TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Persuteraan Alam Masyarakat yang pertama kali melaksanakan kegiatan budidaya ulat sutera adalah masyarakat negeri Cina. Khususnya pada Zaman Dinasti Han (2500 SM), sudah dikenal adanya industri pemintalan benang sutera dan tekstil sutera alam. Sehingga dalam kurung waktu tersebut juga persuteraan di Cina sudah terkenal karena harga tekstil sutera sudah cukup mahal, maka banyak warga masyarakat di Cina terdorong untuk mengusahakan kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera. Keberhasilan persuteraan di Cina kemudian pula di negara-negara Asia, diantaranya adalah Indonesia (Atmosoedarjo et al. 2000) Usaha persuteraan di Indonesia diperkirakan dimulai ketika ada hubungan dagang antara Cina dan India dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Adanya hubungan dagang antara Indonesia dan Cina serta India berdampak positif terhadap pengembangan kegiatan agrobisnis persuteraan alam Indonesia. Industri pertenunan sutera alam yang pertama kali di Indonesia terdapat di Bandung pada tahun 1961, yang kemudian disusul di Yogyakarta pada tahun 1966. Selanjutnya persuteraan alam berkembang pula di Sulawesi Selatan.
Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Biologi dan fisiologi Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pradewasa berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva, pupa dan dewasa (imago). Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting). Lamanya periode hidup mulai saat menetaskan telur sampai masa membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000). Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang biasa dipelihara dalam ruangan dan penghasil sutera utama, meliputi 95% produksi sutera dunia. Sebutan lain adalah ulat sutera murbei karena secara alami hanya makan daun
5
murbei (Morus spp.) dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei (Sunanto 1997). Sistem pencernaan makanan pada B.mori sangat sederhana, saluran makanan menyerupai tabung yang mengecil pada bagian depan dan belakang. Bagian
saluran
makanan
adalah
bagian
depan
(stomodeum)
berfungsi
menghancurkan makanan yang dicampur dengan air ludah. Bagian tengah (mesenteron) berfungsi dalam sekresi cairan pencernaan (enzim) dan penyerapan nutrisi. Bagian belakang (proktodeum) berfungsi menyerap air dan membentuk bahan makanan yang tidak dicerna menjadi padat, selanjutnya akan dikeluarkan melalui anus (Krishnaswami et al. 1973) Kokon dan serat sutera Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungnya proses metamorfosis (Rukaesih et al. 1991). Bagian luar kokon berupa serat sutera yang membungkus kokon secara rapi dengan warna dan kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan pakannya (Lee 2000 ; Sunanto 1997) Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera. Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland) dengan bagianbagian seperti : a). Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; b). Bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk
bersama Serisin yang berfungsi
sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25% dari bobot serat dan bersifat mudah larut dalam air panas; c). Bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut Fibroin merupakan bagian utama serat filament dengan proporsi 75% dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas (Tazima 1978). Resistensi ulat sutera Secara umum dapat dinyatakan bahwa ulat sutera jenis polyvoltine agak tahan terhadap lingkungan yang tidak normal bila dibandingkan dengan ulat sutera jenis bivoltine (Steinhaus 1963). Sedangkan Watanabe (2002) mengatakan
6
bahwa resistensi ulat sutera terhadap penyakit virus dikontrol oleh poligen dan modifikasi faktor luar seperti jalannya infeksi, temperatur, kimia, dan pakan. Kualitas daun murbei secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Makronutrients dan mikronutrients adalah faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan ketahanan ulat sutera terhadap penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung (Horie 1999, diacu dalam Chandrakala et al. 2007).
