BAB I PENDAHULUAN
I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) secara kelembagaan 1 diresmikan pada tanggal 6 Juni 1949. Komunitas iman ini diyakini lahir oleh pekerjaan Roh Kudus yang diwujudkan melalui perantaraan para penginjil Ultrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) sebagai mitra kerja Tuhan dalam upaya menolong orang-orang yang mendiami pulau Halmahera dan pulau sekitarnya untuk lebih memahami karya penebusan Allah dalam Yesus Kristus.2 Orang-orang yang menerima karya penebusan tersebut mendefinisikan dirinya
W
sebagai komunitas iman para murid Yesus yang dipanggil untuk menjadi saksi karya Allah yang menghidupkan dan saling memberdayakan.3 Kesadaran hidup menggereja ini lahir dari sebuah kesadaran bahwa GMIH sebagai Gereja Tuhan di Halmahera selalu berupaya untuk
KD
mewujudkan perbuatan nyata yang menghidupkan.4
Rumusan arah hidup menggereja GMIH yang selalu bertolak dari konteks sosial Halmahera menunjukkan bahwa GMIH terus mempertimbangkan secara serius proses-proses perubahan sosial yang terjadi. Sejumlah permasalahan yang terjadi dalam konteks tersebut
U
lalu dijadikan rujukan pembaruan arah hidup GMIH. Dan terkait dengan konteks Halmahera itu, salah satu permasalahan yang paling sering terjadi ialah hubungan GMIH dan agama
©
kekerabatan5 di Halmahera. Perjumpaan ini telah berlangsung lama, dan dalam catatan historis, perjumpaan tersebut selalu menunjukkan ketegangan. Acapkali sumber ketegangan ini dihubung-hubungkan dengan paham teologis Kristen yang diwarisi dari para zendeling yang kurang menghargai keberadaan agama kekerabatan. Sementara komunitas kultural --yang kemudian hari menjadi Kristen pun --- dalam konteks kehidupan mereka telah hidup pemahaman-pemahaman teologis. Pemahaman teologis ini yang seringkali ditantang dan karena itu seringkali diabaikan, padahal sangat berpengaruh besar dalam pembentukan pola pikir dan perilaku umat di dalam menyikapi setiap aspek kehidupan. 1
Chris Hartono, Peranan Organisasi bagi Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 29-36. Lihat penjelasan mengenai Gereja dan organisasi. 2 “Dokumen Sidang Sinode GMIH XXVI”, (Jemaat Tiga Saudara, Wilayah pelayanan Ibu Halmahera Barat, 17-22 Juli 2012), hlm. 59. 3 Ibid., hlm. 60. 4 Jullianus Mojau, Menjadi Buah Bungaran Kebun Anggur Allah: Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca Gereja-Zending, (Tobelo: Uniera, 2010), hlm. 27-48.
1
Kebuntuan ini telah berlangsung sejak Hendrik van Dijken menginjakkan kakinya di pedalaman Galela-Halmahera bagian utara pada tahun 1886. Hendrik van Dijken adalah seorang zendeling yang berlatarbelakang petani dan dipengaruhi oleh pietisme yang salah ciri khasnya ialah menekankan kesalehan dan perhimpunan. Implikasi logis dari latar belakang hidup van Dijken ini terbukti melalui metode pekabaran injil yang dipakainya. Duma sebagai komunitas Kristen perdana di Halmahera dapat disebut sebagai conventicle, yaitu komunitas orang-orang kudus. Orang-orang yang diterima dalam komunitas Duma adalah orang-orang yang harus meninggalkan praktek-praktek budaya lokal.6 Sasarannya sangat jelas sekali: agar para muridnya tidak lagi berhubungan dengan sistem nilai yang mereka pelihara, anut dan yakini yang mereka peroleh secara turun-temurun. Sebagai akibatnya, banyak orang yang menjadi Kristen diusir dari komunitas asalnya, dan hak-hak adat di kampungnya juga ikut dihapus.7
W
Kemudian hari GMIH yang meneruskan tradisi iman warisan zending UZV pun ikutikutan mengasingkan diri dari kenyataan kultural yang dihidupinya. 8 Sikap GMIH ini
KD
berhasil menyemai benih-benih permusuhan yang dilandasi dengan rasa unggul terhadap budaya setempat. Dari situ juga lahirlah bermacam-macam masalah seperti perkembangan umat Kristen yang menjadi terasing dari kebudayaan mereka, kaku dalam perjumpaan dengan agama-agama lain, termasuk dengan agama kekerabatan yang sebelumnya dianut. Pada kenyataannya sikap defensif yang ditunjukkan GMIH di sepanjang sejarahnya
U
itu tidak serta merta dapat memusnakan ekspresi-ekspresi budaya setempat, faktanya, hingga tahun 2012, praktek-praktek warisan agama kekerabatan yang bersumber dari budaya
©
Halmahera tetap dipraktekkan secara diam-diam di kalangan anggota jemaat.9 Perilaku
5
Penjelasan tentang agama kekerabatan diuraikan pada bab II, poin II.2.3. M. J. van Baarda, Riwayat Hidup Hendrik van Dijken, diterjemahkan dan diedit oleh H. G. Schuurman dari judul aslinya, H. van Dijken, Zijn Leven en Arbeid op Halmaheira (Nijmegen 1905). H. G. Schuurman, Seri Sejarah GMIH, (Tobelo: STT GMIH, 1995), hlm. 64-66. Lihat tinjauan H.G. Schuurman atas tulisan M. J. van Baarda, khusus tentang suasana di kampung Duma pada masa pelayanan Hendrik van Dijken. 7 A. L. Franz, Benih Yang Tumbuh 9: Gereja Masehi Injili di Halmahera, (Jakarta: LPS-DGI, 1976), hlm. 7-9. 