TIPE KEPRIBADIAN PADA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DAUN YANG JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Dasef Maulana 1110013000104
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Dasef Maulana. NIM: 1110013000104. “Tipe Kepribadian pada Tokoh Utama dalam Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kepribadian tokoh utama dalam menggambarkan kepribadian tokoh utama serta implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif analitik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Kepribadian tokoh utama, Tania memiliki 13 kepribadian. Terbilang ada 9 sifat melankolis, intovert, berpikir keras, setia, teguh pendirian, sensitif, teliti, perfeksionis, tegar, dan keras kepala. Selain memiliki kepribadian melankolis, Tania juga memiliki 3 kepribadian lainnya, yakni phegmatis, koleris, dan sanguinis. Sifat Tania yang tergolong ke dalam kepribadian phegmatis adalah pengamat, kemudian yang termasuk dalam kepribadian koleris adalah tidak sabar, lalu sisi kesanguinisannya terlihat pada jiwa sosial dan menyakinkan. Semua sifat yang dimiliki Tania memiliki fungsi dalam pengembangan alur. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester ganjil. Peserta didik bisa belajar bagaimana cara menganalisis. Selama ini, dalam pembahasan penokohan, peserta didik hanya diarahkan untuk mendata sifat seperti apa yang dimiliki oleh seorang tokoh dan apa bukti kutipannya. Dengan membaca penelitian ini, peserta didik bisa mengetahui bagaimana cara menganalisis sifat-sifat tersebut dan juga belajar mengaitkan unsur intrinsik yang satu dengan lainnya.
Kata kunci: tokoh utama, kepribadian, karakter, novel, Tere Liye.
i
ii
ABSTRACT Dasef Maulana. NIM: 1110013000104 "Character types of lead role in Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Novel by Tere Lliye and its implications towards literature learning in high school. Department of Indonesian Learning and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training. Syarif Hidayatullah State Islamic University. This research was to examine the character of leading role in describing the character of leading role with its implication towards literature learning in high school. Method used in this research was analytical descriptive qualitative. Approoach used in this research was objective approach. The result of this research was as follow: the character of leading role, Tania had 13 personalities.There were 9 melancholy,introvert, think-out-loud, loyal, tenacious, sensitive, meticulous, perfectionist, patience and stubborn. Besides melancholy, Tania also had 3 other personalitie namely,phegmatic, choleris, and sanguinis. Tania's character which was included in phegamatic personality was observe, then which was included in choleris was impatience, then her angunicity could be seen on her social life and convince.All of characters own by Tania has their function in developing plot. This research can be implemented in Indonesian learning and literature in twelfth class, odd semester. Students could learn how to analyze. Before, in learning character, students were only directed on what a role has and its proven citation. By reading this research, students could know how to analyze that characters and also learn to relate intrinsic element each other.
Key words: Leading role, personality, characrer, novel, Tere Liye.
iii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabb al-‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, kesehatan, kasih sayang, dan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi berjudul “Tipe Kepribadian pada Tokoh Utama dalam Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta dari berbagai pihak, skripsi ini rasanya hampir mustahil dapat terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; 2. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; 3. Dosen Pembimbing, Ahmad Bachtiar, M. Hum. yang selama ini tidak pernah lelah membimbing penulis dalam memberikan arahan dan saran dalam pengerjaan skripsi; 4. Para dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis; 5. Kedua orang tua penulis, Bapak Asnaf dan Ibu Onah yang telah merawat, mendidik, mendoakan, dan mendukung penulis dengan kasih sayang sepanjang masa; 6. Kakak-kakak, keponakan-keponakan tercintaku, dan segenap keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
iv
7. Segenap keluarga besar Uye, keluarga besar komunitas Majelis Kantiniyah, teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010, dan yang tak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis mengucapkan terima kasih karena telah mau menjadi teman berdiskusi yang baik bagi penulis selama penulisan skripsi ini; 8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih atas semua yang membuat kelancaran proses penulisan skripsi ini. Kepada seluruh pihak yang telah membantu, semoga Allah swt. membalas kebaikan kalian semua. Akhirnya sebagai manusia yang tidak sempurna, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, maka dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya karya ilmiah ini. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 11 September 2015 Penulis
Dasef Maulana
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBINGAN LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ……………………………………………………………………. i ABSTRACT …………………………………………………………………... ii KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iii DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. v DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. viii BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………... 1 B. Identifikasi Masalah ………………………………………………. 4 C. Pembatasan Masalah ……………………………………………… 4 D. Perumusan Masalah ………………………………………………. 5 E. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 5 F. Manfaat Penelitian ………………………………………………... 6 G. Metode dan Prosedur Penelitian ………………………………….. 6 1. Objek dan Waktu Penelitian ………………………………….. 6 2. Data dan Sumber Data ………………………………………... 7 3. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………. 8 4. Prosedur Analisis Data ………………………………………... 8 BAB II KAJIAN TEORI …………………………………………………… 9 A. Psikologi Sastra ……...…………………………………………..... 9 B. Tipe-tipe Kepribadian…………………………………………….. 11 C. Tipe kepribadian ……………………………….............................. 12 D. Hakikat Novel …………………………………………………….. 13 1. Tema ……………………………………………………...……15 2. Tokoh dan Perwatakan ……...……...……...……...……...……16 3. Latar ...……...……...……...……...……...……...……...……... 20 4. Alur dan Plot ……...……...……...……...……...……...…….... 21
vi
5. Sudut Pandang ……...……...……...……...……...……...…….. 22 6. Gaya Bahasa ……...……...……...……...……...……...……..... 22 7. Amanat ……...……...……...……...……...……...……...…….. 23 E. Implikasi Pembelajaran Satra ……...……...……...……...……...…. 23 F. Penelitian yang Relevan ……...……...……...……...……...……..... 27 BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………….. 30 A. Analisis Unsur Intrinsik ………………………………………….... 30 1. Tema …………………………………………………………… 30 2. Tokoh dan Penokohan ………………………………………… 31 a. Tania ………………………………………………………. 32 b. Danar ………………………………………………………. 32 c. Dede ……………………………………………………….. 33 d. Ratna ………………………………………………………. 35 3. Latar …………………………………………………………… 35 a. Tempat …………………………………………………….. 35 b. Suasana …………………………………………………….. 39 4. Alur …………………………………………………………….. 42 a. Peristiwa/tahap Awal ………………………………………. 43 b. Konflik …………………………………………………….. 44 c. Klimaks ……………………………………………………. 44 d. Leraian …………………………………………………….. 45 e. Penyelesaian ………………………………………………. 45 5. Sudut Pandang ……………………………………………….... 46 6. Gaya Bahasa …………………………………………………... 46 a. Hiperbola ………………………………………………….. 47 b. Simile ……………………………………………………… 47 c. Metafora …………………………………………………… 48 d. Personifikasi ……………………………………………….. 48 e. Retoris ……………………………………………………... 48 f. Pleonasme …………………………………………………. 49 g. Anafora ……………………………………………………. 49 7. Amanat ………………………………………………………… 50
vii
B. Analisis Kepribadian Tokoh Tania …………………………...…… 52 C. Implikasi Pembelajaran ……………………………………..…….. 65 BAB IV PENUTUP …………………………………………………………... 68 A. Simpulan ……………………………………………………........... 68 B. Saran …………………………………………………………......... 69 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Silabus dan RPP Pembelajaran Novel Materi Kelas XII SMA Lampiran 2. Uji Referensi Lampiran 3. Daftar Referensi Lampiran 4. Biodata Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum sastra terdiri dari cerpen, puisi, drama dan novel. Sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel. Novel dapat dikaji dari beberapa aspek, seperti: penokohan, isi, cerita, setting, alur, dan makna. Novel dapat menceritakan tentang kehidupan tokoh-tokoh serta tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel memiliki karakter yang berbeda-beda. Penokohan di dalam novel cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penokohan dikaji untuk mengetahui bagaimana perwatakan dari setiap tokoh yang ada di dalam sebuah novel. Tokoh sebagai salah satu unsur intrinsik dalam novel memiliki kedudukan yang sangat penting. Karena tokoh menggambarkan kondisi psikologis dan kepribadian seseorang, serta menjadi kunci penggerak sebuah cerita. Suatu karya sastra khususnya novel yang mengangkat tema sifat tokoh biasanya menceritakan suatu kepribadian yang terdapat pada tokoh. Kajian kepribadian merupakan suatu proses yang harus dipahami dengan mempelajari peristiwa yang mempengaruhi perilaku seseorang melalui kontribusi peristiwa tersebut terhadap kepribadian si individu. Menurut pandangan sosial, kajian kepribadian dalam kaitanya dengan konteks sosial dan perkembangan kehidupan harus dipahami melalui kontribusi model dan peran kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, kepribadian adalah suatu integrasi dari semua aspek kepribadian yang unik dari seseorang menjadi organisasi yang unik, yang menentukan dan dimodifikasi oleh upaya seseorang beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah.1 Kepribadian merupakan susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia. Kepribadian juga merupakan suatu organisasi yang hanya dimiliki oleh manusia, yang menjadi penentu pemikiran dan tingkah lakunya. Pusat kepribadian seseorang adalah intensi-intensi yang sadar dan sengaja, berupa 1
Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 8
1
2
harapan-harapan, aspirasi-aspirasi, dan impian-impian. Tujuan-tujuan ini mendorong kepribadian yang matang dan memberi petunjuk yang paling baik untuk memahami tingkah laku sekarang. Salah satu cara melihat keterkaitan lain mengenai kepribadian seseorang, kita bisa melihat empat tipe kepribadian yang diajukan oleh Galenus, yaitu: sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis. Pengajaran merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, pengendalian diri, kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga dalam melaksanakan prinsip penyelenggaraan pengajaran harus sesuai dengan tujuan pengajaran nasional yaitu; mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu pengajaran yang membantu pembentukan intelektual dan emosional adalah pengajaran bahasa dan sastra. Pengajaran bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pengajaran bahasa diarahkan
untuk
meningkatkan
kemampuan
pembelajar
dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Adapun pengajaran sastra merupakan pembelajaran yang memaknai hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Pengajaran sastra memiliki peran untuk membentuk karakter bangsa, untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pengajaran kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, dengan mempelajari bahasa dan sastra, maka akan
3
dihasilkan seseorang siswa yang baik dalam budi pekerti dan tutur bahasanya. Namun, pada penelitian ini pengajaran sastra lebih ditekankan. Pengajaran sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi.Sastra memiliki peran sangat fundamental dalam pengajaran karakter.Hal ini disebabkan karya sastra pada dasarnya membicarakan berbagai nilai hidup dan kehidupan yang berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia.Sastra dalam pengajaran berperan mengembangkan bahasa, mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial. Salah satu novel yang mengangkat masalah kepribadian adalah sebuah novel karya Tere Liye yang berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010). Novel ini diangkat dari kisah keluarga kurang mampu yang ditinggal mati oleh ayahnya, di mana ada seorang laki-laki yang menolong kehidupannya. Tere Liye merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa India dengan arti : untukmu, untuk-Mu, dan nama aslinya adalah Darwis. Tere-Liye Lahir pada tanggal 21 Mei 1979. Tere liye mempunyai seorang istri yang bernama Riski Amelia, dan dikaruniai anak yang bernama Abdullah Psai. Lahir dan besar di pedalaman sumatera, berasal dari keluarga petani, anak keenam dari tujuh bersaudara. Darwis berasal dari Sumatra Selatan, Indonesia. Riwayat pendidikannya nya: SDN 2 Kikim Timur Sumasel, SMPN 2 Kikim Timur Sumsel, SMUN 9 Bandar Lampung, dan Fakultas Ekonomi UI. Tampaknya Tere-Liye tidak ingin dikenal oleh pembacanya. Hal itu terlihat dari sedikitnya informasi yang pembaca dapat melalui bagian “tentang penulis” yang terdapat pada bagian belakang sebuah novel. Agak sulit ketika mencari tahu tentang Tere-Liye. Tere Liye telah menghasilkan 14 buah novel. Yaitu: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum, 2010, Pukat (Penerbit Republika, 2010), Burlian (Penerbit Republika, 2009), Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005), Moga Bunda Disayang
4
Allah (Republika, 2007), The Gogons Series: James & Incridible Incidents (Gramedia Pustaka Umum, 2006), Bidadari-Bidadari Surga (Republika, 2008), Sang Penandai (Serambi, 2007), Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Grafindo, 2006; Republika 2009), Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (AddPrint, 2005), Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur (AddPrint, 2006), Senja Bersama Rosie (Grafindo, 2008). Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada novel karya Tere Liye yaitu, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), sebagai rekaman kepribadian seseorang yang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Kepribadian dalam novel ini kuat sekali dan menarik untuk dikaji. Novel yang bergenre romance ini menampilkan sebuah kepribadian tokoh utama yang sangat menonjol. Novel Tere Liye dianggap sangat ringan ketimbang novel dengan diksi-diksi yang rumit. Namun tetap sarat akan misteri dan kedalaman dalam merespon gejala-gejala kepribadian yang terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu, penulis tertarik meniliti kepribadian tokoh utama yang ada dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin dengan menggunakan tinjauan psikologi sastra serta implikasinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari novel, kalaupun ada terlalu menitik beratkan pada pembahasan novel sebagai ilmu sastra. 2. Kurangnya pembahasan tentang kepribadian yang terkandung dalam sebuah novel, khususnya pada novel Tere Liye.
C. Pembatasan Fokus Masalah Fokus penelitian ini yaitu pada kepribadian tokoh utama di dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membeci Angin karya Tere Liye. Dalam novel karya Tere Liye yaitu, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
5
terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada: 1. Kepribadian tokoh utama pada novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye menurut teori kepribadian Galenus. 2. Implikasi pembahasan kepribadian tokoh utama dan fungsi kepribadian tokoh utama dalam pengembangan alur pada novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye pada pembelajaran Sastra di SMA.
D. Perumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah tersebut dapat dituliskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kepribadian tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye menurut teori kepribadian Galenus dan apa fungsi kepribadian tokoh utama dalam pengembangan alur? 2. Bagaimana implikasi pembahasan kepribadian tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye pada pembelajaran sastra di Sekolah?
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai sistem kepribadian dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye yang mencakup: 1.
Untuk mengetahui kepribadian tokoh utama novelDaun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye menurut teori kepribadian Galenus.
2.
Untuk mengetahui implikasi pembahasan kepribadian tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye pada pembelajaran sastra di Sekolah.
6
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, manfaat tersebut di antaranya: 1. Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Untuk menambah pemahaman mengenai karya sastra khususnya novel
b.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, dan dapat membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian psikoanalisis
c.
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia.
2.
Kegunaan Praktis Kegunaan Praktis penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Untuk melihat kepribadian bukan hanya dari sisi yang tampak saja tapi juga melihat kepribadian yang tersembunyi jauh di dalam diri sang tokoh
b.
Agar memiliki pandangan tersendiri untuk menyikapi kepribadian tokoh utama dalam novel ini
c.
Dapat meningkatkan minat baca siswa untuk lebih tertarik lagi terhadap karya sastra.
d.
Membantu para pengajar bahasa dan sastra Indonesia untuk dapat memotivasi siswanya agar lebih menghargai dan mencintai karya sastra.
G. Metode dan Prosedur Penelitian 1. Objek dan Waktu Penelitian Metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah
sistematis.2
Metode
penelitian
yang
digunakan adalah metode kualitatif dan metode analisis isi. Secara 2
h. 461
Paul A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994),
7
kualitatif, analisis isi dapat melibatkan suatu jenis analisis, di mana isi komunikasi (percakapan, teks tertulis, wawancara, fotografi, dan sebagainya) dikategorikan dan diklasifikasikan.3 Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan teori yang digunakan yaitu: teori sastra,
struktural
dan
pendekatan
psikoanalisis
untuk
membantu
menganalisis fenomena yang ditemukan di dalam data. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.4 Dalam hal ini penelitian kualitaitif menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. 2. Data dan Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, Cetakan pertama). Selain itu sumber data yang lain yang digunakan dalam penelitian ini berupa data mengenai dinamika kepribadian dalam bentuk kalimat, klausa, frase yang berhubungan dengan tokoh dalam bentuk tertulis. Ada dua jenis data; data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang langsung diproses tanpa melalui perantara. Sedangkan data sekunder adalah data yang berfungsi untuk memperkaya, mempertajam analisis yang diambil dari jurnal, karya tulis orang lain, majalah, buku-buku kritik sastra dan lainnya mengenai novel ini.5 Sumber data primer dalam penelitian ini berupa novel yang berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membeci Angin karya Tere Liye, sedangkan sumber data sekunder berupa buku teori psikologi sastra dan buku-buku kritik sastra yang mendukung penelitian data primer, serta review yang berhubungan dengan data primer. 3
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), h. 284 4 Ibid., h. 4 5 Siswantoro, Metode Penelitian Sastra Analisis Psikologis (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 62-63.
8
3. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam kegiatan penelitian ini yaitu dengan teknik data yang dikumpulkan dengan cara: a. Membaca dan memahami isi cerita novel secara mendalam. b. Melakukan proses identifikasi masing-masing struktur novel. yaitu tokoh, perwatakan, alur, latar. c. Melakukan klasifikasi dengan menggolongkan kutipan-kutipan dalam novel yang mengandung kepribadian tokoh. d. Mengadakan studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder sebagai data pelengkap mengenai dinamika kepribadian dalam tokoh. 4. Prosedur Analisis Data a) Analisis struktural dilakukan untuk mengetahui tokoh, alur, dan latar dalam novel. b) Analisis isi secara tematis dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan mengelompokkan perkembangan tokoh yang terdapat dalam isi novel tersebut.
