BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masih teringat dengan jelas di benak penulis, peristiwa erupsi Gunung
Merapi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Penulis memang bertempat tinggal di Kabupaten Sleman, namun tidak termasuk kawasan rawan bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
W D K U
(BNPB). Meskipun demikian, penulis dapat melihat dengan jelas betapa besar dan tingginya kepulan asap erupsi Gunung Merapi yang mencapai tinggi ratusan meter. Kondisi demikian menimbulkan ketakutan dan kengerian betapa dahsyatnya potensi bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi. Ketakutan dan kengerian ini tentu tidak hanya dirasakan oleh penulis saja, namun juga oleh masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah yang berada di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang letaknya berdekatan dengan Gunung Merapi. Situasi tersebut semakin diperparah dengan adanya isu-isu yang bukan menenangkan, namun justru menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Perasaan seperti itu tentu jauh lebih dalam dirasakan bagi mereka
©
yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, secara khusus bagi para pengungsi yang harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Kengerian, ketakutan, dan kesedihan dirasakan oleh para pengungsi yang berasal dari desa-desa di sekitar Gunung Merapi. Menurut para pengungsi, ketakutan itu bukan hanya disebabkan oleh ancaman letusan Gunung Merapi yang begitu besar, namun juga ketidaksiapan berbagai elemen menghadapi ancaman itu.1 Ketidaksiapan tersebut misalnya mobil dan jalur evakuasi yang belum tersedia, kebutuhan logistik para pengungsi yang tidak diperhatikan pemerintah, alat komunikasi darurat yang terbatas, serta tempat pengungsian yang berpindahpindah.2 Ketidaksiapan tersebut pada akhirnya dapat memperparah kondisi para pengungsi. 1
J. Kristanto dkk (ed). Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat CintaMu (Yogyakarta : Seminari Tinggi St. Paulus, 2011), h. 75 2 Ibid., h. 76-80
1
Pengalaman dan situasi di atas menunjukkan dampak luar biasa yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang lalu. Erupsi Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 hingga mencapai puncak letusan terbesar 5 November 2010 memang menyebabkan kerusakan dan kerugian yang sangat besar di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa Tengah, dan Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bulan Maret 2011, BNPB merilis data jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 adalah sebesar Rp. 3,56 trilyun, dengan jumlah nilai kerusakan sebagai dampak langsung sebesar Rp. 1,69 trilyun
W D K U
dan jumlah nilai kerugian sebagai dampak tidak langsung sebesar Rp. 1,87 trilyun, dan jumlah tersebut di luar kerugian dan kerusakan akibat banjir lahar dingin.3 Peningkatan status Gunung Merapi dari normal aktif menjadi waspada pada tanggal 20 September 2010 direkomendasikan oleh Balai Pemantauan dan Penyelidikan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Pada tanggal 21 Oktober 2010 status berubah menjadi siaga. Karena aktivitas Gunung Merapi yang semakin meningkat yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik, maka sejak 25 Oktober 2010 pihak BPPTK Yogyakarta merekomendasikan peningkatan status Gunung Merapi menjadi awas dan seluruh masyarakat penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak
©
Gunung Merapi dilakukan evakuasi. Dalam rangka mengantisipasi bencana yang timbul pada saat erupsi Gunung Merapi maka pemerintah membuat peta kawasan rawan bencana (KRB) yang dikeluarkan dalam bentuk surat keputusan bupati. Pada lampiran 9, terlihat KRB dibedakan menjadi empat kawasan, yaitu kawasan tidak rawan bencana (TRB), kawasan rawan bencana 1 (KRB 1), KRB 2, dan KRB 3. Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang terjadi pada kawasan tersebut jika terjadi erupsi Gunung Merapi. Erupsi tanggal 4-5 November 2010 merupakan letusan terbesar sejak tahun 1872 dan menyebabkan korban jiwa berjumlah 386 orang meninggal dunia dan menyebabkan 11.000 penduduk kehilangan rumah dengan 350.000 orang dievakuasi pada saat letusan.4 BPPTK menyatakan bahwa erupsi Gunung Merapi 3
Gema BNPB Volume 2 Nomor 1. Dari Wasior, Mentawai hingga Merapi (BNPB, Maret 2011) h. 19. 4 Ibid.
2
pada November 2010 merupakan siklus tahunan yang bersifat besar dan memiliki luncuran awan panas mencapai 18 kilometer yang melalui alur Kali Gendol. Pada setiap kali letusan, Gunung Merapi mengeluarkan jutaan meter kubik material panas berupa lava yang terdiri dari batu, kerikil, pasir, dan abu dengan suhu yang tinggi mencapai 900oC dengan luncuran awan panas berkecepatan mencapai 60 km/jam.5 Keterlambatan informasi tentang erupsi yang terjadi ke seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Merapi juga berdampak pada tingginya korban yang meninggal dan kerugian material pada peristiwa tersebut.6 Secara umum, bencana yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010
W D K U
lalu menimbulkan perubahan pola-pola kehidupan masyarakat, kerugian harta, benda, dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat dan memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi atau suatu komunitas.7 Berbagai dampak tersebut pada akhirnnya dapat menyebabkan perubahan struktur kehidupan masyarakat sekitar Gunung Merapi, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan bidang-bidang lainnya. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena alam seperti erupsi Gunung Merapi dapat menjadi salah satu sumber penderitaan bagi umat manusia, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah kawasan rawan bencana gunung berapi.
