UNIVERSITAS INDONESIA
NAMA DIRI TOKOH BIMA: ANALISIS SEMANTIK DAN KEBUDAYAAN
SKRIPSI
FAJAR BILLY SANDI 0706293311
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA JAWA DEPOK JUNI 2011
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
NAMA DIRI TOKOH BIMA: ANALISIS SEMANTIK DAN KEBUDAYAAN
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
FAJAR BILLY SANDI 0706293311
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA JAWA DEPOK JUNI 2011
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
But think about it. We’ve had a lot of good times right here, Pink. Well, all I’m saying is that I want to look back and say that I did the best I could while I was stuck in this place. Had as much fun as I could while I was stuck in this place. Played as hard as I could while I was stuck in this place. - Don Dawson in Richard Linklaters’ Dazed And Confused (1993)
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 27 Juni 2011
Fajar Billy Sandi
ii
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Fajar Billy Sandi
NPM
: 0706293311
Tanda Tangan : ............................... Tanggal
: 27 Juni 2011
iii
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi yang diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul
: : Fajar Billy Sandi : 0706293311 : Sastra Dearah Untuk Sastra Jawa : Nama Diri Tokoh Bima: Analisis Sematik Dan Kebudayaan
ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing
: Dr. F.X. Rahyono
Penguji 1/Ketua
: Ratnawati Rachmat, M.Hum.
Penguji 2
: Darmoko, M. Hum.
Panitera
: Widhyasmaramurti, M.A.
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 18 Juli 2011 oleh
iv
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Humaniora Jurusan Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Bambang Wibawarta S.S., M.A., selaku Dekan FIB UI yang memberikan saya peluang untuk kuliah di FIB UI selama empat tahun. 2. Bapak Dr. F.X. Rahyono, selaku Pembimbing Skripsi. Saya ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas segala ilmu yang telah bapak berikan kepada saya. Begitu juga waktu, tenaga, dan kesabaran bapak selama membimbing saya kurang lebih satu semester ini. Semoga ilmu yang bapak berikan bermanfaat untuk saya kelak. Amin. 3. Ibu Ratnawati Rachmat, M.Hum., Bapak Darmoko, M.Hum., dan Ibu Widhyasmaramurti,
M.A.
selaku
Dewan
Penguji.
Saya
ingin
mengucapkan banyak terima kasih atas segala masukan, baik kritik maupun saran, yang bapak dan ibu berikan untuk membangun skripsi saya. 4. Bapak Karsono H. Saputra, M. Hum. selaku Pembimbing Akademis. Saya ucapkan banyak terima kasih atas perhatian bapak selama empat tahun
terakhir
ini
dengan
memberikan
banyak
masukan
bagi
perkembangan akademis saya dan memberikan saya kebebasan untuk memilih berbagai macam mata kuliah. Terima kasih. 5. Bapak dan Ibu seluruh Pengajar Sastra Jawa Universitas Indonesia yang telah banyak memberikan saya ilmu pengetahuan tentang budaya Jawa dan membuka mata saya bahwa budaya tradisional tidak harus berhenti di tempat dan terlihat tidak modern, tetapi terus mengikuti perkembangan zaman dan relevan terhadap permasalahan masa kini. v
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
6. Ibu Woro Aryandini Sumaryoto yang telah memberikan banyak sekali masukan tentang tokoh Bima yang sangat membantu saya dalam pembuatan skripsi ini. Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari ibu. Terima kasih atas ilmu yang telah ibu berikan kepada saya. 7. Seluruh Keluarga Besar Djaiman sebagai keluarga besar saya yang multikultural yang telah memberikan saya kasih sayang dan dukungan penuh bagi apa yang saya lakukan. Terima kasih. 8. Kedua orang tua saya, Bapak Alm. Alimin dan Ibu Sopiah. Untuk bapak saya, semoga bapak bisa melihat pencapaian saya hingga bisa seperti sekarang ini di surga. I m iss y ou, pop, hope s t hat y ou s till pr oud of m e, somewhere in heaven. Thanks for everything. Untuk ibu saya, terima kasih mama untuk segalanya, segala dukungan moril yang telah mama berikan untuk saya, kebebasan yang telah mama berikan kepada saya dalam memilih segala hal, dan mempertanggungjawabkannya. Your like, the best mom t hat s on c ould e ver have and i ’m l ucky f or hav ing y ou. L ove y ou, pop. Love you, mom. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. 9. Keluarga besar kakak saya, Damayanti Hermawan, beserta suami dan dua anak perempuannya, terima kasih atas dukungannya selama ini. 10. Seluruh Keluarga Besar FIB UI sebagai keluarga besar saya di kampus UI tercinta, terima kasih banyak atas segala dukungannya selama ini. Teruntuk teman-teman Sastra Jawa FIB UI angkatan 2007 yaitu Annisa Insyirah, Citra Aroma Praja, Dhesi Susanti Nurul Sidik, Ekky Malindra, Inggrid Cristiana Ratna Dewi, Irfan Febrian, Iwan Santoso, Liona Bonita, dan Velly Flafiani, terima kasih untuk petualangan empat tahun yang tidak akan saya lupakan. Semua suka, duka, tawa, air mata, bahagia, dan masalah jadi satu. Terima kasih telah memberi warna kehidupan bagi saya sejak tahun 2007. Christopher McCandless dalam Into The Wild mengatakan bahwa “happiness only real when shared” dan selama empat tahun ini kita semua selalu berbagi segala hal, dan ketika itulah saya merasa bahagia. Four years was ov er but ou r friendship is still reminds f orever. You gu ys are simply the b est. My n ew family. Love, xoxo. Juga kepada Keluarga Besar KMSJ FIB UI angkatan vi
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
2004, 2005, 2006, 2008, dan 2010 beserta para senior dan alumni terutama Mas Wishnu Prahutomo, M. Hum. dan Mbak Anggraini “Pare” Margaretha, S. Hum. terima kasih atas segala masukanmasukannya dan bantuan-bantuannya, baik dalam bidang akademisi maupun pergaulan. Terima kasih telah memberikan saya pengalaman untuk menjadi seorang mahasiswa. Juga untuk adik-adik Sastra Jawa FIB UI angkatan 2009 yaitu Ahmad Dwi Nugroho, Akbar Nugraha, Alby Yoga Priyanda, Annisa Septiani, Arip Purwanto, Citra Puspa Rini, Devinta Anindia, Eko Wahyudi, Fajar Fathan Prawira, Fifi Ratna Ekasari, Ghita Respati R., Hafidz Nugraha, Haryo Sundaru, Ida Purnama Sari, Ima Apriliani, Insun Fastabikhul K., Ismi Handayani, Lita
Putri
Novianti,
Muhamad
Dimas
Prasetyaning
Negara,
Muhammad Imam Ustadzi, Muhammad Zakaria, Nawang Wulan, Ngarif Muksin, Pala Yuda Seno, Reza Agung Priambodo, Ria Novayani, Rini Dwi Rahayu, Sari Dwi Septiyani, Sartika, Susanto, Tika Vidya Utami, Ulfa Olivia, dan Vendi Pradana, terima kasih telah menjadi teman-teman yang baik dan budiman. Jangan pernah malu untuk kuliah di Satra Jawa. Teruslah bermimpi dan buatlah mimpi itu menjadi nyata (saya berharap agar kalian lulus dengan skripsi, amin). Terima kasih. 11. Untuk Gendis Oetoyo, terima kasih untuk segala dukungan, cerita, dan mimpi. Sejak tahun 2004 kita bersahabat, terima kasih untuk semuanya. It’s like we’re already “naked” each other. Your just my ordinary girl but you gi ve a l ittle e xtra t hat t urns y ou i nto an extraordinary one . Your m y movie-buddy, m y be st f riend, my Alyssa, my C ynthia, and m y Sal ly (selangkah lagi Dis buat meraih mimpi kita dan saya yakin itu akan terwujud! Amin). 12. Untuk
Rahmadina
Almira
Dasril
yang
sudah
dengan
sukses
mengganggu saya dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih untuk semua dukungannya. But m ost o f a ll, th ank y ou for be ing m y bi ggest temptation. If there’s one fool for you, then i am it. Dammit, i love you! 13. Untuk Dirga Maulana, Wisnu Saputra, Geandini Karina, Ineza Bastaman, Feby Santoso Putra, Devi Ayu Destiana, Tami Justisia, dan vii
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
lain-lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Thank you f or always believing in me, thank you, thank you, THANK YOU! 14. Terima kasih untuk semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu saya dan memberikan saya dukungan penuh dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih.
Akhir kata, semoga Tuhan YME bisa membalas dengan balasan yang setimpal bagi semua pihak yang telah membantu saya. Saya berharap agar penulisan skripsi ini membawa manfaat bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia dan ilmu pengetahuan luas. Terima kasih.
Jakarta, 27 Juni 2011
Penulis
viii
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: Fajar Billy Sandi : 0706293311 : Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa : Linguistik : Ilmu Pengetahuan Budaya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Nama Diri Tokoh Bima: Analisis Semantik Dan Kebudayaan beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Pada tanggal
: Depok : 27 Juni 2011
Yang menyatakan
Fajar Billy Sandi
ix
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Fajar Billy Sandi : Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa : Nama Diri Tokoh Bima: Analisis Semantik Dan Kebudayaan
Skripsi ini membahas konsep pemberian nama diri pada budaya Jawa dan termasuk ke dalam penelitian semantik-kebudayaan. Ada sebuah hubungan antara nama diri, makna dari nama diri, dan ciri-ciri referensialnya. Dalam budaya Jawa, ada sebuah harapan yang ingin disampaikan oleh orang tua agar kelak anak tersebut bisa mencontoh makna nama dirinya. Pola pemberian nama diri ini ternyata juga berlaku pada pemberian nama diri pada tokoh dalam cerita fiktif, salah satu contoh adalah tokoh wayang yang terkenal yaitu Bima. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan bahwa dalam nama diri tokoh cerita fiktif bukan harapan yang muncul dari makna nama diri tersebut tetapi konsistensi penggambaran di dalam cerita antara nama diri, makna nama diri, dan ciri referensialnya. Hasil dari penelitian ini membuktikan konsistensi orang Jawa dalam pemberian nama, tidak hanya dalam kehidupan nyata tetapi juga dalam cerita fiktif. Kata kunci: Nama diri, makna, referen, budaya
x Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
ABSTRACT Name Study Program Title
: Fajar Billy Sandi : Javanese Literature : Bima’s Proper Name: Analytical Of Semantics And Cultural
This thesis discusses the concept of self-naming in Javanese culture that belongs to a semantic-cultural research. There is a relationship between a proper name, a meaning of the proper name itself, and characteristics of its reference. In Javanese culture, parents sometimes expect that later their children can imitate or apply the meaning of the name itself in real life. This pattern also applies to naming fictional characters in the story, e.g. Bima, one of the most famous puppet fictional characters. But, there is a slight difference in the naming of the fictional characters. It is not about parents’ hope that relates into their children’s names but the consistency of the depiction in the story between the proper name, the meaning of the proper name itself, and the characteristics of its reference. The results of this study prove that the consistency of the Javanese parents in giving names does not apply only in a real life, but also in a world of literature for fictional characters. Key words: Proper name, meaning, referents, culture
xi Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv KATA PENGANTAR…………………………………………………....... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...................... ix ABSTRAK.....................................................................................................x ABSTRACT.................................................................................................. xi DAFTAR ISI................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv 1. PENDAHULUAN.................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................. 5 1.4. Kerangka Konseptual....................................................................... 5 1.5. Landasan Teori................................................................................ 6 1.6. Metode Penelitian............................................................................ 7 1.7. Sumber Data Dan Pembatasan Data................................................ 8 1.8. Studi Pustaka................................................................................... 9 1.9. Sistematika Penulisan...................................................................... 10 2. KONSEP NAMA DAN DASANAMA DALAM BUDAYA JAWA.....11 2.1. Tradisi Pemberian Nama Pada Masyarakat Jawa............................ 11 2.2. Dasanama Dalam Budaya Jawa...................................................... 14 3. ANALISIS DATA.................................................................................... 17 3.1. Landasan Teori................................................................................ 17 3.1.1. Semantik Leksikal................................................................. 17 3.1.2. Teori Makna Ogden Dan Richards........................................ 19 3.1.3. Teori Taksonomi.................................................................... 21 3.1.4. Teori Budaya: Bahasa, Pemikiran, dan Kebudayaan........... 22 3.2. Nama Diri Tokoh Bima................................................................... 23 3.3. Analisis Referensial Nama Diri Wrekodara.................................... 26 3.4. Analisis Referensial Nama Diri Bratasena...................................... 63 3.5. Konsep Budaya Jawa Pada Nama Diri Bima...................................102 3.5.1. Nama Diri Bima Sebagai Wrekodara.................................... 106 xii Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
3.5.2. Nama Diri Bima Sebagai Bratasena......................................108 4. PENUTUP................................................................................................. 111 4.1. Kesimpulan...................................................................................... 111 4.2. Saran................................................................................................ 112 DAFTAR REFERENSI............................................................................... 114 LAMPIRAN..................................................................................................116 Tabel Data 1: Bratayuda-Wrekodara (1.01.)................................................. 116 Tabel Data 2: Serat Bima Bungkus-Bratasena (2.02.)...................................125
xiii Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta referen yang menunjukkan hubungan hierarki taksonomi antara nama diri Wrekodara dengan ciri-ciri referensialnya........................... 62 Gambar 2 Peta referen yang menunjukkan hubungan hierarki taksonomi antar nama diri Bratasena dengan ciri-ciri referensialnya.......................... 102
xiv Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam salah satu karyanya yang terkenal, Romeo and J uliet, William Shakespeare pernah mengatakan “…what's in a name? That which we call a rose. By any ot her nam e would smell a s s weet…” (Romeo A nd J uliet, babak ke-2 bagian ke-2:39). Di sini, William Shakespeare mempermasalahkan nama Montague, saat Juliet berbicara dengan Romeo, bahwa untuk mencintai seseorang tidak perlu memandang nama keluarga besar. Hanya dengan nama saja, dua keluarga besar tersebut dapat berselisih paham. Ada kesinambungan bahwa nama memiliki makna tertentu. Untuk sebagian orang, sebuah nama mempunyai arti yang penting. Menurut Kamus B esar B ahasa I ndonesia 1 (2007, edisi ke-3:773) nama 2 memiliki arti ‘1) kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dsb); 2) gelar; sebutan; 3) kemasyhuran; kebaikan (keunggulan); kehormatan.’ Terlihat bahwa nama memanglah sebuah identitas bagi seseorang untuk membedakannya dengan orang lain. Bagi orang Jawa, nama merupakan hal yang penting. Setiap nama yang dipakai orang Jawa pasti mempunyai makna yang terkandung di dalamnya dan mempunyai maksud serta arti tertentu (http://setyawara.webnode.com/news/ tinjauan-sekilas-nama-orang-jawa/ oleh Setya Amrih Prasaja yang diakses pada 24 April 2010 jam 14:41). Nama tidak diberikan kepada seseorang secara sembarangan
tetapi
memegang
kaidah-kaidah
tertentu.
Koentjaraningrat
(1984:105) mengatakan bahwa pemberian nama pada orang Jawa bergantung kepada tingkat sosial. Terlihat jelas perbedaan nama-nama yang dipakai antara 1
2
Penulis banyak menggunakan makna dari kamus sebatas mengetahui makna leksikal yang sudah disepakati bersama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Penulis tidak menggunakan makna tersebut secara luas, sekedar untuk membatasi cakupan analisis. Sebuah kata bisa bermakna luas dan untuk meneliti makna-makna yang ada di dalam kamus, penulis membutuhkan korpus data yang sangat banyak dan membutuhkan penelitian sendiri. Sehingga, pemaknaan dengan menggunakan kamus di sini untuk pemaknaan makna leksikal pada nama diri tokoh Bima dan makna leksikal yang menunjuk referen-referen yang muncul. Perihal mengenai nama dalam linguistik akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 2.
1 Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
2 kaum petani dan kaum priyayi. Ada maksud yang ingin disampaikan dari pemberian nama tertentu, seperti seorang anak laki-laki yang diberikan nama Slamet. Kata slamet dalam Bausastra D jawa (Poerwadarminta, 1939:567) memiliki makna ‘selamat, jauh dari marabahaya.’ Sehingga, ada harapan bahwa anak yang diberi nama Slamet agar selama hidupnya selalu mendapat keselamatan dari Tuhan. Pemaknaan akan makna nama diri muncul dari berbagai macam nama atau kata yang orang Jawa gunakan, tidak terkecuali nama-nama yang muncul dalam cerita wayang. Nama yang muncul dalam cerita wayang menjadi favorit orang Jawa. Susetya (2007:65) berpendapat bahwa mereka, dalam hal ini orang-orang Jawa, gemar beridentifikasi dengan tokoh-tokoh wayang tertentu untuk bercermin dan mencontoh karakter serta sifatnya dalam melakukan perbuatan di kehidupan sehari-hari. Pendapat V.M. Clara van Groenendael (1978) dalam naskah An Annotated Bibliography of Wayang Literature and the Art of the Dalang yang disunting oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan J awa (1984:289) menjelaskan adanya kemungkinan bahwa wayang merupakan bentuk kesenian rakyat Jawa yang paling banyak dideskripsikan dan dikaji hingga lebih dari 1.000 judul. Pendapat itu menunjukkan keberadaan wayang mempunyai pengaruh yang besar bagi kebanyakan masyarakat Jawa. Apalagi mengenai keberadaan tokoh-tokoh wayang yang banyak menginspirasi masyarakat Jawa, bahkan hingga luar Jawa, terutama tokoh Pandawa Lima dari cerita Mahabharata. Salah satu di antaranya tokoh Bima yang sejak dulu merupakan tokoh idola bagi banyak penggemar wayang (Harsrinuksmo dkk. 1999, Jilid 1:303). Dalam cerita wayang, seperti tokoh-tokoh wayang lain, Bima memiliki berbagai macam nama diri atau dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah dasanama. 3 Dasanama nama diri tokoh Bima meliputi Raden Wrekudara, Raden Bratasena, B imasena, Se na, B ayuputra, J agal A bilawa, D andum Wacana, 3
Dasanama dibentuk dari kata dasa yang berarti sepuluh dan nama yang berarti nama. Padmosoekotjo (1953:73) menjelaskan pengertian dasanama sebagai wong siji darbe jeneng sepuluh ‘satu orang mempunyai sepuluh nama.’ Akan ada subbab tersendiri yaitu subbab 2.2., dalam penelitian ini yang akan membicarakan perihal dasanama. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
3 Kusumawaligita, B ondan Paksa J andu, dan sebagainya (Susetya, 2007:92). Ada konsep yang ingin disampaikan melalui pemberian dasanama sebagai nama diri atau identitas. Pemberian dasanama ini berdasarkan pendeskripsian fisik, karakteristik, tindakan, dan profesi dari tokoh Bima. Dengan demikian pencitraan untuk tokoh Bima, baik secara fisik maupun karakter, secara tidak sadar masih berhubungan dengan penamaan yang diberikan kepada tokoh Bima. Berikut merupakan beberapa makna nama Bima yang sering dipakai: a. Nama Bima berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata bhīma4 yang memiliki tiga macam arti, yaitu takut, menakutkan; buruk sekali, mengerikan, dahsyat, malas, tidak baik, yang sama sekali tidak menyenangkan; dan luar biasa, hebat, berat. Dalam bahasa Jawa Baru, kata bima (Poerwadarminta, 1939:45) juga berakar dari bahasa Sansekerta yang bermakna medeni ‘menakutkan’ dan nggegilani ‘hebat.’ b. Bhīmaséna juga berasal dari bahasa Sansekerta 5 yang artinya having a terrible army ‘berperawakan panglima perang yang menyeramkan.’ c. Nama lain dari Bima adalah Wrekudara atau Wrekodara. Kata wrekodara juga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu vrika 6 yang berarti ‘serigala’ dan udara 7 yang berarti ‘perut.’ Dalam bahasa Sansekerta dilafalkan dengan vrikaˬudara yang mengacu pada arti bhīmaséna. Sedangkan makna leksikalnya berarti ‘perut srigala’ yang mengacu pada kegemaran Bima menyantap makanan (Wirjosuparto, 1968:380). Sebagai contoh, saat masih muda di dalam lakon Bima B ungkus, Bima bernama Bimasena, Bratasena atau Sena saja karena Bima diselamatkan oleh gajah Sena yang kemudian roh dari gajah tersebut masuk ke dalam tubuh Bima (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:292). Dari penjelasan tersebut, terlihat adanya keterkaitan antara nama diri tokoh Bima, dalam hal ini Bratasena, dengan latar belakang yang membuat nama itu dipakai. Arthur Anthony Macdonell, A Practical Sanskrit Dictionary: with Transliteration, Accentuantion, and Etymological Analysis Throughout (London, 1924) 206. 5 Ibid 6 Ibid. 294. 7 Ibid. 50. 4
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
4 Disebut oleh Palmer di dalam Semantics: Se cond E dition (1981:24) bahwa: ”The view we have just been criticizing relates words and things directly. A m ore s ophisticated and, at f irst sight, m ore plausible view is one th at relates them through the mediation of concepts of the mind. This view in all i ts e ssentials has be en he ld s ome phi losophers and l inguist f rom ancient times right up to the present day.”
Ada sebuah relasi atau hubungan antara kata dengan hal-hal lain, yang oleh Palmer disebut sebagai things, secara langsung. Dua hal ini dihubungkan dengan media berupa konsep yang ada di kepala manusia. Konsep inilah sebagai makna dari kata tersebut. Terlihat adanya kesinambungan secara langsung antara kata, dalam hal ini nama diri, dengan konsep yang ada di kepala manusia dengan obyek 8 secara langsung yang terlihat, yaitu penggambaran mengenai tokoh Bima di dalam cerita wayang. Nama diri tokoh Bima sebagai sebuah simbol yang dilambangkan dengan kata yang memiliki makna leksikal. Makna leksikal tersebut memunculkan referen-referen 9 yang mendukung makna dari nama diri tokoh Bima. Dari tiap nama diri yang berbeda, muncul referen yang berbeda pula. Hal inilah yang menarik bagi penulis bahwa masing-masing nama dari tokoh Bima mempunyai makna tersendiri dan mengacu pada referen yang berbeda. Ada semacam konsep budaya tentang pemberian nama, yang dalam penelitian ini diwakilkan pada tokoh Bima. Walaupun sudah banyak literatur maupun penelitian pada tokoh Bima, tetapi belum ada yang secara jelas membicarakan kemaknaan nama diri dari tokoh Bima dengan referen-referen yang diacu. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk menulis penelitian ini, untuk melengkapi penjelasan tokoh Bima.
1.2. Rumusan Masalah Pemberian dasanama pada tokoh Bima mempunyai keunikan tersendiri. Masing-masing simbol yang diberikan, dalam hal ini dasanama nama diri tokoh 8
9
Objek di sini mengacu pada “kategori semantis yang dalam semua bahasa menunjuk pada orang, binatang, tempat, benda, dsb” (Kridalaksana, 2008, edisi ke-4:166). Referen merupakan “unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa” (Kridalaksana, 2008, edisi ke-4:208). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
5
Bima, mengacu pada referen yang berbeda. Referen tersebut adalah objek atau peristiwa yang disebutkan dalam cerita-cerita wayang sebagai pembentukkan citra tokoh Bima. Dasanama nama diri tokoh Bima mewakili masing-masing fase kehidupan Bima, mulai dari Bima lahir hingga dewasa, juga karakteristik Bima. Pada dasanama nama diri tokoh Bima masing-masing mengandung makna leksikal dengan referen sebagai makna referensialnya. Sehingga dicapai rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa makna referensial yang terkandung pada masing-masing dasanama nama diri pada tokoh Bima? 2. Konsep budaya apa yang ingin disampaikan melalui pemberian dasanama nama diri pada tokoh Bima?
1.3. Tujuan Penelitian Sudah dijelaskan di atas mengenai pengertian nama serta pentingnya makna sebuah nama bagi tiap-tiap individu. Tiap-tiap nama tidak dibuat secara sembarangan melainkan ada sebuah konsep yang ingin disampaikan. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan penjabaran mengenai makna referensial pada masing-masing dasanama nama diri pada tokoh Bima. 2. Memperlihatkan konsep budaya yang disampaikan melalui pemberian dasanama nama diri pada tokoh Bima. 1.4. Kerangka Konseptual Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka konseptual sebagai berikut: − Nama merupakan salah satu fungsi kata dalam bahasa yang digunakan untuk menyebut atau memanggil seseorang sebagai suatu identitas yang membedakannya dengan orang lain. − Setiap nama diri mengacu pada referen tertentu yang mana tiap referen dilambangkan dengan simbol yang berbeda.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
6 − Arti nama bisa ditemukan melalui analisis makna leksikal, apabila makna nama mengacu pada objek atau peristiwa yang berhubungan dengan kata yang melambangkan nama diri. − Tokoh wayang Bima memiliki banyak nama, di antaranya adalah Wrekodara dan Bratasena. 10 − Mengacu pada teori makna, referen yang diacu oleh dua nama Bima di atas tidak sama. − Referen yang ditunjuk oleh dua nama Bima berupa deskripsi fisik, karakteristik, tindakan, dan peran yang berbeda-beda. − Berdasarkan referen yang diacu, nama-nama Bima membentuk hubungan hierarki taksonomi yang menunjukkan klasifikasi ciri-ciri referen yang diacu oleh nama-nama Bima. − Penamaan seorang tokoh dengan beberapa nama yang
berbeda
menunjukkan adanya sebuah konsep budaya tentang pemberian nama, dalam hal ini tokoh wayang Bima.
1.5. Landasan Teori Ada empat teori yang penulis butuhkan dalam penelitian nama diri tokoh Bima, yang meliputi11: a.
Teori semantik leksikal Nama diri tokoh Bima merupakan sebuah kata yang memiliki makna. Makna tersebut merupakan sebuah makna leksikal. Chaer (1989:62-63) berpendapat bahwa secara sederhana, makna leksikal merupakan makna seperti yang terdapat dalam kamus, tetapi juga memiliki referen yang sesuai dengan hasil observasi alat indra atau makna yang sungguhsungguh nyata dalam kehidupan.
b. Teori makna Ogden dan Richards Teori makna oleh Ogden dan Richards digambarkan dalam bentuk segitiga semantik yang menghubungkan tiga elemen, yakni symbol, t hought or 10
Penjelasan mengenai pilihan penulis pada dua nama Bima di atas akan dijelaskan pada sub bab 1.7. dan sub bab 3.2. 11 Penjelasan lebih jauh mengenai teori-teori yang dipakai akan dibahas pada sub bab 3.1. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
7 reference, dan referent. S ymbol sebagai kata atau dasanama nama diri tokoh Bima, thought or reference berupa pemaknaan dasanama nama diri tokoh Bima secara makna leksikal, dan referent sebagai “pembendaan” dari makna leksikal yang muncul dari dasanama nama diri tokoh Bima yang dideskripsikan di dalam cerita. c.
Teori taksonomi Masing-masing dasanama nama diri tokoh Bima memunculkan makna dan referen-referen yang berbeda. Dari referen yang muncul membutuhkan teori taksonomi untuk mengklasifikasikan masing-masing referen tersebut.
d. Teori budaya Teori budaya yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Hudson (1990) dalam buku Sociolinguistics perihal hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan. Rahyono (2009:78) mengutip Hudson (1990) bahwa pemikiran manusia melibatkan kegiatan pikiran di dalam otak yang meliputi ingatan, materi penyimpulan, konsep, dan proposisi. Antara kata pada nama diri tokoh Bima, makna yang dikandung, dan referen-referen yang muncul berhubungan satu sama lain dan membentuk konsep budaya yang dimiliki oleh orang Jawa tentang pemberian nama.
1.6. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan berupa metode deskriptif kualitatif. Sumber data berdasarkan korpus teks dari cerita-cerita yang mendeskripsikan tokoh Bima yaitu Bratayuda dan Serat Bima B ungkus. Pemilihan cerita ini berdasarkan penggunaan simbol atau dasanama atau nama diri tokoh Bima yang digunakan pada setiap cerita yang menggambarkan referenreferen Bima yang berbeda. Metode deskriptif merupakan penjabaran berdasarkan pada fakta yang ada sehingga menghasilkan paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1988:62). Faktafakta ini didapatkan berdasarkan korpus teks yang mendekripsikan tokoh Bima yang memunculkan makna leksikal pada nama diri tokoh Bima beserta
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
8
referennya. Data dijaring dengan menggunakan teknik catat. Teknik catat digunakan untuk mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2007:94). Analisis data dilakukan dengan berdasarkan analisis makna referensial pada masing-masing dasanama nama diri tokoh Bima yang mengacu pada tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan profesi. Metode kualitatif merupakan suatu proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah (Silalahi, 2009:77). Penggunaan metode kualitatif ini dipakai untuk mengetahui konsep budaya Jawa pada pemberian nama diri. Penulis menemukan beberapa tahapan pemberian nama yang dijadikan sebagai dasar dalam menemukan konsep pemberian nama tersebut. Data-data yang penulis temukan diperinci satu per satu dan mencoba merumuskannya menjadi sebuah konsep.
1.7. Sumber Data dan Pembatasan Data Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dibatasi atas dua macam nama diri tokoh Bima. Dua nama diri tersebut adalah: a. Wrekodara dalam Bratayuda karangan R. Ng. Kartapraja. b. Bratasena dalam Serat Bima Bungkus karangan Tjan Tju An. Pemilihan akan dua nama diri tokoh Bima di atas didasarkan pada makna leksikal yang memunculkan referen-referen yang berbeda. Kedua dasanama nama diri tokoh Bima di atas berbeda dengan namanama Bima yang lain yang hanya berupa sebutan atau gelar, seperti Wayunenda/Bayuputra/Bayu T anaya/Bayu Sut a/Bayu Si wi yang menandakan bahwa Bima adalah putra Batara Bayu atau Arya Jodipati yang juga sebagai tanda bahwa Bima pernah tinggal di Kasatrian Jodipati (Harsrinuksmo dkk. 1999, Jilid 1:300—301). Seperti contoh tadi, nama diri Bima yang lain tidak menunjukkan kemaknaan yang khas, referen yang muncul langsung bersangkutan pada nama diri yang muncul. Selain itu, dua nama diri tokoh Bima dalam penelitian ini
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
9
merupakan nama-nama yang populer, yang paling sering disebut di dalam berbagai macam cerita wayang.
1.8. Studi Pustaka Pembahasan mengenai tokoh wayang Bima dan perihal nama-nama Jawa telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti, di antaranya: a. Di tahun 2000 sudah ada disertasi yang berjudul Citra B ima D alam Kebudayaan J awa oleh Woro Aryandini S. Disertasi ini termasuk ke dalam penelitian tentang sejarah kebudayaan pada citra Bima yang diwujudkan dalam sumber data tertulis berupa karya sastra dan prasasti. Tokoh Bima mampu tampil dalam berbagai situasi sebab penggambaran tokoh Bima dapat memenuhi kebutuhan perlambangan untuk banyak golongan masyarakat (Sumaryoto, 2000:135). Citra Bima juga mengalami penyesuaian sejak ’zaman budaya’ Jawa Kuna, Jawa pertengahan hingga Jawa Baru. Pada ‘zaman budaya’ Jawa Kuna, Bima digambarkan sebagai pahlawan perang; pada ‘zaman budaya’ Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Pertengahan, Bima digambarkan sebagai tokoh yang mencari ‘air kehidupan’; pada ‘zaman budaya’ Jawa Baru saat pengaruh Islam mulai masuk, tokoh Bima digambarkan sebagai pahlawan perang, orang suci, dan peruwat (Sumaryoto, 2000:128-129). Akan tetapi, Sumaryoto belum membahas secara terperinci mengenai kemaknaan dasanama nama diri pada tokoh Bima untuk tiap-tiap referennya. Hanya disebutkan beberapa makna nama seperti Wrekodara tanpa ada penjelasan yang lebih jauh. Sehingga dengan adanya tulisan ini bisa semakin melengkapi penjabaran mengenai tokoh Bima, khususnya dengan konsep budaya Jawa yang dinyatakan dengan dasanama nama diri tokoh Bima. b. Di tahun 1977 mengenai tulisan R. Hatley yang berjudul What’s i n a Name: Arti Sosial Seperti Terlihat Dalam Nama dan P erubahan Laziman (Mode) N ama di J awa tentang perihal nama-nama dalam budaya Jawa beserta pembagiannya. Akan tetapi, penulis tidak dapat menemukan
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
10
naskah atau tulisan ini. Penulis dapat membacanya berdasarkan penjabaran yang dikutip oleh Koentjaraningrat di dalam Kebudayaan Jawa. 1.9. Sistematika Penulisan Skripsi ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu: Bab 1 berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian, sumber data dan pembatasan data, studi pustaka, dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi tradisi pemberian nama pada masyarakat Jawa dan dasanama dalam budaya Jawa. Bab 3 berisi analisis data yang meliputi teori yang digunakan dalam penelitian, penjelasan nama diri tokoh Bima, analisis dua nama diri tokoh Bima yaitu Wrekodara dan Bratasena beserta analisis makna referensialnya, serta konsep budaya pada nama diri tokoh Bima. Bab 4
berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
Daftar Referensi. Lampiran-lampiran.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
BAB 2 KONSEP NAMA DAN DASANAMA DALAM BUDAYA JAWA
2.1. Tradisi Pemberian Nama pada Masyarakat Jawa Nama memiliki arti ‘1) kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dsb); 2) gelar; sebutan; 3) kemasyhuran; kebaikan (keunggulan); kehormatan’ (Kamus B esar B ahasa I ndonesia, 2007, edisi ke3:773). Sedangkan dalam istilah linguistik, nama lebih dikenal dengan istilah nama diri atau proper name/proper noun yang memiliki arti ‘nama orang, tempat, atau benda’ (Kridalaksana, 2008:161). Disebutkan oleh Palmer dalam Semantics: Second E dition (1981:129) nama juga disebut sebagai proper noun s yang bisa digunakan sebagai nama orang, aspek, dan benda yang memiliki makna tertentu. Nama dijadikan identitas bagi pemiliknya untuk membedakannya dengan orang lain. Sehingga, sebagai sebuah identitas bagi tiap orang, terkadang nama memiliki sebuah makna tertentu. Dalam budaya Jawa yang memiliki kekayaan ragam budaya, ada sebuah ciri khas tersendiri dalam pemberian nama bagi seseorang. Walaupun tidak ada upacara khusus saat pemberian nama berlangsung tetapi nama diberikan langsung secara otomatis saat seorang bayi lahir atau bersamaan dengan upacara slametan brokohan sebagai upacara untuk merayakan kelahiran bayi (Koentjaraningrat, 1984:104). Pada umumnya tradisi mengenai jenis nama yang diberikan kepada seorang anak, tergantung pada tingkat sosial orang tuanya. Perbedaan yang jelas terlihat dari pemberian nama ada pada tiap-tiap strata sosial dalam budaya Jawa. Dari penelitian oleh R. Hatley (1977) pada naskah What’s in a Name: Arti Sosial Seperti T erlihat D alam Nama dan P erubahan L aziman (Mode) N ama di J awa tentang nama-nama Jawa yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1984:105) membedakan perihal nama-nama tersebut berdasarkan strata sosial menjadi tiga golongan, yaitu golongan keluarga petani, golongan priyayi, dan golongan yang berorientasi Islam: 11 Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
12
a. Golongan keluarga petani Pada golongan petani, nama-nama yang muncul berupa nama-nama yang bersifat sederhana. Keluarga petani memberikan nama-nama yang singkat atau menunjukkan hari kelahiran bayi tersebut. Seperti contoh saat seorang anak lahir pada hari Jawa Pon, anak tersebut akan diberikan nama Poniyah atau Poniyem. Para orang tua Jawa juga kerap memberikan nama yang mempunyai makna tertentu seperti Beja dan Slamet. Hatley menyebutnya untuk nama-nama seperti di atas sebagai nama Jawa asli. 12 Bagi penulis, nama-nama yang memiliki makna seperti Beja dan Slamet menunjukkan harapan orang tua si anak agar kelak anak-anak mereka hidup dalam kebaikan dan keselamatan. Adanya perubahan nama saat masih kecil, golongan petani menggunakan nama julukan yang berubah saat dewasa kelak. Para petani juga mengerti perihal tata krama, mereka dengan menggunakan namanama dari golongan bangsawan. Karena ada semacam hukuman sosial seperti ditertawakan orang-orang sedesa atau akan membawa sial karena nama yang dipakai “terlalu berat” atau dikenal dengan istilah kawratan nami (Koentjaraningrat, 1984:104-105). b. Golongan priyayi Sebagai golongan priyayi, orang-orang Jawa telah memiliki pengetahuan yang lebih luas untuk memberikan nama bagi anak-anak mereka. Nama-nama yang dipakai bisa muncul dari banyak hal. Seperti nama-nama yang diambil dari cerita-cerita wayang atau bahasa Sansekerta 13 seperti Arjuna, Bima, Yudistira, Kresna, dan lain-lain. Ada juga nama-nama yang diambil dari peristiwa-peristiwa penting seperti tanggal 17 Agustus sehingga anak tersebut diberi nama Merdekawati atau nama-nama yang diambil dari tanah Eropa seperti Hollan, Inggris, atau Engglan. 14 Hal lain yang bersangkutan dengan penamaan nama diri Koentjaraningrat mengutip Hatley bahwa nama Jawa a sli pada umumnya berupa nama Malayo-Polinesia (1984:105). 13 Disebut oleh Hatley sebagai nama Jawa biasa (Koentjaraningrat, 1984:238). 14 Disebut oleh Hatley sebagai nama Jawa Baru (Koentjaraningrat, 1984:239). 12
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
13 berdasarkan golongan priyayi adalah penamaan yang diambil dari bahasa Jawa yang indah seperti Rini Sawitri dan nama yang dihubungkan dengan jabatan atau kedudukan seperti seorang sarjana hukum seperti darma atau jaksa, tanaya atau kusuma (Koentjaraningrat, 1984:239). “Keluarga-keluarga priyayi masa kini masih tetap menghindari nama-nama yang berbau ‘dusun’ seperti Ponimin, Beja, Leginem atau Juminah untuk diberikan kepada anak-anak mereka” (Koentjaraningrat, 1984:238). Penulis beranggapan bahwa golongan priyayi tersebut menghindari nama-nama tersebut untuk meningkatkan rasa percaya diri dan semakin memperkuat golongan priyayi mereka. c. Golongan yang berorientasi Islam Masuknya agama Islam di tanah Jawa juga memberikan pengaruh yang kuat terhadap konsep pemberian nama dalam budaya Jawa. Koentjaraningrat (1984:239) menyebutkan pada golongan keluarga yang berorientasi Islam, nama-nama yang muncul bercirikan nama-nama Arab, seperti Dahlan, Mohammad J en, Subaidah, Aisah dan lain-lain. Bagi sebagian orang Jawa yang tinggal di desa, nama Arab muncul bersamaan dengan nama Jawa, seperti Mahmud Saputra, Umar Hadi, Siti Aminah, Dewi Khotijah, dan lain-lain.
