BAB I PENDAHULUAN
A. Pandangan Umum Seksualitas Seks. Sebuah istilah yang tidak asing di telinga namun bagi orang yang mendengarnya dapat menimbulkan respon yang beragam. Orang menjadi bingung, merasa tidak nyaman atau mungkin merasa aneh. Tetapi sejauh mana kita paham mengenai istilah tersebut? Seks secara khusus merujuk kepada alat kelamin yang dimiliki manusia. Baik itu pria ataupun wanita. Sementara itu ada juga istilah seksualitas. Seksualitas tidak sama dengan seks.
W D
Berdasarkan pengertian kamus secara umum, seks berarti merujuk pada karakter yang menentukan apakah kita pria atau wanita atau apapun yang terkait dengan kepuasan seksual dan reproduksi, sementara seksualitas dikatakan sebagai keadaan atau kualitas sebagai makhluk seksual. Namun kali ini penulis mengutip pendapat Nelson yang menyatakan perbedaan seks
K U
dengan seksualitas:
Sex is biologically-based need which is oriented not only toward procreation but, indeed, toward pleasure and tension release. It aims at genital activity culminating in orgasm. While sex is usually is infused with a variety of human and religious meanings, the focus is upon erotic phenomena of a largely genital nature. Sexuality, on the other hand, is a much more comprehensive term associated with more diffuse and symbolic meanings, psychological and cultural orientations. While it includes sex and relates to biological organ systems, sexuality goes beyond this. To be sure, sexuality is not whole of our personhood, but it is a very basic dimension of our personhood. While our sexuality does not determine all of our feelings, thoughts, and actions, in ways both obvious and covert it permeates and affects them all. Sexuality is our selfunderstanding and way of being in the world as male and female.1
©
Seks jelas berbeda dengan seksualitas. Seks adalah sesuatu yang terbentuk secara biologis dan tidak hanya merujuk kepada prokreasi, tetapi tentu saja mengarah kepada kepuasan dan melepas ketegangan. Seks jelas lebih khusus terkait dengan genital (kelamin). Di sisi lain, seksualitas merupakan istilah yang lebih komprehensif terkait dengan arti yang lebih luas dan makna simbolis, berorientasi pada budaya dan psikologi. Seksualitas juga meliputi seks. Lebih pastinya, seksualitas tidak menyangkut pribadi kita secara keseluruhan tetapi seksualitas merupakan dimensi yang sangat mendasar dari kepribadian kita. Lagi, yang ditekankan oleh Nelson adalah bahwa seksualitas tidak menentukan seluruh perasaan, pemahaman dan tindakan
1
James B. Nelson, Embodiment: An Approach To Sexuality And Christian Theology, (Minnesota: Augsburg Publishing House, 1978), h. 17-18.
1
kita, melainkan memperjelas dan menyamarkan ketiga aspek tersebut, menembus dan mempengaruhi semuanya. Seksualitas mencakup kegiatan-kegiatan manusia sebagai makhluk seksual secara lebih luas. Seksualitas terkadang menjadi indikasi kepuasan seseorang akan suatu hal yang dilakukannya terkait dengan tubuhnya. Baik itu mungkin memotong rambut, menggunting kuku atau bahkan kegiatan yang melibatkan relasi kita dengan sesama. Namun, dalam kenyataannya seksualitas kini seolah dipisahkan dari kehidupan manusia, atau mungkin lebih tepatnya dikhususkan bagi manusia yang sudah ‘menikah’ dan dipisahkan dari manusia yang belum ‘menikah’. Seksualitas mengalami penyempitan makna, hanya sekedar menjadi sarana untuk
W D
menghasilkan keturunan. Selebihnya dari hal itu dianggap tabu. Masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa – tempat di mana penulis dibesarkan – biasanya menyingkirkan seksualitas dari pembicaraan di keluarga, sekolah ataupun komunitas-komunitas di mana mereka dapat berbicara bersama. Pemikiran Bapa Gereja yang dahulu menganggap bahwa seksualitas adalah najis dan kotor, masih saja dibawa sampai ke konteks abad-21. Memang kita harus
K U
mengakui bahwa pemikiran Bapa Gereja tepat pada konteksnya, tapi jika kita terus mempertahankan pemikiran tersebut, maka pemikiran tersebut tidak beda halnya dengan makanan basi.