8 Bnd. J. Mojau, Religiositas Masyarakat Halmahera Tradisional dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Mereka Sehari-hari: Sebuah Pertimbangan untuk Pengembangan Teologi Operatif Lokal. www.wikipedia.co.id/ file teologi operatif/. Menurut Mojau, bahwa bahaya kepunahan tradisi dan kepercayaan lokal masyarakat Halmahera itu terkait dengan pengaruh warisan teologis dulaisme-pietismerasionalistik a'la pencerahan (aufklarung) yang dibawah oleh lembaga-lembaga zending yang bekerja di Halmahera. Warisan kekristenan inilah perlu ditinjau kembali yang sering mengklaim dirinya sebagai kekristenan yang sah memajukan kesejahteraan umat manusia. Sebab menurut hemat Mojau, bahwa salah satu faktor pembentuk sikap dan perilaku sosial desktruktif masyarakat kita dewasa ini justru sumbernya adalah kekristenan rasionalistik yang dengan angkuh ingin "membongkar misteri kehidupan" manusia dan alam semesta. 9 Sirayandris J. Botara, Teologi Masigilio; Sebuah Pertimbangan Untuk Pengembangan Teologi Lokal, (Tobelo: Sangkakala GMIH, edisi Maret-April 2011), hlm. 21-22. 6
2
anggota jemaat seperti yang disebutkan terakhir ini telah menjadi rahasia umum di kalangan jemaat-jemaat di lingkungan Sinode GMIH. Mempercayai tempat-tempat tertentu yang memiliki daya, membaca pesan singkat dalam isyarat simbolik, meyakini kehidupan sesudah kematian yang mewujud melalui sosok O Gomanga sebagai roh orang mati yang memiliki relasi dengan manusia, dan sebagainya adalah riak-riak kehidupan umat yang selalu dinilai negatif. Bersamaan dengan itu, GMIH kembali dipusingkan dengan menguatnya semangat etnisitas yang ditandai dengan bermunculannya “Raja-raja Lokal” (Selain Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan) di kalangan masyarakat Halmahera, diikuti dengan pratek-praktek pedukunan yang kembali mendapat tempat di kalangan masyarakat. Tentunya kenyataan-kenyataan kultural yang sempat disebutkan di atas masih sangat terbatas dan belum mencakup semua hal yang terjadi mengenai bangkitnya budaya lokal.
W
Tetapi paling tidak beberapa contoh yang disebutkan di atas kiranya sudah cukup dalam memberikan gambaran tentang pergumulan GMIH dalam konteks budaya yang dinamis dan
KD
menyejarah itu. Pertanyaannya ialah bagaimana tanggapan umat maupun para pelayan (pendeta dan majelis) terhadap realitas budaya?
Sebagai respons terhadap budaya lokal, ada orang yang berpendapat bahwa di dalam budaya lokal terkandung unsur-unsur kekafiran. Misalnya saja yang nampak dalam ungkapan kegeraman terhadap umat yang masih memelihara tradisi budaya lokal:
©
U
”Sebagai warga GMIH, kita sadar bahwa iman Kristen harus dipahami dalam budaya Halmahera. Budaya Halmahera sebagai kulit tetapi isinya seharusnya nilai-nilai Kristiani sejati. Tetapi yang terjadi dan berkembang selama ini disebagian besar kehidupan orang Kristen Halmahera, ialah keadaan yang sebaliknya: Kulitnya Kristen tetapi isinya nilainilai kearifan. Pertemuan antara Kekristenan yang sangat dangkal dengan agama-agama Pra-literer yang pengaruhnya masih sangat kuat ternyata telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar warga GMIH yang tersebar di wilayah pedesaan. Dalam suasana agama suku/pra-literer, nampaknya sangat sulit atau hampir tidak mungkin, usaha menuju perbaikan kehidupan di dunia ini.” 10
Kelompok yang menolak beranggapan bahwa sikap hidup yang masih dipengaruhi oleh budaya lokal tidak akan menolong anggota jemaat GMIH untuk keluar dari keterpurukan ekonominya yang mengkhawatirkan akibat kemiskinan yang dialami. Kelompok ini seringkali mengabaikan kebiasaan hidup masyarakat Halmahera sebagai komunitas kultural
10
J.L. Nanere, Transformasi GMIH; Gereja Masehi Injili di Halmahera dan Pulau-Pulau Sekitarnya. 2012, hlm. 17-18. Jauh sebelum Nanere, ada sejumlah pendeta yang nampak melalui tulisan-tulisan mereka memperlihatkan penolakan terhadap budaya setempat. Salah satu contohnya, Kutjame yang menilai salah satu problem yang dihadapi GMIH adalah sinkretisme. Lih. Salmon Kutjame, “Pengaruh Agama Asli dalam Kehidupan Gereja Masehi Injili di Halmahera”, dalam H.G.Schuurman, (ed), Seri Sejarah GMIH, (Tobelo: STT GMIH, 1995), hlm. 33-35. Baik Nanere maupun Kutjame hanyalah contoh yang mewakili umat dan pendeta dalam sinode GMIH yang menolak ekspresi-ekspresi budaya Halmahera.
3
yang sangat menghargai dan terus memelihara tradisi religiositasnya yang terkandung dalam budaya mereka. Masyarakat kultural ini tidak berorientasi kesejahteraan ekonomi, tetapi orientasi spiritulitas seperti nampak dalam penghargaan terhadap roh orang mati adalah cara mereka menjaga harmoni antara individu dengan komunitas, dengan alam, maupun dengan Yang Ilahi. Sikap penolakan terhadap budaya lokal adalah cerminan dari umat dan pendeta yang seringkali bersikap defensif terhadap agama kekerabatan. Kelompok ini dapat disebut sebagai kelompok ekslusif yang tetap setia terhadap aksioma dogmatis yang meyakini bahwa Kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar. Karena itu, tindakan memelihara tradisi budaya setempat adalah sebuah tindakan kekafiran. Di sisi yang lain, sikap penolakan semakin memperlihatkan kepada kita bahwa budaya lokal sesungguhnya tetap hidup dan eksis hingga di saat ini.
