BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Sebagai jemaat dewasa di GKJ, pasti mengenal tentang istilah pamerdi. 1 Jemaat awam menganggap bahwa pamerdi adalah semacam perlakuan khusus yang diberikan kepada semua kalangan jemaat, yang secara sengaja atau tidak telah melakukan pelanggaran dosa (yang biasanya dimengerti dengan melanggar sepuluh perintah Allah). Dengan kata lain, ketika
W D
seorang jemaat mendengar kata pamerdi, maka yang secara cepat muncul di dalam pikiran mereka adalah ada seorang anggota jemaat yang sedang “diperdi” atau sedang dihukum oleh gereja karena telah melakukan kesalahan atau dosa.
K U
Pun yang terjadi di GKJ Wisma Nugraha2. Secara singkat GKJ ini mempunyai sekitar enam ratus anggota jemaat dan seorang pendeta jemaat aktif. Gereja ini mempunyai satu gedung gereja induk dan lima gedung gereja Pepanthan. Gereja ini merupakan gereja pinggiran, atau bisa dikatakan gereja desa. Sebagian besar jemaat yang ada merupakan seorang petani, karyawan swasta, dan PNS (guru). Jika kali ini kita akan membahas mengenai fenomena atau
@
pemberlakuan pemerdi dalam lingkup GKJ, sebagai gereja dewasa tentu di dalam proses perjalanan pelayanannnya gereja ini pernah melakukan prosedural pamerdi yang ada di dalam Tata Laksana GKJ. Beberapa anggota jemaat tentu pernah menjadi seorang yang masuk di dalam pemberlakuan pamerdi ini. Tentu juga ada pihak (Majelis atau Pendeta) menjadi pelaku di dalam pemberlakuan Pamerdi ini.3
1 Hal ini dikarenakan, pembahasan tentang pamerdi muncul di dalam katekisasi SIDI dan Babtis Dewasa. Oleh karena itu, jika pertanyaan ini ditujukan kepada Jemaat Dewasa di sebuah Gereja Kristen Jawa, mestinya jemaat yang bersangkutan mengerti atau setidaknya tahu mengenai pamerdi.
2 GKJ Wisma Nugraha adalah salah satu gereja yang ada dalam lingkup Klasis Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah. Gereja ini berada di desa Tegowanu, Kecamatan Tegowanu Wetan, Kabupaten Grobogan. Gereja ini merupakan gereja yang berada di ujung paling barat dari Klasis Purwodadi. 3 Dalam arti kepada seorang yang kepada dikenakan pamerdi tersebut. Yang kepadanya telah dilakukan tahapantahapan proses pamerdi sesuai dengan tata cara yang dirujuk dari Tata Laksana GKJ 2005. Paradigma korban ini muncul karena kepada seorang yang dikenakan pamerdi ini tampak bahwa ia semata-mata menjadi objek atas semacam sanksi yang diberikan Pejabat Gerejawi kepadanya. Dengan kata lain, pada saat ia (seorang yang dikenakan pamerdi ini) dikenakan pamerdi, jemaat yang bersangkutan hanya bisa melakukan kegiatan kejemaatan berdasarkan kaidah-kaidah yang dianjurkan oleh Majelis atau Pejabat Gerejawi. (Lihat Tata laksana GKJ 2005)
1
Beberapa kasus yang sering kali menjadi bahan utama pamerdi biasanya seputar jemaat yang hamil di luar nikah, cerai, dan atau kasus-kasus yang berhubungan dengan moral orang atau jemaat. Dalam pemberlakuan pamerdi, Kemajelisan di GKJ Wisma Nugraha sedapat mungkin melakukan pamerdi mirip atau sebisa mungkin sejalan dengan prosedur yang sudah tertuang di dalam Tata Laksana GKJ. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada saat melakukan pamerdi, pada dasarnya sama dengan prosedural yang sudah ditetapkan di dalam persidangan Sinode GKJ.
Melihat pada pemberlakuan pamerdi yang sering dilakukan, secara tidak langsung ternyata
W D
pamerdi dilakukan acap kali hanya pada kasus-kasus yang meliputi: pelanggaran moral (hamil di luar nikah, perselingkuhan); permasalahan keluarga (cerai, kekerasan, ketidaksamaan hak), dan beberapa tindakan yang dirasa cukup mengganggu berjalannya Pelayanan Iman gerejawi (misalnya, penggelapan uang gereja).
