Uji Normalitas dan Homogenitas Pretes 1) Uji Normalitas Pretes Berikut ini adalah hasil normalitas pretes dari kelas yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang menggunakan model pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel 3 pada lampiran. Berdasarkan hasil uji normalitas dengan SPSS 17 diperoleh nilai Sig. pretes siswa yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dengan uji-kolmogorof smirnov dan uji Shapiro-wilk, diperoleh (0,000 dan 0,001) yang berada di bawah 0,05. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal. Dan Sig. pretes siswa yang tidak menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) diperoleh (0,006 dan 0,016). yang berada di bawah 0,05. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal. Sedangkan postes siswa yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dengan ujikolmogorof smirnov dan uji Shapiro-wilk, diperoleh (0,001 dan 0,017) yang berada di bawah 0,05. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal. Dan Sig. postes siswa yang tidak menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) diperoleh (0,008 dan 0,046). yang berada di bawah 0,05. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal. 2) Uji Homogenitas Pretes Setelah dilakukan uji normalitas pada kelas yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang mengguanakan model pembelajaran konvensional dilanjutkan dengan uji homogenitas pada gain kedua 52
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
data yaitu gain kelas yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang mengguanakan model pembelajaran konvensional. Hasil analisisnya dapat dilihat pada tabel 4 pada lampiran. Berdasarkan hasil uji homogenitas pretes diketahui bahwa nilai Sig. pretes siswa dengan yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang mengguanakan model pembelajaran konvensional semuanya berada di atas 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya data berdistribusi homogen. Sedangkan hasil uji homogenitas postes diketahui bahwa nilai Sig. Postes siswa dengan yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan mengguanakan model pembelajaran konvensional semuanya berada di atas 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya data berdistribusi homogen. Uji Hipotesis Perbedaan Hasil Belajar Karena data pretes dan postes kelas yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) berdistribusi tidak normal dan pretes dan postes kelas yang tidak menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) juga berdistribusi tidak normal, dan kesemuanya berdistribusi homogen, dan merupakan pengujian pengaruh suatu perlakuan terhadap dua kelompok, dimana kelompok pertama merupakan kelompok yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang kedua merupakan kelompok yang tidak menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT), maka untuk pengujian hipotesisnya menggunakan statistik Non-parametris (Non-parametric statistic), sehingga dalam pengujian SPSS menggunakan Uji Mann Whitney untuk menentukan perbedaan dari dua variable
tersebut. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 5 pada lampiran. Berdasarkan tabel Mann Whitney diketahui bahwa diperoleh nilai Asymtop signifikansi atau Asymp.Sig (2-tailed) adalah 0,000. Kalau dibandingkan, maka nilainya akan lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), hal ini berarti bahwa Ho ditolak yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS antara yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang tidak menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT).
lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dengan peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS. Dari hasil analisis juga didapatkan nilai r hitung sebesar 0,629, nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dengan peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS, karena berdasarkan asumsi Sugiyono (2008) nilai tersebut berada pada rentang antara 0,600 – 0,799 yang artinya Korelasi yang kuat.
Pengaruh model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS Pengaruh model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS, dapat diketahui dari beberapa nilai hasil angket dan nilai hasil belajar siswa yang diperoleh melalui kelas yang dijadikan sampel penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS. Nilai angket didapatkan melalui penyebaran angket yang memuat indikatorindikator yang dianggap mewakili pernyataan-pernyataan mengenai pengaruh model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS, sedangkan hasil belajar siswa diambil dari nilai hasil tes yang berupa gain hasil belajar pada mata pelajaran IPS. Yang kemudian data tersebut selanjutnya dianalisis dengan uji regresi menggunakan SPSS 17, yang hasilnya dapat dilihat pada :
Uji Koefesien Determinasi Yang menunjukan dengan model summary terlihat R Square sebesar 0,395 dari koefisien korelasi (0,629). R-Square di sebut koefisien determinansi (D = r2 x 100% = 0,6292 x 100% = 39,5% ) dalam hal ini 39,5%. Maksud nilai ini adalah bahwa model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) mempengaruhi hasil belajar siswa siswa sebesar 39,5%, sedangkan sisanya 60,5% persen dipengaruhi oleh variable lain. Untuk melihat signifikansi koefesien determinasi kita juga dapat membandingkan nilai F hitung yang sebesar 24,837 dengan nilai F Tabel, dan membandingkan antara nilai Sig alpha (0,05). Nilai F tabel diperoleh dengan mencari pada Tabel F dengan df pembilang = 1 dan df penyebut = 38, diperoleh F Tabel 4,10. dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F Tabel dan nilai signifikan yang lebih kecil dari nilai alpha, maka kesimpulannya berarti koefesien determinasi adalah signifikan secara statistik.