BAB II KAJIAN TEORI Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah pendapat para ahli yang menunjang penelitian. Teori-teori tersebut berupa: hakikat novel, psikologi sastra, hakikat kepribadian, tokoh dan penokohan, tipe kepribadian menurut Galenus, implikasi pembelajaran sastra, dan hasil penelitian yang relevan.
A. Psikologi Sastra Psikologi
sastra
merupakan
pengkajian
karya
sastra
yang
berlandaskan oleh teori psikologi. Sejalan dengan pendapat Endraswara bahwa Psikologi sastra (Psikoanalisis) adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.1 Dengan mempelajari psikologi sastra sebenarnya kita telah mempelajari manusia dari sisi dalam.Terkadang penilaian pengamat terhadap sisi „dalam‟ ini memang sangan subjektif, itulah titik beratnya sebuah karya sastra. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.2 Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Pengertian psikologi sastra berdasarkan pendapat Welek terbagi menjadi empat kemungkinan, yaitu: studi psikologi pengarang sebagai tipe/pribadi, studi proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).3 Ditambahkan oleh Nyoman Kuntha Ratna, pendekatan 1
Suwandi Endraswara, Metode Penelitian Sastra (Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 2003), h. 3 2 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 344 3 Rene Welek, Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 90
9
10
psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra dan pembaca dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.4 Nyoman menambahkan, penelitian yang ditujukan kepada pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan penelitian ekspresif, sedangkan jika penelitian ditujukan pada karya, maka model penelitiannya disebut penelitian objektif. Sedangkan Atar Semi berpendapat bahwa pendekatan psikologi adalah pendekatan bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.5 Selain itu karya sastra sering dikaitkan dengan gejala kejiwaan, seperti: obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itu, karya sastra sering disebut sebagai penyakit kejiwaan.6 Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pakar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa psikologi sastra adalah pengkajian karya sastra yang berlandaskan oleh teori psikologi, hal ini didasari oleh keyakinan yang dalam bahwa karya sastra adalah gambaran dari penyakit kejiwaan yang dialami oleh manusia yang digambarkan melalui karya sastra. Pengarang
sastra
berusaha
mendalami
ilmu
psikologi
serta
menuangkan ide mengenai gambaran konflik kehidupan manusia yang kompleks ke dalam karya sastra.Sehingga menimbulkan pertanyaan pada penelaah sastra yang akhirnya memahami karya sastra dengan bantuan ilmu psikologi. Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang
4
Nyoman Kuntha, op.cit, h. 61 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung: Angkasa, 2012), h. 96 6 Nyoman Kutha, op.cit, h. 62 5
11
kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.7
B. Tipe-tipe Kepribadian Bagi para psikologi, istilah kepribadian adalah pengutamaan alam bawah sadar (unconsious) yang berada di luar sadar, yang membuat struktur berpikir diwarnai oleh emosi.Mereka beranggapan, perilaku seseorang sekedar wajah permukaan karakteristiknya, sehingga untuk memahami secara mendalam kepribadian seseorang, harus diamati gelagat simbolis dan pikiran yang paling dalam dari seorang tersebut. Mereka juga mempercayai bahwa pengalaman masa kecil individu bersama orang tua telah membentuk kepribadian kita.8 Menurut Agus Sujanto, menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik.9 Definisi kepribadian dari George Kelly yang dikutip oleh Yusuf yang memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.10 Sementara Santrock merumuskan kepribadian sebagai „sesuatu‟ yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. Menurut Santrock, kepribadian adalah pemikiran, emosi, dan prilaku tertentu yang menjadi ciri dari seseorang dalam menghadapi hidupnya.11 Sedangkan menurut Carl Gustav Jung, kepribadian adalah kesatuan atau potensi membentuk kesatuan yang harus selalu dipertahankan kesatuan dan keharmonisan antar semua elemen kepribadian.12 George Kelly dalam mengartikan kepribadian lebih terfokus kepada pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang sehingga 7
Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h.
59 8
Ibid,. h. 9 Agus Sujanto, dkk. Psikologi Kepribadian (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 12 10 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), h. 167 11 Jhon W Santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Kencana,:2010), h. 177 12 Alwisol, Psikologi kepribadian (Malang:UMM Pres, 2010),h.39 9
12
membentuk kepribadian tertentu. Sedangkan pandangan Alport, Santrock dan Jung dan Kelly memiliki pandangan terhadap kepribadian yang hamper sama, yaitu mereka sama-sama memandang kepribadian adalah sesuatu yang telah dimiliki sejak lahir dan merupakan ciri yang melekat pada seseorang. Berdasarkan beberapa penjelasan dan teori yang telah dipaparkan, dapatlah disintesiskan bahwa kepribadian merupakan suatu emosi, perilaku dan perasaan seseorang yang terkait menjadi satu kesatuan yang harmonis, yang menjadi ciri khas dari seseorang dan bisa terlihat dari luar. Kepribadian meliputi segala corak perilaku dan sifat yang khas dan dapat diperkirakan pada diri seseorang, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan, sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas bagi individu itu.
C. Tipe Kepribadian Teori kepribadian sebenarnya telah ditemukan pada tahun 460-370 SM oleh Hipocrates, tetapi teori kepribadian dipopulerkan oleh Galenus. Hipocrates sering disebut sebagai Bapak dari ilmu pengobatan. Hipocrates membedakan adanya empat tempramen, yaitu: Sanguin, Melankolik, Kolerik, dan Flegmatik.13 Sekarang teori ini lebih dikenal dengan teori Galenus. Galenus mengajukan empat tipe kepribadian yaitu: sanguinis, melankolis, kolenis, dan plegmatis. 1. Kepribadian sanguinis: tipe kepribadian yang sikap dasarnya adalah ekstrovert, suka berbicara dan optimis. Kekuatan: ceria, sosial, meyakinkan, spontan, optimis Kelemahan: suka pamer, pelupa, tidak disiplin 2. Kepribadian melankolis: tipe kepribadian yang sikap dasarnya adalah tertutup, pemikir dan pesimis Kekuatan: setia, teliti, sensitif, tetap pendirian, meyakinkan, Kelemahan: susah memaafkan, menjauhi perhatian, suka memendam, 3. Kepribadian koleris: tipe kepribadian yang sikap dasarnya ekstrovert, pelaku dan optimis. Kekuatan: petualang, penyayang, yakin, positif Kelemahan: blak-blakan, suka memerintah, tidak sabar
13
Iwan Gayo, Buku Pintar (Jakarta: Upaya Warga Negara, 1994), h. 660
13
4. Tipe kepribadian phlegmatis: tipe kepribadian yang sikap dasarnya introvert pengamat dan pesimis Kekuatan: mudah beradaptasi, tenang, sabar, pemalu Kelemahan: hampa, ketakutan, kurang antusias.14 Inti dari tipe kepribadian Galenus adalah mampu menunjukan kekuatan serta kekurangan yang ada dalam setiap tipe kepribadian.
D. Hakikat Novel Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel sebagai karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Nurgiyantoro menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita fiksi yang tidak selesai dibaca sekali duduk dan terdiri dari tema, alur, plot, dan penokohan. Novel merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula yang merupakan kisah nyata.15 Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut. Novel berasal dari bahasa latin “novelius” yang diturunkan dari kata “novies” yang berarti “baru”. Dikatakan baru sebab novel muncul belakangan dibanding dengan bentuk puisi dan drama.16 Adapun menurut Jakob novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas.17 Rene Wellek dan Austin menyebutkan bahwa novel merupakan gambaran liku-liku kehidupan dan prilaku nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis.18 Novel merupakan jenis narasi yang menceritakan tentang likuliku kehidupan manusia. Dari segi bentuk, novel diwujudkan dalam karangan prosa bebas
yang sangat
memungkinkan adanya unsur kepuitisan
bahasa.Novel adalah sebuah karya tulis prosa yang ditulis secara naratif 14
Florence Littauer, Personality Plus (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), h. 22-27 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada Pres, 2000), h. 18. 16 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra (Bandung: Angkasa, 1984), h. 164. 17 Jakob Sumarjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 29. 18 Rene Wellek, op.cit, h.282. 15
14
biassanya dalam bentuk cerita. Penulisan novel disebuat novelis. Novel mengandung kata-kata minimal 35.000 kata sampai tak terbatas jumlahnya.19 Di sisi lain, novel merupakan suatu interprestasi kehidupan dan prilaku yang nyata. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidiealkan, dunia imajinatif, yang dibnagun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.20 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu karya sastra yang merupakan cerita fiksi (rekaan) panjang, novel dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pelaku didalamnya. Menurut Nurgiyanto ada dua jenis novel yaitu novel serius dan novel popular.21 Novel serius merupakan novel yang menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, berusaha meresapi hakiki kehidupan sehingga terkadang sulit untuk dipahami, pembaca kadang harus membacanya berulang-ulang untuk dapat mengerti makna cerita dalam sebuah novel serius. Novel serius jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan konsentrasi tinggi. Pengalaman dan permasalahan hidup yang ditampilkan dalam novel sarius diungkapkan sampai pada inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Hakikat hidup yang tertuang dalam novel serius biasanya akan tetap bertahan sepanjang masa. Misalnya karya-karya Shakespeare, novel Romeo dan Juliet dan Hamlet. Contoh karya sastra Indonesia adalah Belenggu karya Armijn Pane (Jakarta: PT Pustaka Rakyat, 1957), Atheis karya Achdiat K. Miharja (Jakart: Balai Pustaka, 1949), Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), dan lain-lain. Adapun novel populer adalah novel yang memiliki masanya dan penggemarnya, khususnya kalangan remaja. Memang menampilkan masalah aktual dan sezaman, tapi hanya permukaannya saja. Ceritanya tidak menampilkan kehidupan secara intens dan meresap. Jika masanya telah 19
Henry Guntur Tarigan, op.cit, h.165. Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h.4. 21 Ibid, h.16. 20
15
habis, maka seiring berjalannya waktu, novel popular pun akan mengalami penyurutan. Salah satu unsur karya sastra (novel) yang membangun dari dalam novel yaitu unsur intrinsik. Secara sederhana yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah hal-hal yang keberadaanya wajib ada di dalam sebuah novel. Unsur intrinsik ini mencakup beberapa hal. Semua hal tersebut kemudian akan membentuk kesatuan cerita yang utuh. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya, tentu saja, dan bersifat imajinatif.22 1. Tema Gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema.Tema merupakan suatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.23 Tema-tema yang terdapat dalam sebuah cerita biasanya tersurat (langsung dapat terlihat jelas dalam cerita) dan tersirat (tidak langsung, yaitu pembaca harus menyimpulkan sendiri). Tema dalam sebuah cerita merupakan hal yang fundamental. Keberadaanya tentu wajib. Adalah hal yang mustahil jika tak ada tema khusus dalam cerita termasuk dalam bentuk novel. Dengan adanya tema cerita yang jelas, maka penulis akan terhindar dari unsur-unsur yang tak perlu. Hal ini yang menjadikan tema cerita sering disebut kompas cerita, sebab ia akan menentukan ke mana arah cerita tersebut. Ada beragam tema yang bisa dipilih jika hendak menulis novel, misalnya saja tema percintaan, keluarga, pendidikan dan lain-lain.
22
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 4 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra. (Surakarta: Muhammadiyah Surakarta University Press, 2001), h. 84. 23
16
2. Tokoh dan Penokohan Suatu karya sasta (novel) di bangun oleh usnur intrinsik dan extrinsik, dalam unsur intrinsik suatu karya sastra di bangun dalam karya itu sendiri yang menjadikan cerita tersebut menjadi utuh. Tokoh dan penokohanlah unsur yang paling sering di sorat atau sering muncul dalam suatu karya karena tokoh dan penokohan ini sangat sentral dan unsur terpenting dalam menyajikan suatu cerita. Tokoh merupakan pelaku cerita yang memerankan orang-orang yang ada dalam cerita. Istilah „tokoh‟ menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: „siapa tokoh utama novel itu?‟ atau „ada berapa jumlah pelaku novel itu?‟, atau „Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?‟ dan sebaginya. Adapun Robert staton menyatakan bahwa tokoh adalah orang yang berperan penting dalan setiap cerita.24 Novel merupakan salah satu karya sastra yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa secara tersusun, namun jalan ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata dan seolah kita dapat merasakan kejadian-kejadian dalam cerita tersebut. Hal ini berarti novel bergumul dengan para tokoh yang terdapat dalam karya tersebut. Walgito mengungkapkan bahwa setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya.25 Manusia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan, dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Dalam novel para tokoh rekaan ini menampilkan berbagai watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik-konflik sebagaimana dialami oleh manusia dalam kehidupan nyata. Salah satu unsur pembangun novel adalah tokoh. Tokoh merupakan unsur yang penting dalam karya naratif, karena tokoh adalah pembuat konflik atau “Siapa yang melakukan dan dikenai sesuatu dalam cerita tersebut”. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan 24 25
Robert Stanton, op.cit, h. 17 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi Offset, 2005), h. 5
17
sekaligus, misalanya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Menurut Nurgiyantoro tokoh-tokoh dalam novel yaitu tokoh utama dan tambahan, tokoh protagonist dan antagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh statis dan berkembang, tokoh tipikal dan netral.26 Menurut Sayuti terdapat dua macam jenis tokoh dalam setiap karya fiksi menurut keterlibatannya terhadap karya fiksi itu sendiri, yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh penunjang (periferal).27 Cara menentukan yang mana tokoh utama dan yang mana tokoh penunjang adalah dengan membandingkan setiap tokoh di dalam cerita. Adapun kriteria tokoh utama adalah: bertindak sebagai pusat pembicaraan dan sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema cerita, dan lebih sering melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita. Penokohan atau disebut perwatakan merupakan proses yang digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku cerita serta sifat atau gambaran yang berkenaan dengannya. Watak, perwatakan dan karakter merujuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.28 Tokoh cerita (character) menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapandan apa yang dilakukan dalam tindakan.29 Dalam menggambarkan karakter atau watak seorang tokoh, penulis bisa menuliskannya langsung atau “menitipnya” dalam dialog sang tokoh tersebut. Penjelasan langsung bisa berupa gambaran fisiknya, lingkungan kehidupannya, cara ia berkomunikasi, cara berjalan, pola pikir dan masih banyak lagi lainnya. Sementara itu, jika penulis memilih gambaran melalui dialog, maka ia harus menentukan gaya yang ia pilih: dialog atau monolog. Menurut Stanton dalam Semi yang dimaksud dengan penokohan 26
Burhan Nurgiyantoro, op, cit h. 176-194 Suminto A Sayuti, Cerita Rekaan. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009), h. 6 28 Burhan Nurgiantoro, op.cit, h. 165 29 Abram, Teori Pengantar Fiksi (Yogyakarta: Hanindita Graha Wida, 1981), h. 20 27
18
dalam suatu fiksi biasanya dipandang dari dua segi. Pertama: mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita; yang kedua adalah mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.30 Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas dalam mengembangkan karakter tokoh-tokoh yang berfungsi untuk memainkan cerita dan menyampaikan ide, motif, plot dan tema yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral. Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, memiliki watak dan perilaku tertentu. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.31 Aminuddin menambahkan palaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.32 Tokoh merupakan unsur yang vital dalam karya sastra karena ia merupakan pelaku yang berperan untuk mentransmisikan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Sudjiman mendifinisikan tokoh sebagai individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.33Tokoh dikatakan sebagai individu rekaan karena tokoh tidak betul-betul ada dalam kehidupan nyata. Akan tetapi tokoh pasti memiliki beberapa kemiripan dengan individu tertentu dalam kehidupan nyata karena dengan cara ini tokoh bisa menjadi relevan dengan pembaca. Relevansi tokoh dengan pembaca inilah yang membuat tokoh tersebut dapat diterima. Tokoh dapat dilihat berdasarkan perkembangannya dalam cerita, yaitu perubahan-perubahan watak yang terjadi pada tokoh dalam perjalanan cerita.Berdasarkan perkembangan tersebut tokoh kompleks 30
M. Atar Semi, op. cit, h. 39 Melani Budianta, op.cit, h. 86 32 Aminuddin, Pengantar apresiasi Karya Sastra (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), 31
h. 79 33
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1988), h. 16
19
yang dalam perkembangan lakuan memperlihatkan berbagai segi wataknya yang tidak sekedar hitam-putih.Kelemahan dan kekuatannya tidak ditampilkan sekaligus melainkan berangsur-angsur. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan tokoh adalah individu rekaan pengarang yang bersifat fiktif yang mengemban peristiwa dalam cerita. Sehubungan dengan hal itu, dalam menulis cerita tokoh merupakan unsur yang penting karena tanpa adanya tokoh tidak akan terjalin sebuah cerita. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu.Pemberian watak pada tokoh suatu karya disebut perwatakan.Sudjiman
mendefinisikan
penyajian watak dan penciptaan citra tokoh.
