TINJAUAN PUSTAKA Iodium dan Masalah GAKI Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah yang serius di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Saat ini di Indonesia ada sekitar 42 juta penduduk tinggal didaerah yang lingkungannya kekurangan iodium. Dari 42 juta ada 10 juta penderita gondok, 750.000 – 900.000 menderita kretin endemik dan 3,5 juta menderita GAKI lainnya. Diperkirakan 8,2 juta penduduk tinggal di daerah endemik sedang dan 8,8 juta tinggal di daerah endemik berat (Depkes, 2000). Pengaruh negatif GAKI terhadap kelangsungan hidup manusia dapat terjadi sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. GAKI yang terjadi pada ibu hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati, cacat bawaan yang sangat merugikan. Hal ini dapat berakibat negatif pada susunan saraf pusat, berpengaruh terhadap kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat dikemudian hari. Sedangkan gangguan yang terjadi setelah lahir merupakan
lanjutan
dari
gangguan
pada
waktu
dalam
kandungan
(Djokomoeljanto, 2001). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan iodium. Penduduk yang tinggal didaerah rawan GAKI kehilangan IQ sebesar 13,5 point lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal didaerah cukup iodium. Indonesia diperkirakan telah defisit tingkat kecerdasan sebesar 140-150 juta IQ point. Keadaan ini tentu amat berpengaruh pada upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (BPS-UNICEF, 1995). Mengingat bahwa sesungguhnya pengaruh GAKI di masyarakat merupakan fenomena gunung es dan kretin endemik sebagai puncaknya dengan prevalensi berkisar 1-10 %, namun pengaruh yang jauh lebih besar lagi yaitu pengaruh yang tidak nampak pada populasi yang mengalami kerusakan otak serta hipothyroidisme serebral. Maka sesungguhnya pengaruh GAKI yang paling merugikan adalah perkembangan otak selama kehidupan fetal (janin 14 minggu) atau pengaruh fase intra uterin growth retadardation (IUGR) (ACC/SCN, 2001).
Regulasi Kelenjar Thyroid. Aktivitas kelenjar thyroid pada leher diatur oleh hormon yang disekresi oleh dua kelenjar di otak yaitu kelenjar Pituitary dan Hypothalamus. Aktivitas kelenjar thyroid dikontrol melalui stimulasi TSH (thyroid stimulating hormon) disekresi oleh pituitary. TSH juga disebut thyrotropin, suatu protein dengan berat molekul 28.000 yaitu glycoprotein terdiri dari oligosakarida yang mengikat residu asporagin (beberapa gula residu yang mengandung sulfat).
Thyroid mampu
mengubah sensitivitasnya dengan adanya iodium dalam makanan. Dengan defisiensi iodium, sensitivitas TSH meningkat, mengakibatkan stimulasi kelenjar thyroid. Stimulasi ini membentuk peningkatan transpor iodida, peningkatan aktivitas thyroperoxidase dan pembesaran kelenjar thyroid (Bender, 2002). Kelenjar pituitary berperan dalam pengaturan aktivitas thyroid. Tingginya T4 dalam darah akan menghambat sekresi TSH, sebaliknya kadar T4 yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH. Hal ini bergantung pada konversi T4 ke T3 dengan pituitary yang sangat ditentukan cukup atau tidaknya kandungan selenium. Aktivitas pituitary dikontrol oleh thyrotropin releasing hormon (TRH) yang disintesis oleh hypothalamus. TRH adalah tripeptida dengan struktur pyroglutamat histidin – proline – NH2 (Brody, 1999). Peningkatan hormon thyroid akan meningkatkan basal metabolic rate (BMR). Pengukuran BMR dapat digunakan untuk menilai status thyroid. Metoda ini untuk mendiagnosa hypothyroid atau hyperthyroidi tetapi tidak lazim digunakan karena tidak praktis. Peningkatan BMR telah dihubungkan dengan peningkatan bermacam-macam reaksi yang menggunakan ATP. Peningkatan penggunaan ATP disesuaikan dengan peningkatan aktivitas dari rantai respirasi dan dalam reduksi O2. Dua reaksi yang berhubungan erat dengan kenaikan BMR dan level tertinggi plasma hormon thyroid adalah Na,K-ATP-ase (pompa sodium) dan sintesis asam lemak. Na,K,ATP ase ada dalam membran pada semua sel tubuh. Peningkatan sintesis asam lemak dengan naiknya aktivitas thyroid dihubungkan dengan diversi asam lemak pada lintasan hati dari sintesis trigliserida menuju oksidasi. Peningkatan aktivitas thyroid juga menyebabkan kenaikan sintesis asam lemak. Efek keseluruhan berupa gagalnya peningkatan oksidasi asam lemak dan
sintesis asam lemak yang mengakibatkan produksi panas berlebihan. Perubahan kadar hormon thyroid sering terjadi pada penyakit yang tidak brehubungan dengan status iodium. Penyakit ini dikenal dengan hyperthyroidism dan hypothyroidism,
disebabkan
kerusakan
kelenjar
thyroid,
pituitary
atau
hypothalamus. Hyperthyroidism mengakibatkan penurunan berat badan, meskipun terjadi peningkatan asupan energi yang menghasilkan pelepasan asam lemak berlebihan dari jaringan adipose selama berpuasa. Hyperthyroidism dapat diatasi dengan obat-obat yang menghambat 5’ deiodinase seperti propylthiouracil yang mempunyai struktur yang sama dengan senyawa antithyroid dalam sayur kol (Stipanuk, 2000). Pada hypothyroidism, kecenderungan metabolisme terjadi berlawanan yaitu, menurunkan BMR disertai penurunan suhu tubuh, dan perubahan berat badan. Hormon thyroid berperan utama dalam pertumbuhan normal fetus. Defesiensi hormon thyroid mengakibatkan efek buruk pada perkembangan otak. Perubahan kandungan hormon thyroid dalam tubuh mengakibatkan perubahan metabolisme dengan membentuk reseptor hormon thyroid. Untuk melepaskan hormon thyroid dalam darah, iodothyroglobulin harus diresorbsi dalam bentuk butiran koloid oleh endocytosis kembali ke sel thyroid. Di dalam sel thyroid, iodothyroglobulin dihidrolisa oleh lysosomal protease, sehingga T4 dan T3 dilepaskan ke dalam darah. Di dalam darah T4 dan T3 berhubungan dengan transport protein dan didistribusikan ke sel-sel sasaran dalam jaringan peripheral. Tiga protein transport ini mengikat dan mengangkut T4 dan T3 dalam darah. Thyroid mengikat globulin dalam plasma, mempunyai kapasitas terkecil tetapi afinitas (daya tarik menarik) T4 dan T3 terbesar. Albumin dan transthyretin (prealbumin) juga mengangkut hormon thyroid. Diiodotyrosin dan monoiodotyrosin tidak digunakan untuk sintesis hormon thyroid dalam sel thyroid yang diiodinasi, dan iodium dibuat tersedia untuk daur ulang pembentukan iodothyroglobulin baru. Beberapa jaringan seperti hati, ginjal, otak, pituitary dan adipose dapat mengiodinasi T4 untuk menghasilkan T3 dan Reseptor T3 (Gambar 1). T3 dalam darah disintesis di dalam hati dari T4. A5’ selenium dependent deiodinase menghasilkan T3 dan 5 deiodinase menghasilkan 5T3. Konversi T4 menjadi T3 gagal bila defisiensi selenium.
T3 5’deiodinase T4
5 deiodinase Reseptor T3
Gambar 1 Konversi T4 menjadi T3 (Burk & Hill, 1993) Efek ganda dari hormon thyroid dihasilkan dari reseptor inti dengan efek ekspresi gen. Reseptor-reseptor ini terlihat sama dalam semua jaringan, dan lebih suka mengikat T3 daripada T4. Walaupun mekanisme peran hormon thyroid belum jelas, efek biologi dalam responsnya untuk meningkatkan messenger RNA (mRNA) dan sintesis protein digerakkan oleh reseptor hormon thyroid. Sejumlah hipotesis tentang mekanisme ini telah dikemukakan meliputi modulasi NA+/ K+, ATPase, sistem transport, sensitivitas reseptor adrenergic dan neurotransmitters. Dampak hormon thyroid pada metabolisme diantaranya menstimulasi Basal Metabolisme Rate (BMR), konsumsi oksigen dan produksi panas, penting untuk perkembangan sistem saraf normal dan pertumbuhan linear. Secara langsung atau tidak langsung banyak sistem organ dipengaruhi oleh hormon thyroid. Pelepasan hormon-hormon thyroid oleh kelenjar thyroid dikontrol dan dibebaskan dari hypothalamus pada kelenjar pituitary untuk menstimulasi thyroid stimulating hormon (TSH). TSH disekresi dari anterior pituitary dan meningkatkan aktivitas kelenjar thyroid untuk menghasilkan T4. Output TSH diatur oleh T4 melalui umpan balik negatif ke pituitary. Penurunan T4 dalam darah menggerakkan pelepasan TSH pituitary, menghasilkan hyperplasia thyroid, Tingginya T4 menghambat TSH dan pelepasan hormon thyrotropin. Asupan iodium 100-150 μg/hari sudah memenuhi kecukupan gizi. Kandungan iodium urine sama dengan level asupan dan dapat digunakan untuk memperkirakan konsumsi iodium. Defisiensi iodium terjadi dengan asupan < 50μg /hari. Orang yang mengkonsumsi <50 μg/hari berisiko berkembang menjadi
goiter. Goiter hampir selalu disebabkan asupan iodium <10μg /hari. Goiter adalah pembesaran atau hypertrophy dari kelenjar thyroid. Grade goiter ada 3 yaitu : 1.
Terjadi pembesaran dengan ukuran kecil dapat dideteksi dengan palpasi
2.
Leher yang tebal
3.
Pembengkakan kelenjar yang besar dan terlihat dari jarak jauh Grade ketiga ini menekan trachea dan menghasilkan nafas pendek selama
melakukan pekerjaan berat. Insiden tertinggi goiter ditemukan pada negara berkembang seperti Republik Cheko, Yugoslavia, India, Paraguay, Peru, Argentina, Pakistan, Afrika, Asia Tenggara dan New Guinea.