Uji Korelasi Yang menunjukan bahwa nilai signifikansi untuk uji pearson adalah 0,000. kalau kita bandingkan, maka nilainya akan 53
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
Uji Kelinieran Regresi Pada tabel ini terlihat bahwa nilai probabilitasnya atau sig. = 0,000, yaitu lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), Hal ini menunjukkan model regresi linear dapat digunakan.
Uji Koefesien Regresi Nilai sig diatas adalah 0,000 (< 0,05) dan didapat nilai uji t dengan t hitung = 4,984 dengan derajat kebebasan n – 2 = 40 – 2 = 38 sehingga t tabel sebesar 1,70. Karena nilai sig 0,000 < 0,05 atau ttabel (1,70) < thitung (4,984), maka dapat disimpulkan bahwa nilai pada kolom B adalah signifikan Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar maka perlu dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan uji t dan berdasarkan signifikansi dari uji koefesien regresi. Berdasarkan pengujian variabel model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) pada mata pelajaran IPS memiliki nilai p-Value (pada kolom sig.) 0,000. Dan 0,000 < Level of significant 0,05, dan ttabel (1,70) < thitung (4,984) artinya signifikan. Signifikan disini berarti Ha diterima dan Ho ditolak, artinya Adanya pengaruh terhadap model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Plumbon tahun pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil tes akhir yang telah dilakukan, peningkatan hasil belajar siswa yang menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) sebelum dan sesudah dilakukannya pembelajaran. Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) nilai rata-rata siswa sebesar 31,5 dan setelah dilakukan pembelajaran dengan 54
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) nilai rata-rata siswa menjadi 76,57 mengalami peningkatan sebesar 45,07 lebih baik dibandingkan pada pembelajaran konvensional yang sebelum dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional nilai rata-rata siswa 32,25 dan setelah dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional nilai rata-rata siswa sebesar 69 mengalami peningkatan sebesar 36,75. Selain itu, uji hipotesis yang dilakukan pengujian variabel model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) pada mata pelajaran IPS memiliki nilai p-Value (pada kolom sig.) 0,000. Dan 0,000 < Level of significant 0,05, dan ttabel (1,70) < thitung (4,984) artinya signifikan. Signifikan disini berarti Ha diterima dan Ho ditolak, artinya Adanya pengaruh terhadap model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS. Dilihat dari hasil tes keseluruhan kemampuan siswa terdapat perbedaan antara siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Dalam kegiatan pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) siswa lebih aktif untuk memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Adapun materi yang dibahas dalam kegiatan pembelajaran ini adalah hubungan kelangkaan sumber daya dan kebutuhan. Adapun aspek yang dinilai dalam pembelajaran ini adalah keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) serta kompetisi siswa untuk mendapatkan skor tertinggi. Berdasarkan hasil penelitian pada umumnya semua siswa dapat menjawab
