Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang
Penulis RENDRA SETYADIHARJA, S.Sos., M.I.P. YOAN SUTRISNA NUGRAHA
Editor Drs. H. TAMRIN DAHLAN, M.Si. LIA OKTAVIA, S.Kom
Badan Perpustakaan, Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang 2016
i
KATA PENGANTAR Tim Penulis
P
uji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan dan rahmatNya, kami Tim Penulis Buku Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang dapat menyelesaikan tugas yang sebagaimana diamanahkan. Sholawat serta salam kami berikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, semoga limpahan syafaat diberikan kepada kita semua. Tim Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Badan Perpustakaan, Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang, Lembaga Adat Melayu Kota Tanjungpinang, para informan dan Narasumber, Tokoh Masyarakat, seluruh Kelurahan se Kota Tanjungpinang, guru-guru Sekolah Menengah Pertama dan Atas se Kota Tanjungpinang yang dalam penulisan buku ini banyak memberikan informasi, bantuan baik moral dan spritual sehingga Tim Penulis mendapatkan banyak informasi yang kontruktif untuk dapat dituliskan dalam buku ini. Buku Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang ini merupakan sebuah buku yang menceritakan asal usul nama Kampung/Tempat/Jalan yang ada di Kota Tanjungpinang. Dengan adanya buku ini, harapan Tim Penulis adalah sebuah media pembelajaran dan catatan sejarah yang akan berguna bagi masyarakat Kota Tanjungpinang dan juga masyarakat lainnya yang ingin mengenal Kota Tanjungpinang, dari sisi perjalanan sejarah nama-nama Kampung/ Tempat/Jalan yang akan dijadikan pengetahuan saat ini dan juga masa depan. Dengan adanya buku ini juga, nama-nama Kampung/ Tempat/Jalan yang tidak diketahui masyarakat dapat kembali men-
ii
jadi suatu pengetahuan yang terungkap untuk diketahui. Selain itu akan menjadi pengetahuan bagi generasi muda di masa mendatang, sehingga akan menciptakan sebuah kecintaan yang mendalam terhadap Kota Tanjungpinang Kota Gurindam Negeri Pantun ini. Di dalam buku ini, mungkin belum semua Kampung/Tempat/ Jalan yang terindentifikasi, nama Kampung/Tempat/Jalan yang dijelaskan dalam buku ini hanya merupakan wilayah yang sering dikunjungi masyarakat atau Kampung/Tempat/Jalan yang ada kecenderungan hilang di ingatan masyarakat, sehingga kembali dimunculkan di buku ini. Mungkin buku ini bukan buku terakhir yang berisikan tentang Toponimi di Kota Tanjungpinang. Saran dan masukan serta tambahan informasi yang konstruktif akan selalu Tim Penulis terima demi kesempuranaan buku serupa yang mungkin akan muncul di kemudian hari atau perbaikan bagi buku ini sendiri. Buku ini juga akan menghasilkan sebuah rekomendasi bagi Pemerintah Kota Tanjungpinang, untuk tetap mempertahankan nama-nama Kampung/Tempat/Jalan dengan nama yang sudah dikenal masyarakat zaman berzaman, dan jangan mengubah dengan nama-nama yang baru, kemudian, memberikan nama Kampung/ Tempat/Jalan dengan nama sejarah atau tokoh sejarah yang berjasa bagi Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang, November 2016 TIM PENULIS RENDRA SETYADIHARJA, S.Sos.,M.I.P YOAN SUTRISNA NUGRAHA
iii
KATA SAMBUTAN
Kepala Badan Perpustakaan, Arsip, dan Museum Kota Tanjungpinang Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
P
uji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat dan hidayahnya, Badan Perpustakaan, Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang dapat memfasilitasi penerbitan buku Asal Usul Nama Kampung / Jalan / Tempat di Kota Tanjungpinang. Adapun tujuan penulisan Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang ini adalah untuk mengetahui awal perkembangan budaya, cikal bakalnya dalam masyarakat . Kejadian atau peristiwa masa lalu daerah dapat ditelusuri dari asal usul nama tempat tersebut atau disebut dengan Toponimi.
Upaya penulisan Toponimi diharapkan menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat Kota Tanjungpinang untuk mengetahui asal usul nama daerahnya. Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya buku Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang ini.
iv
Semoga ini bermanfaat terutama dalam upaya menumbuh kembangkan kesadaran sejarah masyarakat Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang, November 2016 Kepala Badan Perpustakaan, Arsip, dan Museum Kota Tanjungpinang
Drs. MARZUL HENDRI
v
KATA SAMBUTAN Walikota Tanjungpinang Bismillahirrahmannirrahim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
S
egala puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita. Semoga kita senantiasa memperolah petunjuk dan rahmat kesehatan dari-Nya sehingga dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kita masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Salawat dan salam kita tujukan kepada Rasulullah S.A.W. yang telah mewariskan kita dengan kecemerlangan ilmu pengetahuan dan kegemilangan tamadun. Semoga dengan senantiasa bersalawat kepada Nabi Besar Muhammad S.A.W kita akan memperoleh rahmat ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan akhlaq al-karimah sebagai pedoman untuk melaksanakan tugas dan kewajiban kita sebagai makhluk Allah di dunia ini. Tanjungpinang memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah Melayu. Peninggalan sejarah di Pulau Penyengat dan beberapa peninggalan sejarah yang ada di Tanjungpinang membuktikan hal tersebut. Kawasan Sungai Carang, Senggarang, Pulau Biram Dewa
vi
merupakan bukti sejarah yang dapat dilihat sampai hari ni. Peninggalan dan situs bangunan sejarah yang ada di Kota Tanjungpinang merupakan bukti yang tidak dapat dipungkiri bahwa Tanjungpinang sangat memiliki peran penting sejak zaman kemaharajaan Melayu, zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, era kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini. Oleh karena itu tidak salah kiranya, kalau Tanjungpinang dapat disebut sebagai kota sejarah. Disamping itu Tanjungpinang juga dikenal sebagai kota pujangga, karena di kota ini pula lah banyak melahirkan karya yang dipelopori tokoh sentral Raja Ali Haji. Buku Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang, merupakan salah satu referensi untuk menjelaskan daerah-daerah atau tempat-tempat sejarah yang patut diketahui oleh generasi sekarang ini agar masyarakat tidak melupakan sejarah masa lalu untuk membangun daerah Kota Tanjungpinang di masa yang akan datang. Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada penyusun buku ini, semoga manfaatnya bagi kita semua.
Tanjungpinang, November 2016 Walikota Tanjungpinang H. LIS DARMANSYAH, SH
vii
Daftar Isi
Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang
Halaman Judul
i
Kata Pengantar Penulis
ii
Kata Sambutan Kepala Badan Perpustakaan Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang
iv
Kata Sambutan Walikota Tanjungpinang
vi
Daftar Isi
viii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Lintas Sejarah Tanjungpinang
2
1.3 Luas dan Batas Wilayah Kota Tanjungpinang
10
1.4 Potensi Kota Tanjungpinang
13
a. Potensi Kepurbakalaan dan Sejarah
13
b. Potensi, Bahasa dan Tradisi
14
c. Potensi Ekonomi dan Kepariwisataan
15
1.5 Tujuan dan Sasaran Penulisan
16
1.6 Metodologi Penulisan
17
BAB II TOPONIMI DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
19
2.1 SENARAI NAMA TEMPAT DAN KAMPUNG DI KOTA TANJUNGPINANG
19
viii
1. TANJUNGPINANG
19
2. PENYENGAT
21
3. KAMPUNG JAMBAT
23
4. KAMPUNG BULANG
24
5. KAMPUNG DATOK
25
6. KAMPUNG LADI
27
7. KAMPUNG BALIK KOTA / KAMPUNG TENGAH
28
8. KAMPUNG BUGIS
29
9. BATU KUCING
34
10. KEMBOJA
37
11. GUDANG MINYAK
40
12. KAMPUNG BUKIT / BUKIT CERMIN
42
13. POTONG LEMBU
45
14. KAMPUNG TAMBAK
47
15. BAKAR BATU
50
16. TELUK KERITING / BATU HITAM
51
17. BUKIT SEMPRONG
54
18. KAMPUNG JAWA .
56
19. TANJUNG UNGGAT .
57
20. KAMPUNG BARU
59
21. KAMPUNG KOLAM
60
22. PANTAI IMPIAN
61
ix
Daftar Isi
Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang 23. PANCUR
62
24. TANJUNG BUNTUNG
63
25. GUDANG ARANG
64
2.2 SENARAI NAMA JALAN DI KOTA TANJUNGPINANG DAN ASAL USUL SEJARAHNYA
65
1) JALAN RAJA HAJI FISABILILLAH
67
2) JALAN RAJA ALI HAJI
70
3) JALAN SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAMSYAH
72
4) JALAN S.M AMIN
72
5) JALAN TUGU PAHLAWAN
73
6) JALAN SULTAN MAHMUD
74
7) JALAN ENGKU PUTERI
75
8) JALAN SULTAN ABDUL RAHMAN
77
9) JALAN DAENG MAREWAH
78
10) JALAN DAENG CELAK .
78
11) JALAN SULTAN IBRAHIM SYAH
79
x
BAB III PENUTUP
80
3.1 Kesimpulan
80
3.2 Rekomendasi
81
DAFTAR PUSTAKA
82
DAFTAR NARASUMBER
85
TENTANG PENULIS
89
TENTANG EDITOR
94
xi
BAB I
PENDAHULUAN 1.1
T
Latar Belakang
anjungpinang adalah Kota Otonom yang memiliki sejarah panjang. Sebagai kota sejarah, kota budaya, kota gurindam, kota pantun, dan kota syair, Tanjungpinang memiliki kekhasannya sendiri. Oleh karena itulah maka Tanjungpinang dapat dikatakan sebagai sebuah negeri yang sangat kental dengan budayanya. Sebagai negeri induk dan pusat pembinaan serta pengembangan Bahasa Indonesia, Tanjungpinang telah memberikan banyak inspirasi bagi kalangan budayawan, sastrawan, dan seniman untuk menempatkan kota ini sebagai sebuah kota yang unik dan inspiratif. Sebagai sebuah negeri, Tanjungpinang telah tercatat dalam sejarah dengan statusnya yang unik dan beragam. Tanjungpinang telah tercatat dalam sejarah sebagai sebuah daerah pertahanan pada saat melawan dan mengusir penjajahan Portugis, Inggris, dan Belanda. Di sisi lain, Tanjungpinang juga sebagai pusat arus lalu lintas perdagangan internasional. Pada masa Kemaharajaan Melayu, Tanjungpinang tercatat sebagai sebuah ibu negeri pemerintahan dan kesultanan. Kemudian Tanjungpinang juga tercatat sebagai sebuah ibu kota Provinsi Riau, ibukota Kabupaten Kepulauan Riau, Kota Administratif, Kota Otonom, dan terakhir sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah masa lalu yang amat panjang, tentunya Kota Tanjungpinang memiliki banyak tempat
1
atau daerah yang memiliki sejarahnya sendiri. Termasuk di dalamnya juga nama-nama jalan. Oleh karena itu di dalam buku ini, akan disenaraikan beberapa tempat dan juga nama jalan yang ada hubungannya dengan sejarah masa silam. 1.2 Lintas Sejarah Tanjungpinang Tanjungpinang sudah sangat dikenal sejak beberapa abad silam. Hal ini disebabkan karena posisi Tanjungpinang yang terletak di Pulau Bintan memang sangat strategis. Sebagai pusat lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka telah memberikan warna tersendiri dan sangat menguntungkan bagi Tanjungpinang. Sebagai sebuah daerah yang memberikan mata air bagi perdagangan internasional tentunya Tanjungpinang adalah sebuah daerah transit yang diperhitungkan. Dengan melihat posisi demikian, maka Tanjungpinang sangat dikenal dan terkenal sejak zaman dahulu. Sejak abad XI Tanjungpinang merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan. Waktu itu pusat pemerintahan ada di Bukit Batu dengan rajanya yang terkenal yaitu Megat Iskandarsyah. Pulau Bintan yang merupakan gugusan pulau terbesar menjadikan pulau ini sebagai tempat persinggahan yang sangat strategis. Pulau Bintan dijadikan sebagai bendahara dari Kerajaan Malaka sampai masa Kerajaan Melayu Johor Riau (1528-1722). Selanjutnya pada tahun 1722-1911 kedudukan Bintan dipindahkan ke Kota Lama sebagai pusat Kerajaan Melayu Johor-Riau dan Daik Lingga. Pusat Kerajaan Melayu berpindah-pindah di pesisir Semenanjung Melayu (Johor), Hulu Sungai Riau di Bintan, Daik Lingga dan Pulau Penyengat. Adapun Sultan yang memerintah Kerajaan Melayu Riau yang berpusat di Johor atau dapat dikatakan Periode Johor (1511-1718)
2
antara lain adalah: 1. Sultan Mahmud Syah I (1511-1528) 2. Sultan Alaudin Riayat Syah II (1528-1564) 3. Sultan Muzafarsyah (1564-1570) 4. Sultan Abdul Jalil Syah I (1570-1580) 5. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1580-1597) 6. Sultan Alaudin Riayat Syah III (1597-1615) 7. Sultan Abdullah Muayat Syah (1615-1623) 8. Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) 9. Sultan Ibrahimsyah (1677-1685) 10. Sultan Sultan Mahmud Syah II (1685-1699) 11. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699-1718). Pada tahun 1718 pusat pemerintahan pindah ke Hulu Riau Pulau Bintan atau dikenal dengan Periode Hulu Riau (1718-1784) dengan nama Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Adapun Sultan yang memerintah Kerajaan Melayu Riau Lingga yang berpusat di Hulu Riau antara lain adalah: 1. Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah (1718-1722) 2. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760) 3. Sultan Abdul Jalil Muazamsyah (1760-1761) 4. Sultan Ahmad Riayat Syah (1761)
3
5. Sultan Mahmud Syah III (1761-1784). Selanjutnya pada tahun 1787 pusat pemerintahan dipindahkan dari Hulu Riau ke Daik Lingga atau dapat disebut Periode Daik Lingga. Pemindahalan dari Hulu Riau ke Daik Lingga disebabkan oleh kekhawatiran Sultan Mahmudsyah III terhadap serangan balik pihak Belanda karena kekalahannya di Tempasok Kalimantan. Sultan yang memerintah Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang berpusat di Daik Lingga adalah: 1. Sultan Mahmudsyah III (1784-1812) 2. Sultan Abdul Rahman (1812-1832) 3. Sultan Muhammad Syah (1832-1834) 4. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1834-1857) 5. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) 6. Sultan Abdulrahman Muazamsyah (1883-1911). Selanjutnya Periode Pulau Penyengat. Pada era ini Sultan tetap memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Sultan atau Yang Dipertuan Besar tetapi ada kepala pemerintahan yang dikenal dengan Yang Dipertuan Muda. Periode Pulau Penyengat atau Periode Yang Dipertuan Muda ditandai dengan masuknya pengaruh Bugis di Kerajaan Melayu-Riau. Hal ini ditandai dengan adanya pengangkatan Yang Dipertuan Muda Riau I yaitu Daeng Marewah. Pengangkatan Bangsawan Bugis ini disebabkan karena Bangsawan Bugis ikut membantu Tengku Sulaiman dalam usaha merebut kekuasaan dari Sultan Kerajaan Melayu Johor-Riau yaitu Raja Kecil. Setelah Tengku Sulaiman menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, maka beliau memberikan peran Bangsawan Bugis menjadi Yang Dipertuan Muda Riau dengan mengangkat Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan Muda Riau
4
I pada tahun 1722. Adapun pemangku Yang Dipertuan Muda Riau antara lain adalah: 1. Daeng Marewah (1722-1728)
(Marhum Mangkat Sungai Baru)
2. Daeng Celak (Marhum Mangkat di Kota) (1728-1745) 3. Daeng Kamboja (Marhum Janggut) (1745-1777) 4. Raja Haji Fisabilillah (Marhum Teluk Ketapang-Panglima Api) (1777-1784) 5. Raja Ali (Marhum Pulau Bayan) (1784-1806) 6. Raja Jakfar (Marhum Kampung Ladi) (1806-1832) 7. Raja Abdurrahman (Marhum Masjid) (1832-1844) 8. Raja Ali (Marhum Kantor) (1844-1857) 9. Raja Abdullah (Marhum Mursyid) (1857-1858) 10. Raja Muhamad Yusuf (Marhum Ahmadi) (1858-1899). Yang Dipertuan Muda Riau I, Daeng Marewah hingga Raja Ali, pusat pemerintahan masih di Hulu Riau, Namun sejak Raja Jakfar menjadi Yang Dipertuan Muda Riau, beliau memindahkan pusat pemerintahan di Pulau Penyengat. Sejak Belanda mulai masuk dalam kancah politiknya di Kerajaan Melayu-Riau, maka mulai tahun 1857 keadaan pemerintahan sudah mulai tidak aman. Dan pada tahun 1912 Belanda benar-benar menghapus nama Kerajaan Melayu Riau Lingga dari politik pemerintahannya.
5
Tanjungpinang mulai dikenal ketika Laksmana Tun Abdul Jamil atas perintah Sultan Abdul Jalil Syah untuk membuka daerah baru di Sungai Carang Hulu Riau pada tahun 1673. Sebagai daerah penyangga sebuah negeri baru tentunya Tanjungpinang ikut berkembang. Apalagi sejak terjadinya perang Riau antara pasukan Raja Haji Fisabilillah dengan pihak Belanda tahun 1782-1784 yang dimenangkan oleh Pasukan Raja Haji Fisabilillah di daerah Pulau Paku depan Tanjungpinang. Peristiwa heroik ini terjadi pada tanggal 6 Januari 1784 ditandai dengan tenggelamnya kapal perang Belanda Malaka’s Walvaren yang menewaskan lebih dari 500 tentara Belanda dan tewasnya komandan eskader Belanda Hakim Agung Arnoldus Lemker. Tanggal 6 Januari 1784 inilah oleh Pemerintah Kota Administratif Tanjungpinang pada waktu dijadikan sebagai tonggak dan titik sejarah yang dijadikan sebagai hari jadi Kota Tanjungpinang yang sampai saat ini selalu diperingati dan dirayakan oleh pemerintah dan masyarakat Tanjungpinang. Kemenangan Raja Haji Fisabilillah di depan Tanjung Buntung Tanjungpinang (sekarang Melayu Square dan Anjung Cahaya) menjadikan Tanjungpinang sangat berarti dan penting bagi Belanda. Belanda mulai menyadari bahwa untuk menguasai Riau umumnya dan Pulau Bintan khususnya harus menguasa daerah perairan Tanjungpinang. Wafatnya Raja Haji Fisabilillah di Teluk Ketapang Malaka dan kalahnya pihak Riau pada perang balasan Belanda di Malaka membuat Belanda mengatur strategi di Tanjungpinang dengan membuat benteng dan pusat perdagangan. Penguasaan kembali Tanjungpinang oleh Belanda, menjadikan Belanda semakin kuat di Selat Malaka. Di sinilah Belanda mulai mengetahui bahwa untuk menguasai perdagangan di Selat Malaka, maka harus memperkuat posisinya di Tanjungpinang sebagai pusat pertahanan dan pusat perdagangan.
