BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Jan Sihar Aritonang melihat kenyataan bahwa penyelenggaraan lembaga
pendidikan formal atau sekolah-sekolah Kristen dalam batas-batas tertentu masih dapat berkembang di negeri Indonesia ini, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak lembaga pendidikan (berlabel) Kristen, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, yang sudah tamat riwayatnya. Kalaupun tidak sampai mati, banyak di antaranya yang dalam
W
keadaan sekarat dan tidak jelas sumbangannya bagi pendidikan anak-anak bangsa kita.1 Kenyataan tersebut juga termasuk yang dialami oleh lembaga pendidikan Kristen milik
KD
Greja Kristen Jawi Wetan (baca: Grejo2, selanjutnya ditulis dengan GKJW), dari tingkat dasar sampai menengah atas, yang terkoordinasi dalam Yayasan Badan Pendidikan Kristen GKJW (YBPK GKJW)3. Dalam menghadapi perkembangan dan tantangan pendidikan/sekolah di dunia dan di Indonesia pada umumnya, serta di Jawa Timur dan Malang Selatan pada khususnya, Sekolah-sekolah Kristen tersebut perlu
U
mengembangkan wawasannya, meningkatkan kualitas dan kesadarannya, serta
©
menentukan sikap dan langkah-langkahnya ke depan.
1.1. Penyelenggaraan Sekolah Kristen dan Pekabaran Injil 1
2
3
Jan Sihar Aritonang dalam makalah Pendidikan Kristen di Indonesia, 2010, Education for Change – Pendidikan untuk Perubahan: Terus Berkarya menjadi Berkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan BPK Penabur, hal. 359. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung tentang Badan-Badan Pembantu Majelis, Malang, Hal.14. Tata Gereja Bab I, Pasal 1, berbunyi, “Nama resmi gereja ini adalah “Greja Kristen Jawi Wetan”. Nama ini adalah nama diri dalam bahasa Jawa, yang ditulis dan dibaca dengan cara dan bunyi bahasa Jawa. Hal ini nampak secara khusus dalam nama “Greja” yang harus dibaca dengan lafal Jawa: grejo.” YBPK GKJW didirikan tanggal 26 Oktober 1964 dengan Akte Notaris di Malang Nomor 50, sesuai yang tercatat dalam Akte Notaris di Malang, Nomor 4, tanggal 4 Oktober 2008. Sampai tahun 2013 ini, YBPK GKJW memiliki 35 cabang yang mengelola 71 unit sekolah-sekolah yang terdiri dari Kelompok Bermain sampai dengan SMA serta SMK yang tersebar di beberapa wilayah pemerintahan kabupaten dan kota di propinsi JawaTimur.
1
Pendidikan Kristen dalam bentuk penyelenggaraan lembaga pendidikan formal atau sekolah-sekolah Kristen di Jawa Timur, pada mulanya tidak dapat dipisahkan dari pergerakan misi Kristen sebagai Pekabaran Injil (PI) di Jawa Timur. Pergerakan Misi di Jawa Timur antara tahun 1835-1935 yang dicatat oleh C.W. Nortier4, menunjukkan adanya motif membangun kehidupan yang lebih baik, di bidang kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat pribumi. Hal itu dapat dilihat dari adanya usaha mendirikan Rumah Sakit dan Sekolah-Sekolah (Lembaga Pendidikan) Kristen bagi pekerjaan Pekabaran Injil (PI) di Jawa Timur. Sekalipun pendirian Rumah Sakit dan Sekolah-Sekolah Kristen itu juga dipengaruhi oleh Politik Etis yang diterapkan Pemerintah Hindia-Belanda bagi rakyat pribumi pada waktu itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya semangat menggereja yang tumbuh di kalangan warga
W
Kristen pribumi di Jawa Timur juga terdukung dengan adanya pelayanan masyarakat dalam Rumah Sakit dan Sekolah-Sekolah Kristen tersebut. Demikianlah betapa Timur waktu itu.5
KD
pentingnya peran Rumah Sakit dan Sekolah-sekolah Kristen pada periode PI di Jawa Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata PI melalui pelayanan Rumah Sakit dan Sekolah-Sekolah Kristen tidak lagi menampakkan hasil seperti periode sebelumnya. Biaya yang tidak sedikit untuk pemeliharaan kedua bentuk pelayanan itu
U
menyebabkan kesulitan dalam pendanaannya, sehingga beberapa Rumah Sakit dan Sekolah-sekolah Kristen itu tidak lagi menjadi bagian yang paling diperhatikan dalam
©
usaha PI oleh orang pribumi di Jawa Timur. Setidaknya hal itu nampak pada suasana yang tercermin dalam Tata Gereja Jawa Timur yang pertama, yakni Tata lan Pranata GKJW tahun 1931, tidak mengatur atau memberi perhatian pada PI melalui pelayanan diakonia Rumah Sakit dan Sekolah-sekolah Kristen yang telah ada.6 Hal ini dapat juga dipahami bahwa menegakkan jalannya organisasi GKJW yang masih baru tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih besar daripada hal yang lain.7 Namun saat pelayanan diakonia itu dinyatakan dalam Tata Gereja yang masih berlaku di GKJW, ada hal menarik yang terjadi, yakni pelayanan tersebut mulai 4
5 6 7
C.W. Nortier, 1981, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan + 1835-1935, Jakarta: BPKGunung Mulia dan Persetia. C.W. Nortier, 1981, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hal. 39, 51, 74, 86, 93, 98, 108, 114, 118, 127-129, 134-140. C.W. Nortier, 1981, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hal. 197-203. C.W. Nortier, 1981, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hal 204.
2
dilandasi arah yang lebih jelas. Dalam Pembukaan Tata dan Pranata GKJW yang masih berlaku hingga sekarang, MA (Sinode) GKJW mengakui panggilan misinya dalam konteks rencana karya Tuhan Allah terhadap dunia, supaya kasih, sukacita, keadilan, kebenaran, damai sejahtera berlaku dalam seluruh kehidupan dan tidak ada lagi maut, ratap tangis, perkabungan dan dukacita. “Karena kasihNya kepada dunia dengan segala isinya, Tuhan Allah yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, telah datang di dunia ini, dalam diri Yesus yang adalah Kristus, Tuhan Juruselamat dunia. Dengan kedatanganNya itu, Tuhan Allah melaksanakan rencana karyaNya terhadap dunia, supaya kasih, sukacita, keadilan, kebenaran, damai sejahtera berlaku dalam seluruh kehidupan dan tidak ada lagi maut, ratap tangis, perkabungan dan dukacita.”8
W
Dalam bagian Tata Gereja dari Tata dan Pranata GKJW itu disebutkan bahwa GKJW memenuhi panggilannya dengan menjalankan kegiatan pelayanan di Bidang Teologi, Persekutuan, Kesaksian, Cinta Kasih dan Penatalayanan. 9 Dalam memori
KD
penjelasannya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan Cinta Kasih adalah diakonia.10 Dengan demikian, warga GKJW dapat menyadari bahwa Tugas dan Panggilan Warga Dewasa di bidang Diakonia adalah ikut serta mewujudkan pelayanan Cinta Kasih kepada sesama warga maupun masyarakat, baik secara perseorangan
U
maupun bersama-sama.11 Kegiatan pelayanan di bidang Cinta Kasih adalah kegiatan menyatakan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dengan segala isinya, untuk
©
mewujudkan kesejahteraan lahir batin. Dasar kegiatan ini adalah karena kebaikan Tuhan Allah kepada semua orang dan seisi dunia (Mazmur 145:9 dan Yohanes 3:16). Panggilan gereja sebagai buah sulung untuk memberlakukan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya, juga dipahami sebagai dasar kegiatan diakonia GKJW. Tujuan kegiatan diakonia adalah terwujudnya kasih, sukacita, kebenaran, damai sejahtera bagi seluruh dunia.12 Di dalam buku Tata dan Pranata GKJW itu juga dinyatakan, pelaksana kegiatan cinta kasih/diakonia GKJW melalui usaha kesehatan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin adalah Yayasan Kesehatan GKJW (YK GKJW), dan pelaksana kegiatan cinta kasih/diakonia GKJW melalui usaha kependidikan untuk mewujudkan 8 9 10 11 12
C.W. Nortier, 1981, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hal. 2. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal. 5. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal 17, 287. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal 26. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal 281.
3
kesejahteraan lahir batin bagi sesama warga maupun masyarakat adalah YBPK GKJW.13 Meskipun GKJW belum mempunyai teks dogma teologi diakonia yang tersusun rinci menjadi satu dan diresmikan dalam Sidang Sinode, penggunaannya untuk seluruh GKJW, seperti Sinode GKJ yang memiliki Pokok-Pokok Ajaran Gereja (PPAG), namun teks dogma teologi diakonia GKJW yang resmi semacam itu dapat ditelusuri dari Buku Tata dan Pranata GKJW yang masih berlaku sampai sekarang dan Buku Seri Pembinaan Warga Jemaat Bidang: Pelayanan Cinta Kasih. 1.2. Pemahaman Diakonia GKJW Dalam buku Tata dan Pranata GKJW yang masih berlaku sampai sekarang, dijelaskan bahwa kegiatan pelayanan di bidang Cinta Kasih, yang dimaksud adalah ‘diakonia’.