pertanyaan dengan baik. Hal ini semakin membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan siswa lebih aktif serta termotivasi dalam belajar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat merangsang daya pikir siswa yang lebih kaya dalam pembelajaran IPS. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Dari segi respon siswa terhadap model pembelajaran TGT, dari data hasil angket yang telah diperoleh respon siswa terhadap pembelajaran IPS yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) sangat baik, hal ini dikatakan demikian karena dari 40 responden 84,5%-nya siswa sangat setuju dengan penerapan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) yang dapat melatih siswa untuk lebih aktif, berpikir kritis, bekerja sama dengan baik dan siswa dapat belajar menghargai pendapat temannya dengan menerapkan games didalamnya. Dengan demikian model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dapat mengurangi kebosanan siswa di dalam proses pembelajaran yang biasa mereka lakukan di sekolah. 2. Jika dilihat dari segi nilai rata-rata kelas yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan model pembelajaran konvensional, perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional. Hal 55
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
ini dikatakan demikian karena terdapat peningkatan hasil belajar siswa sebelum dan sesuadah dilakukannya pembelajaran. Sebelum dilakukan pembelajaran TGT nilai rata-rata siswa sebesar 31,5 dan setelah dilakukan pembelajaran TGT nilai rata-rata siswa menjadi 76,57 mengalami peningkatan sebesar 45,07 lebih baik dibandingkan pada pembelajaran konvensional yang sebelum dilakukan pembelajaran nilai rata-rata siswa 32,25 dan setelah dilakukan pembelajaran nilai rata-rata siswa sebesar 69 mengalami peningkatan sebesar 36,75. Dengan demikian model pembelajaran TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dan berdasarkan uji Mann Whitney yang telah dilakukan diketahui bahwa diperoleh nilai Asymtop signifikansi atau Asymp.Sig (2-tailed) adalah 0,000. Kalau dibandingkan, maka nilainya akan lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), hal ini berarti bahwa Ho ditolak yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS antara yang menggunakan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dan yang menggunakan model pembelajaran konvensional. 3. Berdasarkan Uji Hipotesis yang telah dilakukan pengujian variabel model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) pada mata pelajaran IPS memiliki nilai p-Value (pada kolom sig.) 0,000. Dan 0,000 < Level of significant 0,05, dan ttabel (1,70) < thitung (4,984) artinya signifikan. Signifikan disini berarti Ha diterima dan Ho ditolak, artinya Adanya pengaruh pada model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rinerka Cipta. Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta :Bumi Aksara. Aqib Z, Sujak. (2011). Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Yrama Widya. Djamarah S B. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta. Dwi K K.(2009). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe TGT terhadap Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada Konsep Pencernaan Manusia. Tidak diterbitkan. Haryati, M. (2007). Model & Teknik Penilaian. Jakarta : GP Press. Lusita, A. (2011). Buku Pintar Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif dan Inovatif .Yogyakarta : Araska. Muchtar, S. (2009). Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung. Nuryanti, L. (2009). 99 Model Pembelajaran. Bandung. Bina Tugas Mandiri. Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian. Bandung : Alfabeta. Riduwan,
Sunarto. (2009). Pengantar Statistika. Bandung : Alfabeta. Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran. Jakarta : Rajawali Pers. Sagala, S. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Sidney Siegel. (1997). Statistik Non Parametrik. Jakarta : PT Gramedia.
