UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1969 TENTANG KONSTITUSI PERHIMPUNAN POS SEDUNIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Mengingat
:
a. bahwa Republik Indonesia sebagai anggota Perhimpunan Pos Sedunia (Union Postale Universelle), pada tanggal 10 Juli 1964 di Wina (Austria) telah menandatangani Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia; b. bahwa Konstitusi tersebut perlu disetujui dengan Undang‐undang; c. bahwa dengan berlakunya Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia pada tanggal 1 Januari 1966, maka Perjanjian Pos Sedunia dan Persetujuan‐persetujuannya di Ottawa tanggal 3 Oktober 1957 yang diratipisir oleh Republik Indonesia dengan Undang‐undang No. 5 tahun 1961 (Lembaran‐Negara tahun 1961 No. 2O, Tambahan Lembaran‐Negara No. 2159), dan guna memperlancar pembangunan perhubungan khususnya dibidang aktivitas Pos di Indonesia dipandang perlu untuk mencabut Undang‐undang No. 5 tahun 1961 tersebut. 1. Undang‐undang Dasar 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 11 dan pasal 20; 2. Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia 1964 pasal 25 Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG‐ROYONG MEMUTUSKAN
Dengan mencabut Undang‐undang No. 5 tahun 1961 tentang Perjanjian Pos Sedunia dan Persetujuan‐persetujuannya (Lembaran‐Negara tahun 1961 No. 20, Tambahan Lembaran‐Negara No. 2159); Menetapkan : UNDANG‐UNDANG TENTANG KONSTITUSI PERHIMPUNAN POS SEDUNIA DI WINA TAHUN 1964.
‐ 2 ‐ Pasal 1 Menyetujui Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia di Wina tanggal 10 Juli 1964 yang naskahnya dilampirkan pada Undang‐undang ini. Pasal 2 Undang‐undang ini mulai berlaku pada hari tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐undang ini dengan penempatannya kedalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1969. Presiden Republik Indonesia, TTD SOEHARTO Jenderal TNI. Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 25 Oktober 1969. Sekretaris Negara Republik Indonesia, TTD ALAMSYAH Mayor Jenderal T.N.I. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1969 NOMOR 53
PENJELASAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1969 TENTANG KONSTITUSI PERHIMPUNAN POS SEDUNIA DI WINA TAHUN 1964 I. A. KONGRES DAN TRAKTAT‐TRAKTAT PERHIMPUNAN POS SEDUNIA (UNION POSTALE UNIVERSELLE (UPU): 1. UPU sebagai singkatan dari Union Postale Universelle (Perhimpunan Pos Sedunia) adalah perhimpunan pos yang diikat oleh negara‐negara anggota yang kesemuanya merupakan daerah pos tunggal guna menjamin organisasi serta menjempurnakan dinas‐dinas pos dan menunjukan kerja sama internasional dalam bidang pos. UPU didirikan pada tahun 1874 dan sejak tahun 1947 merupakan salah satu dari specialized agencies dari PBB. Kedudukan daripada UPU dan badan ‐badan tetapnya adalah di Bern (Swiss). 2. Badan yang tertinggi dari UPU adalah kongres yang diadakan paling lambat lima tahun sekali, yang terakhir diadakan dalam tahun 1957 di Ottawa, setelah dua kali diundurkan, oleh karena penarikan diri dari Brazilia pada tahun 1962, India pada tahun 1963, maka Kongres ke‐XV ini akhirnya diselenggarakan di Wina (Austria) dari tanggal 29 Mei 1964 sampai dengan 10 Juli 1964. Apabila pada waktu Kongres Ottawa, UPU mencatat jumLah anggota 96 negara, maka pada Kongres Wina ini Jumlah anggota menjadi 125. 3. Sudah menjadi tradisi dalam Organisasi Perhimpunan Pos Sedunia (UPU) bahwa tiap‐tiap kongres, akta‐akta kongres yang terdahulu yang menjadi dasar hukum dari UPU diganti dengan yang baru. Pembaruan ini dilakukan dengan jalan menambah/menghapuskan ketentuan‐ketentuan organic menurut teknis yang ada dan/atau mengubah redaksinya. Perubahan‐perubahan yang acap kali harus dialami ini dirasakan kurang dalam tempatnya lagi, terlebih lebih terhadap akta daripada suatu perhimpunan dunia (World Organization) seperti UPU kebutuhan telah lama dirasakan pula sejak pada Kongres Ottawa 1957, yaitu untuk memiliki bagi UPU suatu konstitusi ataupun akta konstitutif yang memuat penetapan‐penetapan pokok yang menjamin kemantapan untuk selama‐ lamanya bagi UPU. Demikianlah Kongres UPU di Wina pada tahun 1964 telah berhasil mengadakan perubahan pada konvensi. Maka dengan meninggalkan tradisi yang hampir seabad Lamanya, maka kongres di Wina telah memutuskan untuk memecah konvensi pos
‐ 2 ‐
sedunia menjadi dua. Dalam akta yang satu yang permanent dimuat peraturan‐peraturan organik sesuai dengan yang dipunyai oLeh specialized agencies yang lain dari PBB. Maka konvensi yang dahulu dibagi menjadi: 1. Constitution de l'Union Postale Universelle (Kontitusi UPU); 2. Reglement General (Aturan Umum dari UPU); 3. Convention Postale Universelle (Perjanjian Pos Sedunia); 4. Reglement d'execution de le Convention (Aturan Pelaksanaan Perjanjian Pos Sedunia). 4. Untuk menjaga stabilitas konstitusi dan agar tidak mengalami perubahan‐perubahan pada tiap kongres, maka akta ini hanya memuat peraturan‐peraturan yang sungguh‐ sungguh essensial dan bersifat umum. Reglement General adalah pelengkap dari konstitusi dan memuat peraturan‐peraturan tentang jalannya UPU dan organ‐organnya. Konvensi dan aturan pelaksanaan hanya memuat peraturan‐peraturan tentang dinas pos internasional dan peraturan‐peraturan tentang dinas surat pos. 5. Sistem ratifikasi diubah demikian rupa, sehingga konstitusi saja yang perlu diratifikasi. Akta‐akta lainnya hanya perlu diratifikasi apabila undang‐undang sesuatu negara menghendakinya.