W
Menyadari bahwa kearifan-kearifan lokal tetap eksis, maka sebagian umat dan pendeta --- sebagai kelompok yang menerima --- mencoba menggali tradisi-tradisi yang terkandung
KD
dalam budaya dan mempertimbangkannya kembali sebagai sumber berteologi. Fredrik Putjutju, salah seorang pendeta GMIH yang sangat menghargai budaya lokal, mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut:
U
”Dahsyatnya kemajuan zaman, globalisasi dan modernisasi merupakan tantangan terhadap nilai-nilai sosiokultural, yang di dalamnya termasuk nilai-nilai persaudaraan (penulis: Esa Moi). Konflik merupakan penjelmaan atau bahkan merupakan salah satu sisi gelap perubahan yang terjadi secara radikal akibat pergerakan zaman. Perubahan radikal ini telah menjadi penyebab munculnya prahara kebudayaan.”11
©
Apa yang dikemukakan oleh Putjutju jelas-jelas memperlihatkan kepada kita bahwa
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat telah turut mempengaruhi eksistensi budaya. Dalam diri Putjutju ada kekhawatiran tentang terdegradasinya nilai-nilai budaya dalam komunitas kultural, sehingga penting baginya (Putjutju) untuk mengangkat dan melestarikan kembali budaya lokal, yang juga dapat dijadikan sebagai sumber berteologi kontekstual. 12 Sebagai pendeta GMIH, sikap Putjutju dapat disebut sebagai sebuah langkah maju. Karena biasanya, di dalam lingkungan GMIH, para pendeta seringkali bersikap sebagai ”hakim” yang menentukan benar-tidaknya praktek-praktek budaya setempat. Dengan segala keterbatasan metodologis dan sikap kritis, usaha Putjutju perlu diapresiasi. Upayanya dapat
11
Fredrik Putjutju, E’sa Moi, Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta: Lintang Aksara, 2012), hlm. 20-21. 12 Sejalan dengan Putjutju, S. S. Duan dalam catatan editorialnya, berpendapat bahwa sudah saatnya mengembangkan cara pandang yang lebih menghargai budaya Halmahera. S. S. Duan (ed), “O Hoya” Mengenang Kepulangan Jan Namotemo, (Tobelo, Tobelo Pos, 2011), hlm. 8-9
4
disejajarkan dengan upaya berteologi yang diwarnai dengan semangat kontekstualisasi.13 Kesadaran ini mengandaikan bahwa bukan hanya teks (baca: Alkitab) yang diselediki dan di telaah, tetapi juga konteks. Terjadinya perjumpaan teks dan konteks memungkinkan umat untuk berjumpa dengan Allah dalam budaya dan kenyataan hidup yang dijalaninya. Sampai di sini kiranya menjadi jelas bahwa pergumulan-pergumulan GMIH dalam konteks budaya Halmahera yang sempat disebutkan di atas terkait dengan beberapa hal berikut: 1), masih dipeliharanya tradisi religius warisan zendeling yang nampak dalam sikap yang menolak secara tegas eksistensi budaya. 2), Bersamaan dengan itu, masih saja ada orang yang beranggapan bahwa warisan agama kekerabatan tidak dapat menolong umat di Halmahera yang hidup di dunia modern sekarang ini untuk keluar dan menjadi eksis – meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. 3), agama kekerabatan --- sekalipun selalu ditindas --- ternyata tetap eksis hingga saat ini. 4), wacana hubungan GMIH dan kebudayaan
W
di Halmahera kembali menguat ketika ada kesadaran bahwa betapa pentingnya mempertimbangkan secara serius kearifan-kearifan lokal dalam rangka berteologi.
KD
Uraian-uraian tentang dinamika pergumulan GMIH dalam konteks sosial-budaya Halmahera yang disebutkan di atas itu secara sepintas telah memperlihatkan pergumulan GMIH yang telah terhisap ke dalam situasi sosial-budaya yang kompleks. Tugas penulis ialah memeriksa sejarah GMIH dalam konteks budaya Halmahera periode 2002-2012 dan melihat bagaimana GMIH dapat bertransformasi dalam dinamika sosial yang dinamis dan
U
menyejarah itu. Sejarah GMIH yang dibahas ini merupakan sejarah dialogis antara GMIH dan dunia kehidupan yang nyata ini, yakni sejarah interaktif antara GMIH dengan sejarah
©
kehidupan budaya Halmahera. I.1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas itulah kemudian inti permasalahan yang hendak dibahas dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah GMIH masih bersikap defensif terhadap riak-riak kehidupan yang bersumber dari budaya lokal sebagai kenyataan kultural yang dijumpai dalam konteks Halmahera?
13
Salah satu contoh yang dapat dilihat yaitu upaya Fredrick Pututju dalam mengapreasiasi kearifan lokal ‘Esa Moi dalam kalangan masyarakat Tabaru. Hasil eksplorasi yang mendalam tentang ‘Esa Moi menghasilkan rumusan teologi kontekstual tentang Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera. Lih. Fredrick. R. Putjutju, ‘Esa Moi; Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2012).