6
Belanda mulai membangun fasilitas di Tanjungpinang seperti Kompleks Gubernemen (dibangun 1822, sekarang Gedung Daerah), sekolah (HIS-Holand Indiche School dibangun 1918 – SDN 001 Tanjungpinang Kota sekarang Gedung Museum), Sejak saat itu Tanjungpinang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Belanda dengan dibentuknya Residen Belanda yang berpusat di Tanjungpinang. Bukti sejarah bahwa Belanda menjadikan Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahannya dengan adanya beberapa bangunan yang sampai saat ini masih ada di Tanjungpinang. Adapun bangunan tersebut antara lain adalah: (1) Komplek Makam Kerkhoff Belanda (1897-1962), (2) Rumah Jil Belanda (dibangun 1867, kini Rutan Klas II Tanjungpinang), (3) Benteng Prince Hendrik (diresmikan 1825, komplek RSAL Tanjungpinang,(4) GBIP Bethel (dibangun 1883, gereja ayam), (5) Gedung Pengadilan (dibangun 1930), (6) Gedung kediaman Pejabat Belanda (dibangun 1931 kini Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang), (7) Bioskop Belanda (dibangun 1928—Sekolah Menengah Chung Hwa Riau— kini SD SMP Bintan). Pada saat yang hampir bersamaan Belanda mulai melakukan pendekatan dan kerjasama dengan orang-orang Cina yang ada di Tanjungpinang dan masuknya pedagang-pedagang India yang beragama Islam di Tanjungpinang. Eksistensi orang-orang Cina di Tanjungpinang dapat dibuktikan dengan adanya bangunan kelenteng yang sekarang bernama Vihara Bahtera Sasana. Awalnya klenteng ini bernama Tao Sa Kong yang dibangun pada tahun 1811 oleh Kapitan Cina Chiao Cheen. Masuknya pedagang India di Tanjungpinang yang notebene-nya adalah beragama Islam dibuktikan dengan berdirinya Mesjid Keling (sekarang Mesjid Agung Al-Hikmah Tanjungpinang). Pada masa ini Tanjungpinang benar-benar telah menjadi sebagai sebuah kota perdagangan dan pusat pemerintahan Residen Belanda. Pada zaman penjajahan Jepang, Tanjungpinang tetap dijadikan
7
sebagai pusat pemerintahan Jepang di Kepulauan Riau. Namun, karena masa penjajahan Jepang sangat singkat (3,5 tahun) sehingga tidak dapat membangun fasilitas dan infrastruktur di Tanjungpinang. Jepang hanya melakukan mobilisasi para pemuda untuk dijadikan sebagai tentara yang dapat membantu pasukannya melawan sekutu. Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Tanjungpinang tetap menunjukkan sebagai sebuah kota yang sangat penting. Pada tahun 1947 Gubernur Jenderal Belanda menetapkan Kepulauan Riau sebagai sebuah daerah yang berdiri sendiri terpisah dengan Keresidenan Riau di Pekanbaru. Keresidenan Kepulauan Riau yang dibentuk oleh Belanda tetap berpusat di Tanjungpinang. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Kepulauan Riau dijadikan sebagai sebuah kabupaten. Tanjungpinang memiliki dua pusat pemerintahan yaitu sebagai ibukota Keresiden dan sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Perjalanan sejarah berikutnya adalah dengan adanya pemekaran Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau berdasarkan UU Nomor 19/1957 ditetapkan Tanjungpinang sebagai ibukota Provinsi Riau. Namun, pada tahun 1960 ibukota Provinsi Riau dipindahkan ke Pekanbaru dan Tanjungpinang kembali sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 tahun 1983, tanggal 18 Oktober 1983 ditetapkan dan resminya berdiri Kota Administratif (Kotif) Tanjungpinang. Kotif Tanjungpinang terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur dengan enam kelurahan dan empat desa. Kecamatan Tanjungpinang Barat terdiri dari Kelurahan Tanjungpinang Kota, Kelurahan Tanjungpinang Barat, Kelurahan Kamboja, Desa Penyengat, dan Desa Kampung Bugis. Kecamatan
8
Tanjungpinang Timur terdiri dari Kelurahan Tanjungpinang Timur, Kelurahan Kampung Baru, Kelurahan Kota Piring, Desa Dompak, dan Desa Batu IX. Peresmian Kota Administratif Tanjungpinang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam pada tanggal 26 Desember 1983. Sebagai Wali Kotif Tanjungpinang berturut-turut adalah sebagai berikut : 1. Asmuni Hasymi, S.H. (1983 – 1985) 2. Drs. H. Muhammad Sani (1985 – 1993) 3. Drs. H. Andi Rivai Sireger (1993 – 1996) 4. Dra. H. Suryatati A. Manan (1996 – 2001) Selanjutnya era reformasi bergerak cepat ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan muncul era Reformasi. Era Reformasi yang salah satu cirinya adalah otonomi daerah. Demikian juga halnya dengan Kota Tanjungpinang. Otonomi daerah telah mendedahkan bagi pemerintah Kota Administratif Tanjungpinang untuk meningkatkan statusnya menjadi kota otonom. Pada tanggal 28 Mei 2001, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Otonom Tanjungpinang. Di dalam UU Nomor 5/2001 tersebut disebukan juga sebagai pejabat walikota Tanjungpinang adalah Dra. Hj. Suryatati A. Manan. Namun karena terjadi pergantian pimpinan nasional dari Gus Dur ke Megawati Sukarnoputri, maka berpengaruh juga bagi kelanjutan pelaksanaan UU Nomor 5 tahun 2001. Baru pada tanggal 17 Oktober 2001, Dra, Hj, Suryatati A. Manan dilantik menjadi Pjs. Walikota Tanjungpinang dan secara resmi terbentuklah Kota Otonom Tanjungpinang. Kemudian setelah pembentukan DPRD Kota Tanjungpinang
9
dengan Ketua DPRD yang pertama terpilih H. Lis Darmansyah, maka dilakukan pemilihan Walikota Tanjungpinang. Sampai saat ini telah terjadi beberapa pergantian Walikota Tanjungpinang, yaitu Dra. Hj. Suryatati A. Manan sebagai Walikota dan Drs. H. Wan Izhar sebagai Wakil Walikota (2002-2007), kemudian pasangan Dra. Hj. Suryatati A. Manan dan Drs. H. Edwar Mushalli sebagai walikota dan wakil Walikota periode 2007-2012. Periode berikutnya adalah H. Lis Darmansyah, S.H. sebagai walikota yang berpasangan dengan H. Sahrul, S.Pd. sebagai wakil walikota Tanjungpinang (20132018). Pada tataran sejarah berikutnya, tepatnya 1 Juli 2004 Kota Tanjungpinang telah menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah ibukota Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. 1.3 Luas dan Batas Wilayah Kota Tanjungpinang Kota Tanjungpinang saat ini memiliki tiga pusat pemerintahan. Sebagai ibukota Tanjungpinang, sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau, dan sebagai ibukota Kabupaten Bintan (walaupun Kabupaten Bintan sudah memiliki ibukota sendiri di Bintan Buyu tetapi sebagian masih ada kantor pemerintahannya di Tanjungpinang). Secara geografis wilayah Kota Tanjungpinang berada pada posisi 0 derajat 50’ 54,62 Lintang Utara (LU) dan 104 derajat 20’ 23,40” sampai 104 derajat 32’ 49,9” Bujur Timur (BT) dan berada pada elevasi lebih kurang 70 meter di atas permukaan air laut (mean sea level). Pulau yang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang sebagian berada di Pulau Bintan dan pulau lainnya seperti Pulau Dompak, Pulau Penyengat, Pulau Terkulai, Pulau Los, Pulau Basing, Pulau Sekatap, dan Pulau Bayan.
10
Tanjungpinang yang berada di Pulau Bintan dan berbatasan darat dengan Kabupaten Bintan serta berdekatan dengan Kota Batam, Negara Singapura, Negeri Johor Baru Malaysia menjadikan Kota Tanjungpinang semakin eksis baik sebagai pusat pemerintahan maupun sebagai pusat perdagangan. Kota Tanjungpinang terdiri atas daratan dan sungai yang dikelilingi pantai serta sebagian lautan. Kota Tanjungpinang hanya memiliki luas daratan 131,54 km persegi atau sekitar 13,154 hektar (data terbaru dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota tahun 2016 seluas 14.696 hektar) atau (55 %) dan luas lautan adalah 107,96 kilometer persegi atau sekitar 10,796 hektar (45 %). Total luas wilayah Kota Tanjungpinang adalah 239,5 kilometer persegi. Kota Tanjungpinang berbatas dengan daerah lainnya. Batas-batas wilayah Kota Tanjungpinang adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Teluk Bintan Kecamatan Teluk Bintan
Kabupaten Bintan
Sebelah Selatan : Selat Karas, kelurahan Mantang Baru Kabupaten Bintan Sebelah Timur : Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Sebelah Barat : Selat Karas, Kelurahan Pangkil Kecamatan Teluk Bintan
Kabupaten Bintan.
Secara administratif Kota Tanjungpinang terdiri dari empat kecamatan dan delapan belas kelurahan. Pembagian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
11
Tabel 1.1 Pembagian Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tanjungpinang No
Kecamatan dan Kelurahan
Luas Wilayah (hektar/ha)
I 1
Kecamatan Tanjungpinang Barat Kelurahan Tanjungpinang Barat
460 ha 161 ha
2 3 4 II 1 2 3 4 III 1 2 3 4 5 IV 1 2 3 4 5
Kelurahan Kemboja Kelurahan Kampung Baru Kelurahan Bukit Cermin Kecamatan Tanjungpinang Kota Kelurahan Tanjungpinang Kota Kelurahan Penyengat Kelurahan Kampung Bugis Kelurahan Senggarang Kecamatan Bukit Bestari Kelurahan Tanjungpinang Timur Kelurahan Tanjung Unggat Kelurahan Tanjung Ayun Sakti Kelurahan Dompak Kelurahan Sungai Jang Kecamatan Tanjungpinang Timur Kelurahan Kampung Bulang Kelurahan Melayu Kota Piring Kelurahan Air Raja Kelurahan Pinang Kencana Kelurahan Batu Sembilan
90 ha 154 ha 55 ha 3.581 ha 64 ha 111 ha 1.967 ha 1.439 ha 4.651 ha 183 ha 128 ha 161 ha 3.747 ha 432 ha 6.004 ha 212 ha 381 ha 1.933 ha 1.574 ha 1.904 ha
12
Total Luas Wilayah Kota Tanjungpinang
Sumber: RDTR Kota Tanjungpinang 2016
14.696 ha
1.4 Potensi Kota Tanjungpinang Tanjungpinang yang terletak di Pulau Bintan yang merupakan bagian dari gugusan pulau di Kepulauan Riau tentu memiliki banyak potensi kemaritiman, sebagai pusat perdagangan, pariwisata bahari, pertambangan, perikanan, industri dan sebagainya. a. Potensi Kepurbakalaan dan Sejarah Tanjungpinang sudah sangat dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Sebagai pusat kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor, sebagai pusat keresidenan pada zaman Belanda dan jepang serta sebagai ibukota Provinsi Riau, ibukota Kabupaten kepulauan Riau, Ibukota Tanjungpinang dan ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Dari sudut sejarah dan kepurbakalaan, Tanjungpinang banyak memiliki potensi berupa peninggalan yang bersifat bendawi atau tangible maupun non bendawi atau intangible. Peninggalan sejarah yang ada di Kota Tanjungpinang sebagian berpusat di sepanjang sungai Carang dan Pulau Penyengat. Di Pulau Penyengat sendiri banyak peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih dapat dinikmati dan dilihat oleh pengunjung. Peninggalan sejarah itu seperti Mesjid Sultan Penyengat, makam para pembesar Kerajaan Melayu, Benteng Bukit Kursi dan lain-lain. Di Pulau Penyengat ini pulalah lahir dua pahlawan nasional yaitu Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji. Dari Pulau Penyengat yang bergelar Indrasakti ini pulalah lahir sebuah sastrawan sejarah, Bapak Bahasa Indonesia yaitu Raja Ali Haji. Oleh sebab itu sangat layak kalau Pulau Penyengat menjadi warisan dunia.
13
Di samping Pulau Penyengat, peninggalan sejarah juga terdapat di beberapa tempat seperti di Tanjungpinang dan sekitarnya. Di kawasan Sungai Carang terdapat beberapa peninggalan sejarah seperti Situs Istana Kota Lama, Situs istana Kota Piring, Kompleks makam Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (Sultan Riau I), Kompleks makam Daeng Marewah (YDMR I), Kompleks makan Daeng Celak (YDMR II), Kompleks makam Tun Abas (Bendahara kerajaan). Komplek makam Daeng Kamboja (YDMR III) di Kampung Bugis, Kompleks makam di Sungai Timun, dan kompleks makam Raja Ali (YDMR V) di Tanjung Unggat. Di kawan pusat Kota Tanjungpinang sendiri terdapat banyak peninggalan sejarah seperti Kompleks makam Kerkhoff Belanda, Rumah Jil Belanda, benteng Prince Hendrik, GPIB Bethel, Gedung Pengadilan Tertua, Klenteng Tien Hou Kong, Gedung Dinas Pariwisata dan Kebudyaan, Gedung daerah, SD-SMP Bintan, Gedung Museum, Mesjid Agung Al-Hikmah Tanjungpinang. Di samping itu ada juga Tugu Pinsil dan Gedung SMP Negeri 1 Tanjungpinang yang sudah terdaftar sebagai situs budaya di Kota Tanjungpinang. Di kawasan Senggarang terdapat peninggalan sejarah berupa Kompleks Vihara Dharma Sanata dan Klenteng Tao Sa Kong. b. Potensi Budaya, Bahasa, dan Tradisi Kota Tanjungpinang memiliki potensi budaya, bahasa dan tradisi yang sangat luar biasa. Di Kota Tanjungpinang berkembang kesenian seperti Tari Zapin, Makyong, Joget Dangkong, Bangsawan, dan kesenian tari kreasi lainnya. Dari Pulau Penyengat telah melahirkan banyak karya sastra yang dipelopori oleh Raja Ali Haji. Karya-karya Raja Ali Haji antara lain adalah: Gurindam 12 (1847), Bustan Al Katibin (1857), Mukaddima Fi Intizam (1857), Thamarat al-Muhimah (1857), Kitab Pengetahuan Bahasa (1859), Silsilah Melayu Bugis (1865), Tuhfat Al Nafis
14
(1865), Syair Suluh Pegawai (1866), Syair Siti Syianah (1866), Syair Gemala Mestika Alam, Syair Abdul Muluk, serta karya lainnya dapat dianggap sebagai karya besar yang dihasilkan melalui goresan seorang pujangga yang bernama Raja Ali Haji. Tradisi lisan seperti pantun, gurindam, dan syair sangat menggemakan Kota Tanjungpinang. Sebagai bukti persebatian pantun dengan kehidupan masyarakat adalah adanya acara pantun dalam setiap acara adat perkawinan dan pidato-pidato resmi pemerintah maupun non pemerintah. Di Kota Tanjungpinang pada setiap acara perkawinan jika tidak berpantun maka acara tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kurang afdal dan sempurna. Demikian pula halnya dengan pembacaan gurindam dan syair yang selalu dilombakan dalam setiap momen penting atau perayaan hari besar. Oleh sebab itu wajarlah Kota Tanjungpinang dijuluki sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun. Dalam hal even-even pariwisata, Kota Tanjungpinang juga tidak pernah sepi dari kegiatan seni dan hiburan serta olahraga. Kegiatan Tanjungpinang Dragon Boat Race merupakan kegiatan rutinitas tahunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang yang sejak tahun 2001. Demikian juga halnya dengan kegiatan budaya lainnya seperti Festival Tari Zapin, Gawai Seni, Festival Sungai Carang, Festival Pulau Penyengat dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat. c. Potensi Ekonomi dan Kepariwisataan Secara ekonomis, posisi Kota Tanjungpinang sangat strategis. Hal inilah yang membuat Tanjungpinang sangat memegang posisi penting sejak zaman penjajahan sampai sat ini. Sebagai sebuah kota yang sudah lama dikenal dan letaknya yang strategis antar pulau tentunya Tanjungpinang memiliki daya tarik tersendiri bagi pelaku ekonomi. Akses transportasi laut antar pulau menjadikan Tanjung-
15
pinang sebagai sebuah daerah yang menjadi titik sentral dan transit bagi pelaku ekonomi. Dengan demikian, maka Tanjungpinang juga sebagai daerah kunjungan wisata yang patut diperhitungkan. Tanjungpinang memiliki daya tarik tersendiri bagi dunia kepariwisataan karena kota ini dikenal sebagi kota sejarah, kota budaya, kota kuliner, kota pendidikan dan kota pujangga. Tanjungpinang dikenal juga sebagai kota AKAU atau kota kuliner. Hal ini kartena Kota Tanjungpinang akan menampilkan wajah kota yang berbeda antara siang dengan malam. Di malam hari, Kota Tanjungpinang riuh rendah dengan pusat jajanan selera rakyat atau PUJASERA. Di samping menyajikan menu-menu nasional, Pujasera di Kota Tanjungpinang menyajikan menu atau makanan tradisional seperti nasi dagang, nasi lemak, lakse, bubur pedas, kue batang buruk, roti canai, tepung kusoi, roti kirai, kue lumpur, bilis gulung, otak-otak, gulai asam pedas, gonggong, tumis ketam, sotong masak itam, dan lain-lain. Poromosi makanan Melayu di Kota Tanjungpinang bahwa makanan Melayu hanya ada dua rasa yaitu ENAK dan PALING ENAK. 1.5 Tujuan dan Sasaran Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa nama daerah/kampung/tempat dan nama-nama jalan yang memiliki hubungan historis dengan sejarah Kota Tanjungpinang. Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk: 1. Memaparkan dan menjelaskan sejarah nama tempat atau daerah dan nama jalan agar dapat diketahui oleh masyarakat secara umum. 2. Menjadikan referensi ilmiah sehingga dapat dijadikan
16
sumber sejarah mengingat keberadaan tempat-tenmpat atau daerah di Kota Tanjungpinang sangat unik dan spesifik. 3. Menumbuhkan rasa memiliki terhadap daerah tersebut terutama bagi pemukimnya dan menjadi promosi historis bagi pendatang dan pengunjung yang datang ke Tanjungpinang sesuai dengan promosi kota “Tanjungpinang Kampong Kite”. 4. Memperkenalkan identitas dan jati diri Kota Tanjungpinang sebagai sebuah kota sejarah, kota budaya, kota relegi, kota gurindam, kota pantun, kota syair, kota kuliner, dan kota taman para sastrawan dan penyair. 5. Menitipkan referensi bagi generasi baru sehingga mereka tidak melupakan sejarah dan lebih kental dan kenal dengan daerahnya sendiri. 6. Mengukuhkan dan menguatkan Kota Tanjungpinang sebagai ibu kandung lahirnya Bahasa Indonesia yang bersumber dari Bahasa Melayu Pulau Penyengat dengan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Melayu.