W
Hal itu merupakan kegiatan menyatakan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dengan segala isinya, untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin. Dasar kegiatan
KD
pelayanan cinta kasih ini adalah karena kebaikan Tuhan Allah kepada semua orang dan seisi dunia, serta panggilan gereja sebagai buah sulung untuk memberlakukan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya. Tujuan kegiatan ini adalah terwujudnya kasih, sukacita, keadilan, kebenaran, damai sejahtera bagi seluruh dunia.14 Ayat Alkitab yang dipakai sebagai dasar kegiatan ini adalah Mazmur 145:9 dan
U
Yohanes 3:16. Selain itu untuk merujuk panggilan gereja sebagai buah sulung dalam memberlakukan cinta kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya, dalam
©
memori penjelasan terkait Pembukaan Tata dan Pranata tersebut, alinea 2, kalimat pertama, digunakan pula ayat Alkitab dari Markus 3:14-15, I Korintus 15:28, Galatia 3:27-28, I Petrus 2:9-10, dan lain-lain.15 Selanjutnya, dalam buku ini memang tidak dijelaskan secara rinci alasan penggunaan ayat-ayat Alkitab tersebut sebagaimana sistematika yang jelas terkait dogma teologi diakonia yang dianut oleh GKJW. Sehingga para pembaca buku ini diberi kebebasan memahami teologi diakonia yang dianut oleh GKJW, sepanjang pemahaman tersebut tidak jauh dari tujuan kegiatan diakonia itu. 13
14 15
Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal 340. Dalam Tata dan Pranata GKJW bagian Peraturan Majelis Agung GKJW tentang Badan-Badan Pembantu Majelis, Bab II, Pasal 3, ayat 4.b. menyebutkan, “Yayasan Badan Pendidikan Kristen GKJW (YBPK GKJW) dengan tugas melaksanakan kegiatan menyatakan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dengan segala isinya melalui usaha kependidikan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin.” Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal. 281 dan 287. Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal. 13.
4
Dalam Buku Seri Pembinaan Warga Jemaat Bidang Pelayanan Cinta Kasih yang diterbitkan oleh Dewan Pembinaan Pelayanan (DPP) MA GKJW pada tahun 2006, dijelaskan istilah pelayanan cinta kasih sebagai pelayanan kepada sesama yang juga berarti pelayanan kepada Tuhan yang dilakukan dengan bebas dan sukacita tidak dengan terpaksa seperti budak. Pelayanan cinta kasih juga harus dilakukan bukan untuk mencari upah dan kepentingan sendiri tetapi harus berlandaskan cinta kasih yang sejati, seperti Tuhan mengasihi umatNya.16 Dalam buku itu juga dijelaskan dasar-dasar teologis pelayanan cinta kasih yang dilakukan GKJW. Ada dasar yang menyebutkan: tidak dilayani tetapi melayani, terinspirasi dari Kisah dan Firman Tuhan Yesus dalam Matius 20:26 dan Yohanes 13:1-20. Demikian juga dasar teologis yang bersumber dari pemahaman: diakonia adalah salah satu unsur hakekat gereja, yakni karena diakonia gereja berakar erat dalam
W
pribadi dan karya Yesus Kristus sebagai Sang Kepala Gereja dan karena diakonia menempati tempat yang sentral dalam dunia Kitab Suci. Serta dua dasar teologis
KD
lainnya yang bersumber dari pemahaman: Diakonia adalah pelayanan untuk Keadilan dan Damai Sejahtera, serta Diakonia tidak mengenal batas Bangsa dan Agama. Keempat dasar itulah yang menentukan gerak pelayanan cinta kasih itu dibagikan kepada siapa, yakni kepada mereka yang miskin dan lemah agar terbebas dari kemiskinannya.
U
Sedangkan cara atau model yang dapat dilakukan agar tujuan membebaskan orang miskin dari kemiskinan itu dapat terwujud, juga dijelaskan dalam buku itu
©
sebagai Diakonia Karitatif, Diakonia Reformatif dan Diakonia Transformatif.17 Cara
16 17
DPP MA GKJW, 2006, Pelayanan Cinta Kasih: Pemahaman dan Pelaksanaannya, Malang: MA GKJW (untuk kalangan sendiri), hal. 3. Tentang bentuk-bentuk diakonia yang sering dijelaskan para ahli di bidang ini ada tiga bentuk diakonia, yakni Diakonia Karitatif, Diakonia Reformatif/Pembangunan, dan Diakonia Transformatif. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: Diakonia Karitatif diibaratkan memberi sesuatu yang dibutuhkan orang yang miskin tanpa memberdayakannya agar dapat mandiri mengatasi kesulitan hidupnya. Diakonia Reformatif: memberi dan memberdayakan agar dapat mandiri. Diakonia Transformatif: memberi, memberdayakan, dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan-kekuasaan yang mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan. Demikianlah yang juga dijelaskan dalam Buku Seri Pembinaan Warga Jemaat Bidang: Pelayanan Cinta Kasih I , 2006, Pelayanan Cinta Kasih: Pemahaman dan Pelaksanaannya, Malang: DPP GKJW, hal. 16-22. Bdk. Penjelasan E.G. Singgih, 2005, Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal. 23. Rijnardus A. Van Kooij, dkk, 2007, Menguak Fakta Menata Karya Nyata, Jakarta: BPK Gunung Mulia hal. 87. Josef P. Widyatmadja, 2009, Diakonia sebagai Misi Gereja, Yogyakarta: Kanisius, hal. 109-115. Josef P. Widyamadja, 2010, Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal 31-55.
5
yang pertama disebut sebagai Diakonia Karitatif. Diakonia ini paling mudah dan sering dilakukan oleh gereja karena: (1) Dapat memberi manfaat langsung dan segera dapat dilihat hasilnya; (2) Tidak ada resiko karena pasti didukung oleh penguasa; (3) Memberikan penampilan yang baik terhadap si pemberi; (4) Memusatkan perhatian pada hubungan pribadi; (5) Menciptakan hubungan subyek-obyek atau ketergantungan. Cara yang kedua disebut sebagai Diakonia Reformatif, sekalipun mulanya dianggap lebih membawa harapan pembebasan orang miskin dari kemiskinan, namun ternyata cara ini akhirnya juga dianggap belum dapat mengatasi masalah kemiskinan, karena hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal dan teknologi, tetapi mengabaikan salah satu akar kemiskinan, yaitu keadilan dan pemerataan. Cara yang ketiga disebut Diakonia Transformatif, yakni “mengubah bentuk”.
W
Mengubah bentuk struktur sosial yang ada, dari struktur sosial yang menindas dan tidak adil menjadi lebih adil dan tidak menindas, dengan bantuan analisis sosial, khususnya
KD
model konflik, menjadi alat dalam berjuang mengurangi kemiskinan. Pemahaman dasar Diakonia Transformatif dalam melayani orang miskin dan tersisih adalah: (1) Rakyat adalah subyek dari sejarah, bukan obyek; (2) Tidak karitatif, tetapi preventif; (3) Tidak didorong oleh belas kasihan tetapi keadilan; (4) Menstimulir partisipasi; (5) Memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab kemiskinan. Penggunaan bentuk-bentuk
U
pelayanan cinta kasih tersebut, harus disesuaikan dengan situasi kondisi yang ada dan tidak harus digunakan sendiri-sendiri, dapat juga digunakan bersama-sama saling kait
©
mengkait satu dengan yang lainnya.18 Penjelasan GKJW akan teologi diakonianya dalam Tata dan Pranata GKJW itu
memanglah sangat singkat dan sederhana. Namun pemahaman dan pelaksanaan teologi diakonia dalam medan pelayanan GKJW, khususnya yang tertulis dalam Buku Seri Pembinaan Warga Jemaat Bidang: Pelayanan Cinta Kasih itu, terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari bentuk diakonia karitatif yang paling mudah dijalankan oleh warga jemaat dan gereja sebagai institusi, sampai pada bentuk diakonia transformatif yang baru bisa dilakukan oleh jemaat tertentu dengan kondisi sosial politik dan hukum tertentu pula. Diakonia Karitatif yang sering dilakukan di hampir seluruh jemaat di GKJW adalah memberikan bantuan natura (bahan pangan atau sandang) kepada warga
18
DPP MA GKJW, 2006, Pelayanan Cinta Kasih, hal. 16-23
6
gereja yang miskin secara ekonomi, dan jika masih ada keuangan jemaat yang berlebih untuk kegiatan diakonia itu, akan diberikan kepada orang-orang miskin di sekitar gereja yang bukan warga gereja. Kegiatan itu bisa bersifat insidental maupun berkelanjutan. Sedangkan bentuk diakonia reformatif di GKJW dapat berupa program-program Pemberdayaan Ekonomi Warga atau disingkat PEW, biasanya dilakukan oleh jemaatjemaat yang memiliki cadangan keuangan jemaat yang besar. Bentuk PEW ini diantaranya pemberian/peminjaman tanpa bunga berbagai modal usaha atau penguatan jaringan-jaringan usaha milik warga jemaat. Diakonia Reformatif yang dijalankan GKJW selama ini selain bidang sosial-ekonomi, juga dalam bidang sosial-politik, kesehatan dan pendidikan. Pada bidang sosial-ekonomi, GKJW telah melakukan program Pemberdayaan Ekonomi Warga (PEW) dari tingkat Sinode sampai ke Jemaat-Jemaat. Di tingkat
W
Sinode, program ini dipelopori oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat milik Majelis Agung (disingkat MA, juga dapat disebut sebagai Sinode) GKJW dengan melakukan
KD
pelatihan-pelatihan bagi pendamping program ini di tingkat Majelis Daerah (Klasis) dan Jemaat. Sejauh pengamatan selama ini, program ini berjalan dengan baik dan sangat dirasakan oleh warga jemaat yang kesulitan ekonomi. Dalam bidang sosial politik dilakukan pendampingan oleh (IPTh) Balewiyata, khususnya dalam program pendidikan politik warga gereja, terutama saat Pemilu Legestatif, Presiden, maupun
U
Kepala Daerah. Dalam bidang kesehatan dilakukan pendampingan bagi penderita HIV/AIDS oleh Pilkesga19 GKJW dan berjalan baik hingga kini. Di bidang pendidikan
©
formal di tingkat dasar dan menengah, GKJW memulainya dengan mendirikan sekolahsekolah Kristen, antara lain Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang kemudian dikordinir oleh sebuah yayasan bentukan MA GKJW, bernama Yayasan Badan Pendidikan Kristen Greja Kristen Jawi Wetan, disingkat YBPK GKJW. Diakonia Transformatif yang dilakukan jemaat tertentu dengan kondisi sosial politik dan hukum tertentu, memang masih kecil terwujud. Hal ini pernah terjadi di suatu jemaat di daerah Malang Selatan pada tahun 2012 lalu, yang berani menyatakan untuk menolak atau melawan kehadiran swalayan (bisnis retail) yang telah
19
Apa dan bagaimana Pilkesga GKJW dapat dilihat di http://pilkesgagkjw.blogspot.com/p/aktivitaspilkesga.html atau http://pilkesgagkjw.wordpress.com/ diunduh tanggal 20 Mei 2012 jam 15.00.