Dari penjabaran di atas, pemberian nama pada masyarakat Jawa tidak dilakukan atas sembarang hal. Banyak hal-hal yang dijadikan sebagai dasar pemberian nama diri bagi seseorang. Ada harapan atau keinginan kelak agar seorang anak baik sifat maupun nasib hidupnya seperti makna nama yang dikandung, walaupun tidak semua nama cocok bagi tiap-tiap orang. Penulis banyak menemukan orang yang tidak cocok dengan nama yang diberikan dan menjadi sakit-sakitan atau selalu tertimpa sial. Disebut di atas dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah kawratan nam i 15 seperti yang disebutkan oleh Poensen (1870) dalam Iets ov er J avaansche N aamgeving e n E igennamen dan harus 15
Koentjaraningrat (1984:105) menyebutkan istilah kawratan nami seperti yang disebutkan oleh Poensen. Nama yang “terlalu berat” atau kawratan nam i tersebut terjadi bila seseorang memiliki nama yang kurang cocok untuk dirinya sehingga membawa sial atau petaka buruk. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
14
dilakukan
upacara
penggantian
nama.
Seperti
yang
dijabarkan
oleh
Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984:239): “Akhirnya, para priyayi yang berorientasi tradisional ada juga yang mengganti namanya dengan alasan supranatural, yang seringkali dilakukan setelah mereka mengalami musibah atau sehabis sakit keras. Penggantian nama ini biasanya disertai suatu upacara slametan dan puasa yang dilakukan oleh yang bersangkutan.”
2.2. Dasanama dalam Budaya Jawa Dalam Ngengrengan K asusastraan D jawa dijelaskan perihal dasanama. Dasanama berasal dari kata dasa yang berarti ‘sepuluh’ dan kata nama yang berarti ‘nama.’ Sehingga makna dari dasanama yaitu jeneng nganti sapuluh kehe darbeke wong siji ‘nama sampai sepuluh untuk satu orang’ atau wong siji da rbe jeneng s apuluh ‘satu orang yang mempunyai sepuluh nama’ (Padmosoekotjo, 1953:73). Penulis menganggap bahwa penggunaan dasanama dalam budaya Jawa terkenal dalam dunia pewayangan. Pada masing-masing tokoh wayang mempunyai nama-nama lain yang mempunyai peran dan makna yang berbeda. Seperti dasanama tokoh Arjuna yang meliputi Arjuna, K umbawali, P arta, Margana, P andhuputra, K untadi, I ndratanaya, Prabu K ariti, P algunadi, dan Dananjaya (Susetya, 2007:95). Tiap-tiap nama pada dasanama tokoh Arjuna memiliki makna masing-masing seperti Kumbawali yang berarti ‘tempat rasa,’ Parta yang berarti ‘berbudi sentosa,’ Dananjaya yang berarti ‘menjauhkan diri dari soal-soal harta benda,’ dan lain sebagainya. Sebagai objek dalam penelitian ini, tokoh Bima juga memiliki dasanama yang banyak. Dasanama nama diri tokoh Bima yang dapat penulis data meliputi Bratasena atau Wijasena, W rekudara, A rya Se na, A rya B rata, Arya J odipati, Jayadilaga, K usumadilaga, W ayunenda, B ayuputra, B ayu T anaya, B ayu Sut a, Bayusiwi (Harsrinuksmo dkk. 1999, Jilid 1:300-301) serta Abilawa, D andum Wacana, K usumawaligita, B ondan P aksa J andu, dan sebagainya (Susetya, 2007:92). Macam-macam dasanama nama diri tokoh Bima mempunyai peranan dan makna masing-masing. Terlihat bahwa dasanama nama diri pada tokoh Bima berjumlah lebih dari sepuluh. Hal ini tidak melanggar perihal tentang dasanama,
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
15 sebab disebutkan bahwa dasanama bisa berjumlah genap sepuluh pas atau lebih (Padmosoekotjo, 1953:73). Dasanama mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya seputar penamaan diri pada tokoh wayang tetapi juga pada kata-kata yang bukan nama diri (Padmosoekotjo, 1953:74). Bisa dikatakan bahwa dasanama pada hal di luar nama berkaitan dengan sinonimi 16 kata. Dalam literatur Sarine Basa Jawa dibahas mengenai dasanama dalam bahasa Jawa yang bukan nama diri, melainkan hal-hal lain di luar nama diri. Seperti contoh dasanama kata bumi pada bahasa Jawa meliputi bantala, k isma, p ratala, bas undara, ba sundari, s iti, pr atiwi, dan lemah (Padmosoekotjo, 1967:148). Dasanama yang hadir mulai dari bahasa yang lumrah dipakai sehari-hari oleh orang Jawa kebanyakan hingga bahasa yang bersifat puitis. Padmosoekotjo (1953:74) sendiri berpendapat bahwa: “Wong k ang ne dya nggi lut K asusastraan D jawa, pr elu s ugih k awruh ‘dasanama’, supaya samangsa gawe reriptan kang sinawung ing tembang ora kecipuhan marang tibaning dhong-dhing utawa guru-lagune sijisijine tembang.”
Orang Jawa yang menggeluti kesusastraan Jawa diharapkan mengerti atau tahu banyak mengenai dasanama kata. Keperluan dasanama di sini sebagai kode estetik untuk memenuhi karya kesusastraan Jawa yang dinamakan macapat. Macapat memiliki metrum-metrum tersendiri untuk memenuhi kaidah estetika atau keindahan dari guru lagu, guru wilangan, dan guru swara. Penulis menemukan bahwa untuk karya kesusastraan Jawa, dalam hal ini macapat untuk cerita wayang yang bersifat naratif (Saputra, 2001:104-105) para pujangga juga menggunakan macam-macam dasanama para tokoh wayang untuk mengejar guru lagu, guru wilangan, serta guru swara yang sudah dibentuk untuk macapat. Sebab apabila pujangga melanggar aturan tersebut, bentuk macapat dinilai tidak indah lagi (Saputra, 2001:108). Contoh dalam karya sastra wayang naratif berjudul Pandhawa Gubah dari pakem pedhalangan yang memperlihatkan
16
Sinonimi merupakan “bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja” (Kridalaksana, 2008, edisi ke-4:222). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
16 dengan jelas dasanama nama diri tokoh Bima yang dipakai bermacam-macam untuk memenuhi kaidah guru lagu, guru wilangan, dan guru swara. Berikut cuplikan puisi naratif Pandhawa Gubah (1982:90) yang diringkas dan dialih-aksarakan oleh Drs. Sudibjo Z. Hadisutjipto yang merupakan tembang macapat dengan metrum kinanthi: 54. Heh patih iriden gupuh, satriya mring ngarsa mami, sandika rekyana patya, kanthi lan ditya paniti, prapta ngarsane Dyan Bima, kyana patih matur aris. 55. Raden K awula i ngutus, gus ti s ri nar apati, angi rid r aden paduk a, m ring ngarsane narapati, Dyan Wrekodara ngandika, hiya wong apa sireki. Untuk mengejar tuntutan guru w ilangan pada metrum kinanthi, pujangga menggunakan nama Bima dan Wrekodara. Sebab, bila pujangga hanya menggunakan salah satu nama saja, metrum yang sudah dibuat untuk pola kinanthi tidak akan tercapai dan dapat merusak nilai estetika dari macapat tersebut.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
BAB 3 ANALISIS DATA
3.1. Landasan Teori Penelitian mengenai dasanama nama diri tokoh Bima merupakan penelitian semantik-kebudayaan yang membahas masing-masing dasanama nama diri tokoh Bima dan makna yang dikandung beserta konsep budaya dibalik pemberian nama diri tersebut. Setiap dasanama memiliki makna dan referen yang berbeda. Dan hubungan antara dasanama nama diri, makna, dan referen mengacu pada sebuah konsep budaya dalam pemberian nama diri. Sehingga penulis membutuhkan empat macam teori, yaitu semantik leksikal, teori makna Ogden dan Richards, relasi hierarkis-taksonomi, dan teori hubungan antara bahasa, pemikiran, dan kebudayaan. Berikut penjelasan empat teori tersebut: 3.1.1. Semantik leksikal Persoalan makna bukanlah sekedar mencari arti kata tersebut di dalam kamus tetapi mengacu pada banyak hal. Persoalan mengenai sebuah makna sangat rumit sebab sebagai sebuah persoalan bahasa, makna memiliki keterkaitannya dengan segala macam kehidupan manusia (Chaer, 1989:27). Sebelum membahas mengenai makna leksikal, penulis ingin membicarakan dulu mengenai pengertian makna. Makna hadir sebagai sebuah tanda linguistik. Chaer mengutip de Saussure (1974) dalam buku Course I n G eneral L inguistics bahwa tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu: a. Yang diartikan atau signified merupakan konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. b. Yang mengartikan atau signifier merupakan kata-kata itu sendiri. Chaer (1989:29) mengambil kesimpulan bahwa tanda linguistik tersebut terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna yang mana kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada 17 Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
18
sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual). Sebuah nama diri mempunyai unsur-unsur seperti di atas. Nama diri terbentuk dari fonem-fonem yang bergabung menjadi sebuah kata, dan kata tersebut memiliki unsur bunyi. Kata tersebut memiliki makna yang merujuk pada sebuah referen yang terbentuk pada unsur di luar bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kata dengan makna bersifat arbitrer, yaitu tidak ada hubungan yang wajib antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya. Makna yang dikandung dalam nama diri merupakan makna leksikal. Secara sederhana, Chaer (1989:62-63) mengatakan bahwa makna leksikal memiliki pengertian sebagai makna yang terdapat di dalam kamus. Makna yang terdapat di dalam kamus tersebut memerlukan berbagai referen pendukung sebagai penguat makna tersebut. Makna leksikal juga bisa dikatakan sebagai makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna leksikal tidak bisa dilepaskan dengan referen yang membentuk kemaknaan suatu kata, dalam hal ini nama diri. Sebab sebuah nama yang memiliki makna leksikal memiliki gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti apa yang dilambangkan oleh nama itu. Bagaimana penulis mengaitkan dasanama nama diri tokoh Bima pada makna leksikal? Keragaman dasanama nama diri yang dimiliki tokoh Bima mempunyai makna masing-masing. Penulis melihat makna tersebut secara sederhana di dalam kamus. 17 Masing-masing dasanama nama diri tokoh Bima menunjukkan makna yang berbeda dan referen yang berbeda pula. Tokoh Bima merupakan sebuah tokoh fiksi, di dalam cerita fiksi naratif, yang memiliki nama. Tokoh Bima tidak hadir dalam kehidupan nyata manusia tetapi hadir di dalam cerita, baik lisan maupun tulis. Ada kesulitan 17
Penulis banyak menggunakan makna dari kamus sebatas mengetahui makna leksikal yang sudah disepakati bersama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Penulis tidak menggunakan makna tersebut secara luas, sekedar untuk membatasi cakupan analisis. Sebuah kata bisa bermakna luas dan untuk meneliti makna-makna yang ada di dalam kamus, penulis membutuhkan korpus data yang sangat banyak dan membutuhkan penelitian sendiri. Sehingga, pemaknaan dengan menggunakan kamus di sini untuk pemaknaan makna leksikal pada nama diri Bima dan makna leksikal pada referen-referen yang muncul. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
19
tersendiri bagi kata, dalam hal ini nama, yang hadir dalam cerita fiksi karena dibutuhkan perbedaan yang jelas antara dunia yang nyata dengan dunia khayal. Seperti yang dijelaskan oleh Palmer dalam Semantics: Second Edition (1981:19) bahwa: “But this is, of course, to admit that words are not just names of things, and i t must involve some f airly sophisticated explanation of t he way i n which we c an, by s ome k ind of anal ogy, m ove f rom gi ving nam es t o objects in the world to giving names to object that do not exist. Such an explanation i s pos sible, but s uch w ords ar e e vidence of t he f act t hat words are not simply names of the objects of our experience.”
Nama yang muncul bukan sekedar sebuah nama, tetapi memiliki makna yang tertentu sebagai sebuah analogi antara dunia nyata dengan dunia imajinasi. Penjelasan nama tersebut sebisa mungkin memilih kata-kata yang pas, yang digunakan sebagai nama, untuk menggambarkan sebuah tokoh. Sehingga, dasanama nama diri yang muncul pada tokoh Bima bukanlah sembarang kata, tetapi kata yang dipilih merupakan kata yang pas seperti apa yang dibayangkan oleh pencipta tokoh dalam dunia imajinasi dan dituangkan ke dalam cerita di dunia nyata.
3.1.2. Teori makna Ogden dan Richards Teori makna atau juga dikenal dengan teori segitiga semantik pertama kali diperkenalkan oleh Ogden dan Richards di tahun 1923 dalam buku The Meaning of M eaning. Teori ini digambarkan dalam bentuk segitiga yang menyatakan hubungan antara kata, makna kata, dan referennya. Kata disebut sebagai symbol, makna disebut thought or reference, dan objek yang ditunjuk disebut referent. Segitiga itu digambarkan sebagai berikut: Thought or Reference
Symbol
Referent
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
20 Symbol dalam hal ini sebagai elemen linguistik, yakni nama diri; thought o r reference sebagai makna atau konsep yang muncul dari nama diri; dan referent sebagai objek yang ada di dunia nyata, dalam hal ini penggambaran tokoh Bima berdasarkan nama diri yang muncul dalam cerita-cerita wayang. Antara symbol dan thought or reference disebutkan oleh Ogden dan Richards sebagai a c asual r elation atau simbolisasi yaitu hubungan langsung antara symbol, dalam hal ini nama diri, dengan makna yang dikandung; saat kita mengucapkan simbolisasi dari nama yang berupa kata, terbentuk makna baik secara sosial maupun psikologis. Lalu antara thoght or reference dan referent juga memiliki other c asual r elation atau refers t o baik secara langsung maupun tidak 18 antara makna dengan referennya. Sedangkan antara symbol dan referent tergambar garis putus-putus sebab hubungan keduanya tidak secara langsung atau an i mputed r elation. Sebab hubungan antara symbol dalam hal ini nama diri dengan referennya tidak memiliki keterkaitan yang wajib, sebagaimana hubungan antara symbol dan thought or r eference yang bersifat arbitrer. Nama sebagai symbol harus memiliki makna atau thought or reference untuk mengacu pada referen yang muncul akibat terbentuknya makna. Referen inilah yang memunculkan makna referensial bagi masingmasing symbol yang berupa nama diri. Makna referensial termasuk ke dalam unsur luar bahasa atau ekstralingual, yang sudah disebutkan di atas. “Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial” (Chaer, 1989:66). Dasanama nama diri tokoh Bima memunculkan referen-referen berbeda yang dibentuk oleh makna dari nama diri tersebut, sehingga makna yang muncul bersifat referensial. Referen yang muncul merupakan pendeskripsian tokoh Bima di dalam cerita-cerita wayang, seperti tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran.
18
Ogden dan Richards (1989:10-11) menyebutkan bahwa “more or less direct (as when we think about or attend to a coloured surface we see), or indirect (as when we ‘think of’ or ‘refer to’). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
21
3.1.3. Teori taksonomi Berdasarkan teori makna referensial yang memunculkan referenreferen dari pemaknaan dasanama nama diri tokoh Bima, dibutuhkan teori taksonomi sebagai pengklasifikasian referen-referen tersebut. Referen-referen yang muncul dari makna leksikal memiliki perilaku dan berhubungan satu sama lain. Inilah yang disebut dengan hubungan hierarki. 19 Nurhayati (2003) mengutip Cruse bahwa kondisi yang tertentu disebut sebagai relasi dominasi, yaitu superordinat sebagai unsur leksikal yang ada di atas, harus menguasai unsur leksikal yang ada di bawahnya. Dari hubungan hierarki ini, muncul konsep taksonimi. Kridalaksana (2008, edisi ke-4:234) menyebutkan bahwa taksonomi merupakan pengklasifikasian unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya. Teori taksonomi menghubungkan referen-referen dari dasanama nama diri tokoh Bima yang muncul menjadi satu-kesatuan. Satu-kesatuan tersebut berakar dari simbol yang berupa nama diri yang menjabarkan referen-referen berupa tindakan, karakteristik, peran, dan bentuk fisik yang langsung berhubungan dengan makna yang muncul. Sehingga teori taksonomi yang muncul berupa pemetaan makna nama diri tokoh Bima beserta makna referensialnya. Pemetaan nama diri tokoh Bima beserta referen-referennya mengacu pada konsep taksonomi yang melekat pada keberadaan bahasa alami. Nurhayati (2003) menjelaskan maksud uraian tersebut bahwa unsur-unsur leksikal yang dimiliki oleh setiap bahasa membentuk pertalian makna yang tidak dapat dipisahkan dari konsep taksonomi. Sehingga nama diri tokoh Bima yang memiliki sebuah makna tidak dapat dipisahkan dengan referenreferennya. Tanpa adanya referen, makna nama diri tokoh Bima tidak muncul dan tidak bermakna.
19
Kridalaksana (2008, edisi ke-4:82) berpendapat bahwa hierarki merupakan “pengaturan secara berurutan unsur-unsur bahasa mulai dari yang terkecil (terendah) sampai yang terbesar (tertinggi).” Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
22
3.1.4. Teori budaya: bahasa, pemikiran, dan kebudayaan Dalam
tujuh
unsur
kebudayaan,
Koentjaraningrat
(1980:217)
menyebutkan bahwa bahasa sebagai salah satu dari ketujuh unsur tersebut dan menempatkan bahasa pada urutan pertama. Menurut penulis penempatan bahasa pada urutan teratas bukanlah hal yang sembarangan karena bahasa memegang peranan yang penting dalam sebuah kebudayaan. Rahyono (2009:76) mengatakan bahwa bahasa merupakan representamen kebudayaan yang mana digunakan oleh manusia untuk mengatasi keterbatasannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Tanpa adanya bahasa, sebuah kebudayaan sulit untuk dimengerti atau dipahami. Di sinilah terlihat jelas, mengapa bahasa berada di posisi atas dalam tujuh unsur kebudayaan. Nama diri yang dilambangkan dengan kata merupakan salah satu alat yang dijadikan manusia untuk berinteraksi. Nama diri dijadikan identitas oleh pemiliknya, tidak hanya berlaku pada nama diri di dunia nyata tetapi juga berlaku pada tokoh di dalam cerita fiktif. Sebagai sebuah tokoh dalam dunia pewayangan, tokoh Bima jelas memiliki banyak nama atau dasanama yang dijadikan sebagai identitas diri. Dan dibalik nama diri tersebut ada sebuah konsep budaya tentang pemberian nama. Konsep
budaya
pada
pemberian
nama
diri
tokoh
Bima
memperlihatkan adanya hubungan antara budaya sebagai representamen kebudayaan dengan kebudayaan itu sendiri. Rahyono (2009: 78) menjelaskan adanya keterkaitan antara keduanya yaitu bahasa (sebagai hasil karya manusia dan dalam penelitian ini berupa nama diri), pemikiran )yaitu proses berpikir manusia yang berhubungan dengan konsep), serta kebudayaan yang mencakup keduanya. Jawaban akan penjelasan di atas terdapat pada teori Hudson (1990) perihal thought ‘pemikiran’ dalam Sociolinguistics. Rahyono (2009:78-79) mengutip Hudson (1990) bahwa thoght ‘pemikiran’ melibatkan kegiatan pikiran atau mental a ctivity yang meliputi memory ‘ingatan,’ inference ‘materi penyimpulan,’ concepts ‘konsep,’ dan propositions ‘proposisi.’ Ketika pengarang cerita memberikan nama diri pada tokoh Bima, sang
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
23
pengarang cerita sudah menerapkan pemikiran tentang kata dan makna yang tepat sebagai nama diri dengan penggambaran tokoh Bima yang ada dalam cerita. Tiga hal pertama yaitu memory, i nference, dan concepts yang berhubungan dengan konsep di kepala manusia sedangkan propositions merupakan representasi akan konsep dalam wujud bahasa, dalam hal ini berupa nama diri.
3.2. Nama Diri Tokoh Bima Seperti tokoh wayang lain, tokoh Bima mempunyai nama diri yang banyak. Pada penjelasan pada Bab 2 di atas, istilah bagi orang yang memiliki nama diri lebih dari satu, bahkan sampai sepuluh, disebut dengan dasanama. Secara leksikal, dari tiga jenis bahasa yaitu bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, dan Jawa Baru; kata bhîma dan/atau bima memiliki makna sebagai berikut: a. Bahasa Sansekerta Kata bhîma dalam bahasa Sansekerta memiliki makna ‘takut, menakutkan; buruk sekali, mengerikan, dahsyat, malas, tidak baik, yang sama sekali tidak menyenangkan; luar biasa, hebat, berat’ (Macdonell, 1924:206). b. Bahasa Jawa Kuna Kata bhîma dalam bahasa Jawa Kuna memiliki makna ‘menakutkan, mengerikan, hebat, luar biasa’ (Zoetmulder, 2006:125). c. Bahasa Jawa Baru Kata bima dalam bahasa Jawa Baru
memiliki makna medeni
‘menakutkan,’ dan nggegilani ‘luar biasa’ (Poerwadarminta, 1939:45). Walaupun dari bahasa yang berbeda, kata bhîma atau bima sama-sama memiliki makna yang sama yaitu ‘menakutkan’ dan ‘luar biasa.’ Sehingga walaupun dilambangkan dalam bahasa yang berbeda, makna nama diri Bhîma atau bima secara leksikal sama. Persamaan tersebut muncul dari adanya pencitraan yang ingin disampaikan pengarang cerita bahwa tokoh Bima merupakan tokoh yang menakutkan dan luar biasa.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
24 Pada hasil penelitian Sumaryoto dalam Citra B ima D alam K ebudayaan Jawa (2000:128-129) yang menjabarkan pencitraan tokoh Bima melalui tiga ‘zaman budaya,’ yaitu: a. ‘Zaman budaya’ Jawa Kuna Pada ‘zaman budaya’ Jawa Kuna, citra Bima digambarkan sebagai tokoh pelindung, pemberani, tegas, bengis, dan menuruti nasihat keluarga. Maksud dari tokoh pelindung adalah Bima mempunyai peran sebagai pahlawan perang seperti yang tergambar dalam Ādiparwa, Wirataparwa, dan Udyogaparwa (Sumaryoto, 2000:104). Peran yang paling dominan memang Bima dikenal sebagai pahlawan perang karena pada ‘zaman budaya’ Jawa Kuna masih banyak berdiri kerajaan-kerajaan HinduBuddha. Pendapat Zoetmulder (1983:26) bahwa pada masa itu, kerajaan memerlukan tokoh yang dianggap mampu melestarikan kekuasaan penguasa, organisator, pelindung masyarakat, dan pembawa keamanan. Sehingga, pencitraan yang ada pada tokoh Bima tidak berbeda jauh dengan makna nama yang muncul dari kata bhîma itu sendiri. b. ‘Zaman budaya’ Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Pertengahan Pada ‘zaman budaya’ Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Pertengahan, muncul karya sastra Nawaruci. Mulai adanya pencitraan Bima dan hubungannya dengan religiusitas. Pada kitab Nawaruci, Bima menjadi seorang yang ingin mengetahui rahasia kehidupan dengan cara berguru. Citra Bima sebagai orang yang mencari hakikat hidup dan masih memiliki sifat bengis, suka makan, dan bersemadi (Sumaryoto, 2000:118). Di sini juga tidak berubah antara makna nama yang muncul dari nama diri Bima dengan pencitraan di dalam cerita. c. ‘Zaman budaya’ Jawa Baru Pada ‘zaman budaya’ Jawa Baru yang telah mendapat banyak pengaruh baik itu oleh bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Sansekerta, citra Bima tidak banyak berubah. Dalam Serat Baratayuda Bima masih digambarkan sebagai pahlawan perang, dalam Serat D ewaruci digali sisi religiusitas Bima. Hanya ada satu perbedaan yaitu pada lakon-lakon wayang koleksi
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
25
Moens II yang mana Bima digambarkan sebagai tokoh peruwat dan berhubungan dengan mitos kesuburan. Masing-masing citra yang ada masih berkaitan dengan makna yang muncul pada nama diri Bima.
Walaupun diceritakan dalam bahasa yang berbeda, nama diri tokoh Bima tidak mengalami pergeseran makna yang signifikan. Makna ‘menakutkan’ dan ‘luar biasa’ masih muncul dalam tiga ‘zaman budaya’ tersebut. Sebagai contoh dalam lakon Bale Si gala-Gala, Bima memperlihatkan kekuatan yang luar biasa dengan mampu menggendong keempat saudara beserta ibunya sekaligus di tubuhnya untuk kabur dari serangan para Korawa. Atau dalam lakon Pandawa G ubah, ketika Bima mampu mengangkat Bale K encana dan membawanya menyebrangi samudra luas. Juga dalam Ādiparwa, ketika Bima mampu menggoyang pohon jambu yang dipanjat oleh seratus Korawa hingga mereka terjatuh. Keragaman dasanama yang muncul pada tokoh Bima sebenarnya memiliki makna masing-masing. Dari Ensiklopedi W ayang I ndonesia J ilid 1 [
AB]
(Harsrinuksmo dkk. 1999, Jilid 1:300-301), berikut beberapa dasanama nama diri tokoh Bima yang berhasil penulis data: a. Bratasena/Wijasena/Aryasena yaitu nama diri tokoh Bima yang sering digunakan para dalang untuk menyebutnya ketika masih muda. Sebab Bima pernah membunuh Gajah Sena sewaktu bayi. b. Wrekodara memiliki makna ‘perut serigala’ atau ‘Bima seorang yang amat banyak makan.’ c. Arya Brata memiliki makna ‘seseorang yang tahan menderita.’ d. Jayadilaga/Kusumadilaga memiliki makna ‘seseorang yang selalu jaya dalam perang’ dan/atau ‘kembang peperangan.’ e. Ballawa/Jagal Abilawa memiliki makna ‘juru masak dan tukang daging.’ Nama ini dipakai Bima ketika menyamar selama satu tahun di Wirata. f. Arya Jodipati adalah sebutan, gelar atau tanda karena Bima pernah tinggal di Ksatrian Jodipati. g. Wayunenda/Bayuputra/Bayu Tanaya/Bayu Suta/Bayu Siwi adalah sebutan, gelar, atau tanda bahwa Bima adalah putra Batara Bayu.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
26
Dari ketujuh nama diri tokoh Bima, masing-masing nama menggambarkan makna ‘menakutkan’ dan ‘luar biasa’ walaupun tidak digambarkan secara langsung. Tujuh dasanama tersebut juga menggambarkan masing-masing peran Bima, bahwa saat mendapat peran yang berbeda, nama yang dipakai berbeda pula. Namun peran tersebut masih ada dalam lingkup makna yang sama. Penulis hanya memilih dua nama yaitu Wrekodara dan Bratasena pada nama diri tokoh Bima. Kedua nama tersebut memiliki makna leksikal yang berbeda dan memerlukan penjelasan lebih dalam. Berbeda dengan dasanama yang lain, seperti Arya Jodipati sebagai gelar atau tanda bahwa Bima pernah tinggal di Ksatrian Jodipati atau Bayu P utra yang menandakan Bima sebagai putra Dewa Bayu, yang langsung mengacu pada referen berupa tempat dan orang. Akan tetapi, dua dasanama Wrekodara dan Bratasena memiliki makna leksikal serta referenreferen pendukung yang banyak. Kedua nama tersebut juga menggambarkan makna ‘menakutkan’ dan ‘luar biasa’ pada nama diri Bima. Juga kedua nama tersebut mencakup citra Bima yang paling terkenal yaitu sebagai pahlawan perang. Segmen yang penulis ambil yaitu cerita Bratayuda yang memunculkan Bima dewasa sebagai Wrekodara dan cerita Serat B ima B ungkus yang memunculkan Bima sewaktu anak-anak sebagai Bratasena. Dan pada dua segmen tersebut, antara makna dua dasanama Bima dan penggambaran di dalam cerita, memiliki kecocokan.
3.3. Analisis Referensial Nama Diri Wrekodara Nama diri Wrekodara merupakan salah satu dasanama nama diri tokoh Bima yang paling sering dipakai, baik itu dalam lakon-lakon wayang maupun karya sastra Jawa yang lain. Nama diri Wrekodara muncul saat Bima sudah dewasa (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:302). Hal ini didukung dari banyaknya tulisan atau karya sastra yang penulis temukan bahwa nama diri Wrekodara muncul saat perang Baratayuda. Atau pada beberapa lakon carangan nama Wrekodara digunakan sebelum perang Baratayuda berlangsung. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bratayuda karya R. Ng. Kartapraja tahun 1980 sebagai korpus teks. Bratayuda berbentuk cerita fiksi Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
27 naratif yang berbentuk prosa dalam aksara latin. Dalam Bratayuda, nama diri yang muncul adalah Bima sebagai Wrekodara selama delapan belas hari perang Baratayuda. Ini menunjukkan bahwa dasanama nama diri tokoh Bima, yaitu Wrekodara,
memiliki
sebuah
peran.
Tokoh Bima
sebagai
Wrekodara
digambarkan sebagai ksatria yang gagah perkasa, sakti, sangat kuat, memiliki langkah yang cepat, dan jujur (Soetarno, 1992:298-300). Secara morfologis, nama diri Wrekodara berasal dari bahasa Sansekerta yang dibentuk dari dua kata yaitu vrika dan udara. Menurut A Practice Sanskrit Dictionary (1924) karangan Macdonnel, kata vrika berarti ‘serigala’ (1924:294) dan udara berarti ‘perut’ (1924:50). Secara leksikal, nama diri Wrekodara memiliki makna ‘perut serigala’ (1924:294). Pendapat Wirjosuparto yang dikutip oleh Sumaryoto dalam Citra B ima dal am K ebudayaan J awa (2000:105) nama Wrekodara berarti ‘yang berperut seperti serigala.’ Dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia (1999:300) disebutkan makna ‘perut serigala’ dari nama diri Wrekodara tersebut sebagai seorang yang amat banyak makan. Melalui teori makna Ogden dan Richards (1989), pemaknaan ‘perut serigala’ ini dapat dijelaskan melalui tiga hal, yaitu: a. Symbol yaitu kata Wrekodara. b. Thought or r eference yang berupa makna ‘manusia yang memiliki ciri karakteristik perut serigala.’ c. Referent yang berupa unsur-unsur luar bahasa yakni ‘manusia’ berperut serigala yang ditunjuk oleh symbol Wrekodara. Gambar yang didapat berupa segitiga makna, seperti di bawah ini: Thought or reference: ‘manusia yang memiliki ciri karakteristik perut serigala’
Symbol: Wrekodara
Referent: referen berupa manusia ‘berperut serigala’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
28
Referen dari makna ‘perut serigala’ tidak hanya terdiri dari satu referen saja tetapi muncul berbagai macam referen yang menggambarkan makna ‘perut serigala’ secara referensial. Makna ‘perut serigala’ tidak berdiri sendiri tetapi ada referen-referen sebagai penunjang makna. Referen yang muncul dibagi ke dalam beberapa kategori. Dalam hal ini, referen hadir sebagai analisis komponen makna. Kridalaksana (2008, edisi ke-4:14) menjelaskan bahwa analisis komponen sebagai “metode untuk memecah sebuah unsur atas bagian-bagian yang lebih kecil.” Makna ‘perut serigala’ bisa dibagi-bagi lagi menjadi referen-referen yang lebih kecil tetapi masih menggambarkan makna ‘perut serigala’ tersebut. Widdowson (1996:57) menjelaskan: “The e ssenstial pu rpose of c omponential ana lysis i s t o i dentify c ertain general conceptual categories or semantic principles which find expression in t he par ticular c omponents. A mong s uch c ategories ar e s tate, pr ocess, casuality, class m embership, pos session, d imension, location, and , as w e have s een with ‘ come’ and go’ ,directionality. B y e nvoking t hem, w e c an move on from the dontation of particular lexemes to the sense relations that exist between them.”