34
penokohan
sebagai
Adapun yang dimaksud
dengan penokohan dalam suatu fiksi biasanya dipandang dari dua segi, pertama mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita, yang kedua adalah mengacu kepada perbaruan dari minat, keinginan, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.35 Secara sederhana metode penokohan dibedakan menjadi dua, yaitu metode langsung atau metode analitis dan metode tak langsung atau metode dramatik.36 Metode langsung atau metode analitis memaparkan sifat tokoh dan menyajikan secara langsung. Metode ini memperkecil kemungkinan pembaca salah menafsirkan watak tokoh, akan tetapi metode ini kurang memancing imajinasi pembaca karena semua wataknya telah dipaparkan secara jelas. Pada metode tidak langsung atau metode dramatik, para pembaca dituntut untuk dapat menafsirkan watak tokoh-tokohnya melalui lakuan, cakapan, pikiran, dan penampilkan fisik tokoh serta gambaran lingkungan atau tempat tokoh berada.
34
Ibid., h.58. M. Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang: Angkasa raya, 1998), h.39 36 Panuti Sudjiman, op.cit. h. 22 35
20
Menurut Waluyo, perwatakan tokoh biasanya terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi fisik, dimensi sosial dan dimensi psikis.37 Untuk membentuk tokoh yang hidup, ketiga dimensi ini tidak dapat dipisahkan atau tampil sendiri-sendiri. Dimensi fisik biasanya berupa usia, tingkat kedewasaan, jenis kelamin, postur tubuh, deskripsi wajah dan ciri-ciri khas fisik lain yang spesifik. Dimensi sosial merupakan deskripsi tentang status sosial, jabatan, agama atau ideologi, aktivitas sosial dan suku atau bangsa. Dimensi
psikis
meliputi
mentalitas,
ukuran
moral,
kecerdasan,
temperamen, keinginan, perasaan, kecerdasan dan kecakapan khusus. Adapun Sumardjo dan Saini mengemukakan lima cara yang dapat menuntun pembaca sampai pada karakter tokoh, yaitu: melalui apa yang diperbuat
tokoh,
tindakan-tindakan
tokoh,
ucapan-ucapan
tokoh,
penggambaran fisik, pikiran-pikiran tokoh, dan melalui penerangan langsung, yaitu watak tokoh dijabarkan secara langsung.38 Metode-metode untuk analisis watak yang telah disebutkan diatas menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kualitas tokoh dalam sebuah karya. Jadi, menurut beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh itu. Penokohan dapat digambarkan melalui dialog antar tokoh, tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama, atau pikiran-pikiran tokoh. Melalui penokohan, dapat diketahui bahwa karakter tokoh adalah seorang yang baik, jahat, atau bertanggung jawab. 3. Latar Latar atau setting merupakan suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal, biasanya berupa waktu, tempat, dan ruang. Termasuk di dalam unsur latar adalah waktu, hari, tahun, periode, sejarah, dan lain-lain.
37
Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, 1994), h. 171-172 38 Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan (Jakarta : PT Gramedia, 1986), h. 65
21
Latar cerita mencangkup keterangan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat di mana peristiwa itu terjadi. Menurut Ida Rochani dalam bahasa Indonesia kata Setting (dari bahasa Inggris) sering diterjemahkan sebagai latar. Setting atau latar maksudnya tempat dam masa terjadinya cerita.39 Sedangkan menurut Budianta latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.40 Latar juga merupakan salah satu hal yang tak boleh luput dari penulisan novel. Dengan latar cerita yang baik, pembaca akan mudah dibuat jatuh hati pada novel. Latar merupakan tempat dimana sebuah potongan cerita berlangsung. Ia bisa dijelaskan secara langsung atau melalui dialog para tokohnya. 4. Alur atau Plot Dalam pengertian yang paling umum, plot di artikan sebagai keseluruhan rangkaian pristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg mendifinisikan bahwa alur atau plot adalah kontruksi yang di bangun pembaca mengenai sebuah deretan yang secara logis dan kronologis oleh para pelaku.41 Sedangkan Stanton mendefinisikan secara umum, alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.42 Alur
bisa
dikatakan
penceritaan
rentetan
peristiwa
yang
penekanannya ditumpukan kepada sebab-akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir. Antara awal dan akhir ini lah terlaksana alur itu. Tentu sudah jelas, alur memiliki bagian-bagian yang sederhana yang dapat dikenal sebagai permulaan, pertikaian, dan akhir. Alur bisa dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Jalan 39
Ida Rochani Adi, Fiksi Populer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 49. Melani Budianta, Membaca Sastra (Jagakarsa: Indonesia Tera, 2008), h. 86. 41 Jan Van Luxemburg, dkk, Tentang sastra Akhadiati Ikran (penerjemah) (intermasa: ILDEP, 1986), h. 149. 42 Robert Stanton, Teori Fiksi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26. 40
22
regresif (alur mundur) yaiu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Tahap regresif bersifat non linier. Ada juga tehnik pengaluran dari progresif ke regresif. Selain yang tersebut diatas ada juga tehnik alur yang lain yaitu tehnik tarik balik (back tracking) yang dalam tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang. 5. Sudut Pandang Pengertian sudut atau poin of view menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan, ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan latar dan berbagai pristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.43 Sudut pandang merupakan hubungan antara tempat atau posisi pencerita dan bagaimana visinya terhadap cerita yang dikisahkan. 44 Sudut pandang merupakan cara pandang pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya. 6. Gaya Bahasa Istilah style (gaya bahasa) berasal dari bahasa Latin, stiles, yang mempunyai arti suatu alat untuk menulis di atas kertas (yang telah dilapisi) lilin. Orang yang dapat memainkan alat ini dengan tepat dan tajam, akan menghasilkan sesuatu yang jernih (clear), impresi tajam yang dianggap patut dipuji (Shipley, 1960: 397; bdk. E.H. Gombrich via Sills, ed. 1968: 354).45 Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan perasaan tertentu dalam hati pembaca. Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia tidak hanya sebagai alat penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampai perasaan. Pegarang dalam menyampaikan tujuannya dapat menggunakan cara-cara lain yang tidak kita jumpai dalam kehidupan 43
Abram, Teori Pengantar Fiksi (Yogyakarta: Hanindita Graha Wida, 1981), h. 142 Sugiarti, Pengantar dan Pengkajian Prosa Fiksi (Malang: UMM Pres, 2007), h. 105 45 Made Sukada, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia (Bandung: Angkasa, 2013), h. 99. 44
23
sehari-hari.
Cara-cara
tersebut
perbandingan-perbandingan,
misalnya
menghidupkan
dengan
menggunakan
benda-benda
mati,
melukiskan suatu keadaan dan menggunakan gaya bahasa yang berlebihan. Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-sifat seperti manusia. Simile (perumpamaan), gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola, gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan. 7. Amanat Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang.Amanat dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung jawab problem yang dihadapi pengarang lewat karyanya. Istilah amanat berarti pesan.Amanat cerita merupakan pesan pengarang kepada pembaca.Pesan yang hendak disampaikan mungkin tersurat, tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar atau tersirat.
E. Implikasi Pembelajaran Sastra Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik. Lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan pembelajaran dari sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra mempunyai impilikasi dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah. Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia.”46 Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan 46
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h. 24.
24
berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam. Sastra
berperan
dalam
mengembangkan
proses
keterampilan
berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut “Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”47 Pada pembelajaran sastra, siswa juga diarahkan untuk melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa.Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi. Sastra memberi wawasan kebudayaan. sastra tidak seperti ilmu pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti ilmu pengetahuan pada umunya. Jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecakan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis.
47
Ibid.,h.38.
25
Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan. Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai berikut: “Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan.Ia harus dipelajari dalam konteks seluasluasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit.”48 Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu dengan pembelajaran sastra, siswa akan mampu peka melihat kedaan zamannya, masaah-masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan masalah yang ada dalam dunia nyata. dengan kata lain lewat pembelajaran sastra siswa dapat lebih peka akan keadaan sosial sekelilingnya. Banyak peserta didik yang menganggap pembelajaran sastra membosankan. Hal ini dikarenakan metode pengajaran sastra hanya berkisar pada bagaimana peserta didik harus menemukan beberapa hal yang diperlukan (seperti
menentukan unsur instrinsik), mendatanya,
lalu
membuktikan kutipannya. Tentunya, metode seperti ini tidaklah cukup untuk mengeksplor nilai-nilai penting yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Dengan begitu, pelajaran sastra tidaklah menjadi matapelajaran yang menantang dan menyenangkan.
48
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.
26
Sebenarnya, dalam pengajaran sastra peserta didik dituntut untuk berpikir logis yang banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian,
ketepatan
interpretasi
kebahasaan,
klasifikasi
dan
pengelompokkan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangakian yang tepat.49 Dengan memperhatikan hal tersebut, mereka akan belajar bagaimana menganalisis suatu permasalahan dan mampu mendapatkan solusinya. Kecakapan menemukan solusi atas sebuah masalah adalah sebuah keterampilan yang akan sangat membantu kehidupan setelah mereka menamatkan jenjang pendidikannya. Keterampilan tersebut dapat dimiliki bila peserta didik terbiasa menganalisis suatu permasalahan. Namun, analisis yang dilakukan tidak hanya cukup pada penjelasana masalah apa yang terjadi, tetapi juga apa penyebab dan juga solusi yang tepat. Tentunya, keterampilan tersebut akan dapat dikembangkan peserta didik bila pengajar matapelajaran Sastra Indonesia mengubah metode pengajaran. Tidak lagi hanya mencari, mendata, dan membuktikan kutipannya, tetapi juga menganalisinya setelah menemukan bukti kutipannya. Dengan cara ini, pembelajaran sastra akan memiliki nilai tambah dan peserta didik akan mampu menemukan banyak hal baru yang tidak bisa mereka dapatkan pada pelajaran lain. Selain memerlukan metode yang pas, pengajaran sastra juga sangat perlu memperhatikan perkembangan psikologis peserta didik. Perkembangan psikologi peserta didik akan sangat mempengaruhi tingkat keterpahaman mereka terhadap teks sastra. Tidak hanya itu, perkembangan psikologi juga akan sangat mempengaruhi daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah.50 Karya sastra yang dipilih untuk menjadi media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Hal ini akan memudahkan peserta didik memahami apa yang ada dalam karya sastra 49 50
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 20. Ibid, h. 30.
27
tersebut. Dengan begitu, mereka akan mudah mengambil manfaat yang berharga dari matapelajaran Sastra. Sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam.Tak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi pembelajaran bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai wawasan saja, akan tetapi, juga memberikan pembentukan karkter siswa, pendidikan moral serta etika. Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah bersifat jadi.Pembelajaran yang didapat siswa didapat ketika mereka membaca dan juga memahami isi dari sebuah karya sastra.
F. Penelitian yang Relevan Berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian tentang kepribadian tokoh utama dalam novel daun yang jatuh tak pernah membenci angin dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Pertama, penelitian yang dihasilkan dalam bentuk skripsi. Penelitian ini dilakukan oleh Imam Tanjung, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul: Nilai Pendidikan dalam Novel “Hafalan Shalat Delisa” Karya Tere Liye Perspektif Pendidikan Islam . Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Hafalan Shalat Delisa yang meliputi:Pertama, pendidikan akhlak kepada Allah yaitu beribadah kepada Allah, berzikir mengingat Allah, berdoa kepada Allah, tawakkal, bertaubat kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Kedua, pendidikan akhlak kepada diri sendiri yaitu sabar, jujur, optimis, menerima hidayah Allah dan kewajiban menuntut ilmu. Ketiga, pendidikan akhlak kepada keluarga yaitu birrul walidain dan menjaga kekerabatan. Keempat, pendidikan akhlak kepada sesama manusia yaitu memberi salam, tolong menolong, saling
28
memaafkan, menepati janji, menyantuni anak yatim dan menjalin persahabatan. (2) faktor-faktor pendidikan yang terdapat dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” (perspektif pendidikan Islam), yang meliputi tujuan, pendidik, peserta didik, materi, metode dan evaluasi pendidikan Islam. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nopi Setiawati, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Pukat, Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye. Hasil penelitian ini menunjukan: nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam novel Pukat, Serial Anak-anak Mamak adalah pendidikan aqidah, meliputi: Iman kepada Allah, hari akhir, dan qadha’ qadar. Pendidikan ibadah meliputi: salat, wudu, azan dan iqomah, dan berdoa. Dan pendidikan ahlak, meliputi: ahlak terhadap Allah (takut kepada Allah dan ikhlas beramal), ahlak terhadap diri sendiri (jujur dan amanah, menutup aurat, sabar, optimis dan berpikir positif, disiplin dan bertanggung jawab, bersukur dan qona’ah, pemaaf, dan menepati janji), ahlak terhadap orang tua (birrul walidain dan kasih sayang orang tua terhadap anak), dan ahlak terhadap sesama (menolong dan membahagiakan orang lain dan larangan menggunjing). Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mabruroh, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul: Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan objektif terhadap karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter tokoh Ayah di dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Di dalam novel ini, Tere-Liye menghadirkan cerita kedekatan hubungan antara Ayah dan anak laki-lakinya yang dibangun melalui cerita dongeng Ayahnya, kedekatan hubungan mereka dan dongeng itu harus berhenti karena suatu sebab. Untuk menemukan karakter tokoh Ayah di dalam novel, peneliti menggunakan metode karakterisasi melalui tindakan para tokoh yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi wajah, dan
29
melalui motivasi yang melandasi. Karakter Ayah yang tergambar melalui tingkah laku adalah suka bercerita, penyayang terhadap keluarga, melindungi, dan memilih hidup sederhana. Karakter Ayah yang tergambar melalui ekspresi wajah adalah selalu menahan kesedihan, ceria, optimis dan penuh kayakinan. Karakter Ayah yang tergambar melalui motivasi yang melandasi adalah ambisius, berbohong untuk kebaikan anaknya, tujuan cerita-ceritanya, sikap tegas dan penuh disiplin, menghargai setiap usaha, rasa syukur, dan rasa cinta. Persamaan penelitian saudara Mabruroh dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama menganalisis tokoh utama yang ada dalam novel yang diteliti dan perbedaan yang terdapat dari kedua penelitian ini terletak pada metode atau teori yang digunakan untuk menganalisis tokoh utama.
BAB III PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik 1. Tema Tema dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah perasaan yang terpendam para tokohnya karena gejolak permasalahan kehidupan. Seperti novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin tersebut, tokoh wanita dan tokoh pria mempunyai perasaan yang sama terhadap satu sama lain, tetapi tak pernah mampu untuk mengungkapkannya. Mereka pendam rasa yang terus menerus tumbuh seiring dengan berjalannya waktu dan mereka juga harus menghadapi berbagai tekanan batin sebagai risiko dari pilihan mereka tersebut. Meski demikian, mereka tidak pernah membenci rasa yang telah terlanjur tumbuh. Keduanya tidak pernah mengungkapkan perasaan masing-masing hingga Danar memutuskan untuk menikahi Ratna, wanita yang sejak lama ia pacari. Danar pun sebenarnya mengetahui bahwa wanita yang ia cintai bukanlah Ratna, melainkan Tania. Cinta itu terpendam oleh semua likaliku permasalahan yang terjadi pada mereka. Perbedaan usia yang terlampau sangat jauh, yakni 14 tahun pun turut memperkeruh keadaan mereka Tentu saja karena tempat itu spesial bagiku. Di sanalah aku mendapatkan janji kehidupan yang lebih baik darinya. Di sanalah aku menatap masa depan yang lebih indah bersamanya. Dan di sana jugalah harapan-harapan itu muncul tanpa bisa aku mengerti. Perasaan-perasaan itu.1 Seseorang yang kepadanyalah cinta pertamaku tumbuh, seseorang yang selalu kukagumi, memesona. Seseorang yang datang memberikan semua janji masa depan itu. Seseorang yang menumbuhkan harapan-harapan yang tak pernah bisa kumengerti mengapa ia tumbuh subur.2
1
Tere Liye, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 97. 2 Ibid., h. 233.
30
31
Aku mencintainya. Itulah semua perasaanku. Berdosakah aku mencintai malaikat kami? Salahkah kalau di antara perhatian dan sayangnya selama ini kepada Ibu, adikku, dan aku sendiri, perasaan itu mekar? Aku sama sekali tidak impulsif. Perasaan itu muncul dengan alasan yang kuat.3 Kutipan
tersebut
menjelaskan
bahwa
Tania
benar-benar
mempunyai perasaan lebih dari seorang adik kepada kakaknya, Tania mencintai seseorang malaikat bagi keluarganya. Sama halnya dengan Danar, mencintai seseorang yang diangkatnya dari kehidupan jalanan, seseorang yang usianya terlampau jauh dengannya. Seorang anak kecil berkepang dua dengan baju kotor tanpa alas kaki, yang dia sekolahkan dan didik sampai dia dewasa, sampai dia tumbuh seperti apa yang Danar harapkan. Dia bertanya lemah pada Dede, „Perasaan apa?‟ Dede menunduk saat mengatakan itu, „Taukah Oom bahwa Kak Tania suka Oom Danar?‟ Oom Danar diam sekali…. Dede berkata lirih kepadanya, „Kak Tania tidak pulang besok karena dia benci pernikahan besok.‟. “Dia tetap diam”. “Dede bertanya lagi padanya, „Apakah Oom Danar menyukai Kak Tania?‟. “Dia tetap diam.” “Dede bertanya untuk terakhir kalinya.‟Apakah Oom Danar mencintai Tante Ratna?‟ Dia juga diam.4 Dalam kutipan itu pun terlihat jelas bahwa Danar mencintai Tania. Mengapa? Karena jika Danar tidak mencintai Tania, Danar akan menjawab pertanyaan terakhir dari Dede, namun Danar hanya diam dan menunjukkan bahwa hati Danar sedang kalut, dia mencintai Tania. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Takkan Pernah Membenci Angin ini adalah Tania. Tania berperan penting dan menjadi tokoh yang mampu menghipnotis para pembaca. Juga, lewat tokoh Tania ini juga, pengarang memberikan pesan moral dan sosial yang patut dicontoh. Dalam novel ini terdapat 11 tokoh, yakni Tania, Danar, Dede, Ibu, Ratna, Miranti, Anne, Adi, Jhony Chan, ibu-ibu gendut (Mrs.G), dan penjaga toko buku. Masing-masing tokoh mempunyai watak yang patut 3
Ibid., h. 154. Ibid., h. 249.