B. BAHASA Bahasa resmi dari UPU tetap bahasa Perancis. Akan tetapi tiap kumpulan negara yang mempergunakan bahasa yang sama, dapat minta agar diterjemahkan dalam bahasa yang diingini, seluruhnya atau sebagian dari dokumen ‐dokumen dari kongres, dewan atau komisi dan publikasi yang dikeluarkan oleh biro internasional dengan syarat bahwa ongkos penerjemahnya dipikul sendiri. Dengan demikian maka lebih banyak Negara dapat turut aktif dalam pembicaraan/perdebatan dalam kongres/dewan/komisi dan juga mengambil manfaatnya dari publikasi dari biro internasional. Indonesia pada waktu Kongres ke‐XV di Wina mempergunakan bahasa Inggris.
C. KEANGGOTAAN BARU Berlainan dengan prosedur menurut Konvensi Ottawa 1957, untuk menjadi anggota baru dari UPU tiap negara yang telah menjadi anggota PBB tidak perlu Lagi meminta persetujuan dari anggota lainnya, melainkan dapat secara unilateral minta menjadi anggota. Permintaan ini disampaikan kepada pemerintah negara Swiss, satu‐satunya negara yang kompeten untuk
‐ 3 ‐
menerima dan memberikan permintaan keanggotaan UPU atau permintaan turut serta dalam salah satu akta dari UPU dan ratifikasi dari akta‐akta tersebut.
D. BANTUAN TEKNIK Bantuan teknik mendapat perhatian istimewa dari kongres ini yang ternyata telah dicantumkan peraturan mengenai hal ini dalam artikel 1 ayat (3) dari konstitusi.
E. BUREAU INTERNATIONAL Nama Directeur du Bureau International diganti menjadi Directeur General du Bureau International. Badan tetap dari UPU ini yang mempunyai kedudukan di Bern (Swiss) tidak lagi di bawah pengawasan administrasi pos Swiss, melainkan di bawah pengawasan Pemerintah Konfederasi Swiss.
F. CONSEIL EXECUTIF Berhubung dengan sifat pekerjaannya, yaitu menjamin kelancaran jalannya UPU antara dua kongres masa "Commission Executive et de Liaison (CEl)" diubah menjadi "Conseil Executif (CE)". Dengan bertambahnya jumlah anggota UPU, yaitu dari 96 di Kongres Ottawa menjadi 125 di Kongres Wina, maka jumlah anggota CE pun ditambah dari 20 menjadi 27 yang terbagi untuk Zona Amerika 5, Zona Eropa Barat 5, Zona Eropa Timur dan Asia Utara 3, Zona Eropa Timur laut, Asia Selatan dan Oceania 7 dan Zona Afrika 7 orang. Indonesia telah dua kali berturut‐ turut menjadi anggota CEL, sehingga kali ini ia tidak berhak lagi untuk duduk dalam CE, yaitu menurut pasal 15 ayat (5) dari Konvensi Ottawa yang berbunyi:
" .... , aucum pays me peut etre choisi successivement pot trois congres" ("tiada satu negara pun dapat dipilih berturut‐turut oleh tiga kongres") . G. COMMISSION CONSULTATIVE DES ETUDES POSTALES (CCEP) (KOMISI KONSULTATIE PENYELIDIKAN POS)
Komisi ini diserahi tugas mengadakan studies dan memberikan advis mengenai soal‐soal teknis, eksploitasi dan ekonomis yang ada hubungannya dengan dinas pos.
‐ 4 ‐
Tiap anggota CEL otomatis menjadi anggota dari CCEP rapat pleno dari badan ini diadakan bersamaan dengan kongres UPU mengenai tempat dan waktunya. Badan ini merupakan suatu komisi dari kongres. Selanjutnya Kongres Wina telah memilih suatu Conseil de Gestion (Dewan Pengurus) terdiri dari 26 negara, yang berarti suatu penambahan dengan 6 anggota bila dibandingkan dengan Conseil de Gestion itu adalah sebagai berikut: (menurut urutan abjad Perancis): Jerman (Republik Federal), Amerika Serikat, Australia, Belgia, Cameroun, Columbia, Congo (Leopoldville), Denmark, Perancis, Inggris, Hauta‐Volta, India, Indonesia, Italia, Jepang, Kuwait, Maroko, Pakistan, negeri Belanda, Polandia, Republik Persatuan Arab, Swiss, Cekoslowakia, Thailand, Uni Soviet dan Yugoslavia. Conseil de Gestion pada prinsipnya mengadakan rapat satu kali setahun. Tugasnya adalah diwaktu antara 2 kongres untuk mengerjakan, mempelajari dan mengkoordinir pekerjaan‐ pekerjaan dari CCEP yaitu untuk soal‐soal teknik, eksploitasi dan ekonomi. Indonesia duduk dalam seksi eksploitasi. Biaya CCEP mengenai organisasinya dipikul oleh UPU akan tetapi ongkos jalan dan ongkos menginap dari utusan‐utusan untuk CCEP dan Conseil de Gestion ditanggung oLeh Negara anggota sendiri. Sebagai presiden dari Conseil de Gestion dipilih R. Joder dari Perancis.