Berawal dari keprihatinan penulis akan banyaknya kasus-kasus seperti pemerkosaan, aturan-aturan yang terlalu kaku mengenai seksualitas dan juga kurangnya pendidikan seksualitas
©
di dalam sekolah maupun keluarga. Sehingga, penulis merasa tertarik untuk menyelidiki lebih jauh mengenai seksualitas.
Penulis melihat bahwa cukup banyak orang yang memahami seksualitas hanya sebatas sarana untuk prokreasi. Walau di luar itu, seksualitas juga menjadi sarana rekreasi dan komunikasi. Sebenarnya perlu kita ingat, bahwa seksualitas sendiri memberikan kita kenikmatan, membuat hidup kita lebih bergairah. Inilah yang penulis katakan seksualitas sebagai sarana rekreasi. Selain itu, seksualitas juga mendekatkan kita dengan manusia lainnya, atau bahkan pasangan kita. Dalam hal ini seksualitas menjadi sarana komunikasi. Hanya saja sayangnya hal ini kurang diperhitungkan oleh banyak orang. Seperti sekarang ini, di Indonesia ada beberapa organisasi yang gencar menyerang isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas. Misalnya saja organisasi FPI yang banyak memberikan serangan-serangan terhadap hal berbau seks maupun seksualitas. Undang-undang yang disahkan oleh pemerintah juga cukup menyudutkan seksualitas. Contohnya undang-undang anti pornografi. 2
Beberapa pandangan seksualitas yang prokreatif akhirnya malah membatasi kebebasan untuk mengekspresikan seksualitas sendiri. Muncul juga pandangan-pandangan dari Bapa Gereja yang seolah ‘menyingkirkan’ seksualitas dari kehidupan manusia. Misalnya saja pandangan mengenai cinta. Di dalam bahasa Yunani ada empat istilah cinta, yakni agape, storge, filia dan eros. Seringkali keempat istilah ini dipandang secara hirarkis, sehingga cinta yang agape adalah yang paling benar dan harus ditiru, sementara cinta eros adalah yang paling kotor. Salah satu pandangan yang mendukung bahwa agape merupakan cinta yang paling ‘benar’ dapat kita lihat dari pandangan Heuken berdasarkan perkataan Yohanes Penginjil. Heuken melihat bahwa injil Yohanes menyiratkan hal yang demikian:
W D
Tujuan hidup rohani bukanlah gnosis melainkan agape (kasih) yang bukan cinta afektif atau emosional. Agape adalah kasih yang mengungkapkan diri dalam menerima salib, membasuh kaki dan peduli terhadap orang yang tersingkir.2
Sehingga dampaknya seksualitas (yang didorong oleh kasih eros) dipandang sebagai hal yang profan dan menjijikan, padahal kalau mau kita lihat lebih dalam, kasih agape, storge, filia
K U
dan eros tidaklah bersifat linier melainkan polarisasi. Yang berarti bahwa keempatnya setara, tidak ada yang lebih tinggi, hanya dimensinya saja yang berbeda.
Tentu kita tidak bisa begitu saja ‘melecehkan’ pemikiran para Bapa Gereja yang mungkin menurut konteks kita kini, tidak lagi bisa dikatakan kontekstual. Kita perlu mengapresiasi pemikiran mereka. Pemikiran mereka bisa dikatakan sudah cukup maju pada zamannya, dan
©
mereka memiliki konteksnya sendiri. Namun, yang bisa kita katakan keliru adalah jika ada komunitas atau mungkin gereja yang dengan kaku terus memegang pandangan Bapa Gereja. Mereka memiliki konteksnya sendiri dan kita juga memiliki konteksnya sendiri. Bahkan, Harold Ellens mengungkapkan bahwa selama ini gereja sudah tujuh belas abad seperti sapi bodoh yang meskipun sudah kehabisan pakannya tetapi tidak mau berpindah tempat untuk mencari sumber pakan yang baru.3 Ini kritik yang sangat keras terhadap gereja dan juga bagi kita semua.