Dari pernyataan Widdowson di atas, analisis komponen makna nama diri Wrekodara dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: a. Kategori yang berupa class m embership. C lass m embership pada nama diri Wrekodara menjelaskan: •
Kedudukan posisi Wrekodara dalam cerita Bratayuda. Di depan nama diri Wrekodara muncul kata raden atau ‘sebutan bagi orang-orang keturunan raja’ (Poerwadarminta, 1939:515). Kata raden ini menunjukkan bahwa Wrekodara merupakan orang bangsawan.
•
Peran Wrekodara dalam cerita Bratayuda sebagai panglima perang.
b. Kategori yang berupa possession atau ‘kepemilikan’ (Echols dan Shadily, 1997:439). Kategori kepemilikan pada nama diri Wrekodara meliputi: •
Kepemilikan “tindakan” yang menjelaskan makna nama diri Wrekodara.
•
Kepemilikan “karakteristik” yang menjelaskan makna nama diri Wrekodara. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
29 •
Kepemilikan “deskripsi fisik” yang menjelaskan makna nama diri Wrekodara.
Dua pengkategorian analisis komponen ini menggambarkan konsep makna nama diri Wrekodara secara keseluruhan. Makna leksikal ‘perut serigala’ memunculkan referen-referen yang menjelaskan keseluruhan komponen makna Wrekodara. Penulis menemukan unsur-unsur luar bahasa dalam kedua kategori di atas yang ditunjuk oleh unsur bahasa berupa nama diri Wrekodara sebagai penggambaran tokoh Bima. Kedua unsur luar bahasa tersebut sebagai unsur-unsur referensial dari nama diri Wrekodara. Pada nama diri Bima sebagai Wrekodara, terdapat metafora 20 sebagai perbandingan antara ciri-ciri serigala dengan ciri-ciri Bima sebagai Wrekodara. Ciri-ciri ini masuk ke dalam kategori yang disebutkan oleh Widdowson tadi sebagai possession ‘kepemilikan.’ 21 Penulis menjadikan tindakan, karakteristik, dan deskripsi fisik sebagai tiga kategori analisis komponen, yang mana dijadikan sebagai penggambaran makna ‘perut serigala’ yang menunjuk pada referenreferen pendukung maknanya, yaitu: a. “Berperilaku buas.” Pada referen “membuas” masih bisa menunjuk pada referen-referen bawahan yaitu “seperti binatang,” “menakutkan,” “suka mengamuk,” dan “suka membunuh.” b. “Pemarah.” c. “Pemberani.” d. “Kaku.”
Dari keempat referen di atas, akan dimasukkan pada kategori yang sesuai berupa tindakan, karakteristik, atau deskripsi fisik dari nama diri Bima sebagai Wrekodara. Berikut ini analisis makna ‘perut serigala’ dari nama diri Wrekodara beserta analisis makna referensialnya: 20
Kridalaksana (2008, edisi ke-4:152) menjelaskan metafora sebagai “pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.” 21 Penulis tidak memasukkan kategori class membership ke dalam analisis referensial makna nama diri Wrekodara dikarenakan kategori tersebut tidak termasuk dalam cakupan makna ‘perut serigala.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
30
1. Berperilaku buas Referen “berperilaku buas” didapat dari makna ‘serigala’ pada nama diri Wrekodara. Menurut Kamus B esar B ahasa I ndonesia (2007, edisi ke3:1049) serigala memiliki makna ‘1) binatang liar 22 yg bentuknya seperti anjing dan warna bulunya kuning kelabu; 2) anjing hutan.’ Kata liar pada makna ‘binatang liar’ yang menunjuk serigala memperlihatkan sifat-sifat binatang yang tidak jinak, buas, tidak teratur dan lain sebagainya. Kata liar tersebut bersifat adjektiva, yaitu kata sifat. Munculnya kata buas pada makna liar memperlihatkan bahwa selain sebagai binatang liar serigala juga digambarkan sebagai binatang buas. Kata buas menunjuk kepada sifat yang ‘1) galak; liar; ganas; 2) bengis; kejam’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:168). Saat menunjuk pada verba atau kata kerja, kata buas berubah bentuk, yaitu mendapat afiksasi meNmenjadi membuas yang memiliki makna ‘mengganas; berlaku bengis’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:168). Kata membuas dapat disejajarkan dengan “berperilaku buas.” Dari makna ‘mengganas, berlaku bengis’ tersebut menunjuk kepada tindakan yang dilakukan oleh Wrekodara selama perang Baratayuda berlangsung. Ditemukan oleh penulis dalam cerita Bratayuda referen
sebagai
komponen
makna
yang
memperlihatkan
tindakan
“berperilaku buas.” Sehingga, referen “berperilaku buas” masih bisa memunculkan
referen-referen
lain,
yaitu
a.
“seperti
binatang,”
b.
“menakutkan,” c. “suka mengamuk,” dan d. “suka membunuh:” a. Seperti binatang Referen “seperti binatang” dikategorikan sebagai ciri referen “berperilaku buas.” Referen “seperti binatang” muncul atas dasar makna ‘serigala’ yang hadir pada pemaknaan nama diri Wrekodara. Tindakan “seperti binatang” di sini merupakan tindakan yang mengacu pada referen “berperilaku buas” yaitu mengganas dan berlaku bengis. Ketika 22
Kata liar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:668) memiliki makna ‘1) tidak ada yg memelihara; tidak dipiara orang (tentang binatang); 2) tidak (belum) jinak; 3) tidak tenang (tentang pandangan mata); buas; ganas; 4) tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum); 5) belum beradab; 6) tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yg berwenang; tanpa izin resmi dari yang berwenang; tidak memiliki izin usaha, mendirikan, atau membangun,dsb.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
31
menghadapi musuh-musuhnya di saat perang Baratayuda berlangsung, Wrekodara memperlihatkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan, yang mana cara berperang Wrekodara memperlihatkan tindakan yang mengganas dan berlaku bengis pada tiap musuhnya. Wrekodara tidak memandang musuh sebagai manusia, namun memandang sebagai “mangsa” yang hendak dihabisi. Karena sosok Wrekodara dikenal sebagai pahlawan perang yang perkasa, ganas, dan tidak memberi ampun terhadap musuh-musuhnya (Sumaryoto, 2000:106). Sosok asli dari Wrekodara adalah seorang manusia, akan tetapi memiliki perilaku yang seperti binatang saat berperang. Sehingga tindakan yang muncul dapat dipersamakan atau diibaratkan dengan tindakan yang dilakukan oleh binatang, dalam hal ini serigala, yaitu tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “seperti binatang” yang dinyatakan dalam teks: i.
1.01.07.02. Wrekodara k enging j ajanipun, dha wah k abanting, nangi ng m boten pasah. N unten t angi any andhak gada s arta an gesuk. G ajahipun Dursasana dipun gada s irahipun ajur. Dursasana enggal lumumpat dhateng siti. N unten s ami gada -ginada. D ursasana rumaos kuwalahan, badhe lumajeng, lajeng dipun jambak rambutipun sarta kasendhal dhateng Wrekodara dha wah kalumah, rambutipun taksih kacepeng dhateng Wrekodara sarta dipun gadani. (hlm. 122-123) ‘Wrekodara kena dadanya, jatuh terbanting, tetapi tidak mempan. (Ia) segera bangun mengambil gada serta menggasak. Gajah (yang dikendarai) Dursasana dipukul dengan gada (hingga) kepalanya hancur. Dursasana segera melompat ke tanah. Segera (keduanya) saling memukul. Dursasana merasa kewalahan, (dia) ingin melarikan diri, lalu dijambak rambutnya serta disentakkan oleh Wrekodara (hingga) jatuh terlentang, rambutnya masih dipegang oleh Wrekodara serta dipukul-pukul dengan gada.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
32
Tindakan “seperti binatang” pada korpus teks 1.01.07.02. ditunjukkan oleh kalimat Dursasana rumaos k uwalahan, ba dhe l umajeng, l ajeng dipun jambak rambutipun sarta kasendhal dhateng Wrekodara dhawah kalumah, rambutipun taksih kacepeng dhateng Wrekodara sarta dipun gadani. ‘Dursasana merasa kewalahan, (dia) ingin melarikan diri, lalu dijambak rambutnya serta disentakkan oleh Wrekodara (hingga) jatuh terlentang, rambutnya masih dipegang oleh Wrekodara serta dipukulpukul dengan gada.’ Dari kalimat tersebut, pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Dursasana. Munculnya kata-kata seperti: •
dipun jambak ‘dijambak’
•
sarta kasendhal ‘serta disentakkan’
•
dipun gadani ‘dipukul-pukul dengan gada’
menunjukkan tindakan Wrekodara yang tidak mengenal belas kasihan pada musuhnya. Wrekodara tidak memberikan kesempatan kepada Dursasana untuk melarikan diri. Segera oleh Wrekodara, rambut Dursasana dijambak kemudian disentakkan hingga jatuh terlentang dan langsung dipukul-pukul menggunakan gada. Tindakan ini mirip dengan tindakan binatang serigala saat memangsa musuhnya, bahwa serigala tidak pernah memberi kesempatan pada mangsanya untuk melarikan diri dan langsung membunuh mangsa tersebut di tempat.
ii.
1.01.07.03. Raden W rekodara i ng s akajeng-kajengipun, angge nipun badhe damel pange wan-ewan dhat eng D ursasana, s arta wicanten s eru anyeluk para dewa tuwin para ratu mengsah saha Pandhawa sadaya, “Heh, k abeh padha ane ksenana, y en ak u bak al angl uwari k aule ipeku k ang j eneng D ewi Drupadi, gar wane K akang P rabu Yudhistira. I ku or a ge lem ge lungan i ng s alawase, y en dur ung keramas getihe si Dursasana. Ing mengko bakal kalakon.” Kacariyos Raden W rekodara angge nipun dam el pange wan-ewan w au, Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
33 wetengipun D
ursasana k
abedhel, r
ahipun di
pun k
okop.
Barabeyanipun k aodhet-odhet, l ajeng di pun a wut-awut. Suk u sarta tanganipun s inempal-sempal, l ajeng di pun b alang-balangaken. Sirahipun kaejur ing gada. (hlm. 123) ‘Raden Wrekodara (berbuat) seenak-enaknya, caranya menghajar Dursasana (bagaikan) hewan, serta berbicara keras memanggil para dewa dan para raja musuh serta semua Pandhawa, “Heh, semua supaya menjadi saksi, kalau aku akan memenuhi nazar iparku yang bernama Dewi Drupadi, istri Kakang Prabu Yudhistira. (Dia) itu tidak akan menggelung (rambut) selamanya, jika belum keramas darah Dursasana. Sekarang ini akan terjadi.” Diceritakan caranya Raden Wrekodara memperlakukan (Dursasana) seperti hewan tadi, perutnya Dursasana dibedah, darahnya ditenggak. Isi perutnya dikeluarkan lalu dicecer-cecer. Kaki serta tangannya dipatahpatahkan, lalu dilempar-lemparkan. Kepalanya dilumatkan dengan gada.’
Tindakan “seperti binatang” pada korpus teks 1.01.07.03. banyak ditunjukkan ketika Wrekodara tengah menghabisi Dursasana saat perang Baratayuda berlangsung. Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Dursasana. Munculnya dua kalimat, yaitu: •
Raden W rekodara i ng s akajeng-kajengipun, a nggenipun badhe damel pange wan-ewan dhat eng D ursasana . .. ‘Raden Wrekodara (berbuat) seenak-enaknya, caranya menghajar Dursasana (bagaikan) hewan ...’
•
Kacariyos R aden W rekodara angge nipun dam el pange wan-ewan wau ... ‘ Diceritakan caranya Raden Wrekodara memperlakukan (Dursasana) seperti hewan tadi ...’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
34 menunjukkan tindakan Wrekodara memang seperti binatang saat menghabisi
Dursasana. 23
Tindakan
“seperti
binatang”
tersebut
digambarkan dengan munculnya kata pangewan-ewan ‘seperti hewan.’ Kata pangewan-ewan ‘seperti hewan’ ini semakin ditekankan lagi dengan munculnya berbagai pendeskripsian cara berperang Wrekodara yang seperti binatang dan membuas, yaitu: •
... wetengipun Dursasana kabedhel rahipun dipun kokop. ‘... perut Dursasana dibedah, darahnya ditenggak.’ Tindakan inilah yang memperlihatkan makna ‘perut’ atau makna ‘kegemaran Bima terhadap makanan.’ Bahwa Bima sanggup untuk menenggak darah musuhnya. Perilaku menenggak darah ini tidak wajar dilakukan manusia biasa. Sehingga tindakan ini masuk dalam tindakan yang “seperti binatang.”
•
Barabeyanipun kaodhet-odhet, lajeng dipun awut-awut. ‘Isi perutnya dikeluarkan lalu dicecer-cecer.’
•
Suku s arta t anganipun s inempal-sempal, l ajeng di pun bal angbalangaken. ‘Kaki serta tangannya dipatah-patahkan, lalu dilempar-lemparkan.’
•
Sirahipun kaejur ing gada. ‘Kepalanya dilumatkan dengan gada.’
Penekanan pada pendeskripsian cara Wrekodara menghabisi Dursasana di atas, semakin menjelaskan makna referensial yang muncul dari referen “seperti binatang” tersebut.
iii.
1.01.09.02. Suyudana k ewedan, s umedya ngonc ati am apan k ang om ber. L ajeng milar, s inarengan s inabet i ng gada dhat eng W rekodara, k enging wentisipun k iwa. Suy udana am bruk, l ajeng p inupuh i ng gada,
23
Diceritakan Wrekodara tengah membayarkan nazar dari Dewi Drupadi bahwa dia tidak akan menggelung rambut sebelum keramas dengan darah Dursasana. Sehingga Wrekodara menghabisi Dursasana saat perang berlangsung dan memberikan darah Dursasana untuk Dewi Drupadi pakai sebagai alat basuh (Kartapraja, 1980:60). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
35 jinambak s arta dhi nupakan dhat eng W rekodara. P rabu B aladewa sanget m urina ing gal ih, aw it pam alanipun W rekodara s awenangwenang, boten angangge caraning prang ratu. (hlm. 132) ‘Suyudana kesulitan, ingin menghindar ke tempat yang luas. Lalu melompat, bersamaan dengan dipukulkannya gada oleh Wrekodara, kena pahanya yang sebelah kiri. Suyudana jatuh, lalu dihantam dengan gada, dijambak serta ditendang oleh Wrekodara. Hati Prabu Baladewa sangat tersinggung, sebab pukulan Wrekodara sewenangwenang, tidak mengikuti caranya perang (seorang) raja.’
Pada korpus teks 1.01.09.02. tindakan “seperti binatang” ditunjukkan oleh dua hal, yaitu: •
Suyudana am bruk, l ajeng pi nupuh i ng gada, j inambak sarta dhinupakan dhat eng W rekodara. ‘Suyudana jatuh, lalu dihantam dengan gada, dijambak serta ditendang oleh Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Suyudana. Tindakan yang dilakukan oleh Wrekodara yang menunjukkan referen “seperti binatang” ada pada kata-kata pinupuh ‘dihantam’ dan jinambak sarta dhi nupakan ‘dijambak serta ditendang.’ Cara Wrekodara menghantam dengan gada lalu menjambak dan menendang Suyudana memperlihatkan tindakan “seperti binatang.” Wrekodara terus memperlakukan Suyudana dengan tindakan yang buas, dalam hal ini ganas, bengis, dan kejam.
•
Prabu B aladewa s anget m urina i ng gal ih, a wit pam alanipun Wrekodara s awenang-wenang, bot en angangge c araning pr ang ratu. ‘Hati Prabu Baladewa sangat tersinggung, sebab pukulan Wrekodara sewenang-wenang, tidak mengikuti caranya perang (seorang) raja.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Suyudana. Berbeda dengan penjelasan di atas, kalimat tersebut menunjukkan referen “seperti binatang” yang berupa tindakan dari Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
36 tindakan Wrekodara yang sewenang-wenang tanpa mengikuti aturan perang, seperti dalam penggalan kalimat awit pam alanipun Wrekodara s awenang-wenang, bot en angangge c araning pr ang ratu. Tindakan yang tidak mengikuti aturan ini seperti tindakan serigala, yang termasuk ke dalam binatang liar, yang tidak mengenal tata cara.
Dari ketiga korpus teks yaitu korpus teks 1.01.07.02., 1.01.07.03., dan 1.01.09.02. tentang tindakan Wrekodara yang “seperti binatang,” penulis mengkategorikan referen tersebut sebagai referen yang menggambarkan tindakan “berperilaku buas” dari Wrekodara. b. Menakutkan Referen “menakutkan” dikategorikan sebagai ciri referen “berperilaku buas.” Referen “menakutkan” juga muncul dari makna ‘serigala’ sebagai salah satu jenis binatang liar yang buas dan menakutkan 24. Binatang serigala memiliki makna sebagai binatang liar dan kata liar tersebut memunculkan komponen tidak jinak, buas, dan ganas. Hadirnya referen “menakutkan” sebagai akibat yang ditimbulkan pada saat seseorang melihat binatang serigala dan langsung menimbulkan rasa takut. Hal tersebut dapat diibaratkan ketika Wrekodara tengah berperang melawan musuh-musuhnya. Tindakan Wrekodara dapat menimbulkan mengkategorikan
rasa
takut
referen
bagi
musuh-musuhnya.
“menakutkan”
sebagai
referen
Penulis yang
mendeskripsikan tindakan dari Wrekodara. Kata menakutkan yang termasuk dalam kata kerja memiliki makna ‘1) menjadikan takut akan; 2) membangkitkan perasaan takut; 3) merasa khawatir akan’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:1126). Referen
24
Kata menakutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:1125) berasal dari kata takut yang memiliki makna ‘1) merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana; 2) takwa; segan dan hormat; 3) tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dsb); 4) gelisah.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
37 “menakutkan” menunjuk pada tindakan Wrekodara yang mampu membuat musuh-musuh menjadi takut. Tindakan “berperilaku buas” memperlihatkan tindakan atau cara-cara berperang yang galak, ganas, bengis, dan kejam. Dari tindakan “berperilaku buas” tersebut memunculkan tindakan “menakutkan.” Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “menakutkan” yang dinyatakan dalam teks: i.
1.01.06.08. Anunten Raden A nggajaksa kalih R aden Sar abasanta sami anglepasaken j emparing, ange but R aden Wrekodara. Sar eng di pun wales k ajemparing, R aden A nggajaksa pe jah. Ingkang r aka anam a Sarabasanta wau ape pulih, i nggih pe jah di pun j emparing dhat eng Raden W rekodara. Sape jahe adhi nipun Sangk uni k ekalih, K orawa sami al it m anahipun. Prabu Suy udana angr erepa, pangandi kanipun dhateng adi pati N gawangga, “ Adhi para, papagna pangam uke Wrekodara, ...” (hlm. 115) ‘Kemudian Radem Anggajaksa dan Raden Sarabasanta bersamasama melepaskan panah menuju Raden Wrekodara. Ketika dibalas dengan dipanah, Raden Anggajaksa mati. Kakaknya yang bernama Sarabasanta ingin membalas, (tetapi) dia juga mati dipanah oleh Raden Wrekodara. Setewasnya kedua adik Sengkuni, Korawa menjadi berkecil hati. Prabu Suyudana meminta belas kasihan dan meminta maaf kepada adipati Ngawangga. “Adinda, mohon hadapilah amukan Wrekodara ...”’ Tindakan “menakutkan” muncul pada kalimat Sapejahe adhi nipun Sangkuni k ekalih, K orawa s ami al it m anahipun. ‘Setewasnya kedua adik Sengkuni, Korawa berkecil hati..’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Bala Korawa. Tindakan “menakutkan” muncul dengan adanya ungkapan sami al it m anahipun ‘berkecil hati’ yang dapat diibaratkan sebagai rasa takut. Ketika
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
38 Wrekodara telah membunuh kedua adik Sengkuni, membuat hati Korawa ketakukan, sebab suatu saat bisa saja menjadi korban selanjutnya dan mati mengenaskan.
c. Suka mengamuk Referen “suka mengamuk” juga merupakan salah satu ciri referen “berperilaku buas.” Kata mengamuk 25 yang juga termasuk kata kerja, memiliki makna ’1) menyerang secara membabi buta (karena marah, mata gelap, dsb); 2) berkecamuk; menjadi-jadi; 3) melanda’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:41). Penulis berpendapat bahwa komponen “mengamuk” tersebut merupakan salah satu penggambaran makna kata membuas. Apabila
dikaitkan
dengan
Wrekodara,
referen
“suka
mengamuk” di sini menggambarkan cara berperang Wrekodara selama perang Baratayuda berlangsung. Cara mengamuk Wrekodara ketika perang menunjuk pada tindakan yang membabi buta karena marah sekali. Dan dari amukan tersebut tergambar tindakan yang galak, ganas, bengis, dan kejam. Penulis mengkategorikan referen “suka mengamuk” sebagai referen yang menggambarkan tindakan Wrekodara. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “suka mengamuk” yang dinyatakan dalam teks: i.
1.01.04.01. Raden W rekodara i nggih angl epasaken j emparing, pi nten-pinten Korawa i ngkang pe jah k adhawahan j emparing. Raden W rekodara lajeng angamuk kaliyan gada. Kathah bupati ingkang pejah kagada. (hlm. 99-100) ‘Raden Wrekodara juga melepaskan panah, banyak Korawa mati terkena panah. Raden Wrekodara lalu mengamuk menggunakan gada (nya). Banyak bupati mati dipukul gada (nya).’
25
Mengamuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:40) berasal dari kata amuk yang memiliki makna ‘kerusuhan yang melibatkan banyak orang.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
39 Tindakan “suka mengamuk” muncul dalam kalimat Raden Wrekodara lajeng angam uk k aliyan gada. K athah bupat i i ngkang pe jah k agada. ‘Raden Wrekodara lalu mengamuk menggunakan gada (nya). Banyak bupati mati dipukul gada (nya).’ Tindakan “suka mengamuk” ditujukkan dengan munculnya kata angamuk ‘mengamuk.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para Bupati. Ketika Wrekodara mengamuk menggunakan senjata perang, dalam hal ini gada. Munculnya kata pejah ‘mati’ di sini sebagai penekanan bahwa amukan Wrekodara sangatlah buas sehingga bisa mengakibatkan musuh mati.
ii.
1.01.04.02. Wrekodara ngam uk k aliyan gadani pun. Barising K orawa bi bar sadaya. (hlm. 100) ‘Wrekodara mengamuk dengan (menggunakan) gadanya. Barisan Korawa bubar semua.’ Tindakan “suka mengamuk” muncul dari kalimat Wrekodara ngam uk kaliyan gadani pun. ‘Wrekodara mengamuk dengan (menggunakan) gadanya.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata ngamuk ‘mengamuk.’ Sama seperti penjelasan di atas, Wrekodara mengamuk menggunakan senjata gada dan mampu membuat musuh-musuhnya takut.
iii.
1.01.05.01. Wrekodara nyelehaken langkap, nyandhak gada anarajang. Pintenpinten K orawa i ngkang pe jah s ami angge lasah, am argi di punamuk ing gada dhateng Raden Wrekodara. (hlm. 110)
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
40
‘Wrekodara meletakkan busur (nya), mengambil gada (lalu) menerjang. Banyak Korawa yang mati terkapar, karena diamuk oleh Wrekodara dengan menggunakan gada.’ Tindakan “suka mengamuk” muncul dalam kalimat Pinten-pinten Korawa i ngkang pe jah s ami angg elasah, am argi di punamuk i ng gada dhateng R aden W rekodara. ‘Banyak Korawa yang mati terkapar, karena diamuk oleh Wrekodara dengan menggunakan gada.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata dipunamuk ‘diamuk.’ Dari korpus teks ini, juga ditemukan bahwa Wrekodara mengamuk menggunakan senjata gada. Penekanan bahwa amukan Wrekodara menggambarkan sesuatu yang buas dimunculkan oleh Korawa ingkang pejah sami anggelasah ... ‘Banyak Korawa yang mati terkapar ...’ Dari amukan Wrekodara dapat menimbulkan kematian.
iv.
1.01.05.02. Kathah par a di pati i ngkang pe jah, s arta i ngkang r emuk r ata t uwin gajahipun, awit kaamuk dhumateng Raden Wrekodara. Tandangipun kados gaj ah s ewu m eta. P undi i ngkang di punterak t umpes. (hlm. 110) ‘Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara. Perbuatannya seperti seribu gajah yang marah. Apapun yang ditabrak, tumpas.’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Kathah par a dipati i ngkang pe jah, s arta i ngkang r emuk r ata t uwin gaj ahipun, a wit kaamuk dhum ateng R aden W rekodara. ‘Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
41
Adipati. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata kaamuk ‘diamuk.’ Sama seperti korpus teks yang lain, amukan Wrekodara yang buas dapat mengakibatkan kematian musuh. Bahkan bukan hanya musuh yang mati tetapi juga gajah tunggangan beserta keretanya.
v.
1.01.06.01. Wrekodara, D ananjaya pe ngamukipun angor ak-arik. N glepasaken jemparing,
wedalipun am
radini. W
rekodara ngl
epasaken
Bargawastra, ... (hlm. 113) ‘Wrekodara, Dananjaya mengamuk mengobrak-abrik. Melepaskan panah (yang keluar) secara merata. Wrekodara melepaskan Bargawastra, ...’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Wrekodara, Dananjaya pe ngamukipun angor ak-arik. ‘Wrekodara, Dananjaya mengamuk mengobrak-abrik.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan Dananjaya tetapi objek pelaku tidak disebutkan. Tindakan “suka mengamuk”
ditunjukkan
dengan
hadirnya
kata
pengamukipun
‘mengamuk’ atau ‘amukannya.’ Kalimat tersebut memperlihatkan dengan jelas makna mengamuk ‘menyerang secara membabi buta karena sangat marah sekali’ dengan munculnya kata angorak-arik ‘mengobrak-abrik.’ Kali ini, amukan Wrekodara hadir dibantu dengan senjata perang berupa panah Bargawastra.
vi.
1.01.06.02. Panempuhing pe rang, s urak s akalangkung r ame, W rekodara pangamukipun anengah, amung milih ingkang pa ra dipati, ingkang sami ni tih gaj ah u tawi r ata, puni ka i ngkang di pun t rajang. D ipun gada kathah pejah pating sulayah. (hlm. 114)
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
42
‘Peperangan diikuti sorak-sorai demikian ramai,
Wrekodara
mengamuk ketengah-tengah, hanya memilih para Adipati, yang menunggang gajah atau kereta, merekalah yang diterjang. Di (pukul) dengan gada hingga banyak yang mati berkaparan.’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Panempuhing perang, surak sakalangkung rame, Wrekodara pangamukipun anengah, amung milih ingkang para dipati, ingkang sami nitih gajah utawi rata, punika i ngkang di pun t rajang. ‘Peperangan diikuti sorak-sorai demikian ramai, Wrekodara mengamuk ketengah-tengah, hanya memilih para Adipati, yang menunggang gajah atau kereta, merekalah yang diterjang.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para Adipati. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata pangamukipun ‘mengamuk’ atau ‘amukannya.’ Seperti korpus teks yang lain, amukan Wrekodara menggunakan senjata gada dan mengakibatkan kematian.
vii.
1.01.06.06. Wrekodara s anget i ng pangam ukipun s inten i ngkang m ajeng di pun gada. A kathah pr ajurit pe pilihan i ngkang pe jah de ning pangamukipun. (hlm. 115) ‘Wrekodara mengamuk hebat, siapa yang maju dipukul dengan gada. Banyak prajurit pilihan mati oleh amukannya.’
Tindakan “suka mengamuk” muncul pada dua kalimat di atas. Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah prajurit. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata pangamukipun ‘mengamuk’ atau ‘amukannya.’ Kedua kalimat di atas penulis kategorikan sebagai salah satu contoh kalimat sebab akibat, yaitu tindakan Wrekodara yang suka mengamuk saat perang dan dapat menyebabkan para prajurit atau musuh mati oleh amukannya.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
43
viii.
1.01.06.07. Anunten adhi nipun Sangk uni k ekalih m ajeng, a nama A nggajaksa kalih Sar abasanta, angi rid pr ajurit s aleksa, angr oyok R aden Wrekodara. Boten kaweden dipun karubut ing perang. Lajeng wiwit anglepasaken B argawastra, k athah p rajurit i ngkang pe jah de ning jemparingipun. Sangs aya r iwut pangam ukipun Raden W rekodara, pundi baris ingkang katerak, tumpes. (hlm. 115) ‘Kemudian, kedua adik Sengkuni yang bernama Anggajaksa dan Sarabasanta maju, membawa sepuluh ribu prajurit dan mengroyok Raden Wrekodara. (Raden Wrekodara) tidak takut dikerubuti sewaktu perang. Lalu, mulai melepaskan Bargawastra, banyak prajurit mati oleh panahnya. Semakin hebat amukan Raden Wrekodara, baris manapun yang diterjang, hancur.’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Sangsaya riwut pangam ukipun R aden W rekodara, pundi bar is i ngkang k aterak, tumpes. ‘Semakin ribut amukan Raden Wrekodara, baris apapun yang diterjang, hancur.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan
adalah
barisan
perang.
Tindakan
“suka
mengamuk”
ditunjukkan dengan hadirnya kata pangamukipun ‘amukannya.’ Dari kalimat tersebut, dijelaskan bahwa semakin ribut amukan Wrekodara, segala macam hal, dalam hal ini barisan perang, dapat dihancurkan.
ix.
1.01.06.08. Sapejahe adhinipun Sangkuni kekalih, Korawa sami alit manahipun. Prabu Su yudana angr erepa, pangandi kanipun dhat eng adi pati Ngawangga, “Adhi para, papagna pangamuke Wrekodara, ...” (hlm. 115) ‘Setewasnya kedua adik Sengkuni, Korawa menjadi berkecil hati. Prabu Suyudana meminta belas kasihan dan meminta maaf kepada
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
44
adipati Ngawangga. “Adinda, mohon hadapilah amukan Wrekodara ...”’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Prabu Suyudana angr erepa, pangandi kanipun dhat eng adi pati N gawangga, “Adhi par a, pap agna pangam uke Wrekodara, . ..” ‘Prabu Suyudana meminta belas kasihan dan meminta maaf kepada adipati Ngawangga. “Adinda, mohon hadapilah amukan Wrekodara ...”’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Prabu Suyudana. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata pangamuke ‘amukannya.’ Amukan Wrekodara yang menyeramkan dapat membuat para musuh, dalam hal ini Prabu Suyudana, menjadi ketakutan.
x.
1.01.06.09. Raden W rekodara sareng mireng y en i ngkang p utra pe jah, l ajeng ngamuk l iwung s arwi angus api e luh. G adanipun m obat-mabit, kathah para dipati tuwin satriya Korawa ingkang pejah. (hlm. 118) ‘Ketika Raden Wrekodara mendengar putranya mati, lalu mengamuk hebat sambil mengusap air mata. Gadanya diayun-ayunkan, sehingga banyak dipati serta satria Korawa mati.’ Tindakan “suka mengamuk” dimunculkan dalam kalimat Raden Wrekodara s areng m ireng y en i ngkang put ra p ejah, l ajeng ngam uk liwung sarwi angu sapi e luh. ‘Ketika Raden Wrekodara mendengar putranya mati, lalu mengamuk hebat sambil mengusap air mata.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. Tindakan “suka mengamuk” ditunjukkan dengan hadirnya kata ngamuk ‘mengamuk.’ Walaupun sedang bersedih dikarenakan sang putra, Gathotkaca meninggal, Wrekodara tetap mengamuk dengan gada-nya dan mengakibatkan para musuh mati.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
45
d. Suka membunuh Referen “suka membunuh” juga merupakan ciri referen “berperilaku buas.” Dua makna pada kata buas yaitu bengis 26 dan kejam 27 menggambarkan ciri referen “berperilaku buas” yang lain yaitu tindakan “suka membunuh.” Penulis melihat adanya keterkaitan antara referen “suka mengamuk” dan referen “suka membunuh.” Dari amukan Wrekodara bisa mengakibatkan kematian musuhnya. Referen “suka membunuh” pada konteks cerita Bratayuda bukan dalam arti negatif, tetapi Wrekodara membunuh musuh sampai titik darah penghabisan untuk memerangi angkara murka. Sebab Wrekodara dikenal sebagai ksatria yang tidak mengenal belas kasihan pada musuhnya yang jahat (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:292). Penulis mengkategorikan referen “suka membunuh” sebagai referen yang menggambarkan tindakan Wrekodara. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “suka membunuh” yang dinyatakan dalam teks: i.
1.01.03.01. Raden W rekodara sanget ne psunipun. M ajeng am andhi gada. Pangamukipun angge gilani. B ala K orawa pi nten-pinten i ngkang pejah dipun gada, mboten wonten ingkang kuwawi anadhahi. Raden Wrekodara ny elehaken gada
ny andhak j emparing anam a
Bargawastra. Atusan ingkang pejah dening Bargawastra. (hlm. 96) ‘Raden Wrekodara sangat marah. (Raden Wrekodara) maju memanggul gada. Amukannya menyeramkan. Banyak Bala Korawa mati dipukul (dengan) gada (Raden Wrekodara), tidak ada yang mampu melawan. Raden Wrekodara meletakkan gadanya (lalu) mengambil panah yang bernama Bargawastra. Ratusan (orang) mati oleh Bargawastra.’ Bengis dalam Kamus B esar B ahasa Indo nesia (2007, edisi ke-3:132) memiliki makna “1) bersifat keras tanpa belas kasihan keada manusia atau binatang; suka berbuat aniaya; kejam; 2) menyebabkan penderitaan (kesengsaraan) yang berat; 3) tajam dan pedas (tentang perkataan).” 27 Kejam memiliki makna “1) tidak menaruh belas kasihan; bengis; zalim; 2) sangat kikir” (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:526). 26
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
46
Tindakan “suka membunuh” muncul dalam dua kalimat, yaitu: •
Bala K orawa pi nten-pinten i ngkang pe jah di pun gada, m boten wonten i ngkang k uwawi anadhahi . ‘Banyak Bala Korawa mati dipukul (dengan) gada (Raden Wrekodara) tidak ada yang mampu melawan.’ Dari kalimat
tersebut,
pelaku
tindakan
adalah
Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. •
Atusan i ngkang pe jah de ning Bargawastra. ‘Ratusan (orang) mati oleh Bargawatra.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan para prajurit perang.
Muncul kata pejah ‘mati’ sebanyak dua kali. Dalam membunuh musuhnya, Wrekodara menggunakan senjata gada dan panah Bargawatra. Para musuh mati akibat amukan Wrekodara. Hal ini diperlihatkan dengan munculnya kata pangamukipun ‘amukannya.’ ii.
1.01.04.01. Raden W rekodara i nggih angl epasaken j emparing, pi nten-pinten Korawa i ngkang pe jah kadhawahan j emparing. Raden W rekodara lajeng angamuk kaliyan gada. Kathah bupati ingkang pejah kagada. (hlm. 99-100) ‘Raden Wrekodara juga melepaskan panah, banyak Korawa mati terkena panah. Raden Wrekodara lalu mengamuk menggunakan gada (nya). Banyak bupati mati dipukul gada (nya).’
Tindakan “suka membunuh” muncul dalam dua kalimat, yaitu: •
Raden W rekodara i nggih angl epasaken j emparing, pi nten-pinten Korawa ingkang pejah kadhawahan jemparing. ‘Raden Wrekodara juga melepaskan anak panah, banyak Korawa mati terkena panah.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
47 •
Kathah bupati ingkang pejah kagada. ‘Banyak bupati mati dipukul gada (nya).’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para bupati.
Tindakan “suka membunuh” juga ditunjukkan dengan hadirnya kata pejah
‘mati.’