5
Mengapa sikap defensif GMIH tidak serta-merta membuat riak-riak kehidupan yang bersumber dari budaya lokal dalam konteks Halmahera semakin hilang, malah justru sebaliknya, semakin eksis? Bagaimana semestinya GMIH di sepanjang sejarahnya menghormati, memberi tempat, dan perhatian terhadap budaya lokal dalam rangka berteologi secara kontekstual? I.1.3. Batasan Masalah Setiap penulisan sejarah dituntut untuk menentukan batasan-batasan penelitian guna memperoleh fokus dan ada kemungkinan dikaji, serta dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis. Batasan-batasan penelitian dalam penelitian ini ialah batasan waktu (temporal)
Batasan Temporal
W
dan batasan spasial. Berikut ini uraiannya:
KD
Secara temporal, periode 2002-2012 yang menjadi perhatian utama dari studi ini erat kaitannya dengan pergulatan GMIH dalam konteks sosial-budaya Halmahera seperti yang telah disebutkan di atas. Periodisasi ini juga terkait dengan periode pelayanan dan persidangan Sinode GMIH yaitu 2002-2007 GMIH yang utuh, dan periode 2007-
U
20012 GMIH yang memberdayakan. Batasan Spasial
©
Penulisan tesis ini dapat digolongkan dalam fokus peristiwa yang terjadi di dalam komunitas keagamaan di daerah tertentu, atau bisa disebut local history. Dalam tesis
ini lingkup spasial dibatasi pengertiannya sebagai gereja lokal. Karena itu, di sini pengamatan akan dibatasi pada satu gereja saja, yaitu Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Hasil studi ini juga tidak merupakan representasi dari Gerejagereja yang ada di Halmahera. Mengingat masalah-masalah yang terjadi pun sangat kompleks, maka penulis akan secara khusus membahas peristiwa-peristiwa historis yang berdampak langsung dan mempengaruhi GMIH. Peristiwa-peristiwa historis yang penulis maksudkan di sini bukan tentang “kebenaran” yang ada di luar sana sehingga perlu ditemukan untuk dikabarkan kepada semua orang. Fokus penulis terletak pada riak-riak kehidupan yang bersumber dari budaya Halmahera periode 2002-2012 dan bagaimana GMIH bersikap terhadap kenyataan kultural semacam itu, dan yang
6
dianggap sebagai bagian dari sejarah GMIH. Karena itu, sekalipun penulis akan mencoba melihat sejauh mana GMIH berinteraksi dengan dinamika sosial-budaya Halmahera, namun tidak semua gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dalam konteks itu dijadikan sumber sejarah. Batasan ini penting, supaya penulis tidak jatuh pada sebuah upaya penelitian antropologi atau etnomenologi murni. I.2. Judul 1.2.1. Rumusan Judul Berdasarkan konteks permasalahan di atas, tesis ini lalu diberi judul Mendayung Kora-Kora Injil di Halmahera: Sejarah Gereja Masehi Injili di Halmahera dalam Konteks Sosial-Budaya Halmahera 2002-2012. Istilah Kora-Kora Injil di Halmahera terinspirasi dari istilah yang digunakan Th. Magany yang telah terlebih dahulu menulis Bahtera Injil di Halmahera.14 Penulis lalu
W
sejarah GMIH dengan judul tulisannya
menambahkan kata Mendayung pada Kora-Kora Injil di Halmahera yang pengertiannya
KD
dibatasi pada; Pertama, dalam sosio-linguistik masyarakat Halmahera, Bahtera/perahu disebut dengan istilah Kora-Kora (perahu tradisional masyarakat Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya). Kemudian GMIH menggunakan Kora-kora tersebut menjadi bagian dari Logo GMIH. Kora-kora yang digambarkan sementara berlayar melambangkan sarana pewartaan Injil Kerajaan Allah sebagai berita pembebasan, pemberdayaan dan yang membangkitkan
U
semangat hidup emansipatoris, baik secara ekonomi, budaya dan politik ke seluruh pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya.15
©
Kedua, Injil (Yunani: ε’υαγγέλιον/euanggelion) diartikan sebagai berita kesukaan.16
Chris Hartono dalam tulisan menjelaskan Injil sebagai pemberi pembebasan yang sempurna, karena itu, dengan mengutip pendapat Gunning Jr, Hartono secara tegas mengatakan bahwa Injil itu bersifat revolusioner bahkan bersifat radikal.17 Bersifat revolusioner dan radikal sebab Injil menentang pembebasan palsu, pembebasan yang tidak pro-kemanusiaan. Injil dengan demikian dapat membalikkan, menciptakan kembali sebuah komunitas iman yang diberdayakan atau dilahirkan kembali. Selain itu, Injil juga membuat hidup menjadi penuh,
14
Lihat Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Tobelo: GMIH, 1984). “Dokumen Sidang Sinode XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 63. 16 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 38. 17 Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pemikiran Hartono erat kaitannya dengan kajiannya terhadap teologis etis. Penting untuk dicatat juga bahwa pemikiran teologis etis tentang Injil pada hakekatnya berbeda (terbebas) dari kesalehan gaya Pietisme, yaitu yang memahami Injil hanya untuk beberapa orang perseorangan belaka tersebut. Lih. Chris Hartono, Teologi Etis: Suatu Studi Tentang Teologi Etis Belanda dan Nisbahnya dengan Pekabaran Injil Belanda, (Yogyakarta: TPK, 1995), hlm. 45-48. 15
7
baik secara rohani maupun jasmani. Injil dapat menjadi kekuatan etis yang bekerja dan dapat menerangi seluruh dunia. Ketiga, dalam Kamus bahasa Indonesia Kontemporer kata Di (prep) diartikan sebagai; 1) penunjuk tempat; 2), penunjuk waktu. Dalam tesis ini kata Di yang terdapat pada judul digunakan sebagai penunjuk tempat, yaitu Halmahera18 yang di dalamnya GMIH hidup dan berkembang. Halmahera juga dapat dipahami sebagai subuah dunia atau konteks19 yang dinamis. Sepintas melihat penjelasan singkat mengenai pengertian Bahtera Injil di Halmahera seperti diuraikan di atas nampaknya tidak ada yang salah. Betul tidak ada yang salah, hanya saja kita membutuhkan sebuah kata yang menggambarkan praksis hidup menggereja GMIH yang selama ini telah diupayakan. Menurut penulis, mendayung adalah kata kunci bahtera tersebut didorong dan bergerak maju mengarungi lautan dan hingga menepi di tempat tujuan.