1.6. Metodologi Penulisan Untuk mendapatkan data asal usul dan nama tempat serta nama jalan di Kota Tanjungpinang digunakan metode kritis. Metode kritis digunakan untuk menguji dan menganalisa secara kritis terhadap peninggalan masa lalu. Untuk memperoleh data yang dapat menggambarkan asal usul nama tempat atau jalan diperoleh melalui: a. Studi kepustakaan, yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan semua literatur yang ada hubungannya dengan
17
nama tempat atau daerah yang hendak di deskripsikan. b. Melalui wawancara dengan tokoh masyarakat melalui cerita yang berkembang dari masyarakat pemukim atau masyarakat yang memang sudah tahu betul sejarah tempat tersebut. c. Melalui kajian ilmiah berupa diskusi, Focus Group Discusion (FGD), dan melalui kegiatan Seminar.
18
BAB II
TOPONIMI DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
2.1. SENARAI NAMA TEMPAT DAN KAMPUNG DI KOTA TANJUNGPINANG
1. TANJUNGPINANG
B
anyak versi yang mampu penulis himpun untuk asal nama Tanjungpinang atau sebelumnya disebut Tanjung Pinang (disingkat Tg. Pinang), yang sekarang menjadi pusat 3 pemerintahan, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang itu sendiri. Secara geografis Tanjungpinang terletak di titik koordinat 0º5’ lintang utara dan 104º27’ bujur timur, tepatnya di Pulau Bintan. Masyarakat lebih mengenal asal nama Tanjungpinang dari penggalan nama, yaitu sebuah tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pinang (latin: Areca Catechu L.). Konon pohon pinang itu sengaja ditanam di tepian semenanjung oleh sepasang suami istri sebagai penanda tempat untuk memudahkan anaknya yang melaut (nelayan) untuk pulang. Pohon pinang sengaja dipilih mengingat tekstur tumbuhan yang mampu menjulang tinggi dan memiliki daya tahan tumbuh yang kuat dibandingkan tanaman lainnya. Pohon kelapa teksturnya hampir sama dengan pohon pinang dengan memiliki akar yang berserabut, namun membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh dibandingkan pohon pinang. Versi lain yang hampir sama Nama Tanjungpinang diambil dari posisinya yang menjorok kelaut dan banyak ditumbuhi sejenis po-
19
hon pinang. Pohon yang berada di Tanjung tersebut merupakan petunjuk bagi pelayar yang akan masuk ke Bintan Tanjungpinang merupakan pintu masuk ke sungai Bintan dimana terdapat kerajaan Bentan yang berpusat di bukit . Ada juga yang mengatakan Tanjungpinang berasal dari nama Ai Nang (kemari; China), yang dianggap merupakan pusat pasar dagang yang cukup ramai berada di sepanjang bagian pesisir. Kata Ai Nang merupakan ucapan yang khas para pedagang yang banyak berasal dari Tiongkok dalam menyeru pelanggan agar singgah ke lapak jualannya. Namun yang jelas, dalam sejarahya jika merujuk pada buku Sulalatus Salatin, kawasan kota ini merupakan bagian dari Kerajaan Melayu, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Sultan Mahmud Syah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Malaka. Kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Johor, sebelum diambil alih oleh Belanda terutama setelah Belanda menundukan perlawanan Raja Haji Fisabilillah tahun 1784. Dari data sekunder yang penulis himpun pada masa kolonial Belanda, Tanjungpinang ditingkatkan statusnya menjadi pusat pemerintahan dari Residentie Riouw pemerintah Hindia Belanda. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia, menjadi ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau. Setelah menjadi Kota Administratif - Kabupaten Kepulauan Riau hingga tahun 2000, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2001, pada tanggal 21 Juni 2001, statusnya menjadi Kota Tanjungpinang. Pusat pemerintahan yang semula berada di pusat Kota Tanjungpinang di pemukiman padat penduduk kemudian dipindahkan ke Senggarang (bagian utara kota) sebagai pusat pemerintahan. Hal ini ditujukan untuk mengimbangi kesenjangan pembangunan dan kepadatan penduduk yang selama ini berpusat di Kota Lama (ba-
20
gian barat kota).
2. PENYENGAT
M
enurut cerita, pulau mungil di Sungai Riau ini sudah lama dikenal oleh para pelaut sejak berabad-abad yang lalu karena menjadi tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang cukup banyak tersedia di pulau ini. Belum terdapat catatan tertulis tentang asal mula nama pulau ini. Namun, dari cerita rakyat setempat, nama ini berasal dari nama hewan sebangsa serangga yang memiliki sengat (tawon/lebah). Menurut cerita tersebut, ada para pelaut yang melanggar pantang larang mengambil air yaitu harus menjaga lisan dan tidak boleh membuat onar (melayu; bertabik datuk), maka mereka diserang oleh ratusan serangga berbisa. Binatang ini yang kemudian dipanggil penyengat, pulau kemudian dipanggil dengan Pulau Penyengat Memang dalam sejarahnya Pulau Penyengat dahulu dikenal dengan Pulau Air Tawar, karena terdapat sumber air tawar yang melimpah, sehingga para pelaut dan pedagang yang melintas di Selat Malaka pasti singgah. Pulau mungil dengan luas kurang lebih dua kilometer persegi tersebut cukup dikenal dimata masyarakat dunia. Pulau Penyengat dikenal juga dengan nama lain sebagai Pulau Inderasakti yang tertulis dalam sebutan sumber-sumber sejarah. Karena pulau yang berukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter ini tidak hanya penuh dengan muatan sejarah, seperti Pada 1803, Pulau Penyengat telah dibangun dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri dan kemudian berkedudukan Yang Diper-
21
tuan Muda Kerajaan Riau-Lingga sementara Sultan berkediaman resmi di Daik-Lingga. Pada tahun 1900, Sultan Riau-Lingga pindah ke Pulau Penyengat. Sejak itu lengkaplah peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan kebudayaan Melayu, namun juga menjadi pulau yang spesial, karena satu-satunya pulau di dunia pada masa itu yang dijadikan mas kawin oleh Sultan Mamud ketika menyunting Engku Hamidah/ Engku Puteri Raja Hamidah. Nama lain dari Pulau Penyengat juga dikenal oleh masyarakat sebagai pulau buaya, karena pulau tersebut mirip seekor buaya raksasa yang sedang mengapung jika dilihat dari sudut ketinggian. Saat ini Pulau Penyengat menjadi salah satu objek wisata di Kepulauan Riau. Di pulau ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah yang di antaranya adalah Masjid Raya Sultan Riau yang terbuat dari putih telur, makam-makam para raja, makam dari pahlawan nasional Raja Ali Haji, kompleks Istana Kantor dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. Sejak tanggal 19 Oktober 1995, Pulau penyengat dan kompleks istana di Pulau Penyengat telah dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia. Dalam sejarah awalnya, pulau ini hanya sebuah tempat persinggahan armada-armada pelayaran yang melayari perairan Pu lau Bintan, Selat Malaka dan sekitarnya. Namun pada tahun 1719 ketika meletus perang saudara memperebutkan tahta Kesultan an Johor antara keturunan Sultan Mahmud Syah yang dipimpin putranya Raja Kecil melawan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayat syah yang dipimpin Tengku Sulaiman. Pulau Penyengat mulai dijadikan kubu pertahanan oleh Raja Kecil yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Tinggi (Johor) ke Riau di Hulu Sungai Carang (Pulau Bintan).
22
3. KAMPUNG JAMBAT
K
ampung Jambat terletak di pintu masuk Pulau Penyengat. Konon disebut Kampung Jambat disebabkan karena dikampung ini ada jembatan yang menghubungkan kawasan sekitar dengan pelabuhan (pelantar) tempat orang masuk Pulau Penyengat. Mengingat adanya jembatan, kawasan itu disebut Kampung Jambat.
Versi lain memaparkan bahwa pada masa Kerajaan Johor-Riau-Lingga, Pulau Penyengat yang berperan sebagai pusat pertahan an sekaligus tempat kediaman dan pusat pemerintahan dari Yang Dipertuan Muda Johor-Pahang-Riau-Lingga, memerlukan tingkat keamanan yang tinggi untuk berjaga-jaga dari serangan musuh,
23
maka jembatan yang dibangun tidak hanya sebagai penghubung kawasan satu dengan yang lainnya, namun juga berfungsi sebagai perankap/jerat untuk menangkap musuh. Sehingga nama Jambat dipercayai juga sebagian masyarakat sebagai singkatan dari nama jembatan jerat atau jembatan yang jugs sekaligus berfungsi sebagai perangkap.
4. KAMPUNG BULANG
M
asyarakat meyakini asal nama Kampung Bulang disebabkan konon pada zaman dulunya daerah ini dijadikan sebagai tempat tinggal para dubalang kerajaan di zaman kesultanan Riau Lingga. Para dubalang ini bertugas dan bertanggung jawab pada keamanan keluarga sultan. Kata bulang berasal dari kata dubalang yang kemudian dipendekkan menjadi bulang. Kampung ini lazim disebut dengan nama Kampung Bulang.
24
Ada juga yang bercerita bahwa kampung bulang berasal dari kata Dulang yaitu serupa nampan/wadah yang berbibir pada bagian pinggirnya dan berkaki serta terbuat dari kayu yang digunakan sebagai meja kecil untuk menata makanan. Kononnya dulang tersebut pernah dibuang raja di sekitar kampung tersebut karena mencurigai makanan yang disajikan mengandung racun. Dari jejak sejarah, penulis menemukan fakta bahwa Raja Abdul Rahman bin Raja Ja’afar, yang dimasa itu yang disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjadi Raja Muda di Pulau Penyengat dan Wafat serta dimakamkan di Kampung Bulang Penyengat. Kampung Bulang juga pernah dijadikan lokasi pelarian oleh Raja Husen Syah yang kecewa karena tidak ditabalkan menjadi sultan hanya dikarenakan Ibunya Cik Makoh Binti Daeng Maturang berasal dari garis keturunan rakyat jelata. Kondisi kekecewaan tersebut membuat Raja Husen Syah memilih hidup di kampung bulang sebagai rakyat biasa. Hingga akhirnya dipujuk oleh Inggris, dalam hal ini Thomas Stamford Rafless mengutus Kolonel William Faquhar untuk mengajak Raja Husen ditabalkan sebagai Sultan Singapura pertama. Nama kampung bulang juga dimiliki Kota Tanjungpinang, tepatnya berada di lokasi Batu 5 bawah, di lokasi tersebut berdiri gedung sekolah SMKN.3 Kota Tanjungpinang.
5. KAMPUNG DATOK
P
enulis sedikit sekali menemukan literatur yang menjelaskan detail muasal nama kampung datok, namun dari sumber data di lapangan sebagian masyarakat mengakui asal diberi nama Kampung Datok dikarenakan pada zaman kerajaan melayu dahulu di kampung ini merupakan lokasi tempat tinggal datuk-datuk kera-
25
jaan yang merupakan orang-orang memiliki peranan penting pada masa itu.
Sementara dari sumber yang berbeda mengatakan kampung datok diambil dari kata kapok, yaitu pohon dengan buah kapok yang bisa dijadikan sebagai pengganti kapas, Kapok atau buah kapok yang sudah masak biasanya dibuat sebagai bahan isi bantal dan tilam/kasur dan hanya dimiliki oleh orang-orang kaya pada masa itu. Konon buah kapok yang dulunya cukup melimpah di area lokasi tersebut juga dijual ke Tanjungpinang dengan cara barter terhadap kebutuhan sehari-hari.
26
6. KAMPUNG LADI
K
ampung Ladi terletak didekat Balai Adat Penyengat. Dimata masyarakat dulunya daerah ini tempat tinggal orang yang datang dari Sungai Ladi, daerah yang dekat dengan Kampung Bugis, semetara versi lain mengatakan dari Sei Lad/Dam Sei Ladi Kota Batam. Ada pula yang menyebutkan daerah ini dulunya tempat tinggal orang Suku Laut atau Orang Sampan/orang-orang manang (proto melayu). Mereka datang dari arah Sungai Ladi. Dari catatan Naskah kuno milik Raja Kamarudin yang ditelusuri oleh penulis,Suku laut memang merupakan suku melayu asli yang mendiami pulau-pulau di selat Malaka dan Selat Tumasik/Temasik (Singapore), jauh sebelum adanya kerajaan. Tahun 1300 M Pada masa Kerajaan Malaka Berjaya,banyak pulau dikuasai serta dalam pengawasan langsung Laksamana Hang Tuah. Ketika di bawah pengaruh Sultan Johor. Sekitar tahun 1800 Masehi, hadir Kerajaan Riau Lingga yang menguasai Kepulauan Riau,
27
yaitu Yang Dipertuan Muda Riau sampai berakhirnya Kerajaan Melayu Riau yang berpusat di Lingga berpisah dengan Kerajaan Johor, maka Yang Dipertuan Besar kemudian Kerajaan Melayu Lingga Riau dimekarkan menjadi tiga kesultanan, yakni Kesultanan di Daik Lingga, Kesultann Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan Tumenggung Abdul Jamal di Pulau Bulang. Tibalah masa kedatangan orang Belanda yang semula hanya berdagang hingga pada akhirnya menjajah seluruh Nusantara. Penjajah Belanda sering di rompak/dilanun/dirampok di daerah Selat Malaka, diantara perompak itu adalah Laksamana Ladi, yang sering sembunyi di sungai. Sekarang sungai tempat persembunyiannya itu di sebut Sei Ladi yang kini telah berubah menjadi kampung ladi. Penulis menemukan kata Sei Ladi dimiliki oleh 3 lokasi berbeda, antara lain, Sei Ladi Tanjungpinang, Sei Ladi Penyengat/Kampug Ladi serta Sei Ladi/Dam Sei Ladi Kota Batam.
7. KAMPUNG BALIK KOTA/KAMPUNG TENGAH
D
aerah ini terletak diantara Kampung Jambat dan Kampung Datuk Penyengat. Konon dinamakan Kampung Balik Kota karena perkampungan ini terletak setelah makam Engku Putri Raja Hamidah. Pada masa dulu, daerah tersebut dijadikan sebagai pusat Penyengat sehingga dinamakan kota. Kata balik kota mulai muncul ketika posisi kota sudah berpindah, tidak lagi di lokasi yang sama, namun beralih di sekitaran kawasan masjid Sultan Pulau Penyengat. Penulis juga menemukan sumber lain di masyarakat mengenai muasal nama Kampung Balik kota. Kata ‘balik’ pada Balik kota dulunya dikenal sebagai nama ‘paling’ kota, yang artinya central keramaian yang berada di pulau Penyengat. Sebelum menjadi nama
28
Balik Kota, Kampung Paling Kota bertransisi terlebih dahulu menjadi kampung tengah. Hingga sekarang, sebagian warga Penyengat masih menamakan kampung balik kota sebgai kampung tengah. Tidak ada mitologi atau riwayat lainnya yang bisa penulis jadikan tambahan sebagai versi lain dari asal nama Kampung Balik Kota atau Kampung Tengah.