Berbagai dampak erupsi Gunung Merapi yang telah menimbulkan
©
penderitaan bagi warga masyarakat sekitar Gunung Merapi menggerakkan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngupasan untuk melakukan berbagai upaya yang bertujuan menolong dan membantu para korban dan pengungsi erupsi Gunung Merapi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh GKI Ngupasan bagi masyarakat terdampak erupsi Gunung Merapi tersebut adalah dengan mengadakan pendampingan masyarakat bagi warga masyarakat Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dalam sebuah program desa binaan. Program pendampingan masyarakat yang dilakukan GKI Ngupasan tersebut diawali dengan aksi tanggap bencana dengan pemberian bantuan ke beberapa daerah yang mengalami dampak langsung, baik di Kabupaten Sleman,
5
Ibid., h. 20 Ibid. 7 United Nations Developing Programme. Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (UNDP : 2012). h. 8 6
3
Kabupaten Klaten, maupun Kabupaten Magelang. Aksi respon bencana tersebut berlangsung sejak erupsi pertama atau 26 Oktober 2010 dan dimotori langsung oleh Bidang 2 Majelis Jemaat GKI Ngupasan atau Bidang Kesaksian Pelayanan (Kespel). Dalam aksi tersebut, Bidang Kespel bersama beberapa anggota jemaat membagikan berbagai macam barang bantuan darurat yang dianggap mendesak bagi para pengungsi, yaitu masker, makanan bayi, mie instan, nasi bungkus, dan barang konsumtif lain yang segera dapat dimanfaatkan oleh pengungsi. Tidak hanya satu pos pengungsi yang menjadi sasaran kegiatan ini, namun beberapa pos pengungsian di tiga kabupaten tersebut. Memang, pos pengungsi yang menjadi
W D K U
sasaran pemberian bantuan ini bergantung pada informasi yang diterima oleh Bidang Kespel, seperti pos pengungsi di daerah Cebongan, Kemalang, Muntilan, Srumbung, hingga Wukirsari. Pada prinsipnya, GKI Ngupasan tidak membatasi sasaran penerima bantuan mengingat kebutuhan mendesak para pengungsi yang harus segera dipenuhi demi keselamatan pengungsi. Oleh karena itu, jumlah bantuan pun tidak dapat dikatakan besar, namun yang terpenting adalah mencukupi kebutuhan mendesak para pengungsi. Dalam upaya ini, GKI Ngupasan telah memiliki dana yang berasal dari donatur yang diperuntukkan secara khusus untuk mengantisipasi peristiwa seperti bencana alam.
Aksi respon bencana atau tanggap darurat di atas dikerjakan oleh Tim
©
Gerakan Kemanusiaan Indonesia Ngupasan dan berlangsung hingga pertengahan November 2015. Bantuan itu berakhir mengingat bantuan yang datang kepada pengungsi erupsi Gunung Merapi juga semakin banyak. Namun, upaya GKI Ngupasan untuk menolong dan membantu warga masyarakat yang menderita karena erupsi Gunung Merapi tidak berhenti. Sudah lama Bidang Kespel memiliki keinginan untuk mengerjakan kesaksian pelayanan melalui upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam suatu program yang disebut program desa binaan. Melalui program desa binaan ini, GKI Ngupasan berharap dapat memberdayakan warga desa menjadi warga yang mandiri. Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia pun lebih intensif membangun hubungan dengan para pengungsi, termasuk kepada para pengungsi yang berasal dari Dusun Tegalrejo. Keinginan untuk mengadakan desa binaan pun mulai terwujud dengan respon yang baik dari warga Dusun Tegalrejo dengan menerima dan menjalin relasi dengan GKI Ngupasan dan
4
melakukan berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Warga Dusun Tegalrejo yang berjumlah kurang lebih 100 KK tersebut pada saat itu mengungsi karena masuk dalam kawasan rawan bencana dan mulai kembali ke tempat tinggal pada akhir November. Setelah warga kembali ke rumah, berbagai upaya pun mulai dilakukan. Upaya yang dilakukan bertujuan memulihkan ekonomi warga sehingga warga dapat memiliki penghasilan dalam jangka pendek. Upaya yang dilakukan juga tidak berfokus pada perbaikan infrastruktur karena sarana prasarana dusun tidak mengalami kerusakan yang terlalu parah. Meskipun demikian warga desa tidak
W D K U
dapat melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai petani salak akibat masifnya kerusakan ladang salak mereka. Karena itu, kegiatan dalam program desa binaan dijabarkan untuk mengembangkan mata pencaharian warga tersebut. Awal tahun 2011, Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia memulai dengan alternatif pertanian tanaman selain salak. Tanaman sayuran dan buah dipilih karena dianggap memiliki produktivitas yang tinggi sehingga diharapkan warga dapat segera menikmati hasilnya. Berbagai pelatihan sekitar pertanian juga diadakan baik untuk kelompok bapak-bapak maupun kelompok ibu-ibu. Bahkan pelatihan tidak hanya pada proses produksi pangan, namun juga pengolahan pangan agar warga mendapat keterampilan yang dapat menaikkan nilai jual suatu produk, khususnya
©