Penyakit Grasserie atau NPV pada Ulat Sutera Deskripsi NPV memiliki diameter yang berukuran 3-5 μm dengan bentuk polyhedron umumnya hexagonal, dan jarang tetragonal. NPV merupakan inklusi yang terbentuk dari matriks protein, berbentuk seperti kristal tidak teratur, bersegi banyak dan disebut Polyhedral Inclusion Body (PIB). Ukuran PIB sangat bervariasi antara NPV dari suatu daerah dengan daerah lain. Di dalam PIB terdapat virus yang sebenarnya, yang disebut virion. Virion berbentuk tongkat lurus dengan panjang 336 μm, diameter 62 μm dan kedua ujungnya membulat (Steinhaus 1963). Virion tidak dapat dilihat melalui mikroskop biasa, tetapi harus dengan mikroskop elektron. PIB dapat dideteksi dengan mikroskop biasa. Di dalam standardisasi, PIB digunakan sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV. Menghitung PIB cukup dengan menggunakan mikroskop biasa dengan mata telanjang, butiran butiran polyhedron atau PIB akan dapat dilihat dengan jelas karena memantulkan cahaya, sehingga mudah dibedakan dengan bakteri atau kotoran. Untuk menghitung PIB digunakan suatu alat khusus yang disebut haemocytometer (Indrayani 1990). Penyakit NPV disebabkan oleh Borrelina bombycis (Smith and Lauffer, 1953). Pada pengamatan mikroskop, NPV terikat dengan adanya bentuk polyhedron. Di dalam
polyhedra
tersebut terdapat virus B. bombycis, yang
berbentuk seperti tongkat. Virus tersebut menyerang inti sel (nuclear), sehingga disebut Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) (Madjid et al. 1980).
7
Mekanisme serangan NPV pada tubuh ulat sutera Aktivitas NPV berlangsung di dalam perut, sehingga untuk menimbulkan kematian larva harus menelan NPV bersama makanannya. Bagian tubuh larva yang paling peka dan menjadi sasaran utama infeksi serta multiplikasi virion dan PIB adalah usus, sel darah, trakhea, hipodermis dan badan lemak (Ignoffo dan Cough 1981). Bagian tubuh yang lain, seperti otot, saraf, usus depan dan tengah juga sering terinfeksi, tetapi pada intensitas yang lebih rendah. Segera setelah tertelan, PIB akan terurai oleh kondisi dan kandungan bikarbonat perut larva. Virion yang terlepas dari PIB mula-mula menembus perithropik, mikrovili, kemudian memisahkan sel-sel kolumnar dan goblet sehingga epitel robek, dan akhirnya merusak seluruh jaringan usus. Setelah virion memasuki haemolimf, sasaran selanjutnya adalah nukleus, virion dan PIB berkembang sampai seluruh tubuh larva penuh NPV. Kematian larva karena NPV umumnya terjadi pada periode 2-9 hari setelah menelan NPV (Moscardi 1988). Tetapi satu hari setelah larva menelan NPV, aktivitas larva sudah mulai berkurang. Hal ini tergantung instar larva dan macam serta banyaknya NPV yang tertelan larva. Makin besar instar larva biasanya masa inkubasi NPV makin lama. Pada instar lanjut kemungkinan kematian tidak terjadi pada stadia larva, karena masa inkubasi lebih lama dibanding sisa masa larva, sehingga larva sudah menjadi pupa sebelum mati. Dalam hal ini kematian atau abnormalitas dapat terjadi setelah serangga menjadi pupa atau bahkan imago. Suhu mempunyai peranan penting dalam perkembangan penyakit NPV. Penyimpanan NPV dalam bentuk bangkai larva maupun larutan, biasanya mempunyai masa simpan antara 1-6 bulan, selebihnya dapat mengalami beberapa gangguan seperti: terkontaminasi oleh patogen lain, misalnya cendawan dan bakteri yang dapat menurunkan efektivitas secara perlahan-lahan dan mengurangi jumlah polyhedral. Jika disimpan dalam bentuk powder, infektivitas dari NPV dapat dipertahankan selama 20 tahun pada suhu 4 oC. Jika disimpan pada suhu kamar selama 37 tahun, infektivitas NPV pada ulat sutera hilang secara keseluruhan (Steinhaus 1963).