56
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Slavin R. (2005). Cooperative Learning. Bandung : Nusa Media. Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung : Tarsito. Sudjana N. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Trihendradi C. (2009). 7 Langkah mudah melakukan analisis statistic menggunakan SPSS 17. Yogyakarta : Andi. Usman M U. (2010). Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Yulita, N. (2006). Pengaruh Strategi ThinkTalk-Write Dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar Siswa. Skripsi pada FKIP Unswagati Cirebon: Tidak Diterbitkan. Gain Ternormalisasi terdapat di : Meltzer, D.E. 2008. The Relationship Between Mathematict Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretes Score. http://ojps.ajp.org/ajp/hotml [2/7/2008]. Pengolahan data kualitatif terdapat di : http://biosanjaya.blogspot.com /2012/1/rumusmenghitungting katkeberhasilan.html
MENUJU PEMBELAJARAN TRICKLE DOWN EFFECT (Tenaga Pengajar Sebagai Model Rujukan dan Penggali Potensi Peserta Didik) Arie Indra Gunawan Abstract Learning is important thing in human life, with learning human able to understand the problems that happen in life. The better learnig process is also advancing better human civilization too. Improving the quality of learning is the responsibility of all parties concerned, various programs have been implemented to improve the quality of learning, both by governments, educational institutions, as well as the initiative of the other party. However, various efforts made to improve learning outcomes is still out than expected, because there are many obstacles and many factors that affect the learning process. Besides that problems,the changes or improvements in learning process is only a temporary change in the result, which does not continue to be a refreshing new habits and to explore the potential of learners. Then how should a good learning, good learning have a widespread effect and are disseminated (trickle down effect) that can provide meaning for students, learning that guides each individual is able to learn, able to do, able to work to make himself own. Keywords : Learning, improving learning quality, trickle down effect learning PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan, dengan pembelajaran manusia mampu untuk memahami permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. Semakin baik proses pembelajaran semakin maju pula peradaban manusianya. Dengan begitu pentingnya pembelajaran seharusnya menjadi perhatian utama, didahulukan dari segala hal, karena pembelajaranlah yang menjadi landasan dalam hidup manusia. Secara khusus dalam institusi pendidikan, pembelajaran merupakan motor peggerak kegiatan dan merupakan modal utama kesuksesan suatu institusi pendidikan. Pembelajaran bersifat luas dan sangat dinamis, mudah untuk berubah mengikuti perkembangan zaman, berbagai jenis model pembelajaran silih berganti seolah saling melengkapi dan mempunyai satu tujuan pasti yakni peningkatan kualitas pembelajaran yang diikuti dengan optimalnya kemampuan peserta didik. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait, berbagai program telah 57
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, baik oleh pemerintah, institusi pendidikan, maupun atas inisiatif dari pihak lain. Institusi pendidikan, yang notabene secara langsung menangani sudah tentu mengetahui berbagai karakter dan potensi peserta didik, pemerintah juga bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tanggung jawab ini dilaksanakan dengan mengadakan penelitian-penelitian mengenai pembaharuan sistem pembelajaran. Usaha dalam meningkatkan kualitas pembelajaran harus dilakukan secara terpadu dan bersinergis satu sama lain. Namun berbagai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan hasil pembelajaran ini masih diluar dari yang diharapkan, karena terdapat berbagai kendala dan banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran. Disamping itu perubahan atau perbaikan proses pembelajaran hanya merupakan perubahan hasil yang bersifat sementara, yang tidak berlanjut menjadi kebiasaan baru yang menyegarkan dan dapat menggali potensi peserta didik. Padahal peserta didik
