BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang para anggotanya beraneka (bhinneka) baik dari sisi etnis, kultur, dan agamanya, pernah memiliki kesepahaman, setidaknya itu tergambarkan dalam pembukaan UUD ’45, yakni yang menyebutkan bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Adapun perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
W
dapat mencapai penyataan (proklamasi) kemerdekaan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian pembukaan UUD ’45 itu dengan jelas menyatakan pengakuan akan
KD
Allah yang “mahakuasa” dan “memberikan rahmat”. Hal itu menjadi sangat jelas dalam ajaran Kristen dan Islam, keduanya sama-sama mengakui kebesaran kuasa dan kemurahan/kasih Allah. Konsekuensinya pengenalan akan Allah akan mencerminkan kehidupan yang menghayati kuasa dan kasih Allah itu. Kuasa dan kasih/kemurahan Allah itu
U
nyata misalnya dalam tindakan melawan hal-hal yang bertentangan dengan perikeadilan dan perkemanusiaan, sebagaimana yang ada dalam penjajahan. Jadi Allah Yang Mahakuasa itu
©
berkehendak menolong dan membebaskan bangsa yang terjajah. Karena itu tidak heran Allah diyakini menganugerahkan kemerdekaan (kepada bangsa Indonesia). Dalam Kristen, Allah dalam Perjanjian Lama Allah telah membebaskan bangsa Israel (yang dipimpin Musa) dari penjajahan Mesir, sebagaimana yang diperingati dalam Hari Raya Paskah. Dalam Perjanjian Baru Paskah mengandung makna baru, yakni Allah membebaskan umat manusia dari belenggu dosa dan maut melalui karya dan pengorbanan Yesus Kristus, sehingga hubungan dengan Allah (Bapa) dapat dipulihkan. Sedangkan dalam Islam, Allah menunjukkan rahmatNya dengan mengutus nabi atau rasul-Nya ke pelbagai bangsa dan zaman, ditutup dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir kepada semua manusia. Melalui wahyu yang disampaikan kepada Muhammad, Allah membebaskan manusia dari kehidupan penuh dosa (dimulai dari kehidupan jahiliyah Arab pra-Islam), sehingga hubungan yang benar (yang berserah dan taqwa) kepada Allah dapat ditegakkan.
1
Jadi jelaslah bahwa Allah dalam Kristen maupun Islam adalah Allah yang dikenal kebesaran kuasa dan kasih/rahmat-Nya, yang dengan demikian juga senantiasa mengasihi, menolong, dan membebaskan umat-Nya dari belenggu dosa. Jika Allah yang melawan ketidakadilan itu adalah Allah yang sama, maka mestinya dikenal ciri-ciri pokoknya yang serupa pula. Namun benarkah Allah orang-orang Kristen dan Allah orang-orang Islam adalah sama? Karena baik Kristen dan Islam mengakui dan mengenal Allah-nya Abraham (Ibrahim), maka tentunya Allah itu dimaksudkan sebagai Allah yang sama. Namun untuk lebih memastikan lagi maka baiklah kita meneliti sifat-sifat yang paling utama dari Allah Kristen dan Allah Islam itu, sebagaimana yang dihayati oleh masing-masing umat itu. Tulisan ini bermaksud mendeskipsikan hasil penelitian itu. Selanjutnya jika baik Kristen dan Islam menyembah Allah yang sama (sekali pun
W
caranya berbeda, sesuai pemahaman masing-masing), tentunya akan berpengaruh terhadap penerapan kasih dan kuasa Allah dalam kehidupan umat-Nya. Demikian pula mestinya ada kasih dan persaudaraan dan perdamaian yang tulus di antara kedua umat, serta kebersamaan
KD
dalam bahu membahu melakukan kehendak Allah (seperti keadilan, kasih, kepedulian, dll) dan menjauhkan yang tidak dikehendaki Allah (kejahatan, ketidakadilan, penindasan, kemunafikan dan dosa-dosa lainnya). Memang hal-hal itu terlihat dalam kehidupan masyarakat, misalnya dalam hal bahu-membahu membantu korban bencana alam, atau dalam
U
solidaritas sosial ketika ada warga negara yang teraniaya atau diperlakukan tidak adil. Namun pengalaman di Indonesia tidak selamanya mencerminkan pengakuan terhadap kebesaran
©
kasih dan kuasa Allah tersebut. Ini terbukti dari sejumlah fakta berikut ini: Pertama, dari sisi penghayatan internal, kita menjumpai pengagungan kebesaran Allah itu bisa merupakan pengagungan kebesaran ‘diri sendiri’ atau ‘kelompoknya’. Terdapat orang-orang yang mendirikan Gerejanya yang besar dan megah (melampaui jumlah warganya) di tengah kesulitan Gereja lain mendirikan gedung yang sederhana. Gereja semacam ini kurang peduli pada gereja lain, apalagi tempat ibadah agama lain yang menyembah Allah yang sama. Orang juga “berziarah ke tanah suci” bukan untuk “ibadah” tetapi untuk prestise atau untuk menaikkan pamor pribadi. Terdapat pula banyak tokoh agama yang menyerukan ‘kasih sayang’ pada orang lain sementara dalam keluarganya sendiri ia tak mampu menunjukkan kasih setia. Kedua, dari sisi pemahaman eksternal. kita masih banyak menjumpai pandangan saling “pengkafiran” satu terhadap lain antara penganut agama Kristen dan Islam. Orang Kristen 2
memandang saudara sebangsanya yang beragama Islam sebagai orang kafir, dan orang Islam memandang saudara sebangsanya yang beragama Kristen sebagai kafir pula. Jika pandangan “pengkafiran” itu memang didasarkan pandangan agamanya sendiri secara mendalam dan didasarkan pengertian yang tepat tentang ajaran agama lain, maka pandangan itu sah-sah saja (asal tidak sampai melakukan kekerasan atau penindasan tanpa dasar). Namun yang patut disayangkan ialah sikap “pengkafiran” itu agaknya justru berdasarkan pemahaman yang kurang utuh tentang agama lain, dan bisa jadi juga pemahaman yang kurang mendalam tentang agamanya sendiri. Sejumlah pengalaman maupun peristiwa menandai sinyalemen itu. Jika seorang keluarga Kristen menyalakan televisi di rumah dan tidak ada yang menontonnya, kerap dijumpai saluran diganti (atau setidaknya volume diperkecil) ketika sedang ada tayangan
W
adzan. Bukan karena ada program lain yang lebih penting, namun itu lebih karena perasaan tidak nyaman terhadap ibadah agama Islam, seolah-olah yang dimuliakan itu adalah Allah
KD
khusus Islam yang bukan Allahnya orang Kristen.