8
Inang NPV menginfeksi lebih dari 400 species serangga. Inang yang rentan ditemukan pada ordo Lepidoptera (Tanada dan Kaya 1993) (34 famili). Juga menyerang Hymenoptera, Diptera, Coleoptera dan Neuroptera. Gejala Larva-larva
Lepidoptera
yang
terinfeksi
NPV
biasanya
belum
memperlihatkan gejala luar selama 2-5 hari setelah terinfeksi. Gejala yang jelas nampak dengan adanya perubahan warna tubuh menjadi kekuning-kuningan. Selanjutnya larva menjadi kurang aktif dan kehilangan selera makan. Umumnya kematian larva terjadi antara 12-13 hari, tapi pada strain yang virulen kematian dapat terjadi hanya 2-4 hari setelah infeksi (Tanada dan Kaya 1993). Cara penularan (infeksi) NPV pada ulat sutera Infeksi NPV pada serangga terjadi akibat virus tertelan melalui pencernaan. Pemindahan umumnya dapat terjadi secara transovarial, matinya serangga bervariasi tergantung dari beberapa faktor, utamanya umur larva, suhu, virulensi dari virus, konsentrasi virus dan nutrisi inang (Tanada dan Kaya 1993). Cara penularan NPV: -
Infeksi mulut, yaitu patogen virus masuk melalui mulut ulat sutera. Hal tersebut terjadi dengan jalan pemberian pakan pada ulat sutera dengan daun murbei yang mengandung virus.
-
Infeksi melalui kulit, yaitu infeksi terjadi karena virus masuk melalui luka pada badan larva.
-
Infeksi melalui stigma atau spirakel Infeksi melalui mulut dan kulit digunakan secara rutin untuk percobaan
infeksi, sedangkan infeksi melalui stigma belum diketahui (Steinhaus, 1963). Apabila polyhedron masuk melalui mulut atau makanan dan dengan cairan usus alkalis (pH = 10,5) akan mengakibatkan polyhedron pecah, selanjutnya virus B. Bombycis akan menyerang tubuh larva dan masuk ke dalam darah (Steinhaus 1963). Virus tersebut menyerang sel epidermis, lemak badan, kelenjar sutera, sel darah dan masuk ke dalam nuclear (Madjid et al. 1980).
9
Pengendalian penyakit grasserie Penyakit NPV ditemukan hampir pada setiap periode pemeliharaan. Timbulnya penyakit tersebut adalah akibat aktifitas pemeliharaan yang berlangsung terus menerus tanpa melaksanakan desinfeksi ruangan. Debu, kotoran dan peralatan dalam ruangan pemeliharaan merupakan sumber penyakit. Oleh karena itu sebelum dan sesudah pemeliharaan ulat sutera hendaknya dilakukan desinfeksi ruangan dan peralatan yang digunakan (Arisanti 2008). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) cara pencegahan dan pengendalian penyakit grasserie meliputi: 1.
Desinfeksi ruangan dan alat-alat pemeliharaan dengan larutan formalin dan kaporit, sebelum pemeliharaan ulat.
2.
Larva yang terkena penyakit dan mati dicelup ke dalam larutan kaporit 200 gram : 1000 liter air.
3.
Larva yang sakit dipisahkan dengan larva yang sehat
4.
Melaksanakan teknik pemeliharaan yang baik, memisahkan larva yang terlambat ganti kulit dan mengusahakan ventilasi yang baik.
5.
Pemberian pakan daun murbei berkualitas baik, sesuai dengan perkembangan larva, menghindarkan pemberian pakan daun yang menguning dan daun yang berasal dari tempat terlindung.
6.
Menjaga kondisi tempat pemeliharaan tetap dalam keadaan optimum, pengaturan temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan pertumbuhan larva, pengaturan temperatur dan kelembaban yang sesuai
dengan
pertumbuhan larva, pengaturan aerasi yang baik, terutama pada larva instar IV dan V, temperatur hendaknya berkisar antara 24-26 0C. 7.
Menghindari keadaan yang sangat ekstrim, temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, dan keadaan yang menyebabkan larva menjadi stress. Menurut (Watanabe et al. 1990, diacu dalam Chandrakala et al. 2007)
bahwa kandungan nutrisi dalam pakan dapat membantu ulat sutera melawan serangan penyakit seperti aktivitas enzim protease yang dapat menonaktifkan NPV.
