UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1966 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ATAS ANGGARAN MONETER TAHUN 1966 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa Anggaran Moneter tahun anggaran 1966, sebagaimana ditetapkan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 No. 117) perlu ditambah dan diubah sesuai dengan kebijaksanaan pokok tertera dalam keterangan Pemerintah dalam Sidang pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada tanggal 16 Agustus 1966; Mengingat : 1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar; 2. Pasal-pasal 7, 8 ayat (2) dan 10 Ketetapan No. II/MPRS/ 1960, jo pasal 12 dan 17 No. VI/MPRS/1965; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXIII/MPRS/1966;
Dengan Persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN MONETER TAHUN ANGGARAN 1966, SEBAGAIMANA DITETAPKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 1965 (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NO. 117).
(1)
(2) (3) (4)
Pasal 1 Anggaran Belanja Routine ditambah dengan 12.310.000.000 Rupiah baru dan diperinci sebagai berikut : a. Belanja Pegawai dan Pensiun ditambah dengan 6.450.000.000 rupiah baru dan b. Belanja Routine lainnya ditambah dengan 5.860.000.000 rupiah baru. Anggaran Belanja untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dari Departemen-departemen dan Lembaga-lembaga Negara ditambah dengan 2.200.000.000 Rupiah baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Khusus ditambah dengan 2.260.000.000 Rupiah baru. Jumlah kenaikan kredit atas beban Anggaran Kredit pada akhir tahun anggaran 1966 ditambah dengan 250.000.000 Rupiah baru.
Pasal 2 Target penerimaan Negara untuk tahun 1966 diperkirakan bertambah dengan 318.000.000 Rupiah baru. Pasal 3 Ketentuan dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) serta pasal 6 Undang-undang No. 22 Tahun 1965 tentang Anggaran Moneter tahun Anggaran 1966 ditiadakan. (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Khusus selama tahun Anggaran 1966 masih dapat digunakan secara administratif dengan pengertian, bahwa baik perencanaan serta pelaksanaannya, maupun pelaporan dan pertanggungan jawabnya dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Routine atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Pembangunan. Pasal 4 Kata-kata "Presidium Kabinet Dwikora Republik Indonesia" diganti dengan kata-kata "Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia". (1)
Pasal 5 Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara (I.C.W.) yang bertentangan dengan bentuk dan susunan Undang-undang ini tidak berlaku lagi. Pasal 6 Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan mempunyai daya surut, sepanjang pasal 3 dan pasal 4 sampai dengan tanggal 28 Juli 1966 dan sepanjang pasal-pasal lainnya sampai dengan tanggal 1 Januari 1966. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 31 Desember 1966 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SUKARNO. Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 31 Desember 1966 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOHD. ICHSAN. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1966
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1966 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN MONETER TAHUN 1966
1. UMUM 1.
Landasan pokok yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Moneter 1966 adalah Penetapan Presiden No. 26 tahun 1965 tertanggal 22 November 1965 yang menentukan kebijaksanaan pokok mengenai Anggaran Rutin; Anggaran Pembangunan, Anggaran Kredit, Anggaran Devisa dan mengenai lain soal dalam bidang ekonomi/keuangan Negara. Sangat disayangkan bahwa rencana-rencana yang disusun berdasarkan landasan pokok di atas belum realistis dan masih banyak terdapat kesimpangsiuran dan miscalculations lebih-lebih dalam penyelenggaraan secara kuantitatif dari Anggaran Negara masih belum terkikis habis usaha-usaha untuk mendahulukan kepentingan politik diatas kepentingan perekonomian nasional. Soal-soal yang langsung mempengaruhi kehidupan rakyat belum mendapatkan perhatian yang wajar. Keadaan pemikiran ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut oleh karena itu MPRS mengadakan sidangnya ke-IV dengan hasil antara lain pembentukan Kabinet Ampera dan penentuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan yang baru. Dengan demikian Kabinet Ampera wajib dan harus berani menerima warisan keadaan ekonomi yang sudah bobrok ini sebagai suatu realitas dan atas puing-puing peninggalan golongan Gestapu/PKI inilah dibangun suatu landasan baru untuk menuju keadaan ekonomi yang sehat. Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS dimaksud, oleh Kabinet Ampera telah disusun strategi dasarnya dengan pembabakan yang jelas yakni yang mengenai tahun Anggaran 1966 ialah fase penyelamatan yang meliputi masa 6 bulan terakhir dari tahun 1966.
2.
Untuk sekedar menggambarkan perkembangan dari Anggaran Moneter tahun Anggaran 1966, yang telah ditetapkan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1965, pada waktu Kabinet Ampera mengoper warisan dari Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi, maka bersama ini dilampirkan perangkaan mengenai ikhtisar Anggaran Moneter tahun anggaran 1966 (Lampiran I). Jumlah-jumlah rupiah yang dinyatakan dalam penjelasan ini serta lampiran-lampirannya adalah nilai rupiah baru.
3.