salak jika warga sudah dapat memproduksi salak kembali. Upaya pemasaran pun juga diberikan melalui program desa binaan. Panen bersama warga bersama jemaat pun juga menjadi media yang semakin mengeratkan relasi yang terbangun. Sesudah pertanian jangka pendek di atas berlangsung selama 1 tahun, upaya desa binaan dilanjutkan oleh Tim Peduli Merapi dengan berbagai pelatihanpelatihan yang berkaitan dengan pertanian yang juga melibatkan kelompok tani Rejo Mulyo. Pembibitan hingga pembuatan pupuk dilatihkan agar penduduk memiliki keterampilan dan wawasan dalam mengembangkan pertanian yang mereka miliki. Tim Peduli Merapi kemudian bekerja sama dengan penduduk untuk lebih dalam memberi pemahaman dan wawasan penduduk berkaitan dengan masalah yang mereka hadapi. Warga dikumpulkan dan dilakukan berbagai usaha pengorganisasian yang diharapkan dapat mengubah kehidupan masyarakat dengan melibatkan masyarakat sendiri. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan bersama
5
dengan Yayasan Kesindo yang berakhir pada peternakan kambing dengan harapan dapat menjadi sumber mata pencaharian selain bertani. Selain itu, masih ada kegiatan pengobatan gratis, acara bersama anak-anak warga, penjualan hasil tani yang masih berlangsung hingga tahun ini. Melalui kegiatan ini pula, persaudaraan yang baru dapat dijalin dan dipertahankan hingga saat ini. Upaya yang dilakukan oleh GKI Ngupasan dalam mengerjakan pelayanan tersebut didasarkan pada visi GKI Ngupasan 2006-2012, yaitu menjadi murid Kristus yang saling memperhatikan, bersama-sama bertumbuh, dan melayani keluar. Rumusan visi ini terdiri atas tiga bagian besar tugas GKI
W D K U
Ngupasan sebagai gereja di kota Yogyakarta, yaitu saling memperhatikan (persekutuan) yang ditekankan pada 2006-2008, bersama-sama bertumbuh (pembinaan) yang ditekankan pada 2008-2010, dan melayani keluar (diakonia) yang ditekankan 2010-2012.8 Visi bagian ketiga melayani keluar dipahami sebagai perwujudan firman Tuhan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).9 Untuk mencapai visi tersebut, GKI Ngupasan menetapkan beberapa misi, berkaitan dengan visi melayani keluar misi yang ditetapkan adalah meningkatkan pelayanan ke dalam dan ke luar dengan memikirkan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk
©
pelayanan yang lebih cocok untuk situasi masa kini, yang tidak hanya bersifat pemberian tetapi yang meningkatkan kemandirian orang yang dilayani.10 Salah satu perwujudan visi tersebut adalah dengan melaksanakan pendampingan bagi warga masyarakat dalam program desa binaan bagi warga Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, sebagai salah satu daerah terdampak erupsi Gunung Merapi. Dengan kata lain, upaya pendampingan ini adalah upaya pelayanan yang dilakukan GKI Ngupasan bagi mereka yang tengah mengalami penderitaan. 8
Visi dipahami sebagai gambaran tentang GKI Ngupasan yang diharapkan dan diyakini akan terjadi pada masa depan sesuai dengan iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Mengingat jangka waktu visi yang ditetapkan hanya 6 tahun, maka visi GKI Ngupasan saat ini telah berganti.Adapun visi GKI Ngupasan yang ditetapkan mulai tahun 2014 adalah”Menjadi pekerja Kristus yang mengerjakan misi Allah”. 9 Tabita Kartika Christiani. Sejarah 75 Tahun GKI Ngupasan (Yogyakarta : GKI Ngupasan, 2009). h. 110. 10 Ibid. h. 111
6
Dalam konteks pelayanan dan pendampingan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan terhadap warga Dusun Tegalrejo tersebut, sangatlah penting untuk melihat konteks komunitas sasaran, yaitu sebagai komunitas yang berada di daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi. Dengan kata lain, komunitas sasaran pelayanan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan adalah masyarakat rawan bencana mengingat erupsi Gunung Merapi jelas akan terjadi kembali. PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung api) menyatakan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut merupakan gunung api yang sangat aktif dengan
W D K U
periode letusan antara 3-6 tahun atau 9-12 tahun untuk letusan besar.11 Itu berarti pelayanan yang dilakukan GKI Ngupasan melalui kegiatan pendampingan masyarakat bagi warga Dusun Tegalrejo harus memperhatikan konteks komunitas sasaran sebagai masyarakat rawan bencana. Suatu upaya pendampingan masyarakat yang tepat bagi masyarakat lereng Gunung Merapi pada akhirnya dapat mengantisipasi dan mencegah dampak besar yang ditimbulkan dari bahaya erupsi yang dapat menjadi bencana dan sumber penderitaan manusia. Memang, usaha GKI Ngupasan dalam melakukan pendampingan masyarakat Dusun Tegalrejo menjadi upaya untuk melaksanakan panggilan dan pelayanan gereja di tengah dunia yang didasari perkataan Yesus dalam Matius 25:40. Di sisi lain,
©
dalam mengerjakan pelayanan tersebut, menurut penulis, harus memperhatikan konteks komunitas yang dilayani sehingga pelayanan yang dilakukan sungguhsungguh menjawab pergumulan penderitaan yang dialami warga Dusun Tegalrejo yang berada di lereng Gunung Merapi. Dengan pemahaman inilah, penulis menilai perlunya sebuah tinjauan yang besifat evaluatif atas berbagai upaya pendampingan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan oleh GKI Ngupasan untuk melihat sejauh mana upaya tersebut telah memperlengkapi masyarakat Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi yang akan terjadi kembali. Persoalan konteks masyarakat sasaran menjadi semakin penting mengingat menurut Syamsul Maarif, ketua BNPB, dalam menghadapi bencana yang disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi, masyarakat sekitar Gunung Merapi 11
Gema BNPB Volume 2 Nomor 1. Dari Wasior, Mentawai hingga Merapi (BNPB, Maret 2011) h. 19.