Goiter mulai
diberantas pada tahun 1950 melalui fortifikasi garam dengan iodium. Garam meja difortifikasi dengan 100 mg KI / kg NaCl. Susu dan roti difortifikasi dengan iodium. Iodium dalam susu awalnya berasal dari desinfektan yang digunakan dalam industri susu. Iodida dalam roti (1mg Iodium/kg roti) bermula dari pembuat oksidasi adonan oleh pabrik roti (SCN, 2004). Komplikasi serius dari defesiensi iodium adalah kretin. Sebaran goiter pada masyarakat yang mengalami GAKI ada ± 2% populasi kretin. Kretin berdampak retardasi mental dan mempunyai karakteristik penampilan wajah dan lidah besar. Beberapa diantaranya bisu dan tuli, kerdil, displegia dan quadriplegia juga dapat terjadi. Kretin berasal dari defesiensi iodium maternal, yaitu diet yang berhubungan dengan intra uterin growth retardation (IUGR). Kerusakan mental dan fisik pada kretin tidak dapat pulih kembali. Kerusakan ini dapat dicegah dengan memberikan iodium pada ibu yang defisien pada awal kehamilan (Suitor & Crowley, 1984). Goiter
mudah
didiagnosa
dengan
terjadinya
pembengkakan
di
tenggorokan. Kretin susah didiagnosa karena muncul dengan berbagai cara yang berbeda. Kerusakan yang timbul menggambarkan pentingnya hormon thyroid untuk perkembangan janin. Defisiensi iodium hubungannya dengan goiter dan kretin dapat diatasi melalui program fortifikasi iodium pada garam dan suntikan minyak Iodium, maupun dengan kapsul iodium. Garam dapat difortifikasi dengan Iodida (KI) atau kalium iodat (KIO3). Iodat lebih stabil terhadap kelembaban dan sinar matahari dan digunakan sebagai suplemen di negara sedang berkembang. Iodium dalam minyak terikat secara kovalen dengan asam lemak dan dilepaskan
dengan katabolisme minyak. Suntikan minyak lebih diterima di daerah dimana makanan tidak diasinkan seperti di New Guinea. Efikasi minyak dinyatakan pada studi iodium terhadap anak sekolah yang defisiensi (Dunn et al.1995). Ambang batas iodium dalam urine yang dipertimbangkan sebagai indikasi defisiensi iodium adalah 0.4 μmol iodium /L urine. Dosis single oral trigliserida mengandung 675 mg iodium menghasilkan konsentrasi iodium urine diatas ambang batas. Dampak defisiensi iodium terhadap berat thyroid dan plasma T4 digambarkan dengan percobaan tikus yang diberi diet normal (0.2 mg I /kg diet), diet rendah (0.1 mg I /kg diet) selama 4 bulan (Suitor & Crowley, 1984). Tabel 1 Dampak Defisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus (Suitor & Crowley,1984). Normal Defisiensi Berat Kelenjar thyroid (mg) 13 23 Plasma T4 (ng / ml) 40 20 Aliran darah thyroid (ml/min per gr jaringan) 23 68 Thyroid stimulating hormon (ng / ml ) 2.4 2.9
Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan Dampak defisiensi iodium pada pertumbuhan dan perkembangan dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan iodium. Dampak GAKI terlihat pada semua tahap pertumbuhan khususnya pada fetus, neonatus dan bayi, yaitu pada periode pertumbuhan cepat. Ketahanan dan perkembangan fetus peka terhadap defisiensi iodium. Perkembangan otak pada fetus dan neonatus dipengaruhi dengan peningkatan proporsi defisiensi iodium berat (Tabel 2). Hal ini berasal dari rendahnya thyroxine maternal pada fetus yang berhubungan dengan tingkat asupan iodium yang kurang dari 25% dibanding normal. Bila tingkat asupan kurang dari 50% dari normal disebut goitre (Stipanuk, 2000) Telah banyak data yang menunjukkan bahwa anak yang goiter mempunyai kemampuan belajar lebih rendah dibanding anak tidak goiter. Semua dampak GAKI dapat dicegah bila defisiensi iodium diatasi sebelum kehamilan. Goiter telah digunakan selama beberapa tahun untuk memaparkan efek defisiensi iodium. Efek klinis dari asupan iodium berlebih (20 mg/hari) juga terdapat pada goiter endemik dan hipothyroidism. Penderita defisiensi iodium pada usia lanjut lebih
sensitif terhadap peningkatan asupan iodium karena persisten thyroid. Iodium menimbulkan hyperthyroidism telah dipaparkan pada banyak negara dengan latar belakang defisiensi iodium. Status iodium dapat diukur dengan determinasi dari eksresi iodium urine, dan pengukuran level hormon thyroid dan pituitary thyroid stimulating hormon (TSH) (Depkes, 2000). Defisiensi iodium mengurangi simpanan iodium thyroid dan mengurangi produksi T4. Penurunan T4 dalam darah menimbulkan sekreasi peningkatan TSH yang meningkatkan aktivitas thyroid dengan akibat hyperplasia thyroid. Peningkatan mortality perinatal disebabkan defisiensi iodium telah ditemukan di Zaire dalam percobaan suntikan minyak beriodium dan suntikan kontrol yang diberi pada pertengahan kehamilan. Pada kelompok yang diberi perlakuan ternyata perinatal dan kematian bayi dengan kenaikan berat lahir. Berat lahir terendah secara umum dihubungkan dengan tingginya kelainan congenital dan risiko morbiditas pada anak (UNICEF, 2003). Defisiensi iodium pada anak karakteristiknya berhubungan dengan goiter. Tingkatan goiter meningkat sejalan dengan umur, yang maksimum pada masa remaja. Prevalensi kurang iodium lebih banyak pada wanita daripada pria. Goiter pada anak sekolah 6- 12 tahun merupakan indikator defisiensi iodium pada masyarakat. Studi tentang anak sekolah yang tinggal di daerah defisiensi iodium pada sejumlah negara menunjukkan kerusakan kemampuan belajar dan IQ dibandingkan pada daerah non defisiensi iodium. Studi ini sulit untuk didesain karena sulitnya menentukan kelompok kontrol yang tepat (Gellispie et al. 2003). Pentingnya fungsi thyroid pada neonatus berhubungan dengan fakta bahwa pada saat lahir otak bayi hanya 1/3 dari ukuran penuhnya dan tumbuh secara cepat sampai akhir tahun kedua. Hormon thyroid yang tergantung pada suplai iodium cukup penting untuk perkembangan otak normal. Hasil observasi neonatal di Zaire menemukan bahwa tingkat hypothyroidism kimiawi 10% akan mengakibatkan hypothyroidism pada bayi dan anak-anak dan jika defisiensi tidak diperbaiki akan mengakibatkan retardasi fisik dan mental. Observasi ini menunjukkan risiko besar kerusakan mental pada populasi defisiensi iodium berat (Hetzel et al. 1990). Tabel 2. Dampak Dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Hetzel et al. 1990)
Tahapan Perkembangan Fetus
Dampak -
Anak-anak dan Remaja
-
Orang Dewasa
-
Neonatus
Semua Umur
Aborsi Lahir Mati Anomali Congenital Peningkatan Kematian Perinatal Peningkatan Kematian Bayi Cretinism Neurologi (defisiensi mental, tuli, spastic diplegia) Gangguan psikomotor neonatal Goiter Neonatal Hypothyroid Goitre Juvenile hypothyroid Kerusakan fungsi mental Retardasi perkembangan fisik
Goitre dengan segala komplikasinya - Hypothyroid - Kerusakan fungsi mental - Hyperthyroid - Rentan terhadap radiasi nuklir
Banyak penyebab yang merupakan faktor terjadinya penurunan kemampuan belajar dan IQ yang rendah sehingga mengacaukan interpretasi dari perbedaan antara daerah-daerah yang diteliti. Daerah defisiensi iodium sama dengan daerah yang mempunyai sekolah miskin, menderita banyak deprivasi sosial, status sosial ekonomi rendah dan miskin zat gizi lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa defisiensi iodium dapat merusak kemampuan belajar bahkan bila dampak faktor lain seperti deprivasi sosial tidak diperhitungkan akan terjadi kerugian ekonomi dan sosial (UNICEF, 2000). Menurut Widodo (2000) secara umum anak umur 10 - 12 tahun dapat dipastikan akan menjadi kretin bila memiliki ciri / tanda khas sebagai berikut : 1.
Gerakan anak tidak terkoordinasi
2.
Motivasi belajar kurang
3.
Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
4.
Sering kejang
5.
Sulit diajak bicara
6.
Sulit menangkap pembicaraan orang lain
7.
Kurang/tidak dapat mendengar
8.
Juling (starbismus)
9.
Pendek dibanding seusianya
10.
Kulit berbintik / berbercak
11.
Ada benjolan di leher
12.
Apatis, tidak bersemangat
13.
Anaemia (pucat, lemah, malas)
14.
Muka, tangan bengkak, lidah membesar
15.
Mengalami gangguan pertumbuhan fisik Upaya iodisasi garam, roti atau minyak telah menunjukkan pencegahan
yang efektif terhadap goiter pada orang dewasa. Determinan utama otak dan pituitary T3 adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus yang kekurangan iodium ternyata memiliki serum T3 pada otak yang rendah. Hal ini berhubungan dengan penurunan serum T4, sehingga perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki defisiensi iodium pada manusia. Penemuan ini menjelaskan bahwa fungsi otak pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI sangat dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi iodium (Kanarek et al. 1991) Penilaian Status Iodium Banyaknya populasi yang berisiko GAKI disebabkan hidup di lingkungan kurang iodium ditandai dengan tanah dimana iodium tercuci oleh es, air hujan atau lumpur. Pencucian ini banyak terjadi pada daerah pegunungan. Penilaian status iodida umumnya diarahkan pada populasi yang tinggal didaerah yang diduga defisiensi iodida. Penilaian didasarkan pada pengujian fisik dan kimia dari individu. Data yang dikumpulkan untuk penilaian ini meliputi : - total populasi dihitung meliputi jumlah anak-anak dibawah 15 tahun - insiden goiter yang dinyatakan dengan pengujian fisik (palpasi atau visible goiter) dan kretin dalam populasi - jumlah ekskresi iodida dalam urine dan jumlah iodida dalam air minum
- penentuan serum T4 atau TSH dalam berbagai kelompok umur, khususnya neonatus dan ibu hamil memerlukan fungsi thyroid untuk perkembangan otak - tes kimia yang mengukur ekskresi iodida dalam urine berdasarkan kemampuan iodida untuk mereduksi cerric ion (Ce4+) menjadi cerrous (Ce3+). Pembagian tingkat keparahan (severity) telah diadopsi dari WHO, meskipun dengan pengamatan berbeda untuk menentukan severity. Secara umum, visible goiter rate (VGR) lebih mudah diverifikasi daripada palpasi. Observasi terbaru di Tanzania menunjukkan bahwa palpasi thyroid over estimasi terhadap ukuran kelenjar dibanding ultrasonografi, khususnya pada anak. Skala penilaian goiter rate, tidak esensial karena butuh waktu dan dana, dan sampel terbatas tidak cukup untuk menetapkan goiter rate (Glinoer & Delange, 2000). Semua bayi di negara maju ditapis untuk menjamin kadar hormon thyroidnya cukup. Dalam program tapis tersebut darah neonatus diambil dan diteteskan pada kertas filter yang kemudian kering untuk dikirim ke laboratorium. Kadar serum T4 dan TSH atau keduanya diukur dengan teknik immunoassay. Monitoring hypothyroid neonatal juga telah dimulai pada beberapa daerah kurang iodium dinegara berkembang. Beberapa penelitian menyatakan pada populasi yang defisien iodium, kadar serum T4 terendah pada saat lahir dan rendah pada anak-anak daripada orang dewasa (Gellispie et al. 2003) Kecukupan Iodium Makin parah tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi yang ditimbulkannya. Karena sulit sekali memeriksa jumlah iodium yang dikonsumsi seseorang
perhari maka sebagai penggantinya diperiksa
ekskresi iodium dalam urine sehari karena dianggap dapat memberi gambaran masukan iodium orang tersebut. Besaran ini dinyatakan dalam jumlah mikrogram iodium per gram kreatinin urine, atau mikrogram iodium per desiliter. Untuk itu di Indonesia tiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan Gizi (WKNPG) tahun 2004 guna menyusun angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk tiap orang menurut kelompok jenis kelamin dan umurnya (Tabel 3).
Tabel 3 Rekomendasi Asupan Iodium (μg / hari) WKNPG-VIII LIPI, 2004) Sebaran Umur dan Keadaan 0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun perempuan 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19- 64 tahun > 64 tahun Hamil Menyusui
WKNPG_2004 IOM_2001 FAO/WHO_200 1 90 110 45 120 120 135 120 90 75 120 120 110 120 120 100 120 120 140 150 150 100 150 150 110 150 150 110 150 150 110 200 200 200 200 200 200
Banyaknya metoda suplemen iodium tergantung pada beratnya masalah GAKI pada populasi, grade iodium urine dan prevalensi goiter dan kretin. Dari segi kriteria berat – ringan GAKI, komplikasi terbesar adalah kretin endemik. Menurut Djokomoeljanto (2002) Kretin endemik ini mempunyai 3 sifat pokok : 1.
secara epidemiologis selalu berhubungan dengan gondok endemik dan defisiensi iodium berat;
2.
secara klinis ditandai dengan defisiensi mental, bersama dengan : -
gejala neurologik yang mencolok; terdiri atas gangguan pendengaran dan berbicara, kelainan khas dalam cara berjalan dan sikap berdiri,
3.
hipothyroidi dan mencolok gangguan perkembangan pertumbuhan; dengan upaya pencegahan yang baik, yaitu dengan jalan mengoreksi defisiensi iodium, dan zat gizi lainnya maka kelahiran bayi dengan kretin dapat dicegah. Pengobatan penderita kretin dengan iodium tidak memperbaiki gangguan
perkembangan fisik, mental maupun saraf, namun dapat memperbaiki hipothyroidi apabila hal itu bukan disebabkan atrofi kelenjar thyroid. Dengan demikian kretin neurologi pasti menetap, sedangkan perbaikan kretin miksedematosa
dalam
hal
hipothyroidinya,
masih
mungkin
disembuhkan
(Djokomoeljanto, 2002). Beberapa upaya penanggulangan GAKI telah dilakukan oleh Depkes (Tabel 4) namun hasilnya masih belum sebaik yang diharapkan.
Tabel 4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes (Glinoer dan Delange, 2000) GAKI Ringan
GAKI Sedang
GAKI Berat
Prevalensi Goiter
5 – 19,9%
20 – 29,9%, beberapa ≥ 30%, endemik hypothyroidism kretin
Iodium Urine
50 – 99 mg/ l
20 –49 mg/ l
Upaya Penanggulangan
Eliminasi • garam beriodium dengan garam • minyak beriodium beriodium • oral dan suntik
< 20 mg/ l • garam beriodium • minyak beriodium
Pengalaman Djokomoeljanto (1974-2002) menunjukkan bahwa pada kasus kretin, sebagian besar terdapat defisiensi mental serta gangguan pendengaran, khususnya sensori neural dan bilateral. Pada kasus ini ditemukan 76% dengan kelainan neurologik, dan 29 % dengan kelainan tubuh pendek atau cebol (Tabel 5). Dimensi baru GAKI lebih diperkuat oleh hasil yang didapat akhir-akhir ini dari binatang percobaan.
Pada binatang tersebut (domba)
diberlakukan defisiensi iodium berat sebelum atau selama hamil, kemudian diperiksa efeknya terhadap perkembangan janin, khususnya perkembangan otak. Penelitian pada domba yang kekurangan iodium menunjukkan kejadian lahir mati (still-birth) serta keguguran (abortus) meningkat.
Pada akhir
kehamilan, janin tampak kecil, terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta adanya gangguan perkembangan skelet.
Jelas terlihat adanya gangguan
perkembangan otak – berat otak kurang, demikian pula jumlah selnya, seperti halnya dengan kadar DNA. Pada semua kasus kadar T4 fetus maupun ibu sangat rendah. Karena efek defisiensi iodium berat dapat diulang dengan hasil sama seperti membuat kombinasi perlakuan trioidektomi pada ibu hamil 6 minggu sebelum kehamilan, demikian pula dengan thyroidektomi fetus, maka data ini mendukung dugaan bahwa dampak kekurangan iodium pada perkembangan fetus disebabkan karena mengurangnya fungsi thyroid fetus maupun ibu.
Tabel 5 Simtomatologi kretin endemik, Sengi 1974 - 1999 (Djokomoeljanto, 2001) A. Gangguan pendengaran - bisu tuli B. Retardasi mental C. Gangguan neuromotor gangguan bicara cara jalan khas refleks meninggi mata juling berjalan terlambat D. Hipothyroidi - cebol E. Gondok
93 % 12 % 95 % 76 % 37 % 46 % 29 % 2% 27 % 29 % 29 % 70 %
Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipothyroid Sudah menjadi kesepakatan internasional, bahwa istilah gondok endemik (dengan sebab yang multi faktorial) berbeda dengan GAKI (dengan sebab defisiensi iodium). Menurut Djokomoeljanto (2002) dari tahun ke tahun spektrum klinik yang dikelompokkan dalam GAKI merupakan satu evolusi perkembangan IPTEK. Pada Gambar 2 dapat dilihat gambaran spektrum GAKI yang diketahui sejak tahun 1983 hingga tahun 1993 dimulai dari aspek demografis (angka kematian) aspek klinis yang mudah dilihat (gondok, kretin endemik, hipothyroidisme) dan aspek lain yang memerlukan perhatian dan pemeriksaan khusus (gangguan perkembangan saraf dan mental). Dari aspek demografis yang terjadi di Zaire, diketahui : •
berat badan neonatus berhubungan dengan terkoreksinya defisiensi iodium pada pertengahan kehamilan
•
pada berat badan sama maka Infant Mortality Rate (IMR) anak dari ibu defisiensi iodium belum dikoreksi akan lebih tinggi
•
IMR menurun dengan pemberian iodium pada ibu dengan defisiensi berat. Selanjutnya dari aspek klinis yang mudah diketahui seperti :
a. Gondok endemik Penyebab utama gondok memang defisiensi iodium tetapi juga didukung dengan zat goitrogen, kelebihan iodium, dan status gizi yang kurang baik. Namun tidak terlihatnya gondok bukan berarti bebas GAKI.
b. Kretin endemik Pada kretin endemik ada dua komponen yaitu hipothyroidi dan kerusakan susunan saraf pusat (mental retardasi, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan
batang
otak.