Lampiran I memperlihatkan sekaligus Induk, Realisasi s/d Juli 1966. Taksiran realisasi pengeluaran Agustus s/d Desember 1966. Taksiran realisasi tahun 1966 dan Anggaran Tambahan 1966 serta defisit Anggaran Moneter untuk masing-masing masa. Realisasi Anggaran Moneter semenjak 1 Januari 1966 s/d 31 Juli 1966 yaitu masa aktivitas Kabinet Dwikora, Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi sudah berjumlah Rp. 9.232 juta atau 134,2% dari plafond setahun penuh sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1965. Sehingga jelas bahwa plafondering semula, baik secara menyeluruh maupun secara terperinci menurut tiap komponen Anggaran Moneter tidak dapat lagi dipakai sebagai landasan untuk dijadikan pedoman bagi Kabinet Ampera. yang dilantik pada tanggal 28 Juli 1966, dalam melaksanakan program-programnya secara kuantitatif.
Dalam hubungan kenyataan itu dikemukakan disini, bahwa sungguhpun waktu memajukan laporan perhitungan 1966 tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1965, namun Pemerintah ingin memajukan selekas mungkin Anggaran Tambahan 1966 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk memperoleh persetujuannya sebelum disampaikan Rencana Undangundang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk Anggaran Moneter 1967 kepada Dewan itu; lagi pula hal itu kiranya lebih sesuai dengan makna ayat (2) pasal 9 Undang-undang No. 22 tahun 1965. Lampiran I memperlihatkan pula besarnya defisit yang sudah dialami Negara dalam 7 bulan pertama tahun 1966 yang menjadi sebab utama dari kenaikan uang beredar. Defisit Anggaran Moneter untuk masa tersebut sudah berjumlah Rp. 6.683 juta; dengan demikian jumlah uang beredar pada akhir Juli 1966 menjadi Rp. 2.688 juta + Rp.6.683 juta = Rp. 9.371 juta, berarti suatu persentasi kenaikan uang beredar sebesar 248.6% terhadap jumlah uang beredar pada akhir 1966. Menurut laporan angka-angka Mingguan No. 452 dari BNI Unit jumlah uang beredar pada awal 1965 adalah Rp. 675 juta, sedangkan jumlah itu pada akhir Juli 1965 meningkat sampai Rp. 1.250 juta atau kenaikan sebesar Rp. 575 juta = 85,2%. Dapat diambil kesimpulan, bahwa arus inflasi dalam 7 bulan pertama dalam tahun 1966 adalah sangat meningkat. Malahan lebih gesit jika dibandingkan dengan arus inflasi dalam 7 bulan pertama dalam tahun 1965 (248,6% lawan 85,2%). Tidaklah sulit dipahami, bahwa segala itu menambah lagi kepincangan serta ketidakseimbangan yang mencolok antara gaji/upah, biaya produksi, harga/tarif dan pendapatan Negara. Dalam tingkat inflasi, dan kenaikan harga yang terus meningkat itu dengan sendirinya diperlukan pembiayaan nominal yang sangat meninggi pula, bila diinginkan bahwa hasil fisik pembangunan serta daya fisik pelaksanaan tugas rutin sesuai dengan keputusan MPRS sidang ke-IV No. XXIII dipertahankan pada nilai riil yang sama walaupun pembangunan dibatasi hanya pada melanjutkan proyek-proyek yang sudah dimulai dan yang erat hubungannya dengan pemulihan produksi di bidang pangan, ekspor dan sandang beserta pemulihan prasaran ekonomis yang berhubungan dengan bidang-bidang tersebut dan walaupun dalam bidang Anggaran rutin telah dimulai dengan penyederhanaan dan penghematan dalam aparatur Negara. Melihat kepada laju inflasi yang telah berlangsung itu, tingkat harga adalah sulit untuk dapat dikendalikan. Kalau diteliti sebab-musabab dari meng-"gilanya"arus inflasi kiranya mudah dipahami, jika diketahui bahwa hal tersebut telah mulai "sangat meningkat pada masa kerja Kabinet Dwikora dan tambah lagi dalam masa Kabinet Dwikora yang diperbaharui yang masingmasing mempunyai program kerja yang tidak dikoordinasikan, malahan yang sangat dapat dikatakan simpang siur dalam perencanaan, yang diliputi oleh salah urus, salah duduk, pemborosan, birokrasi, korupsi dan sebagainya dan dalam pelaksanaannya tidak ada pengawasan dan kaburnya tanggung jawab dan pertanggungan jawab. Di samping itu tragedi Nasional gerakan kontra revolusi G.30.S/PKI yang terkutuk itu tentu dengan segala akibatnya meninggalkan pula bekasnya dan meninggalkan pula beban-beban baru. 4.
Sekedar untuk mengetahui kenaikan dalam tingkat harga umum dengan maksud untuk dapat menilai secara global anggaran tambahan 1966 yang kini dimajukan sebesar Rp. 17.020 juta disini disajikan perhitungan ala kadarnya tentang efek berganda (multiplier) kenaikan uang beredar terhadap tingkat harga umum. Sudah barang tentu bahwa efek berganda itu bagi berbagai macam barang adalah sangat berlainan mengingat fungsi barang itu serta kedudukannya yang khas dalam peredaran barang dan uang serta kehidupan.