B. Berahi, Milik Siapa? Terkait dengan seksualitas, penulis ingin menyinggung sebuah permasalahan ‘khusus’ yang mungkin agak jarang kita bicarakan di dalam pembicaraan kita sehari-hari, yakni berahi..4 Atau dalam bahasa Inggris, kita kenal dengan istilah desire, yang bisa berarti hasrat, berahi atau 2
A. Heuken, Spiritualitas Kristiani: Pemekaran hidup rohani selama dua puluh abad, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), h. 33. 3 J. Harold Ellens, Sex In The Bible: A New Consideration, (Westport: Praeger Publishers, 2006), h. 41. 4 http://kbbi.web.id/berahi, diakses tanggal 26 Maret 2014.
3
Menurut KBBI, berahi berarti perasaan cinta kasih antara dua orang yang berlainan jenis kelamin gairah. Dapat dikatakan bahwa berahi merupakan salah satu unsur pembentuk seksualitas yang penting. Karena, jika kita berbicara mengenai gairah, hasrat keinginan kita, hal itu juga langsung merujuk ke aras seksualitas. Namun, sepertinya hal ini kurang dikenal dengan baik di dalam masyarakat. Khususnya masyarakat Indonesia masa kini. Sebagai contoh, mungkin ada pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa mereka risih ketika mendengar kata berahi. Tetapi, pandangan yang paling umum biasanya menyatakan bahwa ‘berahi’ menjadi hal yang ‘wajar’ ketika sepasang suami-istri sudah terikat dalam sebuah pernikahan. Fenomena seperti ini dapat terjadi ketika seksualitas hanya dipandang sebelah mata. Seperti yang sudah penulis paparkan di atas, bahwa lebih banyak orang yang mengenal
W D
seksualitas prokreatif ketimbang yang rekreatif. Hal ini menunjukkan pandangan di dalam masyarakat kita bahwa berahi seolah menjadi hal yang legal ketika kita sudah berada dalam sebuah ikatan pernikahan. Sehingga posisi pernikahan di sini menjadi semacam ‘lisensi’ seksualitas yang harus dimiliki jika ingin melakukan hubungan seksualitas dan semacamnya. Penulis merasa bahwa kita perlu untuk melihat dari perspektif yang berbeda mengenai hal ini.
K U
Karena selama ini hanya seksualitas prokreatif lah yang sering diangkat ke permukaan, sementara kita mungkin tidak mengenal atau bahkan tidak pernah mendengar mengenai seksualitas rekreatif.
Kalau kita sadari, berahi sebenarnya sudah ada dalam diri kita sejak lahir. Bukankah hal ini akan menjadi tidak adil bagi orang yang tidak menikah? Pengertian berahi yang kita ketahui
©
dari KBBI hanya terbatas perasaan cinta kasih kepada lawan jenis saja. Lalu bagaimana dengan kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan anak-anak? Mereka pasti memiliki gairah juga, hanya saja objeknya tentu saja berbeda. Tidak harus selalu lawan jenis. Mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan kita. Atau bagi anak-anak ketertarikan mereka bisa berupa mainan, makanan, pengetahuan atau juga relasi dengan sesama. Sementara jika berahi hanya ‘sah’ bagi orang yang sudah menikah bagaimana dengan orang yang belum menikah atau bahkan tidak menikah? Bukankah berahi milik siapapun yang merasakannya?