Demikian pula jika ada pembangunan tempat ibadah agama lain di daerahnya, orang Islam maupun Kristen akan merasa terusik, seolah-olah pembangunan tempat ibadah itu sudah pasti akan mengganggu kerukunan. Bahkan kehadiran kelompok agamanya sendiri yang berbeda dalam sejumlah ajarannya rasanya ingin ditolak eksistensinya dan hak hidup
U
beragamanya di Indonesia (seperti kehadiran kelompok Ahmadiyah dan Islam Syiah oleh sejumlah ormas Islam dan kelompok Saksi Jehovah oleh sejumlah Gereja-gereja di
©
Indonesia).
Dengan (sadar atau tidak sadar) menilai saudara sebangsanya yang berbeda (agama) itu “kafir”, maka pembenaran terhadap tindakan-tindakan intoleran makin mendapat tempat, apalagi pada saat penegakan hukum dan keadilan di Indonesia masih lemah. Kenapa proses “pengkafiran” dan tindakan-tindakan intoleran itu dapat terjadi? Diasumsikan, semua itu terjadi akibat “konstruksi berpikir” yang sudah tertutup untuk lebih mengerti dan memahami liyan, dalam hal ini ajaran agama lain (Kristen atau Islam). Dalam kerangka berpikir yang tertutup itu, pemahamannya akan mandeg pada keterbatasan informasi awalnya. Celakanya lagi, informasi awal tentang ajaran Islam itu didapatkan hanya dari sesama orang Kristen, dan informasi awal tentang ajaran Kristen hanya didapatkan dari sesama orang Islam. Informasi yang bukan dari sumber primer semacam itu tentu riskan dengan bias-bias serta kesalahpahaman. 3
Sebagai contoh, di Indonesia saat ini (tahun 2013) dengan penduduk mayoritas Muslim, ajaran tentang Allah seperti “Trinitas” itu masih sulit dimengerti, baik oleh orang Kristen sendiri, apalagi oleh orang Islam. Orang Islam memahami Al-Qur’an sendiri memuat kritik terhadap Trinitas dan terhadap ke-Tuhan-an Yesus. Namun apakah telah cukup kajian yang memadai dalam konteks apa firman kepada Muhammad itu diturunkan? Akibatnya kurangnya informasi pelengkap maka terjadi kesalahpahaman, penghakiman, dan sikap “pengkafiran”. Bahkan dalam hubungan yang baik pun dalam hati masih dapat tersimpan “ganjalan” akan masalah ini. Sebaliknya oleh sekelompok golongan Kristen, bahasa yang “baik-baik” seperti kasih, karunia, syalom, dsb sering disangka merupakan “monopoli” orang Kristen (padahal, dalam pengucapan yang berbeda namun dalam makna yg serupa, terdapat juga di Islam). Islam
W
sendiri tak jarang dihubungkan dengan hal-hal yang sebenarnya justru tidak Islami, seperti terorisme, kekerasan, dendam, dll. Hal itu berdampak terhadap penilaian serta sikap negatif
KD
berlebihan terhadap (ajaran) agama lain, khususnya dalam hal ini Islam. Ajaran agama Islam yang komprehensif juga tak jarang kurang dipahami dengan baik oleh banyak orang Islam sendiri, apalagi oleh orang Kristen. Salah satu penyebabnya ialah sudah adanya apriori terhadap agama Kristen, pertama-tama akibat warisan memori sejarah Perang Salib. Misalnya sebagaimana yang disebutkan Th. Van den End dan Christiaan de
U
Jonge:
©
Akibat-akibat Perang-perang Salib terhadap hubungan Kristen-Islam pada umumnya sangat negatif. Gambaran orang-orang Islam tentang orang Kristen Barat berbeda sekali dengan gambaran mereka tentang orang Kristen Timur. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang yang berkebudayaan tinggi, tetapi orang-orang Barat dianggap biadab. Perang-perang Salib hanya membenarkan gambaran ini. Di mata orang-orang Islam di Palestina orang-orang Kristen dari Barat adalah orang-orang yang kejam, yang hanya tahu membunuh dan merampok. Mereka sama sekali tidak menghormati orang-orang Islam, yang sering dibunuh (sebab dianggap dikuasai iblis) atau dijadikan budak. Lebih buruk lagi ialah agresi ini dilakukan dalam nama Kristus, Raja Damai….1
Dengan demikian benarlah analisis yang dikemukakan Th. Van den End: Bagi orang Kristen Indonesia, kurun waktu (Perang Salib) ini termasuk prasejarah gereja (di Indonesia). Akan tetapi, bagi orang-orang Islam, khususnya di Timur Tengah (yang pandangannya
1
Th. Van den End,, dan Christiaan de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1997), h.81.
4
belakangan ini makin bepengaruh di Indonesia):2 zaman itu bukan zaman yang telah lewat, melainkan masa ngeri yang selalu dapat muncul kembali. Sekaligus rasa ngeri ini menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan, yakni perang sabil (suci) Islam yang dilakukan oleh orang-orang Turki Otoman untuk menyerbu daerah dar al-harb, daerah perang, untuk menjadikannya dar al-Islam.3 Apalagi, di samping memori perang salib, pada masa kolonial sebagian besar dunia Islam dijajah oleh dunia barat. Dengan demikian hingga kini pun di Indonesia, khususnya di kalangan kelompok Islam yang dipengaruhi ajaran dari Tiimur Tengah, masih terbawa memori permusuhan dengan penjajah Belanda (yang begitu saja sering dihubungkan dengan agama Kristen). Sementara itu memori sejarah perjumpaan nabi Muhammad dengan orang Nasrani kurang dikenal baik di kalangan Islam fundamentalis.4 Demikian pula ajaran Kristen.