Sudah menjadi kelaziman bahwa indeks biaya hidup dianggap menggambar resultante daripada komponen-komponen yang mempengaruhi pembentukan harga dan untuk itu dilampirkan disini daftar perhitungan sepanjang mengenai indeks biaya hidup di Jakarta (lihat lampiran II). Daftar dimaksud memperlihatkan, bahwa perbandingan kenaikan uang beredar tidaklah berbanding langsung (niet rechtvenredig) dengan perbandingan kenaikan harga. Kalau efek berganda per akhir Juli 1965 1,11 digunakan untuk menghitung indeks biaya hidup per akhir Juli 1966, maka akan didapat indeks sebesar (1,11 X 249%) + 100% atau 349/100 X 36.347 = 126.851 (tercatat dalam statistik 149.609), tentunya perbedaan itu disebabkan oleh pengaruh kenaikan antara Juli 1965 dan Desember 1965. Dapat dikatakan, bahwa tingkat harga akhir bulan Juli 1966 adalah ± 3,49 harga pada awal 1966. Akan tetapi registrasi menunjukkan bahwa efek berganda per akhir Juli 1966 adalah 1,25. Ini berarti, bahwa kenaikan uang beredar sebesar 249% mengakibatkan kenaikan harga secara umum dengan 1,25 X 249% = 3,11 kali atau tingkat harga umum menjadi 4,09 X harga pada awal 1966. Tindakan Moneter (pengganti mata uang) yang dilakukan Pemerintah (Kabinet Dwikora) menjelang akhir tahun 1965 memburukkan keadaan ekonomi/keuangan yang sudah sangat gawat itu dan merupakan suatu sebab melonjaknya harga-harga sebagai digambarkan secara global di atas. Untuk indeks biaya hidup hal itu berarti bahwa indeks akhir Juli 1966 akan menjadi 4,11 X 36,347 = 149,386 (tercatat dalam statistik 149,609). Efek berganda per 30 Juni 1966 menurut perhitungan adalah 1,12 (lihat lampiran 11). Persentase kenaikan uang beredar adalah 249%, sehingga kenaikan harga diperkirakan adalah 1,12 X 249% 278,9%, dengan sendirinya tingkat harga adalah 378,9% atau 3,79 terhadap awal 1966. Dengan demikian untuk mencapai keadaan yang berimbang dengan semester 1, maka yang diperlukan untuk semester II adalah 3,79 kali dari pada jumlah anggaran yang telah disediakan dalam semester 1, agar harga sepanjang semester 11 dapat dipertahankan pada tingkat harga akhir Juni 1966. Atas dasar ini seharusnya jumlah pengeluaran yang diperlukan untuk seluruh tahun 1966 adalah 4,79 X Rp. 7.210 juta = Rp. 34.536 juta. Walaupun demikian Pemerintah mengemukakan sebagai usul jumlah pengeluaran seluruh tahun hanya Rp. 23.900 juta atau 69,2% daripada perhitungan tadi. Hal ini dimungkinkan karena Pemerintah benar-benar bertekad untuk menghilangkan kesimpangsiuran dalam perencanaan dan pelaksanaan yang tidak terkoordinir pula serta kaburnya tanggung jawab dan pertanggungan jawab sebagai ciri khas dari zaman lampau dan di samping itu melakukan suatu penghematan/penyederhanaan (austerity) dalam segala bidang baik sipil maupun militer, sesuai dengan keputusan MPRS sidang ke-IV No. XXIII serta mengadakan prioritas yang lebih tajam dalam proyek-proyek pembangunan yang akan diintikan pada proyek-proyek ekonomis. 5.
Pengembalian sikap sedemikian dipengaruhi pula oleh kenyataan, bahwa penerimaan Negara, baik volume maupun komposisinya tidak mengizinkan sikap lain. Sebenarnya problematik yang menonjol pada bidang keuangan ialah bagaimana meningkatkan penerimaan Negara, baik Pusat maupun di Daerah, sebab bila dibandingkan penerimaan itu dengan Pendapatan Nasional, maka pungutan-pungutan pajak itu hanyalah sebagian kecil dari Pendapatan Nasional ± 5,3% (1962), ± 5,6% (1963), ± 3,9% (1964) dan 1,5% (1965), sedang beberapa Negara Asia lain, yang mempunyai Pendapatan Nasional per kapita lebih rendah dari kita masih sanggup mencapai penerimaan sebesar 15% dan 19% dari Pendapatan Nasional mereka.
Karena itu lebih daripada masa yang lalu, Pemerintah harus memikirkan cara-cara baru untuk lebih meningkatkan serta melipatgandakan volume penerimaan itu dan mengadakan usaha-usaha baru supaya ada pergeseran dalam komposisinya, satu dan lain dalam rangka peraturan perpajakan yang telah ada. Dalam hubungan ini Pemerintah telah memajukan suatu rancangan undangundang tentang penyempurnaan dan pembaharuan cara-cara pemungutan pajak-pajak Negara kepada D.P.R.G.R. 6.
