1994 Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta; Prenada Media Group, 2005 Silberman, M., Active Learning; 101 Strategies to Teach Any Subjects, Massachusetts: A Simon & Schuster Company, 1996
168
S. Rodgers, Theodore, C. Richards, Jack Approaches and Methods in Language Teaching, Cambridge:Cambridge University Press, 1992 Stenson, Nancy, H. Schumann, John and New Frontiers in Second Language Learning, Massachusetts:Newbury House Publishers, Inc., 1978 Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1988 Sudjana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1989 Sudirman, Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1987 Sukmadinata, Saodih, Nana, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, Bandung:Rosdakarya, 2001 Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007 Sunarti, M. Subana, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia; Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, Bandung:Pustaka Setia, tt. Suriasumantri, Jujun S., Berpikir Sistem; Konsep, Penerapan, Teknologi, dan Strategi Implementasi, (Jakarta; PPS IKIP Jakarta, 1988 Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, 2007 Surya, Muhammad, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004 Shahatah, Hasan, Ta’lîm al-Lughah al-Arabiyah baina al-Nadhriyah Wa al-Tathbîq, Libanon: Dâr al-Mishriyah, 1992 Syamsudin, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung: Rosdakarya, 2006 Syaodih, Nana, dan Ibrahim, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Thu’aimah, Rusydî Ahmad, Ta’lîm al-Arabiyah Li ghair al-Nâthiqîna bihâ; Manâhijuhu wa asâlibuhu, Rabâth:Isisco, 1989 Tickoo, L. Makhan, Bahasa dalam Pembelajaran, Jakarta: Rebia Indah Perkasa, 1992 Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non Akademik”, Jakarta:MAN DELAPAN, 2006 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, Jakarta:Prestasi Pustaka, 2007 Umar, Basyiruddin, Asnawir, Media Pembelajaran, Jakarta:Ciputat Press, 2002
169
Wâfî, Ali Abdul Wâhid, Fiqh al-Lughat, Kairo: Dâr Nahdhah Mishr li al-Thab’ wa al-Nasyr, tt. Weil, Marsha, at.al, Models of Teaching, New Jersey;Prentece Hall International,Inc., 1985 Witherington, H.C., Teknik-teknik Belajar Mengajar, Bandung: Jemmars, 1986 W. Santrock, John, Educational Psychology, New York: McGraw Hill, tth. Yamin, Martinis, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta:Gaung Persada, 2004 Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta:Ciputat Press, 2002 …, Pengantar Teori Konseling; Suatu Uraian Ringkas, Jakarta:Galia Indonesia, 1985 ...., Pembelajaran Bahasa Asing, diakses tanggal 08 Mei 2008 …, Teaching For Contextual Learning, diakses tanggal 06 Maret 2008, http://ateec.org/learning/instructur/contextual.htm