Dalam
membunuh
bala
Korawa,
Wrekodara
menggunakan senjata panah dan saat membunuh para bupati menggunakan gada. Tindakan membunuh ini akibat dari tindakan Wrekodara yang suka mengamuk di saat perang. Hal ini dtunjukkan dengan munculnya kata angamuk ‘mengamuk.’ iii.
1.01.05.01. Wrekodara nyelehaken langkap, nyandhak gada anarajang. Pintenpinten K orawa i ngkang pe jah s ami angge lasah, am argi di punamuk ing gada dhateng Raden Wrekodara. (hlm. 110) ‘Wrekodara meletakkan busur (nya), mengambil gada (lalu) menerjang. Banyak Korawa yang mati terkapar, karena diamuk oleh Wrekodara dengan menggunakan gada.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Pinten-pinten Korawa i ngkang pe jah s ami angg elasah, am argi di punamuk i ng gada dhateng R aden W rekodara. ‘Banyak Korawa yang mati terkapar, karena diamuk oleh Raden Wrekodara dengan menggunakan gada.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. Tindakan “suka membunuh” juga ditunjukkan dengan hadirnya kata pejah ‘mati.’ Sama seperti penjelasan di atas, cara Wrekodara membunuh musuh saat perang ketika ia mengamuk hebat, yaitu munculnya kata dipunamuk ‘diamuk’ dan menggunakan senjata gada.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
48
iv.
1.01.05.02. Wondening panar ajangipun K orawa s aking kathahipun k ados sulung, am belasah i ngkang pe jah de ning gada. Kathah par a di pati ingkang pe jah, s arta i ngkang r emuk r ata t uwin gaj ahipun, a wit kaamuk dhum ateng R aden W rekodara. T andangipun k ados gaj ah sewu meta. Pundi ingkang dipunterak tumpes. (hlm. 110) ‘Adapun terjangan Korawa banyaknya seperti laron kecil, berserakan orang-orang yang mati oleh gada. Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara. Perbuatannya seperti seribu gajah yang marah. Apapun yang ditabrak, tumpas.’
Tindakan “suka membunuh” muncul dalam dua kalimat, yaitu: •
Wondening panar ajangipun K orawa s aking k athahipun k ados sulung, ambelasah ingkang pejah dening gada. ‘Adapun terjangan Korawa banyaknya seperti laron kecil, berserakan orang-orang yang mati oleh gada.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa.
•
Kathah para dipati ingkang pejah, sarta ingkang remuk rata tuwin gajahipun, a wit k aamuk dhum ateng R aden Wrekodara. ‘Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para dipati, kereta, dan gajah.
Tindakan “suka membunuh” muncul dari hadirnya kata pejah ‘mati’ sebanyak dua kali. Cara Wrekodara membunuh sama yaitu dengan menggunakan gada. Bukan hanya bala Korawa dan para dipati saja yang ia bunuh, tetapi kereta perang juga dihancurkan beserta gajah penariknya. Juga pada kalimat kedua, cara Wrekodara membunuh dilakukan dengan amukannya, yaitu muncul kata kaamuk ‘diamuk.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
49
v.
1.01.05.04. (Suyudana) T umunten angandi ka m alih, “ Kados pundi pr atingkah puniki, m enggah k arsane P aman D runa k adospudi, s adulur k ula kathah k ang pe jah: s i C itradarma, C itrayuda, U pacitra, C arucitra, Jayasusena, R akadurjaya, D armajati, A nggaangsa, C itraksi, i ng sapunika s ami p ejah de ning Wrekodara, k ang s arta pangam uke Arjuna, angl angkungi i ng pr ihatos k ula, na pa k ang di gawe pepulih?” (hlm. 112) ‘Suyudana kemudian berkata lagi, “Apa yang harus kita lakukan dan bagaimana pendapat paman Druna, setelah banyak saudara saya tewas, seperti si Citradarma, Citrayuda, Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Rakadurjaya, Darmajati, Anggaangsa, Citraksi, sekarang semuanya mati oleh Wrekodara serta amukan Arjuna, (hal ini) sangat memprihatinkan saya, dan apa gerangan yang dapat memulihkan kembali?”’
Tindakan “suka mengamuk” muncul pada keseluruhan korpus teks di atas, yang mana ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek pelaku adalah bala Korawa, di antaranya Citradarma, Citrayuda, Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Rakadurjaya, Darmajati, Anggaangsa, dan Citraksi. Matinya para Korawa ini dikarenakan amukan Wrekodara dan Arjuna, yaitu munculnya kata pangamuke ‘amukannya.’ vi.
1.01.06.03. Lajeng di pun t rajang dhum ateng W rekodara. P unika D ruwajaya pejahipun. (hlm. 114) ‘Lalu diterjang oleh Wrekodara. Inilah matinya Druwajaya.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Punika Druwajaya pejahipun. ‘Inilah matinya Druwajaya.’ Pelaku tindakan adalah Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
50 Wrekodara dan objek tindakan adalah Druwajaya. Tindakan “suka membunuh” ditekankan pada kata pejah ‘mati.’ Dari terjangan Wrekodara dapat mengakibatkan Druwajaya tewas. vii.
1.01.06.04. Raden P artipeya di pun gada r emuk s areng k aliyan r atanipun. Ing ngriku pejahipun Partipeya dening Raden Wrekodara. (hlm. 114) ‘Raden Partipeya di (hantam) gada, hancur beserta keretanya. Di situlah matinya Partipeya oleh Raden Wrekodara.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Ing ngr iku pejahipun P artipeya de ning R aden W rekodara. ‘Di situlah matinya Partipeya oleh Raden Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Partipeya. Tindakan “suka membunuh” ditekankan oleh munculnya kata pejah ‘mati.’ Dalam membunuh Partipeya, Wrekodara juga menggunakan senjata gada.
viii.
1.01.06.05. Anunten anakipun Partipeya enggal badhe pepulih pejahipun bapa. Raden W rekodara di pun k arubut, adangu pe rangipun. W ekasan anakipun P artipeya pe jah di pun ga da R aden W rekodara. Punggawanipun Adipati ing Ngawangga anama Drestarata majeng. Inggih pe jah di pun gada dhat
eng R aden W rekodara, r emuk
saratanipun. (hlm. 115) ‘Kemudian, anak Partipeya ingin segera membalas kematian ayahnya. Raden Wrekodara dikeroyok, perang berlangsung lama. Akhirnya, anaknya Partipeya mati digada (oleh) Raden Wrekodara. Punggawa Adipati Ngawangga yang bernama Drestarata maju. Ia juga mati digada oleh Raden Wrekodara, hancur beserta keretanya.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
51
Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat: •
Wekasan ana kipun P artipeya pe jah di pun gada R
aden
Wrekodara. ‘Akhirnya, anaknya Partipeya mati digada (oleh) Raden Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah anak dari Partipeya. •
Punggawanipun A dipati i ng Ngawangga ana ma D restarata majeng. I nggih pe jah di pun gada dhat eng R aden W rekodara, remuk s aratanipun. ‘Punggawa Adipati Ngawangga yang bernama Drestarata maju. Ia juga mati digada oleh Raden Wrekodara, hancur beserta keretanya.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Drestarata.
Tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati’ sebanyak dua kali. Pada kalimat pertama, Wrekodara membunuh anak dari Partipeya menggunakan senjata gada. Pada kalimat kedua, Wrekodara juga menggunakan gada-nya untuk membunuh Drestarata ditambah kereta perang hancur.
ix.
1.01.06.06. Wrekodara s anget i ng pangam ukipun s inten i ngkang m ajeng di pun gada. A kathah pr ajurit pe pilihan i ngkang pe jah de ning pangamukipun. (hlm. 115) ‘Wrekodara mengamuk hebat, siapa yang maju dipukul dengan gada. Banyak prajurit pilihan mati oleh amukannya.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Akathah pr ajurit pepilihan i ngkang pe jah de ning pangam ukipun. ‘Banyak prajurit pilihan mati oleh amukannya.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah prajurit. Tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati.’ Akibat dari amukan hebat Wrekodara,
muncul
kata
pangamukipun
‘amukannya,’
dengan
menggunakan senjata gada, banyak prajurit pilihan mati. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
52
x.
1.01.06.07. Anunten adhi nipun Sangk uni k ekalih m ajeng, a nama A nggajaksa kalih Sar abasanta, angi rid pr ajurit s aleksa, angr oyok R aden Wrekodara. Boten kaweden dipun karubut ing perang. Lajeng wiwit anglepasaken B argawastra, k athah p rajurit i ngkang pe jah de ning jemparingipun. Sangs aya r iwut pangam ukipun Raden W rekodara, pundi baris ingkang katerak, tumpes. (hlm. 115) ‘Kemudian, kedua adik Sengkuni yang bernama Anggajaksa dan Sarabasanta maju, membawa sepuluh ribu prajurit dan mengkroyok Raden Wrekodara. (Raden Wrekodara) tidak takut dikerubuti sewaktu perang. Lalu, mulai melepaskan Bargawastra, banyak prajurit mati oleh panahnya. Semakin ribut amukan Raden Wrekodara, baris manapun yang diterjang, hancur.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Lajeng w iwit anglepasaken B argawastra, k athah pr ajurit i ngkang pe jah de ning jemparingipun. ‘Lalu, mulai melepaskan Bargawastra, banyak prajurit mati oleh panahnya.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah para prajurit. Tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati.’ Para prajurit mati karena serangan panah Bargawastra oleh Wrekodara.
xi.
1.01.06.08. Anunten R aden A nggajaksa k alih R aden S arabasanta s ami anglepasaken j emparing, ange but R aden Wrekodara. Sar eng di pun wales k ajemparing, R aden A nggajaksa pe jah. I ngkang r aka anam a Sarabasanta wau ape pulih, i nggih pe jah di pun j emparing dhat eng Raden W rekodara. Sape jahe adhi nipun Sangk uni k ekalih, K orawa sami alit manahipun. Prabu Suyudana angrerepa, pangandikanipun dhateng adi pati N gawangga, “ Adhi par a, pa pagna pangam uke Wrekodara, ...” (hlm. 115) Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
53
‘Kemudian Radem Anggajaksa dan Raden Sarabasanta bersamasama melepaskan panah menuju Raden Wrekodara. Ketika dibalas dengan dipanah, Raden Anggajaksa mati. Kakaknya yang bernama Sarabasanta ingin membalas, (tetapi) dia juga mati dipanah oleh Raden Wrekodara. Setewasnya kedua adik Sengkuni, Korawa menjadi berkecil hati. Prabu Suyudana meminta belas kasihan dan meminta maaf kepada adipati Ngawangga. “Adinda, mohon hadapilah amukan Wrekodara ...”’
Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat: •
Sareng di pun wales k ajemparing, R aden A nggajaksa pe jah. ‘Ketika dibalas dengan dipanah, Raden Anggajaksa mati.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Raden Anggajaksa.
•
Ingkang r aka anam a Sar abasanta wau ape pulih, i nggih pe jah dipun j emparing dhat eng R aden W rekodara. ‘Kakaknya yang bernama Sarabasanta ingin membalas, (tetapi) dia juga mati dipanah oleh Raden Wrekodara.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah Sarabasanta.
Dari kedua kalimat di atas, tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati’ sebanyak dua kali. Wrekodara menggunakan senjata panah Bargawastra dalam membunuh musuhnya.
xii.
1.01.06.09. Raden W rekodara sareng mireng y en i ngkang p utra pe jah, l ajeng ngamuk l iwung s arwi angus api e luh. G adanipun m obat-mabit, kathah para dipati tuwin satriya Korawa ingkang pejah. (hlm. 118) ‘Ketika Raden Wrekodara mendengar putranya mati, lalu mengamuk hebat sambil mengusap air mata. Gadanya diayun-ayunkan, sehingga banyak dipati serta satria Korawa mati.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
54 Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Gadanipun mobatmabit, k athah par a di pati t uwin s atriya K orawa i ngkang pe jah. ‘Gadanya diayun-ayunkan, sehingga banyak dipati serta satria Korawa mati.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah bala Korawa. Tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata pejah ‘mati.’ Di sini para Korawa juga mati karena amukan gada Wrekodara, muncul kata ngamuk ‘mengamuk.’ xiii.
1.01.07.01. Prabu Kresna l ajeng am angsit dhat eng R aden Wrekodara, k apurih amejahana mengsah ratu ing Malawapati, sarta gajahipun ingkang nama A swatama. Wrekodara e nggal l umumpat, mangsah anggada ratu i ng M alawapati, aj ur s agajahipun kadhawahan gada. Wrekodara l ajeng al ok, “ Aswatama m ati”, s arta par a P andhawa inggih alok makaten. (hlm. 119) ‘Prabu Kresna lalu mengisyaratkan Raden Wrekodara, disuruh membunuh musuh, Raja Malawapati beserta gajahnya yang bernama Aswatama. Wrekodara segera melompat, menyerang (dengan) gada, raja Malawapati serta gajahnya hancur dipukul gada. Wrekodara lalu berteriak, “Aswatama mati” serta para Pandhawa berteriak seperti itu juga.’ Tindakan “suka membunuh” muncul dalam kalimat Prabu K resna lajeng am angsit d hateng R aden W rekodara, k apurih am ejahana mengsah ratu i ng M alawapati, s arta gaj ahipun i ngkang nam a Aswatama. ‘Prabu Kresna lalu mengisyaratkan Raden Wrekodara, disuruh membunuh musuh raja di Malawapati beserta gajahnya yang bernama Aswatama.’ Pelaku tindakan adalah Wrekodara dan objek tindakan adalah raja Malawapati beserta gajahnya. Tindakan “suka membunuh” ditekankan dengan munculnya kata perintah amejahana ‘bunuhlah’ atau ‘disuruh membunuh.’ Terlihat sosok Wrekodara Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
55
sebagai panglima perang yang mempunyai hak untuk membunuh musuh di saat perang.
2. Pemarah Referen “pemarah” juga hadir dari makna ‘serigala’ pada nama diri Wrekodara. Sudah dijelaskan di atas bahwa serigala adalah binatang liar. Sifat dari binatang liar adalah tidak atau belum jinak. Kata jinak dalam Kamus B esar B ahas I ndonesia (2007, edisi ke-3:474) memiliki makna ‘1) tidak liar; tidak buas; tidak garang; tidak galak; 2) tidak malu-malu, tidak segan, dan tidak takut-takut lagi; 3) tidak keras sepak terjangnya.’ Serigala digambarkan sebagai binatang yang liar, buas, garang, dan galak. Munculnya kata garang dan galak menunjuk pada karakteristik “pemarah” dari Wrekodara. Garang memiliki makna ‘1) pemarah lagi bengis; galak; ganas; 2) kuat (hebat, gemar) sekali; 3) terik (tentang panas matahari)’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:335). Sedangkan galak memiliki makna ‘1) buas dan suka melawan (menyerang, menggigit, menanduk, dsb tentang binatang); ganas; garang; 2) suka marah, mecaci maki, dsb’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke -3:327). Pemarah 28 termasuk ke dalam nomina yang berarti ‘orang yang lekas (mudah) marah’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:715). Dalam Bratayuda diperlihatkan bagaimana Wrekodara sebagai orang yang mudah marah ketika berperang. Emosi Wrekodara tidak dapat ditahan sedikitpun. Penulis mengkategorikan referen “pemarah” sebagai referen yang menggambarkan karakteristik Wrekodara. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “pemarah” yang dinyatakan dalam teks: a. 1.01.03.01. Raden W rekodara sanget ne psunipun. M ajeng am andhi gada. Pangamukipun angge gilani. B ala K orawa pi nten-pinten i ngkang pejah dipun gada, mboten wonten ingkang kuwawi anadhahi. Raden
28
Pemarah dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (2007, edisi ke-3:715) berasal dari kata marah yang memiliki makna ‘sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb); berang; gusar.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
56 Wrekodara ny elehaken gada
ny andhak j emparing anam a
Bargawastra. Atusan ingkang pejah dening Bargawastra. (hlm. 96) ‘Raden Wrekodara sangat marah. (Raden Wrekodara) maju memanggul gada. Amukannya menyeramkan. Banyak Bala Korawa mati dipukul (dengan) gada (Raden Wrekodara) tidak ada yang mampu melawan. Raden Wrekodara meletakkan gadanya (lalu) mengambil panah yang bernama Bargawastra. Ratusan (orang) mati oleh Bargawatra.’ Karakteristik “pemarah” muncul dalam kalimat Raden W rekodara s anget nepsunipun. ‘Raden Wrekodara sangat marah.’ Pelaku adalah Wrekodara. Karakteristik “pemarah” ditekankan dengan munculnya kata sanget nepsunipun ‘sangat marah.’ Sifat pemarah Wrekodara mengakibatkan amukannya kuat dan menyeramkan, serta dapat mengakibatkan para musuh mati.
b. 1.01.04.04. Anunten R aden W resaya any umbari R aden Wrekodara “ Heh, Wrekodara, y en k owe ny ata l anang, ay o p erang k aro ak u an a pinggiring s agara, s upaya aj a ana kang ngr egoni, t utuga angadu kasekten.” R aden W rekodara m boten t ahan mirengaken dipun sumbari, atilar baris, lumampah mangaler angutu. (hlm. 101) ‘Kemudian Raden Wresaya menantang Raden Wrekodara “Hai, Wrekodara, jika engkau benar-benar seorang laki-laki, ayo perang (lawan) aku di pinggir laut, agar tidak ada yang menganggu, sampai (kita) selesai mengadu kesaktian.” Raden Wrekodara tidak tahan mendengar tantangan, lalu meninggalkan barisan, berjalan ke utara dengan cepat.’ Karakteristik “pemarah” muncul dalam kalimat Raden W rekodara m boten tahan m irengaken di pun s umbari, at ilar ba ri, l umampah m angaler angut u. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
57
‘Raden Wrekodara tidak tahan mendengar tantangan, lalu meninggalkan barisan, berjalan ke utara dengan cepat.’ Pelaku tindakan adalah Raden Wresaya dan objek tindakan adalah Wrekodara. Karakteristik “pemarah” ditekankan dengan munculnya penggalan kalimat ... m boten t ahan mirengaken di pun sumbari, . .. ‘...tidak tahan mendengar tantangan...’ menunjukkan bahwa emosi Wrekodara mudah terbakar dan mudah untuk dibuat marah. Sikap Wrekodara yang mudah pemarah ini disebabkan bahwa Wrekodara tidak pernah menghindari tantangan musuhnya (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:292).
c. 1.01.05.02. Wondening panar ajangipun K orawa s aking kathahipun k ados sulung, am belasah i ngkang pe jah de ning gada. Kathah par a di pati ingkang pe jah, s arta i ngkang r emuk r ata t uwin gaj ahipun, a wit kaamuk dhum ateng R aden W rekodara. T andangipun k ados gaj ah sewu meta. Pundi ingkang dipunterak tumpes. (hlm. 110) ‘Adapun terjangan Korawa banyaknya seperti laron kecil, berserakan orang-orang yang mati oleh gada. Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara. Perbuatannya seperti seribu gajah yang marah. Apapun yang ditabrak, tumpas.’ Karakteristik “pemarah” muncul dalam kalimat Tandangipun k ados gaj ah sewu m eta. ‘Perbuatannya seperti seribu gajah yang marah.’ Pelaku adalah Wrekodara. Referen “pemarah” pada karakteristik Wrekodara dibandingkan dengan kemarahan seribu ekor gajah. Munculnya kata meta ‘marah’ sebagai penegas bahwa Wrekodara adalah orang yang pemarah. 3. Pemberani Referen “pemberani” muncul dari makna ‘serigala’ pada nama diri Wrekodara. Serigala dijelaskan sebagai binatang liar. Kata liar dalam Kamus Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
58 Besar B ahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:668) memiliki enam makna, namun salah satu makna yaitu ‘2) tidak (belum) jinak’ cocok untuk menggambarkan referen “pemberani” pada Wrekodara. Muncul kata jinak pada makna kata liar menunujuk pada salah satu dari tiga makna kata jinak yaitu ‘2) tidak malu-malu, tidak segan, dan tidak takut-takut lagi’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:474). Sehingga karakteristik dari serigala sebagai binatang liar yaitu tidak dan/atau belum jinak memiliki penggambaran karakter yang berani. Pemberani 29 memiliki makna ‘1) orang yang sangat berani; 2) yang mempunyai sifat berani’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:138). Wrekodara digambarkan sebagai panglima perang yang pemberani dan tidak mengenal takut saat menghadapi musuhnya dalam perang Baratayuda (Sumaryoto, 2000:113). Referen “pemberani” menunjuk pada karakteristik Wrekodara dalam perang Baratayuda. Penulis mengkategorikan referen “pemberani” sebagai referen yang menggambarkan karakteristik Wrekodara. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “pemberani” yang dinyatakan dalam teks: a. 1.01.06.06. Wrekodara s anget i ng pangam ukipun s inten i ngkang m ajeng di pun gada. A kathah pr ajurit pe pilihan i ngkang pe jah de ning pangamukipun. (hlm. 115) ‘Wrekodara mengamuk hebat, siapa yang maju dipukul dengan gada. Banyak prajurit pilihan mati oleh amukannya.’ Karakteristik “pemberani” muncul dalam kalimat Wrekodara s anget i ng pangamukipun s inten i ngkang m ajeng di pun gada. ‘Wrekodara mengamuk hebat, siapa yang maju dipukul dengan gada.’ Pelaku adalah Wrekodara dan objek adalah para prajurit. Karakteristik “pemberani” ditekankan dengan munculnya ... sinten ingkang majeng dipun gada. ‘... siapa yang maju dipukul
29
Berasal dari kata berani yaitu ‘mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb; tidak takut’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:138). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
59 dengan gada.’ Siapapun prajurit yang berani melawan Wrekodara pasti akan dilawan kembali olehnya tanpa mengenal rasa takut.
b. 1.01.06.07. Anunten adhi nipun Sangk uni k ekalih m ajeng, a nama A nggajaksa kalih Sar abasanta, angi rid pr ajurit s aleksa, angr oyok R aden Wrekodara. Boten kaweden dipun karubut ing perang. Lajeng wiwit anglepasaken B argawastra, k athah p rajurit i ngkang pe jah de ning jemparingipun. Sangs aya r iwut pangam ukipun Raden W rekodara, pundi baris ingkang katerak, tumpes. (hlm. 115) ‘Kemudian, kedua adik Sengkuni yang bernama Anggajaksa dan Sarabasanta maju, membawa sepuluh ribu prajurit dan mengroyok Raden Wrekodara. (Raden Wrekodara) tidak takut dikerubuti sewaktu perang. Lalu, mulai melepaskan Bargawastra, banyak prajurit mati oleh panahnya. Semakin ribut amukan Raden Wrekodara, baris manapun yang diterjang, hancur.’ Karakteristik “pemberani” muncul dalam kalimat Boten k aweden di pun karubut i ng pe rang. ‘(Raden Wrekodara) tidak takut dikerubuti sewaktu perang.’ Pelaku adalah Anggajaksa, Sarabasanta serta para prajurit dan objek adalah Wrekodara. Karakteristik “pemberani” ditekankan dengan munculnya kata boten k aweden ‘tidak takut.’ Walaupun diserang oleh banyak prajurit tetapi Wrekodara tidak takut untuk melawannya sendirian. c. 1.01.07.02. Dursasana rumaos k uwalahan, badhe l umajeng, l ajeng di pun jambak r ambutipun s arta k asendhal dhat eng Wrekodara dha wah kalumah, r ambutipun t aksih k acepeng dhat eng W rekodara s arta dipun gadani . P rabu Suy udana s asedhrekipun nul ungi, s ami anjemparingi, nanging Wrekodara mboten ajrih. (hlm. 122-123)
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
60
‘Dursasana merasa kewalahan, (dia) ingin melarikan diri, lalu dijambak rambutnya serta disentakkan oleh Wrekodara (hingga) jatuh terlentang, rambutnya masih dipegang oleh Wrekodara serta dipukuli dengan gada. Prabu Suyudana dan seluruh saudara menolong, memanahi, tetapi Wrekodara tidak takut.’
Karakteristik
“pemberani”
muncul dalam
kalimat
Prabu Suy udana
sasedhrekipun nulungi, sami anjemparingi, nanging Wrekodara mboten ajrih. ‘Prabu Suyudana dan seluruh saudara menolong, memanahi, tetapi Wrekodara tidak takut.’ Pelaku adalah seluruh saudara Prabu Suyudana dan objek adalah Wrekodara. Karakteristik “pemberani” ditekankan dengan munculnya kata mboten aj rih ‘tidak takut.’ Walaupun sudah diserang dan dipanah oleh banyak prajurit tetapi Wrekodara tidak takut. d. 1.01.09.01. Wrekodara any umbari s aking i ng dhar atan, s arta angu wus-uwus, awit m boten p rayogi y en ratu k awon pe rangipun l ajeng s ingidan ajrih m anawi pe jah. K apurih m entasa badh e k aajak pe rang tandhing. (hlm. 131) ‘Wrekodara menantang dari daratan serta mengata-ngatai sebab tidak baik jika raja kalah (dalam) perang lalu bersembunyi (karena) takut mati. Disuruh keluar akan diajak perang tanding.’ Karakteristik “pemberani” muncul dalam kalimat Wrekodara any umbari saking i ng dha ratan, s arta angu wus-uwus, a wit m boten p rayogi y en r atu kawon pe rangipun l ajeng s ingidan aj rih m anawi p ejah. ‘Wrekodara menantang dari daratan serta mengata-ngatai sebab tidak baik jika raja kalah (dalam) perang lalu bersembunyi (karena) takut mati.’ Pelaku adalah Wrekodara dan objek adalah raja. Karakteristik “pemberani” ditekankan dengan munculnya kata anyumbari ‘menantang.’ Sikap Wrekodara yang
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
61
senang menantang musuh yang ternyata adalah seorang raja, menunjukkan bahwa Wrekodara adalah panglima perang yang berani. 4. Kaku Referen “kaku” muncul dari karakteristik Wrekodara dalam berperang yang dikenal kaku. Hal ini sebagai perbandingan antara Wrekodara dengan Arjuna dalam cara berperang. Berikut analisis referensial nama diri Wrekodara berdasarkan referen “kaku” yang dinyatakan dalam teks: a. 1.01.05.03. Wrekodara t andange pe rang k aku, or a j ulig k aya s i D ananjaya. (hlm 111) ‘Caranya Wrekodara berperang kaku, tidak cerdik seperti si Dananjaya.’ Pelaku adalah Wrekodara. Referen “kaku” ditekankan dengan munculnya Wrekodara t andange pe rang k aku, . .. ‘Caranya Wrekodara berperang kaku ...’ Wrekodara ketika berperang menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan yang besar, sedangkan Arjuna lebih menggunakan pikiran (Sumaryoto, 2000: 112). Referen “kaku” muncul dengan didukung oleh referen lain yang menggambarkan tindakan Wrekodara ketika berperang seperti referen “seperti binatang,” referen “menakutkan,” referen “suka mengamuk,” dan referen “suka membunuh.” Penulis memasukkan referen “kaku” sebagai salah satu referen yang menggambarkan karakteristik Wrekodara. Setelah melakukan penjabaran terhadap referen-referen yang muncul dari makna ‘perut serigala’ pada nama diri Wrekodara, ditemukan hubungan hierarki taksonomi antara nama diri Wrekodara dengan referen-referennya. Referenreferen tersebut menggambarkan dua hal, yaitu referen yang berupa “tidakan” dan referen yang berupa “karakteristik”:
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
62
i.
Referen yang berupa “tindakan” yang mana di dalamnya terdapat referen “berperilaku buas” yang melingkupi ciri-ciri referen lain yaitu “seperti binatang,” “menakutkan,” “suka mengamuk,” dan “suka membunuh.”
ii.
Referen yang berupa “karakteristik” yang mana di dalamnya termasuk referen “pemarah,” “pemberani,” dan “kaku.”
Pada nama diri Wrekodara tidak muncul referen yang menunjuk pada “deskripsi fisik” dari makna ‘perut serigala.’ Sehingga hanya muncul dua kategori referen sebatas referen yang berupa “tindakan” dan referen yang berupa “karakteristik” yang menjelaskan makna ‘perut serigala.’ Dari kedua referen tersebut dapat digambarkan dengan peta referen nama diri Wrekodara sebagai berikut: 1.1.1. Seperti Binatang 1.1.2. Menakutkan
1.1. Berperilaku Buas
1. Tindakan Wrekodara 2. Karakteristik
2.1. Pemarah
1.1.3. Suka Mengamuk
2.2. Pemberani
1.1.4. Suka Membunuh
2.3. Kaku Gambar 1 Peta referen yang menunjukkan hubungan hierarki taksonomi antara nama diri Wrekodara dengan ciri-ciri referensialnya. Dari referen-referen yang berupa “tindakan” dan “karakteristik” terlihat bahwa antara nama diri Wrekodara, makna nama diri Wrekodara ‘perut serigala,’ dan penggambaran dalam cerita Bratayuda cocok satu sama lain. Nama diri Wrekodara sebagai penanda identitas menunjukkan adanya konsistensi. Di dalam konteks cerita, nama diri tidak berubah. Dibutuhkan kata yang cocok sebagai penggambaran pahlawan perang yang disegani oleh musuhnya. Dan kata Wrekodara bisa menggambarkan hal itu semua, sebagai pahlawan perang yang Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
63 berperilaku buas, pemarah, pemberani, dan kaku. Sehingga nama diri Wrekodara di sini memegang arti yang penting antara hubungan makna dari nama diri dan penggambaran di dalam cerita.
3.4. Analisis Referensial Nama Diri Bratasena Selain Wrekodara, salah satu nama diri tokoh Bima yang paling sering muncul adalah Bima sebagai Bratasena. Apabila nama diri Wrekodara muncul ketika Bima dewasa, nama diri Bratasena muncul atau digunakan oleh para dalang, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika Bima masih anak-anak dan remaja (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:302). Hal ini didukung dari banyaknya tulisan atau karya sastra yang penulis temukan bahwa nama diri Bratasena muncul sebelum perang Baratayuda berlangsung. Adanya suatu anggapan, nama Bratasena dipakai ketika Bima sedang mencari jati dirinya. Bima sebagai Bratasena digambarkan sebagai seorang yang kuat, mempunyai keteguhan hati, ksatria yang berani dan tidak takut kalah, serta suci (Soetarno, 1992:68). Sama seperti nama diri Wrekodara, Bima sebagai Bratasena juga mempunyai sebuah peran. Karya sastra yang penulis pakai pada penelitian ini adalah Serat B ima Bungkus karangan Tjan Tju An (1936). Serat Bima Bungkus ditulis dalam bahasa Jawa Baru dan huruf aksara Jawa. Penulis melakukan pengalih-aksaraan terlebih dahulu dari aksara Jawa ke dalam askara latin. Serat B ima B ungkus berbentuk puisi naratif dengan bingkai macapat, tetapi pemakaian nama Bratasena tidak berubah-ubah karena tuntutan metrum macapat. Nama yang muncul hanya Bratasena ketika sudah lahir ke dunia dan bungkus ketika Bima masih berada di dalam bungkus. Sebab, Serat Bima Bungkus mengambil segmen ketika kelahiran Bima. Sumaryoto (2000:124) berpendapat bahwa cerita Bima Bungkus merupakan perkembangan dari cerita kelahiran Bima dalam Ādhiparwa yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga terjadi banyak perubahan. Secara linguistis, nama diri Bratasena merupakan gabungan dua kata yaitu brata dan sena. Menurut kamus Baoesastra D jawa (1939) karangan Poerwadarminta, kata brata berarti ‘setia, teguh janji; tapa’ (1939:59) dan kata Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
64 sena berarti ‘prajurit’ (1939:550). Secara leksikal, nama diri Bratasena memiliki makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’ Akan tetapi, munculnya kata sena bisa menghadirkan makna lain. Disebutkan bahwa Bima mampu membunuh Gajah Sena ketika masih bayi dan ruh gajah Sena masuk ke dalam tubuhnya
(Soetarno, 1992:67-68). Penulis berpendapat bahwa, ada
kemungkinan nama sena muncul dari nama gajah Sena tersebut. Melalui teori makna Ogden dan Richard (1989), pemaknaan ini dapat dijelaskan melalui tiga hal, yaitu: a. Symbol yaitu kata dalam hal ini Bratasena. b. Thought or reference yang berupa makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’ c. Referent yang berupa unsur-unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh symbol yang menunjuk pada objek ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’
Gambar yang didapat berupa segitiga makna, seperti di bawah ini: Thought or reference: ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’
Symbol: Bratasena
Referent: menunjuk pada objek ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’
Referen dari makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ tidak hanya terdiri dari satu referen saja tetapi muncul berbagai macam referen yang menggambarkan makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ secara referensial. Makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ tidak berdiri sendiri tetapi ada referenreferen sebagai penunjang makna. Referen yang muncul dibagi ke dalam beberapa
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
65 kategori. Sama seperti nama diri Wrekodara, referen pada nama diri Bratasena juga hadir sebagai analisis komponen makna. Kridalaksana (2008, edisi ke-4:14) menjelaskan bahwa analisis komponen sebagai “metode untuk memecah sebuah unsur atas bagian-bagian yang lebih kecil.” Makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ bisa dibagi-bagi lagi menjadi referen-referen yang lebih kecil tetapi masih menggambarkan makna tersebut secara keseluruhan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Widdowson (1996:57) mengenai pembagian kategori pada analisis komponen makna, analisis komponen makna nama diri Bratasena dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: a. Kategori yang berupa class m embership. C lass m embership pada nama diri Bratasena menjelaskan: •
Kedudukan posisi Bratasena dalam cerita Serat Bima Bungkus. Sama seperti ketika Bima bernama Wrekodara, di depan nama diri Bratasena juga muncul kata raden atau ‘sebutan bagi orang-orang keturunan raja’ (Poerwadarminta,, 1939: 515). Kata raden ini menunjukkan bahwa Bratasena merupakan orang bangsawan.
•
Peran Bratasena dalam cerita Serat B ima B ungkus sebagai seorang prajurit. Peran ini juga penulis masukkan ke dalam kategori “peran” yang muncul dari makna nama diri Bratasena.
b. Kategori yang berupa possession atau ‘kepemilikan’ (Echols dan Shadily, 1997: 439). Kategori kepemilikan pada nama diri Bratasena meliputi: •
Kepemilikan “tindakan” yang menjelaskan makna nama diri Bratasena.
•
Kepemilikan “karakteristik” yang menjelaskan makna nama diri Bratasena.
•
Kepemilikan “deskripsi fisik” yang menjelaskan makna nama diri Bratasena.
Dua pengkategorian analisis komponen ini menggambarkan konsep makna nama diri Bratasena secara keseluruhan. Makna leksikal ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ memunculkan referen-referen yang menjelaskan Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
66 keseluruhan komponen makna Bratasena. Penulis menemukan unsur-unsur luar bahasa dalam kedua kategori di atas yang ditunjuk oleh unsur bahasa berupa nama diri Bratasena sebagai penggambaran tokoh Bima. Kedua unsur luar bahasa tersebut sebagai unsur-unsur referensial dari nama diri Bratasena. Berbeda dengan nama diri Bima sebagai Wrekodara yang mengalami metafora, pada nama diri Bima sebagai Bratasena tidak ditemukannya metafora tetapi makna yang muncul dapat diartikan secara langsung. Pada dua kategori di atas yang menunjukkan class m embership dan possessions, penulis menjadikan tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran sebagai empat kategori analisis komponen, yang mana dijadikan sebagai penggambaran makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ yang menunjuk pada referenreferen pendukung maknanya, yaitu: a. “Bertapa.” b. “Kuat.” c. “Teguh.” d. “Berani.” e. “Gagah Perkasa.” f. “Deskripsi Pakaian.” g. “Prajurit.”