H. COMITE D'ENSEIGNEMENT (KOMITE PENDIDIKAN) Oleh kongres telah disetujui suatu resolusi tentang organisasi suatu pendidikan yang didesentralisir yang akan mendidik dan mempertinggi mutu kader‐kader dari berbagai negara dan dengan demikian memperbaiki jalannya dinas pos dan hubungan‐hubungan internasional. Untuk keperluan itu telah dibentuk suatu badan baru yaitu "Comite d'Enseignement" terdiri dari anggota Conseil Executif dan 4 anggota Conseil de Gestion dari CCEP dan diketuai aleh presiden dari Conseil Executif. Kongres berpendapat bahwa komposisi dari Comite d'Enseignement itu harus berdasarkan pada prinsip bahwa sebagian besar harus terdiri dari negara‐negara yang sedang berkembang. Berhubung dengan itu maka Conseil de Gestion telah memilih Perancis, Indonesia, Maroko dan Uni Soviet untuk mewakilinya dalam Comite d'Enseignement sedangkan oleh Conseil Executif telah di tunjuk Argentina, India, Nigeria dan Republik Persatuan Arab.
Selanjutnya Swiss mengambil bagian dalam Comite d'Enseignement itu, tetapi dengan tidak ada hak suara.
‐ 5 ‐
Atas usul delegasi Indonesia maka ongkos jalan dan ongkos menginap untuk keperluan rapat‐ rapat Comite d'Enseignement ditanggung oleh UPU.
I. KEPUTUSAN ‐KEPUTUSAN TENTANG POS SURAT
1. Bea dan ketentuan‐ketentuan umum. Kongres telah memutuskan untuk tidak mengubah tarif‐tarif untuk surat‐surat dan kartu pos yang telah ditetapkan oleh kongres di Ottawa. Bea untuk barang cetakan, contoh dan bungkusan (petit paquet), dinaikkan 20%. Untuk "phonnopost" ditetapkan tarif uniform 20 contimes per 50 gram dan batas maksimum berat ditinggikan dari 300 gram menjadi 1 kg. Tarif untuk barang cetakan yang dialamatkan kepada alamat yang sama ditempat yang sama dan dimasukkan dalam kantong spesial adalah dihitung per‐50 gram dan tiap administrasi pos mempunyai wewenang untuk memberi reduksi sampai maksimum 10%.
2. Dokumen Kategori dokumen dihapuskan. Beberara di antaranya dapat dikirim sebagai barang cetakan.
3. Contoh Tidak diperkenankan mengirim barang dengan tariff contoh, apabila barang itu mempunyai harga.
4. Ketentuan‐ketentuan Baru tentang Penerimaan Surat Pos Diputuskan untuk mengkompletir dan menyusun lebih logis peraturan‐peraturan mengenai cara mengepak dan memberi alamat pada surat‐surat pos. Paling sedikit separuh sebelah kanan yang dipergunakan untuk menulis alamat harus dipergunakan pula untuk menempelkan prangko dan etiket‐etiket dinas. Alamat harus selalu ditulis dalam huruf latin dan angka Arab yang mudah dibaca. Nama dan alamat si pengirim dan si penerima harus dimuat di dalam surat pos. Administrasi pos tidak bertanggung jawab atas keputusan‐keputusan yang diambil oleh pihak pabean.
Peraturan‐peraturan mengenai cara mengepak surat pos yang hingga kini tersebar di beberapa bab, kini dikumpulkan dalam satu bab tersendiri, yang memuat pula
‐ 6 ‐
ketentuan‐ketentuan untuk mengepak surat pos berisi barang‐barang biologis yang mudah busuk dan barang‐barang mengandung radioaktif dan barang‐barang yang harus diserahkan kepada pabean.
5. Barang Cetak Diberi ketentuan‐ketentuan yang lebih lengkap tentang barang‐barang apa yang dapat dikirim dengan tarif barang cetak.
6. Barang yang Mengandung Radioaktif Diperkirakan dikirim melalui pos hanya dengan syarat‐syarat istimewa, tarifnya adalah tarif surat dan hanya boleh dikirim oleh orang ‐orang, badan‐badan yang telah diberi izin untuk mengirimkannya. Harus dikirim dengan jalan yang paling cepat, biasanya dengan pesawat terbang. Hanya boleh dikirim antara Negara‐negara yang telah menyetujuinya.
7. Bungkusan (Petit Paquet) Untuk selanjutnya pengiriman bungkusan diwajibkan. Hingga kini dinas ini adalah fakultatif.
8. Penaikan dari Beberapa Bea Diputuskan untuk meninggikan dari 40 centimes menjadi 60 centimes bea tercatat, bea inklaring, bea meminta kembali atau mengubah alamat dan bea antar bungkusan. Bea ekspres ditinggikan dari 60 centimes menjadi 80 centimes. Untuk bulk pos boleh dipungut bea tercatat makslmal 3 francs yang biasanya 60 centimes.
9. Tanggung Jawab si Pengirim Si pengirim bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan, apabila ia kurang memperhatikan cara mengepak kirimannya. Besar uang yang harus ia bayar tergantung dari besar uang yang ditetapkan oleh administrasi pos yang bersangkutan.
‐ 7 ‐
Untuk selanjutnya si penerima diperbolehkan meminta ganti kerugian apabila si pengirim tidak mau menerimanya. Administrasi pos tidak bertanggung Jawab atas pengisian daripada surat keterangan pabean.
10. Bea Transit Bea transit yang dikenakan untuk pengangkutan kantong‐kantong pos tertutup yang dipertukarkan antara administrasi‐administrasi pos dinaikkan.