7
justru cenderung tidak memberontak.12 Ia menjelaskan bahwa meskipun bencana yang disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi tersebut sangat masif, destruktif dan mengancam penduduk, pandangan dan sikap masyarakat sekitar Gunung Merapi justru menerimanya dalam kepasrahan diri dan bersikap “nrimo”, mereka berpandangan bahwa pergumulan hidup masa kini dan mendatang berada dalam tangan sang “Gusti”.13 Maarif menjelaskan bahwa bagi penduduk desa yang tinggal di lereng Gunung Merapi maupun penduduk Kota Yogyakarta, letusan tidaklah dipandang sebagai bencana, namun dipahami sebagai peringatan dari dunia supranatural.14 Akibat kepercayaan ini, banyak orang yang tinggal di daerah
W D K U
sekitar Gunung Merapi, tidak merasa takut. Alih-alih dianggap sebagai sumber bahaya, Gunung Merapi dianggap sebagai milik umum yang harus dihormati oleh penduduk. Bagi penduduk, letusan Gunung Merapi ini benar-benar telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi bagian informal bagi masyarakat sekitar Merapi yang tidak dapat terpisahkan.15
Contoh sikap dan pandangan tersebut misalnya dapat dijumpai dalam kehidupan keluarga Yu Narni, seorang penjual jadah tempe yang tinggal di daerah Kaliurang, yang penulis kenal dengan baik. Bagi dia dan keluarganya, Gunung Merapi sangatlah dekat dengan masyarakat lereng, memberi berkah lewat kesuburan tanah namun juga sewaktu-waktu dapat meminta korban. Pada saat
©
erupsi, tidak sedikit warga yang memilih tetap tinggal di rumah masing-masing, terutama karena Mbah Maridjan sendiri belum mengungsi. Setelah terjadi letusan besar, warga memilih untuk mengungsi. Apa yang disampaikan oleh Yu Narni kepada penulis setidaknya memang menggambarkan sikap masyarakat lereng Gunung Merapi dalam menghadapi penderitaan yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi. Sebagian besar memilih untuk menerimanya dengan sikap pasrah, cuek, pasif dan tidak melawan, sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua BNPB di atas, karena dipandang sebagai sesuatu yang normal, wajar dan harus diterima.
12
Syamsul Maarif et al., (2012) Konstestasi Pengetahuan dan Pemaknaan tenntang Ancaman Bencana Alam, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1 (BNPB, 2012), h. 8 13 Ibid. 14 Ibid., h. 4 15 Ibid.
8
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sikap yang dimiliki Yu Narni dan masyarakat lereng Gunung Merapi dalam menghadapi penderitaan tersebut dapat tumbuh oleh karena adanya pandangan bahwa bungah-susah (kebahagiaan dan penderitaan) merupakan dua hal yang selalu datang silih berganti di dalam kehidupan.16 Hal ini terjadi karena dalam kehidupan masyarakat Jawa berlaku hukum mulur-mungkret (mengembang-mengempis).17 Dalam hukum mulurmungkret, manusia hidup dengan dipenuhi berbagai keinginan dan semua orang akan mengusahakan keinginannya agar bisa mencapai kebahagiaan. Padahal sifat keinginan itu sendiri mulur dan mungkret. Jika keinginan seseorang terus tercapai
W D K U
(mulur) maka ada satu titik di mana keinginannya tidak tercapai. Mulur pun berhenti dan berganti dengan mungkret karena ia merasa gagal sampai akhirnya ia mengalami keberhasilan lagi, kegagalan lagi, seterusnya dan seterusnya. Akibat yang dihasilkannya adalah bungah susah. Susah dan senang adalah pasangan abadi, tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan, dan sebaliknya tidak ada penderitaan yang tidak berganti segera dengan kebahagiaan. Keduanya adalah pasangan yang langgeng. Sebagai bagian yang datang silih berganti, bungahsusah harus diterima dalam kehidupan dan manusia tunduk pada hukum itu. Hal inilah yang melahirkan sikap “nrimo ing pandum”, yaitu menerima realitas konkret yang dihadapi sebagai bagian dari kehidupan yang mau ataupun tidak
©
harus dijalaninya.18 Dalam sikap ini, terkandung pemahaman bahwa semua hal sudah diatur dan ditentukan dari ‘atas’ dan manusia harus menerimanya agar mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.19
Demikian pula bagi masyarakat lereng Gunung Merapi dalam memahami keberadaan Gunung Merapi. Keberadaan Gunung Merapi memang memiliki peranan istimewa bagi masyarakat yang tinggal di kabupaten sekitar lereng Gunung Merapi. Di satu sisi, Gunung Merapi memang menimbulkan malapetaka dengan mengeluarkan letusan yang dahsyat sekaligus berbahaya (susah), namun di sisi yang lain Gunung Merapi memberi kehidupan bagi masyarakat yang 16
Ryan Sugiarto. Psikologi Raos : Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram (Sleman : Pustaka Ifada, 2015), h. 59-61. 17 Ibid. 18 Moch. Fatkhan. Kearifan Lingkungan Masyarakat Lereng Gunung Merapi dalam Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol VII, No. 2 Desember 2006., h. 107-108. 19 Ibid. h. 110
9
tinggal di lereng Gunung Merapi (bungah).20 Gunung Merapi diyakini dapat memberikan
keselamatan
dan
perlindungan
ketika
masyarakat
bersedia
21
menyesuaikan diri dengan Gunung Merapi yang bersifat adi kodrati. Bersifat adi kodrati sebab Gunung Merapi dengan segala proses alamnya dipandang sebagai manifestasi dari kekuatan Sang Pencipta dan makhluk halus. Oleh karena itu, semua fenomena yang terjadi pada Gunung Merapi, termasuk erupsi, dipandang sebagai peristiwa yang harus diterima sebagai bagian untuk menjaga keselarasan kehidupan yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan sekaligus sebagai bagian dari bungah-susah yang harus dijalani masyarakat Jawa. Pandangan atau
W D K U
nilai-nilai inilah, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat sekitar Gunung Merapi terhadap potensi bencana yang dapat ditimbulkan, yang cenderung bersikap pasrah dan tidak memberontak.