C. Prokreatif Vs. Rekreatif Berangkat dari pandangan umum yang kita kenal dengan istilah prokreatif. Kalau kita mau berbicara mengenai seksualitas, biasanya di dalam kehidupan umat Kristen dikaitkan dengan tujuan prokreasi. Seksualitas dalam pengertian yang demikian dapat dimengerti bahwa seksualitas hanya sebagai sarana untuk melanjutan keturunan manusia di muka bumi. Seksualitas di dalam Perjanjian Lama biasanya kita ketahui dari kisah dalam kitab Kejadian 1:28, yang 4
menjadi perintah Allah kepada manusia untuk beranak cucu dan memenuhi dunia ini. Ayat inilah yang menjadi landasan dari seksualitas prokreatif, yang juga pada umumnya dijadikan landasan orang-orang ketika mereka melaksanakan upacara pernikahan. Mungkin juga karena banyak orang yang belum mengetahui atau menerima bahwa seksualitas tidak hanya sekedar hubungan seks. Dalam konteks Indonesia, khususnya di Jawa, biasanya kita mengenal budaya bahwa sepasang kekasih dilarang melakukan hubungan seks di luar hubungan pernikahan. Sehingga akibatnya makna seksualitas pun menyempit menjadi sekedar kegiatan untuk bereproduksi ‘yang hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah menikah’. Kalau sudah begini bisa saja makna pernikahan tereduksi menjadi hanya sebuah formalitas belaka agar orang dapat berhubungan
W D
seks.
Dari sini dapat kita lihat juga, bahwa berahi sebenarnya juga dianggap hanya sebagai sarana prokreasi. Ketika seksualitas dianggap hanya boleh dilakukan untuk orang yang sudah menikah, dalam rangka melanjutkan keturunan. Berahi pun menjadi ‘wajar’.
Hal yang juga menarik bagi penulis sendiri ialah, banyak orang yang justru mengambil
K U
landasan mengenai seksualitas dari kitab-kitab Pentateukh, seperti di dalam Kejadian pasal 1:28 tadi. Selain itu ada juga kisah yang seringkali disalahtafsirkan. Misalnya kisah Onan dengan Tamar, sehingga muncullah istilah Onani bagi pria yang melakukan masturbasi. Padahal kalau mau ditinjau lebih jauh, bukanlah tindakan Onan melakukan masturbasi yang membuat Tuhan marah, melainkan karena niatnya yang tidak membiarkan Tamar memperoleh keturunan darinya.
©
Sebab, jika nanti Tamar beroleh keturunan, maka anaknya itu tidak akan dianggap sebagai anak dari Onan, melainkan sebagai anak kakaknya. Hal ini sebenarnya karena hukum levirat yang berlaku pada konteks masa itu.
Pandangan seksualitas di dalam Alkitab yang mengungkapkan mengenai seksualitas rekreatif agaknya banyak ditekan, sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah yang bersifat prokreatif. Misalnya saja di dalam kitab Pentateukh ditunjukkan mengenai kisah Sara dan Hagar isteri Abraham (Kej 16) yang memperlihatkan bagaimana menderitanya seorang wanita yang mandul. Hal ini tentunya dikarenakan seksualitas pada masa itu dipandang hanya sebagai sarana berprokreasi, sehingga tidak ada tempat bagi wanita yang mandul pada masa itu. Bahkan banyak aturan-aturan rumit yang juga ditulis di dalam kitab Bilangan dan Imamat. Misalnya dari Imamat pasal 15 yang mengatur dengan begitu ketatnya hal-hal yang terkait dengan masalah seksualitas. Laki-laki dan perempuan bahkan memiliki aturannya masing-masing. Meskipun pandangan-pandangan akan seksualitas prokreatif memang agak dominan, namun ada juga salah satu kitab yang mungkin agaknya justru meng-counter pandangan tersebut. 5
Pandangan tersebut secara khusus penulis temukan di dalam kitab Kidung Agung. Kidung Agung memperlihatkan sisi-sisi berbeda tentang seksualitas yang tidak dapat kita temukan dalam kitab-kitab lainnya. Di dalam kitab ini kita dapat melihat bagaimana romansa antara sepasang kekasih, yakni sang perempuan Yerusalem dengan kekasihnya yakni sang gembala. Kitab Kidung Agung sendiri memang kitab yang cukup unik, bahkan tidak menyebut kata Tuhan sekalipun. Hanya TB-LAI saja yang menerjemahkan kata שלְה֥בתְ י ָֽה ַׁ (salhebetya) dalam pasal 8:6 dengan kata Tuhan. Selain itu, hal menarik yang penulis temukan juga, TB-LAI sepertinya ingin menyopankan kitab ini. Beberapa bukti yang penulis ambil di dalam Alkitab versi terjemahan baru LAI, hampir semua perikop diberi bagian judul dengan menggunakan istilah mempelai.