Berdasarkan
kenyataan
bahwa
ternyata
‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia difinisi seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental; tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi; gangguan neuro-muskuler). Ia dapat disertai atau tidak disertai Hipothyroidisme. Sedangkan di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan selenium enzim) dan bukan perifer (deiodenase I adalah selenium enzim). c. Hipothyroidisme Hipothyroidisme terlihat jelas pada kretin tipe miksudematosa tetapi juga ditemukan pada populasi normal, sehingga hipothyroidisme dapat mengenai siapa saja asal ia kekurangan iodium berat. Data yang dikumpulkan Hartono (1999) menunjukkan bahwa meskipun kadar TSH ibu sedikit diatas 5 uU/ml namun sebagai ‘transien hipothyroidisme’ yang berdampak buruk terhadap anaknya. d. Kretin Sub-klinik Istilah ini diperkenalkan dari Cina yang melihat gejala anak sangat bodoh tetapi tidak menunjukkan gejala kretin klasik. Kemudian berdasarkan IQ anak sekolah dibagi menjadi : amat berat (IQ = 0-20); berat (IQ = 20-35); sedang (IQ = 35-50) dan gejala kretin sub-klinik ringan (IQ = 50-75) dan mereka menunjukkan perbaikan setelah diberi iodium. Namun pada kretin sub-klinik ternyata juga menunjukkan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran. Data epidemiologi dari Spanyol dan Indonesia menyebutkan bahwa meskipun defisiensi iodium ringan tetap akan mempengaruhi perkembangan neuropsikologis populasi. Jadi kretin sub-klinik di Cina sama dengan kretin endemik tipe neurologis (Djokomoeljanto, 2002).
e. Gangguan Perkembangan Saraf Hasil diagnosis gejala kretin endemik klasik memiliki gangguan perkembangan saraf yang menyebabkan kelainan cara berjalan, sikap berdiri, hingga badan menjorok ke depan hampir menyerupai sindrom Parkinson. Pada anak diawali dengan kesulitan mengangkat kepala sehingga kepala seperti lunglai. Selanjutnya Gambar 2 memperlihatkan spektrum endemik kretin dan hipothyroid. Spektrum GAKI terhadap Gangguan Perkembangan Saraf dan Mental Gangguan Perkembangan Saraf
Mixedematous
Kongenital Hipothyroid
Kebutuhan /Kec. Se ? T4
Masa Usia Anak
Masa Ibu Hamil Cerebral Cortex Striatum Serabut Otak Corpus Collasum 0
Mata 1
2
3
4 5 6 Masa kehamilan 9 bulan
Myelinasi Perkembangan Sistem Syaraf Pusat Cerebellum Hippocampus 7
8
9
Lahir-5 tahun
Gambar 2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipothyroid Program penanggulangan GAKI secara nasional telah berjalan sejak tahun 1978, dimulai dengan iodisasi garam dilanjutkan dengan suntikan lipiodol yang
akhirnya
diganti
dengan
kapsul minyak beriodium.
Dampak
penanggulangan GAKI Nasional diketahui dengan membandingkan hasil pemetaan tahun 1982 dibanding dengan pemetaan tahun 1998.
Terdapat
penurunan yang sangat tajam dari 37 % menjadi 9,8 % (Depkes, 2003). Selain itu, target yang harus dicapai dalam program penanggulangan GAKI telah dicanangkan yaitu Indonesia bebas kretin baru tahun 2000. Kini kita sudah berada di tahun 2006 apakah Indonesia telah bebas kretin baru? Kita masih
belum mampu menjawab dengan pasti karena tidak ada alat, indikator, metode yang dapat digunakan oleh petugas pelaksana pelayanan kesehatan di daerah endemik untuk menilai ada / tidak kretin baru. Menurut Widodo (2000) wanita usia subur (WUS) adalah salah satu kelompok umur berisiko tinggi menderita GAKI. Dampak yang ditimbulkan jika WUS menderita kekurangan iodium dapat terbawa jika hamil dan menghambat pertumbuhan bayi yang dikandung.
Pada tahun 1994 saat
pengambilan data dasar penelitian dilakukan pemeriksaan TSH.
Hasilnya,
sebanyak 23,8 % (190 orang) dari 798 orang yang mempunyai TSH > 10 microunit/ml. Dan 70 % (559 orang) yang belum menerima kapsul iodium sejak lebih dari setahun yang lalu. Ditemukan adanya indikasi Anak-anak tersangka kretin baru. Selain 254 anak-anak usia 6-20 tahun yang dilaporkan tersangka kretin tersebut, sebenarnya setiap tahun selalu muncul penderita-penderita baru yang memiliki gejala kretin. Mereka umumnya mempunyai kelainan fisik dan mental yang nampak nyata. Untuk melihat tanda-tanda klinis yang nampak pada penderita digunakan indeks khusus tanda-tanda klinis penderita hipothyroid, seperti digunakan pada Index Quibex untuk bayi neonatal. Tanda-tanda yang dihimpun dari berbagai literatur untuk mendeteksi adanya hambatan tumbuh kembang / tersangka kretin mulai dari neonatal hingga anak usia sekolah. Himpunan tandatanda klinis tersebut bersifat terbuka artinya boleh ditambahkan bila daftar tidak ada. Selanjutnya gold standard adalah hasil pemeriksaan TSH, T3, T4 atau mungkin pemeriksaan kematangan tulang. Hasil pemeriksaan tulang dan darah di rumah sakit Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang dan UGM Yogyakarta terhadap lima anak yang baru terdaftar diduga kretin dapat dilihat pada Tabel 6. Tiga anak diduga menderita kretin berkaitan dengan GAKI, namun masih harus dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium TSH, T3, T4 dan jika perlu Bone maturation. Selanjutnya kurang jelas ada keterkaitan dengan GAKI atau tidak.
Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Tersangka Kretin (Widodo, 2000) No Nama TSH T4 (Ref 0,32 – 5,0) u/ml (45 – 120) ng/ml 1. M. Efendi 8,9 110,7 2. Rahmawati 1,1 116,4 3. Reza 0,41 102,6 4. Nurohman 2,10 108,5 5. Rohmat 0,47 122,3 Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari lima anak yang sudah dapat diambil darahnya hanya satu yang mengarah kepada tanda hiperthyrotropenemia. Apakah kondisi kasus ini sedang menuju ke arah perbaikan? Kemungkinan itu ada karena kasus ini pernah dirujuk ke RSUP Sarjito Yogyakarta dan tiga kali ditangani melalui JPS namun tidak berlanjut karena kekurangan biaya transport. Selain itu juga ditemukan anak dengan kondisi yang sangat lemah, berat badan tidak sesuai dengan umurnya (6,7 kg pada usia 2 tahun). Hormon T4 normal, namun kadar TSH lebih tinggi dari batas normal. Hal ini dikarenakan sedikitnya asupan iodium, sehingga untuk memenuhi kecukupan tiroksin diperlukan pemacu (TSH) dalam jumlah yang melebihi normal.
Kondisi ini bila berlarut akan
menyebabkan terjadinya hipothyroid dan jika terus berlanjut akan menjadi kretin. Sampai saat ini berdasarkan pemetakan GAKI di Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh Tim GAKI Fakultas Kedokteran-UNDIP dan Kanwil Depkes Jateng Tahun 1996 masih ditemukan TGR pada anak perempuan usia Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4,5 % dan VGR 0,7 %. Apabila mengikuti kriteria daerah endemik dan non endemik berdasarkan prevalensi TGR pada anak perempuan usia SD yang digunakan WHO (1994), maka daerah Kabupaten Boyolali termasuk daerah endemik ringan. Ada 89 Desa IDT yang tersebar di 16 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Boyolali yang di antaranya merupakan endemik GAKI (Hadisaputro, 1996). Hilangnya zat gizi terutama zat gizi mikro pada anak usia sekolah umumnya melalui sel dari kulit dan permukaan dalam tubuh (seperti: usus, tractus urinarius, saluran napas) sebanyak 14 ug/hari. Disamping kekurangan iodium, anemia juga merupakan bagian tanda kretin pada anak SD sehingga anak menjadi pucat, lemah dan lesu yang akhirnya motivasi belajar menurun. Keadaan anak
yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh rendahnya kadar besi dan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dalam darah akan menjadikan salah satu risiko tinggi anemia pada anak usia sekolah sehingga mengganggu pertumbuhan pada masa cepat atau Growth sprout (Frey, 2002). Defisiensi zat gizi mikro essesnsial seperti iodium, besi, zinc, dan selenium
biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan zat gizi mikro
tersebut yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar zat gizi mikro total mulai menurun, terjadi deplesi pada berbagai lien, dan sumsum tulang. Setelah cadangan komponen zat gizi mikro habis terjadi penurunan kandungan zat gizi mikro dalam plasma dan suplai zat gizi mikro pada sumsum tulang maupun otak dan sistem syaraf ssehingga tidak mencukupi untuk regenerasi sel yang normal.
Selanjutnya jumlah protoporphyrin eritrosit meningkat, mulai terjadi
produksi eritrosit mikrositik dan selanjutnya kadar Hb darah menurun (Carley, 2003). Dampak peningkatan status iodium terhadap mental dan psikomotor anak sekolah (7 – 11 tahun) dilaporkan oleh Van den Briel, dan West (2000) yang menunjukkan bahwa intervensi garam beriodium selama 1 tahun dapat meningkatkan performance mental dan psikomotor pada kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol tidak ada perubahan. Sementara itu hasil penelitian tentang
evaluasi efektivitas iodisasi garam, dan elevasi konsentrasi iodium
hubungannya dengan status goiter anak sekolah di daerah endemik Goiter dilaporkan oleh Jooste dan Weight (2000) bahwa iodisasi garam sebenarnya telah menghilangkan defisiensi iodium selama satu tahun, tetapi goiter rate tidak menurun. Pengukuran goiter dengan palpasi tidak tepat untuk evaluasi jangka panjang program iodisasi. UNICEF (1997) mengungkapkan bahwa status gizi dan kesehatan anak Indonesia masih belum sebaik negara ASEAN lainnya, sehingga dikhawatirkan akan menjadi beban negara dalam memperoleh sumberdaya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu pemberian obat cacing dalam program PMT-AS sangat membantu pemulihan kasus-kasus gizi kurang. Namun sampai saat ini anak SD masih belum semuanya mendapatkan program pemberian obat cacing dan makanan tambahan.
Investigasi variabel biologis (Serum Zn, retinal, Thyrotropin, Fe) yang berkontribusi terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah telah diteleliti oleh
Elnour dan Hambraeus (2000) dengan hasil variabel biologis
berkontribusi positif terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah. Artinya semakin rendah variable biologis maka pertumbuhan anak makin terhambat. Selanjutnya ketidakmampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah sebagai akibat defisiensi iodium dalam jangka waktu lama telah diteliti oleh Tiwari dan Godbole et al. (1996) dengan hasil anak-anak yang defisiensi iodium berat (severe) mempunyai kemampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah dibandingkan dengan anak yang defisiensi iodiumnya sedang (mild). Selanjutnya keragaan konsumsi garam beriodium pada anak usia SD di daerah endemik GAKI, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah juga ditunjukkan oleh Hanim dan Purwoko (2001) bahwa ada lebih 19 merek dagang garam beriodium yang beredar di pasar Kecamatan Selo tetapi yang dikonsumsi oleh keluarga ditemukan 11 merek dagang garam dengan kandungan iodium ratarata 30-50 ppm. Setelah semua garam yang beredar di warung dan pasar di desa Selo sebagai daerah endemik GAKI Kab. Boyolali di analisis ternyata Selo belum merupakan desa bergaram baik. Penelitian
penetapan
kehilangan
iodium
dilakukan
dengan
cara
menambahkan larutan kalium iodat berlabel radioisotop (mengeluarkan sinar gamma) ke dalam campuran cabe dan garam di dalam tabung khusus untuk radioisotop.
Setelah dicampur, iodium radioisotop dibaca dengan ‘gamma
counter’ lalu dibandingkan dengan hasil pembacaan iodium radioisotop standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iodium sisa yang masih terdeteksi sekitar 90-99 %, walaupun komposisi jumlah iodium dan cabe bervariasi. Bila selain bumbu cabe ditambahkan cuka maka sisa iodium terdeteksi sekitar 77-78 %. Bila volume iodium radioisotop ditingkatkan 2,5 kali lipat meskipun ditambahkan cabe dan cuka, maka iodium sisa yang terdeteksi 98-99 % (Purawisastra et al. 2002). Selenium dan GAKI Hasil penelitian Rimbawan et al. (2000) tentang keterkaitan antara defisiensi selenium dan defisiensi iodium dalam menentukan masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan upaya penanggulangannya melalui
fortifikasi ganda menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara defisiensi iodium dengan selenium di daerah endemik GAKI di Jawa Timur.