dituntut untuk dapat mencerna proses pembelajaran secara mendalam, bukan sekedar belajar mengingat informasi atau belajar untuk lulus saja, tapi memang seperti inilah yang sampai saat ini terjadi. Hal seperti ini sebenarnya sudah terprediksi sejak lama, maka dari itu pemerintah sebagai perumus kebijakan terus menerus melakukan pembenahan terhadap pembelajaran melalui kebijakannya, namun kebijakan ini pada dasarnya pasti terdapat kendala untuk menerapkannya di institusi karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Lalu bagaimanakah seharusnya pembelajaran yang baik, pembelajaran yang baik pada umumnya adalah pembelajaran mempunyai efek secara meluas dan tersebarluaskan (trickle down effect) yang mampu memberikan makna bagi peserta didik, pembelajaran yang membimbing setiap individu mampu untuk mengetahui, mampu berbuat, mampu bekerja untuk menjadikan dirinya sendiri. Sebenarnya pembelajaran seperti ini telah digagas oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantoro dengan falsafahnya Tutwuri handayani, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso. Falsafah yang sudah pasti kita ketahui, terdengar sederhana namun sebenarnya ini merupakan falsafah yang sangat dalam artinya. Dalam falsafah ini Guru diartikan sebagai digugu dan ditiru, maksudnya untuk mencapai pembelajaran yang tersebarluaskan tenaga pengajar harus mampu berperan sebagai penggali potensi peserta didik, memberikan informasi, disamping itu juga sebagai model rujukan bagi perilaku peserta didik. Guna menunjang proses perkembangan keberhasilan pembelajaran yang tersebarluaskan, tentu saja kita harus melihat dan membenahi beberapa faktor yang terlibat dalam proses pembelajaran itu sendiri. Berbagai faktor ini harus dievaluasi, dan segera ditindaklanjuti umpan balik yang dihasilkan dari evaluasi tersebut. Pada dasarnya faktor-faktor yang 58
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
secara langsung bersentuhan dengan proses pembelajaran adalah seperti tenaga pengajar, materi, pola interaksi, media, situasi belajar dan sistem pembelajarannya itu sendiri. Tenaga pengajar Peran Guru merupakan peran yang sangat sentral dalam pembelajaran, menurut Mintarsih Danumiharja dalam Jurnal Didaktik April 2010 halaman 201 yang berjudul “Peningkatan profesionalisme pendidikan”, guru merupakan penentu kualitas pendidikan, atau yang disebut juga dengan “Man Behind The Gun”. Peran guru saat ini tidak lagi sebagai pusat informasi tapi lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator belajar, namun dalam hal ini tetap seorang guru harus mengoptimalkan keempat kompetensi dasar yang wajib dimiliki, yakni pedagogis, profesional, kepribadian, dan sosial. Hal ini sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Uzer Usman (1995;v) yang menyatakan bahwa “ guru dituntut untuk memiliki multi peran dalam upaya membelajarkan siswa agar menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif”. Dalam hal kemampuan pedagogis, tenaga pengajar harus mampu mengajar dengan baik, mengajar yang baik adalah bagaimana memfasilitasi penyampaian informasi secara efektif kepada peserta didik, berubah perannya seorang pengajar dari yang tadinya merupakan pusat informasi menjadi fasilitator dan motivator menjadi sangat berarti karena pengajar harus mendorong dan mengarahkan peserta didik dan memfasilitasi segala sesuatunya agar belajar tesebut menjadi bermakna. Kemampuan profesional seorang pengajar juga harus terus dikembangkan dengan membuka wawasan dan mencoba menguasai ilmu pengetahuan yang relevan secara luas. Seorang pengajar harus membuka pikiran dengan segala macam perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, terbuka dengan segala informasi, karena pada hakekatnya keberhasilan pendidikan merupakan hasil
dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berpindahnya fokus pembelajaran kepada peserta didik, bukan berarti tenaga pengajar diperbolehkan menguasai materi hanya sebagian atau secara setengah-setengah, jangan sampai masih ada tenaga pengajar yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi peserta didik menuntut jawaban yang sama persis seperti yang ia jelaskan. Kepribadian seorang pengajar harus dapat dijadikan contoh rujukan bagi peserta didik, karena itu pengajar diharapkan beriman, berakhlak mulia, bersikap arif dan bijaksana, demokratis, serta berwibawa. Peserta didik akan menghargai dan menghormati pengajarnya yang mempunyai sikap baik. Apabila pengajar memiliki sifat seperti ini tentunya akan menjadi contoh bagi para peserta didik, peserta didik akan lebih mudah berperilaku baik dengan seorang model rujukannya, peserta didik bukan tidak mungkin untuk meniru sikap seorang pengajar yang dibanggakannya. Dengan seperti ini maka proses pembelajaran akan lebih mudah dan efektif. Kompetensi sosial seorang guru juga sangat menunjang bagi proses pembelajaran yang bersifat trickle down effect (tersebarluaskan). Seorang pengajar harus membuka diri dari lingkungan, bersikap adaptif terhadap perubahan, peka terhadap kondisi sosial, bergaul secara efektif, dan bisa berkomunikasi dengan baik. Komunikasi sangat diperlukan untuk menyampaikan informasi, gagasan, atau pesan yang berupa ilmu pengetahuan. Pada dasarnya tenaga pengajar mempunyai tugas untuk menyampaikan informasi, oleh karena itu pengajar dituntut mempunyai keterampilan untuk melakukan komunikasi secara baik, karena mengajar erat kaitannya dengan komunikasi tersebut.