W
Bahtera (n) tidak akan bergerak ke mana-mana, kecuali bahtera tersebut ditiup angin kencang atau di bawah arus gelombang laut baru bisa bergerak, tetapi ending-nya hanya ada
KD
dua, pertama perahu tersebut akan dibawa ke lautan lepas, kedua bahtera tersebut terkandas di atas batu karang hingga akhirnya menjadi rusak. Diperlukan sebuah upaya, sebuah langkah konkrit untuk mengarahkan agar bahtera bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat, karena itu bahtera perlu didayung. Tema mendayung bahtera injil di Halmahera mengandung nada optimistis, yaitu bahwa GMIH sebagai persekutuan para murid Yesus Kristus memiliki
U
kewajiban asasi untuk menjalankan misi-Nya di dunia ini. Itu tergambar pada simbol pelayanan GMIH yang dilambangkan dengan Perahu (Bahtera) Kora-kora.20 Kedua, tema
©
mendayung bahtera injil di Halmahera juga terkandung nilai historis-teologis, yaitu perahu ini juga melambangkan GMIH sebagai persekutuan kehidupan yang selalu mendayung kehidupan ini searah ke arah kedewasaan dan kecerdasan iman. Dalam terang pengertian 18
Kata Halmahera sendiri mengandung pengertian yang berbeda-beda dan hingga kini belum ada satu pengertian yang mutlak dapat diterima secara umum dalam kalangan masyarakat yang mendiami pulau Halmahera. Ada yang mengatakan Halmahera adalah daratan atau benua, karena bila dibandingkan dengan pulau-pulau sekitarnya yang lain Halmahera merupakan pulau terbesar di antara pulau-pulau sekitarnya yang ukurannya jauh lebih kecil.18 Salah seorang sejarawan GMIH menjelaskan bahwa asal mulanya Halmahera diambil dari kata Alu Ma Eira yang berarti Lunas Perahu. Penyebutan Alu Ma Eira terasa sulit bagi masyarakat masa itu sehingga mereka lebih mudah mengucapkan dengan istilah Almaeira. Kemudian hari Almaeira menjadi Halmahera. Lih. M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hlm. 8. Penjelasan lebih lanjut tentang Halmahera dapat dilihat pada Bab II, poin II.2. 19 E. D. K. Markus Masinambow, Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah; Sebuah Analisa Pendahuluan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1976), hlm. 19-21. 20 Perahu Kora-kora adalah perahu tradisional masyarakat Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Simbol GMIH ini mengandung makna yaitu Perahu (GMIH) yang sementara berlayar melambangkan sarana pewartaan Injil Kerajaan Allah sebagai berita pembebasan, pemberdayaan dan yang membangkitkan semangat hidup emansipatoris. Untuk penjelasan nama dan logo GMIH, dalam “Dokumen Sidang Sinode GMIH ke XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 62-63.
8
itulah lalu subjudul tesis ini dirumuskan menjadi : Sejarah Gereja Masehi Injili di Halmahera dalam Konteks Sosial-Budaya 2002-2012. Subjudul ini menekankan kekhususan fokus penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah. Menulis sejarah, apalagi menulis sejarah gereja, harus diingat bahwa upaya penulisan itu tidak sekadar kegiatan intelektual atau akademisi, tetapi penulisan sejarah juga merupakan kegiatan yang bermakna teologis. Harapannya yaitu sejarah GMIH yang ditulis diupayakan berdasarkan fakta-fakta empiris yang pernah terjadi. Sementara kata Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah subjek penelitian. Gereja (Portugis: igreja) secara etimologi diartikan sebagai “orang yang dipanggil keluar”.21 Menurut Veldhuis, aslinya digunakan untuk warga bebas (jadi bukan budak), yang dipanggil berkumpul di lapangan kota untuk perkumpulan rakyat. Ini sebuah kata yang bagus, sebagaimana Israel dibebaskan dan dipanggil Allah untuk menjadi umatNya, begitu juga
W
orang Kristen dipanggil sebagai manusia bebas, menjadi jemaat Allah.22 Penjelasan terakhir yang disebutkan itu erat kaitannya dengan aspek teologis gereja sebagai persekutuan
KD
kehidupan orang-orang yang beriman kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Begitu juga dengan orang-orang yang bergabung dengan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) yang mendefenisikan dirinya sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus yang secara kelembagaannya didirikan pada tanggal 6 Juni 1949. GMIH sebagai komunitas iman lahir dari iman kepada Injil sebagai kekuatan Allah yang menghidupkan, membaharui,
U
memberdayakan dan membebaskan (Roma 1:6-17) yang bersumber dari pewartaan Yesus Kristus sendiri tentang Injil Kerajaan Allah sebagai berita pertobatan, pembebasan, dan
©
perdamaian (Markus 1:14-15; Lukas 4:18-19) dan dengan pertolongan Roh Kudus sebagai sumber hikmat dan kebijaksanaan. GMIH sebagai komunitas iman juga merupakan Umat Allah dan Tubuh Kristus yang kudus dan am yang bersifat multikultural, serta sebagai komunitas iman diakonal emansipatoris yang saling memberdayakan.23
21
Ada Gereja (‘ekklesia) yang tidak kelihatan dan Gereja yang kelihatan. Yang dimaksudkan dengan Gereja yang tidak kelihatan ialah persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya di segala tempat dan dari segala waktu, atau sering disebut juga dengan tubuh Kristus (Kol 1:18). Gereja yang kelihatan berarti Gereja yang secara organisatoris dibentuk untuk menjalankan tugas dan fungsi pelayanannya di dunia ini. Gereja sebagai lembaga/organisasi merupakan manifestasi dari Gereja yang kudus dan am yang tidak kelihatan itu. R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hlm. 30-31. Penjelasan tentang Gereja sebagai organisasi dapat dilihat dalam Chris Hartono, Peranan Organisasi dalam Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978). Bnd. Henry C. Thiessen direvisi oleh Vernon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1992), hlm. 473-516. 22 Henri Veldhuis, Kutahu yang Kupercaya; Sebuah Penjelasan Tentang Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm 200. 23 “Dokumen Sidang Sinode GMIH ke XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 62.