Perlu dicatat disini bahwa dalam Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Moneter tahun 1966 ini belum diperhitungkan akibat KeputusankeputusanPresidium Kabinet tanggal 3 Oktober 1966 No. 48/EK/KEP/10/1966 tentang Perubahan besarnya bonus ekspor No. 49/EK/KEP/10/1966 tentang Pembebanan dan Pembiayaan atas impor, No. 50/EK/KEP/10/1966 tentang Penyediaan devisa dari Dana Devisa dan Kredit-kredit Luar Negeri untuk keperluan impor barang dan jasa dan No. 51/EK/KEP/10/1966 tentang Penegasan tugas dan tanggung jawab di bidang ekspor serta Instruksi-instruksi Presidium Kabinet tanggal 3 Oktober 1966 No. 13/EK/IN/10/1966 tentang Melancarkan Realisasi ekspor, No. 14/EK/IN/10/1966tentang Pedoman kebijaksanaan Pemerintah di bidang pemberian subsidi dan harga berbagai barang dan jasa dan No. 15/EK/IN/10/1966 tentang Pedoman kebijaksanaan di bidang perkreditan. Kesemuanya ini sebagai pelaksanaan daripada Strategi Dasar Kabinet Ampera dalam kebijaksanaannya mengenai Rehabilitasi Ekonomi. Peraturan-peraturan di atas akan mengakibatkan penambahan baik terhadap penerimaan maupun terhadap pengeluaran Negara. Pemerintahan berusaha agar penambahan ini tidak akan membawa defisit yang lebih besar daripada yang diajukan dalam Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Moneter ini. Selanjutnya realisasi dari akibat Peraturan-peraturan tanggal 3 Oktober 1966 tersebut terhadap Anggaran Moneter tahun 1966 akan disampaikan Pemerintah kepada D.P.R.G.R dalam laporan Pelaksanaan Anggaran Moneter triwulan IV 1966.
II. PENJELASAN KHUSUS ANGGARAN RUTIN 1.
Plafondering menurut Undang-undang No. 22 tahun 1965 adalah sebagai berikut : a. Belanja Pegawai/Pensiun = Rp. 5.030 juta 90,9% b. Belanja Rutin Lainnya = Rp. 500 juta 9,1% Rp. 5.530 juta 100% Sebagaimana diutarakan tadi dalam Bab Umum, bahwa penyusunan plafon dering pada umumnya tidak realistis juga hal ini berlaku dalam jenis anggaran ini, oleh karena realisasi 1965 menunjukkan perbandingan 52,8% lawan 47,8%.
2.
Realisasi Anggaran Rutin sampai dengan Juli 1966 sudah berjumlah Rp. 6.814 juta dan telah merupakan ± 123,2% dari plafond tahunan semula. Dalam jutaan rupiah. Perinciannya adalah sebagai berikut : Dalam jutaan rupiah Perc. a. Belanja Pegawai. = 5.398,79,2 - Pegawai Pusat Sipil/Militer = 3.534,51,9 - Subsidi untuk belanja Pegawai 1 Daerah Otonom = 471,- ) 6,9 - Pembelian padi/beras 67,1% X 1900 ditambah 118 beras impor = 20,4 1.393,-2)
b. Belanja Rutin Lainnya. Belanja Barang - Subsidi/Uang Kerja P.N.2 - Bunga/cicilan hutang dalam Negeri - Impor/jasa-jasa - Bunga/cicilan hutang luar Negeri - Pembelian padi/beras 32,9% X 1.900 c. Jumlah realisasi Anggaran Rutin
= = = = = = = =
1.416,504,99,60,99,29,625,6.814,-
20,8 7,4 1,4 0,9 1,4 0,5 9,2 100
Catatan : 1)
Dalam administrasi anggaran dibukukan sebagai subsidi Daerah Otonom pada Belanja Rutin.
2)
Dalam administrasi anggaran dibukukan tersendiri dalam pos Belanja Pegawai, akan tetapi sebagian adalah atas beban belanja Rutin lainnya.
Dari perincian diatas nyata, bahwa realisasi Belanja Pegawai sudah meliputi 79,2% dari Anggaran Rutin atau 58,5% dari seluruh pengeluaran Anggaran Moneter, sedangkan Belanja Rutin lainnya sudah berjumlah 20,8% dari Anggaran Routine atau 15,3% dari seluruh pengeluaran Anggaran Moneter (termasuk 6,7% untuk pembelian padi/beras dan 1,1% subsidi/uang kerja P.N.-P.N.). Subsidi/uang kerja P.N.-P.N. dan pembelian padi/beras merupakan pembiayaan pendahuluan yang kelak harus diperhitungkan dengan pihak ketiga yang bersangkutan, maka dapat dapat dikatakan bahwa Belanja Rutin lainnya adalah 15,3% - (6,7% + 1,1%) = 7,5% saja. Dihadapkan dengan Anggaran Rutin, maka ia merupakan hanya 10,2%. Imbangan-imbangan yang dicatat, di atas menunjukkan bahwa sudah dimulai dengan penyederhanaan dan penghematan dalam bidang aparatur Pemerintahan, karena pengeluaran lebih ditujukan untuk sektor kepegawaian, yakni 58,5% dalam mana termasuk 15,1% untuk pembelian beras. Selama jumlah pegawai sipil/militer seperti sekarang masih dipertahankan, maka selama itu pula pengeluaran untuk pegawai yang sebegitu tinggi merupakan suatu hal yang mutlak. Namun disinilah pula letaknya kemutlakan peningkatan efisiensi kerja dengan memikirkan pengalihan tenaga kerja ke lain-lain sektor. 3.