K U
Menurut kebiasaan yang acap kali dilakukan, harus diakui bahwa pada saat pamerdi ini dilakukan, ada dua pihak yang saling berhadapan. Yaitu pihak yang kepadanya dikenakan pamerdi, dan yang memberi atau menjalankan pamerdi tersebut yaitu pejabat gerejawi.4 Pun bisa ditambahkan satu lagi adalah jemaat diluar dua pihak utama di dalam pemberlakuan pamerdi ini. Baik kiranya pergolakan ini dapat menjadi bahasan khusus.
@
Paradigma korban pada akhirnya muncul, berangkat dari realita yang ada, yaitu bahwa seorang yang dikenakan pamerdi memang mempunyai “pengistimewaan” di antara amggota jemaat lain. Misalnya pengucilan, atau yang sering dan marak didengungkan sebagai pembatasan dan atau pengurangan hak-hak yang seharusnya dapat diterima sebagai jemaat didalam persekutuan dengan Kristus.
Pengucilan ini menjadi masalah tatkala realita ini di sejajarkan dengan hakikat gereja sebagai persekutuan. Bagaimana mungkin gereja dapat dikatakan sebagai persekutuan umat percaya yang dipanggil keluar, namun disisi lain masih ada pengistimewaan di dalamnya.
4
Yang di dalam gereja arus utama lebih dikenal sebagai Majelis Jemaat. Di dalam GKJ, Pejabat Gerejawi meliputi Penatua, Pendeta, dan Diaken. Jadi di dalam struktur Kemajelisan yang ada di GKJ, seharusnya ada ketiga unsur tersebut.
2
Apalagi jika kenyataan pengucilan ini pada akhirnya dipertemukan dengan konteks yang ada. Yaitu konteks suku Jawa, yang kekhususan sosiokulturalnya sangat mendominasi beberapa hal yang berkaitan dengan banyak kaidah etis dalam bergereja. Sebut saja budaya malu (karena dikucilkan dan dianggap berbeda dengan jemaat lain). Kekhasan yang ada ini tentu harus mendapat perhatian tersendiri.
Fakta demikian setidaknya memberikan gambaran kepada kita, bahwa di lingkungan GKJ tindakan pamerdi ternyata pernah dilakukan di beberapa gereja, atau bahkan sebagian besar gereja. Fakta unik yang secara cepat dapat kita lihat adalah bahwa di lingkungan GKJ, pamerdi dilakukan semata-mata ditujukan sebagai semacam “sesuatu” yang pasti diterima
W D
oleh setiap angota jemaat (baik majelis maupun anggota jemaat biasa), jika dalam kehidupan bergerejanya kedapatan melakukan pelanggaran (dosa). Atau dengan istilah lain, seorang tersebut mendapat hukuman, dan hukuman tersebut adalah pamerdi.
Karena saat ini kita berbicara dalam aras GKJ, tentu kita tidak dapat terlepas dari semangat
K U
awal yang diusung tatkala Tim Penyusun Sinode GKJ menyusun Tata Laksana yang akan mereka gunakan. Pada hakikatnya (menurut kesepakatan yang sudah diusung para penyusun) pamerdi adalah tindakan Gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman kepada warga Gereja atau pejabat Gerejawi yang jatuh ke dalam dosa. Hal tersebut dapat mendatangkan batu sandungan, baik bagi sesama warga Gereja maupun masyarakat umum.