9
1.2.2. Alasan Pemilihan Judul Selama ini telah ada beberapa studi tentang sejarah GMIH. Kita dapat menyebutkan di sini, misalnya: studi yang dilakukan oleh F. L. Wowiling yang berusaha mengungkapkan perjuangan tokoh-tokoh GMIH pada awal pembentukan GMIH sebagai organisasi mandiri kurun waktu 1942-1949;24 studi yang dilakukan oleh Pdt. R. Salakparang yang secara khusus memberi perhatian pada Perkawinan Kafir di Halmahera yang ditulis pada tahun 1972;25 studi yang dilakukan oleh M. Th. Magany yang diberi judul Bahtera Injil di Halmahera ditulis pada tahun 1984;26 studi yang dilakukan oleh James Haire tentang Sifat dan Pergumulan Gereja Masehi Injili di Halmahera 1941-1979;27 dan studinya Agustinus N. Aesh yang diberi judul Sejarah Wawasan Eklesiologis GMIH.28 Studi-studi terbaru periode 2000-2012 yang berkaitan langsung dengan GMIH telah
W
berhasil dipublikasikan. Dapat disebutkan di sini, misalnya: bukunya Julianus Mojau tentang Teologi Politik Pemberdayaan (2009);29 Menjadi Buah Bungaran Kebun Anggur Allah: Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca Gereja-Zending (2010);30 dan Pedoman Liturgi
KD
Gereja Masehi Injili di Halmahera (2010);31 studi yang dilakukan oleh Sefnat A. Hontong tentang Eksistensi Pusara Dodara: Upaya Hermeneutika Etis-Sosiologis bagi Pembangunan Budaya Damai di Halmahera;32 dan studi yang dilakukan Fredrik Putjutju yang diberi judul ‘Esa Moi: Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera.33 Termasuk salah satu
U
manuskrip kontroversial yang ditulis oleh salah seorang warga jemaat mengenai
24
©
Transformasi GMIH.34
F. L. Wowiling, Gereja Protestan Halmahera. dalam, H. G. Schuurman (ed), Seri Sejarah GMIH, (Tobelo: STT GMIH, 1995). 25 R. Salakparang, “Perkawinan kafir di Halmahera“, dalam, H. G. Schuurman, Seri Sejarah GMIH, (Tobelo: STT GMIH, 1995). 26 M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Tobelo: GMIH, 1984). 27 James Haire tentang Sifat dan Pergumulan Gereja Masehi Injili di Halmahera 1941-1979, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998). 28 Agustinus N. Aesh, Sejarah Wawasan Eklesiologis GMIH, dalam H. G. Schuurman, Seri Sejarah GMIH 9, (Tobelo: STT GMIH, 1995). 29 Julianus Mojau, Teologi Politik Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009). 30 Julianus Mojau, Menjadi Buah Bungaran Kembun Anggur Allah: Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca Gereja-Zending, (Tobelo: Percis Halmahera, 2010). 31 Julianus Mojau, Pedoman Liturgi Gereja Masehi Injili di Halmahera, (Tobelo, Percis Halmahera, 2010). 32 Sefnat A. Hontong, Eksistensi Pusara Dodara; Upaya Hermeneutika Etis-Sosiologis bagi Pengembangan Upaya Damai di Halmahera, (Yogyakarta: Kanisius, 2012). 33 Fredrik Putjutju, ‘Esa Moi: Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2012). 34 Manuskrip kontroversial tersebut ditulis oleh salah seorang Guru Besar (pertanian) yang juga adalah warga jemaat GMIH. Manuskrip ini kemudian dipresentasikan pada Sidang Majelis Tahunan Sinode yang diselenggarakan pada awal tahun 2012 di Jemaat Mawea, Wilayah Pelayanan Tobelo Timur. Karena Penulis manuskrip tersebut mengusulkan agar Hukum Taurat dihilangkan dalam tradisi iman GMIH maka serentak
10
Signifikansi studi ini dalam hubungan dengan studi-studi sebelumnya terletak pada belum adanya satu studi pun yang berbicara mengenai sejarah GMIH periode 2002-2012 dari sekian publikasi ilmiah yang disebutkan di atas. Sekalipun demikian, tesis ini hadir bukan semata-mata mengisi kekosongan itu. Tesis ini hadir sebagai sebuah studi konprehensip dan meliputi kurun waktu 2002-2012. Memberi fokus pada periode waktu tertentu bukan berarti tesis ini tidak terkait dengan studi-studi sebelumnya, karena itu, baik studi-studi sejarah maupun studi-studi seperti disebutkan di atas tetap penting untuk diingat dan tetap perlu dipelajari serta dimanfaatkan dalam upaya penelusuran sejarah GMIH. Penulis juga berpendapat bahwa pemilihan topik ini sangat unik dan khas. Unik karena terjadi di tempat tertentu, di situ dan tidak akan terulang persis seperti pertama kali terjadi, dan khas dalam konteks Halmahera. Artinya, sejarah GMIH tidak berlangsung di tempat lain. GMIH hanya ada di Halmahera, dan dalam sejarahnya (2002-2012) mengalami
W
pergumulan serius ketika diperhadapkan dengan tekanan-tekanan konteks sosial-budaya Halmahera. Keunikan dan kekhasan objek penelitian inilah yang memungkinkan penulis
KD
memilih topik penelitian sejarah GMIH 2002-2012 dalam konteks sosial-budaya Halmahera. Akhirnya, penulis menyadari sejak awal bahwa pemilihan topik ini juga sudah terkandung unsur subyektivitas. Itu tidak apa-apa. Seorang sejarawan sejagonya Kuntowijoyo juga berpendapat bahwa setiap penelitian dan penulisan sejarah, termasuk sejarah gereja, sebaiknya dilandaskan pada dua alasan. Pertama, kedekatan emosional dan
U
kedua kedekatan intelektual.35 Kedekatan emosial dalam tesis ini jelas terkandung dalam diri penulis, bahwa penulis adalah bagian dari umat/anggota GMIH yang memiliki kedekatan
©
emosional dengan objek penelitian. Selain yang subyektif itu, GMIH sendiri adalah sebuah institusi keagamaan. Sebagai sebuah institusi, GMIH dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan sejarah. Dalam pendekatan sejarah, terkandung sejumlah kerangka teori dan langka-langka metodologis yang harus ditempuh oleh seorang sejarawan, yang dengan demikian kemungkinan subyektivitas dapat dikurangi dan jika mungkin penelitiannya diupayakan menjadi obyektif. Tetapi jika seorang sejarawan tidak menghasilkan penelitian yang benar-benar obyektif, dan ternyata unsur subyektif masih terkandung di dalam yang obyektif itu, maka itulah yang dinamakan dengan unsur kreativitas sejarawan. 36
mendapat kecaman dari peserta sidang. Manuskrip ini pun dilarang untuk dipublikasikan dan yang telah beredar ditarik kembali. Lihat. J.L. Nanere, Transformasi GMIH; Gereja Masehi Injili di Halmahera dan Pulau-Pulau Sekitarnya. 2012. 35 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 90-92. 36 C. de. Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 17.