8. KAMPUNG BUGIS
D
ikenal oleh masyarakat, nama kampung bugis ini bermula ketika pada zaman dahulu banyak orang bugis yang datang ke tanah melayu, kemudian orang-orang melayu memberikan tempat untuk mereka tinggali, yaitu sebuah kampung. Masyarakat bugis pada saat itu sangat cepat berasimilasi serta berbaur
29
dengan orang-orang melayu, sehingga mereka fasih dalam berbahasa logat melayu. Tak hanya soal bahasa, mereka juga menyatu dengan adat istiadat dan budaya melayu, sehingga pada saat ini sangat sulit membedakan orang melayu dengan orang bugis di kampung bugis tersebut. Kononnya menurut sumber kabar lain yang di ceritakan oleh warga asli ditempat kampung tersebut kepada penulis, asal usul pemberian nama Kampung Bugis adalah bermula ketika zaman dahulu para masyarakat bugis datang ketanah melayu membantu orang-orang melayu berperang melawan musuh raja melayu dan penjajah belanda saat itu. Sehingga untuk menganang jasa dan pengorbanan orang-orang bugis, raja memberikan sebuah kampung kepada orang-orang bugis, sehingga kampung itu dinamakan Kampung Bugis. Pernyataan diatas ternyata juga mendapat kesamaan dalam penelusuran penulis. Tercatat dalam sebuah riwayat sejarah, di tahun 1511 Pahlawan-pahlawan bersama anak raja Bugis dipangil Sultan Melaka untuk membantu mempertahankan Kota Melaka dari serangan Portugis. Bangsa Bugis yang dimaksudkan dalam teks ini bukanlah To Ugi yang berasal dari keturunan La Sattumpugi Sulawesi. Melainkan bangsa Bugis yang sering berumah di atas kapal atau jong karena melakukan perdagangan jarak jauh (disebut juga sebagai orang tengah) sehingga mereka jarang di darat. Kononnya amalan berdagang dengan menggunakan kapal diamalkan secara turun temurun. Mereka juga kawin dengan anakanak perempuan raja tempatan, seperti Sittik Melangkae dari keturunan diraja orang Ugi (To Ugi). Keturunan diraja Aceh, anak
30
perempuan keturunan diraja Perak dan lain-lain sepanjang mereka berdagang atau membantu dalam peperangan. Selepas kejatuhan Melaka, kebanyakan mereka telah lari ke Makassar menjadi Syahbandar dan membantu dari segi kemahiran mengelola pelabuhan, perkapalan dan perdagangan kepada orang tempatan sehingga tumbuhnya kerajaan Gowa di Wajo yang terkenal. Selepas kejatuhan Gowa, ramai keturunan Bugis merubah tanah persinggahan mereka ke Semenanjung Tanah Melayu kembali. Malahan ada juga di Samarinda, Kalimantan. Ini terjadi kerana dari sebagian literatur menyebutkan, keturunan Bugis merajuk/kecewaatas pengkhianatan bangsa Ugi yang dikenali sebagai bone dan makkassar. Pengkhianatan ini kerana mereka telah berkerjasama dengan Belanda ketika menjatuhkan Sultan Hassanuddin. Catatan lain ditemukan juga bahwa, Raja Kecil yang telah menawan dan memerintah Johor-Riau-Lingga sabagai Sultan Ke-12, mendirikan pusat pemerintahan di Siak, Sumatera pada tahun 1718. Maka, Raja Sulaiman, putera Sultan Johor-Riau-Lingga ke-11, Bendahara Paduka Tun Abdul Jalil yaitu sultan dari bangsa/ kaum Bendahara yang pertama, menggunakan orang-orang Bugis dari Luwok, Makassar kecil, yang berkampung di Kelang untuk merebut kembali kerajaan Johor-Riau-Lingga dari Raja Kecil. Bugis menerima tawaran dari Raja Sulaiman, angkatan Bugis Luwok terus datang, kononnya dengan tujuh buah kapal menuju ke pusat kerajaan Johor-Riau di Riau untuk menyerang. Kerajaan Johor-Riau Kalah di dalam peperangan ini di tahun 1134. Sebagai mahar/upah/ucapan terimakasih, Raja Sulaiman setuju untuk melantik seorang Bugis Luwok menjadi Yang Dipertuan Muda di
31
Riau, bagi mempertahankan agama dan kerajaan Johor, Riau dan Lingga diserang dari luar dan dalam. Setelah Riau berhasil ditaklukkan, orang-orang Bugis Luwok balik ke Kelang untuk mengumpulkan orang Bugis untuk menyerang kerajaan Johor-Riau yang telah dapat menawan Riau kembali dari Raja Sulaiman; raja bendahara-bendahara. Yang tahu penawanan Riau oleh Raja Kerajaan Johor-Riau-Lingga, Bugis Luwok, dengan 30 buah kapal, menuju ke Riau untuk berperang sekali lagi. Di dalam perjalanan, mereka menawan Linggi, sebuah daerah di Negeri Sembilan yang ketika itu dibawah kuasa kerajaan JohorRiau-Lingga. Setelah mengetahui tentang penaklukan itu, pasukan raja kerajaan Johor-Riau-Lingga segera ke Linggi untuk membalas. Pihak Bugis Luwok telah terpecah, 20 buah kapal meneruskan perjalanan menuju ke Riau. Sultan Sulaiman I telah datang dari Terengganu datang memberi bantuan untuk merebut kembali Riau. Dalam peperangan ini, mereka telah berhasil merampas kembali tapak kerajaan Johor-Riau di Riau dimana akhirnya Sultan Sulaiman I mendirikan kerajaan baru Johor-Riau. Setelah mengetahui penawanan tapak kerajaan Johor-Riau di Riau, Raja Kecil, raja kerajaan Johor-Riau-Lingga kembali ke Siak kerana baginda juga telah gagal menawan semula Linggi dari tangan Raja Sulaiman. Pada tahun 1729, Bugis Luwok sekali lagi menyerang raja kerajaan Johor-Riau-Lingga di Siak ketika Raja Kecil ingin memindahkan alat kebesaran Diraja Johor-Riau-Lingga (sebuah meriam) ke Siak. Setelah mengambil semula kebesaran Diraja tersebut, Sultan Sulaiman I kemudian naik sebagai Sultan Johor dengan membawa gelar”Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah” yang memerintah Johor, Riau, dan Lingga.
32
Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau pertama. Kemudian adik perempuannya, Tengku Tengah, dinikahkan dengan Daeng Parani yang mana suaminya telah mangkat di Kedah ketika menyerang raja kerajaan Johor-Riau. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman Tengku Mandak juga dijodohkan dengan Daeng Celak (1722-1760). Dalam tahun 1730-an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik dengan raja kerajaan Siak kembali mengganggu ketenteraman Kelang; negeri Melayu yang diserahkan kapada orang Bugis Luwok sabagai upah membantu Sultan Sulaiman I mendapat kembali kerajaan Johor-Riau-Lingga. Ini menjadikan Daeng Celak datang ke Kuala Selangordengan angkatan perang dari Riau. Akhirnya daeng Mateko dapat dikalahkan dan kemudian lari ke Siak. Semenjak itu, Daeng Celak selalupulang pergi dari Riau ke Kuala Selangor. Dilanjutkan ketika Daeng Celak berada di Kuala Selangor penduduk Kuala Selangor memohon kepada beliau supaya terus menetap di sana (Selangor). Walau bagaimanapun, Daeng Celak telah menamakan salah seorang daripada puteranya, yaitu Raja Lumu, datang ke Kuala Selangor. Waktu itu juga secara kebetulan datang rombongan anak buahnya dari Riau memanggil Daeng Celak pulang ke Riau dan mangkat dalam tahun 1745. Dari uraian sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa Kampung Bugis merupakan wilayah balas budi untuk kaum bugis dari pihak kesultanan atas segala jasa yang sudah terbilang lama ditorehkan oleh kaum Bugis kepada Melayu.
33
9. BATU KUCING
A
dapun penamaan nama Batu Kucing, atau sekarang dikenal dengan Jalan Batu Kucing yang terletak di Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjungpinang adalah karena ada sebuah batu yang menyerupai kucing yang berada di belakang sebuah klinik bersalin di Jalan Batu Kucing. Daerah ini sekarang telah ramai dengan pemukiman penduduk. Dilihat dari namanya daerah ini memiliki nama yang sangat unik yaitu Batu Kucing. Penamaan daerah ini memang sangat cocok, karena di daerah ini, tepatnya di belakang sebuah klinik persalinan, terdapatlah sebuah batu yang berbentuk kucing dengan ukuran yang besar. Oleh karena itu, daerah ini dinamakan batu kucing. Namun sejarah penamaan daerah ini memiliki dua versi cerita.
Syahdan, empunya sejarah bertutur1 tentang sejarah Batu Kucing versi pertama, adalah berasal dari sebuah cerita rakyat yang terus berkembang dari mulut ke mulut tentang sesorang nenek miskin dan berkehidupan susah, rumahnya saja hanya beratapkan rumbia dan beralaskan tanah. Rumahnya pun jauh dari kediaman penduduk lainnya dan ia hidup sebatang kara, karena suami dan anakanak telah meninggalkan akibat ia bercerai dengan suami beberapa kurun waktu yang lalu. Nenek tersebut menurut penuturan cerita rakyat yang didengar secara turun menurun dari penduduk setempat, menghidupi dirinya dengan menganyam tikar dari daun nyiur atau kelapa, lalu menjajakan tikarnya itu dari kampung ke kampung. Penjualan tikarnya sangat sulit, terkadang sama sekali ia tak menjumpai orang yang ingin membeli tikar anyamannya. Namun pada suatu hari, ketika nenek tersebut sedang beker1
Wawancara dengan Datuk Rahman Tanggal 18 Oktober 2016
34
Objek dalam Foto diatas inilah yang selama ini dipercaya sebagai Batu Kucing yang menjadi dasar penamaan tempat ini.
ja menjajakan tikar anyamannya ia bertemu dengan kucing yang sangat kotor dan berpenyakitan, singkat cerita nenek tersebut me rawat kucing tersebut dan menurut cerita yang berkembang ne nek tersebut bermimpi bertemu dengan pemuda tampan jelmaan kucing yang ia selamatkan tersebut. Singkat cerita dari penjelasan penduduk setempat, menyatakan bahwa nenek tadi menjadi orang yang berkecukupan yang kemudian membuat ia lupa akan dirinya yang pernah hidup miskin. Suatu saat menurut cerita rakyat yang berkembang Ketika nenek menuju ke arah meja untuk makan, karena nasi dan lauk pauk telah siap. Nenek tadi kesal dengan kucing yang mengesek-gesekkan badannya di kaki nenek, kemudian nenek tersebut menghardik dan menendak kucing tersebut. Tidak hanya itu, kucing tersebut dibuang oleh nenek itu. Akhirnya kucing itu pun dibuang di ujung kampung, ditempat menemukan kucing itu dahulu. Setelah ia membuang kucing itu, nenek pun kembali kerumah. Namun ternyata, di dalam perjalanan, ia melihat kepulan asap hitam bergoyang di langit. Ternyata
35
rumah nenek tersebut terbakar dan melahap habis semua hartanya yang kemudian menjadikan ia miskin kembali. Nenek lupa akan janjinya pada jelmaan kucing yang ia temukan dimimpi bahwa ia tidak boleh menjadi orang sombong dan tidak boleh membuang kucing tersebut. Namun ketika ia seketika mengingat itu, nenek pun segera mencari kucing yang ia buang, namun ternyata, kucing itu telah menjelma menjadi sebuah batu. Batu yang berbentuk kucing yang sedang tidur. Begitulah syahdan kata empunya cerita rakyat yang bersumber dari penuturan masyarakat tempatan yang sudah lama hidup dan bermastautin di wilayah Jalan Batu Kucing. Batu kucing itulah yang membuat daerah itu dinamakan Batu Kucing, dan nama itu melekat hingga sekarang, dan menurut penuturan penduduk setempat, sekarang batu itu terletak di belakang sebuah klinik bersalin. Namun ada cerita versi lainnya yang mampu dihimpun penulis dari data sekunder lainnya yaitu www.kepridays.com2, sebuah berita tanggal 14 September 2014 tentang Asal Usul nama Jalan Batu Kucing di Tanjungpinang, menjelaskan bahwa kata Batu Kucing berasal dari sebuah batu yang memang terletak dibelakang klinik bersalin, batu berukuran 2,5 meter dan lebar 1 meter dan tinggi 2 meter tersebut merupakan batu yang dikenal sebagai Batu Angkang yang artinya adalah Batu Kapal. Menurut cerita yang dihimpun oleh www.kepridays.com3 menyatakan bahwa pada abad ke 17 atau ratusan tahun yang lalu, daerah dimana terdapat Batu Kapal merupakan lautan dan daerah sekitarnya terdapat hutan dan semak-semak yang ditumbuhi pohon karet yang besar.
2 3
www.kepridays.com, “Asal Asul Batu Kucing”. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 www.kepridays.com, ibid
36
Dari cerita rakyat yang beredar ada datuk yang bernama Datuk Sangpukong beserta keluarganya merupakan orang pertama yang berlayar melintasi daerah asal mula Batu Kapal. Cerita lainnya yang sempat berkembang yang kemudian dituturkan oleh salah seorang narasumber, bahwa kapal yang ditumpangi oleh Keluarga Sangpukong ini sedang berlayar, namun kemudian melihat seperti daratan, karena kegembiraan, orang-orang yang ada di dalam kapal keluar ingin melihat daratan tersebut, sehingga kapal tidak terkendali dan oleng dan akhirnya menabrak daratan yang mereka temukan, kemudian menyebabkan kapal tersebut karam serta pecah. Kemudian karena waktu yang begitu lama, bangkai kapal dan pecahan kapal Datuk Sangpukong tersebut berubah menjadi bebatuan yang besar dan salah satunya ada yang berbentuk kepala kucing. Karena bentuk batu itu menyerupai kuc ing, maka lama kelamaan batu tersebut disebut dengan nama Batu Kucing.
10. KEMBOJA
J
alan Kemboja, begitulah tempat ini sekarang bernama. Sebuah jalan yang secara kewilayahan saat ini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Kemboja Kecamatan Tanjungpinang Barat. Jika dilihat nama, maka nama tempat ini mengarah kepada nama sebuah bunga. Memang sejarah tempat ini berasal dari sebuah nama bunga yaitu Bunga Kemboja. Menurut penutur tempatan yang bernama Raja Bujang4 mengatakan bahwa tempat yang sekarang bernama Jalan Kemboja merupakan sebuah kampung yang bernama Kampung Kemboja. Penamaan Kampung Kemboja ini, adalah karena areal ini memang pernah banyak ditumbuhi pohon Kemboja.
4
Wawancara dengan Raja Bujang tanggal 23 Oktober 2016
37
Menurut penuturan informan yang bernama Ruddy Firmansyah5, mengatakan bahwa Bukit Kemboja dahulunya pada zaman ketika Belanda sudah menguasai Tanjungpinang yang dimulai sekitar tahun 1800-1900, dan mendirikan pemerintahan di bawah kekuasaan Residen Belanda, tempat ini bukan bernama Bukit Kemboja, melainkan Bukit Kerkhoff yang artinya kuburan, yang memang saat ini lokasinya adalah kuburan Belanda Kerkhoff. Belanda menginginkan agar suasana kuburan terlihat indah dan tidak suram, agar ditanami banyak pohon kemboja. Sebagaimana budaya perkuburan bangsa Eropa, kuburan mereka selalu terlihat seperti taman dengan ditanami rerumputan atau pohon yang berbunga indah. Ketika masyarakat hendak mengumpulkan pohon kemboja tersebut, masyarakat selalu bertanya “dimana kita mengumpulkan pohon-pohon kemboja ini”, maka masyarakat lainnya mengatakan “di Bukit Kemboja”. Beberapa pohon kemboja dapat ditanam di areal perkuburan. Namun karena permintaan pemerintah Belanda terhadap pohon bunga kemboja dengan jumlah banyak, maka masyarakat tidak mampu melakukannya. Sehingga masyarakat hanya menaburi bunga kemboja di atas areal perkuburan, agar pemerintah Belanda 5
Wawacaran dengan Ruddy Firmansyah tanggal 23 Oktober 2016
38
tidak marah. Maka sejak kejadian tersebut, areal perkuburan yang cukup tinggi ini dari permukaan laut dinamakan Bukit Kemboja dan kuburan Belanda tersebut dinamakan Kerkhoff.
Kuburan Belanda yang dipercaya sebagai tempat ditanamnya banyak pohon kemboja. Versi lain tentang penamaan Jalan Kemboja dengan nama tersebut, menurut penuturan informan bernama Rianto6, menyatakan bahwa daerah itu dahulu memang banyak ditumbuhi pohon Kemboja. Hal ini berbanding lurus dengan informasi yang disampaikan oleh Ruddy Firmansyah. Banyak ditumbuhi pohon Kemboja ini mungkin adalah akibat kebijakan pemerintah Belanda yang menyuruh masyarakat menanami pohon Kemboja sehingga areal ini banyak ditumbuhi pohon tersebut, sehingga tempat ini sampai saat ini dinamakan Jalan Kemboja. 6
Wawancara dengan Rianto Tanggal 23 Oktober 2016
39
11. GUDANG MINYAK
G
udang Minyak yang saat ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Jalan Gudang Minyak yang saat ini terletak di Kelurahan Kemboja Kecamatan Tanjungpinang Barat dan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Unggat Kecamatan Bukit Bestari. Adapun asal usul penamaan tempat ini memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan gudang minyak kepunyaan pemerintah Belanda ketika mereka menduduki Tanjungpinang. Dahulunya gudang ini merupakan gudang minyak milik Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang, karena lokasinya juga tidak jauh dari Pulau Bayan yang pernah pada zaman Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Ke – IV) sebagai markas patroli keamanan laut termasuk pernah tempat penangkapan Kapal Betsy, dan pada Zaman Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Ke-V) digunakan sebagai kantor tempat menyelenggarakan pemerintahan, namun setelah Kerajaan Riau Lingga dibubarkan Gudang ini beralih kepada Pemerintah Belanda dibangun ulang pada tahun 1929.
Menurut penuturan informan yang bermana Abdul Karim Ahmad dan Raja Muhammad7, dua sosok tokoh yang telah lama dan berusia tua, yang tinggal dan bermastautin di Jalan Gudang Minyak saat ini. Kedua informan ini menceritakan bahwa Gudang Minyak dahulunya memang merupakan wilayah dimana terdapat Gudang Minyak yang berada di ujung jalan tempat ini yang berhadapan dengan laut. Gudang minyak ini merupakan gudang minyak milik Pemerintah Belanda yang digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik yang dibangun oleh Belanda. Lokasi pembangkit listrik Belanda tersebut adalah Kantor PLN saat ini yang terletak di Bakar Batu. 7
Wawancara dengan Abdul Karim Ahmad dan Raja Muhammad tanggal 23 Oktober 2016
40
Pembangkit listrik ini menurut Infoman bernama Abdul Razak8 adalah milik S.W Younge yang kemudian dikuburkan di Kuburan Kerkhoff dan saat ini telah dipindahkan, SW. Younge ini membeli mesin listrik dan menggantikan pembangkit yang sebelumnya menggunakan batu bara, yang dahulunya berada di Jalan Bakar Batu. Dari Gudang Minyak inilah Pemerintah Belanda menyimpan dan kemudian membawa ke pembangkit listrik yang jaraknya lebih kurang 1 (satu) Km. Gudang Minyak ini awalnya masih ada bekas peninggalannya. Namun sekitar 4 (empat) tahun yang lalu, informan menceritakan bahwa telah dibeli dan diubah suai menjadi gudang juga dengan kondisi yang sudah direnovasi.
Foto diatas merupakan rupa gudang yang saat ini sudah diubah suai oleh pemiliknya saat ini
8
Wawancara dengan Abdul Razak tanggal 23 Oktober 2016
41
Ada pendapat informan dengan versi lainnya, namun versi ini juga menyetujui bahwa nama gudang minyak memang berasal dari keberadaan sebuah gudang di ujung kampung ini. menurut penuturan informan yang bernama Rianto9 mengatakan bahwa dulu nya di ujung jalan tersebut ada pabrik pengolahan minyak kelapa, pabrik kecap, dan pabrik pengolahan kayu CV. Rimba Jaya. Disebabkan pabrik pengolahan minyak kelapa tersebut maka daerah tersebut selanjutnya disebut orang Gudang Minyak. Demikian juga jalan yang sekarang menjadi jalan masuk ke Pusat Jajan Rimba Jaya, dulunya dinamakan Jalan Pabrik Kecap. Sedangkan nama pusat jajanan Rimba Jaya tersebut, dulunya areal tersebut adalah pabrik pengolahan kayu (pabrik kapan) CV. Rimba Jaya.