4
32
dicontoh dan diimplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Semua tokoh dalam novel ini tidak memiliki sifat yang sering dibenci oleh pembaca, seperti culas, jahat, sinis, hingga menyakiti tokoh lain. Pun halnya dengan tokoh Mrs. G. Kesinisan yang dimiliki oleh tokoh ini lebih kepada karena dia adalah seorang penjaga asrama yang harus menjaga ketertiban asrama. Pada intinya, pengarang menyifati semua tokohnya dengan watak-watak yang patut ditiru oleh pembaca. a. Tania Tania termasuk ke dalam tokoh bulat karena Tania mempunyai watak dan tingkah laku yang bermacam-macam. Tokoh utama ini sulit ditebak juga perangainya sering mengejutkan. Awalnya, Tania adalah seseorang yang lembut, mempunyai prinsip dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Namun segalanya berubah ketika ia tahu keputusan Danar untuk menikah dengan Ratna padahal ia sangat mencintai lelaki itu. Sejak itu, sifatnya berubah total. Tidak ada lagi raut wajah yang menyenangkan itu. Tania terjebak dalam situasi, berpura-pura bahagia dengan apa yang dilakukannya padahal hati kecilnya tak berkehendak. Pembahasan mengenai karakter tokoh utama ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis kepribadian tokoh Tania dengan menggunakan teori Galenus. Seseorang yang malam ini akan menjawab semua potongan teka-teki (entah dia mau menjawabnya atau tidak). Seseorang yang dengannya semua cerita harus usai malam ini. Seseorang yangs ekarang duduk di bawah pohon linden kami.5 b. Danar Danar merupakan seorang lelaki yang dewasa bukan karena usianya saja, tetapi juga pemikiran dan pengalaman hidupnya. Kedewasaannya yang ditunjukkan lewat sikap bertanggung jawab dan ketegaran yang dimilikinya ini terbentuk karena pengalaman hidupnya di masa lalu tidak berbeda jauh dengan Tania. Sejak kecil ia yang tinggal di panti asuhan karena yatim piatu berusaha memenuhi sendiri keperluan hidupnya. 5
Ibid., h. 233.
33
“Dia yatim-piatu sejak bayi (siapa orangtuanya pun tak ada yang tahu). Berjuang di jalanan untuk meneruskan hidup, sama seperti kamu dulu; mungkin lebih menyakitkan karena tidak ada yang berbaik hati membantunya. Setapak demi setapak menancapkan jejak kehidupan. Dan akhirnya tiba pada jalan baik tersebut. Sendirian. Aku tahu betapa sulitnya dia harus bersekolah sambil bekerja. Nanti jika hatiku sedang baik, mungkin aku akan menceritakan bagian itu. Yang pasti, Semua kenangan burukku selama tiga tahun jadi anak jalanan sebenarnya ada dalam kehidupannya”6 Pengalamannya itulah yang membuatnya merasa melihat dirinya sendiri di masa kecil ketika melihat Tania dan Dede mengamen. Karena itulah, ia tak segan lagi menolong dengan cara mengangkat keluarga tersebut dari kemiskinan. Ia juga membuka kelas mendongeng setiap minggu untuk anak-anak di sekeliling tempat tinggalnya karena ia tahu betul bagaimana rasanya hidup dengan kekurangan kasih sayang. “Setiap Minggu dia membuka kelas mendongeng di rumahnya, di ruangan depan yang dipenuhi jejeran lemari. Lemari itu penuh buku”7 Di balik semua sifat baiknya itu, Danar tetaplah manusia biasa yang tentu ada sisi hitamnya. Ia tak berani jujur pada dirinya sendiri. Ia memungkiri kenyataan bahwa drinya mencintai Tania karena ia merasa perasaan tersebut tidak pada tempatnya. Ia menyembunyikan perasaannya dengan cara menulis sebuah novel tentang kisah cintanya dengan Tania, dan memberikan Tania liontin khusus. Ia juga selalu membelokkan pembicaraan bila Tania sudah membicarakan masalah cinta. Jika saja Danar lebih peka, ia akan tahu bahwa Tania juga mencintainya. c. Dede Oleh pengarang, Dede diberikan watak yang humoris. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.
6 7
Ibid., h. 148 Ibid., h. 37
34
“Cantik apanya? Rambut panjang. Kuku panjang. Untung Kak Tania nggak punya lubang di belakang” Dede tertawa senang”8 Sifatnya yang demikian mampu mencairkan suasana tegang atau canggung yang terjadi antara Tania dan Danar. Meskipun Dede tokoh yang sering bercanda dan meledek Tania, ia bisa menjaga rahasia Tania. “Dari siapa?” aku bertanya penasaran kepada Dede. Menyelidik. Adikku pasti tahu semuanya.”9 Karena hal inilah, Danar tetap melangsungkan pernihakan dengan Ratna karena ia tidak tahu bahwa Tania juga mencintainya. Dalam novel ini, tokoh Dede menjadi jalan keluar bagi masalah yang dihadapi Tania. Lewat Dede, Tania memperoleh informasi penting terkait Danar. Kepolosan dan rasa sayang Dede kepada Tania membuat Tania percaya kepada Dede bahwa informasi yang diberikan kepadanya itu benar. Namun, kepolosan yang dimilikinya itu tidak serta merta membuatnya tidak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi atara Danar dan Tania. Dede jelas tahu bahwa telah terjadi sesuatu antara dua orang yang disayanginya itu. Secara berkala, ia memberikan informasi yang dibutuhkan Tania dan cukup bijak untuk memilah info apa yang penting untuk diketahui Tania. Bakat yang dimilikinya, yaitu daya ingat yang sangat kuat juga sangat membantu jalannya cerita ini. Dede mampu mengingat setiap kejadian yang terjadi di dalam rumah yang ia tinggali bersama Danar. “Dede juga sudah bisa menghafal semua abjad. Bayangkan, hanya dalam waktu satu hari. Hari pertamanya sekolah. Aku bergumam, bagaimana mungkin adikku tidak hafal, kalau sepanjang jalan mengamen tadi dia selalu berdengung seperti lebah menyebutkan satu per satu huruf-huruf tersebut sambil menabuh kencrengan”10
8
Ibid., h. 45 Ibid., h. 102 10 Ibid., h. 34 9
35
Dengan begitu, ia bisa mengumpulkan data dan menyimpulkan apa yang sedang terjadi dan apa yang harus ia lakukan.
d. Ratna Di antara tokoh yang ada dalam novel ini, tokoh Ratna digambarkan sebagai tokoh yang hampir tidak terlihat sisi buruknya. Ia adalah tokoh yang ramah, pengertian, dan selalu berprasangka baik. Semua sifat baik yang dimiliki Ratna inilah yang telah meluluhkan hati Tania untuk segera berdamai dengan kenyataan dan menerima keadaan. Ratna juga menyayangi Tania dan Dede meskipun keduanya kerap berlaku tidak baik kepadanya. Ia selalu memperhatikan kebutuhan kedua anak kecil itu di saat genting sekalipun. “Aku meneriaki Kak Ratna keras sekali. Kak Ratna tidak marah, bahkan berkaca-kaca matanya” “Kak Ratna pagi-pagi datang mengantarkan pakaian ganti. Menyuruh kami mandi di kamar mandi rumah sakit. Kak Ratna bahkan sibuk membantu Dede berganti pakaian”11 Ia juga tidak pernah sekalipun berpikiran buruk atas prahara rumah tangganya dan tidak menaruh curiga terhadap hubungan yang terjadi antara Danar dengan Tania. Ia anggap itu semua hanya hubungan kakak adik sebagaimana seharusnya. 3. Latar a. Tempat Pengarang
menggunakan
dua
negara
sekaligus
untuk
menceritakan kisah ini. Kedua negara tersebut adalah Indonesia dan Singapura. 1) Latar tempat yang ada di Indonesia antara lain: a) Rumah kardus 11
Ibid., h. 56-57
36
Selama tiga tahun tempat tersebut menjadi saksi bisu atas kepiluan Tania, Dede, dan Ibu, seperti dalam kutipan-kutipan berikut ini: Dia tertawa kecil saat melihatku dan Dede sudah berdiri rapi menunggu di depan rumah kardus kami.12 Dede masih sibuk mematut sepatunya di depan kami. Berlari ke sana kemari. Ibu sibuk meneriakinya kalau tidak, rumah kardus kami bisa roboh.13 Tiga tahun lamanya aku dan Dede menjalani kehidupan di rumah kardus itu.14 Aku, adikku, dan Ibu sering duduk di bawah rumah kardus kami, menatap pohon yang mekar tersebut di bawah bulan purnama, seperti malam ini.15 Dalam kutipan tersebut dapat menjelaskan bahwa rumah kardus adalah tempat tinggal Tania bersama keluarganya setelah ditinggal mati oleh ayahnya. Di sana mereka tinggal selama bertahun-tahun sampai kahirnya bertemu dengan Danar dan memutuskan untuk pindaj ketempat yang lebih layak. b) Kontrakan Setelah pindah dari rumah kardus, keluarga Tania pindah ke rumah kontrakan atas saran Danar. Karena itu, sebulan kemudian Ibu memutuskan pindah mengontrak di sebuah kamar sederhana.16 Dalam kutipan ini dijelaskan bahwa keluarga Tania sebelumnya tinggal di rumah kardus, tetapi setelah bertemu dengan Danar kehidupan keluarganya menjadi lebih baik. c) Kedai ayam goreng Adegan yang tergambar di tempat ini adalah Danar mengajak Tania dan Dede untuk makan di sana. Setelah lelah berkeliling hampir dua jam, dia mengajak kami makan di salah satu kedai ayam goreng yang ada di toko buku itu.17 d) Toko buku lantai dua 12
Ibid., h. 18. Ibid., h. 26-27. 14 Ibid., h. 30. 15 Ibid., h. 232. 16 Ibid., h. 35. 17 Ibid., h. 29. 13
37
Latar tempat yang satu ini merupakan tempat yang paling Tania sukai. Untuk pertama kalinya, ia mengetahui tempat ini dari malaikatnya, Danar. Tempat ini juga yang menjadi saksi atas semua ceritanya seperti yang tergambar dalam kutipan-kutipan berikut ini: Aku tak tahu bagaimana kehadiranku setiap malam di toko buku ini bisa menarik perhatiannya.18 “Dua minggu kemudian, kami pergi ke toko buku ini. Toko buku terbesar di kota kami.19 Aku menghela napas panjang. Lima menit hanya berdiri terdiam di sini. Di lantai dua toko buku terbesar di kota kami.20 Lantai dua toko buku terbesar kota ini. Sudah setengah jam lebih aku terpekur berdiam diri di sini.21 Aku menghela napas. Sudah lama sekali aku terpekur di lantai dua toko buku terbesar kota ini.22 e) Dufan Dufan menjadi latar tempat saat keluarga Tania, Danar, juga Ratna berekreasi. Kak Ratna bertanya sambil tersenyum, waktu kami makan malam bersama di salah satu kedai makanan yang banyak tersedia di Dufan.23 Minggu depan, selepas kelas mendongeng yang selesai lebih cepat daripada biasanya, aku, Ibu, dan adikku pergi ke Dunia Fantasi.24 Dalam kutipan ini dijelaskan bahwa Dufan menjadi salah satu latar dalam cerita. Danar dan Ratna mengajak Tania beserta Ibu dan Dede untuk berlibur. f) Rumah Sakit Latar tempat dalam novel ini ada latar tempat di Rumah Sakit, yaitu ketika Ibu sakit di rawat di sana dan meninggal di rumah sakit itu. 18
Ibid., h. 12. Ibid., h.. 29. 20 Ibid., h. 65. 21 Ibid., h. 104. 22 Ibid., h. 126. 23 Ibid., h. 42. 24 Ibid., h. 39. 19
38
Maka setelah terisak beberapa saat aku mengalah duduk mendeprok di lantai lorong rumah sakit.25 Aku terduduk di lantai keramik rumah sakit.26 g) Pusara/pemakaman Selain latar tempat yang berupa rumah, bauik itu rumah kardus, kontrakan hingga rumah Danar, cerita ini juga mengambil setting di pemakaman. Hening di pekuburan.27 Siang itu kami mengunjungi pusara Ibu. Makam Ibu terlihat indah. Di pinggirnya tertulis kalimat waktu dia membujuk kami agar pulang dari pemakaman malammalam.28 Aku, adikku, dan Adi (yang pagi-pagi sudah datang ke rumah) pergi ke pusara Ibu.29 Latar tempat Di Indonesia yang digunaka pengarang sangat mendukung alur cerita dalam novel ini. Secara gars besar, latar tempat yang digunakan menggambarkan dua kehidupan yang berbeda, yakni kemiskinan dan kemapanan. Kemiskinan diwakili oleh latar rumah kardus, bus tempat mengamen, juga kontrakan. Lalu, kemapanan hidup yang berangsur
dialami
oleh
tokoh
utama
diwakili
oleh
pengambilan latar seperti kedai ayam goring, dufan, dan toko buku yang semua tempat tersebut hanya bisa dikunjungi oleh orang-orang kelas atas.