W
Akibatnya sikap yang menganggap penting tauhid, amal, iman, taqwa, ihsan5,
dan
sebagainya dianggap hanya ada dalam agama Islam (padahal, dalam pengucapan yang
KD
berbeda namun dalam makna yang serupa, terdapat juga dalam ajaran iman Kristen). Padahal Budhy Munawar-Rachman, mengutip Ibn Taimiyyah, sebagaimana yang dikutip
2
U
oleh Nurcholish Madjid dalam Islam dan Hanifiyyah,6 menyebutkan bahwa pembicaraan
©
Mereka memiliki pandangan tentang sejarah ala Timur: “Sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dahulu”. 3
Ibid., h.81-82.
4
Patut diingat bahwa Muhammad pun mendapat peneguhan dari Waraqah, seorang pendeta Nasrani Arab, paman Khadijah, istrinya. Ketika pada awal perjuangannya para pengikut Muhammad s.a.w. dalam pelarian karena dikejar orang Quraisy, mereka juga mendapat perlindungan dari kaum Habasyah (Ethiopia) yang menganut agama Nasrani. Lihat “Muqaddimah”, dalam Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia), 1994, h.61, serta juga Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir AlQuranul Majid An-Nur, jilid 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing), 2011, h.6. 5
Ihsan di sini adalah “ajaran tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada di depan hadirat-Nya ketika sedang beribadat….Ihsan adalah puncak tertinggi agama manusia.” Lihat Budhy Munawar-Rachman, “Kesatuan Transendental dalam Teologi: Perspektif Islam tentang Kesamaan Agama-agama”, dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama, ed. oleh Th. Sumartana, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.128 , mengutip dari “Iman, Islam, Ihsan: Trilogi Ajaran Illahi” makalah KKA Paramadina ke-65, 1992, h.14. 6
Makalah yang tidak diterbitkan, 1993, h.4-5.
5
soal Islam, iman, taqwa, dan ihsan, dapat diringkas sebagai “soal-soal keimanan universal”, sekalipun memerlukan realisasi ritus (ibadah).7 Di sisi lain keengganan untuk berdialog menjadikan Islam kurang dapat dipahami dengan baik. Akibatnya Islam pun sering disalahpahami bahkan dicurigai. Apalagi muncul pula sikap “pengkafiran” terhadap agama Islam, yang menilai Allah orang Islam sebagai berhala (terutama oleh sekelompok orang Kristen yang mengagungkan nama Yahweh).8 Menurut Ma’arif Jamuin, dialog antar agama (bahkan) bisa dijadikan salah satu cara untuk resolusi konflik.9 Memang upaya-upaya dialog telah dilakukan, khususnya di antara kalangan sebagaian cendekiawan Islam dan kalangan pemikir Kristen. Upaya-upaya dialog itu telah mampu mengurangi kesalahpahaman, serta menemukan titik temu terutama dalam format kerjasama lintas iman. Namun dialog itu umumnya belum menyentuh hal yang
W
mendasar, seperti tentang ’Allah’, yang diyakini merupakan sumber segala sumber iman dan agama. Dengan demikian upaya dialog itu masih menyisakan sejumlah prasangka yang
KD
berarti.
Terdapat beberapa alasan kurang didalaminya ajaran yang mendasar tentang Allah dalam forum dialog. Yang utama ialah kecurigaan motif: Umat Islam banyak yang masih menaruh curiga bahwa upaya dialog ini adalah bentuk lain dari Kristenisasi. Sementara umat
U
Kristen banyak yang menaruh curiga bahwa dialog hanya mencari harmoni dengan Islam dengan mengabaikan kekhasan iman Kristen, sehingga akan membawa kepada sinkretisme
©
yang menyesatkan.
Di samping itu ada pula alasan bahwa ”Keyakinan tentang Allah bersifat pribadi”: Hal-hal teologis yang bersifat iman yang mendasar merupakan “aurat” yang milik pribadi, tidak untuk dibuka-buka kepada pihak yang berbeda.10 Validitas alasan ini agaknya perlu
7
Budhy Munawar-Rachman, “Kesatuan Transendental dalam Teologi: Perspektif Islam tentang Kesamaan Agama-agama”, dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama, ed. oleh Th. Sumartana, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.128. 8
Misalnya dengan diterbitkan dan disebarluaskannya buku tulisan G.J.O. Moshay, Who is this Allah. (Garden Grove: Overseas Ministry), 1995, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. 9
Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi, Resolusi Konflik antar Etnik dan Agama, (Solo: CISCORE, 1999), h.106-108 dan h.115-126 10
Misalnya lihat Emha Ainun Nadjib, “Dialog Antar Agama dan Batas-batasnya”, dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama, ed. oleh Th. Sumartana, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.161.