7
menjamur di berbagai daerah, demi mengamankan kelestarian usaha toko milik warga jemaat maupun warga desa yang diantaranya telah terdukung dengan program PEW. Penolakan itu diwujudkan dalam membangun perkumpulan para pemilik toko di desa itu, lalu meminta pendampingan hukum dari gereja untuk melawan segala bentuk intervensi pengusaha retail dalam usaha membuka jaringan retail di desa itu, hingga akhirnya ekonomi kerakyatan20 yang dibangun gereja dan desa itu tetap dapat dijaga. Dengan tetap terjaganya ekonomi kerakyatan di desa itu, pelayanan diakonia reformatif GKJW melalui PEW yang dijalankan juga dapat bertahan. Diakonia Transformatif yang ditunjukkan dalam kasus itu terletak pada upaya memampukan para pemilik toko di desa itu untuk melawan dengan pendampingan hukum oleh gereja atas kekuasaan pengusaha retail yang hanya memikirkan keuntungannya sendiri tanpa menghiraukan
W
pengembangan ekonomi kerakyatan. 1.3. YBPK dan Dukungan Jemaat-Jemaat se-GKJW
KD
Selain gambaran pelaksanaan diakonia transformatif tersebut, ada hal ironis terjadi pada pelaksanaan diakonia reformatif dalam penyelenggaraan sekolah-sekolah Kristen di hampir seluruh jemaat dimana sekolah-sekolah itu berada. Hal itu terlihat dalam beberapa kali Sidang MA (Sinode) GKJW, YBPK GKJW sebagai koordinator penyelenggara sekolah-sekolah Kristen se-GKJW, sering diminta untuk meningkatkan
U
mutu pendidikannya oleh persidangan MA GKJW tersebut, namun ironisnya dukungan dan kepedulian gereja/jemaat se-GKJW juga sangat kurang. Misalnya dinyatakan
©
dalam Akta Sidang MA ke-95/2004, Artikel 56, tentang dukungan nyata GKJW terhadap YBPK, yang salah satu isi pembahasannya: Sekolah-sekolah YPBK saat ini “tidak laku dipasarkan” karena mutu sarana dan prasarana yang dimiliki kurang 20
Penjelasan Drs. Revrisond Baswir, MBA -- Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Pengajar FE-UGM Yogyakarta, sebagai berikut: Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dikutip dari Makalah yang berjudul EKONOMI KERAKYATAN VS NEOLIBERALISME, diunduh pada tanggal 6 Februari 2013 jam 06.00 WIB, dari http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm.
8
bermutu. Demikian juga dinyatakan dalam Akta Sidang ke-96/2005, Artikel 48, tentang dukungan dana untuk YBPK, yang salah satu isi pembahasannya: YBPK adalah lembaga yang didirikan oleh GKJW, maka GKJW harus bertanggungjawab terhadap keadaan YBPK yang memprihatinkan. Terkait dukungan gereja/jemaat memang sangat kurang, hal ini terekam dalam Akta Sidang MA ke-93/2003, Artikel 64 tentang Pelestarian Sekolah YBPK, yang beberapa isi pembahasannya sebagai berikut: agar supaya memperoleh dana yang cukup perlu intensitas pengumpulan persembahan syukur pendidikan. Pada tahun 2002 dari 140 jemaat baru 31 jemaat yang menyetorkan dana ke YBPK. Bahkan sampai tahun 2011 yang lalu, jumlah jemaat yang berpartisipasi dalam persembahan syukur YBPK ini, hanya 30 dari 158 jemaat. Artinya, kepedulian dan
W
dukungan jemaat se-GKJW untuk pelestarian YBPK GKJW ini sangat rendah, sedangkan keadaan YBPK semakin memprihatinkan, diantaranya karena mutu sarana
KD
dan prasarana yang dimiliki kurang bermutu sehingga “tidak laku dipasarkan” seperti yang dinyatakan dalam salah satu pembahasan Akta Sidang MA ke-95/2004, Artikel 56, sekalipun Pengurus Pusat YBPK merasa sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan21.
Dari kenyataan ini, Ketua MA GKJW (2010-2013), Pdt. Rudi Sewoyo, S.Th
U
dalam pernyataan pribadinya22, mengusulkan agar GKJW mengkaji ulang apakah perlu di jaman sekarang ini YBPK terus dipertahankan seperti ini? Artinya, jika memang
©
pendidikan formal GKJW sudah kalah bersaing, GKJW tetap bisa melanjutkan diakonianya dalam bidang pendidikan melalui sekolah-sekolah khusus yang selama ini belum ditangani oleh pihak lain, misalnya sekolah untuk korban narkoba, HIV/AIDS, dan anak-anak putus sekolah karena kemiskinan. Beliau juga menyampaikan, jika memang tidak mampu mengelola banyak sekolah dengan mutu yang baik, lebih baik memaksimalkan sekolah yang masih berkualitas, dan mengubah sekolah-sekolah yang sudah tidak berkembang itu untuk sekolah-sekolah khusus tersebut sesuai konteks pergumulan yang dihadapi. Namun dia menyadari bahwa hal ini tidak akan mudah diwujudkan oleh GKJW, sekalipun rasa optimisnya tetap dinampakkan. 21
22
Hasil wawancara dengan pengurus YBPK GKJW dan mantan Ketua YBPK GKJW, menunjukkan mereka telah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai tugas dan tanggungjawabnya. Lihat lampiran hal. iv-xviii. Hasil wawancara dengan Pdt. Rudi Sewoyo, S.Th pada 21 April 2012 di Malang. Lihat lampiran hal. vii-ix.
9
1.4. Masalah Kemiskinan di Jawa Timur GKJW yang mengakui sebagai bagian dari Gereja yang Esa, yang dilahirkan, ditumbuhkan dan dipelihara oleh Tuhan Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudusnya di Jawa Timur,23 berusaha mewujudkan panggilan diakonianya tersebut sesuai konteks Jawa Timur. Konteks Jawa Timur (Jatim) yang merupakan medan pelayanan diakonia GKJW secara khusus, menjadi tantangan tersendiri, terutama dengan keberadaan pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) sepanjang pulau Jawa. Karena GKJW hanya berada di Jatim, maka tantangan itu harus dihadapi secara langsung oleh Jemaat GKJW yang berada di delapan Kabupaten dari barat ke timur sisi selatan Provinsi Jawa Timur, yakni Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang,
W
Jember dan Banyuwangi. Jemaat-jemaat itu antara lain: GKJW Jemaat Pacitan, GKJW Jemaat Trenggalek, GKJW Jemaat Tulungagung, GKJW Jemaat Sitiarjo-Malang,
KD
GKJW Tambakrejo-Malang, GKJW Jemaat Sendangbiru-Malang, GKJW PujiharjoMalang, GKJW Jemaat Lumajang, GKJW Jemaat Tunjungrejo-Lumajang, GKJW Jemaat Tempursari-Lumajang, GKJW Jemaat Argosari-Lumajang, GKJW Jemaat Jember dan GKJW Jemaat Banyuwangi.