@
Pamerdi dilaksanakan dengan cara membatasi hak-hak dari seorang yang dinyatakan masuk di dalam pamerdi ini.5
Dalam rumusan tentang pamerdi yang diusung oleh Sinode GKJ, tampak muncul kemiripan dengan pemaknaan mengenai hakikat penggembalaan yang diangkat oleh Bons-Strom. Menurutnya, penggembalaan adalah tindakan penerapan khusus dari berita injil kepada anggota jemaat secara pribadi, supaya satu per satu orang menyadari hubungannya dengan Allah, dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri. Oleh karena itu, di dalamnya si pelayan atau penggembala harus sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh perlakuannya pada saat melakukan penggembalaan. 6 Anggapan Storm ini, mirip dengan pendapat Clinebell dalam sebuah tajuk yang ia tulis. Menurutnya, di 5
Tim Penyusun Sinode GKJ, Tata Laksana Gereja-Gereja Kristen Jawa (Salatiga: Sinode GKJ, 2005), Pamerdi pasal 55 6 Bons-Storm, Apakah Penggembalaan Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 –cet 10), hlm. 15
3
dalam pemberlakuan penggembalaan khusus dimensi kuat yang juga harus diperhatikan adalah tentang memampukan penyembuhan dan pertumbuhan rohani bagi jemaat. 7 Dari sini, dapat kita rasakan bahwa sebenarnya Clinebell lebih menekankan pada keutuhan rohani dalam kehidupan jemaat.
Penekanan kuat konsep penggembalaan (khusus) dan pemerdi berada pada tindakan atau perlakuan pemeliharaan iman. Dalam Tata Laksana GKJ dikatakan bahwa pamerdi adalah tindakan gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman. Sejalan dengan itu, hakikat penggembalaan menurut Storm adalah penerapan khusus dari berita injil, supaya seseorang menyadari hubungannya dengan Allah. Dengan demikian, maka kali ini setidaknya
W D
sudah muncul semacam gagasan awal dalam kita memasuki bahasan berikutnya, yaitu tentang konsep pamerdi.
Kali kita dapat menyangka bahwa sebenarnya Clinebell lebih menekankan pada dimensi penyembuhan dan pertumbuhan rohani. Jika demikian, maka – sejalan dengan konsep
K U
pamerdi yang ada dalam Tata Laksana GKJ – pemeliharaan iman yang diusung, seharusnya juga memperhatikan dimensi penyembuhan dan pertumbuhan rohani dalam kehidupan jemaat. Dalam pemberlakuan pamerdi keutuhan rohani dalam kehidupan jemaat, sudah menjadi barang tentu untuk diperhatikan.
@
Menarik untuk direnungkan tentang apa yang ditekankan di dalam konsep penggembalaan dan rumusan yang ditekankan oleh Tata Laksana GKJ. Pemeliharaan iman dan atau penyadaran tentang hakikat manusia yang senantiasa mempunyai hubungan khusus dengan Allah tampak menjadi titik tekan dalam memaknai penggembalaan dan atau pamerdi ini. Dengan kata lain, dengan pengistilahan yang berbeda, penggembalaan – menurut Storm – sejiwa dengan perumusan pamerdi yang diusung oleh GKJ.
Jika kita kembali pada paparan fenomena yang sudah saya tulis di atas, maka sangat berpotensi bahwa jemaat hanya akan mengetahui bahwa pamerdi adalah semacam hukuman struktural gereja saja, karena jemaat tersebut telah kedapatan melakukan pelanggaran (dosa). Hal ini muncul karena dalam pemberlakuan pamerdi, jemaat hanya melihat bahwa ada 7
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 133.
4
anggota jemaat lain yang sedang dipamerdi dan belum benar-benar tahu mengenai hubungan konseptual mengenai penggembalaan (khusus) dan tindakan pamerdi yang dilakukan oleh gereja.
I.2.
Rumusan Permasalahan
Gereja pada dasarnya memang tidak dapat dilepaskan dari praktik penggembalaan (secara umum). Jika demikian, maka praktik penggembalaan mestinya dilakukan oleh gereja secara terus menerus. Namun di sisi lain, dalam kehidupan kejemaatan, ada kalanya ada beberapa
W D
jemaat yang tampak perlu untuk mendapatkan penggembalaan secara khusus. Yang kali ini akan disepakati dengan istilah pamerdi. Bagi anggota jemaat awam, biasanya pamerdi sematamata dimaknai sebagai semacam “perlakuan khusus”, tatkala ada anggota jemaat yang kedapatan melakukan dosa (pelanggaran yang berhubungan dengan moralitas). Hal ini dikarenakan dalam keseharian berjemaatnya, mereka baru mengetahui pemberlakuan pamerdi
K U
yaitu pada saat ada anggota jemaat lain diumumkan namanya di hadapan anggota jemaat lain pada saat kebaktian umum (merujuk pada paparan pada latar belakang). Dari sini kita dapat meraba bahwa bagi seorang yang kepadanya dikenakan pamerdi, ada “keistimewaan” khusus yang tidak dialami oleh anggota jemaat pada umumnya. Yaitu pada saat namanya disebut di dalam sebuah kebaktian.