6
direnungkan kembali, karena bukankah keyakinan terhadap Allah terkait dengan semua aspek kehidupan? Dalam kehidupan bersama wajarlah manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk berbagi (sharing), dan sebagai orang yang percaya kepada Allah adalah wajar untuk menghubungkan kehidupannya dengan keyakinannya kepada Allah. Selain itu, tak dapat dipungkiri bahwa tidak dibicarakannya ajaran tentang Allah dalam forum dialog juga karena sudah ada prasangka theologis: ada keyakinan bahwa iman tentang Allah kita sepenuh berbeda (misalnya Allahnya orang Kristen itu tiga, sementara Allah Islam satu).11 Membicarakan perbedaan tentunya malah memperuncing bibit-bibit permusuhan, sehingga akan kontraproduktif. Pandangan ini berpendapat bahwa toleransi dapat dibangun dengan menerima saja adanya perbedaan yang harus saling dihormati dan tidak saling dicampurkan.12 Namun bagaimana kita tahu bahwa kita berbeda kalau tidak
W
pernah sungguh-sungguh berdialog? Kalau dalam dialog ditemukan banyak perbedaan, itulah tempat untuk saling menghargai. Namun saya percaya sebenarnya jauh lebih banyak titik
KD
temunya, jika dialog dilakukan dengan ketulusan dan keterbukaan hati. Dalam penelitian ini akan dicari titik temunya dengan memahami “kebesaran Allah”, Adanya ”kebesaran Allah” ini nampak dengan sama-sama terbiasa menyebutkan Allah dengan kata ’maha’. Dalam menyebutkan Allah itu, umat Islam maupun Kristen menggunakan sifat/atribut yang positif/besar/agung, seperti Mahakuasa, Mahatahu, Mahaesa,
U
Maha Penyayang, Maha Adil, dsb. Jadi terhadap Allah tidak mungkin dikenakan atribut atau yang sifatnya rendah/kecil, seperti mahatakut, mahajahat, mahabodoh, mahaacuh, dsb. Dalam
©
tulisan ini istilah ’kebesaran’ ini dimaksudkan sebagai ’kemahaan’ dalam sifat/atribut yang positif. Jadi mahakasih artinya kasihnya terbesar, mahakuasa artinya kuasanya terbesar
11
John Hick membagi fase-fase pemahaman iman Kristen ke dalam tiga fase. Fase pertama, pada abad pertengahan, ialah fase penolakan total, dinyatakan bahwa orang-orang non-Kristen pasti masuk neraka. Sikap terhadap kepercayaan lain yang sepenuhnya negatif ini jelas-jelas berhubungan dengan ketidakmengertian mereka. Tentu saja pada periode Pertengahan ada kontak antara Kristen dan Islam tetapi itu adalah kontak militer, bukan dialog religius atau saling menggali spiritualitas satu dengan yang lain. Konsepsi tentang Islam yang disimpangkan oleh banyak orang Kristen dilawan dengan konsepsi tentang Kristen yang disimpangkan oleh banyak orang Islam. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei), 2006, h.23-25. 12
Lihat Syarifuddin R. Gomang, “Dakwah Islam Kontekstual”, dalam Allah Akbar, Allah Akrab, Pembinaan Kerukunan Antarumat Beragama Yang Berbasis Konteks NTT, ed. oleh Philipus Tule, (Maumere: Ledalero), 2003, h.113.
7
melampaui yang lain. Demikian pula ’mahatahu’ artinya Ia memiliki pengetahuan terbesar/terbanyak, ’maharaja’ artinya Allahlah Raja yang terbesar, dsb. Di samping alasan-alasan tersebut, banyak yang menghindari dialog teologis karena lebih memilih dialog karya dengan kerjasama antarumat beragama, misalnya dalam tanggul bencana atau dalam aksi kemanusiaan lainnya. Ini lebih menyentuh suasana kekeluargaan dan tetap memelihara perbedaan dalam kebersamaan. Tentu ini pilihan yang baik. Namun motif dan cara melakukan tindakan kemanusiaan bukankah bersumber dari bagaimana penghayatan relasi seseorang dengan Allahnya? Saya percaya bahwa jika dialog teologis dilakukan dengan sikap yang benar (tulus, terbuka, dan saling menghargai) dapat makin menguatkan dialog karya. Pada akhirnya alasan keberatan untuk berdialog (tentang Allah) dapat muncul
W
didasarkan pendapat bahwa pada dasarnya adalah mustahil mencari persamaan agama yang jelas berbeda. Daripada membuang waktu, daya, dan dana untuk mendialogkan iman/agama, lebih penting meningkatkan sikap toleran terhadap penganut agama yang berbeda (bersikap
KD
rukun).13 Justru permasalahannya, kerukunan yang dipaksakan dapat mengakibatkan sikap dualistis. (Dualistis dalam hal ini ialah bersikap rukun bila bertemu lintas agama, namun bersikap bermusuhan bila ada dalam lingkungan seagama.) Tujuan dialog teologis ini agar
U
terbangun pengenalan dan pemahaman yang lebih otentik dan tulus. Dengan demikian semua keberatan terhadap dialog yang dikemukakan di muka, menurut pemahaman saya, kurang kuat. Sebenarnya ada banyak titik temu dalam menghayati
©
Allah orang Kristen dan Islam. Jika iman itu didalami lagi, sebenarnya justru akan banyak kesalahpahaman disadari dan diluruskan. Malahan penyebutan Allah dalam ajaran Kristen dan Islam sebenarnya banyak yang paralel, meskipun digunakan dalam kesempatan yang berbeda dan dengan maksud yang tidak persis sama. Misalnya penyebutan Allah yang “Maha Pemurah” lagi “Maha Penyayang/Maha Pemurah” (Bismillahir-Rahmanir-Rachim) sejalan dengan teks liturgi PL “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Konsep ’salam’ bahkan ’Islam’ sendiri sebenarnya secara etimologis satu rumpun dengan kata Ibrani ’syalom’, yang sangat dikenal dalam tradisi Kristen. Sifat-sifat Allah yang lekat dengan
13
Bambang Subandrijo, sebagai contoh saja, sekalipun pada awalnya menyebutkan pencarian titik temu ajaran tentang keesaan Allah, pada akhirnya mengatakan: “Ketimbang memperdebatkan doktrin tentang Allah dan Kristologi, akan lebih baik melakukan perintah-perintah Allah dan mengikuti teladan Yesus.” Lihat Bambang Soebandrijo, Berjalan Seiring, Mencari Titik Temu, makalah, Yogyakarta, 2008.