Pembangunan JLS Jatim merupakan pembangunan jalan baru yang panjang
U
keseluruhannya 634,11 km. JLS Jatim merupakan bagian dari JLS Pulau Jawa, dan dilaksanakan sejak 2002. Berdasarkan perkiraan harga satuan yang berlaku di tahun
©
2002, pembiayaan proyek JLS Jatim akan membutuhkan biaya sebesar Rp 3,1 triliun. Di antaranya untuk pembebasan lahan Rp 268,45 miliar baik untuk jalan arteri maupun kolektor, kontruksi jalan dan jembatan sebesar Rp 2,9 triliun.24 Dengan dibangunnya JLS ini, diharapkan dapat membantu wilayah tertinggal, sehingga tidak tertinggal lagi dengan wilayah lain. Wilayah tertinggal yang seharusnya mampu berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi regional menjadi kurang berkembang karena kurangnya akses ke daerah tersebut. Kurangnya fasilitas jalan membuat wilayah tertinggal menjadi “jauh” dari “pasar”, sehingga sulit berkembang untuk menjadi sentra produksi.25 Jika ini dibiarkan terus, maka rendahnya kinerja perekonomian wilayah serta persoalan 23 24 25
Majelis Agung GKJW, 1996, Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, hal 2. Diunduh dari http://www.jatimprov.go.id/ index.php?option= com_content&task=view&id =6231 &Itemid=1 pada 26 Mei 2012 jam 15.45. Purbaya Y Sadewa dan Edwin Syahruzad, 2004, “Urgensi Menbangun Jalan Tol Guna Mempercepat Pemulihan Ekonomi”, Jakarta : Kompas 29 Maret 2004.
10
kemiskinan struktural tidak akan pernah teratasi karena menurut strukturnya jumlah orang miskin terbesar justru berada di pedesaan. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, tak pelak, mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, bahkan pendidikan. Karena itu, mereka ini seringkali dimasukkan ke dalam kelompok yang sangat rentan (vurnerable) dan tidak berdaya (powerless). Upaya penanganan dan/atau penanggulangan kemiskinan, tidak akan berhasil apabila tanpa dilandasi oleh suatu pemahaman tentang kemiskinan secara utuh. Fenomena kemiskinan tidak hanya bersangkut-paut dengan persoalan ketidakcukupan, atau kekurangan, secara sosialekonomi, tetapi juga menyangkut masalah ketidakberdayaan (powerlessness) sebagai akibat dari proses marjinalisasi. Dengan demikian, segala upaya yang berkaitan dengan penanganan,
W
penanggulangan dan pengentasan kemiskinan sebaiknya tidak sekadar berhenti pada proses memberi bantuan, tetapi juga menempatkan keberpihakan kepada kaum miskin
KD
(pro poor). Keberpihakan ini diperlukan dalam rangka untuk memberdayakan kaum miskin dari proses marjinalisasi yang menimpa mereka. Keberpihakan inipun memerlukan kesadaran bahwa membela yang miskin harus berani tombok (merugi) secara materi, sehingga perjuangan pemberdayaan kaum miskin menjadi tahan terhadap berbagai rintangan. Keberpihakan ini juga memerlukan kebersamaan dari banyak pihak
U
yang sepaham dengan perjuangan membebaskan yang miskin. Ikatan kebersamaan yang didasari semangat gotong royong, saling belajar dan saling menguatkan sangat
©
diperlukan dalam perjuangan pemberdayaan kaum miskin dan lemah ini. Salah satu bagian dari memberdayakan kaum miskin adalah dengan meningkatan pendidikan mereka.
1.5. Dampak dibukanya Jalur Lintas Selatan (JLS) Dalam hal ini, sekolah-sekolah YBPK GKJW, khususnya di daerah Malang Selatan26 mendapat tantangan dari dampak dibukanya JLS itu. Jemaat-jemaat GKJW di daerah Malang Selatan ini dikoordinir Klasis (Majelis Daerah atau disingkat MD) Malang II
26
GKJW Jemaat Pacitan, GKJW Jemaat Trenggalek, GKJW Jemaat Jember, GKJW Jemaat Banyuwangi tidak memiliki sekolah YBPK GKJW.
11
dengan 12 jemaat dalam koordinasinya, dan MD Malang IV dengan 10 jemaat dalam koordinasinya.27 Wilayah kedua MD ini meliputi sebagian di Kabupaten Malang dan sebagian di Kabupaten Lumajang. Jadi di Daerah Malang Selatan yang meliputi sebagian Wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dan di dalam lingkup MD Malang II dan MD Malang IV ini, terdapat 22 Jemaat lokal, sekalipun demikian tidak semuanya langsung berhadapan dengan tantangan dampak JLS. Hanya jemaat lokal yang memiliki sekolah-sekolah YBPK GKJW mau tidak mau dihadapkan pada tantangan dampak JLS ini, khususnya dalam diakonia di bidang pendidikan. Sebagian besar sekolah-sekolah YBPK GKJW di daerah Malang Selatan ini masih berlangsung dan mencoba bertahan, termasuk dari tantangan dampak JLS ini pada akhirnya. Pembangunan JLS Jawa Timur dimana wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang merupakan titik tengah yang akan menghubungkan Malang-Jogjakarta ke
W
Barat dan Lumajang-Denpasar Bali melalui Banyuwangi ke sebelah Timur, dengan demikian potensi yang selama ini belum tergali karena hambatan transportasi di
KD
Malang Selatan akan segera berkembang seperti potensi pertambangan perkebunan, dan perikanan laut, serta tidak kalah pentingnya adalah obyek wisata pantai yang cukup banyak di sepanjang Daerah Malang Selatan. Eksploitasi potensi yang demikian besar itu diharapkan dapat dengan segera menurunkan angka kemiskinan di Kab. Malang, khususnya di daerah selatan. Angka kemiskinan secara kuantitatif No. 2 terbesar di
U
Jatim setelah Kab. Jember, yaitu 155.000 rumah tangga miskin di Kab. Malang. Bupati Malang H. Rendra Kresna berharap, “Dengan dibangunnya JLS nantinya akan mampu
©
menekan jumlah rumah tangga miskin di Kab. Malang karena Kab. Malang akan mengoptimalkan lagi potensi yang dimiliki tidak hanya kemampuan dibidang perikanan kelautan tetapi juga wisata yang tersebar di sepanjang pantai 105 km.”28 Selain potensi besar yang diharapkan akan tergali dengan dibukanya JLS di Kabupaten Malang dan Lumajang, patut dicermati dampak yang sedang dan akan didapatkan warga sekitar JLS. Hal yang paling dekat adalah dalam proses pembebasan tanah untuk proyek tersebut. Persoalan harga tanah yang tidak mudah diselesaikan dan 27
28
MD Malang II terdiri dari GKJW Jemaat Turen, GKJW Jemaat Dampit, GKJW Jemaat Wonoagung, GKJW Jemaat Sidoasri, GKJW Jemaat Sobrah, GKJW Jemaat Tambakasri, GKJW Jemaat Sitiarjo, GKJW Jemaat Sumberembag, GKJW Jemaat Gunungtumo, GKJW Rowotrate, GKJW Jemaat Tambakrejo, dan GKJW Sendangbiru. MD Malang IV terdiri dari GKJW Jemaat Pujiharjo, GKJW Jemaat Ampel Gading, GKJW Jemaat Pronojiwo, GKJW Jemaat Tempursari, GKJW Jemaat Tempurejo, GKJW Jemaat Argosari, GKJW Jemaat Purwodadi, GKJW Jemaat Purwosari, GKJW Jemaat Pundungsari, dan GKJW Jemaat Sukoanyar. Dikutip dari berita yang berjudul “Percepat Pembangunan JLS Gus Ipul kunjungi Kab. Malang” tanggal 28 Februari 2011, yang terdapat di http://www.malangkab.go.id/?page=91&id=717& ktgnews=0 diunduh pada 27 Mei 2012 jam 16.13 WIB.