Dari ketujuh referen di atas, akan dimasukkan pada kategori yang sesuai berupa tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan profesi dari nama diri Bima sebagai Bratasena. Referen-referen tersebut didapatkan dari korpus data yang berupa teks dalam cerita Serat Bima Bungkus. Berikut ini analisis makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ dari nama diri Bratasena beserta analisis makna referensialnya: 1. Bertapa Referen “bertapa” muncul dari makna ‘tapa’ pada nama diri Bratasena. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:1142) kata tapa atau tapa brata ‘bertarak; menahan hawa nafsu, berpantang, dsb.’ Kata tapa sudah termasuk ke dalam kata kerja, namun masih muncul kata
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
67 kerja yang lain yaitu bertapa. 30 Pada nama diri Bratasena, kata yang langsung menunjuk pada referen “bertapa” adalah kata brata yang bermakna ‘tapa’ (Poerwadarminta, 1939:59). Dari korpus data berupa teks yang penulis temukan, terdapat penjelasan tindakan yang dilakukan oleh Bratasena ketika masih berada di dalam bungkus yaitu bertapa. Tindakan “bertapa” di sini tidak dilakukan oleh Bratasena seorang diri, tetapi dibantu oleh Dewi Uma. Maksud dari tindakan “bertapa” pada korpus data yang penulis dapat adalah Bratasena sewaktu berada di dalam bungkus, dibuang ke tengah hutan, dan pada saat bersamaan Batara Guru menyuruh Dewi Uma untuk membantu mengeluarkan Bratasena dari dalam bungkus. Akan tetapi sebelum keluar dari dalam bungkus, Dewi Uma memberikan ajaran-ajaran dan petuah sebagai ketenangan batin Bratasena ketika kelak hidup di dunia. Sehingga, hasil tindakan “bertapa” tersebut membentuk karakteristik yang ada pada diri Bratasena, di antaranya sifat keteguhan dan kesucian hati (Soetarno, 1992:68). Referen “bertapa” mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh Bratasena. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “bertapa” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.01.03. ... pandhu de wanata i ng ngas tina, t umrah m ring gar wa put rane, manira yun angrungu, kahanane suteng dewaji, kang lair babungkusan, paran w artanipun, eh y ayi ge ndara s ira, t utulung ngamecah bungk us neng wanadri, ... (hlm. 2) ‘... Pandhu Dewanata di Astina, dari istrinya melahirkan anak. Aku ingin mendengar berita keadaan putraku yang lahir terbungkus. Bagaimana beritanya, wahai adik Gendara, tolong pecahkan bungkus (yang ada) di hutan, ...’
30
‘1) mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, tidur, berahi) untuk mencari ketenangan batin; 2) menjalani hukuman penjara’ (Alwi dkk., 2007, edisiki ke-3: 1142). Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
68 Tindakan “bertapa” terdapat pada kalimat tutulung ngam ecah bungk us neng w anadri ‘tolong pecahkan bungkus (yang ada) di hutan.’ Pelaku tindakan adalah Gendara dan objek tindakan adalah Bratasena yang disebut sebagai bungkus. Kalimat tersebut mengacu pada sebuah tempat yaitu hutan. Hal ini mengacu pada makna bertapa yaitu ‘mengasingkan diri dari keramaian’ bahwa Bratasena diasingkan ke sebuah hutan agar mendapat wahyu dan bisa keluar dari bungkus. Pada saat Bratasena berada di hutan itulah, dia melakukan tindakan “bertapa” yang dibantu oleh Dewi Uma.
b. 2.02.01.05. ... i ng s amengko s inetraken wana, r ama nt a be la wirage, gal ih pupunanipun, dur ung bi sa ababa r bay i, de ne s akeh gagam an, k ang kinarya ngresuk, tanana ingkang tumama, ... (hlm. 3) ‘... sekarang diasingkan di hutan, orang tuanya turut sedih, hatinya. Belum bisa lahir (menjadi) bayi, walaupun banyak senjata yang dipakai untuk merusak (bungkus) tidak ada yang mampu, ...’ Tindakan “bertapa” terdapat pada kalimat ing s amengko sinetraken wana ‘sekarang diasingkan di hutan.’ Objek tindakan adalah Bratasena sebagai bungkus. Sama seperti korpus data sebelumnya, pada kalimat tersebut juga mengacu pada sebuah tempat yaitu hutan sebagai tempat pengasingan diri bagi Bratasena untuk melakukan tapa. c. 2.02.03.05. Pada korpus data 2.02.03.05. muncul percakapan antara Dewi Uma dengan Bratasena ketika masih berada di dalam bungkus sebanyak empat pada. Dewi Uma memberikan nasihat dan janji untuk ditepati oleh Bratasena. Disebutkan oleh Sumaryoto (2000:75) bahwa tujuh janji ini merupakan ajaran tentang tujuh macam hal mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dialog ini penulis masukkan dalam
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
69
tindakan “bertapa” sebab isi nasihat dan janji ini berhubungan dengan batin dan pembentukan jiwa Bratasena. Keempat pada tersebut yaitu: i. ... pangeran hulun sajati, sira arsa sun tari, sun ngemban dhawuh hyang gur u, apa s umagem s ira, ar sa t initih k emalih, y en k aduga janjine pitung prakara. ‘... Pangeranku sejatinya engkau akan aku tanya, aku mengemban perintah Hyang Guru, apa engkau sanggup hendak diberikan lagi (janji). Jika sanggup, ada tujuh janji.’ Tindakan “bertapa” terdapat pada kalimat yen k aduga j anjine pi tung prakara ‘jika sanggup, ada tujuh janji.’ Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu (janji) dari hasil tindakan tapa tersebut. Pada tersebut menunjukkan tentang kesanggupan Bratasena ketika diberikan wahyu tujuh janji. Data di atas penulis masukkan sebagai tindakan yang menggambarkan “bertapa” karena tujuh janji tersebut sebagai hasil ketenangan batin yang akan diperoleh Bratasena. Ketiga pada di bawah ini akan menunjuk pada ketujuh janji yang harus ditepati oleh Bratasena. ii. Kapisan y wa l imut s ira, k alimput k udu um eksi, m ring r urupane kawarna, t an m iyat slira ni ng gus ti, kapindho ay wa l ali, ngr ungu sabda ni ng hy ang gur u, k arana k upur m yarsa, m ring pr abawa lenireki, kang ngalingi marang pangandika ning hyang. ‘Yang pertama, engkau jangan takabur dan tidak tahu karena tertutup oleh segala macam bentuk yang tidak tampak seperti Tuhan. Yang kedua jangan lupa mendengarkan sabda Hyang Guru sebab kufur mendengar kepada kebesaran yang lain yang menghalangi akan sabda Tuhan.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
70 Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu (janji) dari hasil tindakan tapa tersebut. Masih lanjutan dari pada sebelumnya, pada tersebut membahas tujuh janji yang harus ditepati oleh Bratasena. Pada pada ini, Dewi Uma menyebutkan dua janji yang harus ditepati oleh Bratasena, yaitu: •
Kapisan y wa l imut s ira, k alimput k udu um eksi, m ring r urupane kawarna, t an m iyat s lira ni ng gus ti ‘yang pertama, engkau jangan takabur dan tidak tahu karena tertutup oleh segala macam bentuk yang tidak tampak seperti Tuhan.’
•
Kapindho ay wa l ali, ngr ungu s abda ni ng hy ang gur u, k arana k upur myarsa, m ring pr abawa l enireki, k ang ngal ingi m arang pangandi ka ning hy ang ‘Yang kedua jangan lupa mendengarkan sabda Hyang Guru sebab kufur mendengar kepada kebesaran yang lain yang menghalangi akan sabda Tuhan.’ iii. Kaping tri den menget sira, ganda slira ning hyang widi, ywa liput pijer anguswa, aganda liya nireki, ping pat kudu ngicipi, rasanira sang hy ang gur u, ay wa pi jer m irasa, m arang s aniskareng buk ti, ping limane ywa pijer katungkul sira. ‘Yang ketiga engkau selalu ingat, wujud dari Hyang Widi, selalu menutup diri dari (tuhan) dia yang berwujud lain. Yang keempat harus selalu mencoba rasa Hyang Guru, jangan selalu merasa enak oleh semua yang dimakan. Yang kelima janganlah engkau lupa.’
Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu (janji) dari hasil tindakan tapa tersebut. Masih berhubungan dengan pada sebelumnya, pada ini juga masih membahas tujuh janji yang harus Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
71 ditepati oleh Bratasena, yang mana muncul tiga janji sebagai kelanjutan dua janji di atas, yaitu: •
Kaping t ri de n m enget s ira, ga nda s lira ni ng hy ang widi, y wa l iput pijer angus wa, aga nda l iya ni reki ‘yang ketiga engkau selalu ingat, wujud dari Hyang Widi, selalu menutup diri dari (tuhan) dia yang berwujud lain.’
•
Ping pat kudu ngicipi, rasanira sang hyang guru, aywa pijer mirasa, marang s aniskareng buk ti ‘yang keempat harus selalu mencoba rasa Hyang Guru, jangan selalu merasa enak oleh semua yang dimakan..’
•
Ping limane ywa pijer katungkul sira. ‘yang kelima janganlah engkau lupa.’ Janji kelima ini terpotong karena tuntutan metrum macapat sehingga lanjutan dari janji kelima berada pada pada selanjutnya. iv. Ngrasa k apenak l an l ara, k ongsi l imut angal ingi, m ring kapenaking pangr asa, k ang nunggal rasaning gusti, pi ng ne m aywa m inihi, ngr usak t itah i ng hy ang ngagung, pi ng pi tu ay wa sira, ak arya r etu ni ng ngat i, ngoy ak-koyak dhamparing hy ang jagad nata. ‘Merasakan enak dan sakit hingga lupa menghalangi, akan rasa kenikmatan yang bersatu dengan rasa Tuhan. Yang keenam jangan menanam benih untuk merusak apa yang dititahkan Hyang Agung. Yang ketujuh janganlah engkau berbuat huru-hara, menggoncang singgasana Hyang Jagad Nata.’
Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu (janji) dari hasil tindakan tapa tersebut. Sama seperti pada-pada sebelumnya pada korpus data 2.02.03.05., pada di atas juga membahas mengenai tujuh janji yang harus Bratasena tepati. Pada pada ini
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
72
disebutkan dua janji yang terakhir beserta potongan janji yang kelima, yaitu: •
Ngrasa k apenak l an l ara, k ongsi l imut angal ingi, m ring k apenaking pangrasa, k ang nunggal r asaning gus ti ‘merasakan enak dan sakit hingga lupa menghalangi, akan rasa kenikmatan yang bersatu dengan rasa Tuhan.’ Ini merupakan potongan janji kelima yang sudah disebutkan pada pada sebelumnya.
•
Ping ne m ay wa m inihi, ngr usak t itah i ng hy ang ngagung ‘yang keenam jangan menanam benih untuk merusak apa yang dititahkan Hyang Agung.’
•
Ping pi tu ay wa s ira, ak arya r etu ni ng ngat i, ngoyak-koyak dhamparing hy ang j agad nat a ‘yang ketujuh janganlah engkau berbuat huru-hara, menggoncang singgasana Hyang Jagad Nata.’
d. 2.02.03.07. Pada korpus data 2.02.03.07. muncul dua pada yang menjelaskan percakapan antara Dewi Uma dan Bratasena. Setelah Bratasena diberi tujuh ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan, Dewi Uma memberikan ajaran kepada Bratasena mengenai hal manusia sejati, di antaranya terdapat pada dua pada berikut, yaitu: i. Eh s ajatining m anungsa, s arehning sira samangkin, ar sa t umitah mring duny a, nangi ng dur ung paj awarni, k adi gat raning j anmi, samene l agi dum unung, m artabat ak adiyat, t egese s apangkat sawiji, maksih angel lakuning marang manungsa. ‘“Hai manusia sejati, berhubung sekarang engkau akan diciptakan di dunia tetapi belum waktunya, layaknya sebagai seorang manusia, baru sampai adanya Martabat A kadiyat sebagai tingkat yang pertama masih sulit menjadi manusia (yang sempurna).”’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
73 tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Ajaran yang diberikan pada pada ini adalah martabat ak adiyat atau tingkatan pertama yang masih jauh dari akhlak manusia sempurna. ii. Ing benjang prapta ning mangsa, tan wun laki ni ra bali, ing kene bakal i ng ngar an, m artabating i nsan k amil, yeku wangkating janmi, kang sampurna aranipun, dekang aran sampurna, mung ka manungsa nireki, wus maligi nora mawor saniskara. ‘“Jika sudah tiba waktunya menjadi laki-laki, di sini akan dinamai Martabat I nsan K amil, yaitu bentuk manusia, yang dinamakan sempurna, tubuhnya hanya manusia ini sudah murni tidak bercampur semua.”’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Ajaran yang diberikan pada pada ini adalah martabat i nsan k amil atau bentuk manusia sempurna. Sumaryoto (2000:75) menjelaskan bahwa martabat i nsan k amil merupakan martabat yang paling tinggi dan jauh dari martabat akadiyat, yang mana martabat insan kamil merupakan tingkatan manusia sempurna. e. 2.02.03.08. ... wus t ibeng j awi ni ng pi ntu, ngam bah m artabat wuntat, y eku kamulaning wiji, kang dumunung mawor rahsaning wong priya. ‘“... sudah waktunya keluar, datang martabat w untat yaitu kemuliaan benih, yang terletak pada bersatunya rasa laki-laki.”’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
74 tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Pada pada di atas, ajaran yang diberikan oleh Dewi Uma adalah martabat w untat atau benih yang menjadi rasa laki-laki. Sumaryoto (2000:75) menjelaskan bahwa martabat wuntat merupakan martabat yang terakhir yang menjadi permulaan untuk menjadi benih manusia.
f. 2.02.03.09. Kapungkur h yang um a l ing ny a, samantara n utpah m anungsajati, sinungan wahyaning napsu, kang aran: mutmainah, cahya seta muncar prabaneng ngungupu ng,
wang j atining m anungsa, r umangsa
tentreming ngati. ‘Dewi Uma telah berkata, “sementara bakal-manusia sejati, diberikan nafsu yang dinamakan mutmainah” cahaya putih menyinari dan mengepung jiwa manusia yang merasa menentramkan hati.’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Pada pada di atas, ajaran yang diberikan oleh Dewi Uma adalah napsu mutmainah yang berwarna putih. Sumaryoto (2000: 75) berpendapat bahwa nafsu m utmainah berada pada martabat ak adiyat. Menurut penulis, warna putih pada napsu m utmainah masih berhubungan dengan salah satu warna pada kain poleng bang bintulu yang berwarna putih yang melambangkan kesucian hati manusia (Susetya, 2007: 207).
g. 2.02.03.10. Pada korpus data 2.02.03.10. muncul dua pada yang menjelaskan percakapan antara Dewi Uma dengan Bratasena. Percakapan tersebut
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
75
masih berhubungan dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Dewi Uma. Kedua pada tersebut yaitu: i. Antuk catur dasa dina, wimbuh ngreda nutpah denya dumadi, neng martabating s inebut, i ng ngar an ngak adiyat, k acarita dupi prapteng mangsanipun, samana nuli katekan, cahya pita anelahi. ‘Setelah empat puluh hari, air mani tersebut bertambah dari asalnya, yang disebut martabat A kadiyat, diceritakan saat tiba waktunya, akan datang cahaya kuning.’ ii. Sang um a l on: ngandi ka, tampanana nut pah t itipan i ki, k ang warna k uning ngungupung, ar an: naps u s upiyah, r awaten de n becik s ira anggadhuh, i ng t embe pr aptaning m osa, de n t imbali hyang pramisthi. ‘Sang Uma berkata. “terimalah air mani titipan ini, yang berwarna kuning yang (sedang) mengepung, dinamai nafsu supiyah, simpanlah dengan baik olehmu untuk dipakai. Jika sudah waktunya kelak dikembalikan kepada Hyang Pramisthi.”’ Tindakan “bertapa” muncul pada kedua pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Pada pada ini muncul napsu s upiyah yang berwarna kuning dan masih terletak pada martabat akadiyat. Sama seperti warna putih pada napsu m utmainah, menurut penulis warna kuning pada napsu s upiyah juga muncul pada warna kain poleng bang bi ntulu yang dikenakan oleh Bratasena. Warna kuning di sini sebagai perlambang nafsu birahi (Susetya, 2007:207).
h. 2.02.03.11. ... tampanana titipan kang kaping tri, amarah araning napsu, poma sira den bisa, angrigena tanduke lawan pamengku, ...
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
76 ‘“... terimalah titipan yang ketiga, dinamakan nafsu amarah, agar engkau bisa mengatur perilaku dan kehendak ...”’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruh pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Pada pada di atas, muncul napsu am arah yang juga masih berada di tingkatan martabat ak adiyat. Menurut penulis warna merah pada napsu am arah juga sebagai salah satu warna yang muncul pada kain poleng bang bi ntuli. Warna merah dijadikan sebagai perlambang amarah manusia (Susetya, 2007: 207).
i. 2.02.03.12. Pada korpus data 2.02.03.12. muncul dua pada yang menjelaskan tentang percakapan antara Dewi Uma dan Bratasena. Percakapan ini masih berhubungan dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Dewi Uma. Kedua pada tersebut yaitu: i. Eh ngal akah wruhnira, i ng s amengko s ira ne ng ngal am j isim, karana w arnanireku, wus ar an badan wadhak, t etepana wajibing jisim s adarum, bak al da rbe pe penginan, m angan ngi num l an saresmi. ‘“Hai ketahuilah engkau, sekarang engkau berada di alam jis im, karena bentukmu sudah berupa badan, penuhilah semua kewajiban badan karena akan timbul keinginan makan, minum dan bersetubuh.’ ii. Tan be da l akuning k ewan, nangi ng s ira i ng t embe de n dhu wuhi, ngakal budi k ang l inuhung, y eku m angka s arana, k ang nanar ik ning ala miwah rahayu, marang bagya lan sangsara, marmane den awas eling. ‘Tidak berbeda dengan perilaku hewan tetapi engkau nanti akan diberi akal budi yang mulia, yaitu sebagai sarana hanya untuk
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
77
menarik kejahatan dari kebaikan, bahagia dan sengsara. Oleh sebab itu, harus waspada dan ingat.’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan tiga pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Dari kedua pada di atas, didapat tindakan “bertapa” yang berupa: •
Pada pada i disebutkan bahwa Bratasena sedang berada di alam jisim. Sumaryoto (2000:75) menjelaskan bahwa alam jis im merupakan tempat di mana Bratasena sudah berada di alam jasad dan telah mempunyai wujud jasmaniah. Pada tersebut menjelaskan ketika sudah terbentuk jasad, muncul keinginan untuk makan, minum, dan bersetubuh.
•
Pada pada ii yang merupakan kelanjutan pada i menjelaskan bahwa tindakan makan, minum, dan bersetubuh sama seperti hewan tetapi Bratasena diberikan akal budi yang mulia untuk membedakannya dengan hewan. Dewi Uma memperingatkan Bratasena untuk selalu waspada dan ingat.
j. 2.02.03.14. Pada korpus data 2.02.03.14. muncul empat pada yang juga menjelaskan percakapan antara Dewi Uma dengan Bratasena. Pada pada ini Bratasena sudah mendekati bentuk manusia sejati. Keempat pada tersebut yaitu: i. Eh bungk us s ira s amangkin, wus s ing ant uk s usurupan, m arang lelakoning tembe, ... ‘“Hai bungkus sekarang engkau sudah mendapat pengetahuan tentang perjalanan kehidupan selanjutnya. ...’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
78 Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Tindakan “bertapa” tersebut tergambar dari
wus s ing ant uk s usurupan, m arang l elakoning t embe
‘sudah mendapat pengetahuan tentang perjalanan kehidupan selanjutnya. ...’ bahwa Bratasena telah mendapat beberapa ajaran-ajaran dan pengetahuan yang diberikan oleh Dewi Uma, yang sudah disebutkan pada korpus data 2.02.03.05., 2.02.03.07., 2.02.03.08., 2.02.03.10., dan 2.02.03.12. Ajaran-ajaran dan pengetahuan tersebut merupakan titipan Batara Guru sebagai pembentukan watak manusia sejati dan sempurna pada diri Bratasena (Sumaryoto, 2000: 74-75). Ajaran-ajaran lain juga akan disebutkan pada pada di bawah ini. ii. Riwusning antara malih, punang ngilam salin warna, dadya babayi dhapure, wus s ing c atur das a di na, babay i pinaringan, r oh sasanga cacahipun, mangka sarira ning sukma. ‘Sesudahnya antara lain yang berubah bentuk menjadi bayi, sudah empat puluh hari, sang bayi diberikan roh yang jumlahnya sembilan, yang bersemayam di tubuh dan sukma.’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Setelah berubah bentuk menjadi bayi, Dewi Uma memberikan sembilan macam roh untuk Bratasena. Makna dari sembilan roh ini merupakan badan Batara Guru yang menggerakan tindakan manusia, bahwa ketika berada di dalam bungkus, Bratasena telah bersatu dengan sembilan roh tersebut dan akan Bratasena pakai sebagai sarana penampilan Batara Guru di dunia (Sumaryoto,
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
79 2000:75). Macam-macam sembilan roh tersebut dijelaskan pada dua pada selanjutnya. iii. Wijange s awiji-wiji, r oh i lapi k ang s apisan, r oh r obbani wika pindhone, r oh r okani ni ka pi ng t iga, r oh nur ani k aping pat , kalimane rohul kudus, roh rohmani kanem mira. ‘Masing-masing (yaitu) yang pertama roh i lapi, yang kedua roh robbani, yang ketiga roh r okani, yang keempat roh nur ani, yang kelima rohul kudus, yang keenam roh rohmani.’ iv. Kang pi tune r oh j asmani, ugi i ng ngar an r oh k ewan, r oh nabat i kawolune, roh rewani jangkepe sanga, iku kabeh minangka, sarira nira hyang guru, denya molahke kawula. ‘Yang ketujuh roh j asmani yang juga disebut roh he wan, roh nabati yang kedelapan, roh r ewani yang kesembilan. Itu semua sebagai tubuhnya Hyang Guru yang olehnya menggerakkan hamba.”’ Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Kedua pada ini menunjuk pada sembilan roh Batara Guru yang akan bersemayam di tubuh Bratasena sebagai sarana tampilan Batara Guru di dunia. Kesembilan roh tersebut yaitu roh i lapi, r oh r obbani, r oh r okani, r oh n urani, r ohul k udus, r oh rahmani, roh jasmani, roh nabati, dan roh rewani. k. 2.02.03.17. ... ingsun pamit ngahyangan, jatine nunggal sireku, wangsul mijil raras driya. ‘“... hamba pamit ke kahyangan, jiwa hamba bersatu denganmu, kembali ke batin.”’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
80 Tindakan “bertapa” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku tindakan adalah Dewi Uma dan Bratasena ketika sama-sama melakukan tapa, yang mana Bratasena juga bertindak sebagai objek karena menerima ilmu dari hasil tindakan tapa tersebut. Maksud dari tindakan “bertapa” ini adalah jiwa Dewi Uma sudah menyatu dengan jiwa Bratasena. Batin Bratasena telah diisi oleh berbagai macam ilmu dan ajaran-ajaran. Sehingga terbentuk manusia sempurna pada diri Bratasena. 2. Kuat Referen “kuat” muncul dari makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena. Kata sena yang bermakna ‘prajurit’ menunjukkan referen “kuat” tersebut. Kata prajurit merupakan kata nomina dan menghasilkan kata keprajuritan sebagai sifat-sifatnya. Kata keprajuritan (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:892)
bermakna
‘kemiliteran,
ketentaraan,
sifat-sifat
prajurit,
kepahlawanan.’ Adanya sinonimi antara kata keprajuritan dan kata kepahlawanan 31. Sama seperti keprajuritan, kepahlawanan juga mengacu pada sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, rela berkorban, kekesatriaan. 32 Adanya suatu tolok ukur bahwa seorang pahlawan dan/atau prajurit harus berani, perkasa, rela berkorban, dan berjiwa satria. Hubungan makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena dengan referen “kuat” timbul dari adanya makna ‘perkasa.’ Perkasa yang merupakan kata sifat memiliki makna ‘1) kuat dan tangguh serta berani; gagah berani; 2) kuat dan berkuasa; hebat; keras.’ 33
Dari sifat Bratasena yang kuat tersebut,
menghasilkan tenaga yang besar dan mampu menghancurkan segala hal. Sehingga, referen “kuat” menunjuk pada tindakan yang dilakukan oleh Bratasena. Penulis menemukan tindakan “kuat” tersebut pada dua segmen, yaitu pertama ketika Bratasena masih berada di dalam bungkus dan kedua 31
Kata kepahlawanan berasal dari akar kata pahlawan (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:811) yang bermakna ‘orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.’ 32 Ibid. 812. 33 Ibid. 861. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
81 ketika Bratasena berada di medan perang. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “kuat” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.01.02. ... gal ih put ra bungk us, ar sa pi necah t an k ena, dat an pas ah sagung gagamaning jurit, ... (hlm. 2) ‘... sang putra (di dalam) bungkus, hendak dipecah (bungkusnya) tidak bisa, semua senjata perang tidak ada (yang mampu), ...’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat arsa pinecah tan kena, datan pasah sagung gagamaning jurit ‘hendak dipecah (bungkusnya) tidak bisa, semua senjata perang tidak ada (yang mampu).’ Pelaku tindakan adalah para tentara dan objek tindakan adalah Bratasena. Dari kalimat di atas, terlihat bahwa bungkus Bratasena sangat kuat, benda apapun seperti semua senjata perang, tidak mampu memecah bungkus tersebut. Munculnya kata pinecah t an k ena ‘dipecah tidak bisa’ menunjukkan bungkus yang menyelimuti Bratasena tersebut sangat kuat. b. 2.02.01.05. ... i ng s amengko s inetraken wana, r ama nt a be la wirage, gal ih pupunanipun, dur ung bi sa ababa r bay i, de ne s akeh gagam an, k ang kinarya ngrisak, tanana ingkang tumama, ... (hlm. 3) ‘... sekarang diasingkan di hutan, orang tuanya turut sedih, hatinya. Belum bisa lahir (menjadi) bayi, walaupun banyak senjata yang dipakai untuk merusak (bungkus) tidak ada yang mampu, ...’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat dene sakeh gagaman, kang kinarya ngrisak, t anana i ngkang t umama ‘walaupun banyak senjata yang dipakai untuk merusak (bungkus) tidak ada yang mampu.’ Pelaku tindakan adalah para prajurit dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata tanana i ngkang t umama ‘tidak ada yang mampu.’ Sama seperti korpus data di atas, bungkus yang
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
82 menyelimuti Bratasena sebelum lahir sangat kuat dan tidak ada satu senjata pun yang mampu memecahnya.
c. 2.02.03.19. Pada korpus teks 2.02.03.19. terdapat delapan pada yang menjelaskan Gajah Sena hendak memecah bungkus Bratasena, kemudian saat bungkus tersebut pecah langsung dilawan oleh Bratasena. Dari ke delapan pada yang muncul, enam pada menunjuk pada tindakan “kuat” yang dilakukan oleh Bratasena. Enam pada tesebut yaitu: ii. Gajah Sena amicareng galih, baya iki babo, putreng pandhu k ang bungkus warnane, m ajanani par a de wa s ami, pi necah t an k eni, gagaman prang pupuh. (hlm 60) ‘Gajah Sena berbicara dalam hati, “apa gerangan ini manusiakah, putra Pandhu yang berbentuk bungkus. Menjelma semua para dewa, (bungkus) tidak bisa dipecah (oleh) senjata perang.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat pinecah t an k eni, gagam an pr ang pupuh ‘tidak bisa dipecah (oleh) senjata perang.’ Pelaku tindakan adalah Gajah Sena dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata pinecah tan keni ‘tidak bisa dipecah.’ Sama seperti korpus data di atas, bungkus yang menyelimuti Bratasena sebelum lahir sangat kuat dan tidak ada satu senjata pun yang mampu memecahnya. Sehingga Bathara Guru menyuruh Gajah Sena untuk memecah bungkus tersebut (Sumaryoto, 2000:75). iii. Tinamakke br astha t an ngundhi li, ba ya a waking ngong, i ngkang bisa amecah bungk us k iye, pi narpekan c inubles s ing gadhi ng, sinabet mawanti, bungkus mung kumedut. (hlm. 60) ‘Senjatanya rusak tidak berguna, apakah hamba yang bisa memecah bungkus ini.” (Bungkus) ditusuk dengan gadingnya, dipukul berulang-ulang (tetapi) bungkusnya hanya berdenyut.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
83 Tindakan “kuat” muncul pada kalimat cinubles s ing gadhi ng, s inabet mawanti, bungk us m ung k umedut ‘ditusuk dengan gadingnya, dipukul berulang-ulang (tetapi) bungkusnya hanya berdenyut.’ Pelaku tindakan adalah Gajah Sena dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata bungkus m ung k umedut ‘bungkusnya hanya berdenyut.’ Gajah Sena tidak dengan mudah memecah bungkus Bratasena, disebutkan dipukul berkali-kali dengan gadingnya, tetapi bungkus tersebut hanya berdenyut saja. iv. Sanityasa gi nadhing m awanti, bungk us d adya atos, m endhengmendheng dinulu warnane, gajah sena krodha nya tansipi, bungkus gya binanting, pecah ponang bungkus. (hlm. 61) ‘Senantiasa (dipukul) dengan gading, bungkusnya menjadi keras, walaupun dilihat bentuknya lembut. Gajah Sena marah sekali, bungkus itu segera dibanting, pecah bungkus tersebut.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat sanityasa gi nadhing m awati, bungkus dady a at os, m endheng-mendheng di nulu warnane ‘senantiasa (dipukul) dengan gading, bungkusnya menjadi keras, walaupun dilihat bentuknya lembut.’ Pelaku tindakan adalah Gajah Sena dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata bungkus dady a at os ‘bungkus menjadi keras’ dan mendheng-mendheng dinulu w arnane ‘ walaupun dilihat bentuknya lembut.’ Walaupun sudah dipukul menggunakan gading Gajah Sena, bungkus tersebut tidak bisa dipecah juga. Kemudian setelah bungkusnya dibanting oleh Gajah Sena karena marah, bungkus pun bisa pecah. v. Babar janma wali jageng inggil, sampun mawa prabot, pinarpekan sinander tinlale, dyan pinulet keket binanting, binuwang ing tebih, sinander tinubruk. (hlm. 61)
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
84
‘Keluar manusia yang besar, sudah membawa peralatan, ditangkap di belalai (Gajah Sena) kemudian dikekap sekaligus dibanting, dibuang jauh lalu dikejar dan ditubruk.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat pinarpekan s inander t inlale, dy an pinulet keket binanting, binuwang ing tebih, sinander tinubruk ‘ditangkap di belalai (Gajah Sena) kemudian dikekap sekaligus dibanting, dibuang jauh lalu dikejar dan ditubruk.’ Pelaku tindakan adalah Gajah Sena dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata-kata seperti pinulet ‘dikekap,’ binanting ‘dibanting,’ binuwang ‘dibuang,’ sinander ‘dikejar,’ dan tinubruk ‘ditubruk.’ Hadirnya kata-kata tersebut sebagai tindakan yang dilakukan oleh Gajah Sena terhadap Bratasena yang tidak menyebabkan luka sedikitpun di tubuh Bratasena, hal tersebut akan disebutkan pada korpus data selanjutnya. vi. Nadyan bungk us: t an k araseng s akit, nal ika k awasoh, l ir di nadah wuwuh k arosane, gung de n i dak winejeg ne ng s iti, s inabeting gadhing, wau radyan bungkus. (hlm. 61) ‘Walaupun sang bungkus tidak merasakan sakit saat dimainmainkan seperti diurut, bertambah kekuatannya (sang bungkus). Si raden bungkus besar diinjak (kakinya) saat diinjakkan ditanah. Raden bungkus dipukul dengan gading.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat nadyan bungk us: t an k araseng sakit, nalika kawasoh ‘walaupun sang bungkus tidak merasakan sakit saat dimain-mainkan.’ Pelaku tindakan adalah Gajah Sena dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata tan karaseng s akit ‘tidak merasakan sakit.’ Walaupun sudah dimain-mainkan oleh Gajah Sena dengan cara dibanting, dikekap, dilempar dan lain-lain tetapi Bratasena tidak merasakan sakit. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa Bratasena merupakan manusia yang kuat. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
85 vii. Kagyating t yas m adeg k asuraning, br amantya m rih k ewoh, gaj ah sena c inandhak k ang t lale, gy a s inendhal k arungkeb i ng s iti, cinandhak binanting, suh kuwandanipun. (hlm. 61) ‘Kaget hatinya (Bratasena) dan berdiri, marah sekali. Gajah Sena dipegang belalainya, lalu disentakkan (hingga) terjerembab di tanah, ditangkap dan dibanting, lebur badannya.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat gajah s ena c inandhak k ang t lale, gya sinendhal karungkeb ing siti, cinandhak binanting, suh kuwandanipun ‘Gajah Sena dipegang belalainya, lalu disentakkan (hingga) terjerembab di tanah, ditangkap dan dibanting, lebur badannya.’ Pelaku tindakan adalah Bratasena dan objek tindakan adalah Gajah Sena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata-kata seperti cinandhak ‘dipegang,’ sinendhal
‘disentakkan,’
karungkeb
‘terjerembab,’
dan
binanting
‘dibanting.’ Secara harafiah, Bratasena baru lahir ke dunia atau masih kecil dan/atau remaja tetapi sudah mampu melawan gajah yang sangat besar. Tindakan inilah yang menunjukkan bahwa sosok Bratasena adalah sosok yang kuat.
d. 2.02.04.03. Pada korpus data 2.02.04.03. ada tiga pada yang menjelaskan ketika Bratasena melawan Kala Bantala. Akan tetapi, hanya dua pada yang menunjuk pada tindakan “kuat” yang dilakukan oleh Bratasena. Pada tersebut yaitu: ii. Tansah t inut pi nupuh, Bratasena panggah dat
an m undur,
sanityasa ginada mawant-wanti, Kala bantala rinebut, binanting madyeng palugon. (hlm. 83) ‘Selalu diikuti dan dipukul, Bratasena tetap tidak mundur, senantiasa dipukul dengan gada berkali-kali. Kala Bantala ditarik, dibanting di tengah medan perang (oleh Bratasena).’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
86 Tindakan “kuat” muncul pada kalimat Kala ba ntala r inebut, bi nanting madyeng palugon ‘Kala Bantala ditarik, dibanting di tengah medan perang (oleh Bratasena).’ Pelaku tindakan adalah Bratasena dan objek tindakan adalah Kala Bantala. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata binanting m adyeng pal ugon ‘dibanting di tengah medan perang.’ Dijelaskan bahwa Kala Bantala merupakan sesosok raksasa yang memiliki tubuh besar, terlihat jelas bahwa Bratasena yang masih remaja mempunyai tenaga yang kuat sehingga mampu membanting Kala Bantala. iii. Angganya r emuk r empu, kuwandanya aj ur t an k adulu, k yana patih K ala bant ala nge masi, y itmanya nul i s umusub, m ring Bratasena wus awor. (hlm. 83) ‘Badannya hancur remuk tidak terlihat, sehingga Patih Kala Bantala mati di tempat. Rohnya masuk ke tubuh Bratasena, sudah bercampur satu.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat angganya r emuk rempu, kuwandanya aj ur t an k adulu, k yana patih Kala bant ala nge masi ‘badannya hancur remuk tidak terlihat, sehingga Patih Kala Bantala mati di tempat.’ Pelaku tindakan adalah Bratasena dan objek tindakan adalah Kala Bantala. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata remuk rempu ‘hancur remuk.’ Ketika Bratasena mampu membanting tubuh Kala Bantala yang besar, seperti yang dijelaskan pada pada di atas, tubuh Kala Bantala langsung hancur dan remuk serta menyebabkan Kala Bantala mati. Inilah yang menunjukkan bahwa Bratasena memiliki tenaga yang kuat. Bratasena mampu membanting tubuh Kala Bantala hingga hancur dan remuk hingga mengakibatkan kematian.