Sementara hasil
penelitian Adriani et al. (2002) tentang identifikasi Gondok di daerah pantai telah menunjukkan bahwa ibu hamil di daerah pantai memiliki kandungan selenium dalam batas marginal (rata-rata 0.1 μg/ml) dan bila hal ini dibiarkan akan menimbulkan masalah kretin di daerah pantai Tuban Jawa Timur. Hartono dan Djokomoeljanto (2002) telah melaporkan hasil penelitian tentang perkembangan sistem saraf pada anak di daerah endemik GAKI, Ngantang, Jawa Timur, Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar TSH ibu hamil yang > 5 μU/ml akan memberikan dampak negatif pada perkembangan anak yang dilahirkannya (yaitu cerebral hypothyroidism).
Sementara hasil
penelitian Brown et al. (2003) menunjukkan ada pengaruh positif terhadap perbaikan profil darah orang sehat yang diberi suplemen Se organik (Se methionine : 50 μg/hari ) dan Se inorganik (Na2SeO3 : 50 μg/hari) selama 2 bulan sedangkan kelompok plasebo tidak. Adapun rata-rata peningkatan eritrosit sekitar 0.034 μg/ml (dengan Na2SeO3 : 50 μg/hari) dan 0.076 μg/ml (dengan Se methionine : 50 μg/hari) disamping itu juga terjadi peningkatan aktivitas ekstraseluler GPx dan sitosol GPx (cytosolic glutation peroxidase). Manifestasi dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium tingkat berat adalah kretin.
Berdasarkan hasil survey nasional GAKI (1998) diperkirakan
masih terdapat 9000 bayi lahir kretin per tahun di Indonesia. Meskipun angka ini relatif kecil namun penderita kretin memberikan dampat yang besar bagi kualitas SDM.
Penderita membebani keluarga dan masyarakat seumur hidupnya.
Berbagai faktor diduga sebagai penyebab terjadinya kretin. Selain kekurangan iodium, kekurangan zat gizi mikro lain dan faktor genetik diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kelainan tumbuh kembang pada anak.
Sampai saat ini,
penanganan masalah kretin belum dilakukan secara intensif mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2000). Namun perkembangan upaya penanggulangan masalah GAKI di negara berkembang dari laporan ACC/SCN (2001) menyebutkan bahwa suplemen yang memiliki biaya tinggi mulai dihentikan kecuali untuk penanganan GAKI di daerah endemik termasuk wilayah
pantai. Gambar 3 menunjukkan alternatif upaya penanggulangan GAKI yang sudah dilakukan di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Hasil penelitian Widardo (1998) menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten yang diberikan pada anak di daerah endemik GAKI ternyata mampu meningkatkan sintesa dan sekresi hormon tiroksin bebas (FT4) dari kelenjar thyroid, meningkatkan kadar EIU dan menghambat (menurunkan) sekresi hormon TSH oleh kelenjar hipofisa pada masa tumbuh cepat dibanding dengan pemberian suplemen iodium dosis tinggi. Selain itu tambahan beta karoten pada suplemen minyak iodium dosis rendah dapat meningkatkan kadar serum vitamin A dan memicu peningkatan hormon tiroksin (setelah 4 bulan penelitian).
Selanjutnya hormon tiroksin digunakan untuk
metabolisme dalam tubuh, pertumbuhan jaringan otak dan tulang. Oleh karena itu, anak yang mengalami defisiensi iodium dan selenium akan mengalami gangguan pertumbuhan tulang (menjadi pendek) dan gangguan perkembangan otak (menjadi bodoh). Hal yang sama juga terjadi pada ibu hamil dan ibu masa nifas yang diteliti oleh Lamid (2007).
perbaikan penduduk
S t r a t e g i P e n u r u n a n K e ja d ia n D e f is ie n s i G iz i M ik r o S u p p le m e n ta s i F o rtif ik a s i
Kretin ?
M akanan Tam bahan
Waktu tim e
Suplemen
Fortifikasi
Pemberian Makanan Tambahan
Gambar 3 Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang
Hasil penelitian Widodo (2000) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kejadian kretin baru pada anak usia sekolah (6-20 tahun) dengan masalah kekurangan Selenium, karena daerah endemik GAKI di kaki gungung Merapi dan
Merbabu termasuk daerah yang kekurangan selenium. Selanjutnya beberapa hipotesis hubungan sebab akibat antara defisiensi Se dan I yang telah terbukti melalui penelitian di berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 7. Table 7 Matriks Hipotesis yang Sudah Dibuktikan Hubungan Sebab Akibat antara Defiiensi Se & I VARIABEL 1 VARIABEL 2 Gondok Kadar Iodium Gondok Suplemen Selenium Gondok Suplemen Vitamin A dan selenium Gangguan Kadar Iodium pertumbuhan Kadar Iodium dalam Kekurangan Vitamin A plasma (KVA) Kadar Iodium dalam Kekurangan Selenium plasma Kadar Iodium dalam plasma
Goitrogenik
Kadar Iodium dalam plasma Kandungan Iodium
Suplemen Selenium
Kandungan selenium Kandungan Iodium
Lingkungan dengan kadar Iodium rendah Lingkungan dengan kadar Selenium rendah Air minum dengan kandungan iodium rendah
REFERENCES Hetzel, et al. (1990) Scultinc & Yulia (2000) Widardo, Scultinc, and Yulia (2000) Hetzel, et al. (1990) Widardo, Scultinc, and Yulia (2000) Ma, et al. (1993) Beckett, et al. (1993) Thilly, et al. (1993) Thilly, et al. (1993) Osman, et al. (1992) Rao (1995) Vanderpas, et al. (1993) Pharoah (1993) Koutras, et al. (1980) Rao (1995) Lahagu, et al. (1993) Osman et al. (1992)
Growth Spurt II pada Anak Sekolah Dasar Growth Spurt II merupakan masa pertumbuhan cepat dan unik karena adanya karakteristik pertumbuhan fisik (Tabel 8) dan perubahan komposisi tubuh yaitu: 1.
Kecepatan pertumbuhan fisik masa remaja adalah tercepat kedua kecepatan pertumbuhan pada masa bayi. Kira-kira 20 % tinggi badan dan 50 % berat badan dicapai pada masa remaja disebut ‘Growth Spurt’(Soetjiningsih, 1998) Perlu lebih banyak energi dan zat gizi mikro untuk mendukung pertumbuhan fisik yang optimal (James, 2001; Shils and Young, 1988)
2.
Pertumbuhan fisik remaja ditandai dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel dan kematangan sistem reproduksi.
Pertumbuhan fisik remaja umumnya
diiringi dengan penyempurnaan kematangan seksual dan epifise tulang (Wardlaw et al. 1992). 3.
Pada usia 10 tahun : 80 % tubuh terbentuk, dan 50 % bobot skeletal tercapai. Bobot skeletal meningkat sampai dekade ke-empat (6 % pada Perempuan)
Tabel 8 Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh pada Masa Growth Spurt II No. Pertumbuhan remaja Perempuan (P) Keterangan 1
Tinggi badan (9-10 th)
P = laki-laki (L)
Gizi baik dg TB >120 cm
2
Puncak kecepatan TB
9.0 cm /th
Laju TB 0.5 –0.75 cm /bln
3
Usia kecepatan TB
12.1 th
Ada faktor genetik & etnik
4
Berat badan (9-10 th)
P
Gizi baik dg BB: 20-25 kg
5
Puncak kecepatan BB
8.8 kg /th
Laju BB 0.5 – 0.73 kg /bln
6
Usia kecepatan BB
12.9 th
Ada faktor genetik & etnik
7
Peningkatan BB
P = 0.75 x L
7
kematangan seksual
P lebih cepat 2 th dari L
8
Pertumbuhan pubertas
Peningkatan lemak > L
9
Spurt pubertas
Peningkatan BB pd (P) yang kurus Di daerah endemik GAKI belum ada data Di daerah endemik GAKI belum ada data Di daerah endemik GAKI belum ada data
Usia 12.8 th Kisaran usia mens awal 1016 th 10 Cadangan lemak subP > L karena lemak untuk kutan menstruasi 17 % BB dan 22 % untuk mengatur siklus ovulasi 11 Bentuk /tanda awal Kematangan sex pubertas dg menstruasi tiap bulan Perubahan payudara Pertumbuhan rambut pubis Sumber : Modifikasi Shils and Young (1988); Soetjiningsih (2002)
Di daerah endemik GAKI belum ada data Sama untuk semua lingkungan (daerah endemik GAKI = daerah bukan endemik) (1998) dan Adiningsih
Adanya perubahan hormonal sebagai penyebab terjadinya perbedaan karakteristik remaja laki-laki dan perempuan, sehingga remaja perempuan lebih berisiko terhadap kretin dan gangguan kesehatan lainnya.
Hormon yang
berpengaruh pada tumbuh kembang remaja adalah ‘growth hormon’, thyroid,
hormon sex, insulin, IGFs (Insulin-like Growth Factors) dan hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal, antara lain : 1.
Somatotropin atau hormon pertumbuhan : merupakan pengatur utama pada pertumbuhan somatis terutama kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi hormon somatotropin.
Growth Hormon (GH) merangsang
terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan anak umur 10-14 tahun. GH mempunyai ‘circadian variation’ yang aktivitasnya meningkat pada malam hari waktu tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, dan perubahan kadar gula darah. 2.
Glukokortikoid : memiliki fungsi yang bertentangan dengan somatotropin dan hormon thyroid, serta androgen karena ‘kortison’ memiliki efek anti anabolik. Kalau kortison berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan terjadi osteoporosis.
3.
Insulin like Growth Factors (IGFs) : merupakan somatomedin yang kerjanya sebagai mediator GH dan kerjanya mirip dengan ‘insulin’ juga sebagai efek mitogenik terhadap kondrosit, dan osteoblas. IGFs terutama diproduksi oleh hati.
4.
Masa remaja terjadi perubahan hormonal rata-rata pada usia 10-16 tahun.
5.
Pertumbuhan hormon estrogen dan androgen di mulai saat pubertas. Hormon tersebut sangat berperan dalam perilaku sexual
6.
Perubahan hormonal di masa puber terjadi secara teratur, terintegrasi, yang diselaraskan oleh sistem syaraf pusat dan kelanjar endokrin. Kelenjar pituitari, yang terletak di dasar otak, berperanan penting. Kelenjar ini disebut master gland karena mensekresi hormon ke sistem aliran darah yang menstimulasi kelenjar lain untuk menghasilkan berbagai macam hormon. Pada masa puber, kelenjar pituitari meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan mentriger dua hormon gonadotropin, yaitu folliclestimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH). Pada perempuan FSH dan LH menstimulasi ovari untuk mengolah dan mensekresi hormon estrogen dan progesteron. Oleh karena itu masa puber sebagai suatu sistem prenatal yang menjadi aktif. Walaupun masa puber memiliki landasan secara
biologis, namun beberapa pengalaman remaja pada masa ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologisnya (Zanden, 1985). Peningkatan kebutuhan beberapa mineral dalam tubuh pada masa remaja (per hari) disesuaikan dengan daerah endemik GAKI dapat dilihat pada Tabel 9. Perbedaan karakteristik pertumbuhan remaja laki-laki dan perempuan berdampak terhadap kecukupan zat gizi. Seluruh perubahan pada masa remaja memberikan pengaruh yang besar pada
kebiasaan makan remaja. Adapun
kebutuhan gizi pada masa remaja menurut Martianto (2004) adalah : 1.
Beberapa vitamin yang penting selama masa remaja : - Vitamin A diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi dan proleferasi sel, reproduksi dan integritas sistem kekebalan (imunitas) - Vitamin D berperanan dalam memelihara homeostasis Ca dan P dalam pengerasan tulang - Vitamin C penting untuk sintesis collagen - Folacin penting untuk sintesis DNA - Vitamin B12 diperlukan untuk pertumbuhan sel yang cepat - Vitamin B6 penting pada masa pubertas (terutama laki-laki yang banyak memiliki massa otot). Vit. B6 berperan dalam pembentukan enzim yang terkait dengan metabolisme Nitrogen - Riboflavin, Niacin dan Thiamin penting untuk metabolisme energi yang diperlukan saat pubertas (Growth Spurt II)
2.
Masa remaja membutuhkan mineral yang cukup tinggi, terutama Ca, Fe dan Zn untuk pertumbuhan cepat : - Ca untuk memelihara peningkatan massa tulang - Fe untuk membantu perkembangan sel darah merah dan massa otot - Zn untuk pembentukan tulang baru dan jaringan otot
Tabel 9 Kebutuhan Zat Gizi (RDA) pada Puncak Growth Spurt II Modifikasi Hartono (2001), IOM (2001) dan Martianto (2004) Mineral/hari Jenis Rata-rata untuk Periode Pada Puncak kelamin usia 10-20 th Growth Spurt II Ca (mg/hari) L 210 400 P 110 240 Fe (mg/hari) L 10 30 P 18 50 Zn (mg/hari) L 15 30 P 15 30 Mg (mg/hari) L 40 280 P 40-55 280 L 280 400 Se (μg/hari) P 280 400 L 130 150 Iodium (μg/hari) P 100 150 Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar Banyak tes IQ
untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat
pengetahuan, daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan perasaan. Test IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata maupun budaya yang tidak dilakukan.