W D
Misalnya, Mempelai perempuan dan puteri-puteri Yerusalem (1:1-8), Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan memuji-muji (1:9-2:7), Di pintu mempelai perempuan (2:8-17) Impian mempelai perempuan (3:1-11), Mempelai laki-laki memuji mempelai perempuan (4:1-15), Kedua mempelai saling menyapa (4:16-5:1), Kerinduan mempelai perempuan ((5:2-8), Mempelai
K U
perempuan memuji mempelai laki-laki di hadapan puteri-puteri Yerusalem (5:9-6:3), Mempelai laki-laki memuji mempelai perempuan (6:4-7:5), dan Mempelai perempuan dan adiknya (8:510). Bahkan kalau dilihat dari Alkitab Edisi Studi terbitan LAI, setiap bagian puisi diberi tematema khusus. Seperti Kidung Salomo (1:1), Cinta Bersemi (1:2-2:7), Cinta Bermimpi (2:8-3:5), Cinta Membuat Rencana (3:6-6:10), Cinta Menari (6:11-8:4), Cinta Tidak untuk Dijual (8:5-14)
©
beserta dengan penjelasan singkat mengapa tema tersebut diberikan. Sementara dalam Alkitab bahasa Ibrani sendiri tidak ditunjukkan adanya sub-sub tema sebagaimana dalam TB-LAI. Dari sini penulis melihat bahwa TB-LAI ingin menyesuaikan dengan konteks Indonesia. Karena dalam konteks Indonesia, kitab ini agaknya disopankan supaya tidak terlalu kelihatan ‘vulgar’. Seperti yang kita tahu bahwa orang baru boleh melakukan hubungan seks secara intim (intercourse) hanyalah ketika mereka sudah menikah, sudah menjadi mempelai (pasangan suami istri). Karena itu di dalam Kidung Agung (versi TB-LAI), sang perempuan Yerusalem dan sang gembala dibahasakan sebagai mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Akan tetapi, sampai kapan kita akan terus mempertahankan pandangan seperti ini? Apakah kita perlu ‘menyopankan’ seksualitas itu? Di balik itu semua, penulis menemukan sebuah masalah yang menarik di antara kitab Kejadian dengan Kidung Agung. Keunikan yang penulis lihat dalam kedua kitab ini. Ada satu masalah yang sama, namun ditanggapi dengan cara yang berbeda. Yakni munculnya kata berahi di dalam kitab Kejadian dengan Kidung Agung. Dalam bahasa Ibraninya adalah tesyuqah yang diterjemahkan sebagai berahi di dalam kitab Kejadian 3:16 dan Kidung Agung 7:10 (TB-LAI). 6
Di dalam Kejadian, kata ini muncul dengan suasana yang lebih negatif karena disertai dengan konteks pelanggaran Adam dan Hawa. Sementara di dalam Kidung Agung, maknanya menjadi lebih terbuka karena ditunjukkan dalam konteks percintaan antara laki-laki dengan perempuan.