Selain dipengaruhi oleh keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat Jawa, sikap dan pandangan yang dimiliki penduduk sekitar Gunung Merapi juga dapat dipengaruhi oleh cara pandang agama dalam memaknai bencana dan penderitaaan. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks Indonesia, ada banyak ajaran dalam agama-agama yang dilahirkan dalam upaya memahami bencana yang menyebabkan penderitaan. Bencana dan penderitaan memang melahirkan banyak pertanyaan dan menuntut penjelasan : “Mengapa Tuhan yang maha baik
©
tega memberikan bencana alam seperti ini?” “Apakah maksud Tuhan dengan bencana ini?” “Mengapa harus kami yang mengalaminya?” Pertanyaanpertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sulit, yang merupakan cerminan pergumulan orang beriman tentang iman dan keyakinannya kepada Tuhan. Pertanyaan ini tentu lahir dari suatu perenungan panjang tentang konsep yang umat percayai tentang Tuhan diperhadapkan dengan kenyataan hidup yang umat jalani. Dalam perenungan itulah, umat cenderung mengartikan bencana sebagai hukuman Tuhan karena mereka tidak menuruti kehendak Tuhan.22 Teologi bencana sebagai hukuman inilah yang masih sangat kuat mempengaruhi cara
20
Bernard T. Adeney Risakotta dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 30. 21 Moch. Fatkhan. Kearifan Lingkungan Masyarakat Lereng Gunung Merapi dalam Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol VII, No. 2 Desember 2006, h. 110. 22 Budhy Munawar. Tuhan dan Masalah Penderitaan dalam Sudarminto dan Lili Tjahjadi (ed). Dunia, Manusia, dan Tuhan (Yogyakarta : Kanisius, 2008), h. 194-195.
10
pandang masyarakat dalam memaknai sebuah bencana dan penderitaan. Dalam teologi hukuman, Allah menghukum mereka yang berbuat fasik dan jahat. Selain teologi hukuman, memang ada teologi ujian ilahi dan teologi pendidikan ilahi yang juga cukup berpengaruh dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia. Jika terjadi bencana, maka itu adalah ujian ilahi bagi kita, supaya iman kita tetap kuat. Kalau ada bencana, itulah pendidikan ilahi bagi kita, supaya kita tidak sombong dan bisa terus menerus menjadi rendah hati.23 Dalam pandangan Islam misalnya, sebagai agama mayoritas yang dianut oleh warga lereng Gunung Merapi, bencana dan penderitaan yang terjadi
W D K U
digolongkan ke dalam tiga tujuan, yakni : pertama, sebagai ujian (ibtila’) atas keimanan dan kesabaran manusia sebagai makhluk Allah; kedua, sebagai peringatan (tadzkirah) agar manusia selalu tunduk dan patuh kepada Allah; dan ketiga, sebagai hukuman (uqubah) atas apa yang telah diperbuat manusia agar ia manyadari dan menyesali kesalahan kemudian bertobat dan memohon ampunan kepada Allah.24 Pandangan di atas menunjukkan bahwa di dalam Islam penderitaan dipahami sebagai kehendak Allah, penderitaan termasuk ciptaan Allah karena Allah diyakini sebagai Mahakuasa yang mampu membuat keputusan.25 Menurut Yewangoe, pandangan masyarakat Jawa terhadap penderitaan telah secara kuat mendapat penetrasi dari pandangan Islam tersebut. 26
©
Akibatnya, Allah dipercayai sebagai yang menentukan segala sesuatu dan tidak boleh seorang pun meragukan kemahakuasaan Allah sebab segala sesuatu berada di bawah kendaliNya. Bahkan, dengan sabar di dalam penderitaan dan menerimanya, seseorang akan menerima pahala dan penderitaan yang dialami tidak akan sebanding dengan pahala yang jauh lebih besar yang bakal diterima seseorang. Teologi hukuman sebenarnya tidak hanya muncul dalam ajaran agama Islam. Dalam kekristenan pun, teologi hukuman masih sangat kuat seperti yang
23
Emanuel Gerrit Singgih. Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologi Rakyat Indonesia dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 262. 24 Imam Zamroni (2011). Islam dan Kearifan Lokal dalam Penanggulangan Bencana di Jawa, Jurnal Penggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1 (BNPB, 2011), h. 4-5. 25 Andreas A. Yewangoe. Membangun Teologi Bencana : Pergumulan Teodice dan Teologi Penderitaan Allah dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 243. 26 Ibid., h. 244.
11
terjadi dengan masyarakat Kristen di Halmahera, Alor, dan Nias.27 Memang, ada banyak pendekatan yang dilakukan untuk mendekonstruksi konsep bencana sebagai hukuman dari Allah, namun teologi hukuman masihlah kuat dihidupi oleh umat Kristen dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Menurut Jerda Djawa, keyakinan tersebut menimbulkan sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya adalah penyataan iman bahwa Tuhan terlibat dalam setiap pengalaman pahit mengajak umat untuk menguji diri dan bertobat. Namun sisi buruknya adalah kecenderungan untuk bersikap pasrah pada apa saja yang terjadi dan cenderung mencari kambing hitam (siapa berdosa) dan bahkan menyalahkan Allah sebagai
W D K U
penyebabnya. Lebih buruk lagi, perasaan bersalah para korban bencana yang semakin meningkatkan penderitaannya.28
Nilai-nilai yang dimiliki masyarakat lereng Gunung Merapi, yang dipengaruhi oleh pandangan agama dan budaya Jawa di atas, pada akhirnya dapat melahirkan pemahaman bahwa bencana sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dicegah. Bencana adalah bagian dari hidup manusia yang datang dari Tuhan yang harus diterima dengan sikap “nrimo”, pasrah, dan ikhlas. Sikap-sikap demikian seringkali justru dapat menghambat upaya penyelamatan jiwa ketika terjadi suatu bencana Dengan kata lain, sikap-sikap yang tumbuh dalam masyarakat sekitar Gunung Merapi akibat kepercayaan
©
masyarakat terhadap Gunung Merapi dan terhadap bencana justru dapat memperbesar bencana yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi. 29 Padahal, erupsi Gunung Merapi jelas akan terjadi kembali. Bahaya itu mengintai mereka yang hidup di sekitar lereng Gunung Merapi dan semakin berbahaya ketika mereka hidup dengan pandangan teologis dan nilai budaya seperti di atas. Oleh karena itu, sangatlah penting memberi kesadaran dan pemahaman baru bagi mereka dalam memaknai bencana. Dengan kata lain, diperlukan suatu 27
Lihat tulisan Eirene Gulo, Djawa dan Campbell Nelson dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) 28 Jerda Djawa. h. 68. Mencari makna Penderitaan dalam Ngelow, Zakaria dkk. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial. (Makassar : Oase Intim, 2006) 29 Sebagai contoh sikap warga masyarakat yang menolak untuk dievakuasi karena mengikuti sikap Mbah Maridjan yang masih bertahan dengan alasan melakukan tanggung jawab sebagai juru kunci yang sudah diserahkan kepadanya untuk menjaga Gunung Merapi. Pada erupsi 26 Oktober 2010, warga yang menjadi korban sebagian besar adalah warga yang menolak tersebut.