8
‘kekuasaan’ dan ’keadilan’, dan ’kepedulian-Nya kepada kaum miskin’ ~yang
juga
diamanatkan kepada manusia~ sangat kental mewarnai baik ajaran Kristen maupun Islam. Di sisi lain, sebenarnya penghayatan akan nama Allah itu semestinya terekspresikan di Indonesia. Dalam praktek masih terdapat banyak kesenjangan dalam praksis iman Kristen dan Islam di Indonesia. Di samping itu, penghayatan iman terhadap Allah itu mestinya berdampak
terhadap
pengamalan
iman
secara
bersama-sama
dalam
menghadapi
permasalahan di Indonesia. Sebagai kerangka dasar untuk membangun teologi yang menghubungkan tentang (kebesaran) Allah dari pandangan Kristen dan Islam, saya pertama mengambil gagasan David Brown dalam bukunya Tradition & Imagination, Revelation & Change. Hal pertama yang
W
relevan di sini ialah Brown melihat bahwa bahasa (berarti juga “penyebutan”) bukan merupakan realitas pada dirinya sendiri, tetapi hanya menunjuk pada sesuatu (realitas itu). Dalam konteks “penyebutan Allah dengan segala atributnya”, sebenarnya terkandunglah
KD
sesuatu yang lebih dalam atau pun jauh daripada “sebutan” yang tersurat. Karena itu para penyembah Allah perlu melakukan pencaharian yang berkelanjutan untuk menemukan sesuatu yang lebih mendalam daripada sekedar kata atau nama. Pencarian itu dapat lebih mudah dilakukan secara bersama daripada hanya mencari sendiri. Karena itu melakukan
U
dialog merupakan sesuatu yang penting dalam memperdalam suatu pemahaman, termasuk memahami “Allah”. Pertanyaannya kemudian ialah: dengan siapakah orang berdialog? Hanya dengan penganut agama yang samakah, atau juga perlu berdialog dengan penganut agama
©
lainnya?
Selanjutnya Brown, melalui pendekatan postmodernisme, melihat khususnya kesinambungan sejarah Yahudi-Kristen-Islam sebagai peluang untuk dialog. Dialog di sini dalam arti saling mencerahkan melalui refleksi teologis, terutama terkait dengan kandungan moralnya yang relevan (bukan untuk mencari kemurnian pewahyuan). Brown berpendapat bahwa apa yang datang lebih kemudian daripada Kristus dalam agama selain Kristen tetap dapat menerangi dan memberi informasi kepada agamanya sendiri (agama Kristen). Brown juga mengungkapkan bahwa adanya metoda “pembatalan” pada (tafsir teksteks) Al-Quran dan Hadits telah menarik perhatian kita kepada suatu jalan di mana lingkungan yang baru mengembangkan prinsip-prinsip baru. Sementara karakter mendalam yang terkandung dalam Hadits mengingatkan kaum beriman bahwa pemberlakuan suatu
9
ajaran tidak pernah dapat diterapkan (secara harfiah) berdasarkan ‘rasionalisme ala Pencerahan’ semata. Karena itu pemberlakuannya membutuhkan pula pikiran untuk mengintegrasikan kesimpulan-kesimpulan yang sama ke dalam praktik imajinatif sehari-hari seorang beriman. Brown menyarankan pembaca Kristen untuk melihat Islam sebagai pola pengembangan kreatif yang serupa dengan Yudaisme dan Kekristenan. Pada akhirnya Brown menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan menuju dialog yang bermakna adalah melalui pengenalan, yang olehnya orang-orang Kristen bisa belajar, sebagaimana juga bisa memberi.
Bagian dari pengenalan tersebut dapat nampak dari
kesediaan untuk mendengar bagaimana Allah dapat berbicara melalui tradisi Islam. Pola dialog yang berisi “belajar dan memberi” tersebut tentu juga sudah terjadi pada
W
agama Islam sendiri, melalui teladan Nabi Muhammad yang terjadi melalui keluarganya dan para pendukungnya yang berlatar belakang Nasrani (Kristen) dan beliau pun (menganjurkan) belajar dari para ahlul kitab (bandingkan Qs Yunus/10:94) , namun juga memberikan umpan
KD
balik jika menemui hal yang berbeda. Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga menjelaskan bahwa karena antara kaum beriman dan kaum Ahl al-Kitab tidak ada perbedaan yang terlalu jauh, maka sesungguhnya antara mereka itu dapat saling belajar. Kaum Muslim hendaknya mempelajari dan menarik hikmah dari kitab-kitab suci lama, dan kaum Ahl-al-Kitab
U
mempelajari al-Qur’an.
Tentu juga, pengenalan yang dialogis ini tentu berdampak pada ditemukannya
©
pelbagai kesamaan. Sebagaimana disampaikan oleh Djohan Effendi: “Islam mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sebagai landasan untuk hidup bersama” (bdk. QS: III, Ali Imran, 63-64). Tentu menemukan persamaan ini tidak mengingkari adanya perbedaaan-perbedaan, namun perbedaan itu tidak dilihat dalam kacamata zaman Pencerahan yang menghakimi yang lain, namun sebagai kekayaan yang kreatif dari sudut pandang berbeda karena konteks harian yang berbeda pula yang umum dipakai orang dalam pada era postmodern kini. Melalui kesediaan belajar dari agama lain, selain kita dapat menemukan kesamaan dan lebih memahami perbedaan, kita juga dapat memperdalam nilai atau praksis agamanya sendiri. Melalui tradisi, cara pandang, pengalaman nyata, serta pergumulan yang berbeda dari penganut agama lain, seseorang dapat justru menemukan kedalaman suatu kebenaran yang 10
sebenarnya ada pada agamanya sendiri yang telah ‘terkubur’ atau ‘tercecer’ oleh arus zaman atau konteks tertentu. Untuk “mengambil kedalaman” itu saya mengacu pada Frithjof Schuon (dalam The Transscendent Unity of Religions,1975), ahli metafisika pengikut tokoh sufi Ibn ‘Arabi. Bagi Schuon, keragaman sebagai “yang banyak” adalah aspek luar (outward aspect) alam ini, yang keberadaannya amat penting demi melihat fenomena menurut realitas terdalam (inward reality) dari keragaman ini, yang menyebabkan lahirnya bermacam-macam jenis dan bentuk yang berbeda sebagai manifestasi dari Yang Satu (the One). Dengan kata lain, tanpa keragaman atau “yang banyak” realitas terdalam dari Yang Satu atau hakikat ketuhanan tak akan diketahui ciptaan (makhluk).14