59
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
Materi Materi ajar dirumuskan setelah tujuan ditetapkan, materi ajar harus disusun sedemikian rupa agar dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Menurut Nana Sudjana (2001;67) materi atau bahan ajar adalah isi yang diberikan kepada siswa saat berlangsungnya proses pembelajaran, melalui materi inilah peserta didik diantarkan kepada tujuan pengajaran. Dalam penyusunan materi tentu harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penyusunan materi ajar ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pengajar. Dalam menyiapkan materi, pengajar melakukan penataan dan pengemasan materi pembelajaran, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara pemberian informasi dan keilmuan kepada peserta didik. Tenaga pengajar perlu memilih materi pembelajaran berdasarkan kompetensi yang dicapai, karakteristik dan awal pengetahuan siswa, serta sarana dan prasarana yang tersedia untuk proses pembelajaran. Materi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik diusahakan untuk tidak terlalu teoritis, karena akan kurang memberikan contoh-contoh yang kontekstual kepada peserta didik. Materi ajar yang banyak contoh akan semakin mudah dicerna oleh peserta didik. Menurut panduan peningkatan kualitas pembelajaran Dikti (2005;9) materi pembelajaran yang yang berkualitas tampak dari: Sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang diharapkan. Seimbang antara waktu yang tersedia dengan kedalaman materi. Bersifat sistematis dan kontekstual. Mengakomodasi partisipasi aktif peserta didik. Memberikan manfaat. Memenuhi kriteria filosofis, profesional, psikopedagogis, dan praktis.
Pola Interaksi Nana Sudjana (2001;31) menyatakan : “Guna mencapai interaksi belajar mengajar sudah tentu perlu adanya komunikasi yang jelas antara pengajar dengan peserta didik, sehingga terpadunya dua kegiatan belajar dan mengajar yang berdaya guna dalam mencapai tujuan pembelajaran”. Komunikasi berperan sebagai pemimpin belajar, pembimbing belajar atau fasilitator belajar, pengajar dapat men-setup kegunaan dari komunikasi dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang didalamnya terdapat interaksi yang intensif dan efektif antara komunikan dengan komunikator. Pola interaksi ini bisa berupa pengajar dengan peserta didik, maupun peserta didik dengan peserta didik lainnya. Seorang pengajar diharapkan untuk mampu berinteraksi dengan peserta didik. Interaksi ini dilakukan untuk membuat peserta didik termotivasi, aktif, dan kreatif. Peserta didik harus termotivasi dengan menyadari bahwa belajar adalah alat untuk maju. Dalam interaksi yang baik peserta didik selalu dilibatkan dalam berbagai pengkajian, latihan, atau penghayatan suatu situasi, sehingga mereka merasa bahwa merekalah yang belajar. Hubungan yang akrab antara pengajar dan peserta didik akan sangat membantu meningkatkan motivasi peserta didik. Media Media pembelajaran merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran. Pemanfaatan media pembelajaran merupakan upaya kreatif dan sistematis untuk menciptakan pengalaman yang dapat membelajarkan peserta didik. Pemanfaatan media pembelajaran yang optimal perlu didasarkan kepada kebermaknaan dan nilai tambah yang dapat diberikan kepada mahasiswa melalui suatu pengalaman belajar. Media pembelajaran dapat membantu mempermudah proses pembelajaran, memperjelas materi, dan 60
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