12
pendampingan bagi mereka yang dapat menumbuhkan sikap kesiapsiagaan menghadapi bencana, yang menggantikan sikap menerima dan pasrah dalam menghadapi erupsi. Dalam
konteks
inilah,
penulis
melihat
pentingnya
pendekatan
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam melakukan pendampingan masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana, termasuk bagi masyarakat sekitar Gunung Merapi. Jika masyarakat sekitar Gunung Merapi cenderung menganggap bencana yang disebabkan erupsi adalah hal yang tak dapat dihindari sehingga diterima dengan sikap pasrah dan pasif, pemahaman yang berbeda muncul di
W D K U
dalam perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB). PRB memahami bahwa bencana dapat dihindari apabila masyarakat memiliki kapasitas untuk menghadapi ancaman yang dihadapinya. Pemahaman dalam PRB tersebut didasarkan pada definisi bencana itu sendiri, bahwa bencana merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen ancaman dan kerentanan bekerja secara sistematis dengan didorong oleh pemicu sehingga menyebabkan terjadinya risiko bencana pada suatu komunitas dan komunitas tidak memiliki kapasitas yang lebih tinggi daripada ancaman.30 Itu artinya peristiwa alam seperti erupsi, gempa bumi tidak dipahami sebagai bencana, fenomena-fenomena tersebut hanyalah ancaman yang berasal dari alam yang memang tidak dapat ditiadakan oleh kekuatan manusia.
©
Dengan kata lain, dalam PRB, bencana dipahami dapat terjadi ketika ancaman alam (seperti letusan gunung api) bertemu dengan masyarakat yang rentan yang mempunyai kemampuan rendah atau tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (karena tidak ada pelatihan, pemahaman, atau kesiapsiagaan). Gabungan ancaman dan ketiadaan kapasitas (kerentanan yang tinggi) menyebabkan bencana yang menimbulkan terganggunya kehidupan masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa. Menurut Teguh Eko Paripurno, PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana dengan tujuan mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana dan menangani bahayabahaya lingkungan maupun bahaya lain yang menimbulkan kerentanan. 31 Karena 30
Eko Teguh Paripurno dkk. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. (Jakarta : Grasindo, 2009). h. 7. 31 Ibid.
13
itulah, PRB merupakan upaya yang dilakukan yang bertujuan memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa bencana dapat dihindari dengan cara mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan menangani ancaman yang dimiliki suatu kelompok masyarakat. Pendekatan dalam PRB lebih kuat memberikan pesan pada aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif. Pada umumnya bencana dapat terjadi di mana saja dengan sedikit atau tanpa peringatan. Oleh karena itu sangat penting bersiapsiaga terhadap bahaya bencana untuk mengurangi risiko dampaknya. Dalam PRB, seluruh kegiatan difokuskan untuk meminimalkan kerentanan dan
W D K U
risiko bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari atau membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya dalam konteks luas pembangunan berkelanjutan.32 Dengan kata lain, upaya PRB tidak hanya dilakukan pada saat bencana terjadi, namun lebih jauh bagaimana menyiapkan suatu komunitas dalam menghadapi suatu ancaman bahaya. PRB menjadi jauh lebih penting untuk dilakukan di Indonesia mengingat Indonesia masuk dalam kawasan cincin api yang sangat rawan terjadinya bencana yang tidak terhindarkan akibat dari ancaman gempa bumi, gunung api, tsunami, dan sebagainya.
Dalam PRB, upaya-upaya yang dilakukan dikelompokkan ke dalam dua kategori,33 yaitu 1) upaya yang meningkatkan kapasitas masyarakat, yang
©
berhubungan langsung dengan ancaman, meliputi a) Mitigasi, yaitu usaha mengurangi akibat ancaman sehingga mengurangi dampak bencana, meliputi kegiatan fisik, seperti pembangunan kawasan, dan kegiatan non fisik, seperti pelatihan-pelatihan yang meningkatkan kapasitas masyarakat; b) Pencegahan, yaitu tindakan untuk mencegah munculnya suatu ancaman yaitu upaya yang meningkatkan kapasitas masyarakat, yang berhubungan dengan kerentanan komunitas tersebut, yaitu mempersiapkan secara individu dan secara komunitas dalam suatu organisasi.