e. 2.02.04.05. Pada korpus data 2.02.04.05. muncul lima pada yang menjelaskan ketika Bratasena melawan Kala Maruta dan Kala Ranu secara Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
87 bersamaan. Hanya tiga pada yang menunjuk pada tindakan “kuat” yang dilakukan oleh Bratasena. Pada tersebut yaitu: i. Kala m aruta dul u, duk nal ika gus tinya k apikut, s igra m angsah kala m aruta s ru bi ndi, ani tir m awantu wantu, B ratasena dat an kraos. ‘Kala Maruta melihat ketika tuannya ditangkap, segera berperang ramai Kala Maruta memukul dengan gada, terus menerus memukul (Bratasena), tetapi Bratasena tidak berasa.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat kala m aruta s ru bi ndi, ani tir mawantu wantu, B ratasena dat an k raos ‘Kala Maruta memukul dengan gada, terus menerus memukul (Bratasena), tetapi Bratasena tidak berasa.’ Pelaku tindakan adalah Kala Maruta dan objek tindakan adalah Bratasena. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata datan k raos ‘tidak berasa.’ Bratasena dipukul berkali-kali menggunakan gada oleh Kala Maruta namun pukulan tersebut tidak berasa sakit oleh Bratasena. Hal ini menunjukkan bahwa Bratasena adalah orang yang kuat. iii. Curna punggeling siyung, ditya kalih limpung yudanipun, samya wuruki k iwule t an ngundhi li, k alihnya kena r inebut, de n adu komba lir waloh. ‘Hancur diputus taring, kedua raksasa tadi memegang tombak dalam perang. Sama-sama diberi pelajaran, membalas yang tidak berguna. Keduanya ditarik dan kepalanya diadu seperti labu.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat kalih ny a k ena r inebut, de n adu komba l ir waloh ‘keduanya ditarik dan kepalanya diadu seperti labu.’ Pelaku tindakan adalah Bratasena dan objek tindakan adalah Kala Maruta dan Kala Ranu. Kalimat pada pada ini menunjuk tindakan “kuat” yang dilakukan oleh Bratasena dengan menggunakan pengungkapan bahwa kedua raksasa tersebut mampu ditarik dan diadu kepalanya seperti labu.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
88 Bratasena tidak mengalami kesulitan untuk mengadu dua kepala raksasa yang besar. Bratasena merasa mudah untuk mengadu dua raksasa besar tersebut dan terkesan ringan dengan membandingkannya dengan sebuah labu. Di sini terlihat jelas seberapa kuat tenaga yang dimiliki oleh Bratasena. iv. Gumepruk s
waranipun, k uwandanya aj ur k umur-kumur,
yitmanira d wi r aksasa: sami m anjing, m ring a ngganya r aden bungkus, lir kalawa kang maksih nom. ‘Suara kencang berbenturan, badannya hancur lebur. Roh kedua raksasa itu sama-sama masuk ke badan Raden Bungkus, seperti raksasa yang masih muda.’ Tindakan “kuat” muncul pada kalimat gumepruk swaranipun, kuwandanya ajur k umur k umur ‘suara kencang berbenturan, badannya hancur lebur.’ Pelaku tindakan adalah Bratasena dan objek tindakan adalah Kala Maruta dan Kala Ranu. Tindakan “kuat” ditekankan dengan munculnya kata kuwandanya aj ur k umur k umur ‘badannya hancur lebur.’ Pada pada sebelumnya dijelaskan bahwa Bratasena mampu mengadu dua kepala raksasa tersebut seperti buah labu, maka pada pada ini dijelaskan dua raksasa tersebut berbenturan hingga badannya hancur lebur. Kedua raksasa itu pun mati. Bratasena mampu mengadu dua raksasa sekaligus hingga hancur lebur. Hal inilah yang menunjukkan tenaga kuat yang dimiliki Bratasena. 3. Teguh Referen “teguh” muncul dari makna ‘setia, teguh janji’ pada nama diri Bratasena. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007, edisi ke-3:1156) kata teguh34, yang bersifat adjektiva, memiliki makna ‘1) kukuh kuat
34
Sedangkan teguh janji (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3: 1156) memiliki makna ‘berjanji akan menepati apa yang dikatakan.’ Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
89
(buatannya), erat kuat (tentang ikatan); 2) kuat berpegang (pada adat, janji, perkataan); 3) tetap tidak berubah (tentang hati, iman, pendirian, kesetiaan).’ Pada nama diri Bratasena, kata yang menunjuk pada makna ‘setia, teguh janji’ adalah kata brata (Poerwadarminta, 1939:59). Dari uraian di atas, referen “teguh” merupakan referen yang menunjuk kepada karakteristik Bratasena. Bima sebagai Bratasena digambarkan sebagai seseorang yang berjiwa suci dan teguh hati (Soetarno, 1992:68). Sehingga, munculnya makna ‘setia, teguh janji’ pada nama diri Bratasena langsung menggambarkan bagaimana karakteristik yang hendak disampaikan pada tokoh Bratasena tersebut. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “teguh” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.02.04. Pada korpus data 2.02.02.04. muncul dua pada tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada karakteristik “teguh” dari Bratasena. Berikut pada yang dimaksud: Wiwit la hir wus dikdaya, m ondraguna p rawira dibya s ekti, t eguh da tanpa maguru, i ku s ajati ni ra, k adunungan w ahyu j ali ar anipun, y en dikdaya saking tapa, iku aran wahyu kapi. (hlm. 27) ‘Sejak lahir sudah sakti mandraguna dan berani, teguh tanpa berguru. Itu sejatinya, ditempati wahyu jali namanya, firasat jika kesaktian (akan didapat) dari tapa yang dinamakan wahyu kapi.’ Karakteristik “teguh” muncul pada kalimat Wiwit la hir wus dikdaya, mondraguna pr awira di bya s ekti, t eguh da tanpa maguru ‘Sejak lahir sudah sakti mandraguna dan berani, teguh tanpa berguru.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena ketika masih berada di dalam bungkus. Karakteristik “teguh” ditekankan dengan munculnya kata teguh ‘teguh.’ Pada korpus data di atas, karakteristik “teguh” pada diri Bratasena baru sebatas ramalan bahwa kelak Bratasena akan menuruti gurunya.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
90
b. 2.02.03.06. Pada korpus data 2.02.03.06. muncul dua pada yang menunjuk pada karakteristik “teguh” pada nama diri Bratasena. Kedua pada tersebut yaitu: i. ... s ang um a nab da m alih, apa t a s ira s umanggub, ngam pil titipaning hy ang, m iwah nuhoni pr ajanji, y en t an s anggub s ira nora dipun peksa. (hlm. 47) ‘... sang Uma berkata lagi, “Apa engkau sanggup menerima titipan Tuhan dan mematuhi perjanjian? Bila tidak sanggup, engkau tidak akan dipaksa.”’ Karakteristik “teguh” muncul pada kalimat apa t a s ira s umanggub, ngampil t itipaning hy ang, m iwah nuhoni pr ajanji, y en t an s anggub s ira nora di pun p eksa ‘apa engkau sanggup menerima titipan Tuhan dan mematuhi perjanjian? Bila tidak sanggup, engkau tidak akan dipaksa.’ Pelaku adalah Dewi Uma dan objek adalah Bratasena. Karakteristik “teguh” ditekankan dengan munculnya kata sumanggub ‘sanggup.’ Pada tersebut merupakan sebuah dialog yang dilakukan oleh Dewi Uma ketika bertanya kepada Bratasena mengenai kesanggupannya untuk menerima wahyu dari Batara Guru. Pertanyaan inilah yang menunjuk pada karakteristik “teguh” yaitu berpegang pada janji yang dimiliki Bratasena. Karakteristik “teguh” tersebut dijawab pada pada selanjutnya. ii. Kawarna j iwaning j anma, duk m iyarsa am angsuli, dhuh t uwan inggih kawula, sandika nuhoni janji, mring titipan kang gumadhuh, nanging l amun k awula, l epat tanapi k alempi, m ung m iminta tumrah ing sih pangaksama. (hlm. 47) ‘Diceritakan sang jiwa manusia ketika mendengar dan menjawab, “duh tuanku, hamba akan menepati janji, atas titipan yang menitipi (Tuhan) tetapi bila hamba lupa dan khilaf, hamba meminta maaf.”’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
91 Karakteristik “teguh” muncul pada kalimat dhuh t uwan i nggih k awula, sandika nuhoni j anji, mring t itipan k ang gum adhuh, nangi ng l amun kawula, lepat tanapi kalempi, mung miminta tumrah ing sih pangaksama ‘duh tuanku, hamba akan menepati janji, atas titipan yang menitipi (Tuhan) tetapi bila hamba lupa dan khilaf, hamba meminta maaf.’ Pelaku adalah Bratasena. Karakteristik “teguh” ditekankan dengan munculnya potongan kalimat sandika nuhoni j anji ‘akan menepati janji.’ Terlihat karakteristik Bratasena bahwa dia akan teguh janji untuk memegang wahyu yang dititipkan. Ada kesanggupan pada diri Bratasena untuk teguh memegang janji tersebut karena sudah diberikan untuk dirinya kelak.
4. Berani Karakteristik “berani” muncul dari makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena. Prajurit memiliki sifat-sifat keprajuritan dan kepahlawanan. Antara kata keprajuritan dan kepahlawanan memiliki makna yang bersifat sinonimi. Makna yang muncul adalah ‘orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:881). Adanya makna keberanian menunjuk pada karakteristik “berani.” Berani yang merupakan kata adjektiva memiliki makna ‘mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yg besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb; tidak takut (gentar, kecut)’ (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:138). Sehingga, makna ‘prajurit’ yang muncul pada nama diri Bratasena menimbulkan karakteristik “berani” sebagai makna pendukung Bratasena menjadi seorang prajurit yang berani dalam membela kebenaran (Soetarno, 1992:68). Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “berani” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.02.04. Pada korpus data 2.02.02.04. muncul dua pada tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada karakeristik “berani” pada Bratasena. Pada yang dimaksud yaitu:
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
92 Lah ta kulup kadang ngira, ingkang bungkus iki wus wanci lahir, babar saking bungkusipun, wus diwasa prakosa, widigdaya prawira surayeng kewuh, wus pinesthi karsaning hyang, nitahken satriya luwih. (hlm. 27) ‘Saudara laki-laki yang (di dalam) bungkus sudah saatnya lahir, keluar dari bungkusnya, saat dewasa (menjadi) perkasa, sakti dan berani dalam rintangan, sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat.’ Karakteristik “berani” muncul pada kalimat wus d iwasa prakosa, widigdaya pr awira s urayeng ke wuh, wus pi nesthi k arsaning hy ang, nitahken s atriya l uwih ‘saat dewasa (menjadi) perkasa, sakti dan berani dalam rintangan, sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Karakteristik “berani” ditekankan dengan munculnya kata prawira su ra ‘berani.’ Pada korpus teks ini, karakteristik Bratasena baru berupa ramalan bahwa Bratasena ditakdirkan akan menjadi prajurit yang berani dalam segala rintangan. Karakteristik “berani” ini akan membuat Bratasena menjadi satria yang hebat. Pada korpus data selanjutnya merupakan pembuktian dari ramalan tentang karakteristik “berani” pada Bratasena. b. 2.02.04.04. Pada korpus data 2.02.04.04. muncul enam pada ketika Bratasena perang melawan para raksasa tetapi hanya satu pada yang menyebutkan tentang karakteristik “berani.” Pada tersebut yaitu: Samya s uraning k ewuh, s ami ne dheng t umambiring pupuh, t andhing samigung luhur sami taruni, mila ramene kalangkung, prang weh kiris kang samya nom. (hlm. 84) ‘Sama-sama berani (menantang) bahaya, sama-sama melontarkan pukulan, yang berkelahi sama-sama besar dan muda, sehingga gaduh dan perang menghasilkan kilap cahaya karena sama-sama muda.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
93 Karakteristik “berani” muncul pada kalimat Samya suraning kewuh, sami nedheng t umambiring pupuh ‘sama-sama berani (menantang) bahaya, sama-sama melontarkan pukulan.’ Pelaku adalah Bratasena dan raksasa. Karakteristik “berani” ditekankan dengan munculnya kata suraning ‘berani.’ Korpus data ini membuktikan bahwa Bratasena memiliki karakteristik “berani.” Bahwa Bratasena tidak takut untuk melawan raksasa ketika perang. Karakteristik “berani” tersebut menunjukkan bahwa Bratasena sebagai seorang prajurit yang pemberani. 5. Gagah Perkasa Referen “gagah perkasa” muncul dari makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena. Prajurit digambarkan sebagai seseorang yang memiliki sifat-sifat kepahlawanan seperti keberanian, keperkasaan, rela berkorban, dan kekesatriaan. Munculnya sifat kepahlawanan berupa ‘keperkasaan’ menunjuk pada deskripsi fisik yang dimiliki oleh Bratasena. Gagah perkasa (Alwi dkk., 2007, edisi ke-3:326) memiliki makna ‘gagah berani; tegap kuat (tentang badan).’ Bima sebagai Bratasena memiliki peran sebagai seorang prajurit yang memiliki badan yang gagah perkasa. Tubuh gagah perkasa yang Bratasena miliki sudah terbentuk sejak dia lahir hingga dewasa. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “gagah perkasa” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.02.02. Mas put u nastapaningwang, pange stuning de wa gung k ang linuwih, dhuh mas putu wruhanamu, kadangira kang warna, bubungkusan kulup iku i sinipun, m anungsa gagah p rakasa, k arsaning hy ang uj waladi. (hlm. 26) ‘Cucuku yang sedang sedih, (terimalah) restu dari (para) dewa. Wahai cucuku, ketahuilah nak, bahwa bentuk bungkusan ini berisi anak lakilaki, manusia yang gagah perkasa, (semua) kehendaknya Hyang Ujwaladi.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
94 Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada kalimat dhuh m as put u wruhanamu, k adangira k ang warna, bubungk usan kulup i ku i sinipun, manungsa gagah pr akasa, k arsaning hy ang uj waladi ‘wahai cucuku, ketahuilah nak, bahwa bentuk bungkusan ini berisi anak laki-laki, manusia yang gagah perkasa, (semua) kehendaknya Hyang Ujwaladi.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada kata manungsa gagah p erkasa ‘manusia gagah perkasa.’ Perihal ini merupakan ramalan dari Batara Guru kelak ketika Bratasena keluar dari bungkus dan lahir ke dunia akan menjadi manusia yang gagah perkasa.
b. 2.02.02.03. Tinitah mring ngarcapada, tembe dadi satriya ditya sekti, marma suwe neng j ro bungk us, i ku m anungsanira, k ang s ajati nat a pak aryanya besuk, ingkang bakal linaksanana, lelakon ngarcapadeki. (hlm. 26) ‘Ditakdirkan ke dunia, kelak akan menjadi satria raksasa yang sakti, sebab lama di dalam bungkus itu manusianya sejati yang kelak mengatur tugasnya, yang akan dijalankan dan diemban di dunia.’ Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada kalimat tinitah m ring ngarcapada, tembe dadi satriya ditya sekti ‘ditakdirkan oleh dunia, kelak akan menjadi satriya raksasa yang sakti.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi fisik “gagah perkasa” ditekankan dengan munculnya kata ditya ‘raksasa’ karena bentuk tubuh raksasa yang gagah perkasa. Sama seperti korpus data 2.02.02.02. pada korpus data ini merupakan ramalan dari Batara Guru kelak ketika Bratasena keluar dari bungkusnya akan menjadi manusia yang gagah perkasa.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
95
c. 2.02.02.04. Pada korpus data 2.02.02.04. muncul dua pada yang menjelaskan nasihat Batara Guru tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada deskripsi “gagah perkasa” seorang Bratasena. Pada tersebut yaitu: Lah t a k ulup k adangira, i ngkang bungk us i ki w us wanci l ahir, babar saking bungkusipun, wus diwasa prakosa, widigdaya prawira surayeng kewuh, wus pinesthi karsaning hyang, nitahken satriya luwih. (hlm. 27) ‘Saudara laki-laki yang (di dalam) bungkus sudah saatnya lahir, keluar dari bungkusnya, saat dewasa (menjadi) perkasa, sakti dan berani dalam rintangan, sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat.’ Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada pada di atas. Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi fisik “gagah perkasa” ditekankan dengan munculnya kata prakosa ‘perkasa.’ Sama seperti korpus data 2.02.02.02. dan 2.02.02.03. pada korpus ini juga masih menjelaskan ramalan Batara Guru bahwa kelak Bratasena akan menjadi manusia gagah perkasa. Hal ini diperkuat dengan munculnya keterangan waktu yaitu wus di wasa ‘sudah dewasa’ yang menjelaskan bahwa ketika dewasa Bratasena akan memiliki tubuh yang gagah perkasa. d. 2.02.03.19. Pada korpus data 2.02.03.19. muncul delapan pada yang menjelaskan Bratasena tengah berkelahi dengan Gajah Sena tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada deskripsi fisik “gagah perkasa.” Pada tersebut yaitu: Babar j anma w ali j ageng i nggil, s ampun m awa pr abot, pi narpekan sinander t inlale, dy an pi nulet k eket gubi nanting, bi nuwang i ng t ebih, sinander tinubruk. (hlm. 60)
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
96
‘Lahir manusia yang besar, sudah membawa peralatan, ditangkap dibelalai (Gajah Sena) kemudian dikejar sekaligus dibanting, dibuang jauh lalu dikejar dan ditubruk.’ Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada kalimat babar j anma wali jageng i nggil, s ampun m awa p rabot ‘lahir manusia yang besar, sudah membawa peralatan.’ Pelaku adalah Bratasena. Deskripsi fisik “gagah perkasa” ditekankan dengan munculnya kata jageng ‘besar.’ Korpus data ini merupakan korpus yang menjelaskan ketika Bratasena sudah bisa keluar dari bungkus berkat dipecah oleh Gajah Sena. Terlihat bahwa saat keluar dari bungkusnya, Bratasena sudah digambarkan sebagai manusia yang besar. Penulis menganalogikan besar sebagai deskripsi memiliki tubuh yang gagah perkasa.
e. 2.02.04.06. ... wuwuse pr a de wa ngu wuh, ngu wuh muji jaya, anj ayaken pandhu siwi, widigdaya prakosa prawireng yuda. (hlm. 86) ‘... Tersebut oleh para dewa, saling memuji, menjayakan pandhu siwi (kelak) akan menjadi prawira perang yang sakti dan gagah perkasa.’ Deskripsi fisik “gagah perkasa” muncul pada kalimat widigdaya p rakosa prawireng y uda ‘akan menjadi prawira perang yang sakti dan gagah perkasa.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi fisik “gagah perkasa” ditekankan dengan munculnya kata prakosa ‘perkasa.’ Sama seperti korpus data 2.02.02.02., 2.02.02.03., dan 2.02.02.04. pada korpus data 2.02.04.06. juga merupakan ramalan kelak Bratasena akan menjadi prawira perang yang gagah perkasa. Hal ini sudah dibuktikan dengan deskripsi sebelumnya pada nama diri Wrekodara saat Bima dewasa bahwa Wrekodara memiliki fisik yang gagah perkasa.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
97
6. Pakaian Referen “pakaian” muncul dari makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena. Pada referen “pakaian” ini akan menunjuk pada deskripsi pakaian yang dikenakan oleh Bratasena kelak menjadi seorang prajurit. Korpus data yang didapat oleh penulis berupa pendeskripsian pakaian yang diberikan oleh Dewi Uma untuk Bratasena ketika masih berada di dalam bungkus. Adanya beberapa pakaian yang diberikan memiliki makna khusus yang berhubungan dengan keprajuritan. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “pakaian” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.03.16. Sinung busana di adi, pupuk sumping hyang gegelang, kancana porong warnane, k angge tandha yen ngay un, l an k uku pancanaka, c awet wastra bang bintulu, abang ireng kuning seta. (hlm. 59) ‘Diberi busana indah, pupuk, s umping, gelang, porong berwarna emas sebagai tanda harapan dan kuku pancanaka, kain cawat bang bi ntulu yaitu merah, hitam, kuning, dan putih.’
Dari korpus data 2.02.03.17. didapatkan pendeskripsian pakaian yang diberikan oleh Dewi Uma untuk Bratasena. Pakaian yang diberikan memiliki makna-makna, yang mana beberapa pakaian sebagai perlambang makna keprajuritan pada nama diri Bratasena. Berikut deskripsi pakaian yang disebut pada korpus data 2.02.003.17. dan maknanya 35: i.
Pupuk yang berupa intan perhiasan. 36 Deskripsi pakaian ini tidak termasuk pada deskripsi pakaian yang melambangkan seorang prajurit.
ii. Sumping yang berbentuk galih sama asam sebagai perlambang kepandaian Bratasena. 37 Deskripsi pakaian ini tidak termasuk pada deskripsi pakaian yang melambangkan seorang prajurit.
Soetarno, Ensiklopedia Wayang (Semarang: 1992), 68. Ibid. 37 Ibid. 35 36
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
98 iii. Gelang yang bernama Candrakirana sebagai perlambang ksatria munggul pam enang. 38 Deskripsi pakaian ini termasuk pada deskripsi pakaian yang melambangkan seorang prajurit. Bahwa Bratasena diberikan gelang candrakirana oleh Dewi Uma agar kelak menjadi seorang prajurit dan/atau ksatria yang unggul. iv. Porong berwarna emas atau perhiasan sebagai perlambang hati sanubari Bratasena. 39 Deskripsi pakaian ini tidak termasuk pada deskripsi pakaian yang melambangkan seorang prajurit. v. Kuku pancanaka sebagai senjata yang paling khas dari Bima, baik sebagai Bratasena maupun Wrekodara. Kuku pancanaka mempunyai ketajaman tujuh pencukur dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. 40 Deskripsi
pakaian
ini
termasuk
pada
deskripsi
pakaian
yang
melambangkan seorang prajurit. Kuku pancanaka milik Bratasena merupakan senjata alamiah yang dia gunakan saat berperang. vi. Kain cawat bang bi ntulu atau juga dikenal dengan poleng bang bi ntulu merupakan kain empat warna yaitu merah, hitam, kuning, dan putih. Disebutkan bahwa kain poleng bang bintulu berupa kain kotak-kotak segi empat dengan lima warna sebagai perlambang lima macam amarah. 41 Dijelaskan oleh Sumaryoto (2000:81) bahwa kain poleng bang bintulu ini pada sebagian karya sastra terdiri dari empat warna namun ada juga yang mengatakan lima warna, yaitu warna hijau sebagai warna kelima. Warnawarna yang muncul pada kain poleng bang bi ntulu memiliki makna sebagai warna-warna konsep sedulur papat , konsep tentang hubungan manusia dengan Tuhan, konsep nafsu-nafsu manusia, dan konsep ajaran Islam. 42 Deskripsi pakaian ini tidak termasuk pada deskripsi pakaian yang melambangkan seorang prajurit.
Soetarno, Ensiklopedia Wayang (Semarang: 1992), 69. Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Baca disertasi Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa karya Woro Aryandini Sumaryoto (2000: 79-85) tentang penjelasan konsep warna pada kain poleng bang bintulu lebih lanjut. 38 39
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
99 Dari enam deskripsi pakaian yang muncul pada Serat Bima Bungkus, hanya dua yang dijadikan lambang dan/atau senjata Bratasena sebagai seorang prajurit. Pakaian tersebut adalah gelang candrakirana sebagai perlambang prajurit unggul dan kuku pancanaka sebagai senjata alamiah yang sakti serta tajam.
7. Prajurit Referen “prajurit” muncul dari makna ‘prajurit’ pada nama diri Bratasena. Referen “prajurit” di sini menunjuk pada peran yang dimiliki oleh Bratasena. Antara makna nama dan peran pada nama diri Bratasena memiliki hubungan, yaitu prajurit. Sejak lahir, Bima sebagai Bratasena sudah menjadi seorang prajurit yang gagah perkasa, kuat, dan berani. Berikut analisis referensial nama diri Bratasena berdasarkan referen “prajurit” yang dinyatakan dalam teks: a. 2.02.02.04. Pada koprus data 2.02.02.04. muncul dua pada yang menjelaskan tentang ramalan Batara Guru terhadap Bratasena tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada deskripsi peran “prajurit.” Pada tersebut yaitu: Lah t a kulup k adangira, i ngkang bungk us i ki w us wanci l ahir, babar saking bungkusipun, wus diwasa prakosa, widigdaya prawira surayeng kewuh, wus pinesthi karsaning hyang, nitahken satriya luwih. (hlm. 27) ‘Saudara laki-laki yang (di dalam) bungkus sudah saatnya lahir, keluar dari bungkusnya, sudah dewasa (menjadi) perkasa, sakti dan berani dalam rintangan, sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat.’ Deskripsi peran “prajurit” muncul pada kalimat wus pi nesthi k arsaning hyang, ni tahken s atriya l uwih ‘sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi profesi “prajurit” ditekankan dengan
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
100 munculnya kata satriya ‘satria.’ Batara Guru sudah mentitahkan kelak Bratasena akan menjadi seorang prajurit yang hebat. b. 2.02.04.02. Pada korpus data 2.02.04.02. muncul dua pada yang menjelaskan pembicaraan Raja Tasikmadu dengan Bratasena tetapi hanya satu pada yang menunjuk pada deskripsi peran “prajurit.” Pada tersebut yaitu: Eh br atasena k ulup, s ira s inaraya apa s anggup, ananggul ang y udane reksasa aj i, bant u nagr i t asikmadu, k ang kinepung de ning m ungsuh. (hlm. 79) ‘“Wahai anakku Bratasena, apakah engkau sanggup dimintai bantuan menghadapi serangan Raja Raksasa, membantu negara Tasikmadu yang tengah dikepung oleh musuh.”’ Deskripsi peran “prajurit” muncul pada keseluruhan pada di atas. Pelaku adalah Raja Tasikmadu dan objek adalah Bratasena. P ada di atas menjelaskan bahwa Bratasena ditunjuk oleh Raja Tasikmadu menjadi prajurit untuk membantu negeri Tasikmadu yang diserang oleh tiga raksasa. Dari permintaan itu, Bratasena menyanggupinya. Di sini penulis beranggapan bahwa Bratasena sudah dipercaya untuk menjadi seorang prajurit. Munculnya kata sinarya ‘dimintai bantuan’ sebagai kata yang menunjuk bahwa Bratasena seorang prajurit dan prajurit dimintai bantuan untuk menolong rajanya.
c. 2.02.04.06. ... wuwuse p ra de wa ngu wuh, ngu wuh m uji jaya, anj ayaken pandhu siwi, widigdaya prakosa prawireng yuda. (hlm. 86) ‘... Tersebut oleh para dewa, saling memuji, menjayakan pandhu siwi (kelak) akan menjadi prawira perang yang sakti dan gagah perkasa.’
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
101 Deskripsi peran “prajurit” muncul pada kalimat widigdaya p rakosa prawireng y uda ‘akan menjadi prawira perang yang sakti dan gagah perkasa.’ Pelaku adalah Batara Guru dan objek adalah Bratasena. Deskripsi profesi “prajurit” ditekankan dengan munculnya kata prawireng yuda ‘prawira saat perang.’ Pada ini muncul setelah Bratasena menjadi prajurit dan mampu mengalahkan tiga raksasa yang menyerang negeri Tasikmadu.
Batara
Guru
membuat
ramalan
seperti
itu
untuk
penggambaran Bima ketika dewasa menggunakan nama Wrekodara. Saat Bima menjadi Wrekodara, Bima masih digambarkan sebagai sesosok prajurit perang.
Setelah melakukan penjabaran terhadap referen-referen yang muncul dari makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ pada nama diri Bratasena, ditemukan hubungan taksonomi antara nama diri Bratasena dengan referen-referennya. Referen-referen tersebut menggambarkan empat hal, yaitu: i.
Referen yang berupa “tindakan” yang mana di dalamnya termasuk referen “bertapa” dan “kuat.”
ii.
Referen yang berupa “karakteristik” yang mana di dalamnya termasuk referen “teguh” dan “berani.”
iii.
Referen yang berupa “deskripsi fisik” yang mana di dalamnya termasuk referen “gagah perkasa” dan “deskripsi pakaian.”
iv.
Referen yang berupa deskripsi “peran” yang mana di dalamnya termasuk referen “prajurit.”
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
102 Sehingga dapat digambarkan dengan peta referen nama diri Bratasena sebagai berikut: 1.1. Bertapa 1. Tindakan 1.2. Kuat 2.1. Teguh 2. Karakteristik 2.1. Berani
Bratasena
3.1. Gagah Perkasa 3. Fisik 3.2. Deskripsi Pakaian 4. Peran
4.1. Prajurit
Gambar 2 Peta referen yang menunjukkan hubungan hierarki taksonomi antara nama diri Bratasena dengan ciri-ciri referensialnya. Dari referen-referen yang berupa “tindakan,” “karakteristik,” “deskripsi fisik,” dan “profesi” terlihat bahwa antara nama diri Bratasena, makna nama diri Bratasena ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa,’ dan penggambaran dalam cerita Serat Bima Bungkus cocok satu sama lain. Nama diri Bratasena sebagai penanda identitas menunjukkan adanya konsistensi. Di dalam konteks cerita, nama diri tidak berubah. Dibutuhkan kata yang cocok sebagai penggambaran prajurit setia, teguh janji, dan suka melakukan tapa. Dan kata Bratasena bisa menggambarkan hal itu semua, sebagai seorang prajurit yang setia, memegang janji yang diberikan, dan religius yaitu suka melakukan tapa. Sehingga nama diri Bratasena di sini memegang arti yang penting antara hubungan makna dari nama diri dan penggambaran di dalam cerita.
3.5. Konsep Budaya Jawa pada Nama Diri Bima Setelah melakukan analisis referensial pada dua nama diri Bima yang sering digunakan pada literatur maupun karya sastra Jawa, yaitu Bima ketika dewasa memakai nama diri Wrekodara dan Bima ketika anak-anak dan/atau Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
103 remaja memakai nama diri Bratasena, penulis mencoba mencari konsep budaya sederhana perihal penggunaan dua nama tersebut. Baik dalam segi linguistik maupun budaya, hal yang berhubungan dengan konsep sama-sama berpusat pada pikiran manusia. Dalam sudut pandang linguistik, Kridalaksana (2008, edisi ke-4:132) menyebutkan bahwa konsep merupakan ‘gambaran mental dari obyek, proses, atau apa yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya.’ Sedangkan
dalam
sudut
pandang
budaya,
Koentjaraningrat
(1980:118)
menjelaskan konsep sebagai proses akal suatu individu melalui penggambaran abstrak mengenai suatu hal yang belum pernah dilihat secara langsung. Konsep berkaitan dengan akal pikiran manusia mengenai ide-ide yang menyangkut imajinasi sebelum dituangkan langsung ke dalam dunia nyata. Sedangkan budaya atau kebudayaan 43 menurut ilmu antropologi merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1980:193). Bahasa sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal, mempunyai peranan penting. Tanpa bahasa, tidak mungkin ada suatu budaya. Dalam buku Kearifan B udaya D alam K ata, Rahyono (2009:76) menyebutkan bahwa bahasa merupakan representamen kebudayaan yang mana digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan apa yang dipelajari dan dipikirkan oleh manusia secara verbal. Sehingga, penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia berhubungan dengan kerangka berpikir manusia. Dan kerangka bepikir itu mengacu pada pembentukan sebuah konsep budaya. Ketika manusia berpikir dan menghasilkan sebuah konsep budaya, ada sebuah proses pembelajaran. Rahyono (2009:78) mengutip Hudson (1990) mengenai hal thought atau pemikiran tersebut. Hudson mengatakan bahwa
43
Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu A ntropologi (1980:195) menjelaskan bahwa dalam istilah “antropologi-budaya” tidak ada perbedaan antara istilah “budaya” dengan “kebudayaan.” Bahwa kata “budaya” hanya dipakai sebagai suatu singkatan dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Walaupun perbedaan antara “budaya” dan “kebudayaan” masih ada, yaitu “budaya” merupakan daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa; sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu sendiri. Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
104 thought ‘pemikiran’ melibatkan kegiatan pikiran atau ‘mental a ctivity’ yang meliputi: a. Memory yaitu ingatan, yang diingat dan tersimpan dalam ingatan. b. Inference yaitu materi penyimpulan, ingatan yang didapat dan terkumpul lalu ditarik menjadi sebuah simpulan sehingga menghasilkan pengetahuan baru. c. Concepts yaitu konsep, yang menjadi kategori umum pada sejumlah ingatan dan kesimpulan. d. Propositions yaitu proposisi, yang merupakan representasi konsep dalam wujud bahasa.
Manusia dalam merumuskan sebuah kata yang akan dijadikan nama, membutuhkan sebuah proses belajar. Proses belajar itu mencakup ingatan, materi penyimpulan, dan konsep untuk memilih kata yang baik untuk dijadikan nama dan hasil akhirnya berupa kata itu sendiri. Kata sebagai nama dianggap salah satu instrumen interaksi yang dibangun oleh satuan-satuan pembentuk tuturan yang memiliki makna. Pada butir a, b, dan c merupakan hal-hal yang berada dalam kepala manusia. Adanya sebuah ingatan, materi penyimpulan, dan konsep dalam kepala manusia untuk berpikir dan kemudian menghasilkan sesuatu yang berupa proposisi kebudayaan, yang dalam penelitian ini berwujud nama diri. Menurut pendapat penulis, pengarang cerita mencari sebuah kata yang pas yang akan dijadikan penanda nama diri. Para pengarang cerita memiliki ingatan, penyimpulan, dan konsep di kepala mereka akan seperti apa tokoh Bima saat menggunakan nama diri Wrekodara dan Bratasena. Hal itu mencakup ingatan, penyimpulan, dan konsep sang pengarang cerita perihal sifat dan karakter tokoh Bima yaitu kuat, bengis, teguh janji, suci, dan pahlawan perang. Dari ketiga hal tersebut, sang pengarang cerita menemukan nama diri yang cocok bagi tokoh Bima. Sehingga, nama diri seperti Wrekodara dan Bratasena merupakan proposisi kebudayaan dalam wujud nama diri yang muncul akibat adanya ingatan, penyimpulan, dan konsep dari sang pengarang cerita.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
105
Penulis sudah membahas sebelumnya pada Bab 2 di atas, masyarakat Jawa tidak sembarangan dalam menentukan nama diri seseorang. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam memberikan nama diri bagi seseorang yang baru lahir. Penulis mendapat pola sederhana tentang konsep pemberian nama diri pada orang Jawa, yaitu: a. Nama diri pada orang Jawa harus selaras dengan tingkatan sosial dan/atau kepercayaan yang dianut. b. Orang Jawa memilih sebuah kata yang akan digunakan sebagai nama diri. c. Kata tersebut memiliki makna. d. Orang Jawa berharap nasib yang kelak diamalkan oleh si pemilik nama diri atau berdasarakan suatu peristiwa tertentu berjalan seperti makna yang dikandung.