W
Demikian pula Schuon menjelaskan istilah realitas terdalam tersebut sebagai segi “esoteris”: Bagi Schuon, kenyataan kemajemukan keberagaman bukan saja dikarenakan ada berbagai agama melainkan karena juga karena di dalam satu agama pun terdapat
KD
kemajemukan. Bukan saja karena adannya pelbagai aliran dalam satu agama, tetapi dikarenakan adanya pemisahan secara horisontal dari setiap agama menjadi esoteris dan eksoteris. Dan hal tersebut menurit Schuon merupakan kenyataan yang tak dapat dihindari. Hal tersebut dikarenakan bahwa setiap agama pasti tersusun dari kedua hal tersebut,
U
eksoteris. Eksoteris adalah segi bentuk dari setiap agama (lembaga, wadah), sedangkan esoteris adalah segi hakikat (adikodrati) dari setiap agama. Maksudnya adalah, bahwa pada dasarnya setiap agama adalah cara untuk menangkap wahyu yang disingkapkan oleh Yang
©
Maha Tinggi. Dan dikarenakan manusia berada dalam daerah, kondisi, situasi, dan kepentingan yang berbeda, maka cara memahami dan menangkap wahyu tersebut juga berbeda pula. Oleh karena itu ada berbagai bentuk agama atau berbagai ajaran atau berbagai dogma dalam usaha menangkap wahyu tersebut. Bentuk atau ajaran inilah yang dimaksudkan dengan segi eksoteris. Sedangkan kesadaran akan “Yang Maha Tinggi yang adalah hakikat dari berbagai bentuk” tadi, itulah segi esoterisnya. Dari penjelasan Schuon tersebut, jelaslah bahwa segi esoteris ini meliputi hal-hal mendalam yang universal, yang sama. Tidak heran terdapat banyak nilai yang sama-sama dijunjung tinggi oleh pelbagai agama, misalnya seperti ‘kebaikan’ dan ‘keadilan’. Dalam
14
Media Zainul Bahr, Satu Tuhan, Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi, dan Al-Jili, (Jakarta: Penerbit Mizan Pustaka), 2011, h.96.
11
tulisan ini kita akan mencoba mendalami sifat-sifat Allah yang sama-sama diakui oleh Kristen dan Islam, khususnya mengenai kebesaran kuasa dan kasih-Nya. Cara mendalami pemahaman tentang kebesaran kuasa dan kasih Allah ini ialah mendalami sumber-sumber tradisi agamanya sendiri, namun juga melalui (mendengarkan) penghayatan dan praksis kehidupan liyan (Islam atau Kristen). Jadi dengan demikian tulisan ini dibangun dengan upaya pengenalan satu dengan yang lain (antara ajaran Kristen dan Islam) melalui apresiasi kreatif tentang relevansi ajaran agama yang lain bagi (memperdalam) ajaran agamanya sendiri secara dialogis. Itu bukan berarti meniadakan bentuk yang sudah ada. Justru yang didapatkan dari agama lain dapat justru dicari kembali dan dapat ditemukan dari sumber-sumber dalam agamanya sendiri
W
(misalnya dari Kitab Sucinya dan kecocokan sosio-historis).
Sebelum memperhatikan kesamaan pandangan tentang kebesaran Allah, lebih dahulu perlu dijelaskan secara ringkas tentang kesalahpahaman (antarumat) dalam memahami nama
KD
Allah itu sendiri sebagaimana yang dihayati agama lain. Pada masing-masing umat terdapat hal yang kurang jelas dipahami, yang telah menimbulkan kesalahpahaman terhadap ajaran agama/iman lainnya. Pertama yakni ketidakmengertian umat Islam (dan juga sebagian umat Kristen) sendiri tentang perbedaan pemahaman Kristen antara arti ’Allah’ (God) dengan
U
’Tuhan’ (Lord). Yang kedua ialah ketidakmengertian orang Kristen tentang nama Allah
©
sebagaimana yang dipahami orang Islam.
Selanjutnya penghayatan tentang Allah dapat dipahami dengan memahami benang merah isi Alkitab maupun benang merah isi al-Quran (sebagai cara mengerti Allah) dengan tentu memperhatikan maksud teks-teks itu. Sekalipun penghayatan akan Allah merupakan hal yang sulit dan tidak pernah sempurna, namun upaya-upaya awal untuk menjelaskannya dapat dilakukan dengan melihat sebutan-sebutan/sifat-sifat Allah dalam Alkitab (Bible), dan sebutan-sebutan/nama-nama Allah dalam Al-Quran . Dari pelbagai nama/sebutan itu, tentu ada yang paling utama, yang penting, atau amat sering disebutkan. Ini berguna untuk mencoba mengerti tentang sifat eksistensial Allah. Sifat eksistensial itu berguna untuk memperdalam penghayatan iman kepada-Nya yang dilakukan para pemuja-Nya dan terpancar dalam sikap keseharian pengikut-Nya.
12
Penjabaran kandungan Alkitab dan Al-Quran tentang (kebesaran) Allah itu dalam tulisan ini diambil dari diskursus-diskursus yang berkembang di kalangan Kristen dan Islam. Tentu tulisan ini tidak berpretensi mewakili semua pandangan Kristen maupun semua pandangan Islam, mengingat variasi pemahaman tentang (kebesaran) Allah berada dalam spektrum yang luas. Misalnya detail penjelasan tentang keesaan Allah dalam ajaran iman Kristen sudah berbeda antara Pengakuan Iman Rasuli, Rumusan Pengakuan Konsili Nicea, hingga keyakinan penganut Saksi Jehovah (yang dianggap sekte). Demikian pula pengakuan akan ’takdir’ dan otoritas Allah dalam Islam dipahami secara berbeda ~ misalnya yang dijabarkan oleh pandangan ”Jabbariyyah” amat berbeda dengan pandangan ”Qadariyyah”. Pandangan yang dikemukakan di sini tentu yang selaras dengan yang terungkap dari kitab sucinya (Alkitab bagi Kristen dan Al-Quran bagi Islam), selaras dengan pandangan sejumlah
W
tokoh-tokoh Kristen dan Islam.