@
Timbul masalah tatkala kita merujuk pada titik tekan perumusan pamerdi yang diusung oleh Sinode GKJ. Jelas – dalam paparan latar belakang – telah diungkapkan bahwa penekanan dalam pamerdi adalah pada pemeliharaan iman bagi anggota jemaat yang kedapatan melakukan pelanggaran (dosa). Namun dalam praktiknya (juga merujuk pada fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya), masih muncul “pengistimewaan” bagi seorang yang kepadanya dikenakan pamerdi. Yaitu dengan cara memberikan pembatasan atas hak-hak pelayanan sakramental bagi jemaat yang kepadanya dikenakan pamerdi.
Merujuk pada penggunaan istilah pemerdi, jika kita melihat di dalam buku ajar yang digunakan di GKJ (Pokok-Pokok Ajaran GKJ dan Tata Gereja-Tata Laksana GKJ) istilah pamerdi ternyata senantiasa muncul dalam setiap perumusan buku ajar ini. Dalam setiap daur sidang Sinode yang di dalamnya juga membahas tentang pamerdi, tampak istilah ini selalu muncul dan tentu juga masih juga digunakan di setiap gereja. Berangkat dari situ, anggapan 5
yang mestinya muncul dalam benak kita adalah tampak bahwa pamerdi ini masih sangat dibutuhkan dan tentu juga disepakati dalam pemberlakuannya (praktiknya). Atau dengan kata lain, sebagian besar atau bahkan semua peserta Sidang Sinode yang sebagian besar terdiri dari pendeta-pendeta se-Sinode GKJ menyepakati bahwa istilah pamerdi ini masih ada dalam buku acuan penggembalaan bagi semua anggota jemaat.
Masalah akhirnya muncul tatkala ternyata beberapa anggota jemaat tampak tidak begitu suka dengan pembelakuan pamerdi di lapangan. Anggota jemaat masih saja merasa bahwa ternyata di dalam pemberlakuan pamerdi mereka masih dijadikan pihak yang salah dan oleh karena itu harus dipersalahkan dalam sidang jemaat. Dengan kata lain, jemaat merasa kurang nyaman
W D
dengan pemberlakuan pamerdi di lapangan, yang ternyata masih mereka rasakan sebagai semacam syarat supaya mereka diperbolehkan untuk dapat merasakan pelayanan atau hak yang sama di dalam kehidupan berjemaatnya.
Berpijak pada paparan tersebut, jelas bahwa sebenarnya yang bermasalah bukanlah istilah
K U
atau formulasi pamerdi yang telah disusun melalui persidangan Sinode. Karena jika ternyata formulasi pamerdi itu ternyata yang salah, mestinya istilah atau bagian yang berisi tentang pamerdi tersebut sudah tidak dapat kita temukan lagi di dalam buku acuan pengajaran di GKJ. Jika ternyata masih ada, berarti pamerdi tersebut masih diperlukan bahkan hingga sekarang.
@
Perkiraan yang cukup kuat untuk kita rujuk sebagai pemicu permasalahn yang adalah pelaku yang ada di lapangan. Atau bisa jadi interpretasi yang keliru dari para Majelis Jemaat terhadap formulasi dan tahapan-tahapan dalam pamerdi tersebut. Kemungkinan lain yang cukup mendukung adalah jika pemberlakuan pamerdi tersebut juga tidak disesuaikan dengan konteks yang ada. Alih-alih para pelaku pamerdi ingin menjalankan tahapan pamerdi mirip atau sesuai dengan acuan yang disusun oleh Sinode, namun malah menjadikan pamerdi yang dilakukan menjadi fakta tindakan yang terlalu memaksakan proses atau tahapan yang memang sudah seharusnya disesuaikan dengan konteks yang ada.