Hal ini penulis lihat tidak hanya dilakukan oleh orang Jawa terhadap penggunaan nama diri dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, orang Jawa juga menggunakan empat hal di atas dalam pemberian nama diri pada tokoh dalam cerita fiktif, seperti yang penulis jadikan objek pada penelitian ini terhadap tokoh wayang Bima. Seperti tokoh wayang lain, tokoh Bima juga memiliki banyak sekali nama diri lain atau dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah dasanama. Banyaknya nama diri pada tokoh Bima secara tidak langsung juga berhubungan dengan citra tokoh Bima. Dalam Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa, Sumaryoto (2000:6) menjelaskan: “Citra tokoh Bima adalah gambaran yang dimiliki orang banyak terhadap diri tokoh Bima dan kesan mental maupun visual setelah membaca karya sastra atau mendengarkan cerita lisan tentang Bima. Citra tokoh Bima juga ditangkap melalui penampilan atau perwujudannya, perlengkapan yang ada padanya, baik berupa senjata, pakaian, dan perhiasan, maupun kesan yang secara simbolik ditampilkannya.”
Adanya pernyataan “kesan yang secara simbolik ditampilkannya” menurut penulis sebagai salah satu penggunaan nama diri tokoh Bima. Nama diri digunakan Bima sebagai simbol dan simbol tersebut dijadikan sebagai identitas yang menjelaskan
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
106
tokoh Bima secara keseluruhan. Kembali pada konsep budaya dalam hal nama diri, munculnya banyak nama diri pada tokoh Bima timbul dari pemikiran akal mengenai gambaran tokoh Bima, sebagai sebuah objek, yang hendak dituangkan dalam dunia nyata dan membentuk sistem gagasan yang disetujui oleh orang banyak. Konsep merupakan pikiran manusia, merumuskan seperti apa tokoh Bima kelak akan muncul dan sebagian gagasan dapat ditangkap pada nama diri tokoh Bima. Secara sekilas, orang awam bisa menilai seperti apa tokoh Bima bila dilihat dari makna nama dirinya yaitu ‘menakutkan; luar biasa.’
3.5.1. Nama Diri Bima Sebagai Wrekodara Nama diri Bima sebagai Wrekodara memiliki makna leksikal ‘perut serigala.’ Pada subbab 3.3. telah dijabarkan analisis makna leksikal nama diri Wrekodara, analisis referensial dari makna ‘perut serigala,’ dan hubungan taksonomi antara makna ‘perut serigala’ dengan referen pendukungnya. Dari empat pola sederhana pemberian nama diri pada orang Jawa, konsep budaya pada nama diri Wrekodara sebagai berikut: a. Bima merupakan seorang anak raja. Pada depan nama diri Wrekodara muncul kata raden sebagai penegas tingkatan sosial keluarga bangsawan. b. Dipilih kata sebagai simbol nama diri yaitu Wrekodara. c. Nama diri Wrekodara memiliki makna leksikal ‘perut serigala’ dan makna
tersebut
memunculkan
referen-referen
pendukung
yang
menunjuk pada tindakan serta karakteristik Wrekodara. d. Makna ‘perut serigala’ secara jelas memperlihatkan adanya konsistensi antara nama, makna nama, dan penggambaran Bima sebagai Wrekodara dalam cerita Bratayuda. Konsistensi ini menggambarkan Wrekodara memiliki tindakan dan karakteristik yang seperti serigala. Dan nama diri Wrekodara ini dijadikan sebagai penanda identitas bagi Bima. Dari empat pola di atas, dapat diketahui bahwa nama diri Wrekodara bukan hanya sebuah kata saja. Akan tetapi, kata tersebut memiliki makna yang
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
107 menggambarkan identitas Wrekodara. Muncul makna ‘perut serigala’ secara sepintas menggambarkan makna yang terkesan negatif. Serigala adalah binatang liar. Namun pada segmen cerita Bratayuda, yaitu cerita perang saudara antara Pandawa dan Korawa selama delapan belas hari, tokoh Bima sebagai Wrekodara muncul sebagai sosok pahlawan perang. Sosok pahlawan perang merupakan sebuah peran. Sosok pahlawan perang ini mencerminkan pelindung keluarga, pelindung masyarakat, berani, tegas, dan bengis (Sumaryoto, 2000:128-129). Adanya hubungan antara makna ‘perut serigala’ dengan peran Wrekodara sebagai pahlawan perang, Wrekodara sebagai pahlawan perang dibandingkan dengan serigala ketika hendak memburu mangsa, yaitu berani, tegas, dan bengis. Sebab nama diri Wrekodara juga bersinonimi dengan nama diri Bimasena (Macdonell, 1924:294) yang memiliki makna ‘prajurit perang yang menakutkan dan luar biasa hebat.’ Dari nama diri Wrekodara, muncul referen-referen pendukung yang menunjuk pada tindakan serta karakteristik dari makna ‘perut serigala.’ Referen tindakan dan karakteristik ini juga masih menunjuk peran Wrekodara sebagai seorang pahlawan perang. Pahlawan perang yang seperti ‘perut serigala’ digambarkan memiliki: •
Tindakan yang “membuas” ketika berada di medan perang. Tindakan “membuas” ini merujuk pada makna ‘serigala’ dan masih bisa diuraikan lagi menjadi tindakan “seperti binatang,” “menakutkan,” “suka mengamuk,” dan “suka membunuh.” Tindakan ini memperlihatkan bahwa Wrekodara memerangi angkara murka dengan tidak mengenal belas kasihan pada musuhnya yang jahat dan menghabisinya hingga tewas (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:292).
•
Karakteristik
“pemarah,” “pemberani,” dan “kaku” yang
juga
menggambarkan apa yang Wrekodara lakukan ketika berperang. Karakteristik yang disebutkan ini juga menunjuk ada makna ‘serigala’ sebagai binatang liar pada nama diri Wrekodara.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
108 Referen-referen di atas memperlihatkan konsistensi antara nama Wrekodara, makna nama Wrekodara yaitu ‘perut serigala,’ dan penggambaran Wrekodara dalam cerita Bratayuda; cocok satu sama lain. Pengarang cerita tidak memilih secara sembarangan mengenai nama diri yang akan dipakai tetapi melihat konteks dan peran Bima sebagai Wrekodara pada segmen cerita, dalam hal ini cerita Bratayuda. 3.5.2. Nama Diri Bima Sebagai Bratasena Nama diri Bima sebagai Bratasena memiliki makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’ Pada subbab 3.4. telah dijabarkan analisis makna leksikal nama diri Bratasena, analisis referensial dari makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa,’ dan hubungan taksonomi antara makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ dengan referen pendukungnya. Dari empat pola sederhana pemberian nama diri pada orang Jawa, konsep budaya pada nama diri Bratasena sebagai berikut: a. Sama seperti nama diri Wrekodara, sewaktu kecil Bima juga sudah menjadi anak raja. Pada depan nama diri Bratasena juga muncul kata raden sebagai penegas tingkatan sosial keluarga bangsawan. b. Dipilih kata sebagai simbol nama diri yaitu Bratasena. c. Nama diri Bratasena memiliki makna leksikal ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ dan makna tersebut memunculkan referen-referen pendukung yang menunjuk pada tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran yang dimiliki oleh Bratasena. d. Makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ memperlihatkan adanya konsistensi antara nama, makna nama, dan penggambaran Bima sebagai Bratasena dalam cerita Serat B ima Bungkus. Bahwa Bima sebagai Bratasena memiliki referen-referen yang mengacu pada tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran yang menggambarkan prajurit yang setia dan suka melakukan tapa. Dan
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
109 nama diri Wrekodara ini dijadikan sebagai penanda identitas bagi Bima. Sama seperti nama diri Wrekodara, pemilihan kata pada nama diri Bratasena tidak sembarang. Nama diri tersebut memberikan makna yang jelas. Penulis berpendapat bahwa nama diri Bratasena sebagai pengembangan karakter tokoh Bima karena nama ini dipakai ketika Bima masih anak-anak hingga remaja. Bratasena digambarkan sebagai seseorang yang kuat, mempunyai keteguhan hati, ksatria yang berani dan tidak takut kalah, serta suci (Soetarno, 1992:68). Penggambaran ini memperlihatkan konsistensi dan menunjuk pada makna nama diri Bratasena yaitu ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’ Semenjak kecil, Bima sebagai Bratasena telah dikenal sebagai seorang prajurit. Hal ini ditunjuk oleh kata sena yang berarti ‘prajurit’ (Poerwadarminta, 1939:550) yang semakin menjelaskan peran Bima sudah ditakdirkan menjadi prajurit. Namun, ada juga pendapat yang menjelaskan nama sena muncul dari roh Gajah Sena yang mati dibunuh oleh Bima ketika baru keluar dari bungkus lalu roh tersebut masuk dan bersatu dengan roh Bima (Harsrinuksmo dkk., 1999, Jilid 1:292). Menurut pendapat penulis, bersatunya roh Gajah Sena dengan roh manusia Bratasena memberikan kekuatan lebih dan menguntungkan diri Bratasena sehingga mampu menjadi prajurit yang hebat. Dari nama diri Bratasena muncul referen-referen pendukung yang menunjuk pada tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran dari makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa.’ Referenreferen pendukung tersebut yaitu: •
Tindakan yang menunjuk pada makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ yang meliputi tindakan “bertapa” dan “kuat.”
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
110 •
Karakteristik yang menunjuk pada makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ yang meliputi karakteristik “teguh” dan “berani.”
•
Deskripsi fisik yang menunjuk pada makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ yang meliputi deskripsi tubuh yang “gagah perkasa” dan “deskripsi pakaian.”
•
Peran yang menunjuk pada makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ yaitu profesi Bratasena sebagai “prajurit.”
Referen-referen di atas memperlihatkan konsistensi antara nama Bratasena, makna nama Bratasena yaitu ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa,’ dan penggambaran Bratasena dalam cerita Serat B ima Bungkus; cocok satu sama lain. Pengarang cerita juga tidak memilih secara sembarangan mengenai nama diri yang akan dipakai tetapi melihat konteks dan peran Bima pada segmen cerita, dalam hal ini cerita Serat Bima Bungkus.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
BAB 4 PENUTUP
4.1. Kesimpulan Nama diri dipakai oleh setiap orang sebagai penanda identitas diri untuk membedakannya dengan orang lain. Setiap orang tua berusaha mencari kata yang bermakna baik bagi anaknya, dengan harapan makna nama diri tersebut bisa memberi pengaruh terhadap hidup sang anak. Inilah konsep sederhana yang dipegang oleh orang Jawa dalam pemberian nama diri. Sepintas bahwa perihal nama diri terkesan remeh tetapi orang Jawa begitu teliti dalam memikirkan kata bermakna sesuatu yang akan dipakai untuk nama seseorang. Konsep pemberian nama diri bagi orang Jawa juga berlaku pada nama diri tokoh-tokoh cerita fiktif, terutama cerita wayang. Budaya Jawa terkenal dengan epos Mahabharata. Dalam epos Mahabharata tersebut muncul banyak tokoh dengan banyak nama atau dikenal dengan istilah dasanama. Penulis menemukan bahwa pemakaian nama diri pada tokoh-tokoh wayang masih berhubungan dengan makna nama diri yang dikandung. Pada cerita fiktif, bukan harapan yang muncul bagi tokoh agar kelak mempunyai nasib seperti makna nama dirinya. Akan tetapi, nama diri dijadikan sebagai tanda identitas dan makna nama diri menggambarkan ciri-ciri referensial tokoh secara keseluruhan. Hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa, antara makna nama diri dan ciri referensial menunjukkan konsistensi. Pada dua nama diri Bima, yaitu Wrekodara dan Bratasena, ciri-ciri referen yang ditunjuk dalam data secara konsisten menjadi penanda identitas tokoh Bima pada masing-masing segmen cerita. Antara kata yang digunakan sebagai simbol nama diri, makna yang dikandung, dan penggambaran tokoh Bima dalam masing-masing segmen cerita, cocok satu sama lain. Dua nama diri tersebut memiliki makna leksikal dan makna leksikal yang hadir memunculkan referenreferen pendukung yang menggambarkan Bima ketika muncul dalam cerita.
111 Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
112 Bima sebagai Wrekodara muncul sebagai penanda identitas ketika Bima sudah dewasa. Antara kata Wrekodara, makna ‘perut serigala,’ dan penggambaran di dalam cerita menunjukkan kecocokan. Makna ‘perut serigala’ pada Wrekodara menunjuk pada ciri-ciri referen yang berupa tindakan dan karakteristik Wrekodara ketika perang Baratayuda. Di dalam konteks cerita Bratayuda selalu muncul nama diri Bima sebagai Wrekodara karena memang pada segmen tersebut Bima muncul sebagai sosok pahlawan perang yang kejam dan bengis seperti sosok serigala. Begitu pula ketika Bima masih anak-anak hingga remaja, nama diri yang muncul sebagai penanda identitas adalah Bima sebagai Bratasena. Antara kata Bratasena, makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa,’ dan penggambaran di dalam cerita menunjukkan kecocokan. Sama seperti nama diri Wrekodara, makna ‘prajurit yang setia atau teguh janji dan suka melakukan tapa’ pada Bratasena menunjuk pada ciri-ciri referen yang berupa tindakan, karakteristik, deskripsi fisik, dan peran Bratasena. Di dalam konteks cerita Serat Bima Bungkus selalu muncul nama diri Bima sebagai Bratasena karena memang pada segmen tersebut Bima muncul sebagai sosok yang setia, religius, dan berani seperti prajurit perang. Temuan penting pada penelitian ini adalah pemberian nama diri pada orang Jawa yang sangat teliti dan konsisten juga diterapkan pada nama diri tokoh fiksi. Penelitian ini menunjukkan, nama diri Wrekodara memperlihatkan makna dan ciri-ciri referen yang negatif karena nama diri Wrekodara muncul untuk memperlihatkan baik tindakan maupun karakteristik Bima ketika berperang yaitu berani, kejam, dan tidak mengenal rasa takut seperti binatang serigala. Akan tetapi, pada nama diri Bratasena memperlihatkan ciri-ciri referen yang positif, seperti setia, religius, dan berani, yang memperlihatkan penggambaran Bima ketika memiliki sifa-sifat yang baik.
4.2. Saran Penulis melihat konsep pemberian nama diri pada orang Jawa memiliki sisi positif yang dapat ditiru. Nama diri tidak bisa diberikan secara sembarang namun ada pertimbangan yang jelas saat pemberian nama diri dilakukan.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
113
Pertimbangan ini menyangkut makna yang dikandung pada kata yang dipilih sebagai nama diri. Para orang tua sebaiknya hati-hati dalam memilih nama dan mengetahui makna nama yang dipilih. Sangat relevan di zaman sekarang untuk memberikan nama diri yang mengandung makna positif. Sebab para orang tua dapat mengajarkan sisi positif kepada sang anak melalui media makna nama dirinya. Anak tersebut diberikan nama diri dengan harapan agar kelak anak tersebut bisa mengamalkan butir-butir pada makna nama dirinya. Pendapat penulis, konsep pemberian nama diri ini tidak hanya dapat diaplikasikan pada orang bersuku Jawa tetapi orang dari berbagai suku pun bisa menerapkannya. Masing-masing suku dapat memilih kata yang bermakna positif dalam ragam bahasanya. Karena konsep pemberian nama diri ini memperlihatkan sisi positif yang signifikan. Dan tidak ada salahnya untuk diterapkan secara turun temurun. Penelitian ini membuka kemungkinan bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui apakah nama diri Bima seperti Wrekodara dan Bratasena juga digunakan oleh orang Jawa dalam memberikan nama pada anaknya dalam kehidupan nyata. Bila dilihat dari referen-referen pembentuk yang digambarkan dalam teks, nama diri Wrekodara dan Bratasena mempunyai ciri-ciri referen yang unik. Sehingga, apabila dilakukan penelitian lebih lanjut pada perilaku asli orang Jawa dalam memberikan nama diri, akan menghasilkan penelitian yang menarik.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
DAFTAR REFERENSI
Sumber Buku: Chaer, Drs. Abdul. 1989. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Harsrinuksmo, Bambang, dkk. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 1 [AB]. Jakarta: Sena Wangi Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Hadisutjipto, Drs. Sudibjo Z. 1982. Pandhawa G ubah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Mahsun, Prof. Dr. 2007. Metode P enelitian B ahasa: T ahapan St rategi, M etode, dan Tekniknya. Ed. revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nurhayati. 2003. “Taksonomi dan Meronimi: Hubungan Pencabangan Hierarkis dalam Konfigurasi Leksikal,” dalam Kajian Sas tra: J urnal B idang Kebahasaan, K esusastraan & K ebudayaan. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Ogden, C. K. dan I. A. Richards. 1989. The M eaning o f M eaning. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastraan Djawa. Djilid 1. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. 1967. Sarine Basa Djawa. Jakarta: Balai Pustaka. Palmer, F. R. 1981. Semantics. Ed. Ke-2. Melbourne: Cambridge University Press. Rahyono, F. X. 2009. Kearifan B udaya D alam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Saputra, Karsono H. 2001. Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Shakespeare, William. 2011. Romeo And Juliet. London: Enotes.com Inc. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Soetarno, Drs. R. 1992. Ensiklopedia Wayang. Semarang: Dahara Prize. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik bag. Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University-Press. Sumaryoto, Woro Aryandini. 2000. Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta: Penerbit UI-Press. Susetya, Wawan. 2007. Bharatayuda: Ajaran, Si mbolisasi, F ilosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Widdowson, H. G. 1996. Linguistics. Oxford: Oxford University Press. Wirjosuparto, Sutjipto. 1968. Kakawin Bhāratayuddha. Djakarta: Bhratara. 114 Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
115 Zoetmulder, P. J. 1985. Kalangwan: Sas tra J awa K uno Se layang P andang. Jakarta: Penerbit Djambatan. Sumber Kamus: Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. ke-3. Jakarta: Balai Pustaka. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Ed. ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Macdonell, Arthur Anthony. 1924. A P ractical S anskrit D ictionary: with Transliteration, A ccentuantion, and E tymological A nalysis T hroughout. London: Oxford University Press. Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra D jawa. Batavia: J. B. Wolters Uitgevers Maatschappij. Zoetmulder, P. J. 2006. Kamus J awa K una-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sumber Internet: http://setyawara.webnode.com/news/tinjauan-sekilas-nama-orang-jawa/ oleh Setya Amrih Prasaja yang diakses pada 24 April 2010 jam 14:41. Sumber Primer Penelitian: Kartapraja, R. Ng. 1980. Bratayuda. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Tjan Tju An. 1936. Serat Bima Bungkus. Surakarta.
Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
LAMPIRAN
TABEL DATA 1: BRATAYUDA-WREKODARA (1.01.) Judul Buku Nama yang Muncul No. Keterangan 1.01.02.01. Ingkang anindhihi cucuking baris Raden Wrekodara. Lampahipun dharat kemawon 1. sarta amandhi gada. (hlm 88)
2.
Bratayuda
Wrekodara
3.
4.
Terjemahan Bebas Yang memimpin baris adalah Raden Wrekodara. Perjalanannya (Raden Wrekodara) dilakukan dengan hanya melalui perjalanan darat (jalan kaki) serta memanggul gada. 1.01.02.02. Raden Wrekodara dan Raden Dananjaya Raden Wrekodara kaliyan Raden Dananjaya datang menolong Raden seta, keduanya saling anulungi dhateng Raden Seta, sami melepaskan panah tiada henti-hentinya seperti anglepasken jemparing, ambrubul kados hujan, yang diserang adalah senapati Bisma. jawah, ingkang dipun angkah senapati Bisma. (hlm 93) 1.01.03.01. Raden Wrekodara sangat marah. (Raden Raden Wrekodara sanget nepsunipun. Wrekodara) maju memanggul gada. Majeng amandhi gada. Pangamukipun Amukannya menyeramkan. Banyak Bala anggegilani. Bala Korawa pinten-pinten Korawa mati dipukul (dengan) gada (Raden ingkang pejah dipun gada, mboten wonten Wrekodara), tidak ada yang mampu melawan. ingkang kuwawi anadhahi. Raden Raden Wrekodara meletakkan gadanya (lalu) Wrekodara nyelehaken gada nyandhak mengambil panah yang bernama Bargawastra. jemparing anama Bargawastra. Atusan Ratusan (orang) mati oleh Bargawastra. ingkang pejah dening Bargawastra. (hlm 96) 1.01.03.02. Seluruh Korawa semuanya menangis, tetapi Sakathahing Korawa inggih sami nangis, khawatir karena Raden Wrekodara masih
116 Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
117
5.
6. Bratayuda
Wrekodara
7.
8.
nanging kuwatos, awit Raden Wrekodara taksih ngamuk kaliyan gadanipun. Prabu Yudhistira angawe Raden Wrekodara, kapurih anyelehna dedamelipun. Nanging mboten purun. Amilalah nebih ngadeg kemawon sarta amandhi gada. (hlm 98) 1.01.04.01. Raden Wrekodara inggih anglepasaken jemparing, pinten-pinten Korawa ingkang pejah kadhawahan jemparing. Raden Wrekodara lajeng angamuk kaliyan gada. Kathah bupati ingkang pejah kagada. (hlm 99-100) 1.01.04.02. Wrekodara ngamuk kaliyan gadanipun. Barising Korawa bibar sadaya. (hlm 100) 1.01.04.03. Druna matur dhateng Prabu Suyudana “Bilih anak prabu karsa ngenggalaken tumpesipun Pandhawa, pun Janaka kapurih sageda pisah kaliyan Wrekodara, lamine sedinten kemawon. Manawi sadherek kekalih punika mboten kapisahaken, Pandhawa mboten saged risak tuwin mboten saged pejah.” (hlm 100) 1.01.04.04. Anunten Raden Wresaya anyumbari Raden Wrekodara “Heh, Wrekodara, yen kowe
mengamuk dengan gadanya. Prabu Yudhistira melambaikan tangan (ke) Raden Wrekodara, disuruh supaya meletakkan senjatanya. Tetapi tidak mau. (Raden Wrekodara) lebih baik berdiri menjauh saja sambil memanggul gada. Raden Wrekodara melepaskan anak panah, banyak Korawa yang mati terkena panah. Raden Wrekodara lalu mengamuk menggunakan gada (nya). Banyak bupati yang mati dipukul gada (nya).
Wrekodara mengamuk dengan (menggunakan) gadanya. Barisan Korawa bubar semua. Druna berkata kepada Prabu Suyudana “Bila anak prabu ingin mempercepat tumpasnya Pandhawa, upayakan agar Janaka bisa pisah dari Wrekodara, lamanya sehari saja. Jika dua saudara ini tidak dipisahkan, Pandhawa tidak dapat rusak serta tidak bisa mati.
Kemudian Raden Wresaya menantang Raden Wrekodara “Hai, Wrekodara, jika engkau benar-benar seorang laki-laki, ayo perang
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
118
9.
Bratayuda
Wrekodara
10.
11.
12.
nyata lanang, ayo perang karo aku ana pinggiring sagara, supaya aja ana kang ngregoni, tutuga angadu kasekten.” Raden Wrekodara mboten tahan mirengaken dipun sumbari, atilar bari, lumampah mangaler angutu. (hlm 101) 1.01.05.01. Wrekodara nyelehaken langkap, nyandhak gada anarajang. Pinten-pinten Korawa ingkang pejah sami anggelasah, amargi dipunamuk ing gada dhateng Raden Wrekodara. (hlm 110) 1.01.05.02. Wondening panarajangipun Korawa saking kathahipun kados sulung, ambelasah ingkang pejah dening gada. Kathah para dipati ingkang pejah, sarta ingkang remuk rata tuwin gajahipun, awit kaamuk dhumateng Raden Wrekodara. Tandangipun kados gajah sewu meta. Pundi ingkang dipunterak tumpes. (hlm 110) 1.01.05.03. Wrekodara tandange perang kaku,ora julig kaya si Dananjaya. (hlm 111) 1.01.05.04. (Suyudana) Tumunten angandika malih, “Kados pundi pratingkah puniki, menggah karsane Paman Druna kadospudi, sadulur
(lawan) aku di pinggir laut, agar tidak ada yang menganggu, sampai (kita) selesai mengadu kesaktian.” Raden Wrekodara tidak tahan mendengar tantangan, lalu meninggalkan barisan, berjalan ke utara dengan cepat. Wrekodara meletakkan busur (nya), mengambil gada (lalu) menerjang. Banyak Korawa yang mati terkapar, karena diamuk oleh Wrekodara dengan menggunakan gada.
Adapun terjangan Korawa banyaknya seperti laron kecil, berserakan orang-orang yang mati oleh gada. Banyak para dipati mati serta kereta dan gajahnya hancur, karena diamuk oleh Raden Wrekodara. Perbuatannya seperti seribu gajah yang marah. Apapun yang ditabrak, tumpas.
Caranya Wrekodara berperang kaku, tidak cerdik seperti si Dananjaya. Suyudana kemudian berkata lagi, “Apa yang harus kita lakukan dan bagaimana pendapat paman Druna, setelah banyak saudara saya tewas, seperti si Citradarma, Citrayuda,
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
119
13.
14. Bratayuda
Wrekodara
15.
16.
kula kathah kang pejah: si Citradarma, Citrayuda, Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Rakadurjaya, Darmajati, Anggaangsa, Citraksi, ing sapunika sami pejah dening Wrekodara, kang sarta pangamuke Arjuna, anglangkungi ing prihatos kula, napa kang digawe pepulih?” (hlm 112) 1.01.06.01. Wrekodara, Dananjaya pengamukipun angorak-arik. Nglepasaken jemparing, wedalipun amradini. Wrekodara nglepasaken Bargawastra, ... (hlm 113) 1.01.06.02. Panempuhing perang, surak sakalangkung rame, Wrekodara pangamukipun anengah, amung milih ingkang para dipati, ingkang sami nitih gajah utawi rata, punika ingkang dipun trajang. Dipun gada kathah pejah pating sulayah. (hlm 114) 1.01.06.03. Lajeng dipun trajang dhumateng Wrekodara. Punika Druwajaya pejahipun. (hlm 114) 1.01.06.04. Anunten Raden Wrekodara dhateng, atetulung dhumateng Raden Sanga-sanga. Partipeya dipun lepasi jemparing, kenging jajanipun dhawah kanteb. Kuraos sakit,
Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Rakadurjaya, Darmajati, Anggaangsa, Citraksi, sekarang semuanya mati oleh Wrekodara serta amukan Arjuna, (hal ini) sangat memprihatinkan saya, dan apa gerangan yang dapat memulihkan kembali?” Wrekodara, Dananjaya mengamuk mengobrak-abrik. Melepaskan panah secara merata. Wrekodara melepaskan Bargawastra, ... Peperangan diikuti sorak-sorai demikian ramai, Wrekodara mengamuk ketengahtengah, hanya memilih para Adipati, yang menunggang gajah atau kereta, merekalah yang diterjang. Di (pukul) dengan gada hingga banyak yang mati berkaparan. Lalu diterjang oleh Wrekodara. Inilah matinya Druwajaya
Raden Wrekodara kemudian datang, (untuk) menolong Raden Sanga-sanga. Partipeya dipanah, terkena dadanya (hingga) jatuh terjerembab. (Partipeya) merasa sakit dan sangat marah. Tahu bahwa yang memanah
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
120
17.
Bratayuda
Wrekodara 18.
19.
sanget ing nepsunipun. Sumerep yen Raden Wrekodara ingkang anjemparing, lajeng males anjemparing. Wrekodara kenging baunipun kiwa, kaget lajeng anyelehaken Bargawastra, anyandhak gada majeng. Raden Partipeya dipun gada remuk sareng kaliyan ratanipun. Ing ngriku pejahipun Partipeya dening Raden Wrekodara. (hlm 114) 1.01.06.05. Anunten anakipun Partipeya enggal badhe pepulih pejahipun bapa. Raden Wrekodara dipun karubut, adangu perangipun. Wekasan anakipun Partipeya pejah dipun gada Raden Wrekodara. Punggawanipun Adipati ing Ngawangga anama Drestarata majeng. Inggih pejah dipun gada dhateng Raden Wrekodara, remuk saratanipun. (hlm 115) 1.01.06.06. Wrekodara sanget ing pangamukipun sinten ingkang majeng dipun gada. Akathah prajurit pepilihan ingkang pejah dening pangamukipun. (hlm 115) 1.01.06.07. Anunten adhinipun Sangkuni kekalih majeng, anama Anggajaksa kalih Sarabasanta, angirid prajurit saleksa,
adalah Raden Wrekodara lalu (Partipeya) membalas panahannya. Wrekodara terkana bahu kirinya, kaget lalu meletakkan Bargawastra, mengambil gada (lalu) maju. Raden Partipeya di (hantam) gada, hancur beserta keretanya. Disitulah matinya Partipeya oleh Raden Wrekodara.
Kemudian, anak Partipeya ingin segera membalas kematian ayahnya. Raden Wrekodara dikeroyok, perang berlangsung lama. Akhirnya, anaknya Partipeya mati digada (oleh) Raden Wrekodara. Punggawa Adipati Ngawangga yang bernama Drestarata maju. Ia juga mati digada oleh Raden Wrekodara, hancur beserta keretanya.
Wrekodara mengamuk hebat, siapa yang maju dipukul dengan gada. Banyak prajurit pilihan mati oleh amukannya.
Kemudian, kedua adik Sengkuni yang bernama Anggajaksa dan Sarabasanta maju, membawa sepuluh ribu prajurit dan mengroyok Raden Wrekodara. (Raden
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
121
20.
Bratayuda
Wrekodara
21.
22.
angroyok Raden Wrekodara. Boten kaweden dipun karubut ing perang. Lajeng wiwit anglepasaken Bargawastra, kathah prajurit ingkang pejah dening jemparingipun. Sangsaya riwut pangamukipun Raden Wrekodara, pundi baris ingkang katerak, tumpes. (hlm 115) 1.01.06.08. Anunten Raden Anggajaksa kalih Raden Sarabasanta sami anglepasaken jemparing, angebut Raden Wrekodara. Sareng dipun wales kajemparing, Raden Anggajaksa pejah. Ingkang raka anama Sarabasanta wau apepulih, inggih pejah dipun jemparing dhateng Raden Wrekodara. Sapejahe adhinipun Sangkuni kekalih, Korawa sami alit manahipun. Prabu Suyudana angrerepa, pangandikanipun dhateng adipati Ngawangga, “Adhi para, papagna pangamuke Wrekodara, ...” (hlm 115) 1.01.06.09. Raden Wrekodara sareng mireng yen ingkang putra pejah, lajeng ngamuk liwung sarwi angusapi eluh. Gadanipun mobatmabit, kathah para dipati tuwin satriya Korawa ingkang pejah. (hlm 118) 1.01.07.01. Prabu Kresna lajeng amangsit dhateng
Wrekodara) tidak takut dikerubuti sewaktu perang. Lalu, mulai melepaskan Bargawastra, banyak prajurit mati oleh panahnya. Semakin hebat amukan Raden Wrekodara, baris manapun yang diterjang, hancur.
Kemudian Radem Anggajaksa dan Raden Sarabasanta bersama-sama melepaskan panah menuju Raden Wrekodara. Ketika dibalas dengan dipanah, Raden Anggajaksa mati. Kakaknya yang bernama Sarabasanta ingin membalas, (tetapi) dia juga mati dipanah oleh Raden Wrekodara. Setewasnya kedua adik Sengkuni, Korawa menjadi berkecil hati. Prabu Suyudana meminta belas kasihan dan meminta maaf kepada adipati Ngawangga. “Adinda, mohon hadapilah amukan Wrekodara ...” Ketika Raden Wrekodara mendengar putranya mati, lalu mengamuk hebat sambil mengusap air mata. Gadanya diayun-ayunkan, sehingga banyak dipati serta satria Korawa mati.
Prabu Kresna lalu mengisyaratkan Raden Wrekodara, disuruh membunuh musuh raja di
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
122
Bratayuda
Wrekodara
23.
Raden Wrekodara, kapurih amejahana mengsah ratu ing Malawapati, sarta gajahipun ingkang nama Aswatama. Wrekodara enggal lumumpat, mangsah anggada ratu ing Malawapati, ajur sagajahipun kadhawahan gada. Wrekodara lajeng alok, “Aswatama mati”, sarta para Pandhawa inggih alok makaten. (hlm 119) 1.01.07.02. Prabu Suyudana dipun jemparing dhateng Wrekodara dhawah kalumah, nanging mboten pasah, lajeng andhelik wonten wingkingipun ing baris. ... Prabu Suyudana kapanggih kaliyan Wrekodara, lajeng dipun jemparing dhateng Wrekodara, kenging kendhengipun pedhot, anunten lumajeng. Raden Dursasana, ingkang rayi Prabu Suyudana, enggal angalingi ingkang raka, amethukaken Wrekodara, sarta nitih gajah, anglepasi jemparing anama Barla. Wrekodara kenging jajanipun, dhawah kabanting, nanging mboten pasah. Nunten tangi anyandhak gada sarta angesuk. Gajahipun Dursasana dipun gada sirahipun ajur. Dursasana enggal lumumpat dhateng siti. Nunten sami gada-ginada. Dursasana rumaos kuwalahan, badhe lumajeng, lajeng dipun jambak rambutipun sarta kasendhal
Malawapati beserta gajahnya yang bernama Aswatama. Wrekodara segera melompat, menyerang (dengan) gada, raja Malawapati serta gajahnya hancur dipukul gada. Wrekodara lalu berteriak, “Aswatama mati” serta para Pandhawa berteriak seperti itu juga.
Prabu Suyudana dipanah oleh Wrekodara (hingga) jatuh terlentang tetapi tidak mempan lalu bersembunyi dibelakang barisan. Prabu Suyudana bertemu dengan Wrekodara, lalu dipanah oleh Wrekodara, kena tali busurnya (hingga) putus, kemudian lari. Raden Dursasana, adik Prabu Suyudana, segera menghalangi sang kakak (lalu) menyongsong kedatangan Wrekodara sambil mengendarai gajah (dan) melepaskan panah bernama Barla. Wrekodara kena dadanya, jatuh terbanting, tetapi tidak mempan. (Ia) segera bangun mengambil gada serta menggasak. Gajah (yang dikendarai) Dursasana dipukul dengan gada (hingga) kepalanya hancur. Dursasana segera melompat ke tanah. Segera (keduanya) saling memukul. Dursasana merasa kewalahan, (dia) ingin melarikan diri, lalu dijambak rambutnya serta disentakkan oleh Wrekodara (hingga) jatuh terlentang,
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
123
24. Bratayuda
Wrekodara
25.
dhateng Wrekodara dhawah kalumah, rambutnya masih dipegang oleh Wrekodara rambutipun taksih kacepeng dhateng serta dipukul-pukul dengan gada. Prabu Wrekodara sarta dipun gadani. Prabu Suyudana dan seluruh saudara menolong, Suyudana sasedhrekipun nulungi, sami memanahi, tetapi Wrekodara tidak takut. anjemparingi, nanging Wrekodara mboten ajrih. (hlm 122-123) 1.01.07.03. Raden Wrekodara (berbuat) seenak-enaknya, Raden Wrekodara ing sakajeng-kajengipun, caranya menghajar Dursasana (bagaikan) anggenipun badhe damel pangewan-ewan hewan, serta berbicara keras memanggil para dhateng Dursasana, sarta wicanten seru dewa dan para raja musuh serta semua anyeluk para dewa tuwin para ratu mengsah Pandhawa, “Heh, semua supaya menjadi saha Pandhawa sadaya, “Heh, kabeh padha saksi, kalau aku akan memenuhi nazar iparku aneksenana, yen aku bakal angluwari kaule yang bernama Dewi Drupadi, istri Kakang ipeku kang jeneng Dewi Drupadi, garwane Prabu Yudhistira. (Dia) itu tidak akan Kakang Prabu Yudhistira. Iku ora gelem menggelung (rambut) selamanya, jika belum gelungan ing salawase, yen durung keramas keramas darah Dursasana. Sekarang ini akan getihe si Dursasana. Ing mengko bakal terjadi.” Diceritakan caranya Raden kalakon.” Kacariyos Raden Wrekodara Wrekodara memperlakukan (Dursasana) anggenipun damel pangewan-ewan wau, seperti hewan tadi, perutnya Dursasana wetengipun Dursasana kabedhel, rahipun dibedah, darahnya ditenggak. Isi perutnya dipun kokop. Barabeyanipun kaodhet-odhet, dikeluarkan lalu dicecer-cecer. Kaki serta lajeng dipun awut-awut. Suku sarta tangannya dipatah-patahkan, lalu dilempartanganipun sinempal-sempal, lajeng dipun lemparkan. Kepalanya dilumatkan dengan balang-balangaken. Sirahipun kaejur ing gada. gada. (hlm 123) 1.01.07.04. Raden Wrekodara lalu pulang ke Raden Wrekodara lajeng mundur dhateng pasanggrahan hendak menemui Dewi ing pasanggrahan sumedya manggihi Dewi Drupadi, sambil menari sepanjang jalan.