12
pola pikir warga sekitar pemilik tanah yang akan dibebaskan dan mendapatkan ganti rugi juga dapat dilihat sebagai akibat yang menimbulkan salah satu dampak dibukanya JLS, yakni penduduk asli bukan lagi menjadi tuan atas tanahnya. Dengan pola pikir materialis dan konsumtif penduduk asli pemilik tanah yang menjadi lahan JLS, para cukong/calo tanah menawar dan membeli tanah mereka seharga tiga kali harga tanah yang berlaku di daerah itu, pada saat itu, langsung diterima. Padahal para cukong/calo tanah itu menjual ke investor maupun pemerintah bisa seharga tujuh kali harga normal. Karena semua tanahnya telah dibeli para calo tanah tersebut, biasanya hanya tersisa tanah yang relatif jauh dari JLS dan dipakai sebagai tempat tinggal, mereka sudah bukan menjadi tuan atas tanah itu. Artinya, jika ke depan akan dibangun sarana dan prasarana penunjang penggalian potensi di daerah sekitar JLS, maka posisi tawar penduduk asli tersebut menjadi rendah. Misalnya, jika di sekitar obyek wisata pantai
W
dekat JLS akan dibangun beberapa hotel, restoran, dan penginapan, maka anak-anak para penduduk asli tersebut tidak akan dengan mudah menempati posisi-posisi tinggi
KD
dan strategis dalam hotel, restoran, dan penginapan itu. Paling mungkin untuk mereka adalah posisi rendah sebagai peredam gejolak atas pembangunan sarana dan prasarana obyek wisata tersebut, misalnya tukang parkir dan cleaning service (petugas kebersihan). Kalahnya penduduk asli di sekitar JLS akibat kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang membebaskan terkait antisipasi dampak pembangunan JLS ini
U
menjadi tantangan serius bagi GKJW, khususnya dalam diakonia reformatif di bidang
©
pendidikan, atas dampak JLS ke depan nantinya di Malang Selatan. 1.6. Masalah Kerusakan Lingkungan
Tantangan lain terkait dampak dibukanya JLS secara tidak langsung adalah peran sekolah-sekolah YBPK di daerah Malang Selatan dalam menghadapi bencana sebagai dampak kerusakan hutan di daerah tersebut. Bencana banjir terbesar di Malang Selatan terjadi pada tanggal 22-24 November 2003 yang melanda desa Tambakrejo, Sitiarjo, Pujiarjo dan Purwodadi. Bencana tersebut telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur jalan dan pemukiman penduduk serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Bencana banjir bukan hanya terjadi pada saat itu saja, tetapi hampir setiap musim penghujan di desa Tambakrejo, Sitiarjo, Pujiarjo dan Purwodadi selalu mengalami ancaman banjir dan tanah longsor. Sementara pada musim kemarau desa-desa tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kerusakan hutan adalah salah satu 13
bentuk adanya krisis lingkungan hidup. Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Penyebab krisis lingkungan adalah perbuatan manusia dalam mengelola alam. Sebagai contoh, kerusakan hutan yang terjadi di Malang Selatan adalah akibat penduduk sekitar hutan yang menebangi hutan itu. Krisis lingkungan akibat ulah manusia dapat menunjukkan bahwa tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup belum membudaya. Krisis lingkungan yang terjadi karena dalam mengelola sumber-sumber alam, manusia hampir tidak mempedulikan peran etikanya. Kerusakan hutan sebagai salah satu bentuk krisis lingkungan menuntut keseriusan berpikir dan bertindak oleh manusia demi masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan. Keseriusan berpikir dan bertindak dalam menghadapi permasalahan kerusakan hutan, seharusnya juga dilakukan oleh gereja. Gereja sebagai bagian
W
masyarakat, terpanggil untuk mewartakan imannya dalam kehidupan umat manusia demi terwujudnya Kerajaan Allah di bumi. Dengan kata lain, gereja sebagai bagian dari
KD
masyarakat tidak pernah terlepas dari segala permasalahan yang berada dalam masyarakat. Konteks gereja adalah masyarakat yang berada disekitarnya termasuk segala permasalahan di dalam masyarakat. Sebagai kawan sekerja Allah, gereja terpanggil untuk melayani konteksnya yaitu masyarakat dengan segala pergumulannya. GKJW sebagai salah satu gereja yang berada di Jawa Timur juga mengamini
U
panggilannya untuk mewartakan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara.29 Hal ini secara khusus, seharusnya dapat pula
©
dilakukan sebagai diakonia reformatif GKJW melalui sekolah-sekolah YBPK yang ada di daerah Malang Selatan. 1.7. Peran Pemerintah dalam Pendidikan di Malang Selatan Di sisi lain, pada tahun 2008-2028, Pemerintah Kabupaten Lumajang akan membangun fasilitas pendidikan, yakni dengan melakukan penambahan TK di Kecamatan Pronojiwo, Sumbersuko dan Ranuyoso. Juga akan dilakukan perbaikan pada fisik bangunan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum khususnya sekolah-sekolah yang berada di daerah pedesaan di setiap kecamatan agar 29
Eko Adi Kustanto, 2007, dalam Abstraksi Skrispsi S1 berjudul Kerusakan Hutan Purwodadi-Malang Selatan Sebagai Tantangan Etis Teologis Bagi Gereja, Fakultas Theologia, Universitas Kristen Duta Wacana, Jogjakarta. Diunduh dari http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/nim/01021855 pada 5 September 2012.
14
kegiatan belajar dan mengajarnya berjalan dengan baik.30 Pada tahun 2010 jumlah TK tercatat sebanyak 384 atau bertambah sebanyak 1 unit dibandingkan tahun sebelumnya. Di tingkat SD, jumlah sekolah juga mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Namun jumlah guru menurun secara signifikan sehingga ratio murid dan guru menjadi 1:13,16. Pada tingkat SLTP, baik jumlah sekolah dan guru mengalami peningkatan dibandingkan setahun yang lalu. Begitu pula jumlah murid juga mengalami peningkatan. Adapun ratio murid dan guru sedikit menurun menjadi 1: 13,16. Di tingkat SLTA/SMK, jumlah murid dan guru mengalami peningkatan sehingga Ratio antara guru dan murid menjadi 1:13,19.31 Di beberapa kecamatan yang dilewati JLS, antara lain Kec. Pronojiwo, Kec. Tempursari, dan Kec. Pasirian, dimana warga GKJW juga terdapat di dalam kecamatan itu, sudah ada TK,
W
SD, SMP, dan SMA, baik Negeri maupun Swasta. Di Keca. Pronojiwo jumlah TK 12 buah yang dimiliki swasta, SD Negeri 23 buah, SMP Negeri ada 2, SMP Swasta ada 2,
KD
SMA Negeri ada 1. Di Kec. Tempursari TK Swasta ada 16, SD Negeri ada 23, SD Swasta ada 1, SMP Negeri ada 2, SMP Swasta ada 2, SMA Negeri tidak ada, SMA Swasta ada 3. Di Kec. Pasirian TK Negeri 1, TK Swasta ada 35, SD Negeri ada 38, SD Swasta ada 2, SMP Negeri ada 3, SMA Negeri ada 1.32 Dari data tersebut, dapat diperhatikan bahwa pendidikan formal yang
U
diselenggarakan pemerintah maupun swasta di Kabupaten Lumajang, khususnya daerah yang dilewati JLS dan warga GKJW yang ada di daerah itu, tidak dapat dianggap
©
remeh. Dari segi kuantitas yang demikian, pendidikan formal tersebut tentu dapat diharapkan dapat merespon tantangan dampak JLS, seperti yang disebutkan dalam bagian sebelumnya. Namun dari segi kualitas, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut, termasuk bagaimana peran pendidikan Kristen yang diselenggarakan oleh sekolahsekolah YBPK GKJW di daerah-daerah tersebut dapat tetap melanjutkan pelayanannya dalam konteks tersebut? Inilah kenyataan yang harus dihadapi sekolah-sekolah YBPK GKJW. Ada tantangan dari dalam GKJW sendiri juga ada tantangan yang dari luar GKJW. Keberadaan sebagian sekolah-sekolah yang memprihatinkan baik sarana dan prasarana, maupun 30 31 32
mutu
pendidikannya,
kurangnya
kepedulian
dan
dukungan
nyata
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lumajang Tahun 2008 – 2028, hal. 12. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang, Kabupaten Lumajang Dalam Angka 2011, Katalog BPS: 1102001.3508, Juli 2011, hal. 83-84, Kabupaten Lumajang Dalam Angka 2011, hal. 93-100.
15
gereja/jemaat-jemaat se-GKJW, pendapat tokoh yang ingin mengkaji ulang perlu tidaknya sekolah-sekolah itu dipertahankan, sedangkan Tata Pranata GKJW tahun 1996 masih menempatkan penyelenggaraan pendidikan Kristen ini sebagai diakonia GKJW, dengan kata lain meskipun banyak merugi materi, namun tetap harus dilakukan karena ini adalah pelayanan cinta kasih, semuanya itu seakan menjadi wajar jika keberadaan sekolah-sekolah YBPK GKJW itu mendapat perhatian yang lebih serius. Dalam tesis ini, penulis membantu melihat masalah itu lebih menyeluruh, agar didapatkan pemetaan masalah, apakah hal ini terkait hal pragmatis (hanya masalah dana) atau lebih dari itu, yakni terkait hal idealis (misiologi terkait pelayanan cinta kasih/diakonia yang dimiliki GKJW maupun YBPK sendiri) yang akan menjadi kesadaran seluruh pemangku kepentingan di GKJW? Dengan kata lain: apakah GKJW masih sanggup
Rumusan Masalah
KD
2.
W
‘tombok’ finansial demi penyelenggaraan pelayanan cinta kasih ini?
Dengan menyimak kenyataan mengenai pentingnya penyelenggaraan pendidikan Kristen itu, baik dari sejarah maupun kebutuhannya, khususnya di Malang Selatan, maka hal utama yang perlu diketahui tak lain adalah: bagaimanakah jemaat-jemaat GKJW dan para pengurus lokal YBPK selama ini memahami dan mewujudkan
U
penyelenggaraan sekolah-sekolah Kristen itu sebagai diakonia dan misiologi kontekstual GKJW sehingga diharapkan tetap memiliki passion (hasrat yang kuat)
©
untuk meneruskan pelayanan ini, apalagi ada kenyataan “melakukan diakonia bagi yang miskin berarti harus berani rugi materi”? Berkenaan dengan permasalahan tersebut, maka dalam penulisan tesis ini pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah MA GKJW memahami urgensitas (hal penting dan mendesak) penyelenggaraan sekolah-sekolah tersebut sebagai bagian diakonia serta implikasinya terhadap dukungan jemaat-jemaatnya bagi sekolah-sekolah Kristen itu terkait penghayatan ikatan kebersamaan dalam penyelenggaraan pendidikan Kristen yang sesuai dengan konteks GKJW, khususnya di Daerah Malang Selatan?