Jika hal itu yang ternyata terjadi di lapangan (dalam arti masalah muncul adalah karena pemberlakuan pamerdi ternyata sangat kaku, yang didasarkan pada acuan Sinodal tanpa disesuaikan dengan konteks) maka tidaklah jika fakta yang ada menunjukkan bahwa beberapa anggota jemaat malah menjadi keliru memaknai hakikat daripada pamerdi tersebut. Dengan kata lain, janganlah kita selalu secara serta-merta menyalahkan anggota jemaat yang ada 6
(dalam memaknai pamerdi), jika ternyata apa yang mereka lihat – atau bahkan terima – adalah fakta yang seperti telah dipaparkan di atas.
Berpijak pada paparan di atas, maka dengan cepat kita bisa memunculkan kecurigaan bahwa sebenarnya bagaimana pamerdi itu dilakukan di gereja tersebut? Selain itu, jika pamerdi semata-mata hanya dimaknai sebagai semacam hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, alih-alih pamerdi akan menjadi media gereja memelihara iman bagi anggota jemaat. Pelaksanaan pamerdi malah akan menimbulkan jarak antara anggota jemaat dan gereja. Lebih lanjut dari pada itu, tentu pembicaraan mengenai konteks juga harus dikaji mendalam berkaitan dengan andil konteks di dalam pemberlakuan pamerdi yang semestinya dilakukan
W D
oleh pejabat gerejawi di GKJ.
Berangkat pada permasalahan pertama yang muncul tersebut, Tom Jacobs dalam sebuah tulisannya, dalam kerangka kita akan mengkaji mengenai gereja, maka di awal kita harus menyadari hakikat dari gereja tersebut. Lagi menurutnya, pada dasarnya keberadaan gereja
K U
yang ada saat ini tidak dapat dilepaskan dari pemaknaan tentang koinonia (persekutuan).8
Dalam kita memaknai Koinonia, kita diingatkan bahwa ada tiga istilah penting yang tampaknya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Yaitu persatuan dengan Kristus, persatuan
@
dengan atau dalam Roh Kudus, dan persatuan antara jemaat sendiri. Persekutuan dengan Kristus adalah kesatuan hidup dengan Kristus.
Persekutuan dengan Roh Kudus artinya bahwa persatuan yang ada adalah buah dari pemberian Roh Kudus. Dengan kata lain, persekutuan yang ada adalah persekutuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Persekutuan antar jemaat dimaknai sebagai ungkapan kesatuan antar jemaat yang ada. Koinon pada bagian ini di dalamnya tercakup partisipasi bersama, dan setiap jemaat mengambil bagian dalam obyek yang sama.
8
Koinonia secara mudah dapat dimaknai sebagai persatuan. Oleh karena itu, tatkala kita akan menghubungkan koinonia ini dalam pemaknaan ekklesiologi, maka dapat kita maknai gereja sebagai persekutuan. Ini mirip dengan salah satu model gereja yang diusung oleh Avery Dulles, Model-Model Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990) –terj.George Kirchberger dkk.
7
Dalam kaitannya dengan persekutuan dengan Kristus, maka pada dasarnya setiap orang diajak untuk menghayati bahwa jika seseorang bersekutu bersama-sama dengan Kristus ada harga yang harus dibayar. Pertama-tama yaitu perubahan. Perubahan dalam kaitannya dengan meninggalkan tindakan yang lama, dan mulai masuk ke dalam kehidupan baru dalam pemulihan Kristus. Jika kembali pada paparan pada latar belakang, di dalam pamerdi yang menekankan tentang pemeliharaan iman, aspek mengubah dari manusia yang berdosa dan kembali pada ketaatan kepada Kristus dapat ditemukan korelasinya. Yaitu dengan tindakan menyadarkan seorang yang berdosa, untuk kembali mau dengan rela hati kembali pada ketaatan dengan Kristus.
W D
Dari paparan diatas, maka pertanyaan-pertanyaan yang bisa dimunculkan sebagai pertanyaan permasalahan adalah, antara lain:
1. Bagaimana praktik pamerdi dihayati oleh jemaat di GKJ Wisma Nugraha? 2. Bagaimanakah konsep anggota jemaat mengenai gereja yang hingga sekarang masih
K U
mereka hidupi?
3. Bagaimana dampak pemahaman Pamerdi di GKJ Wisma Nugraha, dalam kaitannya dengan tujuan Pembangunan Jemaat dalam aspek koinonia?
I.3.