11
I.3. Metodologi37 1.3.1. Metode Penulisan Dalam tesis ini penulis menggunakan metode penulisan deskriptif-analisis. Penulisan deskriptif berupaya membentangkan masa lampau tanpa dengan memberikan dimensi perubahan-perubahan dalam waktu. Fakta-fakta tersusun dalam suatu kesatuan seperti halnya fakta-fakta geografis dalam peta. Penulisan deskripsi dipergunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk struktur kelembagaan atau kehidupan umat pada periode waktu tertentu. Sementara bentuk penulisan analitis lebih banyak dipergunakan oleh para sejarawan professional. Penulisan analitik lebih diutamakan untuk menampilkan analisis dan solusi suatu masalah. Struktur penulisan analitik lebih menekankan problem-problem dan bagianbagian komponennya, menghadirkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan, dan menunjukkan melalui argumen-argumen yang rasional. Sejarawan yang bekerja dengan
W
bentuk analitik perlu memperhatikan masalah-masalah komposisi dan gaya. Integritas penulisan analitik, urutan argumentasi yang logis, gaya dan elegansi penuturannya akan
KD
mempengaruhi impresinya. Karenanya, akan lebih menarik bagi audiens (pembaca). Lebih dari itu, sejarawan analitik akan boleh berharap dapat menyentuh emosi dan simpati-simpati manusiawi dari para audiens serta menumbuhkan suatu apresiasi yang lebih besar terhadap karyanya.
U
1.3.2. Metode Penelitian Sejarah
Penelitian ini menggunakaan metodologi penelitian kualitatif. Mengingat studi ini
©
meliputi kurun waktu yang cukup panjang dan juga beragam peristiwa sejarah yang muncul, maka diperlukan sebuah cara untuk memperlihatkan sebuah proses yang mencerminkan pola dasar sejarah GMIH. Sehubungan dengan metodologi, pendekatan yang dipakai di sini ialah pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah yang penulis maksudkan ialah jalan atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode 37
Dalam proses penelitian dan historiografi, penulis menggunakan sumber-sumber karya Kuntowijoyo, Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang1995); Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003); Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008); Sartono Kartodirdo, Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982); A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012); Louis Gosttschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008); W. K. Storey, Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011); Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011).
12
sejarah.38 Metode sejarah mencakup empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. I. Tahap heuristik, penulis memfokuskan diri pada pengumpulan sumber-sumber sejarah. Sumber sejarah dapat berupa sumber lisan atau tulisan. Sumber lisan dapat dijumpai melalui manusia yang menjadi pelaku atau saksi sejarah. Sementara sumber tulisan dapat dijumpai di perpustakaan-perpustakaan, arsip, internet, koran, video, foto dan sebagainya. Dalam pendekatan konvensional pada penulisan sejarah sering membedakan validitas sumber tertulis dari sumber lisan. Umumnya sumber tertulis lebih diandalkan atau lebih dipercaya daripada sumber lisan. Meskipun banyak orang telah mengakui bahwa sumber lisan bermanfaat, terlebih lagi untuk mengisi space (celah) sejarah disaat bahan tertulis tidak ditemukan. Tahap ini sering dikenal dengan tahap heuristic (Yunani: eureka, yang berarti ‘untuk menemukan’).
W
Dalam bahasa Latin, heuristik dinamakan sebagai ars inveniendi (seni mencari) atau sama artinya dengan istilah arts of invention dalam bahasa Inggris.39
KD
II. Tahap kritik, penulis lebih fokus pada upaya memverifikasi sumber-sumber sejarah yang telah berhasil dikumpulkan pada tahap heuristik. Dokumen-dokumen; baik dokumen tertulis, maupun dokumen tidak tertulis sama-sama memiliki tingkat kebenarannya masing-masing. Hal itu seringkali dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder.40 Hal membedakan sumber primer dan sumber sekunder
U
menjadi penting untuk selanjutnya peneliti bergerak ke tahap-tahap berikutnya: kritik (intern dan ekstern), interpretasi, dan historiografi.41 Hal membedakan sumber
©
yang disebutkan ini erat kaitannya dengan banyaknya sumber sejarah yang tersedia menyebabkan semakin rumitnya peneliti untuk memverifikasi dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkannya. Baik dokumen tertulis maupun dokumen tidak
tertulis perlu diverifikasi berdasarkan otentisitas dan kredibilitasnya.42 III. Tahap interpretasi, pada tahap ini penulis lebih memfokuskan diri pada upaya interpretasi terhadap dokumen-dokumen yang telah diverifikasi. Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (fact) sejarah. Interpretasi 38
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua ((Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003); Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2008); Bdk. C. De Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011/cet 12); Bdk. John A. Walker, Design History and the History of Design, (New York: Pluto Press, 1989). p. vii. 39 A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 52. 40 W. K. Storey, Design History and the History of Design, (New York: Pluto Press, 2011), hlm. 30-32. 41 Louis Gosttschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 43. 42 Verifikasi atau kritik sumber dilakukan dalam dua tahap, pertama kritik eksternal dan kedua kritik internal. Lihat. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 99.