memfasilitasi interaksi dengan peserta didik. Untuk mencapai pembelajaran yang diharapkan, pemilihan media harus disesuaikan dengan kompetensi yang akan dicapai, karakteristik bidang ilmu, kondisi pengajar dan peserta didik, akses peserta didik, biaya, proses pembelajaran yang akan dilakukan. Beberapa media pembelajaran dapat digunakan sekaligus dalam proses pembelajaran sehingga saling memperkaya, serta efektifitas dan efisiensinya menjadi meningkat. Pemanfaatan media pembelajaran perlu dioptimalkan tidak terbatas hanya sebagai alat penyajian informasi keilmuan dan alat bantu pengumpulan informasi, tapi juga terfokus pada alat bantu untuk berinteraksi, memproduksi sesuatu, dan berkomunikasi, karena memang media dapat mempermudah peserta didik belajar namun sangatlah tidak mungkin mahasiswa mampu mencapai kompetensi dengan hanya diberikan setumpukbuku atau jurnal ilmiah untuk dibaca. Kompetensi hanya dapat dicapai melalui beragam interaksi antara peserta didik dengan pendidiknya, peserta didik dengan rekannya, serta dengan informasi keilmuan berbagai media. Untuk dapat memanfaatkan media pembelajaran secara optimal tentunya seorang pendidik harus mampu memiliki keterampilan untuk mengolah penggunaan media agar lebih bermanfaat dan bermakna. Peserta didik dapat mengembangkan keterampilannya sendiri ataupun dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang biasanya diadakan oleh LPTK, pemerintah auau institusi lain. Keterampilan pengajar dalam hal ini sangat penting mengingat peran media yang semakin meningkat baik dalam kehidupan akademik. Situasi Belajar Situasi belajar atau sering disebut dengan iklim kelas, mengacu kepada suasana yang terjadi ketika pembelajaran berlangsung, dan lebih luas dari sekedar
interaksi pengajar dengan peserta didik. Belajar akan berlangsung secara efektif dalam situasi kondusif. Artinya, kelas, ruangan, atau tempat belajar harus bersih, nyaman, tenang, serta penuh rasa saling mempercayai, sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang belajar. Dalam kondisi seperti ini peserta didik akan tertantang untuk bertanya dan mengemukakan pendapat serta berani menanggapi sesuatu karena mereka merasa aman dan nyaman sehingga tidak takut berbuat salah. Keterlibatan peserta didik akan sangat tinggi karena memang difasilitasi dengan baik oleh pengajar. Untuk membangun situasi kelas yang digambarkan diatas dilakukan berbagai hal, namun keberhasilannya akan sangat tergantung kepada seberapa banyak faktor yang mempengaruhinya. Terdapat beberapa alternatif untuk menciptakan iklim belajar yang menyenangkan, seperti contohnya adalah pengajar dapat berinisiatif merancang pembelajaran yang kreatif dan melaksanakan pembelajaran yang menarik yang berbeda dari biasanya atau, dalam pembelajaran diselingi oleh games, humor, dll sebagai ice breaker yang dapat menghilangkan kejenuhan peserta didik. Disamping itu juga sebaiknya p engajar selalu menyiapkan tugas, atau pertanyaan pelacak yang bersifat produktif yang dapat menantang peserta didik untuk mengkaji pertanyaan lebih lanjut seperti “apa yang dapat anda lakukan dengan benda ini?”; ”Apa manfaat dari yang anda sebutkan?”; “mengapa anda berpendapat seperti itu?”. Pastinya masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif tersebut, tapi harus ditekankan bahwa setiap hal yang dilakukan tersebut adalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang baik dan bersifat tersebarluaskan. Sistem Pembelajaran Pada dasarnya setiap sistem pembelajaran yang diterapkan mempunyai tujuan akhir yang sama yakni menuju 61
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