2) Latar tempat yang ada di Singapura antara lain : a). Singapura Ribuan larik cahaya kota Singapura cantik menimpa jalanan.30 Hari-hariku penuh dengan hal-hal baru di Singapura.31 25
Ibid., h. 55. Ibid., h. 61. 27 Ibid., h. 64. 28 Ibid., h. 81. 29 Ibid., h. 193. 30 Ibid., h. 203. 26
39
b). China Town Adegan yang diceritakan di tempat ini adalah ketika Tania, Danar, dan Ratna makan malam. Saat makan malam di China Town…(“Aku ingin membuktikan kata-kata Dede. Dia kan sering banget bohongin „Tante‟-nya.” Itu alasan Kak Ratna kenapa kami makan di sana), dia menyampaikan “rencana hebat” tersebut.32 c). Bandara Changi Bandara Changi menjadi latar tempat Tania mengantar Danar dan Dede pulang ke Jakarta dan ketika Danar dan Dede menjemput Tania saat liburan. Pukul 15.00 aku mengantar mereka ke Bandara Changi.33 Ketika tiba di bandara, dia dan Dede sudah berdiri menjemputku di lobi kedatangan luar negeri…34 d). Kantin flat Tempat ini digunakan Ratna dan Tania untuk makan siang ketika ratna mengunjungi Tania di Singapura. Kak Ratna makan siang bersama kami di kantin flat.35 b. Suasana 1) Sedih Suasana sedih dalam novel ini digambarkan saat Tania dan Dede terpaksa putus sekolah karena tidak ada biaya. Mereka pun terpaksa harus mengamen mencari uang recehan setidaknya untuk mengurangi beban Ibu meski hanya sedikit hasilnya. Kesedihan ini begitu menyayat hati karena dialami oleh keluarga ini selama tiga tahun. Dulu aku hanya berjalan di sepanjang jalan menatap iri anak-anak yang ada di restoran tersebut…36 31
Ibid., h. 72. Ibid., h. 130. 33 Ibid., h. 102. 34 Ibid., h. 78. 35 Ibid., h. 150. 32
40
“Saat ayahku meninggal, semuanya jadi kacau balau. Setelah tiga bulan menunggak, kami terusir dari kontrakan tersebut. Ibu pontang-panting mencari tempat berteduh. Tak ada keluarga yang kami miliki di kota ini. Jikapun ada, mereka tak sudi walau sekadar menampung. Dan akhirnya sampailah kami pada pilihan rumah kardus. Aku terhenti sekolah. Jangankan sekolah, untuk makan saja susah. Ibu bekerja serabutan, apa saja yang bisa dikerjakan, dikerjakan. Sayang Ibu lebih banyak sakitnya. Semakin parah...37 Setelah Danar datang ke kehidupan keluarga Tania, semuanya berangsur-angsur menjadi baik. Namun, seolah tak rela keluarga ini mengecap kebahagiaan, kesedihan menyapa kembali. Di tengahtengah roda kehidupan berputar ke atas, Tania harus kehilangan ibunya karena penyakit. Aku hanya duduk termangu. Tidak mampu bersuara sedikit pun di sudut ruangan kontrakan. Mengenakan kerudung hitam yang diberikan Kak Ratna. Adikku duduk bingung menatap tubuh Ibu yang terbungkus ketat kain kafa. Semua mata memandang sedih ke arahku dan Dede.38 Setelah kematian sang Ibu, kehidupan Tania dan Dede pun semakin membaik. Tania mendapatkan beasiswa ke Singapura dan Dede semakin asyik dengan aktivitasnya di sekolah. Suasana sedih pun
kembali
terasa
ketika
Tania
dan
Danar
tak
mampu
mengungkapkan perasaannya masing-masing. Keadaan ini bagaikan duri yang menelusuk hati. “Dede menatapku semakin sedih. Aku bingung dengan semua ini. Tadi aku memang memaksanya untuk menceritakan semua hal…”39
2) Senang Novel ini tidak selalu menghadirkan suasana sedih. Tercatat ada beberapa adegan yang dilingkupi oleh suasana senang. Adegan 36
Ibid., h. 29. Ibid., h. 30. 38 Ibid., h. 61. 39 Ibid., h. 240. 37
41
pertama yaitu ketika Tania, Dede, dan Ibu diberi bantuan oleh Danar. Danar menyekolahkan Tania dan Dede, memberikan uang kepada Ibu untuk biaya hidup mereka dan modal untuk usaha kue Ibu. Semua terasa menyenangkan, setelah tiga tahun merasakan kesedihan dan kepahitan, kini keluarga malang itu merasa senang atas semua takdir yang sekarang mereka rasakan. “Esok pagi selepas subuh, Ibu mengatakan beberapa hal kepadaku dan Dede. Salah satunya yang paling kuingat dan seketika membuatku berlonjak gembira, aku akan kembali sekolah. Dede juga akan disekolahkan…”40 “Usaha kue itu maju sekali. Beberapa bulan kemudian Ibu harus mengajak dua anak teteangga untuk membantu di hari-hari tertentu. Pokoknya aku belum pernah melihat Ibu sesibuk ini. Tentu saja semua modal usaha kue itu dari dia…”41 Adegan senang ini digambarkan ketika Tania mendapatkan kejutan dari Danar dan Dede saat ia berulang tahun yang ketujuh belas di Singapura. Sebelum beranjak pergi, dia mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kotak kecil berwarna merah, terbuat dari kain beludru (tentu bukan sepatu snickers; meski jadi sebuah “sepatu ukuran muni”). Isinya adalah liontin. Liontin. Ada inisial namaku disana: T. Aku terharu sekali. Perasaan tak nyaman tadi langsung berguguran seketika.42 3) Mengharukan Adegan mengharukan dalam novel ini adalah ketika
Ibu
terharu karena mengetahui bahwa Danar akan membiayai sekolah menyekolahkan Tania dan Dede. Ibu tersenggal haru saat mengatakan itu. Bahkan menangis. Mendekap kami erat. “Oom Danar…,” Ibu berkata pelan sambil menyeka sudut matanya. Tersenyum.43 40
Ibid., h. 27. Ibid., h. 46. 42 Ibid., h. 102-103. 43 Ibid., h. 27. 41
42
4) Tegang Ketegangan terjadi ketika Tania dan Danar bertemu di rumah kardus tempat kehidupan tiga tahun saat keluarga masih Tania miskin. Seseorang yang malam ini akan menjawab semua potongan teka-teki (entah dia mau menjawabnya atau tidak). Seseorang yang dengannya semua cerita harus usai malam ini. Seseorang yangs ekarang duduk di bawah pohon linden kami.44 Di tempat itu, Tania bertanya dan meminta pertanggung jawaban atas semua perasaan yang Danar pendam, liontin yang Danar beri, dan juga sebuah novel yang tak akan pernah usai itu. “Apakah buku tentang pohon ini sudah selesai! Cinta dari Pohon Linden?” Dia tersentak. Menoleh ke arahku. Aku tersenyum (meskipun hatiku sekaligus terluka saat mengatakan kalimat itu). Senyum pahit. Matanya berkilat-kilat bertanya: dari mana kau tahu soal buku ini?”45 “KAMULAH YANG SALAH. KARENA AKU TAK PERNAH MAU MENGAKUINYA!” aku membentaknya.46 “Katakanlah… apa kau mencintaiku?” aku berbisik lirih. Berdiri. Menatap mata redupnya. Jarak kami hanya selangkah. “Katakanlah… walau itu sama sekali tidak berarti apa-apa lagi.” Diam. Senyap. Dia membisikkan sesuatu. Desau angin malam menerbangkan sehelai daun pohon linden. Jatuh di atas rambutku. Aku memutuskan pergi.47 Latar-latar suasana tersebut berfungsi untuk mengaduk emosi pembaca dan juga mendukung penggambaran tema yang diangkat. 4. Alur Alur dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini termasuk alur campuran. Di awal, pengarang menyajikan sebuah cerita 44
Ibid., h. 233. Ibid., h. 239. 46 Ibid., h. 244. 47 Ibid., h. 254. 45
43
mundur kemudian pada akhir cerita menjadi campuran. Dalam novel ini, sering terdapat cerita sorot-balik/flash-back. Cerita ini diawali oleh adegan seorang perempuan bernama Tania di lantai dua toko buku terbesar di kotanya yang akan menemui Danar di rumah kardus. Sebelum Tania menemui Danar, ia menceritakan masa lalunya sampai mengapa saat itu Tania berada di lantai dua toko buku untuk menemui Danar. Awalnya, Tania bercerita tentang kemiskinannya. Kemudian menceritakan awal pertemuannya dengan Danar, bagaimana perasaannya tumbuh subur kepada Danar, tentang pendidikannya, cinta yang terpendam, dan semuanya kisah masa lalu diceritakannya malam itu sebelum Tania menemui Danar untuk menanyakan tentang semua hal yang tak pernah ia mengerti. a. Peristiwa/tahap Awal (perkenalan) Perkenalan Danar dengan Tania dan Dede terjadi ketika Danar sedang mengobati kaki Tania yang terkena paku payung. Namun, baru setengah jalan. Oh, Ibu, ada paku payung tergeletak di tengah-tengah bus. Aku tak tahu bagaimana paku payung tersebut ada di situ. Bagian tajamnya menghadap ke atas begitu saja, dan tanpa ampun seketika menghujam kakiku yang sehelai pun tak beralas saat melewatinya.48 “Jangan ditekan-tekan,” dia menegurku yang justru panik mencet-mencet telapak kaki. Aku menatapnya bingung. Terus harus diapakan? Dia beranjak dari duduknya, mendekat. Jongkok di hadapanku. Mengeluarkan saputangan dari saku celana. Meraih kaki kecilku yang kotor dan hitam karena bekas jalanan. Hati-hati membersihkannya dengan ujung saputangan. Kemudian membungkusnya perlahan-lahan. Aku terkesima, lebih karena menatap betapa putih dan bersihnya saputangan itu.49 Saat kami akan turun, dia memberikan selembar uang sepuluh ribuan, “Untuk beli obat merah”.50
48
Ibid., h. 22. Ibid., h. 23-24. 50 Ibid., h. 24. 49
44
Kisah ini dituturkan oleh Tania saat ia sudah beranjak dewasa dan sedang menunggu waktu untuk bertemu dengan Danar. Pertemuannya dengan Danar itu ia harus lakukan untuk menyelesaikan cerita yang sudah dimulai saat kakinya yang terkena paku payung itu diobati Danar. Alur dalam novel ini pun termasuk alur surprise karena membuat rasa ingin tahu pembaca muncul. Tentunya pembaca bertnya-tanya, cerita apa yang harus diselesaikan malam ini juga. b. Konflik Konflik ini dimulai ketika Danar mengajak teman wanitanya, Ratna dan memperkenalkan wanita itu kepada Tania, Dede, serta Ibu. Sejak perkenalan itulah, konflik perlahan muncul, Tania merasa diabaikan dan tersisihkan karena kehadiran “cewek artis” itu. Terlihat jelas dalam kutipan sebagai berikut, Siang itu dia mengajak teman wanitanya. Namanya Ratna. Aku memanggilnya “Kak Ratna”, karena teman wanitanya tersebut memintanya demikian, “Panggil saja Kak Ratna ya, Tania!” Sepanjang kami di Dunia Fantasi, Kak Ratna selalu berdiri di sebelahnya. Berjalan bersisian, bergandengan tangan. Mesra. Seketika hati kecilku tidak terima. Sakit hati! Bukankah selama ini kalau kami pergi entah ke mana, akulah yang lengannya digenggam? Akulah yang pundaknya dipegang? Akulah yang kepalanya diusap? Itu jelas-jelas posisiku!51 c. Klimaks Titik didih permasalahan novel ini terletak pada saat graduation day. Danar datang bersama Ratna, pacarnya dan menyaksikan kelulusan Tania yang dicintainya. Kemudian Danar dan Ratna memberitahukan kepada Tania bahwa mereka memutuskan untuk menikah tiga bulan lagi dan itu membuat Tania kaget dan benar-benar tidak menerima kenyataan itu. “Kami akan menikah, Tania!” Dia tersenyum. Kak Ratna mesra memegang tangannya. Ikut tersenyum. Menatap bahagia. Aku tersedak. Buru-buru mengambil gelas air putih di hadapanku.52
51
Ibid., h. 39. Ibid., h. 131.
52
45
Setelah mendengar kabar yang sangat menyesakkan itu Tania tidak pulang dan tidak datang ke acara pernikahan Danar dan Ratna karena Tania sangat membenci pernikahan mereka.
d. Leraian Setelah pernikahan, rumah tangga Danar dan Ratna pun berjalan dengan baik. Danar dan Ratna memutuskan mengontrak rumah lagi, membiarkan Dede di rumah sendirian. Beberapa bulan kemudian tibatiba Ratna menceritakan kekalutan rumah tangga mereka kepada Tania melalui e-mail. Tania benar-benar terkejut atas pengakuan Ratna dan ia pun bingung apa yang harus dia lakukan. Ratna akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya dan membiarkan Danar sendirian untuk sementara. Tania memutuskan untuk pulang membantu rumah tangga kakak yang dulu pernah dicintainya, Danar untuk membantu masalah ini dan menyelesaikan semua. Dalam pertemuan itu, ia mengungkapkan semuanya dan Danar ahnya diam saja. Dapat dilihat dari kutipan berikut ini. “Kau membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu langsung kau pangkas. Besemai satu langsung kau injak. Menyeruaksatu langsung kau cabut tanpa ampun. Kau tak pernah memberikan kesempatan. Karena itu tak mungkin bagimu? Kau malu mengakuina walau sedang sendiri? Bagaimana mungkin kau mencintai gadis kecil ingusan? Pertanyaan itu selalu mengganggumu”53 “Tetapi mengapa kau tak pernah mengakuinya? Mengapa? Saat sweet seventeen, liontin itu mengatakan segalanya. Tetapi mengapa harus sekarang aku tahu bahwa liontin itu istimewa? Apakah kau terlanjur mengganggapku seperti adik? Kau merasa berdosa mencintai adik sendiri? Atau kau membenci dirimu sendiri karena mencintaiku?”54 e. Penyelesaian
53 54
Ibid., h. 250. Ibid., h. 150-151.
46
Kisah ini selesai ketika Tania tahu bahwa Ratna kini sedang hamil empat bulan dan memberitahukannya kepada Danar. Tania pun berbesar hati untuk menerima semua itu. Ratna dan bayi yang dikandung istri Danar pasti lebih membutuhkan lelaki malaikat itu. Tania pun memutuskan untuk kembali lagi ke Singapura, mencoba menemukan kehidupan yang lebih baik lagi sesuai nasihat sahabat terbaiknya Anne. Ia meninggalkan Dede sendiri, meninggalkan pusara Ibu, meninggalkan Ratna dan bayinya, juga meninggalkan Danar. Tania pun tidak akan pernah kembali lagi ke Indonesia. Esok lusa mungkin aku akan menemukan pilihan rasional seperti yang pernah dikatakan Anne. Yang pasti itu bukan Jhony Chan. Aku tak akan penah kembali lagi. Maafkan aku, Ibu. Aku tak sempat mampirdi pusaramu. Ibu memang tahu segalanya.55 5. Sudut Pandang Sudut pandang dalam novel Daun yang Jatuh Tak Akan Pernah Membenci Angin ini adalah orang pertama pelaku utama. Novel ini mengisahkan pengalaman tokoh utama. “Aku tahu aku cantik. Tubuhku proposional. Rambut hitam legam nan panjang.”56 “Mungkin nanti akan kuceritakan satu per satu tingkah laku aneh cowok-cowok yang mendekatiku dengan berbagai cerita lainnya.”57 Aku menghela napas panjang. Lima menit hanya berdiri terdiam di sini. Di lantai dua toko buku terbesar di kota kami.58 Kutipan tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa tokoh aku adalah orang pertama pelaku utama dalam novel ini. Penggunaan sudut pandang ini sangat mendukung tema yang diambil oleh pengarang. Lewat sudut pandang yang diceritakan langsung oleh pelaku utamanya ini, pembaca dapat mengetahui bagaimana isi hati dari tokoh utama dan pandangannya terhadap tokoh-tokoh lain dan masalah yang dihadapainya. Juga, sudut pandang jenis ini mendukung alur cerita yang semakin kompleks karena baik Tania, Dede, maupun pembaca tidak ada yang 55
Ibid., h. 256. Ibid., h. 15. 57 Ibid., h. 16. 58 Ibid., h. 65. 56
47
mengetahui apakah Danar juga mencintai Tania. Hal ini dikarenakan dari awal hingga akhir pengisahan, Tania hanya menceritakan jalan hidup dan perasaannya saja. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan perasaan tertentu dalam hati pembaca. Menurut Sugianto gaya bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan suatu pengertian dalam kata, kelompok kata atau kalimat.59 a. Hiperbola Demi membaca e-mail berdarah-darah itu, esoknya aku memutuskan segera pulang ke Jakarta.60 Kalimat ini mengandung majas hiperbola. Hal ini ditandai oleh frasa email berdarah-darah. Konteks kalimat ini adalah Tania mendapatkan e-mail dari Ratna yang sedang dilanda konflik rumah tangga dengan Danar. Dalam e-mail itu, akhirnya Ratna mengetahui bahwa suaminya tidak mencintainya. Tentunya hal ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan hati wanita mamapun. Namun, di dalam e-mailnya, alih-alih ia membenci suaminya, ia malah menyalahkan dirinya sendiri karena ia bukanlah seorang istri yang baik. Konteks cerita yang seperti itulah yang membuat pengarang menamakan email ini sebagai email yang berdarah-darah karena isinya yang sangat menyakitkan hati. b. Simile Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan.61 Kata seperti yang digunakan dalam kalimat ini menandakan bahwa kalimat ini menggunakan majas simile. Hal yang ingin disamakan dalam kalimat ini adalah perasaan yang tumbuh dalam hati Tania dengan kecambah. Perasaan Tania kepada Danar tumbuh karena ada faktor yang 59
Aan Sugiantomas, Kajian Prosa Fiksi (Kuningan: PBSI STKIP Kuningan, 1998), h. 53 Tere Liye, op, cit., h. 230. 61 Ibid, h. 154 60
48
mendukung perasaan itu berkembang menjadi begitu dalam. Sama halnya dengan kecambah yang akan tumbuh bila disiram hujan. Faktor tersebut beriupa perhatian Danar yang sangat besar kepada dirinya.
c. Metafora Membekukan seluruh perasaan. Mengkristalkan semua keinginan.62 Kedua kalimat ini mengandung majas metafora yang ditandai dengan penggunaan kata membekukan dan mengkristalkan. Kedua kata ini memiliki kesamaan makna, yaitu mengubah bentuk menjadi sesuatu yang padat. Jadi, Yang dimaksud dengan kedua kalimat ini adalah mewujudkan semua hal yang selama ini hanya sekedar angan-angan. Hal ini bisa dilihat dari
pemaknaan
mengkristalkan
semua
keinginan.
Kalimat
ini
mengindikasikan bahwa semua keinginan Tania selama ini hanya sebatas khayalan tanpa pernah terwujud. d. Personifikasi Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.63 Judul dari novel ini mengandung majas personifikasi. Maksud dari kalimat ini adalah manusia harus menerima segala sesuatu dengan ikhlas dan menandang hal tersebut sebagai suatu keharusan yang harus terjadi. Hal ini digambarkan dengan sehelai daun yang merupakan benda mati pun bisa menghadapi takdirnya tanpa harus mempertanyakan mengapa ia harus terjatuh dari tangkainya. Ia juga tidak pernah membenci atau bahkan mengutuki angin yang menjadi penyebab dirinya jatuh. Dari penggunaan majas inilah, pengarang bisa menyampaikan ilmu ikhlas kepada pembaca dengan perumpamaan yang mudah sekali dimaknai oleh pembaca dan familiar dengan kehidupan pembaca. e. Retoris 62 63
Ibid., h. 7. Ibid., h. 154.
49
”Dan sekarang kau bertanya apa maksudku? Bukankah pohon ini bisa menjelaskan semua maksudmu? Pohon ini bisa menjadi saksi apa maksudmu! Menjadi judul buku yang tak akan pernah selesai itu?” aku memotong kalimatnya. Berteriak.64 Dialog yang diucapkan oleh Tania ini mengandung majas retoris yang ditandai oleh kata tanya bukankah. Pertanyaan yang diajukan oleh Tania dalam dialog ini bukann ditujukan untuk menuntut jawaban dari Danar, tetapi untuk menegaskan sebuah kondisi. Kondisi yang dimaksud adalah pohon linden yang ada di rumah kardus Tania saksi mata semua perasaan yang mereka selama ini. f. Pleonasme Diam. Senyap.65 Penggunaan kedua kata yang memiliki kesamaan makna ini mengindikasikan
bahwa
untuk
menggambarkan
suasana
hening,
pengarang menggunakan majas pleonasme. Sebenarnya, kata diam saja sudah berarti senyap begitu pun sebalikmnya. Jadi bila salah satu di antara keduanya dihilangkan, tidak akan mengubah makna yang ingin disampaikan. Hanya saja, bila hanya menggunakan satu kata saja untuk menggambarkan suasana, efek penegasan yang dapat membuat pembaca yakin dengan suasana yang tergambar tidak akan ada. g. Anafora Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.66 Frasa yang ditekankankan dengan cara diulang keberadaannya adalah bahwa hidup harus...... Hal yang ingin ditekankan pengarang lewat gaya bahasa ini adalah manusia yang menjalani kehidupan harus memiliki
64
Ibid., h. 244. Ibid., h. 254. 66 Ibid., h. 196. 65
50
sebuah prinsip. Prinsip-prinsip itulah yang ditunjukkan lewat kata yang hadir setelah frasa yang diulang.