Namun biasanya untuk keperluan
akademik sehingga kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Banyak tipe tes IQ yang disesuaikan dengan umur anak, salah satunya dari The Wechsler tests yang digunakan untuk mengukur ‘individually administered IQ tests’ termasuk WISC-IV (umur 6-16 tahun), WAIS-III (umur 16-89 tahun), dan WPPSI-III (umur 2.5 - 7 tahun) dengan frequency of Wechsler IQ scores. Setelah pengamatan secara acak, ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor sehingga perlu diamati ulangan tes setiap minggunya karena dapat berubah antara 5-10 point. Untuk ukuran kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau mental tertentu Wechsler tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang sudah dapat dipastikan anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal yang buruk. Hal ini juga diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan ‘Block Design’ untuk mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar berwarna yang diambil untuk dipasangkan ke gambar design utamanya (WISC_IV
untuk anak umur 6-16 tahun). Model ini kemudian dikenal sebagai Modeled after Raven's Progressive Matrices atau Matrix Reasoning (WAIS-III) (Morris, 2006). Tabel 10 Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven (Morris, 2006) IQ
Diskripsi Lama
10
Idiot
Retardasi mental sangat berat
Kurang dari 1
25
Idiot
Retardasi Mental Berat
Kurang dari 1
40
Imbecile
Retardasi Mental Sedang
Kurang dari 3
55
Moron
Retardasi Mental Ringan
Kurang dari 13
Garis Batas
Kurang dari 15
Di bawah Rata-rata
Kurang dari 16
100
Rata-rata
50 - 60
115
Di Atas Rata-rata
61 - 84
125
Superior
85 - 95
Sangat Superior
95 - 98.5
Sangat Sangat Superior
98.5 - 100
70 85
130 145
Dull Normal
Jenius
Diskripsi Raven
Skor (100)
Selenium, Perkembangan Otak dan Hasil Tes IQ Sudah tiga dekade terakhir, selenium diteliti sebagai pemelihara dari perkembangan otak sebagai akibat dari defisiensi selenium.
Perubahan
kandungan selenium nampak jelas pada penderita Alzheimer dan tumor otak. Adapun jenis selenium yang paling berpengaruh adalah selenoprotein dan selenocystein yang mampu melindungi kerusakan lebih lanjut dari penyakit Parkinson. Selenoprotein juga telah dilaporkan aktif sebagai keberlangsungan sel saraf otak bersama-sama dengan 2 iodothyronine deiodenase (Chen and Berry, 2003). Perkembangan otak manusia sudah mulai berlangsung pada saat individu berada di dalam kandungan. Perkembangan otak ini tidak dapat dipisahkan dengan proses pertumbuhan yang berjalan secara bersamaan dan saling melengkapi. Otak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika sistem saraf berfungsi dengan baik serta pertumbuhan dari organ yang membangun sistem saraf juga telah terbentuk secara sempurna. Otak tersusun atas 3 bagian, yaitu : cerebrum (sisi sadar), cerebellum, dan medulla oblongata (dua bagian terakhir ini) merupakan bagian otak yang “tidak sadar“. Medulla oblongata merupakan bagian yang terdekat ke spinal cord, dan terlibat dalam pengaturan detak jantung, proses bernafas, pengaturan tekanan darah, pusat refleks rasa mual, batuk, bersin,
dan kembung. Hipotalamus mengatur homeostatis, dan memiliki daerah pengaturan untuk rasa haus, lapar, suhu tubuh, keseimbangan air dan tekanan darah dan menghubungkan sistem saraf dengan sistem endokrin. Midbrain (otak tengah) dan pons juga merupakan bagian otak yang tidak sadar (unconscious brain) dapat dilihat pada Gambar 4. Thalamus berperan sebagai titik relay pusat bagi pesan-pesan saraf yang masuk (Fox, 1993). Cerebellum (Gambar 5) merupakan bagian kedua terbesar penyusun otak, setelah cerebrum. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi otot dan memelihara tekanan normal otot dan postur. Bagian otak yang sadar mencakup lapisan-lapisan cerebral, yang dipisahkan oleh corpus callosum. Cerebrum mengatur intelegensi dan kemampuan menghafal, belajar dan mengingat. Selama masa perkembangan embrio, otak yang pertama terbentuk berupa tabung (tube), dan ujung bagian yang membesar menjadi tiga gelembung kosong yang akan membentuk otak, dan posterior yang akan berkembang menjadi spinal cord. Lobus occipital (Gambar 6) pada bagian belakang otak menerima dan memproses informasi visual. Lobus temporal menerima sinyal suara, memproses bahasa dan arti kata. Lobus parietal berhubungan dengan sensori korteks dan memproses informasi tentang sentuhan, rasa, tekanan, sakit, panas dan dingin. Lobus frontal melakukan tiga fungsi, yaitu (1) aktifitas motorik dan integrasi aktifitas otot, (2) berbicara, dan (3) proses berfikir (Fox, 1993). Kretin merupakan manifestasi GAKI yang sangat parah. Namun tanpa gejala adanya kekurangan iodium IQ anak di daerah GAKI lebih rendah setidaknya 10 poin dari rekannya di daerah non endemik GAKI. Sebagian besar manusia telah meneliti tentang area kemampuan berbahasa dan berbicara, dan diketahui bahwa area ini berada di bagian kiri hemispher otak. Keseluruhan bahasa ditemukan pada daerah Wernicke. Kemampuan berbicara pada daerah Broca. Kerusakan daerah Broca menyebabkan gangguan berbicara namun tidak pada kemampuan berbicara total. Kegagalan daerah Wernicke menyebabkan gangguan kemampuan menulis dan menyebutkan kata-kata, tetapi masih bisa berbicara. Bagian lainnya di dalam korteks berhubungan dengan kemampuan berfikir yang lebih besar, perencanaan, mengingat, personalitas dan aktivitas lainnya. Selain otak, sistem saraf juga dibangun oleh spinal cord. Spinal cord berada sepanjang sisi dorsal tubuh dan
menghubungkan otak ke seluruh tubuh. Bagian yang berwarna abu-abu mengandung sebagian besar sel-sel tubuh dan dendrit. Disekitar bagian yang berwarna putih dibangun oleh gulungan akson intraneural (tracts). Beberapa dari tracts ini ascending (membawa pesan ke otak) dan yang lainnya descendinens (membawa pesan dari otak). Spinal cord terlibat dalam aksi refleks yang tidak secara langsung melibatkan otak (Fox, 1993).
Gambar 4 Bagian-bagian Otak. Sumber:http://www.prs.k12.nj.us/schools/PHS/Science_Dept/APBio/pic/brain.gif.
Gambar 5 Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah (Purves et al. 2004)
Gambar 6 Bagian Utama Otak dan Lobus (Purves et al. 2004)
Fisiologi dan Perkembangan Otak Fox (1993) menjelaskan sistem saraf dibangun oleh dua sel utama, yaitu: a. Neuron, yang merupakan struktur dasar dan unit fungsional dari sistem saraf. Mereka mempunyai fungsi khusus dalam memberikan respon terhadap rangsangan fisik maupun kimia, melakukan impuls elektrokimia dan mengatur keluarnya bahan kimia tertentu. Melalui serangkaian aktifitas ini, neuron membangun fungsi terhadap stimulus sensori, kemampuan belajar, mengingat dan mengontrol otot dan kelenjar. Neuron tidak dapat dibelah melalui proses mitosis, sekalipun ada neuron yang dapat muncul lagi sebagai bagian terpisah atau bertunas dengan membentuk cabang baru dengan kondisi yang sama. Neuron
dikelompokkan
berdasarkan
struktur
dan
fungsinya.
Berdasarkan fungsinya, neuron dikelompokkan kepada kemampuan melakukan impuls. Sensori, atau afferent, neuron melakukan impuls dari penerima sensor ke sistem syaraf pusat. Motor, atau efferent melakukan impuls keluar dari sistem syaraf pusat menuju organ-organ yang akan menerima impuls (otot-otot dan kelenjar-kelenjar). Hubungan antarneuron atau disebut intraneuron,
terletak diseluruh sistem saraf pusat dan bertugas melayani hubungan tersebut, atau membentuk kesatuan, yang sekaligus melakukan fungsi sistem saraf. b. Neuroglia atau sel – sel glial, (glia =glue) merupakan sel penyokong dalam sistem saraf yang membantu fungsi neuron. Sel – sel glial ini jumlahnya mencapai lima kali jumlah neuron, dan sel ini juga mempunyai kemampuan mitosis yang terbatas (kanker dan tumor yang terjadi pada orang dewasa umumnya disusun oleh sel-sel glial). Makhluk hidup yang terdiri atas multisel harus mengawasi dan menjaga kondisi lingkungan internal yang konstan seperti mengawasi dan memberikan respon terhadap semua respon yang berasal dari lingkungan luar. Kedua fungsi ini dikoordinasi oleh dua sistem organ yaitu sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Perkembangan otak manusia terjadi sejak didalam kandungan. Pada masa awal periode perkembangan ini terjadi pertumbuhan sel-sel otak yang sangat cepat. Mulai usia kehamilan 3 minggu sampai bayi dilahirkan, otak berkembang cepat dan merupakan 13% dari berat badan bayi saat dilahirkan (Hurlock, 1988). Memang sudah diketahui bahwa perkembangan fisik otak merupakan prioritas utama. Meskipun demikian, perkembangan otak masih terus berlangsung selama beberapa bulan setelah kelahiran. Ukuran sel otak bertambah dan volumenya menjadi dua kali beratnya pada tahun pertama usianya. Pada anak usia dua tahun, jumlah jaringan saraf dan metabolisme di otak dua kali orang dewasa dan hal ini menetap sampai usia 0-11 tahun maka sejak dalam kandungan sampai usia mencapai 5 tahun sering disebut sebagai golden age. Otak janin yang tumbuh sangat cepat sejak minggu 10 – 18 usia kehamilan, menuntut sang ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam rentang waktu tersebut. Otak juga mengalami pertumbuhan yang cepat sampai usia 2 tahun. Malnutrisi pada masa periode pembentukan otak ini akan menimbulkan efek merugikan terhadap sistem syaraf dan tidak hanya memberikan pengaruh pada neuron, tapi juga terhadap sel sel glial yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pengaruh terhadap sel glial ini akan merubah perkembangan myelin terutama karena myelin ini akan terus menerus terbentuk disekitar akson pada awal kelahiran (Thompson Higher Edu, 2007).
Otak dapat diibaratkan sebagai mesin yang memerlukan bahan bakar agar fungsinya optimal. Faktor gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak dengan cara memodifikasi : (1) jumlah dan ukuran sel saraf, dan mengatur posisi saraf dalam sistem saraf pusat, (2) perkembangan dendrite, myelinasi akson dan jaringan synaps, (3) membentuk neurotransmitter (Gambar 7) EPA dan DHA merupakan pembangun sebagian besar korteks cerebral otak (bagian yang digunakan untuk berfikir) dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan normal otak.
Neurotransmitter dapat diartikan sebagai molekul
yang bertugas sebagai pengantar pesan di dalam otak. Otak membutuhkan zat gizi khusus (selenium) untuk fungsi neurotransmitter ini. Otak tidak mampu menyimpan glikogen atau lemak yang bisa dirombak jika otak kekurangan zat gizi. Otak juga tidak mampu menyimpan oksigen untuk mengoksidasi bahan bakar ataupun zat gizi. Karena itu otak benar-benar tergantung pada suplai darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen maupun zat gizi yang diangkut darah. Sehingga otak sehat akan tampak penuh sel dengan warna yang jelas dibandingkan dengan otak yang kurang sehat (Gambar 8). Rangsangan sensori ibarat zat gizi yang penting untuk pertumbuhan normal, perkembangan dan berfungsinya otak, sehingga kekurangan sensori ini selama periode pembentukan otak dapat menyebabkan perkembangan otak menjadi tidak normal baik struktur maupun fungsinya (kemampuan neurochemical maupun neuroelectrical). Kekurangan sensori menyebabkan rangsangan emosional terhadap sentuhan, gerakan, penciuman terhambat dan berpengaruh terhadap ikatan (bonding) ibu anak (Chavetz, 1990).
Gambar 7 Synaps (Purves et al. 2004)
Kretin
Orang Sehat
Gambar 8 Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat (Cassels & Lie, 2006)
Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro Darah adalah cairan merah yang tidak tembus cahaya, juga merupakan suatu organ yang unik, berupa suatu cairan yang bersentuhan dengan hampir seluruh jaringan tubuh lain. Sel darah tidak mempunyai sifat kohesif dan berada di dalam medium cairan darah – yaitu plasma. Sel darah terdiri atas eritrosit tanpa inti dan trombosit serta sel yang berinti yaitu leukosit. Fungsi darah adalah : 1.
Transpor oksigen, karbondioksida, dari dan ke paru-paru, zat-zat gizi, dan zat-zat hasil metabolisme.
2.
Pengatur lingkungan pH dan temperatur.
3.
Mencegah pendarahan trombosit dan faktor-faktor pembekuan.
4.
Pertahanan tubuh fagositosis dan imunoglobulin.
Selanjutnya Underwood (2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki fungsi dan peran yang sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai habis maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik. Adapun fungsi dan peran setiap komponen darah adalah : 1. Hematokrit
Bagian dari sel darah dari keseluruhan volume darah (%).
2. Plasma
Merupakan darah padat yang terdiri dari sel-sel darah.