11. Peraturan‐peraturan mengenai Pos Udara Peraturan‐peraturan mengenai pos udara yang sebelumnya terpisah tetapi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konvensi, oleh kongres diintegrasikan dalam konvensi.
12. Tarif‐tarif Dasar Angkutan Pos Melalui Udara Setelah perdebatan sengit, maka kongres memutuskan untuk mempertahankan status quo, jadi tetap menurut Konvensi Ottawa 1957.
J. BIAYA UPU Untuk masa 1958 (mulai berlakunya Konvensi Ottawa 1957) sampai 1962, Kongres Ottawa telah menetapkan batas 1.750.000 france emas, termasuk ongkos penyelenggaraan CEL dan CCEP, yang tidak boleh melebihi 250.000 france emas, berhubung dengan pengunduran Kongres ke–XV sampai dua kali, terpaksa oleh CEL untuk tahun 1962 dan 1965 dikeluarkan biaya yang sangat melebihi biaya yang ditetapkan Kongres Ottawa.
Hal ini dikecam keras oleh Uni Soviet dan Negara‐negara sosialis lainnya. Akhirnya kongres menyetujui laporan dari komisi‐komisi, yang telah menyetujui beleid CEL yang dibentuk oleh Kongres Ottawa. Untuk masa 1966 (mulai berlakunya Akta ‐Akta Wina 1964) sampai dengan kongres yang akan datang, maka Kongres Wina menetapkan bahwa biaya UPU tiap tahun tidak boleh melebihi 3.710.000 frances emas. Apabila jumlah ini terpaksa harus dilampaui, maka hal itu dapat dilakukan atas usul Conseil Executif oleh Pemerintah Konfederasi Swiss.
‐ 8 ‐
K. TEMPAT KONGRES YANG AKAN DATANG Tiga negara yaitu Jepang, India dan Cuba telah mencalonkan diri untuk menjadi tuan rumah kongres UPU yang akan datang yaitu pada tahun 1969. Dalam pungutan suara rahasia yang telah dilakukan, maka dengan suatu kemenangan yang sangat menonjol, yaitu dengan mendapatkan 77 suara, Jepang telah mendapatkan kehormatan untuk menerima kongres yang akan datang. Cuba untuk mana Indonesia telah memberikan suaranya, dapat mengumpulkan 20 suara, sedangkan India hanya mendapatkan 16 suara.
L. CONSIDERANS Huruf c di bawah "Menimbang" dianggap perlu untuk menegaskan, bahwa Akta‐Akta Ottawa mulai tanggal 1 Januari 1966 tidak berlaku lagi, lepas dari soal ratifikasi Konstitusi Wina 1964.
II. PENGAKHIRAN KONGRES DAN PENANDATANGANAN AKTA‐AKTA UPU Sidang kongres diakhiri pada tanggal 10 Juli 1964, sedangkan penandatanganan akta‐akta dilakukan pada hari itu juga di dalam "Salle des ceremonies" dari Istana Fofburg . Republik Indonesia menandatangani akta‐akta berikut: a. Konstitusi; b. Reglement Umum; c. Konvensi; d. Aturan pelaksanaan konvensi; e. Persetujuan tentang surat dan kotak dengan harga tanggungan; f. Persetujuan tentang paket pos; g. Persetujuan tentang wesel pos dan bea‐pos untuk perjalanan; h. Persetujuan tentang giro pos; i. Persetujuan tentang kiriman tembusan; j. Persetujuan tentang dinas tagihan. Yang tidak ditandatangani berhubung dirasa belum tiba waktunya: 1. Persetujuan tentang langganan surat kabar dan penerbitan berkala; 2. Persetujuan tentang dinas tabungan internasional.
‐ 9 ‐
Jadi dari delapan persetujuan yang fakultatif, (yang tersebut pada angka II dibelakang huruf c sampai dengan j dan pula angka 1 dan 2 Indonesia menjadi peserta dari enam persetujuan tersebut).
‐ 10 ‐
POS INTERNASIONAL PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1959 LN NOMOR 42; TLN NOMOR 1774 Anotasi
:
Mengingat :
1. Dengan undang‐undang ini dicabut: a. Internationaal Postbesluit 1948; (5. 1949‐75) b. Internationaal Postverordening 1948 (5. 1949‐76), sdut. terakhir dg. PP 42/1957, LN 1957‐96. 2. Porto ‐porto (pasal 4) yang kini berlaku tidak dimuat di sini, karena dapat berubah‐ubah setiap saat. Perubahan porto terakhir yang dimuat: dari tahun 1963 berdasarkan PP 24/1963. 1. Pasal 98 Undang‐Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; 2. Pasal 8 Undang‐Undang Pos (UU 4/1959, LN 1959‐12); 3. Undang‐Undang Nomor 29 tahun 1957 (LN 1957‐101). PENJELASAN ISTILAH Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini dimaksud dengan: a. surat, kartu pos, dokumen, barang cetakan, braille, contoh, bungkusan dan fonopos ialah surat pos‐surat pos yang tersebut dalam lajur pertama dari daftar tarif yang dimuat dalam pasal 49 ayat (1) dari Perjanjian Pos Sedunia Ottawa Tahun 1957 dan yang disebut di sana masing‐masing "lettres", "cartes postales" "papiers d'affaires", "imprimes", "impressions en relief a l'usage des aveugles", "echantillons de marchandises", "petits paquets" dan "envois phonopost"; b. surat pos: semua yang tersebut bawah a; c. kotak: "boites ave" valeur declaree", yang dimaksud dalam pasal 1 dari persetujuan tentang Surat dan Kotak dengan Harga Tanggungan Ottawa Tahun 1957; d. pos paket: "colis postaux", yang dimaksud dalam pasal 1 dari persetujuan tentang Pos Paket Ottawa 1957; e. pos wesel: "mandats de poste" yang diatur dalam persetujuan tentang Pos Wesel Ottawa 1957; f. tebusan: "remboursements" yang diatur dalam persetujuan tentang Tebusan Ottawa 1957; g. tagihan uang: "recouvrements" yang di atur dalam persetujuan tentang Tagihan Uang Ottawa 1957; h. porto dan bea: porto atau bea yang harus dibayar di Indonesia untuk perhubungan pos dengan luar negeri.