Tambahan Anggaran Rutin berjumlah Rp. 12.310 juta yang terdiri dari tambahan Belanja Pegawai = Rp. 6.450 juta dan tambahan Belanja Rutin lainnya = Rp. 5.860 juta.
Tambahan Belanja Pegawai. Dalam Anggaran Induk yang berjumlah Rp. 5.030 juta termasuk Belanja Pegawai/upah harian/Belanja Pensiun dari Daerah Otonom yang dalam tahun 1966 seluruhnya dipikul oleh Pemerintah yakni sebesar Rp. 785 juta. Dalam pelaksanaan, jumlah ini adalah merupakan Subsidi dan karena itu harus dikeluarkan dari Belanja Pegawai, dan dimasukkan dalam Belanja Rutin lainnya. Dalam tambahan yang diajukan ini, pengurangan tersebut telah diperhitungkan. Selanjutnya dalam jumlah baru, termasuk pula biaya pembelian impor beras oleh Kolognas sebesar Rp. 1.500 juta. Jumlah ini adalah perkiraan dari jumlah sisa pembelian pada akhir tahun yang belum diperhitungkan dengan tunjangan beras/ pegawai yang disediakan berupa uang. Sampai akhir Juni uang yang telah disediakan bagi pembelian beras dalam negeri kepada Kolognas adalah Rp. 2.311 juta dan yang telah direalisasikan oleh Kolognas sampai dengan akhir Juni Rp. 1.574 juta.
Di samping telah diberikan pula impor beras sampai akhir Juni sebesar Rp. 116 juta tanpa pembelian/impor beras ini realisasi Belanja Pegawai dalam Semester I adalah Rp. 2.521 juta. Walaupun mulai bulan Juli gaji telah dinaikkan menjadi 15 X gaji bulan Desember 1965 jumlah baru dari Belanja. Pegawai tahun 1966 sesudah diperhitungkan kenaikan tersebut tidak sampai 4,11 kali jumlah realisasi Semester I. Ini adalah disebabkan karena Belanja Pegawai tidak terdiri dari unsur gaji saja, tapi juga dari unsur-unsur lain seperti kesejahteraan pegawai, pakaian dinas, biaya hotel/losmen dll. yang walaupun juga harga dalam unsur-unsur itu naik, tapi biaya kenaikannya tidak dapat diberikan sepenuhnya, satu dan lainnya disesuaikan dengan austerity-program. Jelas kiranya,bahwa dengan jumlah tambahan kredit anggaran buat Belanja Pegawai yang dimintakan itu belum menjamin sepenuhnya perbaikan nasib pegawai, akan tetapi dalam penyelenggaraan anggaran ini Pemerintah akan berusaha keras untuk meringankan beban para pegawai dalam batas kemungkinan yang ada.
Tambahan Belanja Rutin. Sesuai dengan yang dicatatkan di atas mengenai Belanja Pegawai, maka Belanja Routine lainnya harus ditambah dengan Rp. 785 juta yakni subsidi kepada Daerah Otonom yang dalam penyusunan Anggaran Moneter yang telah disahkan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1965 dimasukkan dalam Belanja Pegawai. Sampai dengan akhir Juni 1966 jumlah realisasi dari jenis pengeluaran ini adalah ± Rp. 400 juta. Berhubung dengan kenaikan gaji yang berlaku mulai Juli 1966 yaitu 15 X gaji bulan Desember 1965, maka jumlah Subsidi untuk Daerah Otonom yang akan diperlukan dalam tahun 1966 harus ditambah sehingga menjadi Rp. 1.870 juta. Hal-hal lain yang menyebabkan tambahan dalam golongan pengeluaran ini adalah sebagai berikut : a. Kenaikan harga (lihat penjelasan Bab Umum). b. Pelunasan hutang-hutang tahun 1965 dan sebelumnya. c. Perubahan struktur Kabinet. d. Penampungan akibat-akibatPeraturan-peraturan Pemerintah misalnya : Mengenai Retribusi Impor sebesar Rp. 9.75 untuk tiap $ yang tidak atau kurang disediakan dalam anggaran semula. e. Subsidi kepada beberapa P.N. (public utilities) yang tadinya tidak disediakan dalam anggaran semula, f. Pembayaran bunga/cicilan hutang-hutang luar negeri yang belum cukup tertampung dalam anggaran semula.
III. PENJELASAN KHUSUS ANGGARAN PEMBANGUNAN 1.
Anggaran Pembangunan tahun 1966 berdasarkan Undang- undang No. 22/tahun 1965 untuk membiayai proyek-proyek Departemen-departemen dan Lembaga Negara Tertinggi semula disedangkan batas jumlah (plafond) sebesar Rp. 1.000 juta dan untuk Subsidi Pembangunan Daerah disediakan batas jumlah sebesar Rp. 100 juta.