9
Wawancara dengan Rianto tanggal 23 Oktober 2016
42
12. KAMPUNG BUKIT / BUKIT CERMIN
A
sal usul nama Kampung Bukit juga tidak terlepas dari kondisi geografis tempat yang sangat tinggi. Menurut penuturan informan yaitu Raja Bujang10, mengatakan bahwa Kampung Bukit diberi nama karena letak bukit yang begitu tinggi. Saat ini bukit yang sangat tinggi itu dikenal orang dengan nama Puncak, yang saat ini menjadi rumah makan dan café, dimana masyarakat Tanjungpinang saat ini dapat menyaksikan Gunung Bintan dan Sungai Carang / Sungai Riau dengan sangat jelas dengan hiruk pikuk keramaian rumah penduduk, kapal-kapal yang berlabuh dan aktivitas ekonomi lainnya. Inilah bukit yang menjadi dasar
10 Wawancara dengan Raja Bujang Tanggal 23 Oktober 2016
43
penamaan kampung ini bernama Kampung Bukit. Pada gambar tersebut tampak bukit yang tinggi yang saat ini telah terbangun dua menara telekomunikasi dan kubah masjid berwarna kuning, itulah bukit tertinggi yang merupakan asal penamaan tempat ini menjadi nama Kampung Bukit. Selain itu menurut informan bernama Rianto mengatakan bahwa Kampung Bukit merupakan sebuah kampung yang banyak memiliki bukit. Namun Kampung Bukit juga memiliki nama lainnya yang dikenal masyarakat Tanjungpinang saat ini, yaitu dengan nama Bukit Cermin. Menurut penuturan informan yang bernama Ruddy Firmansyah11, penamaan nama tempat dengan nama Bukit Cermin karena pada zaman Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang berkuasa sekitar tahun 1700-1784 yang beribukota di Sungai Carang atau Hulu Riau yang pada zaman itu berkuasa adalah Yang Dipertuan Muda ke – IV Raja Haji, maka di Kampung Bukit tepatnya di puncak bukit tertinggi (yang pada gambar terdapat menara telekomunikasi pada gambar) dibangun sebuah cermin besar, bukit ini adalah bukit intai para ribath (penjaga perbatasan) kerajaan, yang melihat apabila datang kapal yang tak dikenal (terutama kapal Portugis). Mereka menggunakan cermin besar yang diletakkan di atas bukit paling tinggi yang menjangkau penglihatan semenanjung pantai. Serta cermin itu digunakan sebagai alat pantul cahaya (kode) bagi pertahanan kerajaan ke Penyengat dan Istana Rebah atau Hulu Riau, begitu juga wilayah Sungai Carang, tempat para hulubalang berdiam diri. Dari buku Sejarah Melayu karya Ahmad Dahlan12 dari pekerjaaan para Ribath inilah salah satu kapal Inggris yaitu Betsy tertangkap oleh armada keamanan laut Raja Haji pada tanggal 15 Januari 1782. 11 Wawancara dengan Ruddy Firmansyah Tanggal 23 Oktober 2016 12 Dahlan, Ahmad. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
44
Dari sejarah dibangun dan dipasangnya cermin besar tersebut, kampung ini sekarang juga dikenal sebagai Bukit Cermin. Namun ketika Belanda berkuasa di Tanjungpinang, Belanda menamakan Bukit Cermin ini bukan dari latar belakang sejarah yang merupakan tempat pos penjagaan, namun menurut informan yang bernama Wan Tarhusin13 bahwa Belanda menamakan Bukit Cermin karena setelah kawasan ini lama tidak dihuni oleh orang, maka tempat ini rimbun akan pohon-pohon besar, sehingga jika hari hujan, air di dedaunan akan bersinar silau menyilau dan orang Belanda mengatakan cahaya itu adalah spie yang artinya cermin. Maka Belanda menamakan bukit itu sebagai Bukit Cermin.
13. POTONG LEMBU
13
Hasil Pemaparan Seminar dan Focus Group Discussion Tanggal 07 November 2016
45
P
otong lembu atau dikenal sebagai Jalan Potong Lembu sekarang lebih dikenal masyarakat luas dikarenakan adanya pujasera kuliner yang menjual berbagai macam varian makanan seperti makanan laut, sate, nasi goreng, dan masih banyak lainnya dan juga berbagai macam varian minuman yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Tempat ini dikenal sebagai Akau Potong Lembu. Jika siang hari wilayah pujasera yang lebih dikenal sebagai akau ini merupakan tempat lapangan parkir bagi kendaraan roda empat.
Namun penamaan areal ini sebagai Potong Lembu memang berasal dari sebuah aktivitas pemotongan lembu. Menurut penuturan informan bernama Raja Bujang14, menyatakan bahwa dahulu wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jalan Potong Lembu merupakan tempat jagal hewan lembu. Atau dengan kata lain, tempat ini dahulunya memang merupakan tempat pemotongan lembu yang posisinya diperkirakan adalah yang saat ini menjadi Akau Potong Lembu yang merupakan lapangan luas tempat pemotongan lembu.
Lapangan luas tempat pemotongan lembu di masa dahulu yang kini berubah fungsi menjadi areal parkir di siang hari dan di malam hari menjadi sebuah pujasera yang dikenal dengan Akau Potong Lembu. 14
Wawancara dengan Raja Bujang Tanggal 23 Oktober 2016
46
Menurut penuturan informan lainnya yaitu yang bernama Rianto15 menambahkan penjelasan di atas, bahwa dahulu disekitar jalan Potong Lembu ada rumah potong hewan (lembu). Untuk memudahkan penyebutannya, masyarakat menyebut daerah tersebut Potong Lembu. Rumah potong tersebut dulunya disekitar antara depan Hotel Paradise sekarang.
14. KAMPUNG TAMBAK
K
ampung Tambak yang saat ini lebih dikenal masyarakat sebagai Jalan Tambak, yang saat ini merupakan sebuah pertokoan bangsa Cina yang menjual berbagai macam barang. Sebuah wilayah yang terletak di Kelurahan Kamboja Kecamatan Tanjungpinang Barat. Asal usul penamaan Kampung Tambak ini, menurut beberapa informan memang terdiri dari beberapa versi.
15
Wawancara dengan Rianto tanggal 23 Oktober 2016
47
Versi pertama adalah versi Raja Bujang dan Rianto16 yang mengatakan bahwa Kampung Tambak, merupakan kampung yang dahulunya adalah rawa-rawa, yang kemudian di tambak orang untuk dibuat pemukiman penduduk karena penduduk di wilayah tersebut sudah padat dengan masyarakat sehingga perlu perluasan wilayah, dan kemudian kampung yang semakin padat penduduk dan pemukiman setelah dilakukan penambakan dikenal sebagai Kampung Tambak, atau Kampung yang ditambak. Versi lainnya adalah menurut penuturan Shahril Budiman17 yang menyatakan bahwa dahulu Kampong Tambak adalah wilayah tambak ikan, karena areal ini memang secara geografisnya dahulu adalah rawa atau pesisir sungai Riau. Sehingga masyarakat banyak membuat tambak ikan, untuk kemudian dijual kepada pihak lainnya. Sehingga ketika orang bertanya “dimana dapat kita membeli ikan”, maka orang menjawab dengan Kampung Tambak. Maka atas dasar sejarah tersebut, wilayah ini disebut orang Kampung Tambak. Wilayah tambak ikan tersebut sekarang sudah tidak tampak lagi, karena wilayah ini berdasarkan cerita versi pertama di atas, karena semakin padat penduduk, akhirnya kampung ini ditambak atau ditimbun untuk pemukiman penduduk. Wilayah tambak ikan itu saat ini tidak dapat ditemukan lagi, karena setelah wilayah ini ditambak, yang terbangun justru rumah dan pertokoan etnis Tionghoa hingga saat ini. Berikut dapat disimak beberapa foto yang merekam kondisi wilayah Kampung Tambak saat ini yang ramai dengan pertokoan yang dijalankan etnis Tionghoa.
16 17
Wawancara dengan Raja Bujang dan Rianto tanggal 23 Oktober 2016 Wawancara dengan Shahril Budiman Tanggal 24 Oktober 2016
48
Kawasan pertokoan sepanjang Jalan Tambak
Kawasan pertokoan sepanjang Jalan Tambak
49
15. BAKAR BATU
J
alan Bakar Batu, merupakan sebuah jalan yang dikenal oleh masyarakat. Wilayah ini berada di Kelurahan Kemboja Kecamatan Tanjungpinang Barat. Tak banyak informasi yang dapat digali atas penamaan tempat ini. Namun informan yang bernama Rianto18 mengatakan bahwa asal kata nama tempat dinamai dengan nama Bakar Batu adalah karena memang tempat ini merupakan tempat pembakaran batu. Jalan Bakar Batu, dulunya di daerah tersebut ada tempat pembakaran batu. Dulu orang memecahkan batu kali atau batu sungai maupun batu granit dengan cara manual, yaitu dengan cara dibakar. Setelah itu baru diketok-ketok dengan martil, kemudian batu itu digunakan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang saat ini adalah Kantor PLN Tanjungpinang, namun seorang Belanda
18
Wawancara dengan Rianto tanggal 23 Oktober 2016
50
menurut informasi dari Wan Tarhusin dan Ali Achmad19, seorang Belanda bernama SW Younge kemudian membeli sebuah mesin pembangkit sehingga mesin dengan tenaga batu bara tidak lagi digunakan. Tempat pembakaran batu diperkirakan tidak jauh dari SD Sion sekarang.
16. TELUK KERITING/BATU HITAM
T
eluk Keriting merupakan sebuah tempat yang penamaan asal usul namanya tidak bisa dipisahkan dari bentuk geografis wilayah tersebut yang berbentuk teluk. Sehingga wilayah itu disebut dengan Teluk yang merupakan sebuah kondisi geografis pesisir atau stuktur topografis wilayahnya menjorok ke daratan. Adapun asal usul penamaan Teluk Keriting menurut penuturan Dicky Novalino20 yang keluarganya telah lama bermastautin di wilayah Teluk Keriting mengatakan bahwa stuktur teluk tersebut yang berliku-liku atau berbelok-belok sehingga disebut dengan Keriting. Diikuti dengan wilayah tersebut merupakan wilayah teluk, maka nama tempat tersebut dinamakan Teluk Keriting. Teluk Keriting sudah dikenal sejak tahun 1784 ketika berlangsung Perang Riau pada tanggal 6 Januari 1784. Raja Ali Haji21 dalam buku Tuhfat Al Nafis mencatat kata-kata berikut: “maka kapal itu keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan Kubu Teluk Keriting itu. Maka azmatlah bunyinya bahana meriam kapal itu gegak gempita tiada kedengaran apa-apa lagi. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting 19 20 21
Hasil Pemaparan Seminar dan Focus Group Discussion Tanggal 07 November 2016 Wawancara dengan Dicky Novalino Tanggal 23 Oktober 2016 Haji, Raja Ali. 2002. Tuhfat Al- Nafis. Tanjungpinang: Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau dan Yayasan Khazanah Melayu
51
itu pun hendak tewas, sebab ubat bedil habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu menghantarkan ubat bedil sebuah sampan. Adalah yang menghantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya kepada segala budak anak baik-baik namanya Encik Kalak”. Berdasarkan catatan sejarah yang tertulis dalam buku Tuhfat Al Nafis yang dikarang Raja Ali Haji tersebut, maka wilayah Teluk Keriting sudah dikenal sebelum Indonesia merdeka. Ketika itu Teluk Keriting berperan sebagai Kubu atau Benteng Pertahanan Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau Johor Lingga Pahang ketika menghadapi serangan Belanda pada Perang Riau yang berlangsung pada tanggal 6 Januari 1784. Peperangan Riau ini akhirnya dimenangi oleh Raja Haji karena berhasil menghanguskan kapal induk Belanda yang bernama Malaka’s Welfaren, yang dalam catatan Raja Ali Haji dalam Tuhfat Al Nafis, kapal induk milik Belanda tersebut berhasil ditembak dari Kubu Teluk Keriting. Sebagaimana catatan berikut, “maka lepas satu tong ubat peluru bedil oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu
52
Teluk Keriting itu. Maka dapatlah empat lima kali dibedil, maka dengan takdir Allah Taala kapal itu pun terbakar meletup berterbangan ke laut geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati terbakar oleh ubat bedil meletup itu”. Dari beberapa catatan sejarah tersebut, maka nama Teluk Keriting sudah dikenal lama oleh masyarakat. Kini Teluk Keriting yang dahulu berperan sebagai Kubu atau Benteng, telah diubah suai dan kini digunakan oleh Angkatan Laut sebagai Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) IV Tanjungpinang. Teluk yang dimaksud bernama Teluk Keriting itu adalah dimulai dari Lantamal IV tersebut hingga ke kawasan tepi laut (sekarang depan SMA Negeri 5 Tanjungpinang. Selain dikenal sebagai Teluk Keriting, maka tempat ini juga dikenal dengan nama Batu Hitam. Batu Hitam merupakan wilayah yang terkadang menjadi bagian dari Teluk Keriting atau sekarang dikenal dengan nama Jalan Usman Harun. Sejarah timbulnya penamaan tempat ini menjadi Batu Hitam adalah sebagaimana dijelaskan oleh seorang informan bernama Dicky Novalino yang menjelaskan bahwa daerah Teluk Keriting itu dari dahulu hingga saat ini terdapat batu-batu besar berwarna hitam. Sehingga daerah itu juga dikenal sebagai Batu Hitam. Batu-batu hitam itu juga terletak di pinggir pantai dekat Lantamal IV saat ini. sehingga nama Teluk Keriting dan Batu Hitam saat ini adalah nama pada tempat yang sama namun terkadang orang menyebutnya sebagai Batu Hitam dan terkadang Teluk Keriting. Namun penduduk Teluk Keriting hari ini membuat sebuah tugu yang merupakan pembatas antara Teluk Keriting dan Batu Hitam.
53
17. BUKIT SEMPRONG
B
ukit Semprong merupakan sebuah tempat yang berada di Kelurahan Tanjungpinang Barat Kecamatan Tanjungpinang Barat. Cerita tentang Bukit Semprong ini terdiri dua versi cerita. Menurut penuturan informan bernama Ruddy Firmansyah22 mengatakan bahwa dahulu masyarakat mengenal alat penerangan hanya menggunakan obor bambu yang di ujungnya dibuat sumbu. Suatu ketika datang masyarakat jawa yang hidup bersama dengan masyarakat melayu. Masyarakat Jawa cendrung mengelola perekonomian keluarga dengan cara bertani dan berjualan panganan ketika malam jelang. Penggunaan cahaya melalui obor kurang bermanfaat ketika mereka berjualan karena angin dan cahayanya terbatas. Maka masyarakat Jawa mencoba barter beberapa dagangannya dengan para pedagang Cina. Pedagang Cina telah menggunakan alat penerangan dengan menggunakan lampion dan sarung 22
Wawancara dengan Ruddy Firmansyah Tanggal 23 Oktober 2016
54
kaca pada pada alat penerbangannya mereka menyebutnya dengan kata “Semprong”. Lampu yang menggunakan kaca bersarung (sebagian orang menyebutnya lampu teplok). Oleh masyarakat Jawa (pendatang) lampu semprong itu dijual kembali kepada masyarakat tempatan. Masyarakat Jawa yang menjual lampu tersebut tinggal berkelompok disatu wilayah yang dikenal sebagai bukit tempat penjualan lampu semprong (teplok). Terlebih wilayah ini dekat dengan Kampung Jawa yang mayoritas penduduknya adalah Suku Jawa. Apabila mereka bertanya sesama mereka (melayu tempatan) “Dimanakah tempat membeli Lampu itu? Maka mereka menjawab dibukit. Lalu bersatulah atau identiknya daerah itu jadi bernama si Bukit Semprong (bukit tempat awal penjualan/ mendapatkan lampu semprong (lampu teplok), yang berbahan minyak tanah, bersumbu dan dilindungi kaca pada apinya. Hingga kini jika mati lampu pun, sebagian masyarakat selalu tersedia lampu semprong (teplok) di rumahnya. Karena sangat bermanfaat. Versi kedua cerita ini, sepertinya merupakan kelanjutan dari cerita pertama yang mengarahkan sejarah bahwa tempat Bukit Semprong adalah tempat dimana banyak masyarakat menjual lampu semprong. Cerita kedua menurut informan bernama Rianto23 menjelaskan bahwa Bukit Semprong, dulunya di atas bukit tersebut ada mercusuar Belanda guna pedoman bagi kapal-kapal yang akan memasuki pelabuhan Tanjungpinang. Mercusuar itu ada dua, satunya lagi ada di belakang Pos Penjagaan pintu gerbang Lantamal. Makanya bukit Mako Lantamal tersebut disebut juga oleh masyarakat setempat dulunya dengan sebutan Bukit Lampu, karena ada lampu mercusuar. 23
Wawancara dengan Rianto Tanggal 23 Oktober 2016
55
Kembali ke Bukit Semprong, bahwa mercusuar zaman Belanda dulunya, dibagian puncak terdapat tabung kaca dari kaca pembesar yang dimasukkan lampu petromaks di dalamnya. Tabung kaca pembesar itu berfungsi sebagai pemancar cahaya dari petromaks agar memancarkan cahaya dan terlihat dari kejauhan. Di bagian bawah tabung tersebut ada mesin seperti mesin jam guna memutar tabung kaca tadi. Sehingga dari kejauhan terlihat seakan-akan lampu mercusuar tersebut berkedip-kedip. Karena disekitar daerah tersebut berdekatan dengan Kampung Jawa, tempat bermukim komunitas Jawa, dan orang Jawa menyebut mercusuar tersebut dengan lampu semprong (lampu kaca) maka selanjutnya bukit tersebut disebut orang dengan Bukit Semprong.
18. KAMPUNG JAWA
J
alan Kampung Jawa atau sekarang lebih dikenal dengan Jalan Jawa, sebuah jalan yang terletak di Kelurahan Tanjungpinang Barat, Kecamatan Tanjungpinang Barat. Penamaan tempat ini memang dipengaruhi oleh keberadaan Suku Jawa yang mendominasi di kampung tersebut. Menurut penuturan Shoffinah Husein dan Nanik Isnaini24, mengatakan bahwa dahulu Kampung Jawa memang didiami oleh mayoritas pedagang Jawa sehingga kampung ini disebut sebagai Kampung Jawa. Pedagang Jawa ini berkaitan dibukanya perdagangan di Riau oleh Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau Johor Pahang Lingga Ke-IV tatkala pecah kongsi dengan Belanda tentang perdagangan di Melaka. Sehingga di Riau banyak dibuka perdagangan dan salah satu pedagangnya banyak berasal dari Jawa. Selain itu orang-orang Jawa ini juga ada yang bekerja di perkebunan milik Kerajaan. 24
Wawancara dengan Shoffinah Husein dan Nanik Isnaini Tanggal 23 Oktober 2016
56
Keberadaan pedagang Jawa ini juga disinyalir ada hubungannya dengan penamaan Bukit Semprong, karena para pedagang Jawa inilah yang kemudian menjualkan lampu semprong yang mereka beli dari Cina dan menjualnya kembali ke masyarakat.