‐ 11 ‐
BERLAKUNYA KETENTUAN‐KETENTUAN DARI "PERATURAN POS DALAM NEGERI" UNTUK PERHUBUNGAN POS DENGAN LUAR NEGERI Pasal 2 Sejauh dalam peraturan pemerintah ini tidak ditetapkan lain, ketentuan‐ketentuan dari "Peraturan Pos Dalam Negeri" berlaku dalam semua hal, yang tidak ditetapkan dengan cara yang mengikat dalam Perjanjian Pos Sedunia atau dalam persetujuan‐persetujuan yang tersebut dalam pasal 1, maupun dalam protocol final dan peraturan penyelenggaraannya. KETENTUAN TENTANG KIRIMAN‐KIRIMAN YANG DI DALAM PERATURAN‐PERATURAN INTERNASIONAL DITETAPKAN SEBAGAI FAKULTATIF Pasal 3 (1) Dalam perhubungan dengan negara‐negara bersedia mengerjakannya, diperkenankan: a. bungkusan; b. fonopos; c. surat pos tercatat dengan tebusan; d. pos paket dengan tebusan atau tidak; e. surat, kotak dan pos paket dengan harga tanggungan, dengan tebusan atau tidak; f. surat pos tercatat, kotak dan pas paket pengirimnya bersedia menanggung semua bea pos dan bea‐bea lainnya, yang mungkin dikenakan atas kiriman itu waktu penyerahannya; g. pos wesel, dengan kurs yang ditetapkan oleh direktur jenderal; h. kiriman dan pos wesel dengan antaran ekspres; i. penagihan uang dengan kuitansi. (2) Barang‐barang yang dikenakan bea‐masuk dapat dimasukkan dalam surat dan contoh yang ditujukan ke Indonesia. PORTO‐PORTO Pasal 4 (1) (sdu. dg. PP 24/1963) Porto yang harus dibayar dimuka untuk surat pos ditetapkan sebagai berikut :
‐ 12 ‐
a. surat yang tidak lebih dari 20 gram: 1200 sen dan untuk setiap 20 gram atau bagian dari 20 gram berikutnya, 750 sen; b. kartu pos dan untuk masing‐masing dari kedua bagian dari kartu pos kembar, 750 sen; c. dokumen, barang cetakan dan contoh, 250 sen setiap 50 gram, dengan minimum 1200 sen untuk dokumen dan contoh; d. bungkusan, 500 sen setiap 50 gram atau bagian dari 50 gram, dengan minimum 2.500 sen; e. fonopos tidak lebih dari 20 gram 900 sen, dan untuk setiap 20 gram atau bagian dari 20 gram berikutnya 600 sen; f. kotak, 1.000 sen setiap 50 gram, dengan minimum 5.000 sen.
(2) Untuk penetapan porto pos paket, sebagaimana diatur dalam persetujuan tentang Pos Paket Ottawa 1957, pasal 8 bagian‐biaya Indonesia terhitung : a. untuk angkutan di darat, sebanyak dua kali jumlah, yang ditetapkan dalam pasal 10 dari persetujuan tentang Pos Paket Ottawa 1957, ditambah dengan tambahan yang diperkenankan kepada Indonesia menurut pasal X protokol‐final dari persetujuan itu; b. untuk angkutan di Laut, sebanyak jumlah yang di tetapkan dalam pasal 11 dari persetujuan tentang Pos Paket Ottawa 1957, ditambah dengan kenaikan sebesar 50% yang diperkenankan menurut pasal 14 dari persetujuan itu. (3) Harga penjualan kupon balasan ditetapkan oleh direktur jenderal dengan memperhatikan peraturan Internasional yang berlaku. BEA‐BEA Pasal 5 Bea‐bea ditetapkan oleh direktur jenderal dengan persetujuan menteri dengan tidak melebihi maksimum jumlah‐jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian dan persetujuan‐persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1. SURAT KUMPUL Pasal 6 Direktur Jenderal menetapkan peraturan‐peraturan tentang mengerjakan surat‐surat yang diterima dari luar negeri, yang diduga berisi kumpulan surat‐surat untuk orang‐orang yang tidak termasuk anggota keluarga serumah tangga.
‐ 13 ‐
HUBUNGAN LUAR BIASA Pasal 7 (1) Dalam perhubungan dengan negara yang tidak ikut‐serta dengan satu atau beberapa dari persetujuan‐persetujuan yang tersebut pada pasal 1 dan dalam perhubungan dengan daerah‐ daerah yang tidak termasuk dalam Uni Pos Sedunia, porto dan bea untuk surat pos tidak berbeda dengan porto dan bea yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini, satu dan lain jika dinas itu dibuka dengan negara yang bersangkutan. (2) Direktur Jenderal berwenang untuk mengadakan peraturan guna membuka dinas pos paket atau pos wesel yang langsung dengan administrasi pos dari suatu negara, yang tidak ikut‐serta dengan persetujuan tentang pos paket atau pos wesel, setelah memperoleh persetujuan dari menteri TINDAKAN‐TINDAKAN UNTUK MENJAMIN KELANCARAN DINAS POS INTERNASIONAL Pasal 8 Direktur Jenderal berwenang untuk mengambil tindakan‐tindakan selanjutnya yang perlu untuk menjamin kelancaran dinas pos internasional. KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Peraturan pemerintah ini disebut "Peraturan Pos Internasional" dan mulai berlaku pada tanggaL 1 Juli 1959. Diundangkan pada tanggal 1 Juli 1959.