Bagian darah yang cair terdiri dari 9-90 % air, 6,5-8% protein. 3. Plasma albumin
60% dari plasma sebagai albumin
transpor bagi bilirubin, urobilin, asam amino, dan lemak.
berfungsi sebagai
4. Hemoglobin
Zat warna dari butir darah merah terdiri dari globin
(protein) dan haem (struktur yang mengandung Fe). 5. Plasma globumin α1, α2, β, dan γ globulin. Pemeriksaan kuantitatif sel darah adalah penting. Pada laboratorium yang modern, secara rutin dilakukan dengan menggunakan alat penghitung sel yang automatis. Dengan alat ini, ukuran dan konsentrasi eritrosit, dan leukosit serta konsentrasi trombosit dihitung, hemoglobin secara automatis dihitung. Juga, proporsi dari leukosit untuk setiap jenis – perbedaan jenis leukosit dihitung dari ukuran sel dan kandungan granula www.current.med.com (2002) Eritrosit (Sel Darah Merah) Eritrosit (sel darah merah) dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid dengan protein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis (Underwood, 2002). Metabolisme eritrosit terjadi dengan siklus mulai hemoglobin kemudian verdoglobin, biliverdin, dan bilirubin (terikat pada albumin). Sebagian urobilinogen masuk peredaran darah besar ke ginjal. Bagian-bagian yang penting dari eritrosit adalah hemoglobin, membran sel (untuk menentukan golongan darah), antigenitas dari golongan darah, fermen untuk aerobik dan oksidasi anaerobik yang biasanya tinggi pada anak yang tinggal di daerah pegunungan. Kadar Hb dan eritrosit pada anak pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Kadar Haemoglobin Normal pada Anak (Underwood, 2002) Usia
1 th
2 th
4 th
8 th
12 th
Hb (gr per dl)
12.1
12.4
12.7
13.6
14.2
Eritrosit (x 1012 per l)
5.0
4.8
4.6
4.7
4.8
Leukosit (Sel Darah Putih) Sel darah putih, mempunyai inti sel, tidak mengandung hemoglobin, terdiri dari granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), limfosit, dan monosit. Semua leukosit dapat bergerak amuboid (seperti Amoeba) dan dapat mencaplok benda asing (misalnya bakteri). Angka rata-rata dari leukosit dan angka turunan /diferensial pada anak-anak dapat dilihat pada Tabel 12. Sel-sel darah putih dibentuk sebagian dalam sumsum tulang (granulosit, monosit, dan limfosit) dan sebagian dalam jaringan limfa (limfosit dan sel-sel plasma). Orang dewasa memiliki kira-kira 7.000 sel darah putih per mililiter kubik darah, terdiri dari 62% neutrofil, 2,3% eosinofil, 0,4% basofil, 5,3% monosit, dan 30,3% limfosit. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membentuk sel-sel darah putih adalah vitamin dan asam amino seperti halnya sel-sel lainnya. Sesudah dibentuk, sel-sel tersebut ditranspor dalam darah ke berbagai bagian tubuh. Masa hidup tiap sel berbeda, granulosit sekitar 12 jam, monosit sulit dinilai (karena selalu mengembara), tetapi bisa beberapa minggu atau bulan, limfosit dapat berumur 110 – 300 hari (Irianto dan Waluyo, 2004). Tabel 12 Angka Rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan /Diferensial pada Anak www.current.med.com (2002) Darah Usia 1-2 th 2-6 th 6-12 th Leukosit x 10 g/l
6.0 – 17.5
6.0 - 17
4.5 – 14.5
Neutrofil granulosi (%)
1.9 – 8.0
50 - 70
Limfosit (%)
0.9 – 5.2
25 - 40
Monosit (%)
0.2 – 1.0
2.0 – 8.0
Eusiofil (%)
0.0 – 0.8
2.0 – 4.0
Basofil (%)
0.0 – 0.2
0.0 – 1.0
Secara umum, manfaat sel darah putih adalah untuk membantu pertahanan tubuh terhadap infeksi yang masuk, karena selain mampu bergerak amuboid juga bersifat fagositosis (memangsa). Sel-sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi misalnya limfosit yang mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik (bakteri, virus) dan toksin. Limfosit ada dua jenis, yaitu T-limfosit dan B-limfosit. Perbedaan antara T-limfosit dan B-limfosit adalah tempat pematangannya. B-limfosit mengalami pematangan di sumsum tulang, sedang T-limfosit mengalami pematangan di timus. Neutrofil dan monosit juga berfungsi fagositosis. Satu neutrofil mampu memfagosit 5 – 20 bakteri. Monosit yang keluar dari sumsum tulang dan masuk ke darah merupakan sel imatur (belum masak), sesudah beberapa jam, monosit akan menjadi makrofag (sel raksasa) yang mampu memfagosit 100 bakteri. Selain sel darah putih, sekelompok sel yang tersebar luas di seluruh jaringan dan membatasi beberapa pembuluh darah dan limfa juga membantu melindungi tubuh terhadap benda asing yang masuk. Sistem ini disebut sistem retikuloendotelial (Tierny et al. 2003). Patofisiologi Anemia Anak-anak disebut anemia bila Hb dan eritrosit turun sampai kurang dari 11 g /dl atau hematokrit kurang 33%. Beberapa penyebab dan jenis anemia yaitu: 1. Anemia disebabkan kekurangan zat besi (Fe) a. Gejalanya : luka di sudut mulut atau bibir. Kuku menjadi rapuh dan datar. b. Penyebabnya : makanan yang tidak cukup mengandung Fe. Fe tidak cukup diresorpsi. Terjadi perdarahan, infeksi dan darahnya hancur. 2. Anemia megaloblastik a. Simptom /Gejala : Pucat, ikterus di sklera (akibat hemolisis), rasa panas di lidah (akibat atropimukosa), rasa kesemutan, dan gangguan psikosis. b. Penyebabnya : kekurangan makanan yang mengandung vitamin B12, tidak adanya faktor intrinsik, gangguan resorpsi di usus halus, dan penyakit cacing. c. Gambaran darah : Megaloblastik eritropuetik, megalokariosit (MCV dan MCH naik) leukopeni, granulositopeni, dan trombopeni.
d. Penyebab kekurangan asam folat Tidak cukup dalam makanan, gangguan resorpsi di usus, obat-obatan, adanya senyawa antagonis dari asam folat (misal: aminopterin, ametopterin, daraprin). Pada kasus anemia megaloblastik ditunjukkan peranan penting vitamin B12 dan asam folat di dalam proses eritropoesis karena eritroblas memerlukan kedua vitamin tersebut untuk proliferasi selama proses diferensiasi sel. Defisit vitamin B12 dan folat menghambat sintesa DNA akibatnya sel darah merah tidak matang dan mati lebih awal (eritroblas apoptosis) maka terjadilah anemia makrositik (Koury dan Ponka, 2004). Di daerah endemik GAKI hal ini terjadi seiring dengan kejadian defisiensi iodium dan selenium.
Hal ini diduga sebagai penyebab meningkatnya
kejadian gangguan autoimun sehingga penderita mengalami pernicious anemia (Allen, 2004). Prevalensi jenis anemia makrositik di negara-negara Amerika Latin cukup tinggi yaitu 40-50 % (Allen & Casterline Sabel, 2001). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa GAKI dan spektrum kretin endemik disebabkan oleh defisiensi beberapa zat gizi yang terkait seperti iodium, selenium, besi, seng dan beberapa vitamin. Hampir semua zat gizi tersebut berperan dalam eritropoiesis (WHO/UNICEF, 2004). 3. Anemia hemolitik Masa hidup eritrosit turun, selama eritrosit yang lisis bisa digantikan, maka tidak terjadi anemia. a. Akibat lisis dari eritrosit Bilirubin, total bilirubin naik. Fe dalam serum naik. Pengeluaran sterkobinilogen di feses naik. Pengeluaran urobilin di urin naik. b. Penyebab anemia hemolitik 1). Pengaruh bentuk sel : sprositoris, ovalositosis, dan sel sakit. 2). Hemoglobinopati • Talasemia : diturunkan secara otonomal (talasemia mayor dan talasemia minor).
Ada dua macam α dan β talasemia. Fetal
hemoglobin = Hb F = α2 γ2 . Adult hemoglobin = Hb A = α2 γ2 α talasemia = Rantai α dari hemoglobin terganggu. β talasemia. = Rantai β dari hemoglobin terganggu.
Simptom : Hepatosplenomegali + Anemia • Enzimatopi. 3) Pengaruh dari luar sel (a) Toksis hemolisis (b) Hemolisis – Usemik – Sindrom (c) Mekanis hemolitik → pada kelainan klep jantung (d) Imun hemolitis (e) Infeksi. 4. Leukemia Penyakit sel darah putih (leukosit) yang mengalami pembelahan secara berulang-ulang. Penyakit ini semacam kanker yang menyerang sel-sel darah putih. Akibatnya fungsi sel darah putih terganggu, bahkan sel-sel darah merah dapat terdesak karena pertumbuhan sel darah putih yang berlebihan sehingga sel darah merah menurun (Underwood, 2002). Pada anak yang menderita gangguan akibat kurang iodium (GAKI) biasanya dibarengi dengan kekurangan zat gizi mikro lain seperti zat besi, sehingga anak yang tinggal di daerah endemik GAKI juga akan menderita anemia. Namun karena daerah endemik GAKI umumnya di daerah yang tinggi sehingga faktor VO2max juga tinggi maka kadar haemoglobin (Hb) darah anak di daerah tersebut juga tinggi.
Hasil penelitian di Skotlandia menunjukkan
bahwa hasil suplemen selenium organik dan inorganik selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah (eritrosit dan leukosit) penduduk yang menderita anemia di daerah endemik GAKI (Brown et al. 2003). Menurut Small (2004) proses terjadinya defisiensi besi merupakan dasar tahapan : a. defisiensi besi prelaten Hilangnya besi melebihi asupan besi, sehingga terjadi keseimbangan besi negatif dan penurunan cadangan besi. Saat cadangan besi menurun terjadi kompensasi dengan peningkatan absorbsi besi dari makanan. Deteksi keadaan ini dilakukan pengukuran feritin serum. b. defisiensi besi laten
Keadaan ini terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal. Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten. Parameter yang lain yaitu peningkatan Total IronBinding Capacity (TIBC) dan Mean Corpuscular Volume (MCV) biasanya dalam batas normal. c. anemia defisiensi besi Anemia defisiensi besi terjadi bila konsentrasi hemoglobin menurun sampai dibawah nilai normal. Dikatakan oleh Frewin, et al. (1997) bahwa tahapan terjadinya defisiensi besi pada anak di daerah endemik GAKI umumnya seiring dengan defisiensizat gizimikro lainnya. Profil darah anak di daerah endemik GAKI menjadi akurat bila dinilai dengan menggunakan pemeriksaan hematologi dan biokimia. Biasanya anak yang tinggal di daerah endemik GAKI memiliki konsentrasi Hb normal tetapi banyak ditemukan anak yang menderita anemia mikrositik hiperkromik (sel darah merah dengan ukuran lebih kecil dan mengandung banyak Hb). Selenium, Fungsi dan Sumber Selenium (Se) menjadi perhatian para ilmuwan sejak tahun 1930-an, pada saat terjadi keracunan pada ternak akibat mengkonsumsi tanaman yang tumbuh di wilayah yang kandungan selenium tanahnya tinggi. Kegunaan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979 oleh ilmuwan China
yang
melaporkan
bahwa
suplemen
selenium
dapat
mencegah
perkembangan penyakit Keshan yaitu suatu penyakit Cardiomyopathy pada anakanak yang tinggal di wilayah yang memiliki kandungan selenium rendah. Meskipun demikian, pada penyakit ini diduga ada komponen-komponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya (WHO, 1996). Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial dalam jumlah yang sedikit, dan dapat menjadi racun dalam jumlah yang banyak. Selenium berasal
dari bahasa Yunani selena yang berarti bulan. Selenium bukan logam, terdapat dalam beberapa bagian proses oksidasi seperti Se2+, Se4+ dan Se6+ . Secara kimia selenium seperti sulfur, sehingga selenium dapat mensubstitusi sulfur dalam asam amino seperti methionine, cysteine dan cystine (Brody, 1999). Kandungan selenium dalam bahan makanan sangat tergantung dari konsentrasi kandungan selenium dalam tanah. Karena terdapat perbedaan konsentrasi kandungan selenium dalam tanah, maka daftar tabel kandungan selenium dalam makanan dibuat berdasarkan perkiraan secara umum. Produk hewani (khususnya daging) lebih banyak mengandung selenium dibandingkan tumbuh-tumbuhan. Makanan laut juga merupakan sumber selenium yang baik, meskipun bioavabilitas selenium akan menjadi rendah bila ikan sebagai makanan laut terkontaminasi mercury karena selenium yang berikatan dengan mercury akan menjadi bentuk yang tidak dapat diserap (Stipanuk, 2000). Menurut Linder (1992) selenium dalam bahan makanan terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. Pada umumnya selenium dalam bahan makanan terdapat
dalam
bentuk
organik,
yaitu
Selenomethionine,
Selenocystine,
Selenocysteine dan Se-Methyl Selenomethionine. Selanjutnya Brown et al.(2003) mengemukakan bahwa bentuk inorganik selenium diantaranya selenite (H2SeO3) dan selenate (H2SeO4). Bentuk inorganik selenium dapat ditemukan pada beberapa sayuran. Pada beberapa bagian dunia, kandungan selenium dalam makanan pokok rendah, tetapi dapat dilengkapi dari makanan yang berasal dari hewan yang kaya akan sodium selenite (Na2SeO3). Selenium memiliki fungsi fisiologis yang berhubungan dengan fungsi vitamin E yaitu memelihara struktur dan fungsi otot, antioksidan, anti karsinogen. Selenium berperan sebagai komponen enzim glutation peroksidase. Selenium bersama-sama vitamin E berperan sebagai katalase dan superoksida dismutase yang merupakan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh. Glutation berfungsi menyediakan proton H untuk mengkonversi hidrogen peroksida menjadi air dengan bantuan enzim glutation peroksidase. Selenium berpengaruh terhadap metabolisme dan toksisitas berbagai jenis obat dan zat kimia serta berperan dalam melawan toksisitas perak, kadmium dan merkurium (WHO, 1996).
Clark et al. (1996) mengemukakan bahwa Selenium dapat meningkatkan fungsi imun pada ternak, memperbesar neuropsikologis pada manusia dan memperbaiki kondisi penyakit spesifik pada manusia. Selanjutnya dari segi kesehatan beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mineral Se untuk melihat total insiden penyakit kanker dengan pengurangan secara spesifik dari risiko kanker paru-paru, prostat dan colorectal. Penelitian di Amerika terhadap 1300 laki-laki dewasa dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 200 μg/hari akan menurunkan risiko terkena kanker prostat karena rendahnya prostate-specific antigen (PSA). Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang dikemukakan Arthur ( 1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) menunjukkan bahwa kekurangan iodium bukanlah satu-satunya penyebab GAKI di Kabupaten Pasuruan, tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan, terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase mengandung selenium, yang mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3). Sumber makanan yang kaya akan selenium adalah daging dan seafood (Tabel 13). Secara umum kandungan selenium pada tumbuhan tergantung kandungan selenium dalam tanah. Contohnya kacang brazil yang tumbuh di Brazil dengan kandungan selenium dalam tanah tinggi menyebabkan kandungan selenium pada kacang lebih 100 μg/buah, ketika kacang ditanam pada area yang rendah kadar selenium tanahnya menyebabkan kandungan selenium kacang menurun sekitar 10 kalinya. Di Amerika gandum merupakan sumber selenium, tetapi buah dan sayur relatif lebih rendah kadar seleniumnya.