@
Judul Skripsi
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka penulis memberi judul skripsi:
“Penghayatan Jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wisma Nugraha tentang Pamerdi dalam kaitannya dengan Hakikat Gereja sebagai Persekutuan
8
I.4.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi kali ini adalah
1. Melihat sejauh mana pamerdi dimaknai dan dihayati oleh jemaat GKJ Wisma Nugraha. 2. Mengetahui pemaknaan dan penghayatan jemaat mengenai hakikat gereja sebagai persekutuan dengan Kristus, baik secara konsep maupun secara kontekstual. 3. Menemukan terjadinya dampak kontraproduktif Pembangunan Jemaat dalam konsep koinonia, yang secara tidak langsung muncul tatkala pamerdi dilakukan.
I.5.
W D
Metodologi
Dalam penulisan skripsi kali ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif.
K U
Yaitu dengan cara melakukan wawancara kepada narasumber. Beberapa jemaat akan dipilih dan dijadikan narasumber, yang diantaranya adalah jemaat awam (dalam arti jemaat biasa); majelis dan pendeta, sebagai pejabat gerejawi atau pelaku pamerdi tersebut; jika memungkinkan, juga akan diwanwancara seorang yang pernah atau sedang di dalam proses pamerdi tersebut.
@
Wawancara yang dilakukan, bukanlah semata-mata wawancara dadakan tanpa konsep pertanyaan yang jelas. Konsep pertanyaan akan terlebih dahulu disusun oleh penulis, yang tentu sudah melalui penyusunan indikator dan variabel yang didasarkan pada teori-teori yang digunakan, sebagai langkah awal penyusunan pertanyaan.
9
I.6.
Sistimatika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, dan rumusan masalah yang akan dijabarkan di dalam skripsi yang akan disajikan. Bab ini adalah semacam headline yang nantinya akan ditulis di dalam skripsi kali ini. Dengan kata lain, apa saja yang akan tertuang di dalam penulisan skripsi kali ini, akan disajikan pada Bab I ini.
Bab II
W D
Pamerdi di GKJ
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai landasan teori yang digunakan
K U
di dalam penulisan skripsi kali ini. Yaitu teori-teori mengenai gereja, pamerdi, dan bahkan teori kebudayaan. Beberapa teori tersebut akan digunakan untuk melihat penghayatan jemaat yang sarat dengan unsur kebudayaan Jawa.
@
Teori-teori tentang budaya Jawa sedikit-banyak akan dipaparkan dalam bahasan di bab ini. Teori-teori tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk menyusun variable dan indikator pada saat menyusun pertanyaan penelitian lapangan. Penelitian lapangan akan dilakukan dengan melakukan interview kepada jemaat biasa (dalam berbagai macam spesifikasi kejemaatan) dan para pejabat gerejawi.
Bab III
Pemahaman Jemaat GKJ Wisma Nugraha tentang Pamerdi. Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil dan analitis terhadap penelitian lapangan yang telah dilakukan di GKJ Wisma Nugraha. Oleh karena itu, tentu sangat dibutuhkan literatur pendamping dalam mengkaji dan menganalisa hasil penelitian. Bagaimana aspek budaya yang melatarbelakangi, status sosial, juga seberapa besar pengaruh 10
pengajaran gerejawi yang berhubungan dengan penggembalaan anggota jemaat tentu menjadi barang penting dalam pengkajian pada bab ini.
Bab IV
Pamerdi dalam Kaitannya dengan Hakikat Gereja sebagai Persekutuan.
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai refleksi kritis teologis atas hasil penelitian lapangan tentang pamerdi di GKJ Wisma Nugraha, yang nantinya akan ditemukan kait-kelindannya dengan hakikat gereja sebagai persekutuan.
Bab V
W D
Kesimpulan dan Penutup
Pada bagian terakhir, penulis ingin membuat kesimpulan atas skripsi
K U
yang disusun kali ini. Hal-hal apa saja yang telah dicapai dalam penulisan skripsi, yang dirujuk dari hasil yang didapat dari penelitian lapangan; tinjauan teologis atas hasil penelitian lapangan, usulan dan rencana strategis atas hasil yang telah didapatkan; semua akan disimpulkan menjadi semacam ringkasan yang dapat mewakili sebagian
@
besar isi dari penyusunan skripsi kali ini.
11