‐ 14 ‐
PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) POS DAN GIRO MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 1995 LN NOMOR 11 Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang‐Undang Dasar 1945; 2. Kitab Undang‐Undang Hukum Dagang (S. 1847‐23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang‐Undang Nomor 4 Tahun 1971 (LN 1971‐20, TLN 2959); 3. Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk‐bentuk Usaha Negara (LN 1969‐2890), menjadi undang‐undang (LN 1969‐40, TLN 2904); 4. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos (LN 1984‐28, TLN 3276); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (persero) (LN 1969‐21, TLN 2894) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 (LN 1972‐32, TLN 2987); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (perjan), Perusahaan Umum (perum) dan Perusahaaan Perseroan (persero) (LN 1983‐3, TLN 3246) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1983 (LN 1983‐37); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1985 tentang PenyeLenggaraan Pos (LN 1985‐53, TLN 3303).
BAB I PENGALIHAN BENTUK DAN PEMBUBARAN Pasal 1 (1) Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1984 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Undang undang Nomor 9 Tahun 1969. (2) Dengan dialihkannya bentuk Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut, dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang bersangkutan.
‐ 15 ‐
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah untuk menyelenggarakan: a. Usaha jasa pos dan giro; b. Usaha usaha lain yang menunjang penyelenggaraan usaha jasa pos dan giro sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. BAB III MODAL PERSERO Pasal 3 (1) Modal Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang ditempatkan dan disetor pada saat pendiriannya berasal dari kekayaan Negara yang tertanam dalam Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro. (2) Nilai kekayaan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan hasil perhitungan bersama oleh Departemen Keuangan dan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. (3) Ketentuan ketentuan lain mengenai permodalan Perusahaan Perseroan (PERSERO) diatur dalam Anggaran Dasarnya, termasuk ketentuan modal dasar Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang terbagi atas saham saham sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972. (4) Neraca pembukaan Perusahaan Perseroan (PERSERO) ditetapkan oleh Menteri Keuangan. BAB IV PELAKSANAAN PENDIRIAN PERSERO Pasal 4 Pelaksanaan pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan menurut Ketentuan ketentuan Kitab Undang undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang undang Nomor 4
‐ 16 ‐
Tahun 1971 dengan memperhatikan ketentuan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972. Pasal 5 (1) Penyelesaian pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikuasakan kepada Menteri Keuangan. (2) Menteri Keuangan dapat menyerahkan kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan disertai hak substitusi kepada Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dengan ketentuan bahwa Rancangan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Terhitung sejak berdirinya Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan dibubarkannya Perusahaan Umum (PERUM) Pos dan Giro, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1984 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Keuangan dan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi baik secara bersama maupun sendiri sendiri sesuai dengan tugasnya masing‐masing. Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1995.
‐ 17 ‐
PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 LN NOMOR 108; TLN NOMOR 5981 Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang‐Undang Dasar 1945; 2. Undang‐undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda‐tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya; 2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi; 3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi; 4. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio; 5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi; 6. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi; 7. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, atau instansi pertahanan keamanan negara; 8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi; 9. Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi bumi, berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio; 10. Stasiun radio adalah satu atau beberapa perangkat pemancar atau perangkat penerima atau gabungan dari perangkat pemancar dan penerima termasuk alat perlengkapan yang diperlukan disatu lokasi untuk menyelenggarakan komunikasi radio;
‐ 18 ‐
11. Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan mempergunakan gelombang radio; 12. Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh pusat masa satelit; 13. Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita frekuensi radio; 14. Pita frekuensi radio adalah bagian dari spektrum frekuensi radio yang mempunyai lebar tertentu; 15. Kanal frekuensi radio adalah bagian dari pita frekuensi radio yang ditetapkan untuk suatu stasiun radio; 16. Alokasi frekuensi radio adalah pencantuman pita frekuensi tertentu dalam tabel alokasi frekuensi untuk penggunaan oleh satu atau lebih dinas komunikasi radio teresterial atau dinas komunikasi radio ruang angkasa atau dinas radio astronomi berdasarkan persyaratan tertentu. Istilah alokasi ini juga berlaku untuk pembagian lebih lanjut pita frekuensi tersebut di atas untuk setiap jenis dinasnya. 17. Penetapan (assignment) pita frekuensi radio atau kanal frekuensi radio adalah otorisasi yang diberikan oleh suatu administrasi dalam hal ini Menteri kepada suatu stasiun radio untuk menggunakan frekuensi radio atau kanal frekuensi radio berdasarkan persyaratan tertentu. 18. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi. BAB II PEMBINAAN Pasal 2 Pembinaan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit dilakukan oleh Menteri. Pasal 3 (1) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri melaksanakan fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. (2) Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang‐kurangnya meliputi : a. perencanaan penggunaan spektrum frekuensi radio dan lokasi satelit pada orbit; b. penentuan prioritas penggunaan spektrum frekuensi radio; c. pendayagunaan spektrum frekuensi radio dan lokasi satelit pada orbit; d. perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio dan lokasi satelit pada orbit; e. Penelitian dan pengembangan penggunaan spektrum frekuensi radio dan lokasi satelit pada orbit seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi;