2.
Terkait urgensitas tersebut, apakah konsekuensi dan tanggungjawab GKJW apabila memutuskan penyelenggaraan pendidikan Kristen ini sebagai bagian 16
dari pelayanan diakonia dan misiologi kontekstualnya terhadap konteks kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, pengangguran, dan biaya sekolah yang mahal? 3.
Tujuan Tesis ini dibuat dengan tujuan: a.
Meneliti dalam rangka mendapatkan pengertian serta refleksi kritis terhadap pemikiran tentang misiologi yang dianut oleh lembaga MA GKJW terkait dengan hasil analisis sosial terhadap jemaat-jemaatnya (khususnya di Daerah Malang Selatan) demi panggilan GKJW terhadap Sekolah-
b.
W
sekolah Kristen dalam pemikiran YBPK sebagai wujud diakonia GKJW; menghasilkan dan mengusulkan sebuah rekomendasi aksi transformasi
4.
Manfaat
KD
penyelenggaraan pendidikan Kristen GKJW yang kontekstual.
U
Tesis ini bermanfaat:
a) bagi penulis, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bekal dalam
©
melanjutkan pelayanan sebagai pendeta di GKJW, khususnya yang berangkat dari pergumulan sekolah-sekolah YBPK GKJW di daerah Malang Selatan yang terkena dampak dibukanya JLS.
b) bagi perkembangan ilmu teologi, dengan ditemukannya misiologi kontekstual dalam bidang diakonia bagi GKJW dalam kajian ini, maka ilmu teologi dapat selalu menjawab tantangan jaman, khususnya yang dihadapi Gereja-gereja pengguna teologi tersebut. c) untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan telaah kritis bagi GKJW atas pergumulan yang dihadapinya dalam mewujudkan salah satu diakonianya khususnya di bidang pendidikan. d) dari hasil kajian ini diharapkan ada peran serta warga negara yang sekaligus dapat meningkatkan partisipasi warga gereja, dalam bidang pendidikan (sekolah-sekolah) non pemerintah (swasta) yang berbeda orientasi dari 17
sekolah-sekolah swasta umumnya, yang tidak berorientasi pada bisnis pendidikan di Indonesia ini. 5.
Batasan Penelitian
Penulis menyadari bahwa penelitian yang penulis lakukan ini tidak mencakup seluruh masalah dalam bidang diakonia di GKJW. Secara khusus, penulis mempunyai fokus pada konsep dan pemahaman misiologi GKJW di bidang pendidikan Kristen sebagai salah satu wujud diakonia GKJW (khususnya melalui YBPK GKJW) yang dikaji ulang sesuai konteks daerah Malang Selatan, hingga menghasilkan misiologi kontekstual GKJW di bidang pendidikan. Alasan batasan penelitian di daerah Malang Selatan, selain karena tantangan
W
yang khas, yakni adanya JLS dan kerusakan hutan, juga karena keberadaan sekolahsekolah YBPK di daerah tersebut masih mampu bertahan dengan segala
KD
keterbatasannya, di tengah banyaknya permasalahan baik dari dalam maupun luar GKJW, karena masih dibutuhkan kehadirannya di tengah masyarakat Malang Selatan, sehingga belum terlalu masuk dalam bisnis pendidikan, seperti yang dialami oleh sekolah-sekolah YBPK di bagian utara dan tengah Jawa Timur. Selain itu, dari 5 (lima) Jemaat di daerah Malang Selatan yang memiliki unit-unit Sekolah Kristen YBPK,
U
hanya akan diteliti 3 (tiga) Jemaat diantaranya yang memiliki lebih dari dua unit sekolah, yakni Jemaat Pujiharjo, Jemaat Tempursari dan Jemaat Sitiarjo. Hal ini
©
disebabkan oleh tantangan dan dinamika JLS lebih mengarah dampaknya pada ketiga jemaat tersebut.
Wawancara yang dilakukan juga dibatasi kepada Ketua dan mantan Ketua
YBPK GKJW dari tahun 1999-2013, serta Sekretaris YBPK GKJW tahun 2008-2013 dan Ketua MA GKJW tahun 2011-2013. Di tingkat jemaat, yang diwawancarai dibatasi kepada Ketua PHMJ dan anggotanya pada waktu rapat PHMJ untuk menemukan pandangan dan sikap bersama secara institusi terkait keberadaan sekolah-sekolah Kristen di jemaat mereka. Selain itu, juga ada wawancara dengan pengurus YBPK Cabang di ketiga jemaat itu, para Kepala Sekolah, dan sebagian guru.
18
6.
Metodologi Penelitian
Tesis ini merupakan hasil perpaduan studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Studi kepustakaan yang dilakukan terkait tulisan-tulisan resmi MA GKJW tentang sejarah misi, misiologi dan diakonianya sebagai bahan utama (primer) yang akan dikaji dengan tulisan-tulisan para ahli di bidang misiologi, diakonia dan pendidikan Kristen di Indonesia. Sedangkan hasil penelitian lapangan di Jemaat Pujiharjo, Jemaat Tempursari, dan Jemaat Sitiarjo di daerah Malang Selatan terkait pemahaman misiologi, diakonia dan pendidikan Kristen di tempat itu, menjadi bahan pembanding antara hal ideal (yang tertulis dalam tulisan-tulisan resmi MA GKJW) dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Paradigma33 yang akan digunakan adalah perjumpaan paradigma gereja dan
W
budaya dengan paradigma pembebasan (ekonomi dan politik). Paradigma gereja dan budaya ini mencoba melihat pergerakan misi Kristen dalam budaya lokal. Misi Kristen
KD
pada jaman zending yang berjumpa dengan budaya agraris Jawa Timur, menghasilkan terobosan untuk menyelenggarakan pendidikan Kristen bagi orang-orang Jawa di Jawa Timur sebagai jalan masuk kekristenan di tengah masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan bekerja di sawah daripada belajar untuk mengenyam pendidikan, menunjukkan terjadinya perjumpaan gereja dan budaya yang dapat saling menerima,
U
sehingga misi gereja (zending) dapat terus dilakukan.
Sedangkan pemikiran YBPK sebagai diakonia GKJW akan dianalisa dengan
©
paradigma pembebasan (ekonomi dan politik). Paradigma ini mencoba melihat bagaimana konteks kemiskinan di Daerah Malang Selatan dalam hubungan jemaat dan sekolah-sekolah Kristennya, khususnya jemaat-jemaat yang terkena dampak langsung pembukaan JLS dan mempunyai hubungan langsung dengan Sekolah-sekolah Kristen (YBPK), dalam peran diakonianya untuk mengatasi kemiskinan khususnya dampak pembukaan JLS. Metode Penulisan yang dipakai dalam tesis ini adalah Metode Penulisan Kualitatif. Metode ini memerlukan tahapan kerja untuk mengumpulkan data, 33
Yunita Winarno menjelaskan ‘Klaim pengetahuan (knowledge claims) itu dapat pula disebut dengan paradigma, epistemologi, dan ontologi atau yang secara luas disebut dengan metodologi penelitian’. Selanjutnya dikatakan, ‘pada awal suatu penelitian seorang peneliti lazimnya menyatakan suatu klaim tentang apa itu pengetahuan (ontology), cara kita mengetahuinya (epistemology), apakah nilai-nilai untuk melakukan hal itu (axiology), cara kita menuliskannya (rhetoric), dan proses-proses untuk mempelajarinya (methodology) […] jelaslah bahwa metodologi penelitian bukanlah metode penelitian’. Lihat Yunita T. Winarno, 2008, ‘Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial’, dalam Jurnal Ilmiah Humatek, Vol. 1, No. 3, September 2008, hal. 161.
19
menganalis dan merumuskannya yang akan ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut: a.
Membuat sebuah Laporan yang bersifat observasi baik dari wawancara maupun studi pustaka, berdasarkan konteks di GKJW.
b.
Melakukan sebuah Analisa Data dan Interpretasi Teologi
c.
Melakukan suatu pendekatan terhadap praksis penghayatan ikatan kebersamaan yang KONVIVENZ dalam penyelenggaraan pendidikan Kristen yang sesuai dengan konteks GKJW, khususnya di Daerah Malang Selatan.
Kerangka Teori
W
7.
Dalam rangka mencapai tujuan yang telah dipaparkan di atas, dalam tesis ini Penulis
KD
mencoba untuk menghasilkan sebuah pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan Kristen yang sesuai dengan konteks GKJW, yakni pendidikan Kristen itu merupakan wujud pelayanan cinta kasih atau diakonia GKJW.
Secara harafiah kata ‘diakonia’ berarti ‘memberi pertolongan atau pelayanan’. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos
U
(pelayan). Dalam Perjanjian Baru (PB), kata-kata yang berhubungan dengan “melayani”, mendapat warna dan bentuk bila ditempatkan pada latar belakang dunia
©
PB, yaitu dunia Yunani-Romawi dan dunia Yahudi dengan segala nuansanya. Diakonein (secara harafiah: melayani meja) di dunia Yunani, dilihat sebagai pekerjaan rendah, pekerjaan budak, dan orang merdeka pasti tidak mau melakukannya. Filsuf Yunani,
Plato,
dalam
salah
satu
dialognya,
membiarkan
seorang
peserta
mengemukakan: “Bagaimana seseorang yang melayani dapat berbahagia?” Warga merdeka tidak melayani, tetapi membiarkan dirinya dilayani. Satu-satunya pelayanan yang dihargai adalah pelayanan kepada negara.34
34
A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja: Teologi dalam Prespektif Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal. 3.