Tabel 13 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan (Whanger, Linus Pauling Institute ;2003) Bahan Makanan Kacang Brazil (dari tanah yang tinggi kandungan seleniumnya) Udang Rajungan (Crab meat) Ikan Salmon Mie yang diperkaya dg Se (matang) Nasi, roti tawar coklat Daging ayam Daging babi (Pork) Daging sapi (Beef) Roti (tepung gandum) Susu
Ukuran Porsi
Selenium (μg)
10 gr
839
30 gr 30 gr 30 gr 1 mangkok 1 mangkok 30 gr 30 gr 30 gr 2 lembar (slices) 80 gr (1 gelas)
34 40 40 35 19 20 33 17 15 5
Kecukupan Selenium Kebutuhan selenium untuk manusia tidak sama satu dengan yang lainnya karena dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, daya adaptasi dan kondisi fisiologis. Orang Amerika pada umumnya membutuhkan 54 μg Se/hari untuk menggantikan kehilangan dalam urine dan feses, bahkan ada yang menemukan 80 μg /hari untuk keseimbangan positif. Perbedaan energi kinetik Se mungkin dipengaruhi daya adaptasi yang berbeda baik antar penduduk dari wilayah kekurangan Se maupun antara wilayah yang kekurangan Se dan cukup Se (Luo et al. 1985). Rekomendasi National Research Council (1980) menentukan perkiraan kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang per hari sebanyak 50μg sampai 200μg. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia. Tahun 1989 RDA untuk selenium dikoreksi dengan memperhitungkan berat badan menjadi 70 μg untuk laki-laki dan 55 μg untuk wanita. Namun hal ini telah dikoreksi lagi oleh Institute of Medicine ( IOM, 2000) menjadi kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang (laki dan perempuan sama) sebanyak 55 μg/hari sampai 280 μg/hari. Angka kecukupan untuk orang Indonesia ditentukan dengan mengacu pada angka kecukupan orang Amerika. Kebutuhan orang dewasa di Amerika Serikat sebanyak 70 μg/hari untuk laki-laki dewasa dan 55 μg /hari untuk perempuan
dewasa. Karena berat badan orang Indonesia lebih rendah diperkirakan kebutuhannya sekitar 60 μg untuk laki-laki dewasa dan 50 μg untuk perempuan dewasa (WKNPG, 2004). Angka kecukupan yang dianjurkan oleh Food and Nutrition Board (FNB) berdasarkan kecukupan selenium untuk memaksimalkan aktivitas enzim gluthation peroxidase sebagai antioksidan dalam plasma seperti yang tercantum pada Tabel 14. Di Cina asupan selenium sekitar 10 μg sampai 15 μg /hari menyebabkan penyakit Keshan. Penyakit Keshan ternyata dapat dicegah dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 50 μg /hari. Sedangkan di Kroatia (Marijana Matek, 2000) asupan selenium sekitar 33 μg /hari hal ini menunjukkan asupan selenium dalam diet sehari-hari untuk kelompok wanita yang diobservasi pada daerah Zagreb di Kroatia lebih rendah dari mayoritas orang negara-negara Eropa, dan lebih rendah dari nilai yang direkomendasikan oleh WHO (2001). Tabel 14 Angka Kecukupan Yang Dianjurkan Untuk Selenium (Whanger, Linus Pauling Institute ;2003) Life Stage
Umur
Pria (μg/hari)
Wanita (μg/hari)
Bayi baru lahir
0-6 bulan
15
15
Bayi
7-12 bulan
20
20
Anak Batita
1-3 tahun
20
20
Anak dini usia
4-8 tahun
30
30
Anak
9-13 tahun
40
40
Remaja
14-18 tahun
55
55
Dewasa
> 19 tahun
55
55
Ibu hamil Semua umur
-
60
Ibu menyusui Semua umur
-
70
Hamil Menyusui
Para ilmuwan Cina berpendapat bahwa batas minimun kebutuhan selenium sebanyak 40 μg/hari, hampir mendekati dengan yang direkomendasikan sebanyak 55 μg /hari untuk aktivitas glutation peroksidase. Asupan dibawah 11 μg/hari dipastikan akan menyebabkan penyakit akibat kekurangan selenium. Dosis keracunan selenium (selenosis) diperkirakan konsumsi lebih dari 900 μg
/hari atau kandungan dalam plasma sebesar 100 μg/dL (lebih 12.7 μmol/L). Level aman maksimal asupan selenium dalam diet diperhitungkan sebesar 800 μg/hari, tapi dapat lebih rendah pada beberapa individu yaitu sebanyak 600 μg/hari. Oleh karena itu ditentukan uptake level untuk selenium sebanyak 400 μg/hari, untuk melindungi individu yang lebih sensitive terhadap selenium. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan selenium sebanyak 724 μg pada orang dewasa masih pada level aman (Whanger, 2003) Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium Kepentingan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979, pada saat ilmuwan China melaporkan bahwa suplemen selenium dapat mencegah perkembangan penyakit Keshan, yaitu suatu penyakit kardiomiopati atau degenerasi otot jantung yang terutama terlihat pada anak-anak dan perempuan dewasa (Keshan adalah sebuah provinsi di Cina). Sedangkan penyakit Keshan-Beck menyerang anak remaja yang menyebabkan rasa kaku, pembengkakan dan rasa sakit pada sendi jari-jari yang diikuti oleh osteoartritis secara umum, yang terutama dirasakan pada siku, lutut dan pergelangan kaki. Meskipun demikian, penyakit ini diduga ada komponenkomponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya. Menurut Rodrigo et al. (2003) perkembangan penyakit Keshan-Beck dapat dicegah serta dikurangi gejalanya dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 100 μg /hari. Kekurangan selenium pada manusia karena makanan yang dikonsumsi belum banyak diketahui. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapat makanan parenteral total yang pada umumnya tidak mengandung selenium menunjukkan aktivitas glutation peroksidase rendah dan kadar selenium dalam plasma serta sel darah merah yang rendah. Beberapa pasien menjadi lemah, sakit pada otot-otot dan terjadi kardiomiopati serta pada pasien kanker kadar seleniumnya
rendah.
Orang-orang
yang
mempunyai
masalah
dengan
gastrointestinal seperti Crohn’s disease, merupakan faktor risiko mengalami defisiensi selenium karena terganggunya proses penyerapan. Khususnya
tatalaksana diet di rumah sakit yang dilakukan pada penderita phenylketonuria (PKU) dapat menyebabkan rendahnya selenium dalam diet. Endemik defisiensi Se dapat terjadi karena bahan makanan di daerah tertentu kekurangan selenium yang disebabkan biosfirnya sangat bervariasi. Kenyataan bahwa tidak setiap orang di daerah kekurangan selenium terkena penyakit defisiensi Se. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi manusia berlainan satu sama lainnya dan kemungkinan disebabkan faktor genetik (Faisal, 1998). Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan Finlandia yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30 μg
- 50 μg /hari,
dibandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 μg – 250 μg /hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal di negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah
dan
jenis
makanan
yang
dikonsumsi.
Anak
yang
menderita
phenylketonuria dan Maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (The Lancet / Internet: MedScape 15 Juli 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. (2000) pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito mengungkapkan bahwa wanita yang mengalami keguguran pada trimester pertama masa kehamilan mempunyai kadar selenium dibawah normal dan diatas kadar normal. Hasil penelitian tentang berbagai akibat yang disebabkan oleh defisiensi selenium, yaitu kelainan kardiovaskuler, kardiomiopati endemik, penyakit jantung koroner, kanker saluran cerna, kanker hematologis, limfa dan endrokrin. Penelitian berdasarkan keadaan geografi menunjukkan kecenderungan bahwa populasi yang hidup didaerah rendah kadar selenium dalam tanah dan relative rendah asupan selenium dalam makanan mempunyai angka kematian
yang tinggi akibat kanker. Hasil studi epidemiologi kejadian kanker karena asupan selenium yang rendah bukan suatu yang pasti, tetapi mempunyai kecenderungan kejadian kanker pada individu dengan kadar selenium rendah pada darah dan kuku. Bagaimanapun, kecenderungan ini kurang nyata pada wanita. Contohnya, penelitian secara prospektif pada lebih dari 60.000 perawat di Amerika ditemukan tidak berhubungan antara kadar selenium dalam kuku dan total risiko kanker. Penelitian pada laki-laki Taiwan yang terinfeksi hepatitis B atau C, konsentrasi selenium dalam plasma menurun dan mempunyai hubungan lebih besar dengan risiko kanker hati. Rendahnya kadar selenium berhubungan pula
dengan risiko kejadian kanker dan berhubungan secara nyata dengan
perokok (Whanger, 2003). Kelebihan asupan selenium akan menyebabkan keracunan. Efek keracunan selenium ditandai dengan kerontokan rambut dan perubahan morfologi kuku. Pada beberapa kasus, ditemukan juga lesi pada kulit dan abnormalitas sistem syaraf. Meskipun demikian, mekanisme biokimia efek keracunan selenium ini masih belum jelas (WHO, 1996). Apabila takarannya melebihi 3-5 kali lebih besar dari yang direkomendasikan oleh RDA maka akan mengakibatkan keracunan Se dalam tubuh (Clement, 1998). Tercatat ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengantisipasi risiko keracunan mineral Selenium. Lisk et al. (1995) melaporkan, bahwa dengan mengkonsumsi bawang putih dapat mencegah defisiensi ataupun keracunan mineral Se. Akan tetapi konsumsi bawang putih dibatasi oleh kesukaan pribadi dan kondisi sosial. Oleh sebab itu dianggap kurang efektif, sehingga Finley et al. (2001) melakukan percobaan pada tikus dengan menggunakan brokoli yang memiliki kandungan selenium cukup tinggi, dimana hasilnya membuktikan bahwa dengan mengkonsumsi brokoli tinggi Se maka dapat mencegah terjadinya kanker kolon pada tikus. Kemudian konsumsi brokoli tinggi Se dapat direkomendasikan untuk menghambat terjadinya kanker. Akan tetapi permasalahan baru bahwa dampak mengkonsumsi makanan yang berasal dari spesies Bressica seperti brokoli, kol dan sejenisnya, dapat menimbulkan penyakit goiter (gondok) pada manusia. Goiter ini disebabkan karena adanya zat goitrogenik yang mempengaruhi kelenjar thyroid melalui beberapa cara, yaitu menghambat konversi iodida menjadi iodium, menghambat proses iodonisasi
asam amino tirosin dari mono-iodotirosine, menghambat penggabungan dua molekul di-iodotirosine membentuk tyroxin. Penyerapan Selenium organik dan inorganik Bentuk organik selenium lebih siap diserap dibandingkan bentuk inorganik, demikian pula selenium yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan pada umumnya lebih mudah digunakan tubuh daripada selenium dari hewan. Tetapi ada pula para ahli yang menyatakan bahwa penyerapan bentuk organik selenium sama efisiennya dengan bentuk inorganik, meskipun dalam tingkat yang berbeda. Bentuk utama selenium dalam tubuh adalah selenomethionine dan selenocysteine. Makanan yang berasal dari nabati memiliki kandungan selenium tinggi khususnya dalam bentuk selenomethionine, dibandingkan yang berasal dari hewan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewan bentuk seleniumnya bervariasi, diantaranya sulfide dan selenide, selenocysteine dan selenomethionine (Stipanuk, 2000). Tempat penyerapan selenium di usus halus, terutama duodenum, namun tidak terjadi penyerapan selenium di lambung dan sangat sedikit penyerapan terjadi di jejunum dan ileum. Selenomethionine diserap seluruhnya di dalam duodenum. Bentuk selenium yang lainnya pada umumnya diserap dengan baik juga. Penyerapan selenium mempunyai variasi rentang yang cukup luas yaitu 50 – 100%. Penyerapan selenium tidak efektif untuk menunjukkan status selenium tubuh. Penyerapan selenium pada akhirnya berhubungan dengan faktor penghambat zat gizi atau pendukung penyerapan. Vitamins A, C, dan E bersamasama dengan glutathione meningkatkan penyerapan selenium dan sebaliknya logam berat seperti merkuri menurunkan penyerapan lewat pengendapan dan chelation (Bender, 2002) Berdasarkan keseimbangan dan kestabilan isotop selenium dapat ditunjukkan bahwa bentuk selenomethionine lebih efektif penyerapannya dibandingkan
selenite.
Selenoamino
acid
diserap
sekitar
50%-80%,
selenomethionine lebih baik penyerapannya dibandingkan selenocysteine. Selenite penyerapannya bervariasi antara 44 % - 70 %. Selenate lebih banyak penyerapanya daripada selenite (Elson, 2003).