‐ 19 ‐
f. koordinasi penggunaan frekuensi radio dan lokasi satelit pada orbit dalam rangka mendukung kepentingan nasional; g. monitoring, observasi dan penertiban penggunaan spektrum frekuensi radio. BAB III SPEKTRUM FREKUENSI RADIO Bagian Pertama Perencanaan Pasal 4 Dalam perencanaan penggunaan spektrum frekuensi radio harus diperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. mencegah terjadinya saling mengganggu; b. efisien dan ekonomis; c. perkembangan teknologi; d. kebutuhan spektrum frekuensi radio di masa depan; dan/atau e. mendahulukan kepentingan pertahanan keamanan negara, keselamatan dan penanggulangan keadaan marabahaya (Safety and Distress), pencarian dan pertolongan (Search and Rescue/ SAR), kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum. Pasal 5 (1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinyatakan dalam tabel alokasi frekuensi radio. (2) Ketentuan mengenai tabel alokasi frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri. Pasal 6 Perencanaan penggunaan spektrum frekuensi radio meliputi : a. perencanaan penggunaan pita frekuensi radio (band plan); dan b. perencanaan penggunaan kanal frekuensi radio (channeling plan)
‐ 20 ‐
Bagian Kedua Penggunaan Pasal 7 (1) Penggunaan frekuensi radio oleh kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia hanya dipakai untuk keperluan : a. laporan masuk; dan b. laporan ke luar. (2) Laporan masuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan sebelum kapal berbendera asing memasuki wilayah perairan Indonesia. (3) Laporan keluar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan saat kapal berbendera asing keluar dari wilayah perairan Indonesia. Pasal 8 (1) Penggunaan frekuensi radio oleh kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia selain dipakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dapat pula : a. digunakan untuk kepentingan keselamatan kapal dan pelayaran, navigasi pelayaran, keamanan negara, pencarian dan pertolongan (SAR), bencana alam, keadaan marabahaya, wabah; atau b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran. (2) Ketentuan mengenai tatacara penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri. Pasal 9 (1) Penggunaan frekuensi radio oleh pesawat udara sipil asing yang beroperasi dari dan ke wilayah udara Indonesia dipakai untuk keperluan : a. laporan masuk; dan
‐ 21 ‐
b. laporan ke luar. (2) Laporan masuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. dilakukan sebelum pesawat udara sipil asing memasuki wilayah udara Indonesia. (3) Laporan keluar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. dilakukan sebelum pesawat udara sipil asing keluar dari wilayah udara Indonesia. Pasal 10 (1) Penggunaan frekuensi radio oleh pesawat udara sipil asing yang beroperasi dari dan ke wilayah udara Indonesia selain dipakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat pula : a. digunakan untuk kepentingan keselamatan lalulintas penerbangan, navigasi penerbangan, keamanan negara, pencarian dan pertolongan (SAR), bencana alam, keadaan marabahaya, wabah; atau b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan. (2) Ketentuan mengenai tatacara penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 11 (1) Alokasi pita frekuensi radio bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara ditetapkan oleh Menteri. (2) Perencanaan dan penggunaan atas alokasi pita frekuensi radio untuk keperluan pertahanan negara ditetapkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia. (3) Perencanaan dan penggunaan atas alokasi pita frekuensi radio untuk keperluan keamanan negara ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
‐ 22 ‐
Pasal 12 Penggunaan kanal frekuensi radio untuk kerperluan pertahanan keamanan Negara ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Panglima Tentara Nasional Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 13 (1) Panglima Tentara Nasional Indonesia memberitahukan perencanaan dan penggunaan atas alokasi pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara kepada Menteri. (2) Kepala Kepolisian Republik Indonesia memberitahukan perencanaan dan penggunaan atas alokasi pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara kepada Menteri. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mencakup hal‐hal sebagai berikut : a. pita dan atau kanal frekuensi radio yang digunakan; b. lokasi penggunaan stasiun radio; dan c. spesifikasi teknis. Pasal 14 (1) Menteri dapat menetapkan penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio. (2) Penetapan pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio yang digunakan secara bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dikoordinasikan dengan pengguna yang sudah ada atau antar pengguna. (3) Penetapan penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio harus memenuhi prinsip efisiensi dan tidak saling mengganggu. (4) Pelaksanatan penetapan penggunaan bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) mengikuti ketentuan internasional.
‐ 23 ‐
Pasal 15 Penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dapat berbentuk pembedaan waktu, wilayah, atau teknologi. Pasal 16 Penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dengan pengguna di negara lain harus dikoordinasikan oleh Administrasi Telekomunikasi Indonesia dengan administrasi telekomunikasi negara dimaksud. Bagian Ketiga Perizinan Pasal 17 (1) Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi wajib mendapatkan izin Menteri. (2) Izin penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan penetapan penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk pita frekuensi radio atau kanal frekuensi radio. (3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan ketentuan operasional penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 18 (1) Izin penggunaan spektrum frekuensi radio dalam rangka penyelenggaraan telekomunikasi diberikan melalui tahapan pengalokasian frekuensi radio dan penetapan penggunaan frekuensi radio. (2) Pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio wajib melaporkan rencana penempatan stasiun radionya kepada Menteri. (3) Dalam hal rencana penempatan stasiun radio dapat mengganggu stasiun radio lain, pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio harus merubah rencana penempatan stasiun radio dan atau parameter teknisnya.