19. TANJUNG UNGGAT
N
ama Tanjung Unggat sebenarnya sudah dikenal lama. Sebuah daerah yang terletak di Kelurahan Tanjung Unggat Kecamatan Bukit Bestari ini sebenarnya sudah dibuka sekitar tahun 1792 oleh Engku Muda Haji Muhammad Bin Temenggung Abdul Jamal, Temenggung Johor di Pulau Bulang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aswandi Syahri. Kemudian Aswandi Syahri juga menjelaskan bahwa Belanda baru membuka akses ke Jalan Tanjung Unggat pada tahun 1893. Asal nama Tanjung Unggat terdiri dari dua versi cerita. Versi per-
57
tama sebagaimana dijelaskan oleh Raja Bujang yang menjelaskan bahwa nama Tanjung Unggat berasal dari kata Unggas. Karena diyakini bahwa sebelum daerah ini dibuka oleh pihak Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang, maka tempat ini merupakan tempat yang terkenal banyak burung atau unggas. Penamaan Tanjung, tidak terlepas dari sebuah topografi alam yang berbentuk Tanjung. Sehingga orang mengenal dengan nama Tanjung Unggas. Lama kelamaan, nama ini berubah seiring dengan perkembangan masyarakat dan orang lebih banyak menyebutnya sebagai Tanjung Unggat. Versi kedua, adalah sebagaimana dijelaskan oleh Aswandi Syahri dalam sebuah catatannya di http://www.wisatamelayu.com25 menyatakan bahwa nama Unggat jika dikaji dari Kamus Bahasa Melayu Lama yang ditaja oleh R.J Wilkinson menterjemahkan Unggat adalah tegak atau berdiri. Hal ini disinyalir ada sesuatu yang tegak atau berdiri di sebuah Tanjung. Tanjung Unggat menjadi tempat yang amat penting pada masa pemerintahan Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda Ke – V Riau Johor Pahang Lingga. Setelah kekalahan Raja Haji Fisabilillah, timbul beberapa konflik antara Melayu dan Bugis. setelah terjadi sumpah setia yang kesekian kali, dan diakhiri dengan menikahnya Sultan Mahmud Syah dengan Raja Hamidah yang kemudian bergelar Engku Puteri, maka Sultan Mahmud membuat istana di Tanjung Unggat. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Raja Ali Haji26 dalam Tuhfat Al-Nafis berikut: “Maka Apabila tiba ke Riau maka Baginda Sultan Mahmud pun 25 www.wisatamelayu.com. Diakses tanggal 26 Oktober 2016 26 Haji, Raja Ali. 2002. Tuhfat Al- Nafis. Tanjungpinang: Dinas Pariwisata Kepulauan Riau dan Yayasan Khazanah Melayu
58
dinikahkan oleh Yang Dipertuan Muda Raja Ali dengan paduka anaknda Raja Hamidah yaitu Engku Puteri puteri Marhum yang Mangkat di Teluk Ketapang Al-Syahid fi Sabilillah, Adapun Raja Hamidah yaitu Engku Puteri. Syahdan setelah selesai daripada bernikah kawin itu maka lalu memperbuat istana di Tanjung Unggat. Maka tetaplah Baginda Sultan Mahmud itu dalm negeri Riau bersuka-sukaan sehari-harinya”.
20. KAMPUNG BARU
K
ampung Baru merupakan sebuah nama tempat yang kini menjadi salah satu kelurahan di bawah Kecamatan Tanjungpinang Barat. Kampung baru atau Jalan Dr. Soetomo merupakan wilayah yang padat penduduk. Hal ihwal sejarah penamaan Kampung Baru, menurut penuturan Ruddy Firmansyah27, dulu Tanjungpinang tidak berpenduduk, satu satunya kampung adalah seberang Dompak yaitu wilayah yang berada di KM 8 (melewati pembakaran mayat saat ini) yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Lama. Sebagian masyarakat berpindah ke daerah baru yang nantinya akan menjadi wilayah pemukiman baru yang diperkirakan berada di sebuah bukit atau daerah yang agak tinggi yang saat ini disebut dengan Kampung Baru. Lalu mereka menyebutnya Kampung Baru. Seiring berjalannya waktu maka kampung tinggal penduduk menjadi dua yaitu Kampung Lama dan Kampung Baru.
27
Wawancara dengan Ruddy Firmansyah Tanggal 23 Oktober 2016
59
21. KAMPUNG KOLAM
N
ama Kampung Kolam, memang tidak banyak orang yang mengetahui, karena kampung ini merupakan kampung yang cukup lama yang saat ini berada di Kelurahan Tanjungpinang Barat Kecamatan Tanjungpinang Barat. Akses menuju Kampung Kolam saat ini dapat didapati dengan melewati Jalan Tugu Pahlawan atau dikenal dengan Meja 7. Atau masuk dari Jalan Skip.
Menurut penuturan informan bernama Nurbaiti Usman Siam28, menjelaskan bahwa Kampung Kolam dahulu sekitar kurun waktu 1970-an hingga 1980-an, banyak terdapat banyak kolam tempat orang menanam tumbuhan kangkung untuk dikonsumsi atau dijual. Sehingga dari banyaknya kolam rawa-rawa di tempat ini, maka kampung tersebut dinamankan Kampung Kolam. Sampai saat ini pun tumbuhan kangkung ini masih terdapat di Kampung Kolam yang telah padat dengan penduduk. Namun seiring dengan pertambahan penduduk, maka kol28
Wawancara dengan Nurbaiti Usman Siam tanggal 24 Oktober 2016
60
am-kolam untuk menanam kangkung tersebut ditambak oleh penduduk untuk dijadikan sebagai pemukiman. Saat ini mungkin hanya dapat dilihat beberapa kolam rawa-rawa yang juga tumbuh dengan tumbuhan kankung dan juga tumbuhan semak belukar lainnya yang juga dipadati oleh penduduk.
Lokasi dalam Foto diatas merupakan sisa kolam-kolam kebun tanaman kangkung yang masih tumbuh atau dibiarkan oleh masyarakat di Kampung Kolam.
22. PANTAI IMPIAN
P
antai Impian saat ini merupakan sebuah wilayah pemukiman padat yang merupakan bagian dari Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Tanjungpinang Barat. Pantai Impian pernah terkenal sebagai tempat wisata karena diujung jalan ini terdapat Hotel Bintan Permata yang memiliki pemandangan pantai yang indah. Nama Pantai Impian baru dikenal oleh masyarakat sekitar tahun
61
1956, dahulu menurut penuturan informan bernama Ali Achmad29 atau lebih dikenal masyarakat dengan nama Datuk Alipon menjelaskan dahulu Pantai Impian bernama Tanjung Hong Khiang, hal ini karena ada terdapat bangkai kapal tongkang pecah. Kapal tersebut bernama Hong-Khiang (Hokkian). Tempat ini banyak ditumbuhi kebun kelapa. Nama tersebut berubah sejak tempat itu dijadikan tempat berkumpulnya kaum muda dan disanakan kaum muda memimpikan masa depan mereka dengan kekasihnya, karena pemandangannya indah disebut dengan Pantai Indah. Kemudian sebagian orang menyebutnya Pantai Impian, karena banyak orang berwisata dan merupakan tempat impian yang sangat indah dan tenang.
23. PANCUR
J
alan Pancur atau dinamai Jalan Ir. Djuanda, merupakan sebuah wilayah yang berada di Kelurahan Bukit Cermin Kecamatan Tanjungpinang Barat. Asal usul penamaan Pancur sebagaimana diceritakan oleh Wan Tarhusin30, karena dahulu tempat ini berbukit dan di bawahnya banyak terdapat aliran air atau sumber air. Kemudian pada zaman Belanda berkuasa di Tanjungpinang, maka Belanda membuat bak penampungan air untuk mengaliri air ke beberapa daerah. Orang Belanda menyebutnya sebagai Water Touren atau diartinya sebagai air mancur atau air yang turun. Sehingga tempat itu disebut dengan nama Pancur, dimana banyak air yang mengalir dan menjadi sumber air bagi daerah lainnya di Kota Tanjungpinang. Bak penampungan air milik Belanda terse29 Hasil Pemaparan Seminar dan Focus Group Discussion Tanggal 7 November 2016 30 Ibid
62
but saat ini masih dapat dilihat di perbukitan wilayah Pancur.
24. TANJUNG BUNTUNG
N
ama Tanjung Buntung saat ini mungkin sudah terdengar asing di telinga masyarakat Kota Tanjungpinang terlebih lagi di kalangan generasi muda. Karena sekitar tahun 19951997 wilayah ini ditimbun atau direklamasi atau ditambak dengan pasir sehingga terjadilah sebuah kawasan jalanan baru yang sekarang kita kenal dengan Jalan Hang Tuah. Tanjung Buntung saat ini lebih dikenal masyarakat dengan nama Melayu Square atau kawasan Monumen Raja Haji Fisabilillah. Wilayah Tanjung Buntung yang masih asli adalah wilayah jalan di depan Hotel Sadaap dan wilayah taman panorama.
Menurut informan bernama Wan Tarhusin dan Ali Achmad31 menjelaskan bahwa penamaan Tanjung Buntung, pertama memang karena wilayah ini berbentuk Tanjung. Sama seperti asal kata Tanjung pada Tanjungpinang. Namun kata Buntung sehingga dikenal menjadi Tanjung Buntung karena dahulu pada saat penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945, banyak Belanda atau bangsa Eropa dan beberapa masyarakat tempatan yang dihukum oleh Jepang. Hukuman itu bisa bentuk memenggal kepala, kaki atau tangan tergantung berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, namun lebih banyak kepada hukuman memenggal kepala. Sehingga penduduk dikurun waktu itu banyak menjumpai mayat yang buntung, atau hanya menjumpai kepala, tangan atau kaki saja dari bagian tubuh manusia. Maka sejak itu penduduk banyak menyebutkan wilayah itu adalah Tanjung Buntung, yaitu dimana sering men31
Hasil Pemaparan Seminar dan Focus Group Discussion Tanggal 07 November 2016
63
jumpai mayat dalam keadaan buntung baik kepala, kaki atau tangannya.
25. GUDANG ARANG
G
udang Arang sekarang merupakan sebuah rumah Bapak Rahman yang telah berubah menjadi kediaman pribadi dengan sepetak usaha londri pakaian di bawah teduhnya pohon beringin tua. Gudang Arang juga merupakan wilayah yang berdekatan dengan Jalan Kampung Jawa tepatnya disamping Masjid At Taubah Jalan Jawa.
Menurut penuturan informan bernama Wan Tarhusin dan Ali Achmad32 menjelaskan bahwa tempat yang sekarang menjadi rumah Bapak Rahman tersebut dahulunya tepatnya pada zaman Belanda berkuasa di Tanjungpinang merupakan sebuah Gudang Arang. Di depan Gudang Arang tersebut terdapat Pelabuhan Batu atau ada yang menyebutnya sebagai Pelabuhan Bom Batu, dimana pelabuhan ini digunakan sebagai tempat menjual atau mengirimkan arang ke daerah lain yang kapal-kapal penjual arang berlabuh di Pelabuhan Batu tersebut. Pelabuhan Batu tersebut tepatnya berada berdekatan dengan Tugu Pensil Tepi Laut saat ini. Antara Gudang Arang dan Pelabuhan Batu dahulunya terdapat rel kereta untuk mengangkut arang ke Pelabuhan Batu, dan kemudian arang tersebut dijual keluar daerah. Setelah tidak dipergunakan lagi, maka wilayah ini menjadi rumah kediaman keluarga Bapak Rahman turun temurun sehingga keluarga yang meninggal dimakamkan disamping rumah tersebut, sehingga sebagian penduduk menyebutnya sebagai Keramat Gudang 32
Hasil Pemaparan Seminar dan Focus Group Discussion Tanggal 07 November 2016
64
Arang.
2.2 SENARAI NAMA JALAN DI KOTA TANJUNGPINANG DAN ASAL USUL SEJARAHNYA
D
ata Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungpinang bahwa jumlah jalan yang ada di Kota Tanjungpinang lebih 526 nama jalan. Namun, berdasarkan data di lapangan masih ada beberapa jalan yang ada di Kota Tanjungpinang sampai akhir 2016 belum diberi nama. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015, di Kota Tanjungpinang terdapat 13 (tiga belas) ruas jalan dengan status Jalan Nasional dengan panjang lebih kurang 33, 16 km. Ruas jalan yang berstatus jalan nasional yang ada di Kota Tanjungpinang antara lain adalah : Jalan Hang Tuah, Jalan Agussalim, Jalan Usman Harun, Jalan Yos Sudarso, jalan Wiratno, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Ahmad Yani, Jalan Raja Haji Fisabilillah, Jalan DI Panjaitan, Jalan Adi Sucipto, Jalan Bandara (belum diberi nama), Jalan Simpang Dompak Lama (belum diberi nama). Jalan yang berstatus jalan nasional menjadi kewajiban pemerintah pusat dalam hal pembangunan dan pemeliharaannya. Jalan Provinsi (Kepulauan Riau) yang ada di Kota Tanjungpinang, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 530.a tahun 2010 terdiri dari 22 (dua puluh dua) ruas jalan dengan panjang secara keseluruhan lebih kurang 54,12 km. Ruas jalan yang berstatus jalan provinsi antara lain ; Jalan Merdeka, Jalan Ketapang, jalan Bakar Batu, Jalan Brigjen Katamso, Jalan MT Haryono, Jalan Gatot Subroto, Jalan Simpang Senggarang, Jalan Sungai carang, Jalan S.M. Amin, Jalan Diponogoro, jalan Sunaryo, Jalan Tugu Pahlawaan, Jalan Dr. Sutomo, Jalan Ir. Sutami, Jalan Teuku
65
Umar, Jalan Nusantara, jalan RE Martadinata, dan ada beberapa jalan yang belum diberi nama. Ruas jalan provinsi merupakan kewenangan dan kewajiban Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau baik pembangunan maupun pemeliharaannya. Selebihnya merupakan jalan kota, dalam arti bahwa segala pembangunan, pemeliharaan dan pelebarannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Tanjungpinang. Berdasarkan data Bina Marga Dinas Pekerjaaan Umum Kota Tanjungpinang, Status jalan kota (Pemerintah Kota Tanjungpinang) sepanjang 416.241 km termasuk di dalamnya nama gang. Jadi, sebenarnya pemetaan status jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kota terletak pada kewajiban pembangunan dan peliharaan semata. Khusus dalam catatan ini, sesuai dengan penelitian, maka akan dijelaskan asal usul atau latar belakang penamaan atau pemberian nama-nama jalan yang ada di Kota Tanjungpinang baik status jalan nasional, status jalan provinsi maupun status jalan kota. Namun, tidak semua nama jalan akan diberi penjelasan. Pemberian keterangan atau penjelasan nama jalan dalam kertas kerja ini hanya nama-nama jalan yang ada hubungannya dengan sejarah masa lalu yang berkelindan dan berhubungan dengan sejarah masa silam, khususnya yang ada hubungannya dengan kearifan lokal dan sejarah kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor. Nama-nama jalan Pahlawan Nasional, tidak akan diberi penjelasan karena memang nama-nama jalan ini sudah menasional dan sejarah kepahlawanannya sudah dikenal secara nasional. Demikian juga nama-nama jalan yang sudah diketahui secara umum yang memang tidak perlu lagi diberi keterangan dan asal usulnya.
66
Penjelasan dan keterangan asal-usul nama jalan di kertas kerja ini hanya terpusat pada kearifan lokal yang ada hubungannya dengan sejarah masa silam yang berkait erat dengan sejarah kebesaran Kerajaan Melayu Riau Lingga Johor. Nama-nama jalan yang akan diberi keterangan atau diberi penjelasan antara lain adalah (1) Jalan Raja Haji Fisabilillah, (2) Jalan Raja Ali Haji, (3) Jalan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, (4) Jalan S.M. Amin, (5) Jalan Tugu Pahlawan, (6) Jalan Sultan Mahmud, (7) Jalan Engku Puteri, (8) Jalan Daeng Marewah, (9) Jalan Daeng Celak, (10) Jalan Sultan Abdul Rahman, dan (11) Jalan Sultan Ibrahim Syah. Berikut ini akan dijelaskan dan akan diuraikan secara singkat asal-usul dan bentangan sejarah yang diabadikan sebagai nama jalan di Kota Tanjungpinang seperti di bawah ini.