10
Pupuk dan Pemupukan Tanaman Murbei Pupuk adalah suatu bahan organik atau anorganik dari alam atau buatan yang diberikan pada tanaman secara langsung atau tidak langsung untuk menambah unsur-unsur hara esensial tertentu bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan pemupukan adalah penambahan bahan tersebut pada tanah agar tanah menjadi lebih subur. Oleh karena itu pemupukan pada umumnya diartikan sebagai penanaman zat hara kedalam tanah (Hardjowigeno 1985). Bagi tanaman, pupuk digunakan untuk hidup, tumbuh dan berkembang sehingga pemberian pupuk harus tepat karena fungsi pupuk tidak saja mengendalikan tetapi juga mengimbangi, mendukung dan mengisi bersama unsur-unsur lain dalam tanah (Sarief 1985). Unsur hara Unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat dibedakan menjadi (1) unsur hara makro primer, yaitu: unsur hara nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K): (2) unsur hara makro sekunder, yaitu: unsur hara kalsium (Ca), magnesium (Mg), belerang (S); (3) unsur hara mikro, yaitu: unsur hara besi (Fe), tembaga(Cu), seng (Zn), mangan (Mn) dan lain-lain. Tidak dipenuhi salah satu unsur hara utama akan mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas produksi pertanian (Purnama 2002). Beberapa unsur hara, yaitu: 1.
Nitrogen Merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada
umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar. Menurut Sutejo (1994), peranan Nitrogen yaitu: 1. Meningkatkan pertumbuhan tanaman 2. Menyehatkan pertumbuhan daun, daun tanaman lebar dengan warna yang lebih hijau 3. Meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman 4. Meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun-daunan 2.
Posfor (P) Terdapat dalam bentuk phitin, nuklein, dan fosfatide yang merupakan
bagian dari protoplasma dan inti sel. Menurut Sutejo (1994) peranan fosfor adalah:
11
1. Mempercepat pertumbuhan akar semai 2. Mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi dewasa pada umumnya 3. Mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah. 4. Meningkatkan produksi biji-bijian Tanaman yang kekurangan fosfor akan terhambat pertumbuhannya terutama pada sistem perakarannnya, batang dan daun (Sarief 1985). Gejala yang nampak yaitu tanaman menjadi kerdil, pembelahan sel terganggu dan daun tanaman menjadi ungu atau coklat (Hardjowigeno 1995). 3.
Kalium (K) Kalium dapat dikatakan bukan elemen yang langsung berperan pada
pembentukan bahan organik. Hardjowigeno (1995) menyebutkan peranan kalium yaitu: 1.
Berperan dalam pembentukan protein dan karbohidrat
2.
Mengeraskan jerami dan bagian kayu tanaman
3.
Meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit
4.
Meningkatkan kualitas buah dan biji
Tanaman murbei merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera, untuk itu sangat penting diperhatikan pemeliharaannya dalam mendukung kegiatan budidaya ulat sutera, salah satunya adalah dengan pemupukan. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kegiatan pemupukan sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi daun murbei. Jenis pupuk yang dapat digunakan yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Pemupukan dilakukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan. Pemupukan dengan jarak tanam 1,5m x 0,6 m diperlukan 300 kg N, 100 kg P dan 130 kg K per ha/tahun dengan waktu pemberian setelah pangkas awal atau pada pertengahan musim hujan. Ada tiga cara pemupukan yaitu dengan cara: 1. Manugal Membuat lubang dengan ukuran 30 cm dari batang tanaman kemudian pupuk ditaburkan dan ditutup kembali, baik dilakukan untuk tanaman kurang dari 1 tahun
12
2. Lingkaran Tanah dicangkul sekitar tanaman dengan diameter 30 cm pupuk ditabur kemudian ditutup tanah. 3. Jalur Tanah dicangkul sepanjang baris tanaman, jarak 30 cm dari tanaman pupuk ditaburkan kemudian ditimbun kembali, cara ini baik untuk tanaman tua. Sunanto (1997) menyatakan bahwa pemupukan pada prinsipnya bertujuan mempertahankan kesuburan tanah. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk organik (pupuk kandang atau kompos) dan pupuk anorganik (urea, TSP dan KCL). Sedangkan hasil penelitian Tristianto (2007) dengan pupuk organik M-Dext dan NASA dengan kandungan unsur berupa N, P, K, Ca, S, Mg, Fe, Na, Zn, B, Cu dan Cl dapat meningkatkan produksi tanaman dan meningkatkan kualitas kokon.