pembelajaran yang semakin baik. Upaya perbaikan dalam pembelajaran menuntut agar pelaksana pendidikan dan proses pendidikan bersifat terbuka atau transparan bagi civitas akademikanya maupun stakeholdernya. Peningkatan kualitas pembelajaran ini merupakan tanggung jawab tenaga pengajar dan institusi pendidikan, dimana tenaga pengajarlah yang secara langsung memberikan pelajaran kepada peserta didik, apakah pembelajaran itu menarik, bermakna, membosankan, menjenuhkan, itu semua bergantung kepada kompetensi profesional seorang pengajar. Namun disamping itu institusi pendidikan juga mempunyai tanggung jawab yang lebih besar lagi yaitu bagai mana menciptakan tenaga pengajar yang mempunyai kompetensi untuk itu. Berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi serta kebutuhan manusia telah mendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam sistem pembelajaran. Perubahan sistem pembelajaran ini telah menciptakan tantangan bagi institusi pendidikan dan tenaga pengajar untuk melaksanakannya. Maka dari itu harus ada koordinasi yang terpadu antara institusi dengan tenaga pengajar, agar segala upaya yang dilakukan dapat mengarah kepada peningkatan kualitas pembelajarna secara menyeluruh. Menurut pedoman peningkatan kualitas pembelajaran (2005;35) terdapat tiga kendala yang dihadapi Dosen dan LPTK dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, yaitu: a. Kebijakan dan strategi diseminasi. Perubahan dalam pembelajaran dapat menjadi efektif jika diperkenalkan secara strategis, memiliki keuntungan relatif bagi pelaksana, serta didukung oleh berbagai pihak (termasuk dukungan kebijakan). Untuk itu, upaya perubahan hendaknya tidak menjadi inisiatif sporadis dari masing-masing pengajar, atau masing-masing jurusan, tapi merupakan upaya bersama yang bersifat institusional.
b. Strategi penyedian sarana dan prasarana. Perubahan pembelajaran juga mempersyaratkan saran dan prasarana yang berbeda dari pembelajaran sebelumnya. Beragam sumber belajar di lingkungan institusi dan keleluasaan ruang gerak peserta didik untuk berinteraksi diperlukan untuk mengakomodir otonomi dan partisipasi aktif peserta didik. Dengan demikian institusi memiliki kewajiban untuk menyediakan beragam sumber belajar, atau paling tidak menyediakan akses untuk beragam sumber belajar tersebut. c. Monitoring, evaluasi, dan kendali mutu. Pemantauan perubahan pembelajaran mempersyaratkan institusi memiliki mekanisme evaluasi, kendali mutu serta reward and sanction yang jelas dan berlaku umum bagi civitas akademika di institusi tersebut, baik dalam tataran makro yaitu institusinya maupun pada tataran mikro yaitu dosen mata kuliah.
perubahan ini dirasakan hanya membawa perubaha yang sifatnya sedikit dan hanya sesaat. Pada dasarnya setiap pembelajaran bukanlah tidak cocok atau tidak bagus, semua pembelajaran mempunyai tujuan akhir yang sama yakni untuk membelajarkan peserta didik. Namun disamping berbagai sistem dan model pembelajaran yang terpenting adalah bagai mana pembelajaran ini bisa memberikan pengaruh yang baik dan tersebarluaskan. Bagaimana caranya? Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki kembali berbagai variabel yang terkait dengan pembelajaran. Diperbaiki dan dioptimalkan.
SIMPULAN Pembelajaran merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Siapapun harus mampu belajar untuk menjalani hidup pada umumnya. Pembelajaran formal dirasakan sebagai penunjang kemajuan peradaban manusia, maka dari itu sudah seharusnya pembelajaran ini mengarah kepada peningkatan-peningkatan hasil pembelajaran, upaya kesana memang terus dilakukan dengan salah satunya adalah terus mengembangkan sistem dan model pembelajaran. Namun perubahan-
Pidarta Made. (2009). Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
62
Edunomic Volume 1 / Januari 2013
Daftar Pustaka Sadiman Arief, dkk. (2011). Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers Danim Sudarwan. (2010). Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta Hasibuan Lias. (2010). Kurikulum & Pemikiran Pendidikan. Jakarta: GP Press
Usman Moh.Uzer. (2006).Menjadi Guru Profesional.Bandung: Remaja Rosdakarya Sudjana Nana. (2001). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung:Sinar Baru Algesindo DEPDIKNAS. (2005). Peningkatan Kualitas Pendidikan. Wahana Didaktika Junal FKIP Unswagati Vol.1 No.1 Oktober 2008