(1) JALAN RAJA HAJI FISABILILLAH
R
aja Haji Fisabilillah adalah Pahlawan Nasional dalam perang bahari. Raja Haji Fisabilillah merupakan Yang Dipertuan Muda Riau IV. Beliau adalah putra dari Daeng Celak (Yang Dipertuan Muda Riau II) dan ibunya Tengku Mandak. Lahir pada tahun 1727 di Sungai Carang Hulu Riau. Raja Haji Fisabilillah diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV menggantikan Yang
67
Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja yang wafat pada tahun 1777. Pusat pemerintahan berkedudukan di Hulu Riau Sungai Carang dan membangun istana baru di Pulau Biram Dewa yang dikenal dengan Istana Kota Piring. Sejak itu pusat pemerintahan di Hulu Riau Sungai Carang dikenal sebagai Kota Lama dan Istana Kota Piring di Pulau Biram Dewa disebut sebagai Kota Baru. Raja Haji Fisabilillah sangat membenci kaum penjajah Belanda. Beliau mulai membangun beberapa kubu pertahanan di Pulau Bayan, Tanjung Buntung, Teluk Keriting dan di Bukit Kursi Pulau Penyengat. Setelah merasa pertahanan dan pasukan cukup mapan, maka Beliau mulai memimpin pasukan perang melawan Belanda yang dikenal dengan Perang Riau. Perahu Komando yang dipakai oleh Raja Haji Fisabilillah adalah Bulang Linggi. Perang Riau melawan Belanda dibawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah dimulai pada bulan Oktober 1782 dan puncak kemenangan Raja Haji Fisabilillah pada tanggal 6 Januari 1784 yang ditandai dengan tenggelamnya kapal Belanda “Malaka’s Welvaren” di Pulau Paku depan Tanjung Buntung dengan tewasnya pimpinan pasukan Belanda Arnoldus Lemker serta 500 serdadu Belanda. Akibat kekalahan tersebut maka pasukan Belanda berundur ke Malaka. Tidak puas terhadap kemenangan di perairan Tanjung Buntung Riau (di Pulau paku depan pantai Anjung Cahaya—sekarang) tersebut, pasukan Raja Haji Fisabilillah dengan kekuatan 1000 orang pasukan berangkat ke Malaka untuk menggempur pasukan Belanda. Pasukan perang Riau dibawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah tiba di Teluk Ketapang, Malaka pada tanggal 13 Februari 1784. Gempuran di Malaka dengan taktik inisiatif penyerangan. Pasukan Belanda terdesak. Namun pada saat yang hampir bersamaan
68
datang bantuan pasukan Belanda dari Eropa yang hendak menuju Makasar dan Maluku. Atas permintaan pemerintah tinggi di Batavia, Panglima Perang Jacob Pieter van Bramm, yang berkekuatan 9 buah kapal perang, 2130 personil dengan 326 pucuk meriam, menuju Malaka dan dihadapkan kepada pasukan Raja Haji Fisibilillah. Perang berkecamuk di Malaka dan akhirnya pada tanggal 18 Juni 1784 sejumlah 734 pasukan Belanda menggempur armada Raja Haji Fisabilillah. Perang ini dikenal dengan PERANG SOSOH. Pasukan Raja Haji Fisabilillah bergururan (500 orang sebagai kesuma bangsa) sedangkan dari pihak Belanda 70 serdadu dan 3 opsir mati terbunuh. Raja Haji Fisabilillah yang langsung berhadapan dengan serdadu Belanda terkena tembakan di dadanya hingga gugur. Wafatnya Raja Haji Fisabilillah termaktub dalam tulisan “Maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun bangkit menghunus badiknya dan sebelah tangannya memegang DALAIL AL KHAIRAT. Maka dipeluk oleh beberapa orang maka ditengah berpeluk itu maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun kenalah peluru parus senapang. Maka ia pun rebahlah mangkat syahidlah ia INNALILLAHIWAINNA ILAIHIRAJIUN” Tanggal 24 Juni 1784 jenazah Raja Haji Fisabilillah di bawa ke Malaka dan dimakamkan di Bukit Bendera - Malaka. Pada saat anaknya Raja Jakfar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, maka makam Raja Haji Fisabilillah dipindahkan ke Pulau Penyengat pada tahun 1820 M. Adapun gelar yang selalu melekat pada Raja Haji Fisabilillah adalah Marhum Teluk Ketapang, Raja Api, dan Pangeran Sutawijaya. Atas jasanya, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kepres Nomor 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997 Raja Haji Fisabilillah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dengan tanda jasa Bintang
69
Mahaputera Adipradana yang diserahkan pada tanggal 11 November 1997 oleh Presiden Republik Indonesia Suharto. Jalan Raja Haji Fisabilillah di Kota Tanjungpinang berlokasi di Kecamatan Tanjungpinang Timur dengan panjang lebih kurang 4,54 kilometer dengan status jalan nasional.
(2) JALAN RAJA ALI HAJI
N
ama Jalan Raja Ali Haji diambil dari seorang tokoh besar Pahlawan Nasional Bidang Bahasa, yaitu Raja Ali Haji. Jalan ini terletak di kilometer 4 Tanjungpinang. Tempat sejarah di sisi jalan ini antara lain adalah gedung sekolah, yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN—dulunya Sekolah Pendidikan Guru Agama atau PGA), MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri, dan Taman Lapangan Pamedan A. Yani. Raja Ali Haji adalah putra dari Raja Haji Ahmad dan ibunya Encik Hamidah. Raja Haji Ahmad sendiri adalah anak dari Raja Haji Fisabilillah. Jadi Raja Ali Haji adalah cucunya Raja Haji Fisabilillah yang juga Pahlawan Nasional. Raja Ali Haji merupakan sosok dan tokoh yang sangat peduli terhadap perkembangan Bahasa Melayu. Dia adalah seorang yang cendekia, ulama, pujangga, dan budayawan. Kegamangan Raja Ali Haji terhadap Bahasa Melayu mulai ketika pada tanggal 16 April 1685 Kerajaan Johor mengadakan perjanjian dengan VOC. Sejak saat itu penggunaan Bahasa Melayu mulai terjadi asimilasi dengan bahasa Belanda dan terjadi perbedaan yang meluas terhadap perkembangan Bahasa Melayu. Sejak peperangan antara Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda Riau IV dengan Belanda (1777-1786) dan ditandai dengan
70
gugur syahidnya Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji menyadari bahwa perjuangan terhadap martabat dan marwah Kesultanan Kerajaan Riau harus tetap dilanjutkan. Raja Ali Haji terus berupaya membangkitkan cinta tanah air melalui karya tulis. Keintelektualannya telah mampu menghasilkan karya yang mampu menyemangati sikap dan rasa kemerdekaan dan membenci sikap keserakahan kaum penjajah. Raja Ali Haji berjuang melalui idiom lain, yaitu pemurnian Bahasa Melayu. Raja Ali Haji adalah tokoh sentral sebagai budayawan, pujangga, dan penulis pada zamannya. Karya pundamentalnya bertebaran tidak saja di bidang bahasa tetapi juga bidang lainnya. Senarai karya Raja Ali Haji antara lain; Gurindam Dua Belas (1847), Bustan Al-Katibin (1857), Mukaddimah Fi Intizam (1857), Kitab Pengetahuan Bahasa (1859), Silsilah Melayu dan Bugis (1865), Tuhfat Al-Nafis (1865), Syair Suluh Pegawai (1866), Syair Siti Sianah (1866), Syair Sinar Gemala Mestika Alam, dan Syair Hukum Faraid. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan karya yang paling penting karena kitab ini adalah Kamus Pemurnian Bahasa Melayu sekaligus sebagai Kamus Bahasa pertama terhadap perkembangan Bahasa Indonesia. Karena karya itu pulalah, Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 089/ TK/2004 yang ditandatangani Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, Raja Ali Haji diangkat sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya sebagai “Tokoh Pemurnian Bahasa Melayu Riau menjadi Bahasa Indonesia. Plakat Pahlawan Nasional ini diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 11 November 2004. Raja Ali Haji wafat pada tahun 1873 dan dimakamkan di Pulau Penyengat Indera Sakti.
71
(3)
S
JALAN SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAMSYAH
ultan Riau I adalah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Nama aslinya adalah Tengku Sulaiman putra Sultan Johor Riau-Pahang Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Ayahnya mati dibunuh oleh Raja Kecil dan kemudian mengambil alih kekuasaan. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah meminta bantuan lima orang putra bangsawan Bugis yaitu Daeng Marewah, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Manambun, dan Daeng Kemasi untuk merebut tahta Kerajaan Johor-Riau-Pahang dari Raja Kecil. Tengku Sulaiman yang dibantu bangsawan Bugis berhasil mengalahkan Raja Kecil dan pada tanggal 04 Oktober 1722 M dilantik menjadi Sultan Riau I dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan dikenal pula sebagai Yang Dipertuan Besar. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berkuasa sejak 1722 sampai dengan 1760 M. Atas jasa bangsawan Bugis terhadap Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, maka beliau mengangkat Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan (Raja) Riau I. Tugas dan wewenang Yang Dipertuan Muda antara lain menjalankan roda pemerintahan kerajaan. Pada tahun 1760 Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah wafat dan dikebumikan di Kampung Melayu Kota Piring Kecamatan Tanjungpinang Timur.
(4)
JALAN S.M. AMIN
M
r. Sutan Mohammad Amin Nasution lahir di Lhoknga (Aceh) 22 Februari 1904. S.M. Amin pernah mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Sabang (1912) lalu pindah ke Solok (1915-1916), Sibolga (1916-1918), dan Tanjungpinang (1918-1919), melanjutkan ke STOVIA Batavia 1919-1921, MULO
72
(sekarang SMP) Batavia (1921-1924), AMS (sekarang SMA) Yogyakarta (1924-1927) dan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtschoogeschool) Batavia (1927-1933).
Pada masa sebelum kemerdekaan, S. M. Amin merupakan Tokoh Jong Sumatera Bond, Tokoh Pergerakan Sumpah Pemuda, Pengacara dan Penulis (nama penanya Krueng Raba Nasution. S.M. Amin menjadi Gubernur Sumatera Utara yang pertama (18 Juli 1948 - 01 Desember 1948), Gubernur Sumatera Utara ke-4 (23 Oktober 1953 - 12 Maret 1956), dan menjadi Gubernur Riau yang pertama dan dilantik di Gedung Daerah Tanjungpinang (5 Maret 1958 - 06 Januari 1960). S.M. Amin dilantik menjadi Gubernur Riau yang pertama di Gedung Daerah Tanjungpinang karena pada waktu itu Tanjungpinang sebagai ibukota Provinsi Riau dari hasil pemekaran Provinsi Sumatera Tengah. Pembentukan Provinsi Riau yang berkedudukan di Tanjungpinang berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1957. Namun, pada tahun 1960 ibukota Provisni Riau dipindahkan ke Pekanbaru. S.M. Amin meninggal pada tanggal 16 April 1993 di Jakarta. Jalan S.M. Amin persis berada di sebelah kanan Gedung Daerah yang terletak di Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan panjang lebih kurang 100 meter (km post awal 0 + 000 dan akhir 0 + 100).
73
(5)
J
JALAN TUGU PAHLAWAN
alan Tugu Pahlawan berlokasi di Kecamatan Tanjungpinang Barat dengan status jalan provinsi yang panjangnya lebih kurang 0,8 kilometer. Jalan ini dinamai Jalan Tugu Pahlawan karena di pangkal jalan di dalam halaman gedung Sekolah Dasar Nomor 011 Tanjungpinang Barat terdapat sebuah tugu yang dinamai Tugu Pahlawan berbentuk lancip ke atas yang bertuliskan “KAULAH PAHLAWAN SEJATI RAGAMU MUSNAH… KUKENANGKAN TJITA2MU MENJALA…KULANJUTKAN UNTUK IBU PERTIWI”
Menurut informasi, Tugu Pahlawan ini dibangun sebagai pengganti 6 (enam) makam pahlawan yang pernah ada di lokasi tersebut. Di lokasi ini awalnya terdapat 6 (enam) makam pahlawan. Setelah dilakukan pemindahan makam pahlawan di Makam Pahlawan Pusara Bakti kilometer 5 Tanjungpinang, keenam makam pahlawan ini pun turut dipindahkan ke lokasi tersebut. Maka sebagai penggantinya dibangunlah Tugu Pahlawan pada tahun 1960.
(6)
J
JALAN SULTAN MAHMUD
alan Sultan Mahmud berlokasi di Tanjung Unggat dengan panjang jalan 1,175 kilometer dan lebar 4 meter. Jalan Sultan Mahmud mengingatkan kita pada sosok seorang Sultan yang dianggap sebagai Sultan terakhir di Kesultanan Malaka dan Sultan pertama di Negeri Bintan.
Sultan Mahmud Syah sebenarnya adalah Sultan Kerajaan Melayu yang berkedudukan di Malaka. Sejak kejatuhan Malaka di tangan Portugis pada tahun 1511, Sultan Mahmud Syah mulai menyingkir ke daerah lain seperti Pahang dan kemudian pindah ke Bentan. Dari sinilah bermulanya Kesultanan Melayu Johor-Riau. Penetapan Bentan sebagai pusat pemerintahan bukan tidak beralasan. Sultan Mahmud beranggapan bahwa Bentan merupakan
74
daerah yang terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional. Di samping itu dari Bentan akan mudah melakukan penyerangan balasan terhadap Portugis di Malaka. Usaha Sultan Mahmud untuk memajukan perdagangan dengan cara menarik pedagang-pedagang ke wilayah Bentan dan memboikot usaha Portugis untuk berdagang dengan pedagang Melayu di sekitar Selat Malaka. Kebencian dan dendam terhadap Portugis membuat Sultan Mahmud mengorganisasi kekuatan perangnya dengan mengadakan kerjasama dengan Kerajaan Kelantan, Perak, Trengganu, Pahang, Johor, Singapura, Inderagiri, Kampar, Siak, dan Rokan. Sultan Mahmud memperkuat armada Angkatan Laut dengan panglimanya yang terkenal adalah Laksmana Hang Nadim, Kojah Hasan, Sang naya, dan Sang Setia. Menurut catatan sejarah, empat kali Sultan Mahmud melakukan penyerangan dan berperang melawan Portugis sampai akhirnya di mangkat pada tahun 1528 di Kampar.
(7)
E
JALAN ENGKU PUTERI
ngku Puteri, nama aslinya adalah Raja Hamidah merupakan putri Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau IV. Kelahiran Raja Hamidah tidak diketahui secara pasti. Namun dijelaskan bahwa tempat kelahirannya di Hulu Riau, tepatnya di Istana Kota piring, Biram Dewa. Setelah ayahnya Raja Haji Fisabilillah wafat akibat perang dengan Belanda di Teluk Ketapang (1784), Raja Hamidah dan saudaranya dibawa oleh sepupunya Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V menyingkir ke Sekudana Kalimantan Barat akibat tekanan politik
75
JV Van Bram (Belanda). Kemudian mereka pindah ke Siantan dan Selangor. Setelah Belanda mengakui Kerajaan Riau secara de facto kepada Sultan Mahmud Syah III, Raja Hamidah kembali ke Riau. Pada tahun 1803, Raja Hamidah menikah dengan Sultan Mahmud Syah III (Marhum Masjid Lingga, 1784-1806) dengan mas kawinnya adalah Pulau Penyengat Indera Sakti. Setelah menikah dengan Sultan Mahmud Syah III, Raja Hamidah lebih dikenal dengan gelar Engku Puteri Raja Hamidah. Sejak saat itu pula Pulau Penyengat mulai dijadikan sebagai tempat kediaman Raja Hamidah dan Saudara-saudaranya. Sejak Raja Jakfar (saudara laki-laki Raja Hamidah) diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda (1806) Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Sosok Engku Puteri Raja Hamidah disebut sebagai tokoh budaya pikir di kalangan perempuan Melayu di zamannya. Warisan budaya pikir Engku Puteri Raja Hamidah adalah tentang perempuan. Takrifnya tentang istilah perempuan, nilai-nilai perempuan, sifat semula jadi perempuan, mengenal kecantikan, kesehatan dan keterampilan perempuan Melayu merupakan hasil pemikirannya yang sampai kini masih sangat relevan. Dalam masa Kerajaan Riau Lingga, peran Engku Puteri Raja Hamidah tidak dapat dipandang sebelah mata. Peran penting dan pengaruhnya sangat diperhitungkan oleh pembesar kerajaan dan pihak Belanda. Hal ini karena Engku Puteri Raja Hamidah adalah pemegang alat kebesaran kerajaan atau regalia kerajaan. Regalia Kerajaan merupakan alat kebesaran kerajaan yang dipakai pada saat upacara penggantian atau pelantikan Sultan atau Yang Dipertuan Muda. Sultan Mahmud memilih Engku Puteri Raja Hamidah sebagai pemegang regalia kerajaan dan memberikan amanah tersebut kepadanya karena Engku Puteri Raja Hamidah memiliki kharisma yang tinggi dan karena beliau juga merupakan anak Raja
76
Haji Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang. Karena Regalia Kerajaan dipegang oleh Engku Puteri Raja Hamidah maka dapat dipastikan bahwa untuk menetapkan Sultan atau Yang Dipertuan Muda harus mendapat restu dari Engku Puteri Raja Hamidah. Engku Puteri Raja Hamidah wafat pada tanggal 7 Juli 1844 (28 Rajab 1260 H) di Pulau Penyengat. Jalan Engku Puteri panjangnya 555 meter dengan lebar 6 meter terletak di Kecamatan Bukit Bestari.
(8)
S
JALAN SULTAN ABDUL RAHMAN
ultan Abdurrahman menjadi Sultan sejak 1812 hingga 1824, menggantikan Sultan Mahmud Syah III. Terjadi pertentangan di Kerajaan Melayu pada saat akan dilakukan penggantian Sultan pengganti Sultan Mahmud Syah III. Anak tertuanya bernama Tengku Husin dan adikya Tengku Abdurrahman. Namun atas keinginan Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jakfar, maka diangkatlah Tengku Abdurrahman dengan gelar Sultan Abdurrahman.
Tengku Husin pada waktu itu tidak berada di Lingga karena sedang berada di Pahang. Sementara menurut adat Kerajaan Melayu bahwa pengangkatan Sultan yang baru harus dilakukan sebelum Sultan Mahmud Syah III dikebumikan. Setelah terjadinya perjanjian yang dikenal dengan Traktat London 1824, maka Kesultan Melayu terbagi dua, yaitu di Semenanjung Malaka di kuasai oleh Inggeris sedangkan di Daerah Riau dikuasai oleh Belanda. Setelah perjanjian itu, Belanda mengukuhkan Sultan Abdurrahman tetap menjadi Sultan Riau Lingga yang berkedudu-
77
kan di Daik Lingga hingga wafat pada 12 Rabiul Awal 1284 H (1832 M) dan dimakamkan di Bukit Cengkih Daik Lingga dengan sebutan Marhum Bukit Cengkih.
(9)
JALAN DAENG MAREWAH
D
aeng Marewah adalah Yang Dipertuan Muda Riau I (17221728 M). Daeng Marewah dijuluki sebagai Kelana Jaya Putra. Daeng Marewah merupakan Putra Bangsawan Bugis diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau I karena beliau adalah satu dari lima orang Bangsawan Bugis yang ikut membantu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah merebut Kerajaan Johor-Riau-Pahang dari Raja Kecik (Kecil). Atas jasa itulah maka oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Daeng Marewah diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau I pada tahun 1722. Daeng Marewah meninggal dunia (1728) dan dimakamkan di Pusat Kerajaan Riau di Sungai Baru Hulu atau Sungai Carang dan bergelar Marhum Mangkat Sungai Baharu
(10)
JALAN DAENG CELAK
D
aeng Celak adalah Yang Dipertuan Muda (Raja) Riau II (1728-1745 M). Setelah wafatnya Daeng Marewah, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah melantik Daeng Celak sebagai penggantinya. Sama halnya dengan Daeng Marewah, Daeng Celak juga merupakan bangsawan Bugis yang ikut membantu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah merebut kekuasaan kerajaan Johor-Riau-Pahang dari kekuasaan Raja Kecil. Daeng Celak wafat dan dimakamkan di pusat kerajaan yang pada waktu itu berkedudukan di Hulu Sungai Carang.
78
(11) JALAN SULTAN IBRAHIMSYAH.