D. Spiritualitas Seksualitas Setelah melihat ada beberapa pandangan mengenai seksualitas di dalam Perjanjian Lama, penulis ingin menunjukkan pandangan yang memperlihatkan kepada kita bahwa seksualitas berkaitan erat dengan spiritualitas sekaligus dalam hal ini mendukung juga pandangan seksualitas yang rekreatif. Mengutip pernyataan Paul Suparno dalam bukunya berjudul Seksualitas Kaum Berjubah:
W D
Seksualitas itu merupakan energi yang suci dan kuat yang diberikan Tuhan, yang mendorong kita mau membangun relasi dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan (Rolheiser). Ferder dan Heagle mengungkapkan seksualitas sebagai keseluruhan energi untuk menjadi hidup dan membangun relasi. James Nelson menjelaskan sebagai keberadaan kita di dunia ini sebagai pribadi, laki-laki dan perempuan. Jadi, seksualitas merupakan energi yang membuat kita menjadi manusia utuh yang dapat mencinta, memperhatikan, membangun intimacy dengan orang lain. Seksualitas mempunyai enam dimensi, yaitu dimensi biologis, kognitif, emosi, sosial, moral, dan spiritual. Sedangkan spiritualitas adalah sesuatu yang rohani, berkaitan dengan jiwa, berkaitan dengan Tuhan. Spiritualitas selalu berkaitan dengan yang ilahi. Rolheiser mendefinisikan...Spiritualitas adalah api, dorongan, desire dalam hati kita yang membuat kita berkomunikasi dengan Tuhan dan ciptaan-Nya. Spiritualitas adalah hubungan kita dengan Tuhan yang mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, termasuk seksualitas kita.5
K U
©
Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa seksualitas dan spiritualitas saling berkaitan erat. Sayangnya seringkali karena pandangan kita terhadap doktrin bahwa tubuh dan jiwa bersifat dikotomis. Kita melihat tubuh (seksualitas) kita sebagai sesuatu yang kotor sementara jiwa adalah yang suci. Tentu saja pandangan semacam ini perlu kita kritisi. Karena itu, penulis menggunakan pandangan teologi tubuh sebagai teori yang mendukung dalam tulisan ini. Teologi tubuh berbicara bahwa tubuh merupakan eksistensi diri kita seutuhnya. Jika menggunakan istilah Stefanus Christian Haryono dalam kuliah Spiritualitas dan Seksualitas, maka kita perlu berpikir “i am a body” dan bukannya “i have a body”.6 Secara seksual, jika tubuhku adalah jahat dan sebenarnya tubuhku bukanlah “aku”, maka aku tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat oleh tubuhku.7 Demikianlah tubuh adalah bagian dari keutuhan diri kita (juga). Maka dari itu kita perlu menyadari bahwa tubuh yang kita miliki pada dasarnya tidaklah kotor. Tubuh yang kita miliki juga adalah pemberian Allah, dan karena itu keintiman 5
Paul Suparno, Seksualitas Kaum Berjubah, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 43-44. James B. Nelson, Embodiment: An Approach To Sexuality And Christian Theology, h. 37-38. 7 Anne K. Hershberger, Seksualitas Pemberian Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 5. 6
7
dengan Allah juga dapat kita rasakan melalui tubuh kita. Karena spiritualitas dan seksualitas akan saling melengkapi jika kita dapat memahami kedua aspek ini dalam kehidupan kita.
E. Rumusan Masalah Permasalahan Teologis Berangkat dari latar belakang di atas, penulis melihat bahwa memang ada dua pandangan seksualitas di dalam Perjanjian Lama, yakni prokreatif dan rekreatif. Akan tetapi, seksualitas prokreatif biasanya lebih dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Sementara itu, berahi juga demikian. Berahi dapat dikatakan menjadi ‘legal’ jika berada dalam lingkup prokreatif. Namun, bagaimana jika dalam lingkup rekreatif? Karena itu pokok rumusan masalah yang penulis pilih
W D
dari tulisan ini ialah:
Apakah pengertian berahi hanya sekedar nafsu belaka, ataukah lebih luas dari pengertian tersebut? Apakah ada pandangan lain mengenai seksualitas yang tidak hanya menyangkut prokreasi di dalam Alkitab? Dan bagaimanakah sepatutnya kita memandang berahi yang
K U
menjadi bagian dari tubuh kita sehubungan dengan teologia tubuh terlebih terkait dengan spiritualitas kita?