Secara umum, pendekatan dalam PRB tersebut
melibatkan komunitas sehingga berbasis komunitas.34 Dengan demikian PRB menjadi berbasis komunitas, yang kemudian diartikan sebagai proses pengelolan
32
Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. UNDP 2012. h. 18. Ibid. 34 Eko Teguh Paripurno dkk. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. (Jakarta : Grasindo, 2009). h. 9. 33
14
risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuan. PRB dengan basis komunitas pertama-tama muncul atas kesadaran mengenai pentingnya perspektif pelibatan komunitas untuk penanggulangan bencana. Pendekatan berbasis komunitas menjadi filosofi yang mendasari program penanggulangan bencana berarti semua upaya dimulai dan diakhiri dengan komunitas selaku pelaku utama. Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakantindakan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal adalah keharusan agar
W D K U
tujuan PRB tercapai, yaitu mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk menghadapi risko bencana yang dihadapi. Pada akhirnya, PRB menjadi sebuah upaya agar masyarakat rawan bencana menjadi mandiri dan berkapasitas menghadapi suatu ancaman.35
Pemahaman dan karakteristik di atas menunjukkan bahwa sangatlah penting PRB menjadi pendekatan utama dalam membangun dan mendampingi masyarakat yang berada di daerah rawan bencana. PRB bukan hanya menjadi sebuah pendekatan dalam melakukan pemberdayaan suatu kelompok masyarakat, namun hal yang lebih penting adalah perspektif PRB yang menegaskan bahwa bencana dapat dihindari atau dicegah. Pemahaman ini jelas bertolak belakang
©
dengan pemahaman di sekitar budaya dan agama bahwa bencana adalah sesuatu yang harus dialami dan diterima manusia. Dengan demikian, PRB menjadi sebuah pendekatan baru dalam memahami dan menerima bencana. Dengan PRB, masyarakat diajak untuk melakukan sikap preventif, bukan sikap pasif sebagaimana yang tumbuh dan dihasilkan dalam berbagai pandangan dalam budaya dan agama. Dengan kata lain, pendekatan PRB sangat penting digunakan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat rawan bencana. Dengan berbagai pemaparan di atas, penulis bermaksud meninjau pelaksanaan pendampingan masyarakat dalam program desa binaan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan tersebut dalam perspektif PRB. Di satu sisi, dalam konteks masyarakat rawan bencana, penggunaan perspektif PRB dalam tinjauan ini sangatlah penting dilakukan, yaitu untuk mengevaluasi sejauh mana upaya 35
Ibid.
15
pendampingan yang dilakukan GKI Ngupasan dalam program desa binaan dapat memperlengkapi warga Dusun Tegalrejo dalam menghadapi dan mengantisipasi ancaman erupsi Gunung Merapi, di tengah tantangan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat sekitar Merapi yang cenderung bersikap pasif dalam menghadapi bencana. Di sisi lain, penulis ingin melihat sejauh mana gereja mengerjakan panggilan dalam pelayanannya secara sungguh-sungguh menjawab konteks penderitaan yang dialami manusia Dengan menggunakan perspektif PRB dalam tinjauan ini, penulis ingin menumbuhkan kesadaran bagi gereja dan masyarakat untuk melihat paradigma atau pemahaman yang baru dalam memaknai bencana,
W D K U
yaitu bahwa bencana dapat dihindari, dicegah, dan diminimalisir dampaknya, sebagaimana pemahaman yang dimiliki dalam PRB. Melalui pemberdayaan yang tepat, maka berbagai upaya yang dilakukan oleh gereja bersama masyarakat pada akhirnya mampu menekan sumber penderitaan yang dialami manusia yang disebabkan oleh suatu bencana.
1.2
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian tesis ini adalah “Apakah pendampingan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan GKI Ngupasan sudah menjadi upaya Pengurangan Risiko Bencana
©
(PRB) bagi masyarakat Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi ?”
1.3
Hipotesa
Hipotesa yang penulis ajukan berdasarkan pertanyaan penelitian di atas adalah pendampingan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan GKI Ngupasan belum menjadi upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) bagi masyarakat Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi. Seringkali, pelayanan yang dilakukan gereja bagi masyarakat korban bencana masih berupa pemberian bantuan-bantuan yang terkesan karikatif. Padahal, di dalam PRB, pemberdayaan komunitas menjadi kata kunci penting untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi suatu bencana. Jika hanya memberikan pelayanan dan bantuan yang bersifat charity saja, pertolongan bagi para korban
16
hanya sesaat saja, bukan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dapat mempersiapkan masyarakat rawan bencana dalam menghadapi bencana yang akan terjadi di waktu-waktu mendatang.
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Bertolak dari pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah
mengetahui sekaligus meninjau berbagai kegiatan pendampingan masyarakat yang dilakukan GKI Ngupasan dalam program desa binaan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dalam perspektif
W D K U
Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Berdasarkan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1.4.1 Menumbuhkan kesadaran bagi gereja-gereja untuk mengerjakan pelayanan yang tepat dan dapat menjawab pergumulan, dalam hal ini konteks masyarakat yang berada di daerah rawan bencana.
1.4.2 Memberikan perspektif Pengurangan Risiko Bencana bagi gerejagereja dalam memaknai bencana sehingga dapat mengerjakan pelayanan yang tepat bagi masyarakat rawan bencana.
1.4.3 Memberikan pemahaman yang tepat bagi gereja dan masyarakat dalam membangun kemitraan yang dapat mewujudkan suatu
©
kehidupan bersama yang lebih baik.