Lalu bagaimana dampak pemahaman itu terhadap kehidupan nyata saat ini?
KD
Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan bersama, lebih khususnya di Indonesia? Untuk itu didialogkan antara pembicaraan rasional pada dataran ”etika dan aksi” dengan pembicaraan rasional ”pada dataran teologis”. Itu adalah bentuk-bentuk momen kedua
U
berteologi agama-agama yang diajukan oleh Banawiratma:
Dua momen yang menentukan dalam usaha berteologi selayaknya diperhatikan juga
©
oleh teologi agama-agama, yakni momen diam dan momen berbicara. Momen pertama adalah momen diam atau momen tidak berbicara mengenai Allah. Momen ini dapat kita sebut sebagai momen praksis, yang terlaksana dalam kontemplasi dan aksi. Adapun momen kedua adalah momen berbicara mengenai Allah. Momen ini dapat dilakukan dalam tiga bentuk (1) percakapan pada dataran berbagi pengalaman kontemplatif, (2) pembicaraan rasional pada dataran etika dan aksi, (3) pembicaraan rasional pada dataran teologis.15 Dengan kata lain pemahaman bersama yang dicapai melalui percakapan rasional (kognitif) akan kurang bermakna jika tidak dihubungkan dengan etika dan aksi
15
J. B. Banawiratma “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, ed. oleh Tim Balitbang PGI, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2003, h. 44-45.
13
(psikomotorik). Namun tulisan ini tidak bermaksud merancang sebuah program aksi bersama, karena program aksi bersama perlu dilihat dalam konteks paling aktual yang dihadapi oleh calon pelaku aksi. Namun tulisan ini pada akhirnya hendak melakukan sedikit refleksi terhadap aksi yang sudah dan belum terjadi, untuk dapat menjadi referensi atau bahan pertimbangan bagi upaya-upaya aksi bersama di masa mendatang.
Penjelasan istilah “kebesaran” Bila kita meyakini bahwa sifat Allah dapat dipahami dari sebutan-sebutan yang dikenakan padanya (dalam kitb suci dan ibadah kepada-Nya), maka kita akan menemukan kata Allah atau TUHAN yang terkait dengan sifatnya yang “lebih” dari makhluk lainnya. “Kelebihan” ini bukan dalam makna yang negatif (lebih lemah, lebih jahat, dsb), melainkan diistilahkan dengan “kebesaran”.
W
dalam makna yang positif (lebih berkuasa, lebih baik, dsb). Inilah yang dalam tulisan ini Dalam penyebutan kepada Tuhan/Allah dalam bahasa
Indonesia digunakan istilah “Maha”, untuk menunjukkan sifat yang melampaui segala
KD
ciptaan-Nya. Jadi. misalnya, kata “Mahakuasa” artinya Dia yang paling besar kekuasaanNya, “Mahakasih” artinya Dia yang paling besar kasih-Nya, “Maha Penyayang” artinya Dia yang paling besar rasa penyayang-Nya, dsb. Pemahaman itu mestinya nampak dalam hidup umat. Artinya pemahaman dasar yang sama akan Allah itu akan menimbulkan konsekuensi
U
(dampak) etis yang selaras dengan kehidupan umat-Nya. Ini akan memperlancar sikap dan
©
tindakan bersama yang selaras secara tulus, tidak munafik.
Mengingat manusia dihayati juga sebagai ‘mandataris’ atau ‘kafilah’ yang diutusnya sebagai saksi-Nya, maka sewajarnyalah jika sifat-sifat Allah (yang nampak dari nama-namaNya) mestinya juga dihayati dan tercermin dalam sikap hidup umat-Nya. Misalnya pemahaman tertentu tentang kebesaran kekuasaan Allah, seperti Mahakuasa dan Maha Mengetahui, tentu berdampak terhadap pemberdayaan umat-Nya. Demikian pula pemahaman tentang Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahaadil, serta Maha Pemberi Damai tentu berdampak terhadap sikap etis dan gerak kehidupan umat-Nya diwarnai kasih, perdamaian, dan pembelaan bagi kemanusiaan.
14
2. Rumusan Masalah a. Sejauh mana masing-masing umat (Kristen dan Islam) memahami kebesaran Allah sesuai kitab suci dan tradisi masing-masing? b. Sejauh mana praksis penghayatan kebesaran Allah itu menurut Kristen maupun Islam? c. Bagaimana yang sudah secara praksis dihayati dapat dimengerti dan disampaikan secara komunikatif oleh umat lain? d. Bagaimana relevansi ajaran tentang kebesaran Allah tersebut bagi kehidupan umat beragama Kristen dan Islam di Indonesia menanggapi panggilan hidup bersama sehingga dapat mewujudkan dialog?16
W
3. Tujuan Penulisan
a. Menemukan kesejajaran17 penjelasan tentang kebesaran Allah menurut ajaran Kristen
KD
maupun Islam, yang berguna bagi fondasi bersama dalam praksis kehidupan bersama umat Kristen dan umat Islam.
b. Mengurangi prasangka antar umat Kristen dan umat Islam, melalui penjelasan yang menolong meredakan ketegangan dan mendukung terjadinya hubungan yang tulus antar
U
umat beragama.
©
c. Umat Kristen maupun Islam semakin terdorong mendalami imannya sendiri, terutama dalam menghayati kebesaran nama Allah melalui sikap dan tindakan praktis, yang menjadikan keduanya lebih saling memahami.
16
Pewujudan dialog di sini bukan dalam arti sekedar saling berbicara, namun dapat menolong dialog karya menjadi semakin hidup, karena didasarkan kesepakatan dalam menjalankan suatu misi bersama yang didasarkan keselarasan pemahaman akan kebesaran Allah (yang merupakan sumber keyakinan dasar Kristen dan Islam). 17
“Kesejajaran’ ini tidak harus diartikan ‘identik’, namun setidaknya bermakna memiliki arah yang sama sehingga secara tulus dapat bekerjasama untuk mencapai misi bersama tersebut.