S
ulthan Ibrahimsyah (1677-1685 M) adalah putra Sultan Abdul Jalilsyah III. Pada masa pemerintahannya pusat Kerajaan Johor dipindahkan ke Bentan Riau pada tahun 1978. Dengan pemindahan pusat kerajaan dari Johor ke Bentan Riau telah mengembalikan kejayaan pada masa lalu yaitu Kerajaan Sriwijaya, Melaka dan Johor. Sulthan Ibrahimsyah membangun angkatan perangnya yang sangat kuat.
Setelah angkatan perangnya kuat, beliau mulai melebarkan daerah taklukan kesultanannya dengan menyerang Jambi yang pada waktu itu menjadi taklukan dinasti Singosari. Pada masa ini, Sulthan Ibrahimsyah berhasil menjadikan Johor sebagai pusat imperium Melayu. Menurut catatan sejarah, Sulthan Ibrahimsyah inilah yang mula-mula menyampaikan berita di Johor bahwa Kerajaan Kota Piring di Hulu Sungai Carang sudah riuh. Dari istilah RIUH inilah kemudian berkembang nama daerah ini menjadi RIAU. Sultan Ibrahimsyah wafat pada tahun 1685 M dan dimakamkan di Hulu Riau Sungai Carang. Di samping makam beliau terdapat makam Panglima Hitam (pengawal Sultan Ibrahimsyah). Jalan Sultan Ibrahimsyah ini terletak mulai Simpang Senggarang sampai Tanjung Sebauk di Kecamatan Tanjungpinang Kota.
79
BAB III
PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Kota Tanjungpinang memiliki warisan sejarah, budaya, seni dan karya agung sejak berabad-abad yang silam yang ditandai dengan adanya pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Riau. 2. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Kota Tanjungpinang juga memiliki peran yang sangat luar biasa yaitu sebagai pusat keresidenan. 3. Karena sifat patriotisme pembesar Kerajaan Melayu Riau Lingga, maka Kota Tanjungpinang telah melahirkan dua orang pahlawan nasional yaitu Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji. 4. Sebagai kota sejarah, kota budaya, kota pujangga, kota gurindam, negeri pantun, kota Akau, Tanjungpinang memiliki daya tarik tersendiri sehingga layak untuk dipromosikan untuk kepentingan kepariwisataan dan bisnis lainnya. 5. Banyak tempat atau daerah di Kota Tanjungpinang memiliki cerita dan asal usulnya sehingga sangat menarik untuk dijadikan sebagai bahan rekreasi edukasi bagi masyarakat umumnya dan pelajar khususnya. 6. Kota Tanjungpinang dapat dianggap sebagai sebuah Kota
80
yang memiliki peran kejuangan patriotisme terhadap anti penjajahan yang dibuktikan dengan kemenangan perlawanan Raja Haji Fisabilillah terhadap Belanda pada tanggal 6 Januari 1784.
3.2 Rekomendasi
1. Diharapkan kepada pemerintah Kota Tanjungpinang untuk terus mempertahankan dan menggelorakan semangat kejuangan, semangat mengingat sejarah, semangat mewariskan budaya dan tradisi Melayu agar terus berkembang di bumi Melayu Kota Tanjungpinang. 2. Agar penamaan nama tempat atau nama jalan dengan mempertimbangkan aspek sejarah, aspek budaya dan aspek kepurbakalaan. 3. Penamaan nama jalan baru agar tetap menggunakan aksara Indonesia yang di bawahnya ditambah dengan aksara Arab Melayu karena dapat menambah nilai plus dan memberikan pewarnaan bahwa aksara Arab Melayu telah berkembang dan dikembangkan di Kota Tanjungpinang melalui lembaga pendidikan. 4. Nama tempat atau kampung yang sudah memiliki nama dikembalikan kepada nama asalnya. Contoh Tanjungbuntung yang menjadi nama Melayu Square. 5. Agar pencatatan nama tempat dapat disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat lebih diketahui kesejarahannya.
81
DAFTAR PUSTAKA
Andaya, Leonard Y. 1987. Kerajaan Johor 1641-1728. Pembangunan Ekonomi dan Politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka, Kemen terian Pendidikan Malaysia. Arda, Fitra. dkk. 2007. Panduan Cagar Budaya Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang. Atatrick, H. Akmal. 2009. Batu Tajam Menuju Kota Otonom Tanjungpinang. Tanjungpinang: Milaz Grafika. Dahlan, Ahmad. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Effendi. Tenas. 1983. Pulau Penyengat Bekas Pusat Pemerintahan Raja-Raja Melayu di Kepulauan Riau. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Departemen P&K. Effendy, Tenas. 1993. Lambang dan Falsafah dalam Arsitektur dan Ragam Hias Tradisional Melayu Riau. Pekanbaru :Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Kebudayan Daerah Riau. Galba, S, Winoto, G, Gafnesia, DN, Wijaya, A Swastiwi,Anatasia W. 2001. Sejarah Kerajaan Riau Lingga. Tanjungpinang: Bappeda Kab. Kepri bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah & Nilai Tradisional. Gunawan, Markus. 2008. Provinsi Kepulauan Riau. Batam: Titik Cahaya Elka. Haji, Raja Ali. 2002. Tuhfat Al- Nafis. Tanjungpinang: Dinas Pariwisata
82
Kabupaten Kepulauan Riau dan Yayasan Khazanah Melayu. Hashim, Muhammad Yussof. 1992. Hikayat Siak. Dirawikan oleh Tengku Said. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Hooker, Virginia Matheson. 1991. Tuhfat Al Nafis: Sejarah Melayu - Islam, Ekonomi dan Politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia. Ibrahim, Abdul Kadir, dkk. 2004. Aisyah Sulaiman Riau Pengarang dan Pejuang Perempuan. Pekanbaru: Unri Press. Ibrahim, Abdul Kadir, dkk. 2010. Raja Haji Fisabilillah. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kadir, H.M. Daud. dkk. 2008. Sejarah Kebesaran Kesultanan Lingga-Riau. Lingga: Pemerintah Kabupaten Lingga. Liamsi, Rida K. 2016. Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu. Pekanbaru: Sagang Intermedia. Liamsi, Rida K. 1997. Tanjungpinang Kota Bestari. Tanjungpinang: Kotip Tanjungpinang. Masot, Gilles, Bintan. 2003. Phoenix of the Malay Archipelago. Tanjungpinang: Gunung Bintan. Meuraxa, Dada. 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Penerbit Firma Hasmar. Nasir, Abdul Halim & Wanteh,Wan Hashim. 1994. Rumah Melayu Tradisi. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD. Pemerintah Kota Tanjungpinang. 2006. Tanjungpinang Land of Malay History. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pemerintah Kota Tanjungpinang. 2012. Tanjungpinang dari Ingatan ke
83
Kenyataan. Tanjungpinang: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang. Perret, D, “Kotaraja Dalam Melayu Lama” dalam Chambert-Loir, Henri & Ambary, HM ed. 1999. Panggung Sejarah. Persembahan Kepada Prof. DR.Denys Lombard Ecole francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Sofyan, Faisal. 2014. Sejarah Persemendaan Melayu dan Bugis. Tanjungpinang: BPAD Kepri dan Milaz Grafika. Tjandrasasmita, Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Penerbit Menara Kudus. Vlatseas, S. 1990. A History of Malaysian Architecture. Singapore: Longman Singapore Pte.Ltd. Wahyuningsih, Abu, Rivai. 1984. Arsitektur Tradisional Daerah Riau. Jakarta: Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Kebudayaan Daerah Depdikbud. Yuan. Lim Yee, 1987. The Malay House Rediscovering Malaysia’s Indigenous Shelter System. Pulau Pinang: Institut Masyarakat. Yunus, Hamzah. 2003. Peninggalan-Peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat. Pekanbaru: Unri Press & Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat. Yussuwadinata. dkk. 2007. Lintas Ziarah Hari Jadi Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
84
DAFTAR NARASUMBER
NO 1
NAMA NARASUMBER Rianto, MA
KETERANGAN Pekerjaan Alamat
2
3
: :
Umur Ruddy Firmansyah, Pekerjaan S.Sos Alamat Umur Shahril Budiman, Pekerjaan MPM Alamat
: :
Umur Pekerjaan Alamat Umur Pekerjaan
: : : : :
Alamat Umur
: :
4
Raja Bujang
5
Abdul Karim Ahmad
85
: : : :
Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang Jalan Lembah Purnama 49 Tahun Dosen STIP Sahid Bintan Tanjungpinang Timur 45 Tahun Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang Jalan Makam Pahlawan Km.5 Bawah 28 Tahun Pensiunan PNS Jalan Kamboja 70 Tahun Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kepulauan Riau Jalan Gudang Minyak 65 Tahun
6
Raja Muhammad
7
Shoffina Husein
8
Nanik Isnaini
9
Dicky Novalino
10
Nurbaiti Usman Siam, M.Si
11
Rahman
12
Abdul Razak
13
Ali Achmad
Pekerjaan Alamat Umur Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat
: : : : : : : : : : :
Usia Pekerjaan
: :
Alamat Usia
: :
Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat
: : : : : : : :
Usia
:
86
Pensiunan PNS Jalan Gudang Minyak 70 Tahun Ibu Rumah Tangga Jalan Jawa 28 Tahun Ibu Rumah Tangga Jalan Jawa 28 Tahun Swasta Jalan Usman Harun Teluk Keriting 28 Tahun Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang Jalan Kuantan 48 Tahun Swasta Jalan Batu Kucing 65 Tahun Swasta Jalan Kemboja 52 Tahun Pensiunan Guru PNS Jalan Lembah Purnama 65 Tahun
14
Wan Tarhusin
15
Gilang Ananda
16
Syamsu AK
17
Mahebat
18
Roby Supriadi
19
Maimunah
20
Azim Rahmat
21
Kamariah
22
Ety Rusdiani
Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat Usia Pekerjaan Alamat
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Usia Pekerjaan Alamat Usia
: : : :
87
Pensiunan Guru PNS Jalan Riau 65 Tahun Pelajar Pulau Penyengat 17 Tahun Swasta Pulau Penyengat 38 Tahun Ibu Rumah Tangga Dabo Singkep 61 Tahun Swasta Lingga 38 Tahun Ibu Rumah Tangga Jalan RE Martadinata 72 Tahun Swasta Senggarang 70 Tahun Ibu Rumah Tangga Kampung Bulang Km. 5 Bawah 55 Tahun Ibu Rumah Tangga Kampung Bugis 43 Tahun
23
La Paidi
Pekerjaan Alamat Usia
: : :
Swasta Kampung Bugis 50 Tahun
24
Salmah Sayang
Pekerjaan Alamat Usia
: : :
Ibu Rumah Tangga Berakit 71 Tahun
88
TENTANG PENULIS RENDRA SETYADIHARJA, S.Sos., M.I.P, Lahir di Tanjungpinang tanggal 20 Maret 1986, merupakan seorang penyair dan juga dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji Tanjungpinang Kepulauan Riau. Selain itu juga merupakan anggota Komisi Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Karya yang telah dibukukan yaitu Gurindam Mutiara Hidup (2010), Antologi Karya Tulis Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah Jantung Kejayaan Kota Tanjungpinang (2010) dan Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Percakapan Lingua Franca (2010) dan Ketika Lensa Ketika Kata, Kumpulan Foto dan Puisi (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang, 2011). Antologi Cerpen Tujuh Senja Tujuh Purnama (Leutika Prio, 2011), Antologi Puisi Untuk Indonesia, Warna Warni Doa Dalam Sajak Kami, Meta Kata Publishing (2013), Antologi Puisi Memahat Mega Makna, Soega Publising (2013), Tusiran Suseno, Sang Maestro Pantun Tusiran Suseno Dalam Kenangan Keluarga, Sahabat dan Murid, Yayasan Kalpataru (2012), Tuah Kalam-Cakap Rampai Politik dan Pemerintahan (Leutika Prio, 2014), Antologi Puisi Menolak Korupsi 4 Eksiklopegila Koruptor (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo Untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Senandung Mata
89
Kaca (Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, 2016), Antologi Puisi Temu Penyair Nusantara Pasie Karam (DK Aceh Barat, 2016), Antologi Puisi Hari Puisi Indonesia Tahun 2016 Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indoensia, 2016). Selain karya-karya sastra penulis juga menulis di berbagai Karya Ilmiah dan Jurnal, baik Nasional dan Internasional seperti; The First Asian Postgraduate Research Improving Human Life (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014), 1st Khon Kaen University International Conference On Public Administration Proceedings Public Affairs in Asean Community (Khon Kaen University Thailand, 2014), Proceedings Book International Conference On Public Organization Social Enterpreneurship Driving Sustainable Change Beyond The Millenium (APSPA, 2014), Prosiding Konvensyen Serantau Pengajian Islam 2014, Isu, Penilaian dan Pemerkasaan (KUIM Malaka Malaysia, 2014), Manajemen Birokrasi dan Kebijakan Penelurusan Konsep dan Teori (Pustaka Pelajar, 2014), The Asian Journal Techonology Management (ITB, 2014), Jurnal Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Panca Sakti Tegal (UPS, 2015), 1st International Conference Proseedings Books Contemporary Institutions and New Perspectives on Public Policy (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2015), Proceedings Books International Conference On Public Organization V Asean Integration Opportunities and Challenges (APSPA, 2015), Prodising Seminar Nasional 2016 FISIPOL Universitas Muhammadiyah Ponorogo Evaluasi Pilkada Serentak Membangun Kesadaran Politik dan Komunikasi Partisipatoris Menuju Penguatas Tata Kelola Pemerintahan (Fisipol Universitas Muhammadiyah Ponogoro, 2016), Proceedings International Conference On Social Politics The Challenges of Social Science in a Changing World (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016). Jurnal Aristo Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2016).
90
Selain itu juga menghasilkan beberapa penelitian seperti Potensi Desa Kabupaten Lingga dan Bintan (LKPOD, 2014), Pandangan Masyarakat Terhadap Kapasitas dan Kapabilitas Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Bintan Tahun 2015 (LKPOD, 2015), Persepsi Masyarakat Terhadap Standar Pendidikan Nasional di Kota Tanjungpinang Tahun 2015 (Dewan Pendidikan Kota Tanjungpinang, 2015), Profil Sastrawan Kepulauan Riau (Bappeda Provinsi dan Kajian Tamadun Melayu Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2015). Penulis ini juga pernah meraih beberapa penghargaan yaitu Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama Selama 6 (Enam) Jam Tanpa Henti di Taman Ismail Marzuki Jakarta Tanggal 28 April 2008, dan Anugerah Gelar TOK dalam Bidang Budaya dari Dewan Pemuda Melayu Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. ****
91
YOAN SUTRISNA NUGRAHA, adalah budak melayu produk Januari 1989 berdarah Sunda-Jepang yang tersesat di negeri kata-kata Tanjungpinang sejak 2003 silam. Di tahun itu pula, dia mulai merangkak dalam mendaki puncak kata yang diawali dengan ikut-ikutan ragam lomba pantun dan puisi yang selalu dimenanginya hingga ke manca negara. Tak cukup dengan mendaki, Yoan juga mulai merangkak dengan menetaskan beragam buku antologi puisi, pantun maupun cerpen di pelbagai penerbitan. Sebut saja kumcer 7 senja 7 purnama, kumpulan Pantun bersama mantan walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan. Ada juga kumpusi ketika lensa ketika kata dengan puluhan fotografer ternama, dan beberapa buku lainnya hingga sampai di puncak pertama dengan memberanakkan 2 buku yang bertentangan, 1 buku kumpulan pantun rekor MURI sebagai buku dengan sampiran sama terbanyak berjudul NEGERI PANTUN, dan buku 3 Jurus Jitu Hypnolearning sebagai sumbang bakti setelah meniduri lebih dari 100.000 siswa se-Kepulauan Riau dengan metode hypnomotivasi. Tentunya atas persetujuan guru, kepala sekolah maupun kepala dinas pendidikan terkait bersama yayasan hypnotherapy center. Dilain sisi, anak dari pasangan Mahebat dan Allahyarham Ra-
92
den Nana Suyatna merupakan purnawirawan Guru SMAN.6 dan SMAN.3 Tanjungpinang bidang studi Kesenian periode (20092016) yang sekarang sudah sepakat membenamkan dirinya menjadi kuli ketik kata-kata di Harian Tanjungpinang Pos. Terkadang dia juga menunjukkan penampakan di instagram @ yoanSnugraha atau berkicau di twitter dengan (@) yang sama. Tidak susah untuk menghubunginya, bisa menyurati dengan tujuan alamat
[email protected]
93
TENTANG EDITOR DATO’ HAJI TAMRIN DAHLAN, SPN, Drs. M.Si., lahir di Kepulauan Riau 10 Juni 1966. Karya-karya yang telah diterbitkan antara lain, 999 GPS (Gurindam Pantun, dan Syair), (2013), Adat Istiadat Perkawinan Melayu, (2010,2011), Antologi Pantun Tanjungpinang (2011), Pantun dalam Perkawinan Melayu (2005, 2007), Pagar Darah (Kumpulan Puisi, 2007), Puisi “Antara Dompak dan Senggarang” dalam Percakapan Lingua Pranca,( 2011), “Unsur Seks dan Romantis Naskah Tuhfat al-Nafis”,” Remaja dan Prilaku Kekinian”, “Pantun Sebagai Media Edukasi”, “Pantun sebagai Kreatifitas dan identitas”. Kegiatan sosial lain yang digelutinya adalah sebagai PEMANTUN dalam acara pertunangan dan perkawinan Melayu. Sampai tahun 2016 lebih dari 1500 pasangan pengantin sudah dipantunkannya. Karena kepiawaiannya berpantun dalam adat perkawinan Melayu, maka ia mendapat gelar SPN (Spesialis Pemantun Nikah) dari komunitasnya. Beliau juga aktif sebagai penyangga budaya dan pawang tradisi Melayu melalui Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau.
94
LIA OCTAVIA, S.Kom lahir di Pancur Lingga 5 Oktober 1988 menyelesaikan S-1 Komputer di STTI tahun 2010.
95
Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang ©2016, Rendra Setyadiharja, Yoan Sutrisna Nugraha Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Diterbitkan Pertama kali oleh Badan Perpustakaan, Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang Tanjungpinang- Provinsi Kepulauan Riau Penulis : Rendra Setyadiharja, S.Sos, M.I.P Yoan Sutrisna Nugraha Editor : Drs. H. Tamrin Dahlan, M.Si Lia Octavia, S.Kom Desain Kaver Rizky Nanda Hidayat Desain Layout Adi Pranadipa ISBN:
96
97
98