Jumlah tersebut merupakan angka yang minim, jika ditinjau dari permintaan yang telah diajukan pada waktu itu oleh Departemen-departemen dan Lembaga Negara Tertinggi yang jumlahnya berkisar pada angka Rp. 4.000 juta lebih jumlah mana berdasarkan kalkulasi harga pada triwulan ke-III tahun 1965. 2.
Perincian dan arah penggunaan jumlah tersebut di atas diatur sesuai dengan kebijaksanaan ekonomi keuangan Pemerintah (Kabinet Dwikora), seperti yang dituangkan dalam Penetapan Presiden No. 26 tahun 1965, yaitu: a. menaikkan produksi dan berdiri diatas kaki sendiri di bidang ekonomi. b. mengadakan penghematan sebesar-besarnya terutama mengenai proyek-proyek yang tidak dapat diselesaikan dalam tahun 1966. c. pembangunan prasarana ekonomis diberikan prioritas utama. Untuk menyusun perincian Anggaran Pembangunan tersebut lebih lanjut, Pemerintah telah membentuk sebuah panitia yang terdiri dari unsur-unsur BAPPENAS, Anggaran Negara, Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Negara Indonesia Unit 1. Dengan adanya beberapa kali perubahan Kabinet dan sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 dimana diadakan perubahan aksen pada program tersebut di atas dengan program penyelamatan, rehabilitasi, konsolidasi dan stabilisasi, maka jumlah-jumlah yang semula dicadangkan untuk proyek-proyek tertentu telah beberapa kali ditinjau dan ditinjau kembali, bahkan sesuai dengan urgensinya sudah harus disediakan biayanya.
3.
Pemerintah menyadari sepenuhnya, bahwa defisit Anggaran Negara harus ditekan serendah mungkin, namun mengingat akan faktor-faktor dan hal tersebut dibawah ini, maka perkiraan batas jumlah semula sebesar Rp. 1.000 juta untuk pembangunan proyek- proyek Departemen dan Lembaga Negara Tertinggi dan Rp. 100 juta untuk Subsidi proyek-proyek Daerah ternyata tidak memadai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan urgen dari proses pelaksanaan proyek-proyek Pembangunan tersebut di atas. Selain kenyataan bahwa realisasi s/d Juli 1966 sudah berjumlah Rp. 929 juta atau 84,5% dari plafond setahun penuh semula, maka faktor-faktor dan hal-hal yang menyebabkan keharusan perubahan/kenaikan Anggaran Belanja Pembangunan ialah : a.
bagi proyek-proyek yang diteruskan pelaksanaannya, baik karena urgensi ekonomi atau yang diperkirakan selesai dalam tahun 1966 atau permulaan tahun 1967, ternyata karena kenaikan tingkat harga umum yang mencolok sejak Desember 1965 (lihat penjelasan Bab Umum) maka perkiraan biaya nominal yang semula direncanakan untuk suatu target fisik tertentu, tidak lagi memadai dengan kebutuhan riil yang diperlukan sesuai dengan kemampuan tenis yang telah tersedia di proyek, seperti halnya pada proyek serba guna Jati Luhur, rehabilitasi berat dari jalan-jalan, jembatan-jembatan, pengairan-pengairan, pelabuhan-pelabuhan laut dan udara, proyek-proyek tenaga listrik, proyek-proyek industri dasar seperti pilot proyek Rayon Bandung, proyek-proyek kertas dan proyek-proyek perindustrian tekstil dan sebagainya.
b.
Dalam Anggaran Belanja Pembangunan tahun 1965, biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan proyek-proyek sesuai dengan schedule kerja dan rencana Anggaran yang disediakan pada waktu itu, ternyata telah jauh melampaui batas kemampuan pembiayaan Negara dimana Pemerintah menghadapi kesukaran cash-supply, sehingga. Banyak pembayaran-pembayaran untuk pelunasan kontrak-kontrak kerja yang seharusnya dibebankan pada anggaran Pembangunan Tahun I 965 menjadi beban anggaran Pembangunan Tahun 1966.
c.
bagi proyek-proyek yang dihentikan pelaksanaannya dalam Tahun 1966, tetapi yang pasti akan dilanjutkan dalam waktu mendatang, biaya-biaya yang disediakan semula tidak cukup untuk menghindarkan kerusakan daripada mesin-mesin, alat-alat perlengkapan, dan bahanbahan lain (baik yang masih ada di gudang pelabuhan atau yang sudah ada di plant site atau untuk menghindarkankerugian-kerugian yang lebih besar dari bangunan-bangunan setengah jadi yang perlu diamankan penyelesaiannya sampai taraf tertentu. Di samping itu untuk proyek-proyek ini perlu juga disediakan biaya untuk mempertahankan sejumlah karyawan/pekerja untuk pengamanan proyek-proyek tersebut dan pula untuk menampung adanya tagihan-tagihan terlambat seperti tersebut dalam subsidi atas.