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium Mekanisme traspor selenium masih belum jelas dan masih merupakan bahan diskusi. Ada yang berpendapat bahwa selenium masuk kedalam sel darah merah lewat sistem difusi (diffusion) dan pembawa (carried). Bentuk inorganik selenium melewati brush border dengan cara transpor pasif, sedangkan bentuk organik selenium (selemethionine dan juga selenocysteine) secara transport aktif. Selenium setelah diserap dari usus akan mengikuti transpor protein untuk diangkut melalui darah ke hati dan jaringan lainnya. Didalam darah manusia, selenium berikatan dengan sulfihydryl groups dalam α dan β globulins. Khususnya, lipoprotein seperti VLDL (α-2 globulin) dan LDL (aβ globulin). Selenocystine yang terkandung dalam plasma protein disebut selenoprotein. Hasil isolasi dari tikus sepertinya selenoprotein berfungsi bagi transpor selenium dan kemungkinan sebagai simpanan protein. Mekanisme bagaimana selenium melepaskan diri dari transpot plasma protein masih belum diketahui. Jaringan yang relatif mengandung konsentrasi selenium yang tinggi adalah ginjal, hati, jantung, pankreas dan otot. Paru-paru, otak, tulang dan sel darah merah juga mengandung selenium. Total kandungan selenium dalam tubuh bervariasi antara 3 - 15 mg tergantung asupan dalam diet. Di dalam jaringan tubuh seperti hati, selenomethionin akan menjadi : (1) Cadangan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino (2) Dipergunakan untuk sintesis protein ketika asam amino methionine digunakan. (3) Di-katabolisme menjadi Se-adenocysteine (SeAM) dan akhirnya menjadi selenocysteine dan selenocystine. Selenomethionine bergabung dengan protein dalam metionin
dengan
bentuk acylates Met-tRNA, atau melalui mekanisme trans-sulfuration menjadi selenocysteine, kemudian dengan bantuan enzim -lyase diubah menjadi hydrogen selenide (H2Se). Sebaliknya, selenite menjadi H2Se lewat selenodiglutathione dan glutathione selenopersulfide. Hydrogen selenide pada umumnya sebagai prekusor untuk ketersediaan selenium dalam bentuk aktif yaitu dalam bentuk selenoprotein.
Selanjutnya metabolisme H2Se melalui proses methylasi S-adenosylmethionine menjadi methylselenol, dimethylselenide dan trimethyl-selenonium ion. Untuk menjaga keseimbangan selenium didalam tubuh dilakukan dengan cara mengeluarkan selenium dari tubuh. Ekskresi Se melalui tiga jalan utama yaitu paru-paru, sistem pengeluaran urin 50% - 60% atau 45 μg, lewat feses sebesar 40% - 50%, dan sisanya lewat paru-paru dan kulit. Asupan selenium yang tinggi dikeluarkan lewat paru-paru dalam bentuk dimethylselenide. Pengeluaran selenium melalui paru-paru akan menghasilkan bau bawang putih dari bagian selenium yang menguap. Pengeluaran Se dalam bentuk feses bukan merupakan jalur yang utama. Pengeluaran Se yang utama dalam keadaan fisiologis normal melalui sistim urine. Status Selenium Konsentrasi selenium dalam eritrosit, serum, plasma, urine atau rambut dapat digunakan untuk menduga status selenium pada manusia. Kandungan selenium pada berbagai organ penting seperti selenium pada hati, ginjal, jantung, otak, jaringan otot dan lainnya, juga dapat menduga status selenium manusia. Menurut para ahli penentuan selenium melalui kadar selenium pada serum darah, eritrosit, urin dan plasma lebih menunjukkan keadaan kadar selenium sebenarnya. Hal ini disebabkan selenium dalam eritrosit, serum, plasma dan urin dihitung sebagai selenium dalam enzim yang mempunyai sifat fungsional yang sudah pasti. Berlainan dengan kadar selenium dalam berbagai jaringan seperti hati, ginjal, dan otot lebih menggambarkan kadar selenium total yaitu selenium dalam enzim juga dihitung dalam bentuk komplek (IOM, 2000). Seberapa jauh adanya hubungan kadar selenium dalam serum darah, eritrosit, plasma, urin dan rambut dapat menentukan status selenium, sangat tergantung pada ras, daerah dan pengaruh lingkungan lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar selenium dengan parameter tersebut pada suatu lokasi tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya terjadi defisiensi atau tidak. Pada daerah yang defisit seleniumnya tidak semua penduduk menderita akibat gangguan kekurangan selenium atau sebaliknya pada daerah yang tinggi deposit seleniumnya juga tidak selalu menderita keracunan selenium.
Pada proses metabolisme normal, dalam tubuh akan terbentuk radikal bebas dari senyawa oksigen, misalnya superoksida, oksigen singlet yang merugikan. Radikal bebas biasanya bersifat oksidatif dan akan memicu pembentukan kanker melalui mutasi gen dan merangsang pembelahan sel. Zat pengoksidasi (oksidan) atau radikal bebas lain juga dapat berasal dari luar tubuh (makanan, asap rokok, asap mobil, pollutan, dll). Jika potensi dari zat oksidan lebih tinggi daripada antioksidan di dalam tubuh seperti vitamin C, beta-karoten, vitamin E, dan GSH, maka keadaan ini disebut oxidative stress (stress oksidatif), yang merusak atau mengoksidasi biomolekul di dalam tubuh termasuk DNA dan berarti karsinogenik (IOM, 2000). Senyawa karsinogen dapat dimodifikasi melalui konjugasi dengan suatu gula (asam glukoronat), sulfat, gugus metil, atau glutathion (GSH). Beberapa enzim glutathion-S-transferase (GST) berperan untuk mentransfer GSH ke berbagai karsinogen membentuk senyawa konjugasinya dengan GSH yang netral, mudah larut di dalam air sehingga dapat di keluarkan dari tubuh. Selenium (Se) merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 9) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Enzim GSH-Px tidak aktif bila kekurangan Se dan sebagai akibatnya tubuh akan terpapar radikal bebas dan peroksida berbahaya yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Glutation peroksidase (GSH-Px.) bekerja secara sinergis dalam mencegah timbulnya radikal bebas dalam tubuh. Kadar GSH-Px yang tinggi dalam darah belum tentu menunjukkan rendahnya kadar aktivitas radikal bebas dalam tubuh, karena proses kerja antioksidan dalam tubuh bekerja secara sinergis maka apabila komponen yang satu mengalami kenaikan aktivitas maka harus diikuti kenaikan aktivitas komponen yang lainnya. Hal ini seperti hasil penelitian Thomson et al. (1985) bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New Zealand melalui roti putih sebanyak 200 μg /hari selama 8 – 13 minggu menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, eritrosit plasma dan platelets, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-
transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Glutathione peroxidase mengurangi katalisator dari :
Organik peroxides yang merupakan turunan dari unsaturated fatty acids (lipid peroxide LOOH), nucleic acids dan molekul lainnya.
Hidrogen Peroxide (H2O2) dengan reaksi sebagai berikut : Penurunan aktivitas gluthation peroksidase ditemukan juga pada pasien
yang positif HIV seperti yang dikemukan oleh Beauvieux (1996) Pada pasien yang terinfeksi HIV mengalami defisiensi selenium dan vitamin A. Aktivitas radikal bebas tinggi dan kadar GSH-Px rendah pada pasien yang positif HIV dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV. Pemberian suplemen selenium dan beta karoten selama 12 bulan pada pasien yang positif HIV menunjukkan kenaikan kadar GSH-Px secara signifikan. GSH-Px dan GSH mempunyai peranan yang penting sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menetralkan hidrogen peroksida, suplemen selenium juga dapat melindungi sel dari oxidative stress.
2 G-SH
GS-SG Glutathione peroxidase
H202 atau LOOH/ROOH
2H20 atau LOH/ROH + H20
Gambar 9 Reaksi aktivitas Glutathione-S-transferase (Thomson et al. 1985) Penelitian yang dilakukan oleh
Sunarti et al. (2000) tentang kadar
selenium dan aktivitas glutathion peroksidase pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito menunjukkan bahwa kadar selenium pada wanita keguguran lebih rendah atau lebih banyak dari yang dianjurkan, serta aktivitas glutation peroksidase lebih terlihat pada wanita hamil yang tidak mengalami keguguran sebagai kontrol. Keguguran dimungkinkan berkaitan dengan kerusakan DNA dan membran biologik akibat kurangnya sistem pertahanan antioksidan terhadap radikal bebas atau akibat toksisitas selenium. Kadar selenium yang rendah menyebabkan penurunan aktivitas enzim glutathion peroksidase sehingga enzim ini tidak dapat menetralkan hidroksida yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas
turunan hidroksi peroksida dapat menyebabkan kerusakan DNA, kerusakan protein, dan terjadinya lipid peroksidasi. Kerusakan komponen membran sel kemungkinan merupakan salah satu penyebab keguguran. Selenium dalam proses sebagai zat gizi antioksidan berinteraksi dengan zat gizi mikro lainnya secara sinergis antara lain vitamin C dan khususnya vitamin E. Vitamin E juga sebagai zat antioksidan, mengurangi beberapa gejala akibat kekurangan selenium pada hewan. Kekurangan copper juga akan meningkatkan oksidatif stress dan dapat menurunkan aktivitas gluthation peroxsidase dalam plasma pada hewan yang kekurangan copper. Peran vitamin E berhubungan erat dengan unsur selenium dan enzim gluthation peroksidase. Tokoferol adalah senyawa antioksidan yang kuat. Gejala pada hewan percobaan dapat ditafsirkan sebagai terjadinya proses peroksidasi berlebihan pada jaringan jika tidak ada perlindungan terhadap peroksidasi oleh vitamin E. Enzim gluthation peroksidase memulihkan gluthation teroksidasi menjadi gluthation, sehingga dengan reaksi tersebut terbentuknya hidroperoksida yang bersifat sangat merusak dapat dikendalikan sampai minimum. Jika gluthation berperan menguraikan hidroperoksida yang sudah terbentuk, vitamin E berperan mencegah terbentuknya hidroperoksida dan dengan demikian mencegah pula kerusakan oleh peroksida (IOM, 2000). Dari Gambar 10 dapat dilihat adanya hubungan sinergis antara vitamin E dengan GSH-Px. berawal dari proses autoksidasi asam lemak tidak jenuh (PUFA) sehingga akan terbentuk hidroperoksida. Vitamin E berfungsi memutus rantai proses autoksidasi sehingga mencegah timbulnya hidroperoksida, sedangkan GSH-Px. bekerja memunahkan hidroperoksida yang sudah terbentuk sehingga mencegah terjadinya kerusakan asam lemak tidak jenuh. Oleh karena itu asam lemak tidak jenuh khususnya asam lemak esensial seperti linoleat, linolenat dan arakhidonat dapat terlindungi dari peroksidasi. Pada proses pemutusan rantai autoksidasi oleh vitamin E akan terbentuk vitamin E radikal. Vitamin E radikal direduksi oleh vitamin C sehingga menghasilkan bentuk vitamin E dan vitamin C radikal, yang kemudian dinetralkan kembali menjadi vitamin C oleh GSSG.
Gambar 10
Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan (Thomson et al. 2003)
Selanjutnya
The
Lancet
(Internet:
MedScape
15
Juli
2000)
mengemukakan bahwa selenium berfungsi sebagai penambah kekebalan bila dalam darah mengandung penuh selenium (95 ppb). Pada kondisi tersebut seseorang akan meningkat penggandaan sel-T yang diduga sebagai perluasan klonal untuk peningkatan imunitas. Limfosit dari para relawan ditambah dengan selenium (seperti natrium selenit) dengan dosis 200 mikrogram per hari menunjukkan
peningkatan
tanggapan
terhadap
rangsangan
antigen
dan
peningkatan kemampuan untuk mengembangkan limfosit sitotoksik dan menghancurkan sel tumor. Disamping itu aktivitas sel pembunuh alami meningkat (82%), dan juga peningkatan 118% sitotoksisitas tumor yang menjadi perantara limfosit sitotoksik dibandingkan pada awalnya.
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I Suplemen selenium dan iodium diberikan setiap hari selama dua bulan (8 minggu). Hasil penelitian Thomson et al. (1985) dan Whanger, Linus Pauling Institute (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New Zealand melalui roti tawar sebanyak 200 μg /hari selama delapan minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Sedangkan yang diberikan selama 13 minggu tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata. Dengan demikian lama intervensi Se untuk pertahanan tubuh paling efektif selama delapan bulan. Selanjutnya karena Se bersifat toksik maka Muhilal (2004) menganjurkan dilakukan penelitian doseresponse untuk melihat hubungan antara dosis dan efek samping yang terjadi sebagai dampak pemberian suplemen Se untuk tujuan perbaikan profil darah dengan menggunakan nilai uptake level (UL) adalah nilai asupan zat gizi (Se dan I) tertinggi yang tidak menimbulkan efek samping/toksisitas. Suplemen Selenium (Se) dan Iodium (I) diberikan dengan dosis yang didasarkan angka kecukupan yang dianjurkan (AKG) paling rendah agar tidak menimbulkan efek samping pada anak yang diteliti. Disamping itu asupan terendah yang tidak menimbulkan efek samping dapat digunakan untuk estimasi UL dari zat gizi (Se dan I). Dosis suplemen iodium yang diberikan juga mengacu pada rekomendasi WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari untuk anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN Sosial – Ekonomi rendah
Infeksi
Daerah Endemik GAKI
Asupan Zat Gizi Kurang
• Rendah Iodium • Rendah Selenium • Garam ber-iodium < 30 ppm • Kandungan Se & Iodium dlm air minum + bahan makanan rendah
Absorpsi Zat Gizi Terganggu
Imunitas Seluler Terganggu
Morbiditas tinggi
Status Gizi Rendah Kemampuan Kognitif rendah
Tumbuh Kembang Fisik & Otak Terganggu sifat Permanen
Intervensi Zat Gizi Mikro pada Anak SD usia 9-12 tahun Melalui Suplemen Selenium dan Iodium dosis rendah selama 2 bulan
Selenium dosis 45 μg/hari
Iodium Dosis 50 μg/hari
Selenium + Iodium
Plasebo
Pengaruh Terhadap : Profil Darah, Status Gizi, Skor IQ, Jumlah Tanda Khas Kretin
Gambar 11 Kerangka Pemikiran Perlunya Intervensi Gizi Ganda melalui Suplemen Iodium dan Selenium pada Anak dengan Tanda Khas Kretin di Daerah Endemik GAKI