20
Dalam masyarakat Yahudi, melayani tidak dilihat sebagai sesuatu yang rendah, walaupun siapa yang dilayani turut menetukan artinya. Hukum Lewi 19:18 mencakup kesediaan saling melayani. Perlu diperhatikan bahwa dalam LXX kata kerja diakonein tidak ada; terjemahan ini memakai kata lain untuk menguraikan kata “melayani” dari bahasa Ibrani.35 Dalam PB kita akan menemukan beberapa ungkapan dengan arti harafiah: ‘melayani di meja’, baik dalam arti mempersiapkan jamuan makan (lih. Kis. 6:2) maupun dalam arti pekerjaan pelayan meja, yang siap melayani para tamu (Luk. 12:37; 17:8; Yoh. 2:5,9). Dari arti harafiah ini terungkap juga arti melayani sesama secara umum, yaitu sesama yang lebih rendah kedudukannya (lih. Luk 22:26, 27). Mengenai para wanita yang mengikuti Yesus dikatakan mereka melayani-Nya dengan harta benda (Luk. 8:3), sementara Matius 25:31-46 melukiskan pelayanan sebagai memberi makan dan minum, memberi pakaian dan tumpangan, perawatan dan
W
kunjungan orang sakit serta para tahanan yang dilihat sebagai pelayanan bagi Tuhan Allah. “Selalu berhubungan dengan pelayanan yang sedang diberikan kepada sesama, berhubungan dengan hal-hal yang sangat perlu untuk hidup wajar di dunia dan dalam
KD
suatu hubungan yang sangat pribadi.”36
Sejauh ini kita berbicara mengenai diakonia sebagai pelayanan dari dan di dalam Jemaat Yesus Kristus. Di samping itu, kata “diakonia” juga menunjuk pada suatu bidang khusus dalam pendidikan teologi, yaitu teologi praktika, yang adalah
U
refleksi ilmiah atas kehidupan antara lain jemaat Kristus, teori-teori praktik kebaktian, berkhotbah, penggembalaan, katekisasi, diakonia, dan pembinaan jemaat. Dengan
©
demikian ajaran diakonal adalah refleksi teologi praktis atas pelayanan kasih dan keadilan dalam hubungan dengan persoalan dasariah serta dalam hubungan dengan berbagai segi dan wujud pekerjaan diakonal. Setiap waktu gereja berada di depan tan-
35 36
A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 3. A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 4. Dan juga ada kalimat yang dikutip dari D.J. Karres, 1969, De gemeente en haar diakonaat, (‘s-Gravenhage), hal. 13. E.G. Singgih dalam Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 21, juga mengomentari terjadinya penyempitan makna kata diakonia, dari maknanya berupa “pelayanan meja” yang berarti pelayanan sosial oleh pelayan-pelayan khusus yang disebut diakonos (diaken, syamasy) di dalam Kisah Para Rasul, akhirnya menjadi pelayanan ala kadarnya terhadap beberapa janda, piatu, dan ‘warga rimatan’. Tidak ada jumlah yang signifikan dalam anggaran jemaat untuk diakonia, dibandingkan misalnya untuk pembangunan gedung gereja (dimensi marturia-aspek ritual) atau penggajian personalia (dimensi koinonia- aspek institusional).
21
tangan-tantangan baru. Untuk praksis diakonia umpamanya, ada perbedaan apakah pelayanan itu terjadi dalam situasi ketika gereja adalah gereja bangsa dengan kedudukan yang diuntungkan dalam hidup bermasyarakat atau dalam situasi saat gereja minoritas dalam masyarakat sekuler dan berada di pinggiran kehidupan bersama.37 Sumber dan norma untuk pemikiran praktis-teologis tentang diakonia adalah Alkitab. Di sinilah kita mendapatkan garis-garis, dasar mengenai apakah diakonia Kristen yang sesungguhnya. Padanya kita harus menguji praksis yang berlaku setiap kali dan dari situ harus dicarikan jalan bagaimana kita dapat taat kepada panggilan untuk melayani dalam keadaan dan waktu yang lain dan dalam bentuk-bentuk manakah pelayanan kasih itu harus dilakukan.38 Josef P. Widyatmadja menjelaskan bentuk-bentuk diakonia sebagai Diakonia Karitatif, Diakonia Reformatif/Pembangunan dan Diakonia Transformatif39. Sekalipun
W
jarang sekali gereja-gereja di Indonesia memasukkan pelayanan di bidang pendidikan (umum) ke dalam kategori pelayanan diakonia, namun GKJW menggolongkan
KD
pelayanan pendidikan itu ke dalam pelayanan cinta kasih (diakonia). Jika dilihat dari esensi dan keberadaannya di GKJW, maka sekolah-sekolah YBPK GKJW itu dapat digolongkan sebagai sebuah transisi dari diakonia reformatif ke diakonia transformatif. Karena Josef P. Widyatmadja menjelaskan diakonia transformatif sebagai diakonia yang membebaskan, digambarkan dengan pelayanan mencelikkan mata yang buta dan
U
memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang karena semua lini kehidupannya telah
©
dimonopoli oleh orang-orang yang serakah, perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka. Rakyat kecil selalu butuh penyadaran akan hak-haknya. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada dirinya sendiri. Proses penyadaran (konsientisasi – istilah Paulo Freire) dan memberikan kekuatan pada rakyat untuk percaya pada dirinya (empowering people melalui community organizing) dikenal di kalangan kelompok aksi oikoumenis sebagai diakonia transformatif/pembebasan.40
37 38 39 40
A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 13 A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 14. Josef P. Widyatmadja, 2009, Diakonia sebagai Misi Gereja, hal. 109-115. Juga dalam bukunya di tahun 2010, Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia, hal 31-55. Josef P. Widyatmadja, 2009, Diakonia sebagai Misi Gereja, hal. 109-115.
22
Sedangkan dalam sekolah-sekolah YBPK itu juga terlihat ada proses penyadaran hakhak orang-orang miskin agar mereka percaya diri melalui pendidikan yang mereka dapatkan dalam sekolah-sekolah itu, sekalipun tidak sedikit yang meremehkan pendidikan di sekolah-sekolah itu. Namun pada kenyataannya Y.B. Mangunwijaya, yang akrab dipanggil sebagai Romo Mangun, juga melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik (mungkin juga termasuk sekolah-sekolah Kristen) masih banyak yang belum berpihak kepada yang miskin. Romo Mangun menyadari bahwa segala yang menyangkut pengangkatan kaum miskin tidak dapat memakai dalil-dalil ekonomi formal atau manajemen dunia bisnis. Dapat dikatakan secara sederhana: segala jasa untuk kaum dina lemah miskin, pasti selalu tombok (tidak ada keuntungan finansial, malah harus mengeluarkan uang lebih lagi). Tidak mungkinlah pengabdian kepada kaum dina lemah miskin (dan banyak sekali
W
perkara-perkara lain yang non-profit apalagi cinta kasih) sekaligus “memasukkan keuntungan finansial atau materi”. Contohnya, segala pengeluaran untuk anak-anak kita
KD
tercinta (khususnya yang sakit-sakitan atau cacat atau kurang pandai atau kurang cantik) pastilah tidak dilakukan atas perhitungan ekonomis yaitu mendapat balas budi materi yang sepadan atau lebih, tetapi atas perhitungan tombok finansial dan materi demi memperoleh kekayaan mental dan spiritual. Realitas dasarnya sebenarnya ialah bahwa sesuatu itu dianggap penting atau preferential atau bukan. Jikalau sesuatu hal
U
itu dianggap penting, meskipun nanti tombok (merugi), hal itu akan dikerjakan, mengingat kita sebagai orang yang berakal sehat. Akal sehat pun memperhatikan rasio
©
masalah-masalah
ekonomik,
manajemen,
dan
profesionalisme,
namun
memperhatikan (teristimewa dalam kerangka iman, harapan, dan cinta kasih kristiani) tidak sama dengan ‘dikuasai oleh’. 41 Dengan demikian, diakonia/diakonein mencakup arti luas, yaitu semua pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat, untuk membangun dan memperluas jemaat, oleh mereka yang dipanggil sebagai pejabat dan oleh anggota jemaat biasa. Dalam diakonia secara luas ini terdapat tempat untuk diakonia dalam arti khusus, yaitu memberi bantuan kepada semua orang yang mengalami kesulitan dalam kehidupan masyarakat.42
41 42
Y.B. Mangunwijaya, 2005, Dari Pelajaran Agama ke Pendidikan Religiositas, Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED), hal. 25. A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 5.