4.
d.
bagi proyek yang dihentikan pelaksanaannya dalam tahun 1966 yang menurut perkiraan dalam waktu dekat tidak akan dilanjutkan lagi, perlu disediakan biaya untuk belanja pegawai para karyawan/pekerja yang mengurus barang-barang/bangunan yang telah ada, memberi jaminan sosial untuk penyaluran tenaga kerja yang tidak diperlukan lagi, uang pesangon dsb.
e.
proyek-proyek pembangunan yang semula dibiayai melalui Anggaran khusus dalam Tahun 1965 atau 1966 berhubung dengan kedudukan dan tata kerja baru dalam penyelenggaraan Anggaran Khusus (lihat rencana undang-undang), maka proyek-proyek itu dipindahkan mulai 28 Juli 1966 harus disediakan anggarannya dalam Anggaran Pembangunan sejauh proyek- proyek tersebut diteruskan pelaksanaannya.
f.
berhubung dalam batas jumlah semula belum dapat ditampung pembayaran kredit-kredit luar negeri bagi pembiayaan proyek- proyek yang tengah berlangsung dan nilai lawan bagi impor barang-barang yang harus didatangkan dari luar Negeri bagi penyelesaian proyekproyek pembangunan, dianggap perlu untuk menyediakan Rp. 1.000 juta yaitu untuk : hutang luar negeri ± $ 50 juta @ Rp. 10 = Rp. 500 juta. impor barang ± $.25 juta @ Rp. 20 = Rp. 500 juta.
Berhubung dengan faktor-faktor dan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah menganggap perlu untuk merubah/menaikkan batas jumlah anggaran Pembangunan seluruhnya menjadi Rp. 3.300 juta uang baru, yaitu untuk : Pengeluaran proyek-proyek Pemerintah Pusat Rp. 3.200 juta termasuk pembayaran luar negeri sebesar Rp. 1.000 juta. Subsidi proyek-proyek Pembangunan Daerah Rp. 100 juta. Dengan demikian tambahan Kredit anggaran yang diminta sebesar Rp. 2.200 juta adalah hanya untuk proyek-proyek Pemerintah Pusat (lihat Lampiran III). Untuk subsidi di proyek-proyek Pembangunan Daerah tidak diminta tambahan, selain realisasinya per 31 Juli 1966 masih berjumlah Rp. 44 juta menjadi 44% dari plafond semula, juga oleh karena pada hakekatnya proyek-proyek Pemerintah Pusat dilakukan di Daerah dan dengan adanya pungutan baru luran Pembangunan Daerah diharapkan proyek-proyek Pembangunan Daerah dapat dilanjutkan dan ditingkatkan oleh Pemerintah Daerah. luran Pembangunan Daerah Langsung dibayarkan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan tanpa melalui Kas Pemerintah Pusat. Menurut catatan terakhir jumlah pungutan tersebut adalah : s/d Juni 1966 Rp. 62 juta. s/d Juli 1966 Rp. 148 juta.
IV. PENJELASANKHUSUS MENGENAI ANGGARAN KHUSUS. 1.
Berbeda daripada yang telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1965, dimana dinyatakan bahwa jatah untuk Anggaran Khusus adalah P.M. guna memberikan keluasan bagi Presiden/P.B.R./Mandataris M.P.R.S. untuk menguasainya sepenuhnya, Pemerintah sekarang berpendapat bahwa hal yang sedemikian tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena hal itu hanya memungkinkan terjadinya peng-ambeg-parama-artaan yang tidak sesuai dengan strategi dasar serta pembabakan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera. Maka itu dalam Rencana Undang-undang tentang Perubahan dan Tambahan atas Anggaran Moneter tahun anggaran 1966 ketentuan dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) serta pasal 6 Undang-undang No. 22 Tahun 1965 ditiadakan. Namun demikian Anggaran Pendapatan dan Belanja Khusus selama Tahun anggaran 1966 masih diperlukan secara administratif dengan pengertian baik bahwa perencanaan serta pelaksanaannya maupun pelaporan dan pertanggungan jawabnya dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku bagi anggaran biasa lainnya. 2. Anggaran Belanja Tambahan yang dimintakan untuk komponen Anggaran ini adalah sebagai berikut : Koti Rp. 1.500 juta Irian Barat Rp. 500 juta Pembangunan Khusus ABRI Rp. 200 juta Khusus Murni Rp. 60 juta Rp. 2.260 juta Pembiayaan Koti untuk sementara masih tetap diperlukan, walaupun konfrontasi telah dihentikan. Pengarahan dari tugas Koti saat ini lebih ditekankan kepada penyelesaian dari para Sukarelawan, pengaturan dari "civic-actions" di samping mempertinggi dan membina kesiapsiagaan. Pembiayaan untuk Irian Barat lebih ditekankan pada pemulihan kembali keadaan ekonomi, kesejahteraan dan pendidikan masyarakat. Pembangunan Khusus ABRI, ialah rencana yang diperuntukkan bagi membiayai pembangunanpembangunan yang sangat urgent dari ABRI. Dalam tahun yang lalu Anggarannya masuk Anggaran Pembangunan tapi berhubung dengan sifatnya yang sangat khusus dianggap lebih tepat untuk mengeluarkannya dari Anggaran Pembangunan. 3. Mengenai realisasinya selama 7 bulan pertama dalam, tahun 1966 dapat diberi perangkaan sebagai berikut : - pengeluaran Koti cs Rp. 1.129 juta - pengeluaran Irian Barat Rp. 34 juta - Pembangunan ABRI Rp. 76 juta - Pengeluaran Khusus Murni Rp. 59 juta Rp. 1.298 juta Sehingga realisasi selama 5 bulan terakhir dalam Tahun 1966 ditaksir Rp. 2.260 juta - Rp. 1.298 juta = Rp. 962 juta, terperinci : - Pengeluaran Koti Rp. 371 juta - Pengeluaran Irian Barat Rp. 466 juta - Pembangunan ABRI Rp. 124 juta - Pengeluaran Khusus Murni Rp. 1 juta Rp. 962 juta Mengingat tingkat harga sebagai disebut dalam penjelasan Bab Umum, maka secara umum dapat dikatakan, sebagai tadi juga dijelaskan pada sub 2 dana-dana itu dibutuhkan untuk menyelesaikan halhal yang berkenaan dengan penghentian konfrontasi. Khusus mengenai Irian Barat dapat diberitahukan, bahwa justru sekarang perlu ditingkatkan aktivitasaktivitas baru untuk memperbaiki keadaan ekonomi, kesejahteraan dan pendidikan masyarakat.