7. Amanat Lewat novel ini, pengarang ingin menyampaikan sebuah pelajaran penting kepada pembaca. Bahwa sesuatu yang tak terkatakan hanya akan menimbulkan masalah yang besar di kemudian. Bagaikan api dalam sekam, sebuah peribahasa yang pantas untuk konflik dalam novel ini. Jika mempunyai perasaan terhadap seseorang, beranilah untuk mengungkapkan, apa pun itu risikonya karena memendamkan perasaan, akan membuat hati menjadi kacau balau. Jika kita memang tak siap untuk menerima kenyataan bahwa seseorang yang amat kita cintai tak mempunyai perasaan yang sama, lebih baik diam dan menunggu takdir Allah swt berbaik hati untuk segera menghapuskan rasa yang tumbuh di hati jika memang dia bukan jodoh kita dan berdoalah jika memang berjodoh semoga takdir Allah swt segera memberikan jalan untuk bersama. Sebaliknya,
jika sudah merasa siap untuk mengungkapkan
perasaan, jangan menundanya. Sesuatu yang selalu ditunda-tunda akan membuat segalanya menjadi buruk dan berujung pada sebuah penyesalan. Hal ini digambarkan oleh Danar dan Tania yang tak pernah mengungkapkan perasaan mereka sehingga mereka terjebak ke dalam kepahitan yang menyiksa hidup sendiri. Kenyataan pahit harus mereka rasakan karena semuanya terungkap di saat semuanya telah terlambat. Amanat lain yang ingin disampaikan pengarang lewat novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini adalah menolong tidak melulu harus kepada orang yang kita kenal. Keikhlasan dalam menolong adalah sebuah investasi akhirat. Menolong tanpa mengharapkan imbalan dan memberikan kebahagiaan untuk orang lain adalah sama halnya kita menumbuhkan kebahagiaan untuk diri sendiri. Amanat sampingan ini jelas terlihat dari sikap Danar yang selalu berbaik hati dan ringan tangan
51
membantu Tania, Dede, dan Ibu. Dengan sepenuh hati, ia menolong tanpa mengharapkan imbalan lebih dari apa yang dilakukannya terhadap keluarga yang saat itu begitu malang keadaannya. Lewat novel ini, pengarang menyadarkan pembaca bahwa tak selamanya yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Namun, setiap masalah yang muncul, dapat dijadikan penguat diri jika dijalani dengan ikhlas dan bersyukur atas takdir Allah swt dan sadar bahwa apa pun yang terjadi itulah yang terbaik untuk kita. Hal ini disampaikan oleh pengarang lewat kutipan di bawah ini, “Ketahuilah, Tania dan Dede…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin…. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu…. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya…. Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania.67 Tidak hanya itu, pengarang juga menyampaikan pesan moral melalui tokoh Danar yang terlahir yatim-piatu. Namun, keadaannya itu malah membuatnya lebih tegar dalam menjalani kehidupan. Ia berusaha mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, selalu ikhlas atas semua yang terjadi, mensyukuri apa yang ia miliki, dan selalu berusaha mengejar impiannya. Juga, novel ini mengajarkan dan mengingatkan agar kita tidak pantang menyerah dalam melakukan segala hal. Niat dan berusaha dengan bersungguh-sungguh adalah hal yang paling utama untuk mencapai sesuatu hal. Sesuatu yang hanya berupa angan-angan semua akan menjadi kenyataan meski begitu banyak cobaan dan permasalahan kehidupan yang menghampiri. Selalu rajin dalam belajar dan mengejar cita-cita seperti Tania yang pantang menyerah mengejar ketertinggalan pendidikannya tiga tahun, belajar dengan sungguh-sungguh. Semua ini mengantarkannya dari seorang pengamen yang kumuh menjadi seorang penerima sampai
67
Ibid., h. 63
52
beasiswa dengan nilai tertinggi dan mendapatkan banyak penghargaan yang layak diacungi jempol. Semua orang pun bangga kepadanya. Hadapilah semua kenyataan hidup dengan penuh rasa syukur, ikhlas, sabar, dan menerima. Seperti Tania, Danar, Dede, Ratna, dan Ibu yang selalu tegar dan tak pernah menyesali apa yang telah terjadi meski pun begitu banyak cobaan dan permasalahan hidup yang harus dihadapi. Seperti Tania dan Dede yang menjadi yatim piatu ketika mereka masih kecil, hidup tanpa kedua orangtua yang amat berharga baginya. Juga Danar yang selalu tegar, dan kuat menjalani kehidupan. Pun halnya Ratna yang tidak pernah menyesal mencintai Danar, meskipun suaminya sempat berubah seperti seseorang yang tidak pernah dikenalnya. Juga seperti perasaan Tania dan Danar dengan permasalahan yang terjadi, perbedaan usia yang terlampau jauh 14 tahun, dan kenyataan kehidupan yang terlanjur menakdirkan mereka untuk menjadi seorang kakak-adik. Jika memang kehidupan ini terasa sangat menyesakkan, perasaan yang terpendam begitu menyakitkan dan terlambat untuk diungkapkan, serta tak mungkin untuk bisa saling memiliki, biarlah semua terjadi tanpa harus disesali. Cobalah menerima dan mengerti mengapa ini semua harus terjadi. Selalu ada kekuatan di balik masalah yang mendera dan selalu tersedia hikmah di balik semua itu seperti dalam kutipan dalam novel ini, Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.68 “Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami…. dan kami akan menerima”69 Menariknya, semua amanat yang berhubungan dengan sikap dasar dalam menghadapi hidup ini, disampaikan Tere Liye tanpa menimbulkan kesan menggurui pembacanya. Semua pesan ini mengalir begitu saja lewat 68 69
Ibid., h. 196 Ibid., h. 198
53
alur yang dibawakan oleh semua tokoh-tokohnya. Inilah yang membuat pembaca merasa terpuasakan ketika selesai membaca kisah ini.
B. Analisis Kepribadian Tokoh Tania Menggunakan Teori Galenus
Dalam teori kepribadian yang dikemukakan oleh Galenus, manusia terbagi ke dalam empat kepribadian. Keempat kepribadian tersebut adalah sanguinis, koleris, phlegmatis, dan melankolis. Keempat kepribadian tersebut memiliki karakteristiknya tersendiri. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, pusat penceritaan dan masalah dalam novel ini adalah tokoh utama yang diperankan oleh Tania. Tania adalah seorang gadis yang mengalami metamorfosis kehidupan. Awalnya, ia hanyalah seorang gadis cilik yang hidup di bawah garis kemiskinan bersama ibu dan seorang adik laki-laki. Lalu, nasib baik pun akhirnya menghampiri keluarga miskin tersebut. Seorang lelaki yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, tiba-tiba datang untuk mengangkat derajat kehidupan mereka. Kehadiran Danar, lelaki yang menolong keluarga mereka, telah mengubah segalanya. Secara bertahap, mereka mulai bangkit dari keterpurukan hingga akhirnya Tania dan adiknya menjadi orang-orang yang berpendidikan. Perubahan kehidupan yang Tania alami inilah yang secara tidak langsung membangun kepribadian tokoh ini. Secara umum, ia digambarkan sebagai seorang gadis yang cerdas secara akademis dan bukanlah seseorang yang mudah bergaul. Ia hanya memiliki seorang sahabat yang padanyalah ia mencurahkan isi hatinya. Hal ini dikarenakan ia bukanlah seseorang yang mudah mengungkapkan perasaannya. Ia akan memendam perasaannya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam hingga ia menemukan waktu dan orang yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya selama ini. Banyak sebab mengapa seseorang lebih memilih untuk memendam perasaannya. Pertama, karena ada ketakutan yang akan terjadi di masa mendatang apabila ia mengungkapkan perasaannya. Juga, ketakutan bahwa orang yang ia ajak berbicara tentang perasannya akan membocorkan isi pembicaraan mereka. Selain itu karena ketakutan itu, alasan mengapa mereka
54
menyimpan sendiri perasaannya adalah karena ia bukanlah seseorang yang pandai mengungkapkan perasannya dengan kata-kata. Mereka lebih memilih melakukan sesuatu yang lebih konkret untuk bisa menggambarkan perasannya. Secara keseluruhan, konflik yang ada dalam kisah ini tercipta karena Tania adalah seseorang yang tertutup. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ia hanya bercerita tentang apa yang dirasakannya kepada Anne dan Dede. Kepada Dede pun ia tak mau begitu saja mengakui bahwa ia mencintai Danar. Bagi Tania, terlalu berisiko bila ia menceritakan semua perasaannya terhadap Danar kepada Dede, sekalipun Dede adalah adik kandungnya, karena adiknya itu tinggal satu rumah dengan Danar yang sewaktu-waktu bisa saja membocorkan rahasia itu. Ia tak mau orang lain tahu bahwa ia mencintai Danar. Selain karena Danar telah memiliki kekasih, juga karena ia tahu tak pantas baginya untuk mencintai seseorang yang telah begitu berjasa menjadikannya seseorang yang berpendidikan, sebuah kewajiban yang seharusnya diemban oleh ayahnya. Selain karena alasan di atas, ia tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasannya karena ia adalah seorang wanita. Keadaan Tania yang tak bisa mengungkapkan perasannya ini diperparah oleh Danar yang juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada Tania. “Aku akhirnya memutuskan untuk membicarakan masalah itu dengan Dede. Adikku memang baru empat belas tahun. Kelas tiga SMP. Tetapi dia sama sepertiku, jauh lebih matang. Jauh lebih dewasa dibandingkan remaja seusianya (Meskipun tetap dengan gaya semaunya). Setidaknya adikku harus tahu apa yang terjadi pada kakaknya.70 Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa ia hanya ingin mengungkapkan perasaannya kepada adiknya seorang saja. Meskipun ia memiliki sahabat di Singapura, ia hanya mempercayai Dede, karena hanya adiknya itulah yang memang mengerti betul apa yang diinginkan dan dirasakan olehnya. Hal ini dikarenakan kedekatan batin yang terjalin karena hubungan darah yang mereka miliki. 70
Ibid,. H. 134-135
55
Ulasan perwatakan Tania a. Berpikir keras Selain sifat tertutup, salah satu ciri utama dari seseorang yang melankolis adalah selalu berpikir keras. Di satu sisi, sifat seperti ini adalah sebuah sikap yang akan merugikan orang tersebut karena hanya akan menghabiskan waktunya untuk memikirkan sesuatu yang tidak berguna yang pada akhirnya hanya akan menjadi beban hidup. Hal ini pun juga terjadi pada Tania. Namun, sifat pemikirnya ini diarahkan pengarang ke hal yang positif. Dengan sifatnya yang pemikir inilah, Tania menjadi murid berprestasi. Hal ini dibuktikan dengan ia berhasil menjadi juara kelas dan menjadi lulus dari NUS dengan predikat lulusan termuda, tercepat, dan terbaik. Lewat sifat inilah, pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa seseorang yang mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lebih positif pasti akan menuai hasil yang baik pula. Namun, terkadang sifat pemikirnya ini juga mengarahkan Tania kepada sesuatu yang negatif. Sifat cemburu yang dimiliki Tania disebabkan oleh sifatnya yang terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting. Salah satu contohnya adalah ketika ia merasa terganggu dengan kehadiran Ratna yang selalu ada di dekat Danar. Ia merasa bahwa Ratna akan menggantikan posisi Tania. Dari situlah, ia mulai berburuk sangka kepada Ratna. Semua perasaan yang dilandasi oleh rasa cemburunya inilah yang membuatnya tidak bisa membuka hati atas kebaikan-kebaikan yang telah Ratna lakukan kepada keluarganya. Sifat buruk ini juga turut menyumbangkan konflik pada kisah ini. Ia tidak bisa merelakan Danar menikah dengan orang lain adalah karena ia tidak bisa menerima kehadiran Ratna dalam kehidupannya. Hal itu bisa terjadi karena yang ada dalam benaknya adalah Ratna yang menjadi penghancur mimpinya hidup bahagia dengan Danar.
56
Tabiatnya yang sering berpikir, terutama untuk dampak negatif yang dihasilkan dari tabiatnya tersebut, dikarenakan beberapa faktor. Pertama, karena ia tidak bisa mengungkapkan apapun yang ia rasakan kepada orang lain. Jika ia mampu mengutarakan apapun yang dirasakan kepada orang lain, ia bisa bertukar pikiran dengan orang lain dan mampu berpikir positif terhadap apapun yang terjadi. Sedikit banyak tindakan yang akan diambil juga karena masukan orang lain yang menasihatinya, dari sikapnya yang introvert inilah, ia berusaha menemukan jawabanjawaban atas rasa penasaran dan juga pembenaran sendiri atas apa yang ia lakukan. b. Setia Selain introvert dan pemikir, sifat mendasar yang ikut menguatkan konflik ini adalah kesetiaan yang dimiliki Tania. Tania digambarkan oleh pengarang sebagai sesosok gadis yang memiliki kesetian yang tinggi dengan perasaannya. Meskipun ia tahu bahwa Danar, seseorang yang sangat ia cintai, telah memiliki kekasih, ia tetap menyimpan perasaannya yang begitu mendalam. Ia juga tak peduli ketika ada lelaki lain, Adi, begitu tulus mengharapkan cinta Tania. Tania hanya akan dan tetap terus mencintai Danar meski banyak lelaki yang mencoba mendekatinya. Pengorbanan yang dilakukan Adi tak cukup menggoyahka pendirian Tania untuk berpaling dari pesona Danar. Begitu pun dengan Jhony Chan dan laki-laki lainnya yang selalu mencoba mendekati Tania. Tania menolaknya demi mempertahankan perasaannya terhadap Danar. Kesetiaannya menunggu cinta Danar merupakan siksaan bagi batin Tania sendiri karena ia tahu bahwa Danar telah menjatuhkan pilihannya kepada Ratna padahal di sisi lain, ia bisa saja melarikan luka hatinya itu dengan cara menerima cinta dari lelaki lain yang jelas-jelas mencintai dirinya. Namun, ia tidak mengambil pilihan tersebut.
57
Alasan
mengapa
ia
begitu
setia
dengan
perasaan
yang
membawanya ke beberapa sifat buruk lainnya adalah karena ia telah kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa melindungi dan membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik sedari kecil. Secara tidak langsung, Tania menemukan figur seorang ayah dalam diri Danar. Di dalam novel, Danar digambarkan sebagai sosok lelaki yang bijaksana, dewasa, mengayomi, dan melindungi keluarga malang Tania. Sifat-sifat yang dimiliki oleh Danar itulah yang mampu membuat Tania merasa nyaman menerima kehadiran Danar. Tania pun menganggap Danar sebagai malaikat keluarganya. Anggapan malaikat kepada Danar dinilai tidak berlebihan. Tania menganggap sifat-sifat malaikat seperti penolong, pemberi janji kehidupan yang lebih layak, penerang, dan simbol anugerah Tuhan ada pada Danar. Dengan semua kebaikan yang dimiliki oleh Danar, membuat Tania secara tidak langsung menganggap Danar adalah sosok pengganti ayahnya. Semakin sadis. Menambah semakin banyak daftar korban yang berhasil kuhina. Termasuk cowok-cowok ganjen Singapura dengan tampang Indo-Melayu yang coba-coba naksir aku. Rasialis? Peduli amat.71 c. Teguh Pendirian Selain setia pada perasaannya, Tania juga seseorang yang teguh pendirian. Hal ini terbukti ketika pada suatu hari dia diminta pulang untuk menghadiri pernikahan Danar dengan Ratna, tetapi dia tetap tidak mau pulang. Padahal Tania sudah berjanji akan menuruti semua perkataan Danar yang dia anggap sebagai malaikat, tapi pada saat itulah Tania tidak mau menuruti perkataan Danar untuk pulang ke Indonesia. Di lain waktu, Ratna langsung mendatangi Tania ke Singapura. Namun apa boleh buat, Tania tetap tidak mau pulang.