23
Bila kita melakukan diakonia, maka kita telah ikut serta membangun fondasi yang kuat bagi gereja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa diakonia, kesaksian oleh gereja menjadi abstrak, bagaikan gong yang bunyinya nyaring dan suaranya menggema, tetapi hilang ditelan waktu. Ada hubungan yang erat antara diakonia dan misi; tanpa diakonia, maka misi tidak mempunyai prespektif. Ia tidak memiliki penghapan eskatologis atas kedatangan kerajaan Allah. Diakonia haruslah dijalankan dalam rangka kehadiran kerajaan Allah di dunia.43 Injil yang diberitakan oleh Yesus adalah Injil pembebasan bagi yang miskin, yang buta, yang tertawan dan tertindas. Misi menurut jalan Kristus atau jalan salib, tidak bisa dilepaskan dari karya Allah yang membebaskan orang miskin, tertawan dan tertindas. Pembebasan manusia dari kemiskinannya (sosial, ekonomi,
pendidikan),
kebodohannya,
kebutaannya
(fisik),
ketertawanannya,
ketertindasannya (politik dan budaya), adalah sebagai tanda anugrah (karunia) Allah
W
pada umat manusia.44 Inilah yang dapat disebut sebagai penghayatan “diakonia: sebuah pelayanan Kristiani dalam membagi kasih dan memampukan hidup”
KD
Sejalan dengan pemikiran Widyatmadja, menurut Djoko Prasetyo Adi Wibowo, merujuk pendapat Theo Sundermeier, tujuan misi sebenarnya adalah konvivenz. Konvivenz memiliki pengertian dasar tentang “hidup bersama” dalam hubungan bertentangga di wilayah-wilayah (barrios) kota-kota Amerika Latin. Istilah itu mengandung 3 karakter penting, yaitu: gotong-royong (gegenseitige helfen), belajar
U
(lernen), dan perayaan (feiern), dimana semua dilakukan secara bersama-sama dan selalu dalam pengertian “saling”. Istilah “convivéncia” menunjukkan tentang
©
pengalaman hidup bersama, dimana masing-masing bukan saja meyakinkan orang lain tetapi juga pada akhirnya mampu menghasilkan sebuah ikatan kebersamaan dengan yang lain. 45 Hal itu tentu membutuhkan sikap memahami yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.
43
A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 40-41 A. Noordegraaf, 2004, Orientasi Diakonia Gereja, hal. 78. 45 Djoko Prasetyo A.W, 2008, “Konvivenz’ dan Theologia Misi Interkultural menurut Theo Sundermeier, dalam : Gema Teologi: Jurnal Fakakultas Theologia, Vol. 32 no. 1, p. 97-115. 44
24
Pelayanan kristiani dalam rangka membebaskan orang miskin dari kebodohon, yang paling umum ialah pelayanan dalam bidang pengajaran. Di mana pun orang-orang kristiani terpanggil untuk pelayanan, mereka selalu menganggap pelayanan dalam pengajaran sebagai salah satu tugas yang utama karena mereka yakin bahwa pemahaman diri manusia dan dunianya yang semakin mendalam merupakan jalan menuju kebebasan yang baru dan cara hidup yang baru pula. Sekalipun gereja-gereja Kristen sering tidak berhasil sampai pada keyakinan tersebut dan bahkan menghalangi perkembangan bebas ilmu pengetahuan dan membatasi usaha terus-menerus untuk menemukan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang baru, mereka selalu membaca di dalam Injil, panggilan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan manusiawi sepenuhnya melalui pendidikan terus-menerus.46 Maka pelayanan dalam pengajaran tidak pernah membatasi diri pada pengajaran
W
agama. Pendidikan merupakan pelayanan yang bukan pertama-tama karena apa yang diajarkan akan tetapi karena hakikat proses pengajaran itu sendiri. Mungkin kita terlalu
KD
banyak menaruh perhatian kepada isi pengajaran tanpa menyadari bahwa hubungan dalam pengajaran merupakan unsur yang paling penting dalam pelayanan di bidang pengajaran.
47
Dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, hal yang dapat dipelajari
dari Paulo Freire adalah suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan
U
itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang
©
kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama
46 47
Henri J.M. Nouwen, 1986, Pelayanan yang Kreatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 26-27. Henri J.M. Nouwen, 1986, Pelayanan yang Kreatif, hal. 26-27.
25
dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.48 Demikian halnya dengan Romo Mangun, ia juga mengkritik pemerintah yang hanya mengutamakan pendidikan formal. Menurutnya, pendidikan anak lebih banyak berhadapan langsung dengan jalur nonformal dan informal. Bagi Romo Mangun, pendidikan nonformal dan informal lebih mulia daripada sekolah formal, misalnya dalam pendidikan agama karena lebih berakar, dan lebih autentik dalam kodrat manusia. Pada waktu itu, Romo Mangun mengatakan bahwa Undang-Undang Pendidikan perlu diperbaiki agar di dalamnya mencakup permasalahan pendidikan nonformal dan informal secara komprehensif, dan disesuaikan dengan kondisi lapangan
W
di negeri ini. Romo Mangun juga meminta pemerintah untuk menyiapkan suatu RUUPokok Pengajaran/Pendidikan Nasional yang bisa menyatukan secara komprehensif
KD
ketiga jalur utama pendidikan formal, nonformal, dan informal. Romo Mangun menulis bahwa jalur pendidikan nonformal dan terutama informal adalah “tanah” tempat tumbuhnya “tanaman” persekolahan formal, dan menjadi “air” bagi “ikan” persekolahan formal. Dengan kata lain, pendidikan informal dan nonformal mendukung persekolahan formal.49
U
Sekalipun demikian, Romo Mangun tidak mengartikan pendidikan alternatif sebagai “mengganti sekolah formal”, melainkan mencari materi dan metode didaktik
©
baru, kurikulum baru,50 yang akhirnya digunakan di SD Mangunan dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai supporting system. Bagi Romo Mangun, sekolah formal yang disediakan pemerintah telah kehilangan arti sejati karena menjadikan anak didik
48 49 50
Daniel S. Schipani, 1988, Religious Education Encounters Liberation Theology, Alabama: Religious Education Press, hal. 13. Y. Dedy Pradipto, 2007, Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional, Yogyakarta: Kanisius, hal. 64. Supratiknya dalam artikelnya “Pikiran-pikiran Romo Mangun tentang Pendidikan bagi Anak Miskin”, Kuwera 14, No. 8, tahun II, Edisi Januari-Februari 2002, Yogyakarta: Laboratorium DED, mengatakan bahwa Romo Mangun tetap mengikuti kurikulum yang dibuat pemerintah yang berlaku pada saat itu yaitu Kurikulum 1994. Yang baru adalah cara Romo Mangun memandang dan mengolah berbagai mata pembelajaran dalam kurikulum SD.
26
sebagai robot. Sekolah formal menjadi kelas-kelas penataran dan lomba rangking. Akibatnya, peran guru tereduksi hanya menjadi penatar dan birokrat. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai anak yang kreatif.51 Karena alasan itulah, Romo Mangun mulai berpikir tentang bentuk pendidikan alternatif yang mengajarkan kepada anak didik kemampuan atau keterampilan hidup. Untuk memiliki keterampilan hidup, seseorang memerlukan sebuah proses belajar yang berlangsung seumur hidupnya. Romo Mangun lalu menyebutnya sebagai “belajar sejati”, yaitu belajar sebagai bentuk kesadaran yang tidak akan berhenti meskipun sekolah telah usai. Agar bisa mengantarkan anak pada “belajar sejati”, maka diperlukan “suasana hati yang merdeka” yang memungkinkan mereka bisa belajar tanpa paksaan
Sistematika Penulisan
KD
8.
W
dan tekanan.
Sistematika Penulisan akan dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I
Pendahuluan
U
Bab ini terdiri dari beberapa sub bagian yaitu; Pendahuluan (Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan
©
Manfaat Penelitian), Metodologi Penelitian, dan Kerangka Teoritik.
Bab II
Sekolah-Sekolah Kristen sejak Masa Zending sampai Perkembangannya kini di Daerah Malang Selatan Bab ini menggambarkan perkembangan pemikiran tentang Sekolah-
51
Y. Dedy Pradipto, 2007, Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional, hal. 65.
27
sekolah Kristen sebagai bagian misi di Jawa Timur hingga masuk ke dalam pelayanan diakonia di bidang pendidikan di GKJW, seperti yang ada dalam teks-teks resmi MA GKJW. Dalam bab ini juga akan dilakukan analisa atas kenyataan pendidikan Kristen sebagai suatu kebutuhan penting terhadap permasalahan dan tantangan di Daerah Malang Selatan, terutama dampak dan antisipasi dibangunnya JLS. Bab III Hubungan antara Diakonia melalui Pendidikan Kristen dan Misiologi Kontektual
Dalam bab ini dibahas pandangan diakonia dan misiologi kontekstual pendidikan
W
dari Josef. P. Widyatmadja dan dasar pemikiran penyelenggaraan Kristen
yang
terinsipirasi
dari
penyelenggaraan
pendidikan alternatif oleh YB. Romo Mangun dalam Sekolah Dasar
KD
Kanisius Eksperimen Mangunan (SDKE Mangunan). Bab IV Penyelenggaraan Pendidikan Kristen GKJW yang Tansformatif dan
U
Kontekstual Beranjak dari Malang Selatan Bab ini berisi interpretasi dan refleksi teologis, dan rekomendasi aksi
©
penunjang transformasi pendidikan Kristen GKJW yang kontekstual, berawal dari Malang Selatan.
Bab V Penutup Bab ini berisi Kesimpulan dan Rekomendasi.
28