13
diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi (witness) realitas di masa lampau adalah hanya saksi-saksi bisu belaka. Fakta-fakta sejarah dan saksisaksi sejarah itu tidak bisa berbicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya di masa lampau. Untuk mengungkapkan makna dan signifikansi dirinya, maka faktafakta sejarah masih harus menyandarkan dirinya pada kekuatan informal dari luar (extrinsic informative power) ialah peneliti atau sejarawan. Hubungan fakta-fakta sejarah dengan peneliti sejarawan adalah hubungan asimetrik. Sejarawan berfungsi sebagai determinan terhadap makna sejarah yang diinterpretasikan dari fakta-fakta sejarah. Secara metodologis interpretasi merupakan bagian yang tidak terpisah dari keseluruhan proses penelitian sejarah (historical research) dan penulisan sejarah (historical writing). Pada dasarnya proses kerja interpretasi sudah mewarnai pula
W
tahap heuristik, tahap kritik, dan tetap akan mewarnai tahap-tahap berikutnya, yakni tahap kerja penulisan sejarah (writing historiography), terutama dalam implementasi
KD
analisis-sintesis, aksentuasi, generalisasi, inferensi dan organisasi penulisannya. Apabila, permasalahan merupakan pusat dan arah kegiatan penelitian, maka puncak kerja seluruh aktivitas penelitian sejarah berada pada tahap interpretasi. Kerangka pemikiran serta studi historiografi dan metodologi pada hakikatnya menjadi sarana bagi proses interpretasi dalam memecahkan permasalahan melalui memaknai fakta-
U
fakta sejarah yang telah berhasil dihimpun dalam proses heuristik dan telah terseleksi dan diuji kebenarannya pada tahap kritik.
©
IV. Tahap historiografi adalah tahap terakhir dari sebuah penelitian historis. Pada tahap ini penulis menulis sejarah yang telah berhasil diinterpretasi. Penulisan sejarah (historiografi) dalam tesis ini menggunakan bentuk penulisan deskriptif-analisis (lihat penjelasan metode penulisan di atas).
I.5. Sistematika Pembahasan
Bab I : Pendahuluan Bagian pertama dari tesis ini menguraikan tentang pokok permasalahan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, dan batasan masalah. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang judul dan alasan pemilihan judul, serta diikuti dengan penjelasan mengenai metode penulisan dan penelitian, lalu diakhiri dengan uraian tentang sistematika pembahasan. Sub-subbagian pembahasan ini terhimpun dalam Bab I sebagai bagian pendahuluan.
14
Bab II : Perjumpaan Injil Dan Budaya Di Halmahera (Sebelum Tahun 2002) Pada bagian selanjutnya, yaitu Bab II dijelaskan tentang perjumpaan injil dan budaya di Halmahera sebelum tahun 2002. Pada bagian ini penulis secara khusus mengidentifikasi
konteks
budaya
Halmahera.
Setelah
mengetahui
konteks
Halmahera, pembahasan dilanjutkan dengan menguraikan kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, VOC, pemerintah Hindia-Belanda, dan lembaga zending (UZV) yang telah turut mewartakan injil kepada orang-orang Halmahera. Lalu bagian selanjutnya yang penting ialah GMIH di tengah-tengah budaya Halmahera selama 52 tahun. Bab III : Pesona Dan Persoalan Injil Dan Budaya Di Halmahera Dalam Sejarah GMIH 2002-2012
W
Bagian III secara khusus membahas pesona dan persoalan injil dan budaya
KD
Halmahera periode 2002-2012. Mengingat periode inilah yang menjadi perhatian utama penulis, maka sikap GMIH terhadap kenyataan budaya yang dijumpai diselidiki secara mendalam. Tentunya sikap GMIH sebagai institusi itu tidak lepas dari peran dan fungsi para tokoh dalam proses penentuan sikap GMIH. Karena itu,
U
beberapa pokok pikiran dan sikap para tokoh dalam lingkungan GMIH diakomodir dalam tesis ini guna memperlihatkan korelasi-kausal antara pemahaman para tokoh dan sikap GMIH terhadap budaya lokal. Akhir dari bab ini dijelaskan mengenai
©
peran dan partisipasi pemerintah Indonesia dalam bentuk regulasi yang terkait dengan aliran kepercayaan.
Bab IV : Evaluasi dan Refleksi Teologis Pembahasan pada Bab IV merupakan lanjutan dari bab III. Secara khusus pada Bab IV dibahas warisan teologi zendeling yang diwarisi GMIH, serta bagaimana GMIH di tengah-tengah budaya Halmahera merancang bangun ajaran dan teologi khas Halmahera. Penulis juga mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran terkait upaya membumikan GMIH di dalam budaya Halmahera sebagai bagian dari tawaran solusi yang menurut penulis dapat dipertimbangkan kembali oleh tokoh GMIH dalam upaya merumuskan ajaran dan teologi GMIH yang kontekstual. Akhir dari bab IV diuraikanlah dua tema refleksi penulis atas hasil penelitian sejarah GMIH di tengahtengah budaya Halmahera.
15
Bab V : Kesimpulan Bab V yang merupakan bab terakhir dari tesis ini menguraikan kesimpulan atas seluruh isi tesis. Kesimpulan pada bab V berbeda dengan kesimpulan setiap bab (bab II, III, IV), karena itu bab V sifatnya merangkum setiap pembahasan masing-masing
©
U
KD
W
bab dari tesis ini.
16