1.5
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian lapangan ini, penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam kepada sejumlah responden guna mendapatkan informasi yang diperlukan. Metode penelitian kualitatif dipilih karena tujuan dari penelitian kualitatif adalah mendapatkan gambaran dari sebuah fenomena atau situasi sekaligus mendapatkan deskripsi yang mendalam dari berbagai sumber atau opini terkait dengan situasi yang diteliti. 36 Pada bagian selanjutnya, penulis juga melakukan evaluasi dengan menganalisa data yang diperoleh dengan suatu teori, dalam hal ini dilakukan analisa antara kegiatan pendampingan yang dilakukan dalam program desa binaan GKI Ngupasan dengan 36
R. Kumar, Research Methodology : A step by step guide for beginners (London : Sage Publication, 2005), h. 12.
17
berbagai karakteristik dalam teori Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Adapun penelitian bertempat di GKI Ngupasan dan Dusun Tegalrejo dengan waktu antara Bulan Oktober 2015-Januari 2016. Berikut tahapan-tahapan yang dilalui penulis : 1.5.1 Teknik pengumpulan data Penulis melakukan pengumpulan berbagai data dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan program diakonia desa binaan GKI Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, yang didapatkan langsung dari pihak-pihak yang terlibat. Terkait dengan pengumpulan data melalui wawancara, penulis
W D K U
melakukan wawancara terhadap pihak-pihak berikut : a.
Majelis Jemaat GKI Ngupasan, dalam hal ini Bidang Kesaksian Pelayanan yang menangani program desa binaan GKI Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, berjumlah 5 orang.
b.
Tokoh masyarakat dan warga Dusun Tegalrejo, berjumlah 4 orang.
c.
Para ahli, penyuluh, fasilitator dan pengurus LSM Kesindo yang dilibatkan dalam program diakonia ini. Berjumlah 5 orang.
©
1.5.2 Analisa dan interpretasi data
Setelah data dikumpulkan, penulis akan melakukan analisa, pengolahan dan interpretasi data. Proses ini mengidentifikasi berbagai kegiatan yang dilakukan dalam program desa binaan tersebut. Selanjutnya, penulis akan melakukan evaluasi antara hasil identifikasi yang ada di dalam program desa binaan tersebut dengan berbagai kriteria yang ada dalam teori Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dengan kata lain, penulis juga melakukan penelitian evaluasi. Penelitian evaluasi merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data, menyajikan informasi yang akurat dan objektif mengenai implementasi suatu aksi berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam suatu teori, selanjutnya dengan akurasi dan objektivitas informasi yang diperoleh dapat ditentukan nilai atau tingkat keberhasilan
18
program, sehingga bermanfaat untuk pemecahan masalah yang dihadapi serta mempertimbangkan apakah program tersebut perlu dilanjutkan atau dimodifikasi.37 Dalam proses ini, penulis menganalisa setiap kegiatan yang ada di dalam program desa binaan tersebut dengan berbagai karakteristik atau unsur-unsur dalam teori PRB. Hasil analisa tersebut akan menunjukkan apakah kegiatan-kegiatan dalam desa binaan sudah dapat menjadi upaya PRB bagi masyarakat Dusun Tegalrejo terhadap ancaman erupsi Gunung Merapi atau belum sekaligus penulis mencari hal-hal yang mendukung ataupun menghambat program ini menjadi sebuah upaya
W D K U
Pengurangan Risiko Bencana.
Selanjutnya, penulis akan melakukan refleksi teologis atas berbagai pelayanan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan bagi warga Dusun Tegalrejo. Penulis akan mendialogkan pemahaman perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dengan pemahaman diakonia gereja dalam menjawab konteks masyarakat sekitar Gunung Merapi, yang berada di daerah rawan bencana sekaligus cenderung bersikap pasrah dalam menghadapi bencana sehingga diperoleh upaya pelayanan yang tepat, yang dapat dilakukan gereja dalam konteks masyarakat di daerah rawan bencana.
1.6
©
Metode Penulisan
Data-data, baik berupa gambar, tabel, dokumen maupun berbagai catatan hasil wawancara dan analisis penelitian, selain dilampirkan dalam laporan juga akan disajikan secara naratif. Sedangkan tesis akan disajikan secara deskriptif analitis. Secara garis besar, sistematika penyusunan laporan penelitian atau tesis adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah penelitian, hipotesa, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan metodologi penelitian, kerangka teoretis serta sistematika penulisan laporan. 37
Zaenal Arifin. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. (Jakarta : Grasindo, 2009). h. 60
19
Bab II Tinjauan Literatur : Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Bab ini berisi tentang tinjauan literatur teori mengenai Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sehingga melalui tinjauan literatur ini penulis mendapatkan variabel dalam penelitian yang dilakukan.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan : Tinjauan Pendampingan Masyarakat Dusun Tegalrejo dalam Perspektif PRB Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang memaparkan gambaran Dusun Tegalrejo sebagai komunitas sasaran dan uraian pelaksanaan program desa binaan
W D K U
yang dilakukan oleh GKI Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dan hasil analisis Penulis terhadap pelaksanaan program desa binaan dalam sudut pandang teori PRB.
Bab IV Refleksi Teologis terhadap Pendampingan Masyarakat Dusun Tegalrejo yang Dilakukan GKI Ngupasan
Bab ini berisi refleksi teologis atas upaya yang telah dilakukan oleh GKI Ngupasan bagi masyarakat Dusun Tegalrejo. Selain itu, penulis akan memaparkan berbagai upaya dan pelayanan gereja dalam konteks melayani masyarakat yang berada di daerah rawan bencana dalam perspektif PRB dengan mendialogkan
©
berbagai pemahaman dalam PRB dengan pemahaman diakonia gereja sehingga diperoleh upaya yang tepat dalam melayani masyarakat rawan bencana.
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bagian kesimpulan dan saran penulis sebagai peneliti bagi penelitian lanjutan tentang pelayanan yang dilakukan gereja melalui berbagai upaya pelayanan sehingga menjadi sebuah upaya PRB, khususnya di GKI dan gereja di Indonesia pada umumnya.
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
20