71
Ibid., h. 182
58
“Aku memang tidak bisa pulang, Kak Ratna. Maafkan aku,” aku berkata lirih.72 Dari adegan tersebut, dapat diketahui bahwa Tania memiliki gengsi yang tinggi. Dari sikap ini Tania ingin membuktikan kepada orang lain bahwa dia sudah dewasa dan berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan orang lain, sekalipun orang itu telah berjasa mengangkat derajat hidupnya. Sikap inilah yang menandakan klimaks pada kisah ini. Tanpa Tania harus mempertahankan pendiriannya untuk tidak pulang ke Jakarta, pembaca tidak akan disuguhi oleh klimaks seperti ini. Bahkan lebih jauh lagi, kisah ini tidak akan terjadi. Dua minggu sebelum pernikahan, aku menabuh genderang perang: aku tidak akan pulang. Dia dan Kak Ratna berkali-kalikirim e-mail atau chatting bertanya, aku hanya menjawab pendek. Tania sibuk. Maaf tidak bisa pulang.73 d. Sensitif Sifat sensitif yang dimiliki tania dalam konteks ini mengarah ke pengertian yang positif, yakni peka. Kepekaan yang dimiliki oleh Tania diperkuat
oleh kodratnya sebagai
wanita yang umumnya lebih
mengedepankan perasannya daripada logika. Hal ini dibuktikan pada peristiwa Tania yang kemudian memutuskan untuk pulang ke Jakarta setelah sekian lama ia tak menginjakkan kakinya di tanah air. Tania mampu melakukan hal yag selama ini ia jauhi lantaran ketika ia membaca email dari Ratna yang berisi tentang retaknya rumah tangga mereka. Sebagai seorang wanita, ia merasakan betapa hancurnya perasaan Ratna dan ia tergerak untuk memperbaiki semuanya karena ia tahu betul, bahwa ia memiliki andil yang cukup besar dalam bencana rumah tangga tersebut. Demi membaca e-mail berdarah-darah itu, esoknya aku memutuskan untuk pulang segera ke Jakarta. Ini masalah serius. 72
Ibid., h. 149 Ibid., h. 140-141
73
59
Aku tidak bisa hanya berdiam diri. Aku adalah bagian dari keluarga mereka, dan aku berkepentingan untuk setidaknya bertanya. Hal itu juga pasti akan dilakukan Ibu kalau Ibu masih ada.74 e. Teliti Pengarang menggambarkan Tania sebagai seseorang yang sangat mengenali perubahan wajah Danar. Ia mengingat setiap lekuk wajah Danar dengan sangat teliti. Ia mengikuti semua perubahan yang terjadi pada diri Danar. Semua ia perhatikan dengan saksama. Ia mengingat semua itu tanpa ada satu perubahan pun yang ia lewatkan. Ketelitian yang ia lakukan ini tidak hanya karena rasa cinta, tetapi juga dorongan dari alam bawah sadarnya. Danar yang telah memberikan kesan mendalam, tidak hanya bagi keluarganya tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kesan yang mendalam itulah yang tersimpan rapi dalam benak Tania sehingga tanpa disadari, ia terus mengikuti perubahan yang terjadi dalam diri Danar yang di dalamnya ia mencari sosok ayah yang telah lama tak ia miliki. Berebutan menghiasi setiap lembar memoriku. Kejadian-kejadian itu melintas cepat. Wajahnya di atas bus kota, wajahnya di rumah kardus, wajahnya saat bercerita, wajahnya saat di warung tenda, wajahnya saat di Dunia Fantasi, wajahnya di toko buku, wajahnya saat di bandara, wajahnya sekarang.75 f. Perfeksionis Meskipun, Tania adalah seseorang yang perfeksionis dan ia juga menyadari bahwa ia adalah gadis cantik sesuai harapan Danar dan ibunya, ia bukanlah seseorang yang menyukai perhatian berlebihan yang diberikan kepadanya. Perhatian berlebihan yang dimaksud adalah ia tidak suka menjadi pusat perhatian dari lawan jenis yang ia sendiri tidak menyukainya. Faktor yang mendasari tindakan ini adalah karena ia terlalu fokus terhadap perasaan cinta yang ia rasakan kepada Danar sehingga ia tidak mau membuka hati untuk orang lain yang jelas-jelas mencintainya. Hal ini bisa dilihat pada adegan berikut,
74 75
Ibid., h. 230 Ibid., h. 252
60
Itu fase baru dalam perkembangan perasaanku padanya. Fase penerimaan yang indah. Meskipun esok lusa tabiatku di kampus, keseharian, dan sebagainya lengsung berubah lagi. Tingkah laku menyimpang berbagai paradoks. Semakin sadis. Menambah semakin banyak daftar korban yang berhasil kuhina. Termasuk cowok-cowok ganjen Singapura dengam tampang Indo-Melayu yang coba-coba naksir aku.76 Di balik sikapnya yang tegar, ternyata Tania pernah merasakan kegamangan ketika menghadapi kehidupannya yang getir di waktu kecil. Hal ini ia rasakan ketika keluarganya kehilangan sosok kepala keluarga. Tania mulai mencicipi kehiudpan jalanan lantaran ia tak percaya bahwa akan ada keluarganya di sana akan membantunya. Lambat laun, dengan kedewasaan dan pengalaman yang dimilikinya, ia mampu mengatasi semua masalah yang dihapainya dengan dewasa. Pun halnya ketika ia mendapati kenyataan bahwa ia tak mungkin bisa hidup bersama Danar sebagai sepasang kekasih, ia menanggapi hal itu dengan mata dewasa, cinta tak harus memiliki. g. Keras Kepala Pada adegan-adegan tertentu, Tania menjadi orang yang begitu keras kepala sehingga ia sulit untuk memaafkan sesuatu yang telah membuat hatinya terluka atau setidaknya kecewa. Faktor yang menjadikan ia begitu sulit memaafkan sesuatu yang membuatnya kecewa adalah karena ia adalah seorang yang perfeksionis. Segala sesuatu yang terjadi harus sesuai dengan apa yang ia rencanakan sebelumnya. Dari penjabaran analisis kepribadian Tania oleh penulis, dapat dilihat bahwa Tania bukanlah seseorang dengan kepribadian sanguinis. Sanguinis adalah orang-orang yang ekstrovert, suka berbicara dan optimis. Seperti yang telah
dijelaskan
sebelumnya,
Tania
bukanlah
orang
yang
mampu
mengungkapkan segala perasaannya kepada sembarang orang, itu pun dengan berbagai pertimbangan. Juga, Tania bukanlah tokoh yang memiliki kepribadian koleris dan plegmatis yang sedikit banyak memiliki sifat seperti 76
Ibid., h. 182
61
sanguinis. Dengan begitu, Tania memiliki kepribadian sebagaimana orang melankolis. Sebagai representasi dari kehidupan nyata, sebuah karya sastra tentunya memiliki amanat yang disampaikan oleh para tokoh lewat alur yang sedemikian apik digarap oleh pengarang. Untuk mencapai amanat, para tokoh tersebut harus dihidupi dengan beragam sifat yang tentunya mendukung jalannya alur. Berbicara mengenai alur, jalannya sebuah cerita sangat dipengaruhi oleh karakter tokoh yang dimainkan oleh pengarang. Sebagai contoh, penokohan dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye ini sangat mempengauhi jalan cerita. Kisah ini tidak akan menjadi kompleks jika tokoh utama dalam novel ini tidak diberikan sifat yang sedemikian rupa oleh pengarangnya. Seperti halnya manusia, tokoh-tokoh dalam sebuah kisahan pun memiliki banyak sifat. Pada analisis sebelumnya, penulis telah menganalisis sifat-sifat Tania, tokoh utama dalam novel ini, yang dikategorikan ke dalam kepribadian melankolis. Di bawah ini, penulis juga akan menganalisis sifatsifat Tania yang tidak termasuk ke dalam kategori kapribadian melankolis itu. a. Meyakinkan Sebagai anak yang hidup dalam kemiskinan, Tania hanya bisa membayangkan rasanya bisa hidup layak seperti anak lain seusianya tanpa tahu bagaimana cara Tuhan mengabulkan impiannya tersebut. Tuhan pun berkenan mengubah impian itu menjadi nyata dengan dikirimkannya Danar ke dalam kehidupan keluarga Tania. Gadis cilik ini kemudian tahu bagaimana caranya membalas budi jasa orang yang mengangkatnya dari kemiskinan. Ia berusaha meyakinkan Danar bahwa ia memang pantas ditolong dan disekolahkan kembali. Usahanya tersebut ia realisasikan dengan prestasinya di sekolah yang sangat membanggakan. Semua itu ia tunjukkan sebagai ucapan terima kasih kepada Danar. Ada banyak hal yang harus kukejar. Aku sudah tiga tahun tertinggal. Tiga tahun sia-sia! Dan karena aku sudah berikrar akan selalu menurutikata-kata dia, maka saat dia mengusap
62
rambutku malam itu sebelum pulang dari toko buku, dan berkata pelan: “Belajarlah yang rajin Tania!”, aku bersumpah akan melakukannya.77 Dari teks di atas dapat diketahui bahwa Tania ingin meyakinkan Danar bahwa dia orang yang bisa dipercaya atas kepercayaaan yang telah diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga masih sanggup melakukan hal-hal yang membanggakan ketika masa studinya berakhir. Ia membuktikan kepada orang-orang dalam hidupnya bahwa ia adalah gadis yang tidak boleh dipandang sebelah mata ketika ia menerima pekerjaan yang sangat menguras waktunya di Singapura. Meski yang ia lakukan ini berbeda motif dengan apa yang ia lakukan sewaktu ia masih sekolah, lagilagi ini jelas menunjukkan bahwa Tania merupakan tokoh yang patut dipercaya untuk diberikan sebuah amanah. b. Sosial Keadaan yang serba kekurangan menuntut Tania menjadi seseorang yang peka terhadap hal-hal kecil di sekitarnya, terutama terhadap keluarganya sendiri. Di usia yang masih sangat muda, ia harus belajar
mengesampingkan
ego
masa
kanak-kanaknya
dan
juga
mengajarkan hal tersebut kepada adiknya. Apalagi aku! Pernah Dede marah tidak mau pulang saat kami tiba diterminal ujung kota. Hari sudah menjelang malam. Dede keukeuh bertahan di sana. Terpaksa aku dan adikku menginap di emperan pos polisi. Ibu cemas menunggu di rumah. Hanya gara-gara Dede ingin membeli es mambo, dan aku tidak bisa membelanjakan uang penghasilan kami hari itu. Dede merajut sepanjang malam. Aku tidak bisa menjelaskan dengan baik ke Dede soal uang itu, hanya berkali-kali bilang ibu membutuhkannya untuk berobat, jadi tidak boleh jajan.78 Dari teks di atas dapat diketahui bahwa Tania memiliki kepedulian yang tinggi terhadap keluarganya. Tania lebih mendahulukan kepentingan ibunya daripada Dede adiknya. Hal ini dikarenakan ibunya dalam keadaan sakit dan lebih membutuhkan uang itu untuk berobat dibandingkan dengan 77
Ibid., h. 33 78 Ibid., h. 19
63
Dede yang hanya ingin membeli es mambo. Bila diteliti lagi, sifat yang satu ini tidak serta-merta dimiliki Tania. Seperti yang telah djelaskan sebelumnya, keadaan yang telah memaksa Tania untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, terlebih ke keluarganya sendiri. Dari keadaan inilah, ia terlatih untuk lebih peka terhadap sesuatu yang dekat dengan hidupnya. kepekaannya terhadap keluarganya tidak hanya ia lakukan saat ia masih menjalani kehidupan miskinnya, tetapi berlanjut ketika ia sudah dewasa. Ia tetap mencurahkan perhatiannya kepada Dede dengan rutin mengirimkan permainan lego. Berdasarkan teori Galenus yang telah dikemukakan penulis pada bab II, sifat jiwa sosial dan meyakinkan yang dimiliki Tania termasuk ke dalam kepribadian Sangunis. Fungsi dari kepribadian sosial dalam kisahan ini adalah untuk mengisi peleraian yang ada didalam alur novel ini. Dapat dilihat dalam adegan ketika Ratna meminta Tania untuk pulang ke Indoneia membantu masalah yang dihadapi Ratna dengan Danar. Dengan sifat ini Tania berfungsi untuk melerai dan membantu penyeselaian maslah Ratna dengan Danar. Demi membaca email berdarah-darah itu, esoknya aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Aku tidak bisa hanya berdiam diri. Akua dalah bagian dari keluarga mereka. Dan aku berkepentingan setidaknya bertanya. Hal itu pasti akan dilakukan Ibu kalo Ibu masih ada.79
c. Tidak sabar Waktu kecil, Tania ingin memiliki Danar seutuhnya tanpa harus berbagi dengan siapapun, kecuali Dede. Ia tidak ingin kehilangan Danar apapun alasannya. Perasaan yang demikian ini karena ia telah terlanjur menggantungkan hidupnya kepada Danar, orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarganya. Ada semacam ketakutan dalam diri Tania, bila ia sampai kehilangan Danar, maka ia juga akan kehilangan kehidupan indah yang mulai ia rasakan sejak lelaki baik
79
Ibid., h. 230
64
itu menolongnya. Rasa tidak ingin kehilangan itulah yang membuatnya kerap tidak sabar menanti kehadiran Danar di rumahnya. Enam bulan kemudian aku benci kata “kesibukan”! Gara-gara itu, belakangan dia jarang singgah di kontrakan kami saat pulang dari kantornya. Seminggu sekali. Dua minggu sekali. Lantas hanya sebulan sekali. Padahal saat-saat berkunjungnya selalu menyenangkan buat aku dan adikku.80
Dari teks di atas dapat dilihat bahwa Tania sebagai manusia biasa tidak sabar menanti kehadiran Danar. Ketidaksabarannya itu didorong oleh perasaan cemas akan kehilangan Danar dan juga ia telah kehilangan waktu-waktu yang menyenangkan. Kecemasan dan ketidaksabarannya kian memuncak saat Danar mulai mengurangi jadwal kunjungannya ke kontrakan Tania. Namun, sebagai anak kecil, ia tak bisa melakukan apapun untuk mengubah keadaan yang tidak menyenangkan itu dan hanya mampu menyalahkan “kesibukan” sebagai satu penghambat pertemuannya dengan Danar. Sifat tidak sabar yang dimiliki tokoh utama ini dalam teori Galenus termasuk ke dalam kepribadian kolerik. Fungsi kepribadian ini dalam novel ini adalah melalui sifat yang dimiliki Tania inilah, pengarang menggunakannya sebagai penggambaran alur yang ada. Sifat tidak sabar bukan hanya sifat yang negatif, tetapi melalui sifat ini Tania bisa menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya. Dapat dilihat dari adegan ketika Tania ingin semua bentuk perasaan dan masalahnya kepada Danar harus selesai hari itu juga agar tidak ada lagi perasaan yang disembunyikan. Membekukkan seluruh perasaan. Mengkristalkan semua keinginan. Malam ini, semua cerita harus usai.81
80 81
Ibid., h. 47 Ibid., h. 7
65
Awalnya, Tania benar-benar tidak mau bertemu Danar apalagi Ratna. Namun, setelah dia membaca email dari Ratna dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Danar secepatnya. d. Pengamat Tania merupakan seorang pengamat yang baik. Ia mampu menangkap dengan baik apa yang ada di sekitarnya. Dengan mengamati sekitar, ia bisa lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sering melakukan sesuatu yang pada akhirnya pembaca disuguhkan dengan gambaran napak tilas kehidupan di masa lalunya. Diceritakan dalam novel, ada beberapa latar yang menjadi tempat untuk menumpahkan perasaannya, salah satunya yaitu toko buku. Ketika pergi ke toko buku, Tania selalu teringat masa-masa di mana dia masih merasakan kepedihan dan kemiskinan. Toko buku yang sama itulah ia memiliki kenangan yang indah bersama Danar. Setiap malam aku datang ke toko buku ini. Sudah menjadi ritual seminggu sekali terakhir. Satpam toko yang matanya selalu menatap tajam sudah mengenaliku. Mbak-mbak yang rajin merapikan buku-buku di rak juga sudah tahu. Termasuk dua kasir di dekat eskalator yang berjaga bergantian. Aku membeli satu buku setiap kali ke sini. Bukan buku yang hendak kubaca. Anggap saja sebagai tiket harga masuk karena telah menggunakan lantai dua mereka sebagai tempat menumpahkan segala perasaan. Tempatku terpekur mengenang segalanya. Semua masa lalu itu.82 Dari teks di atas dapat dilihat bahwa Tania adalah seorang yang memiliki tempat tertentu untuk menumpahkan semua perasaannya. Dia yang selalu mengamati setiap bagian-bagian ruangan yang ada di tempat tersebut dan mengingatnya sebagai kenangan masa lalu yang pernah dia alami. Lewat
sifat
yang
dimiliki
Tania
inilah,
pengarang
menggunakannya untuk menggambarkan latar tempat yang digunakan dalam novel ini. Juga, penggambaran latar tempat yang detail ini juga
82
Ibid., h. 11
66
didukung dengan penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama yang memudahkan pengarang memberikan sifat pengamat kepada Tania.