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
124
26.
27.
Bratayuda
Wrekodara
28.
29.
30.
Drupadi, sarta beksa samargi-margi. (hlm 123-124) 1.01.07.05. Prabu Yudhistira sasentananipun tuwin ingkang garwa enggal sami methuk angurmati, sarta angugung dhateng Wrekodara. (hlm 124) 1.01.07.06. Jenggot sarta brengosipun Raden Wrekodara taksih gupak rah, lajeng dipun peres wonten ing mastakanipun Dewi Drupadi. Ing ngriku luware punaganipun. (hlm 124) 1.01.08.01 ... Patih Sangkuni kacandhak dhateng Raden Wrekodara, lajeng dipun sempal-sempal. (hlm 130) 1.01.09.01 Wrekodara anyumbari saking ing dharatan, sarta anguwus-uwus, awit mboten prayogi yen ratu kawon perangipun lajeng singidan ajrih manawi pejah. Kapurih mentasa badhe kaajak perang tandhing. (hlm 131) 1.01.09.02. Wrekodara sakedhap aningali pamangsitipun ingkang rayi, sampun anampeni, enggal ngangseg prangipun sumedya ngruket. Suyudana kewedan,
Prabu Yudhistira beserta sanak saudaranya dan para istri segera menyongsong dan menghormati serta menyanjung Wrekodara.
Jenggot dan misai Raden Wrekodara masih berlumuran darah, lalu diperas di kepala Dewi Drupadi. Disitulah nazarnya terbayar.
... Patih Sangkuni ditangkap oleh Raden Wrekodara, lalu dipatah-patahkan.
Wrekodara menantang dari daratan serta mengata-ngatai sebab tidak baik jika raja kalah (dalam) perang lalu bersembunyi (karena) takut mati. Disuruh keluar akan diajak perang tanding. Wrekodara segera melihat isyaratnya sang adik, sudah mengerti, lalu segera mendesak untuk berperang dalam jarak yang dekat. Suyudana kesulitan, ingin menghindar ke tempat yang luas. Lalu melompat, bersamaan
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
125
Bratayuda
Wrekodara
31.
sumedya ngoncati amapan kang omber. Lajeng milar, sinarengan sinabet ing gada dhateng Wrekodara, kenging wentisipun kiwa. Suyudana ambruk, lajeng pinupuh ing gada, jinambak sarta dhinupakan dhateng Wrekodara. Prabu Baladewa sanget murina ing galih, awit pamalanipun Wrekodara sawenang-wenang, boten angangge caraning prang ratu. (hlm 132) 1.01.09.03. Sabab Dewi Drupadi wau kala rumiyin sinaya-siya, dados Wrekodara punika demi amalesken. Sapengkeripun Prabu Baladewa, Wrekodara andumugekaken ing sakarsanipun nggening damel sawenangwenang dhateng Suyudana. Sareng Suyudana sampun remuk badanipun lajeng anyuwara mboten purun pejah yen dereng atapakan sirahing Pandhawa. Nanging swara wau mboten kapaelu dhateng Wrekodara. (hlm 132)
TABEL DATA 2: SERAT BIMA BUNGKUS-BRATASENA (2.02) Judul Buku Nama yang Muncul No. Keterangan 2.02.01.01. Serat ... ing ngastina pawartane, atma janya kang Bima Bratasena 1. bungkus wus alam prasteng samangkin, Bungkus durung kawah ywa babar, saking
dengan dipukulkannya gada oleh Wrekodara, kena pahanya yang sebelah kiri. Suyudana jatuh, lalu dihantam dengan gada, dijambak serta ditendang oleh Wrekodara. Hati Prabu Baladewa sangat tersinggung, sebab pukulan Wrekodara sewenang-wenang, tidak mengikuti caranya perang (seorang) raja.
Sebab dulu Dewi Drupadi dahulu (pernah) dianiyaya, jadi Wrekodara ini demi membalaskan (sakit hatinya). Sepeninggal Prabu Baladewa, Wrekodara memuaskan keinginannya berbuat sewenang-wenang terhadap Suyudana. Bersamaan (dengan) remuknya badan Suyudana lalu (dia) berkata tidak mau mati jika belum menapakkan kakinya di kepala Pandhawa. Tetapi suara tadi tidak dihiraukan oleh Wrekodara.
Terjemahan Bebas ... di Astina beritanya (adalah) anak yang dilahirkan dalam bungkus, sekarang sudah membuat alam gempar, belum lahir/keluar dari bungkusnya, ...
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
126
2.
3.
Serat Bima Bungkus
Bratasena
4.
5.
6.
bungkusipun, ... (hlm. 1-2) 2.02.01.02. ... gal ih put ra bungk us, ar sa pi necah t an kena, datan pasah sagung gagamaning jurit, ... (hlm. 2) 2.02.01.03. ... pandhu dewanata ing ngastina, tumrah mring garwa putrane, manira yun angrungu, kahanane suteng dewaji, kang lair babungkusan, paran wartanipun, eh yayi gendara sira, tutulung ngamecah bungkus neng wanadri, ... (hlm. 2) 2.02.01.04. ... manggalih paman mu, prabu pandhu ing ngastina, apeputra bungkusan tara wus lami, pinecah datan kena. (hlm. 3) 2.02.01.05. ... ing samengko sinetraken wana, rama nta bela wirage, galih pupunanipun, durung bisa ababar bayi, dene sakeh gagaman, kang kinarya ngresuk, tanana ingkang tumama, ... (hlm. 3) 2.02.02.01 Dhuh pukulun kajeng eyang, mugi tuwan paringa warsita jati, kadang kawula kang bungkus, pinten warsa lami nya, dereng babar punapa wahananipun, punapa isi
... sang putra (di dalam) bungkus, hendak dipecah (bungkusnya) tidak bisa, semua senjata perang tidak ada (yang mampu), ... ... Pandhu Dewanata di Astina, dari istrinya melahirkan anak. Aku ingin mendengar berita keadaan putraku yang lahir terbungkus. Bagaimana beritanya, wahai adik Gendara, tolong pecahkan bungkus (yang ada) di hutan, ... ... pamanmu berfikir, Prabu Pandhu di Astina berputra (sudah di dalam) bungkus selamalamanya, belum bisa dipecah. ... sekarang diasingkan di hutan, orang tuanya turut sedih, hatinya. Belum bisa lahir (menjadi) bayi, walaupun banyak senjata yang dipakai untuk merusak (bungkus) tidak ada yang mampu, ... Duh paduka eyang, semoga memberi petunjuk untuk saudara hamba yang (ada didalam) bungkus, sudah lama belum tampak tanda-tandanya (untuk keluar). Apa ini berisi manusia? Eyang, hamba mohon diberi tahu.
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
127
7.
Serat Bima Bungkus
8. Bratasena
9.
sujanma, eyang amba nyuwun uning. (hlm. 25-26) 2.02.02.02. Mas putu nastapaningwang, pangestuning dewa gung kang linuwih, dhuh mas putu wruhanamu, kadangira kang warna, bubungkusan kulup iku isinipun, manungsa gagah prakasa, karsaning hyang ujwaladi. (hlm. 26) 2.02.02.03. Tinitah mring ngarcapada, tembe dadi satriya ditya sekti, marma suwe neng jro bungkus, iku manungsanira, kang sajati nata pakaryanya besuk, ingkang bakal linaksanana, lelakon ngarcapadeki. (hlm. 26) 2.02.02.04. i. Lah ta kulup kadang ngira, ingkang bungkus iki wus wanci lahir, babar saking bungkusipun, wus diwasa prakosa, widigdaya prawira surayeng kewuh, wus pinesthi karsaning hyang, nitahken satriya luwih. ii. Wiwit lahir wus dikdaya, mondraguna prawira dibya sekti, teguh da tanpa maguru, iku sajati nira, kadunungan
Cucuku yang sedang sedih, (terimalah) restu dari (para) dewa. Wahai cucuku, ketahuilah nak, bahwa bentuk bungkusan ini berisi anak laki-laki, manusia yang gagah perkasa, (semua) kehendaknya Hyang Ujwaladi.
Ditakdirkan ke dunia, kelak akan menjadi satria raksasa yang sakti, sebab lama di dalam bungkus itu manusianya sejati yang kelak mengatur tugasnya, yang akan dijalankan dan diemban di dunia.
i.
Saudara laki-laki yang (di dalam) bungkus sudah saatnya lahir, keluar dari bungkusnya, saat dewasa (menjadi) perkasa, sakti dan berani dalam rintangan, sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan, dititahkan menjadi satria hebat. ii. Sejak lahir sudah sakti mandraguna dan berani, teguh tanpa berguru. Itu sejatinya, ditempati wahyu jali namanya, firasat jika kesaktian (akan didapat) dari tapa
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
128
10.
Serat Bima Bungkus
Bratasena
11.
wahyu jali aranipun, yen dikdaya saking tapa, iku aran wahyu kapi. (hlm. 27-28) 2.02.03.01. i. Paripurna pana ta nireki, wus winan cimiyos, saking bungkus kirang pirantine, mugi kawuningan nira adhi, kirange piranti, roh kewanenipun. ii. Lawan rewang ngira catur warni, kumpule dumados, tembe angriri dhupa karyane, wus karsa nya sang hyang ujwaladi, ... (hlm. 43-44) 2.02.03.02. i. Sang hyang guru kacaryan miyarsi, angandika alon, kakang nrada niku prayogane, putra nira gajah sena mugi, kakang den dhewuhi, kinen mecah bungkus. ii. Eh umayi sira ingsun tuding, lumaku wagupoh, tedhak ana yayi atmajane, kakang prabu pandhu Ingkang warni, bungkus arsa lair, saking dunungipun. iii. Kanthenana rewange dumadi, kinen bisa ngemong, catur warna yaiku rewange, sinung ngana busana diadi, warahen gulali lamun titah ingsun. (hlm. 44)
yang dinamakan wahyu kapi.
i.
Akhirnya, sudah keluar dari bungkusnya (akan) kurang atributnya, harap engkau ketahui, kurang akan atribut roh hewani. ii. Dan teman dari catur warni yang berkumpul menjadi satu, sudah keinginannya Hyang Ujwaladi, ...
i.
Hyang Guru terkejut heran mendengarkan (lalu) berkata pelan, “Kakang Narada baiknya jika putramu si Gajah Sena disuruh untuk memecah bungkus.” ii. “Hai Dewi Uma, engkau ditunjuk untuk turun (ke bumi) segera, datangi anak dari Prabu Pandhu yang berbentuk bungkus akan lahir dari tempatnya. iii. Sertakanlah saudaranya yang tercipta bersama, suruhlah agar bisa merawat (bayi), saudaranya adalah catur warna, beri pakaian yang indah, beritahu bahwa (ia) ciptaanku”
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
129
12.
13.
Serat Bima Bungkus
Bratasena 14.
2.02.03.03. ... eh ta putra ning ngong, gajah Sena saking timbalane, raminira sang hyang odipati, sira den dhawuhi, kinen mecah bungkus. (hlm. 44-45) 2.02.03.04. Babo jiwane manungsa, kang maksih kandheg neng margi, durung tutuk laku nira, sira: duk marek hyang widi, maksih neng ngalam gaib, ... (hlm. 45) 2.02.03.05. i. ... pangeran hulun sajati, sira arsa sun tari, sun ngemban dhawuh hyang guru, apa sumagem sira, arsa tinitih kemalih, yen kaduga janjine pitung prakara. ii. Kapisan ywa limut sira, kalimput kudu umeksi, mring rurupane kawarna, tan miyat slira ning gusti, kapindho aywa lali, ngrungu sabda ning hyang guru, karana kupur myarsa, mring prabawa lenireki, kang ngalingi marang pangandika ning hyang. iii. Kaping tri den menget sira, ganda slira ning hyang widi, ywa liput pijer anguswa, aganda liya nireki, ping pat
“... Hai putraku Gajah Sena diperintah oleh sang Hyang Odipati, engkau diperintah untuk memecah bungkus.”
“Hai jiwa manusia yang masih terhalang di jalan (bungkus) ini, belum sempurna jalan hidupmu. Saat mendekat dengan Hyang Widi, masih berada di alam gaib, ... i.
... Pangeranku sejatinya engkau akan aku tanya, aku mengemban perintah Hyang Guru, apa engkau sanggup hendak diberikan lagi (janji). Jika sanggup, ada tujuh janji. ii. Yang pertama, engkau jangan takabur dan tidak tahu karena tertutup oleh segala macam bentuk yang tidak tampak seperti Tuhan. Yang kedua jangan lupa mendengarkan sabda Hyang Guru sebab kufur mendengar kepada kebesaran yang lain yang menghalangi akan sabda Tuhan. iii. Yang ketiga engkau selalu ingat, wujud dari Hyang Widi, selalu menutup diri dari (tuhan) dia yang berwujud lain. Yang keempat harus selalu mencoba rasa Hyang Guru, jangan selalu merasa enak Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
130
Serat Bima Bungkus
Bratasena
15.
kudu ngicipi, rasanira sang hyang guru, aywa pijer mirasa, marang saniskareng bukti, ping limane ywa pijer katungkul sira. iv. Ngrasa kapenak lan lara, kongsi limut angalingi, mring kapenaking pangrasa, kang nunggal rasaning gusti, ping nem aywa minihi, ngrusak titah ing hyang ngagung, ping pitu aywa sira, akarya retu ning ngati, ngoyak-koyak dhamparing hyang jagad nata. (hlm. 46) 2.02.03.06. i. ... sang uma nabda malih, apa ta sira sumanggub, ngampil titipaning hyang, miwah nuhoni prajanji, yen tan sanggub sira nora dipun peksa. ii. Kawarna jiwaning janma, duk miyarsa amangsuli, dhuh tuwan inggih kawula, sandika nuhoni janji, mring titipan kang gumadhuh, nanging lamun kawula, lepat tanapi kalempi, mung miminta tumrah ing sih pangaksama. (hlm. 47)
oleh semua yang dimakan. Yang kelima janganlah engkau lupa. iv. Merasakan enak dan sakit hingga lupa menghalangi, akan rasa kenikmatan yang bersatu dengan rasa Tuhan. Yang keenam jangan menanam benih untuk merusak apa yang dititahkan Hyang Agung. Yang ketujuh janganlah engkau berbuat huru-hara, menggoncang singgasana Hyang Jagad Nata.
i.
... sang Uma berkata lagi, “Apa engkau sanggup menerima titipan Tuhan dan mematuhi perjanjian? Bila tidak sanggup, engkau tidak akan dipaksa.” ii. Diceritakan sang jiwa manusia ketika mendengar dan menjawab, “duh tuanku, hamba akan menepati janji, atas titipan yang menitipi (Tuhan) tetapi bila hamba lupa dan khilaf, hamba meminta maaf.”
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
131
16
17. Serat Bima Bungkus
Bratasena 18.
2.02.03.07. i. Eh sajatining manungsa, sarehning sira samangkin, arsa tumitah mring dunya, nanging durung pajawarni, kadi gatraning janmi, samene lagi dumunung, martabat akadiyat, tegese sapangkat sawiji, maksih angel lakuning marang manungsa. ii. Ing benjang prapta ning mangsa, tan wun laki nira bali, ing kene bakal ing ngaran, martabating insan kamil, yeku wangkating janmi, kang sampurna aranipun, dekang aran sampurna, mung ka manungsa nireki, wus maligi nora mawor saniskara. (hlm. 48) 2.02.03.08. ... wus tibeng jawi ning pintu, ngambah martabat wuntat, yeku kamulaning wiji, kang dumunung mawor rahsaning wong priya. (hlm. 49-50) 2.02.03.09. Kapungkur hyang uma ling nya, samantara nutpah manungsajati, sinungan wahyaning napsu, kang aran: mutmainah, cahya seta muncar prabaneng ngungupung, wang jatining manungsa, rumangsa tentreming ngati. (hlm. 51)
i.
“Hai manusia sejati, berhubung sekarang engkau akan diciptakan di dunia tetapi belum waktunya, layaknya sebagai seorang manusia, baru sampai adanya Martabat Akadiyat sebagai tingkat yang pertama masih sulit menjadi manusia (yang sempurna).” ii. “Jika sudah tiba waktunya menjadi lakilaki, di sini akan dinamai Martabat Insan Kamil, yaitu bentuk manusia, yang dinamakan sempurna, tubuhnya hanya manusia ini sudah murni tidak bercampur semua.” “... sudah waktunya keluar, datang martabat wuntat yaitu kemuliaan benih, yang terletak pada bersatunya rasa laki-laki.”
Dewi Uma telah berkata, “sementara bakalmanusia sejati, diberikan nafsu yang dinamakan mutmainah” cahaya putih menyinari dan mengepung jiwa manusia yang merasa menentramkan hati.
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
132
19.
20. Serat Bima Bungkus
Bratasena 21.
2.02.03.10. i. Antuk catur dasa dina, wimbuh ngreda nutpah denya dumadi, neng martabating sinebut, ing ngaran ngakadiyat, kacarita dupi prapteng mangsanipun, samana nuli katekan, cahya pita anelahi. ii. Sang uma lon: ngandika, tampanana nutpah titipan iki, kang warna kuning ngungupung, aran: napsu supiyah, rawaten den becik sira anggadhuh, ing tembe praptaning mosa, den timbali hyang pramisthi. (hlm. 51) 2.02.03.11. ... tampanana titipan kang kaping tri, amarah araning napsu, poma sira den bisa, angrigena tanduke lawan pamengku, ... (hlm. 52) 2.02.03.12. i. Eh ngalakah wruhnira, ing samengko sira neng ngalam jisim, karana warnanireku, wus aran badan wadhak, tetepana wajibing jisim sadarum, bakal darbe pepenginan, mangan nginum lan saresmi.
i.
Setelah empat puluh hari, air mani tersebut bertambah dari asalnya, yang disebut martabat Akadiyat, diceritakan saat tiba waktunya, akan datang cahaya kuning. ii. Sang Uma berkata. “terimalah air mani titipan ini, yang berwarna kuning yang (sedang) mengepung, dinamai nafsu supiyah, simpanlah dengan baik olehmu untuk dipakai. Jika sudah waktunya kelak dikembalikan kepada Hyang Pramisthi.”
“... terimalah titipan yang ketiga, dinamakan nafsu amarah, agar engkau bisa mengatur perilaku dan kehendak ...”
i.
“Hai ketahuilah engkau, sekarang engkau berada di alam jisim, karena bentukmu sudah berupa badan, penuhilah semua kewajiban badan karena akan timbul keinginan makan, minum dan bersetubuh. ii. Tidak berbeda dengan perilaku hewan tetapi engkau nanti akan diberi akal budi
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
133
22.
Serat Bima Bungkus
Bratasena 23.
ii. Tan beda lakuning kewan, nanging sira ing tembe den dhuwuhi, ngakal budi kang linuhung, yeku mangka sarana, kang nanarik ning ala miwah rahayu, marang bagya lan sangsara, marmane den awas eling. (hlm. 52-53) 2.02.03.13. ... tampanana titipan kang sawiji, aluamah raning napsu, den becik pangreksa nta, ... (hlm. 54) 2.02.03.14. i. Eh bungkus sira samangkin, wus sing antuk susurupan, marang lelakoning tembe, ... ii. Riwusning antara malih, punang ngilam salin warna, dadya babayi dhapure, wus sing catur dasa dina, babayi pinaringan, roh sasanga cacahipun, mangka sarira ning sukma. iii. Wijange sawiji-wiji, roh ilapi kang sapisan, roh robbani wika pindhone, roh rokani nika ping tiga, roh nurani kaping pat, kalimane rohul kudus, roh rohmani kanem mira. iv. Kang pitune roh jasmani, ugi ing
yang mulia, yaitu sebagai sarana hanya untuk menarik kejahatan dari kebaikan, bahagia dan sengsara. Oleh sebab itu, harus waspada dan ingat.
“... terimalah titipan yang satu lagi, dinamakan nafsu alamuah, yang baik caramu menjaga, ...” i.
“Hai bungkus sekarang engkau sudah mendapat pengetahuan tentang perjalanan kehidupan selanjutnya. ... ii. Sesudahnya antara lain yang berubah bentuk menjadi bayi, sudah empat puluh hari, sang bayi diberikan roh yang jumlahnya sembilan, yang bersemayam di tubuh dan sukma. iii. Masing-masing (yaitu) yang pertama roh ilapi, yang kedua roh robbani, yang ketiga roh rokani, yang keempat roh nurani, yang kelima rohul kudus, yang keenam roh rohmani. iv. Yang ketujuh roh jasmani yang juga disebut roh hewan, roh nabati yang kedelapan, roh rewani yang kesembilan. Itu semua sebagai tubuhnya Hyang Guru
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
134
24.
25.
Serat Bima Bungkus
Bratasena
26.
27.
28.
ngaran roh kewan, roh nabati kawolune, roh rewani jangkepe sanga, iku kabeh minangka, sarira nira hyang guru, denya molahke kawula. (hlm. 5758) 4.02.03.15. ... pepekasi sun wus cukup, eh uwis sira metuwa. (hlm 59) 2.02.03.16. Sinung busana di adi, pupuk sumping hyang gegelang, kancana porong warnane, kangge tandha yen ngayun, lan kuku pancanaka, cawet wastra bang bintulu, abang ireng kuning seta. (hlm. 59) 2.02.03.17. ... ingsun pamit ngahyangan, jatine nunggal sireku, wangsul mijil raras driya. (hlm. 60) 2.02.03.18. Yata wau genti kang winarni, wijiling cariyos, kadya sareng wau ing lampahe, gajah sena lan sang uma dewi, nalika nya prapti, mring bungkus gyanipun. (hlm. 60) 2.02.03.19. i. Mung carita nira kang ginanti, gajah sena anjok, saking tawang jujug panggonine, putra prabu pandhu
yang olehnya menggerakkan hamba.”
“... pesanku sudah cukup, sudah (saatnya) engkau keluar (lahir).” Diberi busana indah, pupuk, sumping, gelang, porong berwarna emas sebagai tanda harapan dan kuku pancanaka, kain cawat bang bintulu yaitu merah, hitam, kuning, dan putih.
“... hamba pamit ke kahyangan, jiwa hamba bersatu denganmu, kembali ke batin.” Lalu berganti rupa, keluar cerita (lain), bersama dengan perginya Gajah Sena dan Dewi Uma, saat tiba di (dalam) gua bungkus.
i.
Ceritanya beralih, Gajah Sena datang tiba-tiba dari udara langsung menuju di tempat putra Prabu Pandhu yang berbentuk bungkus di hutan, (Gajah
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
135
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
ingkangwarni, bungkuse wanadri, pinarpet kan gupuh. Gajah Sena amicareng galih, baya iki babo, putreng pandhu kang bungkus warnane, majanani para dewa sami, pinecah tan keni, gagaman prang pupuh. Tinamakke brastha tan ngundhili, baya awaking ngong, ingkang bisa amecah bungkus kiye, pinarpekan cinubles sing gadhing, sinabet mawanti, bungkus mung kumedut. Sanityasa ginadhing mawanti, bungkus dadya atos, mendheng-mendheng dinulu warnane, gajah sena krodha nya tansipi, bungkus gya binanting, pecah ponang bungkus. Babar janma wali jageng inggil, sampun mawa prabot, pinarpekan sinander tinlale, dyan pinulet keket binanting, binuwang ing tebih, sinander tinubruk. Nadyan bungkus: tan karaseng sakit, nalika kawasoh, lir dinadah wuwuh
Sena) segera didekati. ii. Gajah Sena berbicara dalam hati, “apa gerangan ini manusiakah, putra Pandhu yang berbentuk bungkus. Menjelma semua para dewa, (bungkus) tidak bisa dipecah (oleh) senjata perang. iii. Senjatanya rusak tidak berguna, apakah hamba yang bisa memecah bungkus ini.” (Bungkus) ditusuk dengan gadingnya, dipukul berulang-ulang (tetapi) bungkusnya hanya berdenyut. iv. Senantiasa (dipukul) dengan gading, bungkusnya menjadi keras, walaupun dilihat bentuknya lembut. Gajah Sena marah sekali, bungkus itu segera dibanting, pecah bungkus tersebut. v. Keluar manusia yang besar, sudah membawa peralatan, ditangkap di belalai (Gajah Sena) kemudian dikekap sekaligus dibanting, dibuang jauh lalu dikejar dan ditubruk. vi. Walaupun sang bungkus tidak merasakan sakit saat dimain-mainkan seperti diurut, bertambah kekuatannya (sang bungkus). Si raden bungkus besar diinjak (kakinya) saat diinjakkan ditanah. Raden bungkus dipukul dengan gading. vii. Kaget hatinya (Bratasena) dan berdiri,
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
136
Serat Bima Bungkus
Bratasena
29.
karosane, gung den idak winejeg neng siti, sinabeting gadhing, wau radyan bungkus. vii. Kagyating tyas madeg kasuraning, bramantya mrih kewoh, gajah sena cinandhak kang tlale, gya sinendhal karungkeb ing siti, cinandhak binanting, suh kuwandanipun. viii. Ambaledug sirna tan kaeksi, jatine wus awor, gajah Sena sumusub anggane, mring dyan bungkus wus awor yit maning, woring roh kewani, wau radyan bungkus. (hlm. 60-61) 2.02.03.20. i. Eh wruhan ta kulup ingsun iki, regi nrada ing ngong, sun dita mring hyang wasesane, kinen paring wikan mring sireki, sira pandhu siwi, ingkang mijil bungkus. ii. Paring warsa: pinecah tan keni, tuhu karya gawok, sinetrake neng wana wus suwe, wus karsaning sang hyang ujwaladi, tumekeng samangkin pecah ireng bungkus. iii. Marmanira: sira neng wanadri, wus
marah sekali. Gajah Sena dipegang belalainya, lalu disentakkan (hingga) terjerembab di tanah, ditangkap dan dibanting, lebur badannya. viii. Meletus hilang tidak terlihat, jiwanya sudah bersatu. (Roh) Gajah Sena masuk kebadannya (sang bungkus) sudah menyatu, bercampur dengan roh kewani.
i.
“Ketahuilah wahai anakku, ini bukan kuasa ku, semua atas kuasa Tuhan, disuruh memberikan pengetahuan untukmu, pandhu siwi yang lahir dari bungkus. ii. Beberapa lama waktunya tidak bisa dipecah, membuat heran (banyak orang) lalu dibuang jauh kehutan sudah lama. Sudah maunya sang Hyang Ujwaladi, sampai sekarang pecah bungkusnya. iii. Oleh karena itu dia berada dihutan, sudah dibawakan peralatan yaitu kebaikan kemurahan hatinya Hyang Pramisthi
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
137
30.
Serat Bima Bungkus
Bratasena
31.
32.
amawa prabot, iya iku sing kaelokane, dengan kekuatan gaib dari Hyang Wisthi, tidak selesai jika berbicara. kamurahanira hyang pramisthi, gaiping iv. Diberinama Bratasena, anak sang raja hyang wisthi, tan wus yen den wuwus. Prabu Pandhu di Astina ...” iv. Sesiliha Bratasena kaki, yogane sang katong, kaki prabu pandhu Ngastinane ... (hlm 62) 2.02.04.01. Berita bahwa putranya terkenal sakti, berani. Kawarti putranipun, widikdaya prawira Kebetulan diminta untuk menolong, dibya nung, dhuh pukulun mugi kapareng menanggulangi raja raksasa. ing galih, pininta sraya tutulung, nanggulang reksasa katong. (hlm. 79) 2.02.04.02. i. “Wahai anakku Bratasena, apakah i. Eh bratasena kulup, sira sinaraya apa engkau sanggup dimintai bantuan menghadapi serangan Raja Raksasa, sanggup, ananggulang yudane reksasa membantu negara Tasikmadu yang aji, bantu nagri tasikmadu, kang tengah dikepung oleh musuh.” kinepung dening mungsuh. ii. Kemudian Bratasena berkata, suaranya ii. Dyan bratasena muwus, swaranira menggelegar seperti petir, menyeramkan gumleger li gluduhuk, gereng kadya seperti singa yang sedang makan, takut singa nalika nya bukti, weh giris kang saat sedang mendengar. Bratasena sanggup. samya ngrungu, bratasena matur sagoh (hlm. 79) 2.02.04.03. i. Kala Bantala melihat, kaget hatinya, i. Kala Bantala dulu, kagyating tyas: marah sekali kemudian menyerang dan hendak menyelesaikan perang. bramantya gya nempuh, mandhigan Kemudian Bratasena dipukul, sumedyan prang amungkasi, dyan (Bratasena) mengelak dan melompat
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
138
Serat Bima Bungkus
Bratasena
33.
bratasena pinupuh, dyan endha malumpat gupoh. ii. Tansah tinut pinupuh, Bratasena panggah datan mundur, sanityasa ginada mawant-wanti, Kala bantala rinebut, binanting madyeng palugon. iii. Angganya remuk rempu, kuwandanya ajur tan kadulu, kyana patih Kala bantala ngemasi, yitmanya nuli sumusub, mring Bratasena wus awor. (hlm. 83) 2.02.04.04. i. Gapyak sareng anempuh, dulya sami asurung sinurung, kuwel gelut kikiwule silih ungkih, genti ngadhap genti luhur, walkangi jotos jinotos. ii. Samya suraning kewuh, sami nedheng tumambiring pupuh, tandhing samigung luhur sami taruni, mila ramene kalangkung, prang weh kiris kang samya nom. iii. Samya jagur jinagur, ruket keket sru dekung dinekung, li rupa pan banting binanting prasami, sami prayitna ing
tergesa-gesa. ii. Selalu diikuti dan dipukul, Bratasena tetap tidak mundur, senantiasa dipukul dengan gada berkali-kali. Kala Bantala ditarik, dibanting di tengah medan perang (oleh Bratasena). iii. Badannya hancur remuk tidak terlihat, sehingga Patih Kala Bantala mati di tempat. Rohnya masuk ke tubuh Bratasena, sudah bercampur satu.
i.
Saling menegur lalu menyerang, saling dorong-mendorong, bergumul dan menyerang saling menaklukkan, kadang diatas, kadang dibawah, belakang saling meninju. ii. Sama-sama berani (menantang) bahaya, sama-sama melontarkan pukulan, yang berkelahi sama-sama besar dan muda, sehingga gaduh dan perang menghasilkan kilap cahaya karena samasama muda. iii. Saling meninju, dekat hingga bersentuhan lutu, badannya saling banting, sama-sama ingat dalam bahaya, saling awas di (dalam) batin. iv. Saling hati-hati dalam bahaya, saling adu Universitas Indonesia
Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
139
Serat Bima Bungkus
Bratasena
34.
kewuh, wawas winawas ing batos. iv. Samya mulat mrih kewuh, cengkah dede mider sing gaulung, tuhu sami wasis kitha ing jurit, luwes lereh yudanipun, ngentrok kedibyan den ketok. v. Walsingsal bali gupuh, sami nyandhak gada bareng mupuh, kalih sami ing prang nedya amungkasi, tempuking gada kumepruk, mijil agni ting calorot. vi. Wau sang yaksa prabu, kaprawasaginada wus lampus, kuwandanya baleduk datan kaeksi, yitnane nuli sumusup, mring bratasena wus awor. (hlm. 84-85) 2.02.04.05. i. Kala maruta dulu, duk nalika gustinya kapikut, sigra mangsah kala maruta sru bindi, anitir mawantu wantu, Bratasena datan kraos. ii. Prawira kala ranu, duk tumingal mangsah sru amupus, bratasena tan kewran den rebut kalih, kalih sareng sru amupuh, gut guteng nyebrak
bukan berkeliling, tau sama-sama pandai dalam perang, rata perangnya, menghentak-hentakkan kesaktian yang terlihat. v. Lepas dan kembali tergesa-gesa, samasama mengambil gada dan bersamaan memukul. Keduanya sama-sama berkelahi hingga selesai, gada berpukulan, keluar api yang bercahaya. vi. Tadi sang prabu sudah mati, badannya meledak tidak terlihat. Rohnya masuk ketubuh Bratasena, kemudian bercampur.
i.
Kala Maruta melihat ketika tuannya ditangkap, segera berperang ramai Kala Maruta memukul dengan gada, terus menerus memukul (Bratasena), tetapi Bratasena tidak berasa. ii. Prawira Kala Ranu melihatnya berperang lalu mengikuti (Kala Maruta). Bratasena tidak kesulitan diserang dua orang. Keduanya bersamaan memukul terusmenerus, menggebu-gebu menyobek dan menggigit (Bratasena).
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011
140
Serat Bima Bungkus
Bratasena
35.
anyakot. iii. Curna punggeling siyung, ditya kalih limpung yudanipun, samya wuruki kiwule tan ngundhili, kalihnya kena rinebut, den adu komba lir waloh. iv. Gumepruk swaranipun, kuwandanya ajur kumur-kumur, yitmanira dwi raksasa: sami manjing, mring angganya raden bungkus, lir kalawa kang maksih nom. v. Candranipun ngrumpul kadi sekar pocung, bumi: lan dahana: angin warih catur warni, wus ngumpul ring angga nya dyan bratasena. (hlm. 85) 2.02.04.06. ... wuwuse pra dewa nguwuh, nguwuh muji jaya, anjayaken pandhu siwi, widigdaya prakosa prawireng yuda. (hlm. 86)
iii. Hancur diputus taring, kedua raksasa tadi memegang tombak dalam perang. Samasama diberi pelajaran, membalas yang tidak berguna. Keduanya ditarik dan kepalanya diadu seperti labu. iv. Suara kencang berbenturan, badannya hancur lebur. Roh kedua raksasa itu sama-sama masuk ke badan Raden Bungkus, seperti raksasa yang masih muda. v. Sifat-sifatnya berkumpul menjadi sekar pocung: tanah, api, angin dan air semuanya sudah berkumpul di badan Raden Bratasena.
... Tersebut oleh para dewa, saling memuji, menjayakan pandhu siwi (kelak) akan menjadi prawira perang yang sakti dan gagah perkasa.
Universitas Indonesia Nama diri ..., Fajar Billy Sandi, FIB UI, 2011