Sangat menarik menemukan mengapa berahi itu ada di dalam diri kita secara alami. Kita tidak dapat menolaknya. Bahkan Allah menyatakan bahwa kita diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya (Kej 1:26). Bukankah ini berarti Allah juga memiliki rasa berahi? Sayangnya hal
©
seperti ini justru seringkali tidak ditunjukkan dalam tema-tema pemahaman Alkitab di gereja. Penulis memandang bahwa sangat penting menemukan pembebasan dalam seksualitas meskipun ada banyak penafsiran terhadap seksualitas. Hal ini perlu kita pahami karena Allah sendiri yang telah menganugerahkan seksualitas kepada kita. Tentu saja Allah menganugerahkan seksualitas kepada kita bukan untuk disia-siakan, melainkan untuk dirayakan. Karena dengan begitu kita juga belajar mengakui dan mengenali seksualitas sebagai bagian dalam kehidupan kita dan hal itu menjadi sebuah bentuk ucapan terima kasih atas pemberian tersebut. Hanya saja mengapa Allah memberikan kita berahi dan bagaimana kita merayakannya? Hal itu juga menjadi ketertarikan penulis untuk menjawabnya dalam tulisan ini.
8
F. Judul Skripsi
Judul skripsi yang penulis ajukan ialah: “Berahi: Naluri Seksualitas.” (Reinterpretasi Berahi Dalam Perspektif Seksualitas)
G. Tujuan dan Alasan Penelitian
Berikut adalah beberapa tujuan dan alasan dari penelitian ini:
W D
a. Memaparkan berahi sebagai sebuah hal yang alami di dalam kehidupan manusia dilihat melalui sudut pandang fisiologis dan psikologis.
b. Reinterpretasi dengan menggunakan teks Alkitab dan pandangan Bapa-bapa Gereja mengenai pandangan berahi di dalam perspektif seksualitas.
K U
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur dari bacaan yang telah disiapkan oleh penulis. Penulisan dilakukan dengan menggunakan tinjauan dari sudut pandang medis, biblis dan psikologis. Melihat perkembangan seksualitas manusia dari segi fisik dan juga menggunakan teori Freud dan Erikson dari segi psikologi. Melakukan proses penafsiran dari beberapa teks
©
yang akan dikaji oleh penulis yakni dari kitab Kejadian 3:16 dengan Kidung Agung 7: 10 yang menunjukkan Pandangan tentang seksualitas terkhusus berahi. Di mana Kejadian 3:16 menunjukkan pandangan seksualitas prokreatif dan Kidung Agung 7:10 menyuarakan seksualitas rekreatif. Kemudian mempertemukan pandangan-pandangan tersebut melalui kacamata spiritualitas.
I. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan Pada bagian ini penulis akan menjelaskan hal-hal mengenai latar belakang penulisan dan penelitian. Pada bagian ini juga akan dimasukkan mengenai latar belakang, rumusan masalah dan tujuan dilakukannya penelitian ini.
9
Bab II : Tinjauan Berahi dari Sudut Pandang Seksologi Pada bagian ini penulis melakukan studi dari bahan bacaan yang terkait dengan ilmu kedokteran (seksologi). Khususnya bagaimana berahi dipandang secara medis dan psikologis dan bagaimana pandangan-pandangan yang dimunculkan dari bidang kedokteran.
Bab III : Tinjauan Berahi dari Pandangan Bapa Gereja, Kejadian 3:16, dan Kidung Agung 7:10 Pada bagian ini penulis akan melakukan studi tafsir khususnya atas teks Kejadian 3:16 dengan Kidung Agung 7:10. Terutama menunjukkan pandangan mengenai berahi dalam kedua ayat tersebut dan membandingkannya. Penulis juga akan melakukan studi literatur terkait dengan sejarah gereja.
W D
Bab IV : Berahi di dalam Spiritualitas Seksualitas
Pada bagian ini penulis akan melakukan studi terkait bagaimana berahi berkaitan erat dengan kehidupan spiritual. Juga mengintegrasi dari kedua peninjauan sebelumnya. Menemukan titik temu dari sudut pandang yang dibahas dalam bab sebelumnya dan mengintegrasikannya di dalam
K U
terang pemikiran spiritualitas.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Pada bagian ini penulis akan mencari refleksi etis beserta kesimpulan terkait dengan berahi dari ketiga peninjauan di atas, serta bagaimana pandangan berahi secara tepat dan bagaimana kita
©
perlu memahaminya.
10