C. Implikasi Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Bila dilihat sekilas, pembelajaran mengenai sastra selama ini terlihat sederhana. Pembahasan hanya berkisar pada puisi, cerpen, novel, dan drama. Pembahasan pun hanya dilakukan hanya pada garis besarnya saja, dalam pengertian pembahasan tersebut tidaklah mendalam. Dengan begitu, pemahaman peserta masih pada permukaannya saja. Lebih dari itu, kendala saat mempelajari materi sastra, apapun itu materinya, terletak pada banyaknya teks yang harus dibaca peserta didik dan juga tak jarang teks sastra yang digunakan sebagai media pembelajaran tidak sesuai dengan karakteristik peserta didik. Hal ini tentunya akan membuat mereka malas untuk membaca dan menemukan bukti kutipannya. Tentunya kendala-kendala seperti ini menjadi pekerjaan rumah bagi para guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Bila kendala-kendala tersebut dibiarkan berlarut-larut, pemahaman peserta didik mengenai sastra akan sangat mengecewakan. Mereka akhirnya tidak akan tertari mempelajari dan mengambil makna dari sebuah karya sastra. Makna tersebut salah satunya bisa didapatkan dengan memahami unsur instrinsik. Ada tujuh unsur intrinsik yang harus dikuasai peserta didik. Ketujuh unsur intrinsik tersebut adalah tema, sudut pandang, latar, alur, penokohan, gaya bahasa, dan amanat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, unsur intrinsik yang menonjol adalah bagian penokohan. Secara umum, teori yang digunakan penulis dalam penelitian yang berkaitan dengan unsur penokohan ini adalah teori tentang kepribadian manusia yang dikemukakan oleh Galenus, yakni kepribadian melankolis, phlegmatis, koleris, dan sanguins. Dalam pembelajaran unsur intrinsik Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester ganjil juga terdapat materi tentang penokohan. Namun, materi yang diajarkan di kelas, tidaklah seluas penelitian ini.
67
Materi tentang penokohan yang diajarkan di dalam kelas hanya berkisar pada pendataan sifat yang dimiliki oleh semua tokoh dalam kisahan dan dilanjutkan pada pemberian bukti kutipan. Pembelajaran semacam ini dianggap sudah mencukupi untuk dapat menjawab soal-soal dalam Ujian Nasional. Dalam Ujian Nasional, soal yang dikeluarkan terkait penokohan berkisar pada pertanyaan siapakah tokoh utama cuplikan kisah tersebut, bagaimana watak tokoh yang ada, dan bukti kutipan yang menggambarkan watak tersebut. Lebih jauh lagi, pembelajaran mengenai penokohan dengan cara tersebut sebenarnya menumpulkan daya analisis peserta didik. Hal ini bisa terjadi karena peserta hanya diajarkan untuk menemukan watak dan bukti kutipannya saja. Mereka tidak diarahkan untuk menganalisis penyebab tokoh tersebut memiliki watak seperti itu dan apa kaitan watak tersebut dengan jalan cerita atau dengan unsur intrinsik lainnya. Tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa dilewatkan begitu saja bahwa semua unsur intrinsik memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal inilah yang sangat disayangkan dalam praktik pengajaran sastra. Sastra tidak hanya cukup dilakukan dengan cara mendata saja. Lebih dari itu, lewat pembelajaran sastra inilah, siswa sebenarnya dituntut untuk bisa berpikir kritis dan berusaha menjawab pertanyaannya sendri Dengan begitu, daya kemampuan analisis peserta didik akan terasah. Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah pemilihan jenis teks sastra harus sesuai dengan jenjang usia peserta didik. Tiap tahap usia peserta didik memiliki karakteristik psikologi tersendiri. Memang, dalam satu kelas tidak semua peserta didik memiliki ketertarikan yang sama terhadap tema cerita. Namun guru bisa mencari beberapa karya sastra yang secara psikologis sesuai dengan peserta didik.83 Dari kriteria pemilihan karya sastra tersebut, peserta bisa mencocokkan watak tokoh yang akan dianalisis dengan kenyataan yang mereka alami. Dengan begitu, peserta didik lebih mudah untuk memahami amanat yang akan disampaikan oleh pengarang. 83
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Jogjakarta: Kanisius, 1988), h. 30-31.
68
Untuk itu, peneliti menyarankan agar para guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk lebih menekankan proses kerja analisis yang akan sangat berfungsi bagi kehidupan peserta didik. Penelitian mengenai analisis kepribadian tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye ini dapat menjadi acuan bgi pembahasan tentang unsur intrinsik bagian penokohan. Di dalam penelitian, dipaparkan berbagai sifat yang dimiliki oleh tokoh utama beserta faktor-faktor yang menyebabkan sifat itu dimiliki oleh tokoh utama dan juga fungsi sifat tokoh utama terhadap unsur intrinsik lainnya.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang analisis kepribadian tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye dapat diambil beberapa kesimpulan. 1. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Tania memiliki kepribadian melankolis. Secara garis besar, Tania, tokoh utama dalam novel ini, memiliki tiga belas sifat. Dari tiga belas sifat yang dimiliki Tania, sebanyak sembilan sifat tergolong ke dalam kepribadian melankolis. Sifatsifat tersebut ialah intovert, berpikir keras, setia, teguh pendirian, sensitif, teliti, perfeksionis, tegar, dan keras kepala. Selain memiliki kepribadian melankolis, Tania juga memiliki kepribadian lain, yakni phlegmatis, koleris, dan sanguinis. Sifat-sifat Tania yang tergolong ke dalam kepribadian phegmatis adalah pengamat. Sifatsifat Tania yang termasuk ke dalam kepribadian koleris adalah tidak sabar. Sisi sanguinis Tania juga terlihat pada sifat jiwa sosial dan meyakinkan. Semua kepribadian yang dimiliki Tania memiliki beberapa fungsi. Kepribadian melankolis yang dimiliki Tania memiliki fungsi untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa seseorang yang mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lebih positif pasti akan menuai hasil yang baik. Selain itu sifat pemikir Tania mengarahkan pada sifat yang negatif yaitu cemburu, sifat buruk ini juga berfungsi menyumbangkan konflik pada kisah ini. Sifat teguh pendirian yang dimiliki Tania, menandakan klimaks pada kisah ini. Kepribadian sanguinis yang dimiliki Tania memiliki fungsi untuk mengisi peleraian yang ada didalam alur novel ini. Dengan sifat ini Tania berfungsi untuk melerai dan membantu penyeselaian maslah Ratna dengan Danar. Kepribadian kolerik yang dimiliki Tania memiliki fungsi sebagai penggambaran alur yang ada. Sifat tidak sabar bukan hanya sifat yang
68
69
negatif, tetapi melalui sifat ini Tania bisa menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya. Kepribadian phlegmatis yang dimiliki Tania memiliki fungsi untuk menggambarkan latar tempat yang digunakan dalam novel ini. Penggambaran latar tempat yang begitu detail ini juga memudahkan pengarang memberikan sifat pengamat kepada Tania. 2. Implikasi dari penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester ganjil ini adalah peserta didik bisa belajar bagaimana cara menganalisis novel. Selama ini, dalam pembahasan penokohan, peserta didik hanya diarahkan untuk mendata sifat seperti apa yang dmiliki oleh seorang tokoh dan apa bukti kutipannya. Dengan membaca penelitian ini, peserta didik bisa mengetahui bagaimana cara menganalisis sifat-sifat tersebut dan juga belajar mengaitkan unsur intrinsik yang satu dengan lainnya. Sayangnya, cara metode analisis ini dinilai masih membutuhkan waktu banyak dan tidak relevan dengan soal yang akan dikeluarkan saat Ujian Nasional. Inilah yang harus diubah oleh para pegiat pendidikan, bahwa keterampilan analisis sangat dibutuhkan peserta didik. B. Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis ingin memberikan saran kepada beberapa pihak yang berkaitan dengan penelitian ini. a. Bagi para pengarang sebagai orang yang berperan penting terhadap terciptanya sebuah karya sastra agar lebih apik lagi mengaitkan unsur intrinsik yang satu dengan lainnya. Melalui unsur intrinsik inilah pembaca lebih mudah memahami karya sastra. b. Bagi para pembaca melalui kepribadian Tania inilah pembaca dapat belajar bagaimana memahami kepribadian yang ada dalam diri masingmasing
untuk
menyikapi
konflik-konflik
dan
bagaimana
cara
mengatasinya. Selain itu pembaca agar lebih berpikir kritis menyikapi karya sastra yang dibaca, karena melalui karya sastra banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya.
70
c. Kepada para guru Bahasa dan Sastra Indonesia agar mengubah metode mengajar yang hanya mengarahkan peserta didik untuk mendata saja ke metode pengajaran yang menuntut peserta didik untuk mengembangkan daya analisis. d. Peserta didik agar menyadari bahwa apa yang ada dalam karya sastra pasti ada maksudnya. Dengan begitu, peserta didik akan lebih mendalami karya sastra, apapun bentuknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abram. Teori Pengantar Fiksi. Yogyakarta: Hanindita Graha Wida. 1981. Alwisol. Psikologi kepribadian. Malang: UMM Pres. 2010. Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2010. B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Endraswara, Suwandi. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. 2003. Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2001. Gayo, Iwan. Buku Pintar. Jakarta: Upaya Warga Negara. 1994. Littauer, Florence. Personality Plus. Jakarta: Binarupa Aksara. 1996. Liye, Tere. Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010. Minderop, Albertine. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2007. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2009. Partanto, Paul A. dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. 1994. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Rochani, Ida. Fiksi Populer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Santrock, Jhon W. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2010. Sayuti, Suminto A. Kajian Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. 2000. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa raya. 1998.
Semi, M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012. Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Psikologis. Surakarta: Yuma Pustaka. 2010. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1998. Sugiantomas, Aan. Kajian Prosa Fiksi. Kuningan: PBSI STKIP Kuningan. 1998. Sugiarti. Pengantar dan Pengkajian Prosa Fiksi. Malang: UMM Press. 2007. Sujanto, Agus dkk. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2004. Sukada, Made. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. 2013. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia. 1986. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Sastra. Bandung: Angkasa. 1985. Van Luxemburg, Jan dkk. Tentang Sastra Akhadiati Ikran (penerjemah). Intermasa: ILDEP. 1986. Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. 2005. Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: Gramedia. 1993. Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2008.
LAMPIRAN 1 SILABUS Sekolah
: SMA/MA....
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas
: XII
Semester
:1
Standar Kompetensi
: Mendengarkan 5. Memahami pembacaan novel
Kompetensi Dasar
Materi
Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran
Indikator
Penilaian
Pencapaian
Alokasi
Sumber
Waktu
/Bahan/
Kompetensi 5.2 Menjelaskan
Penggalan novel
Menjelaskan unsur-unsur
Alat
Menjelaskan
Jenis Tagihan:
unsur-unsur
pembangun sastra (tema,
unsur-unsur
Tugas individu
intrinsik dari
latar, penokohan, alur, pesan
intrinsik
Tugas kelompok
pembacaan
atau sudut pandang, dan
dalam
Ulangan
penggalan novel
konflik) dalam penggalan
penggalan
Bentuk Instrumen:
novel yang dibacakan
novel yang
Uraian bebas
dibacakan
Pilihan ganda
Mendiskusikan unsur-unsur intrinsik penggalan novel
Jawaban singkat
4
Buku novel Media setempat Buku-buku penunjang
LAMPIRAN 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SEKOLAH
: SMA Plus Ibnu Sina Bogor
MATA PELAJARAN
: Bahasa Indonesia
KELAS/ SEMESTER
: XII/ 1
ALOKASI WAKTU
: 4 x 45 Menit
A. STANDAR KOMPETENSI: Mendengarkan : 5. Memahami pembacaan novel B. KOMPETENSI DASAR: 5.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel C. MATERI PEMBELAJARAN: Penggalan novel Unsur-unsur intrinsik novel (tokoh dan penokohan, alur) Cara mengidentifikasi sifat tokoh dan implementasinya D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI : NO Indikator Pencapaian Nilai Budaya dan Karakter Kompetensi Bangsa
Gemar Menyimak Membaca
Mampu mengidentifikasi sifat-sifat tokoh dalam penggalan novel yang didengar dengan baik
Kreatif Tanggung jawab
3.
Mampu mendiskusikan sifat-sifat tokoh yang sudah diidentifikasi
Bersahabat/ komunikatif
4.
Mampu menjelaskan unsur
Disiplin
1.
Mampu menyimak pembacaan penggalan novel dengan baik
2.
dan
LAMPIRAN 2
intrinsik karya sastra berbentuk novel
E. TUJUAN PEMBELAJARAN Siswa dapat: Menyimak pembacaan penggalan novel dengan baik Menemukan dan mengidentifikasi sifat-sifat tokoh dalam penggalan novel yang didengar Mendiskusikan sifat-sifat tokoh dalam penggalan novel yang didengar Menjelaskan unsur intrinsik karya sastra berbentuk novel F. METODE DAN SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN Pustaka rujukan v
Sumber Belajar
Rohmadi, Muhamad dan Yuli Kusumawati. Bahasa dan Sastra Indonesia 3. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Halaman 58-59.
v
Material: VCD, Rekaman kaset, poster novel.
pengajaran/analisis
v
Media cetak dan Novel Daun yang Jatuh Tak elektronik Pernah Membenci Angin karya Tere Liye
v
Website internet
Penggalan/sinopsis novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye yang dipublikasikan melalui internet
v
Narasumber
Penulis novel
v
Lingkungan
Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan alur dan sifat-sifat tokoh dalam novel
LAMPIRAN 2
v
Model Peraga
Siswa yang mempunyai pengalaman menganalisis novel
v
Presentasi
Siswa mempresentasikan hasil identifikasi sifat-sifat tokoh yang sudah didiskusikan
v
Diskusi
Siswa mendiskusikan sifat-sifat tokoh dalam novel yang sudah diidentifikasi
v
Inquari
Siswa mengidentifikasi unsurunsur intrinsik cerpen (tokoh dan penokohan) dalam novel yang dibacakan
v
Demontrasi /Pemeragaan Model
Siswa yang mempunyai pengalaman menganalisis novel mendemontrasikan pengalamannya
v
Ceramah
Guru menjelaskan unsur-unsur intrinsik novel dan cara mengidentifikasi sifat-sifat tokoh dalam novel serta implementasinya
v
Penugasan
Siswa menjawab soal evalusai individu
Metode
G. STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka Terstruktur
Mengungkapkan penggalan novel yang terdapat dalam media cetak (buku teks) dan elektronik (internet).
Menyimak penggalan novel yang dibacakan teman atau rekaman pembacaan novel yang dianggap baik (misalnya novel
Mandiri
Siswa mengidentifikasi dan mendiskusikan sifat-sifat tokoh dalm novel yang telah didengarkan.
LAMPIRAN 2
yang perwatakannya jelas dan mengandung nilai-nilai kehidupan
H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN: NO Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan Karakter Bangsa 1.
2.
Kegiatan awal (apersepsi) : Guru mengucapkan salam, menanyakan kabar dan mengabsen siswa Guru mengkondisikan kesiapan siswa dan kesiapan kelas Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini. Siswa ditanya mengenai unsur-unsur intrinsik cerpen (alur,tokoh, penokohan,) Guru dan siswa bertanya jawab mengenai cara mengidentifikasi sifatsifat tokoh dalam novel. Kegiatan inti : Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi : Siswa menyimak penggalan novel yang dibacakan temannya atau rekaman pembacaan penggalan novel yang telah disediakan. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, siswa: Mengidentifikasi unsurunsur intrinsik novel (tokoh dan penokohan) yang sudah didengar Siswa mendiskusikan sifat-sifat tokoh dalam
Bersahabat/Komunikatif Disiplin
Gemar Menyimak, Membaca dan Menulis Demokrtis Toleransi Kreatif Tanggungjawab
LAMPIRAN 2
novel yang sudah diidentifikasi Siswa saling memberi masukan kekurangan hasil identifikasinya Siswa mempresentasikan hasil identifikasi sifatsifat tokoh dalam novel yang sudah diperbaiki Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa: Menjelaskan kesulitannya menyimak pembacaan penggalan novel Mengungkapkan pengalamannya dalam mengidentifikasi sifatsifat tokoh dalam novel Mengungkapkan permasalahan di masyarakat yang sesuai dengan permasalahan tokoh-tokoh dalam novel yang dianalisis Menyimpulkan tentang hal-hal yang sudah diketahui. Menjelaskan tentang halhal yang belum diketahui. 3.
Kegiatan akhir: Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini Penugasan
I. PENILAIAN : Jenis tagihan Tugas Kelompok Tugas individu Ulangan
Bersahabat/ Komunikatif Disiplin
Bentuk instrumen Uraian Bebas Pilihan Ganda Jawaban
Singkat
DASEF MAULANA, lahir di Bogor, 14 April 1990. Menuntaskan pendidikan dasar di SD Negeri Cibening 03, Bogor. Kemudian melanjutkan jenjang ke SMP Al-Amin, dan SMA Negeri 1 Cibungbulang, Bogor.
Pada
tahun
2010,
penulis
meneruskan
pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejak kuliah di Jakarta, anak bungsu dari Bapak Asnaf dan Ibu Onah ini tinggal di daerah Ciputat dan sekitarnya menjadi anak kosan yang sering pindahpindah dari kosan satu ke kosan yang lain. Sebagai mahasiswa, penulis sudah terbiasa aktif dalam kegiatan organisasi sejak duduk di bangku SMP. Mulai dari OSIS, Ekstrakulikuler sampai Remaja Masjid. Bahkan di Kampus pun penulis aktif di beberapa kegiatan mahasiswa. Selain itu, penulis banyak memperoleh pengalaman yang didapat selama masa kuliah. Pernah mengajar di PKBM Gapura Merah Putih, Lebak Bulus. Dimana sekolah GMP ini adalah Sekolah Gratis bagi anak-anak kurang mampu yang ada di Lebak Bulus dan sekitarnya. Kemudian, mengajar di bimbingan belajar (bimbel) di beberapa tempat, dan masih aktif mengajar di SMP Islam dan SMA Plus Ibnu Sina, Bogor. Tidak sekadar mengajar, penulis yang mempunyai hobi olahraga khususnya futsal ini mempunyai mimpi menjadi seorang pengusaha.