‐ 24 ‐
(4) Pelaporan penempatan stasiun radio harus disertai parameter‐parameter teknis. Pasal 19 Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Menteri menetapkan izin stasiun radio sesuai hasil analisa teknis. Pasal 20 (1) Spektrum frekuensi radio dapat digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan telekomunikasi yang bersifat sementara. (2) Penggunaan spektrum frekuensi radio yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun. (3) Izin penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam bentuk izin stasiun radio sementara. (4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 21 (1) Permohonan izin penggunaan spektrum frekuensi radio diajukan secara tertulis kepada Menteri. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk penggunaan frekuensi radio bagi penyelenggaraan telekomunikasi, harus dilengkapi dengan salinan izin prinsip. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk pengembangan penyelenggaraan telekomunikasi, harus dilengkapi dengan salinan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimilikinya. Pasal 22 Permohonan izin penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan, dinas khusus, sistem komunikasi radio lingkup terbatas dan sistem komunikasi radio dari titik ke titik tidak perlu menyertakan izin prinsip dan atau izin penyelenggaraan telekomunikasi.
‐ 25 ‐
Pasal 23 (1) Izin stasiun radio untuk penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk pita frekuensi radio diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 10 (sepuluh) tahun. (2) Izin stasiun radio untuk penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk kanal frekuensi radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun. Pasal 24 (1) Pemegang izin stasiun radio yang telah habis masa perpanjangannya dapat memperbaharui izin stasiun radio melalui proses permohonan izin baru. (2) Pemegang izin stasiun radio sebagimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh prioritas dalam proses permohonan izin baru. Pasal 25 (1) Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. (2) Izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri. Pasal 26 Frekuensi radio yang tidak digunakan lagi wajib dikembalikan kepada Menteri. Bagian Keempat Realokasi Frekuensi Radio Pasal 27 (1) Realokasi frekuensi radio dilakukan karena adanya perubahan alokasi frekuensi radio internasional dan atau penyesuaian peruntukannya. (2) Menteri menetapkan alokasi frekuensi radio baru sebagai pengganti alokasi frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
‐ 26 ‐
(3) Dalam pelaksanaan realokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri memberitahukan rencana realokasi frekuensi radio kepada pemegang izin stasiun radio sekurang‐kurangnya 2 (dua) tahun sebelum penetapan alokasi frekuensi radio baru. Pasal 28 Dalam hal realokasi frekuensi dilakukan sebelum izin stasiun radio berakhir, pengguna spektrum frekuensi radio baru wajib mengganti segala biaya yang ditimbulkan akibat realokasi frekuensi radio kepada pengguna spektrum frekuensi radio lama. Bagian Kelima Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio Pasal 29 (1) Setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. (2) Dalam menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio digunakan formula dengan memperhatikan komponen : a. jenis frekuensi radio; b. lebar pita dan atau kanal frekuensi radio; c. luas cakupan; d. lokasi; e. minat pasar. (3) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat izin stasiun radio diterbitkan. (4) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dibayar dimuka setiap tahun. Pasal 30 Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dibebankan secara penuh kepada masing‐masing pengguna.
‐ 27 ‐
Pasal 31 (1) Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi yang tidak dikenakan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio meliputi : a. telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara; b. telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas khusus; c. telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah yang digunakan oleh perwakilan negara asing di Indonesia ke dan atau dari negara asal berdasarkan azastimbal balik. (2) Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi yang tidak dikenakan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV ORBIT SATELIT Bagian Pertama Penggunaan Pasal 32 (1) Penyelenggara telekomunikasi yang akan menggunakan satelit wajib mengajukan permohonan pendaftaran penggunaan satelit secara tertulis kepada Menteri. (2) Permohonan sebagaimana dalam ayat (1) sekurang‐kurangnya memuat parameter teknis yang meliputi rencana lokasi satellit pada orbit, daerah cakupan, dan frekuensi radio yang akan digunakan. Pasal 33 (1) Menteri selaku Administrasi Telekomunikasi Indonesia mendaftarkan rencana penggunaan satelit ke International Telecommunication Union. (2) Pendaftran sebagimana dimaksud dalam ayat (1) mengikuti tahapan publikasi awal, koordinasi, dan notifikasi.
‐ 28 ‐
Pasal 34 (1) Menteri menetapkan penggunaan lokasi satelit pada orbit untuk penyelenggaraan telekomunikasi. (2) Masa berlaku penggunaan lokasi satelit pada orbit sesuai dengan umur satelit dan dapat diperpanjang. (3) Penetapan penggunaan lokasi satelit pada orbit untuk penyelenggaraan telekomunikasi tidak dapat dialihkan. Bagian Kedua Biaya Hak Penggunaan (BHP) Orbit Satelit Pasal 35 (1) Setiap penyelenggara telekomunikasi yang menggunakan lokasi satelit pada orbit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit. (2) Besaran biaya hak penggunaan orbit satelit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. (3) Dalam penetapan besarnya biaya hak penggunaan orbit satelit diperhatikan komponen : a. biaya pendaftaran; b. biaya koordinasi. (4) Biaya hak penggunaan orbit satelit dikenakan 1 (satu) kali sepanjang usia satelit dan dibayar dimuka. (5) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran biaya hak penggunaan orbit satelit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. BAB V PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 36 (1) Menteri melakukakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio dan atau orbit satelit.
‐ 29 ‐
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan kegiatan observasi, monitoring, dan penertiban. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 37 (1) Pengguna frekuensi radio harus melaporkan terjadinya gangguan terhadap frekuensi radio kepada Menteri. (2) Menteri melakukan upaya untuk mengatasi gangguan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Pasal 38 (1) Dalam hal sumber gangguan frekuensi radio berasal dari negara lain, Menteri melaksanakan koordinasi dengan negara asal gangguan. (2) Menteri dan administrasi telekomunikasi negara asal gangguan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan upaya bersama untuk menanggulangi gangguan frekuensi radio. (3) Menteri melaporkan terjadinya gangguan frekuensi radio, dan melaporkan hasil penanggulangan gangguan frekuensi radio kepada International Telecommuncation Union. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 8 September 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 2000.