15
4. Hipotesis Allah dapat dipahami dengan baik oleh umat Kristen maupun Islam, dengan menghayati kebesaran-Nya dalam “kuasa-Nya” dan “kasih-Nya”. Melalui penghayatan tentang kebesaran Allah maka umat Kristen dan umat Islam yang beriman kepada-Nya mestinya terpanggil untuk menyatakan kebesaran-Nya kepada semua orang, dengan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama mewujudkan rahmat, kasih, keadilan, dan kepedulian itu di tengah bumi ini, dan
terutama dengan menolong dan memberdayakan orang
miskin/tertindas. Ketika orang mempelajari pemahaman akan kebesaran Allah dengan mendalam, maka dia akan masuk ke dalam sebuah kesadaran kemisterian yang tidak terjangkau secara sempurna oleh manusia,18 sehingga manusia akan sampai pada kesadaran akan kepasrahan. Kepasrahan itu menyadarkan bahwa bahasa tidak bisa mewakili secara
W
absolut kemisterian itu, sehingga menjadi relevan untuk terus belajar, termasuk melalui pengalaman dan perspektif yang berbeda. Pengalaman untuk belajar dari perspektif berbeda itu justru dapat membantu memperdalam pemahamannya agamanya sendiri, dalam hal ini
U
5. Metodologi
KD
khususnya tentang kebesaran Allah.
Penelitian dalam tesis ini menggunakan metodologi kualitatif. Metode yang dipakai (dengan memaparkan penghayatan tentang
©
utamanya menggunakan penelitian literer
kebesaran Allah dalam ajaran Kristen dan Islam, bersumber dari tulisan tentang ajaran Kristen dan Islam serta hasil dialog yang telah dibukukan), serta didukung masukan dari Focus Group Discussion (FGD), serta masukan dari beberapa data kuesioner. FGD ini dilakukan dengan kalangan aktivis agama, akademisi, dan awam Kristen dan Islam, dengan Penulis menyampaikan pemaparan tentang permasalahan terkait kebesaran Allah dan para peserta lain memperkayanya dalam diskusi terbuka. Sedangkan data kuesioner diperoleh dari isian angket yang disebarkan kepada sejumlah kecil orang Kristen (lingkungan karyawan Andi Offset Yogyakarta) maupun Islam (masyarakat sekitar Ponpes Pancasila Sakti/AlMutaqien Klaten), tentang pandangan mereka tentang kebesaran Allah. Proses itu ditutup 18
Bdk. Hananto Kusumo, “Misteri Ketidakterbatasan Allah – Jalan Alternatif bagi Teologi Agamaagama”, dalam Mendesain Ulang Pendidikan Teologi, ed. oleh Josef M.N. Hehanussa & Budyanto, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2012).
16
dengan refleksi (terutama terkait dengan praksis kehidupan umat beragama dan antarumat beragama), agar dapat dibandingkan dengan sejumlah kenyataan di Indonesia tentang bagaimana menerapkan penghayatan tentang kebesaran Allah ini.
7. Sistematika Penulisan BAB I
Bab ini merupakan pendahuluan, dengan dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesis, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
Bab ini mulai menjelaskan pemahaman tentang Allah dalam Kristen dan Islam.
W
Bab ini diawali dengan pemahaman tentang Kebesaran Allah dalam Ajaran Kristen dengan berdasarkan literatur tentang ajaran Kristen yang sesuai dengan Alkitab, serta tradisi Kristen. Ini akan dimulai dengan pemahaman tentang nama
KD
“Allah” bagi orang Kristen, mencakup tanggapan terhadap kritik tentang penggunaan nama “Allah” bagi orang Kristen, serta penjelasan perbedaan “Allah” dengan “Tuhan”. Selanjutnya juga dijelaskan tentang kebesaran Allah dalam Kristen, khususnya tentang kebesaran kuasa-Nya dan limpahan kasih setia-Nya
U
Selanjutnya diuraikan pula pemahaman tentang Kebesaran Allah dalam Islam diambil dari literatur tentang ajaran agama Islam yang sesuai Al-Qur’an dan
©
kalau perlu Hadits, dimulai dengan pemahaman tentang nama “Allah bagi orang Muslim”, khususnya tentang Al-Asma Al-Husna, dihahului dengan tanggapan
terhadap pandangan negatif tentang “siapakah Allah-nya orang Islam”. Selanjunya juga dijelaskan tentang kebesaran Allah dalam Islam, yakni dilihat dari kuasa-Nya dan dari limpahan kasih sayang-Nya
BAB III
Bab ini berisi persamaan dan perbedaan di tengah kesalahpahaman. Dalam bagian ini dijelaskan kesalahpahaman umum orang Kristen dalam memahami pemahaman tentang Allah yang dipahami orang Islam, kesalahpahaman umum orang Islam dalam memahami pemahaman tentang Allah yang dipahami orang Kristen, serta persamaan dan perbedaan pemahaman Kristen dan Islam tentang Allah.
17
BAB IV
Dalam Bab ini dilihat implikasi ajaran Kristen dan Islam tentang Kemahabesaran Allah, serta dijelasan tinjauan dan refleksi kritis, meliputi keselarasan kebesaran Allah dalam pandangan Kristen dan Islam, dari pemahaman dan praktik, dan pada akhirnya juga dijabarkan perbedaan-perbedaan yang tidak perlu dipertentangkan. Bab ini ditutup dengan refleksi theologis sebagai pendalaman iman
BAB V
Bab ini berisi relevansi pemahaman tentang kebesaran Allah bagi upaya mengatasi permasalahan umat Kristen dan Islam di Indonesia. Di sini dipaparkan relevansi pemahaman tentang kebesaran Allah untuk menghadapi kesenjangan, yakni mencakup kesenjangan internal dan kesenjangan eksternal. Selanjutnya dijabarkan pula relevansi pemahaman tentang kebesaran nama Allah bagi umat Kristen dan umat Islam dalam upaya
memecahkan
persoalan
kemiskinan,
W
ketidakadilan, dan penindasan. Selanjutnya bab ini ditutup dengan kesimpulan
©
U
KD
dan saran.
18