V. PENJELASAN KHUSUS MENGENAI ANGGARAN KREDIT DAN DEVISA. 1.
Mengenai pelaksanaan Anggaran Kredit dan Devisa kiranya dapat ditunjuk kepada Laporan tentang Pelaksanaan Anggaran Moneter Semester I Tahun 1966 yang telah disampaikan kepada D.P.R.G.R.
2.
Memadai bila disini distipulir, bahwa anggaran Kredit mempunyai efek inflatoir terhadap peredaran uang rupiah sebesar Rp. 272 juta per 31 Juli 1966 dengan pelampauan sebanyak Rp. 22 juta rupiah dari plafond semula (Rp. 250 juta). Sebaliknya Anggaran Devisa menunjukkan efek deflatoir sebesar Rp. 81 juta per 31 Juli 1966. Mengenai tambahan kenaikan kredit atas beban anggaran sebesar Rp. 150 juta dapat diuraikan, bahwa pemberian kredit untuk tahun 1966 di perkirakan maksimal Rp. 5.290 juta, sedangkan efek inflatoirnya dapat diperkirakan ± 8,4% X Rp. 5.290 juta Rp. 444 juta dapat dibulatkan Rp. 500 juta. Angka 8,4% diperoleh dari perbandingan pemberian kredit kuartal I/1966 sebanyak Rp. 1.900,4 juta dan efek inflatoir yang disebabkannya itu Rp. 159,5 juta atau 8,4%.
VI. PENJELASAN KHUSUS MENGENAI PENERIMAAN NEGARA. 1.
Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1965 ditentukan target penerimaan Negara sebesar Rp. 7.232 juta. Agar supaya target itu dicapai maka diundangkan Perpu. No. 2 tahun 1965 pada tanggal 31 Desember1965, yang antara lain memuat : penaikan tarif-tarif cukai dan berbagai pajak lainnya, diadakan pungutan pajak baru, yaitu Materai Revolusi, wewenang untuk mengadakan opsenten bea masuk. Di samping itu dinaikkan harga-harga penjualan bahan bakar minyak antara lain harga penjualan bensin seliter dinaikkan menjadi Rp. 1,-.
2.
Dalam rangka Tri tuntutan Hati Nurani Rakyat harga penjualan bahan bakar minyak diturunkan lagi antara lain harga penjualan bensin seliter diturunkan menjadi Rp. 0.50. Dengan sendirinya hasil penjualan minyak turun dengan Rp. 2.500 juta. Berhubung dengan kesulitan teknis dalam pelaksanaan pungutan Meterai Revolusi hingga sekarang belum ditagih. Kekurangan disebabkan hal ini adalah Rp. 800 juta. Diperkirakan pula, bahwa Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Obligasi akan menurun masing-masing dengan Rp. 20 juta. Dengan demikian target semula ada Rp. 7-3 juta diturunkan menjadi Rp. 3.892 juta (Rp. 7.323 juta minus Rp. 3,340 juta).
3.
Terang, bahwa realisasi Anggaran Moneter per 31 Juli 1966 sebagai digambarkan dalam Bab Umum menghendaki usaha-usaha Pemerintah untuk meningkatkan/melipatgandakan penerimaan Negara. Hal ini diperkirakan akan memberi hasil, oleh karena intensifisikasi serta perbaikan cara pungutan pajak-pajak sedang dilaksanakan secara tekun, teratur dan dikoordinir;lagi pula dengan adanya kredit luar negeri untuk semester II sebesar U.S. $. 883 juta merupakan bantuan untuk menambah penerimaan Negara dalam rupiah, sehingga dengan demikian dapat ditentukan target baru sebesar Rp. 7.550 juta sebagaimana dicantumkan dalam Ikhtisar Anggaran Moneter 1966 (lihat lampiran 1).
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2817 TAHUN 1966